adat serbo dalam walimat al-‘urs menurut hukum islam di … · 2020. 5. 12. · jurnal hukum...
TRANSCRIPT
Jurnal Hukum Keluarga Islam
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019; ISSN: 2541-1489 (cetak); 2541-1497 (online); 94-123
Adat Serbo Dalam Walimat al-‘Urs Menurut Hukum Islam Di Kabupaten Bungo Jambi
1 Mahmud Huda, 2 Muhammad Ansori Y. 1 [email protected] 2 [email protected]
Universitas Pesantren Tinggi Darul „Ulum Jombang-Indonesia
Abstrak: Adat serbo adalah musyawarah ninek mamak suku kampung bersama keluarga yang akan menikah untuk menentukan pesta walimah yang akan dilaksanakan oleh calon pengantin dan disetujui oleh ketua adat. Secara tekstual tidak ada ketentuan dalam hukum Islam yang mewajibkan adanya penentuan pesta walimah, adapun yang menjadi keharusan adalah adanya penyelenggaraan pesta walimah di setiap perkawinan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis praktik adat serbo dan Hukum Islam adat serbo dalam Wali>mat
al-‘Urs di Desa Babeko Kabupaten Bungo. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Data yang telah dihimpun dianalisis menggunakan metode deskriptif-normatif dengan pola pikir induktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa praktik adat serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
di Desa Babeko Kabupaten Bungo terbagi menjadi tiga: Pertama, adat serbo duo limo. Kedua, adat serbo limo puluh. Ketiga, adat serbo setus. Sedangkan Hukum adat serbo dalam Wali>mat al-‘Urs boleh dilakukan karena sudah melalui musyawarah, tidak ada paksaan dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Kata Kunci: Wali>mat al-‘Urs, adat serbo, Babeko, „urf.
Pendahuluan Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan yang bukan mahram.1 Perkawinan adalah
sunnatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh
manusia, hewan, bahkan oleh tumbuh-tumbuhan.2 Manusia tidak
1 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1 (Bandung: CV Pustaka Setia,
2013), 9. 2 H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2011), 1.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 95
seperti binatang yang melakukan perkawinan dengan bebas dan
sekehendak hawa nafsunya. Bagi binatang, perkawinan hanya
semata-mata kebutuhan birahi dan nafsu syahwatnya, sedangkan
bagi manusia, perkawinan diatur oleh berbagai etika dan peraturan
lainnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab dan berakhlak. Oleh karena itu, perkawinan manusia harus
mengikuti peraturan yang berlaku.
Nikah adalah asas hidup yang paling utama dalam pergaulan
atau embrio bangunan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu
bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur
kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat
dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu
kaum dan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan
interelasi antara satu kaum dengan yang lain.
Tanpa perkawinan, manusia tidak dapat melanjutkan sejarah
hidupnya, karena keturunan dan perkembangbiakan manusia
disebabkan oleh adanya perkawinan. Jika perkawinan manusia tanpa
didasarkan pada hukum Allah, sejarah dan peradaban manusia akan
hancur oleh bentuk-bentuk perzinahan. Dengan demikian, manusia
tidak berbeda dengan binatang yang tidak berakal dan hanya
mementingkan hawa nafsunya.3
Dalam suatu perkawinan diperlukan adanya wali>mat al-‘urs
(resepsi pernikahan) yang merupakan suatu perayaan yang
menyertai adanya akad nikah antara laki-laki dan perempuan.
wali>mat al-‘urs berarti melaksanakan suatu jamuan makan sebagai
pencetus tanda gembira atau lainnya, tetapi biasanya jika menyebut
walimah maksudnya adalah wali>mat al-‘urs yang artinya resepsi
pernikahan. Walimah dalam pernikahan selain sebagai pengumuman
bahwa pasangan mempelai telah sah dan resmi sebagai suami istri,
juga sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT dengan dibinanya
rumah tangga yang baru oleh pasangan pengantin.
3 Beni, Fiqh Munakahat 1, 16-17.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
96 Jurnal Hukum Keluarga Islam
Di Provinsi Jambi tepatnya di Desa Babeko Kecamatan Bathin II
Babeko Kabupaten Bungo Provinsi Jambi, tempat di mana peneliti
melakukan penelitian, dalam pelaksnaan walimahnya, terdapat suatu
tradisi yang dinamakan dengan adat serbo. Adat ini merupakan
tradisi yang sudah diwariskan oleh nenek moyang terdahulu dan
masih dijalankan hingga saat sekarang, adat serbo juga merupakan
keharusan bagi setiap pasangan yang ingin menikah untuk
menentukan walimah yang akan mereka laksanakan, dan setiap
walimah yang akan mereka laksanakan terdapat tuntutan-tuntutan
yang harus dipenuhi dalam prosesi walimah.
Tata cara walimah dalam Islam tidak diatur secara pasti dan
rinci, hanya saja ada keharusan untuk melaksanakannya. Keharusan
untuk menentukan walimah yang akan dilaksanakan oleh calon
pengantin tidak ada pada zaman Nabi maupun Sahabat, sehingga
menimbulkan pertanyaan apakah budaya ini sesuai dengan ajaran
Islam dan tidak menyimpang dari sunah Nabi atau tidak. Maka
untuk mengetahui apakah adat serbo dalam wali>mat al-‘urs di Desa
Babeko Kabupaten Bungo sesuai dengan Hukum Islam atau tidak
perlu adanya suatu istinbath Hukum yang sesuai. „urf merupakan
salah satu metode istinbath yang dirasa sesuai untuk menjawab
permasalahan tersebut. „urf menurut Ulama‟ Ushul Fiqih adalah
kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
Muhammad al-Zarqa‟ mengatakan bahwa „urf merupakan bagian
dari adat, karena adat lebih umum dari „urf.4
Penelitian ini membahas tentang praktik adat serbo dalam
wali>mat al-‘urs yang ada di Desa Babeko Kabupaten Bungo dan
Hukum adat serbo dalam wali>mat al-‘urs di Desa Babeko Kabupaten
Bungo menurut Hukum Islam dalam hal ini ditinjau dari aspek „urf.
Sebagai acuan dan perbandingan, peneliti menemukan beberapa
penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Pertama yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Rizka Mubarokati, Mahasiswi UIN
4 Nasrun Harun, Ushul Fiqh (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 138.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 97
Sunan Kalijaga Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, tahun
2013, dengan judul “Sumbangan Pada Wali>mat al-‘Urs di Padukuhan
Nepi Desa Kranggan Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo (
Studi Komparasi Antara Hukum Adat dan Hukum Islam”.5 Dalam
penelitiannya difokuskan pada bagaimana pandangan hukum Islam
dan Hukum adat tentang praktik pemberian sumbangan dalam acara
Wali>mat al-‘Urs dan bagaimana tanggapan masyarakat tentang
sumbangan Wali>mat al-‘Urs.
Kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Fawari, Mahasiswa
UIN Sunan Kalijaga Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah tahun 2010
dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sumbangan dalam
Hajatan Pada Pelaksanaan Walimah dalam Perkawinan di Desa Rima
Balai Kec. Banyuasin III Kab. Banyuasin Sumatera Selatan”.6 Dalam
penelitiannya dijelaskan bahwa masyarakat Rima Balai pada praktik
pelaksanaan sumbangan dalam acara hajatan memakai sistem lelang
yaitu melalui penawar dengan tawaran tinggi adalah pemenangnya
dan perbuatan ini merupakan manufestasi tradisi tolong menolong
dalam masyarakat.
