bab iii ariyanto -...
Post on 03-Mar-2019
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
37
BAB III
PENDAPAT NURCHOLIS MADJID TENTANG HUKUM
MENGUCAPKAN SALAM DAN MENGHADIRI PERAYAAN
UMAT NON MUSLIM
A. Biografi Nurcolish Majid dan Karya-Karyanya
1. Latar Belakang Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid (Mojoanyar, Jombang, 17Maret 1939/26
Muharam 1358). Seorang cendekiawan muslim Indonesia yang dikenal
dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam. Lahir dari
kalangan keluarga pesantren, ia adalah putra seorang guru Madrasah Al-
Wathaniah di Jombang, Haji Abdul Madjid. Pendidikan awal ia peroleh dari
Sekolah Rakyat (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah (sore) di daerah
kelahirannya. Kemudian ia melanjutkan ke Pesantren Darul Ulum Rejoso,
Jombang, selama 2 tahun. Salah satu gurunya adalah KH Hasyim Asy'ari.
Kemudian ia meneruskan pendidikan ke Kulliyatul muallimin al-Islamiyah
(KMI) di Pesantren Darussalam, Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jawa
Timur, sampai tamat 1960. la mengajar selama setahun lebih di pesantren
itu. Pendidikan tinggi ia peroleh dari Fakultas Adab (Sastra Arab dan
Kebudayaan Islam), jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, sampai menyandang gelar sarjana (1968). Sejak
Maret 1978, ia mendapat kesempatan mengikuti studi lanjut (tugas belajar)
38
di Universitas Chicago, Amerika Serikat sampai meraih gelar doktor dalam
bidang Kalam dan Falsafah dengan predikat cum laude (Maret 1984).1
Selama menjadi mahasiswa IAIN, Nurcholish Aktif di organisasi
kemahasiswaan, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). la pernah menjadi
ketua Umum Pengurus Besar HMI untuk dua periode 1966-1969 dan 1969-
1971; presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969;
asisten IIFSO (International Islamic Federation of Students
Organizations/Federasi Organisasi-organisasi Mahasiswa Islam
Internasional), 1968-1971. Nur Cholish pernah menjadi staf pengajar di
IAIN (1972-1974) serta pemimpin umum majalah Mimbar, Jakarta (1971-
1974), dan pemimpin redaksi majalah Forum. Bersama teman-temannya, ia
mendirikan dan memimpin LSIK (Lembaga Studi Ilmu-Ilmu
Kemasyarakatan, 1972-1976) dan LKIS (Lembaga Kebajikan Islam
Samanhudi, 1974-1977). Sebelum dan sepulangnya dari Amerika Serikat ia
bekerja di LIPI sebagai anggota staf peneliti, menjadi dosen di Fakultas
Adab dan Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; mendirikan dan
menjadi ketua Yayasan Paramadina, yang aktif dalam kajian keislaman;
menjadi penulis tetap harian Pelita, Jakarta; 1988 anggota MPR; Agustus
1991 dosen tamu di Institute of Islamic Studies, McGill University,
Montreal, Canada.
Nurcholish terkenal dengan gagasannya tentang pembaruan
pemikiran Islam. Menurut dia, Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-
1 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet 3, Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 1994, hlm. 104.
39
pergulatan modernistik yang didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran
keislaman tradisional yang telah mapan, sekaligus diletakkan dalam konteks
keindonesiaan.2
Nurcholish Madjid pertama kali menyampaikan ide-ide
pembaharuannya secara formal pada 2 Januari 1970 di Jakarta dalam acara
halal bihalal di depan keluarga HMI, GPI (Gerakan Pemuda Islam), PII
(Pelajar Islam Indonesia) dan Persami (Persatuan Sarjana Muslim
Indonesia), dengan judul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan
Masalah Integrasi Umat". Bahasannya mencakup: 'Islam Yes, Partai Islam
No', Kuantitas versus Kualitas, Liberalisasi Pandangan terhadap 'Ajaran
Islam' sekarang (Sekularisasi, Kebebasan Berpikir, Idea of Progress, dan
Sikap Terbuka), dan perlunya kelompok pembaharuan "liberal". Makalah
tersebut kemudian dilengkapi wawancara dengan Harian Kompas (1 April
1970), yang bahasannya mencakup: Beragama secara Konvensional,
Sekularisasi dan Sekularisme, dan Beberapa 'Asuhan' dari Agama (Al-
Qur'an).
Sebelumnya, 5 Februari 1970, ia menyampaikan pidato pada acara
HUT ke-3 HMI di Jakarta, dengan judul "Menuju Pembaharuan Pemikiran
dalam Islam", memberikan kuliah di Pusat Kesenian Jakarta, 30 Oktober
1972, dengan judul "Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Ummat
Islam Indonesia," dan sebagainya yang dimuat dalam Pos bangsa, Tribun,
dan Panji Masyarakat.
2Ibid, hlm. 104
40
Ide-idenya tersebut mendapat pro dan kontra, sehingga tahun 70-an
ia disebut tokoh kontroversi. Ada pula yang menyebutnya dengan "Natsir
Muda", sebutan yang dihubungkan dengan nama salah seorang tokoh partai
Masyumi yang berpandangan modern, Mohammad Natsir.3
2. Karya-Karya Nurcholish Madjid
Nurcholish Madjid banyak menulis artikel dan makalah, yang telah
diterbitkan oleh berbagai koran dan majalah, seperti Tempo, Panji
Masyarakat, Kompas, dan Pelita. la memberi kata pengantar dalam
beberapa buku atau artikel berbahasa Inggris pada berbagai buku suntingan,
antara lain: The Issue of Modernization among Muslims in Indonesia: From
a Participant's Point of View" dalam buku Gloria Davis (ed.), What is
Modern Indonesia Culture? (Athens, Ohio: University of Ohio Southeast
Asia Studies, 1979); "Islam in Indonesia: challenges and Opportunities"
dalam Cyrisc K. 'Pullapilly (ed.), Islam in the Contemporary World (Notre
Dame, Indiana: Cross Roads Books, 1980); Ibn Taimiya on Kalam and
Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam (Ibnu Taimiyah
tentang Kalam dan Falsafah: Suatu Persoalan Hubungan antara Akal dan
Wahyu dalam Islam), disertasi yang diajukan ke University of Chicago.
Karya tulisnya dalam bentuk buku antara lain: Chazanah Intelektual
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), kumpulan karangan pendek tentang
Filsafat Islam Klasik, dan Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan
3Ibid, hlm. 105
41
(Bandung: Mizan, 1987), suatu anologi yang menghimpun tulisan-
tulisannya (30 artikel) yang ditulis dalam rentang waktu kurang lebih dua
dasawarsa.4
B. Pendapat Nurcholish Madjid tentang Hukum Mengucapkan Salam dan
Menghadiri Perayaan Umat Non Muslim
Nurcholish Madjid, sebelum sampai pada kesimpulannya, ia
mengawali dengan uraian cukup panjang. Uraian tersebut dapat diikuti dengan
awal pernyataan sebagai berikut: Sebelum menjawab pertanyaan, "Apa
hukum mengucapkan salam kepada orang non Muslim?," kami akan
mengemukakan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan hukum mengucapkan
salam kepada orang non Muslim. Hukum suatu masalah baru bisa ditetapkan
apabila diketahui konteks dan situasinya, yang dengan demikian diketahui
pula kemaslahatan dan kemudaratannya. Bukan hukumnya yang ditetapkan
terlebih dahulu dan .kemudian hukum itu diterapkan kepada semua peristiwa
atau kasus. Hukum harus tunduk kepada kemaslahatan dan hikmah. Tidak
boleh sebaliknya kemaslahatan harus tunduk kepada hukum. Di sini
kemaslahatan adalah tujuan Syariat, sedangkan hukum adalah cara atau jalan
untuk mencapai tujuan itu.5
Selanjutnya menurut Nucholish, dkk, bahwa salah satu peristiwa itu
adalah pengalaman yang diceritakan seorang Buddhis, penganut Buddhisme
4Ibid, hlm. 105 5Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004, hlm.
