bab ii tinjauan pustaka a. kajian pustaka dan kerangka
Post on 18-Nov-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir
1. Hakikat Novel
Hakikat novel adalah cerita (narration) yang di dalamnya dan pencerita,
masalah yang diceritakan, di mana, kapan, dan dalam suasana apa masalah
yang diceritakan itu terjadi, siapa saja pelaku ceritanya, dan bagaimana cerita
itu disusun. Jadi, di sana ada manusia (tokoh) yang sedang berhadapan
dengan sesuatu (tema), pada saat dan tempat tertentu (latar), dan bagaimana
rangkaian peristiwa itu terjadi (alur). Itulah sebabnya, novel dianggap paling
dekat mewakili kehidupan manusia (Mahayana, 2015: 91). Novel menurut
Mufidati, Mujiyanto, dan Anindyarini (2014: 414) merupakan karya kreatif
yang menampilkan berbagai macam peristiwa kehidupan yang dituangkan ke
dalam bentuk tulisan. Menurut Stanton (2012: 90) novel mampu
menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,
hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai
peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Bagi
seorang novelis menurut Setiyoningsih (2015: 6) novel tidak hanya sebagai
alat hiburan saja, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan
meneliti segi kehidupan dan nilai-nilai moral.
a. Pengertian Novel
Secara etimologi, kata “novel” berasal dari “novellus” yang berarti
baru. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita
fiksi yang paling baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-
jenis karya sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, jenis novel ini
muncul kemudian (Tarigan, 1985: 164). Menurut Waluyo (2011: 5),
tadinya novel merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah
tangga. Kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita
kenal seperti saat ini (menggantikan pengertian roman di samping
bentuknya yang utama).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Novel menurut Nurgiyantoro merupakan bentuk karya sastra yang
sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian,
novel dianggap bersinonim dengan fiksi (2005: 9). Menurut Abrams
(dalam Nurgiyantoro, 2005: 9) sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah
yang kemudian masuk ke Indonesia yang berasal dari bahasa Itali novella
(yang dalam bahasa Jerman novella). Secara harfiah, novella berarti
„sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita
pendek dalam bentuk prosa‟.
Istilah novel menurut Prihatmi (dalam Pujiharto, 2012: 8) adalah
“gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat
novel itu ditulis…”. Menurut Semi (1993: 32) dalam istilah novel tercakup
pengertian roman, sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman
sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman
waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada
umumnya berorientasi ke Negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk
ini dengan roman. Di antara para ahli teori sastra, memang ada yang
membedakan antara novel dengan roman, dengan mengatakan bahwa
novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang
tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas. Istilah roman kemudian
dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang
biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan
meninggal dunia.
Novel mampu menyampaikan permasalahan yang kompleks secara
penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi” (Nurgiyantoro, 2005: 11).
Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 15) menyatakan bahwa
novel bersifat realistis. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif
nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik, atau sejarah. Jadi, novel
berkembang dari dokumen-dokumen, dan secara stilistik menekankan
pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu pada realitas
yang lebih tinggi dan psikologi lebih mendalam. Shipley (dalam Pujiharto,
2012: 8) novel adalah karya fiksional yang mengenalkan tokoh-tokoh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
(tentang yang memiliki nasib yang kita seharusnya buat untuk peduli) di
dalam hubungan yang goyah yang dikomplikasikan lebih jauh hingga
bergerak dari kegoyahan yang direpresentasikan.
Dilihat dari jenisnya, Nurgiyantoro (2005: 18) mengklasifikasikan
novel ke dalam dua bentuk yaitu novel serius dan novel populer. Novel
populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak
penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan
masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai
pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan
kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.
Sebab jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan
berubah menjadi novel serius. Oleh karena itu, novel populer pada
umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan
zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Novel
serius di pihak lain justru harus sanggup memberikan yang serba
berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa novel adalah suatu cerita rekaan yang
dapat menggambarkan kehidupan manusia dari segala sisi kehidupan.
b. Struktur Novel
1) Unsur Intrinsik
Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu
kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel
mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu
dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel
dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata, bahasa, misalnya,
merupakan salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur
pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah
yang menyebabkan novel juga sastra pada umumya menjadi berwujud
(Nurgiyantoro, 2005: 22 – 23). Pembagian unsur yang dimaksud
adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra
hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan
dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah
novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun
cerita (Nurgiyantoro, 2005: 23).
a) Tema
Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu
memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema, itu
sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur
semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-
perbedaan (Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro, 2005: 68).
Menurut Waluyo (2011: 7) tema adalah gagasan pokok dalam cerita
fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul
atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses
pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali,
karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tema adalah arti
cerita; tema adalah arti penyiaran cerita; tema mungkin menjadi arti
penemuan cerita. Dengan demikian Kenney (dalam Pujiharto, 2012:
76) menyimpulkan bahwa tema berarti implikasi yang perlu dari cerita
keseluruhan bukan bagian yang terpisah dari cerita. Tema membuat
cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian
awal dan akhir cerita menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat
keberadaan tema.