Ketiga yaitu penelitian yang dilakukan oleh Diah Angga Raza
pada Tahun 2014 dengan judul “Makna Tradisi Buwuh Dalam Acara
Pernikahan di Desa Turirejo Kecamatan Kedamen Kabupaten
Gresik”.7 Penelitian tersebut memfokuskan pada makna sosial dari
pada buwuh atau biasa disebut dengan tradisi nyumbang namun
penelitian yang dilakukan oleh Angga Raza di atas ditinjau dari
5 Rizka Mubarokati, Sumbangan Pada Wali>mat al-‘Urs di Padukuhan Nepi
Desa Kranggan Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo (Studi Komparasi
Antara Hukum Adat dan Hukum Islam) (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2013). 6 Fawari, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sumbangan dalam Hajatan
Pada Pelaksanaan Walimah Dalam Perkawinan di Desa Rima Balai Kec.
Banyuasin III Kab. Banyuasin Sumatera Selatan (Skripsi: UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2010). 7 Diah Angga Raza, Makna Tradisi Buwuh Dalam Acara Pernikahan Di
Desa Turirejo Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik (Skripsi: UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2014).
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
98 Jurnal Hukum Keluarga Islam
aspek sosiologis masyarakat di Desa Turirejo Kecamatan Kedamen
Kabupaten Gresik.
Pada kajian terdahulu diatas berbeda wilayah dan kajian dengan
penulis akan tetapi ada kesamaan variabel yaitu sama-sama
membahas tentang adat dalam prosesi wali>mat al-‘urs, namun pada
kajian ini lebih sepesifik mengarah kepada adat serbo dalam Wali>mat
al-‘Urs menurut Hukum Islam yang ada di Desa Babeko Kabupaten
Bungo.
Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian yang
menggunakan pendekatan kualitatif dimana hasil penelitiannya
tanpa menggunakan angka dan rumus statistik. Dan penelitian ini
termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research). Sumber
primer penelitian ini adalah ninek mamak (pemuka adat dalam hal ini
adalah ketua lembaga adat melayu dan kepala kampung), yaitu
bapak Abdurrahman sebagai ketua lembaga adat melayu dan bapak
Armanuzi sebagai kepala kampung, selain itu sumber primer dalam
penelitian ini adalah perangkat desa, yaitu bapak Yuniman. A
sebagai Kaur Umum dan bapak Heri Kiswanto sebagai Kasi
Pemerintahan. Sedangkan sumber sekunder adalah buku, artikel dan
berita yang berkaitan dengan adat serbo yang ada di Desa Babeko.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan observasi
yaitu sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik
fenomena-fenomena yang diselidiki.8 Wawanara adalah proses
dalam bentuk tanya jawab yang dengan cara bertatap muka yang
dilakukan oleh pewawancara dengan narasumber guna memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian. Dokumentasi merupakan sebuah
arsip yang berisi hal-hal yang telah lalu berupa catatan peristiwa
yang terjadi. dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-
8 Sutrisno Hadi, Metodologi Reserch, Jilid II (Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fak. Psikologi Univ. Gajah Mada, 1991), 136.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 99
karya monumental dari seseorang. Metode ini digunakan untuk
mengetahui fenomena adat serbo dalam wali>mat al-‘urs di Desa
Babeko Kabupaten Bungo.
Dalam penelitian ini penulis menganalisis data dengan
menggunakan metode analisis Deskriptif-Normatif yaitu sesuatu
analisis yang bertujuan untuk memberi deskriptif mengenai keadaan
atau fenomena secara mendalam dari semua aspek. Metode analisis
ini bertujuan mengetahui deskripsi perihal adat serbo dalam wali>mat
al-‘urs di Desa Babeko Kabupaten Bungo yang selanjutnya dianalisis
menggunakan istinbath „urf. Kemudian data tersebut diuji dengan
ketentuan yang ada sesuai dengan rumusan-rumusan „urf tersebut.
Hasil penelitian dan pengujian tersebut disimpulkan menggunakan
metode deskriptif dengan pola pikir deduktif, yaitu analisis dengan
menggambarkan secara sistematis terlebih dahulu mengenai adat
serbo dalam wali>mat al-‘urs yang ada di Desa Babeko Kabupaten
Bungo, untuk selanjutnya dianalisis menggunakan teori „urf.
Perkawinan Dalam Islam
Secara etimologis kata nikah (kawin) mempunyai beberapa arti,
yaitu berkumpul, bersatu, bersetubuh, dan akad.9 Secara
terminologis, menurut Imam Syafi‟i, nikah (kawin) yaitu akad yang
dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan
wanita.
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah
dan juga disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam
al-Quran untuk melaksanakan perkawinan. Di antaranya firman
Allah dalam surah al-Nisa ayat 3 sebagai berikut:
9 Imam Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayah Al-
Akhyar, Juz 2 (Surabaya: Syirkah Bungkul Indah, T.Th), 36.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
100 Jurnal Hukum Keluarga Islam
لخفخهوإنوذلثورنىنصاءامويمكهظابوافاكحاالخامىفتلصعاأ
لخفخهفإن ورباعاحدة تعدلاأ وف
يىاكهمنكجواأ
دنىلمذى أ
لأ
أ
10تعلا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih baik dekat kepada tidak berbuat aniaya.”11 Menurut jumhur ulama, rukun perkawinan ada lima,12 yaitu:
Pertama, calon mempelai laki-laki. Kedua, calon mempelai
perempuan. Ketiga wali dari mempelai perempuan yang akan
mengakadkan perkawinan. Keempat, dua orang saksi. Kelima, ijab
yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
Adapun syarat mempelai laki-laki yaitu:13 Pertama, bukan
mahram dari calon istri. Kedua, tidak terpaksa/atas kemauan sendiri.
Ketiga, orang nya tertentu/jelas orangnya. Keempat, tidak sedang
menjalankan ihram haji. Syarat mempelai perempuan adalah:
Pertama, tidak ada halangan hukum (tidak bersuami/bukan
mahram/tidak sedang dalam iddah. Kedua, merdeka atau kemauan
sendiri. Syarat wali adalah: Pertama, laki-laki. Kedua, baligh ketiga,
berakal. Keempat, tidak dipaksa. Kelima, adil. Keenam, tidak sedang
ihram haji. Syarat saksi yaitu sebagai berikut:14 Pertama, laki-laki.
10 Al-Qur’an, 77 (Al-Nisa): 3. 11 Al-Qur’an dan Terjemahannya, diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia (Jakarta: PT.Sygma
Examedia Arkanleema, 2010), 77. 12 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), 62. 13 Abd Somad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Cet 1 (Jakarta: Kencana, 2010), 277. 14 Ibid., 278.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 101
Kedua, baligh. Ketiga, berakal. Keempat, dapat mendengar dan
melihat. Kelima, tidak dipaksa. Keenam, tidak sedang dalam
melaksanakan ihram. Ketujuh, memahami apa yang digunakan
untuk ijab dan qabul. Adapun syarat ijab qabul, yaitu:15 Pertama,
adanya pernyataan mengawinkan dari wali. Kedua, adanya
pernyataan penerimaan dari calon mempelai laki-laki. Ketiga,
memakai kata-kata nikah, tazwi>j atau terjemahan dari kedua kata
tersebut. Keempat, antara ijab dan qabul bersambung. Kelima, antara
ijab dan qabul jelas maksudnya. Keenam, orang yang terikat dengan
ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah. Ketujuh, majelis
ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon
mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang
saksi.
