bab iii riwayat hidup george ritzer dan pemikiran...
Post on 04-Mar-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
51
BAB III
RIWAYAT HIDUP GEORGE RITZER
DAN PEMIKIRAN TENTANG MCDONALDISASI PENDIDIKAN
A. Autobiografi Sebagai Alat Metateoritis
Karya biografi dan autobiografi berguna membantu kita dalam
memahami karya teoritisi sosiologi dan karya sosiolog pada umumnya.
Thomas Hankin, sejarawan ilmu menjelaskan :
Biografi lengkap seorang ilmuan, yang tak hanya meliputi kepribadiannya saja, tetapi juga mengenai karya ilmiahnya dan konteks sosial dan intelektual di zamannya…masih tetap menjadi cara terbaik untuk menemukan masalah yang mengelilingi tulisan tentang sejarah ilmu…ilmu diciptakan oleh individu, tetapi banyak diantara karya ilmiah itu yang didorong oleh kekutan dari luar, yang berpengaruh melalui ilmuan itu sendiri. Biografi adalah lensa kesusastraan, dengan lensa ini kita dapat melihat proses penciptaan ilmu dengan cara yang terbaik.1
Apa yang ditegaskan hanking mengenai ilmuwan pada umumnya
menjelaskan orientasi kita atas biografi teoritisi sosiologi, termasuk pribadi
George Ritzer dan teori McDonaldisasi-nya yang penulis teliti. Autobiografi
seseorang dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa karya biografi
dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk analisis metateoritis.
Peran seorang tokoh dalam kancah pengembangan dan
perkembangan ilmu pengetahuan sangat berarti. Ini menandai bahwa
keilmuan secara dinamis berkembang melalui hasil “ijtihad” para tokoh.
Mereka meluangkan waktu untuk berfikir dan mengartikulasikan gagasan-
gagasannya untuk kemudian disosialisasikan. Niatan utama mereka adalah
proses kesinambungan pola pikir dan membentengi matinya pengetahuan.
Salah satu tokoh kaliber dunia yang mengkampanyekan bahaya
globalisasi terhadap dunia pendidikan lewat teori “McDonaldisasi
pendidikan tinggi” adalah George Ritzer. Ia dikenang sebagai pencetus teori
McDonaldisasi, sebagai kritik atas kelemahan sistem global dalam
mempengaruhi pola pikir kehidupan manusia di berbagai belahan dunia.
1 Thomas L Hanking, “In Defense of Biography: The Use of Biography in the History of Science”, History of Science 17. 1979:14
52
Sebagai figur yang banyak mengkaji studi sosiologi dan makroekonomi, ia
juga concern terhadap pendidikan. Siapa semestinya dia dan bagaimana
pemikirannya tentang pendidikan?
B. Sketsa Biografi, Kiprah dan Karya Ilmiah George Ritzer
B. I. Sketsa Biografi George Ritzer
George Ritzer lahir pada tahun 1940 di Born, Amerika Serikat. Dia
adalah seorang sosilog Amerika2, Ritzer juga seorang Distinguished
University Professor di Universitas Maryland. Minat utamanya adalah teori
sosiologi dan sosiologi konsumsi. Ritzer pernah menjabat sebagai ketua
American Sociological Association’s Section on Theoritycal Sociology and
Organizations and Occupations. Profesor Ritzer juga seorang Distinguished
Scholar-Teacher di Maryland dan menerima Teaching Excellence Award.
Dia menjabat sebagai UNESCO Chair in Social Theory di Akadeni Sains
Rusia, Fulbright-Hays Chair di Universitas York di Kanada, dan Fulbright-
Hays Award Belanda, Ritzer juga seorang Scholar-in-Residence di
Netherland Institute for Advanced Studies dan Swedish Colegium for
Advanced Studies in the Social Sciences.3
Ritzer telah mengajar dijurusan sosiologi selam lebih dari 30 tahun
dan telah menulis sejumlah besar buku kajian sosiologi, dan mengajar
sosiologi di seluruh dunia, namun tak satupun gelar kesarjanaannya bukan
dibidang sisiologi.4
Keterbatasan latar belakang sosiologi ini yang mendorongnya
mempelajari sosiologi secara umum dan teori sosiologi pada khususnya.
Upaya studi meta teori ini juga sekurangnya dalam satu hal dibantu oleh
usaha keras Ritzer untuk memahami teori sosiologi. Ritzer sendiri
mengatakan bahwa dirinya tidak dididik menurut satu “aliran” khusus,
Ritzer dalam mempelajari teori sosiologi dengan hanya berbekal sedikit
2 Heru Nugroho (ed), McDonaldisasi Pendidikan Tinggi, (Yogyakarta: Kanisius 2002),
hlm.13. 3 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. ii. 4 Ibid., hlm. A-10.
53
konsepsi dan bias. Dia menilai bahwa dirinya adalah pelajar dari seluruh
“aliran pemikiran”; yang memberikan keuntungan bagi dia dalam
memahami suatu karya teoritis seseorang.
Karya metateoritis pertama Ritzer adalah Sociology: A Multiple
Paradigm Science (1975), tak hanya berupaya menyusun paradigma
sosiologi yang terpisah-pisah dan sering bentrok -konflik- satu sama lain itu
tetapi juga mencoba membahas kemungkinan untuk menghubungkan,
menjembatani, menyatukan dan menggunakan paradigma sosiologi yang
beragam itu. Merasa tak enak dengan konflik paradigmatis itu, Ritzer ingin
melihat suasana yang lebih harmonis dan rukun dalam sosiologi. Hasrat
itulah yang mendorong Ritzer menerbitkan buku Toward an Integrated
Sociological Paradigm (1981); didalamnya Ritzer lebih memusatkan
perhatian sepenuhnya pada sebuah paradigma yang terintegrasi. Di tahun
belakangan ini, minat terhadap penyelesaian konflik teoritis mendorong
Ritzer memusatkan pada integrasi mikro-makro (1990) dan integrasi
keagenan-struktur (1994) dengan bekerja sama dengan seorang ilmuan
bernama Gindoff.
Minat Ritzer terhadap karya metateoritis dijelaskan oleh hasrat dia
untuk memahami teori dengan lebih baik dan untuk menyelesaikan konflik
dalam teori sosiologi. Dalam buku Metatheorizing (1992) Ritzer
mengemukakan perlunya studi sistematis atas teori sosiologi.5 Ritzer
percaya bahwa dengan banyak melakukan studi itu untuk memahami teori
dengan lebih baik, dapat menghasilkan teori baru, dan perspektif teoritis
yang lebih luas jangkauannya.studi metateoritis juga berorientasi untuk
menjernihkan masalah yang dipertengkarkan, menyelesaikan perselisihan
pendapat dan untuk menemukan peluang lebih besar dalam mencapai
sintesis dan integrasi.
