bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. letak...
Post on 08-Mar-2019
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
���
�
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Letak Geografis Salatiga
Secara Geografis wilayah Salatiga berada pada daerah vulkanisme Merapi-
Merbabu. Kegiatan vulkan Gunung Merbabu pada masa lalu dan Erupsi Gunung
Merapi yang bersifat periodik itu jelas berpengaruh terhadap daerah sekitarnya
baik yang bersifat negatif maupun positif. Sebaran abu gunung-gunung tadi secara
positif adalah bagaikan pemupukan bagi tanah di sekitar gunung tersebut.
Ditambah dengan faktor curah hujan yang cukup, akan menyebabkan makin
tingginya tingkat kesuburan tanah daerah tersebut. Sedangkan kesuburan tanah
akan mengundang kelompok-kelompok manusia untuk bermukim di situ, yang
kemudian menyatu menjadi kelompok besar masyarakat yang mampu
menciptakan karya budaya. Karya budaya manusia akan tercipta apabila
masyarakat pendukungnya terjamin kesejahteraan hidupnya (Sukarto Karto
Atmodjo,dkk, 1995: 17).
Karena banyak orang kulit putih yang tinggal, maka Salatiga mendapat
perhatian banyak dari pemerintah Hindia Belanda. Puncaknya terjadi pada tanggal
25 Juni tahun 1917 Gubernur Jendral Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad
No. 266 Tahun 1917 yang menjadikan Salatiga sebagai sebuah Gemeente
(Kotapraja) dan dipimpin oleh seorang Burgemeester (Walikota). Status Gemente
menjadikan Salatiga cepat berkembang sampai akhirnya mendapat predikat
sebagai de Schoonste Stad van Midden Java yang berarti kota terindah di Jawa
���
�
Tengah. Salatiga dijadikan sebuah Gemeente karena memenuhi syarat. Ada tiga
macam faktor yang menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk
menentukan berdirinya sebuah Gemeente, yaitu dengan melihat faktor penduduk,
faktor keadaan setempat, dan faktor keuangan (Emy Wuryani, 2006: 57).
Menurut Kuntowidjojo, kota yang ideal mempunyai ciri: sektor pedagang
asing terutama pedagang Cina yang mewarnai kehidupan kota dengan gaya
bangunan, kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya, sektor kolonial
dengan benteng, perkantoran, rumah-rumah, rumah ibadah, sektor kelas
menengah pribumi yang kadan-kadang mengelompok dalam kampung-kampung
tertentu dan imigran yang menampung para pendatang baru di kota yang berasal
dari pedesaan sekitar. Di sela-sela tempat ini terdapat gedung-gedung sekolah,
pasar, stasiun, dan tempat-tempat umum lainnya (Kuntowidjojo, 1994:54).
Dari kondisi geografis yang demikian maka jelas bahwa daerah Salatiga
dan sekitarnya sudah sejak jaman dahulu merupakan daerah yang tanahnya subur,
sehingga menjadi tempat konsentrasi masyarakat manusia dari abad ke abad yang
ternyata juga menghasilkan karya budaya yang tinggi. Sehingga letak Salatiga
yang strategis menyebabkan banyaknya orang-orang kulit putih menetap dan
tinggal di Salatiga bahkan lebih dari itu, Salatiga dijadikan sebagai kota transit
bagi orang-orang Belanda yang baru datang dari Eropa dan hendak tinggal di
Hindia Belanda.
Keberadaan tentara Hindia Belanda dengan tangsi-tangsinya membawa
citra dan identitas Salatiga sebagai basis militer yang tetap melekat samapai abad
20. Kemajuan Salatiga dimulai dari terbentuknya Stadsgemeente Salatiga
���
�
ditambah dengan mulai banyaknya warga kulit putih yang tinggal di Salatiga
maka tatanan kota Salatiga diperindah dengan diperbaikinya jalan-jalan besar
diaspal, trotoar dan jalan kampung diperkeras dengan beton, tidak ketinggalan
pula di kanan kiri jalan raya ditanami pohon-pohon yang rindang seperti mahoni
dan kenari (Handjojo, 1979: 14).
B. Kedatangan Bangsa Belanda Di Salatiga
Ketika Vereenigde Oost Inddische Compagnie (VOC) berkuasa di Jawa,
Salatiga berada di bawah kekuasaan dagang Belanda itu. Oleh VOC Salatiga
dipandang sangat strategis, karena berada di jalur utama persimpangan Semarang,
Surakarta, dan Magelang. Salatiga juga strategis dalam kegiatan lalu lintas
perdagangan dari pedalaman Jawa Tengah ke Pantai Utara Jawa sehingga
dijadikan sebagai tempat persinggahan para pedagang. Karena letak Salatiga yang
strategis, VOC menjadikan Salatiga sebagai kota Militer atau kota Garnisium.
