bab ii tinjauan pustaka a. manajemen pengelolaan obatrepository.setiabudi.ac.id/3456/1/bab...
Post on 14-Jun-2020
46 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Manajemen Pengelolaan Obat
Manajemen rumah sakit sangat penting dalam penyediaan pelayanan
kesehatan secara keseluruhan adalah pengelolaan obat yang diorganisasikan
dengan suatu cara yang dapat memberikan pelayanan berdasarkan aspek
keamanan, efektif, dan ekonomis dalam penggunaan obat sehingga dapat dicapai
efektivitas dan efisiensi pengelolaan obat. Hal ini merupakan konsep utama yang
digunakan untuk mengukur prestasi kerja manajemen. Instalasi farmasi rumah
sakit adalah unit yang bertugas dan bertanggung jawab sepenuhnya pada
pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan obat/perbekalan kesehatan yang
beredar dan digunakan di rumah sakit.
Pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi yang besar dalam anggaran
obat. Anggaran obat di rumah sakit untuk obat dan alat kesehatan yang dikelola
instalasi mencapai 50-60% dari seluruh anggaran rumah sakit. Laporan dari
berbagai rumah sakit menyatakan bahwa keuntungan dari obat yang dijual di
rumah sakit merupakan hal yang paling mudah dilakukan dibandingkan dengan
keuntungan dari jasa lain, misalnya radiologi, pelayanan rawat inap ataupun
pelayanan gizi. Dengan kondisi seperti ini, manajemen obat di rumah sakit sangat
penting untuk dilakukan. Mengingat begitu pentingnya dana dan kedudukan obat
bagi rumah sakit, maka pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien
sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan
rumah sakit (Satibi, 2014).
Manajemen obat merupakan rangkaian kegiatan rumah sakit yang meliputi
tahap perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat yang
masing-masing tahap merupakan suatu rangkaian yang terkait. Ketidakterkaitan
antara masing-masing tahap dan kegiatan akan membawa konsekuensi tidak
efisiennya sistem suplai dan penggunaan obat yang ada, sehingga akan
mempengaruhi kinerja rumah sakit baik secara medik, ekonomi dan sosial serta
dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit. Obat-
7
obatan yang secara medis diperlukan sesuai dengan keadaan pola penyakit
setempat, terbukti secara ilmiah bahwa obat tersebut bermanfaat dan aman untuk
dipakai di rumah sakit yang bersangkutan. Manajemen obat di rumah sakit adalah
agar obat yang diperlukan tersedia setiap saat dibutuhkan, dalam jumlah yang
cukup, mutu yang terjamin dan harga yang terjangkau untuk mendukung
pelayanan yang bermutu. Dalam sistem manajemen obat, masing-masing fungsi
utama terbangun berdasarkan fungsi sebelumnya dan menentukan fungsi
selanjutnya (Liliek, 1998 dalam Satibi, 2014).
Keberhasilan pengelolaan obat rumah sakit tergantung pada kompetensi
dari manajemen rumah sakit. Fungsi manajemen yaitu mengelola obat dengan
mengidentifikasi, merencanakan pengadaan, pendistribusian agar dapat berjalan
dengan efektif dan efisien (Febriawati, 2013).
Quick, et al (2012), mengatakan siklus manajemen obat mencakup empat
tahap yaitu: 1) selection (seleksi), 2) procurement (pengadaan), 3) distribution
(distribusi), dan 4) use (penggunaan). Masing-masing tahap dalam siklus
manajemen obat saling terkait, sehingga harus dikelola dengan baik agar masing-
masing dapat dikelola secara optimal. Tahapan yang saling terkait dalam siklus
manajemen obat tersebut diperlukan suatu sistem suplai yang terorganisir agar
kegiatan berjalan baik dan saling mendukung, sehingga ketersediaan obat dapat
terjamin yang mendukung pelayanan kesehatan, dan menjadi sumber pendapatan
rumah sakit yang potensial. Siklus manajemen obat didukung oleh faktor-faktor
pendukung manajemen (management support) yang meliputi organisasi,
administrasi dan keuangan, Sistem Informasi Manajemen (SIM) dan Sumber
Daya Manusia (SDM). Setiap tahapan siklus manajemen obat harus selalu
didukung oleh keempat management support tersebut sehingga pengelolaan obat
dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Siklus manajemen obat dapat
digambarkan pada Gambar 1.
8
Gambar 1. Siklus Manajemen Obat (Quick, et al. 2012)
1. Selection (Seleksi)
Seleksi merupakan awal yang sangat menentukan dalam perencanaan obat
karena melalui seleksi akan tercermin berapa banyak item obat yang akan
dikonsumsi di masa yang akan datang (Quick, et al. 2012). Kepmenkes RI Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
menyebutkan bahwa pemilihan merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau
masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi,
bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat
esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan
seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi
untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi
pembelian.
WHO (1993), menyusun pedoman proses seleksi obat yang meliputi: (a)
Memilih obat yang tepat dan terbukti efektif serta merupakan drug of choice, (b)
Memilih seminimal mungkin obat untuk suatu jenis penyakit, mencegah
duplikasi, (c) Melakukan monitoring kontra-indikasi dan efek samping obat secara
cermat untuk mempertimbangkan penggunaannya, (d) Biaya obat, yang secara
klinik sama harus dipilih yang termurah, (e) Menggunakan obat dengan nama
generik.
9
Berkaitan dengan pengelolaan obat di rumah sakit, Departemen Kesehatan
RI melalui SK No. 85/Menkes/Per/1989, menetapkan bahwa untuk membantu
pengelolaan obat di rumah sakit perlu adanya Panitia Farmasi dan Terapi,
Formularium dan Pedoman Pengobatan. Formularium dapat diartikan sebagai
daftar produk obat yang digunakan untuk tata laksana suatu perawatan kesehatan
tertentu. Formularium merupakan referensi yang berisi informasi yang selektif
dan relevan untuk dokter penulis resep, penyedia/peracik obat dan petugas
kesehatan lainnya. Pedoman pengobatan yaitu standar pelayanan medis yang
merupakan standar pelayanan rumah sakit yang telah dibakukan bertujuan
mengupayakan kesembuhan pasien secara optimal, melalui prosedur dan tindakan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pedoman pengobatan sebagai panduan tenaga
medis dalam memberikan pelayanan medis, yang diharapkan pengobatan menjadi
rasional (Satibi, 2014).
Pemilihan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing, Formularium
RS, Formularium Jaminan Kesehatan bagi masyarakat miskin, Daftar Plafon
Harga obat (DPHO), Askes dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
Sedangkan pemilihan alat kesehatan di rumah sakit dapat berdasarkan dari data
pemakaian oleh pemakai, standar ISO, daftar harga alat, daftar harga alat
kesehatan yang dikeluarkan oleh Ditjen Binfar dan Alkes, serta spesifikasi yang
ditetapkan oleh rumah sakit (Depkes, 2010c).
2. Procurement (Perencanaan dan Pengadaan)
Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit menyebutkan bahwa perencanaan merupakan
proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang
sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-
dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi,
kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang
tersedia.