Tujuan perkawinan, yaitu: Pertama, membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri harus saling membantu dan
melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materi. Kedua, membentuk suatu keluarga atau rumah tangga yang
bahagia, sakinah, mawaddah dan warohmah.16 Ketiga, menuruti
perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam
masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan
teratur. Keempat, untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat
kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta
kasih, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh
syariah.
15 Amiur Dan Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 63. 16 Sirajuddin M, Legislasi Hukum Islam, Cet 1 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), 148.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
102 Jurnal Hukum Keluarga Islam
Wali>mat al-‘Urs dalam Islam
Wali>mat al-‘Urs atau biasa dikenal dengan istilah resepsi atau
pesta pernikahan adalah makanan pengantin. Maksudnya, makanan
yang disediakan khusus dalam acara pesta pernikahan. Dapat
diartikan juga sebagai makanan untuk tamu undangan atau lainnya.
Wali>matal-‘Urs adalah proses di mana mempelai laki-laki dan
mempelai wanita beserta keluarganya berbagi kebahagiaan dengan
saudara, kerabat, tetangga, dan teman dengan mengundang mereka
untuk hadir dalam acara pernikahan itu. Tamu undangan datang
ikut serta merasakan kebahagiaan dan mendoakan keberkahan
rumah tangga baru yang akan dibina oleh pasangan pengantin.17
Wali>mat al-‘Urs dapat diselenggarakan setelah akad nikah
berlangsung atau setelah beberapa waktu setelah terjadinya akad
nikah tergantung dan berdasarkan adat istiadat masing-masing
daerah.18 Terdapat riwayat sebuah hadits bahwa Rasulullah SAW.,
menyuruh Abd Rahman menyelenggarakan walimah:
نسعيةيأ اللرضوالم نع
اللصلالنبأ ىوشنهعني
رأ عتدع
ةيالرحي ذرعف ذا؟:)فلالصفرة أ اللرشليا:كال(وا ة حزوججإن
امرأ ع
اة وزن ،وي ب ولهلم،اللةارك:)كالذأ لمصنهعني،والنفغوخفق19(بشاة ول
“Dari Anas bin Malik عنه الله رضي bahwasanya Nabi melihat Abdurrahman bin Auf berwajah pucat. Lalu beliau bersabda: Apa ini? Dia menjawab: Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah kawin dengan wanita memakai maskawin emas sebesar biji kurma. Beliah bersabda: Semoga Allah memberkatimu.
17 Moh. Makmun, Keluarga Sakinah (Yogyakarta: LkiS Pelangi Akasara,
2015), 46. 18 Ibid., 46 19 Ha>fiz} Bin Hajr al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m (Haramain: Haramain Jaya
Indonesia, 2011), 210.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 103
Adakan walimah walaupun hanya dengan memotong seekor kambing.20 Muttafaq alaihi. Lafal hadis Muslim.” Perintah Nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis ini
tidak mengandung arti wajib, tetapi hanya sunah menurut jumhur
ulama karena yang demikian hanya merupakan tradisi yang hidup
melanjutkan tradisi yang berlaku dikalangan Arab sebelum Islam
datang. Pelaksanaan walimah masa lalu itu diakui oleh Nabi untuk
dilanjutkan dengan sedikit perubahan dengan menyesuaikannya
dengan tuntutan Islam. Sedangkan menurut ulama Zahiriyah
berpendapat hukum menyelenggarakan wali>mat al-‘urs adalah wajib
yang dipahaminya dari teks hadis tersebut. Terlepas dari sunah
ataupun wajib, penyelenggaran wali>mat al-‘urs juga disesuaikan
dengan kemampuan finansial masing-masing. Tidak memberatkan
dan tidak pula mengandung unsur pemborosan yang dapat
menyebabkan timbulnya riya‟ dan sum‟ah, yang justru akan
mengurangi keberkahan pesta tersebut.21
Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun
orang yang diundang sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi SAW:
حدكهأ رضاللعكال:كالرشلاللصلاللعنيوشنه:)إذادع وع
ا )فنيجبفإنكنصائى مصنه ٧فنيصل خرج(،وانكنوفت افنيععه(أ ا. يض
أ
ه،وكال:)إنشاءظعه،وإنشاءحرك( رضاللعن 22ولويحديدجاةر
“Dari dia (Abu Hurairah) عنه الله رضي dia berkata: Rasulullah صلى
وسلم عليه الله bersabda: Apabila seseorang di antara kamu
menerima undangan hendaklah mendatanginya. Dan apabila
dia berpuasa hendaklah mendoakan belaka. Dan apabila tidak
berpuasa makanlah. Riwayat Muslim. Hadis serupa riwayat dia
20 Ha>fiz} Bin Hajr al-‘Asqala>ni, Bulu>gh al-Mara>m, (Terj.) H.M. Ali (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 2012), 478. 21 Makmun, Keluarga Sakinah, 47. 22 Ha>fiz} Bin Hajr al-‘Asqala>ni>, Bulu>gh al-Mara>m, 227-228.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
104 Jurnal Hukum Keluarga Islam
dari Jabir, beliau bersabda: Apabila dia mau boleh makan dan
boleh tidak.”23
Meskipun seseorang mendatangi walimah, namun para ulama
memberikan kelonggaran kepada yang diundang untuk tidak datang
dalam hal-hal berikut: Pertama dalam walimah dihidangkan
makanan dan minuman yang di yakini tidak halal. Kedua yang
diundang hanya orang kaya dan tidak mengundang orang miskin.
Ketiga dalam walimah tersebut ada orang yang tidak berkenan
dengan kehadirannya. Keempat dalam rumah tempat walimah itu
terdapat perlengkapan yang haram. Kelima dalam walimah
diadakannya permainan yang menyalahi aturan agama. Keenam ada
orang atau keluarga yang meninggal dari pihak yang diundang.
Adapun manfaat dan hikmah resepsi pernikahan (wali>mat al-
‘urs) adalah sebagai: Pertama, ungkapan rasa syukur kepada Allah
SWT., atas kebahagiaan yang dirasa oleh mempelai pengantin dan
keluarga besarnya. Kedua, tanda penyerahan anak gadis kepada
suami dari kedua orang tuanya. Ketiga, tanda resminya adanya akad
nikah. Keempat, tanda memulai hidup baru bagi suami-istri. Kelima,
pengumuman bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi
menjadi suami-istri sehingga masyarakat tidak curiga terhadap
prilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.24
Konsep ‘Urf dalam Islam
Jika ditelusuri secara etimologi, istilah al-‘a>dah terbentuk dari
masdar (kata benda / noun) al’awd dan al-mu’a>wadah yang kurang
lebih berarti “pengulangan kembali”. Sedangkan al-„urf terbentuk
dari akar-kata al-muta’a>raf yang mempunyai makna “saling
mengetahui”. Dengan demikian, proses terbentuknya adat, menurut
Muhammad Shidqi, adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas
23 Ha>fiz} Bin Hajr al-‘Asqala>ni, Bulu>gh al-Mara>m, (Terj.) H.M. Ali, 479-480. 24 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih
Nikah Lengkap (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2010), 151.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 105
yang berlangsung terus menerus. Proses pengulangan inilah yang
disebut al-awd wa al-mu’a>wadah. Ketika pengulangan itu membuatnya
tertanam dalam hati setiap orang, maka ia telah memasuki stadium
al-muta’a>raf. Tepat al-Jurjani menggambarkan sebagai berikut: adat
adalah unsur yang pertama kali muncul dan dilakukan berulangkali,
lalu setelah ia tertanam dalam hati, barulah ia berubah identitas
menjadi „urf.25
Para ulama ushul fiqh membedakan adat dan „urf sebagai salah
satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟. Menurut mereka „urf
adalah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun
perbuatan. Sedangkan adat didefinisikan dengan sesuatu yang
dilakukan berulang kali tanpa adanya hubungan rasional.26
Karena itu, menurut sebagian fuqaha, adat dan „urf secara
terminologis tidak mempunyai prinsipil. Artinya, penggunaan istilah
„urf dan adat tidak mengandung perbedaan signifikan dengan
konsekuensi hukum yang berbeda pula. Misalnya dalam sebuah
kitab fiqh terdapat ungkapan; hadza tsa>bit bi al-‘urf wa al-‘a>dah
(Ketentuan ini berlandaskan adat dan „urf), maka makna yang
dimaksud keduanya adalah sama. Penyebutan “al-‘a>dat” setelah kata
“al-‘urf” berfungsi sebagai penguat (ta’ki>d) saja, bukan kalimat
tersendiri yang mengandung makna berbeda (ta’si>s). Akan tetapi bila
hal itu terdapat dalam literatur gramatikal, tata bahasa, kesusastraan,
filsafat, dan lain sebagainya, maka istilah „adat dan „urf terkadang
memiliki pengertian berbeda.
