bab iii qada’ puasa terhadap orang yang...
Post on 16-Mar-2019
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB III QADA’ PUASA TERHADAP ORANG YANG MENINGGAL DUNIA
A. BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 Hijriah (699
Masehi). Nama kecilnya ialah Nu’man bin Sabit bin Zautha bin Mah. Ayah
beliau keturunan dari bangsa Persi (Kabul-Afganistan) tetapi sebelum beliau
dilahirkan ayah beliau sudah pindah ke Kufah. Beliau dipanggil Abu Hanifah
karena sesudah berputra, ada di antaranya yang dinamakan Hanifah, maka dari
itu beliau mendapat gelar dari orang banyak dengan sebutan Abu Hanifah. Tetapi
ada riwayat lain, bahwa yang menyebabkan beliau dipanggil Abu Hanifah,
karena beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-
sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama. Karena perkataan “Hanif”
dalam bahasa Arab artinya “cenderung” atau “condong” kepada agama yang
benar. Beliau wafat pada bulan Rajab tahun 150 H (767 M) di Bagdad.1
1. Pendidikan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sejak kecil suka kepada ilmu pengetahuan,
terutama yang ada hubungannya dengan agama Islam.
Beliau banyak belajar dari ulama-ulama tabi’in seperti Ata’ bin Abi
Rabah dan Imam Nafi’ Maula Ibnu Umar. Beliau juga belajar ilmu hadits dan
fiqh dari ulama-ulama yang terkemuka di negeri itu. Guru yang paling
1 K.H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Cet. Ke-5, Jakarta : PT.
Bulan Bintang, 1986, hlm. 19
berpengaruh pada dirinya ialah Imam Hammad bin Abi Sulaiman (wafat
120H).
Adapun para ulama yang pernah beliau ambil dan hisap ilmu
pengetahuannya pada waktu itu kira-kira ada 200 ulama. Dan di antara orang
yang pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah adalah Imam Ahmad al-Baqir,
Imam Ady bin Sabit, Imam Abdur Ramhan bin Harmaz, Imam Amr bin
Dinar, Imam Mansur bin Mu’tamir, Imam Syu’ban bin Hajjaj, Imam Ahsim
bin Abin Najwad, Imam Salamah bin Khail, Imam Qatadah, Imam Rabi’ah
bin Abi Abdur Rahman dan lain-lain.
Imam Abu Hanifah juga terkenal sebagai imam ahli ra’yi dan ahli
qiyas dan mengerti tentang hadits-hadits yang telah diterima riwayatnya pada
masa itu.2
2. Murid-Murid Imam Abu Hanifah
Beberapa murid Imam Abu Hanifah yang terkenal adalah :
a. Imam Abu Yusuf, Yaqub bin Ibrahim al-Ansary lahir pada tahun 113
Hijriyah. Beliau setelah dewasa belajar menghimpun atau mengumpulkan
hadits-hadits dari Nabi SAW., yang diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah
Asy-Syaibany, Ata’ bin As-Saib dan lain-lain. Imam Abu Yusuf termasuk
golongan ulama ahli hadits yang terkemuka, beliau wafat tahun 183
Hijriah.
2 Ibid., hlm. 23
b. Imam Muhammad bin Hasan bin Farqad asy-Syaibani, lahir di Irak tahun
132 Hijria. Beliau seorang alin ahli fikih dan furu’ bin Hasan wafat pada
tahun 189 Hijriah di kota Rayi.
c. Imam Zafar bin Huzail bin Qais al-Kufi lahir pada tahun 110 Hijriah.
Beliau amat menyenangi untuk mempelajari ilmu akal atau ra’yi, beliau
juga menjadi seorang ahli qiyas dan ra’yi yang meninggal tahun 158
Hijriah.
d. Imam Hasan bin Ziyad al-Luluy, beliau belajar pada Imam Abu Hanifah,
Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, serta wafat pada
tahun 204 Hijriah.
Empat orang ulama itulah sahabat dan murid Imam Abu Hanifah,
yang akhirnya menyiarkan dan mengambangkan aliran dan hasil ijtihad
beliau yang utama, serta mereka mempunyai kelebihan untuk memecahkan
soal-soal ilmu fiqh atau soal-soal hukum yang bertalian dengan agama.
