bulet in hukum 10020508
Post on 30-Oct-2015
189 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi
Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi
(Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara)
Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia
Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari
Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei Agustus 2012
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei Agustus 2012
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
-
Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabAhmad Fuad, Christina Sani, Wahyudi Santoso, Libraliana Badilangoe
Pemimpin RedaksiLibraliana Badilangoe
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiImam Subarkah, Sukarelawati Permana, Amsal C. Appy, Rosalia Suci,
Arief R. Permana, Hari Sugeng Raharjo, Endang R. Budi Astuti
Redaksi PelaksanaAgus Susanto Pratomo, Ellia Syahrini, Kesumawati, Kuwat Wijayanto,
Chandra Herwibowo, Veri Dyatmika Adhiraharja
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH., LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH., LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH., LLMDr. Inosentius Samsul, SH., LLMDr. Lastuti Abubakar, SH., MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Departemen Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DepartemenStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: buletinhukum_dhk@bi.go.id
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Departemen Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 9 Jl. M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi
-
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10 Nomor 2, Edisi Mei s.d Agustus 2012 kembali hadir
ditengah-tengah para pembaca dan pencintanya.
Topik utama Buletin menyoroti mengenai Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi, yang ditulis oleh Dr. Tini
Kustini, SH. Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang dapat menyelesaikan
permasalahan dengan damai, cepat, murah, memuaskan tanpa mengurangi rasa keadilan dan kewajaran dan tentunya
perikemanusiaan.
Selain topik utama diatas dalam edisi kali ini Buletin juga menurunkan 4 artikel lainnya, yaitu :
1. Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara oleh Prof. Hikmahanto Juwana SH. PhD.
2. Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang
No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) oleh Soehirman, SH., MS.
3. Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia oleh Fred B.G. Tumbuan,
4. Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara Yang Bersumber Dari Penerimaan
Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi oleh Indrawati, SH., LL.M
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai
dengan Agustus 2012, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin
mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, Agustus 2012
Redaksi
i
DARI MEJA REDAKSI
-
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
Halaman
Dari Meja Redaksi................................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................................. iii
Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Mediasi ...................................................................................... 1 - 13
Dr. Tini Kustini, SH, (Analis Bank Madya Senior), Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan,
Bank Indonesia
Kriminalisasi Kebijakan dan Keuangan Negara......................................................................................... 15 - 19Prof. Hikmahanto Juwana SH. PhD, Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI.,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Kaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi
(Tinjauan Yuridis Atas Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara) .......................... 21 - 28
Soehirman, SH., MS, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Mencermati Pokok-Pokok Undang-Undang Fidusia ................................................................................. 29 - 37
Fred B.G. Tumbuan, Pengacara Senior
Prinsip-Prinsip Good Financial Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Negara
Yang Bersumber Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Dari Sektor Minyak Dan Gas Bumi........................ 39 - 54
Indrawati, SH., LL.M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Agustus 2012.............. 55 - 57
Tim Informasi Hukum
(Departemen Hukum, Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Agustus 2012........ 59 - 86
Tim Informasi Hukum
(Departemen Hukum Bank Indonesia)
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
VOLUME 10, NOMOR 2, MEI AGUSTUS 2012
iii
-
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
I. PENDAHULUAN
Hukum Perdata mengatur mengenai hubungan
hukum antara para pihak yang timbul antara lain dari
suatu perjanjian. Perjanjian bertujuan untuk mengatur
hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak
dan kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya
mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.
Dengan adanya suatu perjanjian, maka terdapat suatu
fakta hukum bahwa terdapat hubungan hukum antara
para pihak, misalnya bank dengan nasabahnya, dan
apabila terjadi sengketa maka dapat diselesaikan
sesuai dengan perjanjian atau hukum yang berlaku.
Penyelesaian sengketa perdata sepenuhnya diserahkan
kepada kehendak masing-masing pihak, yaitu dapat
dilaksanakan di pengadilan (court system) atau di luar
pengadilan (out of court system). Salah satu cara
penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan
adalah mediasi.
Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS). Masyarakat internasional
(sipil atau publik)1 menghendaki setiap sengketa dan
ketidaksepahaman diselesaikan dengan damai, cepat,
murah, memuaskan tanpa mengurangi rasa keadilan
dan kewajaran dan tentunya perikemanusiaan.2
Hal ini berkaitan dengan adanya reformasi di bidang
hukum, salah satu yang berkembang adalah
restorative justice sebagai langkah pembaharuan di
bidang peradilan informal, pembaharuan hak korban
dan ganti rugi. Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan
menganjurkan pendayagunaan konsep restorative
justice secara lebih luas dalam sistem peradilan tidak
hanya terkait peradilan perdata namun diperluas ke
peradilan pidana,3 yang menekankan penyelesaian
masalah melalui mekanisme di luar pengadilan (out
of court system). Prinsip dasar dari restorative justice
adalah keadilan dengan memperbaiki pihak yang
dirugikan dan para pihak diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam penyelesaian sengketa dan
membuat segalanya baik (making things right).
Di berbagai negara telah terjadi pergeseran konsep
keadilan dalam penyelesaian perkara dari keadilan
atas dasar pembalasan menjadi keadilan dalam
bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang mengarah
pada keadilan yang menekankan pada kepentingan
1
PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA MELALUI MEDIASI
Oleh : Dr. Tini Kustini, SH,*
Abstrak
Penyelesaian sengketa perdata sepenuhnya diserahkan kepada kehendak masing-masing pihak, yaitu dapat
dilaksanakan di pengadilan (court system) atau di luar pengadilan (out of court system).
Salah satu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan adalah mediasi. Mediasi melibatkan pihak
ketiga yang netral yang akan bertindak untuk menghubungkan para pihak.
Key words : mediasi, Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), wanprestasi
* Analis Bank Madya Senior, Departemen Investigasi dan Mediasi Perbankan, Bank Indonesia
1 Lihat Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2 Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009, hlm.iii.
3 Lihat United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters.
-
penyembuhan bagi pihak yang dirugikan. Restorative
justice merupakan suatu paradigma pergeseran atau
perubahan dalam peradilan (shift in justice).
Alternatif Penyelesaian Sengketa berada pada jalur
doktrin yang baku, yakni pertama: doktrin
internasionalisme, bahwa dimanapun di dunia, filsafat,
prinsip, aturan dan kebiasaan APS dapat dikatakan
sama dan sebangun; kedua: doktrin universal, yakni
sengketa/ketidaksepahaman bentuk apapun, apakah
yang sipil/perdata maupun publik dapat diselesaikan
melalui APS. Artinya sengketa/selisih di bidang publik
dapat pula diselesaikan melalui APS, misalnya Prof.
Dr. Mochtar Kusumaatmadja SH, LL.M pernah
diangkat oleh para pihak anggota PBB menyelesaikan
sengketa perbatasan Iraq dan Kuwait. Selanjutnya,
Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD pernah
dipilih dan diangkat oleh para pihak sebagai arbiter
tunggal penyelesaian sengketa antara RRC - Indonesia
dalam sengketa Slot Satelit di orbit geostasioner.4
Penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi akan
dibahas melalui bagan alur sebagai berikut:
2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
4 Ibid, hlm.iii iv.
Putusan Pengadilan (Akte van Dading), Perjanjian Perdamaianmemiliki kekuatan eksekutorial
Tidak TercapaiTidak Tercapai
HUKUM PERDATA
PERJANJIAN
SENGKETA
COURT SYSTEM OUT OF COURT SYSTEM
PERADILAN APS
MEDIASI *) MEDIASI
WANPRESTASI
Wanprestasi
Pemeriksaan Pokok Perkara
Putusan Pengadilan
Dapat dilakukan Upaya Hukum
Perjanjian Perdamaian(Final and Binding)
Putusan Pengadilan (Akte van Dading)
memiliki kekuatan eksekutorial
Perjanjian Perdamaian(Final and Binding)
Tidak daftar di Pengadilan
ArbitrasePengadilan (Gugatan)
MEDIASI *)
Gugatan
Tercapai Tercapai
FINALTidak dapat dilakukan
Upaya Hukum
Daftar di Pengadilan
FINALTidak dapat dilakukan
Upaya Hukum
= Perjanjian PerdamaianTidak memiliki kekuatan
eksekutorial
Gugatan ke pengadilan a/d Wanprestasi Perjanjian
Perdamaian
-
II. PERJANJIAN
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih.5 Dalam suatu perjanjian
tercipta hubungan hukum antara dua orang.6 Artinya,
perjanjian merupakan suatu perhubungan hukum
antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji
atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal
atau untuk tidak melakukan sesuatu hal yang disebut
dengan debitur7, sedang pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu yang disebut dengan kreditur.8
Artinya, perjanjian merupakan perbuatan untuk
memperoleh seperangkat hak dan kewajiban, yaitu
akibat-akibat hukum yang merupaka konsekuensinya.9
Perjanjian yang bertujuan untuk mengatur hubungan
hukum dan melahirkan seperangkat hak dan
kewajiban diantara para pihak, sehingga hanya
mengikat para pihak yang mengadakan kesepakatan,10
mengakibatkan semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak
yang membuatnya.11
Kehendak para pihak merupakan faktor utama untuk
terjadinya perjanjian, tanpa adanya kehendak, tidak
mungkin tercipta perjanjian. Suatu perjanjian sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan atau
suatu perjanjian pada hakikatnya sudah dianggap
terjadi dengan adanya persetujuan (konsensus) dari
para pihak12 atau perjanjian sudah dilahirkan dan
mengikat pada saat atau detik tercapainya
konsensus.13 Para pihak wajib melaksanakan perjanjian
dan tidak dibenarkan untuk membatalkan atau
mengakhiri perjanjian tanpa persetujuan kedua belah
pihak atau tanpa alasan yang dibenarkan oleh Undang-
Undang.14
Perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi empat
syarat, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(3) suatu hal yang tertentu; (4) suatu sebab yang
halal.15 Tidak terpenuhinya syarat perjanjian16 akan
membuat perjanjian itu menjadi tidak sah, yaitu syarat
nomor satu dan dua merupakan syarat subyektif
karena mengenai subyek yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat nomor tiga dan empat merupakan
syarat obyektif karena mengenai obyek perjanjian.
Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, maka
perjanjian batal demi hukum (nul and void), artinya
secara hukum sejak awal atau dari semula dianggap
tidak pernah dilahirkan atau ada suatu perjanjian.
Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian
tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum
adalah gagal. Dengan demikian, maka tiada dasar
untuk saling menuntut di depan hakim atau dikatakan
bahwa perjanjian itu null and void.
Dalam hal salah satu atau kedua syarat subyektif
tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan
pembatalan oleh salah satu pihak. Salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian
dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat menuntut
pembatalan kepada hakim melalui pengadilan. Pihak
yang dapat meminta pembatalan perjanjian adalah
pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak bebas
dalam memberikan sepakatnya. Akibatnya perjanjian
yang telah dibuat tetap mengikat selama tidak
dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
3
14 Lihat Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.
15 Lihat Pasal 1320 KUHPerdata.
16 Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan IV, Intermasa, Jakarta, 1979, hlm.17. Lihat pula Prof. Ahmad Miru, SH, MS, dan Sakka Pati, SH, MH, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.67.
5 Lihat Pasal 1313 KUHPerdata.
6 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm.161.
7 Ibid, hlm.13.
8 Ibid, hlm.13.
9 Dikutip pada http://legalakses.com/perjanjian/ (12 Januari 2012).
10 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.9.
11 Lihat Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
12 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.164.
13 Prof. R. Subekti, SH, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm.3.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
berhak meminta pembatalan. Perjanjian ini dinamakan
voidable atau vernietigbaar.
III.SENGKETA PERDATA
Perjanjian yang telah disepakati mengakibatkan
terikatnya para pihak, oleh karenanya para pihak
mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi
sesuai dengan perjanjian. Namun, dalam
pelaksanaannya ada kemungkinan terjadi sengketa
yang pada akhirnya akan mempengaruhi tujuan
perjanjian.
Apakah sengketa itu dan mengapa terjadi sengketa?
Sengketa adalah perbedaan pendapat yang telah
mengemuka. Sengketa adalah perselisihan atau
perbedaan pendapat (persepsi) yang terjadi antara
dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan
kepentingan yang berdampak pada terganggunya
pencapaian tujuan yang diinginkan oleh para pihak.17
Pemicu sengketa adalah (1) kesalahan pemahaman;
(2) perbedaan penafsiran; (3) ketidak jelasan
penafsiran; (4) ketidak puasan; (5) ketersinggungan;
(6) kecurigaan; (7) tindakan tidak patut, curang dan
tidak jujur; (8) kesewenang-wenangan, ketidak adilan;
dan (9) terjadi keadaan yang tidak terduga.
Sengketa dalam bahasa Inggris adalah dispute yang
mempunyai pengertian menurut Blacks Law
Dictionary adalah:18
Dispute is a conflict or controversy; a conflict of
claims or right; an assertion of a right, claim, or
demand on one side, met by contrary claims or
allegations on the other. The subject of litigation;
the matter for which a suit is brought and upon
which issue is joined, and in relation to which jurors
are called and witnesses examined.
Sengketa dapat diselesaikan melalui jalur litigasi atau
non litigasi yaitu APS. Pilihan cara penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi akan menghasilkan
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
eksekutorial, namun akan memakan waktu lama
(lambat), memerlukan biaya yang besar (mahal),
formal dan bersifat permusuhan.19 Sementara itu,
jalur non litigasi merupakan penyelesaian sengketa
melalui musyawarah mufakat.
Sengketa berawal dari adanya perasaan tidak puas
dari salah satu pihak karena pihak lain tidak memenuhi
prestasi atau wanprestasi. Suatu perjanjian dikatakan
telah terlaksana apabila para pihak telah memenuhi
prestasinya sesuai dengan perjanjian.
IV.WANPRESTASI
Perjanjian menghendaki adanya suatu prestasi dari
para pihak. Yang dimaksud dengan prestasi adalah
seseorang yang menyerahkan sesuatu, melakukan
sesuatu, dan tidak melakukan sesuatu.20 Artinya,
seseorang dapat dikatakan melakukan wanprestasi
apabila (1) tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya, (2) melakukan apa yang
diperjanjikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan,
(3) melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,
dan (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi adalah suatu keadaan karena adanya
kelalaian atau kesalahan, dimana debitur tidak dapat
memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan
dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan
memaksa.21 Istilah wanprestasi dalam bahasa Inggris
4
17 Candra Irwana, SH, M.Hum, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm.2.
18 Blaks Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.472.
19 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.71.
20 Sesuai dengan Pasal 1234 KUHPerdata yang berbunyi: Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Lihat pula Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas ... Op.Cit., hlm.173.
21 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet.1, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003, hlm. 21.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
adalah breach of contract yaitu failure, without legal
excuse, to perform any promise which forms the
whole or part of a contract.22 Dengan demikian,
wanprestasi adalah suatu keadaan dimana debitur
tidak memenuhi atau melaksanakan prestasi
sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian.
Wanprestasi dapat timbul karena kesengajaan atau
kelalaian debitur itu sendiri atau adanya keadaan
memaksa (overmacht).
Wanprestasi berkaitan erat dengan adanya perjanjian
antara para pihak, baik berdasarkan perjanjian sesuai
Pasal 1338 s.d Pasal 1431 KUHPerdata maupun
perjanjian yang bersumber dari Undang-Undang
berdasarkan Pasal 1352 s.d Pasal 1380 KUHPerdata.
Apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi,
maka menjadi alasan bagi pihak lainnya untuk
mengajukan gugatan.
Dalam restatement of the law of contacts (Amerika
Serikat), wanprestasi disebut dengan breach of
contracts dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1)
total breachts, artinya pelaksanaan perjanjian tidak
mungkin dilaksanakan, dan (2) partial breachts,
artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk
dilaksanakan. Sementara wanprestasi di Indonesia
dikenal beberapa bentuk, yaitu:23
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali, yang
disebabkan debitur memang tidak mau berprestasi
atau debitur secara obyektif tidak mungkin
berprestasi lagi atau secara subyektif tidak ada
gunanya lagi untuk berprestasi.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya
atau terlambat berprestasi, dimana para pihak
masih mengharapkan memenuhi prestasinya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru
berprestasi, dimana debitur memenuhi prestasinya
namun keliru. Debitur beranggapan telah
memenuhi prestasinya, tetapi dalam kenyataannya,
kreditur menerima prestasi berbeda dari yang
diperjanjikan. Apabila prestasi yang keliru tersebut
tidak dapat diperbaiki lagi, maka debitur dikatakan
tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Penentuan terjadinya wanprestasi tidak mudah, namun
apabila dalam perjanjian telah ditentukan suatu waktu
tertentu sebagai tanggal pelaksanaan hak dan
kewajiban, maka dengan lewatnya waktu sudah
dapat dikatakan terjadi wanprestasi. Berbeda halnya
apabila dalam perjanjian tidak ditentukan waktu
tertentu untuk melaksanakan suatu prestasi, maka
akan sulit menentukan terjadinya wanprestasi. Oleh
karenanya, kreditur terlebih dahulu harus memberikan
peringatan atau somasi kepada debitur untuk
memenuhi prestasinya.24 Wanprestasi memerlukan
pernyataan lalai terlebih dahulu25 atau adanya klausul
dalam perjanjian yang menyatakan debitur langsung
dianggap lalai tanpa melalui somasi.26
Somasi diartikan sebagai teguran dari kreditur kepada
debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan
isi perjanjian yang telah disepakati oleh keduanya.27
Artinya debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah
ada somasi,28 dan apabila debitur setelah dilakukan
somasi namun melewatkan tenggang waktu somasi
tanpa memberikan prestasinya, maka debitur
dianggap wanprestasi. Namun demikian, debitur
dapat langsung dinyatakan wanprestasi tanpa
memerlukan somasi, dalam hal sebagai berikut:
5
22 Blaks Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.188.
23 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet.6, Putra Abadin, Jakarta, 1999, hlm.18.