Setelah bertahun-tahun berusaha menerangkan sifat teori sosiologi,
pada awal 1990-an Ritzer cemas terhadap abstraksi karya metateoritis,
sehingga dia berusaha mengaplikasikan berbagai teori yang telah dia pelajari
5 Ibid., hlm. A-11.
54
kepada aspek-aspek konkret dari dunia sosial. Ritzer pernah sedikit
melakukannya pada 1980-an, menerapkan teori Max Weber pada
rasionalisasi restoran fast-food (1983) dan profesi medis. Ritzer telah
merevisi esai rasionalisasi restoran fast-food tersebut, dan hasilnya adalah
sebuah buku The McDonaldization Of Society (1993,1996, 2000)6, yang
menyatakan bahwa sementara birokrasi menjadi paradigma rasionalisasi
formal di era Weber, yang menjadi model paradigma birokrasi dalam
masyarakat modern adalah restoran cepat saji.
Dalam Expressing America: A Critique of the Global Credit Card
Society (1995) Ritzer mengalihkan perhatian pada fenomena ekonomi
sehari-hari manusia, yang analisanya bukan dari perspektif teori
rasionalisasi, tetapi dari perspektif lain, termasuk ide teoritis tentang uang
dari George Simmel.
Karya tentang restoran fast-food dan kartu kredit telah membawa
kesadaran pada diri Ritzer bahwa apa yang sesungguhnya menjadi minat dia
adalah sosiologi konsumsi, yang belum banyak dikembangkan di Amerika
Serikat, setidaknya jika dibandingkan dengan Great Britain dan negara
Eropa lainnya. Hal ini menghasilkan Enchanting a Disenchanted World:
Revolutionizing the Means of Consumption (1999), dimana Ritzer
menggunakan teori Weberian-Marxian, dan teori post-modern untuk
menganalisa alat-alat konsumsi baru –superston, megamall, cybermall,
televisi home shopping, kasino, taman hiburan, kapal pesiar dan juga
restoran fast-food, dan wara laba lainnya- yang menjadi cara orang Amerika
dan belahan dunia lain mengkonsumsi barang dan jasa.
Capaian global dari McDonald dan McDonaldisasi, kartu kredit, dan
alat-alat konsumsi baru membawa Ritzer minat pada globalisasi dan
menghasilkan buku Globalization Of Nothing (2004). Sementara dia tidak
bisa mengesampingkan isu metateoritis, sehingga baru-baru ini dia
membahasnya, rencana Ritzer sekarang adalah melanjutkan penggunaan
6 Buku ini telah diterbitkan kedalam lebih dari dua belas terjemahan.
55
teori untuk memikirkan dunia kontemporer, khususnya konsumsi dan
globalisasi.7
B. II. Kiprah dan Karya Ilmiah George Ritzer
Setelah melihat perjalanan kehidupan George Ritzer dalam dunia
akademiknya, dapat dipahami bahwa kiprah Ritzer bisa diklasifikasikan
menjadi dua: kiprah di dunia intelektual dan kiprah pengabdian pada
masyarakat. Pengabdian pada masyarakat semata ia jalankan untuk
membantu kita dalam memahami gejala globalisasi yang telah
menghilangkat sekat negara. Lebih dari itu, kiprahnya dalam dunia keilmuan
sangatlah besar. Sehingga tidak salah kalau sepanjang hidupnya, ia banyak
melahirkan karya-karya ilmiah.
Sepanjang karier intelektualnya, George Ritzer telah banyak
memberikan sumbangsih di dunia Barat—terutama di Amerika—tentang
wacana irrasionalitas atas rasionalitas manusia. Kontribusi yang
diberikannya antara lain:
McDonaldization: The reader (ISBN 0761987673, 2002)
Explorations in Social Theory: From Metatheorizing to
Rationalization (volume 1 of my collected works). London: Sage,
2001.
Explorations in the Sociology of Consumption: Fast Food
Restaurants, Credit Cards and Casinos: (volume 2 of my collected
works). London: Sage, 2001.
Enchanting a Disenchanted World: Revolutionizing the Means of
Consumption. Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press, 1999.
Spanish translation, Barcelona: Editorial Ariel SA, 2000.
Summarized in Peter Kivisto, Illuminating Social Life: Classical and
Contemporary Theory Revisited. Thousand Oaks, CA: Pine Forge
Press, 1998; 2001.
7 Sumber disadur dan diperbarui dari George Ritzer: I Never Metatheory I Didn’t Like Mid
American Review of Sociology, 15.21-32, 1991.
56
Excerpted in Margaret L. Anderson, Kim A. Logio and Howard F.
Taylor, Understanding Society. Belmont, CA: Wadsworth, 2001.
The McDonaldization Thesis: Extensions and Explorations. London:
terbit tahun 1998.
The McDonaldization of Society. Thousand Oaks, CA: Pine Forge
Press, 1993; 1996 (revised edition); 2000 (New Century Edition).
Postmodern Social Theory. New York: McGraw-Hill, 1997.
Sociological Theory, 5th edition. McGraw-Hill, 2000.
Modern Sociological Theory, 5th edition. McGraw-Hill, 2000
Classical Sociological Theory, 3rd edition. New York: McGraw-Hill,
pada tahun 2000.
Contemporary Sociological Theory (and Its Classical Roots): The
Basics (McGraw-Hill, forthcoming, 2003)
Working: Conflict and Change, 3rd edition (with David Walczak;
first edition entitled Man and His Work: Conflict and Change)
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, 1986.
