bias nuansa jingga
Post on 04-Jul-2015
379 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BIAS NUANSA JINGGA
-biaz-
1
“Fainna ma’al ‘usri yusraan-Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
-Sepenggal surat cinta dari ALLAHku, Al-Insyirah : 5-
“Jika kamu bisa memimpikan sesuatu, maka kamu pasti bisa mencapai sesuatu itu!”
-Ayahku tercinta, Joko Istanto Indriawan-
“Bahagiakanlah orangtua dengan kepuasan menjadi yang terbaik!”
-Ibundaku, Elly Rasyanti-
“Buatlah kami bangga memiliki kakak sepertimu!”
-Adik-adikku, Isfan Azhabil & Isfi Afiannisa-
“Jangan pernah membiaskan cinta, jika tak tahu makna nuansa, karena itu akan membunuh bayangan jingga yang
kau agungkan!”
-Biaz-
2
Ku persembahkan untuk…
ALLAH, RASULULLAH, dan JIHAD
Ibu Elly Rasyanti dan Bapak Istanto, yang sangat berharga dihatiku,
Isfan Azhabil dan Isfi Afiannisa, yang menjadi harapan masa depan…
Dan untuk para pencari cintaNYA
3
DAFTAR ISI
1. PROLOG……………………………………………………………………………………………………..5
2. KETIKA SEMUA HARUS BERLALU …………………………………………………………………..9
3. HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN ………………………………………………………………...25
4. GREEN BOX………………………………………………………………………………………………..36
5. PERGILAH UNTUK KEMBALI ………………………………………………………………………..43
6. CINCIN DARI VEMAS …………………………………………………………………………………..56
7. FAITHFUL OF LOVE…………………………………………………………………………………….62
8. ARYAZA……………………………………………………………………………………………………..71
9. PUSARA CINTA…………………………………………………………………………………………..83
10. AKU PERGI DENGAN SYAHADAH………………………………………………………………….99
11. DIA KEMBALI UNTUK PERGI……………………………………………………………………….115
12. SECERCAH CAHAYA MERCUSUAR ……………………………………………………………….131
13. BIAS NUANSA JINGGA………………………………………………………………………………..147
14. TAK HANYA SEKEDAR IMPIAN……………………………………………………………………..160
Kekurangan FILE :
- Pengantar
- Testimonial yang udah baca(Lagi dikumpulin)
- Profil Penulis (Minta tolong Pak Editor bikinin ya? Hehehe, pengantar kalo mau nulisin juga ga’ pa-pa)
4
NUANSA DALAM BIAS JINGGA
(Prolog)
“Aku tak yakin dengan apa yang telah aku raih saat ini, apakah itu kemudahan atau sebaliknya, yang
jelas saat ini hanya satu yang terpikir olehku ‘Akankah bias cinta itu menciptakan bayangan yang bernuansa
jingga yang pernah ayah ceritakan dulu padaku?’ Entahlah, hanya waktu dan jinggalah yang akan
menjawabnya!”
Seakan jerat itu melulukan setiap keangkuhan yang bersarang dalam diriku sejak lama. Semua telah
terkalahkan olehnya, oleh jerat cinta yang membuatku bingung dengan perjalanan hidup ini. Aku seperti sebuah
tokoh yang dipermainkan, yang diatur sedemikian rumit oleh empu-nya cerita. Tapi, aku bukanlah sebuah tokoh,
aku nyata, aku ada, dan aku merasakan setiap detik yang telah tertuliskan.
Cinta, aku ingin enyah dari kata itu, kata yang membuatku semakin jauh semakin lelah. Aku teringat
dengan cerita ayah saat diatas bukit Langkisau bukit yang sangat ternama di daerah Pesisir Selatan, Sumatera
Barat.
“Ayah, mengapa warna langit seperti ini? Tadi, aku belajar macam-macam warna, tapi aku bingung, ini
warna apa ya?” aku kecil berceloteh sambil menghadapkan tubuhku dihadapan langit.
“Jingga! Warna ini jingga namanya, nak!”
“Jingga? Apa itu?”
“Jingga adalah cinta!”
“Nak, jika kau besar nanti, kau akan merasakannya, cinta adalah fitrah, dan cinta adalah jingga. Karena cinta
adalah langit yang bernuansa jingga, luas dan indah. Andaikan rasa itu telah tiba tepat pada waktunya,
keluarlah di sore hari dan hadapkan tubuhmu pada langit, maka seketika jingga akan merasuk dalam aura suci
pada setiap cinta yang kau rasa.”
Airmataku tak tertahan ketika benakku memaksa untuk mengingat memori itu, hal yang tak pernah aku
lupa. Hal yang aku dengar dari laki-laki luarbiasa yang aku punya. Ayah yang selalu mengajariku untuk
menggapai langit, mencerca lembah, dan menampar lautan. Dan kini, semua terpulas dalam rangkaian beberapa
kata yang membuatku tetap yakin bahwa semua ini ada ujungnya “Bias nuansa jingga” kata yang ayah berikan
untukku saat aku berulangtahun yang ke-tujuh. Kalimat kecil yang terselip dibalik sebuah foto langit berwarna
jingga, yang membuatku yakin bahwa nuansa jingga itu akan datang untukku.
***
Aku lelah menghadapi klimaks dalam hidupku, semuanya terasa menuntutku untuk jadi yang sempurna.
Perlahan aku mampu membunuh ke-idealisanku selama ini. Aku percaya takakan ada hidup yang ideal seperti apa
5
yang aku pikirkan dan orang lain dambakan. Kehidupan yang terbaik itu akan termiliki jika kita telah berhasil
mencampakan jauh angan-angan yang terkunci dibalik kata “Ideal”.
Menjadi orang hebat itu memang baik, tapi lebih hebat menjadi orang baik. Hidup itu memang bukan
untuk ditebak. Hidup adalah sebuah alur, kadang maju kadang mundur. Dia akan mengalir sesuai skenario
dariNya. Apa yang baik bagi kita, belum tentu yang terbaik dariNya. Hidup adalah sebuah rahasia yang takkan
pernah tersingkap. Seperti kehidupanku.
Semua yang telah aku jalani, sedikitpun tak pernah aku rencanakan. Kadang aku bertanya, untuk apa ada
sebuah pengharapan? Jika harap itu nantinya takkan sesuai dengan yang diinginkan. Hanya akan menyakitkan
bukan?
Sepertinya aku telah berada di sebuah ujung yang membingungkan. Aku tersesat di lembah
ketidakpahaman. Akhir memang tidak selalu indah, tapi akhir adalah jawaban atas harapan diawal. Terwujud atau
tidak?
Hari ini aku akan terbang bersama kebingungan itu. Aku hadapkan wajahku pada sebuah cermin. Jilbab
bukan khimar. Hari ini aku menggunakan jilbab yang melilit indah ditubuhku yang mulai rapuh. Dengan sedikit
hiasan yang membuatku tampak lebih muda. Setidaknya, lebih pantas disebut sebagai calon mempelai wanita.
Kamar ini masih sepi, embun masih jelas membasahi jendela-jendela yang menghadap ke taman. Sesekali
aku mendengar desahan kedinginan orang yang lalu lalang di depan kamar.
Kaliurang, akhir sebuah penantian...
“Bagaimana Om? Siap?”
“InsyaAllah, wah aku gugup sekali!”
“Woalah, aku belum pengalaman, jadi ndak bisa kasih saran! Hehehe!”
“Ah, kamu ini!”
“Biruza!” laki-laki tampan itu menoleh ke belakang.
“Tante?”
“Wah, kamu udah besar yah!” wanita setengah baya itu memeluk erat.
“Mana saudara yang lainnya?”
“Ada di luar, kita baru sampai kemaren disini.”
“Lho, kok aku ndak tahu?”
“Kamu terlalu sibuk, jadi kita ndak mau ganggu. Oh ya, Om Galih punya proyek buat kamu!”
“Oh ya? Sekarang beliau dimana?”
“Lagi di ruang tamu, ngobrol ama Om Jauzi, biasalah reunian!”
“Aku kesana ya! Oh ya, Om aku tinggal ndak apa kan?” pria itu mengangguk sambil memegangi
lengannya. Wajahnya tampak gugup sekali.
“Mell!” Wanita tadi memperkenalkan dirinya.
“Nuri! Ini dia ternyata wanita super yang selalu dibanggakan Velia?”
6
“Ah, kamu bisa saja, Nur!”
“Mbak Sara juga disini kan ya?”
“Semuanya kesini kok, nanti akan aku perkenalkan padamu.”
Pembicaraan itu terputus, saat seseorang memanggil keduanya untuk segera ke ruang tamu. Ruangan itu
padat sekali, terlalu banyak manusia di dalamnya. Yah, seperti reunian saja. Ribut! Barulah terasa kegaduhan
ditelingaku. Aku masih duduk di depan cermin. Masih melihat dengan jelas sosok yang tengah menjadi
bayanganku itu. Seakan aku ingin mengulang sebuah perjalanan yang telah aku lalui. Perjalanan yang takkan
pernah aku lupakan. Dimana aku mengenal arti persahabatan yang sesungguhnya. Hanya persahabatan yang
takkan mati dimakan masa. Dia akan tetap ada jika hati juga menginginkannya. Dan juga dari sinilah aku dapat
mengungkap kesetiaan yang selama ini aku cari. Kesetiaan yang membuatku merasakan pahit dan manisnya
sebuah kisah.
“Ummi!”
“Kenapa sayang?”
“Ini udah jam berapa coba? Ummi belum siap-siap ya?”
“Lha, ini udah dipakai kostumnya!”
“Iya, tapi wajahnya? Mau keluar dengan wajah yang lembab seperti itu?” aku baru sadar, wajahku
telah basah dengan air mata.
“Ummi, foto-foto ini cukuplah jadi kenangan di masa lalu, tak untuk ditangisi kan?” gadis manis
itu merengkuh tubuhku hangat, aku tak sanggup menahan tangis ini. Rasanya aku ingin
tenggelam kembali di masa lalu.
Masa lalu yang telah terbiaskan dalam bayangan yang hari ini akan aku pandangi. Akankah nuansa itu
benar-benar terkuak keberadaannya? Keberadaan yang selama ini membuatku selalu bertanya-tanya “Adakah bias
nuansa jingga itu?”
***
7
TAMPARAN SEBUAH MEMORI
Pergi…
Semua telah pergi menjamuri hampaku
Memori senja tak lagi menepis helaian kepingku
Dekapan tawa hangat, kini mengosongkan setiap rongga ingatanku
Semua berubah menjadi debu yang berlalu
Usai…
Semua telah usai
Kisahku telah menutup lembarnya
Arahan rasa yang berkilau itu telah menamparkan nyatanya
Akhir…
Ini adalah sebuah akhir
Penutup dari semua harapan dan rindu
Akan sentuhan penegak nafsu
Cukup…
Aku ingin cukup sampai disini
Sudah letih aku mengingatnya lagi
Kepingan rintih yang tiada pasti
Hancur…
Aku yakin akan terjadi
Akan menyengat sanubari
Merendam sejuta gerigi hari
Lalu…
Semua berlalu…
8
*1*
KETIKA SEMUA HARUS BERLALU
Sore itu begitu dingin. Sweater yang tergantung lunglai di balik pintu kamarku, memerintahkan tanganku
untuk meraihnya dan membalutkannya ke tubuh yang menggigil.
“Vel, jangan ngelamun aja, bentar lagi Maghrib lho! Siap-siap gih!” suara lembut bunda
menenggelamkan lamunanku di tepi jendela. Tubuh yang membesarkanku itu mengayunkan langkahnya. Dia
berusaha mengajakku yang dari tadi muram untuk tersenyum. Tapi sungguh, aku tak sanggup melebarkan senyum
ini. Hanya ada dua pilihan. Tersenyum atau menangis.
“Vel, ada apa nak?” sekali lagi suara itu membuatku menyentakkan mata dan aku merangkul tubuhnya.
Tangisku begitu deras, aliran sungai dalam hatiku meluap. Ingin rasanya aku berteriak untuk memberitahunya
risau dalam hatiku. Tapi, percuma. Ini tidak akan merubah keputusan itu. Dia akan pergi, meninggalkanku
selamanya. Entah kapan dia akan kembali. Kenapa pertemuan itu menjadi yang pertama dan yang terakhir?
Kadang aku berfikir, Tuhan tidak adil padaku. Haruskah gundah ini aku tenggelamkan? Sungguh sulit, saat aku
harus melupakan sesuatu yang indah yang telah menoreh lukisan di hatiku.
Aku melamun lagi. Hingga tak kusadari Bunda telah beranjak perlahan keluar, setelah aku melepaskan
rangkulannya. Bunda, andaikan kau tahu, betapa sedihnya hati anakmu ini. Ku yakinkan kau akan renyuh.
Lima tahun penantian. Aku setia menanti orang yang tidak mengenalku, apalagi memikirkanku. Aku
hijrah, karenanya. Karena dia motivatorku. Kini, saat aku mulai dekat dengannya. Mengapa dia harus pergi?
Ku raih buku diari di atas pembaringan. Ku jatuhkan tubuh ini ke atasnya. Mulailah ku buka lembar demi
lembar.
***
Kamis, 14 oktober 2004 (21:16)
Aduh… diary, aku rasanya senang banget. Tadi itu, dia lumayan memberi respon. Pokoknya aku bahagia
sekali. Besok gimana ya? Udah ah, aku capek nih! Besok kita curhat lagi yaa…
Kamis, 21 oktober 2004 (22:21)
Aku ga’ ngerti, kenapa getaran itu rasanya kuat sekali. Apalagi saat aku menatap matanya. Rasanya aku
ngin melayang ke udara. Saat ia menatapku dengan matanya yang menyimpan 1001 teka-teki yang tak terjawab
olehku. Benarkah aku jatuh cinta padanya? Kenapa harus dia? Dia terlalu sempurna untukku. Apa dia juga
merasakan hal yang sama? Mungkin ga’ sih kalau dia juga mencintaiku? Kata horoskop sih kita cocok banget.
9
Aku akan berjanji akan tetap setia menantinya. Tak terasa, 4 tahun telah ku lalui dengan perasaan
khusus padanya. Berapa tahun lagi aku harus menunggu? Akankah aku mendapatkan respon langsung darinya?
Kututup lembaran itu saat Allah memanggilku untuk segera menghadap padaNya. Kuusap air yang dari
tadi terus membanjir di wajahku. Kadang aku merasa, aku ini seorang jilbaber. Kenapa aku begitu merasa senang
saat harus menceritakan kepada semua orang tentang dia. Cintaku.
***
Hari ini, aku akan kembali ke Sekolah. Tempat dimana masalah sudah menantiku. Tapi, aku merasa
senang. Apalagi saat bertemu sahabatku, Neru. Aku akan bercerita padanya tentang secret admireku. Meskipun
aku merasa inilah musim terakhir aku bercerita tentangnya. Pagi yang mendung. Memaksaku untuk mengenakan
sweater penuh sejuta kenangan itu.
Ayah menyambut murungku dengan senyum. Dua pasang mata di wajah yang enggan berkerut itu,
membuatku tersenyum dengan paksa. Sepotong roti yang layu, terkulai menanti selai. Mata itu masih
memandangku, memaksa untuk aku mengucapkan sesuatu.
“Vel, dari kemarin, Ayah perhatikan kamu kok sedih sekali? Ada apa?”
“Yah, Vel ga’ apa-apa kok. Cuma lagi ga’ mood aja untuk banyak ngomong.”
“Anakku, bukannya kami ingin ikut campur. Tapi, kami resah melihatmu seperti ini. Ayah percaya suatu
saat nanti kamu akan cerita. Habiskan sarapannya, setelah itu Ayah tunggu di depan.” ujar sosok Ayahku yang
menjadi semangat hidupku. Tapi, untuk kali ini dia tak berhasil memberikan ruh senyum dibibirku. Entah kenapa?
Setelah berpamitan dengan Bunda, aku pun melesat bersama kendaraan roda dua Ayah. Aku masih
muram. Duduk dengan manis, terdiam. Tiba-tiba mataku tersentak saat Ayah berhenti. Dan menyapa seseorang.
“Assalamua’laikum… Kahfi?”
“Waa’laikumussalam Pak! Velia? Gimana kakinya, Vel? Udah sehat?”
Aku tak percaya, dia begitu dekat denganku. Aku mengangguk, hanya bisa tertegun. Kenapa dia masih
disini? Bukannya dia akan pergi ke Singapura?
Aku membawa bingung dalam benakku bersama roda yang membawaku meninggalkan tubuhnya.
Sesuatu bergetar di dalam saku rokku. Ada pesan.
Ass. Vel, ashma Vemas kambuh lagi, skrg dy lagi d rmh sakit biasa. Pulang, seklh aku tunggu. Guntur.
***
Langkahku percepat menuju gerbang Sekolah. Ini sudah pukul satu siang. Apakah jam besuk masih ada?
Aku ragu hal itu.
“Vel!” teriak sebuah suara yang tak asing lagi di telingaku. Si Jauzi yang nyebelin.
“Kita rapat, jangan pulang dulu!” dia berjalan mendekatiku yang hanya menoleh kesal padanya.
10
“Afwan, aku ga’ bisa. Assalamua’laikum!” jelasku menutup pembicaraan dan langsung pergi tapi
tertahan tubuh Galih didepanku. Aku bingung harus bagaimana. Aku seorang jilbaber, apa kata orang nanti? Aku
berusaha menerobos tubuhnya. Tapi, dia terus menghalangi. Dan berhenti saat Jauzi berkata “Lepaskan!”
Langkahku terus mengalir, tapi hati ini tertahan saat melihat mata sayu Jauzi. Aku tahu dia lelah. Aku
terlalu egois, karena memikirkan kepentinganku saja.
”Tapi, apa pantas aku meninggalkan sahabatku dalam keadaan sepeti ini? Disaat dia sendiri dan orang
tuanya tak bersamanya. Apa pantas?” pikirku berulang kali.
Gemulai daun menemaniku melangkah. Rumah sakit yang tak begitu jauh dari Sekolahku terlihat
beberapa jengkal lagi.
Dari kejauhan dengan jelas aku melihat lambaian tangan sahabatku Guntur. Ku percepat langkahku
dengan gaya yang lucu. Tas pink yang melekat dipunggungku bergeser kadang ke kiri, kadang kekanan. Aku,
Neru, Vemas, dan Guntur adalah empat sekawan yang terkenal kompak sekali. Padahal kami berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda. Aku anak Rohis, Neru anak Seni, Vemas anak Komputer, dan Guntur anak Paski.
Sungguh berbeda, tapi bagi kami, perbedaanlah yang akan menyatukan hati. Karena semakin beragam, kita tak
kan cepat merasa jenuh. Itulah kata-kata yang kami ucapkan ketika aku memulai cekcok dengan Vemas.
“Assalamua’laikum… lama banget sih?”
“Hhhhh…Waa’laikumussalam, ini juga udah pake kecepatan yang paling tinggi.” dia berjalan dan
memegang tanganku.
“Don’t touch me!!!” ujarku menarik tangan dari genggaman orang yang hanya tersenyum geli dan senang,
sekali lagi aku berteriak dalam hatiku. Aku seorang jilbaber, apa pantas???
***
“Assalamua’laikum, Vem! Udah mendingan?”
“Wa’alaikumussalam, lumayanlah Vel, thanks ya udah mau datang.”
“Neru mana?”
“Dia…,”
Kami gugup, entah kenapa? Saat itu tatapan kami beradu. Hatiku berdegub, aku tak sempat Istighfar.
Ya… Tuhan, mungkinkah ini? Aku terdiam, begitu pun dia. Aku berusaha mencari kegiatan lain, tapi masih saja
kelihatan salah tingkah di depannya. Tiba-tiba Neru datang bersama Guntur, yang tadi meninggalkanku di
persimpangan bangsal. Mereka berkedip, seperti ingin mengatakan sesuatu. Memang diantara kami berempat, aku
paling dekat dengan Vemas. Setiap hari minimal kita sms-an dua kali. Untuk sekedar nanya PR ato keadaan. Aku
tak mengerti, kenapa aku bisa bertindak seperti orang yang tak tahu tentang hijab. Aku merasa tidak jadi masalah
jika harus berteman dengan laki-laki, apalagi sedekat dengan mereka. Padahal, aku cukup dipandang dan disegani
laki-laki di Rohis.
11
”Velia, kamu masih seperti yang dulu, hanya berubah penampilan saja. Kamu masih terus tersenyum
untuk semua lelaki yang didekatmu. Kamu masih tulus menyayangi siapapun yang memberikan perhatian
padamu. Kamu masih yang dulu.”
Itu salah satu pernyataan sahabat laki-lakiku dulu. Dia sepertinya sangat mengerti aku. Walaupun kami
sudah tak dekat, tapi dia terus memantau dan mengikuti perkembangan sikapku. Kadang, aku berfikir. Bagaimana
caranya menjaga hijab itu? Mereka sahabatku, tak kan sanggup aku melepaskan mereka.
Aku duduk tersudut dibalik meja yang berada dalam ruangan ber-AC itu. Aku membolak-balik sebuah
majalah yang tergeletak tanpa peminat diatas kursi.
“Vel, udah sore nih! Ga’ pulang?”
“Gun, trus Vemas ama siapa?”
“Cieeee… tenang deh, dia aman ditanganku, kamu ga’ usah khawatir gitu.” aku menggaruk kepala dan
menyikut bahu Neru yang tertidur pulas disampingku.
“WATCCYYYA!!!” dia bergaya lucu a la Jacky Chan, entah mimpi apa dia? Aku memberi isyarat
padanya untuk segera pulang. Dia beranjak sambil mengucek matanya, meraih tas, dan ngeloyor entah kemana.
Takutnya, nanti dia nyasar ke kamar mayat. Akupun mengambil langkah seribu. Tapi, tertahan ketika Vemas
berkata lembut “Makasih, ya Vel!”
Jilbabku tersibak, aku merasakan sesuatu nyawa dan nafas yang berbeda.
Vemas, andaikan kamu tahu, sedih ku. Rasanya aku ingin sekali menceritakan semua ini padamu.
Gundahku. Vem, kamu yang paling ngerti aku. Meskipun kamu selalu berusaha mengangguku, aku tahu itu
perhatianmu. Dan aku tahu, dalam hatimu tersimpan sesuatu yang tak bisa diduga oleh orang. Cinta. Cintamu
tulus untuk menyayangi orang-orang di dekatmu. Andaikan aku bisa mencintaimu. Dari pada aku mencintai orang
yang entah pernah atau tidak, memikirkanku.
***
Ass. Vel, pa kabar? Gimana masalah pelantikannya? Jadi? Jauzi bilang besok kalian mau survey tempat
ya?
Survey??? Kenapa Kak Hani duluan tahu dari aku, tujuan informasinya. Apa sih maunya Jauzi???
Ponselku berdering, getarnya membahana. Dari layar jelas sekali itu panggilan dari sang ketua Rohis.
Setelah membaca salam, aku langsung saja menanyakan maksudnya. Tanpa basa-basi aku menutup panggilannya.
Ketika sudah jelas apa yang harus aku perbuat. Jauzi, idola semua orang. Terkecuali aku. Dia terlihat begitu
menyebalkan. Rambutnya yang ikal membuatku ingin sekali menjambaknya.
Malam begitu larut, aku mendapat panggilan lagi. Kini dari Vemas.
“Assalamua’laikum…,” salamku pun disambut lengkap olehnya.
“Sibuk? Aku boleh tahu gundahmu, sobat?”
“Vem…,” tanpa basa-basi aku awali cerita ini dengan berbaring santai diatas kasur.
12
Tiga hari yang panjang untukku, saat dimana aku merasakan sesuatu yang luar biasa. Dan tak pernah
terbayang olehku. Meskipun aku seorang ratu khayal.
***
Awal tanggal kelahiranku…
“Vel, ada yang datang tuh, nyari kamu!” aku memandang wajah Zahra yang duduk tepat disampingku.
Dia adalah akhwat, sahabatku.
“Siapa Bun?”
“Nak Kanan dan,”
“Kahfi?”
Bundaku mengangguk saat Zahra menyebutkan nama itu. Aku tersentak. Ada apa ini? Aku beranjak jalan
keluar dengan semangat. Diikuti langkah Zahra yang tampak juga bersemangat.
Aku perlahan menuruni tangga. Aku melihat wajahnya. Itu Kahfi, yang aku nanti sejak lima tahun yang
lalu. Hatiku bergetar, keras sekali. Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, Kak Kanan menanyakan
kesediaan kami untuk datang.
“Besok ya kak?”
“Iya Vel, bisa kan?”
Aku menatap sahabatku itu, dan dia mengangguk. Dalam hatiku, begitu senang. Berada akan sedekat itu
dengan orang yang aku cintai. Padang Panjang, kota yang cukup indah untuk menghabiskan masa liburanku di
dekatnya.
“Ya udah, besok pagi dijemput Kahfi ya?” aku membelalakkan mataku seketika, tak percaya.
“Vel langsung kesana aja, bareng Zahra!”
“Ya udah, ndak apa-apa juga! Permisi ya… Assalamua’laikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Dia hanya diam, dan tertunduk. Tidak berkata apa-apa. Cuma ada sedikit kerut dikeningnya saat aku
merespon tidak bersedia dijemput olehnya. Mungkinkah dia kecewa?
Malam itu aku merasa bahagia sekali, besok adalah hari yang begitu indah. Tiga hari didekatnya. Semua
persiapan telah ku kemas. Restu Ayah dan Bunda sudah ku raih. Kutunggu esok dengan senyum sebelum
memejamkan mata.
Ba’da Subuh, aku sudah berada di depan Rumah Ibu Sarah, Ibunda Kak Kanan. Semua sudah siap, kami
tinggal berangkat. Kahfi tampak tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditelinganya terpasang dua
tali yang membuat nada-nada itu tersambung ke telinganya.
Villa yang indah, semua sudah menanti, ternyata lebih ramai seperti yang aku sangka. Banyak akhwat
disana. Mereka semua merangkul tubuhku dalam indahnya ukhuwah.
13
Malangnya waktu itu lampu mati. Barbekiunya batal. Di taman belakang aku duduk di sebuah bangku,
yang mendengar desahan kedinginanku. Sebuah tangan menutupi tubuhku dengan sebuah sweater yang seketika
menghentikan desahanku. Tubuh itu pun berlalu. Aku merasakan sebuah elahan nafas yang hangat.
Hangatnya malam itu, meleburkan inginku untuk menghadap-Nya. Aku berjalan ke dalam menuju kamar
mandi. Saat aku melangkah ke dalam, cahaya pun menemaniku. Lampu yang padam kini kembali benderang. Aku
memasuki kamar mandi dan tersentak saat aku melihat di tepi sweater berwarna hijau muda itu terdapat nama,
Kahfi. Ini miliknya? Diakah tadi yang menghapuskan gemetarku? Aku merogoh saku benda itu. Ada sepucuk
surat. Aku merebahkan badanku di dinding pintu. Perlahan aku buka, aku tak peduli ini dosa atau tidak. Sungguh
aku ingin tahu, mungkin ini untukku.
Assalamua’laikum wr.wb.
To : Kak Kahfi
Makasih ya kak, udah mau nerima pemberianku. Aku minta kakak menjaganya dengan baik-baik. Ini
adalah hatiku. Semoga ia selalu dekat dengan hatimu. Kak, sudah lama aku merasakan hal ini padamu. Memang
tak pantas, aku seorang akhwat dan kau ikhwan. Balas suratku Ini dengan senyummu dan kutunggu kau di
halaman belakang, besok.
Wassalamua’laikum wr.wb.
Zahra
Aku meremuk surat itu dan membantingnya keras ke lantai yang basah. Aku tak mengira, Zahra setega itu
padaku. Padahal ia tahu bagaimana perasaanku pada Kahfi. Ternyata dia musuh dalam selimut. Kenapa dia ga’
bilang dari awal??? Aku akan mencoba untuk mengikhlasannya setengah mati. Tapi, kenapa dia harus sembunyi.
Apa aku tak dianggapnya sahabat?
Aku tergesa-gesa keluar kamar mandi itu, karena waktu adzan sudah memanggil.
GEDUBRRRAAAAK!!!
Tubuhku terjatuh, sakit sekali. Saat aku berdiri, aku berusaha menatap wajah orang yang menabrakku
tadi. Ya… Allah, dia Kahfi! Aku menundukkan wajahku dan bergegas meninggalkannya.
Sekali lagi, malam itu adalah malam terindah dalam hidupku. Aku bertahajud kepada Allah. Aku
meminta padanya, sesuatu yang terus aku harapkan. Aku menangis, bersujud kepadaNya. Diantara gelap malam
aku mengais-ngais ridho Allah dalam tangis.
14
Pagi itu tak begitu cerah, subuh yang gelap. Kami semua berkumpul di Ruang tamu Villa untuk
melaksanakan keutuhan kami. Zahra tanpa rasa bersalah menepuk pundakku dan berkata “Vel, ngelamun aja!
Masih pagi tau!” aku tak berusaha membalas senyumnya. Dia pun terdiam, masih tanpa ada rasa bersalah. Zahra,
andaikan kamu tahu apa yang aku rasakan, mungkin kau takkan berani berdiri dihadapan ku lagi.
Siang yang panas dan membawa hatiku menjadi panas. Ketika melihat Zahra membantu Kahfi
membereskan gelas di atas meja makan. Aku bergegas kesitu mengambil sesuatu yang tak begitu penting.
Tanganku menyenggol sesuatu yang membuat tubuh benda itu hancur.
PRAAAAANG!!!
Salah satu beling kacanya menerobos kulit dagingku. Semua bersatu dengan aliran darahku yang deras
keluar. Sesosok tubuh memegang punggungku yang tergolek tak berdaya, dan tangannya menarik beling yang
menancap itu. Aku tak sanggup menatap, rasanya pedih sekali. Tiba-tiba, terasa olehku peralihan tangan pada
punggungku. Kurasakan helaian jilbab mereka. Aku tahu mereka akhwat. Mereka memapahku kedalam kamar.
Tubuhku terasa lemah seketika. Aku tak berdaya dan kuasa. Semua acara yang kami rencanakan tertunda. Semua
karena keegoisanku.
Ku tatap langit-langit, aku melihat bayangan yang suram. Perban yang melekat dikakiku mulai meregang.
Rasanya sakit.
“Vel, bentar lagi Maghrib. Mau shalat di kamar atau di luar, sayang?” tawar Bu Sarah padaku. Raut
keriput wajahnya, membuatku seringkali teringat dengan Nenek.
“Bukannya, shalat berjama’ah lebih banyak pahalanya dari pada shalat sendirian, Bu?”
“Baiklah, Ibu akan membantu kamu meraih pahala itu, tunggu ya sayang.”
“Bu, bisa minta tolong manggilin Zahra ga’?” mohonku yang dibalas dengan senyum hangatnya.
Seketika, Zahra muncul dari balik pintu. Dia tersenyum padaku dan Bu Sarah. “Pucuk dicinta ulam tiba!”
ujarnya.
Aku menatap tajam wajah sahabatku itu. Sepertinya dia mengerti ada sesuatu yang harus kami bicarakan
nanti. Dia berusaha memapahku untuk berjalan keluar. Kami pun bersiap-siap menuju tempat yang sudah
disediakan ikhwan untuk segera shalat.
***
Malam yang gelap, aku hanya duduk berdua dengan sahabatku, di teras belakang. ”Ukhti, haruskah aku
menanyakan hal yang menggundahkan hatiku ini? Aku tak ingin hanya gara-gara ini, hubungan silahturahim kita
terputus.” aku berujar dalam hati.
“Ukhti, kakinya masih sakit? Sayang ya, padahal besok kita mau out-bond. Lagian besok hari terakhir,
setelah itu kita pulang.”
“Alhamdullilah, ini masih mending, untung tak parah. Oh ya, aku boleh nanya sesuatu?”
“Asalkan bukan rumus fisika atau matematika aja!” ujarnya sambil mengembangkan senyum.
15
“Seandainya,” aku terputus bicara, tak sanggup rasanya harus melakukan semua ini. Sungguh berat.
“Ukhti, jika ada masalah, bicarakanlah, jangan kau pendam dalam hati. Nanti akan menjadi beban dan
dendam.”
“Mmm, ingat Jauzi kan?” dia terdiam berfikir dan mengangguk.
“Kamu tahu, dia kan lulus seleksi pertukaran pelajar ke Inggris!”
“Subhanallah!”
Aku mengalihkan topik pembicaraan. Ini bukan waktu yang tepat.
Kami melanjutkan cerita hingga waktu Isya memanggil. Aku pun bergegas di papahnya menuju ruangan
yang tadi.
Ba’da Isya, duduk melingkar. Kira-kira empat meter di depanku, dia duduk. Aku bersimpuh menahan
kaki yang sudah berkurang rasa sakitnya. Acara dibuka, sama seperti biasa dengan acara di forumku.
“Oh ya, Ibu belum kenalin ya?” ujar Ibu Sarah menatap kepadaku dan Zahra.
“Yang pake jilbab Ungu itu, Vel. Nama lengkapnya Velia Andyra. Sekolah di SMA terfavorit di Kota
Padang. Kelas dua IPA.” Ibu Sarah menatap ke arahku dan tersenyum. Sesekali aku menatap kearah Kahfi yang
mengangguk-angguk. Ada sesuatu yang tersirat dalam anggukannya.
“Nah, disampingnya, Zahra. Zahra Annisa, dia bersekolah di Sekolah Islam yang sangat terkenal di
Padang, kelas dua IPA juga.” kini beralih kepada Zahra, beliau tersenyum.
Setelah selesai ta’aruf, selanjutnya acara dilanjutkan dengan siraman rohani oleh Kak Kanan. Aku mulai
menangkap sesuatu yang aneh dari raut wajah Kahfi. Sesekali dia menatapku, tatapan pun beradu. Sesekali dia
menunduk dan melafadzkan sesuatu.
***
Tiga hari yang mengisi rongga alveolusku. Aku merasa bahagia. Meskipun, ada pedih yang kurasa. Aku
menatap keluar. Melihat hamparan sawah menghijau di perjalanan antara Padang Panjang dan Padang. Lantunan
Raihan sesekali samar terdengar.
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal shaleh
Gunakan kesempatan yang masih diberi
Semoga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan
Karena dia takkan kembali
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sehat sebelum sakit,
muda sebelum tua,
kaya sebelum miskin,
16
lapang sebelum sempit,
hidup sebelum mati…
Suara yang jelas terngiang olehku. Suara merdu Kahfi yang mendesirkan hati. Aku menangkap
senyumnya yang terlempar begitu saja. Perjalanan yang panjang. Takkan lelah rasanya, pikirku. Asalkan selalu
dekat dengannya. Saat itu aku terlalu berfikir picik.
Sampailah disuatu ketika dimana sebuah pernyataan Bu Sarah yang membuat seluruh rongga-rongga itu
luluh dan lantak.
“Sayang ini kesempatan terakhir ya! Bulan besok kan Kahfi udah ke Nhanyang Technology University di
Singapura.”
Aku terperangah. Petir dan kilat menyambar silih berganti dalam hatiku. Ya Allah, Engkau ciptakan
bahagia sesaat ini sebagai penghibur duka sepanjang hayatku. Aku melihat wajah sahabatku. Aku tahu bahwa tak
hanya aku yang merasakan kesedihan itu. Aku kembali menerawang ke luar. Tak sanggup membendung air mata.
Aku pun menangis.
“Vel, jangan nangis!” aku tersentak mendengar suara serak Vemas yang setia mendengarkan seluruh
gundahku.
“Aku harus gimana Vem?”
“Kamu harus belajar untuk mengikhlaskan sesuatu. Jika dia memang untukmu, dia akan kembali. Hapus
air matamu. Tahajudlah, esok masih ada hari yang menanti senyummu. Assalamua’laikum. Selamat malam sobat,
mimpikanlah apa-apa yang indah milik Allah.”
Aku menjawab salamnya. Seketika pembicaraan malam itu terhenti tepat pada pukul 12 malam. Perlahan
aku beranjak ke kamar mandi dan menyekakan air wudhu.
***
Pelantikan dua minggu lagi, aku akan sibuk sekali. Kemanapun aku pergi nantinya, akan diikuti tanya sini
dan tanya sana.
Hari yang melelahkan. Sepulang Sekolah aku les, setelah itu rapat. Malamnya ditutup dengan les lagi.
Subuhnya aku harus belajar ilmu Tajwid Al-Qur’an. Aku harus sadari, bahwa aku tak bisa baca Al-Qur’an dengan
baik dan benar. Aku malu, sebagai seorang anak Rohis yang cukup dikenal.
“Woi… pagi-pagi udah ngelamun! Whats wrong? Jadi kemarin pergi surveynya bareng Jauzi?” tanya
Neru menyelidiki. Dia begitu mengidolakan Jauzi. Si bintang Sekolah. Nasyid bisa, dakwah ok, teater keren, dan
pergaulan luas. Kadang, banyak adik kelas yang memanggilnya Iga (Ikhwan Gaul). Apa sih yang ga’ dia tahu.
Seputar Jepang, tahu. Seputar India, paham. Seputar Indonesia, koran kali!
“Ga’ jadi, karena because selalu always, mobil ayahnya Jauzi rusak. Jadi, sebagai anak yang sholeh dia
memilih menunda surveynya.”
17
“Oooo bulat, Vel… ingat Galih?” aku mengangguk.
“Dia kemaren nembak seseorang!”
“Mati?”
“Nggak, karena orangnya kabur ke rumah sakit.”
“JIWA?”
“Bukan, si target pergi jenguk sahabatnya. Udah ngerasa?”
“Aku?”
“Bukan, Velia Andyra nama lengkap perempuan itu.” jawabnya tegas mencampurkan antara resah dan
ge-erku.
Tiba-tiba dari balik kaca, terlihat wajah pria yang kami sebut tengah berdiri memelas. Neru
meninggalkanku. Hari masih terlalu pagi. Tak begitu banyak orang yang datang.
“Assalamua’laikum!”
“Waa’laikumussalam, ada apa Lih?”
“Vel, baca ya! Tolong kasih jawabnya hari ini juga.”
Sodoran tangannya membuatku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya menoleh punggungnya yang
berlalu dan meraih amplop hijau muda di daun jendela.
Pagi-pagi sudah dapat surat cinta. Apalagi yang akan terjadi siang dan malam nanti ya???
Surat itu ku simpan dalam sakuku. Tak sempat aku membaca. Aku tak merasa penting untuk
membacanya. Jam pertama yang menegangkan. Pembagian nilai ulangan Fisika. Mungkin ini adalah ulangan
terburuk disepanjang hidupku. Aku genggam surat tadi di dalam saku. Ingin rasanya ku buka. Tapi, apadaya
setiap tatapan mata guru itu mengarah padaku. Aku jadi jiper alias ketakutan, karenanya.
Vemas lagi-lagi mendapat nilai tertinggi. Sejak aku menghentikan kebiasaan menyontekku, bagus atau
jeleknya nilai tak ada pengaruh pada diriku. Sekarang, aku bisa melihat betapa bodohnya aku. Telah larut dalam
kebiasaan yang akan merugikanku nanti.
”Vemas, 100.”
”Guntur, 95.”
”Dan... Neru, 80.”
Setelah guru terkiler itu membacakan urutan tiga besarnya. Dia keluar untuk memberikan kesempatan
kami refreshing. Karena sudah tak ada materi lagi yang harus diburu.
Kesempatan untuk membuka surat itu. Amplop hijau yang indah, warna kesukaanku. Aduh, hatiku
rasanya bergemuruh. Karena, pengalaman pertama menerima surat cinta.
Assalamu’alaikum, Ukhti...
Kuharap situasi hatimu sedang bahagia saat membaca surat ini.
18
Ukhti, perasaan itu tumbuh tanpa aku sadari. Saat celah-celah itu mulai mengeluarkan cahaya untuk menyinari
hatiku, aku sadar inilah yang dinamakan cinta. Jika hati telah diliputi rasa putus asa dan hati yang lapang telah
menjadi sesak. Kala ujian dan cobaan telah menjalar dan di dalam hati telah terdiam sebuah bencana. Engkau
tahu harus kemana mengusir kesulitan dan tidak pula bermanfaat usaha orang-orang pintar. Saat itulah datang
bantuan untuk putus asamu, dari Rabb Yang Maha Pemberi dan Maha Dekat.
Semua peristiwa walaupun telah memuncak, akan bersambung dan akan ada jalan keluar dalam waktu
dekat. Ukhti, aku tak tahu, ini masalah atau bukan. Memang aku hampir putus asa, tapi karena senyummu lah
hati ini tetap merasa lapang. Cinta yang aku rasakan tulus padamu semata-mata karena Allah. Aku tahu pula,
memang tak pantas. Tapi, untuk apa aku berlama-lama dalam kegundahan yang selalu mendesak ini. Aku hanya
ingin mengutarakan maksud baik ini untukmu Ukhti. Tapi, jika nanti dirimu menanggapi berbeda dengan
perkiraanku. Maafkanlah, segala kelancanganku. Jangan jadikan hal ini jurang pemisah antara kita. Jadikanlah
ini tali mempererat hati kita, sebagai sesama muslim.
Wassalam.
Galih Fathiril
Gemetar tanganku setelah membaca surat itu. Apa-apaan ini, teriak dalam hatiku. Seorang ikhwan,
melakukan hal yang sebodoh ini. Aku tak pernah menyangka. Mengapa dia begitu nekat. Kadang aku berfikir, apa
lebihnya aku? Semua biasa, tak ada yang istimewa. Tapi, aku tetap bersyukur, masih ada yang menganggapku
istimewa. Bukan berarti, aku harus sombong. Tiba-tiba aku teringat ucap sahabatku, Andrew.
Velia, kamu itu orangnya kadang dewasa banget, kadang anak-anak banget. Kamu orangnya pengertian.
Meskipun ga’ sabaran, tapi kamu lebih suka menanti sesuatu yang belum pasti kamu dapatkan. Kamu, tipe cewek
yang setia, tapi kamu juga punya prinsip. Suka tetap suka, tapi tak harus memberi seluruh kehidupan kita
padanya. Kamu orangnya pelit kepada semua orang, tanpa membedakan mereka. Meskipun, dia sahabat kamu
sendiri, kamu tetap pelit. Ataupun dengan yang kamu suka sekalipun, kamu tetap pelit. Lia, cuma aku yang
manggil kamu dengan sebutan itu. Kamu, selalu tersenyum untukku, kamu memberi semangat hidup untukku.
Mengajarkanku bagaimana cara mencintai orang dengan tulus. Tapi, maaf aku sampai saat ini, belum bisa
merubah sifatku. Sebagai Playboy terkenal di SMP, aku tetap sadar bahwa kehadiranmu sebagai sahabatku begitu
berarti. Kamu sedikit egois, tapi ujung-ujungnya akan mengalah juga. Kamu jaim, seringkali membuat orang
penasaran dengan mau kamu. Aku senang, setiap malam saat aku menghubungi kamu, kamu menanyakan kondisi
kesehatanku. Memang paru-paru basah inilah yang menjadikan kita nantinya akan berpisah. Saat aku berkata
seperti itu, pasti kamu menjawab. ”Makin cepat mati, makin baik Ndrew!” dan membuat tanganku melesat ke
kepalamu. Lia, katanya kamu udah pake jilbab ya? Cieeee... ternyata beneran ya. Aku kira waktu SMP dulu kamu
cuma main-main bicara soal itu ke aku. Kabarnya lagi kamu udah menjadi seorang akhwat ya? Waktu memang
19
cepat berlalu. Baru saja kemarin kita bersama, bertengkar bersama, pukul-pukulan bersama. Eh... sekarang kita
udah beda, kamu di timur aku di barat. Begitu jauh. Oh ya, jangan lupa selalu balas emailku. Aku tunggu loh!
By : Sahabatmu yang paling cool ; Andrew Aidhzan
Bandung, 21 November 2003
Andrew, meskipun kini nafasmu sudah terbang jauh, tapi aku yakin sobat, aku akan dengar semua apa
yang kamu pesankan. Karena doaku selalu menyertaimu. Tiba-tiba air mataku tertetes membasahi surat Galih.
Aku tertunduk dan melihat keluar. Rumput yang begitu hijau yang berembun disetiap paginya, andai kau tahu
rasa pedih dalam hatiku. Sibakkanlah tetesan embun itu ke wajahku. Lalu, buatlah matahari tersenyum untukku.
***
”Vemas, udah sehat?”
”Udah, mana Vel?”
”Yeeee, pagi-pagi udah nanya si Vel. Gantian, dia yang sakit.”
”Kenapa Ner, Gun?”
”Tenang, si Vel ga’ pa-pa kok, cuma flu biasa.”
”Gun, pulang sekolah anterin ke rumahnya ya!”
”Vem ” ujarku membuat kerut wajahnya melukiskan senyum yang indah dibibir.
”Vel, kamu ga’ apa-apa kan?”
”Tadinya sih mau bolos. Tapi, karena ada kamu, ga’ jadi deh.”
Vemas mengangkat krah bajunya. Tanda narsisnya kumat lagi.
Sore ini, Vemas mengajak kita-kita ke Pattimura. Tempat yang biasa. Tapi, berhubung aku suka cendol,
jadi tempat yang paling istimewa deh!
Vemas, Guntur, dan Neru adalah obat gundahku. Mereka yang selalu membuatku tersenyum. Disaat
pedih yang membara. Aku sadar aku seorang jilbaber. Tapi, apa salah aku punya sahabat lain jenis? Kadang saat
jalan bersama mereka, tak sedikit mata yang memandang heran padaku. Apakah aku sudah bisa disebut Akhwat
sejati? Aku pun tak mengerti, apa yang terjadi padaku?
Kahfi, akan pergi seminggu lagi. Akankah aku sanggup membiarkan semua ini berlalu? Banyak tanya
dalam hatiku sungguh menyesakkan dada.
Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Semua kegiatan menggrogoti tubuhku. Dari mengikuti Olimpiade Biologi,
lomba teater, aktif di Assalam Sumbar, di Rohis, apalagi sekarang adalah masa-masa sibuknya pengurus. Karena,
Sekolah mempercayai kami dari bidang 1 untuk menghandle semua lomba-lomba antar sekolah yang bernuansa
Islami. Ada lomba Nasyid, MTQ, lomba Da’i, Bazar, dan semua yang pastinya akan sangat melelahkan. Belum
lagi aku harus bikin lima proposal sekaligus, laporan pertanggung jawaban dan mengatur jalannya kegiatan rutin
An-Nisa.Dengan begitu banyak kegiatan aku mesti tetap les matematika, fisika, kimia, bahasa inggris, mengaji,
20
dan pelatihan IBO (International Biology Olimpiade). Apalagi dalam minggu-minggu ini, semua siswa
disibukkan dengan adannya Pagelaran Seni. Aku juga dipercayai untuk menghandle kegiatan mereka oleh Ibu
Rasdi. Sungguh melelahkan. Upsss... ada yang lupa. Aku juga mesti menghandle jalannya kegiatan wirid remaja
di Masjid. Setiap malam kamis aku harus standby untuk mereka. Sorenya sebelum itu, aku harus ke rumah bu
Sarah untuk minta sedikit masukan tentang pembuatan makalah Biologiku. Karena beliau adalah guru Biologi
terbaik se-Sumatera Barat. Belum pula, aku harus menyelesaikan naskah teater untuk 5 pesanan sekaligus. Inilah
caraku menambah uang saku. Seringkali aku mendapat teguran dari Ayah. ”Jangan terlalu sibuk, nanti kamu
sakit.”
Dengan sejubel kegiatan aku masih rajin pergi halaqah bersama kak Airin di Rumahnya yang tak begitu
jauh dari daerahku. Disana aku bertemu dengan teman-teman yang berasal dari berbeda sekolah. Itulah aku, Velia
Andyra si penyiksa tubuh.
Oh ya, setiap minggu aku harus membalas surat curhat adik junior. Mereka cukup banyak. Dalam satu
minggu aku harus membalas 7 surat. Semua curhat padaku dengan berbagai masalah. Dari masalah cinta,
pelajaran, keluarga, dan lingkungan. Semua membuatku lelah. Tapi, hidup akan terus aku jalani, bagaimanapun
nanti jadinya harus tetap aku jalani.
Pagi ini, kelima proposal sudah selesai. Alhamdullilah. Aku memperbaiki jilbabku di depan kaca kelas.
Memang tak pantas, tapi jilbabku cukup membuatku tak PD. Jadi, apa boleh buat. Selagi belum, ada yang datang.
”Assalamu’alaikum.” suara serak itu menepuk bahuku.
”Wa’alaikmussalam, Ukhti.”
”Gimana? Selesaikan?”
”Alhamdullilah.”
Gading Asthanisa adalah ketua An-Nisa kami. Dia sangat dihormati oleh seluruh anggota. Dia tegas dan
terkadang terlalu tegas. Dia yang paling dekat denganku. Dan aku tahu persis tentang dirinya.
”Vel, ada alumni yang nyari kamu kemarin. Ini masalah kamu dengan Galih, sepupuku itu.”
”Masalah? Apalagi, sih... aku capek, ding.”
”Aku ngerti, tapi nanti mereka mau bicara sama kamu ba’da dhuha. Gimana?”
”Yo wiss, asalkan kamu di dekat aku, aku mau ketua.”
”Ih... manja, padahal kamu kan berani. Oh ya, gimana kabar si Fulan?”
”Udah ah, jangan di bahas. Aku lagi sedih nih.”
”Oke deh!!!”
”Gading.” suara yang ku kenal. Jauzi!
”Udah, gih sana! Kekasihmu nunggu.” aku menggodanya.
”Velia!!!” mukanya memerah diikuti dengan tawa yang menggelikan.
***
21
”Pagi, sayang?”
”Guntur, apa-apaan sih!”
”Ga’ boleh, adikku tercinta?”
”Tuh, Neru datang!”
”Halo Neru sayang?” dia tersipu malu, tapi tetap jaim.
”Vemas mana?”
”Ke laut kaleeeee!!!”
”Neru, kok bicara gitu?”
”Cie marah ni yeee... Setahu aku tadi, dia masih di kamar.”
Neru dan Vemas adalah saudara sepupu. Vemas tinggal di Rumah Neru. Papa Neru adalah kakak dari
Papi Vemas. Karena, keluarga Vemas di Jakarta. Jadi, karena dia ngotot ga’ mau ikut pindah, jadi ya... gitu deh!
”Tuh dia, kusut amat! Tadi pagi nyokap aku ngasih minum apa ya?”
”Jangan-jangan ngasih susu cap kuda liar kali.” Neru dan Guntur tertawa terbahak-bahak, untung nggak
berdahak.
”Kenapa Vemas?” aku mengikuti langkah matanya yang rumit. Dia masih diam. Membisu.
Aku terdiam, mengingat tanggal. Ya ampun... it’s My birthday. Kok bisa lupa ya? Aku raih handphone
dalam saku tasku. 10 pesan di terima. Wow!!! Aku mainkan tombol-tombol mungil itu.
Dari : Bunda
Ass. Anakku tercinta. Selamat Ulang Tahun yang ke- 16 ya, nanti pulang sklh, kmi tgg di tempat biasa.
Ok!!!
Pukul 24.05.
Dari : Gading
Ass. Ukhti, met ultah ya, aku tunggu traktirannya. Hehehehehe.
Pukul 01.56.
Dari : Ibu Sarah
Ass. Anakku termanis. Semoga di hari nan bahagia ini, km bisa menjadi yang terbaik ntukNya.
Pukul 03.09.
Dari : 081363654321
Assalamua’laikum... Happy birthday, semoga kamu makin semangat berjihad di jalanNya. Aku tetap
akan mengingatmu, Velia Andyra. Sebagai seorang wanita muslimah yang tegar dan bijaksana. Wass. AK.
Pukul 03.15
AK??? Siapa? Airin Kansha kali ya... Syukron Kak Airin.
Dari : Vemas
Cieeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee... yang ngulang taon. Met ya ceria... tetap ceria, ntar malam aku tgg di cafe
biasa. Jam 19. 30. I will wait you.
Pukul 04.12.
22
Dari : Jauzi
Ass. Happy Milad ya ukhti.Semoga panjang umur.Wass.
Pukul 05.00.
Dari : Galih
Ass. Aku harap kau tak membenciku setelah semua itu terjadi. Afwan... tls dari hatiku. Selamat di hari
bahagia ini. Aku menyayangimu karena Allah.