24 Lihat Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUHPerdata.
25 Lihat Pasal 1243 KUHPerdata.
26 Yurisprudensi Mahkamah Agung No.186K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 menyatakan: Apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur.
27 Salim H.S. Hukum Kontrak, Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 96.
28 Apabila debitur telah diberikan somasi oleh kreditur, dimana somasi dilakukan minimal tiga kali, maka apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa permasalahannya ke pengadilan untuk memutuskan wanprestasi yang dilakukan debitur.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
1. Perjanjian menentukan termin waktu.
2. Debitur menolak pemenuhan atau debitur sama
sekali tidak memenuhi prestasi.
Kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila
debitur menolak pemenuhan prestasinya, sehingga
kreditur dapat menganggap suatu somasi atas
sikap penolakan debitur tidak akan menimbulkan
suatu perubahan.
3. Debitur mengakui kelalaiannya atau
memberitahukan bahwa debitur dalam keadaan
wanprestasi.
Pengakuan debitur atas kelalaiannya dapat
dilakukan secara tegas atau diam-diam dengan
menawarkan ganti rugi.
4. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.
Debitur wanprestasi tanpa adanya somasi, apabila
prestasi (di luar peristiwa overmacht) tidak mungkin
dilakukan, misalnya karena debitur kehilangan
barang yang harus diserahkan atau barang tersebut
musnah.
5. Pemenuhan tidak berarti lagi.
Apabila pemenuhan prestasi debitur digantungkan
dalam batas waktu tertentu, dan debitur
memenuhi prestasinya namun dengan waktu yang
telah lampau.
6. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana
mestinya atau debitur keliru memenuhi prestasi.
7. Ditentukan dalam Undang-Undang bahwa
wanprestasi terjadi demi hukum.29
Akibat dari adanya wanprestasi adalah: (1) Perjanjian
tetap ada; (2) Debitur harus membayar ganti rugi
kepada kreditur;30 (3) Prinsip dasar wanprestasi adalah
ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga,31
dimana debitur bertanggungjawab dengan seluruh
harta bendanya;32 (4) Beban risiko beralih untuk
kerugian debitur, jika halangan timbul setelah debitur
wanprestasi, kecuali apabila terdapat kesalahan dari
kreditur, dimana peralihan risiko terjadi sejak saat
terjadinya wanprestasi, dan risiko atas obyek perjanjian
menjadi tanggungan debitur.33 Dalam hal berupa
perjanjian timbal balik, maka kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan
kontra prestasi.34
V. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) diatur dalam
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) yang
memberikan pengertian pada APS sebagai lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli.35 Pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila para pihak telah
menyepakati bahwa sengketanya akan diselesaikan
melalui jalur penyelesaian di luar pengadilan.36
6
29 Misalnya Pasal 1626 KUHPerdata yang berbunyi:Sekutu yang diwajibkan memasukkan sejumlah uang dan tidak melakukannya itu, menjadi berutang bunga atas jumlah itu demi hukum dan dengan tidak usah ditagihnya pembayaran uang tersebut, terhitung sejak hari uang tersebut sedianya harus dimasukkan.Hal yang sama berlaku terhadap jumlah-jumlah uang yang telah diambilnya dari kas bersama, terhitung sejak hari ia telah mengambilnya guna kepentingannya pribadi.Kesemuanya itu tidak mengurangi penggantian tambahan biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
30 Pasal 1243 KUHPerdata.
31 Lihat Pasal 1246, 1247, 1248, dan Pasal 1267 KUHPerdata.
32 Sesuai dengan Pasal 1131 KUHPerdata.
33 Lihat Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata.Teori Hukum mengenal ajaran tentang risiko, resicoleer, yaitu seseorang wajib memikul kerugian apabila terjadi suatu kejadian atas obyek perjanjian di luar kesalahan salah satu pihak. KUHPerdata mengatur risiko dalam beberapa pasal, yaitu:1. Pasal 1237 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian
pemberian kebendaan, maka sejak saat perjanjian dilahirkan kebendaan tersebut menjadi tanggungan debitur.
2. Pasal 1460 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian jual beli, maka sejak saat pembelian barang yang sudah ditentukan menjadi tanggungan pembeli meskipun belum dilakukan levering (penyerahan), sementara penjual mempunyai hak untuk menuntut pembayaran atas harga barang dimaksud.
3. Pasal 1545 KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian tukar menukar, apabila suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian dianggap gugur, dan pihak yang telah memenuhi perjanjian dapat mengajukan tuntutan atas kembalinya barang yang telah diberikan dalam tukar menukar.
4. Pasal 1553 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur risiko dalam perjanjian sewa menyewa, apabila selama waktu sewa, barang yang disewakan musnah sama sekali karena kejadian yang tidak disengaja, maka perjanjian sewa menyewa menjadi gugur demi hukum.
34 Pasal 1266 KUHPerdata.
35 Pasal 1 angka 10 UU AAPS.
36 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm.7.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Sengketa yang dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui APS hanyalah sengketa di bidang perdata,
dan hanya akan tercapai apabila didasarkan pada
itikad baik dan tekad untuk menyampingkan pilihan
penyelesaian litigasi melalui pengadilan.37
Pengertian APS menurut Stanford M. Altschul:
Alternative Dispute Resolution (ADR) is a trial of a
case before a private tribunal agreed to by the parties
so as to save legal costs, avoid publicity, and avoid
lengthy trial delays,38
APS sebagai suatu pemeriksaan sengketa oleh majelis
swasta yang disepakati oleh para pihak dengan tujuan
menghemat biaya perkara, meniadakan publisitas
dan meniadakan pemeriksaan yang bertele-tele.
Sementara Hukum Amerika memberikan pengertian:
Alternative Dispute Resolution is a mechanism by
which different types of legal disputes are resolved
through out-of-court processes like arbitration, and
mediation as an alternative to civil litigation. ADR
methods can be effective in reducing the time, money,
and adversarial nature associated with traditional
court-based proceedings.39
Tujuan APS sebagaimana disebutkan oleh Phillip D.
Bostwick:
Alternative Dispute Resolution (ADR) is a set of
practices and legal techniques that aims to permit
legal disputes to be resolved outside the courts for
the benefit of all disputants, to reduce the cost of
conventional litigation and the delay to which it is
ordinary subjected, to prevent legal dispute that
would otherwise likely be brought to the courts.40
Dalam APS para pihak akan menetapkan sendiri
keputusan finalnya, melalui suatu proses yang dipilih
oleh para pihak, seperti negosiasi dimana para pihak
menyelesaikan sengketanya secara langsung, atau
mediasi dimana para pihak dalam menyelesaikan
sengketanya meminta bantuan pihak ketiga sebagai
penengah, namun pihak ketiga ini tidak menetapkan
suatu keputusan.
Dalam proses litigasi adakalanya pihak yang menang
perkara akan mengambil segala sesuatu yang
disengketakan, winner takes all. Hal ini berbeda
dengan proses non litigasi, APS, yang menyelesaikan
sengketa secara kooperatif,41 win win solutions,
dimana semua pihak sama-sama merasa menang.
Ilustrasi penyelesaian win win solutions sebagaimana
diuraikan oleh Fisher dan Ury adalah:42
A win-win solution with the traditional example of
two young girls wanting an orange. On the
Approaches to Dispute Resolution diagram above,
the win lose solution would be for one girl to get
the whole orange and for the other to get none. The
compromise solution would be for one girl to get
half the orange and for the other girl to get half.