Tema menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 25) adalah
suatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut,
maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu sering tema dapat
disinonimkan dengan ide tujuan utama cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu :
(1) tema yang bersifat fisik, (2) tema organik, (3) tema sosial, (4) tema
egoik (reaksi pribadi), (5) tema divine (Ketuhanan). Tema yang
bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan
kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari
nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat
organik atau moral menyangkut soal hubungan antar manusia,
misalnya penipuan, masalah keluarga, masalah politik, ekonomi, adat,
tatacara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan
masalah kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan
dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang
berlebihan, dan pertentangan individu, sedangkan tema devine
(Ketuhanan) menyangkut renungan yang religius hubungan manusia
dengan Sang Khalik (Waluyo, 2011: 8). Dengan demikian, tema dapat
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya
novel.
b) Alur atau Plot
Setiap karya fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri atas
peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata
dijajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu
dengan lainnya. Hal inilah yang biasanya disebut dengan alur
(Pujiharto, 2012: 32)
Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak
sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara
berbagai unsur fiksi yang lain (Nurgiyantoro, 2005: 110). Menurutnya,
kejelasan plot adalah suatu kejelasan cerita, dan kesederhanaan plot
berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, plot sebuah
karya fiksi yang ruwet, kompleks, dan sulit dikenali hubungan
kausalitas antarperistiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit
dipahami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Plot menurut Lukman Ali (dalam Waluyo, 2011: 9) merupakan
sambung sinambungnya cerita berdasarkan hubungan sebab akibat dan
menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, sedangkan menurut Stanton
(dalam Nurgiyantoro, 2005: 113) plot adalah cerita yang berisi urutan
kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya
peristiwa yang lain. Seorang ahli lain yaitu Kenny, menyatakan bahwa
plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang
tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-
peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat (dalam Nurgiyantoro,
2005: 113).
Peristiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan
lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.
Bahkan, pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak
lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik bersifat verbal
maupun fisik, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan
cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh
dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi
berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2005: 114). Menurut Scott
(dalam Waluyo, 2011: 9) plot merupakan prinsip esensial dalam cerita.
Ia menyatakan plot sebagai external action.
Menurut Semi (1993: 44) pada umunya alur cerita rekaan
terdiri dari: (1) alur buka, yaitu situasi mulai terbentang sebagai suatu
kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya;
(2) alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang
mulai memuncak; (3) alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak
sebagai klimaks peristiwa; dan (4) alur tutup, yaitu kondisi memuncak
sebelumnya mulai menampakkan pemecahan atau penyelesaian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
c) Tokoh dan Penokohan
Istilah „tokoh‟ biasa dipergunakan untuk menunjuk pada pelaku
cerita. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul di dalam
cerita. Namun, kata character yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi kata „tokoh‟ dengan pengertian seperti terurai
di atas, juga memiliki arti „watak, karakter, sifat.‟ (Pujiharto, 2012: 43
– 44). Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165)
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilakukan dalam tindakan.
Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam
berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang
berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan
sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang
dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2005:
165). Menurut Nurgiyantoro, istilah “penokohan” lebih luas
pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus
mencakup penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh
cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca (2005: 166 – 167).
Seperti telah diuraikan di atas, kata „tokoh‟ memiliki arti yang
berbeda dengan „watak‟. Namun, karena keduanya saling berkaitan
antara yang satu dengan lainnya, pembahasan terhadap keduanya
disatukan. Bertolak dari argumen tersebut, pembahasan tentang
penokohan juga tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang
perwatakan. Penokohan adalah cara pengarang dalam melukiskan
tokoh, sedangkan perwatakan adalah cara pengarang dalam
menggambarkan watak dan kepribadian tokoh (Pujiharto, 2012: 44).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
d) Latar atau Setting
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams
dalam Nurgiyantoro, 2005: 216). Nurgiyantoro (2005: 217)
menjelaskan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan
jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada
pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada
dan terjadi.
Menurut Stanton (2012: 35) latar adalah lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi
dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dalam
karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau
sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata
cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat
yang bersangkutan. Latar sebuah fiksi kadang-kadang menawarkan
berbagai kemungkinan yang justru dapat lebih menjangkau di luar
makna cerita itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 220).
Latar adalah elemen fiksi yang menyatakan pada pembaca di
mana dan kapan terjadinya peristiwa (Pujiharto, 2012: 47). Bila
dijabarkan secara lebih detail, menurut Kenney (dalam Pujiharto,
2012: 48) latar bisa mengacu pada (1) lokasi geografis yang
sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan, bahkan detail-detail
interior ruang; (2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari; (3)
waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode historis,
musim, tahun, dan sebagainya; dan (4) lingkungan religius, moral,
intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.
Setting menurut Waluyo (2011: 23) adalah tempat kejadian
cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik,
aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun, setting juga dapat dikaitkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
dengan tempat dan waktu. Fungsi setting menurut Waluyo (2011: 23)
adalah untuk: (1) mempertegas watak pelaku; (2) memberikan tekanan
pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang disampaikan; (4)
metafora bagi situasi psikis pelaku; (5) sebagai pemberi atmosfir; dan
(6) memperkuat posisi plot.
e) Sudut Pandang Pengarang (Point of View)
Point of view menurut Waluyo (2011: 25) dinyatakan sebagai
sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang
untuk berperan dalam cerita itu. Hal ini diperkuat dengan pendapat
Pujiharto (2012: 66) bahwa dalam menentukan posisinya itu,
pengarang harus memilihnya dengan hati-hati agar cerita yang
diutarakannya menimbulkan efek yang tepat. Pengarang dapat
menyampaikan ceritanya dari sisi dalam atau dari sisi luar. Pertama
cerita disampaikan oleh salah satu tokoh di dalam cerita, sedangkan
yang kedua cerita disampaikan oleh orang ketiga.
Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan tentang siapa
yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan
tindakan itu dilihat. Stevick menjelaskan bahwa sudut pandang
mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca. Pembaca
membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita (dalam
Nurgiyantoro, 2005: 251).
Sudut pandang menurut Lubbock (dalam Nurgiyantoro, 2005:
251) merupakan sarana terjadinya koherensi dan kejelasan penyajian
cerita. Bahkan oleh Schorer (dalam Nurgiyantoro 2005: 251), sudut
pandang tak hanya dianggap cara pembatasan dramatik saja,
melainkan secara lebih khusus sebagai penyajian definisi tematik.
Menurut Shipley (dalam Waluyo 2011: 25) ada dua jenis point
of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal
point of view ada empat macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2)
pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
(4) pencerita sebagai tokoh sampinngan dan bukan tokoh hero.
Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua jenis, yaitu: (1)
gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya.
f) Amanat
Pengertian amanat menurut Dewi (2015: 20) berbeda dengan
tema, untuk membedakan amanat dan tema dapat dinyatakan bahwa
tema bersifat sangat objektif, lugas, dan khusus, sedangkan amanat
bersifat subjektif, kias, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda
menafsirkan makna karya itu bagi dirinya dan semuanya cenderung
dibenarkan. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit
ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu
disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita dan
eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan
seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan sebagainya.
(Sudjiman, 1988: 57 – 58).
2) Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya
sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat
dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita
sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di
dalamnya (Nurgiyantoro, 2005: 23).
2. Hakikat Pendekatan Psikologi Sastra
a. Pengertian Psikologi
Gerungan menjelaskan arti psikologi, yaitu berasal dari kata psyche
yang dalam bahasa Yunani berarti “jiwa” dan kata logos yang dapat
diterjemahkan dengan kata „ilmu”. Dengan demikian, istilah ilmu jiwa
merupakan terjemahan harfiah dari istilah psikologi (2004: 1). Ilmu jiwa
merupakan istilah dalam bahasa Indonesia sehari-hari dan dipahami setiap
orang sehingga kita pun menggunakannya dalam arti yang luas karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
masyarakat telah memahaminya. Arti kata psikologi sendiri merupakan
suatu istilah ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sehingga kita
menggunakannya untuk merujuk kepada pengetahuan ilmu jiwa yang
bercorak ilmiah tertentu.
Menurut Syah (2014: 7), psikologi yang dalam istilah lama disebut
ilmu jiwa itu berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology
merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani),
yaitu: 1) psyche yang berarti jiwa; 2) logos yang berarti ilmu.Jad secara
harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa. Definisi psikologi menurut
Chaplin (dalam Syah, 2014: 9) dalam Dictionary of Psychology yaitu:
…the science of human and animal behavior, the study of the
organism in all its variety and complexity as it responds to the flux and
flow of the physical and social events which make up the environment.
(Psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan,
juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan
kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan
peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan).
Menurut Rohmah, psikologi bukan hanya diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari sesuatu yang abstrak/tidak bisa dilihat, melainkan
psikologi adalah ilmu yang ingin mempelajari manusia sebagai satu
kesatuan antara jasmani dan rohani (2012: 1). Menurut Knight dan Knight
(dalam Khodijah, 2014: 3) psikologi dapat didefinisikan sebagai studi
sistematis tentang pengalaman dan perilaku manusia dan hewan, normal,
dan abnormal, individu dan sosial. Dalam definisi ini dijelaskan bahwa
perilaku yang dipelajari tidak hanya dibatasi pada perilaku manusia,
melainkan juga meliputi perilaku hewan.
Dalam perkembangannya, menurut Chaer (2009: 2 – 3) psikologi
telah terbagi menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang
dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik,
behavioristik, dan kognifistik. Psikologi yang mentalistik melahirkan
aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan dari psikologi kesadaran
ini adalah mencoba mengkaji proses-proses akal manusia dengan cara
mengintrospeksi atau mengkaji diri. Psikologi ini merupakan suatu proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
akal dengan cara melihat ke dalam diri sendiri setelah suatu rangsangan
terjadi. Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut
psikologi perilaku. Tujuan utama dari psikologi perilaku ini adalah
mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu
rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol
perilaku itu. Aliran psikologi yang terakhir adalah psikologi yang
kognifistik dan lazim disebut psikologi kognitif. Psikologi kognitif
mencoba mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah.
