bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. hasil penelitianrepository.ump.ac.id/3155/6/bab iv -...
Post on 30-Mar-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Data Primer
a. Wawancara dengan Briptu Rudi Sulistiawan selaku Penyidik Pembantu
SATRESKRIM POLRES Kebumen
Berdasarkan wawancara tanggal 12 Maret 2015 dengan Briptu
Rudi Sulistiawan selaku Penyidik Pembantu SATRESKRIM POLRES
Kebumen tentang imigran gelap pencari suaka yang terdampar di
Pantai Mekaran Kebumen bahwa:
1. Pada tanggal 24 Februari 2014 di wilayah Pantai Mekaran Desa
Argopeni, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen telah terdampar
sebuah kapal sekoci yang membawa 26 (dua puluh enam) warga
negara asing yang berasal dari Irak, Iran, Mesir, Pakistan,
Bangladesh dan Nepal.
2. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh petugas diketahui bahwa 26
warga negara asing tersebut tidak memiliki dokumen yang sah dan
2 orang yang membawa warga negara asing tersebut juga tidak
dilengkapi dengan dokumen perjalanan yang sah.
3. Kapal yang membawa imigran gelap tersebut dinahkodai oleh 2
orang WNI yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi
62
4. Tenggara. Kedua orang tersebut adalah nahkoda kapal yang tidak
mempunyai dokumen perjalanan yang sah.
5. Mereka mengangkut 26 warga negara asing/imigran gelap tersebut
menggunakan kapal kayu dari Pelabuhan Ratu, Kecamatan Tatar
Pasundan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat menuju Pulau
Christmas, Australia.
6. Nahkoda tersebut melakukan perbuatannya atas perintah temannya
dengan upah atau imbalan sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh
juta Rupiah) yang akan dibayar jika kedua nahkoda tersebut telah
berhasil menghantarkan warga negara asing/imigran gelap tersebut
sampai ke Pulau Christmas Australia.
7. Sebelum sampai ke Australia, kapal yang dikemudikan nahkoda
tersebut dihadang oleh kapal Australia, kemudian nahkoda tersebut
dan seluruh warga negara asing/imigran gelap dinaikan dan
dikurung di dalam kapal tentara Australia.
8. Kapal kayu milik nahkoda asal Sulawesi tersebut diledakkan oleh
tentara Australia, kemudian kapal kayu tersebut hancur dan
tenggelam. Setelah 4 hari didalam kapal tentara Australia
selanjutnya nahkoda dan seluruh penumpang warga negara asing
dinaikkan ke dalam kapal sekoci milik tentara Australia, kedua
nahkoda tersebut diperintahkan oleh tentara Australia untuk
membawa penumpang dengan mengemudikan kapal sekoci
tersebut ke sebuah daratan Cilacap yang sudah kelihatan dari
tengah laut.
63
9. Setelah sampai di daratan, kapal pecah terkena karang dan
terdampar. Selanjutnya datang petugas bersama dengan penduduk
setempat dan kedua nahkoda tersebut ditangkap oleh Polisi.
Hambatan yang dihadapi Kepolisian dalam menangani imigran
gelap yang terdampar di Pantai Mekaran Kebumen menurut Briptu
Rudi Sulistiawan, yaitu:
a. Terkendala dalam bahasa, kesulitan untuk mencari juru bahasa
selain Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, karena imigran gelap
datang dari berbagai negara untuk melakukan pemeriksaan dengan
mewawancarai imigran dengan bahasa yang mereka kuasai.
b. Kesulitan mengamankan barang bukti kapal sekoci yang susah
diangkut, karena kondisi geografis diwilayah Desa Argopeni
Kecamatan Ayah Kebumen berupa pegunungan dan lokasi kejadian
di bibir pantai yang letaknya di bawah jurang.
c. Mengungkap jaringan agen yang membawa imigran gelap, karena
agen tersebut mencari WNA untuk dijadikan imigran gelap.
Jaringan agen tersebut telah berkoordinasi dengan pihak-pihak yang
akan mencari WNA untuk mendapatkan keuntungan, seperti pihak
hotel, agen taxi, dan anggota lain yang ada dalam agen tersebut.
Kendala yang dihadapi pihak Kepolisian untuk melakukan penanganan
imigran gelap yang datang ke Indonesia menurut Briptu Rudi
Sulistiawan, sebagai berikut:
64
1. Perairan wilayah Indonesia yang sangat luas dan masih berupa
daerah-daerah yang terpencil, sehingga pengawasan transportasi di
laut terhadap imigran yang masuk ke Indonesia kurang terkendali
oleh petugas.
2. Masyarakat yang tidak mengerti tentang peraturan perundang-
undangan dan mengenai imigran gelap terutama warga pantai yang
menjadi perlintasan kapal yang mengangkut imigran gelap. Bahkan
diantaranya seperti nelayan banyak yang membantu melancarkan
kegiatan para imigran gelap.Kurangnya rasa kepedulian masyarakat
terhadap kasus yang sering terjadi di sekitar mereka. Seakan-akan
mereka tidak mengetahui kejadian yang terjadi disekitarnya,
dengan tidak melaporkan ke kantor Polisi di daerahnya.
