bab iv hasil dan pembahasan 4.1setting penelitian 4.1.1 ......dirumah keseharian rp i hanya mandi,...
Post on 19-Jan-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Setting Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Menara Kasih
(PSMK) Salatiga. PSMK berada di Jl. Langen Rejo 326 Rt. 07
/Rw. 02 Gendongan, Salatiga. PSMK merupakan panti yang
merupakan tempat perawatan lansia dengan hambatan
mobilitas fisik, kelumpuhan dan tirah baring yang diakibatkan
oleh kemunduran fisiologis tubuh, riwayat jatuh ataupun gejala
sisa penyakit-penyakit degeneratif seperti stroke. Panti Sosial
Menara Kasih merupakan yayasan sosial yang telah berdiri
sejak tahun 2012.
4.1.2 Proses Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 13 – 26 April 2016.
Pada awal studi pendahuluan 17 – 28 November 2015. Dalam
penelitian ini peneliti hanya mengambil partisipan yang
memiliki riwayat penyakit stroke (lansia pasca stroke). Peneliti
pertama kali bertemu partisipan di Panti Sosial Menara Kasih
pada saat melakukan studi pendahuluan dan melakukan
perkenalan secara singkat. Pada bulan Februari 2016 peneliti
datang kembali ke PSMK untuk bertemu riset partisipan
sebagai bentuk bina hubungan saling percaya sebelum
42
peneliti memohon kesediaan partisipan untuk mejadi subjek
penelitian. Kemudian, pada tanggal 13 April 2016 peneliti
kembali datang untuk mengantar surat izin penelitian dan
meminta kesediaan subjek penelitian untuk menjadi riset
partisipan. Peneliti terlebih dahulu menjelaskan kepada setiap
lansi yang akan menjadi Riset Partisipan mengenai maksud
dan tujuan penelitian yang akan dilakukan dan memohon
pada RP untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi
partisipan.
Setelah memperoleh ijin dari pihak yayasan PSMK pada
tanggal 13 April 2016, peneliti kemudian melakukan diskusi
dengan para pengasuh lansia di PSMK, untuk menjelaskan
maksud dan tujuan penelitian. Disamping itu, peneliti
melakukan pertemuan langsung dengan para pengurus lansia
di PSMK untuk menjelaskan maksud dan tujuan penelitian.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti
pada tanggal 17 – 28 November 2015, subjek penelitian yang
dipilih menjadi partisipan awalnya adalah 7 orang lansia
dengan yang mengalami stroke (pasca stroke), namun
sebelum penelitian berlangsung, 2 partisipan telah meninggal
dunia, 1 partisipan telah pindah dari PSMK, dan 1 partisipan
mengalami hambatan komunikasi verbal, sehingga total
43
subjek penelitian yang memenuhi kriteria penelitian adalah 3
orang lansia pasca stroke.
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Gambaran Umum Partisipan
Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah lansia
pasca stroke yang tinggal PSMK Salatiga. Jumlah subjek
penelitian yang ditentukan menjadi riset partisipan
berdasarkan kriteria penelitian adalah 3 lansia pasca stroke.
1. Riset Partisipan I
Nama : Ny A
Umur : 62 tahun
Tanggal lahir : 2 Februari 1954
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Pernikahan : Menikah
Riset Partisipan I (RP I) adalah seorang perempuan yang
berasal dari Salatiga. RP I pertama kali mengalami
serangan stroke pada tahun 2012, sehingga gejala sisa
yang masih dapat diamati adalah kelumpuhan pada bagian
tubuh sebelah kiri. Berdasarkan riwayat pernikahan RP I
telah menikah sebanyak 2 kali. Suami pertama dan kedua
telah meninggal dunia. RP I mempunyai 2 orang anak, anak
laki-laki dari suami pertama yang tinggal di Surabaya dan
seorang anak perempuan yang merupakan anak dari
44
pernikahan kedua partisipan. Sebelum masuk ke panti RP I
tinggal bersama anak perempuannya di Salatiga. Saat
dirumah keseharian RP I hanya mandi, makan, nonton tv
dan begitu seterusnya. RP I mulai tinggal di PSMK Salatiga
sejak 16 Oktober 2013. Pekerjaan RP I sebelum mengalami
stroke adalah wiraswasta yang berjualan bersama suami,
namun setelah suami meninggal dunia RP I hanya berperan
sebagai ibu rumah tangga dan dinafkahi oleh anak
perempuannya. Dalam melakukan aktivitas sehari-harinya
RP I menggunakan alat bantu berjalan yaitu kruk. Alasan RP
I masuk PSMK adalah tidak ada yang menjaga dan
merawatnya karena anak dan menantunya sibuk bekerja
serta sering keluar kota.
Dalam keseheharian di PSMK RP I lebih banyak
kesibukan mandi, nonton tv, tidur, bercerita dengan
pengasuh panti, ibadah, terkadang membantu memijat
dengan tangan kanannya. Dalam melakukan aktivitas
sehari-harinya mampu dilakukan secara mandiri. Dalam
penelitian, peneliti melakukan wawancara selama 20 – 30
menit dengan 4 kali wawancara. Respon RP II dan
berkomunikasi dengan suara jelas dan dapat menjawab
pertanyaan dengan baik.
45
2. Riset partisipan II
Nama : Tn. A
Umur : 61 tahun
Tanggal lahir : 21 Mei 1955
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Belum menikah
RP II adalah seorang lansia berjenis kelamin laki-laki
berumur 62 tahun yang berasal dari Jakarta. RP II belum
pernah menikah. RP II mengalami serangan stroke sejak
tahun 2014, sebagai akibat dari serangan stroke yang
dialami RP II mengalami kelumpuhan pada kaki kiri. RP II
mampu berjalan sendiri menggunakan walker (alat bantu
berjalan). RP II masuk ke panti pada tanggal 8 Maret 2014,
alasan RP II masuk panti dikarenakan pada tempat tinggal
RP II yang berada di Jakarta, RP II tidak memiliki pengasuh,
sehingga keluarga menyarankan RP II ke PSMK Salatiga
karena keluarga sibuk bekerja.
Kegiatan sehari-hari RP II adalah mandi, makan, nonton
tv dan istirahat. Dalam melakukan aktivitas sehari-hari
seperti mandi, makan, berpakaian, BAB/BAK, RP II dapat
melakukan semua kegiatan tersebut secara mandiri. Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan wawancara selama 20 – 30
menit dengan 4 kali wawancara. Respon RP II dan
46
berkomunikasi dengan suara jelas dan dapat menjawab
pertanyaan dengan baik.
3. Riset partisipan III
Nama : Tn. H
Umur : 60 tahun
Tanggal lahir : 12 Juli 1956
Jenis Kelamin : Laki-laki
RP III berasal dari Salatiga, serta belum menikah. RP III
berjenis kelamin laki-laki dan usia 60 tahun. RP III
mengalami polio pada kaki sebelah kanan sejak usia 4
tahun sampai sekarang, kaki yang mengalami polio tidak
dapat di gerakkan. Pekerjaan RP III sebelum stroke adalah
seorang supir truk dengan menggunakan kaki sebelah kiri
yang aktif untuk bekerja. RP III mengalami stroke sejak
tahun 2013 yang mengakibatkan kelumpuhan pada kaki kiri,
tangan kanan dan hambatan komunikasi verbal sehingga
saat berbicara suara sedikit kurang jelas. Kelumpuhan yang
dialami mengharuskan RP III menggunakan kursi roda untuk
bergerak dan berpindah tempat.
Alasan RP III masuk ke panti adalah tidak ada yang
menjaga serta merawat RP III karena keluarga sibuk
bekerja. RP III masuk panti pada 13 September 2015.
Dalam kesehariannya di panti RP III hanya istirahat, mandi,
47
makan, dan untuk melakukan aktivitas sehari-hari RP III
sangat bergantung pada pengasuhnya kecuali untuk makan
dan minum RP III dapat melakukannya sendiri. Saat
melakukan wawancara RP III komunikatif meskipun suara
kurang begitu jelas, namun dapat di mengerti. Wawancara
dilakukan 20 – 30 menit, untuk melengkapi kekurangan
peneliti melakukan 5 kali wawancara.
4.2.2 Analisis Data
Dari hasil wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini
telah dibuat dalam bentuk verbatim. Setelah melakukan
verbatim peneliti melakukan pengkodean dengan memberikan
kode dalam kelipatan lima (5, 10, 15, 20, 25, dst…) untuk
menunjukan pernyataan partisipan pada transkrip wawancara.