Bahkan Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan sejak dahulu
mendapat gelar “As-Sahabain” yakni kedua sahabat Imam Abu Hanifah yang
paling rapat.3
3. Hasil Karya Imam Abu Hanifah dan Murid-muridnya
Imam Abu Hanifah memang seorang ahli tentang fiqh dan ilmu kalam
dan pada saat beliau hidup banyak yang berguru padanya. Di bidang ilmu
3 Ibid., hlm. 37
kalam beliau menulis kitab yang berjudul al-Fiqh al-Asqar dan al0-Fiqh al-
Akbar. Tetapi dalam bidang ilmu fiqh tidak ditemukan catatan sejarah yang
menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh sewaktu
hidupnya.4
Adapun kitab-kitab hasil karya murid-murid Imam Abu Hanifah
dalam bidang ilmu fiqh adalah :
a. Kitab al-Kharaj oleh Imam Abu Yusuf
b. Zahir ar-Riwayah oleh Imam Muhammad nin Hasan asy-Syaibani. Kitab
in terdiri dari 6 jilid, yaitu al-Mabsut, al-Jami’, al-Kabir, al-Jami’ as-
Sagir, as-Siyar al-Kabir, as-Siyar as-Sagir dan az-Ziyadat.
c. An-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Terdiri dari empat judul yang
terpisah yaitu : al-Haruniyyah, al-Kaisaniyyah, al-Jurjaniyyah dan ar-
Radiyyah.
d. Al-Kafi oleh Abi al-Fadl Muhammad bin Muhammad bin Ahmaf al-
Maruzi. Kitab ini merupakan gabungan dari enam judul bagian buku
Zahir ar-Riayah, kitab al-Kafi disyarah oleh Imam as-Sarakhsi.
e. Al-Mabsut adalah syarah dari al-Kafi yang disusun oleh Imam as-
Sarakhsi.
f. Tuhfah al-Fuqaha’ oleh Alauddin Muhammad bin Ahmad bin Ahmad as-
Samarqandi.
4 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. Ke-1, Jakarta :
PT. Ichtiar Baru Van hoeve, 1997, hlm. 340
g. Badai’ as-Sana’i oleh Alauddin Abi Bakr bin Mas’ud bin Ahmad al-
Kasani al-Hanafi.
h. Al-Hidayah qa Syarhuha fath al-Qadir oleh Ali bin Abu Bakr al-
Marginani.
i. Duraral Hukkan fi Gurar al-Ahkam oleh Muhammad bin Faramuz.
j. Tanqir al-Absar wa Jami’ al-Bihar oleh Muhammad bin Abdullah bin
Ahmad al-Khatib at-Tamartasyi.
k. Ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-Absar oleh Alauddin Muhammad
bin Ali al-Husni.
l. Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar fi Syarh Tanwir al-
Absar oleh Ibnu Abidin.5
4. Dasar-dasar Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli hadits dan ahli fiqh. Guru
yang paling berpengaruh pada dirinya adalah Hammad bin Abi Sulaiman.
Setelah gurunya wafat, Imam Abu Hanifah tampil melakukan ijtihad secara
mandiri dan menggantikan posisi gurunya sebagai pengajar di halaqah yang
mengambil tempat di Masjid Kufah. Karena kepandaiannya dalam berdiskusi
dan kedalaman ilmunya dalam bidang fiqh, ia dijuluki oleh murid-muridnya
sebagai al-Imam al-A’zam (Imam Agung). Lewat halaqoh pengajiannya
5 Ibid., Jilid II, hlm. 346
itulah Imam Abu Hanifah mengemukakan fatwa fiqh dan lewat ijtihad
mandirinya kemudian berdiri dan berkembang mazhab Hanafi.6
Mazhab Hanafi adalah aliran fiqh yang merupakan hasil ijtihad Imam
Abu Hanifah berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah. Dalam pembentukannya,
mazhab ini banyak menggunakan ra’yu (rasio). Karena itu, mazhab ini
terkenal sebagai mazhab aliran ra’yu. Tetapi dalam kasus tertentu, mereka
dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits
ahad.7
Sedangkan dasar-dasar mazhab Hanafi adalah :
a. Kitab Allah (al-Qur'anul Karim)
b. Sunnah Rasulullah SAW. dan asar-asar yang shahih serta telah masyhur
(tersiar) di antara para ulama yang ahli.
c. Fatwa-fatwa dari para sahabat.
d. Qiyas
e. Istihsan
f. Adat yang telah berlaku di dalam masyarakat umat Islam.8
5. Ciri-ciri Khas Fiqh Mazhab Hanafi
Dalam membentuk hukum, Imam Abu Hanifah menempatkan al-
Qur'an sebagai landasan pokok, kemudian sunah sebagai sumber kedua.
6 Ibid., Jilid I, hlm, 12 7 Ibid., Jilid II, hlm. 511 8 K.H. Moenawar Chalil, op. cit., hlm. 79
Beliau juga berpegang pada fatwa sahabat yang disepakati, tetapi jika suatu
hukum tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan ijtihad.