3. Kurangnya koordinasi yang baik sesama intansi kepolisian. Kasus
imigran gelap terjadi antar wilayah di Indonesia, akan lebih baik
jika koordinasi Police to Police lebih diperlancar dengan
komunikasi mengenai informasi sebab akibat dari kasus imigran
gelap antar wilayah yang menjadi perlintasan imigran gelap
tersebut.
4. Keterbatasanya anggaran penyidikan ditingkat POLSEK untuk
mengungkap perkara imigran gelap.
5. Kurangnya pengetahuan tentang Peraturan Perundang-
undangan/Undang-undang khusus yang mengatur suatu tindak
pidana yang tidak dikuasai oleh semua anggota polisi.
65
b. Wawancara dengan Adithia Perdana, SH selaku Kasubsi Komunikasi
Keimigrasian di Kantor Imigrasi Cilacap
Berdasarkan wawancara pada tangal 11 Juni 2015 dengan
Adithia Perdana, SH selaku Kasubsi Komunikasi Keimigrasian di
kantor imigrasi Cilacap tentang imigran gelap pencari suaka yang
terdampar di Pantai Mekaran Kebumen bahwa:
1. Tugas kantor imigrasi dalam kasus imigran gelap yaitu
berkoordinasi dengan IOM, lalu mengirimkan surat ke DITJENIM
(Direktorat Jenderal Imigrasi) yang nantinya akan memerintahkan
kantor imigrasi untuk menempatkan orang-orang asing/imigran
gelap ke RUDENIM (Rumah Detensi Imigrasi) dan akan
ditempatkan Rudenim mana nantinya.
2. Pada kasus imigran gelap yang terdampar di Pantai Mekaran
Kebumen, para imigran gelap tersebut diperiksa oleh petugas
Imigrasi Cilacap. Selanjutnya, kantor imigrasi berkoordinasi
dengan IOM (International Organization for Migration)
mengirimkan surat ke Direktorat Jenderal Imigrasi (DITJENIM)
pusat.
3. DITJENIM kemudian merintahkan Kantor Imigrasi Cilacap untuk
menempatkan para imigran gelap tersebut di penginapan Cilacap
untuk kepentingan pemeriksaan, kemudian dipindahkan di
Rudenim Medan atas persetujuan dari IOM.
66
Menurut Adithia Perdana, SH, hambatan yang dihadapi
Keimigrasian dalam menangani imigran gelap yang terdampar di
Pantai Mekaran Kebumen, yaitu:
a) Proses evakuasi, karena tidak adanya anggaran khusus untuk
penanganan imigran yang terdampar di Pantai Mekaran
Kebumen dalam memberikan kebutuhan sehari-hari selama
berada dalam penanganan Keimigrasian Cilacap.
b) Tidak ada penginapan di Cilacap yang menampung, karena
banyaknya imigran ilegal tersebut yang ditempatkan di suatu
hotel mengalami gangguan psikologis seperti mengamuk
kemudian membuat keributan dan membuat jera pihak hotel
sehingga tidak ada penginapan yang berkenan untuk
menampung para imigran ilegal. Kejadian seperti ini yang
memberikan dampak kepada imigran gelap yang terdampar di
Kebumen untuk mendapatkan tempat tinggal sementara.
c) Tidak diterima di lingkungan Cilacap, karena kejadian
sebagian imigran yang berada di lingkungan masyarakat
dengan perilakunya yang tidak wajar membuat tidak nyaman
masyarakat Cilacap, para imigran tersebut dianggap
meresahkan wargasehingga berdampak pada imigran yang
ditangani Keimigrasian selanjutnya.
d) Konflik sosial, karena sikap dan perilaku imigran yang
sebagian tidak sesuai dengan lingkungan. Sehingga,
67
lingkungan masyarakat terutama di Cilacap tidak nyaman
dengan adanya perilaku imigran yang tidak bisa diterima
masyarakat.
Hambatan yang dihadapi oleh pihak Keimigrasian dalam
menangani para imigran yang berada di Indonesia menurut Adithia
Perdana, SH yaitu sebagai berikut:
1. Cost/Anggaran yang khusus untuk penanganan imigran,
karena Indonesia bukan salah satu negara yang meratifikasi
Konvensi Jenewa 1951 dan merupakan tanggung jawab IOM
dan UNHCR.
2. Proses evakuasi, karena sebelum penyerahan imigran kepada
IOM dan UNHCR pihak Keimigrasian sebagai penempatan
pertama bagi para imigran tersebut dan Keimigrasian
mengalami kesulitan dalam penanganan seperti memberikan
kebutuhan sehari-hari para imigran tersebut, seperti makan,
pakaian dan tempat tinggal.
3. Proses identifikasi, karena belum tentu keterangan yang
diberikan para imigran itu benar. Mereka memberikan
identitas yang palsu karena tidak mempunyai dokumen yang
tidak bisa diselidiki petugas Imigrasi sehingga mereka tidaak
memberikan keterangan yang tidak benar.
