case bronkiolitis 13
Post on 26-Dec-2015
48 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi1,2
Bronkiolitis adalah suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang
merupakan percabangan dari saluran udara utama/bronkus), yang biasanya
disebabkan oleh infeksi virus. Bronkiolitis biasanya menyerang anak yang
berumur di bawah 2 tahun. 1,2
1.2 Epidemiologi1,2,3
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun.paling sering
terjadi pada usia 2-8 bulan. Insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Sembilan
puluh lima persen kasus terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% di
antara nya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Pada daerah yang
penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena Respiratory Syncitial Virus
(RSV) terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis
biasanya akan makin berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat
mungkin oleh karena kadar antibodi maternal (maternal neutralizing antibody)
yang rendah. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita. Louden
menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1.25 kali lebih banyak pada anak laki-laki
daripada anak perempuan. Bronkiolitis berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki.
Selain itu bronkiolitis juga merupakan penyebab tersering perawatan rumah sakit
pada bayi di bawah usia 1 tahun, terutama pada bayi usia antara 2 sampai 6 bulan.
Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di rumah sakit pada
bayi.
1.3 Etiologi1
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV),
60–90% dari kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2,
dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah
penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat
1
menimbulkan epidemi. Infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-
90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.
1.4 Faktor Resiko1,2,4
Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah usia kurang dari 6 bulan,
prematur, jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota
keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke
tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV,
dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu RSV menyebar melalui droplet dan
inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman apabila berjarak lebih 2
meter dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar dapat
bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan
virus tersebut selama 10 hari.Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak
terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada
musim hujan.
1.5 Patogenesis dan Patofisiologi1,2
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-
350nm), termasuk paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang
merupakan bagian penting dari RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G
(attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang
menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua
protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua
macam strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala
pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5
hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas
atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran
nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran
napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus
yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis
sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan
debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus. 1
2
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,
mukus tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga
mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga
dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang menyebabkan
kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas
juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan
produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,
bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran
nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran
napas.Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan
kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,
atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena
resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran
napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah
memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas
bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat
pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. 1
Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir
3
ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila
obstruksi total.Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila
terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak
yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi
imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi yang
berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan cumulatif immunity
sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan
terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV. 1
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus
dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat
sampai 15 hari. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. 1,2
1.6 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik1,2,3,4
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang
encer dan bersin. Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai
demam dan nafsu makan berkurang. 1-2 hari kemudian timbul distres nafas yang
ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi
rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah
kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi saluran nafas
atas yang ringan.Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali
dan bahkan ada yang mengalami hipotermi. 1,2,3
Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis
adalah takipnea, takikardi, peningkatan suhu di atas 38,5C. Terjadi distres nafas
dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit, kadang-kadang disertai
sianosis. Terdapat nafas cuping hidung, penggunaan otot bantu pernafasan dan
retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru
(terperangkapnya udara dalam paru). Obstruksi saluran respirasi bawah akibat
respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi yang memanjang,
wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat
ronkhi basah halus/crackles yang terdengar pada akhir atau permulaan ekspirasi.
Pada keadaan yang berat sekali, suara pernafasan hampir tidak terdengar karena
4
kemungkinan obstruksi hampir seluruh bronkiolus.Hepar dan lien teraba akibat
pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Pada
beberapa pasien dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media
serta faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena
adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). 1,2,3,4
1.7 Pemeriksaan Penunjang1,2
Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.
Rontgen foto toraks AP (anteroposterior) dan lateral menunjukkan hiperinflasi
paru, diameter anteroposterior membesar pada foto lateral, dapat terlihat bercak
konsolidasi yang tersebar dan paru-paru dalam keadaan hiperaerasi
(mengembang). Dikatakan hiperaerasi apabila kita mendapatkan siluet jantung
yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar,
diameter anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga
horisontal, pembuluh darah paru tampak tersebar. Bisa juga didapatkan bercak-
bercak yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia
(patchy infiltrates). 1,2
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal.