Pukul 05.30.
Gombal !!!
Dari : Mell
Pagi... met b’ day ya, dek... moga2 tambah caem en baek hati. Kita keluarga di sini mendoakan kan agar
tambah dewasa dan jadi Ustadzah yang bijaksana.
Pukul 07.00.
Dari : Yudha
Ass. Vel, kakak doain semoga kamu ttp jadi Velia yg keq dlu. Slalu tersenyum ntuk semua. Kadonya
ditunggu ya.
Pukul 07.08.
Dari : Kak Vahriz
Ass. Kalo telat, sorry dek. Happy b’day ya. Kakak doain kamu tetap manis n jadi adk terbaik selurh dnia.
I miss you.
Pukul 07.15.
Wow! Luar biasa. Tiba-tiba...
Satu persatu pesan masuk, padahal ini terlalu pagi. Salah satunya kubuka.
Dari : Guntur
WOI... HAPPY B’DAY YEEEEEEE... WE LOVE U! NERU and GUNTUR.
Pukul 07.30.
Aku menoleh pada mereka. Mereka pun tersenyum dan tertawa bersama. Aku masih melihat mendung di
wajah Vemas.
”Thanks.” aku lirih bicara padanya.
***
Ketika semua harus berlalu, mengapa dia pergi saat aku harusnya bahagia? Kenapa rasaku harus berubah
saat ini. Kenapa?
Setiap bayangannya muncul dihadapanku, aku terus menangis dan berusaha mencari penyejuk untuk luka
yang makin lama mengoyak ini. Sungguh!!! Aku ingin melupakannya, aku ingin mengenyahkan bayangannya
23
dihadapanku. Tapi? Apa hasilnya? Dia selalu membuntutiku kemana aku melangkah. Dia selalu hadir dalam
jemuku. Aku tak pernah berharap akan menjadi siapa-siapa dalam hidupnya. Aku hanya ingin semua tampak
jelas. Aku ingin tahu apa rasanya sama denganku? Atau sebaliknya. Dia sama sekali tidak memiliki rasa padaku.
Aku ingin tahu segera, memang ini konyol dan tak ada hasil yang maksimal jika dilakukan secara instant.
Aku Velia Andyra, gadis yang belum mengenal arti kesetiaan. Aku masih terus mencari sebuah misteri
cinta. Aku bukan siapa-siapa, aku tak seperti gadis Jawa. Aku gadis Minang. Sedangkan keluarganya keturunan
Jawa. Mana pantas aku nantinya mendampingi laki-laki sukses seperti dia? Laki-laki yang memiliki sejuta
prestasi. Laki-laki yang digemari kaum wanita. Aku? Aku siapa? Hanya gadis yang baru mengenal indahnya
Islam. Gadis yang masih belajar untuk masuk ke dalam Islam secara utuh. Tak begitu hebat baca Al-Quran, Juz
Amma pun aku tak hapal. Jangankan itu, aku hanya dapat menghapal 10 surat dalam Juz terakhir itu. Bayangkan
saja, apa aku pantas? Aku yang tak terlalu beprestasi dalam sekolah, aku yang masih suka berbaur dengan lawan
jenis dan aku yang masih menguasai berbagai penyakit spesialis hati. Seharusnya aku tahu diri, tak pantas untuk
dekat dengannya. Masih banyak gadis Jawa yang baik budi, hafal Al-Quran dan anak Kiai lagi. Mungkin mereka
lebih pantas untuknya. Harapku kini mulai ku kubur dalam-dalam. Aku harus relakan dia masuk dan pergi dari
hadapku sesukanya. Biarkan dia berjalan dan berlari semaunya.
Biarkan memori ini ku sayat dan ku hancurkan agar tak menjadi bayang yang menghantuiku. Semua ingin
ku kubur jauh dan dalam.
Ingat Velia! Kehidupanmu bukan hanya untuknya, masih banyak yang harus kamu hadapi. Masih banyak
rintangan hiup yang harus dijalani. Teruslah menghembuskah semangat hidupmu. Jangan berhenti sampai disini.
Jalanmu masih panjang.
24
*2*
HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN
Kupejamkan mataku terhadap semua kotoran
Dan kukenakan pakaian sabar yang putih bersih
Kala masalah menghimpitku, aku berdoa kepada Allah
Sejurus kemudian masalah itupun terbuka
Jalan-jalan itu tersumbat, tapi dengan berdoa ia terbuka dengan sendirinya.
”Innalillahiwainnallilahiraji’un.” suara serak Ayah membuat mataku dan Bunda harap-harap cemas. Kami
saling menggenggam tangan dan berusaha memberi isyarat pada Ayah, siapa yang meninggal? Setelah Ayah
menutup ganggang telepon, segera diserang Bunda dengan sebuah pertanyaan yang masih sama, siapa yang
meninggal?
”Pacarnya Mell, Yudha.” serentak kami membaca hal yang sama yang dibacakan Ayah sebelumnya.
Kak Yudha? Aku bejalan lesu menuju kamar. Aku melihat buku berwarna oranye yang tersusun rapi
diantara buku lainnya. Ku ambil buku itu, La Tahzan, jangan bersedih! Kubuka lembaran pertama.
Untuk adikku tercinta, Velia Andyra.
Memang kado ini tak seberharga berlian yang berkilau. Tapi, kakak harap ini adalah kado yang paling
membahagiakan hatimu. Jadikanlah, pemberianku ini penawar sedihmu. Ok!
Yudha Diaz Prasetya
Tulisan itu ku tetesi dengan air mata. Kenapa dia harus pergi secepat ini. Padahal baru enam bulan yang
lalu kami bertemu. Bermain bersama, tertawa bersama.
***
Liburan pertamaku, pergi sendiri. Tidak ditemani Ayah ataupun Bunda. 16 tahun, umur yang tak begitu
cukup untuk berpergian sendiri ke luar Kota. Pekanbaru, kota nenas yang hendak kukunjungi. Akan menyibak
sebuah tabir. Pertanyaan yang belum kutemukan jawabnya. Tentang arti kesetiaan cinta. Disinilah, aku
mengetahui bahwa cinta yang begitu suci itu adalah cinta yang rela mengorbankan segenap jiwanya untuk orang
yang dicintainya.
Mell, cewek hitam manis ini adalah wanita yang begitu beruntung. Dicintai oleh orang-orang yang
memiliki sesuatu yang didambakan cewek-cewek sejagad. Tapi, dengan keegoisannya, dia mudah sekali
mempermainkan perasaan mereka. Aku juga tak mengerti. Masih ada juga orang yang keterlaluan seperti dirinya.
25
Meskipun dia sepupuku, tapi sungguh, aku kecewa. Mengapa dia melakukannya. Untuk apa? Apa dia tidak punya
rasa kepuasan? Apa dia termasuk golongan orang-orang yang kufur nikmat?
”Cuma SATU MINGGU???” suara Mell menderu tepat di wajahku.
”Ga’ pa-pa, yang jelas kan, kita masih bisa ketemu.” kelembutan Kak Sara masih sama seperti dulu, dia
tidak berubah sedikit pun. Jilbabnya yang terurai indah, membuatku lega sesaat. Karena, dari sekian banyak cucu
nenek, hanya kami berdua yang mengenakan jilbab. Subhanallah.
”Oh ya... kamu belum kenal sama pacar Mell kan?”
Pacar? Mell pacaran? Setahuku kan dalam Islam ga’ ada yang namanya pacaran! Kok bisa?
”Halooo, mau kenalan ga’?” aku mengangguk. Segera diraihnya ponsel untuk memanggil si tamu yang
diundang.
”Vel, ada SMS.” Kak Sara mengantarkan benda itu ke hadapanku.
Aku tersenyum dan mulai mengotak-atik benda mahal itu.
Kak Gerry?
Ass. Vel, gimana kabarnya? Btw, liburan kemana nih?
Kutekan tombol ”reply”.
W3. Alhamdullilah baik2 aja. Gi lbran di Pku. Kakak gimana dan dimana serta lg apa?
Sending the message...
Sesaat kemudian, tanganku diraih seseorang. Lalu, terjadilah jabatan tangan yang tak kuinginkan.
”Yudha.”
”Velia.” aku segera melepaskan jabatan yang tak wajar itu.
”Ini yang sering diceritakan Mell, Kak?” tanya pria itu pada Kak Sara.
”Mell cerita apa?”
”Kalau kamu itu adalah sepupunya yang paling ceroboh, cerewet, bawel...,”
”Kok, ga’ ada yang baiknya?”
”Ada, katanya kamu... pintar dan baik hati.” ia berusaha meraih kepalaku untuk diusap mungkin. Tapi,
sorry, aku mengelakkanya.
”Hi...Yudha, pa kabar? Udah kenalan?”
”Udah Mell, kirain sama sama kamu, tapi kayaknya beda banget deh, dari yang kamu ceritakan tentang
dia.”
”Beda apanya?” tanya Mell mendesak mulut kekasihnya bicara.
”Katanya, dia tomboy, tapi senang pake rok. Katanya jutek, lumayan sih, trus katanya dia suka ceroboh,
dikit sih... tadi, aja dia nyangka aku pelanggan Cafe ini, kasihan, tadi dia udah capek nerangin ini itu, padahal
salah orang.” dia melihat penuh sindiran padaku. Menyebalkan!
Semua tertawa. Menertawakanku yang lebih memilih mesem-mesem sok cuek. Padahal dalam hati, bete
banget.
26
”Capuci datang!” wajah garang pamanku yang berhati lembut datang membawa minuman spesial Cafe
Break miliknya.
***
”Dek, hari ini mau kemana?”
”Kak Sara, ga’ sibuk?”
”Ga’, lagian kamu kesini mau liburan kan? Bukan diam-diam di Rumah, di Padang mah juga bisa!”
”Iya... ya.”
Cukup lama aku berfikir, mau kemana dan ngapain. Beberapa kali Kakakku itu menatap bertanya, tapi
tetap dapat gelengan yang ga’ berarti untuknya.
”Mmmm... ga’ ngajak Mell, Kak?”
”Boleh, tapi dia belum pulang sekolah.”
”Nah, kita ke Sekolahnya aja, after that kita ke Mall ato kemana gitu?”
”Ya udah deh, sekarang mau ngapain? Kalo mau jemput Mell sekitar dua jam lagi.”
Tiba-tiba handphoneku berdering, segera lantunan Nasyid pagi yang cerah diperdendangkan benda pintar
itu.
”Assalamua’laikum,”
”Waa’laikumsalam, Vel, bete nih... ke sekolahan aku donk!”
”Bukannya Mell Sekolah?”
”Sekarang itu hari sabtu, neng... lagian disini ga’ belajar. Because kita lagi pensi. Jadi, nongkrong-
nongkrong aja nih, sekalian aku kenalin ama temen-temenku, mau nggak?”
”Ya udah, tunggu ya!”
”Oke deh, Assalamua’laikum.”
”Waalaikumussalam.”
”Mell?”
”Yup, dia minta kita kesana, katanya lagi ada pensi, jadi orang luar boleh masuk. So...,”
”Lets!” segera kunci yang dari tadi bengong dipandangi dua pasang mata yang kebingungan, diraih
tangan sang kakak.
Mobil melesat keluar Rumah, meninggalkan plank berwarna coklat muda ”CAFE BREAK” dan mulai
berjalan mengelilingi kota Pekanbaru. Lantunan GIGI menemani putaran roda. Sekolah Mell cukup dekat dengan
Rumahnya. Jadi, sebentar saja kami sudah tiba. Dan memasuki perkarangan sekolahnya. Dari kejauhan saja sudah
tampak. Cewek hitam manis dengan rambut hitam, panjang, ikal yang juga di beri warna blackblue. Katanya sih,
kalau kena sinar, bakal kelihatan deh birunya.
”Mell, siapa?”
”Sepupu aku!”
27
”Vel, kenalin ini temen aku!” aku meletakkan satuan tanganku ke dada. Tapi, dia menjulurkan tangannya.
”Aduh, kasihan deh!” ujar wanita yang meraih tanganku, dan sun kiri kanan.
”Kamu akhwat?!”
”Eh-eh.”
”Hey bung, kamu tahu kan, gimana cara ngadepin cewek Rohis?”
”Tau, mesti nunuduk-nunduk kalau bicara, and ga’ boleh nyentuh tangan saat salaman.”
”Nah, itu tahu...Vel ini akhwat, sama ama anak Rohis. Jadi...,”
”Oh... I see!”
”Ya udah, ke dalam yuk!” ajak Kak Sara yang udah mulai gerah ngelihat pemandangan seribu mobil yang
menggumpalkan asap.
Ramai sekali, banyak manusia yang berjingkrak ria, ada juga yang nge-gosip, atau nontonin cowok-
cowok keren yang lagi jual tampang di lapangan basket. Satu pemandangan yang membuatku terkenang Sekolah
tercinta. Masjid yang di dalamnya berkumpul kader-kader dakwah yang terikat dalam indahnya ukhuwah.
Subhanallah!
Aku melihat Yudha diantara mereka, dia duduk di samping ikhwan yang sepertinya sedang memberikan
tausiyah. Rasanya ingin sekali aku kesana. Duduk bersama majelis zikir yang di ridhoi Allah itu. Salah satu
pandangan tiba-tiba mengarah padaku yang masih berdiri di depan toilet menanti Kak Sara yang tak kunjung
keluar. Seorang Akhwat bejalan ke arahku, dia tersenyum manis. Aku pun begitu. Setelah berjabat dan cipika-
cipiki dia menanyakan namaku. Begitu sebaliknya.
” Afwan ya, aku ga’ bisa ikutan, padahal mau banget, tapi,”
”Ikut aja Vel, Kakak kayaknya juga tertarik nih.”
”Kak Sara,” kami bertiga melangkah bersama menuju Rumah Allah yang megah itu. Seketika tubuh-
tubuh yang dibalut dengan sempurna berjalan satu persatu merangkul kami. Kak Sara terlihat tidak biasa
melakukan hal yang telah menjadi rutinitasku itu.
Hari ini kami menikmati tausiyah yang segar. Lelucon yang hangat sesekali dilemparkan para pendakwah
sekolah itu. Sehingga kami lupa pada Mell. Kuraih benda mungil ajaib dari saku. Sepuluh missed call. Dua
message.
Woi, dimana?
Pesan kedua ku kira dari Mell. Tapi, bukan. SMS ini dari nomer aneh yang nyasar!
Ass. Vel, tadi Mell nelpon. Dy nyari km n K Sara. Yudha ^_^
Aku melihat sosok ikhwan yang barusan nge-smsku. Tampangnya nggak mencurigakan sama sekali. Aku
berjalan membungkukkan badan ke arah luar Masjid. Di luar Mell sudah menunggu dengan tampang yang kusut,
bete, dan tak karuan.
”Dari mana aja? Kak Sara mana?”
”Dia masih di dalam, lagi enak dengerin tausiyah, Mell.”
28
”Kita pulang, Bapak udah nyariin dari tadi, keterlaluan!” istighfar dalam hatiku berujar. Sebegitukah
antinya dia dengan kami? Padahal pacarnya, IKHWAN???
Ya Rabb... dia, Yudha? Ikhwan? Pacaran?
***
Di perjalanan pulang, aku tak sanggup menatap mata Mell, yang sepertinya masih tetap bad mood karena
kejadian tadi. Wajahnya yang angkuh terlihat jelas saat dia mulai memaki-maki pengendara motor yang hampir
menyenggol mobil kesayangannya. Aku memberanikan diri untuk berbicara langsung padanya.
”Mell, sejak kapan kamu pacaran ama Yudha?”
”Sejak... enam bulan yang lalu. Emang kenapa?”
”Nggak apa-apa sih, mmmm... Dia masuk Rohis, sejak kapan?”
”Kelas satu SMA! Kenapa? Kamu kayaknya ga’ rela aku pacaran ama dia? Karena dia terlalu alim
untukku?”
”Yeee. Jangan sewot dulu dong. Aku kan cuma pengen nanya!” tiba-tiba, ponselku berdering!
”Assalamu’alaikum. Vel? Pa kabar dek?”
”Baik, Kakak gimana? Kapan ke Pekanbarunya? Kita-kita udah pada nungguin lho!”
”Dek, kakak udah disini kali! Kakak tunggu ya, kalian kesini. Ok?”
”Ok, Assalamu’alaikum. Dadaaaaadada!” kami saling menatap setelah itu arah mobilpun berputar ke arah
yang berlawanan.
***
”Jadi gitu, kak. Mell emang keterlaluan, kan?”
”Mell, benar apa yang dibilang Velia?” tanya Kak Sara dengan nada kecewa bercampur sedih.
Dia mengangguk dan tersenyum. Memang Mell ga’ punya hati. Dia telah menyakiti perasaan orang yang
sangat mencintainya. Orang yang telah mengorbankan imannya. Apa tidak pantas, kalo dia dihargai sedikit saja?
Kenapa kenyataan pahit ini yang harus ditelannya?
Yudha, aku kadang merasa kamu terlalu baik untuk Mellifsha. Dia begitu kejam padanya. Dia
merajammu dengan cinta yang palsu, cinta yang hina. Sedangkan kau mengartikan cinta adalah kesetiaan. Kau
pernah bilang pada Kak Sarafsha, bahwa Mell adalah wanita pertama dan terakhir dihatimu. Kau menyukainya
sejak kecil. Kau begitu memujanya. Tapi dia? Apa yang dia berikan kepadamu? Hanya kekecewaan, bukan?
Sudah jelas dia menyakitimu, dia menyakitimu di depan matamu sendiri. Apakah kamu ga’ sadar?
***
”Gimana, Vel? Bajunya bagus kan?”
29
”Kamu seperti cinderella, Mell!”
”Ah... kamu bisa aja!” senyum angkuhnya terkembang kembali. Mell... Mell...
Malam ini adalah hari bahagia Mell, dia terlihat begitu manis dengan pakaian yang lumayan tertutup.
Teman-temannya sudah berada di halaman belakang rumah yang sederhana ini, namun unik. Tapi, Yudha, dia
belum datang. Aku berjalan ke arah luar. Semua mata tertuju padaku. Memang pakaiankulah yang paling lain dari
semua orang. Dengan baju gamis pink dibaut kain bercorak sama, membuat semua mata tak lepas menatap model
pakaianku yang ga’ kuno-kuno banget.
Sesuatu bergetar dalam saku bajuku. Sepertinya ada sms.
Ass. Vel, afwan... aku telat, tlg blg ke Mell ya, dari td ak mau ngubungin tapi mailbox terus. Syukron.
Yudha.
Ku kembalikan benda itu ketempatnya semula, aku berbalik arah berjalan mencari Mell. Gadis bergaun
hitam minimalis itu membuatku sedikit cemas. Apa reaksinya nanti?
Malam itu mendung, baru saja hujan turun lebat sekali. Air yang tergenang di sudut taman membuat
hatiku sedikit galau memikirkan hidup. Aku berjalan perlahan ke tengah kerumun maniak pesta. Para tamu
menatapku dari jauh seakan bertanya ”Kapan nih di mulai?”
”Vel, dari mana aja?” suara serak Kak Sara menyapu kabut di hatiku.
”Keliling-keliling.”
”Kalo mau patroli jangan disini donk, noh di kampung sebelah, lagi banyak malingnya. Sana gih!” Kak
Sara ternyata bisa bercanda juga. Tertawa yang renyah pun pecah bersatu bersama mendungnya kelam.
”Vel!” aku menoleh ke belakang. Ku lihat Mell berjalan menghampiriku.
”Vel! Ngelamun aja! Mmmm... acaranya mulai aja!”
”MC nya masih disini, gimana mau mulai?” giliran Kak Sara menyindirku.
”OK deh... sorry, aku mulai ya?”
”Silahkan!”
Acara telah ku mulai dengan cukup baik. Disepertiga acara aku melihat sosok pria yang tak ku kenal
mengantarkan sebuah paket atas nama Mell. Setelah acara resmi selesai. Aku berusaha mengorek apa yang terjadi
pada Mell? Karena dia tak keluar dari kamar hingga saat acara hampir usai.
Aku melangkah perlahan menuju kamarnya.
”Assalamu’alaikum.”
”Mell? Ada apa?”
Diam. Hening. Aku melihat sebuah boneka terbuat dari kristal yang tergeletak begitu saja diatas kasur.
Boneka seorang gadis yang memakai kerudung dengan rambut yang sedikit terurai. Indah sekali.
”Wah, bagus sekali. Hadiah dari siapa?”
”Aghhh... Aku lagi bete nih! Apa sih maksudnya ngirimin ini? Terus kenapa dia ga’ datang? Aku ga’
butuh cowok lemah kayak dia. Ga’ butuh!” dia marah, mukanya merah.
30
Aku tak mengerti, Mell kenapa? Apa dia tidak puas mendapat pria yang begitu tulus mencintainya apa
adanya. Apalagi maunya?
”Mell, ini dari Yudha kan?”
”Itu? Aku ga’ butuh! Kamu tahu Vel, aku dari dulu pengen mutusin dia! Aku muak sama dia!”
”Mell... Kamu keterlaluan! Yudha begitu tulus menyayangi kamu, dia mencintai kamu karena ingin
merubah kamu. Dia ingin membawa kamu ke dalam dunianya. Dia hanya ingin kamu bahagia. Apa dia salah?”
”Vel, kamu tahu apa tentang cinta?”
”Cinta bagiku bukan seperti cinta bagimu. Cintamu nafsu.”
”Terserah... kamu baca ini!” dia menyodorkan sebuah kertas putih yang ditulis tangan oleh seseorang.
Apakah kau percaya aku sepenuhnya saat aku jauh darimu
Sudikah kau menghapus air mata tertumpah saat aku tergelak lemah.
Mungkinkah ku mendengar jawabmu dari hati yang terdalam
Yakinkanku jangan buatku meragu
Cintamu bisa membunuhku,
Bila tiada percaya dalam hatimu
Cintamu bisa tegarkanku
bila kau percayakan hatimu padaku selamanya.
Sanggupkan kau redamkan api cemburunya saat aku tak bersamamu.
Mungkinkah ku dengar jawabmu dari hati yang terdalam
Yakinkan ku jangan
Buatku meragu...
Yudha Prasetya Diaz
”Apa tujuannya membuat seperti ini?” Mell menyambarku dengan sigapnya saat aku selesai membaca
kata-kata itu.
”Mell, apapun yang terjadi, aku mohon jangan lukai dia. Dia begitu baik untukmu.”
”Apa hakmu Vel? Sudahlah aku bosan!” dia keluar membanting pintu kamarnya.
Aku menatap patung itu dalam sekali. Aku teringat saat pergi ke Mall SKA, aku melihat toko perhiasan
yang menyediakan ukiran patung dari kristal campuran. Saat itu seorang gadis mengukir bentuk hati sebesar
kepalan tangan. Kalo tak salah dengar harganya mencapai setengah juta. Apalagi ini? Patung yang lebih rumit.
Aku penasaran sekali. Saat itu aku menemani Kak Sara membeli perhiasan. Aku masih ingat dimana aku
menyimpan kantong belanjaan di toko itu. Aku meraihnya segera, dan melihat nomor teleponnya. Segera kuraih
mobilephone yang kubiarkan menyendiri diatas meja dari tadi pagi.
”Selamat malam, ada yang bisa kami bantu?” suara seorang perempuan mengawali sambungan udaraku.
31
”Malam, saya mau nanya Mbak? Barusan, ada ga’ pegawai toko Mbak yang nganterin pesanan patung
kristal ke jalan Arifin Ahmad?”
”Ga’ ada tuh mbak, coba hubungi toko kami yang di Ciputra.”
”Ya udah, makasih ya Mbak... Oh ya, di kota ini ada berapa toko yang punya pelayanan khusus seperti
pembuatan patung kristal?”
”Cuma Toko kami, itu hanya ada dua di kota ini.”
”Makasih ya Mbak.”
”Kembali.” aku langsung menghubungi nomor kedua.
”Ada Mbak.” hatiku bahagia sekali, akhirnya kutemukan.
”Boleh nanya Mbak, harganya berapa?”
”Oh itu, bentar ya Mbak.” aku menunggu cukup lama.
”Dua juta lima ratus ribu, Mbak.”
”Apa? Oh ya udah, makasih ya Mbak.”
”Kembali.”
DUA JUTA LIMA RATUS RIBU !!!!
Duit dari mana? Yudha kan masih anak sekolahan, darimana duit sebanyak itu?
Aku berfikir keras sekali.
Aku berusaha menghubunginya, tapi handphonenya ga’ aktif. Ada apa?
***
Pesta telah usai, semua keluarga sudah berkumpul di ruang keluarga, tertawa dan bahagia. Sedangkan aku
merasa resah sendiri. Tiba-tiba aku mendengar teriakan dari bawah. Aku segera turun. Sendiri.
Aku melihat Yudha datang basah kuyup, karena hari itu hujan semakin hebat menghantam bumi. Aku
melihat dari kaca, Mell memaki-makinya. Aku tak berhak ikut campur. Itu urusan mereka. Aku hanya bisa
menggelengkan kepalaku. Begitu sulitkah hidup ini?
Pagi yang cerah, tapi tak secerah hatiku. Apalagi saat aku melihat patahan kristal mahal itu di tong
sampah. Aku terkejut, sungguh semua ini menghentakkan jantungku. Aku menatap penuh benci pada tubuh yang
masih tergeletak di atas kasur. Ingin rasanya aku berteriak dan membentaknya. Tapi, apa hakku? Aku hanya
saudara sepupunya. Siang itu, aku memutuskan untuk pulang ke Padang. Liburanku berakhir sendu. Tapi, aku
bahagia karena bisa mengambil sebongkah pengalaman yang tak terkira mulianya.
***
Malam ini, aku mengurungkan niat pergi ke Rumah Bu Sarah. Aku menghubungi Zahra, memberitahukan
padanya bahwa besok aku akan ke Pekanbaru untuk melihat jasad Kak Yudha yang telah pergi meninggalkan
tawa dunia karena kecelakaan lalu lintas. Malam ini juga aku memesan tiket travel ke Pekanbaru, aku memang
32
harus kesana. Kak Yudha begitu baik padaku, dia menggantikan Vahriz untuk sementara. Dan selain itu aku ingin
menenangkan perasaan Mell yang galau.
Pagi menjelangku, tubuh yang lemah ini masih bisa kupaksa untuk berdiri dan berjalan menuju motor
kesayangan ayah. Setelah pamit pada Bunda tercinta, aku meraih ransel yang tak begitu berat, dan
menyandangnya ke pundak yang letih.
Aku tinggalkan kota Padang. Ini adalah pilihanku.
Tiba-tiba sebuah sms dari Zahra mengusik lamunku saat berada di atas mobil yang melaju ke kawasan
Ketaping.
Ass.Ukhti, afwan ana lupa ngsh tau, hr ini Kak Kahfi ke Sngpur, kt dmnta nganterin dy. Ana sdh di
bandara... 5 mnt lagi Kak Kahfi mo pergi. Ada pesan?
Apa? Kahfi mau pergi? Dan Zahra baru kasih tahu? Apa maksudnya? Keterlaluan, padahal dia tahu aku
mau pergi. Apa salahnya dia bilang lebih awal, dan aku bisa membatalkan keberangkatan ini. Keterlaluan!
Apa yang harus aku lakukan? Hari ini adalah yang paling aku nantikan untuk mengakhiri cerita cinta ini.
Jika aku tak mengantar kepergiannya berarti cerita ini belum usai. Aku tak mau semua ini tergantung.
Sebenarnya, jika aku mau ku bisa berhenti disini, karena daerah ini dekat dengan Bandara Internasional
Minangkabau. Tapi, apa bisa?
Aku berfikir keras kembali. Memang hidup adalah sebuah pilihan. Aku harus memilih antara dua.
Menemui Kahfi atau segera menemui jasad Kak Yudha. Ya Rabb... sungguh aku bingung dibuatnya.
Aku ragu harus memilih yang mana?
Mobil kijang Taruna ini terus melaju, beberapa menit lagi melewati jalan menuju Bandara. Haruskah aku
berhenti dan mengakhiri cintaku? Atau aku harus tetap disini menghargai saudaraku, dan membiarkan cerita ini
mengambang untuk selamanya. Sungguh aku ragu dalam bimbang yang berkelanjutan. Aku panik sekali, jaraknya
semakin dekat. Apa yang harus aku perbuat untuk mempertahankan waktu yang singkat ini.
”BERHENTI!”
Seketika rem mobil menghentakkan pejalnya. Seiisi mobil menatap padaku, kesal dan cemas. Aku
menatap mereka satu-persatu, rasanya tak tega jika aku,
”Ada apa, dek?” tanya supirnya.
”Saya, mau turun disini, boleh? Masih tetap bayar ya?”
”Memangnya ada apa? Ada barang yang ketinggalan?”
”Tidak, saya ingin ke bandara, saudara saya mau berangkat hari ini, saya merasa ga’ enak hati jika tidak
melepasnya.” semua mantap memandangku iba.
”Baiklah, kita ke bandara dulu, tak apalah!” supir itu memutar badan mobilnya ke arah bandara. Tak ada
suara protes ku dengar dari penumpangnya.
Setiba di bandara, dengan sigap aku berlari. Aku mencari dimana dia? Aku bingung, saat aku menemukan
sesosok tubuh yang tak beda denganku, aku tersentak seketika. Tubuh itu berjalan berbalik arah. Zahra. Di
belakangnya diikuti Kak Kanan, Kak Kiriena, dan Bu Sarah. Dia telah pergi. Apa gunanya lagi aku disini. Aku
33
kembali ke dalam mobil itu. Semua bertanya padaku. ”Ketemu?” aku menggeleng lemas dan mengucapkan terima
kasih yang tulus. Kahfi, mungkin memang benar, semua ini belum berakhir. Jalanku masih panjang. Bukan hanya
untukmu. Dan aku harus menentukan pilihanku, menghadap jasad sang Pangeran cinta, Yudha.
***
Pekanbaru mendung, aku sampai ketujuan ba’da Maghrib. Seusai Shalat aku diajak Kak Sara makan di
Cafe bawah. Setelah makan dan Shalat Isya di kamar, Kak Sara menceritakan semua yang terjadi pada diri
Yudha.
”Yudha yang malang. Awalnya hubungan mereka setelah kamu pergi, kurang baik. Yudha jarang kesini.
Dia menghilang beberapa hari. Ternyata setelah Kakak cari tahu dia bekerja di sebuah Restoran Padang. Dia
menjadi tukang cuci piring. Tabungannya habis untuk membeli kado Mell. Dia hanya anak yang sederhana, bulan
lalu dia menjual handphonenya untuk biaya sekolah adiknya. Profesi yang dipilihnya itu, hanya untuk memenuhi
keinginan sang kekasih hati, Mell. Tapi, tak ku sangka Mell berlaku tak adil padanya. Mell pacaran sama Jodie,
tanpa sepengetahuan Yudha. Mereka pacaran sampai lima bulan. Mell, memang tak berperasaan. Aku tak
menceritakan perihal kerja Yudha, aku menyembunyikannya, karena takut nanti menjadi masalah. Yudha masih
terlihat ceria.
Seminggu setelah itu, hubungan mereka membaik, setelah Yudha mengisi pulsa Mell. Mell memang
matre. Dia selalu membandingkan Jodie dengan Yudha, ketika laki-laki itu menolak salah satu keinginannya.
Siapa yang tak sakit diperlakukan seperti itu? Yudha pernah cerita padaku, dia ingin melihat Mell mengenakan
jilbab seperti dirimu dan aku. Dia ingin orang yang dicintainya seperti dia. Segolongan dengannya. Kadang, aku
bingung kenapa dia bisa buta karena cinta? Masih banyak gadis berjilbab yang bisa menjadi pasangan nya kelak.
Kenapa harus Mell? Begitu banyak penderitaan yang dialami Yudha. Penyiksaan batin selama ini sudah kebal
untuknya. Dia selalu sabar dan mengalah untuk Mell. Dia merasa kesetiaan cintanya takkan pernah pudar dan
mati. Kesetiaan adalah hal yang dia pegang teguh sejak mengenal Mell. Dia berjanji akan setia mencintai Mell,
meskipun dia melukainya. Mell tetap yang tercinta. Tapi, apa yang terjadi? Kesetiaan yang dia banggakan hanya
menjadi lumuran darah dosa.
Dia meninggal dunia kemarin malam karena kecelakaan naas itu. Kau tahu Vel? Kenapa? Dia kecelakaan
saat Mell menyuruhnya untuk datang ke Rumah, hanya untuk memperlihatkan Handphone barunya. Padahal
Yudha baru saja sampai di Rumah. Malam yang kelam dengan mata yang terkantuk. Tapi tetap bertahan terjaga
untuk yang tercinta. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan sebuah truk menghantam tubuhnya. Kemudian semua
remuk, kecuali jasadnya yang terlempar ke rumput. Setelah mendapat pertolongan, dia di bawa ke Rumah sakit
Awal Bros. Rumah sakit terdekat. Memang mahal, bahkan sangat. Tapi, apa boleh buat, ini darurat. Setelah diberi
tahu, kami segera menuju ke sana. Dia masih sadar saat itu, dan memohon kepada dokternya untuk menghubungi
Mell, dia memberikan nomor tersebut. Maka dari itu, kami langsung tahu. Dan dalam perjalanan Mell
menghubungi keluarganya. Setiba di Rumah sakit, aku melihat wajah Mell untuk pertama kalinya cemas pada
34
Yudha. Beberapa saat kemudian keluar dokter yang hanya pasrah menggelengkan kepala. Mell menangis sejadi-
jadinya.” suara Kak Sara serak sekali, tangisnya sudah habis mungkin.
Tak kusadari air mataku meleleh deras sekali. Aku menatap ke arah benda yang dulu patah dua, dan kini
telah bersatu kembali yang tergeletak di pinggir lemari. Aku menatap ke arah jendela, Cafe yang teduh, tempat
dimana dulu kami berempat bersuka cita. Di pinggir taman, aku melihat Mell dengan baju tidurnya, masih
termenung dan menangis. Kak Sara mengajakku untuk membujuknya kedalam.
***
Wajah yang mendung, raut yang kusam aku melihat ke arah gadis belia yang dulunya ceria. Hari ini hari
kedua ku di Pekanbaru. Aku diantar Kak Sara menuju peristirahatan Yudha. Setelan putih membalut tubuh kami
berdua. Aku memberikan salam dan doaku untuknya, doa untuk kakakku. Aku tak bisa melupakan nasehatnya
untukku, untuk menjadi jilbaber sejati. Kak Yudha... engkau tokoh dalam perjalanan hidupku, engkau menjadi
cerita bagiku, tentang mengenal arti cinta dan mengais makna kesetiaannya.
Terbanglah kau bersama kesetiaanmu untukNya.
35
*3*
GREEN BOX
“Assalamua’laikum,” salam pun berbalas. Aku berdiri di depan pintu rumahnya yang telah pergi
meninggalkanku. Rumah yang cukup menyimpan kenangan terindah dalam hatiku.
”Vel? Masuk, sayang!” suara Ibu Sarah yang lembut membuat kerutan senyum dibibirku.
Setelah dipersilahkan duduk, beliau berjalan ke arah sebuah kamar dan kembali membawa sebuah kotak
hijau.
”Sebelum pergi, Kahfi menitip ini buat Velia.”
Kahfi? Memberikan benda itu padaku? Ohhh... aku nggak percaya!!!
Aku menerimanya tanpa komentar apa-apa. Tanganku bergetar, rasanya aku ingin segera lari dan pulang.
”Vel, nanti datang ya, kita ada rapat di Masjid.” suara Kak Kanan menyentakkan diamku. Aku
mengangguk.
”Vel, Ibu mau nitip sesuatu boleh?” aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk.
Beliau melangkah ke belakang. Dan membawa sesuatu yang dikemas di dalam tempat plastik.
”Titip ke Bunda, ini brownies kesukaanmu bukan? Di bawahnya, ibu selipkan resepnya. Jadi, kamu bisa
memakannya tiap hari.” senyum yang dihadiahkannya padaku begitu manis. Mungkin lebih manis daripada kue
itu.
Aku mengais kembali bahagiaku. Aku berjalan dengan senyum dipipi yang tak berhenti mengembang.
Sungguh, ini adalah sesuatu yang diluar khayalku. Sebuah kotak hijau yang dihadiahkannya untukku.
Kamar yang rapi dan bersih menjadi saksi bahagia ini. Aku baringkan tubuhku dan perlahan membuka
kotak yang indah itu. Astaga!!! penuh dengan surat. Perlahan kuambil salah satu dari surat itu. Amplop biru muda
yang manis.
To : Gadis berkerudung
Sejak pertama, aku melihat kamu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Andaikan kamu tahu apa yang
kurasakan saat kita satu pesantren di Masjid. Debar itu begitu kuat. Meskipun kini aku masih kelas 2 SMP,
mungkinkah ini yang dinamakan cinta monyet? Aku tak mengerti. Kamu ingat, waktu kamu melantunkan Nasyid
di depanku. Mataku tak lepas dari senyummu yang ceria. Masih ingatkah kamu, ketika kita hampir tabrakan. Aku
melihat tatapan kebencian dari matamu. Entah kenapa? Dan apa salahku? Kadang aku berfikir konyol, mungkin
kamu terlihat kesal, karena cemburu, hehehehe. Oh ya, aku ingin sekali tahu siapa namamu. Rumahmu aku sudah
tahu lho... Karena seringkali aku melihatmu masuk ke rumah sederhana tapi asri itu. Entah kapan, aku bisa
memasukinya. Aduh... andaikan jarak kita dekat, pasti hal ini tak kan kulakukan. Sayang sekali, kita jauh...
36
Aku masih ingat, saat kamu mendengarkan aku berdakwah. Kamu tenang, tidak seperti perempuan yang
lain. Tapi, aku tangkap dari tenangmu itu, kebencian yang mendalam. Andai kamu ingat, waktu salah seorang
temanmu meminjam catatanku. Kamu juga melihat bukan? Saat itu aku senang sekali, karena kamu mau
menyentuh dan membaca bukuku. Setiap lembarnya aku isi dengan kata-kata mutiara, kamu masih ingat?Itu
semua semata hanya kuperuntukkan untuk menunjukan perasaanku padamu. Hai gadis? Aku tak mengenalmu...
mungkin lain kali dan waktu aku bisa mengenalmu. Mungkin saat kamu baca ini, kita sudah begitu dekat, iya
kan???
Kahfi
21 Mei 2000
Kahfi, menulis semua ini??? Hatiku berasa batu. Aku tak percaya, semua ini untukku. Kisah yang
diceritakannya, serupa dengan hal yang kurasakan. Baru aku sadari, kini bahwa dia juga merasakan hal yang sama
denganku. Cinta.
Ya Rabb... Engkau begitu mencintaiku. Tapi, aku? Apa yang aku berikan kepadaMu? Hanya dosa, dosa,
dan dosa. Kadang aku berfikir, begitu banyak anugerah yang engkau berikan kepadaku. Anugerah yang indah,
tapi apa yang bisa aku perbuat untuk semua ini. Cintaku padaMu mungkin tak akan bisa membalas semua yang
telah Engkau beri padaku. Apa cintaku ini saja cukup Ya Rabb?
Aku menatap langit kelam penuh bintang. Aku genggam erat kotak itu dalam pelukanku. Aku kembali
mengingat masa-masa dimana aku bersama orang yang aku cintai karena cintanya kepada Dzat yang paling dan
sangat aku cintai, Allah.
”Vel, udah lama ga’ kelihatan nih? Lagi sibuk ya?” suara syahdu Bu Sarah membuat hatiku bagaikan
tersiram madu, begitu sejuk, manis.
”Iya nih bu, akhir-akhir ini banyak kegiatan di Sekolah. Ibu sendiri, kok baru kelihatan?”
”Ibu juga sibuk, banyak acara juga. Oh ya, untuk acara minggu besok di Masjid, ada ide? Bikin acara
yang menarik misalnya?”
”Mmm... acara apa ya? Coba tanya ke Mbak Kiriena, Bu?” aku menunjuk gadis yang sedang berjalan
menuju tempat duduk kami.
”Ada apa Bu?” dia mendekap tangan Bu Sarah ke keningnya.
”Na, ada ide ga’ untuk acara penyambutan Ramadhan, tahun ini?”
”Gimana kalo kita bikan acara tabligh akbar aja, Bu? Nanti, mungkin bisa kami bicarakan kepada
Pengurus Masjid.”
”Boleh, ide bagus! Nanti biar Ibu bilang ke Kahfi dan Kanan.”
”Kahfi, masih di Padang Panjang, Bu?”
37
”Masih, bentar lagi juga mau tamat, rencananya dia mau ngambil tes beasiswa ke NTU, doain aja lulus.”
”Amin. Biasanya anak-anak jebolan SMA 1 Padang Panjang mudah kalo mau sekolah ke luar negeri.”
”Nah, Vel! Rencana besok mau kuliah dimana?” tanya Ibu guru tercintaku itu, menghamparkan
lamunanku tentangnya.
”Apa Bu? Rencana? Kayaknya kuliah disini aja deh, kasihan Ayah sama Bunda, ntar mereka kesepian
pula.” jawabku sedikit merajuk kepada Ibu yang lebih pantas ku panggil nenek itu.
Kami duduk bersimpuh melingkar di dalam Masjid. Membicarakan tentang acara yang akan diadakan
beberapa hari lagi. Ramadhan menyapaku kembali, saat-saat inilah biasanya aku lalui dengan menjadi secret ad
mire. Aku hanya bisa menatap dan berkhayal tentang dirinya. Kadang aku tak berniat untuk bisa berkenalan
dengannya. Bagiku itu mustahil. Yang aku mau hanya dia bisa mengenal namaku. Dan untuk lebih dari itu aku tak
terlalu berharap.
Tiba-tiba sejuta ide hinggap di benakku. Aku bisa memanfaatkan acara ini untuk bisa dekat dengannya.
Tapi, aku malu. Aku tak ingin dikatakan wanita yang agresif. Aku harus jaga imej di depan semua orang. Salah
satu ide brilianku itu ku beritahu kepada Kak Kiriena. Dia seorang akhwat yang manis, dia pernah curhat padaku,
bahwa dia mengagumi Kak Kanan. Mereka memang cocok. Sepertinya pria tinggi dan berpostur tubuh bagus itu
juga merasakan hal sama dengan Kak Kiriena.
***
”Wah, ide bagus, tuh Kak!” seru gadis-gadis ABG di dekat Rumahku. Mereka semua rata-rata fans berat
sama yang namanya Ashabul Kahfi. Orang yang mengisi hari-hariku dengan tawa. Karena hanya dengan
menceritakan tentang dirinya lah aku bisa senang, bahagia, dan tertawa. Dialah yang memberikanku motivasi
untukku. Aku selalu meniru tingkahnya yang begitu menunjukan bahwa dia begitu mencintai ALLAH dan
RasulNya. Bagiku dia begitu sempurna. Betapa tak bangganya hati Ibu Sarah Al-Qarni, yang memilki tiga anak
yang semuanya Sholeh. Ahmad Kanan, Ashabul Kahfi, dan Aidha Kiyaza. Aidha adalah adik Kahfi yang berumur
sebaya denganku. Dia sekolah di Malaysia. Aku, Zahra, dan Aidha adalah tiga serangkai yang sempat ada di
daerah ini. Itu dulu, saat kami masih kecil. Saat aku belum tau tentang kedua kakak laki-lakinya yang kini
menjadi idaman banyak wanita. Karena, waktu itu Aidha tinggal dengan neneknya. Ibu Sarah, Kak Kanan, dan
Kahfi tinggal di Bandung. Mereka baru pindah enam tahun yang lalu.
”Kita akan bikin acara pementasan drama Islami.” jelas Kak Kiriena kepada gadis-gadis belia itu.
”Aku bersedia menulis ceritanya.” tawarku kepada mereka. Semuanya bersorak senang, begitupun hatiku.
Hari-hari itu kulalui, sangat melelahkan. Setiap hari paling cepat aku pulang pukul 11 malam.
Selesai. Skenarionya selesai.
Aku segera print sebanyak 2 rangkap, lanjutnya akan ku fotokopi. Malam ini, kami akan ke rumah bu
Sarah. Kami ingin meminta guru manis itu untuk memberi pendapat. Jilbab yang teruntai indah hingga dadanya,
38
sangat menyejukan hati. Beliau merespon positif rencana ini. Waktunya sebentar lagi, kami berlatih serius sekali.
Aku sebagai pengarah yang baik, selalu tertawa melihat adegan yang unik dan lucu.
Malam pementasan, aku tak melihat satu orang pun dari anggota keluarga bu Sarah. Beliau pun sulit
kutemukan. Mungkinkah?
Tiba-tiba dari balik tundukku terlihat langkah Kak Kanan yang tergopoh-gopoh. Aku mendongakkan
kepala. Dia berjalan menuju tempat kepanikan Kak Kiriena. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang
penting sekali. Saat itu aku tak peduli lagi. Kahfi akan datang atau tidak? Lelaki yang tua dua tahun dariku itu,
membuatku resah. Setelah kepulangannya tahun lalu dari Swedia, aku sedikit lega. Karena secara tidak langsung,
masih ada satu tahun lagi dia di lingkungan hati ini. Dia memang cerdas, sangat. Kelulusannya mengikuti AFS
waktu itu, kini membawanya lebih lama di dekat kami. Memang aku tak terlalu berharap dia mencintaiku atau
lebih dari itu. Suatu saat dia mengenaliku, hanya itu yang aku inginkan! Just it!
Perasaan apa ini? Konyol!
Aku seorang muslimah, anak Rohis, jilbaber pula. Kenapa mudah sekali tersengat virus cinta ini? Aku
ingin melupakannya dan masa lalu, tapi? Sulit. Wajahnya selalu membayangi langkahku. Senyumnya dan
candanya membuat aku sering hanyut dalam kenistaan. Bantu aku untuk menyembuhkan sakit karena virus ini Ya
Rabb?
Lapangan di depan Masjid ku ramai sekali. Panggung itu terpasang kokoh sekali. Anak-anak teater telah
bersiap-siap untuk berlaga. Aku tersenyum bangga dari jauh. Mereka memandangiku dengan tatapan mata dan
senyum yang hangat. Seorang gadis yang muda setahun denganku menghampiri. Dia bintang utama.
”Kak, kenapa? Ada yang ditunggu? Kak Kanan kan dah datang tuh!” dia menunjuk ke arah pria yang
asyik bercanda dengan Kak Kiriena.
”Nunggu bu Sarah, dek. Gimana persiapannya? OK!”
”Aku nervous. Oh ya, Kak Kahfi ga’ datang? Kok ga’ kelihatan?”
”Mungkin, dia ada halangan jadi ga’ bisa deh.” aku merintih dalam hati. Gelisah menyelimutiku.
”Yaaaah..!” dia kecewa, dan kembali pada tempat dia duduk semula. Aku masih terus menanti di depan
pagar. Lucu!!! Seorang jilbaber menunggu ikhwan di pagar. Konyol!
Tiba-tiba, terdengar suara Kak Kiriena sang sutradara.
”Bagus itu, nanti akhirnya kita tambah dengan figuran,” dia melirik ke arahku yang masih melotot
mendengar teriakannya.
”Velia dan,” kini matanya beralih pada Kak Kanan.
”Kahfi.” suara Kak Kanan membuatku tersentak. Aku terkejut, dan,
”Assalamu’alaikum.” suara itu? Kahfi?
Aku menoleh ke belakang. Dia dibelakangku, jalan menunduk. Dia melewati badanku begitu saja. Tiba-
tiba berhenti.
”Maaf, ibu ga’ bisa datang, katanya.” aku mengangguk. Dia berlalu. Ya ampun... Dia bicara padaku!
”Bagaimana Kahfi? Kamu bisa akting kan?” tanya Kak Kanan sedikit menggoda.
39
Dia tersenyum. Aku berjalan ke dalam dan mencoba mencari kesibukan yang lain. Dari jauh aku melihat
wajah Kak Kiriena yang tersenyum lebar. Apa maksudnya?
”Kak Vel, boleh ga’ aku bicara ama Kak Kahfi?”
”Apa? Bicara? Kok mesti izin sih? Emangnya aku ini siapanya? Kalo mau ngomong, yah silahkan aja.”
”Ups... Aku lupa, Kak Vel kan masih calon istri... Hehehehe.” mereka menggodaku terlalu. Rasanya aku
ingin terbang. Dasar! ABG genit.
Malam itu indah sekali, di tambah dengan hangatnya pementasan drama. Karyaku!
Kahfi tersenyum pada Kak Kiriena, ketika wanita aktif itu menawarkannya peran figuran bersamaku.
Hanya menjadi sepasang Ustadz dan Ustadzah yang pergi ke pernikahan si bintang utama. Mereka hanya
memberi sedikit saran untuk menjalani rumah tangga yang sakinah. Wah!!! Pernikahan? Terlalu dini untuk
dibicarakan. Itu menurut pendapat orang. Menurutku, itu adalah topik yang standar, malah menarik. Jika nanti ada
yang mau menikah sama aku selepas SMA. Why not? Nikah dini? Siapa takut! Toh, dari kegiatan ini melahirkan
sebuah keluarga. Setahun setelah pementasan, Kak Kanan dan Kak Kiriena menikah. Dan kini mereka sedang
menimang anak kembarnya. Nina dan Nino.
Aku kembali menatap kotak hijau lembut itu. Sudah cukup jauh aku menerawang. Aku kembalikan
ingatanku. Sebelum aku beranjak meninggalkan kamar. Aku ambil satu helai surat terakhir. Isinya panjang sekali.
Dear : Velia Andyra (aku udah tau lho, namamu!!!)
Hai? Apa kabar? Aku kira waktu kita liburan ke Padang Panjang itu, adalah pertemuan ku yang pertama
dan terakhir denganmu. Pertemuan yang begitu dekat. Ternyata, Allah masih sayang padaku. Kita dipertemukan
sebelum itu. Aku menangkap gundah di hatimu. Ada apa? Beberapa hari lagi aku akan ke Singapura. Aku tak
tahu kapan akan kembali? Maunya secepatnya. Kamu pasti menantikan? Kamu masih ingat? Saat kita
berpapasan dijalan dan hampir tabrakan? Aku sungguh terkejut. Sangat. Kau tiba-tiba hadir setelah tundukku.
Kau memancarkan sinar hatimu. Sepertinya kau pun terkejut? Ada apa? Apakah kau masih membenciku? Aku
melihat kau begitu cuek saat bicara denganku. Kau acuh. Aku senang tapi sedikit kecewa. Maaf, jika waktu itu
kamu tersinggung. Masih ingat ga’? Waktu aku menawarkan makanan dan minuman di depanmu dan Kak
Kiriena, waktu malam perpisahan itu. Aku hanya menawarkan pada Kak Kiriena saja. Habis, aku grogi bicara
sama kamu. Maaf ya.
Velia, semua terasa indah bagiku, hari-hari yang aku lewati jika ada kamu, akan menjadi kenangan
paling terindah dalam hidupku. Aku bangga padamu, kamu hijrah memakai hijabmu. Luar biasa!!! Aku tak
pernah mengira gadis tomboy nan cuek bisa berubah menjadi gadis feminin yang anggun. Akhwat pula!
Vel, aku tahu ini salah, tak seharusnya aku begini. Virus ini sudah menyerangku, aku sulit untuk
melupakan rasa yang konyol ini. Malam ini, kamu ga’ datang... Zahra bilang kamu lagi sibuk berurusan dengan
Yudha. Siapa dia? Zahra bilang, kalian begitu dekat, sehingga kamu lebih memilih mengurus tentang dia
daripada kesini. Mukaku memanas saat itu. Aku sudah titip pesan ke Zahra, besok kamu harus datang melepasku.
Aku berharap detik-detik terakhir ini kamu datang, dan kotak ini akan aku berikan padamu.
40
Velia, aku ragu atas jawabanmu nanti untukku. Tapi, aku tak peduli, yang pasti semua sudah ku ungkap
padamu. Kalau kamu memiliki perasaan yang sama denganku, apakah kamu mau menungguku? Kamu tahu,
malam ini jika kamu hadir dihadapanku, aku akan bilang langsung padamu. Kamu tahu, keinginanku sebelum
pergi adalah menikahimu. Gila!!! Memang. Tapi, ini keinginan terbesar dalam hidupku. Namun, waktu mencekik
inginku. Velia Andyra, maafkan aku mencintaimu, terlalu. Maafkan aku telah menambah bebanmu, maafkan aku
menyita waktumu, maafkan aku merenggut asamu, maafkan aku melucuti perasaanmu. Maaf...