4. Kurangnya personel, karena imigran gelap yang datang dan
ditangani bukan dengan jumlah yang sedikit. Imigran datang
68
berbondong-bondong dalam jumlah puluhan orang, sedangkan
petugas imigrasi yang menangani hanya sedikit.
c. Wawancara dengan Regina selaku Kepala IOM Yogyakarta di Kantor
IOM Yogyakarta
Berdasarkan wawancara pada tanggal 15 Februari 2015 dengan
Regina selaku Kepala IOM Yogya bahwa:
1. Hanya ada 6000 imigran dari 13.000 imigran di Indonesia yang
ditangani oleh IOM. Selebihnya dari sisa penanganan dari IOM
dibantu oleh UNHCR dan LSM. Imigran yang ada di Yogyakarta
sendiri adalah imigran yang didatangkan dari berbagai detensi, ada
yang dari detensi Semarang, Pontianak, Kupang, dan Bali. Imigran
yang ada di Yogya ditempatkan di Asrama Haji Yogyakarta.
2. Sedikitnya kasus yang imigran gelap yang ada di Yogya, selama
kasus yang berada di Gunung Kidul sekarang belum ditemukan lagi
kasus imigran gelap yang terdampar di Yogya. IOM dalam
menangani imigran dibantu oleh LSM dan UNHCR. Imigran
tersebut akan diwawancarai oleh komisi tinggi PBB apakah mereka
mencari suaka atau akan menjadi pengungsi.
3. Prosesnya dari penemuan kasus akan ditangkap oleh Polisi lalu
ditangani oleh Kantor Imigrasi, kemudian aparat akan
menghubungi UNHCR lalu diberikan bantuan. Bantuan yang
diberikan yaitu memberikan tempat tinggal ada yang dari
pemerintah, maupun yang menetap di masyarakat.
69
4. IOM juga memberikan bantuan kepada para imigran yang
mempunyai masalah psikologis dan kesehatan yang menangani
yaitu dari Health Department dan Pusat Pemulihan Psikologis.
Setelah proses penempatan sementara itu para imigran tersebut
akan ditempatkan di Rudenim.
5. Penanganan yang dilakukan IOM untuk para imigran menggunakan
dana yang diperoleh dari iuran negara peserta konvensi, seperti
Australia, New Zealand, dan Amerika, Inggris, Canada dan negara
Eropa lainnya.
Hambatan yang terjadi pada proses penangkapan (interception)
untuk memberikan live saving kepada para imigran menurut Regina,
yaitu:
a) Kurangnya ketersediaan fasilitas pendukung, seharusnya imigran
ditempatkan pada fasilitas pemerintah karena mereka tidak
memiliki dokumen resmi berarti mereka tidak memenuhi peraturan
keimigrasian apabila di Pemerintahan daerah tidak ada fasilitas
yang tersedia maka IOM akan mencari fasilitas pendukung.
b) Kesiapan kapasitas lokal, baik dari masyarakat lokal maupun
pemerintah daerah, karena tidak semua masyarakat setempat yang
berkenan menerima imigran karena memiliki banyak alasan,
kemungkinan daerahnya merupakan daerah krisis maksudnya tidak
cukup biaya untuk memberikan pertolongan pertama kepada para
imigran.
70
c) Proses identifikasi, kendala paling menonjol yaitu pada bahasa
para imigran yang datang dari berbagai negara.
2. Data Sekunder
Penelitian tentang penanganan terhadap orang asing pencari suaka di
Indonesia terhadap imigran gelap pencari suaka yang terdampar di Pantai
Mekaran Kebumen, diperoleh data berdasarkan literatur, peraturan
perundang-undangan, dan wawancara dengan berbagai pihak yang
menangani perkara ini. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka
diperoleh data sebagai berikut:
a. Berita Acara Pendapat (Resume) Imigran Gelap
Pada hari Senin tanggal 24 Februari 2014 sekira pukul 12.00 wib
di wilayah Pantai Mekaran Desa Argopeni, Kecamatan Ayah,
Kabupaten Kebumen, telah terdampar sebuah kapal sekoci yang
membawa 26 (dua puluh enam) warga negara asing yang berasal dari
Irak, Iran, Mesir, Pakistan, Bangladesh dan Nepal tanpa dilengkapi
dengan dokumen yang sah. Setelah dilakukan penyidikan di POLRES
Kebumen, para imigran gelap tersebut bertujuan ke Pulau
Christmas(Christmas Island) Australia dengan maksud untuk mencari
suaka.
Para imigran tidak dilengkapi dokumen yang sah serta nahkoda
kapal tidak dilengkapi dokumen perjalanan yang sah, mereka
melakukan perjalanan menggunakan kapal kayu dari Pelabuhan Ratu
hingga Pulau Christmas Australia. Namun, sebelum sampai ke
71
Australia, kapal yang dikemudikan nahkoda tersebut dihadang oleh
kapal Australia, kemudian nahkoda tersebut dan seluruh warga negara
asing/imigran gelap dinaikkan dan dikurung di dalam kapal tentara
Australia.