The win-win solution would be to look for the needs
or interests of the girls. Why do they want the orange?
It may be that one wants a drink of the juice and
the other wants the peel to bake a cake, or even the
seed to plant for a science experiment. In this situation,
it would be possible for a co-operative solution to
enable both girls to get their needs met. To find a
co-operative solution requires people to expand their
thinking and to look for creative solutions, that fulfil
the requirements of each of the parties in dispute.
Contoh tersebut di atas memperlihatkan bahwa solusi
menang kalah akan terjadi apabila hanya satu pihak
mendapatkan seluruh benda yang disengketakan,
7
37 Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta, 2009, hlm.5-6.
38 Stanford M. Altschul, The Most Important Legal Terms Youll Ever Need To Know, 1994, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.12.
39 Dikutip pada http://openjurist.org/law/alternative-dispute-resolution (2 Februari 2012).
40 Phillip D. Bostwick, Going Private With the Judicial System, 1994, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.12.
41 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.13.
42 Fisher dan Ury, Getting to Yes, 1981, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.14.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
sedangkan pihak yang lain sama sekali tidak akan
mendapatkan apa-apa. Dengan pendekatan
kompromis, win win solutions, diperlukan pemikiran
yang lebih luas dan mencari penyelesaian kreatif,
sehingga para pihak yang bersengketa akan
mendapatkan sesuai dengan keinginan masing-
masing.
Sebagaimana diketahui bahwa penyelesaian sengketa
perdata, disamping dapat diajukan ke peradilan
umum, juga terbuka kemungkinan diajukan melalui
arbitrase dan APS sebagaimana diatur dalam UU
AAPS. Salah satu cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah mediasi.43
Dalam sidang perkara perdata di pengadilan sebelum
dilaksanakan pemeriksaan pokok gugatan, pertama-
tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang
berperkara. Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg44
memberikan suatu kewajiban kepada hakim untuk
terlebih dahulu mengupayakan proses perdamaian
sebelum dimulainya proses pengadilan, hal ini
diperkuat dengan terbitnya Peraturan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan,45 dengan sanksi
apabila tidak menempuh proses mediasi adalah
ancaman putusan batal demi hukum. Pelembagaan
proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilan dalam penyelesaian sengketa, disamping
proses pengadilan yang bersifat memutus (adjukatif).46
VI.MEDIASI
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan
para pihak dengan dibantu oleh mediator.47 Artinya,
mediasi merupakan suatu prosedur penengahan
dimana seseorang bertindak sebagai kendaraan48
untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga
pandangan mereka yang berbeda atas sengketa
tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan,
tetapi tanggung jawab utama tercapainya suatu
perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.
Mediasi merupakan suatu metode untuk menyelesaikan
sengketa di luar pengadilan (out of court system)
dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang
akan bertindak untuk menghubungkan para pihak,
hal ini sesuai dengan pengertian mediasi menurut
Blacks Law Dictionary, Mediation is a method of
settling disputes outside of a court setting; the
imposition of a neutral third party to act as a link
between the parties.49 Proses mediasi dibantu oleh
8
(2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini.
(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
46 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.47- 48.
47 Pasal 1 angka 7 Perma Mediasi.
48 Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MH, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.15-16.
49 Blacks Law Dictionary, Third Edition, Steven H. Gifis, Barons Educational Series, Inc, New York, 1991, hlm.295.
43 Pasal 1 angka 10 UU AAPS yang berbunyi:Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
44 Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg.Pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat) dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa. Sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi. Karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Apabila putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan. Oleh karena itu, mengingat akta perdamaian berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum baik banding maupun kasasi.
45 Pasal 2 Perma Mediasi. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma Mediasi) yang berbunyi:(1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang
terkait dengan proses berperkara di Pengadilan.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
pihak ketiga yang netral yang disebut dengan mediator
untuk mencapai kesepakatan, namun mediator tidak
berwenang memaksa para pihak, keputusan tetap
berada pada para pihak, sebagaimana disebutkan
dalam Blacks Law Dictionary: Mediation is a private,
informal disputes resolution process in which a neutral
third person, the mediator, helps disputing parties to
reach an agreement. The mediator has no power to
impose a decision on the parties.50 Dalam mediasi,
maka mediator bertindak sebagai fasilitator netral
dengan tujuan mendapatkan penyelesaian yang
arif dan tidak berat sebelah bagi para pihak yang
bersengketa.
Beberapa prinsip mediasi adalah bersifat sukarela
atau tunduk pada kesepakatan para pihak, pada
bidang perdata, sederhana, tertutup, dan rahasia,
serta bersifat menengahi atau bersifat sebagai
fasilitator. Dengan adanya prinsip ini, maka para pihak
dapat menjaga kerahasiaan dan ketertutupan yang
tidak ada dalam proses litigasi. Mediasi dapat dilakukan
dalam proses pengadilan (berdasarkan Pasal 130 HIR
dan Pasal 154 RBg serta Perma Mediasi) dan dapat
pula dilakukan secara pribadi atau di luar pengadilan
(berdasarkan UU AAPS).
Mediasi dalam proses pengadilan dikenal dengan
Mediasi Hukum merupakan proses mediasi yang
dilakukan sebagai akibat dari adanya gugatan perdata
ke pengadilan, dan diberdayakan kembali sejak tahun
2002.51 Ketentuan dalam Pasal 130 HIR dan Pasal
154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh
proses perdamaian dengan cara mengintegrasikan
proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di
Pengadilan Negeri (litigasi). Tujuan penerapan mediasi
di pengadilan pada awalnya adalah untuk pembatasan
kasasi, namun kemudian Mahkamah Agung
menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu
proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan
murah, serta dapat memberikan akses yang lebih
besar kepada para pihak dalam menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa
keadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses
beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu
instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan
perkara di pengadilan serta memperkuat dan
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan
yang bersifat memutus (adjudikatif).52
Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg mengatur tentang
perdamaian (dading) dalam proses beracara perdata
di pengadilan. Pada hari sidang pertama, hakim
menawarkan dan memberi kesempatan kepada kedua
belah pihak yang berperkara untuk melakukan
perdamaian dan melaporkannya pada hari sidang
berikutnya. Sikap hakim pasif dan tidak ada sanksi
apabila hakim lalai untuk mendamaikan kedua belah
pihak terlebih dahulu. Namun, dengan berlakunya
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan (Perma Mediasi),53 maka apabila hakim
lalai untuk mendamaikan para pihak terlebih dahulu,
maka putusan pengadilan menjadi batal demi
hukum.54 Hakim mendorong para pihak untuk aktif
9
50 Blaks Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997, hlm.981.
51 Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, yang selanjutnya diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan terakhir diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
52 Konsiderans Menimbang huruf a. dan huruf b. Perma Mediasi.
53 Berdasarkan Perma Mediasi terkait mediasi dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:1. Mediasi wajib (mandatory) atas seluruh perkara perdata yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama.2. Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu proses
mediasi.3. Hakim wajib memunda sidang dan memberikan kesempatan para
pihak untuk mediasi.4. Hakim wajib memberikan penjelasan tentang prosedur mediasi dan
biayanya.5. Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum, maka setiap keputusan
yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.6. Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum,
kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk kepentingan publik terbuka untuk umum.
54 Pasal 2 ayat (3) Perma Mediasi.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
melakukan mediasi,55 artinya mediasi dilakukan oleh
para pihak, karena sesuai dengan falsafah mediasi
bahwa keputusan mediasi diambil secara sukarela
(volunteer) dan berdasarkan kata sepakat kedua
belah pihak, sehingga mediasi tidak akan berhasil
dan berjalan baik apabila tidak didasari oleh kemauan
dan itikad baik bersama diantara para pihak untuk
berdamai.56
Mediasi pribadi atau di luar pengadilan diatur dan
dilakukan oleh para pihak sendiri dibantu oleh
mediator atau mengikuti pendapat ahli tanpa adanya
proses perkara di pengadilan, dengan tujuan
menyelesaikan sengketa para pihak untuk mencapai
kesepakatan secara damai dan saling menguntungkan.
