bab iv deskripsi wilayah -...
Post on 12-Mar-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH
4.1 Keadaan Sumberdaya Alam
4.1.1 Letak dan Luas
Daerah penelitian terletak di Kabupaten Bone Bolango. Secara geografis
terletak pada koordinat di antara 00
41' sampai 10
15' Lintang Utara dan 1220
00'
sampai 1250 14' Bujur Timur dan berbatasan langsung dengan Laut Sulawesi dan
Kecamatan Atinggola di sebelah Utara. Sementara di sebelah Timur berbatasan
dengan Kabupaten Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara). Di sebelah Selatan
berbatasan dengan Kota Gorontalo. Di sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Telaga, Kota Selatan dan Kota Utara. Daerah penelitian tercakup
dalam peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 50.000 (Bakosurtanal, 2006) dan peta
Satuan Lahan Kabupaten Bone Bolango (Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 2008).
Luas daerah penelitian sekitar 83.745 ha. Daerah penelitian mudah dicapai dari
kota Gorontalo melalui jalur darat dengan kondisi baik.
4.1.2 Iklim
Data iklim untuk daerah penelitian bersumber dari stasiun Meteorologi
Jalaludin Gorontalo pada ketinggian 18 m di atas permukaan laut berupa data
temperatur udara, kelembaban nisbi, lama penyinaran matahari dan kecepatan
angin. Sedangkan data curah hujan untuk daerah penelitian bersumber dari stasiun
BPP Tapa pada ketinggian 14 m di atas permukaan laut dan BPP Suwawa pada
ketinggian 10 m di atas permukaan laut (BMKG Gorontalo, 2011). Keadaan iklim
daerah penelitian sebagai berikut:
4.1.2.1 Curah Hujan
Data rata-rata curah hujan bulanan, daerah penelitian selama sepuluh tahun
(2002 – 2011), dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa
rata-rata curah hujan bulanan stasiun BPP Suwawa berkisar antara 61,60-143,50
mm dengan rata-rata 108,51 mm/bulan. Rata-rata curah hujan terendah terjadi pada
bulan Agustus (61,60 mm), dan tertinggi pada bulan Maret (143,50 mm).
Sedangkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.302,10 mm/tahun. Gambar 3
memperlihatkan bahwa rata-rata curah hujan bulanan stasiun BPP Tapa berkisar
antara 54,70-207,10 mm dengan rata-rata 135,48 mm/bulan. Rata-rata curah hujan
terendah terjadi pada bulan Agustus (54,70 mm), dan tertinggi pada bulan Maret
(207,10 mm). Sedangkan rata-rata curah hujan tahunan sebesar 1.625,80
mm/tahun.
Gambar 3. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan (mm) Stasiun BPP Suwawa dan BPP
Tapa Selama 10 Tahun (2002-2011)
4.1.2.2 Temperatur Udara, Lama Penyinaran, Kelembaban Nisbi dan Kecepatan
Angin
Data rata-rata temperatur udara, lama penyinaran, kelembaban nisbi dan
kecepatan angin, di daerah penelitian selama sepuluh tahun (2002-2011) diambil
dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Meteorologi Jalaludin
Gorontalo pada ketinggian 18 m di atas permukaan laut.
Gambar 4 menunjukkan temperatur bulanan berkisar antara 26,50oC
(Februari) sampai 27,70oC (Oktober) dengan nilai rata-rata tahunan sebesar 26,94
oC. Gambar 5 menunjukkan bahwa rata-rata lama penyinaran bulanan berkisar
antara 57,10% (Desember) sampai 71,70% (Oktober) dengan nilai rata-rata
tahunan sebesar 644,09%. Selanjutnya Gambar 6 menunjukkan bahwa rata-rata
kelembaban nisbi bulanan berkisar antara 73,40% (September) sampai 84,20%
0
50
100
150
200
250
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
mm
BPP Suwawa
BPP Tapa
(Maret) dengan nilai rata-rata tahunan sebesar 80,33%. Sedangkan Gambar 7
menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan angin berkisar antara 1,60 km/jam (April)
sampai 3,80 km/jam (Agustus) dengan nilai rata-rata tahunan sebesar 2,32 km/jam.