Salatiga menjadi markas besar pasukan kaveleri artileri dari tentara kerajaan
Hindia Belanda KNIL yang membangun komplek militer disisi Selatan Salatiga.
Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Salatiga sebagai kota militer dan pada
tahun 1746 VOC membangun sebuah benteng yang diberi nama benteng De
Hersteller. Pembangunan benteng De Hersteller di Salatiga dimaksudkan untuk
memberi jaminan keamanan di sepanjang jalur Semarang-Surakarta dan sebagai
tempat persinggahan para pegawai VOC yang akan berkunjung ke Surakarta.
VOC kemudian menjadikan Salatiga sebagai wilayah militernya. Hal ini
dapat kita lihat dan kita temukan dari bangunan dan tangsi militer di bagian
Selatan kota Salatiga. Tangsi-tangsi militer dan juga benteng yang dibangun oleh
���
�
VOC tersebut bertujuan untuk memantau kegiatan Mataram. Salatiga dianggap
penting oleh VOC karena wilayahnya yang strategis yang berada di jalur
Semarang-Surakarta-Magelang. Semua yang dilakukan VOC tersebut bertujuan
untuk kepentingan VOC sendiri yakni sebagai pertahanan dan juga untuk
melindungi kepentingan politik dan ekonominya di Jawa.
Ketika sistem tanam paksa diperkenalkan pada tahun 1830, Salatiga
dijadikan sebagai salah satu pusat kegiatan penanaman kopi. Waktu itu Salatiga
bisa dikatakan sebagai lumbung kopinya VOC. Pada tahun 1900 di wilayah
Afdeeling Salatiga terdapat 32 perkebunan swasta dan 20 tahun kemudian
meningkat menjadi 81 perkebunan swasta. Yang meliputi kopi, karet, cokelat,
kapas, kina, rempah-rempah, tembakau, gandum, dan sayuran (Burger, 1962: 17).
Selain adanya kebijakan mengenai Cultuurstelsel adanya UU Agraria 1870
juga mengakibatkan meningkatnya perekonomian Jawa. Semenjak adanya UU
Agraria tersebut membuka Jawa bagi perusahaan-perusahaan swasta, pemilik
modal yang menanamkan modalnya di Jawa terutama dalam usaha membuka
perkebunan. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 menjadikan jalur pelayaran
sistem perhubungan untuk ekspor dan impor ke Eropa semakin membaik. Hal ini
pula yang mendorong semakin meningkatnya orang sipil Eropa berbondong-
bondong datang ke Jawa pada awal abad ke-20.
Pembangunan Fasilitas Dan Tata Kota Yang Berarsitektur Eropa
Belanda di Salatiga membangun berbagai fasilitas umum yang belum ada
dan belum pernah dikenal sebelumnya oleh penduduk pribumi. Meski
pembangunan kota Salatiga pada waktu itu lebih dimaksudkan untuk
���
�
meningkatkan kenyamanan orang-orang kulit putih, namun orang pribumi pun
ikut merasakan manfaatnya baik secara langsung maupun tidak.
Listrik juga sudah masuk ke Salatiga dan warganya sudah bisa menikmati
penerangan jalan meski masih terbatas di jalan protokol. Dan warga Salatiga juga
bisa menikmati ssegarnya air leideng yang diambil dari mata air Senjoyo. Fasilitas
air leideng ini bisa didapatkan orang pribumi hanya di kran-kran umum saja.
Dibangun juga sarana olahraga berupa lapangan tennis dan kolam renang yang
pada saat itu terkenal dengan sebutan Badplats Kalitaman. Dan orang pribumi
hanya memanfaatkan mata air di kanan kiri bangunan Badplats tersebut. Di
sebelah barat lapangan tennis, masih dalam kompleks Tamansari, terdapat gudang
mesiu. Untuk menunjang penampilan pusat kota maka Pemerintah Hindia
Belanda, gudang mesiu tersebut diubah menjadi Indische Kerk. Yang sampai saat
ini masih berdiri tegak dan dikenal dengan Gereja Protestan di Indonesia bagian
Barat (GPIB).