Ditinjau dari segi objek, „urf terbagi menjadi dua. Pertama, al-
‘urf al-lafz}i>, yaitu kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
lafal/ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga
makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran
25 Kaki Lima Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh: Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual (Surabaya: “Khalista” Surabaya Bekerja Sama Dengan Kaki Lima
(Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005), 2017), 275. 26 Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014),
151.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
106 Jurnal Hukum Keluarga Islam
masyarakat. Misalnya: kata daging yang berarti daging sapi, padahal
kata daging mencangkup seluruh daging yang ada. Kedua, al-‘urf al-
‘amali>, yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan
biasa atau muamalah keperadataan. Yang dimaksud perbuataan
biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan
mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertenu alam acara
khusus.
Ditinjau dari segi cangkupan, „urf terbagi menjadi dua.
Pertama, al-‘urf al-‘a>m, yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara
luas di seluruh masyarakat dan seluruh daerah. Misalnya, dalam jual
beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil
termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan.27
Kedua, al-‘urf al-kha>s}, yaitu kebiasaan yang berlaku di masyarakat
dan di daerah tertentu. Misalnya, kebiasaan mengenai penentuan
masa garansi terhadap barang tertentu.
„Urf ditinjau dari segi keabsahan terbagi dua. Pertama, al-‘urf
as-s}ah}i>h yaitu kebiasaan yang berlaku dimasyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka dan tidak pula membewa mudharat kepada mereka.
Misalnya dalam masa pertunangan pria memberikan hadiah kepada
pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai maskawin.28
Kedua, al-‘urf al-fasi>d yaitu kebiasaan yang berlaku di masyarakat
yang bertentangan dengan dalil-dalil syara‟. Misalnya, kebiasaan
yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti
peminjaman uang sesama pedagang.29
Menurut ulama ushul fikih, „urf baru bisa dijadikan
pertimbangan dalam penetapan hukum syara‟ apabila memenuhi
27 Muhamad Ma’shum Zainy al-Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang:
Darul Hikmah, 2008), 337. 28 Juhaya, Ilmu Ushul Fiqih, 128-129. 29 Ma’sum Zainy, Ilmu Ushul Fiqh, 337.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 107
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:30 Pertama, „urf mengandung
kemaslahatan yang logis. Kedua, „urf tersebut berlaku umum pada
masyarakat yang terkait dengan lingkungan „urf, atau minimal
dikalangan sebagian besar masyarakat. Ketiga, „urf yang dijadikan
dasar bagi penetapan suatu hukum telah berlaku pada saat itu,
bukan „urf yang muncul kemudian. Berarti „urf ini harus telah ada
sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang kemudian, maka
tidak diperhitungkan. Keempat, „urf itu tidak bertentangan dengan
nash, sehingga menyebabkan hukum yang dikandung nash itu tidak
bisa diterapkan.
Secara umum „urf dan adat itu diamalkan oleh semua ulama
fiqh terutama di kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.31
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsa>n dalam berijtihad, dan salah
satu bentuk istihsa>n itu adalah istihsa>n al-‘urf (istihsa>n yang
menyandar pada „urf). Oleh ulama Hanafiyah, „urf itu didahulukan
atas qiya>s khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam
arti: „urf itu men-takhsis umum nash. Ulama Malikiyah menjadikan
„urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahkam.
Ulama Syafi‟iyah banyak menggunakan „urf dalam hal-hal tidak
menemukan ketentuan batasannya dalam syara‟ maupun dalam
penggunaaan bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai
berikut:
واكل عوردة االش لضاةطولوعنل يرجعالنلغثفولفي امعرفالفي
“ Setiap yang datang dengannya syara‟ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara‟ maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah kepada „urf.” Adanya qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi‟i di Irak, dan
qaul jadid (pendapat baru)-nya di Mesir, menunjukkan
diperhatikannya „urf dalam istinbath hukum di kalangan Syafi‟iyah.
30 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta: Kencana, 2009), 401. 31 Ibid., 423.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
108 Jurnal Hukum Keluarga Islam
Dalam menanggapi adanya penggunaan „urf dalam fiqh, al-Suyuthi
mengulasnya dengan mengembalikan kepada kaidah:
مكىث امعادة
“Adat („urf) itu menjadi pertimbangan hukum.”32
Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan)
mereka terhadap „urf tersebut adalah hadis yang berasal dari
Abdullah Ibn Mas‟ud yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya,33 yaitu:
نراهوا حصاالىصنى حصي عداللف
“Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di sisi Allah adalah baik.” Di samping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan
orang banyak), dalam arti: orang banyak akan mengalami kesulitan
bila tidak menggunakan „urf tersebut. Bahkan ulama
menempatkannya sebagai “syarat yang disyaratkan”
عرف االىعروف كلىشل او شظ
“Sesuatu yang berlaku secara „urf adalah seperti suatu yang telah disyaratkan.” Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada „urf, maka
kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
Adapun kehujjahan (alasan) „urf. Sebagai dalil syara‟ didasarkan atas
firman Allah pada surat al-A‟raf ayat 199 yang berbunyi sebagai
berikut:
خذ مرامعفعرضةامعرفوأ
نيعيوأ 34الا
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”35
32 Kaki Lima Lirboyo, FORMULASI NALAR FIQH Telaah Kaidah Fiqh
Konseptual, 267. 33 Ibid., 424. 34 Al-Qur’an, 7 (al-A’raf): 199.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 109
Melalui ayat di atas, Allah memerintahkan kaum muslimin
untuk mengerjakan yang ma‟ruf. Sedangkan yang dimaksud ma‟ruf
sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan,
dikerjakan berulang-ulang dan tidak bertentangan dengan watak
manusia yang benar, dan yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum
ajaran Islam. Kehujjahan lain didasarkan pada sahabat Rasulullah;
Abdullah bin Mas‟ud yang berkata: “sesuatu yang dinilai baik oleh
kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka
nilai buruk maka buruk juga di sisi Allah.” Jadi ungkapan di atas
menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di
dalam masyarakat muslim dan sejalan dengan tuntunan umum
syariat islam adalah sesuatu yang baik di sisi Allah. Berdasarkan dua
hujjah di atas maka tidak diragukan lagi bahwa tradisi masyarakat
(‘urf) dapat menjadi dalil syara‟ mengingat bahwa hanya al-‘urf as-
s}ah}i>h yang dapat dijadikan sebagai salah satu metode istinbat
(deduksi) hukum Islam. Kedudukan ‟urf sebagai dalil syara‟ dapat
diaplikasikan dalam pemberian batasan terhadap pengertian yang
disebut al-hirz (barang yang terpelihara), berkaitan dengan barang
yang dicuri, sehingga hukum potong tangan dapat dijatuhkan
terhadap pencuri. Oleh karena itu, untuk menentukan batasan
pengertiannya diserahkan kepada ketentuan „urf. Demikian juga
tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum tanah yang
ditelantarkan oleh pemilik tanah pertama, untuk bolehnya orang lain
menggarap tanah tersebut, ditentukan oleh „urf yang berlaku dalam
masyarakat.36
Sebagai adat kebiasaan atau tradisi, „urf dapat berubah karena
adanya perubahan waktu dan tempat. Sehingga, hukum-hukum
terdahulu dapat berubah mengikuti perubahan ‘urf (al-‘urf as-s}ah}i>h)
35 Al-Quran dan Terjemahannya, diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia (Jakarta: PT.Sygma
Examedia Arkenleema, 2010), 7. 36 Abdur Rahman Dahlan, Ushul Fiqih (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 212-
214.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
110 Jurnal Hukum Keluarga Islam
yang telah menjadi hukum syara‟ tersebut. Seperti ulama salaf yang
berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menerima upah sebagai
guru yang mengajarkan Al-Qur‟an, shalat, puasa dan haji. Demikian
juga, tidak boleh menerima honor sebagai imam masjid dan
muadzin. Sebab kesejahteraan mereka (dulu) telah ditanggung oleh
bait al-mal. Akan tetapi karena perubahan zaman mengakibatkan bait
al-mal tidak lagi mampu menjalankan fungsi tersebut. Maka, al-‘urf
as-s}ah}i>h di sini mampu menggantikan pendapat ulama terdahulu
dengan kesimpulan bahwa „urf dapat dijadikan sebagai salah satu
metode istinbat hukum Islam dan mengubah hukum terdahulu sesuai
dengan perkembangan zaman selama tidak bertentangan dengan
nash.