10
Metode yang digunakan dalam perencanaan kebutuhan obat (Quick et al,
2012 dan Depkes, 2010a) meliputi:
a. Metode Konsumsi
Perhitungan kebutuhan dengan metode konsumsi didasarkan pada data riil
konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian
dan koreksi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka menghitung
jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan adalah pengumpulan dan
pengolahan data, analisa data untuk informasi dan evaluasi, perhitungan
perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan penyesuaian jumlah kebutuhan
perbekalan farmasi dengan alokasi dana.
b. Metode Morbiditas/Epidemiologi
Dinamakan metode morbiditas karena dasar perhitungan adalah jumlah
kebutuhan perbekalan farmasi yang digunakan untuk beban kesakitan
(morbidity load) yang harus dilayani. Metode morbiditas adalah perhitungan
kebutuhan perbekalan farmasi berdasarkan pola penyakit, perkiraan kenaikan
kunjungan, dan waktu tunggu (lead time). Langkah-langkah dalam metode ini
adalah menentukan jumlah pasien yang dilayani, menentukan jumlah
kunjungan kasus berdasarkan prevalensi penyakit 10 pedoman pengelolaan
perbekalan farmasi di RS, menyediakan formularium/standar/pedoman
perbekalan farmasi, menghitung perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi, dan
penyesuaian dengan aloksai dana yang tersedia.
c. Kombinasi Keduanya
Kombinasi metode konsumsi dan metode morbiditas disesuaikan dengan
anggaran yang tersedia. Acuan yang digunakan meliputi: DOEN,
Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit (Standard Treatment
Guidelines/STG), dan kebijakan setempat yang berlaku, data catatan
medik/rekam medik, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, pola
penyakit, sisa persediaan, data penggunaan periode yang lalu, dan rencana
pengembangan.
Setelah dilakukan perhitungan kebutuhan perbekalan farmasi untuk tahun
yang akan datang, biasanya akan diperoleh jumlah kebutuhan, dan idealnya
11
diikuti dengan evaluasi. Cara/teknik evaluasi yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
1) Analisa nilai ABC, untuk evaluasi aspek ekonomi
Suatu jenis perbekalan farmasi dapat memakan anggaran besar karena
penggunaannya banyak, atau harganya mahal. Dengan analisis ABC jenis-
jenis perbekalan farmasi dapat diidentifikasi, untuk kemudian dilakukan
evaluasi lebih lanjut. Misalnya dengan mengoreksi kembali apakah
penggunaannya memang banyak atau apakah ada alternatif sediaan lain yang
lebih efisiensi biaya (misal merek dagang lain, bentuk sediaan lain, dsb).
Evaluasi terhadap jenis-jenis perbekalan farmasi yang menyerap biaya
terbanyak juga lebih efektif dibandingkan evaluasi terhadap perbekalan
farmasi yang relatif memerlukan anggaran sedikit. ABC merupakan suatu
penamaan yang menunjukkan peringkat/ranking dimana urutan dimulai
dengan yang terbaik/terbanyak. Prinsip utamanya adalah dengan
menempatkan jenis-jenis perbekalan farmasi ke dalam suatu urutan, dimulai
dengan jenis yang memakan anggaran/rupiah terbanyak. Urutan langkahnya
meliputi: Mengumpulkan kebutuhan perbekalan farmasi yang diperoleh dari
salah satu metode perencanaan, daftar harga perbekalan farmasi, dan biaya
yang diperlukan untuk tiap nama dagang, kemudian kelompokkan kedalam
jenis/kategori, dan jumlahkan biaya per jenis kategori perbekalan farmasi.
Jumlahkan anggaran total dan hitung masing-masing prosentase jenis
perbekalan farmasi terhadap anggaran total, urutkan kembali jenis- jenis
perbekalan farmasi mulai dengan jenis yang memakan prosentase biaya
terbanyak, kemudian hitung persentase kumulatif, dimulai dengan urutan 1
dan seterusnya. Langkah selanjutnya identifikasi jenis perbekalan farmasi
yang menyerap ±70% anggaran total (biasanya didominasi oleh beberapa jenis
perbekalan farmasi saja).
Perbekalan farmasi kategori A menyerap anggaran 70%, perbekalan
farmasi kategori B menyerap anggaran 20%, dan perbekalan farmasi kategori
C menyerap anggaran 10%.
12
2) Pertimbangan/kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik/terapi
VEN merupakan singkatan dari V = Vital, E = Essensial, N = Non-
Esensial. Melakukan analisis VEN artinya menentukan prioritas kebutuhan
suatu perbekalan farmasi. Dengan kata lain, menetukan apakah suatu jenis
perbekalan farmasi termasuk vital (harus tersedia), esensial (perlu tersedia),
atau non-esensial (tidak prioritas untuk disediakan).
Kriteria VEN yang umum adalah perbekalan farmasi dikelompokkan
sebagai: Vital (V) bila perbekalan farmasi tersebut diperlukan untuk
menyelamatkan kehidupan (life saving drugs), dan bila tidak tersedia akan
meningkatkan risiko kematian, esensial (E) bila perbekalan farmasi tersebut
terbukti efektif untuk menyembuhkan penyakit, atau mengurangi penderitaan
pasien, dan non-esensial (N) meliputi aneka ragam perbekalan farmasi yang
digunakan untuk penyakit yang sembuh sendiri (self-limiting desease),
perbekalan farmasi yang diragukan manfaatnya, perbekalan farmasi yang
mahal namun tidak mempunyai kelebihan manfaat dibanding perbekalan
farmasi sejenis lainnya dan lain-lain.
3) Kombinasi ABC dan VEN
Jenis perbekalan farmasi yang termasuk kategori A dari analisis ABC
adalah benar-benar jenis perbekalan farmasi yang diperlukan untuk
penanggulangan penyakit terbanyak. Statusnya harus E dan sebagian V dari
VEN. Sebaliknya, jenis perbekalan farmasi dengan status N harusnya masuk
kategori C. Digunakan untuk menetapkan prioritas untuk pengadaan obat
dimana anggaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan.
Metode gabungan ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat.
Mekanismenya adalah obat yang masuk kategori NC menjadi prioritas utama
untuk dikurangi atau dihilangkan dari rencana kebutuhan, bila dana masih
kurang, maka obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya dan obat yang
masuk kategori NA menjadi prioritas berikutnya. Jika setelah dilakukan
dengan pendekatan ini dana yang tersedia masih juga kurang lakukan langkah
selanjutnya. Kedua, pendekatan yang sama dengan pada saat pengurangan
obat pada kriteria NC, NB, NA dimulai dengan pengurangan obat kategori
EC, EB, dan EA.
13
Tabel 2. Pendekatan dengan Pengurangan Obat
A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC
4) Revisi daftar perbekalan farmasi
Evaluasi cepat (rapid evaluation) adalah langkah awal bila langkah-
langkah dalam analisis ABC maupun VEN terlalu sulit dilakukan atau diperlukan
tindakan cepat untuk mengevaluasi daftar perencanaan, misalnya dengan
melakukan revisi daftar perencanaan perbekalan farmasi. Perlu dikembangkan
dahulu kriterianya perbekalan farmasi atau nama dagang apa yang dapat
dikeluarkan dari daftar. Manfaatnya tidak hanya dari aspek ekonomik dan medik,
tetapi juga dapat berdampak positif pada beban penanganan stok.
Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit menyebutkan bahwa pengadaan merupakan
kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui,
melalui pembelian baik secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)
dan atau secara langsung dari pabrik, distributor, pedagang besar farmasi atau
rekanan, produksi/pembuatan sediaan farmasi yang meliputi produksi steril dan
produksi non-steril, dan sumbangan/droping/hibah.