Semua data yang telah diberikan kode, peneliti melakukan
reduksi data dari pernyataan riset partisipan yang disesuaikan
dengan kategori, sub tema dan tema besaryang diperoleh
dengan mencari meaning unit dalam verbatim yang sudah di
berikan kode. Berdasarkan hasil reduksi data yang dilakukan
peneliti berdasarkan hasil wawancara diperoleh 4 tema besar
yaitu penyebab stroke yang diderita, stressor psikososial
pasca stroke, respon emosional penderita pasca stroke,
mekanisme coping pasca stroke.
48
4.2.2.1 Penyebab stroke
Dari proses wawancara dan analisa data yang di
lakukan, dapat diketahui bahwa ketiga partisipan memiliki
kesamaan penyebab stroke yaitu hipertensi. Menurut
pernyataan masing-masing riset partisipan penyebab
stroke baru diketahui setelah mengalami serangan stroke
dan dibawa ke rumah sakit. Beberapa pernyataan
partisipan adalah sebagai berikut:
“…kata dokter saya terserang stroke…. terus pikiran yang
berat yang bisa menimbulkan hipertensi atau tekanan
darah ibu naik.” (RP I.35)
“…kata dokter yang menyebabkan stroke saya adalah
hipertensi, itu aja. Stroke yang saya alami tiba-tiba aja
waktu saya bangun tidur.” (RP II.35)
“Tapi waktu periksa kata dokter penyebabnya itu
hipertensi...”(RP III.55)
Berdasarkan pengakuan partisipan, menurut dokter
pemicu hipertensi RP I dan RP II adalah stres. Stroke yang
dialami RP I disebabkan oleh hipertensi yang dipicu stres.
RP I mengalami stres akibat rasa marah dan kesal
terhadap karyawan anak RP I yang tinggal bersama RP I
di rumah anak perempuannya. RP I merasa marah dan
kesal terhadap sikap karyawan tersebut, dikarenakan
karyawan yang tinggal di rumah anak RP I tersebut
memiliki sikap yang tidak disukai RP I yaitu hanya
49
bermalas-malasan di rumah dan memperlakukan RP I
seperti pembantu rumah tangga. Merasa diperlakukan
seperti seorang pembantu rumah tangga oleh karyawan
anaknya, RP I yang merupakan penderita hipertensi yang
dalam kondisi tersebut hanya bisa memendam rasa marah
dan kesal terhadap karyawan tersebut, sehingga semakin
lama rasa marahnya akhirnya terserang stroke. Setelah
terkena stroke, RP I mengalami kelumpuhan pada bagian
tubuh sebelah kiri. Pada RP III hipertensi dipicu oleh
sifatnya yang dulu cepat marah dan stres dikarenakan
pekerjaannya sebagai supir yang membuat RP III tidak
memiliki waktu untuk beristirahat. Pada RP II, penyebab
stroke yang di derita tidak diketahui secara pasti oleh RP II
dirinya mengalami hipertensi sesuai informasi yang
diperoleh dari dokter yang merawatnya. Namun, RP II
mempunyai riwayat hipertensi, ibunya juga adalah seorang
penderita hipertensi.
“Pemikiran saya waktu itu saya pikiran berat, jengkel,
kesal.” (RP I.25)
“Saya jengkel dan marah sama anak buah ee anak
saya.Menjengkelkanlah waktu itu di rumah Imam Bonjol
(nama jalan rumah anaknya), disini (sambil memegang
dada) saya cuma diem-diem akhirnya yang kalah saya
sendiri terus kena stroke.” (RP I.30)
50
“Saya kurang tau apa yang menyebabkan saya stroke
soalnya tiba-tiba aja gitu.Tau nya penyumbatan aliran
darah ke otak.” RP II.30)
“Aku gak tau, lupa dokter bilang apa. api ibuku dulu
hipertensi.” (RP II.40)
“…waktu periksa kata dokter penyebabnya itu hipertensi
yang dipicu karena stres.” (RP III.55)
Selain riwayat hipertensi yang diderita, pada RP I dan
RP II penyebab stroke yang lain adalah peningkatan kadar
gula darah. Kedua partisipan (RP I, RP II) mengaku
menyukai makanan yang manis-manis. Sedangkan pada RP
III, faktor lain penyebab hipertensi adalah peningkatan kadar
kolesterol, peningkatan kolesterol tersebut menurut
partisipan yang memperoleh informasi dari dokter yang
menanganinya dikarenakan oleh jenis makanan yang di
konsumsi oleh RP III. RP III mengaku sering mengkonsumsi
makanan yang berlemak seperti daging anjing, sapi dan
kambing.
“Kata dokter selain hipertensi juga karena gulah darah
yang berlebih.” (RP I. 75, RP II.90 )
“Dulu saya yang terlalu boros, makannya sembarang, apa-
apa saya makan. Makan sapi, babi, anjing, semua daging
saya makan. Dulu saya lebih gemuk dari ini, badan saya
besar, saya kena kolesterol. Kata dokter penyebab stroke
saya… dan kolesterol karena makanan yang saya
konsumsi.” (RP III. 55)
51
4.2.2.2 Stressor Psikososial pasca stroke
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui hal-hal
yang memicu stres yaitu stressor psikososial seperti
stressor fisik, stressor psikologis, stressor hubungan
interpersonal, stressor finansial, dan stressor lingkungan
hidup.
Dalam penelitian ini pemicu utama riset partisipan
sebelum dirawat di panti dan setelah dirawat di panti (RP I,
RP II, RP III) adalah stressor fisik. Stressor fisik yang
dialami riset partisipan (RP I, RP II, RP III) yaitu
kelumpuhan yang dialami pasca stroke yang
mengakibatkan adanya perubahan pada kemampuan
fungsional. Ketiga riset partisipan mengalami kelumpuhan
separuh. Berbeda dengan RP I dan RP II, selain
mengalami kelumpuhan sebagian yang diakibatkan stroke,
RP III juga mengalami kelumpuhan pada salah satu kaki
yang diakibatkan polio. Hal tersebut mengakibatkan RP III
mengalami kelumpuhan hampir seluruh bagian tubuh.
Selain mengalami kelumpuhan, RP III juga mengalami
hambatan komunikasi verbal. Kondisi tersebut
mengakibatkan RP III bergantung penuh pada pengasuh
lansia untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Pada RP I
kelumpuhan yang diakibatkan stroke adalah pada sisi
52
tubuh bagian kiri. Berdasarkan pengakuan RP I, dirinya
pernah mengalami kelumpuhan karena terpleset yang
menharuskan dirinya harus menggunakan kursi roda untuk
berpindah tempat.
“....waktu sampai rumah tiba-tiba ibu ndak bisa jalan lagi
kaki ibu lumpuh..puh, keluar mobil ibu harus di bopong
anak sama menantu saya.” (RP I. 45)
“Ndak pernah kambuh ibu stroke.Tapi waktu itu pernah ibu
terpleset dan lumpuh lebih parah lagi, harus pakai kursi
roda 3 minggu waktu itu.” (RPI.185)
“Perubahan saya yang paling menonjol stroke saya ini
bikin lumpuh bagian kiri, nggak bisa gerak sama sekali,
tidak bisa bekerja lagi dan selama itu saya diam dirumah,
keuangan semakin menipis.10 hari dirawat itu gak ada
perubahan sama sekali, terus saya udah di perbolehkan
pulang karena sudah pulih dari stroke.” (RP I. 55)
“Banyak sekali perubahan terutama saya ndak bisa jalan
lagi sama sekali.Saya sudah kena polio sejak umur 3
tahun, tetapi saya masih bisa nyupir. Setelah stroke saya
lumpuh total pada kedua kaki saya, gak bisa
jalan….tangan kanan saya jarinya kaku, juga suara saya
sekarang ndak jelas, saya juga sedikit budek soalnya
terlalu banyak minum obat mungkin. Yang paling saya
kecewa ini lumpuhnya saya dan juga saya susah
ngomong.” (RP I.50)
Kelumpuhan yang dialami pasca stroke juga berdampak
pada kondisi psikis ketiga riset partisipan. Setelah
mengalami kelumpuhan pasca stroke, ketiga riset partisipan
mengaku memiliki perasaan tidak berdaya dan hanya
membebani keluarga. Hal tersebut dikarenakan, ketiga riset
53
partisipan merasa tidak dapat berbuat apa-apa untuk
membantu meringankan beban keluarga yang membiayai
mereka tinggal di panti, sehingga timbul pikiran, bahwa
mereka hanya merepotkan keluarga. Selain merasa tidak
berdaya, ketiga riset partisipan juga mengaku merasa
cemas, keadaan ini karena memiliki perasaan takut jika
stroke kambuh kembali, kepikiran akan kesembuhan dari
lumpuh. Selain itu, harus tinggal terpisah dengan anggota
keluarga menimbulkan perasaan sedih pada RP I.