Belanda juga membangun fasilitas seperti hotel yang mewah pada masa
itu, yaitu Hotel Kalitaman dan Hotel Berg en dal. Pada saat hotel ini dibangun,
dunia arsitektur sedang dikuasai oleh gaya Indische Empire dengan pilar-pilar
besar seperti gaya Romawi atau Yunani. Dan Hotel Kalitaman merupakan hotel
berbintang pada jaman Belanda yang hanya diperuntukkan bagi orang kulit putih
saja. Hotel Kalitaman ini sudah beberapa kali mengalami pergantian nama dan
fungsi. Ketika masih berfungsi sebagai hotel, namanya pernah berganti menjadi
Grand Hotel Kalitaman dan berganti lagi menjadi Hotel Kaloka. Sesudah tidak
berfungsi lagi menjadi hotel, namanya diganti menjadi Sasana Widya Praja dan
���
�
menjadi Bang Jateng sekarang ini. Sedangkan Hotel Berg en Dal di
bumihanguskan oleh para pejuang Salatiga pada tahun 1947 untuk mencegah
tentara Belanda agar tidak menempati gedung-gedung penting di Salatiga. Ketika
Hotel ini dibangun, dunia arsitektur berada dalam masa transisi dari gaya Indische
Empire ke gaya Kolonial Modern. Gaya ini ditandai dengan adanya pilar-pilar
yang lebih ramping dibanding pilar bangunan Hotel Kalitaman. Dan ketika tentara
Jepang masuk ke Salatiga, banyak gedung-gedung yang diduduki dan dirampas
Jepang. Bangunan tersebut dijadikan sebagai tempat interniran atau tempat
tawanan perang sementara waktu.
Selain kedua Hotel tersebut masih ada hotel lagi di Salatiga, yaitu Hotel
Blommestein yang berada di Semarangscheweg. Hotel ini berarsitektur sama
dengan Hotel Berg en Dal dimana bergaya arsitektur transisi. Sebagai kotanya
orang-orang Belanda maka di Salatiga dibangun sekolah-sekolah dan perkantoran.
Sekolah yang didirikan antara lain Eerste Europeesche Lagere School yang
berlokasi di Toentangscheweg dan Tweede Europeesche Lagere School. Dan
khusus orang-orang Cina dibangunkan Hollandsche Chinese School (HCS).
Selain itu juga dibangun Normaalschool dan Kweeksschool dan lima buah
Sekolah Desa dengan satu gedung Vervolgshool (lanjutan Sekolah Desa) di
Sinoman Tempel. Fasilitas perkantoran yang dibangun antara lain Algemeene
Volksch Bank, Post Telefoon Telegram Kantoor, dan kantor Planologi (Eddy
Supangkat, 2012: 33).
���
�
C. Kedatangan Etnis Tionghoa Di Salatiga
Tidak dapat disangkal bahwa golongan etnis Tionghoa di Indonesia
merupakan suatu golongan yang berarti. Tercermin dalam reaksi dan respon dari
masyarakat di mana mereka bermukim. Tidak ada yang besikap acuh tak acuh
terhadap mereka, tetapi sikap itu bersifat ekstrim, membenci atau sebaliknya
menyenangi mereka. Sikap ekstrim ini tidak konstan pada orang atau kelompok-
kelompok tertentu. Hal ini tercermin dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan yang
tidak menentu dari suatu pemerintahan ke pemerintahan yang lain, sejak jaman
kolonial sampai sekarang. Boleh dikatakan semua orang Tionghoa di Indonesia
merupakan imigran kelahiran Tiongkok atau keturunan imigran menurut garis
laki-laki. Namun sebagai akibat dari perkawinan campuran dan asimilasi di
banyak bagian Indonesia. Kita tidak bisa memastikan yang mana tergolong orang
Tionghoa dan mana yang bukan orang Tionghoa, berdasarkan kriteria ras yang
paling sederhana pun. Migrasi yang mendorong adanya pemukiman orang
Tionghoa di Indonesia dimulai sejak adanya perdagangan oleh pedagang-
pedagang Tionghoa yang menggunakan perahu-perahu jungnya dari bagian
Tenggara daratan Tiongkok, sedangkan pertumbuhan penduduk Tionghoa di
Indonesia selanjutnya sangat erat hubungannya dengan perannanya dalam bidang
ekonomi. Bebas dari akibat-akibat birokrasi kerajaan Tiongkok yang membuat
mereka terkekang, orang Tionghoa perantauan ini membuktikan bahwa mereka
paling cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekan sistem nilai yang
mementingkan kerajinan, kehematan, pengandalan pada diri sendiri, semangat
berusaha dan keterampilan. Hal tersebut menyebabkan merteka berhasil dalam
��
�
bidang ekonomi di suatu negara yang kaya alamnya dan penduduk aslinya sama
sekali berlainan orientasinya.
Kedatangan etnis Tionghoa telah berlayar dari Tiongkok Selatan ke Pulau
Jawa jauh sebelum orang Eropa berlayar ke Timur, sebelum kedatangan orang
Portugis di Kepulauan Nusantara pada tahun 1511. Awal abad ke-14 telah ada
pemukiman orang Tionghoa di Pulau Jawa yang membentuk koloni kecil di
pinggir pantai (Peter Carey, 1986:8).