Gambar 4. Rata-Rata Temperatur Bulanan (oC) Selama 10 Tahun (2002-2011)
Stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo
Gambar 5. Rata-Rata Lama Penyinaran Matahari (%) Selama 10 Tahun (2002-
2011) Stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo
25.00
26.00
27.00
28.00
29.00
30.00
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
C
50.00
56.00
62.00
68.00
74.00
80.00
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
(%)
Gambar 6. Rata-Rata Kelembaban Nisbi (%) Selama 10 Tahun (2002-2011)
Stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo
Gambar 7. Rata-Rata Kecepatan Angin Bulanan (km/jam) Selama 10 Tahun (2002-
2011) Stasiun Meteorologi Jalaludin Gorontalo
4.1.2.3 Evapotranspirasi
Nilai evapotranspirasi daerah penelitian yang dihitung dengan menggunakan
persamaan 1, 2 dan 3 (Penman 1948). Hasilnya, nilai evapotranspirasi daerah
penelitian berkisar antara 87,07-141,44 mm/bulan. Nilai evapotranspirasi tertinggi
terjadi pada bulan Oktober sebesar 141,44 mm/bulan, sedangkan evapotranspirasi
terendah terjadi pada bulan Juni 87,07 mm/bulan. Selanjutnya untuk melihat
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
km
/ja
m
70.00
75.00
80.00
85.00
90.00
95.00
100.00
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
(%)
hubungan antara evapotranspirasi dengan curah hujan, maka disajikan data-data
yang tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Hubungan antara Rata-rata Curah Hujan Efektif dengan Nilai
Evapotranspirasi di Daerah Penelitian
Bulan Curah Hujan
(mm/bulan)
Curah Hujan Efektif
(mm/bulan)
ETp
(mm/bulan)
0.5 Etp
(mm/bulan)
Januari 145,40 120,4 124,21 62,11
Februari 114,55 89,55 108,94 54,47
Maret 175,30 150,3 115,70 57,85
April 153,65 128,65 110,03 55,01
Mei 123,40 98,4 98,12 49,06
Juni 131,40 106,4 87,07 43,54
Juli 118,35 93,35 92,75 46,37
Agustus 58,15 48,15 113,51 56,75
September 77,35 52,35 123,69 61,85
Oktober 103,15 78,15 141,44 70,72
November 117,60 92,6 138,36 69,18
Desember 145,65 120,65 113,64 56,82
Total 1.463,95 1.178,95 1.367,45 683,72
Rata-rata 122,00 98,2458 113,95 56,98
Sumber: Hasil Perhitungan (2012)
Nilai evapotranspirasi tahunan sebesar 1.367,45 mm dengan rata-rata nilai
evapotranspirasi tahunan sebesar 113,95 mm/tahun. Menurut Bachri dan
Djaenuddin (1999), bahwa untuk melihat lama pertumbuhan tanaman maka
besarnya evepotranspirasi harus dibagi dua (0,5 ETp). Selanjutnya curah hujan
efektif berkisar antara 58,15 mm/bulan pada bulan Agustus sampai 175,30
mm/bulan pada bulan Maret. Hubungan ini yang selanjutnya menjadi dasar dalam
pembuatan kalender tanaman dan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Hubungan Antara Curah Hujan Efektif dan Evapotranspirasi (ETp) dan
0,5 ETp (mm)
Gambar 8 memperlihatkan bahwa surplus curah hujan terjadi pada bulan
Januari dan turun pada bulan Februari, walaupun tidak sampai mengalami defisit.
Kondisi surplus curah hujan, puncaknya terjadi pada bulan Maret, turun mulai
bulan April sampai mendekati defisit curah hujan pada bulan Agustus. Sementara
itu, mulai bulan September sampai Desember telah mengalami kondisi surplus.
Dari kondisi tersebut, diharapkan masayarakat yang ada di Kabupaten Bone
Bolango dapat memanfaatkan bulan-bulan surplus untuk berusahatani tanaman
perkebunan seperti tanaman kopi robusta tinggal disesuaikan dengan kondisi
tersebut di atas,
4.1.3 Hidrologi
Air sebagai salah satu kebutuhan makhluk hidup yang utama sebenarnya
merupakan bahan di permukaan bumi yang selalu mengalami perubahan dari fase
padat, cair, dan gas (uap), serta mengikuti bentuk tempat dimana air tersebut
berada. Proses ini menyebabkan air dalam sistem bumi-atmosfer membentuk suatu
siklus yang disebut siklus hidrologi (Puslittanak 1995).