Aku menangis deras sekali, dia begitu mencintaiku. Aku genggam surat yang tak terbaca penuh itu, aku
berjalan ke balkon atas kamarku. Ku tatap bintang-bintang yang berkedipan ditemani bulan yang melengkungkan
senyuman.
Aku resah...
Entah perasaan apa ini?
Bahagia? Sedih? Luka? Kecewa? Atau hampa?
Saat mentari mendekatiku,
Aku semakin gundah dalam tawa yang terpaksa.
Akankah ada yang mengerti?
Aku sendiri...
Tersiksa dengan perasaan ini,
Kenapa? Semakin aku ingin melupakannya
Semakin aku dibayangi dengan perpisahan pahit itu
Dia telah pergi...
Dia telah lenyap dari tawaku,
Dan berlalu melebur dalam tangisku.
Entahlah...
Aku bingung,
Virus ini telah merusak rasaku,
Mereka telah menyebar dan menyatu dalam banyu.
Mataku galau, saat mencoba untuk menerima keputusan pahit itu.
Dia pergi tak kembali,
Perpisahan untuk selamanya,
Aku sendiri...
Menahan isak yang tak tertahan.
Biarlah terus begini,
Terus menjadi bintang sendiri.
Jalanku terasa takkan pernah terputus,
41
Jalan yang panjang...
Aku tak boleh sedih seperti ini.
Aku harus tersenyum pada mentari.
Padang, akhir bulan kepahitan untukku...
Kahfi, teruslah kau jadi memori terindah dalam hidupku. Aku akan menantimu...
Begitu indahnya saat-saat itu kurasakan, saat rasaku berbalas, saat dayung bersambut, hatiku terasa terisi
penuh oleh cinta dan bahagia. Tetapi, dalam batinku tersiksa, kenapa harus aku jatuh cinta saat ini, saat aku baru
mengenal bahaya virus akibat cinta itu. Kenapa tidak nanti saja, saat aku halal untuknya.
Tapi... Ini adalah perasaan, semua harus dipikirkan pakai hati, bukan logika. Aku harus bisa meredam
rasaku, dan tetap berusaha menomorsatukanNya dihatiku. InsyaAllah!
42
*4*
PERGILAH UNTUK KEMBALI
Selamat datang dunia baruku. Hari ini aku akan melangkah sebagai Mahasiswa. Kampus baru, teman
baru, dan kehidupan yang baru. Upss... Masih ada yang lama sih, tas buntut kecil yang sering aku bawa kemana-
mana. Nah, hari ini tas kecil itu untuk pertama kalinya aku pakai dan pamerin ke teman-teman baruku. Dasar,
Velia tak pernah mau berubah. Masih sama seperti yang dulu.
”Pagi sayang, udah siap nih?”
”Pagi Bun, aku kok jadi nervous ya,”
”Nervous, kenapa?”
”Ga’ tau juga tuh, Bun.”
”Ya udah, buruan gih!!! Ayah udah nungguin.”
”Bunda?” air matanya mengalir.
***
Ayah, engkau pergi begitu cepat, meninggalkan kami dalam sedih. Mengapa Ayah? Kecelakaan malam
itu masing terngiang di telingaku.
”Assalamua’laikum... Benar ini Rumah Bapak Mahatma?”
”Waa’laikumussalam, benar, ada apa ya Pak?” dialog yang masih ku ingat saat menerima kabar yang
meluluhkan hati Bunda.
”Dek, Bapak Mahatma... Kecelakaan, dan meninggal,” petir itu menyambar di relung kalbuku. Jantungku
seakan berhenti berdetak.
Ayah... Dimana engkau kini?
Aku turut mengantar kepergian Ayah, aku kasihan melihat Bunda. Dia begitu nelangsa. Karena
kehilangan cinta yang selalu dia jaga dengan kesetiaan. Inikah arti kesetiaan yang terus aku cari? Apakah
keikhlasanlah yang menjadikan kesetiaan itu abadi dalam naungan cinta? Entahlah, sampai saat ini aku terus
mencoba untuk mengikhlaskan kepergian Ayah dan dia, Kahfi.
***
Bunda akan pergi ke Australia, besok. Beliau akan mengurus kepindahan Paman Akbar. Beliau adalah
adik kesayangan Bunda, baru selesai mengerjakan S2-nya menjadi pengacara. Ini akan sangat membantu kami.
43
Jikalau tidak karena perebutan paksa Rumah waktu itu. Keadaanku saat ini ga’ bakal seperti ini. Mesti nebeng
sana, nebeng sini. Kasihan Bunda jadi repot.
Hari ini Bunda akan membawaku ke Rumah sahabat lamanya. Katanya sih, orangnya baik banget. Tapi,
aku jadi ga’ enak karena pastinya nanti akan ngerepotin beliau.
”Vel, kamu ga’ keberatankan Bunda titipkan ke Tante Hanny?”
”Sebenarnya, ga’ pa pa sih, tapi... yang penting Bunda cepat pulang ya.”
”Vel... Semua ini salah Bunda. Kamu jadi terlantar kayak gini.”
”Bunda,”
Aku merangkul hangat tubuh wanita yang begitu menyayangiku. Gerbang yang tinggi menyambut kami.
Wajah sahabat Bundaku itu tengah tersenyum di depan pintu yang akan kumasuki dan menjadi sebuah kenangan,
apakah itu kenangan yang buruk, ataupun sebaliknya.
”Denisha?” dia merangkul tubuh Bundaku, erat sekali.
”Hanny, aku ga’ tahu bagaimana cara berterima kasih, kamu,”
”Sudahlah, ini kewajibanku membantumu, ini?”
”Velia, Tante.” ujarku meraih tangannya dan kudekapkan di kepalaku.
”Ya ampun, udah gede aja ya... Kuliah dimana sayang?”
”Di Fakultas Kedokteran, jurusan pendidikan kedokteran.”
”Lha, kok bisa sama dengan anakku ya, Denish,” ujarnya membuat kelopak mataku bertanya, Siapa?
”Oh ya?”
”Dia baru masuk tahun kemarin.”
”Berarti sama dong, Vel juga di angkatan yang sama dengan,” klakson Taxi memutuskan pembicaraan
hangat itu. Bunda harus segera pergi. Kami pun berpelukan, mengurai tangis. Dari kejauhan kulihat Bunda yang
masih berusaha melambaikan tangannya. Sosok orang tua baru telah kutemukan kini. Aku percaya akan adanya
sebuah kehidupan yang indah. Dari rangkulan hangat Tante Hanny, aku yakin, hari akan berjalan begitu cepat
dengan tawa dan canda.
”Vel, ini kamar kamu.” Tante Hanny menunjukan padaku sebuah kamar yang luar biasa, aku tak pernah
mengkhayal bisa berada di kamar yang seindah ini.
”Kamar ini... untuk, Vel, tante?”
”Iya, kenapa? Ga’ suka ya?”
”Ya Allah, ini bagus banget tante, Alhamdullilah.”
”Ya udah, baiknya kamu istirahat dulu ya, sepertinya kamu lelah sekali.”
”Makasih ya Tante.” aku menatap hangat wanita cantik itu.
”Sayang, panggil Mami aja ya?”
Mami? Aku pun mengangguk, meskipun dalam hatiku masih merasa aneh untuk memanggil Tante
Hanny, MAMI?
44
***
Sesusai Shalat Maghrib, aku memberanikan untuk keluar kamar. Tak enak rasanya, karena aku tamu,
baiknya seisi Rumah ini, tahu tentang keberadaanku. Perlahan aku langkahkan kaki ku, berusaha menutup lambat
pintu, agar tak ada yang merasa terganggu. Tiba-tiba, aku terkejut. Sesosok tubuh laki-laki yang berada di depan
pintu yang berada bersebrangan dengan kamarku. Aku berfikir keras, dia siapa? Tubuhku masih belum barbalik
ke arahnya. Dalam benakku terus bertanya, siapa? Siapa?
Kejadian itu, membuatku mengurungkan niat untuk turun ke bawah. Sayup-sayup terdengar olehku
langkah laki-laki itu menurun tangga.
”Vel, ini Mami, sayang... Kita makan malam bareng, yuk!” suara itu mengoyak lamunan kecilku. Segera
tubuhku beranjak dan membukakan pintu. Dia tersenyum, dan mengajakku untuk mengikuti langkahnya.
Di Ruang makan, sudah tampak berkumpul seluruh anggota keluarga rumah ini, kecuali laki-laki tadi,
kemana dia? Seorang lelaki tua, sepertinya itu sang kepala keluarga. Tubuhnya yang beribawa dan sedikit gendut,
menatap kearahku sambil tersenyum. Aku pun membalasnya dengan salim yang aku rindukan dari Ayah.
”Pi, ini Velia, anaknya Denisha.”
”Denisha? Mantan ketua OSIS teman satu gank papi, bukan?”
”Iya, Mbak Denisha yang menjadi idola satu sekolahan.”
”Ini anaknya? Kok beda ya sama Denisha. Terlihat lebih ayu.” aku tersenyum kege-eran. Aku duduk
disamping gadis berumur 14 tahun yang manis, sepertinya dia adalah putri kesayangan keluarga ini.
”Halo, aku Vezha, kakak namanya siapa?”
”Velia.”
”Kalo aku, Venyo, orang-orang manggil aku binyo, mungkin karena aku gendut kali ya...hehehee.” tawa
si bungsu, yang memang gendut itu, merenyuhkan suasana. Tiba-tiba...
”Nah, ini dia, ini anak tante yang paling tua, sayang.” aku tak berani menatapnya yang melangkah ke arah
kursi di depanku.
”Vemas, ayo kenalan dulu, sama saudara barunya.”
Vemas??? Bukan, pasti ini orang lain yang namanya sama dengan exfriendku.
”Aku Vemas Ferhigi, aku,” dia berhenti bicara saat melihat wajahku yang baru terangkat.
Dari awal aku, sudah merasakan sesuatu yang berbeda. Dia adalah Vemas. Orang yang telah
meninggalkan kenangan yang indah dihatiku. Tapi, sejak kejadian yang telah merenggut persahabatan itu, dia tak
pernah lagi bicara denganku. Oh Velia, kenapa kamu sesial ini? Satu rumah dengan orang yang ga’ pernah peduli
lagi padamu. Orang yang telah, membuat kesalahpahaman yang masih berlanjut hingga detik ini. Sulit untuk aku
lupakan. Semua masih membekas. Naia, gadis manis yang mencintai Vemas dengan tulus, meninggal. Saat dia
tahu, bahwa Vemas tak mencintainya, malah membencinya dengan amat sangat.
45
Waktu itu, hujan deras sekali. Keadaan Sekolah mulai sepi, tampak dari balik kaca olehku Vemas yang
duduk disamping Naia. Sepertinya ada yang serius. Dan aku berusaha menebak teka-teki itu. Tiba-tiba petir
menyambar, Naia berlari keluar dan menangis. Vemas tidak mengejarnya. Tapi aku, yang mengejarnya. Aku
menemani langkah kaki yang menerobos hujan itu. Aku, Guntur, dan Neru tahu bahwa mereka baru jadian
minggu kemaren. Mereka memang cocok, cantik, dan tampan. Sempat aku merasa cemburu, saat Vemas lebih
memilih bersamanya daripada denganku. Dan sejak itu aku harus mengurangi curhat dengannya. Karena ada
gadis lain yang lebih membutuhkan kasih sayangnya. Adik kelas yang manis.
”Ada apa, Nai?” tanyaku pada gadis yang tengah menangis tersedu didaam deras hujan. Dia menatapku.
”Kenapa? Kenapa harus kamu, kenapa tidak aku?”
”Nai, ada apa? Kamu kenapa?”
”Dia lebih mencintaimu daripada aku! Dia pacaran sama aku itu semua karena kamu!”
”Maksudnya?” dia berlari meninggalkanku dengan seribu tanda tanya.
Malamnya, aku berusaha menghubungi Vemas. Tapi, gagal karena tak ada jawaban dari panggilanku.
Aku menelfon Neru dan mencoba menanyakan sesuatu yang mungkin bisa menjadi jawaban yang pasti.
”Vel, Vemas itu, suka sama kamu!” kata-kata itu masih terngiang olehku sampai detik ini. Aku kembali
menatap wajahnya. Aku melihat aura yang berbeda. Dia begitu tenang, cuek.
”Vel, kaliankan satu fakultas, satu jurusan, satu kelas lagi. Nah, besok berangkat bareng Vemas ya?”
”Makasih Tante, eh Mami, tapi,”
”Dia ga’ bakalan mau, mi. Dia kan aktifis, nanti apa kata orang kalau dia jalan bareng cowok yang bukan
saudaranya.”
Aku menatapnya tajam dengan kebencian yang amat sangat. Kadang saat aku menatapnya, terlihat wajah
Naia yang tersenyum.
”Mi, Vemas ke atas dulu ya,”
Dia berlalu, menyudahi makan malam yang menjadi awal dari mimpi burukku.
***
Pagi itu hujan lebat sekali. Padang diguyur hujan. Banjir bandang dimana-mana. Termasuk daerah
disekitar Kampungku. Banyak korban yang tak terselamatkan. Tapi, syukurnya, tidak terjadi apa-apa pada
Kampungku.
Hujan yang deras membuat langkahku tak tertahan untuk menuju Kampus tercinta. Aku merasa waktu
adalah uang. Hari ini adalah jadwal kuliah dosen kesukaanku. Bukan berarti aku milih-milih mata kuliah. Tapi,
aku selalu merasa penuh dengan semangat belajar bersamanya, dia ku panggil Ummi. Sosok yang alim dan
46
keibuan. Tempat curhatku setelah Allah, Bunda, barulah dia. Pernah aku bertanya padanya. Tentang bagaimana
perasaanku ini. Apakah ini dosa, ataukah tidak?
Dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku yang sedikit berani itu. Aku memang begini, aku terlalu
terbuka. Pernah waktu itu aku di sidang oleh alumni Rohis SMA-ku dulu. Waktu itu adalah saat-saat dimana aku
sudah tidak percaya lagi dengan anak-anak di Forum An-Nisa itu. Mereka tidak menjaga amanahku. Mereka
mengadukan perihal kesukaanku pada Kahfi. Padahal, menurutku, itu hanya hal biasa. Aku wanita normal.
Memang aku terlalu berlebihan, tapi aku melakukan ini hanya untuk membahagiakan diriku dan membuat mereka
tersenyum. Aku hanya ingin mereka tahu, bahwa zaman tidak selamanya kelabu. Masih ada orang-orang yang
hampir sempurna diluar sana. Tapi, aku mencoba untuk mengerti maksud mereka. Mungkin, mereka tidak ingin
melihatku terjebak oleh virus merah jambu. Tapi, sungguh aku tidak ingin dikatakan seperti apa yang mereka
duga padaku. Aku hanya merasakan cinta padanya, cinta tingkat terendah, dia bagiku adalah cinta kelima. Allah,
Rasulullah, Jihad, Orang tua, dan dia. Begitu berharganya dia dalam hatiku. Meskipun disuatu hari nanti ku
takkan mendapatkan cintanya. Tapi, aku akan tetap bangga karena, pernah mencintainya yang memang pantas
dicinta, karena aku mencintainya semata-mata disebabkan begitu besar cintanya pada Dzat yang paling pantas
dicinta.
***
Hujan masih lebat, aku memaksakan diri untuk pergi. Dengan bekal payung aku melangkah dengan
Basmalah. Badainya menerpa tubuhku. Jilbabku basah dibuatnya. Semua basah, tapi tiba-tiba...
TEEEEEETTTT... Bunyi klakson mobil yang membuatku terkejut bukan kepalang. Sebuah mobil
mencegat langkahku. Dari balik kaca yang dibuka aku melihat orang yang berkata.
”Masuk!”
”Ga’ makasih.” aku mempercepat langkah yang masih diikuti dengan cegatan mobil itu.
”Vel, masuk!”
”Makasih.” tiba-tiba tubuh tinggi kurus itu keluar dari mobilnya dan membawa payung. Dia berjalan ke
arahku dan menyerahkan payung. Yah... Mau bagaimana lagi, menolak pun takkan bisa.
”Kamu ga’ lihat apa? Hujan selebat ini? Masih nekat mau pergi kuliah sendiri.” aku diam sambil berusaha
mengeringkan jilbabku yang sudah kuyup sekali.
”Wah, kamu basah kuyup sekali. Kita pulang ya?Ganti baju dulu, ntar baru pergi lagi. Gimana?” aku
menatapnya dalam. Perhatiannya dulu kembali menghujani hatiku.
”Halo! Gimana?” aku mengangguk. Dia pun memutar secara lembut setirnya.
Hujan masih lebat. Bahkan tambah lebat. Aku berlari ke dalam Rumah yang megah itu. Didalam aku
disambut dengan handuk yang membuat tubuhku hangat. Aku berjalan cepat ke arah kamar. Segera aku
mengganti apa yang pantas diganti. Beberapa menit, aku sudah siap dengan penampilan baruku. Aku berjalan ke
bawah. Vemas meneguk teh hangatnya sekali lagi dan berjalan menuju luar. Di luar tangan sang Mami sudah siap
47
memberi doa restu untuk anak tercinta. Langkahku berdetak, aku berjalan menuju luar. Pengganti Bunda telah
memeluk erat tubuhku sebelum aku benar-benar tenggelam dari tatapannya.
Mobil itu pun melaju kencang melawan badai yang tak bersahabat ini. Tangan kekar nan halus Vemas
menekan tombol-tombol keci ke arah tape mobil.
Hening.
Lantunan nadapun terayun.
Mungkin takdir ini terlalu menuntut.
Seketika aku merinding mendengar lirik lagu itu. Aku hapal sekali lagi itu. Lagu yang dulu sering aku
putar berulang kali. Lagu yang membuatku semakin jauh dengan pria yang kini disampingku. Dia terlihat santai
memukul-mukul setir mobilnya.
Duhai cinta...
Tataplah aku disini tetap menatapmu.
Walau perih, terus kau sakiti aku tetap mengharapmu...
Aku tak sanggup membendung perasaan ini. Tangisku terurai jelas.
”Vel, aku akan tetap menunggu kamu. Menunggu kamu memaafkanku.”
Suara lirih itu membuat mataku basah. Semua mengalir deras. Aku merasakan kembali tragedi beberapa tahun
yang lalu. Di saat Naia, telah pergi.
Meninggalkan sisa-sisa senyumnya untuk kami. Dan ini semua karenaku. Karena aku terlalu egois.
Hingga aku tak memikirkan perasaan Vemas yang telah aku hancurkan.
”Vemas, kamu tahu ini apa?” aku menunjukan kotak surat hijau.
”Apa?”
”Ini hati Kahfi, untukku.” dia meraih secara kasar kotak itu.
”Ini hatinya.”
”Iya.”
PRANGGGG...
Benda itu jatuh kelantai. Kotaknya patah. Semua surat bertebaran. Seketika tamparan hangat pun
melayang ke pipinya.
”Dengan kamu menamparku kamu puas? Dengan menamparku kamu akan melupakan Kahfi mu itu?!
Ayo tampar lagi?!” aku masih memunguti surat yang aku dapat karena setiaku.
”Sampai kapanpun. Aku takkan melupakan dia. Meskipun nanti dia bukan milikku.” aku berdiri menatap
matanya.
Aku sudah lupa diri. Aku jilbaber, sekretaris Rohis. Dan kini, aku hanya menjadi seorang gadis yang tak
mengenal batasan. Semua lepas.
”Vemas. Aku benci kamu. Naia pergi, karena kamu. Dia,”
”Stop!!!” aku terdiam saat tangannya menyentuh bibirku. Segera aku menghindar dan menjauh dari
tempat dia berdiri.
48
”Kenapa Tuhan? Aku harus mencintainya? Kenapa? Naia gadis yang sempurna itu aku sia-siakan karena
dia? Kenapa?”
Aku tertunduk. Tetap berusaha memahami maksud ocehan Vemas.
”Aku begitu mencintainya. Hingga cintaku harus membunuh. Vel, kamu ga’ tahu, betapa sakitnya hatiku
ini. Kamu ga’ henti-hentinya menoreh hatiku dengan cintamu. Aku, sahabatmu. Aku yang tahu tentang cintamu.
Setiap kau cerita tentangnya. Setiap itu juga kau menoreh kembali lukaku. Apalagi disaat kau memintaku untuk
mencintai Naia. Aku lakukan semua itu untukmu. Apa yang pernah aku tolak apa yang kamu inginkan? Kapan?
Aku hanya seorang yang baru mengenal arti cinta. Saat aku tahu pun aku harus terluka. Pedih, Vel!”
”Vemas. Jadi selama ini,”
”Aku mencintaimu.”
”Vemas?”
”Aku mencintaimu.” aku mendekatkan diri padanya yang masih tertunduk dengan mata yang basah.
”Vemas.”
”Aku mencintaimu.” dia meraih tubuhku. Dan jatuhlah aku dalam pelukannya.
Ya Allah... Apa yang terjadi? Dia semakin erat memelukku. Aku bukan mahramnya. Aku tak tega untuk
melepaskannya. Kerinduan yang mendalam kurasakan dari setiap tangisnya.
”Vemas. Aku mohon, lepaskan. Aku tak ingin menjadi penzina.”
Dia melepaskan dekapannya. Dia tertunduk. Aku menjaga jarak. Dan perlahan berlalu.
Keesokan harinya, aku tak melihat wajahnya lagi. Ternyata dia pindah ke Jakarta. Aku merasa. Ini semua
karenaku. Aku memang seorang pengacau. Mengapa aku tak bisa mengerti perasaan Vemas sesungguhnya. Dia
kan sahabatku, dekat denganku, mengapa aku sebodoh ini?
***
Lamunanku terkoyak, saat aku melihat plang nama Universitasku terpampang gagah dari balik parit yang
besar. Hujan masih lebat, sebenarnya aku ingin sekali diturunkannya di luar saja, tapi... dia tak mau berhenti, dia
dan mobilnya bagaikan menyeretku ke halaman Kampus. Untunglah hari hujan, tak banyak mahasiswa yang
gentayangan di pelataran parkir.
”Payung!” dia menawarkan benda itu dengan nada sedikit memaksa.
”Aku,”
”Jangan menolak.” dia turun dari mobilnya menggenggam payung biru laut itu, payung merah hati yang
dikembangkannya membuatku terkejut. Katanya mau memberi payung, tapi kenapa dibawa?
Tiba-tiba, dia membuka pintuku, dan dia menawarkan secara lembut padaku untuk turun. Aku berasa
bagaikan putri raja yang dikawal oleh seorang pangeran. Hatiku berdesir, upsss... apakah aku jatuh cinta?
Aku berjalan menuju Masjid, sepertinya semua telah lama berkumpul. Tiba-tiba aku mendengar suara
Ummi memanggilku. Beliau sedang di kantin. Aku langsung memutar arah menuju tempatnya.
49
”Assalamu’alaikum, Ummi.” sapaku manja.
”Waa’laikumussalam, bidadariku.” sapanya lebih menggoda.
”Ah Ummi, bisa aja. Ada apa Ummi?”
”Gini, Ummi ada keperluan mendadak, anak Ummi yang paling kecil mau ikut olimpiade Fisika tingkat
propinsi, Alhamdullilah kemarin itu dia lolos ke babak ini. Ummi mau memberikan support secara total, tapi...
hari ini kan Ummi ada kuliah. Vel, mau ga’ gantiin Ummi, sekali ini aja.”
”Apa Ummi? Vel gantiin Ummi?”
”Yah, sekaligus mengangkatmu sebagai Asdos, gimana?”
”Tapi Mi, aku kan masih tingkat satu. Mana mungkin?”
”Lah, kamu kan udah menguasai banyak materi. Ummi yakin kamu pasti bisa.”
”Alhamdullilah, makasih ya Mi... Ini adalah dambaanku setelah masuk dunia Universitas, yaitu jadi
Asdos.”
”Alhamdullilah, Ummi harap Velia menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.” aku
mengenggam erat tangan wanita manis itu. Ya Allah, syukurku atas segala karunia yang telah Engkau limpahkan
padaku. Aku melangkah bahagia ke arah Masjid. Aku mengajar satu jam lagi.
***
Aku sedikit nervous saat harus berdiri di depan kelas dan mengajar mahasiswa tingkat satu yang rata-rata
adalah teman-temanku. Tapi, aku yakin ini adalah langkah awal bagiku untuk meraih kesuksesan yang aku
impikan sejak kecil.
Kehidupan yang aku lalui tak lepas dari sebuah tragedi yang membuatku bisa menjadi seperti ini. Menjadi
seorang Velia dengan pakaian yang islami.
Jika aku mengingat ke arah itu, rasanya tangisku akan habis untuk terurai. Saat dimana aku mengukuhkan
hatiku untuk kembali kejalanNya.
Kini, aku telah berada dipuncak kebahagiaanku. Aku mendapatkan apa yang selama ini aku khayalkan.
Prestasi, cinta, dan persahabatan.
Vemas kini telah berubah, dia kembali menjadi sahabatku. Dia lebih dewasa dan mudah mengerti
inginku. Entah nantinya aku bisa mencintai dia sepenuh hatiku. Aku tahu begitu besar cintanya padaku. Tapi,
cinta tidak berfikir, tapi merasa. Dan tidak akan pernah memaksa, apalagi berbelas kasihan.
Aku menatap sudut-sudut matanya yang tak akan pernah merasakan sejuk lagi. Aku telah mengubur
semua angan dan cintanya. Aku tahu dia. Dia tidak mudah jatuh cinta, apalagi jatuh untuk kedua kalinya. Dia
pernah berkata padaku, orang yang pertama kali dia cintai adalah orang yang nantinya akan menemaninya hingga
tutup usia.
50
Vemas, andaikan kau diposisiku, pastinya kau lelah, semua terasa berat bagiku. Aku hanya biasa, tak ada
yang istimewa dariku. Hanya seorang gadis yang sibuk mencari arti yang tak kunjung kembali. Gadis yang
seringkali menyayat hatinya dengan sembilu. Menanti dan menanti hingga tak ditemukan keletihan yang berarti.
***
Yogyakarta, awal studi lanjutanku...
Tak terasa sudah, umurku sudah cukup menggrogoti nyawa. Hari ini aku merayakan hari dukaku. Hari ini
umurku 22 tahun. Tidak terasa lima tahun sudah meninggalkanku. Kini aku sedang mengurus kuliah spesialisku.
Rencananya aku ingin ke Yogyakarta, aku ingin bersekolah disana, selama dua tahun, insyaAllah cukup.
Bunda mendukungku, disana aku akan bisa memyempurnakan cita-citaku. Dan setelah tu menikah.
Menikah? Kadang aku tertawa sendiri mendengarnya. Akankah yang kucari akan kutemukan? Akankah yang aku
nantikan akan kembali. Sudah lima tahun dia pergi meninggalkanku, waktu yang cukup lama. Aku tak sabar
menunggu kapan bisa bertemu dengannya.
Setelah semua urusan sekolahku selesai, aku berangkat ke Yogyakarta. Aku tinggal di rumah teman
Bunda, kebetulan disana ada tempat kosnya.
Tante Miranda, nama wanita manis itu. Dia memiliki seorang anak laki-laki dua tahun dibawahku,
namanya Maulana. Anaknya sekolah di universitas dan fakultas yang sama denganku. Dia sangat membantuku
saat harus registrasi.
Disamping rumah Tante Mira ada warung internet. Aku teringat sesuatu, sudah empat tahun ini aku tidak
memperhatikan masalah chatting atau friendster. Aku hanya sibuk mencari literatur untuk bahan kulah. Lagi pula
aku lupa password friendsterku.
Setiap sore, biasanya aku mencari bahan untuk studiku. Dan aku sempatkan membuka email dan
friendster. Aku meraih ponselku, sambil mengingat password yang terlupakan itu. Aku teringat Vemas, aku
menghubunginya. Dia kini di Jakarta, dia mengambil pascasarjana disana.
”Assalammua’laikum, Vemas?”
”Wa’alaikumussalam, ada pa Vel? Tumben mau nelpon aku nih?”
”Yee, udah untung aku ingat kamu, nggak kok, bercanda. Kamu ingat passwordku ga’?”
”Password apa?”
”Friendster,”
”Wah, udah berlumut kali foto kamu, hehehehe. Ingat kok, anvel_dyra@yahoo.com. Passwordnya
azzahra.”
”Oh iya, aku ingat. Thanks ya. See u.” aku segera kembali kearah layar komputer dan siap menyelami
dunia cyber.
Wah, ternyata aku menerima banyak teman, lebih dari dua puluh orang, dan ada lima testimonial dan
enam pesan. Aku membuka satu persatu dengan sabar. Aku teringat, sebelum Kahfi pergi aku sempat berteman
51
dengannya di friendster. Aku melihat pesan dari dia, semuanya dari Kahfi. Dan testimonial beberapa dari dirinya.
Aku membacanya penuh sesak dengan rasa yang tak sabar.
Ternyata dia berusaha mencariku selama empat tahun ini. Dia meninggalkan nomor ponselnya dan
alamatnya. Aku segera mencatatnya penuh dengan kebahagiaan. Orang yang aku cari kini aku temukan. Aku
membalas testimonialnya dan memberitahukan keberadaanku sekarang, serta nomor ponselku yang baru.
Ya Rabb, pertanda apakah ini?
Sehabis shalat maghrib, aku meraih ponselku, dan mencoba menghubungi dia.
Ass. Bgmn kbrnya kak? Skrg lg dmn nh? Maaf ya, kk jd sulit ngubungin ak, mslhny, ak lp psswrd fsku.
Velia.
Satu menit kemudian.
W3. Akhrny aq menemuknmu, Alhmdullilah aq baek2 ja, ak skrg lg di jkt, ak nguruz beasswa S2. jd untuk
2 bln ini, bkln sbk di jkt. Qm sndiri gimana?
Segera aku mainkan tanganku diatas tombol ponsel.
Aku bercerita tentang semuanya. Tentang kehidupanku, studiku, dan dakwahku. Tak terasa sudah, dalam
gelap malam aku menemukan secercah cahaya yang mengembangkan senyumku.
***
Kebahagiaanku entah seluas apa kini. Hampir seratus sms yang aku terima darinya. Kami begitu akrab.
Diluar dugaanku. Padahal baru satu bulan dia mendekatkan diri padaku. Aku merasa kesempatan itu semakin
terbuka lebar. Aku sudah cukup umur untuk menikah. Sedangkan dia apalagi. Sebentar lagi aku akan selesai
spesialis. Dan dia pun begitu. Kebahagiaanku bertambah, disaat aku tahu kalau dia mengambil S2 di Jakarta.
Universitas mana yang tak mau menerimanya, lulusan luar negeri yang IP nya jauh diatas standart. Jarak Yogya
dan Jakarta tak menjadi masalah bagiku. Ini sudah cukup membesarkan harapanku. Kadang, aku berfikir, adakah
sebuah teka-teki yang harus aku pecahkan dalam hati ini. Aku merasa semua telah disusun rapi oleh Sang
pencipta. Aku berharap dialah yang aku cari selama ini, orang yang nantinya akan membimbingku menjadi
sesuatu yang berguna.
Yogyakarta, kota yang ku damba. Ingin rasanya membangun kehidupan disini. Kehidupan yang aman dan
damai pastinya.
Tak terasa sudah waktu berlalu. Sudah hampir satu tahun aku disini. Aku mengambil spesialisasi anak.
Kebanyakan pratikumnya langsung ke lembaga perlindungan anak. Waktu itu aku menemukan seorang anak yang
menderita autis. Tatapan hangatnya membuat hatiku menangis. Kasihan sekali dia, harus terisolasi didalam
kehidupan yang dia pun tak tahu itu kehidupan apa. Aku mencoba mulai menulis tesis tentang hal tersebut. Kini
aku lebih sering duduk di depan komputer. Menulis dan menulis.
”Udah malam nih Mbak, ga’ tidur?” suara Maulana menghentakkan kantukku.
52
”Kamu sendiri?” aku melihat wajah tampannya yang sibuk membolak balik Kamus Kedokteran yang
tebalnya sampai duapuluh sentimeter.
”Belum ngantuk sih, kebetulan juga lagi ada tugas nih!” aku mematikan komputer. Aku berusaha
mencairkan suasana malam ini.
”Mbak Vel, kalo kuliahnya udah selesai, mau balik ke Padang ya?”
”Iya, kenapa?”
”Yah, aku jadi kehilangan Mbak dong!”
”Apa? Kehilangan?” aku tertawa, aku memang tak memiliki adik. Dia sudah menjelma menjadi adik
impianku.
”Maulana, Mbak juga bakal kehilangan sosok adik kayak kamu. Mbak Vel pasti rindu sekali nanti. Tapi,
pastinya, Mbak bakal main kesini.” aku berusaha mendekap tatapan matanya yang penuh dengan kasih sayang.
***
Pagi datang menyapa nafasku, Yogyakarta pagi itu cerah sekali, burung-burung tertawa, embun tertetes
segan, dan langit berlembayung terang. Perlahan kulangkahkan kaki ke halaman Rumah, hari ini adalah
penyerahan tesisku. Sudah 7 tahun aku menjalani semua ini. Kini akhir dari semua perjuangangku. Perjuanganku
yang kutujukan hanya untuk almarhum Ayah dan Bunda.
Kampus Biru menyambut senyumku, segenggam harapan akan terpancar diantara pohon-pohon teduh
Fakultas Kedokteran.
”Vel, Pak Sugeng nyari kamu tuh?” sapa sahabatku dari kejauhan.
Aku melangkahkan kakiku segera, Alhamdullilah Dosen yang mengurus tesisku adalah suami Tante
Miranda. Jadi, kekhawatiranku sedikit berkurang.
Aku memeluk sahabatku erat sekali. Aku ayunkan langkahku ke Ruangan pak Sugeng.
”Assalammua’laikum.”
”Wa’alaikumussalam. Eh, ini dia sudah datang. Masuk Velia.” suara Pak Sugeng cerah sekali. Seorang
wanita asing berpakaian rapi menatapku ramah, dan yang laki-lakinya menyapaku lembut.
”Velia, Mr. Cleef dan Mrs. Georgia ini dari UNICEF, mereka sedang mencari seorang dokter spesialis
anak untuk mengurus cabang yayasan mereka. Nama Yayasannya, CHILDI COUNCIL. Berada diseluruh
Indonesia. Termasuk Sumatera Barat, kebetulan baru dibentuk beberapa hari yang lalu. Kalau kamu tidak
keberatan, setelah tesis kamu selesai, mereka pekerjakan disana. Bagaimana?” aku menatap haru, hatiku berteriak
bahagia. Ya Allah, begitu besar cintaMu padaku.
Aku mengangguk dan menandatangani kontraknya. Setelah itu barulah tesisku diurus. Entah kenapa
semuanya berjalan lancar. Tidak ada sedikitpun halanganya. Ya Allah asyurakka katsiron jiddan.
53
Beberapa hari lagi aku akan diwisuda dan dinobatkan sebagai Dokter Spesialis Anak termuda. Aku
menggenggam cintaku untuk anak Indonesia. Akan aku abdikan jiwaku untuk kesejahteraan mereka. Bergetar
bibirku saatku beritahu pada Bunda. Menangis deras airmataku. Akhirnya, hari kebahagiaan itu datang juga.
***
Bulan telah berganti. Namaku terpampang gagah di Baliho yayasan UNICEF itu. Selain beprofesi
menjadi dokter spesialis anak, aku juga aktif dalam organisasi PBB itu. Oh, Indahnya hidupku kini. ”dr. VELIA
ANDYRA, Sp.A”
Kesibukanku menyadarkan aku, bahwa umurku akan menjemput masanya. Umur 25 tahun, waktu yang
sudah pantas untuk menikah.
Aku telah lama putus hubungan dan komunikasi dengan Kahfi. Mungkin, dia sudah pergi ke California
untuk melanjutkan S2-nya. Aku akan tetap menantinya.
Malam ini, pertemuan keluarga bahagia. Kak Vahriz dan Istrinya, Bunda, dan Vemas dengan
keluarganya. Sudah lama aku kehilangan sosok sahabat. Vemas, kini dia masih kuliah spesialis di Jakarta.
Sebentar lagi Lebaran. Bulan-bulan suci sudah kulalui dengan amalan yang belum begitu maksimal. Tapi, aku
akan berusaha lagi memperbaikinya, Alhamdullilah aku mash rutin halaqah dengan Ustadzah Nailah.
”Gimana rasanya Vel, nama dipampang di baliho?” Papi Vemas memulai pembicaraan.
”Alhamdullilah, sedikit terkesima, Pi.”
”Wah, seru yah kalo udah jadi dokter spesialis, duh... kapan nih aku selesainya yah?” Vemas mulai
angkat bicara.
”Yang serius aja belajarnya, jangan sibuk pacaran aja.” aku tesenyum dan semua tertawa meledek Vemas.
”Gimana, Denisha? Jadikan rencana kita?” wajah Mami Vemas membuat seluruh mata menatapnya.
”Yah, kita serahkan aja ke yang bersangkutan.”
”Gimana Velia, mau kan jadi anak Mami?”
”Lho, bukannya Velia udah jadi anaknya Mami.”
”Yang resminya dong sayang.”
”Maksudnya?” aku mulai gelisah.
Semua hening, aku bingung sekali. Tiba-tiba...
”WILL YOU MARRIE WITH ME?” suara Vemas menghentakkan nafasku. Aku menatap penuh
gemuruh. Jadi selama ini ada niat perjodohan? Aku bertanya keras dalam hati. Aku hanya diam menatap lantai
marmer yang menyapu bayanganku. Aku berjalan gontai ke kamarku.
”Vel, mau kemana sayang?” suara lembut Bunda tak kuacuhkan.
***
Semua masih membekas dihatiku. Perjodohan itu sangat menyiksa batinku. Apakah aku harus jujur
dengan pilihanku? Kahfi. Apakah aku sanggup mengatakannya pada Bunda?
54
Hatiku galau, aku benar-benar bingung harus bagaimana? Haruskah aku memenuhi egoku. Tapi apakah
aku tega menyakiti perasaan orang yang aku cintai dan mencintaiku???
Kali ini aku benar-benar kesulitan melawan batinku. Konsentrasiku kini terpecah menjadi kepingan
gundah. Entahlah, aku rasa dengan shalatlah aku bisa menemukan obat gundah ini. Malam yang mendung aku
rapatkan jariku bersujud keharibaan-Nya. Tangisku meleleh menyapu pori-pori wajahku yang makin hari makin
tua. Sebagai seorang wanita, memang sepantasnya aku menikah. Tapi apadayaku, yang kucari belum kembali,
yang kutunggu belum juga hadir.
Pagi ini aku tak punya kegiatan apa-apa, kebetulan hari ini adalah hari ahad, dimana semua orang
menghabiskan waktu dengan tawanya, tapi aku menghabiskannya dengan bimbang.
”Assalammua’laikum... Bu dokter.” suara Bunda menyeka lamunku.
”Wa’laikummussalam, Bun. Oh ya, aku mau minta maaf atas tindakanku yang tak sepantasnya. Aku
hanya shock.” aku menatap kedua mata idolaku itu, tangannya menyeka pipiku.
”Apa gerangan yang membuatmu seperti itu, tidak cintahkah kamu pada laki-laki yang sangat
mencintaimu itu? Atau memang Vel sudah punya pilihan sendiri, ayolah... ceritakan pada Ibumu ini nak!”
”Aku menganggap Vemas sudah seperti saudaraku, tidak lebih. Sudah ada yang memintaku untuk
menunggu.”
”Siapa dia?” aku berjalan ke dalam kamar dan mengambil green box, aku hadapkan semua bukti cinta
Kahfi padaku. Aku menatap mata Bunda yang sedang meneliti helai demi helai surat itu.
”Vel...,” air mata Bunda mengalir deras sekali.
”Ada apa Bun?”
”Kamu menanti dia?”
”Ya, dia yang aku nanti.”
”Kamu yakin dia menantimu?”
”Bunda, ada apa sebenarnya, apa yang Bunda sembunyikan dibalik air mata ini?” kini giliran Bunda
berjalan menuju bofet depan, wanita anggun itu berjalan sambil mengenggam sebuah kertas yang dibungkus
plastik, warnanya merah jambu. Tangan lembutnya menyodorkan benda itu padaku sambil memalingkan
wajahnya yang terus dialiri air mata.
Aku buka mata zhahirku dan mata hatiku, aku tatap perlahan dan aku mulai mengerti, aku buka dan aku
tahu. Aku terpana tak bisa berucap apa-apa. Aku menangis sejadinya, aku menutup mukaku. Takut aku melihat
kenyataan ini.
”Velia, maafkan Bunda tidak memberi tahu kamu, undangan itu diantarkan langsung oleh Zahra, tapi saat
itu kamu sedang mempersiapkan wisudamu. Sedangkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan hari wisudamu.
Jadi,”
”Bunda, jadi,” sulit aku berkata. Mulutku dibungkam kecewa.
”Kamu menanti dia, dia yang kini berada di Rumah sahabatmu, berada dalam bahagia.”
55
”Aku ga’ percaya, Bunda tampar aku! Aku yakin aku sedang bermimpi, benarkan?” aku menarik tangan
Ibuku dan menamparkan pada wajahku ini.
Aku berlari menuju lantai bawah, aku menggenggam kesedihanku, aku ingin berlari sejauh-jauhya.
Hingga nafasku terputus.
56
*5*
CINCIN DARI VEMAS
Mataku mulai bisa melebarkan sinarnya. Semua hijau, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Mata ini masih
sangat berat.
“Vel, Alhamdullilah, kamu sadar, nak?” aku melihat wajah Bunda yang berkaca-kaca. Aku tidak mengerti
apa yang terjadi. Nyata atau rekayasakah semua ini. Aku terbaring lemah, karena dia. Lelaki yang tak setia
menanti, dia bisa melepaskan cintaku. Mungkin dia rasa ini main-main. Sakit rasanya, saat kita harus menghadapi
kenyataan orang yang kita cintai meninggalkan kita begitu saja. Paling menyakitkan lagi, dia meninggalkanku
untuk Zahra.
“Vel, kamu masih ingat Bunda, kan?”
“Bu… nda?”
“Vel, Alhamdullilah Ya Allah.”
“Vel, kalo aku, kamu masih ingat?”
“Ve… maas?”
“Iya, ini aku, syukurlah, kamu masih ingat!”
“Mell?”
“Vel, aku ga’ nyangka kamu masih ingat, aku kan,”
“Alhamdullilah, Mell aku senang sekali.” Ujarku lemah.
“Vel.”
“Galih?”
Semuanya, mereka didekatku. Bunda, Vemas, Mell, dan Galih. Ya Allah, nikmat yang manakah yang
harus aku dustai lagi?
Pagi yang cerah, untuk pertama kali aku melihat dunia kembali. Ternyata aku telah dihidupkan Allah
setelah matiku. Aku koma hampir satu tahun. Ceritanya berawal dari sewaktu aku mengetahui bahwa Kahfi telah
menikah dengan Zahra. Aku terjatuh dari tangga rumahku. Begitu banyak beban masalah yang telah terjadi, aku
lelah, dan terjatuh.
***
“Apa yang terjadi pada anak saya, Dokter?” tangis wanita nomor satu dihatiku.
“Velia kehilangan keseimbangan pada organ sarafnya, kemungkinan hanya ada dua, dia koma atau,”
“Atau apa?”
“Meninggal.”
“Apa? Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk putriku.”
57
“Dokter, apakah tidak ada jalan lain untuk menghilangkan kedua kemungkinan itu?” tanya serak Kak
Vahriz.
Dokter itu hanya menggelengkan kepalanya. Dan berlalu, dia hanya berkata “Hanya Allah yang dapat
merubah semua kemungkinan ini, berdoalah padaNya.”
Setiap hari bergantian orang melihatku. Semua datang. Nenek, Kakek, saudara-saudara Bunda, saudara-
saudara Ayah, sepupuku tercinta dan juga yang lainnya. Andaikan aku tahu begitu besar cinta mereka padaku.
Semangat demi semangat mereka teriakan setiap hari kepadaku. Doa, doa, dan doa tak henti menghujani
tubuhku.
***
Aku kembali mengingat kejadian satu tahun yang silam. Semua berawal dari permohonan Bunda padaku.
Bunda dan Tante Hanny, berencana menjalin hubungan keluarga, alias besanan. Dengan cara menjodohkanku
dengan Vemas. Laki-laki yang selalu membuat mataku berbinar dan tawaku menggelegar, sahabat sekaligus adik
bagiku. Sejak aku tahu kebenaran perasaannya, aku seakan tersihir. Dia menjelma menjadi pria yang dewasa,
pengertian, dan setia.
Sejak kepergianku dari rumahnya, kami semakin akrab dan rasa yang dulu tak lagi kami kenang. Kami
seperti baru, mulai dari awal persahabatan ini. Aku mulai belajar mengenal sosoknya yang baru. Dia berubah
sekali, tapi sayangnya dia belum sanggup menjadi seorang ikhwan. Tapi, aku terus menyemangatinya untuk itu.
Dia pasti bisa!
Tapi, apa aku bisa menikah dengan Vemas, sedangkan aku sedang dinanti oleh seseorang yang jauh
disana. Tapi, mengapa aku harus menunggunya? Dia tidak nyata bagiku, dia tak memberi kejelasan arti penantian
ini. Tapi, aku bukan pengkhianat cinta. Aku tidak bisa menerima permohonan itu, semua terlalu menyakitan. Tak
banyak yang bisa aku ucapkan pada Bunda sebagai wujud penolakanku. Kotak Hijau itu kuberikan padanya. Aku
berharap dia mengerti semuanya.
“Vel, kamu menanti dia?” aku mengangguk, perlahan kutatap wajah Bunda yang beranjak meraih sesuatu
di dalam laci meja. Beliau menyodorkan sebuah undangan pernikahan. Kubuka dan kubaca.
Ya Allah, aku benar-benar terkejut, darahku terasa berhenti. Saat aku melihat nama yang terpampang
jelas di Undangan itu. KAHFI & ZAHRA. Aku kalut, aku bingung harus bagaimana. Inikah jawaban atas segala
penantianku? Inikah artinya?
Aku berjalan tergesa-gesa menuju hampa, semua telah berlalu. Aku harus bisa melihat kenyataannya.
Kahfi, cukuplah engkau menjadi salah seorang penghias hatiku. Kini kau telah pergi bersamanya. Tapi, kau tak
akan pernah pergi dari hatiku. Cukuplah perpisahan waktu itu membuatku hancur. Janganlah kau tambah duka ini.
Luka itu sudah sembuh, kenapa harus kembali luka.
Aku kalut sekali, aku berlari menuju lantai bawah rumahku. Dan, semua terasa samar ditutupi air mata.
Aku terus menangis, menangis, dan menangis. Aku tak peduli air mata ini akan habis. Perasaanku serasa hancur.
58
Harapan yang aku tunggu semuanya musnah. Dia yang aku nanti kini tak akan pernah kembali menyambut
hatiku. Dan aku takkan bisa belajar mencintai yang lain. Dia yang telah membuatku mengerti arti cinta yang
sesungguhnya. Dia yang membuatku paham tentang permainan hidup ini. Tiba-tiba badanku melayang. Semua
gelap.
***
Satu tahun sudah, aku bingung apa maksudnya semua ini? Tubuhku terbaring tak berdaya selama satu
tahun? Semua orang berada didekatku, mereka memberikanku semangat unuk hidup lagi, terutama Vemas, dia
adalah orang yang menemaniku dengan setia dan sabar, hingga nyawanya pun dipertaruhkannya untukku. Apakah
hati seorang Velia Andyra tidak akan tergugah? Jawabnya tidak!
Aku tak semudah itu untuk melupakan semuanya, seribu luka ini masih menggores hatiku. Entah ini
mimpi atau nyata.
Mana? Mana Velia yang selalu tegar? Kenapa kau begitu lemah? Velia! Kamu harus bangkit dari mati
sementaramu itu. Kamu harus melupakan dirinya yang telah melupakan cinta itu.
Kata-kata itu selalu menggema ditelingaku. Teriakan itu membuatku sadar bahwa tak ada cinta yang
abadi di dunia ini. Semuanya hanya omongan semata. Hari ini kumulai bangun kembali, aku ingin membuka
lembaran baru hidupku dan melupakannya. Melupakan orang yang telah jauh lebih dulu melupakan cintanya. Aku
harus bagaimana? Sulit untukku mengubur semua kenangan itu. Semakin hari semua kenangan semakin jelas,
semakin menghantui tidurku. Wajahnya selalu membayang, jelas sekali.
Ya Allah, apa yang harus aku perbuat? Menangiskah? Tertawakah? Atau apa?
Aku semakin rintih dalam hati ini, apa saja yang kulakukan tidak membuatku semangat lagi. Aku seperti
bangkai hidup yang memaksakan diri untuk tersenyum. Bagiku tak ada lagi arti hidup ini, semua sudah musnah.
Tapi, akankah ada sesuatu yang lain akan membawaku tertawa tulus? Entahlah!
***
Januari yang kelabu…
“Vel, ini aku bawa brownies kesukaan kamu, mami yang bikin.” aku menatap wajahnya yang lembut itu,
Vemas sahabatku. Dia berdiri dibelakangku mendorong kursi rodaku. Tubuhku masih lemah, hingga tak sanggup
untuk berdiri. Dia membawaku ke tepi kolam dekat taman. Disinilah dia selalu berusaha menghiburku.
Membuatku tertawa dengan leluconnya yang garing.
“Haloooow, aku masih disini!” dia menghentakkan lamunanku tentang dirinya.
“Makasih Vemas, kamu,”
“Begitu baik… baik… baik?”
“Yeee, Ge-er banget sih!”
59
“Eh, minggu depan kamu udah bisa jalan normal kan? Gimana kalau kita pergi keluar, kita ke
Bukittinggi! Gimana?”
“Mmm… idenya bagus banget tuh, ntar kita perginya rame-rame, terus kita belanja… dan,”
“Iya… iya, simpan dulu lamunannya, sekarang udah siang, kita makan yuk.” aku menatap wajahnya yang
lembut dan tulus. Ternyata memang benar, dialah yang bisa membuatku bahagia. Tapi, sayang aku tidak mampu
menggeser posisi Kahfi yang sudah lama terpatri dalam hatiku.
Duniaku mulai muncul kembali. Aku selamat dari maut, Allah membangkitkan aku setelah matiku selama
satu tahun lebih. Kini umurku 26 tahun, aku semakin tua. Haruskah aku tetap berbalut sedih? Haruskah aku tetap
menanti dia yang telah bersama orang lain? Haruskah?
“Bintang… tolong jawab aku?!” aku menatap bintang yang menatapku haru. Sudah lelah aku bercerita
padanya. Aku dorong singgasanaku ke dalam istanaku dan akupun terlelap dalam air mata.
***
Satu minggu sudah berlalu mengawali hidupku yang baru. Tubuhku sudah begitu kokoh untuk berjalan.
Semua sudah dipersiapkan Bunda, keluargaku, dan keluarga Vemas. Siap berangkat!
Vezha, adik Vemas membimbing langkahku menuju mobilnya. Di dalam mobil itu telah menunggu
Vemas dan si gendut Venyo. Aku serasa kembali ke masa lalu, saat kami menjadi satu dalam tawa dan cinta.
Mobilpun melaju kencang mencari arah tujuan penumpangnya. Aku bergembira hari ini, semua aku lupakan.
Duka akanku kubur jauh dalam sukmaku, memang sudah saatnya aku bangkit kembali.
Perjalanan ini aku nikmati setiap detiknya, tawa Venyo, senyum Vezha membuat hatiku menumbuhkan
bunga-bunga bahagia.
“Kak, hidupin musiknya dong!”
“Vezha!?”
“Hidupin aja Vem, aku ga apa-apa kok!”
“Tapi, lagu di mobilku ga’ ada nasyidnya. Gimana dong?”
Aku memajukan sebahagian tubuhku ke arah tape. Aku tekan tombol yang membuat benda mungil itu
melantunkan nadanya.