“Perasaan ibu waktu kena stroke kaget, bertanya-tanya
kenapa kok bisa kena stroke.....Ibu jadi takut, cemas dan
kepikiran nanti stroke ibu kambuh lagi.” (RP I.55)
“Ibu ndak mau jauh dari Dian... Juga lumpuh ini membuat
ibu pindah dan perlu menyesuaikan dengan keadaan
panti.” (RP I.110)
“Ya masalah keuangan anak saya, saya kasihan sama
anak saya cuma bisa membebani saja,...(RP I.245)
“Kaget karena tiba-tiba terkena stroke. Kalo ini, apa
namanya. Gimana ya orang bilangnya. Ya agak stres
karena yang dulunya bisa jalan normal, sekarang nggak
bisa jalan normal seperti biasa, harus pakai alat bantu
kalau jalan. Perasaan saya terkadang merasa tidak
berdaya karena lumpuh ini.” (RP II.60, RP II.65)
“Pernah merasa cemas. Ya Selama itu itu ya pikirannya itu
kapan sembuh kapan sembuh, kok kambuhlagi.”(RPII.205)
“ saya ndak tau kapan saya bisa sembuh, kepikiran terus
saya.” (RP III.100)
54
Tinggal di lingkungan yang baru dan bertemu orang-
orang baru juga mengakibatkan stres pada ketiga riset
partisipan. Ketiga riset partisipan mengaku sempat memiliki
kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan tempat
tinggal mereka yang baru. Saat partisipan pindah kepanti
dan bertemu orang baru partisipan pernah bertengkar
dengan sesama lansia di panti, hal tersebut dialami oleh RP
I dan RP II. Sementara itu pada RP III, ia mengaku bahwa
tidak mampu mengontrol emosinya, sehingga sering marah
kepada pengasuh, misalnya karena terlambat datang saat
dimintai bantuan oleh RP III, RP III juga merasa tidak
dihargai, karena seringkali pengasuh memanggil nama RP
III berbeda dengan apa yang diharapkan oleh RP III.
Pernyataan tersebut dibuktikan pada hasil observasi RP III
marah pada pengasuhnya pada pagi hari saat akan
memandikannya.
“Ya kalau kesabaran habis, sama oma T dan Oma M
kalau di tegur marah ya kami bertengkar jadinya.” (RP I,
430)
“Baik-baik aja sekarang. Tapi pernah bertengkar sama
orangtua yang dikamar pojok sana tu, dulu itu aku pernah
dipukul sama orang tua di panti ini juga, tapi aku nggak
bisa ngelawan dengan keadaan beginikan. Aku marah
sama orang panti kok orang begitu (gangguan jiwa) masih
diterima disini.” (RP II.185)
“Dipanti kadang saya emosi kalau sama pengasuh orang
ngomong ndak dengar, kalau manggil itu heh..heh,
55
sayakan punya nama, mereka ndak sopan saya ndak bisa
ngapa-ngapain tapi saya ingin dihargai, kalau diperlakukan
begitu ya saya marah. Saya bosan disini gak ada yang
bisa saya buat. Saya lumpuh total gak bisa jalan lagi.” (RP
III.185)
Sebelum mengalami kelumpuhan pasca stroke riset
partisipan (RP I, RP II, RP III) merupakan lansia yang dulu
aktif mencari uang. Kelumpuhan pasca stroke
mengakibatkan muncul stressor baru yaitu stressor finansial
RP I adalah seorang ibu rumah tangga yang dulunya aktif
bekerja yaitu berjualan, setelah suaminya meninggal RP I
tinggal di rumah anaknya, kegiatan yang dillakukan adalah
kegiatan seperti ibu rumah tangga pada umumnya yaitu
membersihkan rumah dan masak meskipun dibantu oleh
pembantunya. Sedangkan, RP II dan RP III merupakan
lansia belum berkeluarga yang terbiasa melakukan
pekerjaan sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
sehingga pada saat mengalami kelumpuhan akibat stroke
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-harinya
bergantung pada keluarganya.
“Perubahan saya yang paling menonjol stroke saya ini
bikin lumpuh bagian kiri, nggak bisa gerak sama sekali,
tidak bisa bekerja lagi dan selama itu saya diam dirumah,
keuangan semakin menipis, saya merasa tidak berdaya.”
(RP II.55)
“Setelah stroke saya lumpuh total pada kedua kaki saya,
gak bisa jalan. Setelah kena stroke banyak yang berubah,
56
pertama sudah tidak ada pekerjaan, hidup harus
bergantung pada keluarga, saya dari dulu terbiasa bekerja
tetapi sekarang saya ndak bisa apa-apa, semuanya cuma
minta aja, ndak punya uang,…” (RP III.50)
Ketiga partisipan mengungkapkan bahwa merasa kesepian
saat di panti dengan kelumpuhan yang mereka alami. Selain
itu, kurangnya aktivitas atau kegiatan yang ada di panti.
“Jujur sebenarnya saya merasa sepi karena ndak
kegiatan-kegiatan dipanti ini, kesehariannya paling cuma
nonton aja.” (RP I.120)
“Tetapi lumpuh ini membuat ibu harus pindah kepanti dan
harus menyesuaikan lagi dengan keadaan di panti.” (RPI.
105)
“Perasaan kesepian juga ada ya gak ada kegiatan apa-
apa.Cuma mau gimana lagi, kalau mau kemana-mana gak
bisa, lagian disini juga ada yang jaga ya, jadikan lebih
enak.” (RP II.105)
“saya dipindah kepanti karena dipanti ada yang
mengawasi dan merawat saya” (RP III.120)
4.2.2.3 Respon Emosional Penderita Pasca Stroke
Berdasarkan hasil analisa data, saat pertama kali di
diagnosis stroke serta mengalami kelumpuhan, ketiga riset
partisipan merasa kaget dan tidak percaya dengan kondisi
yang dialami karena hal tersbut terjadi secara tiba-tiba dan
tidak diduga. Selain perasaan kaget ketiga riset partispan
juga mengalami perasaan takut, cemas, sedih dan kecewa.
Perasaan tersebut dipicu karena riset partisipan merasa
dirinya tidak berdaya dengan kelumpuhan yang di alami.
57
“Perasaan ibu waktu kena stroke kaget ndak percaya,
bertanya-tanya kenapa kok bisa kena stroke. Ibu waktu itu
pertama kali kena stroke, dokter bilang kalau stroke ibu
bisa kambuh lagi kalau pola makan sama pikiran yang
berat bisa memicu kekambuhan ibu. Ibu jadi takut, cemas
dan kepikiran nanti stroke ibu kambuh lagi.” (RP I. 55)
“Ya ibu sangat sedih to, sempat kecewa soalekan ibu dulu
bisa jalan bebas, sekarang lumpuh kaki sebelah kiri saya
harus pakai kruk.” (RP I.60)
“Kaget karena tiba-tiba terkena stroke. Kalo ini, apa
namanya. Gimana ya orang bilangnya. Ya agak stres
karena yang dulunya bisa jalan normal, sekarang nggak
bisa jalan normal seperti biasa, harus pakai alat bantu
kalau jalan. Perasaan saya terkadang merasa tidak
berdaya karena lumpuh ini.” (RP II.60)
“saya ndak percaya bisa kena stroke, sedih saya dengan
keadaan saya yang begini.”(RP III. 60)
Salah satu riset partisipan yaitu RP III mengatakan
bahwa dirinya merasa bersalah atas apa yang dialaminya.
RP III mengungkapkan bahwa stroke yang diderita
dikarenakan semasa muda, ia tidak menjaga pola
makannya dengan baik. Selain itu, RP III mengatakan
bahwa ia kecewa, merasa putus asa dan pernah
berkeinginan untuk mengakhiri hidupnya.