Jumlah leukosit yang berkisar antara 5.000-24.000.Pada pasien dengan
peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang. Ada
subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia. 1
Analisa gas darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun
metabolik. 1
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan
aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi
memerlukan waktu yang lama, dan hanya memberikan hasil positif pada 50%
kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan
menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini
adalah 80-90%. Uasapan nasofaring menunjukkan flora normal. 1
1.8 Diagnosis Banding2,3,5
5
Diagnosis banding bronkiolitis yang paling sering adalah asma bronkiale
dan bronkopneumonia. Diagnosis banding bronkiolitis yang lain adalah aspirasi
benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis2,5
Keadaan bronkiolitis harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang
juga timbul pada usia muda. Meskipun asma lebih sering terjadi pada anak yang
berusia lebih dari 2 tahun. Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing
untuk pertama kalinya, berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang.
Anak dengan asma akan memberikan respon terhadap pengobatan dengan
bronkodilator, sedangkan anak dengan bronkiolitis tidak . 3,5
Anak yang menderita pneumonia juga terdapat batuk dengan nafas cepat,
retraksi dinding dada bagian bawah, demam, nafas cuping hidung dan ronkhi
basah halus, tetapi tidak ditemukan wheezing sedangkan pada bronkiolitis
ditemukan wheezing. 3,5
1.9 Penatalaksanaan1,2,3,4,5
Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang
dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis,
defisiensi imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi
suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian
antivirus. 1,2,3
Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif, yaitu :
1. Oksigenasi
Terapi oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk
kasus-kasus yang sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan
afinitas hemoglobin terhadap oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan
melalui nasal prongs (2 liter/menit), masker (minimum 4 liter/menit) atau head
box.
2. Pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi
Pada neonatus diberikan dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 4 : 1, +KCl 1-2
mEq/kgBB/hari. Pada yang berusia lebih dari 1 bulan diberikan dekstrose 10% :
NaCl 0,9% = 3 : 1, +KCl 10 mEq/500 ml cairan.
6
Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. 1,4
3. Udara yang lembab
4. Drainase postural atau menepuk dada untuk mengeluarkan lendir
5. Istirahat yang cukup dan nutrisi yang adekuat.
Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan
peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat
inap. 1,5
Keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai
penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi
terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika.
Antibiotika diberikan apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita,
peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka
diperiksa kultur darah, urine, feses dan cairan serebrospinal, secepatnya diberikan
antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin tidak
menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. 1
Apabila terdapat nafas cepat saja, pasien dapat rawat jalan dan diberikan
kotrimoksazol (4mgTMP/kgBB/kali) 2 kali sehari, atau amoksicilin
(25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari, selama 3 hari. 5
Apabila terdapat tanda distress pernafasan tanpa sianosis tetapi anak masih
bisa minum, rawat di rumah sakit dan beri ampisilin/amoksisilin (25-50
mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama
72 jam pertama. Bila anak memberi respon yang baik maka terapi dilanjutkan di
rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (25 mg/kgBB/kali, 2 kali
sehari) untuk 3 hari berikutnya. Bila keadaan klinis memburuk dalam 24 jam, atau
terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress
pernafasan berat) maka ditambahan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV
setiap 8 jam) sampai keadaan membaik, dilanjutkan per oral 4 kali sehari sampai
total 10 hari. 5
Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan penyempitan
saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan
mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab
7
mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari
mukosilier akan lebih baik. Nebulasi agonis beta2, misalnya salbutamol 0,1 mg/kg
BB/dosis, diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali per-hari.
Tetapi pemakaiannya masih kontroversial karena ada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer
saluran napas (bronkioli). Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier. Sering
tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma.
Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epinefrin. 1
Schuh dkk (2002) yang melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis
yang rawat jalan mendapatkan hasil bahwa dengan pemberian deksametason oral
1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap penderita bronkiolitis.Penelitian meta-
analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi dengan bronkiolitis
menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan lama
timbulnya gejala. Sedangkan American Academy of Pediatrics/AAP tidak
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada bayi yang dirawat dirumah
sakit dengan bronkiolitis. Pemberian kortikosteroid oral 1mg/kgbb pada bayi usia
8 mgg-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4
jam pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi. 1
Antivirus yang digunakan pada bronkiolitis adalah ribavirin. Ribavirin
adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV.
Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein
virus dan menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga
hari setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. 1
Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus selama fase
replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi.
Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan
SaO2, penurunan penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit
lebih singkat, dan perbaikan fungsi paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan
ribavirin tidak memberikan efek perbaikan. 1
8
Kekurangan dari terapi ribavirin harganya yang mahal, resiko terjadi
toksisitas pada pekerja. Menurut AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan
pada bronkiolitis dengan kondisi spesifik.Bronkodilator Penggunaan
bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir 40
tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan
bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. 1
Anak yang dirawat di rumah sakit seharusnya diperiksa sedikitnya setiap 3
jam oleh perawat dan oleh seorang dokter minimal satu kali sehari. 5
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap
rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya
dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker,
isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,
pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita
ISPA. 1
1.10 Prognosis2,3
Setelah 1 minggu, biasanya infeksi akan mereda dan gangguan pernafasan
akan membaik pada hari ketiga. Angka kematian kurang dari 1%.