Resah jiwaku menanti, mengingat semua yang terlewati
Saat kau masih ada disisi
mendekapku dalam hangatnya cintamu
Lambat sang waktu berganti
endapkan laraku disini
Coba tuk lupakan bayangan dirimu
yang slalu saja memaksaku untuk merindukanmu
sekian lama aku mencoba
60
menepikan diriku diredupnya hatiku
letih menahan perih yang ku rasakan
walau kutahu ku masih mendambamu
Terendapkan sudah laraku, seperti apa yang diceritakan Naff dalam lagunya. Aku menatap jauh ke atas
langit, melempar sejuta harapku ke awan. Aku terus berdoa di dalam hatiku, semoga Allah memberikanku
kemampuan untuk melupakannya yang telah melupakanku. Ku palingkan wajahku kepada laki-laki yang selalu
setia menjagaku. Setia menemaniku, mendengarkan keluhku, dan yang paling mengerti aku. Aku sangat ingin
menumbuhkan rasa cintaku untuknya, tapi sungguh, aku tak mampu.
***
Bukittinggi, menjadi saksi kehidupanku dimulai kembali. Aku tutup masa laluku serapat mungkin,
meskipun aku tak bisa memungkiri, masih ada celah yang terbuka untuknya.
“Wah, bagus banget… kesana yuk Kak!” Vezha menarik tanganku ke arah pemandangan yang
Subhanallah, indah sekali. Aku memeluk tubuhku dengan kedua tanganku, karena udaranya sangat dingin.
“AAAAAAA…!” Vezha berteriak keras sekali, dan gemanya pun terdengar.
“Ayo Kak, teriaklah sekeras-kerasnya, lupakan gundah dan resah kakak, lepaskan semua duka. Ayo!”
Aku menatap mata gadis manis itu, aku arahkan pandanganku ke lembah-lembah yang siap menampung
dukaku.
“AAAAAAAAAAAAAAAAA !!!” aku berteriak sekuat-kuatnya, terasa lepas semua sendi-sendi hatiku.
Aku berteriak berulang-ulang kali, sampai nafasku lelah.
“Keluarkan semuanya, keluarkan hingga tak ada sisa.” suara lembut itu menampar lembut nadiku.
“Vemas, maafkan aku… aku ga’ pernah bisa bikin kamu bahagia.”
“Sttt… aku sudah sangat bahagia, aku bahagia kamu disampingku, aku bahagia kamu sudah mau
memulai hidupmu yang baru, sungguh… aku bahagia.”
“Vemas, aku rasa cuma kamu yang bisa mengerti aku, aku rasa cuma kamu,”
“Velia, jangan kamu buat air matamu itu sia-sia, seharusnya kamu menghiasi senyummu dengan tawa.
Ok, mulai hari ini aku ga’ mau lihat kamu bersedih lagi.”
Aku menghapus airmataku dan mulai mengembangkan senyumku untuknya, untuk sahabatku. Aku
teringat apa yang diceritakan oleh Kak Sara padaku.
“Vel, Vemas itu bagaikan mutiara yang terus bersinar dihati gadis yang dia cintai dengan tulus. Tiada
letih dia mencintaimu, meskipun dia tahu kamu mencintai yang lain. Dia menjagamu siang dan malam,
mengorbankan waktunya. Dia berdoa tiada henti untuk kesembuhanmu, bahkan dia sempat koma beberapa hari,
karena kelelahan. Dia siap mengorbankan nyawanya untukmu. Dia menjelma menjadi seorang ikhwan, seperti
yang kamu harapkan. Walaupun tak seperti orang yang kamu cintai. Tapi, dia berusaha menjadi seperti apa yang
61
kamu inginkan. Kurang apa lagi dia untukmu, Vel? Jangan kamu sia-siakan pria sebaik dia. Terimalah dia
dihatimu.”
“Kak, aku ga’ bisa membuang begitu saja cintaku untuk Kahfi. Dia tetap yang pertama, dan takkan
mungkin bisa aku melupakannya, aku juga mencintai Vemas, tapi apakah dia rela kujadikan yang kedua? Aku
takut, jika aku memutuskan menerima cintanya, aku ga’ bisa memberikan yang terbaik untuknya, karena hatiku
sudah terpaut dalam pada Kahfi. Sulit untuk aku cabut lagi, sungguh sulit.”
***
“Velia, pertanyaanku masih sama.” kotak itu disodorkannya dihadapanku, sebuah cincin yang indah
menanti jari manisku.
“Vemas, aku sudah memutuskan suatu keputusan yang aku rasa kamu,”
“Apapun keputusannya, aku akan terima.”
“Kamu tahu, aku mencintai siapa kan? Dia tidak bisa aku geser kedudukannya walaupun 1 inci, jadi…
jika memang kamu menginginkanku, bersediakah kamu menjadi yang kedua?” dia terdiam, aku memang
keterlaluan. Mana ada laki-laki yang ingin menjadi yang kedua. Tapi, aku melihat tangisnya perlahan mengiris
hatiku. Dipalingkannya wajahnya ke arah kabut dipuncak bumi ini. Udara dingin membelai helaian jilbabku yang
terulur hingga punggung. Aku menanti jawabannya.
“Velia, aku mencintaimu bukan karena nafsu, tapi karena Allah. Aku bisa mengenal Allah karena
sebelumnya aku mengenalmu, wanita yang membuatku sadar akan adanya dua kehidupan. Dunia dan akhirat. Aku
menerimamu apa adanya.”
“Vemas, kamu,”
“Aku ikhlas menjadi yang kedua, asalkan kamu mau menjadi pendamping hidupku.”
“Ya Rabb, hanya padaMu aku bersyukur, terimakasih Ya Rahmaan, karena telah memberikan aku laki-
laki berhati suci ini.” tiba-tiba tubuh gagahnya mencium tanah, dia tersungkur bersujud bersyukur kepada Allah.
Pemandangan indah ini menjadi saksi telah terikatnya dua hati yang suci.
Keputusanku ini telah terpatri diantara permata cincin dari Vemas.
62
*6*
FAITHFUL OF LOVE
Waktunya tinggal satu minggu lagi. Aku akan menjadi milik orang lain. Sahabatku, Vemas. Apakah aku
yakin akan bahagia hidup dengannya? Entahlah, semua seakan membuatku ragu. Aku bimbang, sungguh!
Aku berjalan keluar menatap awan yang kemerah-merahan. Kutatap ke belakang, rumah yang sudah
terhias indah sesuai dengan adat Minang. Pelaminan sudah dipasang baru saja. Aku rasa semakin dekat waktunya
aku semakin ragu. Aku melihat banyak senyum di bibir keluargaku. Aku tak sanggup jika harus meredamnya.
Tapi, aku berfikir, untuk apa aku ragu? Tak ada lagi yang kunanti. Semua sudah sirna, sekejap musnah. Impianku,
berlalu dengan angan yang mustahil.
“Hei, ngelamun ya?”
“Kakak, Mbak Asiyah mana?”
“Dia lagi dibelakang bareng Mell.”
“Kak, kalo aku ntar jadi nikah. Trus Bunda sama siapa?”
“Dek, Bunda kan bisa tinggal bareng Kakak.”
“Kak Vahriz jaga Bunda baik-baik ya!”
“Dek, lihat Kakak. Kamu pasti akan bahagia, karena Vemas begitu mencintaimu dengan tulus.” aku
meraih tubuh Kakak tercintaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Ternyata cintalah yang telah menguatkan
keraguanku. Meskipun bukan cintaku, tapi aku akan selalu menghargai orang yang akan hidup bersamaku nanti,
selamanya.
“Assalamu’alaikum,”
Suara itu menyentakkan lamunanku, setelah ditinggal Kak Vahriz. Aku melihat ke luar. Kak Kanan dan…
Kahfi?
“Wa’alaikumussalam,”
“Wah, udah berapa persen nih persiapannya Vel?”
“Alhamdullilah udah 75 % Kak!” dia hanya mengangguk, memberikan penghormatannya pada wanita
yang telah dia sakiti.
“Zahra, mana Kak?”
“Zahra? Oh… jadi, Vel belum tahu cerita sebenarnya. Maklumlah kita kehilangan informasi hampir tiga
tahun.”
“Jadi?”
“Gini aja, kakak ajak kamu dengan calon suami untuk datang bekunjung makan malam ke Rumah,
gimana?” aku mengangguk dan mereka pun berlalu.
***
63
Malam yang gelap, ba’da Maghrib kulangkahkan kakiku menuju Rumah yang telah lama ku rindu.
Tawaku, senyumku, dan candaku bersatu meresapi dinding-dinding Rumah itu.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alakumussalamwarahmatullahiwabarakatuh.”
“Ukhti Velia?”
“Aidha?” kami saling merengkuh satu sama lainnya. Aidha, sahabat kecilku, dia kini kembali.
“Udah selesai kuliahnya?”
“Belum, kesininya dalam rangka walimahnya Ukhti, lho!”
“Masa sih?” aku menggodanya, dia terus menarik tubuhku untuk masuk ke dalam.
Di dalam kulihat, Ibu Sarah yang sibuk di dapur, Kahfi yang mengotak-atik remote TV, Kak Kanan yang
main kuda-kudaa dengan Nina dan Nino, anak kembarnya. Sedangkan Kak Kiriena tampak sedang menyusun
kembali ruang tengah setelah Shalat selesai.
“Kahfi! Matiin dulu TV-nya. Udah selesai Tilawah, belum?”
“Udah, Ummi.” lalu dia mematikan TVnya dengan segera. Memang anak yang berbakti.
“Abi, aku mau susu!”
“Nino, kan tadi barusan Ummi kasih!” suasana yang damai, tenang, dan bahagia. Andaikan aku menjadi
bagian dari keluarga ini. Alangkah senangnya.
Tiba-tiba, mataku tertuju pada lukisan yang tergantung didinding. Gambar seorang laki-laki gagah. Aku
baru melihat lukisan itu. Padahal dulu aku sering kesini. Aku berjalan perlahan ke arah benda itu dan ingin sekali
menyentuhnya.
“Itu, Kahfi yang bikin. Bagus kan?” aku melihat ke arah sumber suara, Kak Kiriena. Aku hanya
tersenyum kepadanya, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kalau tidak tersenyum, ya menangis.
“Eh… Velia, sudah dari tadi? Maaf ya, dicuekin ama tuan Rumahnya.”
“Ah, ibu, jangan gitu dong, kelihatannya aku asing sekali di Rumah ini.”
“Ya, kamu asing untukku, karena kamu bukan cintaku yang dulu.” suara itu aku kenal. Suara yang
dikeluarkan perlahan, pelan itu adalah suara Kahfi. Apa maksudnya?
“Vel, sini deh,”
“Ada apa Aidha?”
“Aku punya oleh-oleh buat kamu.”
“Apa ini?”
“Ini adalah rancangan gaun pernikahan Muslimah. Kamu pilih aja, nanti akan aku pesankan pada
Desainernya, mau ya?”
“Aidha… ga’ usah repot-repot lah!”
“Vel, kamu sahabatku. Aku mau melihatmu bahagia.”
64
Aku memeluk tubuhnya. Mereka seperti nyawa bagi jasadku. Aku hidup jika di dekat mereka. Dan
mungkin aku akan mati bila jauh dari mereka.
***
“Kahfi ini, orangnya diam-diam menghanyutkan. Ibu tak menyangka kalau dia akan melakukan semua ini
untuk menghargai seorang gadis yang setia menantinya. Pernah Ibu bertanya padanya. Sebenarnya apa arti cinta
itu? Dia hanya menjawab dengan satu kata. Kesetiaan.”
Aku memicingkan mataku, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Dia menantiku, dia setia untukku. Bahkan
nama keluarganya dipertaruhkan hanya untukku. Aku malu pada diri ini. Aku harus bagaimana? Masih bisakah
aku memilih? Antara ketulusan cinta Vemas atau kesetiaan cinta Kahfi? Ya Rabb... haruskah aku memilih?
Dia melihatku, aku tahu itu. Tapi aku tetap menunduk. Aku mencoba menegarkan diri. Tapi, tak berhasil.
Aku berlari ke arah kamar mandi yang berada bersebrangan dengan ruang makan ini. Aku sadar, semua
memperhatikanku. Tapi, tangis ini tak bisa aku bendung. Terlalu menyakitkan. Aku memasuki tempat yang
terawat itu. Aku terisak-isak. Aku berasa beku. Aku bingung, harus bagaimana? Kalau ditanya isi hatiku,
sesungguhnya aku ingin sekali jatuh ke dalam dekapan Kahfi, lelaki yang aku nanti tanpa kepastian itu. Lelaki
idaman yang membuatku tak membuka hati untuk lelaki manapun. Dia yang terbaik untukku, selamanya. Allah,
berikan aku petunjukmu? Hikmah apa yang terselip dari semua ini?
Sudah cukup lama aku beku dalam tangis. Entah bagaimana nanti aku menjawab pertanyaan Bu Sarah
dan yang lain. Bagaimana aku menyembunyikan merah dimata ini?
“Vel, ada apa, nak?” suara lembut itu menyapu tangisku.
Aku harus tegar, apapun yang terjadi. Aku harus tunjukan bahwa aku bisa menghadapi takdir ini. Aku
pasti bisa!!!
Perlahan aku membuka pintu kayu yang berukiran khas Minang itu. Aku menunduk. Tubuhku
direngkuhnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak kuat.
“Vel, ibu sudah tahu semuanya. Kamu harus bijaksana ya?” aku menatap mata tua yang ayu itu. Aku
menangis kembali.
Tangan itu mengulurkan penyapu sedihku. Kahfi, itu tangannya. Aku meraihnya. Dan tersentuh. Segera
nadiku bergetar sampai ke sukma hati. Semua bergetar. Aku mendengar lafadz istighfarnya terucap. Bu Sarah
mengelus kepala putranya. Dia sepertinya sangat mengerti dengan apa yang terjadi. Tangan kirinya meraih
daguku.
“Dari awal, ibu memang menyukaimu, nak. Kau sangat pantas untuk lelaki ini. Banyak rencana kami
untuk menjodohkan kalian. Tapi, saat tekad keluarga sudah bulat untuk meminangmu. Ayahmu pergi. Kami
merasa tak pantas mengatakannya. Lalu, kami menunda. Hingga kami tidak menemukanmu lagi. Sulit. Putusnya
hubungan itu membuat kami melemahkan tekad. Dan sampailah lamaran dari orang tua Zahra. Ibu tak tega
menolaknya. Saat itu ibu tidak tahu kalau Kahfi menantimu dan sebaliknya. Ibu memutuskan menerima lamaran
65
itu. Ibu sudah hubungi Kahfi, sayang dia tak di tempat. Karena keluarga Zahra terdesak, karena adiknya ingin
menikah juga. Dalam adat mereka, adik tidak boleh mendahulukan kakak. Jadi, ibu menitip pesan pada teman
sekamar Kahfi.”
“Zayid, kecelakaan saat pulang dari halaqah. Dia meninggal dunia dan aku tak berada di dekatnya saat dia
pergi. Aku pergi tour ke Malaka. Jadi, semua diluar dugaanku. Saat aku balik. Aku melihat undangan pernikahan
atas namaku. Aku berharap wanita pendampingku adalah kamu. Tapi, semua kabur. Saat aku melihat nama yang
tercantum bukan namamu. Tapi, Zahra. Betapa shock nya aku saat itu. Seketika aku memanggil Kakak. Aku
menanyakannya serius dan,” matanya merah, tiba-tiba dari balik pintu datang suara yang menyambung
kalimatnya.
“Semua sudah terlambat. Tiga hari lagi, pernikahan itu tiba. Aku tak tahu harus bagaimana? Haruskah
aku memaksa Kahfi untuk menikahi Zahra, sedangkan aku tahu kalau dia menantimu. Andai saja saat ibu
memberi keputusan itu aku disini. Sayangnya, aku sedang Umrah bersama Kiriena. Dan ibu tak ingin menganggu.
Semua berlalu begitu cepat. Aku minta maaf Velia.” aku menangis. Kembali memeluk ibu Sarah. Beliau
membawa tubuhku yang lemah tak berdaya ke atas sofa. Aku tak mungkin pulang. Akhirnya beliau memberitahu
Bunda. Malam ini aku menginap disana.
Tangisku terurai deras. Susu coklat panas yang dibawa Kak Kiriena tak terjamah olehku. Mungkin sudah
dingin. Kamar yang sederhana tapi bersih. Aku bersandar ke dinding, aku mencoba mengingat kenangan
terindahku bersama Kahfi sebelum aku benar-benar masuk dalam hidupnya.
“Ih, serakah banget sih? Kasih kesempatan untuk yang lain dong? Kamu jelas tahulah, dasar santri kikir!”
ejeken yang terperih yang pernah aku hadiahkan untuknya. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, dia duduk
di kelas satu SMP. Dia awalnya anak pesantren terbaik di Sumatera. Setelah dia mendapat beasiswa ke SMANSA
Padang Panjang. Dia pun lepas dari sebutan santri. Awal aku mengenalnya. Begitu benci, sangat!
Pernah suatu saat aku bertemu dengannya di dekat Sekolahku, dia lagi jalan-jalan bersama ibunya. Saat
itu aku belum memakai hijab. Aku masih dengan rambut potongan biasa. Rambut yang aku ikat tinggi
keatas,membuatku lebih rapi. Kak Vahriz saat itu kelas satu SMA, aku kelas satu SMP. SMA Kak Vahriz tak jauh
dari SMPku, cuma berjarak dua gedung. Waktu itu siang hari. Kebetulan SMA Kakakku ada bazar amal, jadi
kebetulan banget. Aku mau minta Es Kelapa Muda plus Lapek Bugih kesukaanku. Ketika aku kesitu, teman-
teman Kak Vahriz menyerbuku. Memainkan rambutku yang rapi ini. Uh sebel!!!
Aku mencari kakakku. Saat aku menemukannya, aku melihat Kahfi dan Ibunya sedang asyik berbincang
dengan kakakku yang alim itu. Dia dulu adalah mantan santri di Pesantren yang sama dengannya. Ya… ibarat dia
ketemu dengan kakak kelas. Karena saat dia baru masuk, kakakku yang jadi senior dia. Aku berjalan macho
mendekatinya. Anak SMP yang sok cool itu harus aku hadapi. So… awas ya!!! Bentakku dalam hati.
Kak Vahriz dan dia begitu akrab. Maklum beda satu tahun. Tiba-tiba, saat bu Sarah sibuk dengan baju
koko yang ditawarnya. Aku mendekati dua lelaki itu. Mereka berdiri di stand buku.
“Kak, Laper!” rengekku manja pada kakakku.
Dia menyibak kerut dikeningnya. Seakan dia mau berkata “Kayaknya kita pernah kenal deh, dimana ya?”
66
“Adek… mau makan apa?” kakakku menanggapi manja pula. Aku menarik tangannya yang besar. Dia
terpaksa mengikuti tarikanku. Terpaksa dia pamit pada si Mr. Nyebelin itu. YES!? Berhasil.
Dia berjalan gontai menuju ibunya. Dari jauh aku masih melihat kesalnya. Hehehehe… emang enak
dicuekin???
***
Tiba-tiba lamunanku kembali. Aku tersentak mendengar suara diluar. Pukul 11 malam. Cukup lama aku
menangis. Aku berjalan keluar. Gelap dan kosong. Aku berjalan ke arah belakang. Aku melihat seseorang yang
sedang menunduk di kursi, siapa?
Aku mendekatinya perlahan. Isak tangisnya deras, aku rasakan itu. Kahfi? Mungkinkah itu dia? Dia
menangisiku? Mungkinkah?
“Malam begitu dingin.” aku membuka pembicaraan ini. Dia menoleh padaku. Benar! Dia Kahfi. Aku
berdiri jauh darinya, menatap taman yang penuh dengan mawar.
“Benar. Tapi, tak sedingin hatimu kan?”
Aghh… hatiku berdesir. Istighfarku terlantun tiga kali.
“Memang ini salahku, Vel. Aku terlalu picik. Memintamu menunggu tanpa memberikan kepastian. Aku
merasa bersalah sekali. Satu tahun dari hidupmu hilang, karena ku bukan? Kenapa Vel, kamu menunggu? Aku
kan tidak memberimu kepastian. Kenapa?” dia menangis dan memegang kepalanya. Dia tertunduk.
“Kenapa? Kenapa kamu membatalkan pernikahanmu dengannya? Kenapa?” dia terdiam. Hening sekali.
Angin malam menerpa helai jilbabku.
“Kita hanya dua orang yang bodoh. Menanti untuk yang tak pasti. Dan hasilnya? Harus ada yang tersakiti.
Pernikahanku tinggal satu minggu lagi. Kahfi, seandainya aku mengambil keputusan ini dengan hati, aku akan
membalas pengorbananmu. Tapi, aku harus berfikir pakai logika. Bagaimana pengorbanan jiwa dan raga Vemas
untukku. Jangan sampai aku menyakitinya, cukup waktu itu saja. Andaikan,”
Hening.
“Aku yang mendampingimu, apakah kau akan bahagia?” pertanyaannya membuatku membalikkan
tubuhku ke arahnya.
“Tentu, mungkin sangat.”
“Kenapa kita tidak menikah?” mataku tersentak. Hatiku terasa di banting kerasnya. Menikah?
“Konyol.”
“Aku serius.”
“Aku tak tega untuk menyayat hati calon suamiku.”
“Kamu kira aku tega dan sanggup?”
“Tidak. Kau lelaki terbaik bagiku.”
67
“Vel, percayalah… jika memang kita jodoh. Allah akan menolong kita dengan berbagai cara. Aku sangat
berharap itu.”
“Semoga.” dia berjalan ke arahku. Dekat.
“Maukah kau menjadi makmumku? Kita tahajud bersama? Ya?” aku menunduk dan menganggukkan
maunya. Dia berjalan dulu di depanku.
Kami tersungkur diantara cahaya bulan. Kami memohon yang terbaik. Aku merasa menjadi istrinya.
Meskipun kurasa hanya satu jam. Tapi, aku bahagia. Sangat.
***
Sebuah kenangan, di awal januari…
“Velia?” Kak Kiriena mencari tubuhku.
“Ada apa?” tanya Kak Kanan.
“Mana Velia? Kahfi, tadikan dia jalan di belakang. Kamu ga’ lihat?” dia bingung. Matanya mencariku.
“Zahra, ada Velia disitu?” Kak Kiriena berteriak ke arah rombongan akhwat. Zahra menggeleng.
“Jangan-jangan dia tersesat. Kahfi, Kakak ga’ tahu daerah sini.”
“Kakak jalan aja dulu. Aku tunggu dia disini.”
“Terus?”
“Baiklah, Rin. Kita tunggu dia sampai rombongan terakhir lewat. Ok!” mereka menunggu.
“Ada apa?” tanya bu Sarah bersama ibu-ibu yang lain.
Tiba-tiba…
“Aku akan cari. Kakak tunggu disini.” dia berlari ke belakang. Dia panik sekali.
Dari jauh aku melihatnya, memang tak jelas. Kacamataku sengaja tak ku pakai. Aku berjalan pelan. Aku
hampir menangis. Aku tak tahu daerah disini. Handphoneku baterainya habis. Aduh!
Tubuh itu mendekat. Ngos-ngosan.
“Velia? Syukurlah.” dia berkeringat. Aku tersenyum dan terus berjalan di belakangnya.
Diam. Dalam berjalan berdua aku dan dia hanya diam.
ULAR???
Seketika tubuhku terperanjat aku mendekap tangannnya yang diselimuti koko berwarna biru laut.
“Ya Rabb!” dia menatapku saat tubuhku dan tubuhnya dekat sekali. Dia berusaha menjauhkan hewan itu
dariku.
Aku tahu ini salah dan tak seharusnya aku lakukan sebagai seorang akhwat. Tapi, cinta memalsukan
semuanya, virus itu telah merayapi hatiku.
Didaun yang ikut mengalir lembut
Terbawa sungai ke ujung mata
68
Dan aku mulai takut terbawa cinta
Menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa dan ku sentuh dia
Terasa hangat di dalam hati
Kupegang erat dan ku halangi waktu
Tak urung jua ku lihatnya pergi
Tak pernah ku ragu dan slalu kuingat kerlingan matamu dan sentuhan hangat
Disaat itu takut mencari makna
Tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
Kau datang dan pergi oh..begitu saja
Semua kuterima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu kita bertemu
Lirik lagu itu milikku, apa yang dilantunkan Letto memang benar, semua nyata bagiku, dia akan pergi
meninggalkanku. Ini adalah salah satu kisahku, kisah yang ku kemas dalam sebuah kenangan yang indah.
Kenangan bersamanya, Kahfi.
***
Pagi itu begitu suram untukku, setelah shalat Subuh di Masjid aku kembali ke rumah yang menjadi penuh
siksaan bagiku. Waktunya sekejap lagi, aku akan menghapus semua impianku bersama Kahfi. Aku harus berlabuh
di hati Vemas. Semua sulit bagiku, air mata ini mungkin sudah jatuh ke dalam. Itu lebih menyakitkan dari apapun,
haruskah aku munafik di depan semua orang???
Kak Vahriz dan Istrinya datang terlalu pagi, dia mengantarkan sup buntut untuk sarapan. Aku masih di
kamar diam dan diam.
“Assalammua’laikum… ngapain calon pengantin? Kok di kamar aja?” aku tak sanggup menatap
wajahnya, aku menangis. Dia menutup rapat pintu dan berjalan ke arahku.
“Vel, ada apa?” dia meraih kotak hijau yang masih ku genggam.
“Dia kembali kak, dia tak bersalah.” aku terisak memberitahunya.
“Cinta kadang harus memilih, kamu berhak untuk memilihnya Vel, memilih mana yang terbaik
untukmu.”
“Aku harus bagaimana Kak? Mengorbankan kesetiaan cinta Kahfi atau kekuatan cinta Vemas?”
“Ikuti apa kata hatimu.”
“Aku tentu akan memilih Kahfi, dia cintaku Kak… Tapi, bagaimana dengan Vemas? Begitu banyak
pengorbanannya untukku. Aku ga’ boleh egois Kak!”
69
“Jika kamu memilih Vemas, berarti kamu memilih menghancurkan hidupmu, Vel!”
Aku memang tidak pantas untuk memilih dan dipilih. Velia andyra, kehidupanmu begitu kompleks,
hatimu kini entah dimana???
Akankah aku bisa menghancurkan arti kesetiaan cinta ini???
Aku masih terus berjalan menapaki risalah cinta dan mencari jawabannya. Mengais makna dari kesetiaan
cinta.
***
Beberapa hari lagi pernikahanku akan digelar. Aku diburu perasaan ragu. Tapi, ini sudah menjadi
pilihanku untuk menikah dengan Vemas. Aku tak mungkin tega membuat dia terluka. Keikhlasannya telah
menguatkan hatiku. Aku tetap akan menikah dengannya. Meskipun aku tahu Kahfi akan sangat terluka. Tapi, aku
percaya cinta tak harus memiliki.
“Vel, Aidha nyariin kamu tuh!”
“Bentar Mbak, aku lagi nanggung nih.”
“Assalammua’laikum,”
“Waa’laikummussalam, Aidha? Masuk aja!”
“Hey, rancangannya udah selesai nih! Bagus ga’?”
“Wah, keren banget! Terus pakaiannya udah?”
“Udah selesai, kebetulan aku emang udah rancang dasarnya sejak lama, tinggal ngasih ornamen aja.”
“Waw, its great!”
“Sekarang, aku butuh bantuan kamu, mau nyobain udah pas atau belum, jadi kita harus ke Butiknya.”
“Sekarang?”
“Ya iyalah, masa ya iya dong, yuk mariii!”
Aku dan Aidha melambungkan tujuan ke Butik terkenal di Kota ini. Sesampai disana, aku disibukkan
dengan berbagai aksesoris, aku bagaikan seorang putri yang dilayani banyak pelayan.
“Ah, akhirnya selesai juga.”
“Langsung pulang kan Ai?”
“Iya nih, hujannya deras banget.” roda mobilpun melaju menuju taman kota.
“Aidha, aku kebelet nih, berhenti dulu dong.”
“Dimana?”
“Di Toilet Taman Kota aja.”
“Oke deh.” mobil pun berhenti di tempat yang ku maksud. Perlahan aku berjalan menuju Toilet bersama
payung yang menyelamatkan tubuhku dari derasnya hujan.
“Hey, siapa di dalam!”
70
Suara itu mengejutkanku, rasanya aku tak salah masuk toilet, ini toilet wanita. Tapi, mengapa ada suara
laki-laki yang mengganas mengetuk pintu. Aku beranikan diri keluar. Tubuh besar dan wajah tampan itu
menubruk tubuhku, mendorongku ke dalam Toilet. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa, teriakanku takkan
terdengar, hujan begitu deras.
Laki-laki itu mengganas, tubuhnya menghimpit tubuhku, Ya Rabb… aku tidak bisa berbuat apa-apa
selain beristighfar padaMu.
Semua telah terjadi, laki-laki peminum khamar itu telah mengoyak harapanku. Aku telah kehilangan
semuanya. Aku kehilangan permataku.
Ya Rabb… ampuni aku.
Aku berlari menuju mobil, Aidha masih menungguku.
“Velia, lama banget.” aku terdiam, tangisku terus meleleh.
“Velia, ada apa?” aku masih membungkam mulutku, aku berusaha meyakinkan sahabatku, bahwa tidak
terjadi apa-apa.
Sulit aku mengingat kejadian beberapa jam lalu, semuanya telah menelan harapanku. Aku mengurung
diri di dalam kamar, aku telah bernoda. Aku tak pantas menikahi Vemas.
***
Pernikahanku dua hari lagi, aku tetap bungkam. Keluargaku bertanya terus padaku, apa yang terjadi?
Aku tetap bungkam dan akhirnya aku memutuskan tidak menikah dengan Vemas, dalam artian aku
membatalkannya.
Semua orang menatapku yang berbicara dengan penuh keangkuhan, untuk menyembunyikan pedihku.
Suasanapun memanas, aku sangat terkatung-katung, jiwaku telah terbang bersama kehormatanku
***
71
*7*
ARYAZA
Aryaza, pria berpostur tubuh bagus yang gagah itu adalah mantan preman di daerahnya. Laki-laki yang
akrab di panggil Arya inilah yang telah mengisi lembaran kehidupanku yang kelam.
Malam yang kelabu itu, beberapa hari sebelum pernikahanku. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus
aku perbuat dengan keadaan seperti ini.
Aku merasa putus asa dengan kehidupan ini. Aku bingung harus bagaimana dengan keadaan seperti ini?
Semua orang bertanya padaku dan keluarga. Apa yang terjadi sehingga aku membatalkan pernikahanku dengan
Vemas. Ada apa?
Aku terus berjalan menuju tempat resahku. Aku ingin bertemu dengan Ummi, dosen tercintaku. Aku
ingin beritahu semua ini. Tentang petaka yang menimpaku ini. Aku ingin cerita padanya.
“Assalamu’alaikum Ustadz, Ummi nya ada?”
“Wa’alaikumussalam, Velia? Udah lama ga’ ketemu? Ummi ada di rumah. Langsung aja.” aku berjalan
ke arah luar masih membayang punggung laki-laki yang tadi sedang berdiskusi dengan Ustadz.
“Ustadz, dia siapa?”
“Dia Velia, mahasiswi istriku. Emang kenapa?”
“Ga’ kenapa-napa kok, cuma rasanya aku pernah melihatnya.”
“Nak, Arya. Bagaimana? Sudah ketemu?”
“Belum, Ustadz. Saya juga bingung. Mungkinkah akan saya temukan?”
“Memang sulit. Ditambah lagi kamu tidak terlalu mengenalnya. Hanya hidayah Allah yang mungkin akan
menemukan ibu malang itu.”
***
Hari-hari kulalui tanpa ada semangat lagi. Satu bulan yang lalu, Jauzi melamarku pada Bunda. Dia
mengaku palsu. Dia mengatakan bahwa, dia ayah dari anak yang ku kandung selama dua bulan ini. Konyol,
memang.
Tak ada sedikit niat pun, aku untuk mencari manusia laknat itu. Sudah tiga bulan lebih mungkin, aku
menahan tangis yang tak kunjung berhenti terurai ini. Berjuta tanggapan masuk bertubi-tubi dalam kalbuku.
Saudara-saudara Ayah, tak bisa menerima kenyataan ini. Kini, semua tinggal kenangan. Aku hanya sampah. Tak
ada lagi yang bisa aku banggakan. Hanya tangis yang tersisa di sudut mataku. Sungguh kenyataan ini begitu pahit,
sakit.
Tak hanya itu, berbagai komentar dari para aktifis yang aku kira merekalah yang akan menyejukkan
hatiku yang lara ini. Tapi? Mereka pun tak memandangku lagi seperti dulu. Di depannya saja mereka berlaku
72
manis dan baik. Tapi, mereka berusaha untuk jauh dariku. Begitu rendahkah aku dihadapan mereka? Sehingga
tangis ini tak tersapu.
Jauzi, aku masih ingat senyuman terakhir yang kau berikan kepadaku, saat kau harus pergi meninggalkan
kota ini. Kau begitu peduli denganku. Sebagai seorang Mahasiswa Cambridge University yang tak pernah absen
cumlaude dengan IP nyaris empat. Kau menyempatkan pulang ke Tanah Air hanya untuk berbohong. Aku tidak
ingin dikasihani oleh siapapun. Walaupun nanti aku harus menghidupi nyawa di dalam perut ini sendiri, aku siap.
Aku tak ingin menjadi wanita yang lemah. Aku harus tegar dan tetap tersenyum walau senyumku lebih pahit dari
buah quldi.
Perdebatan yang terjadi antara Jauzi dan Vemas, malam itu begitu sengit. Aku hanya bisa menangkap
cerita yang sempurna dari Mell.
Malam itu, ruang tamu yang sederhana tapi unik. Jauzi duduk disamping kedua orang tuanya. Vemas dan
keluarganya berhadapan dengan mereka. Bunda dan Kak Vahriz duduk diantara mereka.
“Saya tidak pecaya. Mana mungkin kamu yang menghamili Velia!” suara Vemas menggema dan
membahana.
“Dari dulu aku sudah menyukainya. Dari dia menjadi sekretarisku dan aku melakukan itu karena, aku tak
mau dia jatuh dalam pelukanmu. Aku iri padamu Vemas Ferhigi!”
“Alasan! Aku tetap tak percaya, kau setega itu. Mana mungkin? Kalau kau suka dengannya, kau tak
mungkin tega menodainya.”
“Aku melakukan itu untuk,”
“Apa?”
“Sejujurnya, aku ingin sekali menikahinya. Walaupun yang dikandungnya bukan anakku. Tapi, aku
bersedia bertanggung jawab.”
“Tidak hanya kau, Bung! Aku dan Kahfi pun menginginkan hal yang sama denganmu. Tapi,”
“Tapi, aku tak ingin dikasihani!” sambungku sambil keluar dari kamar. Diikuti langkah Mell yang
menemaniku dan setia menceritakan seluruh kejadian itu.
“Vel!!!”
“Bunda, aku tahu. Semua pasti kecewa. Aku tak berhak diperebutkan pria-pria mulia seperti kalian. Jadi,
tolong mengertilah.”
“Vel, kamu tidak boleh terlalu egois. Bagaimana kelanjutan kehidupanmu nanti. Apakah kau tega
membiarkan anakmu tak mengenali bapaknya?”
“Tapi… aku,”
“Saya, saya bapak dari anak itu.” semua mata tertuju padanya, dia Kahfi. Dia datang bersama Kak Kanan
dan istrinya
“Maaf kan saya, Bu… ini kesalahan saya, saya khilaf, izinkan saya memperbaiki kesalahan ini.”
“Kiriena juga tidak menyangka, tante. Malam waktu Velia menginap di rumah kami, semuanya terjadi.
Memang Velia saat itu tidur dengan Bu Sarah, tapi paginya dia tidur di kamar Kahfi. Aku mendengar suara
73
pembicaraan malam itu yang tenggelam di larut malam.” aku terkejut, semua memang benar, tapi aku pindah tidur
ke kamar Kahfi, karena aku takut mengganggu Bu Sarah. Saat itu Kahfi tidur di sofa ruang keluarga.
“Bu, izinkanlah saya menikahinya. Semua gelap bagi saya, cinta telah membunuh kami.”
“Saya terkejut, sangat terkejut, tapi saya harus mengambil sikap untuk berbuat yang terbaik untuk putri
saya.”
“Bunda,”
“Velia, menikahlah dengannya, Bunda ikhlas.” semua orang disana terdiam, Vemas menangis. Aku bisa
merasakan sedihnya.
***
Rahasia ini tertutup rapat, kamipun menikah di Masjid yang dulu menjadi saksi ketulusan cinta kami.
Semua orang sempat bertanya, mengapa pengantin prianya Kahfi. Untunglah, aku tak harus menjelaskannya,
karena kakakku yang akan menjelaskannya pada mereka.
Hari yang terasa indah bagiku, kini dia disampingku, di dekatku, mendekap hatiku. Kini dia suamiku,
orang yang harus aku hormati dan aku cintai sepenuh jiwaku.
Perutku semakin hari semakin membesar, hari kelahiran itu sebentar lagi. Aku menghabiskan masa-masa
kehamilanku dengan tawa dan bahagia.
“Duh, akhirnya sampai juga.”
“Iyah nih, aku jadi ingat Ica.”
“Ica? Ica siapa?”
“I… cape deh.”
“Ah, awas yah! Tunggu pembalasanku.”
Begitulah hari-hariku terisi dengan tawa dan cinta. sampai pada waktunya aku melahirkan anak
pertamaku, seorang laki-laki yang gagah dan sehat, Biruza Hudzaifah. Tawanya menggelegar ke seluruh
cakrawala. Kutatap lembut tubuh mungil itu, Ya Allah begitu beruntungnya aku menjadi Ibu dan Istri seperti saat
ini. Tak sedikitpun terbesit olehku kebencian pada anak yang sampai detik ini aku tidak tahu siapa ayahnya.
Kahfi mengadzankannya penuh dengan ketulusan dan khidmat, hatinya tulus melafazkan asmaNya. Aku
menangis haru melihat ketulusannya. Semua keluarga berbahagia dengan kelahiran Biru. Si Kecil disambut
dengan antusias oleh keluargaku, semua perlengkapan yang ia perlukan disediakan. Dari hal yang terkecil hingga
yang terbesar.
***
74
Umurnya sudah 6 bulan…
Gang kecil ini pernah aku lalui beberapa bulan yang lalu. Masjid itu masih sepeti yang dulu. Aku
mengunjungi Ummi, guru kesayanganku.
“Vel, apakah kamu ga’ mau tahu siapa ayah dari anakmu?”
“Ummi, aku ingin sekali, tapi apa dayaku? Aku ga’ tahu siapa dia!”
“Vel, sebenarnya Ummi ingin memberi tahu kamu sejak lama, tapi,”
“Memberi tahu apa Ummi?!”
“Suamiku beberapa bulan yang lalu betemu dengan seorang pria yang menyesali perbuatan asusilanya.
Dia memohon pada suamiku untuk diajari tentang islam. Yah, dia mau bertobat. Dia sangat menyesali
perbuatannya. Dia menceritakan kronologis yang sama denganmu. Ummi ambil kesimpulan, kalau dia adalah
ayah dari anakmu. Namanya Aryaza!”
“Alhamdullilah Ya Allah, dunia ini sempit atas kehendakMu, akhirnya aku menemukan dia. Aku telah
mengikhlaskan semua yang terjadi, aku telah memaafkannya. Aku akan mengizinkannya untuk melihat Biruza,
aku yakin Kak Kahfi tidak akan keberatan.”
“Vel, dia sudah lama meninggal, dia meninggal saat bertemu dengan Allah, dia meninggal saat shalat
tahajjud. Dia khusnul khatimah!”
“Innalillahi wa inna illahi ra ji’ uun. Semoga dia tenang menanti disana sampai harinya tiba. Amin.”
“Vel, Allah telah menentukan jalan hidup hambaNya. Apa yang kamu rasakan? Beratkah ujiannya ini
atau?”
“Aku bersyukur pada Allah, karena telah menuntunku ke jalan ini. Banyak Ibu di luar sana tega
membunuh anaknya. Banyak gadis yang aborsi karena diperkosa, banyak wanita yang terjebak dalam rumah
tangga yang dia tak menginginkannya. Tapi, aku diberi ketabahan dan suami yang aku cintai, serta anak yang
sehat, tanpa cacat sedikitpun. Haruskah aku kufur terhadapNya?”
“Subhanallah, semoga kamu tidak akan menyesal jalan hidupmu, dan senantiasa bertawakal padaNya.”
Wanita paruh baya itu memeluku erat tubuhku. Aku menangis bahagia. Ya Rabb… terima kasih untuk
semuanya.
***
Aku berjalan menatap bunga-bunga kamboja yang berguguran. Walaupun sebenarnya aku sangat
membenci pria itu, tapi dia tetap ayah dari anakku, Biru tetap berasal dari sulbinya. Aku peluk erat tubuh putraku,
aku cium keningnya berkali-kali. Kahfi mendekap tubuhku, menggandengku, dan berusaha menguatkan aku.
Karena, sejujurnya aku tidak sanggup menatap nisan itu.
Aryaza bin Darmansyah, nama itu menguras air mataku. Kahfi membersihkan makamnya dengan wajah
yang mendung, dia berdoa dengan sungguh-sungguh, sehingga air matanya menggetarkan bumi. Biruza masih
dalam dekapanku, Kahfi meraihnya dan dengan bahasa tubuh dia memerintahkanku untuk berdoa. Aku meraih
75
keranjang penuh bunga, aku taburi bunga bersama air mataku. Aku belai nisannya, tiba-tiba aku terkenang saat
itu, tangisku terurai sudah. Aku berdoa bersama lukaku, aku memohon ampun kepada Allah. Setelah itu, aku
palingkan wajahku ke arah lelaki kecilku, dia belum mengerti apa-apa, wajahnya yang polos dan suci membuatku
tetap tegar. Aku berdiri dan melangkah ke arah Kahfi, dia mendekapku, sebelum kami pergi, sempat aku tatap
sekejap nisan itu. Dan kembali, aku menangis.
“Velia, semua telah tertulis untukku, untukmu, dan untuknya, jadi jangan sekali-kali kamu menyesalinya.
Ya?”
“Kak, betapa baiknya hatimu, semoga saja aku bisa mengikhlaskan semua ini.” kembali di peluk eratnya
tubuhku.
Ya… Rabb, betapa beruntungnya aku memiliki dia.
***
“Vel, ga’ rencanain mau honey moon nih?” suara Kak Vahriz menggodaku, dia berhasil memerahkan
wajah ini.
“Mana mau dia Kak, dia kan sibuk banget. Maklumlah, Bu Dokter.”
“Kak… jangan nyindir gitu dong!” aku memukul pelan lengan suamiku tercinta, Kahfi.
Siang itu terasa panas sekali, hawanya menerpa tirai korneaku, sungguh pedih. Kami menghabiskan akhir
pekan berkumpul di Rumah Bunda. Kak Vahriz dan istrinya telah dikarunia seorang anak. Kak Asiyah melahirkan
tiga bulan yang lalu. Selisih umur anak kami hanya satu tahun. Gifran, anak laki-laki yang gagah seperti
bapaknya. Bunda memancarkan tatapan bahagianya ketika dia mengendong cucu-cucu tersayangnya.
Biru dan Gifran nantinya akan tumbuh bersama, menjadi kakak dan adik yang saling mendukung
pastinya. Yah, aku harap begitu, mereka nantinya akan menjadi tali pengerat silaturrahiimku dengan Kak Vahriz
dan Kak Asiyah.
“Vel, menurut kamu tawaran Kak Vahriz tadi gimana?”
“Tawaran yang mana?”
“Ituloh, Honey Moon.”
“Dasar ganjen!” aku memukul halus pipinya, pipi orang yang mengenalkan aku betapa indahnya Islam.
Tiba-tiba, lantunan nasyid merdu menggetarkan meja. Yah, itu ponselku.
“Assalammua’laikum.”
“Wa’alaikumussalam, Vel apa kabar?”
“Jangan bilang ini, Ayu?”
“Iya, ini aku.”
“Kamu masih di Yogya? Dapat kerja dimana?”
“Aku kerja di Denpasar, kebetulan Bapak dan Ibu baru pindah kesana, yah sekalian aja.”
“Denpasar? Wah, enak dong ya?”
76
“Iya, kamu kesini yah? Sekalian bulan madu gitu, hehehehe.”
“Woalah, ada-ada saja kamu ini, rencananya sih gitu. Kak Vahriz nawarin tiket gratis kesana, tapi,”
“Tapi opo? Gimana kalo aku tawarin penginapan gratis? Mau ndak?”
“Bercanda kamu Yu.”
“Aku serius, sekalian ada yang mau aku tanya ke kamu, masalah seputar profesi kita.”
“Ya udah, kalo memang kamu butuh aku, aku kesana.”
“Alhamdullilah, kapan kesini?”
“InsyaAllah minggu depan, minggu ini aku mau ke Rumah mertuaku.”
“Oh, ya udah. Tak tunggu yo re’! Assalammua’laikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Aku menatap senyum lebar suamiku, dia mengedipkan matanya sambil berkata “YES!”
***
Hari ini aku ke Bandung. Aku menemui Bu Sarah, mertuaku. Sekalian aku akan diperkenalkan dengan
keluarga besar Kahfi yang sedang ngumpul di Bandung. Karena, sabtu ini Aidha akan menikah dengan orang
Bandung. Aku bahagia sekali, akan bertemu mereka. Apalagi Kak Kanan dan Kak Kiriena serta dua anak
kembarnya.
“Vel, tiketnya udah kan?”
“Aman. Nih, udah di dalam tas.”
“Biru, mau digendong sama Ummi ato Abi.” Kahfi, berbicara lembut pada anakku.
“Bi… bi!” dia menggapai bahu Kahfi. Kahfi menggendongnya dengan penuh cinta. Walaupun dia tahu
itu bukan anak kandungnya. Aku menatap dalam wajah pria gagah itu, ketulusaannya mengalir dalam setiap gurat
senyumnya.
Pesawat Padang-Jakarta menjemput kami disebuah bandara yang megah. Yah, Bandara Internasional
Minangkabau. Tempat dimana dulu aku pernah ditinggalkan oleh orang yang kini berada disampingku. Aku
menghela nafas panjangku, aku tatap satu persatu penumpang yang duduk disekitarku. Aku heningkan jiwaku,
aku tak berhenti bertasbih dan bertahmid. Tak lupa aku ingatkan putraku untuk memulai perjalanan ini dengan
membaca basmallah. Meskipun belum begitu fasih, tapi dia melantunkannya dengan tulus dan polos sekali. Kahfi
membimbing setiap gerak bibirnya. Ya Allah, betapa beruntungnya aku.
“ Mbak Velia, kamu Mbak Velia kan?” suara itu menyentakkan kekhusu’kanku.
“Ah, kamu… Maulana?” aku benar-benar terkejut.
“Mbak, gimana kabarnya? Sejak Mbak menikah kita kehilangan kontak, padahal banyak yang mau aku
bicarakan.”
“Alhamdullilah dek, kamu gimana? Ngapain ke Padang?”
77
“Oh ya, kenalin Mbak, ini calon istriku.” aku menatap gadis berjilbab yang manis sekali, dia duduk tepat
didepanku. Kahfi menganggukkan kepalanya dan memukul pelan bahu Maulana, menandakan pilihannya luar
biasa.
“Shinta.”
“Velia.”
“Tepatnya, dr.Velia Andyra, SpA.”
“Maulana, kamu ini!”
“Shinta lagi sibuk ngapain?”
“Mau lanjutin pascasarjana di Jakarta, Mbak!”
“Dokter juga?”
Dia mengangguk malu. Maulana telah menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Kini dia dan Shinta
berencana melanjutkan S2 mereka di Universitas terkenal di Jakarta. Shinta ternyata juniorku. Karena, kami lahir
dari Universitas yang sama. Yah, di Fakultas Kedokteran yang terbaik di negeri ini.
***
Soekarno Hatta, menyambut tawa riang Biruza. Perjalanan yang cukup melelahkan ini tidak membuat
Biruza terlihat capai. Dia malah bersemangat saat melihat travel tujuan Bandung siap membawa kami. Aku
mengelus kepala anakku. Aku hantarkan dia duduk diposisi paling tepi. Biar dia bisa melihat betapa indahnya
alam ini.
Aku teringat pada masa yang lalu, saat aku menemani Neru mengikuti tes di Bandung. Dia membiayai
perjalananku. Yah, dia memang mengidamkan salah satu Universitas terbaik di Indonesia itu. Saat itu, aku
memutuskan untuk tes SPMB di Bandung. Sekalian menemani sahabat terbaikku itu. Kami juga menaiki travel
yang sama. Dia begitu lekat dengan kota ini. Setiap seluk-beluknya dia tahu. Wajar, dia sering melancong ke
negeri kembang ini.
Dago, awal Juni
“Vel, seminggu sebelum ujian. Bagusnya jalan-jalan yuk!”
“Kemana? Aku ikut aja deh, aku tak begitu kenal dengan negeri ini. It’s the first time to me!”
“Ke Paris Van Java aja yuk! Shopping gitu. Hehehe!”
“Yee, aku mana ada duit neng!” dia mengedipkan matanya. Aku tersenyum. Paris Van Java, pertama di
Asia Tenggara yang menggunakan konsep main street dan alfresco dining ini membuatku takjub. Kawasan
sukajadi ini memang selalu ramai. Aku tak henti-hentinya bertahmid ketika melihat gaya arsitektur yang luar
biasa. Pantas saja mojang Bandung selalu jadi trendcentre. Mereka memiliki fasilitas untuk memuaskan hasrat
berbelanja mereka. Berbeda dengan di Padang, jangankan tempat seperti ini. Mall aja ga’ ada. Tapi, kalo soal adat
dan budaya, disini centrenya, akhlak yang baik dan sesuai syariat adalah ciri khas orang Padang. Itulah yang
menjadi kebanggan kami jika melangkah keluar.
78
“Bandung keren kan? Makanya kuliah aja disini. Ngapain juga masih bertahan di Padang. Ngaak cool
man!”
“Yah, Neru… Andai aja Ayah masih hidup. Jangankan ke Bandung, Harvard juga akan aku taklukan.
Hahahaha.”
“Dasar, PD banget! Ya udah, met jadi penjaga kota Padang yah, aku mah ogah di Padang. Ga’ update and
berkembang jadinya.”
“Eitss, kualat ngina negeri sendiri! Gitu-gitu juga kamu lahir disana.”
“Ya, ga’ usah berdebat deh. Vel, kota di Indonesia yang sangat kamu idamkan untuk tempat hidup,
dimana?”
“Yogyakarta. Yah, aku ingin sekali kesana. Tapi, entah kapan.”
“Huks, ga’ usah sedih gitu sobat, kamu ambil spesialis disana aja. Gampang kan?”
“Upss, kayak yakin aja aku bakal diterima di kedokteran.”
“Yah, aku yakinlah sama sobatku yang cerdas ini.”
“Ah, pandai muji kamu!”
***
“Ummi, kita masih lama?” suara mungil Biruza menyadarkanku. Aku menatap matanya yang bening,
kupalingkan tubuhku pada Kahfi. Yah, dia masih tertidur. Perjalanan dekat atau jauh itu hanya dia yang tahu. Ini
kali kedua aku ke Bandung. Jadi, jujur saja aku ga’ tahu. Aku membangunkannya perlahan.
“Kak, bangun!” dia terkejut dan mendekap wajahnya. Dia melihat jam dan berusaha mengingat jalan.
“Kita masih jauhkah?”
“Ga’ sepertinya, ini sudah mau nyampe.”
“Abi, rumah mimi masih jauh ya?”
“Ga’ sayang, bentar lagi nyampe. Biru udah laper yah?” dia mengangguk lucu. Aku mempersiapkan
barang-barang.
“Pak, disini aja!” mobilpun berhenti seketika disebuah persimpangan. Aku menurunkan Biru dan Kahfi
mengangkat barang-barang kami. Cukup banyak.
“Kita kemana lagi? Disinikah?”
“Iya, rumah besar itu adalah rumah calon suaminya Aidha. Kalo rumahku masih jauh, di Dago. Dekat
ITB itu loh!”
“Oh, jadi kita nginap disini?”
“Sepertinya begitu. Tapi, kita lihat saja. Ibu bilang kita kesini aja dulu.” kami menyebrang jalan. Rumah
itu memang tampak ramai sekali. Aku yakin Aidha pasti bahagia dengan pria itu.