Pengadaan adalah suatu kegiatan untuk memenuhi kebutuhan operasional
yang telah ditetapkan di dalam fungsi perencanaan. Proses pelaksanaan rencana
pengadaan dari fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan, serta rencana
pembiayaan dari fungsi penganggaran tujuannya adalah untuk memenuhi
kebutuhan obat di setiap unit pelayanan kesehatan yang sesuai. Syarat penting
yang harus dipenuhi dalam pengadaan obat adalah sesuai rencana, sesuai
kemampuan dan sistem atau cara pengadaan sesuai ketentuan (Seto, et al. 2012).
Efisiensi dan penghematan biaya karena pengadaan merupakan faktor
terbesar yang menyebabkan pemborosan, selain itu diperlukan struktur komponen
berupa personil yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan, sistem
informasi yang baik, metode dan prosedur yang jelas serta didukung dengan dana
14
dan fasilitas yang memadai agar proses pengadaan dapat berjalan lancar dan
teratur.
Proses pengadaan perlu diperhatikan adanya:
a. Prosedur yang transparan dalam proses pengadaan
b. Mekanisme penyanggahan bagi peserta tender yang diolak penawarannya
c. Prosedur tetap untuk pemeriksaan rutin consignments (pengiriman)
d. Pedoman tertulis mengenai metode pengadaan bagi panitia pengadaan
e. Pernyataan dari anggota panitia pengadaan bahwa yang bersangkutan tidak
mempunyai konflik kepentingan
f. SOP dalam pengadaan
g. Kerangka acuan bagi panitia pengadaan selama masa tugasnya
h. Pembatasan masa kerja anggota panitia pengadaan misalkan maksimal 3
tahun
i. Standar kompetensi bagi anggota tim pengadaan, panitia harus mempunyai
Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa
j. Kriteria tertentu untuk menjadi anggota panitia pengadaan terutama:
integritas, kredibilitas, rekam jejak yang baik
k. Sistem manajemen informasi yang digunakan untuk melaporkan produk
perbekalan farmasi yang bermasalah
l. Sistem yang efsien untuk memonitor post tender dan pelaporan kinerja
pemasok kepada panitia pengadaan
m. Audit secara rutin pada proses pengadaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai antara lain: bahan baku obat harus disertai
Sertifikat Analisa, bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data
Sheet (MSDS). Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
harus mempunyai Nomor Izin Edar, masa kadaluarsa (expired date) minimal 2
(dua) tahun kecuali untuk sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada kondisi tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan.
15
3. Distribution (Distribusi)
Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit menyebutkan pendistribusian merupakan
kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk pelayanan
individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk
menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan
untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektifitas
sumber daya yang ada, metode sentralisasi atau desentralisasi, serta sistem floor
stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi.
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat inap merupakan
kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien
rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau
desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep
perorangan, sistem unit dosis dan sistem kombinasi oleh Satelit Farmasi.
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk pasien rawat jalan merupakan kegiatan
pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pasien rawat jalan
di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan atau desentralisasi
dengan sistem resep perorangan oleh apotek RS. Pendistribusian perbekalan
farmasi di luar jam kerja merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi
untuk memenuhi kebutuhan pasien di luar jam kerja yang diselenggarakan oleh
apotek RS atau satelit farmasi yang dibuka 24 jam dan ruang rawat yang
menyediakan perbekalan farmasi emergensi.
Sistem pelayanan distribusi meliputi:
a. Sistem persediaan lengkap di ruangan
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang rawat
merupakan tanggung jawab perawat ruangan. Setiap ruang rawat harus
mempunyai penanggung jawab obat. Perbekalan yang disimpan tidak
dalam jumlah besar dan dapat dikontrol secara berkala oleh petugas
farmasi.
b. Sistem resep perorangan
Pendistribusian perbekalan farmasi resep perorangan/pasien rawat jalan
dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
16
c. Sistem unit dosis
Pendistribusian obat-obatan melalui resep perorangan yang disiapkan,
diberikan/digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda,
yang berisi obat dalam jumlah yang telah ditetapkan atau jumlah yang
cukup untuk penggunaan satu kali dosis biasa.
Kegiatan pelayanan distribusi diselenggarakan pada apotik rumah sakit
dengan sistem resep perorangan, satelit farmasi dengan sistem dosis unit, dan
ruang perawat dengan sistem persediaan di ruangan. Sistem distribusi harus
dipilih dan disesuaikan dengan kondisi yang ada, sehingga pelayanan obat dapat
dilaksanakan secara tepat dan berhasil. Tahap distribusi merupakan tahapan dari
siklus manajemen obat yang sangat penting dan kompleks, karena pada prosesnya
dapat menghabiskan komponen biaya yang signifikan dalam anggaran kesehatan.
Yang di utamakan dari tahap ini adalah obat sampai ke pengguna tepat waktu,
tepat indikasi dan dengan harga yang terjangkau.
Proses distribusi harus didukung dengan penyimpanan stok perbekalan
farmasi. Untuk memudahkan pengendalian stock, maka dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut (Depkes, 2010a):
a. Gunakan prinsip FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First In First
Out) dalam penyusunan perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yang
masa kadaluarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus
digunakan lebih awal sebab umumnya perbekalan farmasi yang datang
lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umumnya relatif lebih
tua dan masa kadaluarsanya lebih awal.
b. Susun perbekalan farmasi dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi
dan teratur.
c. Gunakan lemari khusus untuk penyimpanan narkotika.
d. Simpan perbekalan farmasi yang dapat dipengaruhi oleh temperatur,
udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.
e. Simpan perbekalan farmasi dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan
perbekalan farmasi dalam dengan perbekalan farmasi perbekalan farmasi
untuk penggunaan luar.
17
f. Cantumkan nama masing-masing perbekalan farmasi pada rak dengan
rapi.
g. Apabila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, maka biarkan
perbekalan farmasi tetap dalam boks masing-masing.
h. Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan perlu
dilakukan rotasi stok agar perbekalan farmasi tersebut tidak selalu berada
di belakang sehingga dapat dimanfaatkan sebelum masa kadaluarsa habis.
i. Item perbekalan farmasi yang sama ditempatkan pada satu lokasi
walaupun dari sumber anggaran yang berbeda.
4. Use (Penggunaan)
Siregar & Amalia (2003), menyebutkan pemakaian atau penggunaan obat
adalah suatu kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan obat yang meliputi
pembinaan cara penggunaan obat yang benar, adanya daftar sinonim untuk obat-
obatan tertentu, adanya daftar nama seluruh obat beserta kadar obat yang tersedia
baik di gudang atau ruang pelayanan maupun di ruang dokter, lampiran, daftar
kadar obat dan adanya perlengkapan kemasan (kantong plastik atau botol, pot dan
etiket). Setiap pengeluaran obat-obatan dari ruangan pelayanan harus dicatat
dalam kartu status penderita yang kemudian dibukukan dalam buku pemakaian
obat obatan dan alat kesehatan.