Alasan para imigran gelap tersebut tidak memiliki dokumen pada
saat melakukan perjalanan menuju Pulau Christmas Australia sebagai
berikut;
1) Imigan asal Irak yaitu berdasarkan keterangan yang disampaikan
dokumen miliknya hilang diambil oleh laki-laki dengan membayar
$4000,- (empat ribu dolar Amerika) yang menjajikan untuk
membawa perjalanan ke negara Australia dan seluruh persyaratan
akan diurus oleh seorang laki-laki tersebut.
2) Imigran asal Mesir menerangkan bahwa dokumennya diambil oleh
laki-laki dan dijanjikan untuk membawanya ke Pulau Christmas
Australia dan semua persyaratan diurus oleh laki-laki tersebut
dengan membayar $5000,- (lima ribu dolar Amerika).
3) Imigran yang berasal dari Pakistan menerangkan bahwa
dokumennya diambil oleh laki-laki yang ia kenal sewaktu tinggal
di Malaysia, ia menyerahkan paspornya beserta uang tunai sebesar
RM4000,- (empat ribu Ringgit Malaysia) kepada laki-laki tersebut.
Dia menerangkan setelah menyerahkan paspor dan uang diajak ke
Jakarta dan ditampung disebuah rumah. Selama dua minggu
ditampung selanjutnya pada hari Kamis tanggal 19 Februari 2014
72
sekitar pukul 01.00 WIB saksi dijemput oleh nahkoda kapal
menggunakan sebuah mobil dan diajak menuju ke Pelabuhan Ratu
untuk diberangkatkan menggunakan sebuah kapal kayu menuju
pulau Christmas dan imigran tersebut kembali dimintai kembali
uang sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta Rupiah) oleh nahkoda kapal
dengan alasan untuk biaya perjalanan menuju Pulau Christmas.
Alasan tersebut sama dengan imiran gelap lainnya yang
berjumlah 26 orang, yaitu dari oknum dan modus yang sama. Setelah
nahkoda dan para imigran gelap tersebut dikurung oleh tentara
Australia, kapal kayu mereka diledakkan dan dihancurkan. Tentara
Australia memberikan kapal sekoci untuk pulang ke daratan yang telah
terlihat dari perairan. Sebelum sampai ke daratan kapal sekoci tersebut
pecah terkena karang dan akhirnya terdampar.
b. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan yang berkaitan dengan penanganan serta perlindungan
imigran gelap, pencari suaka dan pengungsi, antara lain:
1. UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian
a. Pasal 1 angka 1
“ Keimigrasian adalah hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara ”.
73
b. Pasal 3
“Untuk melaksanakan fungsi keimigrasian, pemerintah menetapkan kebijakan keimigrasian dimana kebijakan keimigrasian dilaksanakan oleh menteri yang bertanggung jawab hingga sepanjang garis perbatasan wilayah Indonesia dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi yang meliputi tempat pemeriksaan imigrasi dan pos lintas batas”.
c. Pasal 8 ayat (1)
“Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia
wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih
berlaku”.
Pasal 8 ayat(2)
“Setiap orang asing yang masuk wilayah Indonesia wajib memiliki visa yang sah dan masih berlaku, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang ini dan perjanjian internasional”.
d. Pasal 9 ayat (1)
“Setiap orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi”.
Pasal 9 ayat (2)
“Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pemeriksaan dokumen perjalanan dan/atau identitas diri yang
sah”.
2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
a. Pasal 13 ayat (1)
“Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di
dalam batas-batas setiap negara”.
74
Pasal 13 ayat (2)
“Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk
negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya”.
b. Pasal 14 ayat (1)
“Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri
lain untuk melindungi diri dari pengejaran”.
Pasal 14 ayat (2)
“Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa”.
3. Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi
Secara bersamaan Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan
Protokol 1967 tentang status pengungsi mencakup tiga masalah
pokok berikut ini :
a) Definisi pengungsi yang mendasar, serta rumusan yang
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang mengenai
penghentian dan pengecualian dari status pengungsi.
b) Status hukum pengungsi di negara suaka, hak dan kewajiban
mereka, termasuk hak untuk dilindungi terhadap pengembalian
paksa (refoulment), ke wilayah dimana hidup atau kebebasan
mereka akan terancam.
c) Kewajiban negara, termasuk untuk bekerjasama dengan
UNHCR dalam melaksanakan fungsinya serta memfasilitasi
75
tugas UNHCR dalam mengawasi pelaksanaan Konvensi
Jenewa 1951 tentang Status Pengungsi.
d) Draft Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing
Pencari Suaka dan Pengungsi
1. Penemuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a dilaksanakan oleh Kepolisian Republik
Indonesia/Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
(TNI-AL)/BAKAMLA/Badan Nasional Pencarian dan
Pertolongan.
2. Penempatan, setelah dilakukan penemuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Kepolisian RI/TNI-
AL/BAKAMLA/Badan Nasional Pencarian dan
Pertolongan menyerahkan Orang Asing Pencari Suaka
dan Pengungsi ke petugas Imigrasi untuk dilakukan
pendataan.