Aliran psikologi yang lain diungkapkan oleh Sagala (2010: 117)
bahwa, ada beberapa aliran psikologi misalnya, strukturalisme,
asosiasionisme, fungsionalisme, behaviorisme, psikologi dalam, psikologi
personalistik, dan sebagainya. Semua aliran-aliran ini yang mempengaruhi
cabang-cabang psikologi karena aliran itu terutama bergerak dalam bidang
pemikiran dan pandangan. Adapun cabang-cabang psikologi misalnya
psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi
kepribadian, psikologi industri, psikologi sosial, dan sebagainya. Adanya
cabang-cabang psikologi ini memberi gambaran ini memberi gambaran
bahwa ada perbedaan-perbedaan lapangan yang dipelajari. Cakupan
psikologi itu luas, meliputi hampir semua aspek kepribadian dan tingkah
laku manusia.
Psikologi sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam
segala kegiatannya yang sangat luas. Oleh karena itu, menurut Chaer
(2009: 3) muncullah berbagai cabang psikologi yang diberi nama sesuai
dengan penerapannya. Di antara cabang-cabang ilmu itu adalah psikologi
sosial, psikologi perkembangan (kanak-kanak), psikologi klinik, psikologi
komunikasi, dna psikologi bahasa.
b. Pengertian Psikologi Sastra
Suatu karya sastra pasti tak lepas dari peran penting tokoh utama
dalam cerita.Karakter yang dibawakannya pun akan melekat dalam benak
pembaca. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai unsur kejiwaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
yang terdapat pada tokoh. Sastra juga tak lepas dari ilmu psikologi sebagai
pelengkap dan pendukung kajiannya. Analisis psikologi dalam karya
sastra terutama fiksi dan drama, tampaknya memang tidak terlalu
berlebihan karena baik sastra maupun psikologi sama-sama membicarakan
manusia. Hal yang berbedanya adalah sastra membicarakan manusia yang
diciptakan manusia imajiner oleh pengarang, sedangkan psikologi
membicarakan manusia yang diciptakan Tuhan yang secara riil hidup di
alam nyata. Meskipun sifat-sifat manusia di alam sastra bersifat imajiner,
tetapi di dalam menggambarkan karakter dan jiwanya, pengarang
menjadikan manusia yang hidup di alam nyata sebagai model di dalam
penciptaannya. Hal ini senada dengan pendapat Emzir dan Rohman (2015:
186) bahwa menganalisis tokoh dalam karya sastra dan perwatakannya
seorang pengaji sastra juga harus mendasarkan pada teori dan hukum-
hukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia.
Menurut Semi (1993: 66) prinsip pokok fiksi psikologi adalah eksplorasi
segi-segi pemikiran dan kejiwaan tokoh-tokoh utama cerita, terutama
menyangkut alam pikiran pada tingkat yang lebih dalam, di tingkat alam
bawah sadar.
Dalam psikologi terdapat tiga aliran pemikiran (revolusi yang
memengaruhi pemikiran personologis modern). Pertama, psikoanalisis
yang menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri dan
konflik-konflik struktur kepribadian. Konflik-konflik struktur kepribadian
ialah konflik yang timbul dari pergumulan antar id, ego, dan superego.
Kedua, behaviorisme mencirikan manusia sebagai korban yang fleksibel,
pasif, dan penurut terhadap stimulus lingkungan. Ketiga, psikologi
humanistik, adalah sebuah “gerakan” yang muncul, yang menampilkan
manusia yang berbeda dari gambaran psikoanalisis dan behaviorisme. Di
sini manusia digambarkan sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat
serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi yang
dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan (Koswara dalam
Minderop, 2010: 9).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Menurut Wellek dan Warren (2013: 81) istilah “psikologi sastra”
mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi
pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, studi proses kreatif.
Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya
sastra. Keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi
pembaca).
Psikologi sastra menurut Endraswara (2008: 16) adalah sebuah
interdisiplin antara psikologi dan sastra. Mempelajari psikologi sastra
sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam.
Aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang membuat para
pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya mempelajari
psikologi sastra amat indah, karena kita dapat memahami sisi kedalaman
jiwa manusia, jelas amat luas dan amat dalam (Endraswara, 2008: 14).
Daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan
potret jiwa. Minderop (2010: 59) menyatakan bahwa tanpa psikologi sastra
dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan
timpang.
Endraswara (2008: 7 – 8) menjelaskan bahwa psikologi sastra
dianggap penting karena: pertama, karya sastra merupakan produk dari
suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam
situasi setengah sadar (subconsicious) setelah mendapat bentuk yang jelas
dituangkan ke dalam bentuk tertentui secara sadar (conscious) dalam
penciptaan karya sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam
dua tahap, yaitu tahap pertama dalam meramu gagasan dalam situasi
imajinatif dan abstrak, kemudian dipindahkan ke dalam tahap kedua, yaitu
penulisan karya sastra yang sifatnya konkritisasi apa yang sebelumnya
dalam bentuk abstrak.
Kedua, mutu sebuah karya sastra ditentukan oleh bentuk proses
penciptaan dari tingkat petama, yang berada dalam keadaan sadar. Bisa
jadi bahwa dalam situasi tingkat pertama gagasan itu sangat baik, namun
setelah berada dalam situasi kedua menjadi kacau, sehingga mutu karya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
tersebut akan sangat bergantung pada kemampuan penulis menata dan
mencerna perwatakan dan menyajikannya dengan bahasa yang mudah
dipahami. Jadi, dalam penelitian dan analisis ini ditujukan kepada masalah
proses. Ketiga, di samping membahas proses penciptaan dan kedalaman
segi perwatakan tokoh, perlu pula mendapat perhatian dan penelitian yaitu
makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat di dalam karya sastra (dalam
Minderop, 2010: 15).