Illat ayat-ayat hukum dan hadits, terutama dalam bidang mu’amalah, menurut
pandangannya perlu sejauh mungkin ditelusuri sehingga berbagai metode
ijtihad dapat difungsikan antara lain qiyas dan istihsan. Metode istihsan telah
banyak berperan dalam membentuk pendapat-pendapat fiqh Imam Abu
Hanifah dan membuat mazhabnya lebih dinamis, realistis dan rasional.9
Mazhab Hanafi memiliki beberapa ciri sebagai berikut :
a. Fiqh Imam Abu Hanifah lebih menekankan pada fiqh muamalah
b. Fiqh Imam Abu Hanifah memberikan penghargaan khusus kepada hak
seseorang baik pria maupun wanita.10
B. METODE ISTIMBATH HUKUM IMAM ABU HANIFAH
Dalam memecahkan suatu masalah, Imam Abu Hanifah menggunakan
beberapa metode dalam beristimbath, yaitu mengambil Kitabullah sebagai
sumber pokok, sunnah Rasulullah SAW. dan asar-asar yang sahih dan tersiar di
kalangan orang-orang yang terpercaya, pendapat para sahabat yang dikehendaki
atau meninggalkan pendapat mereka yang dikehendaki (apabila urusan itu
sampai kepada Ibrahim, asy-Sya’bi, Hasan, Ibnu sirin dan Sa’id bin Musayyab,
maka beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad), juga menggunakan ijma’,
qiyas, istihsan dan ‘urf. Untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini :
9 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., Jilid I, hlm. 13
1. Al-Kitab (al-Qur'an)
Al-Qur'an adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW. yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan
sumber hukum tidak kembali kecuali kepada keaslian penetapan al-Qur'an.
Menurut al-Bazdawi, Abu Hanifah menetapkan al-Qur'an adalah lafal dan
maknanya. Sedang menurut as-Sarakhsi, al-Qur'an dalam pandangan Abu
Hanifah hanyalah makna, bukan lafal dan makna.11
2. As-Sunnah
As-sunnah adalah penjelas bagi kitab Allah yang masih mujmal dan
merupakan risalah yang diterima oleh Nabi dari Allah SWT. yang
disampaikan oleh kaumnya yang yakin dan barang siapa yang tidak
mengambilnya, maka dia tidak percaya terhadap penyampaian risalah Nabi
dari Tuhannya.
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan
al-Qur'an yang qath’i dalalahnya dinamakan fardu, sesuatu yang ditetapkan
oleh as-Sunnah yang danny dalalahnya, dinamakan wajib. Demikian pula
yang dilarang, tiap-tiap yang dilarang oleh al-Qur'an dinamakan haram dan
tiap-tiap yang dilarang oleh Sunnah dinamakan makruh tahrim.12
Ulama hadits dan ulama ushul membagi hadits kepada :
10 Ibid, Jilid II, hlm. 513 11 Prof. DR. Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-
1, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 146 12 Ibid., hlm. 154
a. Mutawatir
Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan secara bersambung oleh orang
banyak yang tidak mungkin sepakat berdusta.13
Hadits mutawatir memberi pengertian yakin. Jumhur ulama menetapkan
bahwa Abu Hanifah berhujjah dengan hadits mutawatir.
b. Masyhur
Hadits masyhur ada yang memasukkannya ke dalam bagian hadits ahad.
Hadits masyhur tidak memfaedahkan selain dari dhanni tetapi dapat
diamalkan. Sebagian yang lain menetapkan bahwa hadits masyhur adalah
memberi faedah dan tidak memberi faedah yakin.
c. Ahad
Hadits Ahad menurut asy-Syafi’i dan ulama semasanya adalah yang tidak
terdapat padanya syarat-syarat mutawatir atau masyhur. Jumhur fuqaha
menerima hadits ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang
dijadikan hujjah dalam bidang amali, tidak dalam bidang ilmu atau
i’tiqadi. Abu Hanifah mengamalkan hadits ahad, meninggalkan pendapat
yang berlawanan dengan hadits ahad itu. Sedang syarat-syarat Abu
Hanifah menerima hadits ahad adalah perawinya yang afqah atau
13 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., Jilid V, hlm. 1670
mendahulukan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang afqah atas
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak afqah.14
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, hadits ahad dapat dijadikan landasan
hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Hadits ahad tersbeut tidak menyalahi makna lahiriyah ayat al-Qur'an.
2) Hadits ahad itu tidak menyalahi hadits masyhur menyangkut masalah
yang sama.
3) Hadits ahad itu tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah
umum syari’at Islam apabila periwayatan hadits itu bukan seorang
faqih.
4) Hadits ahad tersebut tidfak menyangkut kepentingan orang banyak.
5) Hadits ahad itu bertentangan dengan amal dan atau fatwa sahabat yang
meriwayatkannya.15
Abu Hanifah dalam menanggapi hadits ahad, ada yang diterima
apabila tidak berlawanan dengan qiyas, jika berlawanan dengan qiyas
yang illatnya mustambat dari sesuatu asal yang danni atau istimbathnya
danni walaupun dari asal yang qath’i atau diistimbathkan dari asal yang
qath’i, tetapi penerapannya kepada furu’ adalah danni, maka
didahulukanlah hadits ahad atas qiyas.