“Assalammua’laikum.”
“Wa’alaikumussalam. Kahfi, Velia!”
“Aidha, apa kabar?”
79
“Alhamdullilah.” aku memeluk erat tubuh sahabatku itu. Dia tampak cantik sekali. Ibu Sarah keluar
bersama calon besannya. Mereka menyambut kami hangat.
“Mana suamimu Dha?”
“Ups, masih calon.”
“Maaf.”
“Aku belum pernah melihatnya.”
“Apa?”
“Dia mengkhitbahku lewat yahoo messenger. Dia kuliah di Al-Azhar, MESIR.”
“Subhanallah. Sekarang dia dimana?”
“Sedang perjalanan kesini.”
“Tapi, akad nikahnya kan besok?”
“Yah, InsyaAllah. Subuh besok dia datang.”
“Allahuakbar. Berarti kamu akan melihat dia pertama kali saat akad nikah? Subhanallah. Semoga
berkah.”
“Jazakillah ukhti, aku juga ga’ nyangka akan se-sakral ini jadinya.”
“Yah, kita punya jalan masing-masing. Mungkin, jalanmu dipermudah olehNya. Kau harus bersyukur
akan itu.”
“Alhamdullilah.”
“Lebih baik, malam ini kau tidur denganku.”
“Lalu, Kak Kahfi gimana?”
“Bisa diatur, aku ingin memberikanmu ilmu yang penting.”
“Ok Bu Dokter!”
***
Subuh yang indah, karena dia akan menjelang hari bahagia sepasang kekasih yang dipertemukan oleh
penciptanya, ALLAH SWT. Aku membereskan segala tugasku sebagai seorang istri dan ibu. Ba’da subuh semua
pakaian telah aku rapikan. Aku perlahan membangunkan putra kecilku, dan mengajaknya pergi membersihkan
diri. Yah, aku bisa merasakan betapa bahagianya Aidha hari ini. Apalagi, aku diberi kabar bahwa calon suaminya
sampai sebelum subuh dengan selamat. Setelah, aku dan Biruza siap. Aku menggendongnya menuju kamar
Aidha. Subhanallah, dia tampak cantik sekali. Aku terbayang beberapa waktu silam. Aku berada di depan cermin
itu, menatap wajahku yang berhias tipis. Menggunakan gamis putih yang dibalut khimar yang serasi. Semua,
pengantin akan terlihat cantik saat menanti masa barunya.
“Biru, biar Mimi yang gendong ya?” aku mengalihkan pelukan kedinginan Biru ke tubuh sang mertua.
“Aidha, kamu benar-benar cantik.”
“Ah, bu dokter. Aku jadi malu.”
80
“Ingat yah, apa yang telah aku beri tadi malam. Jangan lupa diterapkan yah. Kamu pasti bisa!”
“Ah, aku jadi grogi nih. Jadi, deg-degan gitu rasanya.”
“Yah, itu wajar.” waktupun serasa cepat bagi Aidha. Kini dia telah berada diantara banyak tamu dan siap
disbanding dengan seorang pria yang dia belum mengenalnya. Tapi, sungguh laki-laki itu tampan sekali.
Tubuhnya yang tegap membuat semua tamu wanita tak berkedip melihatnya. Aidha hanya menunduk, ia tak
henti-hentinya bersyukur diberi suami seperti laki-laki yang kini berdiri tepat disampingnya.
Aku peluk bintang kecilku erat. Sepertinya dia mulai merasa kelelahan. Wajahnya begitu sayu tak
bersemangat.
“Sepertinya dia ngantuk, tuh.”
“Iya nih Kak, aku bawa ke kamar dulu ya.”
Aku berjalan santai ke kamar tamu. Tapi, tiba-tiba aku mendengar tangis seseorang. Aku beranikan diri
melihatnya. Ternyata disana Ibu Sarah dan besannya. Mereka menangis setelah seorang pria berjenggot memakai
jubah putih menyampaikan sesuatu hal, yang mungkin membuat mereka sedih atau kecewa. Sungguh, aku ingin
tahu apa yang terjadi. Tapi, laki-laki kecilku telah tertidur dipangkuanku. Aku memilih meneruskan langkahku
dan menitipkan Biruza kepada yang berada di dalam kamar. Langkahku bergegas menuju tempat dimana aku
melihat adanya badai tangis tadi. Mereka hendak berjalan keluar. Dengan mata yang sembab mereka berusaha
tetap tersenyum. Laki-laki berjubah itu ternyata masih muda. Yah, mungkin seumuran dengan calon suami Aidha.
Anehnya, laki-laki itu kini telah berganti pakaian seperti layaknya mempelai pria. Astaghfirullah, ada apa ini?
Aku melangkah penuh dengan kebingungan. Semua sudah siap untuk diselenggarakan. Laki-laki itu
duduk disamping calon suami Aidha yang bernama Rahman. Entah apa yang dia lakukan disana. Aidha hanya
menunduk dan menunduk. Dia benar-benar gugup. Apalagi aku, selain gugup juga bingung. Aku tak sabar
menanti apa yang akan terjadi.
“Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, kita mulai akad nikah yang terdiri dari ijab dan qabul,” Pak
Penghulu meneruskan pembicaraannya. Hatiku semakin tak karuan. Aku takut acara ini akan kacau karena
ketidakpahamanku. Ya Rabb, bimbinglah hati hambaMu ini.
Kak Kanan sebagai kakak pertama dari Aidha telah berada tepat dihadapan Rahman. Dia secara fasih
telah mengucapkan. Tapi, tiba-tiba laki-laki disebelah Rahman menjawab ijab itu. Dan,
“Saya wakilkan sahabat saya Abdurrahman Auf bin Muhammad Ghani untuk menerima nikahnya Aidha
Annisa binti Ashraf Nafis dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan mushaf Al-quran terbitan dibayar
tunai.” semua tercengang dan berselimut ketidakpahaman. Apa yang terjadi? Kak Kanan pun bingung, dia hanya
menatap Pak Penghulu penuh tanya. Apalagi Aidha yang tiba-tiba secara spontan mengangkat wajahnya.
“Maaf, sebelumnya. Nama saya Hafiz. Saya sahabat Rahman, kami sama-sama di Mesir. Memang
kejanggalan ini harus kita luruskan sebelum pernikahan ini disahkan. Sebenarnya, Rahman adalah seorang
tunawicara. Dia kehilangan suaranya ketika usai berjihad ke Palestina. Saat itu memang dia tidak memberi tahu
siapapun tentang kepergiannya. Hanya saya yang tahu, sebagai teman satu flatnya. Disana dia melakukan apa
yang seharusnya dilakukan. Luka ditubuhnya pun hanya luka ringan. Tapi, dia selalu bertakbir dan berzikir
81
sekeras-kerasnya sebagai wujud rasa pertahanan saat Al’Aqsa hendak dihancurkan oleh para zionis.
Keteguhannya dan para sahabat, Alhamdullilah dapat mempertahankan kejayaan Islam tersebut. Sesampai di
Mesir, ba’da shalat jumat, dia diminta khusus bercerita tentang pengalaman di Palestina. Namun, saat dia berdiri
di podium dan hendak mengucapkan salam. Suaranya tak juga mengeluarkan nada. Dia panik dan saat itu dia
shaum, jadi tak bisa menjernihkan suaranya dengan air putih. Akhirnya, dia digantikan oleh sahabat yang lain.
Setelah berbuka, dia berusaha mengajak saya berbicara. Tapi, tetap saja dia tak mampu berucap sepatahpun. Saya
memutuskan membawanya ke Rumah sakit. Ternyata, disana aku dan Rahman mendapatkan kenyataan yang
buruk. Ternyata pita suara rahman rusak. Sehingga dia dinyatakan bisu.” hatiku luruh mendengarnya, semua mata
mengalirkan air mata sangat deras. Semua diluar dugaan kami. Laki-laki yang gagah, ternyata hanya seorang bisu.
Dan dia bisu karena berjihad. Beruntunglah Aidha mendapatkan suami yang telah memiliki saham di Surga. Suara
Rahman telah didepositokan di Surga. Subhanallah.
“Dan, ketika dia mengenal Aidha. Dia sangat takut jika nanti dia meminangnya dan ditolak karena dia
bisu. Tapi, takkala dia tahu bahwa Aidha adalah seorang aktifis lembaga tunawicara. Semangatnya membucah.
Dia yakin, Aidha akan menerimanya apa adanya. Diapun memberanikan diri untuk mengkhitbah Aidha melewati
saya. Saya juga yang mengabarkan kepada keluarga Rahman disini. Entah saya telah berdusta atau tidak. Saya
hanya membantu Rahman, saat itu dia tak ingin keluarganya bersedih jika tahu bahwa dia tak dapat lagi berbicara.
Jikalau ini memang kedzaliman yang tak termaafkan. Rahman ikhlas jika pernikahan ini dibatalkan. Sekian saja
penjelasan dari saya dan ini semua merupakan amanah dari sahabat saya ini.” Aidha menangis deras, dia benar-
benar diantara resah. Aku berusaha merangkulnya dan spontan aku berbicara.
“Bersyukurlah duhai adikku, Aidha. Allah telah menjodohkanmu dengan seorang laki-laki yang mulia.
Yang telah mengorbankan hidupnya untuk Islam. Ketahuilah, Surga telah ada padanya. Jadilah dirimu istri yang
sholehah untuknya. Agar kau juga dapat merasakan indahnya Surga. Subhanallah.” semua mata tergerak
menatapku. Rahman tersenyum padaku, sebagai ucapan terima kasih. Penghulupun bertanya, apakah akad ini
akan dilanjutkan atau sebaliknya? Semua menjawab tegas, bahwa pernikahan ini harus tetap berjalan.
Kalimatullahpun membanjiri ruangan sakral ini. Hari ini, banyak hal yang bisaku dapat. Keajaiban apa
lagi yang nanti akan kulahap. Subhanallah Allah dengan segala hal yang Ia jadikan indah.
***
Tak terasa satu minggu telah berlalu. Aku sudah cukup kenal dengan keluarga baruku di negeri ini. Kini,
saatnya aku memenuhi undangan sahabatku di Denpasar. Aku harus membantunya. Setelah aku menitipkan Biru
pada mertuaku. Akupun melangkah tanpa ragu menuju pesawat Jakarta-Denpasar. Kebahagianku akan terjemput.
Semua aku mulai dengan Bismillah. Aku teringat pada Aryaza. Dia telah memberikan aku cerita berharga tentang
hidup ini. Memang Allah telah memberi jalan untukku. Jalan bersama dia, Aryaza yang kini telah mengawang di
negeri bahagia. Surga.
***
82
*8*
PUSARA CINTA
“Wah, aku jadi ga’ sabaran nih.”
“Ga’ sabaran ngapain?”
“Ada deh, mau tau aja!”
“Ih, Kakak nyebelin deh.”
“Iya, maaf deh istriku.”
“Sunsetnya indah banget yah.”
“Yah, tapi lebih indah senyummu.”
“Yee... gombal banget sih!”
“Biarin aja, kan ga’ dosa.” aku mencubit pinggangnya lembut, dia mengaduh dan aku tertawa renyah. Dia
ingin membalas dan akupun berlari.
“Awas yah, kalau tertangkap!”
“Coba aja kalau bisa!” kami saling teriak meneriaki, hingga matahari pergi kami terus berlari, hingga
terasa waktu Maghrib telah tiba. Kami pun shalat Maghrib berjamaah.
Candle light dinner, sangat romantis sekali. Kuta indah di malam hari. Banyak tamu yang berdatangan
dan menduduki kursi-kursi di tepi kolam berenang. Kami mengambil bagian yang paling dekat dengan pantai.
Menatap rembulan yang sinarnya membayang ke air laut.
“Hmm… kenal dengan Ima ga’?”
“I made sutha kan?”
“Bukan, Ih… manis deh kamu!”
“Ah, udah deh… jadi, ga’ enak body nih.”
“Dasar, cepat banget Ge-ernya!”
“Ih, tadi itu ikhlas ga’ sih?”
“Iya, maaf deh, aku sangat senang sekali. Akhirnya wanita yang aku cintai bisa aku miliki, kini dia hadir
dihadapanku, memberikan seluruh yang ia miliki padaku. Ya Allah, tiada henti syukurku untuk rahmat dan
cintaMu.”
Aku terdiam, aku rasanya ingin menangis, aku bahagia memiliki dia.
***
Bali menjadi saksi bahagiaku. Rencananya satu minggu ini kami akan berlibur disini. Banyak objek
wisata yang akan kami kunjungi, selain berbulan madu, kami juga akan belajar tentang kebudayaan Bali.
83
Kebetulan kami menginap di rumah sahabatku, Ayu Rahma. Dia sahabatku dari kuliah di Yogya. Rumahnya yang
megah dan bagus terletak di jantung kota, Ayahnya juga membuka usaha Galeri dan Butik di rumahnya. Di lantai
bawahnya Galeri, di lantai atas barulah kediamannya yang menyenangkan. Keluarga Islam ini sangat ramah
sekali, bahkan bersedia menyediakan tempat untuk kami, karena memang aku dan Ayu sangat dekat sekali. Dia
tinggal satu kontrakan denganku. Dia anak yang baik dan lugu. Tapi, kecerdasan dalam auranya tak dapat aku
pungkiri.
Aku merasa nyaman berada didekat keluarganya. Sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri. Ayu
mengantarkanku ke tempat-tempat terbaik di Pulau Dewata. Aku benar-benar menikmati perjalanan ini.
“Ayu, kamu mau tanya apa sih ke aku? Ada masalah apa?”
“Gini Vel, aku bingung dengan pekerjaanku ini. Sebagai spesialis anak. Aku bisa apa? Andai kamu tahu
tentang wabah itu.”
“Wabah apa?”
“Daerah Banyuwetan, desa ini dekat dengan gunung Merbuk terserang wabah Chikungunya.”
“Astaghfirullah al’adzim. Lalu bagaimana?”
“Aku terlambat mengetahuinya dan aku juga kesulitan dalam penyuluhannya. Beberapa minggu ini aku
sibuk seminar di Fakultas Kedokteran. Aku tahu tentang wabah ini seminggu yang lalu. Aku kesulitan
menanganinya karena aku belum pengalaman. Kamu kan sering ikut bakti sosial atau apalah itu kegiatan ke
masyarakatan, kalau aku kan jarang. Jadi, yah gini jadinya aku panik.”
“Aku mengerti maksudmu, yah lain kali sikap panikmu itu dikurangi dong! Sekarang PEMDA sudah tahu
tentang wabah ini?”
“Sudah, sejak seminggu yang lalu dinas kesehatan telah bertindak. Tapi, hasilnya hingga saat ini nihil.
Malah korban bertambah banyak. Piye?”
“Kamu yakin itu chikungunya?”
“Maksudmu?”
“Sekarang sudah ada korban meninggal?”
“Sudah ada seorang balita yang meninggal.”
“Setahuku chikungunya ga’ sampe meninggal. Kita cuma butuh waktu inkubasi 10 hari. Dan penyakit ini
kan tergolong bersifat self limiting disease dan bisa sembuh sendiri. Aku takutnya itu wabah meningitis. Melihat
data ini, aku jadi ragu, jangan-jangan diagnosamu salah.”
“Aku salah?”
“Kurasa begitu. Memangnya kamu ga’ ada partner?”
“Ada, tapi semuanya sibuk.”
“Kok bisa?”
“Mana ada hari gini Dokter spesialis mau ke Pedalaman?”
“Iya juga sih. Aku akan membantumu. Kapan kita kesana?”
84
“InsyaAllah besok.” aku membereskan kertas-kertas yang dari tadi kugenggam. Setelah semuanya rapi,
aku mohon izin untuk istirahat. Sepertinya liburan kali ini takkan menyenangkan bagi Kahfi. Semoga dia
mengerti.
***
“Apa? Kamu mau ke pelosok?”
“Iya, hari ini kita akan berangkat. Boleh?”
“Puifff, kok baru bilang sekarang adekku? Kenapa ga’ dari semalam?”
“Yah, aku takut ganggu acara aja. Ga’ boleh ya? Ya udah, ga’ papa kok.”
“Ga’ mungkin aku se-egois itu. Pergilah untuk menyelamatkan nyawa mereka. Aku bangga padamu. Aku
tunggu disini aja deh!”
“Alhamdullilah, ga’ rugi aku nikah sama kamu Kak. Hehehehe.”
“Dasar kamu!” aku mempersiapkan semua hal yang mungkin nanti akan aku butuhkan disana. Ayu
membantuku mengemas barang-barang. Kami kesana menggunakan minibus milik PEMDA. Rencananya kami
disana sampai wabah ini usai. Yah, semoga tidak terlalu lama aku disana.
Perjalananpun aku tempuh. Cukup jauh juga kesana. Yah, maklumlah daerah pelosok. Tapi,
pemandangan pantainya indah sekali. Sayang, kami bukan disana. Lebih pelosok dari itu. Aku harus bisa menjadi
dokter yang tangguh.
Malam menyambut kedatangan kami. Desa ini sepi sekali. Kami harus berjalan sejauh satu kilometer ke
dalam. Melewati rimba yang cukup mengerikan. Tapi, aku menikmati semuanya. Setelah sampai di desa itu, kami
langsung ke Balai kampung. Disana ternyata banyak anak-anak yang telah terserang wabah ini. Aku segera
mendekati mereka. Usai berbasa-basi dengan empunya desa, aku langsung mewawancarai beberapa penduduk
tentang penyakit anak mereka.
“Permisi Bu, anaknya umur berapa?”
“Masih dua tahun, Bu Dokter.”
“Kalo mandi dimana?”
“Di Sungai.”
“Semuanya dilakukan di Sungai?”
“Maksudnya?”
“Misalnya, mencuci, berak, dan lain-lainnya.”
“Iya.”
“Anak ibu sering mandi disana?”
“Yah, setiap hari saya mandikan disana.”
“Boleh tau gejala awal anak ibu sakit?”
“Demam, sakit kepala, juga sering muntah.”
85
“Sudah berapa lama seperti itu?”
“Hampir satu tahun.”
“Apa?! Jadi,selama ini dibawa kemana?”
“Puskesmas.”
“Dikasih obat gitu?”
“Iya.”
“Pernah kejang-kejang?”
“Pernah.”
“Kalo nangis suaranya aneh?”
“Iya, dia nangis bikin telinga saya sakit.”
“Saya periksa anak ibu ya?”
Aku mengukur tekanan darahnya. Tekanannya sangat rendah. Aku semakin yakin kalau dia terserang
meningitis bakterialis akibat bakteri Escherichia coli (dalam keadaan normal ditemukan di dalam usus dan tinja).
Diakibatkan karena mereka menggunakan sungai sebagai tempat mandi, buang air besar dan kecil, jangan-jangan
juga untuk konsumsi air minum. Dugaanku semakin kuat ketika aku melihat ubun-ubun anak ini. Astaghfirullah.
Mereka telah merasakannya bertahun-tahun. Tapi, tidak ada dokter yang mau menjangkau mereka.
Malam ini aku berfikir keras. Aku menyarankan kepada Ayu untuk balik ke Denpasar untuk uji
laboratorium. Aku telah mengambil beberapa sampel. Aku harus melakukan fungsi lumpal. Sebagai tindakan jitu
untuk mendiagnosa penyakit ini. Dengan cara jarum kecil dimasukkan diantara 2 tulang pada kolumna spinalis
bagian bawah dan diambil contoh cairan serebrospinal. Lalu cairan diperiksa dibawah mikroskop dan dibiakkan,
untuk membantu menentukan jenis infeksi, juga dilakukan pemeriksaan kadar gula, protein serta jumlah dan jenis
sel darah putih di dalam cairan serebrospinal. Yah, cukup ribet, tapi aku hanya takut terjadi salah diagnosa untuk
kedua kalinya. Untuk memperkuat diagnosis, aku juga melakukan pembiakan dari contoh darah, air kemih, lendir
hidung dan tenggorokan serta nanah dari infeksi kulit.
Besok pagi Ayu kembali ke Denpasar. Untuk sementara waktu aku dan beberapa perawat stand by disini.
Untuk sementara waktu aku memberikan mereka antibiotik intravena dan kortikosteroid intravena untuk menekan
peradangan. Yah, setidaknya akan sangat membantu mereka. Setelah memindahkan mereka ke tempat yang lebih
layak, aku dan beberapa perawat melakukan pembiakan. Setelah itu aku kembali mengunjungi beberapa rumah
untuk bertanya-tanya lagi. Semoga dapat informasi baru.
“Permisi Pak.”
“Oh ya, Bu Dokter Velia ya? Mari masuk! Sudah lama kami tak melihat Dokter datang ke desa ini.
Memang tempat ini sulit dijangkau. Tapi, apa kami patut diperlakukan seperti ini. Kami juga butuh ilmu
kesehatan. Setidaknya untuk lingkungan kami.”
“Saya rasa bapak adalah warga yang cerdas. Saya sedang butuh beberapa warga yang bisa diajak untuk
partisipasi. Mungkin bapak bisa membantu saya untuk menemui yang lain.”
“Kira-kira saya bisa bantu apa Dok?”
86
“Saya akan memberikan training kilat tentang lingkungan ini. Dan bagaimana pencegahan sementara
menurut diagnosa saya. Bagaimana pak?”
“Baiklah. Saya akan datang bersama rekan-rekan saya nanti malam ke tempat Bu Dokter.”
***
Rumah yang cukup nyaman untuk aku tinggali. Aku sibuk menulis di laptopku tentang apa yang hendak
aku terangkan pada mereka. Aku harus mentranslate slide yang pernah aku buat. Karena memang menggunakan
bahasa inggris. Kemungkinan besar mereka tidak akan mengerti jika slide ini tidak aku edit.
“Permisi Bu Dokter.”
“Oh ya, silahkan Pak.”
“Saya membawa tiga orang teman.”
“Saya Made Nugraha, ini teman saya Made Iman, dan yang gendut ini Made Galuh, kalau yang paling
gagah itu Ahmad Husain saudara se-agama dengan Dokter.”
“Oh, salam kenal.”
“Kami berempat pernah bersekolah di Perguruan Tinggi. Tapi, ga’ ada yang selesai. Setidaknya kami
masih punya ilmu.”
“Baiklah. Sebelum saya memakai slide ini. Saya ingin bertanya-tanya dulu. Boleh?”
“Silahkan.”
“Di desa ini, semua penduduk sudah memiliki kamar mandi?”
“Yah, paling hanya rumah-rumah yang jauh dari sungai yang punya kamar mandi dan juga rumah-rumah
masyarakat yang mampu.” jawab pria yang paling gendut sambil memakan ubi goreng yang tersaji dimeja.
“Sekarang korbannya sudah berapa orang?”
“Setahu saya, yang meninggal sudah dua orang. Dan yang sakit sebanyak tiga puluh orang.” kini si
muslim yang menjawab.
“Mereka tinggal dimana?”
“75% orang tak mampu dan berada di dekat sungai. Selebihnya orang-orang yang bercocok tanam di
seberang sungai.”
“Begitu yah, kira-kira di daerah jauh dari sungai ada korban?”
“Ada, hanya beberapa. Semuanya anak-anak. Karena mereka sering bermain di Sungai sehabis pulang
sekolah yang terletak di seberang sungai.”
“Jadi, semua anak lewat sungai jika pulang sekolah?”
“Tidak semua. Yang mampu biasanya lewat jembatan menggunakan kendaraan. Jembatannya agak jauh
dari sekolah. Lebih dekat kalau lewat sungai. Pada umumnya yang sekolah anak yang mampu.”
“Yang tidak mampu bagaimana?”
“Membantu orang tuanya berladang.”
87
“Baiklah. Mungkin cukup dulu pertanyaannya. Saya akan mulai menerangkan tentang diagnosa saya.”
“Saya mendiagnosa, Desa ini terserang wabah meningitis meningokokus yang berasal dari Meningitis
Bakterialis yang merupakan peradangan pada meningen (selaput otak) yang disebabkan oleh bakteri. Meningitis,
paling sering menyerang anak-anak usia satu bulan hingga dua tahun. Lebih jarang terjadi pada dewasa, kecuali
mereka yang memiliki faktor resiko khusus. Wabah ini bisa terjadi dalam suatu lingkungan. Oh ya, berapa orang
dewasa yang menjadi korban?”
“Hanya tiga orang. Selebihnya anak balita dan anak sekolah dasar. Tapi, memang lebih banyak
menyerang anak bayi.”
“Bakteri yang saya duga penyebab meningitis ini adalah Escherichia coli dan Klebsiella. Infeksi karena
bakteri ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala, pembedahan otak atau medula spinalis, infeksi darah atau
infeksi yang didapat di rumah sakit, infeksi ini lebih sering terjadi pada orang yang memiliki kelainan sistem
kekebalan. Nah, saya simpulkan bahwa kekebalan tubuh orang di desa ini sangat rendah.”
“Gejala utamanya adalah demam, sakit kepala, kaku kuduk, sakit tenggorokan dan muntah (yang
seringkali terjadi setelah kelainan sistem pernafasan), kaku kuduk bukan hanya terasa sakit, tetapi penderita tidak
dapat atau merasakan nyeri ketika dagunya ditekuk atau disentuhkan ke dadanya. Penderita dewasa menjadi
sangat sakit dalam waktu 24 jam, sedangkan anak-anak lebih cepat. Anak yang lebih tua dan dewasa dapat
menjadi mudah tersinggung, linglung, dan sangat mengantuk. Bisa berkembang menjadi stupro, koma dan
akhirnya meninggal. Infeksi menyebabkan pembengkakan jaringan otak dan menghalangi aliran darah, sehingga
timbul gejala-gejala stroke (termasuk kelumpuhan). Beberapa penderita mengalami kejang. Pernah ada kejadian
seperti itu?”
“Saya rasa pernah, bahkan sering. Tapi, kebanyakan warga menyangka kejang itu akibat adanya guna-
guna. Mereka biasa bawa ke dukun.”
“Itu sangat berbahaya. Saya lanjutkan. Pada anak- anak yang berusia sampai 2 tahun, meningitis biasanya
menyebabkan demam, gangguan makan, muntah, rewel, kejang dan menangis dengan nada tinggi (high pitch cry).
Kulit diatas ubun-ubun menjadi tegang dan ubun-ubun bisa menonjol. Aliran cairan di sekeliling otak bisa
mengalami penyumbatan, menyebabkan pelebaran tengkorak (keadaan yang disebut hidrosefalus). Bayi yang
berusia dibawah 1 tahun tidak mengalami kaku kuduk.”
“Prognosisnya, Jika segera diberikan pengobatan, maka jumlah penderita yang meninggal mencapai
kurang dari 10%. Tetapi jika diagnosis maupun pengobatannya tertunda, maka bisa terjadi kerusakan otak yang
menetap atau kematian, terutama pada anak yang sangat kecil dan pada usia lanjut. Sebagian besar penderita bisa
sembuh sempurna, tetapi beberapa penderita sering mengalami kejang. Gejala sisa lainnya adalah kelainan mental
yang menetap serta kelumpuhan. Nah, karena di desa ini telah banyak yang menunda pengobatan. Maka
kemungkinan besar akan menimbulakan banyak korban.”
“Suatu vaksin dapat membantu mencegah meningitis ini. Vaksin ini terutama digunakan jika terjadi
wabah, pada populasi yang terancam wabah dan pada orang-orang yang mengalami pemaparan bakteri yang
berulang. Kepada anggota keluarga, petugas kesehatan, dan orang lainnya yang berhubungan dengan penderita
88
meningitis, juga diberikan antibiotik misalnya Rifampin atau Minosiklin. Anak-anak harus mendapatkan
imunisasi rutin dengan vaksin Hemophilus Influenzae tipe B, yang membantu mencegah terjadinya meningitis
yang paling sering terjadi pada anak-anak. Kira-kira begitu gambaran sementaranya tentang diagnosa saya.”
“Yah, sekarang kami paham apa yang telah terjadi di desa ini.”
“Sebaiknya kita membuat perencanaan yang matang untuk mencegah bertambahnya korban.”
“Saya setuju dengan Pak Made Nugraha. Kita akan mulai besok pagi. Bapak-bapak sangat membantu
saya.” ujarku mengakhiri pertemuan.
Malam ini sangat melelahkan. Aku lebih memilih istirahat. Besok adalah hari yang baik untuk memulai
sesuatu yang baik.
***
Pagi yang cerah menyambut kantukku. Tak terasa telah satu minggu aku disini. Ayu akan datang pagi ini.
Yah, semuanya akan jelas dan aku bisa bertindak cepat.
“Velia, akhirnya,”
“Kenapa? Ketemu?”
“Yah, ternyata itu bakteri Neisseria meningitides.”
“Astaghfirullah.”
“Lalu bagaimana?”
“Ternyata dugaanku benar.”
“Aku kurang paham, Vel. Maukah kamu menjelaskan tentang penyakit ini?”
“Penyakit ini terkenal dengan sebutan Meningitis Meningokokus yang merupakan radang selaput otak
atau sumsumtulang belakang yang terjadi secara akut. Penyakit ini cepat menular, dapat menyebabkan kematian
dan bila sembuh dapat meninggalkan gejala sisa akibat kerusakan di otak. Ini sangat berbahaya. Kuman Neisseria
Meningitidis masuk kedalam tubuh manusia melalu saluran nafas bagian atas. Umumnya wabah Meningitis
Meningokokus terjadi pada musim panas yang panjang dan kering. Perbedaan suhu tubuh dan udara di
lingkungannya serta pengaruh udara yang kering dapat menyebabkan kerusakan sel (Lesi epithel mukosa) karena
terjadinya denaturalisasi pencairan selaput lemak sel sehingga terjadi kerusakan mitokondria yang akan
mengakibatkan terjadinya metabolik asidosis dan hypoxia cellulair. Kondisi ini akan mempermudah masuknya
bakteri kedalam tubuh yang kemudian akan berkembang biak di selaput nasofaring.”
“Aku cukup paham dengan penjelasanmu. Tapi, apa bisa dicegah?”
“Bisa, dengan dilakukannya inkubasi antara dua hingga sepuluh hari, umumnya tiga hingga empat hari.
Tapi, disini ga’ mungkin. Tempatnya tidak kondusif.”
“Ga’ mungkin semuanya kita bawa ke kota kan?”
“Ya. Tapi, kita harus bagaimana? Untuk sementara waktu kita menggunakan pengobatan simtomatis. Bila
suhu diatas 39, diberikan Paracetamol 3 x 500 mg. Bila kejang, diberikan antikonvulsi 10 mg diasepam IV
89
Petanpelan dan dapat diulang tiap 15 menit, sampai 3 kali. Bila terjadi renjatan septic, tekanan darah sistolik kecil
dari 75 mg Hg harus diatasi dengan pemberian Dopamin empat ratus miligram dimasukkan dalam cairan infus
lima ratus miligram, dengan kecepatan dua puluh tetes per menit ditambah dengan Corticosteroid diberikan
secara Bolus yaitu dexametason satu hingga tuga mg/Kg BB tiap delapan jam, dilanjutkan dengan satu mg/Kg
BB. Tapi, apa mungkin semua obat-obatan itu bisa kita dapatkan? Aku ragu!”
“Obat-obatan yang harganya terjangkau mungkin bisa. Aku akan kembali ke kota dan membawa semua
yang dibutuhkan. Ada lagi?”
“Mungkin itu aja dulu.”
“Oh ya, ada surat dari Mas kamu tuh! Ambil dimeja depan.”
Aku bergegas ke depan, mengambil dan membaca surat dari laki-lakiku yang telah lama aku tinggalkan.
Denpasar, di malam yang dingin aku duduk menatap bintang.
Untuk, bintangku yang sedang bersinar.
Bismillahirrahmanirrahiim.
Adinda, apa kabar kau disana? Aku terus menantimu untuk segera pulang kepangkuanku. Tapi, mungkin
mereka lebih membutuhkanmu. Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ada beberapa pekerjaan yang hendak
aku kerjakan. Maaf, jika liburan ini tak sesuai dengan yang kau harapkan. Aku akan selalu merindukanmu. Dan
nanti kita akan segera bertemu. Aku yakin itu. InsyaAllah. Kuakhiri suratku dengan sebuah puisi untukmu.
“Permataku”
Detak langkah
Derai tawa
Menyelinap lalu menyeruak
Memutar lalu mengingat
Hidupku terpaut dicintamu
Bahagiaku terukir dibahagiamu
Jerihmu menoreh banggaku
Lelahmu menopang lelahku
Dukamu menggambar tawaku
Permataku…
Layakkah diri ini menyakitimu?
Pantaskah jiwa ini membunuh hatimu?
Putih diantara hitamku, karenamu
Tawa diantara tangisku, hiburmu
Daya diantara lemahku, juangmu
90
Permataku…
Biarkan cintaku meraih hatimu
Izinkan banggaku menoreh banggamu
Jiwamu mulia untukku
Jiwamu hidupku
Permataku…
Lepaskanlah penatmu
Dan peluklah hatimu
Aku…
Hanya aku hatimu
Hati cintamu…
Salam cinta tulus dari suamimu. Doaku bersamamu.
Ashabul Kahfi
Aku melipat suratnya. Aku mencari selembar kertas dan sebuah pena. Aku menulis surat untuknya. Surat
balasan dari seorang istri yang merindukan suaminya.
***
Senyumku menatap surat dari kahfi tiba-tiba memudar. Wajahku pucat ketika melihat beberapa orang
kampung berlari cemas ke arahku.
“Bu Dokter, korban bertambah banyak. Setengah masyarakat Desa ini mengalami gejala yang pernah
anda bahas!”
“Dan, telah lebih sepuluh anak yang meninggal. Apakah penyakit ini menular? Karena ibu dan bapak
mereka juga terserang.” hatiku seakan disengat lebah. Aku tak menyangka akan secepat itu. Ayu baru saja ke
kota. Kemungkinan besok dia akan membawa obatnya. Sungguh aku dalam kepanikan yang nyata.
“Aku akan berusaha menanganinya. Adakah yang bersedia rumahnya dipakai untuk tempat
penampungan?”
“Yah, Made Nugraha bisa.”
“Baiklah, saya akan perintahkan perawat untuk mensterilkan rumah Bapak. Semua korban yang masih
bisa diselamatkan bawa kesana. Sebelumnya yang akan bertugas disana harus memakan obat ini.”
“Baiklah. Apakah ranjang puskemas sebaiknya kita pindahkan juga?”
“Yah, sebelumnya akan dinetralkan oleh perawat saya.” setelah semua selesai, pasien pun aku pindahkan
ke rumah Made Nugraha yang sangat besar. Aku menggolongkan mereka dalam tiga tingkat. Akut, parah, dan
91
pemula. Mereka berada di ruangan yang berbeda. Aku memberikan beberapa obat-obatan yang tersisa. Semoga
obat-obat yang aku pesan segera datang. Untuk sementara waktu aku bisa cukup tenang.
Aku memilih untuk pulang dan membersihkan diriku. Setelah itu aku akan berdiskusi dengan para
sahabat yang senantiasa membantuku.
“Pak Made Nugraha, saya sangat bangga sekali dengan kebesaran jiwa bapak. Semoga hal yang baru kita
lakukan bisa banyak membantu mereka. Oh ya, ada beberapa informasi lagi yang ingin saya sampaikan.”
“Upaya penanggulangan penyebaran penyakit adalah dengan penyuluhan tentang Meningitis
Meningokokus, cara penularannya, perawatan kesehatan perseorangan dan pencegahannya, menghindari dari
keramaian atau kepadatan orang, pemberian vaksinasi, pengendalian penderita dengan cara isolasi kasus hingga
24 jam setelah pemberian khemotherapy yang tepat. Desinfeksi semua sekret dari mulut, hidung dan barang-
barang yang tercemar, hindari kontak dengan penderita, dan pengobatan spesifik Penicillin secara parenteral
adalah pilihan utama. Ampicillin Parenteral juga efektif khususnya terhadap serangan Influenza. Bagi yang
sensitif penicillin, chloramphenicol juga efektif. Ada juga cara Penentuan kriteria kasus dengan gejala klinis
lapangan yaitu panas mendadak sampai 38 derajat celcius, sakit kepala yang berat, mual, dan muntah atau
petechiae. Mungkin agak sulit dipahami. Tapi, itu informasi penting yang dapat saya jelaskan. Semoga
bermanfaat untuk kita semua. Walaupun saya rasa, bapak takkan terlalu paham, tapi ini menjadi amanah untuk
saya menyampaikannya.”
Aku akui aku telah lelah sekali. Malam ini aku memutuskan untuk istirahat total. Kalau tidak, bisa-bisa
kondisiku tidak fit untuk menatap hari esok. Yah, ini adalah perjuangan terbesarku saat ini.
***
“Aku harus menghancurkan Kahfi. Dia harus merasakan sakit yang aku rasakan. Ternyata dia lebih bejat
dariku. Dasar srigala berbulu domba. Sekarang, aku sudah tau kalo sebenarnya anak itu bukan anaknya. Aku,
Vemas kembali untuk membalaskan sakit hatiku. Kahfi, tunggu pembalasanku.” Semua terasa menggebu, Vemas
kembali dari Amerika hanya untuk membalaskan sakit hatinya.
***
Jakarta begitu panas. Kahfi duduk manis di atas taksi menuju sebuah perusahaan terkenal di Negeri ini.
Disana ada pekerjaan yang menanti.
“Mas Kahfi, apa kabar? Akhirnya sudi juga dirimu mampir kesini.”
“Ah, Jauzi, jangan begitu. Aku jadi tak enak padamu. Ada yang bisa aku bantu?”
“Begini, saya ada proyek besar sekali. Tapi, saya butuh orang yang punya skill. Mas Kahfi kan lulusan
Nanyhang. Saya rasa ga’ diragukan lagi kemampuannya.”
“Jauzi, ini terlalu berlebihan. InsyaAllah saya bantu sebisa saya.”
92
“Proyek ini jangka waktunya satu bulan. Jadi, Mas bisa menetap disini selama itu. Soal akomodasi dan
transportasi bisa diatur. Pokoknya Mas tinggal kerja aja deh. Ok!”
Jakarta, diawal kepedihan
Jauzi memulai cerita tentang nelangsa yang aku rasakan
“Kahfi tersenyum lebar. Belum pernah dia dihargai begitu tinggi oleh seseorang. Selama ini kesabarannya
banyak menjadi cemoohan orang banyak. Bersyukurlah Kahfi bertemu denganku. Tapi, itu tak berlangsung lama.
Kebahagiaan yang kami rasakan sebagai sahabat tiba-tiba sirna oleh sesuatu hal yang akupun tak paham
bagaimana itu bisa terjadi.”
“Sabtu sore, aku dan Kahfi mendapat undangan dinner disebuah resto terkenal. Aku tidak bisa hadir,
karena hari itu istriku sedang sakit. Akhirnya, Kahfi sendiri yang pergi. Disana dia masih sempat menelponku dan
mengatakan bahwa dia akan pergi kesuatu tempat yang agak jauh. Ternyata tempat pertemuannya dialihkan ke
Puncak. Diapun berangkat dengan tamu yang lain.”
“Tidak ada sedikitpun kecurigaan yang aku rasakan. Beberapa jam kemudian aku mendengar kabar, kalau
villa itu terbakar. Dan Kahfi tewas didalamnya. Aku begitu shock mendengar berita itu. Rasa bersalahku
mengganas. Akupun hampir gila karena itu.”
“Setelah di evakuasi. Ternyata benar itu jenazahnya kahfi. Aku ingat dia memakai kemeja biru kotak-
kotak. Aku melihat sisa kain itu ditubuh jenazah. Disana aku menemui Vemas juga. Ternyata dia juga menjadi
salah satu tamu yang diundang. Alhamdullilah dia selamat. Mungkin hal ini yang dapat aku ceritakan. Selebihnya
aku tak tahu. Mungkin Vemas bisa lebih memberi informasi yang baik.”
Jauzi berusaha menguatkanku. Cerita itu sangat menyusuk ulu hatiku. Aku menatap kearah jenazah itu.
Aku tak sanggup menatap onggokan daging yang sudah tak berbentuk itu. Hanya derai air mata yang dapat aku
beri untuk membaluti kepergiannya.
***
Subuh itu saat aku usai shalat. Ayu datang membawa kabar buruk untukku. Sebuah kenyataan tentang
kepedihanku. Suamiku menjadi korban dalam musibah kebakaran di Puncak. Aku tak sanggup menahan tangisku.
Aku segera berlari menuju mini bus, aku ingin ke Jakarta. Pagi ini juga.
Kondisi Desa ini sudah semakin membaik. Tak terasa sudah dua minggu aku mengabdi pada mereka.
Akhirnya terketuk juga hati pemerintah untuk memperhatikan mereka. Bersama kepergianku, bus terakhir
pembawa korban selamat pun pergi. Desa menjadi sepi. Semua yang divonis terinfeksi dibawa ke kota untuk di
inkubasi dan diberi perawatan intensif. Setelah melakukan penyuluhan ke rumah-rumah bagi yang tetap tinggal.
Aku merasa mantap untuk segera meninggalkan mereka. Tanpa ada ucapan perpisahan. Tapi, aku telah berjanji.
Jika semua sudah membaik. Aku akan kembali. Kini aku ingin melihat pusara cintaku.
93
Tubuhku menggigil ketika Jauzi menceritakan cerita pedih ini. Aku sungguh tak sanggup. Tapi, hidup
memang begini. Penuh liku, tak selurus yang diduga.
Kini, aku berada diantara ratusan pelayat. Rumah Bu Sarah dibanjiri banyak orang. Aku hanya duduk
terdiam didekat foto almarhum Kahfi. Jenazahnya telah dikubur beberapa menit lalu. Aku kehilangan
semangatku. Mana ikhlasku???
Aku masih diantara sadar dan tak sadar. Aku terbayang dia masih disampingku. Membawakan sebuah
lagu yang takkan pernah aku lupa. Lagu yang menambah sedihku. Lagu yang dia bawakan ketika malam itu.
Malam saat kami yakin bahwa cinta adalah pengorbanan. Dan kita harus berpisah untuk kebahagiaan mereka
yang senantiasa membahagiakan kita. Aku menatap wajah Vemas yang polos. Dia tertegun dihadapanku. Vem,
andaikan kau tahu lagu itu dinyanyikan Kahfi untuk mengikhlaskanku untukmu beberapa tahun yang silam.
Separated-Usher. Memori Kahfi sebelum rencana pernikahanku dengan Vemas, beberapa tahun yang
lalu.
If love was a bird
Then we wouldn't have wings
If love was a sky
We'd be blue
If love was a choir
You and I could never sing
Cause love isn't for me and you
If love was an Oscar
You and I could never win
Cause we can never act out our parts
If love is the Bible
Then we are lost in sin
Because its not in our hearts
So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated
If love was a fire
Then we have lost the spark
94
Love never felt so cold
If love was a light
Then we're lost in the dark
Left with no one to hold
If love was a sport
We're not on the same team
You and I are destined to lose
If love was an ocean
Then we are just a stream
Cause love isn't for me and you
So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated
Girl I know we had some good times
It's sad but now we gotta say goodbye
Girl you know I love you, I can't deny
I can't say we didn't try to make it work for you and I
I know it hurts so much but it's best for us
Somewhere along this windy road we lost the trust
So I'll walk away so you don't have to see me cry
It's killing me so, why don't you go
So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated
Kahfi, selamat jalan. Nantikan ku dibatas waktu.
***
95
Hidupku kini memasuki lembar yang baru. Aku memutuskan untuk menetap di Jakarta Selatan. Tepatnya
di daerah Rempoa. Disana aku mengontrak sebuah rumah, untuk tempat aku, Bu Sarah, dan Biruza tinggal. Kami,
harus mampu bertahan tanpa kehadirannya yang telah pergi.
Dua bulan telah berlalu, kehidupanku kini terasa lebih ringan. Kebahagiaanku bertambah, apalagi saat
aku tahu bahwa, wabah di Banyuwetan telah usai. Alhamdulillah banyak korban yang sudah sembuh total. Hanya
sedikit yang mengalami kelumpuhan. Alhamdullilah, segala puji hanya untukNya. Aku berniat bulan depan
kesana. Selain menemui mereka, juga menyaksikan pernikahan Ayu dengan Ahmad Husein. Sejak aku
tinggalkan, Dokter manis itu ternyata cinta lokasi dengan pemuda gagah yang membantuku saat terjadi wabah
ganas itu.
Pagi ini, Vemas berkunjung lagi ke Rumahku seperti biasa. Sejak Kahfi meninggal, dia jadi sering kesini
untuk mengajak Biruza bermain. Anakku itu senang padanya. Entahlah sihir apa yang dia berikan pada bocah
kecilku itu.
“Velia, ga’ kerasa udah dua bulan kejadian pahit itu berlalu. Aku adalah senyum dan dukamu, sobat!”
“Yah, aku bahagia dengan adanya dirimu, teman.”
“Jadi, keingat masa kuliah dulu deh. Hahahaha.”
“Oh ya, bulan depan aku mau ke Denpasar, sahabatku menikah disana. Aku boleh titip Ibu dan Biru
kan?”
“Ih. Boleh banget. Tapi, kayaknya bulan depan,”
“Apa? Kamu sibuk?”
“Ya. Malam ini aku mau melamar seorang wanita untuk menjadi pendampingku. Dan dua minggu lagi,
kami akan menikah. Bulan depan aku dan dia akan bulan madu juga ke Bali. Jadi,”
“Wah, kita bisa berangkat bareng!”
“Memang begitu seharusnya. Hahahaha.”
***
Malam yang biasa saja. Tiba-tiba aku mendengar bunyi kendaraan roda empat yang menyentuh halaman
rumahku. Aku berjalan santai membukakan pintu. Ternyata itu keluargaku. Bunda dan Kak Vahriz beserta
keluarga lainnya. Aku juga melihat Mami dan Papi Vemas, beserta adik-adiknya. Wah, kejutan besar ini.
“Bunda, Vel kangen banget nih.”
“Iya sayang, mana Ibu Sarah?”
“Ada di dalam.”
“Mami, Papi, apa kabar?”
Aku mendekap semua yang datang. Aku persilahkan masuk ke dalam. Aku yakin, mereka meminta
bantuanku untuk acara lamaran Vemas malam ini. Akupun tersenyum penuh bahagia. Akhirnya Vemas menemui
kebahagiaannya juga.
“Mana Vemas, Mi?”
96
“Dia lagi perjalanan kesini.”
“Wah, dia pasti deg-degan nih. Antara ditolak atau ga’? Iya kan?”
“Ah, kamu dari dulu sampe sekarang sama aja, Vel! Jahil!”
“Hehehehe.” aku mendengar suara mobil Vemas masuk. Derap langkahnya menyisir lantai rumahku.
Tiba-tiba aku merasakan getaran yang hebat. Entah apa yang telah terjadi. Aku dibuat bingung karenanya.
Mungkin karena aku terlalu gugup melihat siapa nanti calon istrinya.
“Assalammua’laikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
”Kok sendiri Vemas?”
“Yah, maunya aku bawa satu kampung kesini, Vel?”
“Ah, ditanya malah ngeles kamu.”
“Hahahaha. Langsung aja deh ya. Vel,”
“Apa?”
“Untuk kedua kalinya aku berkata padamu WILL YOU MARRIE WITH ME?” dadaku serasa runtuh, detak
jantungku berhenti. Rasanya dunia hendak merajamku. Ya Rabb, apa yang terjadi ini? Aku tak paham tentang
jalan hidupku. Kini, orang yang sama beberapa tahun yang lalu melakukan hal yang sama padaku. Aku sungguh
tak kuasa menahan getaran yang menusuk jiwaku.
“Velia, please answer my question.”
“InsyaAllah, jika memang Allah mengizinkan aku menjadi istrimu. Ya, aku terima tanpa keraguan.”
“Alhamdullilah.” acarapun berjalan lancar. Aku tak tahu kenapa tak ada sedikitpun keraguan padaku. Saat
menjawab apa yang ditanyakannya.
Mungkin dialah jodohku sebenarnya.
***
Ternyata benar, aku ke Bali dengannya. Dia memang jahil. Kami memutuskan menunda berbulan madu.
Dia seorang dokter, dan aku juga. Dia paham apa yang hendak aku lakukan. Kami memutuskan menghabiskan
waktu disana. Mengunjungi tempat para sahabatku. Banyuwetan.
Perjalanan yang jauh, kini terasa dekat. Memang jika bersama orang yang kita sayangi semua terasa
indah. Meskipun agak sedikit gombal. Tapi, itu memang benar adanya. Dari kejauhan aku sudah bisa menangkap
hiruk pikuk di Balai desa. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa juga mendengar tawa bahagia mereka.
“Bu Dokter Velia, apa kabar?”
“Pak Made Nugraha? Wah, tambah makmur saja kelihatannya.”
“Yah, berkat doa Ibu saya dan semua masyarakat menjadi makmur.”
“Bapak bisa saja.”
“Siapa itu Bu?”
97
“Ini suami saya, dia juga Dokter.”
“Selamat datang di negeri kami Pak?”
“Vemas Ferhigi.”
“Nama yang bagus. Mari masuk!”
Aku melihat banyak anak yang kini bisa berlari dan tertawa riang. Mereka semua kembali seperti dulu.
Menjadi anak yang ceria dan bahagia. Aku ikut senang karenanya. Yah, berkat ALLAH semua menjadi begini.
Aku bersyukur terlahir sebagai Islam dan berjalan di jalan yang seharusnya.
Pernikahan Ayu tinggal beberap hari lagi. Tampak, warga sibuk sekali. Aku memilih untuk berkeliling
Desa. Sambil mengoreksi kembali yang telah mereka lakukan untuk pencegahan wabah itu masuk lagi. Ternyata
luar biasa. Mereka menjaga desa ini baik sekali. Hanya sebenarnya kamar mandi yang mereka bikin belum
bagaimana seharusnya. Aku berbisik pada suamiku.
“Satu minggu ini, tempat MCK (Mandi, Cuci, Kakus) akan dibangun disemua rumah. Biayanya biar
kami yang tanggung, Pak!”
Vemas berujar sangat bijaksana. Aku bangga padanya. Dia telah menjadi bagian dari yang
membutuhkan. Kini aku dapat bernafas lega.
Jika nanti aku kembali ke Negeri ini, aku akan membawa kebahagian saat menatap mereka. Meskipun
pusara cintaku telah terpatri jauh disana. Tapi, itu tak membuatku linu terus dalam jemu. Kini bahagia siap
menyambut hariku. Bersama seorang anak yang kini mengakar di rahimku.
Kahfi, bahagialah kau disana. didekat Dzat yang tercinta, ALLAHku dan ALLAHMu, juga ALLAH
seluruh umat.
***
98
*9*
AKU PERGI DENGAN SYAHADAH
Terlalu banyak masalah dalam hidupku. Sebenarnya aku tak ingin menuntut apa-apa. Aku hanya ingin
bahagia. Bahagia mencapai RidhoNya. Anakku, walaupun kau tak kuharapkan untuk lahir dari rahim ini. Tapi,
kau tetap anakku, kau tetap suci, meskipun caraku mendapatkanmu begitu hina. Biruza Hudzaifah, kau adalah
penjaga hatiku. Kau tumbuh menjadi pahlawan untukku.
“Vel, aku ragu, operasi ini akan berhasil. Dia sudah berada di ujung penderitaannya. Hanya Allah yang
bisa menyelamatkannya dan memberi waktu untuknya tersenyum pada kalian.” Zalimah, Pulmonolog. Sahabatku.
Aku tak menyangka, seburuk inikah kondisi suamiku. Sampai-sampai dia di vonis tak mampu bertahan lama.
Asmanya, aku tahu penyakitnya itu mendarah daging dalam tubuhnya sejak pertama kali aku
mengenalnya. Suamiku, kenapa kau harus pergi disaat aku mulai bisa mencintaimu. Kau benar, cinta itu akan
tumbuh bila di pupuk dengan baik. Cinta datang karena telah terbiasa. Kau berhasil menyuburkan cintaku. Tapi,
mengapa? Kau harus pergi, disaat rasa itu mulai tumbuh. Kenapa?
“Ummi, Abi kenapa?”
“Biru, Abi ga’ kenapa-napa kok!”