“Minum obat aja dan gak tau lagi mau buat apa, saya
bisanya begini aja sampai mati di tempat tidur. Mau
berobat ke dokter ndak ada uang, kasian keluarga saya
dan makan apa adanya, ndak boleh makan-makan daging
lagi, nek ayam ndak apa-apa asal ndak sering-sering. Ini
karena saya dulu memang yang ndak bisa jaga pola
makannya.” (RP III.65)
“Pertama saya tau lemas, kecewa, pasrah pada Tuhan
karena ndak bisa apa-apa, mau mati saja, marah dan
58
putus asa. Rasanya setengah mati menjalaninya, susah
sekali kalau hidup harus bergantung sama orang lain.” (RP
III.70, 75)
Ketiga riset partisipan yang merupakan lansia pasca
stroke dengan kelumpuhan yang dialami terpaksa harus
pindah dan tinggal di panti dengan harapan keluarga agar
mereka lebih aman dan ada dalam pengawasan pengasuh
panti. Tinggal di panti mengharuskan ketiga partisipan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Tidak
memiliki kegiatan, jauh dari keluarga, mengalami konflik
dengan sesama lansia di maupun pengasuh panti sering
memunculkan perasaan seperti merasa sepi, sedih, marah,
cemas, kecewa, dan merasa tidak berarti. Namun, ada juga
perasaan senang karena dengan tinggal di panti dapat
meringankan keluarganya karena di panti ada pengasuh
yang merawat mereka.
“Jujur sebenarnya saya merasa sepi karena ndak
kegiatan-kegiatan dipanti ini, kesehariannya paling cuma
nonton aja.” (RP I.120)
“Pertama saya dipanti perasaannya sedih, takut jauh dari
anak saya.” (RP I.145, 195)
“Marahnya itu karena sering ngatain matamu-matamu
kalau saya nasehatin itu kalau oma M, kalau oma T saya
bilang “kamu itu sudah tua, kasih pelajaran yang baik-baik
untuk yang lebih muda, saya gituken” ya tapi tetap aja
ndak bisa diam manggil-manggil pengasuh terus.”
(RPI.425, RPI.430)
59
“Perasaan kesepian juga ada ya gak ada kegiatan apa-
apa. Cuma mau gimana lagi, kalau mau kemana-mana
gak bisa,…” (RP II.105, RP III. 105)
“Tapi, kadang aku merasa gak ada arti karena nggak bisa
kemana-mana, kerjaannya itu-itu aja.” (RP II. 150)
“Tapi pernah bertengkar sama orangtua yang dikamar
pojok sana tu, dulu itu aku pernah dipukul sama orang tua
di panti ini juga, tapi aku nggak bisa ngelawan dengan
keadaan beginikan.Aku marah sama orang panti kok
orang begitu (gangguan jiwa) masih diterima disini.” (RP
II.185)
“Pernah merasa cemas. Ya Selama itu itu ya pikirannya itu
kapan sembuh kapan sembuh, kok kambuh lagi,…” (RP
II.205, RP III.130)
“Tapi saya kasian sama mereka, saya cuma membebani
mereka soalnya saya bergantung sama mereka, apa-apa
minta tolong, saya kecewa ndak punya uang, rasanya
pengen mati saja. (dengan muka seperti pandangan
kearah lain sambil menggeleng-gelengkan kepala).” (RP
III.80, RP III.140)
“Dipanti kadang saya emosi kalau sama pengasuh orang
ngomong ndak dengar, kalau manggil itu heh..heh,
sayakan punya nama, mereka ndak sopan saya ndak bisa
ngapa-ngapain tapi saya ingin dihargai, kalau diperlakukan
begitu ya saya marah.” (RP III.185)
“... saya merasa senang juga di panti, ini bisa
meringankan beban keluarga.” (RPI.105, RPII.160,
RPIII.110)
4.2.2.4 Mekanisme Koping Pasca Stroke
Kelumpuhan merupakan gejala sisa stroke yang dialami
ketiga riset partisipan membuat mereka kehilangan
kemandirian dalam beraktivitas, kehilangan pekerjaan,
bergantung pada keluarga serta harus tinggal di lingkungan
60
yang baru dan bertemu orang-orang baru adalah stressor
yang membuat partisipan sering merasa sedih, khawatir,
marah, merasa tidak berdaya dan kecewa. Hal tersebut
dapat mengakibatkan stres bahkan depresi apabila ketiga
riset partisipan tidak memiliki perilaku coping yang tepat.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pada ketiga
partisipan pasca stroke dapat diketahui bahwa dalam
menghadapi permasalahan serta mengatasi stres setiap
partisipan memiliki mekanisme coping yang berbeda.
Peneliti berusaha mengungkapkan jenis mekanisme coping
yang digunakan ketiga partisipan sebelum masuk panti dan
saat tinggal di panti agar dapat menggambarkan bagaimana
mekanisme coping pasca stroke.
Saat pertama kali mengetahui didiagnosis stroke dan
mengalami kelumpuhan, ketiga partisipan merasa kaget dan
tidak percaya dengan kondisi yang dialaminya. Ketiga
partisipan sempat merasa sedih, cemas, putus asa dan
marah serta merasa tidak berdaya dengan keadaan yang
dialami.
“Perasaan ibu waktu kena stroke kaget ndak percaya,
bertanya-tanya kenapa kok bisa kena stroke.” (RP I. 60)
“Ibu sempat menangis sampai susah buat tidur selama
semingguan lebihlah....” (RP I.70)
“Kaget karena tiba-tiba terkena stroke. Kalo ini, apa
namanya. Gimana ya orang bilangnya. Ya agak stres
61
.....Perasaan saya terkadang merasa tidak berdaya karena
lumpuh ini.” (RP II.60)
“saya ndak percaya bisa kena stroke, sedih saya dengan
keadaan saya yang begini dan saya marah dengan diri
saya sendiri.”(RP III. 55)
Sebagai upaya untuk mengatasi perasaan kekhawatiran,
cemas, stres dan perasaan tidak berdaya karena stroke,
ketiga partisipan memiliki cara masing-masing untuk
mengatasinya. Ketiga partisipan merasa perlu mencari
dukungan sosial dari orang lain misalnya mencari teman
untuk teman berbicara agar terhindar dari perasaan
kesepian yang dialami. Selain berbicara dengan orang lain,
RP I mengaku berupaya untuk mengatasi stres yang dialami
dengan berdoa memohon ketenangan hati dan
kesembuhan. RP I mengaku bahwa dengan berdoa ia
merasakan kondisinya menjadi lebih baik. Adapun
pernyatan ketiga riset partisipan sebagai berikut:
“ibu ngobrol sama orang lain juga senang, tetapi ibu lebih
senang berdoa, karena berdoa bisa mengatasi segala-
galanya.” (RP I. 235)
“Kalau saya lebih baik ngomong atau ngobrol itu bisa
ngilangin stres” (RP II. 185)
“saya senang kalau banyak orang, dan ada teman
ngobrol, saya biasanya telpon teman.” (RP III. 205)
Selain itu juga, sebagai upaya mengatasi stres yang
dialami, partisipan ketiga riset partisipan (RP I, RP II)
62
melakukan beberapa cara tertentu seperti berusaha
melakukan kegiatan sehari hari secara mandiri tanpa
bergantung dengan orang lain. Menurut RP I, dirinya perlu
untuk selalu memilki pikiran beranggapan bahwa dirinya
masih mampu melalukan aktivitas sehari-hari secara
mandiri. Selain memotivasi dirinya sendiri, RP I mengaku
bahwa ia juga mendapatkan dukungan dari anaknya yang
selalu memberikan motivasi untuk melakukan aktivitas
secara mandiri. Menurut RP I dirinya masih dapat
melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri dan tidak
perlu merepotkan orang lain. Selain itu RP I juga
melakukan latihan fisik dengan harapan dapat mengurangi
kelumpuhan yang dialaminya. RP II juga melakukan
aktivitas seperti jalan-jalan dan berjemur dipagi hari, RP III
mengatakan hal tersebut sering ia lakukan ketika dulu
dirumahnya. Berbeda dengan RP III yang mengungkapkan
bahwa dia tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari
karena kondisinya yang mengalami keterbatasan gerak
pada hampir seluruh anggota gerak tubuh.