14 Prof. DR. Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 155 15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., Jilid V, hlm. 1671
Adapun jika hadits ahad ditentang oleh asal yang umum qath’i,
penerapannya qath’i pula, maka Abu Hanifah melemahkan hadits, tidak
menerimanya dan menetapkan hukum berdasarkan pada kaedah yang
umum itu.
d. Mursal
Hadits mursal ialah hadits yang tidak disebut nama sahabi oleh tabi’i yang
meriwayatkannya, seperti dikatakan oleh seorang tabi’i, “Bersabdalah
Nabi …. ” Sesungguhnya Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal
sebagai hujjah, karena tabi’i kepercayaan yang diterima haditsnya oleh
Imam Abu Hanifah, menegaskan kepadanya bahwa mereka tidak
menyebutkan nama sahabi yang memberi hadits kepada mereka apabila
yang memberi itu empat orang sahabat.
Jadi, Imam Abu Hanifah menerima as-Sunnah yang diriwayatkan oleh
orang kepercayaan dan meletakkan hadits-hadits ahad sesudah al-Qur'an.
Apabila hadits-hadits ahad berlawanan dengan kaidah umum, yang telah
diijma’i oleh para ulama, Imam Abu Hanifah menolak hadits-hadits itu
dengan dasar tidak membenarkan bahwa Nabi SAW. ada
mengatakannya.16
3. Aqwalus-sahabah (fatwa sahabi)
Abu Hanifah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat
Islam mengikutinya. Jika ada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat,
maka beliau mengumpulkan salah satunya. Jika tidak ada pendapat sahabat
pada suatu masalah, beliau berijtihad, tidak mengikuti pendapat para tabi’in.
tetapi pada dasarnya Abu Hanifah mendahulukan fatwa sahabat daripada
qiyas.17
4. Al-Ijma’
Ijma’ adalah sesuatu yang dapat dijadikan hujjah. Ijma’ merupakan
kesepakatan para mujtahidin dari masa ke masa untuk menentukan suatu
hukum dan telah disepakati para ulama untuk dijadikan hujjah, tetapi ada
perselisihan dalam wujudnya setelah masa sahabat dan Imam Ahmad telah
mengingkarinya setelah masa sahabat untuk tidak menyepakatinya dan tidan
mungkin ada kesepakatan fuqaha setelah masa sahabat.18
Imam Abu Hanifah menurut penegasan ulama Hanafiyah menetapkan bahwa
ijma’ menjadi hujjah. Ulama Hanafiyah menerima ijma’ qauli dan sukuti.
Juga menetapkan bahwa tidak boleh mengadakan hukum baru terhadap
sesuatu urusan yang diperselisihkan dari masa ke masa atas dua pendapat
saja. Mengadakan fatwa baru dipandang menyalahi ijma’. Dalam kitab al-
Manakib diterangkan bahwa Abu Hanifah mengambil hukum yang diijtma’i
16 Prof. DR. Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 158 17 Ibid., hlm. 161 18 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi,
Beirut, tt., hlm. 163
oleh mujtahidin, tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulama-
ulama Kufah.19
5. Qiyas
Abu Hanifah apabila tidak menemukan nas dalam kitabullah dan
sunnatur Rasul dan tidak menemukan pada fatwa sahabi, maka beliau
berijtihad untuk mengetahui hukum. Beliau menggunakan qiyas, kecuali
apabila tidak baik memakainya dan tidak sesuai dengan apa yang dibiasakan
masyarakat. Jika tidak baik dipakai qiyas, beliau menggunakan istihsan. Qiyas
yang dipakai Abu Hanifah ialah yang dita’rifkan dengan : “Menerangkan
hukum sesuatu urusan yang dinaskan hukumnya dengan suatu urusan lain
yang diketahui hukumnya dengan al-Qur'an atau as-Sunnah atau al-Ijma’
karena bersekutunya dengan hukum itu tentang illat hukum.”20
Pada dasarnya Abu Hanifah banyak memakai qiyas, karena ia
memperhatikan hukum-hukum bagi masalah-masalah yang belum terjadi dan
hukum-hukum yang akan terjadi, lantaran itu ia mengitimbathkann illat yang
menimbulkan hukum tersebut dan memperhatikan maksud-maksud yang
menyebabkan Nabi menyebutkan suatu hadits. Abu hanifah tidak
mencukupkannya dengan tafsir dahiri, beliau meloihat lebih jauh kepada
maksud dan isyarat-isyarat perkataan. Abu Hanifah mengistimbathkan aneka
macam illat hukum lalu menta’rifkan cabang-cabang hukum bagi perbuatan-
19 Prof. DR. Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 162 20 Ibid., hlm. 166
perbuatan yang tidak diperoleh nas, illat itulah yang dipandang dasar untuk
menetapkan hukum bagi hal-hal yang tidak diperoleh nas. Jika hadits sesuai
dengan hukum yang telah ditarik dengan jalan mempelajari illat, bertambah
kukuhlah kepercayaannya, dan jika hadits itu diriwayatkan oleh orang
kepercayaan, Abu Hanifah mengambil hadits meninggalkan qiyas. Kadang-
kadang hukum yang diistimbathkan dengan illat sesuai dengan hadits. Hal ini
bukanlah berarti mendahulukan qiyas atas hadits. Apabila qiyas tidak dapat
dilakukan karena berlawanan dengan hadits, maka Abu Hanifah pun
meninggalkan qiyas, mengambil istihsan. Pokok pegangan dalam
menggunakan qiyas ialah bahwa hukum syara’ ditetapkan untuk kemaslahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, hukum-hukum
syara’ yang berpautan dengan ibadah tidak dapat akal menyelami illatnya.