Siklus hidrologi merupakan konsep dasar mengenai keseimbangan air secara
global dan juga menunjukkan semua hal yang berhubungan dengan air (Kodoatie,
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
mm
Curah Hujan (mm)
Curah Hujan Efektif (mm/bulan)
ETP (mm/bulan)
0,5 ETP (mm/bulan)
1996). Selanjutnya Puslittanak (1995), menyatakan bahwa meskipun siklus ini
berlangsung terus menerus, tetapi ternyata tidak merata. Perbedaan kondisi ini
sangat dipengaruhi oleh kondisi meteorology (suhu, tekanan atmosfer, angin,
radiasi dan lain-lain), serta topografi (ketinggian, lereng dan sebagainya).
Salah satu aspek hidrologi yang penting adalah aspek pengaliran air. Sungai-
sungai yang mengalir ke Kabupaten Bone Bolango itu cukup banyak, terdiri atas 2
sungai besar dan sungai kecil. Kedua sungai besar tersebut adalah:
a. Sungai Bone dengan panjang sungai kira-kira 90,00 kilometer
b. Sungai Bolango dengan panjang sungai kira-kira 40,00 kilometer
Sungai-sungai kecil yang terdapat di Bone Bolango antara lain sungai Tamboo
(3,50 kilometer), sungai Inengo (10,25 kilometer), sungai Kiki (5,00 kilometer),
sungai Molotabu (5,50 kilometer), sungai Aladi (5,00 kilometer), sungai Bututonuo
(7,25 kilometer), sungai Oluhuta (3,75 kilometer), sungai Olele (4,00 kilometer),
sungai Tolotio (6,25 kilometer), sungai Butalo (11,50 kilometer), sungai Bilungala
(15,00 kilometer), sungai Tongokiki (6,50 kilometer), sungai Tongodaa (2,75
kilometer), sungai Uabanga (7,75 kilometer), sungai Tombulilato (20,00
kilometer), sungai Ombulo (3,50 kilometer), sungai Mamunga Daa (7,00
kilometer), sungai Mopuya Daa (5,00 kilometer), sungai Mopuya Kiki (3,50
kilometer), sungai Tapambudu (3,25 kilometer), sungai Monano (9,50 kilometer),
sungai Topidaa (3,50 kilometer), sungai SogitaDaa (6,50 kilometer), sungai Sogita
Kiki (5,50 kilometer), sungai Taludaa (18,00 kilometer) (Peta Rupa Bumi
Indonesia, 1993).
4.1.4 Geologi dan Bahan Induk
Menurut Apandi dan Bachir (1997), daerah penelitian memiliki struktur
berupa sesar dan lipatan. Sesar normal arahnya kurang beraturan namun dibagian
barat lembang cenderung berarah lebih - kurang timur – barat. Sesar mendatar
besar berpasangan dengan arah UUB – SST (sesar menganan) dan UUT – SSB
(sesar mengiri).
Menurut Peta Geologi Lembar Kotamobagu Sulawesi Utara, skala 1 :
250.000 (Apandi dan Bachri 1997), daerah penelitian ini terdiri atas 6 formasi
geologi yaitu : Alluvium dan Endapan Pantai (Qal), Batu Gamping Terumbu (Ql),
Endapan Danau (Qpl), Batuan Gunung Api Pinogu (TQpv), Diorit Bone (Tmb),
Batuan Gunung Api Bilungala (Tmbv).
a. Aluvium dan Endapan Pantai (Qal): Pasir, lempung, lumpur, kerikil dan
kerakal.
b. Batu Gamping Terumbu (Ql): Batu gamping terangkat dan batu gamping
klastik dengan komponen utama koral, setempat berlapis, terutama dijumpai di
daerah pantai selatan dan setempat di dekat Panong, daerah pantai utara.
c. Endapan Danau (Qpl): Satuan ini dikuasai oleh batu lempung kelabu, setempat
mengandung sisa tumbuhan dan lignit. Batu pasir berbutir halus sampai kasar
serta kerikil dijumpai di beberapa tempat. Satuan ini termampatkan lemah,
tebalnya menurut data bor mencapai 94 meter (Trail 1974.