“Ya saya harus belajar sendiri dengan kesot pun yang
penting saya lakukan sendiri, nasehat anakku itu
menguatkan saya, anakku kasih saya semangat“apa-apa
lakukan sendiri, mandiri mah… mandiri …gitu anakku
bilang, ndak boleh nyuruh-nyuruh gmn pun caranya harus
usaha”. Jadi ibu harus punya semangat, nanti untuk minta
bantuan ndak ada perubahan. Terus saya berusaha
sendiri jalan setapak demi setapak sambil mepet tembok,
63
kalau capek saya tidur waktu itu.” (RP I.65, RP I.70, RP
I.80, RP I.230)
“Ya setelah satu bulan saya latihan jalan pakai kruk setiap
jam 5 pagi, saya bisa jalan sedikit-sedikit. Tapi ya pelan to,
saya percaya pasti saya sembuh.” (RP I.95, RP I.235)
“Sejak tahun 2014. Saya biasanya selain kontrol kedokter
ya jalan-jalan pagi sama berjemur aja, tapi ya selang 2
hari. Ya itu lumayan buat hilangin pegel-pegel sama
pusing, kalau tiduran teruskan pusing.” (RP II.80)
“Saya juga mau latihan jalan-jalan ndak bisa lumpuh total
pasrah aja, diam di tempat tidur.” (RP III.75)
Selain motivasi atau upaya mengatasi kelumpuhan dari
dalam diri riset partisipan (RP I, RP II, RP III) juga
mengatasi kelumpuhan melalui upaya medis. Upaya medis
yang dilakukan partisipan yaitu memeriksakan diri ke dokter
di rumah sakit dan mengikuti terapi. Program terapi yang
dijalani oleh partisipan diakui berdampak positif bagi kondisi
RP I dan RP II, sedangkan RP III masih mengalami
kelumpuhan hingga saat ini upaya medis yang dilakukan
hanyalah meminum obat hipertensi untuk mencegah
serangan stroke berulang. Menurut pengakuan RP III, ia
sebenarnya ingin periksa ke dokter, namun tidak memiliki
biaya yang cukup.
“Waktu saya di bawa kerumah sakit kata dokter saya
terserang stroke.“ (RP I.35, RP I.45, RP I.75, RP I. 190)
“Saya waktu itu di panggilkan terapi, saya diterapi selama
1 bulan, ya sedikit bisalah di gerakkan tapi masih ndak
bisa jalan, masih kesot ibu selama dua bulan.” (RP I.85)
64
“Dengan semangat yang mereka kasih itu menguatkan
saya, itu bikin saya semakin berusaha untuk pulih,
biasanya saya ke dokterlah buat kesehatan saya.” (RP
II.140, RP II.150)
“Minum obat aja dan gak tau lagi mau buat apa, saya
bisanya begini aja sampai mati di tempat tidur. Mau
berobat ke dokter ndak ada uang, kasian keluarga saya
dan makan apa adanya, ndak boleh maka-makan daging
lagi, nek ayam ndak apa-apa asal ndak sering-sering.” (RP
III.65, RP III.155)
Ketika dokter mengatakan kepada RP I bahwa stroke
kemungkinan dapat kambuh lagi apabila pola makan dan
gaya hidupnya tidak dijaga, RP I mengaku berupaya
mencari informasi mengenai makanan yang boleh
dikonsumsi oleh orang penderita stroke, sehingga RP I
selalu berusaha mengatur makanan yang di konsumsi untuk
menjaga kesehatan serta dirinya tidak mengalami stroke
berulang. Sama halnya yang dilakukan oleh RP III, RP III
mengaku harus menjaga dan mengatur pola makanan,
karena berdasarkan pengakuan RP III, makanan yang harus
dihindarinya adalah makanan yang tinggi kolesterol yang
dapat menjadi pemicu strokenya. Namun berbeda pada RP
II, dalam mengatur pola makan RP II lebih sering
mengkonsumsi makanan yang sesuai dengan seleranya
tanpa mempertimbangkan kondisinya yang memiliki riwayat
hipertensi dan stroke. RP II merasa hanya perlu
65
beranggapan dirinya tidaklah sakit dan dapat
mengkonsumsi makanan sesuai seleranya. Hal ini
dibuktikan saat observasi RP II sering memesan makanan
seperti sate kambing, gado-gado, lotek. Makanan yang
dikonsumsi RP II sangat berisiko untuk mengalami
kekambuhan, RP II sudah dua kali mengalami stroke
berulang. Dalam mengatasi stres yang biasanya RP II
makan-makanan yang menurutnya enak, meskipun ia tahu
bahwa makanan yang dikonsumsi dapat membuat
kekambuhan pada strokenya. Namun RP II mengatakan
makan yang enak-enak bisa lupa masalah tentang
kelumpuhannya.
“Terus ibu sekarang jaga-jaga supaya ndak kambuh lagi, terus
ibu tanya dokter dan cari info tentang makanan apa saja yang
boleh di makan penderita stroke supaya ndak kambuh lagi,
dari tv di dokter oz itu, acaranya bagus, tanya-tanya sama
temen juga.” (RP I.75, 80)
“saya kalau makan sampai sekarang pengennya yang enak-
enak, sampai-sampai saya kena lagi stroke ni, ya saya
menganggap gak ada penyakit aja, jadi kumakan aja sate
kambing atau sapi di sate suruh itu, rendang sapi juga.” (RP
II. 155)
“... dan saya berusaha buat sembuh dengan makan apa
adanya, ndak boleh maka-makan daging lagi seperti daging
sapi dan lain-lain, nek ayam ndak apa-apa asal ndak sering-
sering.” (RP III.65)
Selama tinggal di panti ketiga partisipan sering merasa
kesepian. Upaya lain yang dilakukan untuk megatasi stres
66
dan kesepian yang dialami biasanya adalah dengan
memanfaatkan fasilitas yang ada dipanti yaitu menonton
televisi, dan menelepon keluarga atau kenalan lainnya.
“Ibu ya nonton tv, ngobrol-ngobrol sama pengasuh, dulu
waktu ibu hartini belum pindah ya cerita-cerita dikamar.
Sekarang sudah sendiri ya paling sering nonton.” (RP
I.125, RP I.255, RP I.295)
“Mengurangi rasa kangen, seneng sekali karena mereka
masih menyempatkan telpon saya, dengar suaranya saja
saya udah senang.” (RP I.160, RP I.165)
“Ya aku nikmati aja ya, dengan senang-senang aja,
nonton tv, berusaha buang pikiran-pikiran yang ganggu
kesehatan aku seperti bertanya terus kenapa aku gak
sembuh-sembuh. Terus aku juga lihat pak Room udah 7
kali serangan tapi sekarang udah bisa jalan lagi, ya aku
percaya aja aku bisa sembuh.” (RP II. 155, RP II.290, RP
II.215)
“Tapi biasanya duduk-duduk aja, saya bawa santai aja,
saya bawa senang aja dan ngobrol sama orang lain
seperti ada kamu, agnes dan erik. Saya kalau ada stress
atau masalah jarang cerita ke orang, tapi kalau untuk
ngilangin stresnya ngobrol-ngobrol aja seperti
mengalihkan atau mengurangi stress.” (RP II.110, RP
II.230, RP II.265)
“Nonton tv aja.kalau ndak telpon teman, cerita-cerita aja.”
(RP III.105, RP III.110)
Dalam mengahadapi permasalahan serta perasaan stres
RP I memilih untuk selalu berdoa dan beribadah. Berbeda
dengan RP II yang mengaku tidak terbiasa berdoa, sejak
sebelum RP II terkena stroke hingga sekarang, namun RP II
mengku tetap mengikuti ibadah yang diadakan di panti.
67
“Ibu berdoa, sambil ibu ludah setiap pagi terus ibu
usapkan di kaki yang lumpuh sembuhkan dengan bilur-
bilurmu Tuhan Yesus, itu dibarengi dengan latihan sambil
angkat kaki dan digerakan. Ibu sambil latihan berdiri kaya
dulu dirumah, pegangan sama tralis sambil doa Bapa
Kami, puji Tuhan ibu sembuh.” (RP I.200, RP I.205, RP
I.255, RP I.260, RP I.270, RP I.290, RP I.295, RP I.330,
RP I.340)
“Kalau saya jujur dari dulu saya jarang buat berdoa ya,
ada masalah sakit atau nggak sakit saya nggak pernah
berdoa. Kalau berbicara dengan orang lain itu lebih baik
buat saya. Tapi kalau ada ibadah saya ikut aja.” (RP
II.225)
“…, berdoa seperlunya supaya bisa menenangkan pikiran
saya, palingan saya telpon teman, tapi ndak mungkin
sering saya telpon.” (RP III.135)
“Saya berdoa kadang-kadang, kalau ibadah saya ikut
terus.” (RP III.165, RP III.285)
Banyaknya masalah yang muncul akibat stroke juga
berdampak pada RP II dan RP III yang harus kehilangan
pekerjaan serta tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mereka merasa sedih dan membebani keluarganya. Namun,
mereka bersyukur keluarga masih mau membiayai mereka
tinggal dipanti, sehingga mereka mengatakan bahwa
keluarga sangat mereka butuhkan.
“Ya itu saya cuma pasrah aja, merenung, berdoa juga,
masih ada keluarga yang peduli itu saya bersyukur karena
keluarga sangat saya butuhkan sekali.” (RP III.350)
“Iya itu yang membuat saya juga beban ya, aku gak bisa
apa-apa. Tapi, saya syukuri aja masih ada keluarga yang
peduli sama saya. Dengan keluarga biayai saya disini itu
juga salah satu dukungan yang mereka kasih buat saya.”