Mereka datang ke Pulau Jawa sebagai pedagang yang membawa porselen
dan sutera untuk ditukar dengan beras dan hasil pertanian yang lain. Mereka
datang ke Pulau Jawa dengan perahu kecil yang tergantung oleh angin musim,
mereka harus menunggu angin utara agar dapat pulang ke kampung halaman.
Selama waktu menunggu di Pulau Jawa inilah mereka sering terpikat oleh
perempuan setempat dan membangun keluarga. Dan terbentuklah pemukiman
orang Tionghoa dan disebut pecinan yang berdampingan dengan rumah atau
keraton penguasa Pribumi. Pada abad ke-14 para Pribumi masih beragama Hindu
dan beribadah di candi. Sementara itu para pendatang dari Tiongkok menganut
Konfusius, Budha, dan Tao dengan kelentengnya. Dua etnis ini hidup
berdampingan dengan damai (Pratiwo,2010:11).
Di abad ke-15 agama Islam mulai tersebar di Pulau Jawa dan kebudayaan
Hindu mulai mengalami kemunduran. Bersamaan dengan itu muncul pedagang
pribumi yang hidup di daerah yang disebut dengan kauman dan terletak dengan
pecinan. Di timur laut Jawa Tengah, Raden Patah mendirikan kesultanannya dan
diikuti dengan semakin banyaknya pengikut agama Islam. Tetapi orang Tionghoa
��
�
tetap bertahan pada kebudayaannya dan memeluk agama yang berbeda. Dari
catatan seorang musafir Cina, Fa-Hien, diperoleh keterangan bahwa pada tahun
414, terdapat kerajaan bernama To-lo-mo (Taruma) atau Kerajaan Tarumanegara
yang merupakan kerajaan tertua di Jawa. Fa-Hien yang sedang melakukan
perjalanan menuju India dan singgah di Ye-po-ti (Jawa). Tidak semua orang Cina
ikut melanjutkan berdagangan ke India. Sebagian orang Cina melakukan kontak
hubungan dengan orang Jawa yang pada akhirnya menetap di Jawa dan
melakukan perkawinan dengan orang Jawa, sehingga terjadi akulturasi budaya
dengan masyarakat setempat. Seperti halnya Sunan Bonang dan Sunan Ampel
beliau adalah keturunan Cina. Sepanjang abad-abad berikutnya, kelompok-
kelompok masyarakat Cina terus memainkan peranan yang sangat penting di
dalam kehidupan ekonomi dan sosial Jawa yang terletak di daerah pedalaman
(Peter Carey,1986:16).
Orang Tionghoa di Jawa sebagian besar tinggal di kota-kota, suatu
pencerminan tidak hanya dari asal-usul pemukiman pedagang dan kesukaan
mereka untuk mencari nafkah di kota, tetapi juga pencerminan dari kebijaksanaan
yang tidak menentu dari pemerintah. Selama sebagian besar abad ke-19, oleh
penguasa Belanda, orang-orang Tionghoa diharuskan tinggal di bagian kota yang
sudah ditentukan dan hanya boleh keluar dari daerah itu jika mendapat ijin dari
pemerintah Belanda.
Dari abad ke-17 sampai abad ke-20, yaitu pada waktu orang-orang
Belanda maju pesat dengan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda yang semakin
sistematis itu, orang-orang Tionghoa makin banyak memperoleh peranan yang
���
�
orang Belanda sendiri tidak mampu melaksanakan. Mereka diperkenankan untuk
mengikuti selera mereka terhadap pekerjaan sebagai usahawan dan membina
jaringan perdagangan dan finansial yang menyeluruh yang membentang dari
pelabuhan-pelabuhan besar sampai ke pasar-pasar desa. Orang Belanda mengusai
bidang perkapalan dan usaha ekspor impor yang menghidupi dan dihidupi oleh
jaringan ini, dan memungut pajak dan bea pada beberapa tempat di dalam sistem
tersebut. Kecuali orang-orang Tionghoa mendapat dorongan untuk menduduki
posisi perdagangan diantara orang Belanda dan penduduk asli. Orang-orang
Tionghoa juga dipekerjakan sejak tahun 1860 sampai 1930 sebagai buruh di
perkebunan dan pertambangan yang menghasilkan komoditi untuk pasaran Eropa.
Pada tahap perkembangan kolonial, orang Tionghoa perantauan makin banyak
dipekerjakan sebagai mandor atau pegawai kantor di dalam perusahaan orang
Eropa (Mely G. Tan, 1979:2).