66
42
atau agama Buddha. la menceritakan bahwa hubungan antara dia, kerabat-
kerabat dan sanak saudaranya yang beragama Kristen, pada satu pihak, dan
kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang beragama Islam, pada pihak lain,
sebelum pertengahan 1980-an, sangat baik dan akrab. Tetapi hubungan itu
mulai renggang, bahkan tegang, karena pengaruh hukum dan norma Islam
yang kaku dan eksklusif. Hukum dan norma itu merusak hubungan harmonis
antara orang-orang non-Muslim (dia, yang beragama Buddha, kerabat-kerabat
dan sanak saudaranya yang beragama Kristen) dan orang-orang Muslim
(kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang beragama Islam). Dulu kerabat-
kerabat dan sanak saudaranya itu, baik yang Muslim maupun yang non-
Muslim, tidak mempersoalkan hukum mengucapkan salam, yaitu
"Assalamu'alaikum," kepada orang-orang non-Muslim, mengucapkan
"Selamat Natal," dan ikut serta merayakan Natal bagi orang-orang Muslim,
apakah boleh atau dilarang. Mereka yang Muslim biasa mengucapkan
"Assalamu'alaikum" kepada orang-orang non-Muslim, mengucapkan "Selamat
Natal," dan ikut serta merayakan Natal bersama saudara-saudara mereka yang
Kristen, Tetapi sejak mereka menerima fatwa para ulama bahwa tiga
kebiasaan tadi itu (mengucapkan "Assalamu'alaikum" kepada orang-orang
non-Muslim, mengucapkan "Selamat Natal," dan ikut serta merayakan Natal)
dilarang, sikap mereka berubah terhadap kerabat-kerabat dan sanak saudara
mereka yang non-Muslim. Mereka tidak mau lagi melakukan tiga kebiasaan
itu. Bahkan, di antara mereka ada yang tidak mau lagi bersalaman dengan
kerabat-kerabat dan sanak saudara mereka yang non-Muslim. Keakraban telah
43
berubah menjadi kebencian, kedamaian telah berubah menjadi ketegangan,
persaudaraan telah berubah menjadi permusuhan.6
Sangat ironis, demikian ungkap Nurcholish Madjid; Islam sebagai
agama Salam (kedamaian, kesejahteraan, keselamatan), karena penetapan
hukum dan normanya yang kaku dan eksklusif, telah berubah menjadi sumber
kebencian dan permusuhan. Peristiwa lain adalah apa yang terjadi dalam suatu
seminar agama-agama di sebuah kota kecil di Jawa Tengah pada September
1995. Dalam seminar itu, seorang ulama besar yang disegani banyak orang
mengucapkan "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh" kepada para
peserta seminar itu, yang semuanya adalah orang Kristen. Salam itu disambut
oleh para peserta itu dengan ucapan "Wa'alaikumussalamu warahmatullahi
wabarakatuh." Tiba-tiba salah seorang peserta nyeletuk dengan mengatakan,
"Mengapa Bapak mengucapkan Assalamu'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh?" Bukankah bagi orang Muslim mengucapkan salam kepada
orang non-Muslim dilarang oleh Islam?". Ulama itu menjawab sebagai
berikut: “Dulu Nabi Muhammad saw melarang mengucapkan salam kepada
orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi dan orang-
orang Muslim. Sekarang saudara-saudara sebagai orang Kristen bersahabat
dengan saya. Kita bersaudara, bukan bermusuhan. Karena itu, saya
mengucapkan salam kepada saudara-saudara. Dulu Nabi melarang
mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka
ketika berjumpa dengan Nabi dan orang-orang Muslim mengucapkan
6Ibid, hlm. 66-67
44
"Assamu'alaikum" (al-sam'alaykum) (Kematian bagimu, Celaka bagimu,
Kehinaan bagimu), bukan Assalamu'alaikum atau al-salam'alaikum (Salam
sejahtera bagimu). Sekarang, ketika saya mengucapkan "Assalamu'alaikum,"
saudara-saudara menjawab dengan "Assalamu'alakum." Karena itu,
mengucapkan salam kepada saudara-saudara sebagai non-Muslim tidak
dilarang.”7
Kemudian Nurcholish Madjid, menceritakan, bahwa pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan peserta itu ("Mengapa Bapak mengucapkan
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh?" Bukankah bagi orang
Muslim mengucapkan salam kepada non-Muslim dilarang oleh Islam?")
menunjukkan keheranannya. la heran menyaksikan langsung seorang ulama
besar melakukan sesuatu yang dilarang oleh agamanya. Keheranannya itu baru
hilang setelah ia mendengar penjelasan tentang alasan bolehnya mengucapkan
salam kepada orang non-Muslim. Pada umumnya para ulama berpendapat
bahwa hukum mengucapkan salam kepada orang non-Muslim adalah haram,
terlarang. Larangan ini didasarkan pada hadis-hadis Nabi Muhammad s.a.w.
Nabi Muhammad s.a.w. berkata: "Jangan kamu memulai (mengucapkan)
salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah
seorang dari mereka di jalan, desakkah dia ke pinggir." Hadis ini diriwayatkan
oleh Muslim melalui Abu Hurairah. Hadis ini tidak hanya melarang memulai
mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani tetapi juga
menyuruh orang-orang Muslim untuk bersikap kasar terhadap mereka, yaitu
7Ibid, hlm. 67-68
45
dengan mendesak siapa pun di antara mereka ke pinggir jalan. Hadis ini
menampilkan Islam dengan wajah garang dan kasar, demikian tegas
Nurcholish Madjid.8
Hadis lain menurut Nurcholish Madjid yang dijadikan dalil untuk
larangan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim adalah hadis
yang menceritakan bahwa sekelompok orang-orang Yahudi mendatangi Nabi
Muhammad s.a.w. sambil mengucapkan "Assamu'alaikum" (al-sam'alaikum)
(Kematian bagimu, Celaka bagimu, Kehinaan bagimu). Melihat peristiwa itu,
Aisyah, istri Nabi, mengucapkan "Wa'alaikumussamwalla'nah" (wa'alaykum
al-sam iya al-la'nah) ("Dan bagimu kematian dan laknat") kepada para tamu
Yahudi yang tidak sopan itu. Nabi menegur Aisyah, "Perlahan-lahan, hai
Aisyah. Sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam semua urusan."