Bila diperhatikan urian di atas tentang kedudukan „urf atau
adat dalam kedudukannya sebagai dalil syara‟, di antara ulama ada
yang menetapkannya sebagai dalil syara‟ dengan argumen yang
menurutnya adalah kuat dan dengan memerhatikan pula argumen
ulama yang menolaknya sebagai dalil syara‟, dapat disimpulkan
bahwa „urf atau adat itu dapat menjadi dalil syara‟ namun tidak
sebagai dalil mandiri. Ketidak mandiriannya itu adalah karena
menggantung kepada maslahat yang telah disepakati kekuatannya
untuk menjadi dalil.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs di Desa Babeko Kabupaten Bungo
Walimah artinya makan-makan di hari perkawinan. Walimah
hukumnya sunah berdasarkan hadis Rasulullah S.A.W:
ولهأ بشاة ول
“laksanakanlah walimah meskipun hanya menyembelih seekor kambing.”37
37 Al-Bukha>ri>, S}ahi>h Al-Bukha>ri>, III : Nomor 4759, Bab Al-Wali>matu Walau
Bisya>tin (Beirut: Da>r Al-Hadi>ts, 2000 M), 45.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 111
Walimah diadakan pada waktu akad atau sesudahnya atau
setelah kedua suami istri itu bercampur, masalah ini terserah
menurut adat setempat. Riwayat menerangkan bahwa Rasulullah
S.A.W mengundang sahabat-sahabatnya untuk walimah pada waktu
beliau menikah dengan Zainab setelah beliau mencampurinya.38
Di antara syarat wajib untuk menghadiri walimah itu ialah
bahwa dalam pertemuan walimah itu tidak terdapat hal-hal yang
merusakkan arti walimah. Misalnya tidak ada perbuatan-perbuatan
munkar, minuman keras, tidak ada perempuan yang bersolek atau
perbuatan munkar lainnya serta tidak ada udzur syar‟i seperti sakit,
hujan, tidak kedahuluan undangan lain. Apabila ada undangan lain
yang datang lebih dahulu, maka undangan yang lebih dulu itulah
yang harus didatangi.39
Dalam Islam tidak diatur secara pasti dan rinci mengenai tata
cara berwalimah, hanya saja ada keharusan untuk
menyelenggarakannya. Adat serbo mengatur tata cara berwalimah
dalam perkawinan, dari mulai mengatur tentang pesta walimah
sampai mengatur tentang makanan untuk acara adatnya, dan adat
serbo adalah langkah awal sebelum melaksanakan wali>mat al-‘urs.
ketika adat serbo sudah ditentukan oleh ninek mamak suku kampung
(pemuka adat, pemuka masyarakat, perangkat desa, keluarga dari
dari calon mempelai) dan pasangan pengantin sudah mengetahui
adat serbo mana yang akan mereka laksanakan maka walimah baru
bisa diselenggarakan oleh calon mempelai.
Adat Serbo adalah adat yang sudah dijalankan turun-temurun
oleh masyarakat Jambi khususnya di Desa Babeko Kabupaten Bungo,
adat ini sangat penting adanya di dalam setiap pesta pernikahan,
karna bagi masyarakat yang ada di sana, adat ini menjadi rukun bagi
38 H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2011), 66-
67. 39 Ibid., 67.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
112 Jurnal Hukum Keluarga Islam
pasangan yang ingin menikah, rukun disini artinya tidak lengkap
apabila tidak menjalankan adat ini.
Adat Serbo adalah musyawarah ninek mamak suku kampung
(pemuka adat, pemuka masyarakat, perangkat desa, keluarga dari
dari calon mempelai) untuk menentukan pesta walimah yang akan
dilaksanakan oleh calon pengantin dan disetujui oleh pemuka adat
(ketua adat), tujuannya untuk menentukan pesta walimah yang akan
dilaksanakan oleh calon pengantin apakah akan melaksanakan pesta
walimah kecil, pesta walimah sedang atau pesta walimah meriah.40
dalam praktiknya adat serbo ditentukan setelah musyawarah dari
ninek mamak suku kampung dan pihak keluarga, yang dilaksanakan
dirumah perempuan dan ketika proses penyerahan mahar dari pihak
laki-laki kepada pihak perempuan, dalam istilah adatnya disebut
dengan ngembang tando. Ketika musyawarah selesai dan ninek mamak
suku kampung sudah menyaksikan penyerahan mahar oleh pihak laki-
laki, maka adat serbo bisa ditentukan setelah melihat status ekonomi
yang disandang oleh kedua calon pengantin.
Adat serbo bisa diselenggarakan apabila calon pengantin baik
dari pihak laki-laki atau perempuan menikah di Desa Babeko
ataupun warga desa lain yang ingin menikah di Desa Babeko, jika
salah satu dari kedunya menikah di luar Desa Babeko maka adat
serbo tidak berlaku dan berlakulah adat dimana tempat mereka
melangsungkan pernikahan, jadi yang menjadi patokannya adalah
menikah di Desa Babeko.
Adat serbo dalam pelaksanaan walimah terbagi menjadi tiga
macam:41 Pertama, pesta walimah biasa atau dalam istilah adatnya
disebut dengan serbo duo limo. Kedua, pesta walimah meriah atau
dalam istilah adatnya disebut dengan serbo limo puluh. Ketiga, pesta
40 Armanuzi, Wawancara, Rumah Bapak Armanuzi di Desa Babeko, 17
Maret 2019. 41 Ibid.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 113
walimah sangat meriah atau dalam istilah adatnya disebut dengan
adat serbo setus atau lek rajo.