Orang-orang Cina masuk ke Salatiga sekitar abad ke-18, ini dibuktikan
dengan adanya klenteng Amurvabhumi atau biasa disebut Klenteng Hok Tiek Bio
yang berada di Jalan Letjen Sukowati merupakan saksi sejarah masuknya ajaran
agama Budha di Kota Salatiga. Dalam perjalanannya, Klenteng Hok Tiek Bio ini
pun menjadi simbol dari keberadaan penganut Tri Dharma, yaitu kombinasi antara
agama Budha, Khong Hu Cu dan Taoisme. Berdirinya klenteng ini sekaligus
menandakan masuknya pengaruh Tionghoa ke Kota Hati Beriman ini. Tak
diketahui secara persis kapan pengaruh kaum warga keturunan ini masuk ke
Salatiga yang dulunya merupakan tanah perdikan ini. Namun dari hasil
identifikasi sejumlah ahli sejarah, masuknya pengaruh Tionghoa ke Kota Salatiga
���
�
diprediksi terjadi seiring dengan pergerakan Tionghoa ke Surakarta (Solo) pada
tahun 1740-1741 (http://kaledhasby.multiply.com/journal).
Orang Cina di Salatiga pada saat itu dianggap setara dengan orang Eropa,
karena orang Cina sangat berperan penting dalam kegiatan ekonomi orang Eropa.
Dan sejak kedatangan orang-orang Belanda dan berkuasanya mereka, orang-orang
Cina digunakan sebagai perantara dalam hubungan dagang mereka dengan
penduduk pribumi yang merupakan produsen hasil bumi, serta sebagai tukang-
tukang untuk pembuatan dan pemeliharaan rumah-rumah dan kota-kota yang
didirikan. Maka orang-orang Cina mendapat kawasan pemukiman di ruas
Soloshceweg, Kawasan ini terkenal dengan sebutan Chinese Wijk. Seperti halnya
dengan orang-orang Eropa, orang-orang Cina membangun rumah mereka dengan
gedung-gedung permanen. Hanya saja rumah mereka tidak terlalu besar dan
halamannya tidak terlalu luas seperti milik orang Eropa. Mereka memang tidak
memerlukan bangunan yang luas seperti bangunan milik ortang Eropa.
Kebanyakan rumah tinggal mereka sekaligus menjadi tempat usaha. Rumah-
rumah di kawasan ini berarsitektur Cina dengan bangunan berderet memanjang
seperti rumah kopel.
Kawasan Chinese Wijk merupakan kawasan perdagangan maka rumah-
rumah yang berarsitektur Cina yang dibangun menyesuaikan fungsinya, bagian
depan untuk berjualan dan yang belakang sebagai rumah tinggal. Dan di kawasan
ini dari dulu sampai sekarang selalu menjadi pusat perekonomian dan kawasan ini
selalu menjadi kawasan paling sibuk. Mata uang yang digunakan pada saat itu,
���
�
baik untuk jual beli maupun untuk membayar jasa transportasi dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
Tabel Mata Uang yang digunakan di Salatiga
pada masa Raja Wihelmmina
No Nama Nilai Senilai Mata Uang Mata Uang dengan
1 Bil 1 Bil 1/2 Sen 2 Benggol 1 Benggol 2 Sen 1/2 3 Kelip 1 Kelip 5 Sen 4 Kethip 1 Kethip 25 Sen 5 Setali 1 Setali 50 Sen 6 Suku 1 Suku 50 Sen 7 Gulden 1 Gulden 5 Sen
Sumber: (Mia Nuraini,2012: 35)
Pusat-pusat kegiatan ekonomi di Salatiga tidak hanya di pasar-pasar saja
terdapat pula warung-warung milik pribumi yang menjual makanan gudeg dan
tumpang, serta ikan asin dan toko-toko yang dimiliki oleh orang Cina dan Arab.
Orang-orang asing Asia yaitu orang Cina dan Arab mendominasi perdagangan
pada masa itu. Sehingga orang-orang Cina banyak yang mendominasi
perekonomian di Salatiga. Hal ini dapat kita lihat pula sampai saat ini di
sepanjang jalan Jenderal Sudirman terdapat banyak sekali toko-toko yang dimiliki
oleh orang Cina dan beberapa orang Arab.
Menurut Yapin dalam Mia Nuraini (2012: 35), Pasar di Salatiga yang ramai
dahulunya ada 2 yaitu yang saat ini menjadi Pasar Raya I yang dulunya adalah
Pasar kalicacing yang yang telah direnovasi pada tahun 1928 dan Pasar Rejosari
atau sering disebut dengan Pasar Sapi. Pedagang yang datang dari berbagai
���
�
wilayah di sekitar Salatiga mereka berkumpul dan menjual hewan ternak mereka
di pasar tersebut.