Menurut Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang
Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, pelayanan kefarmasian dalam
penggunaan obat dan alat kesehatan adalah pendekatan profesional yang
bertanggung jawab dalam menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan sesuai
indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien melalui penerapan pengetahuan,
keahlian, ketrampilan dan perilaku apoteker serta bekerja sama dengan pasien dan
profesi kesehatan lainnya. Tujuannya meliputi meningkatkan mutu dan
memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah sakit, memberikan pelayanan
farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan efisiensi penggunaan
obat, meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang
18
terkait dalam pelayanan farmasi, dan melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit
dalam rangka meningkatkan penggunaan obat secara rasional.
Penggunan obat yang tepat dan sesuai pedoman pengobatan dapat
menunjang optimasi penggunaan dana, serta meningkatkan cakupan dan mutu
pelayanan kesehatan. Ketepatan penggunaan obat perlu didukung dengan
tersedianya jumlah obat yang tepat jenis dan jumlahnya serta dengan mutu yang
baik. Terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional antara lain disebabkan oleh
adanya pemberian pengobatan yang belum didasarakan pada pedoman terapi yang
telah ditetapkan, kurangnya sarana penunjang untuk membantu penegakan
diagnosa yang tepat, info yang sering bias yang berakibat peresepan obat-obat
yang tidak tepat dan tidak sesuai kebutuhan pengobatan, adanya tekanan dari
pasien untuk meresepkan obat-obat berdasarkan pilihan pasien sendiri, serta
sistem perencanaan obat yang lemah (Satibi, 2014).
Pemakaian obat yang tidak rasional merupakan masalah serius dalam
pelayanan kesehatan karena kemungkinan dapat terjadi dampak negatif. Berbagai
studi dan temuan telah menunjukkan bahwa pemakaian obat jauh dari keadaan
optimal dan rasional. Pada umumnya masih banyak hal yang dapat ditingkatkan
dalam pemakaian obat, khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Dampak
negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan kompleks seperti
halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Dampak tersebut
meliputi dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan, dampak terhadap
baiaya pelayanan pengobatan, dampak terhadap kemungkinan efek samping obat,
dan dampak psikososial (Satibi, 2014).
Upaya intervensi dari sisi pengelolaan (manajerial) mencakup perbaikan
sistem suplai, yakni dalam proses seleksi dan pengadaan obat, misalnya dengan
daftar obat esensial, formularium rumah sakit, penelaah pemakaian obat (drug
utilization review) sebagai umpan balik untuk para penulis resep, dan sistem
peresepan dan dispensing obat yang meliputi penyediaan pedoman atau protokol
pengobatan di unit pelayanan, formulir resep khusus misalnya dengan blangko R/
maksimal 2 (dua) dan audit terapi.
19
5. Faktor Pendukung Siklus Pengelolaan Obat
Pendukung manajemen atau management support merupakan pusat dari
siklus pengelolaan obat yang berperan penting dalam pengelolaan obat, tanpa
management support maka pengelolaan obat tidak dapat berjalan sebagaimana
mestinya (Wasir R, 2010). Faktor pendukung manajemen meliputi:
5.1 Organisasi. Fungsi dari organisasi ini meliputi membuat rancangan
organisasi, membuat sistem kontrol, memadukan strategi, struktur dan kontrol dan
mengelola konflik dan perubahan. (Quick et al, 2012). Semua aktivitas
manajemen dapat dirangkum menjadi 3 (tiga) fungsi dasar, yang secara bersama-
sama membentuk siklus manajemen yakni planning, implementation, dan
monitoring & evaluation.
Planning adalah proses menganalisis situasi saat ini, memperkirakan
kebutuhan dan membangun tujuan, sasaran dan target, serta menentukan strategi,
kegiatan, tanggung jawab, dan sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
Implementation adalah proses mewujudkan perencanaan melalui pengaturan dan
pengarahan kerja yang meliputi pengaturan SDM, biaya, informasi, dan sumber-
sumber lain untuk mencapai hasil yang diinginkan. Monitoring adalah proses
yang mengacu pada review yang berkelanjutan, tingkat kelengkapan kegiatan
pada suatu program dan target yang telah dicapai. Evaluation mengacu pada
analisis proses dan kerja pada tujuan, sasaran dan target. Memberikan feedback
untuk mengetahui apakah rancangan telah ditemukan dan sebab-sebab yang
membuatnya berhasil atau gagal.
5.2 Keuangan (Finance/budgeting). Komponen-komponen keuangan
meliputi pencatatan, pembukuan, pelaporan dan analisis. Kestabilan finansial
hanya dapat terjadi jika sumber dana dan biaya yang dikeluarkan seimbang dan
cukup untuk mendukung pelayanan kesehatan dengan kualitas yang tidak
diragukan. (Quick, 2012 dan Satibi, 2014).
5.3 Sumber Daya Manusia IFRS. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker
dan tenaga teknis kefarmasian dirumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketententuan
klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh Menteri (Kemenkes,
2014 dan Satibi, 2016). Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf instalasi
20
farmasi harus ada dan dilakukan peninjauan kembali paling sedikit tiga tahun
sesuai kebijakan dan prosedur di instalasi farmasi rumah sakit.
5.3.1 Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM). Berdasarkan pekerjaan
yang dilakukan kualitas SDM instalasi farmasi diklasifikasikan untuk pekerjaan
kefarmasian yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian, sreta untuk
pekerjaan penunjang yang terdiri atas operator komputer/tehnisi yang memahami
kefarmasian, tenaga administrasi, dan pekarya/pembantu pelaksana.
5.3.2 Persyaratan SDM. Pelayanan kefarmasian harus dilakukan oleh
apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang melakukan pelayanan kefarmasian
harus dibawah supervisi apoteker. Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian harus
memenuhi persyaratan perundang-undangan yang berlaku.
5.3.3 Beban kerja dan kebutuhan. Perhitungan beban kerja perlu
memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh pada kegiatan yang dilakukan
yaitu meliputi: kapasitas tempat tidur dan Bed Occupancy Rate (BOR), jumlah
dan jenis kegiatan farmasi yang dilakukan (manajemen, klinik, dan produksi),
jumlah resep atau formulir permintaan obat (floor stock) perhari, volume sediaan
farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. Pelayanan kefarmasian di
rawat inap dibutuhkan tenaga apoteker untuk 30 pasien idealnya 1 apoteker dan
rawat jalan 50 pasien idealnya 1 apoteker. Selain pelayanan kefarmasian di rawat
inap dan rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 apoteker untuk kegiatan
pelayanan kefarmasian diruang tertentu yaitu: unit gawat darurat, Intensive Care
Unit (ICU)/Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)/Neonatus Intensive Care Unit
(NICU)/Pediaditric Intensive Care Unit (PICU), dan pelayanan informasi obat.
5.4 Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS). Sistem informasi RS
merupakan suatu proses pengumpulan, pengolahan dan penyajian data rumah
sakit yang mencakup semua rumah sakit umum maupun khusus, baik yang
dikelola secara publik maupun privat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Depkes, 2009b).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1171 tahun 2011
telah mengatur tentang Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS). Rumah sakit wajib
melaksanakan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) yang merupakan suatu
21
proses pengumpulan, pengolahan dan penyajian data rumah sakit yang digunakan
sebagai aplikasi sistem pelaporan rumah sakit kepada kementerian kesehatan yang
meliputi data identitas rumah sakit, data ketenagaan yang bekerja di rumah sakit,
data rekapitulasi kegiatan pelayanan, data kompilasi penyakit/morbiditas pasien
rawat inap dan data kompilasi penyakit/morbiditas pasien rawat jalan.