Sociological Beginnings. New York: McGraw-Hill, 1994
Pekerjaan bidang akademik yang pernah digelutinya
Distinguished University Professor, University of Maryland dari
tahun 2001 sampai sekarang
Visiting Professor, Associazione per l'Istituzione della Libera
Università Nuorese, Sardinia, Italy dari tahun 2002 sampai sekang
Visiting Professor, University of Bremen, Germany sejak tahun 2001
Visiting Professor, University of Tampere, Finland pada tahun 1996
Visiting Exchange Professor, University of Surrey, England 1990
Visiting Professor, Shanghai University; Peking University 1988
Visiting Exchange Professor, University of, England tahun 1984
Professor, University of Maryland dari tahun 1974 sampai 2001
Associate Professor, University of Kansas tahun 1970 sampai 1974
Assistant Professor, Tulane University tahun 1968 hingga 1970
57
Gelar kehormatan dan penghargaan yang pernah diterimanya
Named Distinguished University Professor, University of Maryland
pada tahun 2001
First Fulbright Chair at York University, Canada tahun 2001
American Sociological Association’s Distinguished Contributions to
Teaching Award tahun 2000
Who's Who in American Education tahun 1995
Who's Who in the World tahun 1995
Who's Who in the East tahun 1995
Biographical sketch (one of 500 in the history of the discipline) to
appear in Biographical Dictionary of Sociology. Westport, CT:
Greenwood Press, forthcoming tahun 1994
Burgerzaal Lecture, at the invitation of the Mayor of Rotterdam
tahun 1993
UNESCO Chair in Social Theory, Russian Academy of Sciences
tahun 1992
University of Maryland, Behavioral and Social Sciences Scholarship
Incentive Award dari tahun 1989 sampai 1990
Fellow-in-Residence, Swedish Collegium for Advanced Study in the
Social Sciences tahun 1989
American Sociological Association Problems of the Discipline pada
tahun 1988
University of Maryland, Behavioral and Social Sciences Scholarship
Incentive Award dari tahun 1988 sampai 1989
Fellow-in-Residence, Netherlands Institute for Advanced Study
pada tahun 1980 dan 1981
Fulbright-Hays Fellowship to the Netherlands pada tahun 1975
Dosen tamu diberbagai universitas didunia sejak 1980
58
Johns Hopkins United States Military Academy (West Point),
University of Amsterdam, Erasmus University-Rotterdam,
University of Duisburg-West Germany, University of Zurich,
University of Berne, University of Lausanne, James Madison
University, East Carolina University, University of Florida, Rollins
College, William and Mary, Gettysburg College, Iowa State
University (AKD annual lecture), New College, Ramapo College
(Keynote Address, Curriculum Enhancement Conference in
Sociology), American Chemical Society, George Mason University
(Economics department), Vassar College, Marquette University,
Stockholm University, Uppsala University, Swedish Collegium for
Advanced Study in the Social Sciences, Georgetown University,
Roanoke College, University of Amsterdam, Nijenrode University
(Netherlands), University of Colorado, Colorado State University,
University of Utah, Arizona State University, Florida International
University, University of Surrey, University of Warwick,
Staffordshire University, University of Aston, University of New
Mexico, University of Tampere (Finland), University of Nevada- Las
Vegas, St. Mary's College, Groningen University (Netherlands),
University of Tasmania (Hobart, AU), Deakin University (AU),
University of Sydney (AU), Victoria University (Wellington, NZ),
University of Canterbury (Christchurch, NZ), Auckland University
(NZ), University of Essex (England), University of Alabama-
Huntsville, University of Richmond, Holy Cross University, NOPUS
(Goteborg, Sweden), University of Alborg (Denmark), Drexel
University, University of Tennessee, Insititute of Economics
(Moscow), Institute of International Studies (Moscow), dan masih
banyak lagi perguruan tingi terkemuka didunia mulai dari
Universitas sampai Akademi.8
8 Seperti dikutip oleh Anata Lie pada tanggal 1 Februari 2002, atau lihat dalam
http://www.bsos.umd.edu/socy/ritzer
59
C. Pokok Pemikiran George Ritzer Tentang McDonaldisasi Pendidikan
Istilah McDonaldisasi masyarakat pertama-tama di kemukakan oleh
seorang sosiolog Amerika, George Ritzer dalam tulisannya yang terkenal di
Journal Of American Culture tahun 1983. pengertian ini lebih merebak
dengan terbitnya bukunya The McDonaldlizatoan of Society (1993) serta
publikasi-publikasi lainnya yang berkenaan dengan itu.9
Privatisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari 'McDonaldisasi
masyarakat' (McDonaldization of Society) yang menurut George Ritzer,
seorang sosiolog Amerika, menggunakan prinsip teknologisasi, kuantifikasi,
terprediksi dan efisiensi dalam setiap sendi kehidupan. Dalam masyarakat
seperti ini, pendidikan tidak lagi dipandang sebagai public goods, melainkan
private goods.10 Sebagaimana barang konsumsi lainnya, pendidikan tidak
lagi harus disediakan oleh pemerintah secara massal untuk menjamin harga
murah
Menurut Ritzer prinsip franchise dari Mcdonald’s berdasarkan
kepada empat prinsip:
a) Prinsip efisiensi. Prinsip ini dikenal secara luas di dalam dunia
bisnis. Berdasarkan kepada prinsip Fordism (assembly line), scientifis
management, dan prinsip birokrasi, maka restoran Mcdonald’s dikelola
secara sangat efisien. Pada pokoknya restoran tersebut melaksanakan prinsip
uniformitas, menu standart, porsi yang sama, dengan harga yang sama, dan
kualitas yang sama di dalam setiap restoran McDonald’s.
b) Kalkulabilitas. Bisnis yang diadakan haruslah dapat dihitung
untung ruginya. Apabila tidak memungkinkan maka dicari jalan pemecahan
agar bisnis tetap memberi keuntungan, sebagai contoh misalnya, pola
franchising McDonald’s tidak menarik fee dasar yang besar tetapi setiap
pembelian dikenakan 1,9 % kepada franchisee. Jadi yang dipentingkan ialah
keuntungan dari pada franchisee. Demikian pula uniformitas tidak
menghalangi adanya inovasi. Oleh sebab itu McDonald’s Indonesia
9 H. A. R. Tilaar, Multikulturalisme (Jakarta: PT Grasindo, 2004), hlm. 267. 10 Media Indonesia, 18 Februari 2004
60
mempunyai rasa yang cocok dengan lidah Indonesia karena menyertakan
nasi di samping french fries atau kentang goring.
c) Prediktabilitas. Dengan adanya kalkulabilitas maka dengan
sendirinya dapat diprediksikan keuntungan yang di peroleh oleh outlet
McDonald’s. Setiap outlet telah memprediksikan tempat-tempat yang
strategis dimana orang akan mencari makan secara cepat, misalnya di
lingkungan-dilingkungan perkantoran dimana orang tergesa-gesa untuk
makan dan berkerja kembali. Demkian pula di highway-highway dimana
orang mencari makan di tengah paerjalanannya secara cepat.
d) Kontrol: dari kontrol manusia menuju kontrol robot yang
mekanistik. Bisnis McDonald’s mempunyai manual yang sangat tepat yang
sudah ditqerbitkan sejak tahun 1958. bahkan pada tahun 1961 ia mendirikan
suatu pusat pelatihan, sejenis “hamburger university” dengan gelar
“hamburologi”. Demikianlah cara-cara memberikan servis yang cepat yang
dikontrol secara mekanis dan terarah telah dapat mempertahankan kualitas
makanan secara cepat dan menyenangkan banyak orang.11
1. Efisiensi: Pendidikan tinggi, tinggal mengisi kotak
Beberapa perguruan tinggi perlahan mengalami perubahan, menjadi
seperti ATM, Mall dan sejenisnya. Seperti organisasi-organisasi lain
perguruan tinggi tersebut akan menjadi “pastiche dari berbagai unsur”12.
Perguruan tinggi tersebut juga akan dipengaruhi oleh pertumbuhan
penggunaan sarana baru yang telah dikembangkan untuk pemakaian secara
berkelanjutan.
Ketika perguruan tinggi tunduk pada mekanisme pasar, maka ia akan
melakukan berbagai macam tindakan dengan cara memprediksi, efisiensi,
kalkulasi dan kontrol. Sebagai alat konsumsi pendidikan McUniversity akan
mencari dan menghapuskan hal-hal yang dapat merugikan pelanggan –
siswa- dengan menyusun berbagai macam aturan agar siswa tetap bertahan
11 George Ritzer, McDonaldization, The Reader (Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press,
2000), hlm. 15. 12 George Ritzer, McUniversity in the Post Modern Consumer Society, in Quality in Higher
Education, Vol 2, No 3 (1996), hlm. 185
61
di universitas sampai ia mendapatkan gelar kesarjanaan.13 Membuat siswa
dengan mudah mendapatkan layanan pendidikan dengan sistem
teknologisasi di kampus dan menawarkan kursus pendidikan jarak jauh.