Endraswara (2008: 200) juga menyatakan bahwa gagasan Freud
yang banyak dianut oleh beberapa pemerhati psikologi sastra adalah teori
mimpi dan fantasi. Mimpi yang kerap dipandang sebagai kembang tidur,
dalam konsep Freud dianggap lain. Mimpi memliki peranan khusus dalam
studi psikologi sastra.Inti pengmatan Freud terhadap sastra adalah bahwa
sastra lahir dari mimpi dan fantasi. Freud juga percaya bahwa mimpi
mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya, mimpi merupakan
representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan kita sehari-hari
(Eagleton dalam Minderop, 2010: 17).
Psikologi sebagai ilmu yang bertujuan memahami, menjelaskan,
dan meramalkan tingkah laku manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks
budaya yang melingkupi para peneliti dan orang-orang yang ditelitinya.
Keadaan psikologis orang-orang dalam sebuah wilayah budaya merupakan
sistem yang dibagi bersama yang dengan itu orang-orang mengelola
pengalaman, pengetahuan, dan transaksi mereka dengan dunia sosial.
Dengan demikian, menurut Takwin (2007: 32) pemahaman terhadap aspek
psikologis manusia sebagai individu adalah pemahaman terhadap
bagaimana rangkaian cerita itu terbentuk. Lebih khusus lagi bagaimana
makna dari berbagai peristiwa dikonstruksikan oleh individu sebagai
bagian dari kebudayaannya. Dewi (2015: 22) menyatakan bahwa
pendekatan psikologi sastra adalah sebuah pendekatan yang dari dalamnya
dapat kita ketahui watak atau kepribadian yang beragam dari tokoh dalam
karya sastra tersebut, dan pendekatan psikologi sastra ini berorientasi pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
pandangan bahwa sebuah karya sastra selalu membahas kehidupan
manusia yang perilakunya beragam.
c. Langkah-langkah Penerapan Pendekatan Psikologi Sastra terhadap
Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono
Kajian psikologi sastra dimanfaatkan untuk mengungkap nilai-nilai
kejiwaan dalam hal ini nilai kejiwaan tokoh utama yang terdapat dalam
novel SUTI karya Damono. Penelitian psikologi sastra memiliki peranan
penting dalam pemahaman sastra karena adanya beberapa kelebihan
seperti: pertama pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih
mendalam aspek perwatakan. Kedua, dengan pendekatan ini dapat
memberi umpan balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang
dikembangkan. Dan terakhir, penelitian semacam ini sangat membantu
untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah
psikologis (Endraswara, 2008: 12).
Abrams (dalam Minderop, 2010: 61) mengungkapkan bahwa
sebelum dilakukan telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan
karya sastra, terdapat beberapa unsur yang perlu diketahui, yaitu: (a) Kita
perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya; dan (b) Perlu
memahami si pengarang terlepas dari karyanya.
Perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan
kepribadian si pengarang di dalam karya tersebut. Endraswara (2008: 89)
mengemukakan terdapat tiga langkah dalam memahami teori psikologi
sastra, yaitu: (1) melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian
dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra; (2) menentukan sebuah
karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori
psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan; dan (3) secara simultan
menemukan teori-teori dan objek penelitian.
Terkait dengan hubungan antara sastra dan psikologi, Minderop
(2010: 61) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu
diperhatikan, yaitu: (1) suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
kekaryaan, dan kepakaran penciptannya; (2) karya sastra harus memiliki
keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai alat untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang; dan (3) masalah gaya,
struktur dan tema karya sastra harus saling terkait dengan elemen-elemen
yang mencerminkan pikiran dan perasaan individu, tercakup di dalamnya.
d. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Dari berbagai cabang psikologi, maka psikologi-analisis yang lebih
banyak dianut oleh para sastrawan. Menurut Semi (1993: 66 – 67)
psikologi-analisis ini menganut teori adanya dorongan bawah sadar yang
mempengaruhi tingkah laku manusia. Pelopor psikoanalisis ini adalah
Sigmund Freud. Prinsip yang dianut psikologi ini antara lain:
(1) Lapisan kejiwaan yang paling dalam (rendah) adalah lapisan bawah
sadar (libido) atau daya hidup yang berbentuk dorongan seksual dan
perasaan-perasaan lain yang mendorong manusia mencari kesenangan
dan kegairahan;
(2) Pengalaman-pengalaman semasa dalam kandungan dan masa bayi
banyak memberi pengaruh terhadap sikap hidup pada masa dewasa;
(3) Sebuah pikiran, betapa pun kelihatannya tidak berarti, masih tetap
penting bila dihubungkan dengan daerah bawah sadar;
(4) Konflik emosi dan pada dasarnya adalah konflik antara perasaan
bawah sadar dengan keinginan-keinginan yang muncul dari luar;
(5) Emosi itu sendiri bersifat dwirasa: benci dan sayang saling berbaur;
dan
(6) Sebagian konflik emosi bisa diendapkan atau disublimasikan maka ia
akan menjadi konflik emosi di dasar jiwa yang menyerupai neurosis.