Penyelenggaraan SIRS bertujuan untuk merumuskan kebijakan di bidang rumah
sakit, menyajikan informasi rumah sakit secara nasional dan melakukan
pemantauan, pengendalian dan evaluasi penyelenggaraan rumah sakit secara
nasional (Permenkes, 2011).
B. Rumah Sakit
1. Pengertian Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI)
No.340/MENKES/PER/III/2010 menyebutkan Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat
darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (Depkes, 2010a).
Rumah sakit diselenggarakan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika,
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak, anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Hal ini
bertujuan untuk mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit, sumber daya manusia di rumah sakit, meningkatkan
mutu, mempertahankan standar pelayanan rumah sakit, memberikan kepastian
hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan rumah
sakit (Depkes, 2009a).
Rumah sakit harus mempunyai kemampuan melakukan pelayanan
sekurang-kurangnya pelayanan medik umum, gawat darurat, pelayanan
keperawatan, rawat jalan, rawat inap, operasi/bedah, pelayanan medik spesialis
dasar, penunjang medik, farmasi, gizi, sterilisasi, rekam medik, pelayanan
22
administrasi dan manajemen, penyuluhan kesehatan masyarakat, pemulasaran
jenazah, laundry dan ambulance, pemeliharaan sarana rumah sakit, serta
pengolahan limbah (Depkes, 2010c).
2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Berdasarkan SK Menkes RI No.1197/MENKES/SK/X/2004 tentang
standar pelayanan farmasi di rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas
memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk
menjalankan tugas tersebut, rumah sakit mempunyai fungsi:
a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standar pelayanan rumah sakit.
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam
rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
3. Klasifikasi Rumah Sakit
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
menyebutkan rumah sakit dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya.
a. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan
menjadi rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah Sakit Umum
yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit, sedangkan Rumah Sakit Khusus yaitu rumah
sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau jenis
penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis
penyakit, atau kekhususan lainnya.
b. Berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dibagi menjadi rumah sakit
publik dan rumah sakit privat. Rumah Sakit Publik yaitu rumah sakit yang
dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang
bersifat nirlaba. Rumah sakit pemerintah dan pemerintah daerah
23
diselenggarakan berdasarkan pengelola badan layanan umum (BLU) atau
badan layanan umum daerah (BLUD) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, contoh Rumah Sakit Departemen Kesehatan, Rumah
Sakit Pemerintah Daerah Provinsi, Rumah Sakit Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota, Rumah Sakit TNI, Rumah Sakit Polri, dan Rumah Sakit
Pertamina. Rumah Sakit Privat yaitu rumah sakit yang dikelola oleh badan
hukum dengan tujuan profit yang berbentuk perseroan terbatas atau
persero, contoh Rumah Sakit Yayasan, Rumah Sakit Perusahaan.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
menyebutkan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara
berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus
diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit.
a. Klasifikasi Rumah Sakit Umum terdiri atas:
1) Rumah Sakit Umum kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 5 spesialis penunjang
medik, 12 spesialis lain, dan 13 subspesialis dasar.
2) Rumah Sakit Umum kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang
medik, 8 spesialis lain, dan 2 subspesialis dasar.
3) Rumah Sakit Umum kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 spesialis dasar, dan 4 spesialis
penunjang medik.
4) Rumah Sakit Umum kelas D, mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 spesialis dasar.
b. Klasifikasi Rumah Sakit Khusus terdiri atas:
1) Rumah Sakit Khusus kelas A, mempunyai fasilitas dan kemampuan
paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai
kekhususan yang lengkap.
2) Rumah Sakit Khusus kelas B, mempunyai fasilitas dan kemampuan
paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai
kekhususan yang terbatas.
24
3) Rumah Sakit Khusus kelas C, mempunyai fasilitas dan kemampuan
paling sedikit pelayanan medik spesialis dan subspesialis sesuai
kekhususan yang minimal.
C. Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Definisi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu bagian/unit/divisi atau
fasilitas dirumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan
kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu. Instalasi Farmasi
Rumah Sakit dikepalai oleh seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang
apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan merupakan tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung
jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian (Siregar dan Amalia,
2004).
Undang-undang Rumah Sakit no. 44 tahun 2009 menyebutkan bahwa
salah satu persyaratan RS harus memenuhi persyaratan kefarmasian. Pasal 15
bagian ke enam menyebutkan bahwa: (Depkes RI, 2009b)
a. Persyaratan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat 1
harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.
b. Pelayanan sediaan farmasi di RS harus mengikuti standar pelayanan
kefarmasian.
c. Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai di
rumah sakit harus dilakukan oleh instalasi farmasi sistem satu pintu.
d. Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi rumah sakit harus
wajar dan berpatokan kepada harga patokan yang ditetapkan pemerintah.
e. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian
sebagaiamana dimaksud dalam ayat 2 diatur dengan peraturan menteri.
2. Tugas Pokok dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Berdasarkan Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, tugas pokok dan fungsi Instalasi Farmasi
Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
25
a. Tugas Pokok
1) Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal.
2) Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional
berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi.
3) Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE).
4) Memberi pelayanan bermutu melalui analisa, dan evaluasi untuk
meningkatkan mutu pelayanan farmasi.
5) Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
6) Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi.
7) Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi.
8) Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.
b. Fungsi
1) Pengelolaan Perbekalan Farmasi.
a. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah
sakit.
b. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal.
c. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan
yang telah dibuat sesuai ketentuan yang berlaku.
d. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan di rumah sakit.
e. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan
ketentuan yang berlaku.
f. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan
persyaratan kefarmasian.
g. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di
rumah sakit.
2) Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan
a. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien.
b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat
dan alat kesehatan.
26
c. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan
alat kesehatan.
d. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat
kesehatan.
e. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga.
f. Memberi konseling kepada pasien/keluarga.
g. Melakukan pencampuran obat suntik.
h. Melakukan penyiapan nutrisi parenteral.
i. Melakukan penanganan obat kanker.
j. Melakukan penentuan kadar obat dalam darah.
k. Melakukan pencatatan setiap kegiatan
l. Melaporkan setiap kegiatan
3. Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Penyelenggaraan standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit
harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian
yang berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional
(Permenkes, 2016).
Siregar dan Amalia (2004), mengatakan bahwa standar adalah suatu
dokumen yang ditetapkan dengan konsensus dan disetujui oleh suatu badan yang
diakui, yang berisi peraturan, pedoman atau karakteristik dari kegiatan atau hasil
kegiatan, disediakan untuk penggunaan umum dan berulang, ditujukan untuk
pencapaian derajat optimal keberaturan dalam suasana tertentu. Standar minimal
kegiatan atau pelayanan IFRS adalah kegiatan minimal yang harus dilakukan
IFRS secara terus menerus yang masih memberikan unjuk kerja dan hasil yang
baik.