Dalam sistem pendidikan, khususnya universitas yang sekarang
disulih menjadi “McUniversity”, bisa kita saksikan tekanan yang lebih
dahsyat untuk menghasilkan efisiensi lebih besar. Seseorang dinilai
layaknya mesin melalui wujud pilihan ganda. Padahal, dalam era
sebelumnya mahasiswa itu diuji langsung oleh profesornya. Barangkali itu
cara bagus sejauh apa yang mahasiswa ketahui. Namun, itu merupakan
pengintensifan kerja dan tidak efisien.14 Maka berikutnya ujian bentuk esai
lebih popular. Bila menentukan tingkat seperangkat esai itu lebih efisien
dibanding menguji individu secara lisan, maka sebenarnya itu masih tidak
efisien dan menghabiskan waktu. Melibatkan diri dalam ujian pilihan ganda
mungkin saja membikin hasil penilaian itu belum mencerminkan hasil yang
seharusnya. Tetapi asisten pengawasan ujian kelulusan bisa melakukannya
dan membuatnya lebih efisien di mata professor. Sekarang ada komputer
penilai yang mampu memaksimalkan efisiensi asisten maupun professor.
Bahkan, mereka juga memberi keuntungan bagi mahasiswa. Mahasiswa
makin mudah mengkajinya serta membatasi dampak pandangan pribadi
penguji selama proses penilaian.
Bagaimanapun ujian pilihan ganda masih memaksa professor
berkubang dalam tugas yang tidak efisien. Mereka harus menyusun
seperangkat pertanyaan yang diperlukan. Setidaknya, beberapa pertanyaan
harus di ubah tiap semester karena mahasiswa baru bisa saja telah
mengetahuinya dari ujian terdahulu. Solusinya: beberapa penerbit buku teks
pelajaran harus melengkapi produknya (secara gratis) dengan buku
pegangan bagi professor yang berisi sejumlah besar pertanyaan pilihan
13 George Ritzer, The Mcdonaldization Thesis: Explorations and Extensions, hlm. 62. 14 George Ritzer, The McDonaldization of Society, (terj) Solichin dan Didik P. Yuwono,
Ketika Kapitalisme Berjingkrang: Telaah Kritis Terhadap Gelombang McDonaldisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 72.
62
ganda untuk ukuran kelas yang lebih besar. Meski demikian, professor harus
mengetik ulang atau menyuruh orang untuk mengetiknya. Maka, belakangan
beberapa penerbit mulai membuatnya efisien dengan menyajikan
seperangkat pertanyaan yang diinginkan dan membiarkan printer
mencetaknya. Melalui efisiensi ini, professor terlibat dalam sedikit dari
keseluruhan proses ujian yang dimulai dari penyusunan pertanyaan hingga
penilaian.
Tidak ketinggalan, penerbit juga menyediakan layanan lain agar
professor yang memakai buku teks produknya bisa melakukan tugas
mengajar secara efisien. Dengan buku itu, professor bisa mendapatkan
beberapa materi untuk memenuhi aktivitas seluruh jam mengajarnya, seperti
garis besar perkuliahan, simulasi komputer, topik masalah diskusi, video
tape, film, bahkan ide mendatangkan dosen tamu hingga penugasan –
proyek- mahasiswa. Professor yang memilih menggunakan seluruh piranti
ini akan sedikit, bahkan tidak sama sekali, menerapkan sendiri apa yang
dimiliki bagi kelasnya. Sebagai sarana pengajaran yang sangat efisien,
pendekatan ini memacu pemanfaatan banyak waktu untuk kegiatan yang
lebih bernilai (bagi professor dan bukan mahasiswa), seperti menulis
maupun melakukan riset.
Akhirnya, yang perlu diperhatikan di sini adalah wujud
pengembangan bentuk “layanan” relatif baru di kampus. Karena biaya
nominal, maka mahasiswa perlu disediakan catatan kuliah dari professor,
asisten, maupun mahasiswa pamuncak. Tidak pula efisien rajin masuk kelas.
Mahasiswa bebas mencari sendiri kegiatan yang lebih bernilai, seperti
mereguk jurnal berkala di perpustakaan ataupun hanya dengan menyaksikan
“opera sabun”.15
2. Daya Hitung: Titel, Nilai, Rasio dan Peringkat
Bertambahnya tekanan fenomena kuantifikasi bekembang di dunia
pendidikan. fokus yang nampak, seberapa jauh siswa –produk- bisa
diarahkan dalam kerangka sistem serta ukuran apa yang mereka peroleh,
15 Ibid, hlm. 74.
63
dibanding kualitas dan pengalaman pembelajaran yang berhasil di pelajari.
Tampak seluruh proses di pendidikan tinggi atau kursus di ukur dengan
penilaian tunggal, yaitu rata-rata nilai peringkat (GPA). Dengan
kelengkapan GPA ini, siswa bisa mengikuti ujian dengan hasil penilaian
seperti PSAT, SAT dan GRE. Kursus, sekolah berkelanjutan serta sekolah
ahli bisa menerapkan tiga sampai empat sistem penilaian dalam memutuskan
apakah menolak atau menerima calon siswa.16
Dalam hal ini, bisa saja memilih sebuah universitas dengan di
dasarkan pada rata-rata –rasio- nilainya. Adakah universitas itu masuk dalam
jajaran sepuluh besar di negeri ini atau tidak. Adakah jurusan fisika di
universitas itu? Serta apakah ia memiliki pula tim olah raga yang kerap
menjadi juara? Juragan kerap kali pula memutuskan menyewa atau tidak
lulusan berdasarkan nilainya, peringkatnya di kelas, serta peringkat
universitas asalnya. Sehingga, untuk lebih meyakinkan prospek kerja dan
sertifikat. Mereka berharap juragan percaya bahwa sejumlah titel itu
menjamin kualitas lebih tinggi pada kandidat untuk pekerjaan bersangkutan.
Bagaimana pun referensi personal juga penting sebab kerapkali mampu
menggantikan formula standar dengan rasio kuantifikasi (seperti “5 persen
pamuncak di kelas” dan peringkat kelima dari total 25 siswa disuatu kelas”).