Dalam proses mediasi, semua pihak bertemu langsung
dengan mediator, untuk saling tukar informasi dan
dokumen terkait dengan sengketa. Mediator tidak
dalam posisi memaksa, namun lebih pada
mengoptimalkan para pihak untuk menentukan
keinginan sesuai dengan kebutuhannya. Mediator
memfasilitasi diskusi, mengklarifikasi keinginan para
pihak, memandu, meluruskan perbedaan pandangan,
dan membantu para pihak untuk menyelesaikan
sengketa sesuai dengan kebutuhannya. Artinya, para
pihak sendirilah yang menyelesaikan masalah yang
disengketakan sesuai dengan keinginannya untuk
mencapai win-win solution. Apabila sudah tercapai
kesepakatan, maka para pihak membuat suatu
kesepakatan tertulis yang memuat kesepakatan yang
telah dicapai dan ditandatangani oleh para pihak
dan mediator. Kesepakatan tertulis ini mempunyai
kekuatan sama dengan perjanjian sehingga disebut
dengan perjanjian perdamaian yang bersifat final
and binding. Namun, muncul pertanyaan, bagaimana
apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan
Perjanjian Perdamaian secara sukarela? Apakah
pelaksanaan Perjanjian Perdamaian dapat dipaksakan?
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakannya,
maka harus menempuh jalur pengadilan dengan
mengajukan gugatan ke pengadilan. Masalah yang
diajukan gugatan bukanlah masalah semula tetapi
masalah wanprestasi karena salah satu pihak tidak
melaksanakan isi dalam Perjanjian Perdamaian. Suatu
Perjanjian Perdamaian bersifat final and binding yang
mengikat para pihak, namun Perjanjian Perdamaian
tidak memiliki daya eksekusi sebagaimana halnya
dengan Putusan Pengadilan dengan irah-irah Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
yang merupakan salah satu persyaratan daya eksekusi.
Produk hukum dari suatu proses mediasi adalah
kesepakatan para pihak dalam bentuk perjanjian
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (6), (7)
dan ayat (8) Undang-Undang No.30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(UU AAPS) bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang telah tercapai dibuat dalam
bentuk tertulis adalah final dan mengikat (final and
binding), para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad
baik (te goede trouw) serta wajib didaftarkan57 di
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak penandatanganan oleh semua pihak
yang terkait, sehingga Perjanjian Perdamaian memiliki
kekuatan eksekutorial yang dapat dipaksakan
pelaksanaannya dan dapat memberikan suatu
kepastian hukum terhadap para pihak yang
menyepakatinya. Artinya, walaupun Perjanjian
Perdamaian telah memiliki kekuatan mengikat (final
and binding), namun untuk mendapatkan kekuatan
eksekutorial perjanjian damai tersebut wajib
didaftarkan di Pengadilan Negeri. Pendaftaran
dilakukan untuk memperoleh Akta Perdamaian
dengan cara mengajukan gugatan terhadap pihak
lawan dalam Perjanjian Perdamaian. Apabila Perjanjian
Perdamaian tidak didaftarkan, maka Perjanjian
Perdamaian tidak memiliki kekuatan eksekutorial
sebagaimana halnya putusan pengadilan dan menjadi
seperti suatu perjanjian biasa yang mengikat para
pihak berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata (asas pacta
sunt servanda). Pelaksanaan Perjanjian Perdamaian
55 Pasal 7 ayat (3) Perma Mediasi.
56 Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif ... Op.Cit., hlm.127.
10
57 Pasal 23 Perma Mediasi.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
wajib dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
pendaftaran di Pengadilan Negeri.
Proses mediasi di pengadilan, dalam hal tercapai
kesepakatan, maka sesuai dengan Pasal 17 ayat (5)
Perma Mediasi para pihak dapat mengajukan
Perjanjian Perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan
dalam bentuk Akta Perdamaian dan akan ditempelkan
dalam Putusan Pengadilan (Akte van Dading)
sebagaimana diatur dalam pasal 130 HIR. Keputusan
dari Akte van Dading tidak dapat dilakukan upaya
hukum.58 Kekuatan hukum yang melekat pada Akta
Perdamaian (Akte van Dading) adalah sebagai
berikut:59
1. Disamakan dengan putusan yang berkekuatan
hukum tetap.
Sesuai dengan Pasal 1858 KUHPerdata, maka
perdamaian diantara para pihak sama kekuatannya
seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (2) HIR bahwa
Putusan Akta Perdamaian memiliki kekuatan sama
seperti putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
2. Mempunyai kekuatan eksekutorial.
Sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR bahwa
Putusan Akta Perdamaian berkekuatan sebagai
putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dan juga berkekuatan eksekutorial
(execotorial kracht) sebagaimana halnya putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Salah satu persyaratan daya eksekusi adalah harus
memiliki irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Putusan Akta
Perdamaian tercantum amar kondemnatoir,
sehingga apabila putusan tidak ditaati dan
dipenuhi secara sukarela, dapat dipaksakan
pemenuhannya melalui eksekusi oleh pengadilan.
3. Putusan perdamaian tidak dapat dibanding.
Sesuai dengan Pasal 130 ayat (3) HIR, maka
Putusan Akta Perdamaian tidak dapat dibanding,
dengan kata lain terhadap putusan tersebut
tertutup upaya hukum (baik banding maupun
kasasi). Larangan ini sejalan dengan ketentuan
yang mempersamakan kekuatan Putusan Akta
Perdamaian sebagai putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada
lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Artinya,
secara teknis dan yuridis pada Putusan Akta
Perdamaian dengan sendirinya melekat kekuatan
eksekutorial sebagaimana layaknya putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Selanjutnya, dalam hal para pihak tidak mengajukan
Perjanjian Perdamaian kepada hakim untuk memperoleh
Akta Kesepakatan, maka Perjanjian Perdamaiannya
harus memuat klausul pencabutan gugatan atau
pernyataan perkara telah selesai.60 Sementara itu,
dalam hal tidak tercapai kesepakatan pada proses
mediasi, maka para pihak berdasarkan kesepakatan
secara tertulis dapat mengajukan penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase, sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 ayat (9) UU AAPS. Sementara
mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa
proses mediasi telah gagal dan memberitahukannya
kepada hakim, dan hakim akan melanjutkan untuk
memeriksa pokok perkara sebagaimana diatur dalam
Pasal 18 Perma Mediasi.
11
58 Putusan bersifat final and binding, artinya putusan bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Istilah final berarti putusan tidak membutuhkan upaya hukum lanjutan, artinya sengketa yang diperiksa diakhiri atau diputuskan. Pengertian binding adalah memberikan beban kewajiban hukum dan menuntut kepatuhan dari subyek hukum. Dalam Hukum Acara Perdata dikenal Teori res adjudicata pro veritare habetur, artinya apabila suatu putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Dengan demikian putusan mengikat para pihak dan wajib ditaati oleh para pihak. Lihat Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi ... Op.Cit., hlm.49.
59 Moch. Faisal Salam, SH, MH, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.192-193. 60 Pasal 17 ayat (6) Perma Mediasi.
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
VII.PENUTUP
Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebagai penutup
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Mediasi merupakan salah satu satu cara APS
dalam penyelesaian sengketa perdata di luar
pengadilan (out of court system).
2. Terdapat perbedaan dalam penyelesaian sengketa
mediasi, yaitu Perma Mediasi mengatur prosedur
mediasi di pengadilan, sehingga mediasi
dimasukkan dalam suatu rangkaian proses
pemeriksaan di pengadilan, sementara UU AAPS
mengatur upaya mediasi di luar pengadilan.
3. Produk dari mediasi berupa Perjanjian Perdamaian
yang memiliki kekuatan mengikat (final and
binding).
4. Perjanjian Perdamaian dapat dikuatkan menjadi
Akta Perdamaian yang diperoleh melalui suatu
gugatan di Pengadilan Negeri.
5. Akta Perdamaian ditempelkan dalam Putusan
Pengadilan (Akte van Dading) sehingga memiliki
kekuatan eksekutorial dan tidak dapat dilakukan
upaya hukum.
12
-
13
Prof. DR. H. Priyatna Abdurrasyid, SH, PhD, terkutip pada Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian
Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009
Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-IX, Mandar Maju, Bandung, 2011
Prof. R. Subekti, SH, Aneka Perjanjian, cetakan kesepuluh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.