Berbagai standar kegiatan atau pelayanan IFRS meliputi manajerial,
fasilitas, distribusi dan pengendalian obat, informasi, jaminan terapi yang rasional,
penelitian, pemberian/konsumsi obat dan produk biologik yang aman, serta mutu
dalam pelayanan perawatan penderita yang diberikan oleh IFRS. Manajerial
27
dimana IFRS harus dipimpin oleh seorang Apoteker yang secara profesional,
kompeten dan memenuhi persyaratan hukum. Instalasi farmasi rumah sakit harus
dilengkapi dengan ruangan, alat, bahan, pasokan untuk fungsi profesional dan
administratif. Distribusi dan pengendalian obat yaitu kebijakan dan prosedur
terdokumentasi yang berkaitan dengan distribusi obat intra rumah sakit, harus
dikembangkan oleh pimpinan IFRS bersama-sama Panitia Farmasi dan Terapi
(PFT), staf medik, perawat dan dewan perwakilan disiplin lain. Instalasi farmasi
RS adalah suatu unit atau bagian yang harus bertanggung jawab dalam
pengelolaan menyeluruh mulai dari perencanaan, pengadaan (pembelian,
manufaktur), pengendalian mutu, penyimpanan dan peracikan, pelayanan
resep/order, distribusi sampai dengan pengendalian semua perbekalan kesehatan
yang beredar dan digunakan di rumah sakit. Kebijakan dan prosedur yang
menguasai sebagai fungsi tersebut harus dikembangkan oleh apoteker dengan
masukan dari PFT, staf rumah sakit yang terlibat, seperti pimpinan rumah sakit,
perawat, dokter dan komite atau panitia lain. Instalasi farmasi RS bertugas dan
bertanggung jawab menyediakan/memberikan informasi yang akurat dan
komprehensif bagi staf medik, profesional kesehatan lain, pasien, dan
memberikan jaminan terapi yang rasional yaitu terkait dengan penggunaan obat
secara rasional, serta harus membuat IFRS sebagai sentra informasi obat.
4. Instalasi Rawat Inap
Instalasi Rawat Inap yaitu unit pelayanan non struktural yang
menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan kegiatan pelayanan rawat inap.
Pelayanan rawat inap merupakan suatu kelompok pelayanan kesehatan yang
terdapat di rumah sakit yang merupakan gabungan dari beberapa fungsi
pelayanan. Kategori pasien yang masuk rawat inap adalah pasien yang perlu
perawatan intensif atau observasi ketat karena penyakitnya (Juni S, 2014).
Kelmanutu (2013), mengatakan kualitas pelayanan kesehatan di ruang
rawat inap rumah sakit dapat diuraikan dari beberapa aspek, diantaranya adalah
penampilan keprofesian menyangkut pengetahuan, sikap dan perilaku, efisiensi
dan efektifitas menyangkut pemanfaatan sumber daya, keselamatan pasien yang
menyangkut keselamatan dan keamanan pasien, kepuasan pasien yang
28
menyangkut kepuasan fisik, mental, dan sosial terhadap lingkungan rumah sakit,
kebersihan, kenyamanan, kecepatan pelayanan, keramahan dan perhatian serta
biaya yang diperlukan.
Muslihuddin (2011), mengatakan mutu asuhan pelayanan rawat inap
dikatakan baik apabila memberikan rasa tentram kepada pasiennya dan
menyediakan pelayanan yang professional. Dari aspek tersebut dapat diartikan
bahwa petugas harus mampu melayani dengan cepat, penanganan pertama dari
perawat dan dokter profesional harus mampu membuat kepercayaan pada pasien,
ruangan yang bersih dan nyaman, serta peralatan yang memadai dengan operator
yang profesional memberikan nilai tambah.
D. Profil Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta
1. Gambaran Umum RSJD Surakarta
Sebelum diintegrasikan kedalam binaan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa
Tengah seperti saat ini, letak semula RS Jiwa Daerah Surakarta berada di jantung
Kota Solo yang beralamat (lokasi lama) di Jl. Bhayangkara No. 50 Surakarta.
Pada awalnya rumah sakit ini didirikan pada tahun 1918 dan diresmikan terpakai
tanggal 17 Juli 1919 dengan nama Doorganghuisvoor krankzinnigen dan dikenal
pula dengan nama Rumah Sakit Jiwa Mangunjayan yang menempati areal seluas
+ 0,69 ha dengan kapasitas tampung sebanyak 216 tempat tidur (TT).
Berdasarkan kesepakatan bersama pada tahun 1986 dalam bentuk Ruislag
dengan Pemda Dati II Kodya Surakarta, kantor RS Jiwa Pusat Surakarta akan di
pergunakan sebagai kantor KONI Kodia Surakarta, maka dalam proses
pembangunan fisik lebih lanjut pada tanggal 3 Februari 1986 Rumah Sakit Jiwa
Surakarta menempati lokasi yang baru di tepian sungai Bengawan Solo, tepatnya
jalan Ki Hajar Dewantara No. 80 Surakarta dengan luas area 10 ha. lebih dengan
luas bangunan 10.067 m2.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka RS
Jiwa Pusat Surakarta berubah menjadi RS Jiwa Daerah Surakarta dibawah Pemda
Provinsi Jawa Tengah. RS Jiwa Pusat Surakarta diserahkan dari Pemerintah Pusat
kepada kepada Pemerintah Daerah pada tahun 2001 berdasarkan SK Menteri
29
Kesehatan No. 1079/Menkes/SK/X/2001 tanggal 16 Oktober 2001. Adapun
penetapan RS Jiwa Pusat menjadi RS Jiwa Daerah Surakarta berdasarkan SK
Gubernur Jawa Tengah No. 440/09/2002 pada bulan Februari 2002. Kemudian
sejak tahun 2009 RS Jiwa Daerah Surakarta telah menjadi Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD) Provinsi Jawa Tengah. Daerah RSJD Surakarta merupakan
Rumah Sakit khusus kelas A.
2. Gambaran Umum Organisasi
Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Tengah No. 8 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja RSUD dan RSJ Daerah Provinsi Jawa Tengah dan
Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 97 Tahun 2008 tentang Penjabaran Tugas
Pokok dan Fungsi serta Tata Kerja RSJ Daerah Dr. Amino Gondohutomo dan RSJ
Daerah Surakarta Provinsi Jawa Tengah, tugas pokok dan fungsi dari SKPD RSJ
Daerah Surakarta adalah:
a. Tugas Pokok
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan khususnya usaha pelayanan
kesehatan jiwa dengan upaya penyembuhan, pemulihan, peningkatan,
pencegahan, pelayanan rujukan dan menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan, penelitian dan pengembangan serta pengabdian masyarakat.
b. Fungsi
1) Perumusan kebijakan teknis dibidang Pelayanan Rumah Sakit;
2) Pelayanan penunjang dalam menyelenggarakan Pemerintah Daerah
dibidang Pelayanan Rumah Sakit;
3) Penyusunan rencana dan program, monitoring, evaluasi dan pelaporan
dibidang Pelayanan Kesehatan Jiwa;
4) Pelayanan Medis khususnya kesehatan jiwa;
5) Pelayanan Penunjang Medis dan non Medis;
6) Pelayanan Keperawatan;
7) Pelayanan Rujukan;
8) Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan tenaga kesehatan khususnya
kesehatan jiwa;
9) Penelitian, pengembangan serta pengabdian masyarakat;
30
10) Pengelolaan urusan kepegawaian, keuangan, hukum, hubungan
masyarakat, organisasi dan tata laksana serta rumah tangga,
perlengkapan dan umum.