Kebanyakan kursus menerapkan standar penilaian pekanan atau jam
perpekan. Dalam pandangan Ritzer hal ini kurang begitu diperhatikan
apakah mata pelajaran tertentu sesuai diajarkan dalam pekan atau jam
perpekan yang ditentukan. Bahkan sangat jarang perhatian itu ditekankan
pada daya serap siswa selama jatah waktu tersebut.17
Sejumlah sertifikat yang dimiliki seseorang lebih perperan penting
dalam suatu situasi dibanding manfaatnya untuk memperoleh pekerjaan itu
sendiri. Misalnya orang yang menduduki beragam jabatan cenderung
menuliskan sederet titel yang dimiliki guna meyakinkan klien akan
kompetensinya –titel BA, MBA, dan PhD saya barangkali mampu
16 Ibid, hlm. 115. 17 Robin Leidner, Fast Food, Fast Talk: Service Workand the Routinization of Everyday
Life, (Berkeley: University of California Press, 1993), hlm. 60.
64
memengaruhi pembaca bahwa saya berkompeten menulis buku ini meskipun
titel ”hamburgerology” atau ilmu hamburger terkesan lebih relevan-. Begitu
halnya dengan seorang pakar asuransi dengan titel ASA, FSVA, FAS, CRA
atau CRE yang ditulis setelah namanya. Dalam pandangan Ritzer makin
banyak titel yang ditulis setelah nama, makin potensial klien merasa
terkesan.18 Meski demikian, sederet titel itu sedikit saja menyatakan
kompetensi sebenarnya yang dimiliki seseorang. Selebihnya penekanan pada
kuantitas titel itu cenderung mendorong orang kreatif meletakkan sejumlah
huruf setelah namanya. Contohnya seorang direktur lembaga pendidikan
berasrama –camp- mambutuhkan titel “ABD” setelah namanya untuk
meyakinkan orang tua akan hasil peserta didik. Bisa saja titel itu
mengesankan bagi sementara orang. Namun, seluruh akademisi tahu benar
bahwa itu merupakan titel informal dan label bermakna negative. Yaitu “All
But Desertation” (lengkap kecuali disertasi). Sejumlah julukan bagi orang
yang menamatkan kuliah dan ujian, tetapi tidak menulis disertasi. Perlu pula
dicatat disini tentang perkembangan organisasi yang eksistensi utamanya
menghasilkan gelar tanpa makna. Ini kerap kali terjadi pada pendidikan via
surat-menyurat.
Penekanan pada faktor bisa dibilang itu bahkan lazim terjadi di
kalangan profesor pendidikan tinggi. mereka adalah “pekerja” seandainya
menilai mahasiswa sebagai “produk”. Salah satu contohnya adalah makin
banyaknya akademi maupun universitas yang memanfaatkan lembaran dan
sistem evaluasi. Untuk menilai keberhasilan masing-masing mata kuliah
mahasiswa diminta menjawab pertanyaan. Seorang mungkin mengerjakan
evaluasi satu sampai lima kali. Rendah direntang satu tapi tinggi direntang
lima. Di akhir semester, profesor memeberikan kartu nilai yang memuat
rata-rata sepanjang pengajaran. Sedikit atau barang kali tidak ada
kesempatan mahasiswa menawarkan evaluasi kualitatif pada dosennya.
Karena penilaian mahasiswa dilakukan dengan cara seperti itu dampaknya
akan merugikan mahasiswa itu sendiri. Mereka misalnya, akan memilih
18 Susan Gervasi, The Predentials Epidemic, (Woshington Post, 30 Agustus 1990), hlm. D5.
65
profesor yang lebih sebagai pelaku humoris, serta yang tidak menuntut
berlebihan dari mahasiswanya. Karena profesor serius yang sering menuntut
lebih dari mahasiswanya kemungkinan besar tidak bisa menerapkan sisten
penilaian seperti itu meskipun pengajarannya dinilai berkualitas. Dalam arti
lebih dari sekadar pelaku pendidikan.
Faktor kuantitatif dirasa penting tidak saja dalam pengajaran,
melainkan pada riset dan publikasi. Tekanan dogma publish or perish
dikalangan akademisi berbagai akademi dan universitas cenderung diukur
berdasarkan kuantitas publikasi.19 Dalam pemutusan rekrutmen dan
promosi, catatan panjang tentang hasil karya seseorang baik berupa artikel
maupaun buku, lebih disukai ketimbang mereka yang sedikit berkarya. Dus,
pemenang penghargaan tertentu belum tentu bisa diterima di Rutgers
university karena –menurut pertimbangan komite jabatan disana- akumulasi
karya tulis yang diterbitkan tidak memenuhi paket yang ditentukan. Ini
membuktikan bahwa kuantitas membawa dampak yang tidak
menguntungkan karena profesor cenderung menghasilkan karya yang
berbobot, terburu-buru menerbitkan karya tulisnya sebelum sepenuhnya
rampung, atau mungkin juga menerbitkan beberapa karya tulis dengan ide
yang sama dan sedikit variasi.
Bila yang terakhir itu dipilih, maka profesor tidak ubahnya mereka
yang bertanggung jawab atas restoran fast food. Hanya mematrikan ilusi
kuantitas pada sederet karya tulisnya. Bentuk lain yang sejenis itu termasuk
penerbitan karya pribadi atau buku oleh “penerbit murahan” yang memungut
bayaran justru dari pengarangnya. Buku seperti itu yang lazim diproduksi
dalam jumlah terbatas, memang bisa sampai pada sedikit orang, tetapi
menyebar dikalangan penulisnya sendiri. Sehingga yang tampak memang
deretan panjang hasil karya yang diakui.
Faktor kuantitatif lain dalam dunia akademisi adalah penentuan
peringkat yang menentukan penerbitan hasil karya seseorang. Pada ilmu
pengetahuan yang dipandang sulit, artikel diberbagai jurnal profesi
19 George Ritzer, Op. Cit, hlm. 117.
66
mendapat penilaian tinggi, namun rendah pada penilaian penerbitan buku.
Dibidang humaniora, justru buku memiliki penilaian lebih tinggi dan kadang
lebih prestisius dibanding artikel dijurnal. Misalnya, buku yang diterbitkan
oleh berbagai penerbit seperti penerbitan universitas akan memilih prestis
lebih tinggi dibanding penerbitan komersial.20
Ada juga sistem penilaian peringkat yang lebih luas bagi jurnal
profesi. Dalam bidang sosiologi misalnya, sistem pemeringkatan itu
menunjuk kepada penerbitan berbagai jurnal yang memiliki peringkat tinggi.
yang lain sedang, lainnya lagi tergolong rendah. Maka, penerbitan di
American Sociological Review yang prestisius itu akan memperoleh nilai
sepuluh atau nilai maksimal dalam sistem pemeringkatan ini. Sangat
mungkin nilai yang diberikan kepada sosiolog diseluruh dunia atas
penerbitan jurnalnya itu berdasarkan hipotesis belaka. Memakai sistem itu
pula, maka profesor yang menerbitkan karya jurnalnya mampu memperoleh
nilai 340 akan baik dipandang –baik lipat dua- dibanding mereka yang
memperoleh nilai 170.