Prof. Ahmad Miru, SH, MS, dan Sakka Pati, SH, MH, Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456
BW, Cetakan ke-3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan IV, Intermasa, Jakarta, 1979
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Cet.1, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Cet.6, Putra Abadin, Jakarta, 1999
Prof. I. Made Widnyana, SH, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Fikahati Aneska, Jakarta, 2009
Salim H.S. Hukum Kontrak, Cet. Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Dr. Susanti Adi Nugroho, SH, MH, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu Indonesia, Jakarta,
2009
Dr. Frans Hendra Winarta, SH, MH, Hukum Penyelesaian Sengketa, Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Moch. Faisal Salam, SH, MH, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional, Mandar Maju, Bandung,
2007
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.186K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959
Blacks Law Dictionary, Sixth Edition, Henry Campbell Black, M.A, St. Paul Minn, West Publishing Co, USA, 1997
Candra Irwana, SH, M.Hum, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative
Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung
KUH Perdata
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
United Nation Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters
DAFTAR PUSTAKA
-
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
Pengantar
Dalam beberapa tahun terakhir para pejabat Negara
gundah dan khawatir mengingat kebijakan yang dibuat
kerap berujung pada masalah pidana, khususnya tindak
pidana korupsi.
Istilah yang kerap digunakan adalah kriminaliasi kebijakan.
Menjadi pertanyaan apakah kebijakan dapat
dikriminalisasi.
Tulisan ini akan membahas mungkin tidaknya kebijakan
dikriminalkan. Di samping itu tulisan ini juga akan
membahas keuangan negara yang dikaitkan dengan
tindak pidana korupsi.
Kebijakan
Kebijakan (policy) berbeda dengan kebijaksanaan, meski
keduanya terkait dengan pengambilan keputusan.
Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan
keputusan, sedangkan kebijaksanaan merupakan
keputusan yang bersumber dari diskresi (discretion) yang
dimiliki oleh pejabat yang berwenang.
Dalam konteks kenegaraan, kebijakan dapat bersifat
umum ataupun khusus. Kebijakan yang bersifat umum,
antara lain, kebijakan luar negeri (foreign policy), kebijakan
pertahanan (defence policy), kebijakan fiskal (fiscal policy),
kebijakan pemberantasan korupsi.
Kebijakan yang bersifat khusus, antara lain, adalah
kebijakan rekonstruksi pasca Tsunami, kebijakan
penyaluran subsidi kepada orang yang berhak, kebijakan
ujian nasional.
Sementara kebijaksanaan secara sederhana dapat
dicontohkan sebagai polisi yang mengarahkan lalu lintas
untuk berjalan melawan arus yang seharusnya. Tujuannya
adalah untuk mengurangi kemacetan. Apa yang dilakukan
oleh polisi tersebut tentu melanggar hukum. Namun atas
dasar diskresi yang dimiliki, polisi sebagai pejabat yang
berwenang diperbolehkan untuk membuat kebijaksanaan
yang melanggar aturan demi kemaslahatan yang besar.
Bila dicermati dalam bailout Bank Century oleh Komite
Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK), keputusan yang
diambil lebih tepat bila dikatagorikan sebagai suatu
kebijakan daripada kebijaksanaan. Sebagaimana
disampaikan oleh Presiden, keputusan bailout merupakan
15
KRIMINALISASI KEBIJAKAN DAN KEUANGAN NEGARA
Oleh : Hikmahanto Juwana*
Abstrak
Kebijakan yang dibuat pejabat negara kerap berujung pada masalah pidana,
khususnya tindak pidana korupsi Kebijakan merupakan basis untuk pengambilan keputusan.
Sedangkan kebijaksanaan merupakan keputusan yang bersumber dari
diskresi (discretion) yang dimiliki oleh pejabat yang berwenang.
Key words ; kebijakan, sanksi pidana, keuangan negara.
1 *Guru Besar Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum UI. Meraih SH dari UI (1987), LL.M dari Keio University, Jepang (1992) dan Ph.D dari University of Nottingham, Inggris (1997).
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
kebijakan untuk menyelamatkan dunia perbankan dan
perekonomian nasional dari krisis.
Kebijakan yang menjadi basis dari sejumlah keputusan
di sektor publik diambil karena kewenangan yang dimiliki
oleh seseorang yang memegang jabatan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Presiden, Menteri,
Gubernur, Bupati, Camat hingga Ketua Rukun Tetangga
(RT) dalam hal dan situasi tertentu berwenang dan
diharuskan mengambil kebijakan yang disertai dengan
keputusan.
Pasca pengambilan kebijakan serta keputusan maka
evaluasi pun dapat dilakukan. Evaluasi dapat dilakukan
oleh atasan langsung, DPR terhadap Pemerintah seperti
dalam bailout Bank Century, bahkan oleh pers dan publik.
Bila evaluasi atas kebijakan serta keputusan dilakukan,
agar fair tentunya harus berdasar situasi dan kondisi
ketika kebijakan serta keputusan tersebut diambil. Bila
kebijakan serta keputusan masa lalu dievaluasi dengan
kacamata hari ini maka bisa jadi apa yang telah diambil
akan salah semua.
Di sini pentingnya Panitia Angket Bank Century
memperoleh data, fakta dan informasi dari berbagai
pihak yang terlibat untuk dapat merekonstruksi situasi
dan kondisi ketika kebijakan serta keputusan diambil.
Hasil evaluasi atas kebijakan dan keputusan secara garis
besar dapat dibagi dalam dua katagori. Benar atau Salah.
Menjadi pertanyaan apakah hasil evaluasi yang
menyatakan suatu kebijakan berikut keputusan salah
dapat mengakibatkan pengambil kebijakan terkena sanksi
pidana? Jawaban atas hal ini membawa kontroversi.
Sanksi Pidana?
Dalam ilmu hukum, bila berbicara tentang kebijakan,
keputusan berikut para pelakunya maka akan masuk
dalam ranah hukum administrasi negara. Hukum
administrasi negara tentu harus dibedakan dengan
hukum pidana yang mengatur sanksi pidana atas
perbuatan jahat.
Bila kebijakan serta keputusan dianggap salah dan
pelakunya dapat dipidana maka ini berarti kesalahan
dari pengambil kebijakan serta keputusan merupakan
suatu perbuatan jahat (tindak pidana). Ini tentu tidak
benar.
Pada prinsipnya kesalahan dalam pengambilan kebijakan
atau keputusan tidak dapat dipidana. Dalam hukum
administrasi negara tidak dikenal sanksi pidana. Sanksi
yang dikenal dalam hukum administrasi negara, antara
lain, teguran baik lisan maupun tertulis, penurunan
pangkat, demosi dan pembebasan dari jabatan, bahkan
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatan. Namun
demikian terhadap prinsip umum bahwa kebijakan serta
keputusan yang salah tidak dapat dikenakan sanksi
pidana, terdapat pengecualian. Ada paling tidak tiga
pengecualian.
Pertama adalah kebijakan serta keputusan dari pejabat
yang bermotifkan melakukan kejahatan internasional
atau dalam konteks Indonesia diistilahkan sebagai
pelanggaran Hak Asasi Manusia berat. Dalam doktrin
hukum internasional yang telah diadopsi dalam peraturan
perundang-undangan di sejumlah negara, kebijakan
pemerintah yang bertujuan melakukan kejahatan
internasional telah dikriminalkan. Adapun kejahatan
internasional yang dimaksud ada empat katagori yaitu
kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan
perang dan perang agresi.
Kedua, meski suatu anomali, kesalahan dalam pengambil
kebijakan serta keputusan yang secara tegas ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh
di Indonesia adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal
165 Undang-undang Pertambangan Mineral dan
Batubara. Ketentuan tersebut memungkinkan pejabat
yang mengeluarkan izin dibidang pertambangan
dikenakan sanksi pidana.
Ketiga, adalah kebijakan serta keputusan yang bersifat
koruptif atau pengambil kebijakan dalam mengambil
kebijakan serta keputusan bermotifkan kejahatan. Disini
yang dianggap sebagai perbuatan jahat bukanlah
kebijakannya, melainkan niat jahat (evil intent/mens rea)
16
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
dari pengambil kebijakan serta keputusan ketika
membuat kebijakan. Contohnya adalah pejabat yang
membuat kebijakan serta keputusan untuk menyuap
pejabat publik lainnya. Atau kebijakan yang diambil oleh
pejabat karena ada motif untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain.
Keuangan Negara dan Tipikor
Di Indonesia, salah satu bentuk korupsi berkaitan erat
dengan pengelolaan keuangan negara. Tidak heran bila
para pejabat negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
maupun entitas yang menggunakan uang yang berasal
dari keuangan negara terjerat oleh Undang-undang
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Namun perlu dipahami tindakan koruptif dalam
pengelolaan keuangan yang bertujuan untuk memperkaya
diri sendiri atau pihak lain bisa juga terjadi pada entitas
swasta atau non-publik.