Peningkatan kegiatan ekonomi di Salatiga yang juga di pengaruhi oleh
kegiatan ekspor impor pemerintah Belanda di Salatiga membuat 2 pasar lagi
untuk menampung para pedagang dari luar Salatiga dan memisahkan jenis
dagangannya. Dua pasar yang didirikan oleh Belanda ialah :
1. Pasar hewan (Veerpaser) dikhususkan untuk menampung
perdagangan ternak yang dilengkapi dengan tempat pemotongan
hewan.
2. Pasar Rejosari untuk menampung berbagai hasil bumi dan sayuran
terutama dari Magelang, Getasan dan Ambarawa (Emy Wuryani,
2006 : 40).
Banyaknya orang Cina yang tinggal menetap di Salatiga dan menguasai
perekonomian di Salatiga, mengalami persaingan dengan orang Eropa. Orang
Cina memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang Eropa, seperti hubungan yang
intensif antara pedagang Cina dengan konsumen-konsumen pribumi, membuat
mereka lebih mengenal kebutuhan dan selera golongan orang pribumi. Mereka
bertahan menetap sampai sekarang dan masih meninggalkan sisa bangunan yang
berarsitektur Cina.
D. Kedatangan Djoen Eng Di Salatiga
Perkembangan perdagangan di Jawa menarik para saudagar Cina untuk
datang ke Jawa dan melakukan beberapa kegiatan ekonomi. Kwik bersaudara,
Kwik Hong Biauw, Kwik Ing Djie, Kwik Djoen Eng, Kwik Ing Sien dan Kwik Ing
���
�
Hi, datang ke Jawa sebagai importir teh dari tanah kelahirannya Taiwan. Kwik
bersaudara memilih tempat untuk menetap adalah tidak pada satu tempat, mereka
memilih tempat awal adalah terpisah di Yogyakarta, Solo dan Surabaya, yang
dalam perkembangannya juga di Salatiga dan Semarang. Usaha yang dijalankan
adalah export-import dengan barang yang lebih variatif tidak hanya teh namun
juga telah berkembang ke hasil bumi Jawa, yang salah satunya adalah gula.
Meskipun demikian Kwik bersaudara tetap mempertahankan bisnis tehnya,
namun sebagian bahan bakunya telah banyak mengambil dari tanah Jawa. Kwik
bersaudara memberi merek teh nya adalah “Teh Tjap Semar”, dan mestinya
bukan tanpa alasan mereka memberi nama dari icon budaya local, dan sangat
melekat dengan orang-orang Jawa (blogspot.com/2010/11/tko-01-teko-thee-tjap-
semar-nv-nv-kwik.html).
Kwik Djoen Eng adalah seorang businessman yang unggul. Perusahaan
yang didirikannya pada tahun 1877 di Semarang, yaitu N.V Kwik Hoo Tong
Handel Maatshappij, bergerak dibidang eksport dan import hasil bumi. Sekitar
tahun 1920 telah berkembang menjadi salah satu firma Hindia Belanda yang
terbesar, dengan cabang di seluruh Indonesia dan luar negeri (Cina, Taiwan,
Eropa dan Amerika). Kwik Djoen Eng bisa dikatakan orang terkaya kedua setelah
Oe Tiong Ham, saudagar gula dari Semarang yang lebih dikenal secara pribadi,
sepak terjang dan bahkan imperium bisnisnya sampai sekarang masih exist (Teguh
Santosa, 05 Agustus 2012).
Etnis Tionghoa dianggap setara dengan orang Eropa yang tinggal di
Salatiga dan pada saat itu Salatiga mendapat julukan kota terindah di Jawa Tengah
���
�
oleh orang kulit putih, Djoen Eng membangun tempat tinggal di kawasan
Europeesche Wijk. Kompleks ini dibangun pada tahun 1921 dan baru selesai
empat tahun kemudian dan diresmikan dengan pesta yang sangat meriah. Menurut
cerita, biaya total pembangunan gedung itu sekitar 3 juta gulden Belanda, suatu
jumlah yang sangat fantastis. Lamanya waktu pembangunan ini karena besarnya
ukuran rumah dan Djoen Eng selaku pemilik sering melakukan perubahan dan
penambahan dari desain awalnya, dimaksudkan agar bangunan tersebut benar-
benar sempurna. Ketika Istana itu dibangun, hanya bangunan Istana Djoen Eng
satu-satunya bangunan yang berarsitektur Cina yang berada di kawasan
Europeesche Wijk.
Riwayat bangunan Istana antara 1925- 1940 kurang ada informasi yang
pasti. Yang diketahui bahwa akibat krisis ekonomi yang melanda dunia pada
tahun tiga puluhan, perusahaan Kwik Djoen Eng jatuh bangkrut, sehingga untuk
melunasi hutangnya, seluruh kompleks di Salatiga yang berharga itu disita oleh
Javaache Bank. Sejak itu gedung itu kosong, tanpa penghuni. Nasib Kwik Djoeng
Eng ada yang mengatakan bahwa beliau meninggal dalam perjalanan pulang ke
tanah leluhur di Taiwan.