Bagaimanapun seperti yang lazim terjadi dalam beberapa kasus,
penekanan pada kuantitas itu tetap mempengaruhi kualitas. Alasan pertama,
sangat mustahil sepanjang hidupnya profesor cuma menghasilkan satu karya
tulis yang berbobot. Fakta lain berbicara pula bahwa tidak mungkin pula
membilang kualitas ide, teori atau hasil riset. Kedua, sistem pemeringkatan
itu cuma mengait secara tidak langsung dengan kualitas. Yaitu, peringkat
didasarkan pada kualitas juranl penerbit artikel, bukan pada kualitas artikel
itu sendiri. Jadi, tidak ada upaya mengevaluasi kualitas artikel atau
kontribusi pada bidangnya. Padahal, artikel yang kurang berbobot kadang
muncul juga di jurnal yang memiliki peringkat tinggi, sementara yang
berbobot malah dimuat pada jurnal yang memiliki peringkat rendah. Ketiga,
akademisi yang menulis sedikit, meskipun bebobot, tidak mungkin bisa
sejalan dengan sistem peringkat ini.21
20 Ibid, hlm. 118-119 21 Ibid, hlm. 119.
67
Sebaliknya, seseorang yang banyak menulis karya murahan akan
memiliki nilai tinggi. Jadi sistem terserbut menekankan pada banyaknya
karya yang diterbitkan terlapas dari berkualitas atau tidak. Ini kadang
mendorong sosiolog –atau akademisi di bidang lain- yang ambisius agar
tidak terlalu lama berkutat pada satu kajian, karena bakal tidak memberinya
banyak nilai. Singkatnya, penekanan pada kuantitas publikasi itu akan
mendorong lahirnya banyak karya murahan.22
Sains memang banyak terkait pada pembilangan yang bisa diukur
untuk menentukan kualitasnya. Sejumlah orang direkrut untuk menilai karya
orang lain. Alasannya, karya yang berbobot signifikan dan dinilai
berpengaruh itu bisa jadi akan dipakai oleh ilmuwan lain. Asumsinya, makin
sering karya itu dikutip orang lain, maka ia memiliki nilai tinggi. Orang bisa
memakai beragam indeks kutipan penerbitan tiap tahun untuk mengkalkulasi
jumlah kutipan seseorang tiap tahun. Tidak mengherankan jika hasil karya
satu orang dikutip sampai 140 kali. Sementara yang lain cuma 70 kali. Lagi-
lagi orang akan menyimpulkan bahwa karya seseorang sosiolog itu “baik
lipat dua” dibanding yang lain.23
Bermula dari sini masalah penilaian kualitas kembali muncul. Lalu,
dapatkah pengaruh seseorang akademisi dipangkas hingga terbilang tunggal.
Barang kali memang sedikit pusat kajian yang memakai ide satu ilmuwan itu
lebih mampu mempengaruhi bidang tertentu dibanding yang menggunakan
banyak kutipan dan pengarangnya. Padahal sebaliknya. Ilmuwan
mengabaikan hal yang sangat penting, seperti kualitas yang mendahului
zamannya, dan banyak melahirkan kutipan bagi pengarang selanjutnya.
Memang lazim bahwa kuantitas tidak selalu mudah diterjemahkan dalam
kualitas dan cenderung menunjuk pada kualitas rendah dibanding yang
tinggi.24
Belum lama berselang Donald Kennedy, yang selanjutnya menjabat
pemimpin Stanford University, mengumumkan perubahan pada kebijakan
22 Ibid, hlm. 120. 23 Ibid. 24 Ibid, hlm. 121.
68
perekrutan, promosi atau penentuan masa jabatan bagi staf fakultas. Ia
melakukan kebijakan itu karena santernya laporan yang mengatakan bahwa
“hampir separoh dari staf pengajar di fakultas begitu yakin pada karya akhir
berbentuk hitungan semata –tidak di evaluasi- ketika penentuan tenaga
pengajar tiba.25
3. Daya prediksi: Pendidikan tinggi, teks juru potong-masak
Dibanding SMU atau sekolah berjenjang lainnya, diranah pendidikan
universitaslah orang bisa berharap mendapatkan lebih sedikit daya prediksi.
Meski demikian, tidak ada jumlah mencengangkan di sana.
Ranah pendidikan tampak seragam pada semua Universitas.
Gambaran umumnya, professor berdiri di depan kelas, di muka papan tulis
serta memberi kuliah terhadap mahasiswa yang duduk menatap. Biasanya
professor itu menghadapi sekitar 25 sampai 50 mahasiswa, tetapi kadang
jumlahnya bisa mencapai 500, 1000, bahkan mungkin lebih. Yang pasti,
sejumlah ruang seminar berukuran kecil dilengkapi meja konferensi akan
membuat jumlah mahasiswa makin sedikit. Makin terbukalah kesempatan
mahasiswa melakukan interaksi langsung.
Kebanyakan akademi dan universitas menyajikan mata kuliah yang
seragam, khususnya di tingkat kurikulum yang lebih rendah. Salah satu
alasannya, guru di segenap penjuru negeri itu biasanya memiliki buku teks
dalam jumlah terbatas. Sehingga, buku-buku itulah yang cenderung
menentukan struktur kelas. Masih ada pula tekanan luar biasa dari industri
buku teks utuk membuat materi pada tinggkat rendah itu kelihatan sama
antara yang satu dengan yang lain. Faktor kunci penyebabnya tiada lain
25 Dalam hal ini Kennedy berkata: “Saya berharap kita bisa sepakat bahwa pemakaian kuantitatif pada hasil riset sebagai hasil penelitian atau promosi itu sebagai kemunduran ide... hasil berlebihan untuk jatah rutin beasiswa memang salah satu aspek yang harus dicermati dalam kehidupan akademik kontemporer: ia cendrung menyisihkan karya penting demi volume yang melimpah; itu menyia-nyiakan waktu dan sumber berharga. Berkaitan dengan masalah itu, Kennedy kemudian mengajukan batasan publik sebagai syarat penentuan tenaga pengajar. Ia berharap batasan itu mampu “membalik keyakinan yang mendarah daging bahwa penghitungan dan pengukuran berat merupakan sarana penting dalam mengevaluasi kegiatan fakultas. Bisa disimak sendiri apakah kini Stanford-juga pada universitas lain di Amerika –mampu membatasi pemakaian kuantitas dibanding kualitas. Ibid. hlm. 121-122.
69
hasrat penerbit membuat buku teksnya laris. Buku teks yang biasa di
prediksi akan menghasilkan kuliah yang bisa diprediksi, dan selanjutnya
menuntun pada pengalaman pendidikan yang bisa diprediksi pula.26
Dalam beberapa hal, buku teks memang menunjukkan sikap
kompromi. Mereka kerap memiliki ukuran bendel yang sama, sama panjang
halaman, ikhtisar daftar pustaka, serta indeks. Masing-masing bab kerapkali
diikuti format sejenis: garis besar bab, pendahuluan, boks rangkuman, foto
(lebih disukai yang berwarna), ikhtisar bab dan simpulan.