Maka dari itu Abu Hanifah membagi nas dalam dua bagian, yaitu :
a. Nusus Ta’abudiyah, yang tidak dibahas illatnya. Pada nas-nas ini tidak
dilakukan qiyas, karena tidak dibahas illatnya walaupun diyakini ibadah-
ibadah itu disyari'’tkan Allah untuk kemaslahatan manusia.
b. Nas-nas yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan illat itu.
Nas-nas ini adalah nas-nas yang mu’allal, dipelajari illatnya dan
maksudnya, sebabnya dan gayahnya dan padanya berlaku qiyas.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan pada qiyas adalah hukum asal, bukan
hukum yang dikhususkan untuk suatu hukum saja, dan nas bukanlah yang
dipalingkan dari qiyas, yakni qiyas yang menyalahi illat yang umum yang
ditetapkan syara’ sendiri. Abu Hanifah berpegang pada umum illat
kecuali apabila berlawanan dengan ‘urf masyarakat, maka Abu Hanifah
meninggalkan qiyas dan mengambil istihsan. Lantaran Abu Hanifah
menggunakan illat, maka ia terkenal sebagai imam yang memegang
ra’yu, bukan imam yang memegang asar dan terkenallah keahliannya
dalam bidang qiyas, walaupun ia juga seorang imam sunni.21
6. Istihsan
Istihsan secara bahasa adalah memandang dan meyakini baiknya
sesuatu. Istihsan adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan ulama
mazhab Hanafi ketika hukum yang dikandung metode qiyas (analogi) atau
kaidah umum tidak diterapkan pada suatu kasus.
Macam-macam istihsan menurut ulama mazhab Hanafi, yaitu :
a. Al-Istihsan bi an-nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)
b. Al-Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma’)
c. Al-Istihsan bi al-qiyas al-khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang
tersembunyi)
d. Al-Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan)
e. Al-Istihsan bil al-‘urf (istihsan berdasar adat kebiasaan yang berlaku
umum).
f. Al-Istihsan bi ad-daruriyah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).22
21 Ibid., hlm. 171 22 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., Jilid III, hlm. 771
7. ‘Urf
‘Urf adalah pendapat muslimin atas suatu masalah yang tidak terdaat
di dalamnya nas dari al-Qur'an atau Sunnah atau pendapat sahabat, maka dari
itu ‘urf dapat dijadikan hujjah.
‘Urf dibagi dua :
a. ‘Urf sahih, yaitu ‘urf yang tidak menyalahi nas.
b. ‘Urf fasid, yaitu ‘urf yang menyalahi nas.
Dari dua ‘urf yang dapat dijadikan hujjah adalah ‘urf sahih.23
Imam Abu Hanifah mengamalkan ‘urf bila tidak dapat menggunakan
qiyas atau istihsan. Ulama Hanafiyah mengemukakan ‘urf terhadap masalah-
masalah yang tidak ada nashnya, mereka mentakhishkan nas-nas yang umum
jika menyalahi ‘urf umum. Jika qiyas meyalahi ‘urf, mereka mengambil ’urf.
Begitu pula mereka mengambil ‘urf khas dikala tidak ada dalil yang
menyalahinya.24
C. PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG QADA’ PUASA
TERHADAP ORANG YANG MENINGGAL DUNIA
1. Pengertian Qada’ Secara Umum
Lafaz qada’ berasal dari bahasa Arab, yaitu yang
artinya melaksanakan atau mengerjakan. Contohnya :
- , artinya : mengerjakan shalat
23 Muhammad Abu Zahrah, loc. cit.
- , artinya : membayar hutang.25
Di dalam fiqh, istilah qada’ dipakai pada dua tempat yaitu dalam arti
lembaga peradilan dan qada’ dalam arti pelaksanaan kewajiban, khususnya
ibadah. Qada dalam pengertian yang kedua merupakan pengimbang dari
ada’.26
Fuqaha berbeda pendapat tentang kewajiban melakukan qada’.