Adat serbo duo limo (serba dua lima) ditentukan oleh ninek
mamak suku kampung (pemuka adat, pemuka masyarakat, perangkat
desa, keluarga dari calon mempelai) setelah bermusyawarah dengan
pihak keluarga bagi mereka yang memiliki status ekonomi kurang
(tidak berkecukupan) dan adat serbo ini juga berlaku untuk janda
yang akan menikah di Desa Babeko.42
Dalam pelaksaan adat serbo duo limo ini pasangan pengantin
diwajibkan memberi makan adat sebanyak satu kali untuk ninek
mamak suku kampung ketika proses walimahannya yang berbentuk
tasyakuran dan berlangsung selama satu malam. Setelah keputusan
adat serbo disetujui oleh pemuka adat atau ketua adat utuk
mengadakan adat serbo duo limo, maka pasangan pengantin tidak di
perbolehkan untuk mengadakan acara walimah besar atau
mengadakan acara lain setelah pelaksanaannya, seperti mengundang
orkes atau lain sebagainya. Apabila hal dilakukan maka calon
pengantin akan dikenakan sanksi adat dalam bentuk pemberian
wajib seekor kambing kepada ninek mamak suku kampung,
dikarenakan ketika proses penentuan adat serbo pasangan pengantin
atau keluarga dari pihak pengantin tidak menyanggupi untuk
mengadakan pesta walimah yang besar. Orang-orang yang diundang
dalam pelaksanan adat serbo ini pun terbatas, hanya mengundang
ninek mamak suku kampung (pemuka adat, pemuka masyarakat,
perangkat desa), keluarga dan beberapa orang kampung.43
Adat serbo limo puluh (serba lima puluh), adat serbo ini
ditentukan oleh ninek mamak suku kampung untuk orang-orang yang
memiliki status ekonomi sedang (sederhana), pelaksanaan adat serbo
ini berlangsung selama dua hari dua malam, dalam pelaksanaannya
42 Ibid. 43 Abdurrahman, Wawancara, Rumah Bapak Abdurrahman di Desa
Babeko, 19 Maret 2019.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
114 Jurnal Hukum Keluarga Islam
pasangan pengantin diwajibkan memberi makan adat sebanyak dua
kali untuk ninek mamak suku kampung ketika proses walimahnya.44
Di hari pertama pelaksanaan adat serbo limo puluh, masyarakat
akan masak-masak dirumah pengantin untuk makan adat pertama
ninek mamak suku kampung ketika proses ijab kabul yang dilaksanakan
pada malam harinya dan untuk makan orang yang diundang ketika
proses ijab kabul. Di hari kedua pelaksnaannya, pasangan pengantin
diperbolehkan untuk mengadakan walimah seperti orkes atau lain
sebagainya untuk memeriahkan acara pesta walimahnya, dan
masyarakat akan masak-masak untuk makan tamu undangan dan
untuk makan ninek mamak suku kampung yang kedua yang
dilaksanakan pada malam harinya setelah prosesi walimah
berlangsung. Orang-orang yang diundang dalam pelaksanaan adat
serbo ini adalah ninek mamak suku kampung (pemuka adat, pemuka
masyarakat, perangkat desa), keluarga dan orang kampung.
Adat serbo setus atau lek rajo atau lek negri (serba
seratus/pernikahan raja/pernikahan negeri). Serbo ini ditentukan
oleh ninek mamak suku kampung untuk orang-orang yang memiliki
status ekonomi melimpah (orang kaya).45
Acara adat serbo ini sangatlah besar, pelaksanaannya
berlangsung selama tujuh hari tujuh malam, di dalam tiap-tiap hari
pelaksanaannya, keluarga yang mengadakan acara adat serbo setus
diwajibkan untuk memberi makan masyarakat dan tamu undangan
selama tujuh hari sesuai dengan ketentuan batas pelaksanaan adat
serbo setus. Keluarga yang menyelenggarakan adat serbo ini
diharuskan untuk memakai pakaian yang mewah, masyarakat desa
juga diwajibkan untuk ikut serta dalam membantu proses masak-
masak dan membantu proses berjalannya acara adat serbo ini dari
awal sampai selesai, dan yang di undang dalam pelaksanaan adat
serbo ini adalah satu kecamatan, selama ini adat serbo setus hanya dua
44 Ibid. 45 Ibid.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 115
kali dilaksanakan di Desa Babeko, dikarenakan biayanya yang sangat
besar dan prosesnya yang berlangsung lama dan rumit.
Pelaksanaan dan kebutuhan untuk acara adat serbo berbeda-
beda, tergantung adat serbo mana yang akan dilaksanakan oleh calon
pengantin.46 Jika yang dilaksanakan adalah adat serbo duo limo, maka
ketentuan untuk lauknya adalah dua ekor ayam, 25 canting beras
(canting adalah kaleng susu indomilk), dua ikat kelapa (satu ikat
berisi dua buah kelapa) dan selemak semanih (teh atau kopi). Jika
pihak keluarga yang mengadakan adat serbo ini ingin mengganti
lauknya menjadi daging, maka di perbolehkan, dan yang mejadi
patokannya adalah ayam.
Jika yang dilaksanakan oleh calon pengantin adalah adat serbo
limo puluh maka ketentuan untuk lauknya adalah kambing, 50
gantang beras (satu gantang beras setara dengan dua setengah kilo
gram beras) dan selemak semanih (teh atau kopi). Tetapi jika pihak
keluarga ingin menggantikan lauknya menjadi sapi atau kerbau
maka di perbolehkan menurut adat, yang tidak diperbolehkan jika
pihak keluarga menggantikan lauknya dengan ayam maka hal ini
yang tidak diperbolehkan, karena menurut adatnya disebut bahwa
“hutang kecik boleh dibaye gedang, hutang gedang dak buleh dibaye kecik”
artinya sesuatu yang kecil diperbolehkan untuk menggantikannya
dengan yang besar, dan sesuatu yang besar tidak diperbolehkan
untuk menggantikannya dengan yang kecil, seperti adat serbo duo
limo ketentuan lauknya adalah ayam, maka diperbolehkan untuk
menggantikannya dengan daging, dan serbo limo puluh atau serbo
setus ketentuan lauknya adalah daging maka tidak diperbolehkan
bagi pihak keluarga untuk menggantikan lauknya dengan ayam.47
Yang terakhir adalah serbo setus, ketentuan untuk lauknya
adalah daging dan satu ekor kerbau, dan penyembelihan kerbau ini
46 Armanuzi, Wawancara, Rumah Bapak Armanuzi di Desa Babeko, 17
Maret 2019. 47 Ibid.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
116 Jurnal Hukum Keluarga Islam
menjadi puncak acara adat serbo setus setelah sebelumnya di arak
keliling kampung dan sudah dihiasi oleh warga. Selain kerbau
makanan wajib yang harus dihidangkan dalam acara adat serbo ini
adalah lemang ujak, lemang ujak adalah makanan yang terbuat dari
tepung beras yang dimasak di dalam seruas bambu, dan sebelumnya
sudah dimasuki daun pisang, seperti lemang ketan, akan tetapi
lemang ujak dibuat dengan panjang mencapai dua sampai tiga meter.
Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan‟ani mengartikan
wali>mat al-‘urs adalah sebagai tanda pengumuman (majelis) untuk
pernikahan yang mengahalkan hubungan suami istri dan
perpindahan status kepemilikan.48 Artinya, walimah bertujuan untuk
mengumumkan kepada masyarakat bahwa pasangan pengantin
sudah resmi menjadi suami istri, sedangkan adat serbo sendiri
didalam tiap-tiap acara pelaksanaannya baik adat serbo duo limo, adat
serbo limo puluh dan adat serbo setus juga bertujuan untuk
mengumumkan kepada masyarakat Desa Babeko bahwa pasangan
pengantin sudah sah sebagai suami istri.