3. Visi, Misi dan Motto RSJD Surakarta
a. Visi:
“Menjadi salah satu Rumah Sakit Jiwa terbaik di Indonesia tahun 2010
dengan mengutamakan pelayanan bermutu dan mandiri yang
memuaskan semua lapisan pelanggan”.
b. Misi:
1) Memberikan pelayanan kesehatan jiwa profesional dan paripurna
yang terjangkau masyarakat.
2) Melaksanakan pelayanan secara cepat, tepat, akurat yang
memuaskan semua lapisan pelanggan.
3) Melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengembangan IPTEK
di bidang pelayanan kesehatan, pelayanan penunjang, dan
pelayanan administrasi.
4) Mengutamakan pelayanan yang mandiri dengan meningkatkan
peran serta masyarakat.
c. Motto:
PROAKTIF, dalam arti: Profesional dalam pelayanan, Ramah dalam
bersikap terhadap pelanggan, Obyektif dalam penyampaian informasi,
Antusias dalam semangat kerja, Kooperatif dalam kerjasama terpadu,
Target dalam pencapaian tugas, Insentif dalam pelaksanaan tugas, dan
Favorit dalam kinerja unggulan rumah sakit.
E. Analisis
Analisis adalah sebuah proses untuk memecahkan sesuatu ke dalam
bagian-bagian yang saling berkaitan satu sama lainnya (Keraf, 2013). Sedangkan
Komarrudin (2005), mengatakan analisis merupakan suatu kegiatan berfikir untuk
menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal
tanda-tanda dari setiap komponen, hubungan satu sama lain dan fungsi masing-
31
masing dalam suatu keseluruhan yang terpadu, sehingga dapat disimpulkan
analisa merupakan sekumpulan kegiatan, aktivitas dan proses yang saling
berkaitan untuk memecahkan masalah atau memecahkan komponen menjadi lebih
detail dan digabungkan kembali lalu ditarik kesimpulan. Bentuk dari kegiatan
analisa salah satunya yaitu merangkum data mentah menjadi sebuah informasi
yang bisa disampaikan ke khalayak. Segala macam bentuk analisis
menggambarkan pola-pola yang konsisten di dalam data, sehingga hasil analisa
dapat dipelajari dan diterjemahkan dengan singkat dan penuh makna. Analisa juga
dapat diartikan sebagai sebuah penyelidikan terhadap suatu peristiwa dengan
tujuan mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi (Komarrudin, 2005).
Analisis mempunyai fungsi untuk mengumpulkan data-data yang terdapat
pada suatu lingkungan tertentu. Analisis dapat diterapkan diberbagai jenis
lingkungan dan keadaan. Analisis akan lebih optimal dipergunakan dalam
keadaan kritis dan untuk keadaan yang membutuhkan strategi. Karena analisis
dapat mengetahui secara mendetail tentang keadaan lingkungan saat ini. Analisis
bertujuan untuk mengumpulkan data yang pada akhirnya data-data ini dapat
digunakan untuk berbagai keperluan pelaku analisis. Biasanya akan digunakan
dalam menyelesaikan krisis atau konflik, atau bisa saja hanya digunakan sebagai
arsip (Ibeng, 2019).
F. Indikator Pengelolaan Obat
Indikator digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan atau sasaran telah
berhasil dicapai. Hasil pengujian tersebut dapat digunakan oleh penentu kebijakan
untuk meninjau kembali strategi atau sasaran yang lebih tepat. Semakin sesuai yang
diukur dengan indikatornya, semakin sesuai pula hasil suatu pekerjaan dengan
standarnya. Indikator atau kriteria yang baik meliputi sesuai dengan tujuan,
informasinya mudah didapat, singkat, jelas, lengkap, tidak menimbulkan berbagai
interpretasi, dan rasional (Depkes, 2004).
Beberapa macam indikator yang dipilih pada tahap seleksi, pengadaan,
distribusi dan penggunaan obat seperti terlihat pada tabel berikut:
32
Tabel 3. Indikator Pengelolaan Obat di Rumah Sakit
Tahapan Indikator Tujuan Cara menghitung Nilai
Pembanding
Selection
(Seleksi)
Kesesuaian item obat yang
tersedia di FORNAS,
Formularium RS.
Untuk mengetahui
penggunaan obat
FORNAS dan FRS
X : Jumlah item obat
dalam FORNAS/FRS
Y: Jumlah item obat
yang tersedia
Z: (X/Y) x 100%
100%
Procurement
(Pengadaan)
1. Persentase alokasi Dana
pengadaan obat yang
tersedia.
Untuk mengetahui
seberapa jauh
persediaan dana RS
memberikan dana
kepada IFRS
Hitung
X: Total dana
pengadaan obat
Y: Total anggaran RS
Z: (X/Y) x 100%
30-40%
2. Persentase modal dana
yang tersedia dengan
keseluruhan dana yang
dibutuhkan
Untuk mengetahui
sejauh mana persediaan
dana rumah sakit memberikan dana
kepada farmasi
Hitung :
X : Dana yang tersedia
Y: Kebutuhan dana yang sesungguhnya.
Z = X/Y x 100%
≥100%
3. Presentase kesesuaian
antara pengadaan obat
dengan e-catalog
Untuk mengetahui
kesesuaian antara
pengadaan obat dengan
yang tercantum di e-
catalog
Jumlah obat sesuai
pengadaan (X)
debandingkan dengan
jumlah total obat yang
tercantum dalam e-
catalog (Y) dikali
100%
100%
4. Frekuensi Kurang
lengkapnya SP/
Faktur/Kesesuaian
permintaan
Untuk mengetahui
berapa kali terjadi
kesalahan faktur
Ambil SP selama 3
bulan Kemudian
cocokan dengan
Fakturnya
1-9 kali
5. Frekuensi pengadaan
tiap item obat per
tahun
Untuk mengetahui
berapa kali obat – obat
dipesan dalam setahun
Ambil secara acak
sampel kartu stok obat
diamati berapa kali obat
dipesan per tahun
Rendah
<12x/tahun
Sedang 12-
24x/tahun Tinggi
>24x/tahu
6. Persentase jumlah item
obat yang di adakan
dengan yang di
rencanakan
Untuk mengetahui
ketepatan perencanaana
X: Jumlah item obat
dalam kenyataan Y:
Total item dalam
perencanaan. Z:
(X/Y)x100%
100-120%
Distribution
(Distribusi) 1. Ketepatan data jumlah
obat pada kartu stok
Untuk mengetahui
ketelitian petugas
gudang.
Amati kartu stok obat
cocokkan dengan
barang yang ada.hitung
item obat yang sesuai
dengan kartu stock.(X).
Jumlah kartu stock yang diambil (Y).
100%
2. Turn Over Ratio (TOR)
Untuk mengetahui
perputaran modal dalam
satu tahun persediaan
Omset 1 tahun dalam
HPP = X,
dibandingkan rata-rata
nilai persediaan obat =
Y
TOR= X/Y kali
8-12x kali
33
Tahapan Indikator Tujuan Cara menghitung Nilai
Pembanding
3. Persentase dan nilai obat
yang kadaluarsa dan atau
rusak
Untuk mengetahui
besarnya kerugian
Rumah Sakit
Dari catatan obat yang
kadaluarsa dalam 1
tahun hitung nilainya =
X, Nilai Stok Opname
= Y,
Kadaluarsa= X/Y x
100%
0%
4. Persentase stok mati Untuk mengetahui item
obat selama 3 bulan
tidak terpakai
Hitung jumlah item
obat selama 3 bulan
tidak terpakai (X) dan
jumlah item obat yang
ada stoknya
0%
5. Tingkat ketersediaan
obat Untuk mengetahui
kisaran kecukupan obat
Hitung
X=Stok Obat Y=Pemakaian obat
setahun.