Pendapat pertama yang dipelopori oleh ulama mazhab Hanafi, Hambali,
sebagian ulama mazhab Syafi’i, Maliki dan umumnya ulama hadits
memandang wajib melakukan qada’ atas dalil (alasan) perintah ada’. Menurut
pendapat ini, dalil yang menjadi alasan wajibnya melaksanakan qada’ adalah
dalil yang menjadi alasan wajibnya melaksanakan ada’.27 Pendapat ini
beralasan pada ayat al-Qur'an :
Artinya : “… maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.” (QS. al-Baqarah : 184)28
Juga berdasarkan hadits Nabi sebagai berikut :
24 Prof. DR. Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 182 25 Kamus Munjid, Cet. Ke-18, Penerbit al-Katsulikiyah, Beirut, tt., hlm. 636 26 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., Jilid I, hlm. 19 27 Ibid., hlm. 20 28 Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah
al-Qur'an, Jakarta : PT. Bumi Restu, 1978, hlm. 44
29
Artinya : “Diceritakan kepada kami Muhammad bin al-Musanna, diceritakan kepada kami Abdul A’la, diceritakan kepada kamu dari Qatadah dari Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rasulullah SAW. : Barangsiapa yang lupa atau tertidur dari (mengerjakan) shalat, hendaklah dikerjakannya ketika ingat karena itulah waktu (bagi)nya.” (HR. Muslim)
Menurut pendapat ini, berlakunya waktu tidak berarti terhapusnya
kewajiban, kewajiban tetap berlangsung, hanya namanya yang berbeda.
Pendapat kedua dikemukakan oleh sebagian ulama Syafi’i, ulama
mazhab Hanafi asal Irak dan kaum Muktazilah mengatakan bahwa qada’ itu
dilaksanakan karena perintah yang baru, bukan karena perintah ada’
sebelumnya. Menurut mereka dengan berlakunya waktu berarti habis pula
kewajiban yang ada dalam waktu tersebut, dan kewajiban yang telah habis itu
harus dibayar dengan qada atas dalil yang lain, bukan dalil yang
memerintahkan ada’.30 Jadi, hadits riwayat Muslim tersebut menurut
pendapat ini merupakan perintah qada’ bukan ada’.
Dari segi boleh atau tidaknya mewakilkan pelaksanaan suatu ibadah
kepada orang lain, ulama fiqh membaginya kepada tiga bentuk :
a. Ibadah yang terkait dengan harta saja, seperti zakat, kafarat dan qurban.
Untuk mendistribusikannya boleh diwakilkan pada orang lain.
b. Ibadah jasmani saja, seperti shalat, ibadah ini tidak bisa diwakilkan
kepada orang lain.
29 Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Bandung : PT. Al-Ma’arif, tt., hlm. 277
c. Ibadah yang terkait dengan badan dan harta, seperti ibadah haji, boleh
diwakilkan pada orang lain dengan syarat tertentu.31
Adapun macam-macam ibadah khassah yang biasa diqada’ adalah :
a. Shalat
Qada’ shalat adalah melaksanakan salah satu shalat di luat zuhur di waktu
asar. Ulama fikih menyatakan bahwa kewajiban shalat tidak boleh
ditinggalkan sama sekali tanpa uzur. Karenanya, setiap shalat yang
tertinggal harus dilaksanakan di waktu lain (qada’), alasannya hadits
Rasulullah SAW., yaitu :
32
Artinya : “Diceritakan kepada kami Nasr bin Ali al-Jahdami diceritakan
kepada ayahku diceritakan kepada kami al-Musanna dari Qatadah dari Anas bin Malik berkata, telah bersabda Rasulullah SAW. : Jika tertinggal shalat salah seorang kamu atau lalai, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat, karena Allah berfirman : “Dirikanlah shalat, untuk mengingat-Ku”. (HR. Muslim)
Sedangkan bagi orang yang meninggalkan shalat dan ia belum sempat
mengqadanya sampai ia meninggal dunia, maka walinya wajib
30 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., Jilid I, hlm. 20 31 Ibid., Jilid II, hlm. 479 32 Imam Muslim, loc. cit.
mengqada’ shalatya, karena seluruh shalat yang tertinggal baik disengaja
maupun tidak, wajib di qada’.33
b. Ibadah Haji
Haji badal adalah menggantikan haji orang lain. Terdapat kesepakatan
ulama fiqh tentang kebolehan melaksanakan ibadah haji atas nama orang
lain yang sudah meninggal dunia. Jumhur ulama fiqh yang terdiri atas
ulama Hanafi, Syafi’i, Hambali menegaskan bahwa dibolehkan orang
yang masih hidup meminta orang lain untuk melaksanakan ibadah haji
atas dirinya asal syarat-syaratnya terpenuhi. Imam Abu Hanifah
mengatakan bahwa ibadah haji boleh diwakilkan dengan syarat dalam
keadaan sakit yang tidak memungkinkannya untuk pergi ke tanah suci,
dan sakit ini berlanjut sampai membawa kematiannya, sementara ia
memiliki harta yang cukup, sedangkan kalau sakit tetapi dimungkinkan
mampu tidak boleh diwakilkan. Adapun mazhab Syafi’i mengatakan
bahwa jika seorang dalam keadaan sakit yang tidak memungkinkan untuk
pergi haji karena sudah sangat tua, sementara ia punya uang cukup, maka
ia boleh menyuruh orang untuk melakukan haji untuknya. Apakah
suruhan itu dengan upahh atau tidak. Sedangkan jika seorang meninggal
dunia, sedang ia telah wajib haji, ahli warisnya wajib menghajikannya
dan biayanya diambilkan dari harta peninggalan orang yang wafat itu.