E. Gedung/ Bangunan Istana Djoen Eng
Tahun 1921 Kwik Djoen Eng mulai membangun Istananya untuk
keluarganya di Salatiga. Kompleks ini dahulu Istana pribadi seorang Tionghoa
kaya yang bernama Kwik Djoeng Eng. Hal itu masih dapat dilihat dari
bangunannya sendiri. Ciri khas dan suasana Tionghoa masih ada beberapa yang
tetap dilestarikan sampai sekarang. Khususnya ruang makan dan ruang rekreasi:
���
�
lantai ubin yang bermacam- macam motif, batu marmer, lukisan-lukisan kaca
yang masih menghias sebagian besar kedua ruangan itu. Semuanya itu merupakan
warisan dari zaman dahulu. Tiang pergola di taman dan semacam gardu yang
sungguh bercorak Tionghoa dengan warna merah menyala dan kuning
(wawancara dengan Lany 15 Februari 2012).
Kompleks Istana Djoen Eng terdiri dari bangunan gedung, kebun tanaman
hias, kolam, kebun binatang mini, lapangan tennis, kebun kopi dan tanah di luar
pagar meliputi kurang lebih 12ha (6 ha di dalam, 6 ha di luar pagar) atau 1% dari
total wilayah Gemeente Salatiga pada waktu itu. Bangunan induk gedung
dilengkapi dengan 5 kubah yang menyerupai pagoda. Kubah yang besar dan
berada di tengah-tengah melambangkan Djoen Eng selaku sang pemilik istana,
sedangkan 4 kubah lain yang mengelilinginya melambangkan keempat putra
kesayangannya. Ornamen kubah yang dibangun Djoen Eng juga melambangkan
sebagai rahim, karena sosok Djoen Eng sangat menghargai sosok seorang Ibu.
Gedung ini sangat artistik dengan interior yang cantik, dinding- dinding
bangunan megah tersebut dilapisi marmer, lantainya berwarna-warni dengan
motif yang beraneka ragam pula, dan lukisan-lukisan kaca yang terhampar di
sana-sini. Semuanya menjanjikan pesona tersendiri bagi orang yang melihatnya.
Belum lagi dengan taman di sekililing bangunan yang ditata sedemikian bagus
berikut tempat rekreasi dengan corak khas Cina (Eddy Supangkat,2010:146).
F. Perkembangan Fungsi Bangunan Istana Djoen Eng
Dalam bulan April 1940 pimpinan Fratres Immaculatae Conceptionis
(FIC) di Indonesia sangat didesak Uskup Semarang untuk membeli gedung Djoen
���
�
Eng yang ditawarkan oleh Javache Bank dengan harga yang rendah. Waktu itu
gedung itu sudah beberapa tahun kosong dan tidak terawat. Waktu membeli,
pimpinan FIC belum ada gambaran jelas kompleks yang amat luas itu akan
dipakai untuk tujuan apa: panti asuhan anak-anak piatu, sekolah dan asrama,
sekaligus tempat istirahat bagi para bruder.
Dalam bulan Mei tahun 1940 itu juga, sebelum FIC sempat menempati
Istana Djoen Eng itu, seluruh kompleks dipinjam oleh Gubernemen Hindia
Belanda untuk dijadikan kamp tawanan. Kemudian, dengan kedatangan tentara
Jepang tahun 1942, menjadi kamp interniran bangsa Belanda, kira-kira 170 orang
banyaknya, diantaranya beberapa pastor dan bruder. Tahun 1945, waktu revolusi,
gedungnya untuk beberapa bulan menjadi markas polisi dan tentara Indonesia.
Kemudian, dari tahun 1946 sampai 1949 dijadikan tangsi tentara Belanda.
Baru dalam tahun 1949 bulan Mei bruder- bruder FIC mulai menetap di
dalam gedung. Bagian belakang gedung dipakai untuk Sekolah Menengah
Pertama (SMP) sampai tahun 1974. Gedung utama untuk Bruderan dan asrama
untuk anak-anak SMP, sampai tahun 1966. Waktu itu kompleks gedung yang luas
dalam keadaan menyedihkan, lagi pula dalam bentuk aslinya kurang cocok untuk
sekolah atau asrama. Di sana-sini yang seperlunya diperbaiki atau dirubah, namun
renovasi besar-besaran selalu ditunda- tunda karena lama sekali ada keraguan
dalam kalangan FIC tentang tujuan definitif rumah istimewa itu.