d. Batuan Gunung Api Pinogu (TQpv): Tuf, tuf lapili, breksi dan lava. Breksi
gunung api di Pegunungan Bone, Gunung Mongadalia dan Pusian bersusun
andesit piroksin dan dasit. Tuf yang tersingkap di Gunung Lemibut dan
Gunung Lolombulan umumnya berbatu apung, kuning muda, berbutir sedang
sampai kasar, diselingi oleh lava bersusunan menengah sampai basa. Tuf dan
tuf lapili di sekitar Sungai Bone bersusunan dasitan. Lava berwarna kelabu
muda hingga kelabu tua pejal, umumnya bersusunan andesit piroksin. Satuan
ini secara umum termampatkan lemah sampai sedang, umumnya diduga
Pliosen-Plistosen (John and Bird, 1973) atau Tropic Endeavour, 1973
e. Diorit Bone (Tmb): Diorit kuarsa, diorit, granodiorit, granit. Diorite kuarsa
banyak dijumpai di daerah S. Taludaa dengan keragaman diorite, granodiorit
dan granit. Sedang granit utamanya dijumpai didaaerah S. Bone. Satuan ini
menerobos batuan gunung api Bilungala maupun formasi Tinombo. Umur
satuan ini sekitar miosen akhir.
f. Batuan Gunung Api Bilungala (Tmbv): Breksi, tuf dan lava bersusunan
andesit, dasit dan riolit. Zeolit dan kalsit sering dijumpai pada kepingan batuan
penyusun breksi. Tuf umumnya bersifat dasitan, agak kompak dan berlapis
buruk dibeberapa tempat. Di daerah pantai selatan dekat Bilungala satuan ini
dikuasai oleh lava dan breksi yang umumnya bersusunan dasit, dan dicirikan
oleh warna alterasi kuning sampai cokelat, mineralisasi pirit, perekahan yang
intensif, serta banyak dijumpai batuan terobosan diorit. Propilitisasi, klorotisasi
dan epidotisasi banyak dijumpai pada lava. Tebal satuan diperkirakan lebih dari
1000 meter, sedang umunya berdasarkan kandungan fosil dalam sisipan
batugamping adalah Miosen Bawah-Miosen Akhir. Nama satuan pertama kali
diajukan oleh PT. Tropic Endeavour, (1972).
4.1.5 Fisiografi
Berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1 : 50.000, maka daerah
penelitian terletak pada ketinggian 100 sampai dengan 500 meter di atas pemukaan
laut. Fisiografi daerah penelitian dibedakan ke dalam 3 grup landform, yaitu
(Puslittanak, 1995):
a. Grup landform alluvial merupakan landform muda baik resen maupun subresen
yang terbentuk dari proses fluviasi (sungai danau), maupun koluviasi
(gravitasi), atau gabungan keduanya. Endapan bahan-bahan tersebut bersifat
berlapis-lapis (stratified), yang menunjukkan pengendapan terjadi secara
berulang-ulang dari bahan yang berbeda jenis dan ukurannya dan biasanya
bahan halus berada di atas lahan yang lebih kasar sebab gravitasi. Bahan yang
diendapkan aluvio-kolovium di atas endapan danau (lakustrin), kadang-kadang
di atas lapisan gambut.
b. Grup landform karst merupakan landform yang didominasi oleh bahan batu
gamping, pada umumnya keadaan morfologi daerah ini tidak teratur. Landform
ini dicirikan oleh adanya proses pelarutan bahan batuan penyusun yaitu dengan
terjadinya sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalagtit, stalagmit, dll.
c. Grup landform volkan yang terbentuk dari hasil aktivitas erupsi gunung api,
baik yang masih muda (resen), maupun yang sudah agak tua (subresen).
Landform ini dicirikan oleh bentukan kerucut volkan, aliran lava atau lahar,
creater, perbukitan volkan atau dataran yang merupakan akumulasi bahan
volkan.