Tidak heran bila perbuatan korupsi dalam United Nations
Convention Against Corruption yang telah diratifikasi
oleh Indonesia mencakup pengelolaan keuangan di sektor
swasta. Pasal 21 dan 22 mengatur tentang penyuapan
dan penggelapan di sektor swasta sebagai korupsi.
Hanya saja berdasarkan UU Tipikor perbuatan jahat yang
terkait dengan pengelolaan keuangan masih terbatas
pada keuangan negara. Ini terlihat dari Pasal 2 ayat (1)
dan 3 UU Tipikor yang menggunkan kata keuangan
negara. Sementara untuk pengelolaan keuangan yang
bukan keuangan negara berlaku tindak pidana umum,
antara lain, penggelapan.
Dua Pendapat
Dalam perdebatan tentang keuangan negara, inti
perdebatan terletak pada apakah uang yang dikelola
oleh BUMN ataupun entitas yang didirikan oleh negara,
seperti LPS, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)
atau Badan Hukum Milik Negara, dianggap sebagai
keuangan negara atau bukan? Ada dua pendapat terkait
dengan hal ini.
Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan
bahwa keuangan BUMN atau entitas yang didirikan oleh
negara bukan merupakan keuangan negara.
Pendapat ini didasarkan pada doktrin bahwa entitas
yang didirikan oleh negara dan berstatus badan hukum
bukanlah bagian dari negara. Entitas tersebut memiliki
kepribadian hukumnya sendiri. Oleh karenanya perlu
dilakukan pembedaan antara uang publik (negara)
dengan uang privat (entitas yang didirikan oleh negara).
Memang bila menilik peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar bagi negara dalam mendirikan suatu
entitas terdapat kalimat kekayaan negara yang dipisahkan.
Pasal 4 ayat 1 UU BUMN, misalnya, menyebutkan Modal
BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan.
Dari segi akutansi, tentu negara yang telah melakukan
penyetoran modal pada entitas yang didirikan akan
mencatatnya sebagai saham yang dimiliki atau setoran
modal yang telah dilakukan. Sementara uang yang telah
disetor oleh negara akan dicatat sebagai kekayaan dari
entitas yang didirikan.
Dalam konteks ini suatu kejanggalan bila memperhatikan
penjelasan pasal 8 UU 49 Prp Tahun 1960. Disitu disebutkan
bahwa piutang BUMN merupakan piutang negara.
Janggal karena piutang BUMN adalah aset BUMN dan
bukan aset/kekayaan negara. Bila piutang BUMN adalah
piutang negara berarti piutang tersebut akan dicatat
dalam pembukuan Negara dan pembukuan BUMN.
Menjadi lain jika penjelasan pasal 8 diinterpretasi sebagai
penyelesaian piutang BUMN bisa di-urus atau
diselesaikan oleh Panitia Piutang Negara (sesuai judul
dari UU), disamping oleh BUMN itu sendiri.
Selanjutnya, pendapat kedua adalah pendapat yang
mengatakan keuangan BUMN atau entitas yang didirikan
oleh negara merupakan keuangan negara. Pendapat ini
didasarkan pada hukum positif dan sejumlah putusan
pengadilan.
17
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Berdasarkan penjelasan umum UU Tipikor disebutkan
bahwa keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara
dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak
dipisahkan. Pada huruf (b) diperjelas dengan kalimat
berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga
berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Selanjutnya dalam Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara,
menyebutkan keuangan negara sebagai, kekayaan
negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/ perusahaan daerah.
Demikian pula menurut Pasal Pasal 1 angka (1) UU
Perbendaharaan Negara yang menyebutkan
Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk
investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan
dalam APBN dan APBD.
Sejumlah putusan pengadilan-pun yang menghukum
para pejabat BUMN telah menafsirkan keuangan BUMN
sebagai keuangan negara.
Unsur
Terlepas dari perdebatan apakah uang BUMN atau entitas
yang didirikan oleh negara merupakan keuangan negara
atau bukan, satu hal yang pasti dalam menjadikan
seseorang sebagai tersangka, terdakwa maupun
terhukum yaitu harus dibuktikan adanya unsur niat dan
perbuatan jahat untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi.
Pembuktian unsur ini sangat penting mengingat tindakan
koruptif bisa terjadi dimana saja baik institusi publik
ataupun swasta. Oleh karenanya perdebatan tentang
keuangan negara ataupun swasta tidak terlalu relevan.
Dengan demikian niat dan perbuatan jahat untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
yang akan menjadi faktor penentu apakah kerugian
negara merupakan akibat dari korupsi, atau semata-
mata karena keputusan bisnis yang tidak selalu
mendatangkan keuntungan, bahkan suatu kebijakan
pengelolaan keuangan yang pasca dievaluasi dinilai salah.
Perlu dipahami perbuatan korupsi merupakan kejahatan
yang didasarkan pada adanya kesengajaan. Ini dapat
dilihat dalam UU Tipikor dimana terdapat kata dengan
sengaja.
Dalam konteks pembuktian maka kesengajaan harus
memenuhi dua syarat yaitu adanya niat jahat (mens rea)
dan adanya implementasi niat tersebut dalam bentuk
perbuatan jahat (actus reus).
Konsekuensinya perbuatan koruptif atas pengelolaan
keuangan tidak mungkin didasarkan pada kelalaian atau
ketidak-sengajaan. Kelalaian dalam hukum berarti tidak
adanya unsur niat jahat, namun adanya unsur perbuatan
jahat.
Disinilah aparat penegak hukum harus menelusuri dan
mendapatkan bukti adanya niat dan perbuatan jahat
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi bila seseorang yang melakukan pengelolaan
keuangan dituduh melakukan korupsi.
Unsur niat dan perbuatan jahat penting untuk dibuktikan
agar tidak ada orang yang dipersalahkan secara pidana
hanya karena dianggap telah merugikan keuangan
negara.
18
-
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara .
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
DAFTAR PUSTAKA
19
-
Halaman ini sengaja dikosongkan
-
Pendahuluan
Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, dinyatakan bahwa Keuangan Negara
adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang atau
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Adapun dalam pengelolaan keuangan negara / daerah
dikenal dan diterapkan dengan menggunakan asas-asas
pengelolaan keuangan negara antara lain terdiri dari:
Asas Tahunan;
Asas Universalitas;
Asas Kesatuan; dan
Asas Spesialitas maupun asas-asas baru sebagai
pencerminan best practices penerapan kaidah-kaidah
yang baik dalam pengelolaan keuangan negara/
daerah, antara lain terdiri dari:
- Akuntabilitas berorientasi pada hasil;
- Profesionalitas;
- Proporsionalitas;
- Keterbukaan;
- Pemeriksaan keuangan oleh pemeriksa yang bebas
dan mandiri.
Asas-asas Umum tersebut diperlukan guna menjamin
terselenggaranya pemerintahan yang baik sebagaimana
terumus dalam Bab VI UUD 1945. Dengan dianutnya
asas-asas umum tersebut dalam Undang-undang Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pelaksanaan
undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi
menejemen keuangan negara sekaligus dimaksudkan
untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Adapun kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan,
yang memegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
21
PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DALAM KAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN YURIDIS ATAS UNDANG-UNDANG NO.17
TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA)Oleh :
Soehirman, SH., MS*
Abstrak
Pada hakekatnya Hukum Keuangan Negara adalah masuk dalam ruang lingkup Hukum Administrasi yamg kemudian
disebut Administrasi Perbendaharaan atau comptabel Administratief recht, dan pengelolaannya menjadi sentral yang
penting dan strategis, karena kedudukannya sebagai urat nadi negara. Dalam pada itu pemerintah menempati posisi
yang sangat penting dan strategis dalam pengambilan kebijakan keuangan negara untuk melaksanakan roda pemerintahan.
Key words : pengelolaan, urat nadi negara, kebijakan keuangan, fungsi anggaran
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat
umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk
membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan
yang dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut
dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola
fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan
lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang
kementerian Negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri
Keuangan sebagai Pembantu Presiden dalam bidang
keuangan pada hakikatnya adalah Chief Financial Officer
(CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sedangkan Menteri/
Pimpinan lembaga pada hakikatnya adalah Chief
Operational Officer (COO) Pemerintah Republik Indonesia
untuk satu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini
perlu dilaksanakan secara konsisten, agar didapat kejelasan
dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab,
terlaksananya mekanisme checks and balances serta
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam
penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Adapun bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi
pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi
makro, penganggaran, administrasi perpajakan,
administrasi kepabean, perbendaharaan, dan pengawasan
keuangan.