Maka Aisyah bertanya kepada beliau, "Ya Rasulullah. Apa engkau tidak
mendengar apa yang mereka ucapkan?" Rasulullah menjawab, "Aku telah
mengucapkan Wa 'alaikum (Bagimu kematian)." Hadis ini diriwayatkan oleh
Bukhari melalui Aisyah. Ada sembilan hadis lain yang pada intinya, meskipun
dengan redaksi-redaksi yang sedikit berbeda, sama dengan hadis ini. Sembilan
hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari melalui tiga orang: enam hadis melalui
Aisyah, dua hadis melalui Abdullah ibn Umar, dan satu hadis melalui Anas
ibn Malik. Jadi, ada sepuluh hadis yang pada intinya mengandung pesan yang
sama.
8Ibid, hlm. 68
46
Beberapa catatan tentang sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari ini perlu mendapat perhatian. Pertama, salam yang diucapkan oleh
orang-orang Yahudi adalah salam penghinaan, yaitu "Assamu'alaikum" atau
"Assamu'alaika," bukan salam perdamaian, yaitu "Assalamu 'alaikum." Kedua,
yang memulai mengucapkan salam, yaitu salam penghinaan, adalah orang-
orang Yahudi, bukan Nabi. Ketiga, sikap para tamu Yahudi itu terhadap Nabi
adalah sikap kebencian dan permusuhan, bukan sikap perdamaian dan
persahabatan. Keempat, Nabi menegur Aisyah agar tidak bertindak kasar dan
tidak melaknat para tamu yang tidak sopan itu karena Allah mencintai
keramahan dan kelembutan. Kekasaran dan ketidaksopanan tamu tidak boleh
menghilangkan keramahan dan kelembutan penerima tamu. Kelima, karena
itu, cukup bagi Nabi untuk menjawab salam orang-orang Yahudi itu dengan
"Wa'alaikum" (Dan bagimu kematian), atau "Wa'alaika" (Dan bagi engkau
kematian).9
Sepuluh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Aisyah,
Abdullah ibn Umar, dan Anas ibn Malik ini memberikan gambaran wajah
Islam yang berbeda dengan gambaran wajah Islam yang diberikan oleh hadis
yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abu Hurairah tadi. Sepuluh hadis
yang diriwayatkan melalui Aisyah, Abdullah ibn Umar ini memberikan
gambaran wajah Islam yang ramah, lembut dan bersahabat, sedangkan hadis
yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah tadi memberikan gambaran wajah
Islam yang kasar, galak dan tidak bersahabat.
9 Ibid, hlm. 68
47
Hadis-hadis yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah sering
dipersoalkan karena beberapa alasan. Pertama, ia terlalu sering meriwayatkan
apa yang sebenarnya tidak pasti diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. Kebiasaan
ini menunjukkan kecerobohan dan ketidakhati-hatiannya dalam meriwayatkan
hadis-hadis. Kedua, diduga keras bahwa ia adalah orang yang pelupa dan ia
mengakui sifat pelupa ini. Tetapi berusaha menutupi kelemahan itu dengan
kisah ajaib bahwa Nabi Muhammad s.a.w. pernah menyuruhnya
membentangkan jubahnya bila beliau berbicara dan memungutnya kembali
setelah beliau selesai berbicara. la mengaku bahwa dengan cara aneh ia tidak
lagi melupakan sesuatu pun. Ketiga, terlalu banyak jumlah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam waktu yang singkat. la meriwayatkan
5300 hadis hanya dalam waktu tiga tahun. Aisyah yang jauh lebih lama hidup
mendampingi Nabi meriwayatkan tidak sampai separuh jumlah itu. Keempat,
ia adalah orang pemalas yang tidak mempunyai pekerjaan tetap selain
mengikuti Rasulullah ke mana pun beliau pergi. la pernah menolak pekerjaan
yang ditawarkan oleh Umar ibn al-Khattab. Kelima, banyak hadis yang
diriwayatkannya bertentangan dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
para sahabat yang terpercaya seperti Aisyah. Beberapa hadis yang terkait
tentang perempuan, misalnya, yang diriwayatkannya bertentangan dengan
hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah. 10
Hadis melalui Abu Hurairah di atas bertentangan dengan watak dasar
Islam yang menekankan kedamaian, keramahan, dan kelembutan. Hadis itu
10 Ibid, hlm. 68
48
juga bertentangan dengan hadis lain yang menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad s.a.w. (memulai) mengucapkan salam kepada Negus (Najasyi),
Raja Etiopia, melalui suratnya. Surat beliau itu berbunyi sebagai berikut:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini surat dari Muhammad, Rasul Allah, kepada Negus, Raja Etiopia. Salam bagi Anda. Puji syukur kepada Allah yang tiada. sekutu bagi-Nya. Dialah Allah yang tiada pada-Nya kekurangan dan kesalahan; hamba-Nya yang taat akan selamat dari murka-Nya. Dia melihat dan menyaksikan amal perbuatan hamba-hamba-Nya. Saya bersaksi bahwa Nabi Isa putra Maryam adalah ruh Allah dan kalam (Allah) yang menghuni rahim Maryam yang saleh. Allah menciptakannya dalam rahim ibunya tanpa ayah dengan kekuasaan-Nya sebagaimana la menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu. Saya mengajak Anda kepada Allah Yang Esa yang tidak bersekutu, dan meminta Anda menaati-Nya dan mengikuti agama saya. Percayalah kepada Allah yang mengangkat saya sebagai nabi. Hendaklah Anda mengetahui bahwa saya adalah Rasul Allah. Saya mengajak Anda dan seluruh tentara Anda kepada Allah Ta'ala, dan dengan mengirim surat dan duta ini saya telah melakukan tanggung jawab berat yang terpikul di pundak saya dan telah menasehati Anda. Salam atas orang-orang yang mengikuti petunjuk. Salam pembukaan dalam surat ini berbeda dengan salam pembukaan
dalam surat-surat yang dikirim kepada Khosru Iran, Kaisar Romawi, dan
Muqauqis. Dalam surat ini, salam pembukaan yang diucapkan Nabi
Muhammad adalah "Salam bagi Anda" (Salamua'alaikum). Salam ini
ditujukan kepada Negus, Raja Etiopia, yang beragama Kristen (Nasrani).
Dalam surat-surat lain, Nabi Muhammad tidak mengucapkan "Salam bagi
Anda," tetapi mengucapkan "Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk"
(Salamun 'ala man ittaba'a al-huda).
49
Berkenaan dengan masalah mengucapkan salam, perlu pula
memperhatikan hadis Nabi melalui Anas ibn Malik yang mengatakan bahwa
Nabi berkata: "Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam, maka jawablah:
Wa'alaykum." Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ini
menunjukkan bahwa orang-orang Muslim wajib menjawab salam yang
diucapkan oleh Ahli Kitab. Meskipun dalam hadis ini yang disebut adalah
Ahli Kitab tentu saja salam yang wajib dijawab oleh orang-orang Muslim
bukan hanya salam Ahli Kitab tetapi juga salam orang-orang non-Muslim lain.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim melalui Abdullah ibn
Amru dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui apakah mengucapkan salam
kepada orang non-Muslim boleh atau dilarang. Hadis ini menceritakan bahwa
seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah s.a.w. tentang Islam yang mana
yang terbaik. Nabi menjawab: "Memberikan makanan dan membaca salam
kepada siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau kenal."