4.1.6 Tanah
Di daerah penelitian tanah-tanah diklasifikasikan menurut sistem Soil
Taxonomy (Soil Survey Staff, 1999), sampai tingkat famili tanah. Hasilnya
ditemukan 4 ordo di daerah penelitian yaitu Alfisols, Entisols, Inceptisols dan
Mollisols yang tersebar pada 33 satuan lahan yang diuraikan sebagai berikut:
a. Alfisols, tanah ini mempunyai perkembangan profil yang dicirikan oleh
terjadinya iluviasi liat yang membentuk horison argilik. Solum tanah tebal,
struktur cukup kuat dan konsistensi teguh. Terbentuk dari bahan induk volkan
andesitik-basaltik dan intrusi diorit, dan granodiorit. Penyebarannya di
landform aluvial dan perbukitan volkan. Pada landform aluvial, tanah ini
berasosiasi dengan Inceptisol dan Mollisol. Pada landform aluvial, terdapat
pengaruh stagnasi air atau proses redoks sehingga membentuk tanah
berdrainase terhambat, dan banyak karatan di lapisan bawah. Tanah bersolum
tebal, tekstur liat, banyak karatan besi dan mangan, reaksi tanah agak masam
sampai alkalis. Pada landform perbukitan, tanah berdrainase baik, tekstur halus
diatas skeletal atau fragmental, selaput liat jelas, reaksi tanah agak masam
sampai netral. Kadang-kadang dijumpai sisipan batukapur di lapisan bawah.
b. Entisols, tanah ini dijumpai belum mempunyai perkembangan profil tanah
dengan susunan horison A-C. Terbentuk dari bahan induk aluvium, endapan
liat dan pasir, endapan marin, lavilli, abu, batu apung, tufa, breksi andesit dan
lava. Penyebarannya pada landform grup aluvial, marin, fluvio-marin dan
volkanik. Mulai dari jalur aliran sungai meandering, pesisir, dataran pasang
surut, delta estuarin, dataran estuarin, kaki volkan, dataran volkan dan
pegunungan volkan tua tertoreh. Bentuk wilayah datar sampai agak datar,
berombak, bergelombang dan bergunung, drainase dari terhambat sampai
cepat, tekstur liat sampai pasir, reaksi tanah agak masam.
c. Inceptisols, tanah ini mempunyai perkembangan profil dengan susunan horison
A-Bw-C, dicirikan oleh horison kambik. Terbentuk dari bahan induk aluvium
dan intrusi volkan (diorit-granodiorit). Penyebarannya pada landform aluvial
dan perbukitan volkan. Pada landform aluvial datar atau agak datar umumnya
berdrainase terhambat, tekstur liat, kadang-kadang dijumpai bidang kilir, reaksi
tanah netral sampai alkalis. Pada dataran banjir, stratifikasi bahan endapan
masih terlihat jelas, bertekstur berlempung sampai berliat halus, dan reaksi
tanah netral. Pada landform teras sungai, banyak dijumpai lapisan kerikil di
lapisan bawahnya. Di daerah perbukitan, tekstur dan kedalaman tanah
bervariasi. Tekstur umumnya berliat diatas skeletal atau fragmental (berkerikil
atau berbatu), kedalaman tanah dangkal pada wilayah curam, dan dalam pada
lereng landai. Reaksi tanah agak masam sampai agak alkali, kadang-kadang
mengandung hablur kapur di lapisan bawah.
d. Mollisols, tanah mempunyai perkembangan profil dengan susunan horison A-
Bw-C atau A-Bt-C, yang dicirikan oleh epipedon molik dan horison kambik
atau argilik. Sebagian tanah mempunyai epipedon molik tebal (>50 cm).
Penyebarannya cukup luas di daerah perbukitan volkan pada lereng bawah, dan
berasosiasi dengan Alfisol atau Inceptisol. Umumnya digunakan untuk tegalan
dan perkebunan kelapa. Tanah berpenampang dalam, drainase baik, tekstur
umumnya halus dan mengandung kerikil dan fragmen batuan di lapisan bawah,
dan reaksi tanah netral sampai alkalis. Kadang-kadang dijumpai hablur atau
nodul kapur di lapisan bawah.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa Alfisols merupakan ordo tanah yang terluas
di daerah penelitian yaitu 49.045 ha (58,56% dari luas total) yang tersebar pada
satuan lahan 8, 11, 12, 13, 16, 17, 18, 21, 22, 23, 24, 26, 28, 29, 31 dan 32. Ordo
Entisols seluas 24.382 ha (29,11% dari luas total) yang tersebar pada satuan lahan
2, 4, 30 dan 33. Selanjutnya ordo Inceptisols seluas 9.652 ha (11,52% dari luas
total) yang tesebar pada satuan lahan 1, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 14, 15, 20, 25 dan 27.