Menurut Imam Ibnu Qudamah dan Syaikh Abu Malik Kamal
as-Sayyid Salim, al-wali>mah merujuk kepada istilah untuk makanan
yang biasa disajikan (dihidangkan) pada upacara (majelis)
perkawinan secara khusus.49 Jika merujuk kepada pengertian ini
yaitu sebagai makanan atau hidangan khusus dalam suatu
perkawinan, maka adat serbo lebih memperjelas makanan apa saja
yang dihidangkan di dalam setiap acara adatnya, seperti lauk ayam
bagi mereka yang melaksanakan adat serbo duo limo, lauk kambing
bagi mereka yang melaksanakan adat serbo limo puluh dan kerbau
bagi mereka yang melaksanakan adat serbo setus.
48 Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah
Bulughul Maram, Juz 3 (tk.: tp., t.th.), 153-154. 49 Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Shahih Fiqhus Sunah wa Adillatuhu
wa Taudhih Mazahib al-Arba’ah, Juz 3 (Cairo: Maktabah al-Tauqifiyyah, t.th.),
182.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 117
Menurut Sayyid Sabiq, walimah diartikan sebagai
perhimpunan, karena pasangan suami istri berhimpun, dan wali>mat
al-‘urs adalah hidangan khusus dalam acara pernikahan.50 Pengertian
ini hampir sama dengan pengertian walimah menurut Imam Ibnu
Qudamah yaitu makanan khusus yang dihidangkan untuk acara
pernikahan.
Jika dilihat dari hadis Nabi Muhammad Saw tentang walimah,
maka Nabi sangat menganjurkan adanya suatu perayaan didalam
setiap perkawinan, sebagaimana sabda beliau yang berbunyi:
ولهأ بشاة ول
“Laksanakanlah walimah meskipun hanya menyembelih seekor kambing.”51 Akan tetapi jika dilihat dari firman Allah dalam Al-Quran
surah Al-A‟raf ayat 31, Allah melarang umatnya untuk
menyelenggarakan pesta perkawinan yang bermegah-megahan,
sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
ا اوك ب اولواش ف تس لۥإ فييبل 52الىس
“Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”53 Ayat diatas menerangkan bahwa didalam melaksanakan
sesuatu kita dilarang untuk bermewah-mewahan, seperti didalam
pelaksanaan adat serbo setus yang diadakan begitu meriah dan
mewah yang bisa menimbulkan kesombongan, hal ini sebenarnya
50 Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Shahih Fiqhus Sunah wa Adillatuhu
wa Taudhih Mazahib al-Arba’ah, Juz 3 (Cairo: Maktabah al-Tauqifiyyah, t.th.),
182. 51 Al-Bukha>ri>, S}ahi>h Al-Bukha>ri>, III : Nomor 4759, Bab Al-Wali>matu Walau
Bisya>tin, 45. 52 Al-Quran, 7 (Al-A’raf): 31. 53 Al-Quran dan Terjemahannya, diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia (Jakarta: PT.Sygma
Examedia Arkenleema, 2010), 7.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
118 Jurnal Hukum Keluarga Islam
dilarang oleh Allah. Akan tetapi didalam pelaksanaan adat serbo
sendiri masih ada dua pilihan yang bisa dilaksanakan ketika ingin
menikah di Desa Babeko, seperti adat serbo duo limo dan adat serbo
limo puluh.
Mengadakan acara resepsi sangat dianjurkan oleh nabi akan
tetapi didalam pelaksanaannya dilarang untuk bermewah-mewahan
dan tidak memberatkan salah satu diantara pasangan pengantin dan
tidak pula mengandung unsur riya‟ dan sum‟ah, yang justru akan
mengurangi esensi dari walimah dan keberkahan acara itu sendiri.
Hukum Adat Serbo Menurut Hukum Islam
Penentuan adat serbo dalam perkawinan adat di Desa Babeko
sudah ada sejak dahulu dan masih dilaksanakan hingga sekarang.
Apabila hal tersebut dikaitkan dengan hukum Islam maka hal
tersebut tidak terlepas dari „urf. Adat yang sudah mendarah daging
dalam kehidupan masyarakat selama tidak melanggar aturan atau
norma yang sudah berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat
Islam maka dapat dijadikan pijakan sebagai suatu hukum Islam yang
mengakui keefektifan adat istiadat dan interprestasi hukum.
Sebagaimana kaidah fiqiyah:
مكىث امعادة
“Adat kebiasaan dapat dijadikan pijakan hukum.”54
Menurut fuqaha adat adalah norma yang sudah melekat dalam
hati akibat pengulang-ulangan, sehingga diterima sebagai sebuah
realitas yang rasional dan “layak” menurut penilaian akal sehat.
Norma tersebut bisa dilakukakan oleh individu atau kelompok
masyarakat. Norma yang bersifat individual adalah seperti kebiasaan
dalam tidur, makan, minum, dan lain sebagainya. Sedangkan norma
sosial adalah sebentuk “kebenaran umum” yang diciptakan,
54 Kaki Lima Lirboyo, Formulasi Nalar Fiqh, 267.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 119
disepakati, dan dijalankan oleh komunitas tertentu, sehingga menjadi
semacam “keharusan sosial” yang harus di taati.55
Dalam praktiknya di masyarakat terdapat berbagai macam „urf
yang yang terbentuk. Oleh karena itu, para ulama mengklasifikasikan
„urf ke dalam beberapa aspek agar lebih mudah dipahami. Pertama,
jika dilihat dari objeknya, adat serbo masuk kedalam al-‘urf al-‘amali>,
yaitu kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau muamalah keperdataan. Dalam hal ini adat serbo merupakan
suatu tradisi adat istiadat berupa perbuatan dimana adanya
kebiasaan seperti kerelaan dan musyawarah dari pihak keluarga dan
ninek mamak suku kampung (pemuka adat, pemuka masyarakat,
perangkat desa dan pihak keluarga yang bersangkutan) dalam
menentukan adat serbo mana yang akan dilaksanakan oleh kedua
calon mempelai. Kedua, dilihat dari cangkupannya, adat serbo masuk
kedalam al-‘urf al-kha>s}, yaitu „urf yang hanya berlaku pada tempat,
masa dan keadaan tertentu saja. Atau kebiasaan yang berlaki di
daerah dan masyarakat tertentu. Dalam hal ini adat serbo merupakan
suatu tradisi yang berlaku hanya pada masyarakat Jambi, khususnya
pada masyarakat Desa Babeko saja dan warga desa lain yang ingin
menikah di Desa Babeko. Ketiga, dilihat dari keabsahannya, adat
serbo masuk kedalam al-‘urf as-s}ah}i>h yaitu „urf yang baik karena dapat
diterima dan tidak bertentangan dengan syara‟. Adapun beberapa
alasan mengapa praktik adat serbo masuk pada al-‘urf as-s}ah}i>h}.