Jika orang yang telah meninggal dunia itu pernah mewasiatkan, demikian
33 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., Jilid V, hlm. 1554
juga pendapat jumhur ulama fiqh.34 Dasar hukumnya adalah hadits dari
Rasulullah SAW., yaitu :
35 Artinya : “Diceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ berkata
diceritakan kepada kami Rauh bin Ubadah dikabarkan kepada kami Ibnu Juraij berkata dikabarkan kepada saya Ibnu Syihab berkata diceritakan kepada saya Sulaiman bin Yasar dari Abdillah bin Abbas dari Fadl bin Abbas : Sesungguhnya seorang wanita dari suku Khas’am berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya ayahku telah dikenakan kewajiban melaksanakan haji, dia seorang yang sudah tua tidak mampu lagi untuk duduk di atas untanya, Rasulullah menjawab : hajikan ia olehmu”. (HR. Tirmizi)
c. Ibadah Puasa Ramadhan
Puasa ramadhan diwajibkan bagi orang-orang yang mampu untuk
melaksanakannya. Syarat-syarat wajib puasa, yaitu Islam, baligh, berakal,
suci dari haid dan nifas bagi wanita, menetap dan sanggup untuk
berpuasa. Sedangkan rukun-rukun puasa, antara lain : berniat puasa pada
34 Ibid, hlm 480. 35 At-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, Juz II, Darul Fikri, Bairut, tt., hlm. 271
malam harinya dan menahan diri dari makan dan mminum serta
bersetubuh dan sengaja muntah.36
Apabila seseorang sakit di permulaan puasa atau dipertengahannya atau
di salah satu hari dari bulan Ramadhan, bolehlah ia berbuka selama ia
sakit dan hendaklah ia mengganti puasa yang ditinggalkan selama
sakitnya. Dan juga bagi orang yang sedang dalam safar, tidak berada di
tempat tinggalnya tidak diwajibkan berpuasa tetapi harus mengqadanya
setelah kembali dari safarnya sebanyak hari yang ia tinggalkan.37 Dasar
firman Allah SWT., yaitu :
Artinya : “… maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.” (QS. al-Baqarah : 184)38
Bagi wanita yang sedang haid atau nifas tidak wajib berpuasa, karena
tidak sah puasa dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, jika mereka telah
suci, wajiblah ia mengqada’ puasa yang ditinggalkannya. Sedang bagi
wanita yang sedang hamil dan menyusui anaknya, keduanya boleh
berbuka puasa dan tidak ada kewajiban mengqada’nya, tetapi wajib bagi
keduanya untuk memberi fidyah jika mampu.39 Juga diberi keringanan
36 Prof. DR. Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, cet. Ke-2, Semarang : PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 86 37 Ibid., hlm. 98 38 Departemen Agama RI., loc. cit. 39 Prof. DR. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, op. cit., hlm. 103
bagi orang yang telah tua, orang sakit yang telah tidak ada harapan akan
sembuh dan orang-orang yang mempunyai pekerjaan berat untuk tidak
berpuasa tetapi wajib membayar fidyah.40 Dasarnya adalah firman Allah
SWT. :
Artinya : “… dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin, ….” (QS. al-Baqarah : 184)41
Kadar makanan (fidyah) yang harus diberikan menurut Imam Abu
Hanifah dan pengikutnya adalah tidak boleh kurang dari dua mud
(setengah liter) pada setiap orang miskin.42
Mengqada’ puasa Ramadhan tidaklah wajib menyegerakannya, wajibnya
ialah dengan diberi keleluasaan waktu, dimana ada kesempatan dan juga
tidak diwajibkan untuk terus menerus mengerjakannya.