Ketika menjelaskan makna umum hadis ini Musa Syahin Lasyin,
seorang guru tafsir dan hadis di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar,
Kairo, mengatakan bahwa di antara cabang iman yang terpenting dan perangai
Islam yang paling menonjol adalah memberikan makanan dan menyebarkan
salam. Dengan dua perangai ini (memberikan makanan dan menyebarkan
salam) persahabatan dan persaudaraan akan terwujud, umat Islam menjadi
seperti tubuh yang satu, anggota-anggotanya saling menolong untuk kebaikan,
satu sama lain saling memberi kedamaian dan saling menolong kesusahan dari
anggota-anggota itu, dan satu bagian benar-benar mengokohkan bagian lain
50
untuk kekuatan dan keteguhan. Menurut Musa Syahin Lasyin, hadis ini
menyuruh orang-orang Muslim memberikan makanan kepada semua orang,
termasuk musuh, dan kepada binatang. Dengan dua perangai ini, akan
terwujud keamanan dan keselamatan bagi diri yang melakukannya dari orang
yang ada di sekitarnya. la akan mempercayai orang yang bersamanya. Maka,
hendaklah ia membaca salam dan memberi rasa aman dan keselamatan bagi
siapa saja yang ditemuinya, dan hendaklah ia mengucapkan salam kepada
siapa yang dikenalnya dan siapa yang tidak dikenalnya. Dengan mengucapkan
salam jiwa-jiwa yang saling menjauh akan saling mendekat, kalbu-kalbu yang
tidak akur akan saling mengharmonikan, dan ruh-ruh yang tidak saling kenal
akan saling mengenal.11
Dengan dua perangai ini (memberikan makanan dan menyebarkan
salam), kepercayaan dan keamanan akan sempurna, cinta dan harmoni akan
terwujud, kebahagiaan dan kedamaian akan menjadi agung, dan fenomena-
fenomena Islam dengan bentuk-bentuk ini semua akan menjadi tampak nyata.
Hadis ini menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah agama solidaritas dan
kedamaian.
Mengucapkan salam (al-salam) adalah perbuatan menanam kasih-
sayang dan cinta dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan dan penolakan yang
mungkin ada dalam kalbu orang-orang yang dicintai akan hilang lenyap
dengan ucapan selamat. Buruk sangka dan saling mencurigai yang mungkin
ada dalam kalbu musuh akan berbalik menjadi kepercayaan dengan ucapan
11 Ibid, hlm. 68-69.
51
selamat. Makna zahir ungkapan "siapa yang engkau kenal dan siapa yang
tidak engkau kenal" (man 'arafta wa man lam ta'rif) dalam hadis ini
menunjukkan keumuman pada seluruh manusia (kull al-nas), baik yang
beriman maupun yang kafir, baik yang mengadakan perjanjian damai maupun
yang berperang, karena makna zahir ini menunjukkan bahwa salam adalah
milik Allah, bukan untuk pemenuhan hak pengenalan.
Sebagian orang yang berpegang pada keumuman makna ini
menginginkan (ucapan) salam kepada orang kafir meskipun ia adalah orang
yang berperang, ketika keperluan untuk itu adalah untuk nasehat dan yang
serupa dengan itu, karena perangai itu adalah yang paling diharapkan untuk
penerimaan mereka pada Islam. Allah telah menyuruh Musa dan Harun a.s.
berlemah lembut dengan Firaun ketika Dia berfirman: "Maka berbicaralah
kamu berdua kepadanya dengan kata-kata lemah lembut. Mudah-mudahan ia
ingat dan takut" (QS.Thoha : 44).
Sekelompok lain berpendapat bahwa keumuman ini dikhususkan bagi
orang-orang Muslim. Maka seorang Muslim tidak boleh memulai
mengucapkan salam kepada orang kafir karena larangan Nabi s.a.w. melalui
sabdanya: "Jangan kamu memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Jika kamu menjumpai salah seorang dari mereka di jalan
desakkah dia ke pinggir." Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Sebagian lain berpendapat bahwa keumuman ini muncul pertama kali
untuk kemaslahatan kerukunan, kesatuan, dan saling kasih sayang
52
(mashlahatal-ta'lif), tetapi kemudian datang larangan mengucapkan salam
kepada orang-orang kafir. Maka keumuman ini dihapus.12
Tiga pendapat ini perlu mendapat perhatian di sini. Pendapat pertama
membolehkan mengucapkan salam kepada semua manusia, baik yang dikenal
maupun yang tidak dikenal, baik Muslim maupun non-Muslim, baik yang
berdamai maupun yang berperang dengan orang-orang Muslim, baik yang
bersahabat maupun yang bermusuhan dengan orang-orang Muslim. Pendapat
ini lemah karena tidak memperhatikan konteks dan situasi konkret ketika
salam itu diucapkan dan dengan demikian tidak bertumpu pada tujuan syariat,
yaitu kemaslahatan. Jika mengucapkan salam kepada orang-orang non-
Muslim yang memerangi dan memusuhi orang-orang Muslim tidak membawa
kemaslahatan, maka mengucapkan salam kepada mereka dilarang. Apalagi
ucapan salam itu mereka balas dengan caci-maki dan penghinaan. Larangan
mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim seperti itu adalah untuk
suatu kemaslahatan: menghindari penghinaan.
Pendapat kedua melarang mengucapkan salam kepada semua orang
non-Muslim. Pendapat ini juga lemah karena bertentangan dengan hadis-hadis
yang membolehkan mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim,
seperti disebut di atas. Tentu saja yang dimaksud dengan orang-orang non-
Muslim dalam konteks ini adalah mereka yang mempunyai hubungan baik dan
bersahabat dengan orang-orang Muslim. Justru mengucapkan salam kepada
orang-orang non-Muslim seperti ini adalah untuk kemaslahatan; persaudaraan
12 Ibid, hlm. 69
53
dan kerukunan. Dalam konteks ini, mengucapkan salam kepada mereka
dibolehkan, bahkan bisa meningkat menjadi dianjurkan atau disunatkan.
Pendapat ketiga melarang mengucapkan salam kepada orang-orang
non-Muslim berdasarkan argumen bahwa larangan mengucapkan salam
kepada orang-orang non-Muslim membatasi keumuman (semua manusia)
pada orang-orang Muslim. Pendapat ini tidak menjelaskan alasan larangan
tersebut. Padahal, menurut pendapat ini, keumuman muncul pertama kali
untuk kemaslahatan kerukunan, kesatuan, dan saling kasih sayang. Tidak
diketahui apakah larangan yang datang kemudian itu muncul untuk
kemaslahatan. Bolehnya atau larangan mengucapkan salam kepada orang-
orang non-Muslim harus ditetapkan dengan mengutamakan kemaslahatan
yang selalu dikondisikan oleh konteks dan situasi sosial yang konkret.
Musa Syahin menjelaskan, al-salam'alaikum mempunyai dua arti. Arti
pertama ialah doa (al-du'a) dengan keselamatan dan keamanan untuk orang
yang diberi salam, yaitu Allah meyelamatkan dan mengamankan engkau dari
malapetaka-malapetaka dunia dan akhirat. Arti kedua ialah berita atau
informasi (al-khabar), yaitu saya mengucapkan salam dari (diri) saya
(sendiri): saya membawa kedamaian kepada engkau, bukan memerangi
engkau.