(RP.130)
68
Saat tinggal di panti ketiga riset partisipan mengaku
pernah mengalami konflik dengan sesama lansia maupun
pengasuh di Panti. RP I dan RP II mengalami konflik dengan
sesama lansia di panti, sedangkan RP III dengan pengasuh
di panti. Konflik atau pertengkaran tersebut membuat riset
partisipan seringkali membuat riset partisipan marah dan
merasa tidak nyaman. Upaya yang dilakukan RP I dalam
menangani masalah tersebut adalah berdoa, pergi ke kamar
untuk menghindari berlanjutnya pertengkaran Berbeda
dengan RP III yang mengaku sering marah pada
pengasuhnya, bagi RP III cara yang dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah berusaha mengontrol
rasa marah dan berusaha memiliki pandangan positif
terhadap pengasuh panti, RP III mengungkapkan bahwa ia
harus mengerti bahwa pengasuh dipanti tersebut tidak
hanya merawatnya, sehingga RP III harus bisa menjaga
hubungan baik dengan pengasuh.
“Ya kalau baik, kalau ndak ya mendingan tiduran gitu
untuk pikiran panas biar bisa dingin gitu, kalau ndak bisa
tidur ya pasrah sama Tuhan dengan berdoa.” (RP I.330)
“Baik-baik aja sekarang. Tapi pernah bertengkar sama
orangtua yang dikamar pojok sana tu, dulu itu aku pernah
dipukul sama orang tua di panti ini juga, tapi aku nggak
bisa ngelawan dengan keadaan beginikan. Aku marah
sama orang panti kok orang begitu (gangguan jiwa) masih
diterima disini.” (RP II.185)
69
“(terdiam) dengan cara ndak bikin beban orang lain,
berusaha supaya ndak marah lagi dengan pengasuh
dipanti dengan cara diam aja. saya bawa dalam doa, biar
sedikit menenangkan hati saya.” (RP III.195, RP III.215)
“Kalau marah saya diam aja dan merenung disini ndak
cuma saya yang dirawat banyak orang tua lainnya, ya
saya mencoba ngerti saj pengasuh saya sibuk.saya bisa
menerima karena saya punya keluarga yang peduli sama
saya sampai sekarag membiayai saya tinggal dipanti.” (RP
III.225)
Dalam upaya mengatasi stres yang dihadapi, ketiga riset
partisipan berusaha memiliki pandangan positif terhadap
kondisi mereka. Ketiga riset partisipan mengaku masih
memiliki motivasi untuk tetap sembuh karena merasa masih
mendapatkan dukungan keluarga dan mereka berusaha
mengambil hikmah atas kondisi yang dialaminya. Terkadang
RP III memiliki pandangan negatif terhadap apa yang ia
hadapi sampai sekarang. RP III menyatakan hidupnya tidak
berarti, karena semuanya harus bergantung dengan orang
lain, sehingga baginya keadaan sekarng mempersulit dan
menjadi beban bagi keluarganya. Namun, meskipun sering
memiliki perasaan negatif RP III menyatakan keadaan
sekarang ini menjadi pelajaran buat RP III supaya bisa lebih
mawas diri, tapi kalau bisa mati ia mengatakan
berkeinganan untuk mati saja.
70
“Kalau saya bilang ini sangat mempersulit saya, itu cuma
bikin ibu makin sakit.jadi ibu menganggap ini bukan hal
yang sulit.” (RP I.400)
“Kondisi seperti ini bukan hal yang berat buat saya karena
masih bisa melakukan apa-apa sendiri dan masih ada
keluarga saya yang perhatian sama saya, juga ada Tuhan
yang selalu mendengarkan umatnya.” (RP I.410, RP I.450)
“Saya begini supaya saya lebih dekat dengan Tuhan,
supaya lebih sabar saja.Kalau saya anggap ini beban
nanti malah bikin saya stress.”(RP I.405, RP I.465)
“Ya saya terima karena mungkin udah di serang penyakit
ini ya kita terima aja.saya juga masih bisa jalan dan juga
masih ada harapan buat sembuh.” (RP II.300, RP II.320,
RP II.325)
“Saya harus berdoa kepada Tuhan. Untung saya masih
hidup, maksud saya saya mau mati aja, Tuhan ndak mau.
Mawas diri dan harus tau diri.” (RP III.370)
“...gak berarti hidup saya,..bergantung dengan orang
lain....mempersulit sekali... jadi beban keluarga saja kalau
hidup dengan keadaan begini.” (RP III. )
Ketiga partisipan juga mengungkapkan bahwa dalam
setiap menghadapi masalah tidak lepas dari dukungan
sosial, mereka mendapatkan dukungan dari teman, kerabat,
anak ataupun keluarga. Dari semua partisipan menyatakan
menerima dukungan yang diberikan oleh keluarga ataupun
teman. Dukungan sosial keluarga ataupun teman berguna
bagi lansia. Mereka merasa bahagia bila mendapatkan
dukungan sosial. Dukungan sosial juga mempengaruhi
partisipan dalam menerima keadaan sekarang yaitu
keadaan karena proses penuaan bahkan kelumpuhan stroke
71
yang dialami. Pernyataan tersebut disertai alasan partisipan
karena kelurga memberikan dukungan dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi dengan membiayai mereka tinggal di
panti. Dukungan juga didapatkan dari teman, pengasuh
serta orang sekitar yaitu motivasi dan semangat.
“...dia membiayai saya, saya hanya bisa berdoa buat anak
saya. Kalau sudah menyampaikan perasaan kepada Tuhan
itu lebih tenang.”(RP I.245)
“teman, keluarga selalu memberi semangat buat saya, saya
merasa masih di butuhkan sama mereka”. (RP I.80)
“keluarga saya yang mebiayai saya selama ini, semangat dari
keluarga sama temen-temen juga sangat mendukung untuk
kesembuhan saya, saya jadinya kan semangat gitu.” (RP II.
90)
“Saya ini kalau bukan keluarga yang dukung siapa lagi,
mereka yang paling mendukung untuk kesembuhan saya,
teman-teman juga selalu meberikan dukungan dan semangat,
saya senang sekali.” (RP III. 85)
72
4.3 Pembahasan
Peneliti melakukan wawancara pada 3 orang riset partisipan
yang merupakan lansia pasca stroke. Partisipan dalam
penelitian ini merupakan golongan lanjut usia (elderly) dengan
rentang usia 60 – 74 tahun. Berdasarkan hasil wawancara
dapat diketahui bahwa ketiga lansia tersebut telah mengalami
stroke selama kurun waktu 2 sampai 4 tahun, dan gejala sisa
yang dapat diobservasi langsung saat penelitian pada ketiga
lansia tersebut adalah kelumpuhan separo (hemiplegie)
ataupun kelumpuhan salah satu ekstremitas yang
mengakibatkan lansia-lansia tersebut mengalami hambatan
mobilitas fisik dan membutuhkan alat bantu mobilisasi seperti
kruk, walker dan kursi roda untuk mobilisasi (bergerak dan
berpindah tempat).
Pada penelitian ini ada empat tema yang dibahas oleh
peneliti. Keempat tema tersebut yaitu: (1) Penyebab Stroke (2)
Stressor Psikososial Pasca Stroke, (3) Respon emosional
penderita pasca stroke, (4) Mekanisme koping pasca stroke.
73
4.3.1 Penyebab Stroke
Dari hasil wawancara pengetahuan ketiga partisipan
mengenai penyebab stroke diketahui setelah periksa ke
dokter. Penyebab stroke yang diderita partisipan dikarenakan
hipertensi. Faktor lain yang memicu stroke adalah
peningkatan gula darah, obesitas dan kolesterol. Peningkatan
glukosa dalam darah serta kolesterol pada ketiga partisipan
dikarenakan kebiasaan makan yang kurang baik serta
hipertensi yang diderita karena faktor keturunan.
Menurut Junaidi (2004) tentang beberapa faktor resiko
stroke yang dapat dikontrol antara lain adalah hipertensi dan
peningkatan kadar glukosa darah serta kolesterol. Asumsi
peneliti apabila lansia dalam penelitian ini tidak merubah
kebiasaan makannya akan berakibat pada kondisi
kesehatanya terkait faktor penyebab stroke. Menurut peneliti
apabila faktor risiko tersebut tidak dikontrol akan
membahayakan kondisi kesehatan lansia, sehingga dapat
mengakibatkan stroke berulang. Menurut penelitian yang
dilakukan Nastiti (2012) tentang faktor risiko kejadian stroke
menyatakan bahwa distribusi faktor risiko stroke sebagian
besar adlah hipertensi, peningkatan kadar gula darah dan
kolesterol LDL yang dapat memicu stroke.