Dan jika seseorang menangguhkan qada’ hingga datang bulan Ramadhan
lagi, hendaklah ia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang baru dan setelah
itu hendaklah ia mengqada’ utangnya yang lalu.43
2. Qada’ puasa terhadap orang yang meninggal dunia
a. Bagi orang yang meninggal dunia dan masih mempunyai hutang puasa
Ramadhan, tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengqada’
40 Sayid Sabiq, Fikih Sunah, Jilid 3, Cet. Ke-10, Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1996, hlm. 187 41 Departemen Agama RI., loc. cit., 42 Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., Jilid I, hlm. 330 43 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 177
puasanya sampai ia meninggal dunia, maka baginya tidak ada kewajiban
qada’ puasa Ramadhan, dan dalam hal ini tidak perlu dipermasalahkan
lagi (dibicarakan lagi).
b. Bagi orang yang meninggal dunia dan masih mempunyai hutang puasa
Ramadhan, sedang ia ada kesempatan untuk melaksanakan qada’ sebelum
ia meninggal dunia, maka ulama berselisih pendapat tentang hukumnya,
yaitu :
1) Menurut mazhab yang dipilih oleh golongan Syafi’i ialah disunatkan
bagi wali menggantikan puasa orang yang telah meninggal itu
berpuasa yang akan membebaskannya dari kewajiban dan tidak perlu
membayar fidyah. Yang dimaksud wali adalah kerabat, baik
kedudukannya sebagai asabah ahli waris biasa dan lain-lain.44
Dasarnya adalah hadits di bawah ini :
44 Ibid, hlm. 237
45 Artinya : “Diceritakan dari Muhammad bin Kholid diceritakan
kepada kami Muhammad ibn Musa bin A’yun dari Amir bin Haris dari Ubaidillah dari Abi Ja’far, sesungguhnya Muhammad Ibnu Ja’far diceritakan kepadanya dari Urwah dari ‘Aisyah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda : “Siapa yang meninggal dunia sedang ia masih mempunyai kewajiban berpuasa, hendaklah digantikan puasanya oleh walinya.” (HR. Bukhari)
2) Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa boleh diganti puasa itu
oleh orang lain, jika puasa itu puasa nazar.46
3) Jumhur ulama (Abu Hanifah, Malik, Syafi’u) berpendapat bahwa wali
tidak boleh menggantikan puasanya, hanya hendaklah ia memberikan
segantang makanan untuk setiap hari ia berutang itu.47
4) Imam Abu Hanifah
Pendapat Imam Abu Hanifah tentang qada’ puasa terhadap orang
yang meninggal dunia, seperti statement di bawah ini :
48
45 Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Matan al-Bukhari, Jilid I, Bandung : PT.
Al-Ma’arif, tt., hlm. 334 46 Prof. DR. Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, op. cit., hlm. 13 47 Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 237 48 Al-Kasani al-Hanafi, Kitab Badaa’i al-Sanaa’i, Jilid 2, Beirut : Daar al-Fikr, hlm. 156
Artinya : “… Abu Hanifah berkata : bahwa diwajibkan bagi orang yang sakit mengqada’ semua hari yang ditinggalkannya jika sehat walau satu hari, sehingga diwajibkan juga baginya berwasiat dengan memberi makanan untuk semua hari yang ditinggalkannya jika ia tidak berpuasa pada hari sehatnya itu, dan jika ia berpuasa pada hari itu maka tidak diwajibkan sesuatu (qada’ atau memberi makanan) baginya dari apa yang ditinggalkannya, …”
Sedangkan tentang perkataan Abu Hanifah tersebut dijelaskan oleh
Imam al-Kasani al-Hanafi sebagai berikut :
49
Artinya : “… dan apabila seseorang itu sudah sembuh dari sakitnya atau sudah pulang dari bepergiannya dan masih mendapatkan waktu dengan kemampuan yang ada wajib baginya qada’ seluruh puasa yang ia tinggalkan karena sesungguhnya kemampuan mengqada’ itu menghilangkan uzur. Jika seseorang tidak berpuasa sampai ia mengalami kematian, padahal sudah ada kesempatan baginya maka baginya untuk berwasiat dengan fidyah kepada walinya yaitu memberi makan atas namanya untuk setiap hari pada orang miskin, karena sesungguhnya qada’ itu wajib atasnya, kemudian apabila dia lemah setelah wajib qada’ baginya maka wajib wasiatnya itu diganti dengan fidyah…”
49 Ibid.
Dasar adalah hadits di bawah ini :
50
Artinya : “Diceritakan kepada kami Qutaibah, dikabarkan pada kami ‘Absar dari Asy’as dari Muhammad dari Nafi’ dari Ibnu Umar dari Nabi SAW., bersabda : Barangsiapa meninggal dunia padahal ia mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, maka hendaklah dibayarkan untuknya dengan memberi makan seorang miskin setiap hari.” (HR. at-Tirmizi).
Dari uraian diatas dapat dipertegas bahwa jika seseorang
tidak berpuasa sampai ia mengalami kematian, padahal sudah ada
waktu untuk mengqada’nya maka hendaknya si mati berwasiat
dengan fidyah kepada walinya yaitu memberi makan atas namanya
untuk setiap hari pada orang miskin, karena qada’ itu wajib atasnya.
50 At-Tirmizi, op. cit., hlm. 172
top related