“Tapi, Ummi menangis.” tangan lembutnya mengusap pipiku. Oh, anakku… andai kau tahu Abimu ini
akan menyusul Ayahmu ke Surga. Anakku, maafkan Ibumu ini. Aku harus membuatmu kehilangan Ayah untuk
ketiga kalinya. Aryaza dan Kahfi telah pergi meninggalkanmu. Itu, karena Ibumu yang bodoh ini. Dan kini,
Vemas juga akan pergi karena salahku.
“Ummi, Ummi jangan nangis. Nanti, adek juga sedih.” dia mengusap perutku yang mulai membesar. Ya
Allah, haruskah anak didalam kandunganku ini, bernasib sama dengan Biru? Kehilangan Ayah saat dia lahir. Ya
Allah, berikanlah aku berjuta-juta daun untuk menghapus air mata ini. Sekumpulan kayu untuk menguatkan hati
ini, agar aku bersabar. Serta ikhlas atas apa yang telah terjadi padaku selama ini.
***
“Vel, kamu harus jaga kandunganmu. Jangan terlalu banyak berfikir. Kamu harus ikhlas. Pasti ini semua
ada hikmahnya.” suara Karin menguatkan hatiku.
“Vel, aku ke kamar itu dulu ya. Jangan lupa, tebus obat ini.” dia menyerahkan kertas kecil kepadaku dan
berjalan menuju ruangan nomor 230.
Aku berjalan perlahan, menatap kakiku yang terhalangi perut yang membuncit ini. Tujuh bulan sudah, dia
berada dalam rahimku. Vemas, bertahanlah hingga kau bisa melihat buah hatimu ini. Bertahanlah suamiku!
99
“MASYA ALLAH!” suara itu menyentakkan langkahku. Aku melihat kearah kamar yang dimasuki
Karin. Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi.
Ya Allah! Aku melihat Ibu Sarah dan Kak Kiriena. Sedang apa mereka?
Aku memasuki ruangan itu, aku melihat mereka dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Sekian lama aku
mencari kabar mereka. Tapi, Allah mempertemukan kami disini.
“Velia Andyra?”
“Bu?”
“Maafkan ibu nak, sudah menyembunikan keberadaan suamimu, dia yang minta pada ibu. Kami
menghilang dari hadapanmu karena,”
Kami meraih tangis besama. Aku merangkul tubuh mereka satu persatu. Setelah kami merasa telah puas
melepas rindu. Aku melihat ke arah pembaringan. Aku menatap tubuh yang lemah terhalang infus. Dia adalah
orang yang telah kunanti selama ini, suamiku yang aku kira telah pergi. Orang yang menjadi nafas cintaku. Tapi,
itu dulu. Saat aku belum menjadi bagian dari diri Vemas. Sekarang? Entahlah… Vemas telah mendustaiku.
Suamiku masih hidup, sudikah dia memaafkan kesalahanku?
“Kak Kahfi, suamiku?”
“Iya.”
“Apa yang terjadi?”
“Meningitis.”
“Apa?”
“Iya.”
“Gara-gara apa?”
“Ini.”
Kak Kiriena menyerahkan sebuah buku tebal yang segera ku raih. I JUST WANNA WAIT YOU. Buku
yang dikarang oleh pengarang misterius yang bernama pena AKA. Buku fenomenal yang menjadi best seller ini
berisikan tentang kisah seorang wanita yang setia menunggu kekasihnya di Selat Bering. Dan dia tertelan ombak,
saat pasang naik di laut Bering. Anza, pria yang kembali dan tak menemukan kekasihnya. Dia rela menjadi
wartawan televisi. Padahal, itu profesi yang tak disukainya. Karena dengan tujuan mencari informasi tentang
kekasihnya, Vediora. Orang-orang menyangka gadis itu telah meninggal. Tapi, Anza tak percaya. Dia terus
mencari dan menunggu. Hingga suatu hari dia bertemu dengan gadis yang mirip sekali dengan kekasihnya. Dia
bernama Asiyah. Gadis itu, dia percaya, itu cintanya. Dengan melawati banyak rintangan. Akhirnya dia
menemukan bukti bahwa Asiyah, memang kekasihnya. Karena, suatu ketika Syeikh Gishkan Al Fateh, orang
yang merawat Asiyah. Menceritakan pada Anza, perihal kehidupan masa lalu Asiyah. Dia ditemukan keluarga
Islam ini, di daratan Laut Merah. Ketika mereka sedang dalam perjalanan ke Turki. Cinta yang suci, takkan bisa
dihilangkan begitu saja. Semua pasti ada bekasnya. Aku akan tetap menunggumu. I JUST WANNA WAIT YOU.
“Jadi… buku ini dikarang oleh?” aku mengenggam erat buku yang memiliki lima ratus halaman lebih itu.
Buku yang ditulis dengan bahasa Inggris ini adalah buku favoritku. Aku mendapatkannya dengan cara yang tak
100
wajar. Waktu kandunganku berumur lima bulan. Aku berjalan dari Pondok Indah ke Senayan, lalu ke Kemang.
Saat itu hujan badai. Memang aku pergi dengan mengendarai mobil. Tapi, Jakarta saat itu tak bersahabat. Setelah
menelfon ke QB WORLD BOOKS, puluhan kali. Akhirnya pada hari itulah aku akan mendapatkan buku itu.
“AKA. Ashabul Kahfi.” jelas Bu Sarah padaku.
Petir dalam dadaku menyambar bergantian. Aku tak percaya. Kahfi yang mengarang buku itu. Buku yang
membuatku yakin, bahwa tak ada penantian yang sia-sia.
Aku menangis sejadi-jadinya. Apalagi, ketika Kak Kiriena berkata :
“Dia mempersembahkan buku ini buat yang telah bersedia menantinya.” Kak Kiriena memperlihatkan
halaman ketiga dari buku itu.
Kupersembahkan untuk Istriku tercinta di singgasananya dan putraku tersayang yang kini beranjak
balita…
“Dan… Vel, He just wanna wait you, until the end of time.” aku berlari keluar, membawa tubuh yang tak
ku perhatikan lagi.
Ya Allah. Begitukah aku membalas semua pengorbananya. Begitukah?
Semua hanya untukku. Cinta Vemas, Kahfi, Jauzi dan Aryaza. Hanya untukku. Mereka mengobankan
nyawanya, hanya untuk mendapat cintaku. Hanya untukku.
Haruskah aku kehilangan orang yang aku cintai dalam sekaligus? Haruskah?
***
“Karin, sebenarnya bagaimana keadaan Kahfi?”
“Vel, meningitis di otaknya itu bisa mengakibatkan dia buta, kita akan melakukan operasi kecil, dan cuma
ada dua kemungkinan, buta atau,”
“Meninggal?” dokter muda itu mengangguk dan berusaha menenangkan tangisku.
“Vel, kamu percaya dengan keajaiban Allah kan?”
“Karin, kamu tahu ga’? Kahfi itu siapa?”
“Siapa Vel?”
“Dia suamiku.”
“Apa? Lalu Vemas?”
“Ceritanya panjang. Apakah kamu ga’ bisa berbuat sesuatu?”
“Hari ini aku akan berusaha melalui operasi, kamu berdoa aja ya. Jika berhasil, kita tinggal menunggu
apakah ada yang mau mendonorkan korneanya. Sekarang, kamu memohon kepada Allah ya, semoga ini yang
terbaik.”
“Karin,” aku memeluk erat tubuhnya.
***
101
Aku tak henti-hentinya memohon kepada Sang Khalik. Tangisku tak berhenti berderai. Aku tatap tubuh
suamiku yang masih terbaring lemah. Apakah aku sanggup menerima hasilnya nanti? Ya Rabb… berilah
hambamu ini kekuatan untuk bersabar dan senantiasa selalu bersyukur. Ternyata memang benar, cinta takkan
pernah usai. Kini aku dihdapkan pada dua laki-laki yang sangat berarti dalam hidupku.
Seperti yang disampaikan Pinkan dalam nyanyiannya,
Cinta… takkan pernah usai
Meski cinta dalam derita
Saat harapan yang gelap untuk memudar
Cinta tetap ada walau didera
Aku… aku kan disini, kenyataan harus kulalui
Dan aku pun lari walau memang pahit
Walau ku menangis tetap ku berdiri
Meski hancurnya hatiku
Meski berat beban ini
Namunku tak sendiri karena cinta setiaku
Meski harus ku lewati seribu jalan yang berliku
Namun kutahu pasti dalam hidupku cinta takkan usai
***
Hari-hariku banyak tersita di rumah sakit. Kedua suamiku sama-sama dirawat disana. Setiap berganti
waktu, setiap itu pula aku berusaha membagi ragaku untuk menemani satu diantara mereka. Meskipun sebenarnya
kondisiku sangat lemah, karena kandunganku yang makin lama makin membesar. Tapi, aku tetap Velia yang
tegar.
“Vel, Alhamdulillah. Ada yang mendonorkan korneanya untuk Kahfi, jadi dia bisa segera di operasi
sekarang.”
Aku mencari arah kiblat, aku berusaha meluapkan segala kebahagiaanku yang sebentar lagi akan
menyapa. Ya Rabb, begitu besar karuniaMu. Setelah aku menyalami mesra tangan suamiku dan memeluk erat
tubuh mertuaku. Aku perlahan beranjak kearah kamar Vemas, aku merasa bersalah karena aku telah
menelantarkan dia.
“Karin, sedang apa disini? Kenapa mata suamiku diperban?” tanyaku heran, saat aku melihat Karin
menggunting perban dan siap ditempelkan dengan plester dibagian kepala Vemas.”
“Tenanglah sayang, aku tak apa-apa, ini hanya untuk sementara. Mataku terlalu lelah untuk terus
berakomodasi. Aku terlalu hina, sehingga,” Vemas melirihkan suaranya pada kalimat yang terakhir dan itu pun
terputus.
102
“Ah, sudahlah ga’ apa-apa, emangnya kamu malu punya suami orang buta?” dia berusaha mencairkan
suasana yang semulanya tegang sekali.
“Orang buta? Kamu kan… Karin, tolong jelaskan padaku?”
“Begini Vel, karena Vemas mengeluh terus matanya terasa sakit dan itu seringkali mengganggu aturan
nafasnya sehingga dia sering sesak nafas yang sulit ia kendalikan. Jadi, terpaksa aku dan dokter lain mengangkat
korneanya. Agar penderitaan sakitnya agak berkurang.”
“Gila! Tapi, mengapa tidak izin padaku, aku ini kan juga dokter, apa kau tak percaya padaku?”
“Sudahlah Vel, ini permintaanku. Ikhlaskanlah, ini hanya sebuah kornea bukan nyawa. Seandainya itu
nyawaku apakah kamu siap mengikhlaskannya istriku?”
“Vemas, jangan bicara seperti itu!”
Aku merangkul hangat tubuhnya. Dia perlahan meraba perutku dan mencium calon buah hatinya dengan
lembut. Hatiku berkata “Vemas, kau begitu lembut dan penyayang, karena itu kau berhak menjadi berlian yang
mengisi kerangka kalung hidupku.”
***
Hari-hari terasa menyesak bagiku. Dua hal yang tak mungkin aku pisahkan keberadaannya. Aku masih
bertanya dalam hatiku “Ada apa ini? Kenapa seperti ini?”
Tapi, semua tanya itu aku coba untuk musnahkan. Kini, aku hanya ingin fokus pada mereka berdua, Kahfi
dan Vemas. Dua orang yang aku cintai, aku yakin Allah memberikan jalan yang baik untukku. Dengan
dipertemukannya kembali aku dengan Kahfi, hidupku terasa bimbang. Nanti harus bagaimana?
Telah lebih dua minggu Vemas dirawat, tapi tidak menunjukkan perkembangan yang baik malah semakin
memburuk. Sebaliknya Kahfi, dia semakin membaik. Alhamdullilah ada seorang yang dermawan yang rela
memberikan kornea matanya untuk Kahfi.
“Velia, kondisiku semakin memburuk. Dan aku ingin pergi dengan melihat senyum diwajahmu.
Meskipun kini aku tak mampu. Tapi, aku yakin tanganku masih bisa menyentuh senyummu.”
Tangisku tak tertahan saat kata-kata itu memancar dari mulutnya. Sahabat yang sangat aku cintai. Orang
yang selalu ikhlas menerimaku. Dia memang lebih patut mendapat cinta tulusku. Keikhlasannya membuatku tak
bisa melepasnya. Dia begitu cerah, padahal kondisinya semakin memburuk. Dia menanti ajalnya dengan senyum
yang selalu merekah dibibirnya. Vemas, aku mencintaimu, karena cintamu kepada ALLAH. Dia adalah seorang
yang hanif. Vemas, sungguh jangan kau tinggalkan aku. Jangan kau buat perpisahan ini menjadi duka terberatku.
Sungguh aku tak sanggup.
Sejenak aku membawa khayalku kemasa yang lalu. Saat dia masih bisa berlari menghiburku. Saat
tangisku dihapuskannya, saat jiwaku dikuatkannya.
“Vel, kamu bangga ga’?”
“Bangga kenapa?”
103
“Memiliki aku sebagai sahabatmu kembali.”
“Aku bahagia, kau kembali padaku. Sahabatku yang hilang kini telah kembali.”
“Yah, aku juga mendamba saat-saat seperti ini. Kita kembali tertawa, menangis bersama.”
“Setelah ini kamu akan ke Jakarta, aku ke Yogyakarta. Sesaat lagi kita akan berpisah. Padahal, aku masih
ingin didekatmu, sobat!”
“Uh… tak terasa lima tahun telah kita lalui di kota ini ya, kota yang membesarkan kita. Yang
mengenalkan kita apa arti hidup.”
Langkahku terhenti di sebuah kamar. Kali ini waktunya aku memeriksa pasien kamar seratus satu. Vemas
melanjutkan perjalanannya ke ruang istirahat. Waktunya dia untuk rehat sejenak setelah kerjaan menempa tubuh
kurusnya.
“Semangat Vel! Kamar terakhir kan? Aku tunggu di ruang istirahat ya.”
Aku mengancungkan jempolku, tanda aku setuju. Segera aku bergegas menyelesaikan tugasku. Setelah
itu aku memenuhi undangan sahabatku untuk berehat sejenak.
“Vemas, kamu setelah ini masih bertugas?”
“Mau ngajak kemana nih?”
“Yee, GR aja lo! Aku Cuma,”
“Cuma apa?”
“Ga’ ada, aku lupa!”
“Senyummu cukup sebagai jawaban atas isi hatimu, aku paham dirimu melebihi siapapun. Kamu harus
yakin itu.”
Aku tersentak ketika kalimat beberapa tahun yang lalu itu tiba-tiba muncul dimasa ini. Muncul dari bibir
suamiku.
Aku mengusap pelan wajahnya. Sungguh aku tak mau kehilanagn dirinya. Semua kenangan tentangnya
takkan pernah terkubur.
“Velia, aku akan pergi dengan syahadah. Aku ingin kau membantuku. Bantulah aku.” aku menggetarkan
suaraku. Terisak aku melepasnya. Tapi, aku harus ikhlas seperti yang dia selalu bilang. Dia menirukan lafadzku,
setelah selesai. Dia mengusap senyumku yang dipaksakan. Dia menghapus air mataku dan dia tersenyum manis.
Inallillahi wa inna illahi rajiun.
Sungguh ku tak dapat percaya, sungguh aku tak dapat mengerti, kau telah pergi dari hidupku. Mengapa
kita berpisah? Aku kehilanganmu. Di manakah dirimu? Apakah semuanya berakhir?
Sejak kali mengingatmu sulit melepas kau pergi. Jujur, aku sangat kehilanganmu. Andaikan waktu
dapatku rengkuh, aku akan putar tepat pada masa aku mencintaimu utuh.
***
104
Rumah menjadi sangat ramai, mungkin ratusan orang yang datang. Yang pasti didominasi oleh para
dokter. Aku mengenakan gamis putih dengan perut yang terus membesar. Aku menghilangkan tangisku. Aku
berusaha tegar. Semua menyalamiku dan berduka atas dukaku. Aku duduk diantara semu, aku menjamu dukaku.
Sejurus aku menatap wajah suamiku aku teringat semua kenangan indahku.
“Wah, anak kita perempuan. Lihat monitor itu, Subhanallah! Gimana kita kasih nama Veqiqhan Fatihah.
Bagus ga’?”
“Vel, lihat Biruza! Dia tumbuh menjadi laki-laki kecil yang gagah.”
“Aku sangat mencintaimu.”
“Aku sangat mencintaimu.”
“Aku sangat mencintaimu.”
Kalimat itu terus terngiang dalam benakku. Kini, tangisku tak dapat kutahan lagi. Semua air mata meleleh
sudah. Bayangannya tak kunjung hilang. Senyum terus menghantuiku. Auranya terus menyelimutiku. Ya Rabb,
apa yang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar ikhlas?
Malam ini aku mengumpulkan semua kenangan tentangnya yang telah pergi. Dia telah meninggalkanku
jauh kesana. Aku teringat sebuah puisi yang pernah ia tulis untukku.
Tawa disela dua warna
Bertanya…
Aku siapa???
Senyum diantara dua dunia
Bertanya…
Aku dimana???
Rasa didusta dua cinta
Bertanya…
Dia siapa???
Pecah raguku membelah ragumu
Musnah inginku menghanguskan inginmu
Sendiri…
Kau sendiri meratapiku
Jenak demi jenak menyentak
Aku tersentak…
Kaca diriku membayang diseribu dinding
Menampar keluhku, keluhmu…
Aku tertatih menuju sedihmu
105
Ku selimuti jiwamu yang beku
Kau masih disitu,
diselimuti ragumu raguku,
disirami inginmu inginku
Kau bukan yang dulu
Kau menyihirku, membenamkanku pada pesonamu
Kau menjelma memasuki duniaku
Kini, biarlah tawa melingkar diwajahku wajahmu
Tawa penuh harap dan cita…
Sahabatku,
ku tunggu dirimu ditempatku ditempatmu…
Andaikan aku bisa memburu waktu, aku kan segera berlari kewaktumu. Bersamamu untuk menit rasa dan
merangkai cinta.
***
Hanya delapan bulan waktu yang aku lalui bersama Vemasku. Waktu itu memang sebentar. Tapi, bagiku
itu adalah waktu yang sangat lama. Aku menghabiskannya untuk dunia. Bersama dengannya aku berpetualang
bahkan sampai nyaris mengorbankan nyawaku.
Kandunganku saat itu masih berumur tiga bulan, hatiku kembali terketuk untuk membantu menyelesaikan
masalah di ibukota ini. Setelah banjir Bandang menghantam negeri ini ditemukan terjangkitnya penyakit
leptospirosis.
“Vel, kamu pernah dengar tentang penyakit ini kan?”
“Ya, aku pernah baca. Tapi, Belum pernah menangani langsung.”
“Aku pernah, waktu kuliah disini. Penyakit ini sangat berbahaya jika tidak segera dicegah. Biasanya
manusia terinfeksi bakteri leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air
seni hewan penderita leptospirosis. Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata,
hidung, kulit yang lecet atau makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi leptospirosa. Masa inkubasi
dari bakteri ini adalah selama empat hingga sembilan belas hari.”
“Aku juga pernah baca. Kalau pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati
dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline), Streptomycine,
Tetracycline, Erytromycine, Doxycycline.”
“Kamu memang hebat kalau soal obat. Hafalan kamu itu setia banget. Aku bangga sama dokter yang satu
ini.”
106
“Ah, biasa aja Vemas, kamu berlebihan. Pada kasus-kasus awal mungkin para dokter tidak menduga ada
leptospirosis. Penyakit ini tidak lazim dan mungkin terlupakan, sebab belum tercatat ada jangkitannya di Jakarta.
Itu sebab pada kasus-kasus awal bisa bisa jadi dokter luput mendiagnosis, sehingga pasien terlambat diberi
antibiotika. Jika terlambat diobati, komplikasi leptospirosis merusak ginjal, selain hati dan otak. Begitu bukannya
Pak Dokter?”
“Tepat sekali. Maka dari itu kita harus turun langsung ke lapangan. Setujukah?”
“Yap, InsyaAllah kita bisa!”
Pagi ini agendaku adalah memberikan penyuluhan kepada warga tentang penyakit ini. Sebelumnya aku
mendiskusikannya dengan tim dokter yang lain.
“Hal yang harus segera kita lakukan adalah lisolisasi seluruh permukaan lantai, dinding, dan bagian
rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, dianggap cara
mudah dan murah mencegah mewabahnya leptospirosis.”
“Dan menurut saya kita juga harus mengingatkan warga agar menghindari berkontak dengan kencing
hewan piaraan. Lalu, biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu berkontak dengan air
kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakai sepatu bot, terutama jika kulit ada luka, borok, atau eksim.
Biasakan membasuh tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau membersihkan gudang, dapur, dan tempat-
tempat kotor. Mungkin akan lebih efektif.”
“Yah, saya setuju dengan saran Dokter Vemas. Ada baiknya hewan piaraan yang terserang leptospirosis
langsung diobati dan yang masih sehat diberi vaksinasi. Dan ingat juga bahwa vaksinasi leptospirosis tidak
berlaku bagi manusia. Di Amerika Serikat Desember 2000, ada anjuran bagi orang yang beresiko terjangkit
leptospirosis diberikan seminggu antibiotika (dipilih golongan doxycycline) sebagai upaya pencegahan. Rasa saya
begitu.”
“Yah, Dokter Salma benar. Saya akan langsung turun kelapangan dan mengintruksikan kepada warga
agar segera membasmi tikus rumah sampai ke sarang-sarangnya. Begitu juga jika ada hewan pengerat lain. Jangan
lupa bagi yang aktivitas hariannya di peternakan. Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain tupai, dan
hewan liar lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan pemukiman.”
“Baiklah Dokter Velia. Sebaiknya kita langsung bergerak.”
“Ada baiknya beberapa dokter tetap stand by disini. Jika ada pasien dengan ciri-ciri demam menggigil,
pegal linu, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, batuk kering, mual-muntah, sampai mencret-mencret. Jika pada
tahapan ini tidak diobati gejala bertambah parah dan tampak lebih khas. Oleh karena menyerang hati, pada
stadium lanjut muncul gejala penyakit kuning. Kulit dan putih mata menjadi kekuningan, selain tampak pula mata
merah layaknya sedang sakit mata. Demam, kuning dan mata merah, dianggap khas pada leptosprirosis.
Adakalanya terjadi pendarahan. Dokter mendengar bunyi paru-paru abnormal, dan kemungkinan kulit meruam
merah.”
“Wah, saya pernah mendengar kabar. Beberapa hari yang lalu ada seseorang yang dicurigai leptospirosis,
pemeriksaan laboratorium urin dan darahnya menunjukkan hasil abnormal. Fungsi ginjal dan hati terganggu,
107
selain sel darah putih menurun. Namun yang lebih pasti diperoleh dari hasil pemeriksaan serologis. Memang bisa
juga dilakukan pembiakan kuman dari urin, darah, atau cairan otak. Namun perlu waktu dua minggu, dan
kumannya sendiri tergolong bersifat lamban bertumbuh. Maka paling praktis memang masih pemeriksaan darah.
Dan itu sedang kita lakukan. Semoga pasien itu masih mampu bertahan.”
“Kalau begitu, Dokter Aji saja yang disini. Sepertinya sudah sangat paham. Bersedia bukan?”
“Dengan senang hati Dokter Vemas.”
“Oh ya, satu lagi. Kita harus ingat bahwa gejala leptospirosis menjadi lebih berat jika tidak diobati atau
obatnya salah alamat. Selain komplikasi ke hati menimbulkan gejala penyakit kuning, komplikasi ke selaput otak
menimbulkan gejala nyeri kepala, kejang-kejang, leher kaku, dan penurunan kesadaran. Komplikasi ke ginjal
umumnya bersifat fatal. Maka dari itu, kita harus menghindari kesalahan tersebut.”
“Baiklah, terima kasih atas diskusi hari ini. saya dan tim dokter akan langsung terjun ke lapangan.
Tempatnya sesuai dengan yang telah didenahkan.”
***
Ternyata semua diagnosa benar. Lebih dari ribuan warga terserang penyakit ini. sudah satu minggu aku
dan suamiku konsentrasi untuk penyakit ini. Dan parahnya, aku mengalami gejala awal yang sama dengan
penyakit itu. Vemas sangat panik. Aku langsung diisolasi dan diberi perawatan insentif. Kini, aku genap satu
minggu terdiam di rumah sakit. Tubuhku benar-benar lemah. Anak dalam rahimku terancam tak mampu bertahan.
Tapi, untunglah segera ditangani dengan baik. Aku sempat melewati masa-masa antara mati dan hidup.
Disanalah dia berada. Vemas selalu menjagaku siang dan malam. Kini, dia tidak turun kelapangan. Karena,
korban bisa secepatnya dibawa ke rumah sakit terdekat dan ditangani oleh dokter ahli.
Malam ini, Vemas akan menerima penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta. Dia akan menerima
penghargaan sebagai Dokter terbaik tahun ini. Karena, memang sebelumnya, dia juga telah berhasil menaklukan
berbagai macam wabah. Dia memang luar biasa. Aku masih lemas diatas pembaringan. Sayang sekali aku tak
dapat menemaninya. Dia harus berangkat sendiri. Tapi,
“Aku tidak akan pergi tanpamu. Kesuksesan ini adalah kesuksesan kita.”
“Tapi, aku mewakilkan diriku padamu.”
“Biarlah aku juga mewakilkan diriku pada tim dokter lainnya. Kamu setuju kan, istriku?”
“Yah, terserah kamu. Mungkin itu yang terbaik.”
“Yah, memang pilihan terbaik jika aku selalu disampingmu.”
“Oh, so sweet.”
Air mataku tak berhenti juga. Kenangan itu terus membawaku dalam lembah duka. Ini sudah pukul satu
malam. Aku membasahi sajadah dengan air mataku. Alam sadarku kembali. Kini, aku baru sadar bahwa dia telah
pergi meninggalkanku.
108
***
Bulanpun berganti lebih buruk dari yang aku bayangkan. Tapi, kesuraman itu mulai memancarkan sinar.
Kabar Kahfi semakin membaik sedikit menghiburku. Kini, semangatku untuk kembali ceria datang. Dia kembali
menjadi suamiku lagi. Dan aku kini akan mengabdi padanya. Kandunganku semakin tua. Sudah lebih dari
sembilan bulan. Kini memasuki sembilan bulan tujuh hari. Diperkirakan anakku lahir tiga hari lagi. Anehnya,
tubuhku belum terasa sakit. Aku masih sempat berjalan sendiri di lorong-lorong rumah sakit. Dokter
menyarankan aku disini sampai waktu kelahiran. Sungguh aku sudah tak sabar menanti bayi perempuan ini.
Kahfi tampak gagah disampingku. Dia selalu setia menemaniku. Aku merasa waktu saat Biruza lahir
terulang kembali. Mungkin, Allah telah menakdirkan semua buah hatiku akan diadzan atau diiqamatkan olehnya.
Aku mencoba menahan rasa sakitku. Aku berharap anak keduaku ini lahir dengan normal. Perkiraanku
benar. Anakku akan dilahirkan secara normal. Setelah diberi analgesia epidural yang rasanya tulang seperti dibor,
sakit sekali sampai aku memegang erat tangan perawat disampingku.
Aku bersiap untuk masuk pembukaan pertama. Ini adalah bagian nyeri pertama, yaitu saat kontraksi
rahim. Luar biasa sakitnya!
Nyeri selanjutnya adalah ketika mulut rahim terbuka penuh atau yang sering disebut pembukaan kedua.
Nyeri ini terasa tajam dan panas serta lebih intens dan lebih jelas dibandingkan nyeri pada pembukaan pertama.
Aku benar-benar tak kuasa menahan rasa sakit yang terus menerpa jantungku.
Tapi, setelah semua siksaan itu berakhir. Lahirlah buah hatiku. Semua sakit diabaikan. Rasanya, semua
penat hilang ketika mendengar tangisan bayiku.
Veqiqhan Fatihah telah lahir kedunia. Aku mendengar suara iqamat suamiku. Namun setelah itu keletihan
luar biasa menyerangku.
Beberapa waktu sebelum itu aku merasa pusing dan dada terasa sakit. Enam jam kemudian, aku kejang-
kejang dan sesak napas. Bahkan, sampai pingsan selama sepuluh jam. "Ternyata Dokter Velia mengalami
eclampsia post partum. Tekanan darah naik usai melahirkan sampai 180/140. Padahal sebelum hamil, tekanan
darahnya rendah." ujar dokter yang membantu dalam persalinanku.
"Selama sepuluh jam Velia di ICU dan menjalani berbagai tes. Dia seperti kena stroke. Untung tidak ada
saraf atau pembuluh darah yang pecah di otak. Dia harus dirawat intensif di rumah sakit selama sepuluh hari.
Setelah itu baru dapat diizinkan pulang, namun keadaannya akan sangat lemah. Dia harus periksa darah seminggu
sekali. Ini akibat tensi tinggi, darahnya mengental dan menyumbat. Jadi, selama 18 hari pertama di rumah, Velia
harus menyuntikkan sendiri obat pengencer darah di bagian perut. Pak Kahfi tidak usah khawatir. Kami akan
melakukan yang terbaik untuk Dokter Velia.”
Kahfi hanya terdiam. Dia terus berharap yang terbaik untukku. Dia yakin dokter berkerudung itu dapat
menyelamatkanku.
109
Setelah semua yang disarankan dokter aku jalani. Aku kembali ke rumah dalam kondisi yang sangat
lemah. Aku harus istirahat full. Sementara anakku masih dirawat di rumah sakit. Pengalaman hebat ini akan
menjadi pelajaran yang berharga untukku.
***
Satu tahun telah berlalu. Qiqhan tumbuh menjadi gadis kecil yang manis.
“Kak, apakah Qiqhan perlu tahu tentang Vemas?”
“Tentu dia harus tahu siapa ayah kandungnya, Vel.”
“Tapi, rasa sakitku padanya tak mau hilang.”
“Aku minta maaf jika ceritaku membuatmu sangat membencinya. Sekarang semua keputusan ada
padamu.”
Aku merasa sangat sakit ketika mengetahui ternyata betapa jahatnya Vemas padaku dan Kahfi. Ternyata
dia yang telah merencanakan semua ini. Dia telah berhasil membalaskan dendamnya
“Aku tak mengerti sebenarnya mau Vemas apa? Dia begitu benci padaku. Saat aku sampai di Villa itu,
dia menyambutku dengan kepalan tinjunya yang melahap dadaku. Aku hampir saja mati ditangannya.”
“Kahfi, aku harus meninggalkan kehidupan Velia gara-gara kau! Dasar kau penipu! Sebenarnya, anak
itu bukan anakmu kan? Dasar laki-laki laknat kau Kahfi!”
“Cacian tak henti-hentinya dia berikan padaku. Aku benar-benar tak berdaya karenanya. Pada akhirnya
dia mengancamku.”
“Jika kau tak mau pergi dari kehidupan Velia! Aku akan membunuhnya dan juga anaknya itu. Kau tahu,
aku bisa melakukan apa saja!”
“Hatiku miris mendengarnya. Aku tak ingin dia melukai kau dan Biruza. Akhirnya aku menyetujui
tawarannya. Dia mengasingkanku ke New York. Semua biayaku selama disana dia yang tanggung. Awalnya aku
merahasiakan keberadaanku pada Ibuku. Tapi, setelah kau menikah dengannya. Aku menghubungi Ibu dan
mengajak beliau serta Kak Kanan dan keluarga untuk menetap disana. Mereka sangat terkejut sekali mendapatkan
kenyataan pahit itu. Tapi, mereka paham apa sebenarnya yang tersirat dibalik semua ini. Allah kini telah
mempertemukanku denganmu di tempat yang seharusnya. Jangan pernah engkau membenci almarhum Vemas.
Karena dia saat itu hanya khilaf dan hilang kendali.”
Sejak Kahfi menceritakan semua itu. Aku menjadi sangat membenci Vemas. Aku takkan melupakan
kelakuan bejatnya itu. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak memberi tahu Qiqhan siapa ayah kandungnya.
Karena dia nanti akan malu jika tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang tak bermoral. Orang yang telah
menghancurkan hidupku.
Entahlah, sampai kapan rasa sakit ini akan sirna. Tapi, jujur aku benar-benar merasakan sakit yang
sebenarnya.
110
***
Ruang kerja almarhum Vemas sudah lama tak aku masuki. Kini penuh dendam aku beranikan diri untuk
masuk dan membongkar semua kenangan tentangnya, setelah itu ku buang agar suatu saat nanti Qiqhan tidak
akan tahu rahasia ini. Aku membuang benda-benda kesayangannya dengan beringas. Tiba-tiba aku melihat sebuah
diari. Buku itu dikunci, aku mengambil martil dan membukanya.
Jika nanti buku ini ditemukan oleh seseorang, maka dialah yang ditakdirkan Allah untuk tahu isi hatiku.
Vemas, diawal kebahagiaan yang berimpit sesal.
Hari ini impianku terwujud. Wanita yang ku damba telah menjadi istriku yang sah. Tapi, apa halal
jalanku mendapatkannya? Aku begitu murka pada diriku. Aku telah memisahkan dia dengan orang yang sangat
ia cintai. Aku begitu bejat. Kadang, aku tak bisa memaafkan diriku.
Aku buka lembaran terakhir..
Semua telah aku tuliskan dalam buku kecil ini, perjalananku menuju kebahagian. Kini aku merasakan
pembalasan atas kejahatanku. Sebenarnya ini bukan penyakit ashma biasa. Aku juga mengidap leukemia. Aku
sadar bahwa Allah telah menghukumku. Belum genap setahun aku menikahinya. Tapi, nyawaku harus pergi
secepat ini. Hari ini aku akan pergi ke rumah sakit untuk menjalankan rawat inap. Setelah itu entah aku mampu
menuliskan penyesalanku dikertas ini. Tapi,aku yakin. Salma akan membantuku. Dia yang akan menyembunyikan
semua rahasia ini. Rahasiaku akan tersimpan baik sampai bumi ini berakhir kejayaannya. Maafkan aku Velia aku
telah melukai persaanmu, menghancurkan impianmu. Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku!
Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan
aku!
Tangisku membanjiri setiap lembaran kertas ini. Betapa jahatnya aku telah begitu dendam padanya. Aku
ingin tahu rahasia apa yang ia simpan pada Dokter Salma. Aku segera bergegas ke rumah sakit menemuinya.
***
“Salma, kau harus ceritakan padaku apa yang terjadi!”
“Tapi, aku telah berajnji padanya.”
“Aku mohon, aku mohon padamu, ceritakanlah!”
“Baik, baik, semoga aku mengambil tindakan yang benar.”
“Sejak awal pemeriksaan, aku tahu dia mengidap leukemia, tapi dia minta padaku untuk tidak memberi
tahu siapapun. Dia menceritakan semuanya tentang kejahatannya padamu dan Kahfi. Dia sengat menyesal,
sebelum dia mati. Dia minta aku mencari Kahfi dan membawanya kesini. Dia ingin meminta maaf padanya.
Diapun memberikan nomor Kahfi yang di New York. Ternyata, dia sedang sekarat di Rumah sakit karena
Meningitis. Aku sempat berangkat disana dan memantau keadaannya atas perintah Vemas. Aku berhasil
membawanya kemari dan keluarganya. Disini kami memberikan perawat yang intensif padanya. Saat aku
111
memberi tahu Vemas bahwa Kahfi juga diambang kematian, dia menangis. Ketika aku berkata kalau ada yang
mendonorkan korneanya, maka kemungkinan dia bisa selamat dalam keadaan yang normal. Karena, saraf
matanya akan rusak jika tetap dilakukan operasi. Dengan sigap Vemas mengatakan. “Ambillah korneaku, sebagai
tanda permohonan maafku.” aku pun melakukannya dan Kahfi dapat kami selamatkan. Vel, dia juga menitipkan
ini untukmu.” Salma mengeluarkan sebuah sapu tangan biru kesayangan Vemas.
“Dia yakin, suatu saat nanti kamu akan mencariku dan bertanya tentang semua ini. Kamu pasti akan
menangis dan dia telah mempersiapkan ini untuk menyapu sedihmu.”
“Vemas, maafkan aku. Aku telah berburuk sangka padamu. Padahal hatimu begitu mulia. Tapi, kenapa
kamu melakukan semua ini?”
Aku berlari sejauh-jauhnya, rasanya aku ingin berteriak. Aku mengendarai kendaraanku secara brutal.
Aku ingin pergi ke tempat yang luas. Dimana aku bisa menangis sekuat-kuatnya.
Aku banting pintu mobilku, aku menghadap pantai. Aku teriak penuh sesak.
“VEMAS MAAFKAN AKU KARENA TAK BISA MEMAAFKANMU, SAKIT DIHATI INI
TERLALU SULIT UNTUK DISEMBUHKAN. MAAFKAN AKU VEMAS!”
Jujur, aku tak mampu memafkannya. Hatiku terasa sakit sekali. Seakan tak ada lagi kata maaf untuknya.
Walaupun kini aku sudah tahu semua kebenarannya.
***
Aku tertatih didalam sedih
Aku tertahan diantara karang
Sungguh, aku ingin lepas
Sungguh, aku ingin pergi dari lembah duka ini
Wangi kamboja pun tak sewangi ragaku
Aku…
Aku lebih laknat dari itu…
Aku meniti jalan ini dengan tangis dan darah
Aku mengikuti alur waktu dengan malu
Raga ini, sudah lelah
Jiwa ini, sungguh sesak
Sesak, menghantam dadaku
Menghancurkan kalbuku
Hingga aku tak dapat menggapai cahayaMu
112
Aku berlari diatas kepingan-kepingan kaca
Aku kembali tertatih
Tangis terus menderu
Darahku tak berhenti mengalir
Hingga…
Hingga nafas ini terputus
Hingga raga ini terhempas
Hingga jantung ini tak berdetak
Aku tak sanggup kembali
KepangkuanMu
Aku tak sanggup menangis dihadapanMu
Aku begitu kotor…
Tak pantas jiwa ini pulang ke jalanMu
Sungguh, tak pantas…
Disaat nafas menjerat jantung
Aku menyebut namaMu
Karena memang sungguh,
AKU TAK PANTAS…
Aku membaca lembaran puisi terakhir yang ditulis oleh Vemas. dia memberikannya sebelum dia
bersyahadah. Dia menyelipkan ditanganku dan mengatakan agar aku membukanya ketika aku merasa sangat kesal
padanya.
Aku remuk kertas itu dan aku hempaskan ke lantai. Aku ambil lembar selanjutnya.
Debu pekat hitam menampar wajahku,
Kekeringan ilalang menjerat kerongkonganku,
Percikan serat-serat rotan itu menggigit tulangku yang masih dibasahi darah dan nanah…
Gigi-gigi makhluk malam yang geram,
Siap menerkam pita-pita suaraku,
Pagi… tak kunjung menghampiri
Kicauan mencekam binatang penikmat darah,
Mencabuti bulu-bulu romaku,
Angin malam menyebar memaksakan diri menyumbat aliran nadi
113
Pagi… tak kunjung menghampiri
Ku tatap disetiap dinding berapi
Keringat-keringat lahar membasahi setiap sendi diri,
Semuanya luruh bersama nafsu…
Malam terus menatap sengit padaku,
Tombak-tombak penuh bara itu menancap satu persatu di atas tenggorokkanku
Pedang-pedang yang terasah tajam itu mulai menyayat tipis setiap lembar paru-paruku
Malam yang tak kunjung menghilang
Dipanku bergetar menarik helaan nafas
Kakiku terasa dipasung ribuan batu kejam
Tanganku beku bak ditikam baja jahanam
Isi hatiku mencair dan melebur dalam adonan kehancuran
Ku tatap benda yang berdetak di sudut terang,
Jarumnya menusuk mataku, menekan nafasku
Aku kembali…
Seketika saat alunan sendu itu menyapa timpaniku
Kakiku beku serupa tersengat listrik yang menjalari dari ujung kaki hingga…
Merambat ke hulu jantungku,
Dan…
Semua gelap…
Membiaskan nafas penutup hariku…
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku menyesali keegoisanku untuk memaafkan kesalahannya. Tapi, entah
mengapa aku tetap bertekad tidak akan memberi tahu Qiqhan tentang keberadaannya sebagai ayah kandung dari
gadis kecilku. Sampai kapan aku harus menyembunyikannya? Aku tak tahu! Semua ini aku sembunyikan dibalik
nadiku. Dia pergi dengan syahadahnya dan aku disini masih bertahan pada kebencianku terhadapnya.
114
*10*
DIA KEMBALI UNTUK PERGI
Penggilingan, Jakarta Timur…
Rumah yang asri ini akan menjadi telaga bahagiaku. Hari ini genap sudah enam bulan kepergian Vemas.
Sesuai dengan apa yang dituliskannya saat detik terakhir “Velia kembalilah pada suamimu dan aku akan selalu
melihat senyum bahagiamu.”
“Aduh, manis sekali anakmu ini Vel, cup… cup… cup… sayang.” Ibu Sarah bahagia sekali, dia
menggendong Veqiqhan kecilku dengan mesra. Biru sedang asyik bermain dengan si kembarnya kak Kanan dan
Kiriena. Aku mulai memeriksa isi rumah, aku harus memastikan semuanya lengkap sesuai dengan apa yang aku
pesan sebelumnya pada salah satu perusahaan desain interior yang terkenal di Jakarta, tepatnya milik Kak Sara
dan suaminya.
Kahfi mengangkat satu persatu koper pakaian yang kami miliki. Rumah ini cukup besar, ada lima kamar.
Tiga dilantai satu dan dua dilantai dua. Kamar utamanya terletak dekat ruang makan, yah seharusnya didepan.
Kamar paling depan didesain khusus untuk Biru dan Qiqhan. Kamar disebelahnya sebagai kamar tamu, untuk kali
ini ditempati oleh Ibu Sarah. Sedangkan yang diatas kamar pembantu kami, Mbok Tarmi dan anaknya Haryati.
Disebelahnya sebagai ruang setrika dan mencuci. Lantai duanya tidak terlalu besar. Hanya cukup untuk satu
kamar menengah dan kamar yang kecil yang berubah fungsi jadi tempat menyetrika. Diluarnya ada mesin cuci
dan wilayah khusus mencuci dan sebuah kamar mandi yang terletak di depan tangga menuju tempat jemuran.
Rumah yang indah dan bersahaja. Tempat yang akan menjadi saksi kehidupanku mulai detik ini dan
seterusnya, karena aku memutuskan menghabiskan hidupku di Jakarta.
Kahfi membenahi kembali ilmu yang penah ia dapatkan di NTU, dia kini sibuk mencari pekerjaan yang
cocok. Karena, lebih dari lima perusahaan ternama mengidamkan dia untuk menjadi salah satu manager
perusahaan. Yah, itu prestasi yang sangat gemilang. Seorang Kahfi yang cerdas dan pekerja keras memang pantas
mendapatkan posisi itu.
“Vel, menurut kamu dari sekian banyak permohonan yang ada, bagusnya aku milih yang mana ya?”
“Pilihlah apa yang menurut Kakak banyak manfaatnya untuk masyarakat Indonesia dan pastikan tidak
merugikan banyak orang, apapun pilihan Kakak aku setuju.” dia membelai mesra rambut lurusku sambil
mengecup dahiku.
“Kamu memang istri terbaik, aku bangga telah memilikimu. Terimakasih Allah.”
***
Pagi yang cerah menerpa atap-atap rumah-rumah dikawasan Taman Pulo Indah, Penggilingan. Cahaya
suryanya membelai hangat dedaunan di taman rumahku. Senyum bidadara dan bidadariku menghias setiap sudut
115
rumah. Tangis mereka menjadi semangat baruku untuk melangkah, memulai kehidupan hari ini. Yah, setelah aku
mengurus izin praktik, aku memulai mencari tempat yang strategis dan tak jauh dari rumah. Untungnya, Neru
sahabatku sewaktu SMA dulu menjadi salah satu pemilik gedung dikawasan Kelapa Gading. Tempatnya tak
terlalu jauh dari rumahku. Hari ini aku akan menemuinya untuk membicarakan harga dan perencanaan desain
interiornya. Karena aku dokter anak, aku menginginkan ruangan yang memang sesuai dengan anak-anak. Dalam
artian tidak menyeramkan bagi mereka.
“Assalammua’laikum.”
“Wa’alaikumussalam. Velia?” kami melepas rindu satu sama lain. Dia memelukku erat sekali. Memang,
kami telah lama tak berjumpa.
“Apa kabar nih bu?”
“Alhamdullilah. Duh, semakin aja nih!”
“Semakin apa?”
“Semakin imut ajah!”
“Ah, kamu bisa ajah, badanku emang dari dulu segini-gini aja lagi.”
“Oh ya, gimana jadinya penawaranku itu?”
“Amanlah! Aku udah bilang sama suamiku, katanya lantai bawah gedung ini bisa kamu tempati.”
“Alhamdullilah.”
“Ntar biar bisnis aku dan suamiku dilantai atas.”
“Jadi, gedung ini belum kamu tempati?”
“Yups, soalnya ga’ tau mau bikin usaha apa.”
“Gimana bikin resto aja?”
“Resto?”
“Yah, tapi emang sesuai dengan takaran gizi seimbang dan tanpa bahan pengawet. Ntar pasien aku bisa
aku anjurin makan di resto kamu, jadi kita saling menguntungkan.”
“Wah, idenya bagus banget tuh, ntar deh aku diskusiin sama yang lain.”
“Yang lain? Yang lain siapa?”
“Yah, sama suamiku, mertuaku, dan saudara-saudara dia yang bakal menginvestasikan dana buat resto
ini.”
“Oh ya udah, kalau emang udah deal. Aku mau ke tempat Kak Sara untuk membicarakan tentang desain
interiornya.”
“Ok deh.”
Setelah melakukan ritual perpisahan ala ibu-ibu. Aku pun berlalu. Honda Jazz silverku melaju tak terlalu
kencang.
Tiba-tiba dari balik tasku bedendang sudah sang ponsel. Aku mengambil perlahan.
“Assalammua’laikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
116
“Ada apa Kak?”
“Kamu lagi dimana?”
“Masih di Gading, macet nih!”
“Oh, aku mau ngajak ke Perusahaanku rencananya.”
“Dalam rangka apa tuh?”
“Disini ada organisasi para istri-istri manager. Jadi, kamu dimintai datang.”
“Oh, yah udah. Aku kesana aja yah.”
“Kamu pulang aja, ntar aku jemput sekalian, gimana?”
“Ok deh, suamiku tercinta.” selepas shalat dzuhur usai, aku mulai berkemas-kemas diri untuk berangkat
ke kantor suamiku, Kahfi. Kami juga mengajak Biru dan Qiqhan.
Kini mereka sudah beranjak balita. Qiqhan berumur dua tahun dan Biru lima tahun. Aku bahagia sekali
karena Allah menganugerahkan mereka padaku.
“Udah beres, sayang?”
“Cantik kan?”
“Subhanallah, gini dong tiap hari. Kalau kayak gini, mendua aku tak mampu.”
“Yeee!”
Aku mencubit pinggangnya mesra. Kami pun beranjak keatas mobil CR-V silver milik Kahfi.
***
Setelah usai acaranya, aku memutuskan segera pulang, karena aku merasa kurang enak badan. Kahfi
dengan setia membawaku perlahan menuju mobi. Tiba-tiba,
“Hoekkk… hoekkk!”
“Kenapa sayang?”
“Ummi kenapa muntah, Abi?”
“Biru jaga dek Qiqhan dibelakang ya!”
“Iya Abi.”
“Abi mau ajak Ummi ke rumah sakit.” mobil gagah itu melaju menuju rumah sakit terdekat. Kahfi terlihat
cemas. Dia sesekali mengelus dahiku dan memegang erat tanganku yang pasrah dalam genggamannya.
Sesampainya di rumah sakit, dia menggendongku tergesa-gesa menuju tempat tidur yang memang telah tersedia
sebagai sarana IGD. Dia kembali ke mobil dan mengajak kedua anakku turun.
“Ummi napa?” terbata tak jelas Qiqhan menanyakan kondisiku pada Kahfi.
Dia mencium hangat kening putriku dengan penuh kecemasan yang tak kunjung hilang dari raut
wajahnya yang tampan.
“Keluarga Dokter Velia?”
“Iya, saya suaminya. Bagaimana keadaan istri saya dokter?”
117
“Alhamdullilah, dia baik-baik saja. Selamat sebentar lagi anak manis ini memperoleh adik.” dokter yang
sudah cukup berumur itu mengelus jilbab mungil yang dikenakan Qiqhan. Syukur yang tak terkira untuk kami
semua. Kahfi bergegas memasuki ruangan.
“Vel, Allahuakbar.”
“Yah, Allahuakbar.”
Aku mengusap pipi kedua anakku dan aku rangkul mereka semua. Keluarga kecilku. Ya Allah, terima
kasih atas anugerah ini.
***
Semua terasa indah bagiku, kini aku mengandung benih cinta pertamaku dengan orang yang sangat aku
cintai. Aku serasa menjadi ratu yang dimanja oleh sang raja. Apapun yang aku inginkan semua jadi nyata.
Memang, Kahfi bahagia sekali dengan kabar bahagia ini. Dan aku akan berusaha menjaga janin ini hingga nanti
dia tersenyum pada dunia. Aku telah bertekad untuk memperbaiki menu makananku dan mencoba tidak
mengidam makanan yang bisa membahayakan calon bayiku. Aku harus ngidam makanan yang bergizi, agar
anakku kelak tumbuh dengan sehat.
Hari ini, aku memulai membuka praktek di Kelapa Gading. Ternyata, Neru memutuskan untuk mengikuti
saranku. Dia membangun sebuah resto yang diberi nama “NEGAS RESTO natural and healthy food”. NEGAS
artinya Neru dan Bagas. Bagas adalah suami kedua Neru. Setelah, Guntur meninggal dunia dia dipersunting laki-
laki keturunan ningrat yang kaya raya. Yah, dia beruntung.
“Dari hari ini dan seterusnya, kamu akan aku antar jemput. Gimana sayang?”
“Tapi, apa kakak ga’ sibuk di kantor?”
“Buat kamu aku selalu ada waktu.”
Dia mengecup dahiku mesra. Aku meraih punggung tangannya dan membalas kecupan hangatnya. Dia
bergegas membuka pintu mobil dan berlari kearah sisi disebelahnya. Dia membukakan pintu untukku, yah betapa
aku benar-benar seperti ratu.
Aku menatap sebuah gedung yang indah dengan warna yang menarik. Ini baru pukul empat sore.
Praktekku buka jam lima sore. Terlihat dua orang juru rawatku sedang menyapu teras gedung dan apoteker
sedang menyusun rapi letak obat di almari kaca.
Aku menyampaikan salamku. Mereka menjawab serentak. Lalu, kembali bekerja setelah mempersilahkan
aku untuk masuk ke ruanganku. Gedung ini cukup besar. Lantai satu cukup untuk satu ruangan yang cukup luas,
ruang tunggu yang desainnya anak-anak banget, apotek yang lumayan besar, serta satu buah kamar menengah
yang biasanya tempat karyawanku istirahat dan membuat minuman atau makanan ringan. Semua sudut ruangan
aku pasang AC, agar anak-anak nanti bisa nyaman berada ditempat praktekku. Pertama melihat gedung ini, akan
terlihat pintu dari kayu yang simple dengan cat warna-warni. Membukanya dengan cara didorong kesamping,
seperti membuka rumah orang Jepang. Pintu menuju lantai dua terbuat dari kaca yang letaknya disamping ruang
tunggu praktik, agak menjorok kedalam dan disitu berdiri dua orang pelayan yang menanti sang tamu.
118
Beruntungnya aku, Neru mendesain sebuah tangga menuju ruang menengah yang bisa aku lewati kapan saja jika
aku ingin menemuinya. Memang tempat yang nyaman dan asyik.
***
Hari-hari aku lalui dengan bahagia. Serasa Allah telah mencurahkan nikmat yang tak terkira. Tapi, ada
satu hal yang menganjal pikiranku. Aku belum bisa banyak berbuat untuk anak Indonesia. Aku praktek di
kawasan elite. Secara tak langsung, pasienku dari golongan menengah keatas. Sedangkan nuraniku dari awal
berkata, aku harus ada untuk mereka yang kekurangan. Bertahun-tahun aku hidup di Ibukota. Sudah banyak harta
yang aku kumpulkan. Sudah aku sekolahkan anak-anakku ditempat terbaik. Sudah aku berangkatkan orang tuaku
ke jazirah Arab. Bahkan aku telah membangun sebuah rumah disana, sebagai tempat peristirahatan keluarga, jika
hendak umroh ke Saudi Arabia. Telah kudirikan beberapa Mushalla dan sebuah Masjid di kampung halamanku.