3. Penampungan, pencarian dan pertolongan
dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh Badan Nasional
Pencarian dan Pertolongan.
4. Perawatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf d difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri
bekerja sama dengan IOM dan/atau lembaga
Internasional lainnya atas persetujuan Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
76
5. Pengamanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf e dilaksanakan oleh Kepolisian Negara
Republik Indonesia bekerja sama dengan Tentara
Nasional Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM dan
Kementerian Dalam Negeri.
B. Pembahasan
1. Penanganan terhadap Imigran Gelap Pencari Suaka yang Terdampar di
Pantai Mekaran Kebumen
Pada tanggal 24 Februari 2014 berdasarkan wawancara dengan
Briptu Rudi Sulistiawan selaku Penyidik Pembantu di Polres Kebumen
bahwa Polisi menemukan kapal yang berisi 26 imigran yang terdampar di
Pantai Mekaran Kebumen. Penemuan tersebut selanjutnya ditangani untuk
proses penyidikan. Penyidikan dilakukan dengan menangkap imigran serta
nahkoda kapal untuk mengungkap maksud dan tujuan mereka. Para
imigran dibawa ke Kantor Imigrasi Cilacap untuk diperiksa, dievakuasi
dan diamankan.
Berdasarkan wawancara dengan Adithia Perdana, S.H selaku
Kasubsi Komunikasi Keimigrasian di Kantor Imigrasi Cilacap bahwa para
imigra gelap tersebut akan diidentifikasi untuk mengetahui data diri dan
verifikasi status pencari suaka atau pengungsi yang akan diajukan kepada
UNHCR. Setelah dilakukannya proses identifikasi, kemudian Kantor
imigrasi berkoordinasi dengan IOM (International Organization for
77
Migration) mengirimkan surat ke Direktorat Jenderal Imigrasi
(DITJENIM) pusat. DITJENIM kemudian merintahkan Kantor Imigrasi
Cilacap untuk menempatkan para imigran gelap tersebut di penginapan
Cilacap. Imigran gelap tersebut akan ditampung di penginapan Cilacap
dan selama dalam penampungan mereka diberikan bantuan berupa
kebutuhan sehari, seperti makan, pakaian dll. Kebutuhan mereka akan
dibiayai oleh pihak Keimigrasian sebelum para imigran tersebut ditangani
oleh IOM. Setelah berkoordinasi dengan IOM, imigran berada dalam
penanganan IOM kemudian dipindahkan ke Rudenim Medan. IOM akan
dibantu oleh UNHCR dalam penentuan status imigran.
Penanganan imigran gelap pencari suaka yang terdampar di Pantai
Mekaran Kebumen oleh Polres Kebumen dan Keimigrasian dilakukan
sesuai yang tercantum dalam Pasal 2 Draft Peraturan Presiden tentang
Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi dikoordinasikan
oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi dilaksanakan
secara koordinatif oleh instansi Pemerintah meliputi:
1) Penemuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
dilaksanakan oleh Kepolisian Republik Indonesia/Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL)/BAKAMLA/Badan Nasional
Pencarian dan Pertolongan.
2) Penempatan, Setelah dilakukan penemuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Kepolisian RI/TNI-AL/BAKAMLA/Badan Nasional
78
Pencarian dan Pertolongan menyerahkan Orang Asing Pencari Suaka
dan Pengungsi ke petugas Imigrasi untuk dilakukan pendataan.
3) Penampungan, pencarian dan pertolongan dikoordinasikan dan
dilaksanakan oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan.
4) Perawatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d
difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan
IOM dan/atau lembaga Internasional lainnya atas persetujuan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
5) Pengamanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e
dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja
sama dengan Tentara Nasional Indonesia, Kementerian Hukum dan
HAM dan Kementerian Dalam Negeri.
6) Pengawasan Keimigrasian, Pengawasan Keimigrasian terhadap
Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan:
a) Pemeriksaan dan pendataan terhadap identitas diri dan dokumen.
b) Pengambilan foto dan sidik jari.
c) Verifikasi status pencari suaka atau pengungsi kepada UNHCR.
d) Penerbitan Surat Pendataan.
e) Pengawasan keberangkatan terhadap pelaksanaan Voluntary
Repatriation dan Resettlement.
f) Pengawasan lapangan secara berkala pada Tempat Penampungan.
79
g) Persiapan dan pelaksanaan pendeportasian keluar wilayah
Indonesia terhadap Rejected Person.
Bahwa kegiatan yang dilaksanakan secara kordiantif dalam
penanganan imigran tersebut dapat dilakukan dengan kerjasama antara
UNHCR, IOM, dan/atau lembaga Internasional lainnya yang menangani
masalah pencari suaka dan pengungsi sesuai dalam Pasal 5 ayat (2) Draft
Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka dan
Pengungsi. Selain itu, adanya penanganan dari Kementrian Luar Negeri,
yaitu dengan melakukan kerja sama dengan UNHCR menyediakan data
dan informasi Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi, yang dilaporkan
secara berkala setiap bulan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri,
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kepolisian Republik
Indonesia.