Sesuai dengan Asas Desentralisasi dalam penyelenggaraan
pemerintahan negara sebagian kekuasaan Presiden
diserahkan kepada Gubernur/Buapati/Walikota selaku
pengelola keuangan daerah. Untuk mencapai stabilitas
nilai rupiah, tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran yang dilakukan oleh Bank
Sentral.
Dalam pada itu, setiap penyelenggara negara wajib
mengelola keuangan negara/daerah secara tertib, taat
pada perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pada hakekatnya Hukum Keuangan Negara adalah masuk
dalam ruang lingkup Hukum Administrasi yamg kemudian
disebut Administrasi Perbendaharaan atau comptabel
Administratief recht. Pemerintah dalam pengelolaan
keuangan negara mempunyai posisi yang sangat strategis
dalam pengambilan kebijakan keuangan negara guna
kepentingan yang mendesak bagi penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan nasional.
Dalam sisi yang lain, keputusan Presiden adalah mengatur
tata cara pelaksanaan APBN dalam kerangka memberikan
landasan operasional bagi pelaksanaan dan penggunaan
keuangan negara melalui APBN sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya
berbagai kasus korupsi di negara Indonesia ini, baik di
lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif
menggambarkan pengelolaan keuangan negara tidak
berjalan dengan baik walaupun sudah dibekali dengan
berbagai peraturan perundang-undangan dan sanksi
yang berat untuk menjerat pelaku korupsi (koruptor).
Dengan melihat adanya fenomena banyaknya pejabat
negara baik itu Menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati/Walikota,
serta berpuluh anggota DPR/DPRD, Direktur Bank, dan
lain sebagainya yang ditangkap oleh KPK, hal ini
menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan negara
tersebut sangat jelek, tidak transparan dan kurang
bertanggung jawab. Kebanyakan pejabat negara tersebut
kurang memperhatikan aspek-aspek kejujuran,
profesionalisme, transparansi dan bertanggung jawab.
Hal ini kemudian ditambah lagi pola kerja yang seharusnya
bersifat praktis, ekonomis, dinamis, harmonis, bebas,
aktif, transparan, dan bertanggung jawab. Adapun
jabaran pola kerja di atas di atas adalah sebagai berikut:
Aspek Praktis: karena tidak terlalu bertele dengan
teori melulu, langsung membawa manfaat praktis
bagi rakyat.
Aspek ekonomis: karena penganggaran itu dilakukan
sehemat mungkin sesuai dengan kebutuhan (bilamana
dipandang perlu) dan jauh dari pemborosan dan
kebocoran keuangan negara yang dikelolanya.
Aspek dinamis: karena pengelolaan keuangan negara
itu mampu menggerakkan rakyat untuk ikut dalam
berpartisipasi dalam setiap gerak pembangunan
nasional sesuai dengan keadaan dan potensinya
masing-masing.
22
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Aspek harmonis: karena sifat kebersamaan tanpa
pamrih dalam partisipasinya pada pembangunan
nasional.
Aspek bebas: karena setiap kebijakan yang dibuat
pejabat itu tidak kaku, melainkan sangat luwes, dan
mengacu pada kepentingan masyarakat atau rakyat.
Aspek aktif: karena diharapkan pejabat dan rakyat
bersama secara gotong royong ikut partisipasi dalam
setiap gerak pembangunan yang ada.
Aspek transparan: karena setiap sen uang yang berasal
dari rakyat dan semua pengelolaan sumber daya alam
yang ada di negara kita baik berupa pajak, non pajak,
BUMN/BUMD dan lain-lain sumber dana perusahaan
negara/daerah, harus ditransparansikan ke rakyat
agar rakyat tahu untuk apa uang/dana itu digunakan.
Aspek bertanggung jawab: karena semua kegiatan
pengelolaan keuangan negara itu harus bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum kepada
masyarakat.
Untuk itu semua dibutuhkan jiwa kepemimpinan yang
berkesadaran, yaitu selalu mentaati dan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
pengelolaan keuangan negara.
Adapun permasalahan dalam tulisan ini adalah: apakah
pengelolaan keuangan negara itu telah dilaksanakan
dengan baik, efektif, efisien sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Vide Undang-
Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara).
Dalam hal ini permasalahan pengelolaan keuangan negara
itu menyangkut :
Pola atau bentuk penyimpangan apa saja yang
merupakan perilaku korupstif dalam pengelolaan
keuangan negara.
Apa sanksi-sanksi yang diterapkan kepada para pelaku
korupsi sudah sesuai dengan rasa keadilan yang ada
dalam masyarakat dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (vide UU No. 31 Tahun 1999
tentang Tindak Pidana Korupsi jo UU No. 20 Tahun
2011 tentang Pidana Korupsi).
Dalam penyelenggaraan keuangan negara itu dikenal
adanya fungsi anggaran yang terurai sebagai berikut :
1. Fungsi Otorisasi, yaitu dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan, yaitu pedoman bagi
menejemen dalam perencanaan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan, yaitu pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
negara sudah sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan.
Bidang Pengelolaan Keuangan Negara yang luas ini
kemudian dikelompokkan menjadi sub bidang
pengelolaan fiskal, sub bidang pengeloaan moneter,
dan sub bidang pengeloaan negara yang dipisahkan.
Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi
dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah
penyampaian laporan pertanggungjawaban keuangan
pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu
dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi
pemerintah yang telah diterima secara umum.
Adapun Laporan keuangan tersebut terdiri atas :
Laporan realisasi anggaran;
Neraca;
Laporan arus kas;
Catatan atas laporan keuangan yang tersusun secara
standar akuntansi pemerintahan.
Ketentuan Pidana, Sanksi Administrasi dan Ganti
Rugi
Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota
yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan
yang telah ditetapkan dalam Undang-undang APBN/
Peraturan daerah tentang APBD diancam dengan Pidana
Penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-
undang.
23
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/
Satuan Kerja Perangkat yang terbukti melakukan
penyimpangan kegiatan anggaran yang telah
ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Perda
tentang APBD diancam dengan Pidana Penjara dan
Denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dalam pada itu Presiden dapat memberikan sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan undang-undang
kepada Pegawai Negeri serta pihak-pihak lain yang tidak
memenuhi kewajibannya sesuai dengan undang-undang
yang berlaku.
Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi
Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa setiap
orang yang secara melawan hukum melakukan perbuiatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dipidana dengan Pidana seumur
hidup atau Pidana Penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah).
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang tersebut dilakukan
dalam keadaan tertentu, maka pidana mati dapat
dijatuhkan.
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (menyalah-
gunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah), hal ini tertuang dalam Pasal 3 Undang-undang
di atas.
Pengembalian kerugian negara atau perekonomian
negara tidak menghapuskan dipidananya Pelaku Tindak
Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3 undang-undang tersebut di atas.
Dalam undang-undang itu juga dinyatakan demi
kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta
benda milik isteri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diketahui dan/atau
yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pegawai Negeri atau penyelenggara negara baik langsung
maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, persewaan yang saat
dilakukan perbuatan untuk seluruh/sebagian ditugaskan
untuk mengurus/mengawasinya dipidana minimal 4
(empat) tahun maksimal 20 (dua puluh tahun) dengan
denda minimal Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
maksimal Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (suatu
contoh Kasus eskalator Pasar Turi) > Pasal 12 huruf
(i) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Negara
Dalam Pasal 24 Undang-undang Nomor 15 tahun 2004
tersebut dinyatakan bahwa Setiap orang dipidana paling
lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), bila :
Ayat (1): Tidak menjalankan kewajiban, menyerahkan
dokumen, memberikan keterangan demi
kepentingan kelancaran pemeriksaan
sebagaimana dimaksud Pasal 10 undang-
undang ini.
Ayat (2): Mencegah, menghalangi, menggagalkan
pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud Pasal 10 undang-undang ini.
24
-
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 10, Nomor 2, Mei - Agustus 2012
Ayat (3) : Menolak pemanggilan yang dilakukan oleh
BPK sebagaimana dimaksud Pasal 11 undang-
undang ini tanpa alasan penolakan secara
tertulis.
Ayat (4) : Memalsukan atau membuat dokumen palsu,
dokumen yang diserahkan sebagaimana
dimaksud ayat (1) dipidana paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau denda
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
TAP MPR NO. VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan
Berbangsa
Penyadaran tentang arti penting tegaknya eti
top related