Kebahagian dunia semua telah kugapai. Tapi, ketidaknyamanan masih aku rasakan. Rencana membangun
Yayasan di Jakarta aku batalkan. Aku rasa, tempat tinggalku tidak strategis untuk membangun yayasan. Selain itu
Jakarta telah membuatku sesak. Rasanya aku ingin melabuhkan diri kesuatu tempat yang tenang dan nyaman.
“Assalammua’laikum, Akhi Airi. Ana Velia. Masih ingat tak?”
“Wa’alaikumussalam, Ukh. Tentu ana masih ingat. Ohya, afwan jiddan ana belum bisa menghubungi
Ukhti akhir-akhir ini. Masalah proyek disini tinggal finishing. InsyaAllah dua bulan lagi sudah bisa ditempati.”
“Alhamdulillah, Akh. Jazakallah khairon Katsiir.”
“Afwan.”
***
“Vel, kamu dimana nak?”
“Kenapa Bu? Ada apa? Kenapa ibu terlihat panik?”
“Kahfi, suamimu masuk IGD, dia kecelakaan di daerah Casablanca tadi malam.”
Hatiku disengat listrik. Terdiam, mataku sayu dan bibirku beku. Sendiku terasa kaku. Aku tak berani
menatap wajahku dicermin yang mempertemukanku dengan bayangku. Air mataku jatuh. Terisak aku coba
perlahan bertanya.
“Bagaimana keadaan Kak Kahfi Bu? Vel, akan segera pulang pagi ini juga.”
“Dia… dia… koma nak! Kata dokter, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya.”
Hatiku tersentak mendengarnya. Harapanku terkubur sudah.
Aku meninggalkan ganggang telpon itu dan bergegas turun ke lobi. Aku memesan taksi menuju Bandara
Internasional Adisucipto. Diperjalanan aku memesan tiket ditempat langgananku.
Langkahku terdiam di dalam pesawat. Pikiranku telah sampai lebih awal di Jakarta. Setibanya di
Soekarno Hatta. Aku setengah berlari menuju pengambilan bagasi.
119
“Permisi, maaf. Dengan Ibu Velia?”
“Yah, benar itu nama saya.”
“Maaf, bu. Apakah ibu istrinya Mas Kahfi?”
“Yah, benar.”
“Saya, Urip Fatullah. Saya pilot maskapai penerbangan ini. Barusan saya dapat telpon. Mas Kahfi telah
pergi. Benarkah Bu?”
“Astaghfirullah.”
Aku meraih handphoneku yang belum aku aktifkan. Ternyata banyak sms dan panggilan tak terjawab.
Dan kabar buruk itu menyengat tenggorokkanku, menggelapkan mataku.
***
Mataku perlahan terbuka. Semua terasa sakit. Ulu hati ini serasa dirajam sembilu. Aku memandang
Bunda yang menemani tubuhku di atas dipan. Beliau menepuk bahuku lembut.
“Vel, Allah maha berkehendak. Kamu harus percaya itu. Kamu harus kuat ya, nak. Mungkin Arya,
Vemas, dan Kahfi adalah jodohmu. Tapi, yakinlah tak ada cinta yang abadi di dunia ini. Semuanya akan kembali
pada yang Satu.”
Aku memeluknya erat. Aku berjalan perlahan menuju pembaringan suamiku. Aku hantarkan dia dengan
doa. Aku pendam rasa sakitku. Dan aku tunjukkan kepada semua orang bahwa aku kuat. Aku pasti bisa!
Semua terasa cepat bagiku. Kini aku sendiri membesarkan keenam buah hatiku. Kadang aku merasa
menjadi wanita pembawa sial. Tak ada laki-laki yang lama bertahan disampingku. Ya Allah, kufur nikmatkah aku
ini?
Mengapa dia harus datang? Jika memang untuk kembali? Aku berusaha menjawab pertanyaan yang tak
henti-hentinya mengejarku.
Setelah dia pergi, pagi ini aku membuka sebuah kotak yang sudah lama tak ku buka sejak beberapa tahun
yang lalu. Kotak hijau berbentuk bintang. Aku mengeluarkan foto-foto zaman dahulu. Bersama Vemas, Kahfi,
dan sahabat-sahabatku. Aku mengambil satu lembar foto aku dan Vemas saat di Denpasar. Dibelakangnya,
Vemas menuliskan kata-kata yang selalu dia ucapkan “Senyummu cukup sebagai jawaban atas isi hatimu, aku
paham dirimu melebihi siapapun. Kamu harus yakin itu. Dari yang selalu mengingatmu. Suamimu Vemas.”
“Apa? Jadi Ummi punya suami selain Abi?”
“Qiqhan? Kamu,”
“Dia siapa Ummi?”
“Ayahmu.”
“Apa?”
“Qiqhan, maafkan Ummi baru cerita padamu. Ummi haya ga’ ingin berduka terus akan kepergiannya.”
“Jadi, selama ini Ummi membohongiku?”
120
“Bukan begitu,”
“Halah! Jadi selama ini Ummi bohong! Aku benci Ummi!”
“Qiqhan, tunggu nak!”
Aku berlari mengejar putriku yang berlari jauh keluar. Aku bingung. Air mataku meleleh sudah. Apa
yang akan terjadi padanya nanti. Aku yang salah, ini karena keegoisanku beberapa tahun yang lalu. Andaikan aku
bisa ikhlas menerima kenyataan itu. Pasti semua tidak akan seperti ini. Sekarang entah bagaimana aku harus
menghadapi Qiqhan. Apakah dia bisa menerima penjelasanku yang terlampau egois ini?
Cermin dihadapanku kini sedang menertawakan kebingunganku. Aku memang begitu bodoh. Wajahku itu
terlalu nista untuk dimaafkan.
“Ummi, sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi dengan Qiqhan?”
Ya Allah, kini Biru bertanya pula padaku apa yang terjadi? Jika dia juga tahu tentang Aryaza, apakah dia
juga akan paham apa yang aku jelaskan.
“Biru, Qiqhan mana?”
“Dia meninggalkan surat ini tadi malam. Sepertinya dia kabur dari rumah. Tapi, Ummi tenang aja. Aku
tahu dimana dia berada. Dia akan baik-baik saja. Dia hanya butuh ketenangan.”
“Ummi begitu kejamkah, nak? Mengapa semua ini terjadi sesaat setelah Abi kalian pergi. Dia pasti sedih
melihat semua ini.”
“Ummi, ceritakanlah padaku. Apa yang terjadi.”
***
Hidup ini sungguh berliku bagi seorang Velia Andyra. Dari masa remaja yang menyenangkan dan tiba-
tiba dihadang oleh masalah yang besar. Yang merapuhkan silaturrahim antara dua orang sahabat dan membunuh
seorang pecinta sejati. Aku telah menghancurkan harapan mereka. Menjauhkan aku dari sebuah cinta. Cinta
kepada sahabat-sahabatku. Vemas adalah sahabat karibku waktu SMA dulu, dia pergi menjauhiku karena aku
terlalu egois. Aku teringat kembali dengan kejadian yang mengoyak hatiku. Perdebatan dua manusia yang tak
terhindari.
”Dengan kamu menamparku kamu puas? Dengan menamparku kamu akan melupakan Kahfi mu itu?!
Ayo tampar lagi?”
”Sampai kapanpun. Aku takkan melupakan dia. Meskipun nanti dia bukan milikku.Vemas, Aku benci
kamu! Naia pergi, karena kamu. Dia,”
”Stop!”
”Kenapa Tuhan? Aku harus mencintainya? Kenapa? Naia gadis yang sempurna itu aku sia-siakan karena
dia? Kenapa?”
”Aku begitu mencintainya. Hingga cintaku harus membunuh. Vel, kamu ga’ tahu, betapa sakitnya hatiku
ini. Kamu ga’ henti-hentinya menoreh hatiku dengan cintamu. Aku, sahabatmu. Aku yang tahu tentang cintamu.
121
Setiap kau cerita tentangnya. Setiap itu juga kau menoreh kembali lukaku. Apalagi disaat kau memintaku untuk
mencintai Naia. Aku lakukan semua itu untukmu. Apa yang pernah aku tolak apa yang kamu inginkan? Kapan?
Aku hanya seorang yang baru mengenal arti cinta. Saat aku tahu pun aku harus terluka. Pedih, Vel!”
”Vemas. Jadi selama ini?”
”Aku mencintaimu.”
”Vemas?”
”Aku mencintaimu.”
Semua itu tak dapat aku lupakan. Potongan kenangan itu menghangatkan nadiku. Dia begitu mencintaiku,
sedangkan aku menyia-nyiakannya. Vemas hadir kembali untukku. Saat aku diantara hidup dan mati, dia selalu
disampingku, setia menemaniku, menyemangatiku untuk bertahan hidup. Pada akhirnya, aku mengerti arti sebuah
persahabatan. Pengorbanan seorang sahabat itu tidak dilihat bagaimana ia berbuat untuk kita, tapi bagaimana dia
ikhlas menerima kita apa adanya. Vemas takkan tergantikan untukku. Dia adalah laki-laki yang memiliki
keikhlasan yang luar biasa.
Aku telah mengecewakan dia. Aku lebih memilih orang yang aku cintai. Aku memang egois padanya.
Padahal dialah cinta yang sesungguhnya. Aku baru menyadari saat dia pergi meninggalkanku. Walaupun dia
hanya sesaat menemaniku, tapi semua terasa indah. Apa yang aku rasakan padanya berbeda dengan apa yang aku
rasakan pada Kahfi. Dia membuatku menjadi istri yang paling bahagia. Qiqhan lahir dari rahimku atas izin Allah.
Nama itu diberikan Vemas, sesaat sebelum dia meninggalkanku.
Sungguh, saat itu adalah masa yang sangat menyakitkan untukku. Hingga suatu saat aku kembali pada
Kahfi, dia mengungkap semua hal tentang Vemas. Sejak itu hatiku tertutup untuk memujinya.
Hatiku terlampau sakit untuk mengenangnya. Pada akhirnya, aku memutuskan tidak memberi tahu satu
orang pun dari anak-anakku tentang keberadaannya. Termasuk anak kandungnya sendiri. Karena kebencianku dan
keegoisanku. Serta ketidakikhlasanku menerima semua ini. Kini, aku paham, bahwa dia begitu mulia. Dia
meninggal secara baik-baik, berbeda dengan Kahfi. Dia pergi begitu menggenaskan. Semua yang baik itu belum
tentu berakhir baik dan sebaliknya semua yang jahat belum tentu berakhir jahat. Kepahamanku melunturkan
keegoisanku. Izinkanlah aku mengenang mereka.
***
”Qiqhan, semua ini diluar kuasa Ummi, kamu harus yakin Allah telah memberikan jalan masing-masing
untuk kita.”
”Tapi, Kak Biru, kamu ga’ ngerasain apa yang aku rasain? Ternyata ayah yang selama ini aku banggakan,
bukan ayahku. Malah aku punya ayah yang kejam. Aku malu sama kamu Kak, aku malu.”
”Siapapun ayah kita, kita tetaplah kita. Mungkin ayahmu adalah yang terbaik untukmu. Pulanglah
Qiqhan. Kasihanlah pada Ummi, dia belum siap sebenarnya mengungkap ini semua.”
”Aku sulit memaafkannya, seperti dia sulit memaafkan kesalahan ayahku.”
122
Aku serasa ingin runtuh mendengar ucapan putriku itu. Memang ini pantas aku dapatkan. Aku berusaha
menahan tangisku. Aku harus mengerti anak-anakku. Karena, selama ini mereka telah mengerti aku. Aku teringat,
saat hari ibu tahun lalu. Biruza menghadiahkanku sebuah lagu tentang pengabdian seorang bunda. Kerispatih
mengemasnya dalam lagu sebuah pengabdian. Sampai kini, masih terngiang dibenakku suara merdunya.
Kau adalah yang pertama menyentuhku
Mendekapku di tengah dingin malam
Kau adalah sesuatu yang indah bagiku
Ceriakan hati di kala hati ini terpuruk
Kau sosok tak tergantikan
Walau tak semuanya ragamu ada
Setiamu melekat
Sampai aku di ujung usia
Bunda...
Ijinkan aku bersujud kali ini
Sebagai tanda...
Aku mencintaimu
Bunda…
Demi langit bumi aku bersumpah
Kan ku jaga pengabdianmu di hidupku...
Itu sungguh berarti bagiku…
Bunda… aaa... aa…
Bundaaaa… aa… uoo... uoo… uuu…
Ouu… uuu... ooo... ooo...
Bunda…
Ijinkan aku bersujud kali ini
Sebagai tanda...
Aku mencintaimu
Bunda…
Demi langit bumi aku bersumpah
123
Kan ku jaga pengabdianmu di hidupku...
Itu sungguh berarti
Itu sungguh berarti
Itu sungguh berarti bagiku…
Tak sanggup aku menahan tangisku. Aku berlari ke Mobil. Lebih baik aku pergi menjauh dari mereka.
Aku tak ingin menyakiti mereka lebih dalam. Tapi, Bunda menahanku. Aku kembali masuk ke dalam.
“Biruza, sebenarnya. Kalian berdua bukanlah anak Kahfi.” Bundaku keluar dari kamarnya. Mata kedua
anakku ini membesar. Rasanya petir menyambar hati mereka silih berganti.
“Maksud Nenek apa?”
“Lebih baik kau langsung tanya pada ibumu, nak!”
“Ummi, apalagi ini? Rahasia apa lagi yang Ummi sembunyikan pada kami?”
“Baiklah, hari ini aku akan mengungkap semuanya. Jalan hidupku memang pedih. Sungguh sulit aku
hadapi.”
Akupun menceritakan semua masa laluku padanya. Mengulang kembali luka lamaku.
***
Beberapa hari lagi pernikahanku akan digelar. Aku diburu perasaan ragu. Tapi, ini sudah menjadi
pilihanku untuk menikah dengan Vemas. Aku tak mungkin tega membuat dia terluka. Keikhlasannya telah
menguatkan hatiku. Aku tetap akan menikah dengannya. Meskipun aku tahu Kahfi akan sangat terluka. Tapi, aku
percaya cinta tak harus memiliki.
Aku dan Aidha melambungkan tujuan ke Butik terkenal di Kota ini. Sesampai disana, aku disibukkan
dengan berbagai aksesoris, aku bagaikan seorang putri yang dilayani banyak pelayan.
“Ah, akhirnya selesai juga.”
“Langsung pulang kan Ai?”
“Iya nih, hujannya deras banget.” roda mobilpun melaju menuju taman kota.
“Aidha, aku kebelet nih, berhenti dulu dong.”
“Dimana?”
“Di Toilet Taman kota aja.”
“Oke deh.”
Mobilpun berhenti di tempat yang ku maksud. Perlahan aku berjalan menuju Toilet bersama payung yang
menyelamatkan tubuhku dari derasnya hujan.
“Hey, siapa di dalam!”
Suara itu mengejutkanku, rasanya aku tak salah masuk toilet, ini toilet wanita. Tapi, mengapa ada suara
laki-laki yang mengganas mengetuk pintu. Aku beranikan diri keluar. Tubuh besar dan wajah tampan itu
124
menubruk tubuhku, mendorongku ke dalam Toilet. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa, teriakanku takkan
terdengar, hujan begitu deras.
Laki-laki itu mengganas, tubuhnya menghimpit tubuhku, Ya Rabb… aku tidak bisa berbuat apa-apa
selain beristighfar padaMu.
Semua telah terjadi, laki-laki peminum khamar itu telah mengoyak harapanku. Aku telah kehilangan
semuanya. Aku kehilangan permataku.
Ya Rabb… ampuni aku!
Aku berlari menuju mobil, Aidha masih menungguku.
“Velia, kok lama banget?” aku terdiam, tangisku terus meleleh.
“Velia, ada apa?” aku masih membungkam mulutku, aku berusaha meyakinkan sahabatku, bahwa tidak
terjadi apa-apa.
Sulit aku mengingat kejadian beberapa jam lalu, semuanya telah menelan harapanku. Aku mengurung
diri di dalam kamar, aku telah ternoda. Aku tak pantas menikahi Vemas.
Malam yang kelabu itu, beberapa hari sebelum pernikahanku. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus
aku perbuat dengan keadaan seperti ini. Benar kata orang, kita hanya bisa bicara saat orang lain tertimpa musibah
“Kita harus tabah, anggap ini adalah ujian.” andaikan orang itu tahu bagaimana menderitanya kita, pasti merela
tak sanggup mengucapkan hal itu.
Aku, kini aku sendiri yang merasakan hal itu. Aku merasa putus asa dengan kehidupan ini. Aku bingung
harus bagaimana dengan keadaan seperti ini? Semua orang bertanya padaku dan keluarga. Apa yang terjadi,
sehingga aku membatalkan pernikahanku dengan Vemas. Ada apa?
Hari-hari ku lalui tanpa ada semangat lagi. Satu bulan yang lalu, Jauzi melamarku pada Bunda. Dia
mengaku palsu. Dia mengatakan bahwa, dia ayah dari anak yang kukandung selama dua bulan ini. Konyol,
memang.
Tak ada sedikit niat pun, aku untuk mencari manusia laknat itu. Sudah tiga bulan lebih mungkin, aku
menahan tangis yang tak kunjung berhenti terurai ini. Berjuta tanggapan masuk bertubi-tubi dalam kalbuku.
Saudara-saudara Ayah, tak bisa menerima kenyataan ini.
Pada akhirnya aku dihadapkan pada seorang laki-laki yang benar-benar telah bersuci. Aryaza meninggal.
Saat dia menjalankan qiyamul lail. Dia menjelma menjadi seorang laki-laki yang mulia. Meskipun aku tak sempat
menatap wajahnya. Tapi, aku bisa merasakan kebaikannya dari tatapan mata anaknya, Biruza.
Tiga laki-laki yang mengisi hariku. Aryaza, Vemas, dan Kahfi. Mereka telah menggoreskan banyak
kenangan untukku. Kenangian pahit maupun manis, yang akan aku kenang selamanya.
***
“Aku… aku benci sama Ummi!”
“Biru, tunggu. Kamu mau kemana, nak?”
125
“Kamu benar Qhan, kini aku merasakan hal yang sama denganmu. Aku bukan anak dari laki-laki yang
menjadi idolaku. Aku hanya seorang laki-laki bejat yang tidak sah menikahi ibuku. Apalagi sebutan yang pantas
untukku kalau bukan anak haram!” sesaat tamparanku melesat diwajahnya.
“Jangan sekali-kali kau ulangi perkataan itu. Kau adalah anakku. Dan aku takkan biarkan siapapun
menghinamu, nak!”
“Ummi, pertama kalinya aku merasakan tamparanmu. Terima kasih. Jangan harap kau akan melihat
wajahku lagi setelah itu.”
“Kak, aku ikut denganmu.”
“Biruza, Qiqhan, kembali nak!!!”
Mereka berlalu dihadapanku. Aku serasa ingin mati saat itu juga. Suara Qiqhan saat mendeklamasikan
puisi buatannya beberapa tahun yang lalu terngiang dibenakku.
Mungkin, aku bukan mutiara dalam hatimu
Mungkin, aku bukan tawa disudut bibirmu
Mungkin, engkau kecewa padaku
Karena ku tak bisa jadi inginmu
Ibu…
Hari ini pertama kali aku jujur padamu
Hari ini penuh berani ku ungkap padamu
Maafku… Maafku… Hanya maafku…
Ibu…
Aku tahu, aku terlalu hina untuk meraih maafku
Aku sadar, aku tak pantas meraih bahagiamu
Ibu…
Izinkan aku mengangkat tinggi senyummu
Saat menatap aku di ujunng cita
Ibu…
Sungguh sulit ku bayangkan
Besarnya pengorbananmu
Yang hanya ku balas dengan durhakaku
Ibu…
Maafkanlah aku…
Jika ada resah dan gundahmu, hadapkanlah padaku
Jangan kau simpan direlung kalbumu
Karena itu membuatku jauh…
Jauh dari surga dibawah telapakmu
126
Ibu…
Aku bersimpuh dihadapmu
Mengharap maafmu
Mendamba cintamu
Aku kini telah menjadi inginmu
Esok dan selamanya
Serasa tubuhku goyah mengingat semua itu. Semua terasa gelap bagiku.
***
“Ummi, ini Fiyah. Ummi, bangun.”
“Fiyah, kamu harus sabar. Ummi ga’ papa kok.”
“Tapi, Nek. Kak Biru dan kak Qiqhan jahat!”
“Ummi, Ummi, Ummi?” mataku berat terbuka, tapi aku mendengar rengekan keempat anakku. Aku harus
bertahan. Aku tak boleh lemah.
“Pagi semua! Dokter Velia mengalami kejadian beberapa tahun yang lalu saat dia sempat koma hingga
setahun. Tapi, sekarang tak terlalu parah. Akibat trauma di kepalanya. Sekarang dia dipastikan mengalami
vertigo.”
“Penyakitnya parah, Dok?”
“Penyakit Ibu adik digolongkan pada vertigo nonvestibular, sensasi yang dirasakan penderita adalah
melayang, bergoyang, atau sempoyongan. Serangan biasanya terjadi terus-menerus, tetapi tidak ada mual maupun
muntah. Vertigo akibat gangguan sistem visual biasanya dicetuskan oleh situasi yang ramai, banyak orang atau
benda lalu lalang. Jadi, baiknya dihindari yang seperti itu.”
“Lalu bagaimana menyembuhkan penyakit ini, Dok?”
“Selain dengan obat, bisa juga dengan terapi. Latihan itu adalah metode Brandt-Daroff, berupa latihan
membaringkan tubuh ke kiri dan ke kanan, diselingi duduk tegak dengan kaki tergantung. Latihan lain adalah
latihan visual vestibular yang dibedakan bagi penderita yang masih harus berbaring, bisa duduk, atau sudah
mampu berdiri. Ada juga latihan yang berupa gerakan mata ke berbagai arah secara runtut dan teratur serta
gerakan kepala ke kiri dan kanan. Dengan latihan dan obat yang tepat terhadap penyebabnya, vertigo bisa diatasi
sehingga kualitas hidup penderita bisa pulih. Kalaupun dunia tetap berputar, penderita tak lagi merasa ikut
berputar. Begitu kira-kira, dik. Tidak usah terlalu cemas. InsyaAllah Dokter Velia bisa cepat membaik. Kalau
begitu, saya permisi dulu ya.”
“Ya, terima kasih Dok.” mataku mulai bisa dibuka. Aku melihat semuanya putih.
“Ummi? Nek, Ummi sudah sadar!”
“Baguslah!”
127
***
“Biruza dan Qiqhan, mana?”
“Mereka sedang perjalanan kesini. Kamu istirahat yang cukup aja.” tiba-tiba dari balik pintu aku
mendengar petikan gitar. Aku yakin itu pasti Biruza. Ya, Allah semoga ini bisa menjadi obat untuk sakitku.
Seorang wanita bermahkota ibu
Menggenggam jari-jari kecil
Ikatan itu tidak kan terurai
Karena tautan ini tautan darah dan akidah
dan Rahmat dari Allah
Kini Ibu peganglah tanganku ini
Biar kubawa ibu menjelajah hasil titik peluhmu
Biar kubawa ke alamku hasil ukiranmu selama ini
Tautan darah dan akidah dan rahmat dari Allah
Dodoyanmu Ibu membina benteng pemisah
Antara yang hak dan yang bathil, membakar semangat perjuangan
Mengait kasih pada junjungan tercinta,
bersujud lemah mengabdi diri kepada yang Esa
Jika belum pernah kau dengar ucapan terima kasihku,
dengarkanlah doaku ini, semoga Tuhan mengasihimu,
sebagaimana kau mengasihiku,
dari dulu hingga kini dan untuk selama-lamanya.
Dan, semua anakku bernyanyi. Mereka memberikanku sebuah lagu yang selalu aku nyanyikan sebelum
mereka tidur.
Who should I give my love to?
My respect and my honour to?
Who should I pay good mind to
After Allah and Rasul-Allah?
Comes your mother
Who next? Your mother
Who next? Your mother
128
And then your father
Cause who used to hold you
And clean you and clothe you?
Who used to feed you
And always be with you?
When you were sick
Stay up all night
Holding you tight?
That right no other
My mother
Who should I take good care of
Giving all my love?
Who should I think the most of
After Allah and Rasul-Allah?
Comes your mother
Who next? Your mother
Who next? Your mother
And then your father
Cause who used to hear you
Before you could talk?
Who used to hold you
Before you could walk?
And when you fell
Who pick you up?
Clear your cut?
No one but
Your mother
My mother
Who should I stay right close to?
129
Listen most to?
Never say no to
After Allah and Rasul-Allah?
Comes your mother
Who next? Your mother
Who next? Your mother
And then your father
Cause who used to hug you
And buy you new clothes?
Comb your hair and blow your nose?
And when you cries who wiped your tears?
Knows your fears?
Who really cares?
My mother
Say Alhamdulillah
Thank you Allah
Thank you Allah
For my mother
Aku terdiam. Tangisku tak tertahan. Mereka memelukku erat. Anak-anakku yang kini menjadi satu-
satunya kebahagiaanku.
Aku memeluk Bunda, yang selama ini telah memberikan aku kesempatan untuk menjadi ibu yang baik
untuk keenam anak-anakku.
Terima kasih Bunda, aku sangat mencintaimu. Takkan pernah aku lupa akan pengorbananmu untukku.
Kahfi, dia kembali untuk pergi. Kini, anak-anakku akan selalu kembali padaku, dan takkan pernah pergi
meninggalkanku. Karena, nanti mereka yang akan menghantarkanku ke surga. Surga tempat aku betemu dengan
Nya. ALLAH yang selalu dicinta.
***
130
*11*
SECERCAH CAHAYA MERCUSUAR
Biruza Hudzaifah, Veqiqhan Fatihah, Tsaqofiyah Al-Mumtahanah, Hafazzah Zalazah, Zayrha
Mahiannisa, dan Fahren Afsahdan. Biru, si sulung yang kini menyelesaikan tahun terakhirnya di Teknik
Arsitektur ITB. Qiqhan, putri keduaku yang memilih untuk menulis dan melukis kini menjajaki negeri IKJ. Fiyah
siswi kelas dua SMA favorit Jakarta yang diamanahkan menjadi ketua An-nisa. Fazzah, laki-laki 14 tahun yang
selalu membuatku gemas untuk mengasah bakat menyanyinya, menjadi lead vokal tim Nasyid di sekolahnya.
Zayhra, gadis kelas enam SD yang lucu sekali hobinya menari dan teater. Terakhir, pria lucuku, Fahren, anak
bungsuku yang berumur tiga tahun. Semua buah hatiku yang aku sayangi. Tumbuhlah kalian menjadi anak-anak
yang shaleh.
Meskipun aku kini menjadi single parent. Tapi aku tetap mampu memainkan peran ayah mereka. Di
umurku yang hampir berkepala lima ini, aku berusaha menjalani kehidupanku dengan senyuman. Semua yang
telah terjadi padaku adalah ibrah untuk yang lain. Aku yakin, kisahku ini akan banyak memberikan pelajaran
kepada yang lain.
Aku memutuskan untuk menetap di Yogyakarta. Karena, aku rasa kota ini adalah tempat terbaik aku
berlabuh. Dari Padang, Jakarta, dan akhirnya Yogyakarta sebagai tempat terakhir aku berkisah.
Sleman, medio September…
Rumah sederhana yang aku kontrak ini hanya untuk satu tahun. Setelah itu aku akan pindah ke Kaliurang
atas. Karena, Yayasanku telah resmi dibuka, Oktober lalu. Tapi, aku belum bisa menetap disana. Aku masih ingin
mengabdikan diriku pada kota ini. Seorang sahabat menawarkan pekerjaan padaku. Pertama, menjadi dosen di
Fakultas Kedokteran. Kedua, menjadi dokter di RS Sardjito. Untuk yang pertama aku terima, untuk yang kedua,
aku lebih menyarankan untuk memberikan kesempatan kepada yang lain.
Disini, aku tinggal bersama Fahren. Kelima anakku masih di Jakarta. Aku pikir ada baiknya mereka
pindah kesini, ketika kenaikan kelas. Aku selalu membawa Fahren jika mengajar ke Kampus. Untungnya,
mahasiswaku tidak protes, malah mereka bilang menambah semangat belajar. Soalnya Fahren sering membuat
kelucuan yang memang menggelitik penglihatan mereka.
***
Langkahku menyisir parkiran Fakultas Kedokteran. Sambil mengecek kembali file-fileku, aku terus
memperhatikan dimana letak mobilku. Tiba-tiba,
“Assalammua’laikum, Mbak!” mataku menoleh biasa saja dan aku terkejut, siapa yang telah berdiri di
depanku.
“Wa’alaikumussalam, Mas Nuri?”
131
“Wah, sudah lama tak bersua, Mbak Velia tetap kelihatan seperti dulu.”
“Ah, nyindir nih, umur udah tua gini, masa masih sama.”
“Yah, walaupun umur Mbak udah tua, tapi wajahnya masih tigapuluhan.”
“Hahahaha, Mas Nuri paling bisa kalo becanda.”
“Ini ga’ gombal lho! Hahaha. Bagaimana kabar keluarga?”
“Alhamdullilah, semua lancar.”
“Saya, ikut berduka atas kepergian suami Mbak.”
“Duh, makasih lho nih. Mana istrimu Mas?”
“Sini, bawaannya biar aku yang bawa.” dia meraih berkas-berkas yang aku genggam. Aku jadi teringat,
pada peristiwa beberapa tahun yang silam. Saat aku masih menjadi mahasiswa Pascasarjana. Saat itu, teman yang
pertama kali aku kenal adalah Nuriawan. Setelah diantar oleh Maulana, aku bertemu dengan dia. Yah, waktu itu
umurku masih 22 tahun. Kategori muda untuk menjadi seorang pascasarjana.
“Hai, aku Nuriawan, panggil aja Nuri. Kamu?”
“Velia andyra, panggil aja Vel.”
“Dari?”
“Padang. Anda?”
“Surabaya.”
“Dulu dari sini juga, atau dari Surabaya?”
“Maksudny? S1 gitu?”
“Ya.”
“Disini, yah at least tau banyaklah bagaimana Kampus ini.” aku mengangguk pelan, sambil
memperhatikan namaku dipanggil.
“Jadi, kalo kamu mau tau Jogja bagaimana, hubungi aja aku.” dia tertawa dan begitu juga aku.
Aku menjadi teman baiknya, kebetulan dia mengambil spesialis yang sama denganku. Yah, kami sama-
sama mendambakan gelar Sp.A. Aku semakin akrab dengannya. Dia memiliki kepribadian yang ringan. Dalam
artian dia sangat peka dengan lingkungan sekitar. Selain itu, Nuri adalah laki-laki yang pintar. Baik dalam bergaul
dan berbicara dimuka umum. Tak salah kalau dalam beberapa acara dia ditunjuk sebagai Master Of Ceremony,
tak jarang juga kita tampil berpasangan. Selain itu dia juga memiliki ilmu agama yang baik. Dia tidak banyak
berkata, tapi lebih sering bertindak. Wajahnya yang biasa saja menjadi luar biasa karena karisma yang ia miliki.
Banyak dari adik-adik mahasiswi strata satu yang terpaut dengannya. Suatu kali waktu kami berjalan kearah
laboratorium.
“Mas Nuri, bisa Bantu kita nggak?” sesaat langkah kami berhenti. Dan aku tersenyum pada dua orang
gadis tinggi yang berbicara dengan logat Jakarta. Mereka tidak memakai kerudung. Hanya celana dasar dan
kemeja yang terbalut ditubuh gadis yang keduanya berambut panjang. Aku mendengar bisik mereka.
“Oh, ini dia pacarnya Mas Nuri.”
“Iya, biasa aja, mending juga kita.” rasa panas kupingku mendengarnya. Tapi, apadaya dan apa hakku.
132
“Ssst, jangan gossip terus, apa yang bisa Mas Bantu?”
“Gini Mas, kita mau ngadain baksos ke Kaliurang. Mas mau ikut ga’? Ngasih penyuluhan gitu kek, atau
apa kek!”
“Kok, pake “kek” segala. Kayaknya nggak jelas gitu toh programnya.”
“Yah, pokoknya Mas harus ikut!” tangan gadis yang berkacamata menarik kemeja gadis yang satu lagi.
“Wah, ada maksud lain kiranya?”
“ Ga’ Mas, kalo emang ga’ bisa, yah ga’ apa-apa sih.”
“Kapan toh?”
“Weekend inilah, Sabtu-Minggu. Kita bakal nginep kok, kalau buat Mas nggak pake insert. Piye?”
“Wah, enak juga nih. Piye Mbak Vel?”
“Apa? Oh, maaf dari tadi saya ga’ konsentrasi menyimak pembicaraanya.”
“Piye? Mau ikut nggak? Anak koas mau ngadain baksos weekend ini. Bisakah?”
“Lho, saya kan ga’ diundang toh? Yah, Mas Nuri kalau dibutuhkan, sebaiknya pergi.”
“Kalo Mbak Vel ndak pergi, saya juga ndak pergi.” ah, dia seperti anak-anak. Pastilah kedua gadis itu
membenarkan apa yang mereka duga selama ini.
“Jangan kayak anak-anak Mas. Saya,”
“Gimana Mbak, bisa ga’?” gadis berkacamata agak ketus bertanya padaku. Aku hanya mengangguk dan
“InsyaAllah.”
***
Kaliurang, beberapa tahun yang silam...
Bakti sosial ini memang rutin diadakan oleh Fakultas Kedokteran ini. Biasa kita pergi ke Desa terpencil
dan memberikan penyuluhan disana. Kali ini adalah tempat yang paling dekat. Biasanya mereka keluar dari
Yogyakarta. Aku mengemasi barang-barangku dengan sigap. Sebelumnya aku telah meminta izin dengan Tante
Miranda. Dan kebetulan Maulana juga menjadi panitia penyelenggara. Dia memang aktif di BEM-FK.
Karangwuni sepi pagi itu, yah maklum masih jam enam pagi. Aku tinggal di daerah Karangwuni. Memang agak
jauh dari fakultasku, tapi kawasannya lebih baik dan nyaman.
Aku menelusuri jalan yang senyap. Seakan diam-diam menghitung langkahku menuju perempatan gang
megatruh, lebih dikenal perempatan Gading Mas. Karena, swalayan ini sangat terkenal bagi masyarakat Jogja
yang sering melewati jalan kaliurang KM 5.
Kami memilih berjalan, soalnya motor Maulana sedang rusak. Jadi, pagi itu kita sekalian olahraga. Aku
memulai perjalanan dengan bismillah. Aku berjalan disebelah kiri jalan. Tampak plang Hotel Ishiro seakan
mengajak untuk segera mendekap jalan disekitarnya. Aku menatap gedung MM (Magister Manajemen) yang
berdiri kokoh dan indah.
“Maulana, baiknya kita lewat mana nih?”
133
“Kalo lewat depan Balairung aja gimana Mbak?”
“Boleh juga, tapi kita ketemuan di belakang toh? Dekat pos satpam ke arah Sardjito?”
“Iya, ada jalan yang lebih cepat mungkin?”
“Gimana kalo kita lewat Fakultas Biologi aja. Nanti langsung sampai di dekat pos satpam.”
“Ohya, aku rasa itu jalan yang terbaik. Mbak sering lewat sana?”
“Yah, hampir tiap hari. Soalnya Mbak punya sahabat disana, sekarang dia udah jadi dosen muda di
Biologi.”
“Oh, pantaslah.”
Daun-daun kering membanjiri jalan kesehatan yang membentang dari utara hutan biologi hingga selatan.
Aku menatap hening, kelopak bunga yang memerah diatas pohon-pohon kekar yang memadati area hutan buatan
ini. Aku menatap lurus ke depan, beberapa Bus telah siap membawa kami ke Kaliurang.
“Mbak Vel, akhirnya pergi juga.”
Nuriawan tersenyum dan berlari kecil menujuku. Maulana mengangguk pertanda ingin pamit berjalan ke
arah para panitia. Percakapan itu tak bisa aku hindari. Yah, aku sadari dia menyihirku.
“Iya, ntar kalo aku ga’ pergi, aku mendzalimi gadis-gadis itu pula.”
“Maksudnya?”
“Yah, ntar mereka jadi ga’ semangat kerja deh… soalnya kan ga’ da Mas Nuriawan yang gagah dan
berani ini. Wueeeek!”
“Muji ya muji aja Mbak, ga’ usah pake muntah segala. Hehehehe.”
“Yah, terserahlah.” ia mengajakku melangkah ke arah para residen dan mahasiswa lainnya. Sambil
setengah berbisik, Nuri berkata “Pasti akhir pekan ini akan menyenangkan.”
***
Para calon dokter Indonesia ini telah memadati isi bus mini pariwisata. Mereka telah siap dengan segala
perbincangan. Baik seputar ilmu mereka, atau menyerempet ke permasalahan politik, bahkan sampai agama. Yah,
begitulah mereka, lebih memilih bercerita tentang itu, daripada harus membahas masalah cinta dan kehidupan ini.
Mereka memang gila ilmu. Di Negeri ini, profesi seorang dokter memang menjadi idaman semua orang. Tapi,
sebenarnya peluang kerja sudah lama terkubur untuk mereka. Hanya yang kompetitif yang sukses. Dan yang
terpenting seorang dokter yang mulia, itu yang rakyat butuhkan. Bukan dokter yang gila harta. Yang menjadikan
profesi mulia mereka sebagai tambang harta. Dan, pada kenyataannya para generasi medika saat ini berfikir
kearah sana. Uang adalah segala-galanya.
Suatu saat nanti aku bercita-cita ingin menjadi seorang pengabdi masyarakat yang dapat berbuat banyak
untuk negeri ini. Aku tidak mau menjadi dokter yang hanya menjual ilmu. Tapi, juga menjual jasa. Yah,
keinginan mulia itu sedang menghantuiku. Bakti sosial ini menghantarkanku pada sebuah impian menuju harapan.
“Hai, lagi mikirin apa? Boleh duduk disini?”
134
“Terserah!”
“Wah, aku ada salah ya? Kok kamu jutek gitu?”
“Salah? Banyak.”
“Ah, masa sih? Wah, aku dzalim dong sama kamu?”
“Dah tau malah nanya. Dasar aneh!”
“Aneh-aneh, tapi menarikkan?”
“Bagi mereka mungkin. Tapi, bagiku. Nggak lah ya.”
“Yakin? Jangan benci gitu dong ma aku.”
“Siapa yang benci sama kamu?”
“Tuh, Bu dokter yang lagi cemberut.”
“Ngsak ngerasa ya?” tiba-tiba seorang gadis berjilbab datang menghampiriku.
“Mbak Vel, ada yang mau kami bicarakan. Boleh disini?”
“Boleh.” aku menggerakkan kepalaku pertanda memohon Nuri untuk pindah.
“Maaf jadi merepotkan.”
“Ah, Ngaak papa, ada apa ya?”
“Mbak kenal dengan Mas saya?”
“Siapa?”
“Mas Dani, dia setahun diatas Mbak. Sekarang lagi di spesialis paru-paru.”
“Iya, kenapa dengan Mas kamu?”
“Dia, ingin mengkhitbah Mbak.”
“Apa?”
“Jangan keras-keras Mbak. Tuh kan, semua jadi ngelihat kita.”
“Maaf.” wajahku tersipu malu.
“Tapi, aku Nggak kenal sama dia. Tahu wajahnya saja tidak.”
“Pernah ikut pelatihan ESQ kan?”
“Oh, pernah. Emangnya kenapa?”
“Di sana dia kenal Mbak.”
“Jangan-jangan, Dokter Hamdani?”
“Yah, itu Mas saya.”
“Ya ampun, saya memanggilnya Mas Nugie. Namanya kalo ga’ salah Nugroho Hamdani kan?”
“Iya, nama kerennya memang Nugie. Tapi, biasanya dia dipanggil Dani.”
“Oh begitu. Ya, saya kenal kalo begitu. Dia orang yang menyenangkan tapi…,”
“Tapi apa Mbak?”
“Saya sudah ada yang minta sebelum itu. Bagaimana dong?”
“Yah, mungkin Mbak bukan jodohnya kakak saya.”
“Sebelumnya, saya minta maaf. Saya sangat menghargai keberanian Mas Nugie dan kamu, dik!”
135
“Maaf juga, kalau saya terlalu lancang menyampaikan hal ini.”
“Afwan.”
“Saya kembali kesana ya, Mbak!”
“Monggo.”
Ada-ada saja. Mas Nugie memang sempat mengetuk hatiku untuk berpaling dari Kahfi. Karena, dia mirip
sekali dengan Kahfi. Semuanya, senyumnya, suaranya, matanya, jalannya, pokoknya semua mereka mirip. Hanya
saja, cintaku sudah lama terpaut pada seorang Kahfi.
“Duarrr.”
“Nuri!”
“Ah, gitu aja marah. Udah sampe tuh!”
“Udah tau!”
“Yeh, cemberut dia. Tapi, tambah manis kok!”
“Nuri, aku ga’ suka!”
“Aku suka. Suka kamu. Hahaha.” dia lari turun menerobos yang lain. Dasar orang aneh!
***
Malam di Kaliurang memang sedikit menantang. Dinginnya menyalami nadiku. Untung, aku membawa
sweater yang cukup tebal untuk menemaniku beraktifitas malam ini. Setelah seharian memberikan penyuluhan.
Aku memilih untuk bergabung dengan yang lain. Mereka sedang berkumpul mengelilingi api unggun.
Tak pernah kuduga
semuanya berubah
saat kau memandangku
bergetar hati ini
kau berikan harapan tentang
warna warni hariku
semenjak ada dirimu
dunia terasa indahnya
semenjak kau ada disini
kumampu melupakannya
kini aku tak sabar
ingin hati kau untukku
nyatakanlah kepadaku
janji indah yang kutunggu
semua kini telah bersinar lagi
136
takkan kuingat dia
semenjak ada dirimu
dunia terasa indahnya
semenjak kau ada disini
kumampu melupakannya
semenjak ada dirimu
semua terasa indahnya
semenjak kau ada disini
tak ingin melepaskanmu
where are you
when I needed you
Now that I found someone new
Lagunya Andity melantun indah keluar dari suara Nuri. Dia memang pandai sekali bernyanyi. Pernah,
jadi vokalis grup band soalnya.
“Lagu yang baru saya nyanyikan itu, sebenarnya adalah ungkapan hati saya kepada seseorang.”
Hatiku berdesir kencang sekali. Jangan-jangan dia nekat. Ah, tapi kok aku jadi GR-an gini ya? Bodo amat
lah!
“Siapa Mas?”
“Ada deh… mau tau aja! Hahahaha. Ohya Arin mana?”
“Jangan-jangan, wanita itu Arin ya?”
“Cieeeeeeeeeeeeeeeeee!!!” semua bersorak tertawa kegirangan. Aku sengaja berkata seperti itu, agar
dugaan tak berlari mengejarku.
“Ah, Mbak Velia bisa aja!”
“Ya iyalah!”
“Udah, ah kalian ini berdebat terus.”
“Arin dari mana aja sih? Nuri nyariin tuh! Hahahaha.”
“Ah Velia jangan gitu. Aku jadi ga’ enak hati.”
“Cieeeeeeeeeeeeeeeee!!!”
“Udahlah, jangan dibahas lagi. Ntar banyak yang sakit hati. Iya ga’?”
“Huuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!”
Malampun berlalu. Semua terasa sangat melelahkan, tapi, mataku tak jua mampu terpejam. Aku memilih
duduk di pendopo menatap bintang yang selalu menemani sepiku. Aku melihat Arin berdiri dibawah sinar bulan
malam itu. Dia sedang berbicara dengan Nuri. Aku perlahan mendekati mereka secara diam-diam. Aku
bersembunyi dibalik semak yang rimbun.
“Nuri, jadi selama ini kamu anggap aku apa?”
137
“Arin, kita cuma teman, ga’ lebih.”
“Kita udah sama-sama sejak SMA. Kamu ingat ga’? Apa aja yang telah kamu perbuat padaku?”
“Maksud kamu apa? Jangan mengada-ngada kamu.”
“Aku mencintai kamu Nuri.”
“Tapi, kita udah punya pasangan masing-masing.”
“Ya, jangan sampai mereka tau tentang perselingkuhan ini.”
“Gila kamu!”
“Pacarmu di Surabaya ga’ bakal tau kok.”
“Tapi, pacarmu adalah sahabatku. Apa mungkin aku tega padanya.”
“Tapi, kamu inginkan bersamaku?”
“Sudahlah, Arin.”
“Lihat mataku, aku serius!”
“Aku juga serius. Aku sebenarnya,”
“Apa?”
“Sudah lama putus dengan dia.”
“Bagus itu.”
“Tapi, kini aku sedang menaruh hati pada seorang gadis.”
“Apa? Siapa?”
“Kamu ga’ usah tau.”
“Aku akan habisi dia!”
“Jangan nekad kamu!”
“Nekad? Aku bisa melakukan apa saja dengan uangku. Satu hal lagi! Kamu telah melihat bagaimana aku
menyingkirkan rivalku, kan?”
“Dia gadis baik-baik. Kamu jangan pernah mengusik dia.”
“Siapa? Jawab?”
“Aku ga’ akan kasih tau.”
“Aku akan cari tau. Dan setelah itu kamu tahu akibatnya.”
***
Bulu kudukku merinding, jika mengingat ancaman Arin tadi malam. Malang sekali gadis itu jika dia
harus mati ditangan wanita pembunuh berdarah dingin itu. Wajahnya saja yang manis, tapi hatinya busuk. Aku
baru tahu sebuah kebenaran tentangnya. Setidaknya aku bisa membantunya berubah agar menjadi lebih baik.
Seperti kemarin, kami juga melakukan kegiatan yang sama dan akan diakhiri dengan makan bersama di
kampung tempat kami bakti sosial. Banyak yang dapat kami bagi disini. Kami membantu mereka membuatkan
kakus yang sehat dan juga bagaimana cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Aku masih merasa fit, hingga
138
sore nanti mungkin masih bisa bertahan. Yah, maklumlah aku sempat mengangkat beban yang berat saat mendaki
tadi. Tapi, ini belum seberapa dari yang lain. Mungkin mereka lebih parah. Ada yang lecet dan bahkan luka yang
cukup serius.
“Velia itu sempurna untukku.”
“Maksud kamu apa Nur?”
“Kau setuju jika aku melamarnya?”
“Apa?”
“Velia? Sedang apa kau disini?”
“Aku,”
“Farid sepertinya Allah memang memilihkan dia untukku.”
“Ah, kamu ini Nur.”
Hatiku sungguh cemas, apalagi jika Arin mendengarnya. Bisa-bisa aku mati ditangan gadis beringas itu.
Aku segera berlari menuju penginapan. Aku benar-benar harus memisahkan diri untuk sesaat. Sesampainya
disana, aku langsung dihampiri adiknya Mas Nugie.
“Mbak, ada kabar buruk.”
“Ada apa?”
“Mas Nuri dan Mas Farid hanyut dibawa air.”
“Apa?”
“Tapi, sudah berhasil diselamatkan. Sepertinya mereka dipatok ular berbisa.”
“Dimana mereka sekarang?”
“Di pendopo.”
Aku segera bergegas kesana. Aku mencoba mengingat apa yang pernah kubaca tentang gigitan ular
berbisa. Tapi, sebelumnya aku harus memastikan dugaan itu benar atau tidak.
“Bagaimana ini Mbak? Saya bingung!”
“Tenang Maulana, kita pastikan dulu mereka digigit ular atau tidak.”
Setahuku ciri khas dari gigitan Ular berbisa adalah adanya 2 titik bekas tusukan gigi rahang atas ular. Aku
melihatnya tepat di dada mereka. Dan biasanya gejala yang dirasakan penderita setelah digigit ular adalah rasa
nyeri pada bekas gigitan, bengkak, warna kebiruan akibat adanya perdarahan dibawah kulit. Dan gangguan
pernafasan, denyut Jantung atau gangguan syaraf tergantung dari jenis bisa ular. Yah, aku mulai mengecek
kondisi mereka. Semua dugaan benar. Mereka telah digigit ular berbisa. Kini, aku harus memastikan banyak atau
sedikitnya bisa yang masuk. Biasanya, makin banyak bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, makin dekat gigitan
itu dengan letak jantung dan makin ganas racun ular yang masuk maka akan makin cepat efek racun ular terlihat.
Aku rasa racun ini bersifat hemotoksis yang merusak sel-sel darah.
“Yang harus kita lakukan pertma kali adalah mengikat anggota tubuh dengan ikat pinggang, tali, dasi.
Pada bagian sebelah proksimal kearah Jantung dari gigitan ular. Untuk mencegah racun ular menyebar ke bagian
tubuh yang lain. Usahakan agar penderita menjadi tenang dan tidak banyak bergerak. Keaktifan penderita akan
139
mempercepat racun menjalar ke seluruh tubuh. Bawalah penderita secepat mungkin ke RS terdekat untuk
mendapatkan perawatan selanjutnya. Itu yang ku tahu.”
Setelah menjelaskan dan mempraktikkannya. Aku bergegas membawa mereka ke Rumah sakit. Aku takut
akan berakibat fatal.
“Biasanya Di Rumah sakit bekas gigitan akan dirawat dan bila memungkinkan racun akan dikeluarkan
dengan cara menyedot darah di bekas gigitan, lalu diberi suntikan Anti Bisa Serum dan diberi suntikan ATS Anti
Tenus Serum terakhir diberikan suntikan anti nyeri. Semoga kita belum terlambat.”
***
Rumah sakit Sardjito, Yogyakarta…
Sudah lebih satu jam mereka didalam. Aku belum juga mendapat kabar tentang kondisi mereka. Aku
yakin, mereka akan terselamatkan. Rasanya aku takkan bisa memaafkan diriku jika mereka tidak selamat.
“Sudahlah Mbak Vel. Mari kita berdoa untuk mereka.” aku menganggukkan kepalaku dan segera
memohon pada yang maha kuasa.
Ya Rabb, berikanlah kekuatan kepada kedua sahabatku ini. Mudahkanlah urusan mereka. Jika memang
ajal mereka dekat, wafatkanlah mereka secara baik-baik Ya Allah.
Aku sesak saatku lupa
Gundah tengah menyerangku
Menggigit nadiku
Menekan atlasku
Berjalan aku sulit
Bicara aku tak mampu
Datar…
Wajahku hanya datar,
menatap ruang keramaian yang terasa hampa
Ditanya, aku diam…
Disapa, aku beku…
Aku diam, diam, diam, dan diam
Aku tersiksa dengan lupaku
Aku begitu luruh
Guruh menghempaskan rasa salahku
Pupus…
Sudah menghimpitku
140
Namun…
Satu hal yang mampu menopang ragaku
Percayaku atas jalanMu
Aku mengembalikan memoriku pada sebuah puisi yang pernah aku bawakan saat masih duduk di bangku
SMA. Aku yakin, hati Nuri dan Farid seperti yang ku gambarkan dalam puisi itu. Semoga mereka mampu
bertahan.
“Dokter Velia?”
“Ya, saya.”
“Alhamdullilah Dokter Nuri dan sahabatnya selamat.”
“Alhamdullilah. Allahuakbar!” aku lega juga akhirnya. Ternyata doa kami diijabah oleh sang penguasa
cinta. Hanya Dia yang akan didamba sampai nafas ini benar-benar bergantung didekatNya. Betapa aku bahagia
hari ini. Sebuah keajaiban telah terpatri dalam diri seorang Nuri.
***
Lambat laun akhirnya Arin tau juga siapa yang dicintai Nuri saat ini. Entah aku bersuudzon padanya atau
memang itu terjadi benar adanya. Pasca sehatnya Nuri dan Farid. Aku mulai diteror.
“Velia, mau ga’ nemenin Mbak ke Toilet?”
“Oh, boleh.”
Aku melangkah santai ke arah toilet, dan sesaat mataku terpana dan seakan jantungku ingin pecah. Ketika
aku melihat darah tertulis jelas dicermin Toilet itu.