Data dan informasi orang asing pencari suaka dan pengungsi terdiri
dari:
1. Data Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang terdaftar di
UNHCR.
2. Data Orang Asing Pengungsi yang telah disetujui ditempatkan ke
negara tujuan (Resettlement).
3. Data Orang Asing Pencari Suaka yang ditolak (Rejected Person).
4. Data Orang Asing Pencari Suaka yang kasusnya telah selesai (Case
Closed).
80
5. Data Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang kembali ke
negara asalnya secara sukarela (Voluntary Repatriation).
Penanganan terhadap imigran gelap pencari suaka yang terdampar di
Pantai Mekaran Kebumen didasarkan pada prinsip-prinsip hukum
Internasional yang berlaku universal dan hukum nasional Republik
Indonesia, antara lain:
a. Tidak mendeportasi Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi ke
tempat di mana hidup atau kebebasannya terancam.
b. Tidak melakukan tindakan hukum keimigrasian kepada Orang Asing
Pencari Suaka dan Pengungsi karena semata-mata masuk atau berada di
wilayah Indonesia secara tidak sah.
c. Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang melakukan tindak
pidana selainyang dimaksud pada huruf b dikenakan ketentuan pidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Perlakuan nondiskriminatif kepada Orang Asing Pencari Suaka dan
Pengungsi berdasarkan ras, kebangsaan, agama atau keyakinan.
e. Menghormati Hak Asasi Manusia Orang Asing Pencari Suaka dan
Pengungsi yang berada di wilayah Indonesia.
f. Perlakuan terhadap anak pencari suaka dan pengungsi yang tidak
didampingi orang tua/walinya didasarkan pada asas kepentingan terbaik
untuk anak (principle of the best interest of the child) yang dilakukan
oleh UNHCR untuk penanganan pencari suaka atau pengungsi anak
dalam situasi tertentu.
81
g. Orang Asing Pencari Suaka yang kasusnya sudah ditutup dan
dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk memperoleh status pengungsi,
kepadanya diterapkan peraturan keimigrasian yang berlaku.
h. Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi yang secara sukarela
menerima perlindungan dari perwakilan negara asalnya, kepadanya
diterapkan peraturan keimigrasian yang berlaku.
Berdasarkan Draft Peraturan Presiden tentang Penanganan Orang Asing
Pencari Suaka dan Pengungsi maka terhadap imigran gelap pencari suaka
yang terdampar di Pantai Mekaran Kebumen sebagai berikut:
1. Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini
dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara pada
Kementrian/Lembaga terkait.
2. Ditetapkan Prosedur Tetap Terpadu bagi badan atau instansi
pemerintah terkait tentang Penanganan Orang Asing Pencari Suaka
dan Pengungsi sebagaimana terlampir, yang menjadi bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.
3. Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, maka Orang Asing
Pencari Suaka dan Pengungsi yang saat ini berada di Rumah Detensi
Imigrasi dan tempat-tempat lainnya dapat ditempatkan di Tempat
Penampungan setempat.
Penanganan imigran gelap pencari suaka yang terdampar di Pantai
Mekaran Kebumen juga didasarkan pada Pasal 14 Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia 1948 yang mengakui adanya hak bagi orang untuk
82
mencari suaka dari adanya persekusi di negara lain. Konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Status Pengungsi yang diadopsi pada tahun 1951
merupakan landasan utama dari perlindungan internasional terhadap
pengungsi pada saat ini. Protokol 1967 menghapus batasan bagi orang-
orang yang meninggalkan negaranya dikarenakan peristiwa yang terjadi
sebelum 1 Januari 1951 dan Konvensi 1951 memiliki cakupan yang
sifatnya universal. Konvensi tersebut juga didukung oleh gerakan
perlindungan pengungsi di beberapa wilayah, dan juga melalui
perkembangan hukum internasional hak asasi yang maju.
Konvensi 1951 mengkonsolidasikan instrumen-instrumen
internasional terkait pengungsi yang telah ada dan memberikan kodifikasi
paling lengkap mengenai hak-hak pengungsi di tingkat internasional, bagi
negara yang telah meratifikasi konvensi ini atau negara peserta konvensi
tidak diperbolehkan adanya diskriminasi kepada pengungsi baik dari ras,
agama atau negara asal maupun warna kulit dan mereka mempunyai
kebebasan untuk menjalankan segala kegiatannya dan kebebasan bagi
pendidikan anak-anak mereka di negara yang menampungnya. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Konvensi 1951 tentang
diskriminasi, yaitu Negara pihak akan menerapkan ketentuan-ketentuan
konvensi ini pada para pengungsi tanpa diskriminasi mengenai ras, agama
atau Negara asal (http://www.academia.edu/12016927/Hak_dan_
Kewajiban_Pengungsi_Berdasarkan_Konvensi_Jenewa_1951).