Masa paling kritis adalah 48-72 jam pertama. 3
Jarang terjadi bronkiolitis ulang. Mortalitas kurang dari 1%. Anak
biasanya meninggal karena jatuh dalam keadaan apnu yang lama, asidosis
respiratorik yang tidak terkoreksi atau karena dehidrasi yang disebabkan takipnu
dan kurang makan dan minum. 3
Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada
bayi akan berkembang menjadi asma. Suatu studi kohort prospektif menemukan
bahwa 23% bayi dengan riwayat bronkiolitis akan berkembang menjadi asma
pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1% pada kelompok kontrol. 2
BAB 11
ILUSTRASI KASUS
9
IDENTITAS PASIEN
Nama : G
MR : 097995
Tanggal masuk : 27 Desember 2014
Umur : 6,5 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Anak ke : 1
Suku bangsa : Minang
Alamat : lubuk tarok, solok
Alloanamnesis oleh ibu kandung
Seorang pasien laki-laki berumur 6,5 tahun dirawat di bangsal anak RSUD
Solok dengan :
Keluhan utama:
Bertambah sesak napas sejak 1 sebelum masuk Rumah Sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
- Demam sejak 3 hari yang lalu, tinggi, terus menerus, tidak menggigil dan
tidak kejang.
- Batuk sejak 3 hari yang lalu, berdahak, pilek ada.
- Sesak napas sejak 2 hari yang lalu, berbunyi menciut, tidak dipengaruhi
oleh cuaca, makanan atau minuman, bertambah sesak sejak 1 jam yang
lalu.
- Muntah tidak ada.
- Riwayat tersedak tidak ada.
- Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama yang tidak minum
obat secara teratur ada.
- Buang air kecil jumlah dan warna biasa.
- Buang air besar jumlah dan konsistensi biasa.
- Anak telah dibawa berobat ke dokter keluarga, diberi 2 macam puyer,
karena tidak ada perubahan anak dibawa ke Poli Anak RSUD Solok.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien sering sesak sejak 4 bulan yang lalu.
10
Riwayat penyakit keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita batuk dan sesak seperti yang
diderita pasien
Riwayat pekerjaan, sosek, kejiwaan dan kebiasaan
- Pasien anak pertama, lahir secara spontan di bidan, cukup bulan, berat
badan lahir 3.000 gram, panjang badan lahir 47 cm, langsung menangis.
- Riwayat imunisasi dasar lengkap menurut umur
Imunisasi BCG dan DPT
- Riwayat makanan dan minuman : ASI (0-sekarang), PASI (0-4 bulan),
bubur susu (sejak 5 bulan, 3 x sehari).
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup
- Riwayat pertumbuhan dan perkembangan dalam batas normal.
- Higine dan sanitasi lingkungan kurang.
- Rumah permanen, sumber air minum air sumur, jamban di dalam rumah.
Pemeriksaan Fisik
Tanda vital
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : sadar
Frekuensi nadi : 148 x/menit
Frekuensi nafas : 75 x/menit
Suhu : 38,7 C
Berat Badan : 4,9kg
Tinggi badan : 67 sentimeter
Status gizi : Kesan : gizi kurang (60% standard Harvard)
Pemeriksaan sistemik :
Kulit : teraba hangat
Kepala : ubun-ubun besar datar,
Bulat, simetris, lingkar kepala= 43 cm (nomal Standar Nellhaus)
Rambut : hitam dan tidak mudah di cabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, refleks cahaya +/+
ukuran pupil 2mm
11
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : nafas cuping hidung(+)
Mulut : mukosa mulut dan bibir basah
Ternggorok : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Leher : JVP sukar dinilai
Paru
Inspeksi : normochest, simetri dan ada retraksi epigastrium
Palpasi : fremitus normal kiri=kanan
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas bronkovesikuler, ronkhi basah halus nyaring
(+/+), wheezing (+/+)
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba 1 jari medial linea mid clavikula
sinistra RIC V
Perkusi : batas jantung sukar dinilai
Auskultasi : irama teratur, bising -/-
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ada kelainan
Alat kelamin : tidak ada kelainan, status pubertas A1M1P1
Anus : colok dubur tidak dilakukan
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, refleks fisiologis +/+, refleks patologis
-/-
Pemeriksaan Laboratorium
Darah :
Hb : 14,9 g/dl
Leukosit : 12.620 / mm3
12
Hitung jenis : 0/0/1/65/28/6
Urine : tidak dilakukan
Feses : tidak dilakukan
Diagnosis Kerja : Bronkiolitis
Diagnosis Banding : bronkopneumonia
Terapi :
- Oksigen nasal 2L/menit
- IVFD KA-EN 1B 105cc/kgBB/hari ( 8 tetes/menit makro)
- Amoxisilin 3x200mg IV
- Kloramfenikol 4x150mg IV
- Ambroxol 3x4 mg (p.o)
- Paracetamol 75 mg ( jika T> 38,5C )
- Sementara puasa
Rencana tindakan selanjutnya
Pemeriksaan AGD, elektrolit, kultur darah, rontgen toraks.
BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien anak laki-laki umur 6,5 bulan dengan
diagnosis bronkiolisis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
13
Dari anamnesis didapat riwayat demam tinggi, terus-menerus, tidak
menggigil dan tidak berkeringat 3 hari sebelum masuk rumah sakit, batuk
berdahak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, disertai sesak napas sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, nafas tidak bunyi menciut dan bertambah 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Muntah, riwayat tersedak tidak ada, Riwayat kontak
dengan penderita batuk lama yang tidak minum obat teratur ada, BAK dan BAB
biasa, Anak telah di bawa berobat ke dokter keluarga dan di beri 2 macam puyer,
tidak ada perubahan anak di bawa ke rumah sakit
Pada pemeriksaan fisik didapat takipneu dengan frekunsi 75x/menit.
Ditemukan napas cuping hidung, retraksi epigastrium dan intercostal merupakan
tanda dari suatu distress pernapasan. Pada auskultasi paru didapat wheezing dan
ronkhi basah halus nyaring.
Diagnosis banding pada pasien ini berdasarkan hasil dari pemeriksaan
darah rutin didapat leukositosis dan berdasarkan pemeriksaan Rontgen foto.
Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan leukositosis, hitung jenis
0/0/1/65/28/6. Rontgen foto toraks gambaran infiltrat perihiler dan prekordial
pada kedua lapangan paru.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah diberikan O2
2L/menit, untuk menangani sesak nafasnya. Berhubung karena anak sesak nafas,
maka anak dipuasakan sementara, sampai kondisi tidak sesak lagi. Untuk
mengganti cairan dan kalorinya diberikan IVFD KaEN IB 105 cc/kgBB/hari = 8
tetes/menit (makro). Jika nafas sudah tidak sesak lagi diberikan nutrisi melalui
NGT ASI 8 x 35 cc. Untuk mencegah infeksi sekunder diberikan antibiotik yaitu
amoxicilin 3 x 200 mg IV. Untuk menurunkan suhu tubuh nya diberikan
Paracetamol dengan dosis 10mg/kgBB/kali, jadi diberikan 75 mg (bila suhu
38,5C). Selain itu diberikan kloramfenikol 4x150 mg IV. Karena anak batu
diberikan Ambroxol 3 x 4 mg p.o. Pada bronkiolitis juga terjadi proses inflamasi
maka diberikan Dexametasone dengan dosis inisial o.5mg/kgBB IV maka
diberikan sebanyak 3,5 mg/IV (bolus) dan dilanjutkan dengan terapi lanjutan
14
0.5mg/kgBB di bagi 3 dosis, jadi diberikan Dexametasone 3 x 1 mg IV. Pada
pasien juga dapat diberikan terapi nebulisasi salbutamol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anynomus. Bronkiolitis. Diakses dari www.cppdocter.com, 11 Oktober
2009.
15
2. Zain S. Bronkiolitis. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama.
Jakarta: IDAI: 2008: hal: 333-349.
3. Pusponegoro H, dkk. Bronkiolitis. Dalam: Standar Pelayanan Medis
Kesehatan Anak. Edisi I: Jakarta: IDAI: 2004: hal: 348-350.
4. Anynomous. Bronkiolitis. Diakses dari www.medicastore.com, 11
Oktober 2009.
5. Tim Adaptasi Indonesia. Bronkiolitis.Dalam : Pelayanan Kesehatan Anak
di Rumah Sakit. CetakanI: Jakarta : WHO: 2009: hal: 96-99.
16
top related