AWAS!!! AKU AKAN SELALU DIDEKATMU!!!
Nadiku berpacu cepat, keringat dinginku mengalir deras. Pertanda apa ini?
“Vel, iseng banget yah ini orang.” aku hanya mengangguk penuh cemas dan segera berlalu.
“Aku tunggu diluar aja Mbak.”
“Oh ya.”
Diluar aku menunggu dekat pintu keluar Laboraturium lantai enam ini. Aku melihat kearah taman dekat
tugu kebanggaan Fakultas Kedokteran. Disana aku melihat Arin dan kawan-kawannya sedang bercanda ria.
Mataku segera berpaling kearah lantai. Aku melihat sebuah surat yang tergelatak begitu saja dilantai. Tulisannya
“UNTUK dR. VELIA”
Aku meraih dan membukanya dengan tangan yang bergetar.
“NURI MILIKKU, JAUHI DIA ATAU KAU AKAN MENJEMPUT AJALMU SENDIRI”
Jantungku seakan ingin berhenti. Aku hampir gila karena ini. Sejak beberapa teror menghantuiku. aku
menghilang untuk sesaat. Sudah hampir satu minggu aku tak bertatapan dengan Nuri. Saat dia berusaha
mendekatiku, aku terus beralasan macam-macam. Aku lebih menyibukkan diri untuk bergabung dengan Jama’ah
141
Shalahuddin di Universitas. Seketika itu pula tak ada lagi teror yang menghampiriku. Entah mengapa aku yakin
itu dari Arin.
***
Yogyakarta, saat aku menemukannya kembali…
“Istriku telah lama meninggal. Aku Cuma punya satu anak. Perempuan, sekarang masih SMP kelas 1.”
“Kalau aku punya enam anak.”
“Wah, banyak juga ya, Mbak. Istriku meninggal saat Nana berumur tiga tahun. Dia divonis kanker rahim
dan sudah stadium akhir.”
“Aku ikut berduka, Mas.”
“Oh ya, mengapa memilih Jogja menjadi tempat berlabuh?”
“Karena, aku rasa, disini aku menemui ketenangan.”
“Yah, aku juga begitu.”
“Ini mobilku.”
“Oh ya, ini barang bawaanya.”
“Terimakasih ya Mas.”
“Sama-sama. Keep contact ya Mbak.”
“InsyaAllah. Masih nomor yang lama?”
“Ya, saya orangnya setia.”
“Duluan. Assalammua’laikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Aku melaju bersama mobil kesayanganku. Pertemuan sesaat ini membuatku kembali bersemangat.
Setidaknya aku kini memiliki sahabat untuk berbagi masa lalu.
Sekip sesak sekali. Banyak mahasiswa yang memadati kawasan ini. Aku berencana untuk singgah
sebentar di Mirota Kampus. Aku ingin membeli beberapa perlengkapan rumah tangga. Hari ini, Mbok Ijah
datang. Dia yang akan membantuku mengurus rumah tangga sementara ini.
Mirota belum banyak berubah. Hanya sedikit ada kemajuan pada produk-produk yang dijajakan, pastinya
juga dekorasi tempat yang jauh lebih baik. Aku membeli perlengkapan dapur dan kamar mandi. Setelah itu aku
memutuskan untuk segera pulang dan sebelumnya menjemput Fahren di tempat sahabatku, Ayu. Dia dan
suaminya Ahmad memilih menetap disini sejak beberapa tahun yang lalu. Tak banyak yang bisa ia lakukan di
Denpasar.
***
142
Kampus biru menatapku lembut. Nadiku berguncang hebat saat memasuki kawasan Kedokteran. Entah
apa yang membuatku begini. Hari ini aku akan mengajar kuliah umum tentang ilmu anak. Di depan ratusan
mahasisiwa Kedokteran Umum.
Setelah memasuki ruangan seminar. Aku duduk paling depan menghadap ratusan mahasiswa. Tampak
disampingku beberapa dokter pediatri. Salah satu diantaranya adalah dr.Nuriawan, Sp.A. Aku kali ini mendapat
bagaian untuk membahas apa itu pediatri alias ilmu kesehatan anak.
“Assalammua’laikum warahmatullahiwabarakatuh. Selamat siang! Sebelum masuk pada kuliah umum
ini, saya mau memperkenalkan diri, karena saya adalah dosen baru disini. Nama saya, dr.Velia Andyra, Sp.A,
saya berasal dari Padang, Sumatera Barat dan dulu berdomisili di Jakarta. Mungkin itu saja pengenalan singkat.
Agar waktu yang kita gunakan ini efektif saya langsung saja pada topik kuliah kita siang ini.
Pediatri atau ilmu kesehatan anak ialah spesialisasi kedokteran yang berkaitan dengan bayi dan anak.
Kata pediatri diambil dari dua kata Yunani kuno, paidi yang berarti "anak" dan iatros yang berarti "dokter".
Sebagian besar dokter anak merupakan anggota dari badan nasional seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia,
American Academy of Pediatrics, Canadian Pediatric Society, dan lainnya. Abraham Jacobi adalah bapak dari
pediatri. Pediatri berbeda dengan kedokteran dewasa. Perbedaan fisik tubuh yang jelas dan kematangan
pertumbuhannya menjadikan kesehatan anak berdiri sebagai spesialisasis tersendiri. Tubuh yang lebih kecil dari
bayi memiliki aspek fisiologis yang berbeda dari orang dewasa. Aspek kedokteran lainnya ikut terpengaruh
seperti defek kongenital, onkologi, dan immunologi. Sederhananya, menangani pasien anak bukan seperti
menangani pasien dewasa versi kecil.
Pada abad ke-19 satu dari lima anak meninggal sebelum usia 5 tahun. Sebagian besar kematian itu
diakibatkan oleh penyakit menular. Kini beberapa dari kematian itu dicegah dengan menyembuhkan penyakit saat
hal itu terjadi. Sebagian besar dari mencegah penyakit dengan imunisasi.
Pada kali ini penyakit yang akan saya bahas adalah disentri. Bagi yang ingin mengajukan pertanyaan,
silahkan mempersiapkannya sejak awal saya menerangkan tentang penyakit ini. Setuju?”
“Setuju.” serempak semua mahasiswa menjawab penuh semangat.
“Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys berarti gangguan dan enteron berarti usus, yang berarti
radang usus yang menimbulkan gejala meluas, tinja lendir bercampur darah. Gejala-gejala disentri antara lain
adalah buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja
bercampur lendir (mucus), dan nyeri saat buang air besar atau tenesmus.”
“Disentri yang disebabkan oleh Bakteri Disentri basiler pada umumnya ada empat macam. Seperti :
Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering kurang lebih 60% kasus disentri yang dirujuk serta
hampir semua kasus disentri yang berat dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella, Escherichia coli
enteroinvasif , Salmonella, dan Campylobacter jejuni, terutama pada bayi. Selain disebabkan oleh bakteri juga
ada yang dinamakan disentri amoeba ini disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering pada anak usia diatas 5
tahun.”
143
“Nah, pada kuliah ini, kita akan membahas tentang Disentri Basiler dan Disentri amoeba. Mungkin kita
lebih banyak diskusi setelah ini. Jadi, untuk sesi pertama dipersilahkan tiga orang. Saya serahkan kembali kepada
moderator.”
Alhamdullillah, ternyata mereka sangat bersemangat sekali menanggapi apa yang telah aku sajikan.
Banyak diantara mereka yang bertanya. Semoga aku dan tim dokter bisa menjawabnya.
“Terima kasih atas kesempatannya, saya ingin bertanya Antibiotika apa yang bisa kita berikan pada anak
jika ternyata sang anak positif terjangkit disentri?”
“Baik, mungkin dr.Velia langsung bisa menjawab, karena beliau adalah dokter yang paling cerdas dalam
menghafal semua jenis antibiotika.”
“Terima kasih atas kesempatannya. Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis dan
mendapatkan terapi yang sesuai. Pilihan utama untuk Shigelosis menurut anjuran WHO: Kotrimokasazol
trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis, selama lima hari. Dan
dari hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan manfaat pemberian kotrimoksazol dibandingkan placebo 10.
Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam empat dosis, Cefixime 8mg/kgBB/hari
dibagi dalam dua dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, dosis tunggal IV atau IM, dan Asam nalidiksat
55mg/kgBB/hari dibagi dalam empat dosis.
Perbaikan seharusnya tampak dalam dua hari, misalnya panas turun, sakit dan darah dalam tinja
berkurang, frekuensi BAB berkurang. Bila dalam dua hari tidak terjadi perbaikan, antibiotik harus dihentikan dan
diganti dengan alternatif lain yaitu terapi antiamubik diberikan dengan indikasi : Ditemukan trofozoit Entamoeba
hystolistica dalam pemeriksaan mikroskopis tinja, tinja berdarah menetap setelah terapi dengan dua antibiotika
berturut-turut masing-masing diberikan untuk dua hari, yang biasanya efektif untuk disentri basiler, dan terapi
yang dipilih sebagai antiamubik intestinal pada anak adalah Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga
dosis selama sepuluh hari. Bila disentri memang disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan akan membaik dalam
dua sampai tiga hari terapi.”
“Luar biasa jelasnya. Mari kita beri tepukan hangat untuk dokter muda kita ini.”
“Selanjutnya, mungkin pertanyaan terakhir ya, soalnya waktu kita tinggal sepuluh menit lagi. Sayang
sekali ya, Dok. Padahal banyak yang harus dibahas lagi tentang disentri.”
“Dok, saya mau tanya nih, perbedaan antara disentri basiler dan disentri amoeba apa?”
“Disentri basiler biasanya diikuti dengan diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada
disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan
setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja, panas tinggi 39,50 - 400 C,
appear toxic, muntah-muntah, anoreksia, sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB, dan kadang-kadang
disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi.
Kalau Disentri amoeba pada umumnya Diare disertai darah dan lendir dalam tinja, frekuensi BAB umumnya lebih
sedikit daripada disentri basiler, sakit perut hebat yaitu kolik, dan gejala konstitusional biasanya tidak ada, panas
hanya ditemukan pada 1/3 kasus.”
144
“Baiklah, semua pertanyaan telah dibahas tuntas oleh dr. Velia Andyra. Selanjutnya kita masuk pada
pengenalan penyakit lainnya yang akan disajikan oleh dr.Nuriawan, Sp.A kepada beliau dipersilahkan.”
***
“Mbak, luar biasa sekali. Mahasiswa sepertinya takjub sekali dengan cara Mbak menerangkan tanpa
melihat teks. Amazing banget!”
“Mas Nuri juga kok, jangan berlebihan gitu.”
“Oh ya, hari ini anak saya terima raport di sekolahnya. Rencananya habis itu saya mau traktir dokter dan
Fahren. Bagaimana?”
“Wah, saya suka ditraktir. Tapi, saya jemput Fahren di Masjid dulu ya. Tadi, mahasiswa saya
menawarkan diri untuk menjaganya.”
“No problem.”
Aku menyapa buah hatiku, dia berlari mengejar dan memelukku. Aku minta dia untuk pamit pada
mahasiswa yang bersedia menjaganya tadi. Dia menyalami santun gadis berhijab itu. Aku pun menjabat hangat
tangannya dan segera berlalu menuju parkiran.
“Kita mau kemana Ummi?”
“Mau jalan-jalan sama Om Nuri dan putrinya.”
“Holeeeeee!”
“Hai Fahren, apa kabar?”
“Baik, baik, dan baik Om Nuli.”
“Nuri, sayang!”
“Nuli, Ummi!”
“Fahren memang anak yang menggemaskan. Mari Mbak, silahkan!”
Aku bersamanya melaju menuju sekolah Nana, putri semata wayang Nuri. Di dalam mobil, Fahren
dengan lincahnya bercerita pada Nuri tentang hero yang dia sukai. Memang terlihat sangat menggemaskan.
Sesampainya di sekolahannya Nana, Nuri memintaku untuk ikut turun. Awalnya aku menolak tapi tak ada
salahnya pikirku.
“Papa, Nana malu nih sama teman-teman. Dari dulu yang jemput raport Nana, pasti Papa melulu, ga’
pernah yang lain!”
“Wah, anak Papa udah bosan nih sama papa?”
“Pa, Tante cantik ini siapa?”
“Ini Tante Velia, teman lama Papa.” dia menyalami tanganku santun dan merundukkan badannya untuk
menyapa Fahren. Rambutnya yang lurus menambah aura kecantikan dalam dirinya.
“Tante, mau kan jemput raport aku?”
145
“Boleh, kebetulan sekali sudah rindu rasanya ingin mendengar curhat wali kelas saat terima raport gini,
dulu kan Tante juga sering begini. Ya sudah, kelasmu dimana?”
“Ayo, Tante. Ntar Fahren biar aku yang jaga diluar.” tanganku diraihnya mesra, seakan aku bisa
merasakan betapa rindunya dia pada sosok seorang ibu. Kelas yang rapi dan asri. Aku menunggu dengan tenang
namanya dipanggil. Aku berharap dia mendapatkan nilai yang baik. Dan itu benar, ketika namanya disebut
sebagai juara umum di sekolah itu. Aku maju, sebagai tantenya. Tapi, betapa bangganya dia saat semua orang
takjub melihat kehadiranku. Mungkin, mereka mengira aku adalah ibunya. Tapi, tak apalah. Kalau dia senang aku
akan merasa jauh lebih senang dari itu, kini aku menemukan secercah cahaya dari kehidupanku yang dulu mulai
padam. Akankah cahaya itu akan benar-benar aku genggam? Wallaahualam.
***
146
*12*
BIAS NUANSA JINGGA
Kisahku berlabuh diantara banyak cinta. Kehidupanku ini terdsain spesial. Allah Maha besar dengan
segera kehendakNya. Setelah sekian lama aku mencari sebuah arti kesetian, akhirnya aku menemukan juga,
kepada siapa kita hendak berlabuh.
Cerita ini mungkin telah usai, tapi kenangan itu akan tetap menorehkan sejarah perjalanan hidup seorang
Velia Andyra yang kini telah genap berumur setengah abad. Yah, perjalanan yang cukup panjang.
Kehadiran seorang Nuriawan setidaknya menambah liku dalam hidupku. Dia menjadi sosok beberapa
tahun yang lalu. Saat kami pertama kali bertemu. Dia mengakui rasa cinta itu masih ada. Kekaguman pada diriku
itu masih tersisa. Karena, memang dia belum berubah. Perhatian dan kasih sayangnya kini kembali aku rasakan.
Kini telah memasuki tahun ajaran baru. Aku sedang sibuk mencari sekolah terbaik untuk Fiyah, Fazzah,
dan Zayhra. Qiqhan memutuskan untuk pindah kesini. Dia ingin melanjutkan studinya. Dia ingin lebih serius
menekuni seni. Tapi, terbesit dalam dirinya ingin menjadi seorang dokter sepertiku. Sebulan yang lalu dia ikut tes
di Jakarta. Alhamdullilah dia lulus di tempat aku mengajar. Fakultas Kedokteranku. Untung saja, aku tidak ada
mengajar mahasiswa baru. Jadi, takkan ada yang berfikiran buruk pada putriku. Biruza bulan depan wisuda. Aku
dan semua keluargaku akan menghadiri acaranya di Bandung. Aku bahagia luar biasa. Akhirnya, aku merasakan
apa yang Bundaku rasakan beberapa tahun yang lalu. Saat aku juga merasakan nikmatnya diwisuda.
Adisucipto, awal kebanggaanku…
Aku menanti penuh kerinduan bersama fahren dan Nuriawan. Seperti apa anak-anakku kini. Dulu, aku
berdiri disini sebagai seorang mahasiswa. Yah, seperti mereka, aku masih polos dan belum tahu apa-apa. Kini,
aku tak menyangka, serasa baru kemarin aku menginjakkan kaki di negeri ini. Ya Allah, terima kasih atas
waktuMu untukku. Diakhir perjalanan hidupku ini, aku ingin berbuat sesuatu untukMu.
Akhirnya, waktu yang aku tunggu-tunggu datang juga. Aku melihat lima bersaudara berjalan ke arahku.
Tiga gadisku yang menghijab dirinya dan dua laki-laki gagahku. Mereka tampak bahagia dengan senyum yang
merekah dibibirnya.
“Ummi, aku kangen banget!”
Qiqhan, putriku. Dia memelukku erat sekali. Dilanjutkan oleh semua anak-anakku.
“Fahren, sini sama Kak Biru. Wah, kenalin dong Mi temannya!”
“Oh ya, maaf Ummi sampai lupa. Kenalin, ini Om Nuriawan, teman lama Ummi.”
“Hai, anak-anak. Kalian memang sholeh-sholeh ya.” mereka satu persatu menyalami tangan Nuri. Aku
merasa ada kehangatan yang berbeda.
“Ya sudah, ayo kita langsung pulang aja. Pasti kalian sudah lelah sekali, kan?”
“Yuhu. Om benar banget. Qiqhan capek banget nih.”
147
“Kalau begitu, yang akhwat sama Ummi and yang ikhwan sama Om Nuri. Soalnya ga’ muat nih
mobilnya.”
“Ok deh.” jawab Biru mantap membawa trolly kearah mobil.
Dalam perjalanan menuju rumah. Qiqhan banyak cerita tentang kegembiraannya lulus di Fakultas
Kedokteran dan bagaimana persaingannya dengan anak SMA.
“Tau nggak Mi? Ada anak SMA yang satu les ma aku, dia itu jatuh cinta gitu deh ceritanya. Padahal dia
nggak tahu, kalau aku dua tahun lebih tua dari dia. Hahahaha.”
“Parahnya lagi Mi, itu kakak kelasnya Fiyah di sekolahan.”
“Tapi, kalian nggak nakal kan?”
“Dikit Mi, kita kerjain gitu deh. Hahahaha.”
“Kerjain gimana?”
“Aku minta tolong Kak Biru gitu deh. Jadi gini, waktu pulang les itu, Kak Biru jemput aku. Terus kita sok
mesra gitu deh. Dia cemburu abis and nyebur ke got. Hahaha.”
“Kalian ini, udah minta maaf?”
“Udah sih, pas lulusan kemaren.”
“Ummi, Zayrha juga punya cerita.”
“Cerita apa sayang?”
“Aku ikut lomba menulis. Terus tulisan aku masuk Mi, tapi seminggu lagi terbitnya. Ummi baca ya.”
“Subhanallah. InsyaAllah sayang. Kamu memang anak pintar!”
“Masih jauh Mi?”
“Ga’ deket kok. Ini juga udah sampe.”
***
Akhirnya apa yang aku dambakan terwujud juga. Sekarang semua keluargaku berkumpul. Kami mulai
membenahi kehidupan yang baru. Menata semua hal yang sempat tergoncang karena kepergian Kahfi.
Ini adalah hari pertama Qiqhan mengikuti ospek di Kampus, begitu juga Fiyah, ini adalah hari
pertamanya di sekolah yang baru. Fazzah dan Zayrha masih istirahat di rumah. Mereka akan masuk sekolah satu
minggu lagi. Sedangkan Biru langsung akrab dengan Nuri. Dia mengajak Biru jalan-jalan melihat arsitektur yang
menakjubkan di Negeri ini.
Aku dan Fahren memilih untuk mengajak Zayrha dan Fazzah ke Malioboro. Setidaknya langkah awal
memperkenalkan kota ini. Karena mereka akan tinggal lama di Negeri ini dan aku akan melihat perkembangan
mereka disini. Mungkin sampai nafasku terenggut ajal.
Kehadiran Nuriawan sangat membantu keluargaku. Dia menjadi sosok ayah bagi mereka. Tak heran jika
anak-anakku cepat dekat dengan mereka. Ya, itu adalah salah satu keahlian seorang dokter anak. Dia bisa
membaca keinginan anak tersebut. Sikap Nuri akhir-akhir ini berubah drastis. Dia menjadi sangat perhatian.
148
Malam ini dia dan Nana akan berkunjung ke rumahku. Kebetulan ada acara syukuran menyambut kehidupan yang
baru di negeri yang baru.
“Ummi, Om Nuri itu baik ya. Jangan-jangan dia menaruh hati pada Ummi. Cieee!”
“Qiqhan, kamu ini. Masih kayak anak-anak aja.”
“Ummi, meskipun udah tua, Om Nuri tetap ganteng ya? Tadi aja pas ospek banyak yang naksir!”
“Apa? Mustahil!”
“Yah, ga’ percaya dibilangin ma anaknya. Ya sutra lah, ntar Ummi jadi cemburu pula.” dia berlari sehabis
menggodaku. Dasar Qiqhan!
“Qiqhan, awas kamu yah!”
“Ummi, masak apa? Biru dah laper nih.” tangan gagahnya mencomot sepotong ayam goreng.
“Biru, itu untuk nanti. Kamu ini nakal yah, sama tuh sama si Qiqhan.” sambil duduk di ruang tengah dia
dan Qiqhan mulai beraksi.
“Dek, Kakak suka kok kalo Ummi jadian ma Om Nuri. Cocok gitu loh! Hahahahaha.”
“Mulai deh, gitu yah sama Ummi sekarang?!”
“Tapi Ummi, beliau itu memang pantas jadi ayah kita.”
Fazzah dan Zayrha ikut bergabung dengan mereka. Apalagi yang akan mereka utarakan.
“Ummi, Nana itu manis yah, pasti cocok ma aku. Ya ga’?
“Eh, Fazzah. Kak Biru ga’ setuju ya, soalnyakan Om Nuri mau jadi ayah baru buat kita.”
“Oh ya? Kalau gitu Fazzah ngalah deh buat Ummi.” mukaku memerah, aku mulai gelisah. Sambil
memegang serbet aku mengancam akan mengejar mereka.
“Hey, awas yah kalian!” terjadi hal yang diinginkan, aku berlari mengejar keempat anak nakal itu. Tiba-
tiba,
“Assalammua’laikum.”
“Tuh, yayang Nuri udah datang.” ujar Qiqhan menggoda.
“Biru, kamu bukain pintunya ya. Ummi mau beres-beres dulu.”
“Cieeeeeee… dandan nie!”
“Qiqhan, siapin makanannya! Bawel banget anak satu ini!” aku melangkah ke kamarku. Fahren masih
tidur. Aku beranjak mencari pakaian yang lebih rapi. Setelah aku rasa penampilanku baik, akupun melihat Fahren
bangun dan mengigau. Aku menggendongnya keluar.
“Kenapa Mi, Fahren ngigo lagi ya?”
“Iya, seperti biasa. Ohya, Fiyah tolong Ummi jagain Fahren yah.”
“Dengan senang hati.” aku memberikan fahren pada Fiyah, dia memandikan dan merapikan si bungsu
yang lucu itu. Aku membawa jasadku menuju ruang tamu. Cukup senyum datar untuk menyambut Nuriawan dan
pelukan hangat untuk Nana.
“Langsung aja ya Vel, aku mau mengutarakan maksudku malam ini. Aku dan Nana merasa cocok dengan
keluargamu. Aku punya harapan suci ingin meminangmu. Boleh?”
149
“Apa? Kamu pandai bercanda ya.”
“Wah, serius ini kelihatannya Om!”
“Biruza mungkin paham maksud saya.”
“Ya, saya juga paham maksudmu Mas, tapi,”
“Mi, jangan kayak lagu edqoustic ya, yang ituloh nantikanku dibatas waktu.” aku tersenyum. Aku ingat
seseorang pernah menyanyikan lagu itu. Ya, dialah Kahfi. Saat aku menonton festival Nasyid di Muaro, Padang.
Dikedalaman hatiku tersembunyi harapan yang suci
Tak perlu engkau menyangsikan
Lewat kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu
Tak perlu dengan kata-kata
Sungguh walau kukelu tuk mengungkapkan perasaanku
Namun penantianmu pada diriku jangan salahkan
Kalau memang kau pilihkan aku
Tunggu sampai aku datang nanti
Kubawa kau pergi kesyurga abadi
Kini belumlah saatnya aku membalas cintamu
Nantikanku dibatas waktu
“Bagaimana Vel, kamu menerimanya? Atau,”
“Pada dasarnya, aku akan menikah untuk anak-anakku. Karena, mereka yang terpenting saat ini dari
apapun. Jadi,”
“Kami setuju sekali, kalau Ummi dan Om Nuri menikah.”
“Alhamdullilah. Saya akan menyegerakan prosesi acaranya.”
“Yah, kalau bisa bulan depan saja. Di kota Bandung InsyaAllah. Ba’da wisudanya Biru. Bagaimana?”
“Baiklah, saya setuju. Oh ya ngomong-ngomong, udah lapar juga nih.”
“Astaghfirullah al’adzim. Mari silahkan.”
***
Keputusan kilat ini aku ambil karena anak-anakku terlalu mendamba Nuriawan menjadi ayahnya. Aku
hanya ingin membahagiakan mereka. Malam ini aku kembali seperti biasa mendongengkan kisah para sahabat
Nabi dan orang terkenal di masanya. Kali ini aku bercerita tentang Rabiah Al-adawiyah.
150
“Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia
dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah berhampiran kota Basrah di Iraq. Dia lahir dalam sebuah keluarga
yang miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya pula hanya bekerja
mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.
Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah
yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai
berlomba-lomba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari
dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud
hampir lenyap sama sekali.
Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah
tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan
al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik
jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang
benar-benar taat.
Bapak Rabi’ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir daripada kemewahan dunia dan tidak
pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih.
Pendidikan yang diberikannya bersumberkan Al-Quran. Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati
isi Al-Quran sehigga berjaya menghafal kandungan al-Quran.”
“Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah
beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat.
Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya, dia dipermudahkan
oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyadarkan serta
mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba bergantung harap kepada belas ihsan
Tuhannya.”
Fahren sudah tertidur, aku melanjutkan lamunanku tentang sang idola, Rabiah Al-Adawiyah. Aku ingat
sebuah ucapan Rabi’ah sewaktu kesunyian diketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:
“Ya Allah, ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau daripada segala yang ada yang boleh
memesongkan diri daripada-Mu, daripada segala pendinding yang boleh mendinding antara aku dengan Engkau!
Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah menutup
pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.
Tuhanku! Tiada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada
desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi, tiada
tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan melainkan aku dapati semua itu menjadi
bukti keEsaan-Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.
151
Sekalian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya
Rabi’ah yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan kepadanya
yang akan menahannya daripada tidur supaya dia dapat berkhidmat kepada-Mu.” (Rabiah Al-Adawiyah)
Rabi’ah juga pernah meraung memohon belas ihsan Allah SWT:
“Tuhanku! Engkau akan mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu.
Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan yang mendalam dan karena kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut
bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat,
bulan yang menerangi, bintang yang berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab Engkaulah
Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa.” (Rabiah Al-Adawiyah)
Setiap malam begitulah keadaan Rabi’ah. Apabila fajar menyingsing, Rabi’ah terus juga bermunajat
dengan ungkapan seperti:
“Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri!
Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku berasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya
maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku
dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku daripada pintu-Mu itu, niscaya aku
akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu.” (Rabiah Al-Adawiyah)
Aku semakin kagum pada sosok Rabiah karena ia seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah.
Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi’ah telah mempertalikan akalnya,
pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia senantiasa meletakkan kain kapannya di
hadapannya. Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya: “Ya Tuhanku!
Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”
Aku ingat syairnya yang masyhur berbunyi:
“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.” (Rabiah Al-Adawiyah)
Aku ingin menjadi sepertinya dan juga seperti Fatimah Azzahra. Malam ini aku tidak tidur. Aku
bermunajat seperti yang dilakukan Rabiah Al-adawiyah. Hingga subuh menjelang aku masih tetap teguh diatas
sajadahku.
***
152
Hari sudah terlampaui bulan. Kini aku berada di negeri Almarhum suamiku, Kahfi. Aku menyaksikan
wisuda anak pertamaku. Dia tampak gagah sekali dengan toganya. Kebaya coklat tua dengan hijab yang menutupi
punggung aku berjalan menuju ruangan yang telah dipersiapkan. Disana aku bertemu seseorang, dialah Zahraku.
Aku bertemu kembali dengannya setelah sekian lama dia hilang. Aku memeluknya erat. Tanpa mengeluarkan kata
sepatahpun. Aku ingat sewaktu dulu aku berkata padanya.
“Andaikan namaku Zahra, aku akan bangga!”
Karena Imam Shadiq as berkata: Fathimah as di sisi Allah memiliki 19 nama seperti Fathimah, Shiddiqah,
Mubarakah, Thahirah, Zakiyah, Radhiyah, Mardhiyah, Muhaddatsah dan Zahra. Dan kenapa Zahra? Karena
cahaya wanita yang dimuliakan Allah ini dalam sehari tiga kali menyinari Imam Ali as. Ketika ia berada di
mihrabnya untuk melakukan ibadah, cahayanya menyinari seluruh manusia, sebagaimana cahaya bintang-bintang
menyinari penduduk bumi. Subhanallah memang nama yang indah.
Aku masih menatapnya, tak terasa air mataku meleleh. Aku kembali memeluknya. Aku teringat waktu dia
pertama kali mengenalkannku pada Fatimah Azzahra.
“Fatimah az-Zahra adalah puteri bungsu yang mulia Rasulullah S.A.W, Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muthalib bin Hasyim. Siti Fatimah Az-Zahra dilahirkan pada hari Jumat 20 Jamadil Akhir yaitu tahun
kelima sebelum Nabi saw menjadi Rasul. Ketika itu kaum Quraisy sedang memperbaiki dan membangun kembali
Ka’bah disebabkan banyak kerusakan pada bangunan tersebut. Siti Fatimah putri kesayangan Nabi s.a.w.
mendapat gelaran Assidiqah (wanita terpercaya), Athahirah (wanita suci) Al-Mubarakah (yang diberikahi Allah)
dan yang paling sering disebutkan adalah Fatimah Azzahra (bunga yang mekar semerbak). Dia juga digelari Al-
Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu,
akhlaq, adab, hasab dan nasab. Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi' dan Ruqayyah, isteri
Usman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kalsum. Siti Fatimah az-Zahra menyaksikan sendiri betapa
halangan dan rintangan yang telah dihadapi ayahandanya dalam memperjuangkan Islam. Ketika Nabi s.a.w.
dihina dan diletakkan najis binatang saat Nabi saw sedang sujud, dengan tangisan kesedihan Siti Fatimah
membersihkan tubuh Nabi s.a.w. dari kotoran yang taburkan oleh kaum Quraisy.”
“Kepada Salman Al-Farisi, Rasulullah SAW pernah bercerita tentang kearifan yang dicapai oleh Fatimah.
Baginda bersabda, "Wahai Salman, ketahuilah bahawa Allah SWT telah memenuhi kalbu dan seluruh jiwa raga
puteriku dengan keimanan." Al-Hassan menuturkan; "Ibuku adalah dia yang memenuhi malamnya dengan doa
dan munajat hanya karena umat Muhammad." sebagai pendamping hidup Imam Ali r.a, Fatimah juga tampil
sebagai isteri yang ideal dan suri rumah yang penuh tanggung jawab. Bahkan beliau turut menggerakkan beberapa
protes sosial terhadap status-quo yang merampas kekhalifahan Ali r.a dan pencerobohan ke atas tanahnya.”
“Demikian besar pribadi Fatimah sehingga insan sehebat Imam Ali r.a merasa tenang dan damai di
sisinya. "Demi Tuhan, hingga akhir hayatnya, tidak pernah aku merasa kecil hati dengan perilakunya atau
memaksanya. Begitu juga tidak pernah dia merasa marah terhadapku atau tidak mentaatiku. Saat aku melihat
Fatimah" Kata Imam Ali, "Hilanglah duka dari seluruh jiwaku".”
153
Aku menangis mengingat semua itu. Dia adalah sahabat yang mengenalkanku tentang islam. Tak satu
patah katapun yang keluar dari bibirku. Acarapun dimulai, aku mengenggam erat tangannya.
***
“Vel, maafkan aku.”
“Zahra, aku yang seharusnya minta maaf.”
“Ini putramu?”
“Ya, Biruza Hudzaifah. Dan dia putrimu?”
“Azzahra, nama yang kau dambakan bukan?” aku memeluk erat putrinya.
“Semoga kau menjadi seperti Azzahranya Rasulullah. Amin.”
“Velia, kau masih sama. Aku merindukanmu.”
Zahra memeluk erat tubuhku. Aku masih terkejut dengan semua kenyataan ini. Kebahagiaan yang luar
biasa di ujung hariku.
Aku memperkenalkan dia pada Nuri. Kamipun mengajak dia dan keluarga menuju rumah Ibu Sarah.
Disana semua keluarga telah berkumpul. Hari ini Nuriawan akan mengkhitbahku secara resmi.
Ustadz Harist memulai acaranya dengan tausiyah tentang Khitbah.
“Tidak boleh seorang muslim meminang wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya di masa iddah.
Karena waktu iddah adalah waktu yang suci bagi pasangan sebelumnya, maka ia tidak boleh dilanggar. Yang
berhasrat boleh saja memberitahu kepada seorang janda yang ditinggal mati suaminya bahwa ia ingin
menikahinya, ketika janda itu masih menjalani masa-masa iddah. Itu pun dilakukannya dengan bahasa sindiran,
bukan dengan bahasa terang-terangan. Allah swt. berfirman, "Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-
wanita itu dengan sindiran." (A1-Baqarah: 235).”
“Diharamkan pula melamar wanita yang sedang dilamar orang lain, jika telah terjadi kesepakatan dengan
pihak pertama. Yang demikian itu karena pelamar pertama telah mendapatkan hak yang harus dihormati. Hal ini
perlu diperhatikan dalam rangka menjaga hubungan dan cinta kasih di tengah masyarakat, di samping untuk
menghindarkan seorang muslim dari perilaku yang bertentangan dengan sifat ksatria, karena perilaku ini mirip
dengan penculikan dan permusuhan. Lain halnya jika pelamar pertama telah beralih pandangan atau ia sendiri
mengizinkan kepada pelamar kedua. Dalam hal ini tidaklah mengapa.”
“Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Seorang rnukmin adalah saudara bagi
mukmin lainnya. Karena itu, tidak halal baginya melakukan transaksi di atas transaksi saudaranya dan tidak boleh
meminang pinangan saudaranya." HR. Muslim.”
“Imam Bukhari meriwayatkan bahwa beliau saw. bersabda, "Seorang laki-laki tidak boleh melamar
lamaran laki-laki lain hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya." HR. Bukhari.”
Setelah itu masuklah pada acara inti yang sakral. Hari itu aku telah resmi dipinang olehnya. Pada
dirinyakah aku akan berlabuh?
154
***
Setelah kepulanganku dari Bandung. Aku ditugaskan untuk mencari tahu penyebab penyakit misterius di
Rumah sakit Tidar, Magelang. Menurut diagnosa sementara. Penyakit itu diakibatkan adanya virus hepatitis.
“Dokter yakin diagnosanya benar?”
“Yakin, karena pada penderita terdapat tanda-tanda yang sama dengan penderita yang terserang virus ini.”
“Virus hepatitis A terutama menyebar melalui tinja. Penyebaran ini terjadi akibat buruknya tingkat
kebersihan. Di negara-negara berkembang sering terjadi wabah yang penyebarannya terjadi melalui air dan
makanan. Termasuk negara kita. Mungkin penderita mengidap hepatitis A. Karena kalau Hapatitis B
penularannya tidak semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk darah.
Penularan biasanya terjadi diantara para pemakai obat yang menggunakan jarum suntik bersama-sama atau
diantara mitra seksual baik heteroseksual maupun pria homoseksual. Kalau Hepatitis C disebabkan akibat
transfusi darah. Virus hepatitis C ini paling sering ditularkan melalui pemakai obat yang menggunakan jarum
bersama-sama. Jarang terjadi penularan melalui hubungan seksual. Untuk alasan yang masih belum jelas,
penderita "Penyakit hati alkoholik" seringkali menderita hepatitis C. Saya rasa itu tidak mungkin. Soalnya
penderita banyak dari kalangan anak-anak, bukan?”
“Bagaimana dengan Virus hepatitis D? Biasanya hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B
dan virus hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang memiliki resiko tinggi
terhadap virus ini adalah pecandu obat. Karena, saya juga menemukan penderita seorang pria yang
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.”
“Yah, tapi wabah yang menyerang kampung itu sepertinya akibat ketidak-hiegenisanya lingkungan.”
“Saya, telah mengintruksikan perawat untuk memberi obat antibiotika. Apakah tindakkan ini benar
Dokter Velia?”
“Sebaiknya kita menggunakan Calcium I + Cordyceps, cara pemakaiannya pagi hari 1 jam setelah makan
pagi 2 kapsul Cordyceps, siang hari (setelah makan siang)1 sachet Calcium I + 2 kapsul Cordyceps 1 jam setelah
minum Calcium I , dan sore atau malam hari setelah makan malam) 2 kapsul Cordyceps .”
“Yah, saya akan mengganti cara pengobatannya.”
“Untuk sementara waktu itu dulu. Sekarang kita harus memastikan diagnosa ini benar.” aku berlalu
dihadapan dua residen yang bertugas di Rumah sakit itu. Kini, aku menuju laboratorium.
***
Penyakit misterius itu akhirnya terungkap juga. Ternyata yang kami duga itu benar. Alhamdullilah semua
bisa diatasi dengan baik. Aku kembali ke Yogyakarta pagi ini. Hampir dua hari aku di Magelang dan selama itu
aku meninggalkan anak-anakku.
155
Kesibukanku kini bertambah. Aku dipercayai untuk menjadi pembicara dalam sebuah acara keagamaan
tentang hubungan agama dan ilmu kedokteran.
Aku mencoba membahas tentang teori Kedokteran Islam. Aku pernah membaca artikel yang
diterjemaahkan oleh A.Q.Khalid. Disana dia bercerita tentang sejarah kedokteran islam. Bermula pada abad ke 8,
ilmuwan Muslim secara berangsur mengembangkan pendekatan kepada dunia kedokteran dengan cara yang lebih
canggih dan tidak lagi memasukkan unsur takhayul padang pasir dari bangsa Arab. Dorongan utama datang dari
sekolah kedokteran Parsi di Jundishapur yang materi pelajarannya terutama sekali didasarkan pada praktek
kedokteran Yunani melalui metoda rasional. Kontak di antara Jundishapur dengan para penguasa Muslim di mulai
sejak tahun 765M yang berawal bukan pada pencarian kebenaran universal tetapi pada alasan yang lebih bersifat
pribadi dan segera yaitu adanya gangguan pencernaan kronis yang mengganggu penguasa Baghdad. Kepala tabib
dari Jundishapur adalah Jurjis. Tabib ini berhasil dan untuk itu ia diangkat sebagai tabib istana.
Sebagaimana halnya Jurjis, kebanyakan dari para praktisi pengobatan Islamiah awal adalah keturunan
Parsi yang berbicara dan menulis dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa ilmiah di Abad Pertengahan. Salah
seorang yang paling kondang dari para tabib Timur ini adalah Al-Razi yang hidup 865 – 925 M. Ia adalah dokter
terbaik di zamannya dimana ia disejajarkan dengan Hipokrates dalam orisinalitas deskripsi suatu penyakit. Razi
(dalam bahasa Latin – Rhazes) dikatakan telah menulis lebih dari dua ratus kitab dengan subyek menyangkut dari
kedokteran sampai kimia, theologi dan astronomi. Sekitar separuh dari kitab-kitab itu berkenaan dengan
kedokteran, termasuk di antaranya yang terkenal tentang penanganan penyakit cacar. Dalam telaahnya tentang
penyakit cacar itu adalah Razi yang menjadi orang pertama yang membedakannya sebagai suatu penyakit khusus
dari antara demikian banyak demam eruptif yang menjangkiti manusia. Dengan memberikan simptomatis klinikal
dari penyakit cacar, ia membekali para tabib dengan pengetahuan untuk mendiagnosanya secara tepat dan
memprediksi perjalanan penyakit. Ia juga memberikan saran pengobatan atas penyakit tersebut. Ia menekankan
pengobatan dengan cara yang halus, diet makanan yang baik, perawatan yang teliti yang sepertinya sama seperti
yang diterapkan di masa kini yaitu istirahat, lingkungan bersih dan menjaga pasien tetap nyaman.
Meski Razi tidak tahu apa-apa tentang bakteria yang baru ditemukan di awal abad ke 17, ia memiliki
naluri intuitif mengenai prinsip-prinsip higiene, jauh melampaui standar abad pertengahan. Suatu ketika ia pernah
ditanya tentang pemilihan lokasi dari suatu rumah sakit baru di Baghdad. Untuk menelitinya ia lalu
menggantungkan irisan-irisan daging di beberapa tempat di kota tersebut. Ia menyarankan pendirian rumah sakit
di lokasi yang gantungan dagingnya paling lambat membusuk. Abad 10 dan 11 merupakan periode dari ahli-ahli
medikal dengan peringkat tertinggi. Al-Majusi mendominasi bidang medical internal di Timur, di Andalusia
muncul salah seorang sosok medikal akbar yaitu Al-Fahrawi. Ia adalah salah seorang ahli bedah Muslim terbesar
dan buku karangannya Kitabul Tarif yang merupakan ensiklopedia kedokteran merupakan pedoman definitive
bagi para ahli bedah selama berabad-abad. Periode ini juga merupakan masa berkembangnya karya-karya akbar di
bidang ophtalmologi (mata). Ali ibn Isa adalah orang pertama yang mengusulkan penggunaan bius (anastesia)
dalam pembedahan.
156
Sosok yang paling mencolok dan merupakan dokter Muslim yang paling terkenal adalah Abu Ali ibn
Sina, ‘pangeran kedokteran’ dan di kalangan cendekiawan serta dokter-dokter di Barat dikenal sebagai Avicenna,
sebagaimana juga banyak orang di Timur menyebut dunia medikal Islam sampai dengan hari ini. Ibnu Sina lahir
di Bukhara dan belajar sendiri ilmu kedokteran serta sudah termashur saat berusia delapanbelas tahun. Ia hidup
dari tahun 980 – 1037 M. Hasil karyanya mencakup 170 buku mengenai filsafat, medikal, matematika, anatomi
disamping juga puisi dan karya keagamaan. Salah satu karya yang paling terkenal adalah Al-Qanun fil-tibb
(Kanun Ketabiban) yang merupakan ensiklopedia tentang segala fase dari penanganan penyakit. Kitab ini menjadi
karya paling berpengaruh dalam sejarah kedokteran dunia.
Malam itu aku berdiri diatas kemegahan pentas kebanggaan. Aku terpilih menjadi Dokter teladan tahun
ini. Dan aku harap, aku tak hanya terbaik dimata mereka. Tapi, juga terbaik di mata Allah. Karena hanya
redhonya yang aku damba.
***
Aku hidup dengan hidupku. Kini aku menikmati diriku sebagai seorang dokter dan Ustadzah. Aku
mencintai keduanya. Kebahagianku telah lengkap. Aku tersadar ternyata selama ini aku hanya menjadi pendosa
cinta. Aku tak paham apa itu cinta sebenarnya. Cinta yang aku damba adalah seperti cinta Rabiah Al Adawiyah
kepada Allah.
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu,
Hingga tak ada sesuatupun menggangguku dalam jumpa-Mu,
Tuhanku, bintang-bintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istanapun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malam pun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kauterima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau tolak hingga aku dihimpit duka
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang akan selalu kulakukan
Selama Kauberi aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu
Andai Kauusir aku dari pintu-Mu
Aku tak akan pergi berlalu
157
Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu
(Rabiah Al-Adawiyah)
Kesetiaan cinta yang kucari adalah kesetiaanku mendampingiNya selama hidupku. Cinta yang selama ini
ku cari telah aku temukan. Jalan hidupku terlalu terjal tapi aku telah melabuhkan kisahku ditangaNya, dicintaNya,
dan di RidhoNya. Allah adalah tujuanku dan juga tujuan semua insan. Aku mendapatkan indah cintanya karena
Dia telah membukakan tabir. Tak ada hambatan aku mendekat padanya. Kini, aku menjelma menjadi seorang
Rabiah yang mulia dan Azzahra yang bersinar seperti bintang. Tujuanku telah kudapati. Hanya keteguhan yang
aku butuhkan untuk menapaki jalan yang sebenar-benarnya jalan. Jalan Allah menuju kemenangan.
Aku berjalan keluar. Perlahan aku tatap langit, aku ingin membuktikan kata ayah. Apakah benar jika hati
telah menemukan cinta sesungguhnya, saat kita melihat langit, maka langit akan membiaskan nuansa jingga.
Subhanallah! Jingga di langit begitu indah. Aku duduk diantara karang dan menatap matahari yang mulai
menyudut menghilang. Ragaku menikmati keajaiban Allah senja itu. Apa yang telah aku jalani adalah apa-apa
yang terindah dariNya. Hatiku seketika terasa lapang. Gamis putihku menyibak ditarik angin. Sekali lagi aku tatap
langit yang mulai menghitam. Perlahan, aku langkahkan kakiku menuju jalan. Benakku membahana, adzan telah
berkumandang, saatnya aku kembali menemui cintaku, Allah. Ya! Hanya Allahlah cinta yang sebenarnya.
“Buk? Mau kemana?” seorang gadis berjilbab putih mendekatiku.
“Mau ke Masjid!” dia menggenggam tanganku dan menuntunku perlahan.
Mataku terpejam dan aku merasakan sesuatu yang berbeda.
Dan,
Allahuakbar!!!
***
“Ummi? Ummi yakin kalau gadis itu,” mataku masih samar. Aku hanya dapat merasakan suara Biru
anakku yang menggema.
“Ummi?” aku tersenyum.
Aku perlahan melihat ke arah tas tanganku. Secara tak lisan aku memerintahkan Biru mengambilnya dan
mengeluarkan buku yang ada didalamnya.
Aku kembali tersenyum.
“Nak, berjanjilah, buku-kan buku ini untuk Ummi! Karena, disana semua kisah hikmah yang telah Ummi
lalui selama ini. Jadikanlah pelajaran yang nantinya akan membawamu kedalam kehidupan yang abadi.”
***
158
Itulah ibuku, orang yang paling aku cintai. Perempuan tangguh yang takkan tergantikan. Hal yang
paling menganggumkan yang pernah aku dapatkan dari beliau adalah ketika Ummi berpesan “Jangan pernah
membiaskan cinta, jika tak paham makna nuansa, karena akan membunuh jingga yang selalu kau agungkan!”
-Biruza Hudzaifah-
Yogyakarta, 01 Juli 2008
07:18 PM
Diantara kebisingan kamar yang tak teredam!
SELESAI
159
TAK HANYA SEKEDAR IMIPIAN
Penantian itu ada ujungnya. Kini aku telah sampai di ujung penantian itu. Menanti untuk sebuah impian
yang sempat tertunda. Dengan sisa semangat aku mulai membangun optimisme dalam diri. Ini akan selesai!!!
Semua takkan ada artinya tanpa ada yang mengijabah doa-doaku. ALLAHUAKBAR, tanpa itu pula
takkan ada semangat yang melingkari benakku. Aku melihat jauh ke masa lalu, melihat sebuah perjuangan yang
tak berbatas. Hari ini, aku bisa menikmati indahnya Islam karena perjuangannyalah, Rasulullahku.
Menulis itu tak mudah. Semuanya lahir dari potensi yang ada. Itu takkan hadir jika tak ada dukungan dari
orang-orang terdekat. Ibu dan bapakku yang selalu menemani langkahku, beliau tiada lelah menyemangati
hidupku. Mereka yang telah memberikan sebuah kehidupan yang lebih dari cukup, yang selalu memenuhi apa
yang aku butuhkan. Karya ini pun ku persembahkan sebagai tanda cintaku untuk mereka.
Apalah artinya hidup ini tanpa cinta. Cinta yang akan mengalahkan keangkuhan manusia. Persaudaraan
dan persahabatan yang takkan ternilai harganya. Sepupuku tercinta, Gilang Nuansa dan Gemilang Nirmala yang
selalu memberikan semangat dan masukan untukku, yang senantiasa meluangkan waktu untuk mendengarku.
Keluarga besar “Rumah Gadang”, keluarga besar bapakku, keluarga Belimbing, keluarga besar pendidikanku (TK
Pertiwi 2, SDN 05 Tan Malaka, SMPN 1 Padang, SMAN 1 Padang, dan Fakultas Biologi UGM) yang menjadi
bagian dari kekuatanku.
Kini tak hanya sekedar impian yang aku rasakan, tapi sebuah kenyataan. Kebahagian ini takkan ada tanpa
mereka semua, mereka yang mencintaiku apa adanya.
“Aku takkan pernah berhenti mencinta, hingga cinta menghentikan ku.”
THANKS TO :
Para sahabat…
BSC07 : Untuk semua dukungan, semangat, kerelaan untuk mengerti seorang Biaz yang keras! Kalian
adalah saudaraku, sahabatku, hatiku yang selalu bisa aku andalkan! Untuk Ayu, Lia, Firi, Hendy, Ibnu yang sudah
mau jadi pembaca pertama, dan Iman yang dengan senang hati membuatkan logo yang biaz minta.
FLPers : Sebuah pemantik yang luar biasa! Membukakan pikiranku untuk melanjutkan karya ini. Didekat
kalianlah aku bisa terus berkarya. Mba’ Iwul, Mba’ Lilo yang sudah mau mendengar ceritaku, Mba’ Ajeng yang
merupakan inspirator dan motivator, Mba’ Desy yang menyiramku dengan limpahan ilmu, Mas Budi yang sudah
dengan kerelaan hati menjadi editor plus membantu penuh sampai naskah ini bisa terbit, Club CWC yang menjadi
pompa semangatku, dan semua anak FLP yang telah dengan senang hati meyakinkanku, aku pasti bisa
menerbitkannya!!!
160
Organisasiku : Rohis Smansa Padang, BIMO-JMMB (Jamaah Mahasiswa Muslim Biologi), SENAT FB-
UGM yang dengan segala pengertiannya telah mengizinkanku terus berdedikasi diduniaku. Disanalah aku banyak
menemukan sesuatu yang berbeda dan luar biasa!
Bio’ers : Teman-teman 07 di Biologi, terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca karya
kecilku ini. Buat Uda Rifki dkk, yang rela membuatkan disain cover awal yang memacu semangatku
menyelesakan novel ini, Resti yang dengan senang hati mendengarkan aku, terimakasih untuk semuanya!
Asasong-team : Untuk semua waktu, semangat, dan ilmu yang telah diberakan, aku tak bisa hanya
mengucapkan terimakasih. Karena, kalian meyakinkan aku, bahwa aku tak sendiri! Jazakillah ya ukhti…
Special Person : Kepada semua yang telah dengan kerendahan hati meluangkan waktunya membaca
naskah novel ini sebelum jadi buku, terimakasih! Karena kalian adalah semangatku!
Semoga impian yang telah aku raih ini menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk semua!
161
CURICULUM VITAE (Untuk kepentingan Profil Penulis)
Nama Lengkap : ISTI ANINDYA
Nama Pena : [BIAZ]
Tempat, Tanggal Lahir : SALIDO, 21 November 1989
Alamat Asal : Jl. Anggur II No.102 Perumnas Belimbing, Kuranji,
Padang, Sumatera Barat
Alamat di Jogja : Jl. Kaliurang KM 5, Karangwuni Blok E/16 Sleman
No. HP : 0899 518 548 2
0852 74 57 77 57
0274 9105943
Email/ Friendster : est_anindya@yahoo.co.id/isti_anindya@yahoo.com
Blog : www.bintangazzahraflp.multiply.com
Nama Orangtua : Istanto S.Si (Ayah) dan Elly Rasyanti (Ibu)
Nama Saudara : Isfan Azhabil dan Isfi Afiannisa
Riwayat Pendidikan : TK Pertiwi 2 Padang
SDN 05 Tan malaka Padang
SMPN 1 Padang
SMAN 1 Padang
\ Fakultas Biologi UGM
Cita-cita : Ilmuwan Genetika Forensik
Organisasi (Saat ini) : FLP YOGYAKARTA angkatan VIII
SENAT-FB UGM
KSAT (Kelompok Studi Arsitektur Taman)
JMMB (Jemaah Muslim Mahasiswa Biologi)
Karya : Pupus (Cerpen, Singgalang 2005)
Sedih yang tak berujung (Cerpen, Singgalang 2006)
Junquiera (Cerpen, Media Smansa 2006)
Motto hidup : You are what you think !
162
163
top related