83
Indonesia bukanlah negara peserta yang meratifikasi Konvensi 1951
maka penanganan orang asing pencari suaka dilakukan atas dasar Hak
Asasi Manusia. Jika para imigran tersebut telah dikabulkan pengajuan
statusnya oleh UNHCR maka mereka akan di pindahkan ke Community
Housing yang ada di Indonesia. Apabila pengajuan mereka ditolak maka
mereka dapat mengajukan banding.
Bagi para imigran yang pengajuannya tidak dapat diterima atau
ditolak (rejected person) maka Kementerian Luar Negeri melakukan
hubungan antar negara dan koordinasi dengan Perwakilan Negara asal
imigran tersebut yang berada di wilayah Indonesia, yang meliputi
penyampaian consular notification kepada Perwakilan Negara asal
imigran gelap untuk memberikan dokumen perjalanan dan memfasilitasi
pemulangan bagi rejected person, atau yang akan menyatakan kesediaan
untuk repatriasi sukarela. Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan
UNHCR dan/atau IOM, dan/atau Delegasi ICRC untuk memfasilitasi
pemulangan orang asing yang dimaksud.
Penanganan yang dilakukan keimigrasian terhadap imigran gelap
pencari suaka yang terdampar di Pantai Mekaran Kebumen juga
disesuaikan dengan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-
1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang penanganan imigran ilegal pada Pasal
2 yaitu :
(1) Imigran ilegal saat diketahui berada di Indonesia dikenakan tindakan
Keimigrasian.
84
(2) Dalam hal imigran ilegal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan keinginan untuk mencari suaka dan/atau karena alasan
tertentu tidak dapat dikenakan pendeportasian, dikoordinasikan
dengan organisasi Internasional yang menangani masalah pengungi
dan/atau UNHCR untuk penentuan statusnya.
Jadi penanganan keimigrasian pada Pasal 2 yaitu imigran
gelap/ilegal pencari suaka yang berada di Indonesia tidak mempunyai
wewenang untuk mendeportasi, selain itu juga tidak dapat mencarikan
negara ketiga bagi para imigran. Pihak keimigrasian akan melakukan
koordinasi dengan UNHCR (United Nations High Comissioneer for
Refugees) sebagai organisasi yang menangani masalah pengungsi.
Penanganan yang diberikan UNHCR sesuai dalam Pasal 3 akan
memberikan Attestation Letter atau Surat Keterangan sebagai pencari
suaka kepada imigran gelap pencari suaka, imigran gelap/ilegal akan
ditempatkan di tempat tertentu dengan fasilitasi dari UNHCR dan wajib
melaporkan keberadaan dirinya oleh UNHCR kepada Direktur Jenderal
Imigrasi, kemudian kepada para imigran gelap/ilegal wajib mentaati
ketentuan peraturan perundang-undangan dan mengisi surat pernyataan
sesuai dengan format dalam lampiran peraturan Direktur Jenderal
Imigrasi, dan menjadi tanggung jawab Kepala Kantor Imigrasi setempat
dalam pengawasan penempatan imigran gelap.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan tempat tinggal dan biaya hidup
imigran ilegal selama dalam proses atau berada di bawah perlindungan
85
UNHCR, tidak menjadi beban/tanggungan Kantor Imigrasi, Kantor
Wilayah Kementrian Hukum dan HAM, atau Direktorat Jenderal Imigrasi,
perlindungan UNHCR tersebut sesuai dalam pasal Pasal 6 Peraturan
Direktur Jenderal Imigrasi tentang Penanganan Imigran Ilegal.
2. Hambatan dalam Menangani Imigran Gelap Pencari Suaka di Indonesia
yang Terdampar di Pantai Mekaran Kebumen
Berdasarkan data yang dikeluarkan UNCLOS 1982 (United Nation
Convention on the Law of the Sea), wilayah Indonesia terdiri dari 64,97%
perairan dengan luas 3.544.743,9 km². Wilayah perairan yang sangat luas
tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara transit bagi kapal yang
membawa imigran gelap.
Kasus Imigran gelap yang terjadi di Indonesia merupakan
permasalahan yang sulit untuk diselesaikan. Hal ini disebabkan karena
Indonesia harus mengahadapi berbagai hambatan baik dari dalam maupun
dari luar yang membuat permasalahan imigran gelap sulit diselesaikan
secara menyeluruh.
Permasalahan yang dihadapi ketika melakukan penanganan imigran
gelap pencari suaka yang terdampar di Pantai Mekaran Kebumen oleh
Polres Kebumen, Kantor Imigrasi dan IOM pada penemuan kasus yang
ditangkap oleh Polisi dan ditangani oleh Kantor Imigrasi yaitu pada proses
identifikasi para imigran karena kesulitan dalam bahasa negara asal
mereka. Hal ini diakui oleh Briptu Rudi Sulistiawan sebagai Penyidik di
Polres Kebumen memberikan keterangan tentang hambatan yang dialami
oleh penyidik yaitu pada proses identifikasi imigran dengan
86
mewawancarai imigran kesulitannya dalam mencari Juru Bahasa selain
Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, karena imigran gelap datang dari
berbagai negara. Ketiadaan dokumen juga menambah sulitnya
pengidentifikasian imigran yang dialami oleh Kantor Imigrasi Cilacap dan
IOM.