Dengan maraknya ujian pilihan ganda, ujian menjadi sangat bisa
diprediksi. Mahasiswa yang diuji sudah tahu bahwa mereka akan di beri
sebuah pertanyaan dengan empat atau lima pilihan jawaban. Sangat mungkin
dua jawaban melenceng, sehingga mahasiswa hanya memiliki tiga alternatif
jawaban yang perlu dipilih. Penilaian akan dilakukan oleh komputer,
sehingga sangat sedikit kemungkinan adanya penilaian subjektif professor
maupun asistennya. Ujian dan penilaiannya jelas lebih mampu diprediksikan
dibanding ujiaan esai, yang membuka kesempatan lebar bagi unsur
subjektifitas penilaian.27
Bila elemen ini dan elmen lain McDonaldisasi bisa di dapati di
universitas, tentu itu tidak mendekati kesamaan dengan McDonaldisasi
seperti yang dialami restoran fast food. Misalnya, relatif sedikitnya interaksi
di universitas itu telah diatur dalam skrip. Terdapat kualitas yang terutinisasi
pada berbagai mata kuliah. Namun, justru terdapat perbedaan besar ketika
seseoang memakai bahan kuliahnya sendiri dibanding memakai bahan karya
orang lain. Pekerja universitas, khususnya professor juga lebih longgar
melakukan tindakan yang tidak bisa diprediksi dibanding pekerja di restoran
fast-food.28
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Levine menemukan bahwa: a,
pendidikan tinggi bukanlah pusat dari sebagian hidup mahasiswa. b,
mahasiswa ingin perguruan tinggi berjalan “seperti Bank dan restoran cepat
26 Ibid, hlm. 155. 27 Ibid. 28 Ibid, hlm. 156.
70
saji”29 mahasiswa mengharapkan nilai uang dari pada barang-barang dan
kegiatan, singkatnya mereka ingin kesederhanaan, hemat dengan harga yang
murah.
Tidak semua perguruan tinggi akan merespon tantangan ini –
perguruan tinggi yang elit akan tetap berjalan seperti yang mereka jalani-
hasilnya, perguruan tinggi akan tumbuh bahkan lebih dari satu kelas yang
bersangkutan. Hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan akan
memerlukan beberapa ketentuan yang juga akan digunakan sebagai
pembeda.30 Beberapa perguruan tinggi mungkin tertarik pada peningkatan
pinjaman dari prosedur bisnis, tetapi berbalik lebih kearah bisnis pemakaian
dari pada bisnis besar –seperti Ford atau Toyota yang tidak lebih pada
manajemen kualitas-, mereka mungkin merasa tertekan pada penurunan
sumber dana masyarakat dan kerja keras, sehingga pemasukan dari siswa
menjadi sangat penting, juga akan ada pengaruh teknologi komunikasi yang
akan terus berubah.31
4. Kontrol: Pendidikan Belajar Patuh
Banyak perguruan tinggi telah mengembangkan beraneka teknologi
non-manusia untuk menerapkan kontrol pada proses pendidikan. Misalnya,
para dosen harus mengikuti hukum serta aturan tertentu. Waktu belajar serta
kapan pelajaran harus berakhir ditentukan oleh universitas. Para siswa keluar
pada waktu yang telah ditentukan meski sang dosen sedang memberikan
kuliah. Jadi, karena perguruan tinggi menginginkan penilaian, maka dosen
harus menguji para siswa. Di beberapa perguruan tinggi, nilai akhir harus
dikumpulkan dalam waktu empat puluh delapan jam setelah ujian akhir. Hal
ini menyebabkan sang dosen menerapkan ujian pilihan ganda dengan
bantuan komputer. Evaluasi yang dibutuhkan siswa akan membuat sang
dosen memberikan kuliah dengan cara yang mengacu pada tingkat rating
29 George Ritzer, McUniversity in the Post Modern Consumer Society, in Quality in Higher
Education, hlm. 187 30 George Ritzer, The Mcdonaldization Thesis: Explorations and Extensions, hlm. 86. 31 Ibid, hlm. 87.
71
tinggi. Tuntutan sistem jabatan dan promosi akan memperpendek waktu
pengabdian sang dosen.32
Yang pasti, para siswa akan lebih terkontrol oleh sistem perguruan
tinggi dibandingkan dengan para dosen. Misalnya, disamping kendala-
kendala yang telah disebutkan, pihak perguruan tinggi seringkali memberi
tidak cukup waktu luang pada siswa untuk mengambil mata kuliah yang
mereka hendaki. Mata kuliah itu sendiri acapkali begitu tersusun rapi
sehingga para siswa harus melaluinya dengan cara khusus.33
Kontrol atas ”pelanggan” perguruan tinggi, yaitu siswa sebenarnya
bermula jauh hari sebelum mereka memasuki perguruan tinggi. Sekolah-
sekolah bermutu telah mengembangkan banyak teknologi untuk mengontrol
para siswa. Banyak sekolah berusaha keras, dari awal, supaya para siswa
mau menerima peraturan mereka. Taman kanak-kanak dianggap sebagai
“tempat latihan” pendidikan.34 Mereka yang mematuhi peratuhan dianggap
sebagai murid yang baik, dan yang sebaliknya dicap sebagai murid yang
tidak baik. Dus, sebagai aturan umum, seorang siswa yang menyerah pada
polese ialah siswa yang termasuk dalam mekanisme kontrol. Para siswa
tidak hanya diajarkan untuk mematuhi otoritas, tetapi juga untuk merangkul
prosedur yang dirasionalisasi tentang pelajaran hafalan serta pengujian
objektif. Yang lebih penting ada kecenderungan spontanitas dan kreatifitas
tidak dihargai, dan bahkan ditekan sehingga mengacu pada apa yang oleh
seorang pakar disebut sebagai “pendidikan kepatuhan”.
George Ritzer menilai bahwa jam dan satuan pelajaran juga
menerapkan kontrol pada para siswa, terutama pada sekolah-sekolah yang
bermutu. Karena adanya “tirani jam”, suatu pelajaran harus berlanjut, dan
berakhir, pada saat bel berbunyi, meskipun pelajaran seringkali tidak sejalan
dengan jam. Sehingga, ketika para siswa hendak memahami sesuatu,
pelajaran berakhir dan kelas harus memulai sesuatu yang baru. Disebabkan
adanya suatu “tirani satuan pelajaran”, suatu kelas harus memfokuskan diri
32 George Ritzer, Op. Cit, hlm. 188. 33 Ibid. 34 Ibid, hlm. 188-189.
72
pada yang digariskan satuan pelajaran hari ini, tak peduli apa yang
dikehendaki para siswa (bahkan oleh sang guru). Berikut ini contoh seorang
guru “yang melihat sekelompok siswa yang begitu tertarik mengamati
seekor kura-kura. Nah anak-anak, letakkan kura-kura itu, ujar sang guru.