Pertama, secara umum penentuan adat serbo ini tidak bertentangan
dengan nash (Al-Qur‟an dan Hadits). Kedua, dari segi fungsi dan
tujuannya, penentuan adat serbo adalah untuk pemberitahuan bahwa
peran ninek mamak suku kampung sangatlah penting ditengah
masyarakat, baik itu didalam pernikahan ataupun diluar pernikahan
dan mengikuti adat istiadat yang sudah dijalankan oleh nenek
moyang terdahulu. Ketiga, penentuan adat serbo tersebut memanglah
ditentukan oleh ninek mamak suku kampung namun dalam
55 Ibid., 274.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
120 Jurnal Hukum Keluarga Islam
penentuannya ninek mamak suku kampung terlebih dahulu melihat
status ekonomi yang disandang oleh kedua belah pihak, selain itu
dalam penentuan adat serbo adanya suatu musyawarah dari ninek
mamak suku kampung dengan pihak keluarga dalam menentukan adat
serbo mana yang akan dilaksanakan oleh pasangan pengantin.
Menurut ulama ushul fikih, „urf baru bisa dijadikan
pertimbangan dalam penetapan hukum syara‟ apabila memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut: Pertama, „urf bernilai
maslahat dan dapat diterima akal sehat. Fungsi dan tujuan dari adat
serbo adalah pemberitahuan bahwa peran seorang ninek mamak suku
kampung sangatlah penting adanya ditengah masyarakat dan adanya
suatu musyawarah dan kerelaan dari pihak keluarga dan ninek
mamak suku kampung dalam menentukan adat serbo mana yang akan
pasangan pengantin laksanakan, dan ini merupakan maslahat baik
bagi pihak mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Kedua, „urf
itu berlaku umum dan merata. Tradisi penentuan adat serbo berlaku
umum bagi masyarakat Jambi khususnya masyarakat Desa Babeko
yang akan melangsungkan perkawinan di Desa Babeko. Namun,
penetuan adat serbo ini hanya dilakukan jika hanya melangsungkan
pernikahan di Desa Babeko saja. Apabila laki-laki atau perempuan
Desa Babeko menikah di luar Desa Babeko maka adat serbo tidak
berlaku dan berlakulah adat istiadat yang ada di daerah tempat
mereka melangsungkan pernikahan. Jadi yang menjadi patokannya
adalah menikah di Desa babeko. Ketiga, „urf tersebut telah ada
sebelum munculnya kasus. Tradisi adat serbo merupakan
musyawarah penentuan pesta pernikahan oleh ninek mamak suku
kampung dan akan disahkan oleh ketua adat bagi pasangan yang
ingin menikah di Desa Babeko. Tradisi tersebut telah ada sejak lama
hingga saat ini pun masih dilakukan oleh mayarakat Desa Babeko.
Bahkan menjadi suatu keharusan dan kewajiban. Keempat, „urf tidak
bertentangan dan melalaikan dalil syara‟. Secara konteksual tidak ada
peraturan yang mewajibkan untuk menentukan adat serbo sebagai
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 121
syarat sah sebuah pernikahan. Meskipun secara jelas tidak
diterangkan dalam dalil syara‟, namun penentuan adat serbo sudah
merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Babeko dan
tidak merusak pada Akidah.
Berdasarkan uraian di atas dapat dianalisis bahwa tradisi
penentuan adat serbo di Desa Babeko Kabupaten Bungo termasuk „urf
yang bisa dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum syara‟.
Tradisi penentuan adat serbo tersebut dalam hukum Islam boleh
(mubah) dilaksanakan, karena dianggap sebagai kebiasaan yang baik
(al-‘urf as-s}ah}i>h}) yaitu kebiasaan yang dipelihara oleh masyarakat dan
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Tradisi penentuan adat
serbo juga sesuai dengan prinsip hukum perkawinan Islam yaitu
adanya suatu musyawarah dalam penentuan adat serbo dan kerelaan
calon pengantin laki-laki untuk memberikan uang untuk acara adat
serbo dan penentuan tersebut melihat status ekonomi yang
disandang oleh kedua belah pihak, baik pihak laki-laki ataupun
perempuan.
Kesimpulan
Adat serbo adalah musyawarah penentuan pesta walimah oleh
ninek mamak suku kampung kepada calon pengantin yang akan
menikah untuk mengadakan pesta walimah biasa (serbo duo limo),
pesta walimah sedang (serbo limo puluh) atau pesta walimah meriah
(serbo setus). Adat serbo ini merupakan rukun dalam pernikahan
masyarakat di Desa Babeko dimana penentuannya ketika pihak laki-
laki menyerahkan mahar kepada pihak perempuan yang
dilaksanakan di rumah perempuan dan disaksikan langsung oleh
ninek mamak suku kampung, dalam istilah adatnya disebut dengan
ngembang tando. Adapun tujuan ditentukannya pesta walimah oleh
ninek mamak untuk mengetahui betapa pentingnya adat yang ada di
Desa Babeko dan peran ninek mamak ditengah masyarakat.
Mahmud Huda & Muhammad Ansori Y.
122 Jurnal Hukum Keluarga Islam
Secara tekstual tidak ada ketentuan dalam hukum Islam yang
mewajibkan penentuan adat serbo atau penentuan pesta walimah
oleh ninek mamak suku kampung sebagaimana yang berlaku pada
masyarakat Desa Babeko Kabupaten Bungo. Adapun yang ada
hanyalah keharusan untuk mengadakan walimah di dalam setiap
acara pesta perkawinan. Meskipun begitu, hukum penentuan adat
serbo menurut hukum Islam dalam hal ini perspektif „urf adalah
mubah atau boleh karena tidak bertentangan dengan syari‟at Islam
dan sudah menjadi kebiasaan yang berlaku secara terus menerus.
Adapun dalam pelaksanaannya tidak mengandung unsur paksaan
dan dilakukan dengan musyawarah ninek mamak suku kampung
dengan pihak keluarga. Namun, dalam penyelenggaraan pesta
waliah yang meriah dan mewah seperti adat serbo setus kurang sesuai
dengan perkawinan dalam Islam karena dapat menimbulkan sifat
sombong dan sifat-sifat lainnya, seperti riya; dan sum‟ah.
Referensi
Azhari Akmal, Tarigan. Amiur, Nuruddin. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Al-Qur‟an dan Terjemahannya. 2010. diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta: PT.Sygma Examedia Arkanleema.
Al-Bukha>ri>. 2000 M. S}ahi>h Al-Bukha>ri>, III : Nomor 4759, Bab Al-Wali>matu
Walau Bisya>tin. Beirut: Da>r Al-Hadi>ts.
Dahlan Rahman, Abdur. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamdani Al, H.S.A. 2011. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani.
Harun, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hadi, Sutrisno. 1991. Metodologi Reserch. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fak. Psikologi Univ. Gajah Mada.
Imam Taqiyuddin, Abi Bakar Bin. T.Th. Kifayah Al-Akhyar. Surabaya: Syirkah Bungkul Indah.
Adat Serbo dalam Wali>mat al-‘Urs
Volume 4, Nomor 2, Oktober 2019 123
Kaki Lima Lirboyo. 2017. FORMULASI NALAR FIQH Telaah Kaidah Fiqh Konseptual. Surabaya: “Khalista” Surabaya Bekerja Sama Dengan Kaki Lima (Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005).
Mubarokati, Rizka. 2013. Sumbangan Pada Wali>mat al-‘Urs di Padukuhan Nepi Desa Kranggan Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo (Studi Komparasi Antara Hukum Adat dan Hukum Islam). “Skripsi”. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Muhamad Ma‟shum, Zainy al-Hasyimiy. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Jombang: Darul Hikmah.
Saebani Ahmad, Beni. 2013. Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia.
Somad, Abd. 2010. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana.
Sirajuddin, M. 2008. Legislasi Hukum Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sohari Sahrani, H.M.A. Tihami. 2010. Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT. Rajawali Press.
Syarifuddin, Amir. 2009. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana.
Waid, Abdul. 2014. Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh. Jogjakarta: IRCiSoD.