Menurut Brenner (dalam Minderop, 2010: 11) psikoanalisis adalah
disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900an oleh Sigmund Freud.
Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental
manusia.Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan
kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini.
Boeree (2006: 35 – 36) menyatakan bahwa Sigmund Freud
membagi kehidupan jiwa menjadi tiga tingkat kesadaran, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
(1) Alam sadar (conscious mind)
Alam sadar adalah apa yang anda sadari pada saat-saat tertentu,
pengindraan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, perasaan yang anda
miliki;
(2) Pra-sadar (available memory)
Pra-sadar yaitu, apa yang kita sebut saat ini dengan “kenangan yang
sudah tersedia”, yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat
dipanggil ke alam sadar, kenangan-kenangan yang walaupun tidak
dapat diingat waktu berpikir, tapi dapat dengan mudah dipanggil lagi;
dan
(3) Alam bawah sadar (unconscious mind)
Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam
sadar, termasuk segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah
sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke
situ karena kita tidak mampu menjangkaunya, seperti kenangan atau
emosi-emosi yang terkait dengan trauma.
Menurut Semi (1993: 67), Freud merumuskan hipotesisnya
berhubungan dengan seluk beluk jiwa manusia, yakni yang tersusun dalam
tiga tingkat, yaitu: (1) id (libido atau dorongan dasar); (2) ego (pertautan
secara sadar antara orang); dan (3) superego (penuntun moral dan aspirasi
seseorang). Id tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat dikawal dan di dalam
tidur sebagian sering menjelma kembali. Ego biasanya bertugas mengawal
dan menekan dorongan id yang kuat, mengubah sifatnya jika menjelma ke
tingkat alam sadar. Superego berfungsi sebagai lapisan atau saringan yang
menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan
seseorang mempunyai sifat malu atau merasa senang terhadap sesuatu
yang baik dan terpuji.
Dalam buku Psikologi Sastra, menurut Freud id merupakan energi
psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar
seperti misalnya kebutuhan: makan, seks menolak rasa sakit atau tidak
nyaman. Menurutnya, id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak
dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan,
yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari
ketidaknyamanan (Minderop, 2010: 21).
Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan
dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Ego berada di antara
alam sadar dan alam bawah sadar. Tugas ego memberi tempat pada fungsi
mental utama, misalnya penalaran, penyelesaian masalah, dan
pengambilan keputusan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena
keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk.
Struktur yang ketiga adalah superego yang mengacu pada
moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan „hati nurani‟
yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Sebagaimana id,
superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergumul dengan
hal-hal realistik.
Psikologi Freud bertitik tolak dari dunia nyata, dunia yang penuh
benda-benda. Di antaranya ada objek yang sangat khusus, yaitu organisme.
Menurut Boeree (2006: 37 – 38), objek tersebut dikatakan khusus karena,
dia bertindak untuk mempertahankan diri dan berkembang-biak, dan untuk
mencapai tujuan ini, dia diarahkan oleh kebutuhannya seperti, rasa lapar,
haus, menghindari rasa sakit, dan seks. Salah satu bagian terpenting dari
suatu organisme adalah sistem saraf yang memiliki karakter sangat peka
terhadap apa yang dibutuhkannya. Sistem syaraf inilah yang disebut
sebagai id.
Penjelasan Boeree (2006: 38 – 39) tentang id, yakni bahwa id
bekerja sejalan dengan prinsip-prinsip kenikmatan, yang bisa dipahami
sebagai dorongan untuk selalu memenuhi kebutuhan dengan serta
merta.Sebagian id berubah menjadi ego. Ego menghubungkan organisme
dengan realitas dunia melalui alam sadar yang dia tempati, dan dia
mencari objek-objek untuk memuaskan keinginan dan nafsu yang
dimunculkan id untuk mempresentasikan apa yang dibutuhkan organisme.
Ketika ego berusaha membuat id (atau organisme) tetap senang, di sisi lain
dia juga mengalami hambatan yang ada di dunia nyata. Seiring dia
mengalami objek yang menghalanginya mencapai tujuan. Ego akan tetap
mencatat apa-apa yang menghalangi dan sekaligus mengingat apa-apa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
yang memuluskan jalannya mencapai tujuan. Catatan tentang segala objek
inilah yang kemudian disebut sebgai superego.
Superego menurut Boeree (2006: 39 – 40) memiliki dua sisi.
Pertama, nurani (conscience) merupakan internalisasi dari hukuman dan
peringatan. Kedua, ego ideal berasal dari pujian dan contoh-contoh positif
yang diberikan kepada anak-anak.
3. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan Karakter
a. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter
Nilai memiliki pengertian yang beragam. Dalam kehidupan sehari-
hari, manusia tidak asing dengan istilah nilai, bahkan sering
menggunakannya, serta dapat merasakan adanya berbagai macam
pengertian nilai. Menurut Hartini (2013: 19) nilai adalah sesuatu yang
menarik, karena dapat memberi daya tarik terhadap manusia. Hal tersebut
sejalan dengan pernyataan Moeleong (dalam Hartini, 2013: 19) bahwa
nilai dapat memberikan kunci pemecahan persoalan nilai dalam ranah
psikologi, serta percaya bahwa persoalan nilai berakar dalam kehidupan
emosional. Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan
keadilan sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya, yaitu
berupa ajaran agung dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Pendidikan menurut Syah (2014: 10) berasal dari kata “didik”, lalu
kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, artinya
memelihara dan memberi latihan. Dalam bahasa Inggris menurut McLeod
(dalam Syah, 2014: 10) pendidikan bersal dari kata education (mendidik)
artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan
mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit
education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk
memeroleh pengetahuan.