74
Sejalan dengan Ginsberg (2005) hipertensi dapat memicu
stroke karena pada hipertensi atau tekanan darah tinggi
mengakibatkan adanya gangguan aliran darah yang mana
diameter pembuluh darah akan mengecil, sehinggadarah
yang mengalir ke otak pun akan berkurang. Pengurangan
aliran darah ke otak dapat menyebabkan kekurangan suplai
glukosa dan oksigen, sehingga lama-kelamaan jaringan otak
akan mati. Gula darah yang meningkat dapat memicu stroke
dikarenakan pembuluh darah tidak lentur atau kaku,
sedangkan jika kolesterol yang berlebihan bisa
mengakibatkan penumpukan lemak di dalam darah yang
dapat menyumbat pembuluh darah. Pada akhirnya, jaringan
dan otak akan kekurangan pasokan darah yang dapat
menimbulkan stroke.
4.3.2 Stressor Psikososial Pasca Stroke
Setelah mengalami stroke dan gejala sisa yang masih
ada yaitu kelumpuhan yang merupakan stressor fisik pada
ketiga partisipan serta kesulitan berbicara pada partisipan
tiga menimbulkan masalah baru yang menimbulkan stres
atau stressor baru salah satunya adalah stressor psikososial
yang dapat mengganggu kondisi psikologis. Pada masalah
psikologis ketiga partisipan merasa dirinya, menjadi beban
75
untuk orang lain, selain itu mereka merasa kesepian, cemas,
takut dan khawatir akan keadaannya.
Akibat dari stresor fisik juga memunculkan masalah lain
yaitu hubungan interpersonal atau hubungan sosial mereka
baik dengan keluarga, teman dan orang-orang sekitar
mereka terkadang mereka merasa marah dan jengkel
terhadap sesama mereka bahkan dengan pengasuh panti.
Berbeda dengan kedua partisipan yang mengalami
kehilangan pekerjaan membuat mereka merasa tidak
berdaya dengan keadaan mereka. Selain itu kehilangan
pekerjaan juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kondisi psikologis karena kehilangan
pekerjaan membuat kesulitan pada kondisi keuangan
mereka.
Pernyataan Hawari (2008) bahwa masalah yang muncul
akibat stressor fisik yaitu kelumpuhan akibat kecelakaan
maupun penyakit kronis dapat menimbulkan stres bahkan
depresi. Pernyataan tersebut sesuai dengan Keliat (1994,
dalam Jaya, 2015) menyatakan bahwa sumber stressor
adalah lingkungan, kondisi fisik, finansial, hubungan
interpersonal yang mampu mempengaruhi kondisi psikologis
76
seseorang, sehingga dapat menimbulkan cemas, stres dan
depresi.
4.3.3 Respon emosional penderita pasca stroke
Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa pada awal
terkena serangan stroke lansia cenderung mengalami
gangguan stabilitas emosi. Pada ketiga lansia pasca
stroke, gangguan emosional yang cenderung muncul
pasca stroke adalah perasaan kaget, kecewa, takut,
cemas dan marah. Hal ini disebabkan sesuatu yang
dialami tidak pernah diduga sebelumnya sepeti kehilangan
kemampuan fungsional tubuh (kelumpuhan).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Ginsberg
(2005) yang menyatakan bahwa penderita pasca stroke
cenderung mengalami masalah psikologis seperti
kemarahan dan kelabilan emosi serta depresi sebagai
akibat dari perasaan putus asa akibat kelumpuhan yang
dialami. Menurut Hama, dkk., (2011) pasien pasca stroke
yang mengalami kelumpuhan dapat mengalami kedukaan
dan rentan terhadap stres serta depresi. Stres dan depresi
yang dialami merupakan akibat dari kehilangan fungsi
tubuh (kelumpuhan).
77
Kelumpuhan yang mengakibatkan perubahan fisik dan
fungsi tubuh yang dialami sebagai akibat dari serangan
stroke pada lansia memiliki pengaruh pada kondisi
psikologi lansia. Menurut Padila (2013) lanjut usia
cenderung mengalami perubahan stabilitas emosi seiring
dengan proses penuaan yang dialami. Lansia dapat
mengalami gangguan depresi sebagai akibat dari
penyakit degeneratif yang diderita dan gejala depresi yang
sering muncul adalah kurang percaya diri, sering merasa
bersalah dan tidak berdaya, takut, pesimis, kecemasan
berlebih serta mudah marah.
Lansia yang menjadi riset partisipan dalam penelitian
ini cenderung mengungkapkan perasaaan tidak berdaya
setelah mengalami stroke. Kehilangan kemampuan
fungsional tubuh dan merasa membebani anggota
keluarga, tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan
sendiri, adanya perubahan lingkungan dan hubungan
sosial adalah hal-hal yang mengakibatkan terjadinya
gangguan emosional pasca stroke pada lansia di PSMK.
Selain itu, peneliti berasumsi bahwa lansia pasca
stroke dapat merasa stres dalam proses penyesuaian diri
pada lingkungan baru dan hubungan sosialnya. Perasaan
78
kurang dihargai selama proses perawatan di panti
merupakan salah satu faktor penyebab lansia marah dan
depresi.
4.3.4 Mekanisme coping Lansia Pasca Stroke
Dalam menghadapi masalah dan setiap stressor yang
ada, seseorang mempunyai mekanisme Koping tersendiri.
Untuk mengurangi dampak stres bagi lansia pasca stroke
maka diperlukan mekanisme koping yang tepat supaya
tidak memperburuk kondisi kesehatan penderita penyakit
stroke. Hawari (2008) menyatakan bahwa seseorang yang
mengalami cidera ataupun penyakit kronis seperti stroke
dapat membuat seseorang stres bahkan bila tidak segera
diatasi dapat mengakibatkan depresi. Menurut Lazarus
(1991) mekanisme koping merupakan cara yang dilakukan
individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri
terhadap perubahan dan respons terhadap situasi yang
mengancam.
Ketiga lansia pasca stroke mempunyai mekanisme
koping yang berbeda, hal ini sesuai dengan hasil penelitian
ditemukan bahwa ketika pertama kali mengetahui stroke,
lansia menyangkal dirinya mengalami stroke, ketiga
partisipan kaget dan tidap percaya, ketiga partisipan juga
79
merasa kecewa dan marah. Hasil penelitian yang
ditemukan sesuai dengan pernyataan Gillen (2006) bahwa
mekanisme koping digunakan denial karena individu
menyangkal bahwa dirinya mengalami penyakit stroke
dengan kelumpuhan, sehingga individu merasa tidak
percaya dengan stroke yang dialaminya.
Ketiga partisipan menyangkal bahwa mereka terkena
stroke dengan sedih, kecewa, pasrah dan merasa dirinya
tidak berarti lagi, bahkan berkeinginan bahwa lebih baik
untuk mengakhiri hidupnya saja. Gillen (2006) juga
menyatakan bahwa seseorang yang mengalami stroke
akan merasa sedih dimana seseorang yang mengalami
kelumpuhan akan merasa dirinya tidak ada artinya lagi.
Pada penelitian ini ditemukan satu partisipan masih ada
perasaan marah saat mengetahui dirinya terkena stroke
dan hingga tinggal dipanti masih memiliki perasaan marah,
perasaan marah diatas dapat berdampak buruk pada
kondisi kesehatannya. Mekanisme yang digunakan adalah
confrontative coping karena seseorang mengalihkan
perasaannya atau mengubah perasaanya dengan rasa
marah yang cukup tinggi kepada orang lain atau barang
yang ada disekitarnya (Gillen, 2006).
80
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi rasa marahnya
partisipan mengalihkannya dengan berdoa. Lebih lanjut,
penelitian yang dilakukan Gillen (2006) mekanisme koping
yang digunakan adalah positive reintrepretation karena
dalam mengalihkan emosinya individu mencari makna
positifnya dengan melibatkan diri ke hal-hal yang religious.
Menurut Carver., dkk (dalam Hapsari, 2002) perilaku
partisipan tersebut termasuk dalam Emotion Focused
Coping dalam bentuk mengingkari (denial), yaitu
mengingkari masalah yang dihadapi, ketidaketujuan dan
ketidakpercayaan atau pengingkaran terhadap suatu
masalah.