Dan al-salam (salam) adalah pemberitahuan tentang keamanan dan
kedamaian karena adat (kebiasaan) antara pihak- pihak yang berperang adalah
bahwa satu pihak tidak saling mengucapkan salam kepada pihak lain. Adat
jahiliyah adalah jika mereka saling mengucapkan salam, (hal itu berarti)
54
mereka tidak saling memerangi. Karena alasan ini, tidak boleh bagi orang
Muslim mengumpat siapa yang mengucapkan salam kepadanya dan tidak
boleh pula bangkit untuk melukainya karena perbuatan seperti itu mengingkari
apa yang diberikannya dan keamanan yang diberitahukannya.
Dikatakan bahwa yang dimaksud dengan al-salam (salam) adalah
nama Allah Ta'ala. Maka arti ini adalah: Allah adalah pemelihara bagimu atau
penjaga bagimu.
Hadis-hadis yang melarang memulai mengucapkan salam kepada
orang-orang Yahudi dan Kristen muncul dalam konteks yang berbeda dengan
hadis-hadis yang membolehkan memulai mengucapkan salam kepada orang-
orang Yahudi dan Kristen. Nabi Muhammad s.a.w. melarang memulai
mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi ketika mereka memusuhi dan
menghina Nabi dan orang-orang Muslim. Penghinaan orang-orang Yahudi itu
diungkapkan dengan mengucapkan "Assamu’alaikum" (bukan Assalamu
'alaikum) pada saat sekelompok mereka mendatangi beliau. Nabi Muhammad
memulai mengucapkan salam kepada Negus, Raja Etiopia, karena beliau dan
orang-orang Muslim mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Raja itu.
Raja itu melindungi orang-orang Muslim yang hijrah ke negeri itu. 13
Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad itu adalah untuk
kemaslahatan manusia. Karena itu, kemaslahatan harus dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum mengucapkan salam: boleh atau dilarang. Dalam suatu
konteks, Nabi Muhammad melarang mengucapkan salam kepada orang-orang
13 Ibid, hlm. 70
55
Yahudi dan Kristen untuk kemaslahatan, yaitu menghindari penghinaan dan
pelecehan. Dalam konteks lain, Nabi Muhammad mengucapkan salam kepada
Negus, Raja Etiopia, untuk kemaslahatan, yaitu memelihara persahabatan dan
keakraban antara orang-orang Muslim dan Raja itu.
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari melalui Abu Hurairah di atas,
yang melarang memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan
Kristen, bertolak belakang dengan firman Allah, "Dan hamba-hamba Allah
Yang Maha Penyayang adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi
dengan rendah hati, dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan
kata-kata yang tidak sopan), mereka menjawab: Salam sejahtera (QS. 25:63).
Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa mengucapkan salam kepada orang-
orang non-Muslim, meskipun kata-kata mereka tidak sopan, adalah ciri
hamba-hamba Allah yang taat. Berbeda dengan hadis riwayat Abu Hurairah
yang menampilkan wajah Islam yang kasar dan menakutkan, ayat ini
menampilkan wajah Islam yang ramah dan lembut.
Kembali kepada kasus yang diceritakan oleh orang Buddhis tentang
hubungan antara kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang Kristen, pada
satu pihak, dan kerabat-kerabat dan sanak saudaranya yang Muslim, pada
pihak lain, yang disebut di atas. Peristiwa itu menunjukkan bahwa kebiasaan
orang-orang Muslim mengucapkan "Assalamu'alaikum" dan juga "Selamat
Natal" kepada orang-orang Kristen adalah ungkapan hubungan harmonis dan
akrab antara pihak yang memberikan ucapan dan pihak yang menerima
ucapan. Hubungan harmonis dan akrab adalah kemaslahatan. Penghentian
56
kebiasaan itu, yang berpedoman pada fatwa larangan mengucapkan salam
kepada orang-orang non-Muslim, telah merusak hubungan itu dan
menimbulkan ketegangan dan kebencian. Hubungan yang rusak, ketegangan
dan kebencian adalah kemudaratan. Ironis sekali bahwa sebuah ketetapan
hukum Syariat untuk menegakkan Islam, agama yang diakui mengajarkan
kedamaian, persaudaraan, dan keramahan, telah melahirkan kebencian. Orang
yang kritis mungkin akan bertanya-tanya tentang peristiwa ini. Bagaimana
mungkin Islam sebagai agama kedamaian, persaudaraan, dan keramahan
melahirkan kebencian dan permusuhan? Bagaimana mungkin Islam
mengorbankan kemaslahatan demi hukum yang melahirkan kemudaratan?
Tentu saja, kalbu yang bening dan akal yang sehat akan menjawab bahwa
kebencian dan permusuhan itu jauh dari watak fitri Islam sebagai agama
kedamaian, persaudaraan dan keramahan. 14
Fatwa larangan mengucapkan salam kepada non-Muslim ternyata tidak
disetujui oleh semua ulama. Peristiwa yang terjadi dalam suatu seminar
agama-agama di sebuah kota kecil di Jawa Tengah pada September 1995,
ketika seorang ulama besar mengucapkan salam kepada para peserta seminar
itu, yang semuanya adalah orang Kristen, seperti disebutkan di atas,
membuktikan bahwa ada ulama yang membolehkan mengucapkan salam
kepada orang-orang non-Muslim. Ulama itu mengucapkan salam kepada para
peserta yang semuanya adalah Kristen untuk kemaslahatan, yaitu
persaudaraan, persahabatan, dan kehangatan.
14 Ibid, hlm. 71
57
Penetapan hukum mengucapkan salam kepada orang-orang non-
Muslim harus berdasar pada kemaslahatan dan hikmah. Di Indonesia banyak
orang Muslim dan orang non-Muslim bersahabat, atau paling tidak, tidak
bermusuhan. Dalam konteks seperti itu, bertolak dari kemaslahatan dan
hikmah mengucapkan salam kepada orang-orang non-Muslim adalah tidak
dilarang, alias boleh.
Mengucapkan "Selamat Natal" dan Selamat Hari Raya Agama-agama
Lain
Kebiasaan mengucapkan "Selamat Natal" di Indonesia, sebagaimana di
negara-negara lain, dilakukan bukan hanya oleh orang-orang Kristen, tetapi
juga oleh orang-orang non-Kristen, termasuk kaum Muslim. Mengucapkan
"Selamat Natal" tentu saja ditujukan kepada orang-orang Kristen, karena Hari
Raya Natal adalah hari raya agama Kristen. Kita sering menyaksikan ucapan
"Selamat Natal" di negeri ini datang dari saudara-saudara mereka yang
beragama Islam.
Kita sering menyaksikan banyak artis, pembawa acara dan penyiar
yang beragama Islam di stasiun-stasiun TV dan radio di kota-kota besar di
Indonesia mengucapkan "Selamat Natal" kepada saudara-saudara kita yang
beragama Kristen pada hari-hari bersuasana Natal pada setiap bulan
Desember.
Natal tahun 2002 merupakan hari raya yang paling istimewa bagi umat
Kristen Ambon. Setelah hampir 3 tahun wilayah itu didera konflik dan
58
kekerasan, pada tahun ini umat Kristen Ambon tidak hanya dapat mengikuti
kebaktian malam Natal dengan tenang, tanpa ancaman, tetapi juga sibuk
menerima ucapan "Selamat Natal" dan kunjungan dari kerabat-kerabat dan
sanak saudara mereka dari wilayah Muslim. Batas yang memisahkan wilayah
permukiman Kristen dan permukiman Muslim mulai disingkirkan.