Sedangkan ordo Mollisols seluas 675 ha (0,81% dari luas total) yang tersebar pada
satuan lahan 19.
Tabel 6. Klasifikasi Tanah di Daerah Penelitian
Ordo Sub Ordo Great Group Famili Satuan
Lahan
Luas
(Ha)
Lithic
Haplustalfs,
halus
21, 22, 28,
31
17.693
Alfisols Ustalfs Haplustalfs Typic
Haplustalfs,
berlempung
halus
8, 11, 12,
13, 16, 17,
18, 23, 24,
26, 29,32
31.353
Aquents
Endoaquents
Typic
Endoaquents,
halus
2
1.814
Entisols
Psamments
Ustipsamments
Typic
Ustipsamments,
sandy
4
3.821
Orthents
Ustorthents
Typic
Ustorthents,
fragmentasi
dangkal
30, 33
18.747
Aquic
Haplustepts,
berlempung
halus
5
1.124
Inceptisols
Ustepts
Haplustepts
Fluventic
Haplustepts,
berlampung
halus di atas
berpasir
1
1.225
Typic
Haplustepts,
berlempung
halus
3, 6, 7, 9,
10, 14, 15,
20, 25, 27
7.303
Mollisols
Ustolls
Haplustolls
Typic
Haplustolls,
fragmentasi
dangkal
19
675
Total 83.745
Sumber: Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) Deptan (2005)
4.2 Keadaan Sumberdaya Manusia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone Bolango (2012),
maka keadaan masing-masing kecamatan adalah sebagai berikut:
4.2.1 Luas dan Kepadatan Penduduk
Data luas dan kepadatan penduduk daerah penelitian tertera pada Tabel 7.
Tabel 7 memperlihatkan bahwa kecamatan terluas adalah Kecamatan Suwawa
Timur (489,20 km2) dan kecamatan yang terkecil adalah Kecamatan Bulango
Selatan (9,87 km2). Sedangkan penduduk terbanyak adalah Kecamatan Kabila
(22.332 jiwa), dengan kepadatan penduduk 115 per km2 dan penduduk terendah
adalah Kecamatan Bulango Ulu (3.878 jiwa), dengan kepadatan penduduk 49 per
km2.
Tabel 7. Luas dan Kepadatan Penduduk di Daerah Penelitian
Kecamatan
Luas Penduduk Kepadatan
Penduduk
km2 % Jumlah
(orang) % (orang/km2)
001. Tapa 64,41 3,25 7.563 4,95 117
002. Bulango Utara 176,10 8,87 7.291 4,77 41
003. Bulango Selatan 9,87 0,50 10.168 6,66 1.030
004. Bulango Timur 10,82 0,55 5.292 3,46 489
005. Bulango Ulu 78,41 3,95 3.878 2,54 49
006. Kabila 193,45 9,75 22.332 14,62 115
007. Botupingge 47,11 2,37 6.120 4,01 130
008. Tilongkabila 79,74 4,02 17.034 11,15 214
009. Suwawa 33,51 1,69 11.898 7,79 355
010. Suwawa Selatan 184,09 9,28 5.158 3,38 28
011. Suwawa Timur 489,20 24,65 7.184 4,70 15
012. Suwawa Tengah 64,70 3,26 6.151 4,03 95
013. Bone Pantai 161,82 8,15 10.789 7,06 67
014. Kabila Bone 143,51 7,23 10.817 7,08 75
015. Bone Raya 64,12 3,23 6.486 4,25 101
016. Bone 72,71 3,66 9.374 6,14 129
017. Bulawa 111,01 5,59 5.228 3,42 47
Kabupaten Bone Bolango 1.984,58 100,00 152.763 100,00 77
Sumber: Data BPS Bone Bolango (2012)
4.2.2 Jumlah Penduduk Menurut Umur
Penggambaran penduduk menurut struktur umur berguna untuk mengetahui
jumlah penduduk produktif dan penduduk non produktif, hal ini akan berpengaruh
pada angkatan kerja di suatu wilayah serta tingkat ketergantungan penduduk non
produktif pada penduduk produktif. Selain itu, penggambaran penduduk menurut
struktur umur juga diperlukan untuk perhitungan penyediaan fasilitas sosial dan
ekonomi.