Z=Rata-rata pemakain
obat sebulan
A= (X+Y)/Zx 1 bulan
12-18 bulan
Use
(Penggunaan)
1. Jumlah item obat
perlembar resep Untuk mengukur derajat
Polifarmasi
Ambil 10% sampel
Hitung jumlah total
item obat yang ditulis
pada resep= X, dan
jumlah lembar resep
rata-rata= Y,
Persentase Z=X/Y x 100%
2. Persentase resep obat
yang masuk formularium
Untuk mengukur tingkat
kepatuhan dokter
terhadap formularium
rumah sakit
Dari laporan penulisan
obat, hitung jumlah
item obat sesuai
formularium (X).
Hitung jumlah item
obat yang diresepkan
(Y). Persentase
Z=X/Y x 100%
100%
3. Persentase peresepan
dengan nama generik Untuk mengukur
meresepkan obat
generic
Dari laporan penulisan
resep generik, hitung
jumlah item obat
dengan nama generic (X) dan jumlah item
obat yang diresepkan
(Y) Persentase
Z= X/Y x 100%
82-94%
4. Persentase peresapan obat
antibiotik Untuk mengukur
penggunaan antibiotika
Hitung total item
antibiotik yang di
resepkan (X) dibagi
dengan jumlah total
item obat yang
diresepkan (Y) dikali
100%. Z= X/Y x 100%
43%
5. Persentase peresepan obat
injeksi. Untuk mengukur
penggunaan injeksi
Hitung total item
injeksi yang di
17%
34
Tahapan Indikator Tujuan Cara menghitung Nilai
Pembanding
resepkan (X) dibagi
dengan jumlah total
item obat yang
diresepkan (Y) dikali
100%. Z= X/Y x 100%
6. Rata-rata waktu yang
digunakan untuk
melayani resep sampai
ketangan pasien
Untuk mengetahui
tingkat kecepatan
pelayanan farmasi RS.
Catat waktu resep
masuk apotek (X) dan
catat waktu selesai
diterima pasien (Y).
Data dibedakan antara
obat racikan dan obat
jadi.
Z=∑(Y-X)/Jumlah resep yang masuk.
≤ 60 menit
untuk obat
racikan.
≤ 30 menit
untuk obat
non racikan
7. Persentase obat yang
dapat diserahkan Untuk mengetahui
cakupan pelayanan RS.
Hitung total item obat
yang di resepkan (X)
dibagi dengan jumlah
total item obat yang
diserahkan (Y) dikali
100%. Z= X/Y x 100%
76-100%
8. Persentase obat yang
dilabeli dengan lengkap
Untuk mengetahui
penguasaan pengawasan
tentang informasi pokok
yang harus ditulis pada
etiket.
Hitung jumlah item
obat dengan etiket
yang berisi nama
pasien dan aturan
pakai (X) dan jumlah item obat yang
diberikan kepada
pasien(Y) Persentase
Z= X/Y x 100
100%
Keterangan
: Indikator Depkes (2008a)
: Indikator WHO (1993)
: Indikator Permenkes (2014)
: Indikator Depkes (2010b)
G. Landasan Teori
Pentingnya obat dalam pelayanan kesehatan memberikan konsekuensi
yang besar pula dalam anggaran obat. Anggaran obat di rumah sakit untuk obat
dan alat kesehatan yang dikelola instalasi farmasi mencapai 50-60% dari seluruh
anggaran rumah sakit (Trisnantoro, 2003).
Pelayanan kefarmasian bertanggung jawab terhadap pasien dan berkaitan
dengan sediaan farmasi dengan tujuan untuk meningkatkan mutu kesehatan
pasien. Pelayanan kefarmasian didukung dengan adanya instalasi farmasi yang
35
merupakan unit di rumah sakit yang bertanggung jawab penuh terhadap
penggunaan obat yang aman dan efektif di rumah sakit (Kemenkes, 2014).
Keberhasilan penyelenggaraan upaya kesehatan dapat diukur dengan
berbagai indikator pengelolaan obat yang mencakup banyak faktor. Pengelolaan
obat meliputi suatu siklus kegiatan yang saling berkaitan yaitu mulai seleksi,
pengadaan, distribusi dan penggunaan obat. Mengingat bahwa obat merupakan
elemen penting dalam pelayan kesehatan, maka pengelolaan obat terus menerus
ditingkatkan sehingga dapat memenuhi kebutuhan program pelayanan kesehatan.
Pengelolaan obat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakart dapat dilakukan
dengan menggunakan pedoman standar menurut Depkes (2008a), WHO (1993),
Permenkes (2014), dan Depkes (2010b) agar pelayanan obat dan ketersediaan obat di
rumah sakit dapat terpenuhi. Tanpa pengendalian persediaan yang baik, maka
ketersediaan obat dalam pelaksanaannya akan terhambat (Fakhriadi et al. 2011).
Pengendalian sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai merupakan
suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai
dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar
(Permenkes, 2016).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit menyebutkan bahwa rumah sakit mempunyai tugas memberikan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas
tersebut, rumah sakit mempunyai fungsi yang meliputi: penyelenggaraan
pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan
rumah sakit, pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui
pelayanan kesehatan paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis,
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan
penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
36
Pengelolaan harus dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pasien dan rumah sakit.
Berdasarkan indikator pengelolaan obat yang akan diterapkan, maka dapat dianalisis
pengelolaan obat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
H. Kerangka Konseptual
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
Kesesuaian item
obat yang
tersedia di
FORNAS,
Formularium
Rumah sakit
Management Support:
1. Organization
2. Financing
3. Information Management
4. Human Resources
Selection
Distribusion
Procurement Use
Diukur dengan indikator
Selection Procurement Distribution Use
1. Persentase alokasi Dana pengadaan obat yang tersedia.
2. Persentase modal dana yang tersedia dengan keseluruhan dana yang dibutuhkan.
3. Persentase kesesuaian antara pengadaan obat dengan e-catalog
4. Frekuensi Kurang lengkapnya SP/ Faktur atau kesesuaian permintaan
5. Frekuensi pengadaan tiap item obat per tahun
6. Persentase jumlah item obat yang di dengan yang di rencanakan
1. Ketepatan data jumlah obat pada kartu stok
2. Turn Over Ratio (TOR)
3. Persentase dan nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak
4. Persentase stok mati
5. Tingkat ketersediaan obat
1. Jumlah item obat perlembar resep.
2. Persentase resep obat yang masuk formularium
3. Persentase peresepan dengan nama generik.
4. Persentase peresapan obat antibiotik
5. Persentase peresepan obat injeksi.
6. Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep sampai ketangan pasien
7. Persentase obat yang dapat diserahkan
8. Persentase obat yang dilabeli dengan lengkap.
Analisis
Persentasi Hasil
37
I. Keterangan Empiris
Penelitian ini dapat memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang
pengelolaan obat yang meliputi tahap seleksi, pengadaan, distribusi, dan
penggunaan serta ke efesiensinya bila dibandingkan dengan indikator yang
digunakan pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.
top related