Permusuhan pun lambat laun dilupakan. Tony Hatane, 35 tahun (pada 2002),
sebagai pengacara gereja pernah berada dalam daftar musuh komunitas
Muslim di Ambon. Namun, pada tahun ini ia menerima puluhan ucapan
"Selamat Natal" dari warga Muslim di Ambon, bahkan pada sore hari 25
Desember 2002 ia mendapat kunjungan sejumlah sahabatnya dari wilayah
Muslim. Dua minggu sebelumnya, ia berkunjung ke rumah sahabatnya di
Waihong, Ambon, untuk menyampaikan ucapan "Selamat Idul Fitri."
Waihong adalah pusat wilayah pemukiman Muslim di Ambon yang berlokasi
tidak jauh dari pemakaman para syuhada yang wafat selama konflik Maluku.15
Demikianlah suasana perayaan Natal tahun 2002 di Ambon, yang
penuh kedamaian dan persahabatan. Tetapi, yang penting dicatat dalam
kaitannya dengan masalah yang kita bicarakan di sini adalah bahwa dalam
suasana itu warga Kristen di Ambon mendapat ucapan "Selamat Natal" dari
warga Muslim. Orang-orang Muslim di sana mengucapkan "Selamat Natal"
kepada saudara-saudaranya yang Kristen.
Masih banyak contoh lain praktik mengucapkan "Selamat Natal" oleh
orang-orang Muslim di Indonesia. Salah satu contoh itu adalah ucapan
15 Ibid, hlm. 71
59
"Selamat Natal" yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia pada
setiap acara Natal Bersama Umat Kristiani Tingkat Nasional selama 16 tahun
terakhir sebelum tahun 2002. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pada
tahun 2002 Presiden tidak memberikan sambutan pada acara Natal Bersama
itu. Pembatalan sambutan itu diberitahu tiga hari sebelum acara itu. Pada
tahun-tahun sebelumnya Presiden dalam sambutannya pada setiap acara Natal
Bersama Tingkat Nasional selalu menyampaikan "Selamat Natal" kepada
umat Kristiani. Sampai sekarang semua Presiden Republik Indonesia adalah
Muslim. Presiden-Presiden kita, yang semuanya adalah Muslim, mengucapkan
"Selamat Natal."
Banyak ulama berpendapat bahwa mengucapkan "Selamat Natal"
dilarang oleh ajaran Islam. Di antara alasan larangan ini adalah bahwa
mengucapkan "Selamat Natal" berarti, membenarkan ajaran Kristen. Alasan
lain: bid'ah. Alasan lain: menyerupai orang-orang kafir. Sebagaimana telah
menjadi pengetahuan umum, bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat Islam mengucapkan "Selamat
Natal", dengan alasan teologis di atas.
Pada bulan Desember 2001, seorang ulama dalam acara tanya jawab
masalah-masalah keagamaan Islam di sebuah stasiun TV swasta ditanya oleh
seorang pemirsa tentang hukum mengucapkan "Selamat Natal." Pertanyaan
yang diajukan oleh pemirsa itu adalah: "Apakah ajaran Islam membolehkan
orang-orang Muslim mengucapkan Selamat Natal?" Jawaban yang diberikan
oleh ulama itu tidak jelas karena ia tidak memberikan jawaban yang sesuai
60
dengan pertanyaan ini. Semestinya ia menjawab tentang bolehnya atau tidak
bolehnya mengucapkan "Selamat Natal," Jawaban yang diberikan adalah
bahwa orang-orang Muslim harus menghormati Isa al-Masih karena ia adalah
seorang nabi. Isa al-Masih dihormati bukan hanya oleh orang-orang Kristen
tetapi juga oleh orang-orang Muslim. Kisah Nabi ini terdapat dalam al-Qur'an.
Karena itu, untuk memperingati kemuliaan Nabi Isa orang-orang Muslim,
demikian fatwa ulama itu, sebaiknya membaca ayat-ayat al-Qur'an yang
terkait dengan Isa al-Masih seperti yang terdapat dalam surat-surat Al Imran,
Maryam, al-Ma'idah, dan al-Nisa'.
Dalam jawaban itu, ulama tersebut sama sekali tidak menyinggung
apakah mengucapkan "Selamat Natal" dibolehkan atau dilarang oleh Islam.
Mungkin pemirsa yang mengajukan pertanyaan itu sama sekali tidak puas
dengan jawaban ulama itu, karena jawaban yang diinginkannya bukanlah itu.
Barangkali, ulama itu sengaja membelokkan persoalan yang ditanyakan
(hukum mengucapkan "Selamat Natal") kepada persoalan lain (keharusan
menghormati Nabi Isa dan memperingati kemuliaannya dengan membaca
ayat-ayat al-Qur'an tentang Nabi ini) karena ragu untuk mengatakan bolehnya
atau tidak bolehnya mengucapkan "Selamat Natal." Mungkin juga ulama itu
mengharamkan mengucapkan "Selamat Natal" tetapi ia tidak mau mengatakan
pendapat itu untuk menghormati orang-orang Muslim, termasuk para pejabat,
yang biasa mengucapkan "Selamat Natal." 16
16 Ibid, hlm. 72
61
Mungkin juga ulama itu membolehkan mengucapkan "Selamat Natal"
tetapi ia tidak mau mengatakan pendapat itu karena khawatir menuai protes
dari orang-orang Muslim yang mengharamkan "Selamat Natal." Yang jelas
adalah bahwa jawaban yang diberikan ulama itu tidak sesuai dengan
pertanyaan yang diajukan pemirsa.
M. Quraish Shihab, ulama terkemuka di Indonesia, mengatakan bahwa
ada ayat al-Qur'an yang mengabadikan ucapan Selamat Natal yang pernah
diucapkan oleh Nabi Isa, tidak terlarang membacanya, dan tidak keliru pula
mengucapkan "selamat" kepada siapa saja, dengan catatan memahami dan
menghayati maksudnya menurut al-Qur'an, demi kemurnian akidah. Mungkin
orang awam sulit memahami dan menghayati catatan ini. Beliau
mengingatkan agar para pemimpin dan panutan umat bersikap arif dan
bijaksana agar tidak menimbulkan kerusakan akidah dan kesalahpahaman
kaum awam.
Dalam suasana Natal yang dirayakan oleh umat Kristen, pada
tempatnya umat Islam mengenang dan menghayati ucapan Selamat Natal yang
diucapkan oleh Nabi Isa dan diabadikan oleh al-Qur'an: "Salam sejahtera
untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak" (QS. 19:
33). Sebelum mengucapkan salam tersebut, kita mengingat ajaran al-Qur'an
bahwa "Isa adalah hamba Allah yang diperintahkan salat, zakat, mengabdi
kepada ibu, tidak bersikap congkak, dan tidak pula celaka" (QS. 19: 30-32),
dan ucapannya ditutup dengan berkata kepada umatnya: "Sesungguhnya Allah
62
adalah Tuhanku, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus " (QS. 19:
36).