Baru ketika Institut Roncalli lahir pada tahun 1968 dan ternyata mendapat
tanggapan positif dari kalangan para religius, maka pimpinan FIC menyediakan
kompleks Djoen Eng untuk karya baru itu. Pada tahun 1969-1970 gedung utama
��
�
direnovasi secara menyeluruh agar lebih sesuai dengan tuntutan karya Institut
Roncalli. Seluruh atap dengan menara- menara dan kubahnya dibongkar, lantai
dua dirubah radikal menjadi kamar untuk peserta kursus. Sangat disayangkan
pemotongan kubah tersebut karena unsur arsitektur Cina tidak kelihatan lagi.
Pemotongan kubah bisa dikatakan karena pada waktu itu terdapat anti Cina,
sehingga memotong kubah dan menghilangkan kesan Cinanya (Eddy Supangkat
20 Juli 2012). Hasilnya kompleks itu menjadi perumahan yang lebih praktis, lebih
sesuai, tidak begitu mewah lahirnya, namun dapat dikatakan bahwa bentuk dasar
bangunan masih asli seperti dulu. Sejak itu kompleks Djoen Eng mulai dikenal
sebagai Institut Roncalli.
Dari tanah yang semula 12 ha luasnya, kini hanya tinggal 3,5 ha. Pada
tahun 1975 sebuah gedung sekolah baru SMP Pangudi Luhur dibangun di kebun
bagian selatan. Pada tahun 1976 seluruh tanah di luar pagar yang 6 ha luasnya,
diambil alih oleh pemerintah. Tahun 1992 sebagian dari kebun kopi dibeli
kongregasi Missionariorum a Sacra Familia (MSF) untuk mendirikan gedung
postulat, novisiat mereka dan gedung Grave, tahun 1995 dibangun gedung baru
Bruderan FIC (wawancara dengan Lany tanggal 15 Juli 2012).
Apa yang sekarang kita kenal dengan nama Institut Roncalli mulai
menghadirkan dirinya pada tanggal 12 Mei 1968. Pada saat itu atas inisiatif
Bruder- bruder FIC untuk pertama kalinya di Indonesia sejumlah biarawan dan
biarawati berbagai macam tarekat dikumpulkan selama lima minggu disuatu
gedung kuno milik FIC di Salatiga. Tujuannya untuk bersama-sama menggali
akar-akar kehidupan religius sesuai dengan semangat Konsili Vatikan II (1962-
��
�
1965), yang mendorong adanya usaha serius membina hidup religius di jaman
sekarang. Baru beberapa bulan kemudian dipilih suatu nama yang sampai
sekarang disandang oleh Istitut Roncalli itu.
Menurut Lany, seorang pengurus Institut Roncalli, nama Roncalli diambil
dari nama keluarga almarhum Paus Yohanes XXIII (1958- 1965), yang nama
aslinya Angelo Guiseppe Roncalli. Paus tersebut seorang tokoh besar gerakan
Konsili Vatikan II yang antara lain mengajak untuk mengadakan pembahuruan
dalam kehidupan religius. Nama Roncalli dirasakan nama tepat untuk institut baru
itu yang tujuan utama adalah melayani kebutuhan spiritual para rohaniawan-
rohaniawan dari seluruh tanah air.
Gagasan dasar istitut Roncalli serupa biji kecil ditanam oleh Br. Joachim
v.d Linden dan Br. Carlo Hillenaar FIC pada tahun 1968. Berkat dukungan dan
bantuan dari banyak pihak, dalam perkembangan selanjutnya kentara bahwa
inspirasi dasar tersebut membawa banyak manfaat bagi Gereja Indonesia. Institut
Roncalli memberikan kesempatan kepada para religius Indonesia untuk menerima
pembinaan lanjutan (‘ongoing formation) dalam jangka waktu yang cukup
panjang dan dalam suasana hening dan refleksif. Kursus- kursus yang diadakan
antara lain: Kursus Persiapan Profesi Kekal, Kursus Medior, Kursus Kaderisasi,
Kursus Pembina Rohani dan lain-lain dan pelbagai macam Workshop. Yang
semuanya pada intinya bertujuan membantu para religius untuk menimba atau
mencari kesegaran hidup rohaninya.
Istana Djoen Eng yang masih tegak berdiri saat ini memang bukan Istana
Djoen Eng yang dulu. Sudah banyak perubahan pada gedung ini, namun demikian
���
�
oleh pemiliknya sekarang beberapa bagian tertentu masih tetap dibiarkan seperti
aslinya. Ruang makan, ruang rekreasi, interior gedung, tiang pergola di taman,
serta gardu bercorak Tionghoa dengan warna merahnya yang menyala, semua
masih seperti wujud aslinya. Kondisinya masih terawat baik seperti ketika
pertama kali dibangun, sembilan puluhan tahun yang lalu.
top related