Menurut peneliti, mekanisme koping pada lansia
pasca stroke yang paling menonjol dan sering
diungkapkan lansia dalam penelitian ini adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan (berdoa dan beribadah)
dan berusaha menerima kondisinya. Hal tersebut sesuai
dengan hasil penelitian Gillen (2006) tentang mekanisme
koping yaitu possitive reinterpretation dimana individu
mengartikan situasi stres dengan pandangan positif dan
berusaha mencari makna positif dari permasalahan
dengan melibatkan diri pada hal-hal yang bersifat religius.
Lansia pasca stroke dalam penelitian ini merasa harus
81
menerima keadaan dirinya dan lebih mendekatkan diri
pada Tuhan. Dari ungkapan partisipan ini memiliki
keterkaitan dengan peneliian Carlsson., dkk (2009)
menyatakan bahwa dalam mekanisme coping penderita
stroke possitive reinterpretation merupakan me jenis
koping adaptif yang bersifat konstruktif dan dapat
memberikan pengaruh positif pada kesehatan psikologis
lansia serta merupakan emotion focused coping dalam
bentuk possitive reinterpretation.
Dalam mengahadapi stres pasca stroke ketiga lansia
di panti juga melakukan beberapa hal yang menurut
peneliti merupakan upaya koping seperti berobat ke
dokter, mencari informasi tentang jenis makanan yang
boleh dikonsumsi pasca stroke, serta mengikuti terapi.
Menurut Gillen (2006) hal tersebut merupakan proses
Acceptance atau usaha untuk menyadari tanggung jawab
diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapi dan
mencoba menerimanya untuk membuat semuanya
menjadi lebih baik. Peneliti menyimpulkan gaya
mekanisme koping acceptance telah dilakukan ketiga riset
dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian RP I
cenderung melakukan usaha-usaha sebagai bentuk
penerimaan dan tanggung jawab terhadap kondisinya
82
seperti melakukan latihan fisik dengan berlatih untuk
berjalan dan berusaha melakukan kegiatan sehari-hari
secara mandiri dengan harapan dapat sembuh.
Pada lansia yang menjadi riset partisipan upaya-upaya
yang dilakukan sebagai bentuk penerimaan dan tanggung
jawab terhadap kondisinya adalah memeriksakan diri dan
berobat ke dokter serta mengikuti terapi medis.
Sedangkan usaha yang dilakukan riset partisipan tiga
adalah mengkonsumsi obat-obat tertentu demi
mendukung proses penyembuhan. hasil penelitian
tersebut sejalan dengan Gillen (2006) gaya koping lain
yang digunakan adalah active coping atau mencakup
memulai tindakan secara langsung dalam meningkatkan
usaha untuk mengatasi sumber stresnya. Pernyataan
tersebut didukung penelitian yang dilakukan Wahyuni,
Ridwan, & Oktaria, A. (2009) bahwa seseorang dengan
stroke berupaya mengatasi stresnya dengan melakukan
pengobatan dan melakukan tindakan secara langsung
terhadap sumber stresnya termasuk dalam metode koping
problem emotion focused dalam bentuk active coping.
Selain itu, dengan pengetahuan mengenai penyebab
stroke yang mereka alami yaitu mengenai makanan yang
83
dapat memicu stroke berulang, mereka mulai mengatur
pola makan dengan baik, dengan tidak mengkonsumsi
makanan yang dulu mereka konsumsi saat belum
terserang stroke. Hal ini senada dengan penelitian
Rayanti, Ferry F. Karwur dan Juliana D. Karwur (2015)
bahwa ada perubahan pasien pasca stroke terutama
dalam kebiasaan makannya untuk mencegah stroke
berulang. Upaya yang dilakukan oleh partisipan adalah
active coping atau mencakup memulai tindakan secara
langsung dalam meningkatkan usaha untuk mengatasi
sumber stresnya (Gillen, 2006).
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, lansia
cenderung melakukan tindakan secara langsung dalam
meningkatkan usaha untuk mencegah stres yang timbul
akibat penyakit yang dialami seperti: memeriksakan diri ke
dokter dan mengikuti terapi khusus, menonton TV, serta
menelpon keluarga disaat merasa kesepian. Selain itu
upaya lain yang dilakukan oleh adalah mencari dukungan
emosional dengan berbicara dengan orang lain, teman,
dan orang sekitarnya dalam upaya mendapatkan motivasi
dan semangat. Lansia mengaku merasa senang apabila
mendapatkan kunjungan dari orang lain dan mendapatkan
teman untuk berbagi cerita. Dari hasil penelitian di atas
84
didukung oleh pernyataan Setiti (2007) dalam penelitianya
yang menyebutkan bahwa Lansia membutuhkan
kebutuhan psikis diantaranya yaitu dukungan emosional
dimana Lansia butuh lingkungan yang mengerti dan
memahami mereka. Lansia membutuhkan teman untuk
bicara, sering dikunjungi, dan sering disapa. Lansia juga
butuh rekreasi dan silaturahmi dari kerabat.
Sementara itu, pernyataan Gillen (2006) bahwa
mencari dukungan emosional (seeking emotional support)
yaitu mencari dukungan moral, simpati, pengertian
dengan mengungkapkan perasaannya kepada orang lain
dengan mencari lawan bicara untuk mengatasi masalah,
baik masalah kesepian, stres dan untuk mengatasi
kesedihan.
Menurut peneliti gaya koping yang digunakan lansia
pasca stroke berdasarkan hasil penelitian di area
penelitian termasuk jenis koping adaptif dan bersifat
konstruktif artinya dapat memberikan pengaruh positif
bagi kesehatan psikologis lansia-lansia tersebut. Meskipun
pada awal terkena serangan stroke muncul gaya koping
maladaptif seperti marah, putus asa, merasa tidak
berdaya, sulit untuk menerima perubahan pada diri
85
sendiri. Hal tersebut sesuai dengan Stuart (2013)
dikatakan seseorang mengalami adaptasi adaptif bila
orang tersebut mampu menyelesaikan masalah yang
dihadapi dengan mampu berinteraksi dengan orang lain.
Dalam hal ini, seiring proses adaptasi para lansia
pasca stroke lebih menggunakan gaya koping adaptif.
Menurut peneliti perubahan gaya koping maladaptif ke
adaptif dapat dipengaruhi lingkungan serta dukungan
sosial yang diterima. Ibadah yang diadakan di area
penelitian setiap 2 kali dalam seminggu serta kunjungan-
kunjungan yang diterima dapat berpengaruh dalam
perubahan gaya koping tersebut. Hasil sesuai dengan
teori Lazarus, 1984 dalam Jaya (2015) yang menyatakan
bahwa gaya koping individu dapat dipengaruhi oleh
dukungan sosial yang diterima, dukungan ini meliputi
dukungan pemenuhan kebutuhan emosional dan informasi
pada diri individu yang diberikan keluarga, saudara, teman
dan lingkungan sekitar tempat tinggal. Selain itu juga
dukungan sosial merupakan faktor yang berperan dalam
meningkatkan penerimaan diri pada penderita pasca
stroke.
86
Hasil penelitian juga menunjukan bahwa peran orang
tinggal dengan lansia di panti peran yang lebih banyak
dalam proses penerimaan diri pada lansia pasca stroke
karena dalam kesehariannya lansia di panti setiap harinya
bersama penghuni panti. Proses penerimaan diri didukung
juga dari kunjungan-kunjungan luar panti seperti pastor
dan pendeta dalam pemenuhan kebutuhan spiritual
mereka. Berdasarkan dari hasil pernyataan diatas bahwa
dukungan orang yang ada disekitar mereka mempunyai
peran yang lebih tinggi dalam proses penerimaan lansia
pasca stroke.
Didukung oleh penelitian yang dilakukan Masyitnah
(2012) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara
dukungan sosial dan penerimaan diri pada penderita
pasca stroke. Artinya ada hubungan positif antara
dukungan sosial dengan penerimaan diri, semakin tinggi
dukungan sosial yang diberikan pada penderita pasca
stroke, maka semakin tinggi pula penerimaan diri yang
dimunculkan oleh penderita dan sebaliknya, semakin
rendah dukungan sosial yang diberiksn maka semakin
rendah pula penerimaan diri yang dimunculkan penderita
pasca stroke.
87
4.4 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan
didalamnya, referensi mengenai penelitian mekanisme koping
pada lansia pasca stroke juga terbatas, sehingga peneliti
hanya menggunakan beberapa referensi di dalam
pembahasannya. Kemudian, 1 diantara 3 partisipan
mengalami sedikit kesulitan dalam berbicara, sehingga
peneliti perlu meminta kembali partisipan untuk mengulang
jawaban atas pertanyaan yang diberikan.
top related