Data jumlah penduduk menurut umur daerah penelitian tertera pada Tabel 6.
Tabel 8 memperlihatkan bahwa kelompok umur penduduk muda (young population)
yang berumur 0–19 untuk Kabupaten Bone Bolango 59.542 jiwa dengan persentase
39,90%, sedangkan kelompok umur penduduk produktif (productive population)
yang berumur 20–49 untuk Kabupaten Bone Bolango 69.874 jiwa dengan persentase
46,83% dan kelompok umur penduduk tua (old population) yang berumur 50–65+
untuk Kabupaten Bone Bolango 19.797 jiwa dengan persentase 13,27% dari total
penduduk.
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Daerah Penelitian
Kelompok Umur / Aged Group
Penduduk (Orang)
Laki-laki /
Male
Perempuan /
Female Jumlah/Total
0 – 4 6.108 5.731 11.839
5 – 9 8.699 8.462 17.161
10 – 14 8.075 7.665 15.740
15 – 19 7.496 7.306 14.802
20 – 24 6.370 6.099 12.469
25 – 29 6.727 6.567 13.294
30 – 34 6.456 6.143 12.599
35 – 39 6.364 6.077 12.441
40 – 44 5.296 5.087 10.383
45 – 49 4.316 4.372 8.688
50 – 54 3.457 3.514 6.971
55 – 59 2.802 2.958 5.760
60 – 64 1.891 2.079 3.970
65+ 1.373 1.723 3.096
Jumlah 75.430 73.783 149.213
Sumber: Data BPS Bone Bolango (2012)
4.2.3 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Data keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Kabupaten Bone
Bolango tertera pada Tabel 9. Tabel 9 memperlihatkan bahwa di Kabupaten Bone
Bolango penduduknya terbesar bermata pencaharian sebagai kelompok lapangan
pekerjaan utama yaitu dengan persentase 23,63% pada tahun 2009, meningkat pada
tahun 2011 dengan persentase 26,37%.
Tabel 9. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Daerah Penelitian
Lapangan Pekerjaan Utama Persentase (%)
2009 2010 2011
1. Pertanian, Perkebunan, Kehutanan,
Perburuan dan Perikanan 41,24 36,13 28,43
2. Industri Pengolahan 5,17 6,18 7,09
3. Perdagangan Besar, Eceran, Rumah
Makan dan Hotel 11,11 11,71 13,30
4. Jasa Kemasyarakatan 18,85 22,44 24,81
5. Lainnya (Pertambangan, Listrik, Gas,
Air, Bangunan, Transportasi) 23,63 23,50 26,37
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Sumber: Data BPS Bone Bolango (2012)
4.3 Sarana Penunjang Pertanian di Daerah Penelitian
Ketersediaan sarana penunjang pertanian di Kabupaten Bone Bolango dapat
dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 memperlihatkan bahwa sarana penunjang pertanian
di daerah penelitian sudah cukup memadai walaupun tidak semua kecamatan
memiliki KUD, KOPERTA dan Koperasi Perkebunan. Namun hampir disetiap
kecamatan sudah memiliki pasar.
Tabel 10. Sarana Penunjang Pertanian di Daerah Penelitian
No Kecamatan
Sarana
KUD KOPERTA
Koperasi
Perkebunan Pasar
1 Tapa 1 0 0 1
2 Bulango Utara 1 0 0 0
3 Bulango Selatan 0 2 1 0
4 Bulango Timur 0 0 0 1
5 Bulango Ulu 0 0 0 0
6 Kabila 1 3 1 2
7 Botupingge 1 0 0 1
8 Tilongkabila 1 3 0 1
9 Suwawa 0 2 1 2
10 Suwawa Selatan 0 1 0 0
11 Suwawa Timur 0 1 0 1
12 Suwawa Tengah 1 0 0 1
13 Bone Pantai 1 0 0 1
14 Kabila Bone 0 1 0 1
15 Bone Raya 1 1 0 1
16 Bone 0 1 0 3
17 Bulawa 0 0 0 1
Kab Bone Bolango 8 15 3 17
Sumber: Data BPS Bone Bolango (2012)
top related