Inilah Selamat Natal ala al-Qur'an, lanjut ulama besar ini. Adakah
seorang Muslim yang enggan atau melarang ucapan Selamat Natal dengan
maksud demikian, sambil mempertimbangkan situasi dan kondisi ketika
ucapan selamat itu diucapkan? Rasanya dan logikanya: Tidak! Semoga
perasaan dan logika ini tidak keliru dan tidak pula disalahpahami.17
Quraish Shihab sangat berhati-hati menjelaskan masalah mengucapkan
"Selamat Natal." Ketika mengatakan bahwa al-Qur'an mengabadikan Selamat
Natal yang diucapkan Nabi Isa, tidak dilarang membacanya dan tidak pula
keliru mengucapkan "selamat" kepada siapa saja, beliau mengingatkan agar
umat Islam memahami dan menghayati maksudnya menurut al-Qur'an untuk
menjaga kemurnian akidah. Beliau mengajak umat Islam agar pada suasana
Natal mengenang dan menghayati ucapan Selamat Natal yang diucapkan Nabi
Isa dan diabadikan al-Qur'an: "Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku,
wafatku dan kebangkitanku kelak'' (QS. 19:33). Selamat Natal yang dipahami
dan dihayati menurut al-Qur'an adalah "Selamat Natal ala al-Qur'an." Ucapan
"Selamat Natal ala al-Qur'an" tentu saja tidak dilarang.
Pendapat Quraish Shihab ini tidak mudah dipahami. Beliau
mengatakan bahwa mengucapkan dan membaca "Selamat Natal" tidak
dilarang, dan mengucapkan "selamat" kepada siapa saja tidaklah keliru, tetapi
ucapan "Selamat Natal" yang beliau maksud adalah ucapan Selamat Natal
17 Ibid, hlm. 73
63
yang diucapkan Nabi Isa dan diabadikan al-Qur'an: "Salam sejahtera untukku
pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak"(QS. Maryam : 33).
Apabila ini yang dimaksud dengan ucapan "Selamat Natal," yang tidak
dilarang adalah ucapan Nabi Isa: "Salam sejahtera untukku pada hari
kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak" (Waal-salam 'alayyayawma
wulidtu waynwma amutu wayawma ub'atsu hayyan). Yang tidak dilarang
adalah membaca ayat al-Qur'an ini (QS. Maryam : 33). Yang tidak dilarang
bukanlah mengucapkan ucapan "Selamat Natal," atau ucapan "Merry
Christmas. "Tetapi, beliau mengatakan pula bahwa mengucapkan "selamat"
kepada siapa saja tidaklah keliru. "Selamat" (dengan tanda petik) di sini dapat
diartikan ucapan atau kata "selamat." Apabila ini yang dimaksud "selamat"
maka mengucapkan ucapan "Selamat Natal " dan ucapan-ucapan lain yang
menggunakan kata "selamat" (meskipun dalam bahasa-bahasa asing
digunakan kata-kata yang berbeda), tidak dilarang.
Berkaitan dengan pendapat ini, sebuah pertanyaan akan muncul.
Apakah yang tidak dilarang menurut pendapat ini adalah membaca ayat al-
Qur'an (QS. Maryam:33) yang bermakna "Selamat Natal" atau mengucapkan
(ucapan) "Selamat Natal" dengan memahami dan menghayati ayat al-Qur'an
(QS. Maryam: 33) yang mengabadikan ucapan Nabi Isa? Jawaban yang paling
tepat adalah: yang tidak dilarang menurut pendapat ini adalah mengucapkan
ucapan "Selamat Natal" dengan memahami dan menghayati ayat al-Qur'an
(QS. Maryam: 33) yang mengabadikan ucapan Nabi Isa.
64
Apakah orang-orang Muslim yang mengucapkan ucapan "Selamat
Natal" memahami dan menghayati ucapan itu? Apabila tidak, mengucapkan
ucapan "Selamat Natal" tidak dilarang. ; Apakah ucapan "Selamat Natal" bagi
orang-orang Muslim tidak lebih dari sekedar ucapan selamat untuk pergaulan
dan persaudaraan seperti "Selamat Pagi," "Selamat Siang," "Selamat Sore,"
dan "Selamat Ulang Tahun," tanpa dihayati? Apabila ya, mengucapkan ucapan
"Selamat Natal" tidak dilarang. Apakah ucapan "Selamat Natal" membuat
orang-orang Muslim yang mengucapkannya percaya pada ajaran Kristen
tentang Isa al-Masih? Apabila tidak, mengucapkan ucapan "Selamat natal"
tidak dilarang. Apakah ucapan "Selamat Natal" mendorong orang-orang
Muslim yang mengucapkannya percaya bahwa Isa adalah Tuhan? Apabila
tidak, mengucapkan ucapan "Selamat Natal" tidak dilarang. 18
Yang lebih utama adalah tujuan mengucapkan "Selamat Natal." Bagi
orang-orang Muslim, pada umumnya, tujuannya adalah untuk pergaulan,
persaudaraan, dan persahabatan, Pergaulan, persaudaraan, dan persahabatan
adalah kemaslahatan. Dengan tujuan kemaslahatan, dan tentu saja tanpa
mengorbankan akidah, mengucapkan "Selamat Natal" tentu saja dibolehkan.
Lagi pula, apabila ucapan "Selamat Natal" dapat disamakan dengan
doa untuk orang-orang Kristen, ucapan ini dibolehkan sebagaimana berdoa
untuk orang-orang non-Muslim, seperti akan diuraikan dalam pembahasan
berikut ini, dibolehkan.
18 Ibid, hlm. 74.
65
Di antara orang-orang Muslim di Indonesia, selain ada orang-orang
yang mengucapkan "Selamat Natal" kepada saudara-saudara mereka yang
Kristen, mungkin ada orang-orang yang mengucapkan "Selamat Hari Raya
Nyepi" kepada saudara-saudara mereka yang beragama Hindu, mungkin ada
orang-orang yang mengucapkan "Selamat Hari Raya Waisak" kepada saudara-
saudara mereka yang Buddhis, dan mungkin ada orang-orang yang
mengucapkan "Selamat Tahun Baru Imlek" kepada saudara-saudara mereka
yang Khonghucu. Semua hari raya yang disebutkan ini telah menjadi hari-hari
libur nasional di negeri ini.
Apakah ajaran Islam membolehkan para penganutnya mengucapkan
selamat hari-hari raya ini? Hukum mengucapkan selamat hari-hari raya ini
sama dengan hukum mengucapkan "Selamat Natal" karena Natal adalah juga
hari raya keagamaan. Seperti dijelaskan di atas, hukum mengucapkan
"Selamat Natal" adalah boleh. Maka hukum mengucapkan selamat hari-hari
ini adalah boleh. Hal ini sejalan dengan penjelasan teologis terhadap agama-
agama.
Menghadiri Perayaan Hari-hari Besar Agama-agama Lain
Masalah lain yang perlu dibicarakan di sini adalah hukum menghadiri
perayaan hari-hari besar agama-agama lain. Apakah ajaran Islam
membolehkan atau melarang para penganutnya menghadiri perayaan hari-hari
66
besar agama-agama lain? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita akan
memberikan beberapa contoh. 19
Pada Jumat, 24 Desember 1999 Presiden Palestina Yasser Arafat,
bersama istrinya Suha, menghadiri misa tengah malam di Gereja Saint
Catherine di Bethlehem, dan menghadiri Perayaan Malam Natal di Gereja
Kelahiran Kristus di kota yang sama, setelah menghadiri dan mengikuti acara
tarawih di masjid dekat gereja itu. Di gereja itu, Arafat berdoa untuk
perdamaian. Kebiasaan menghadiri dua acara itu tampaknya dilakukan oleh
Yasser Arafat setiap tahun, kecuali pada Perayaan Malam Natal 2002 karena
ia dilarang oleh penguasa Israel untuk menghadiri acara itu, sehingga kursi
yang telah disediakan untuknya kosong. Pada malam yang sama, 24 Desember
1999, di Banja Luka, Bosnia Herzegovina, orang-orang Serbia dan orang-
orang Muslim bergabung dengan 400-an orang Kroasia Katolik merayakan
Misa Malam Natal. Suasana itu adalah cerminan kerukunan antara komunitas-
komunitas dari agama-agama yang berbeda di kota yang selama beberapa
tahun sebelumnya dilanda konflik berdarah yang penuh dengan kekerasan.