Menurut John Dewey (dalam Muslich, 2014: 67), pendidikan
adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan
emosional ke arah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
hal ini agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati,
memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan
cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup
dan kehidupan.
Pendidikan menurut Silberman (dalam Sagala, 2010: 5) tidak sama
dengan pengajaran. Pengajaran hanya menitikberatkan pada usaha
mengembangkan intelektualitas manusia, sedangkan pendidikan berusaha
mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia,
baik dilihat dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pendidikan
mempunyai makna yang lebih luas dari pengajaran, tetapi pengajaran
merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan.
Menurut Simon Philips (dalam Muslich, 2014: 70), karakter adalah
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi
pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu,
Koesoema (2007: 80) menyatakan bahwa karakter sama dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, atau
gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-
bentukan yang diterima lingkungan misalnya keluarga.
Karakter menurut Maksudin (2013: 3) adalah jati diri (daya qalbu)
yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah manusia yang
penampakannya berupa budi pekerti (sikap dan perbuatan lahiriah),
sedangkan menurut Suryanto (dalam Maksudin, 2013: 3) karakter adalah
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk
hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian yang dimaksud dengan
karakter adalah ciri khas setiap individu berkenaan dengan jati dirinya
(daya qalbu), yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah, cara
berpikir, cara berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) hidup seseorang
dan bekerja sama baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa maupun
negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (dalam Listyarti,
2012: 8) adalah perihal menjadi sekolah karakter, di mana sekolah adalah
tempat terbaik untuk menanamkan karakter. Adapun proses pendidikan
karakter itu sendiri didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup
seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan
fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga,
satuan pendidikan, dan masyarakat. Suwija (2015: 139 – 140) menyatakan
bahwa talk about character education in a phenomeneon of life, there is a
study of the moral, ethics, morals traditions, customs, and the trait of good
and bad. There are also assesments require good behavior. Berbicara
tentang pendidikan karakter dalam fenomena kehidupan, terdapat beberapa
topik terkait antara lain pelajaran moral, etnik, moral tradisi, kepercayaan,
dan hal-hal yang berkaitan dengan karakter salah dan benar. Terdapat pula
penilaian-penilaian yang membutuhkan kebiasaan baik. Listyarti (2012: 8)
menyatakan bahwa berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural
pendidikan karakter dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Olah hati, olah pikir, olah rasa/karsa, olahraga.
2) Beriman dan bertaqwa, jujur, amanah, adil, betanggung jawab,
berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela
berkorban, dan berjiwa patriotik.
3) Ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong
royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum,
bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja
keras, beretos kerja.
4) Bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan,
bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, gigih, cerdas,
kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif,
berorientasi IPTEKS (Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni), dan
reflektif.
Karakter dan budaya suatu bangsa harus dipertahankan sehingga
dapat dibedakan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya.
Untuk mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia perlu melakukan
pembangunan karkter yang merupakan upaya perwujudan amanat
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral
knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling), dan
perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan
perilaku dan sikap hidup peserta didik (Rachmah, 2013: 9). Pendidikan
yang hakiki adalah pendidikan yang mengajarkan kemanusiaan yaitu
membentuk pribadi yang unggul dan berkompeten.
Menurut Caralee (2013: 7) Character education often entails a
school embracing a set of values that are taught in regular advisory
sessions or integrated into classroom lessons or both. Supporters say
character education is simply about how people treat each other, and the
ideas are fairly universal. Pendidikan karakter sering kali memerlukan
bantuan sekolah untuk mengajarkan nilai-nilai yang diajarkan dalam
aktivitas sehari0hari atau diintegrasikan ke dalam pengajaran di dalam
kelas. Kebanyakan orang menganggap bahwa pendidikan karakter hanya
tentang bagaimana orang memperlakukan satu sama lain, dan pandangan
ini sangatlah umum. Pendidikan karakter menjadi penting bila kita melihat
jauh ke masa depan generasi bangsa (Nugraheni, 2013: 3).
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter
itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral.
Jadi orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral
(tertentu) positif. Dengan demikian pendidikan adalah membangun
karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola
perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif
atau baik, bukan negatif atau buruk.
b. Macam-macam Nilai Pendidikan Karakter
Dalam penelitian ini, nilai-nilai pendidikan karakter yang akan
digunakan adalah nilai pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2010:
9 – 10), yang mengklasifikasikan pendidikan karakter sebagai berikut :
1) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
2) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,
dan pekerjaan;
3) Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dengan dirinya;
4) Disiplin adalah tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan;
5) Kerja Keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya;
6) Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki;
7) Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada
orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas;
8) Demokratis adalah cara berpikir, bertindak, dan bersikap yang menilai
sama hak dan kewajibandirinya dan orang lain.