Hambatan lain yang ditemui adalah dalam hal ini mengamankan
barang bukti berupa kapal sekoci yang susah diangkut, karena kondisi
geografis di wilayah Desa Argopeni, Kecamatan Ayah, Kabupaten
Kebumen berupa pegunungan dan lokasi kejadian di bibir pantai yang
letaknya di bawah jurang. Kepolisian juga kesulitan mengungkap agen
yang membawa imigran gelap, karena agen tersebut telah terorganisir
dengan rapi. Jaringan tersebut meliputi pihak hotel, agen taxi, dan anggota
lainnya. Mereka merekrut imigran gelap untuk meraih keuntungan dengan
menjanjikan ke Pulau Christmas.
Kurangnya koordinasi antara Polres Kebumen dengan Polres
Pelabuhan Ratu, juga menjadi kendala tersendiri dalam mengungkap kasus
imigran gelap ini sebenarnya diperlukan informasi yang akurat dari Polres
Pelabuhan Ratu memingat mereka berangkat dari Pelabuhan Ratu hingga
akhirnya terdampar ke Pantai Mekaran Kebumen. Selain itu, kurangnya
pengetahuan tentang penanganan imigan gelap tidak dimiliki oleh semua
anggota Kepolisian.
Ketiadaan anggaran khusus dalam penanganan imigran gelap
pencari suaka di Pantai Mekaran Kebumen merupakan salah satu
hambatan yang harus dihadapi oleh Kantor Imigrasi Cilacap. Menurut
Adithia Perdana bahwa, Indonesia bukanlah negara yang meratifikasi
87
Konvensi 1951 sehingga tidak ada anggaran khusus yang diberikan
Pemerintah selama imigran gelap tersebut dalam penanganan Kantor
Imigrasi Cilacap. Kesulitan dalam anggaran juga dialami dalam proses
penyidikan oleh Polres Kebumen.
Hambatan yang dihadapi dalam proses identifikasi imigran adalah
tidak semua informasi yang diberikan oleh imigran kepada petugas
merupakan informasi yang benar karena para imigran seringkali berbelit-
belit dalam memberikan keterangan. Hal itu disebabkan karena mereka
tidak ingin identitasnya diketahui dan sebagian dari mereka mengalami
depresi karena tujuannya tidak tercapai. Depresi tersebut yang membuat
imigran sering mengamuk selama tinggal di penginapan Cilacap.
Keributan tersebut sering terjadi di penginapan yang menampung mereka
dan membuat jera pihak penginapan. Sehingga tidak ada lagi penginapan
di Cilacap yang berkenan untuk menampung imigran gelap. Sikap dan
perilaku imigran yang sebagian tidak wajar dan membuat tidak nyaman
warga sekitar merupakan kesulitan dalam penanganan imigran gelap yang
dilakukan Keimigrasian Cilacap.
Hambatan tersebut didukung dengan kurangnya personel petugas
keimigrasian, karena imigran gelap yang datang dan ditangani bukan
dengan jumlah yang sedikit. Imigran datang berbondong-bondong dalam
jumlah puluhan orang, sedangkan petugas imigrasi yang menangani hanya
sedikit. Kendala yang dihadapi Kantor Imigrasi sebagai pihak penanganan
pertama sementara bagi imigran gelap, setelah itu akan ditangani oleh
IOM yang dibantu oleh UNHCR.
88
Setelah menjalani penanganan di Kantor Imigrasi selanjutnya
imigran gelap akan ditangani oleh IOM dan UNHCR. Penanganan IOM
terhadap imigran di Indonesia ada beberapa fase yaitu penangkapkan
(interception), penempatan, ressetlement. Hambatan yang dialami yaitu
dari interception yang bertujuan untuk memberikan pertolongan pertama
atau life saving yang diperuntukan bagi para imigran. Hambatan yang
terjadi pada proses penangkapan (interception) untuk memberikan life
saving kepada para imigran menurut Regina dari IOM Jakarta, yaitu
kurangnya ketersediaan fasilitas pendukung, seharusnya imigran gelap
ditempatkan pada fasilitas pemerintah karena mereka tidak memiliki
dokumen resmi yang memungkinkan mereka tidak memenuhi peraturan
keimigrasian. Ketiadaan fasilitas pemerintah daerah tersebut akan
didukung oleh bantuan yang diberikan IOM. Kesiapan kapasitas lokal
dalam memberikan pertolongan pertama juga merupakan salah satu
kesulitan yang dihadapi IOM dalam penangan imigran gelap, baik dari
masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Hal itu disebabkan sikap dan
perilaku imigran yang sering kali bertingkah tidak wajar sehingga tidak
semua masyarakat dapat menerimaimigran hidup di daerah tersebut. Selain
itu, tidak ada anggaran khususnya di Pemerintah Daerah untuk
memberikan pertolongan pertama kepada imigran gelap yang ditemukan
didaerahnya.
top related