Budi Prasetyo, 38 tahun (pada 1999), seorang warga Mojejer,
menceritakan bahwa apabila ada perayaan Natal di Sinagoge Mojejer, semua
warga di dusun itu, termasuk yang Muslim, datang ke gereja itu untuk ikut
merayakan Natal. Salah seorang pemuka Muslim biasanya memberikan
sambutan dalam acara itu. Pembangunan sinagoge itu dilakukan dengan
gotong-royong warga Kriten bersama dengan warga Muslim. Begitu pula
19 Ibid, hlm. 75
67
ketika warga Muslim membangun surau Baitul Muttaqin, warga Kristen pun
ikut gotong-royong. Dusun Mojejer terletak di Desa Mojejer, Kecamatan
Mojowarno, Jombang, Jawa Timur.
Ketua MPR RI Amien Rais menghadiri perayaan Natal di Gereja
Sentrum Tondano, ibukota Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, pada Selasa,
19 Desember 2000. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menemukan
sebuah pengalaman menarik dan langka ketika menyaksikan kelompok
Qasidah Kampung Jawa Tondano menyanyikan lagu Torang Samua Basudara
(Kita Semua Bersaudara) dalam perayaan Natal itu yang juga dihadiri oleh
para ulama Muslim. Amien tidak kuasa menahan rasa haru saat menyaksikan
kelompok Qasidah itu. Dengan nada suara yang bergetar ketika
menyampaikan pidatonya, Amien berujar: "Saya betul-betul terharu
menyaksikan praktik kehidupan rukun dan damai masyarakat di tempat ini.
Sungguh, ini menjadi pengalaman amat berharga bagi kita semua."
Sebagaimana pada acara-acara Natal Bersama Tingkat Nasional tahun-
tahun sebelumnya, acara Natal Bersama Umat Kristiani Tingkat Nasional
tahun 2002 di Balai Sidang Senayan; Jakarta, pada Jumat, 27 Desember 2002
dihadiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, para menteri,
para duta besar negara-negara sahabat, dan umat Kristen dari berbagai tempat
di Jakarta dan sekitarnya. Di antara orang-orang Muslim yang menghadiri
acara Natal Bersama itu adalah Presiden Megawati Soekarnoputri dan
suaminya Taufik Kiemas, Wakil Presiden Harnzah Haz dan istrinya Ny Nani
68
Hamzah Haz, Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, dan
Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar.20
Kita menemukan pula orang-orang Muslim menghadiri perayaan
Waisak di Indonesia. Waisak adalah hari raya agama Buddha untuk
memperingati tiga peristiwa penting: kelahiran Buddha Gautama, pencapaian
pencerahan tertinggi oleh Sang Buddha, dan wafatnya Sang Buddha. Ketiga
peristiwa itu jatuh pada saat bulan purnama, di bulan Waisak. Pada tahun 2002
Hari Raya Waisak jatuh pada 26 Mei. Perayaan Waisak 2002 yang
diselenggarakan secara nasional di Jakarta Convention Center (JCC), di
Jakarta, oleh Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) dihadiri oleh ribuan
umat Buddha. Perayaan yang mengambil tema "Mengembangkan
Pengendalian Diri Menuju Bangsa yang Damai dan Sejahtera" itu dihadiri
pula oleh tokoh-tokoh agama lain, seperti KH Abdurrahman Wahid, Ketua
MUI, Kardinal Julius Riyadi Darma Atmaja, Ketua PHDI, Haksu Thjie Tjai
Ing (MATAKIN), Djohan Effendi, Akbar Tanjung, Kwik Kian Gie, Jacob
Nuawea, dan lain-lain. KH Abdurrahman Wahid, Ketua MUI (tidak
disebutkan namanya), Djohan Effendi, dan Akbar Tanjung adalah contoh
orang-orang Muslim yang menghadiri perayaan Waisak.
Pada tahun 2003 kita menemukan kembali contoh orang-orang Muslim
yang menghadiri perayaan Waisak. Menteri Agama Said Agil Husin Al-
Munawar termasuk contoh orang Muslim yang menghadiri perayaan Waisak
Nasional 2547 di Candi Borobudur, Jawa Tengah, pada Kamis, 15 Met 2003.
20 Ibid, hlm. 76
69
Sebagai Menteri Agama ia tidak hanya sekedar menghadiri perayaan
Waisak Nasional itu tetapi juga menjadi orang penting yang diminta
menyampaikan sambutan dalam pertemuan agung itu. Dalam sambutannya ia
menghimbau umat Buddha dan umat-umat dari agama-agama lain agar turut
mengatasi permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia.
Salah satu caranya adalah membentengi bangsa Indonesia secara
moral, spiritual, dan keagamaan. la mengingatkan bahwa bangsa Indonesia
saat ini tengah dihadapkan pada sejumlah masalah yang cukup pelik, seperti
mengatasi gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pertikaian di
Papua, dan sejumlah peledakan bom di berbagai tempat. Seluruh komponen
bangsa harus bersatu untuk menyelesaikan masalah itu. la meminta secara
khusus kepada umat Buddha agar menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Tentu saja, sebagai Menteri Agama, Said Agil harus juga menghadiri
perayaan hari-hari raya agama-agama lain seperti Natal, Nyepi, dan Imlek.
Selain di pelataran Candi Borobudur, perayaan Waisak Nasional pada
waktu yang sama, Kamis, 15 Mei 2003, juga berlangsung di Plenary Hall
Jakarta Convention Center, Jakarta. Sejumlah pemimpin umat berbagai agama
dan pejabat tinggi negara hadir dalam acara perayaan Waisak itu. Di antara
orang-orang Muslim yang menghadiri acara itu adalah Ketua MPR Amien
Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, cendekiawan Nurcholish Madjid, dan
mantan Presiden Abdurrahman Wahid.
70
Dalam kesempatan itu, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid
tampil pula sebagai pembicara. Nurcholish Madjid mengingatkan bahwa
semua agama pada dasarnya berasal dari satu sumber, yaitu Sang Satu. la
berkata: "Semua agama dalam inti yang paling mendalam adalah sama. Dalam
bulan yang suci ini karena bersamaan ada perayaan Waisak/Maulid Nabi
Muhammad s.a.w., dan kenaikan Isa al-Masih, kita semua harus menuju pada
kedamaian." 21
Sementara itu, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa kedatangan
Abu Ibrahim Woila, salah seorang ulama terkemuka dari Aceh Barat, ke
rumah Abdullah Faqih adalah pertanda kalahnya pendapat yang menginginkan
Aceh berdiri sendiri. Karena itu, keutuhan dan kedamaian bangsa harus dijaga
bersamaan.
21 Ibid, hlm. 77
top related