Kita akan belajar ilmu pengetahuan yaitu mengenali kepiting”. Secara
keseluruhan, penekanannya cenderung pada penciptaan siswa yang patuh
dan tunduk. “siswa yang kreatif dan mandiri seringkali dianggap morat-
marit, mahal, serta memakan banyak waktu.35
Bagi Ritzer pengajar di McUniversity layaknya McJobs –pekerjaan
yang telah terMcDonaldisasi-, ia akan ditekan untuk memproduksi
pengetahuan, hingga dapat menghasilkan pengetahuan baru.36
Di beberapa tempat di dunia penggunaan sarana baru dalam layanan
pendidikan mungkin dianggap sudah biasa37 tetapi hal ini akan berkembang
menjadi tekanan. Hal ini sama sekali tidak efisien, dan terkesan telah
ketinggalan zaman, membosankan dan tidak praktis.
Mahasiswa dan orang tua yang datang ke perguruan tinggi umumnya
hanya sebatas pemakai dan beberapa perguruan tinggi dengan sendirinya
akan menjadi “masyarakat pelanggan”. Mahasiswa akan tau betul
bagaimana dengan dunia pendaftaran sebelum mereka masuk ke perguruan
tinggi, bahkan bagi mahasiswa lama hal ini sudah tidak asing lagi. Para
pendidik akan datang dan beradap tasi – menyesuaikan- diri dengan siswa
didik sebagai siswa ajar, dan pendidikan sebagai hasilnya.
McUniversity yang didirikan berdasarkan ide-ide akan membentuk
sebuah organisasi dengan kontrol yang ketat. Ia akan menawarkan berbagai
macam kesenangan, warna dan kegembiraan38 yang dapat ditemukan
sebagaimana yang ada di Mall dan tempat-tempat penting. Bahakan
beberapa perguruan tinggi harus menghapuskan kemungkinan-kemungkinan
35 Charles E. Silberman, Crisis in the Classroom: The Remaking of American Education,
(New York: Random House, 1970), hlm. 137. 36 Virginia Visconti, lihat www.vviscont@falstaff.ucs.indiana.edu hlm. 2. 37 George Ritzer, McUniversity in the Post Modern Consumer Society, in Quality in Higher
Education, hlm. 186 38 Ibid, hlm. 190.
73
negatif dalam mendapatkan gelar kesarjanaan dengan membuatnya lebih
mudah, termasuk peningkatan jumlah lulusan. Kampus akan dipisah menjadi
beberapa bagian yang terletak dibeberapa tempat sebagaimana tempat
perbelanjaan. Kemajuan teknologi akan memudahkan mengakses bahan-
bahan pelajaran dari rumah, fakultas akan disederhanakan dan pengajaran di
berlakukan dengan dosen memakai pakaian seragam serta adanya materi
tambahan.39
Staf pengajar akan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk
membuat penelitian sehingga mereka akan menawarkan pada mahasiswa apa
yang seharusnya mereka lakukan, perlu dan inginkan, bukan bagian dari
norma. Perguruan tinggi akan sedikit tertutup dalam hubungannya dengan
masyarakat dan akan menambah pengetahuan melalui organisasi-organisasi
yang akan merespon permintaan pasar pendidikan dengan membuat pasar
pendidikan lebih menarik. Hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan
akan dikomersilkan.40
Kebutuhan akan pendidikan dengan mengadopsi ide-ide seperti
idenya McUniversity41, terlalu riskan terhadap adanya pertentangan.
Kebijakan dengan masuk kedalam sistem ini hanya akan melawan institusi
pendidikan itu sendiri.42
5. Irasionalitas Atas Rasio: Pendidikan Tinggi Seperti Mengolah Daging
Universitas modern, dalam berbagai hal, telah menjadi tempat yang
tidak rasional. Banyak mahasiswa dan anggota fakultas yang ditinggalkan
oleh kebesaran, dan atmosfernya yang mirip perusahaan. Mereka mungkin
merasa seperti robot yang diproses oleh birokrasi dan komputer, atau bahkan
seperti ternak yang berjalan melalui pabrik pengolahan daging. Dengan kata
lain, pendidikan dalam latar semacam itu bisa menjadi pengalaman
dehumanisasi. Massa siswa; asrama yang besar dan tidak manusiawi; kelas
perkuliahan yang padat menyulitkan perkenalan antar siswa. Perkuliahan
39 Ibid, hlm. 192. 40 Ibid, hlm. 194. 41 Ibid, hlm. 196. 42 Ibid, hlm. 197.
74
besar yang sangat terbatas oleh waktu, membuatnya sangat tidak mungkin
mengenal para dosen secara pribadi. Yang paling mungkin, para siswa
mengenal asisten dosen yang mengajar kelas diskusi. Gradasi mungkin
diambil dari serangkaian ujian pilihan ganda yang digradasi mesin dan
diposkan secara tidak pribadi, kerap kali dengan angka keamanan sosial dan
bukannya dengan nama. Secara keseluruhan, para siswa mungkin merasa
seperti sedikit lebih dari pada sekadar obyek di mana pengetahuan
dicurahkan karena mereka bergerak dalam jalur perakitan peningkatan
pendidikan dan pemberian informasi.
Dalam pandangan Ritzer, kemajuan teknologi mengarah pada
irasionalitas yang semakin besar dalam pendidikan. Kontak minimal antara
guru dan siswa semakin dibatasi oleh kemajuan-kemajuan semacam televisi
pendidikan, televisi sirkuit tertutup, intruksi terkomputerisasi, serta mesin
pengajaran. Kita mungkin akan melihat langkah utama dalam dehumanisasi
pendidikan –penghapusan guru manusia dan interaksi manusiawi antara rugu
dan siswa.43
Bagi Ritzer, dunia McUniversity adalah dimana para siswa dan orang
tua melihat diri mereka sebagai konsumen pendidikan tinggi, yang berharap
pada produk McDonaldisasi: murah, masuk akal dan efisien. Disertasi yang
ditulis Ritzer dan dibukukannya dalam bukunya The McDonaldization of
Society (McDonaldisasi masyarakat) ini merupakan pengembangan teori
dari analisa rasiolnalisasi-nya Max Weber.
Di dalam masyarakat industri modern, yang pada awalnya berpola
pikir tradisional dan berorganisasi tergantikan dengan pola pikir kalkulasi
terkait dengan efisiensi dan pengawasan sosial yang bersifat formal.
Menurut Ritzer, rumah makan cepat saji adalah simbul organisasi yang
menerapkan sistem rasionalisasi ini.44
43 Thomas Larney, pustakawan di Ferdinand postma Universitas Potchetstroom 2522,
Noordbrug, Afrika Selatan. Atau bisa lihat http://www.fpbtl@puknet.puk.ac.za 44 James Panton, McEducation – and bits on the side, Artikel 18 Juli 2001. Atau lihat
http://www.spiked-online.com/article/00000002d1a0.htm
75
Dunia masa depan akan mengikuti prosedur pusat perbelanjaan –
restoran cepat saji-, faham konsumeris akan mempengaruhi hubungan
dengan perguruan tinggi, hal ini akan membesarkan hati bagi mereka yang
tidak setuju dengan trend ini.
top related