9) Rasa Ingin Tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang
dipelajarinya, dilihat, dan didengar;
10) Semangat Kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan
berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan pribadi dan kelompoknya;
11) Cinta Tanah Air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan tertinggi
terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
polituk bangsa;
12) Menghargai Prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong
dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,
dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain;
13) Bersahabat/Komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain;
14) Cinta Damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran
dirinya;
15) Gemar Membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya;
16) Peduli Lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang terjadi;
17) Peduli Sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang mebutuhkan; dan
18) Tanggung Jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.
4. Hakikat Materi Ajar Sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA)
a. Pengertian Materi Ajar
Materi ajar disebut juga sebagai bahan ajar yang digunakan sebagai
bahan/materi pembelajaran di sekolah.bahan atau materi ajar adalah
sesuatu yang dapat memberikan pelajaran serta ilmu yang berguna bagi
siswa. Hal ini juga dikemukakan oleh Ismawati (2013: 35) materi ajar atau
bahan ajar adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disampaikan
dalam proses belajar-mengajar. Bahan ajar dikembangkan berdasarkan
tujuan pembelajaran. Beberapa hal terkait dengan pemilihan materi ajar
menurut Ismawati (2013: 35) di antaranya:
1) Materi harus spesifik, jelas, akurat, mutakhir.
2) Materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual.
Komunikatif.
3) Materi harus mencerminkan kebhinekaan dan kebersamaan,
pengembangan budaya, ipteks, dan pengembangan kecerdasan
berpikir, kehalusan perasaan, kesantunan sosial.
Bahan ajar atau materi kurikulum (curriculum material) menurut
Majid (2007: 174) adalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami
oleh siswa dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Menurut Panen
(dalam Prastowo, 2011: 16), bahan ajar merupakan bahan-bahan atau
materi pelajaran yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan
peserta didik dalam proses pembelajaran.
Bahan ajar menurut Widodo dan Jasmadi (dalam Lestari, 2013: 1)
adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi
pembelajaran, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang
didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan
yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau subkompetensi dengan
segala kompleksitasnya. Bahan ajar atau materi pembelajaran pada
dasarnya adalah “isi” dari kurikulum, yakni berupa mata pelajaran atau
bidang studi dengan topik/subtopik dan rinciannya (Ruhimat, 2011: 152).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Dengan materi ajar, memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu
kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga
secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan
terpadu.
Menurut Lestari (2013: 2) bahan ajar adalah seperangkat materi
pembelajaran yang mengacu pada kurikulum yang digunakan (dalam hal
ini adalah silabus perkuliahan, silabus mata mata pelajaran, dan/atau
silabus mata diklat tergatung pada jenis pendidikan yang diselenggarakan)
dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
ditentukan.
Materi ajar merupakan segala bentuk materi yang digunakan guru
untuk membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Materi ajar
yang baik, yaitu materi yang mampu mencakup segala kompetensi yang
akan dicapai, serta relevan dengan tujuan pembelajaran yang ada. Hal ini
juga disampaikan oleh Winkle (2009: 331 – 332), pemilihan bahan ajar
atau materi pengajaran harus sesuat dengan beberapa kriteria sebagai
berikut: (1) materi atau bahan pelajaran harus relevan terhadap tujuan
instruksional yang harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun jenis perilaku
yang dituntut siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik; (2) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan taraf
kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah
materi itu; (3) materi atau bahan pelajaran harus dapat menunjang motivasi
siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari
siswa, sejauh hal itu masih memungkinkan; (4) materi atau bahan
pelajaran harus membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan
berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan; (5) materi
atau bahan pelajaran harus sesuai dengan prosedur didaktis yang diikuti.
Misalnya, materi pelajaran akan lain bila guru menggunakan bentuk
ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi kelompok; dan
(6) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
yang tersedia misalnya perangkat lunak seperti videocassette dan film
hanya dapat digunakan bila tersedia alat perangkat keras yang sesuai.
b. Pembelajaran Sastra
Membaca karya sastra bagi siswa tentunya dapat memberikan
pengertian baik tentang hidup dan kehidupan para tokoh, serta mampu
memunculkan ide dan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya. Dengan hal
ini pula, siswa diharapkan dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik.
Menurut Waluyo (2011: 32) di dalam pembelajaran sastra di
sekolah memang cukup sulit untuk menyajikan novel atau roman dalam
buku ajar atau disampaikan di kelas. Karena betapa banyaknya materi ajar
berupa novel tersebut. Karena itu, dalam proses pengapresiasian novel
perpustakaan sekolah perlu memiliki novel-novel yang memadai.
Pengajaran sastra yang ideal mensyaratkan adanya guru/dosen sastra yang
dapat dijadikan model, teladan, contoh bagi peserta didiknya dalam hal
yang terkait dengan apresiasi sastra. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Derakhshan dan Shirmohammadli (2015: 103) bahwa:
Teaching is a multidimensional process, and teachers should pay enough
attention to all skills of students such as: reading, writing, listening, and
speaking. These skills are educated by teachers and learnt by students.
(Mengajar merupakan proses multidimensi, dan guru seharusnya
memberikan perhatian yang cukup terhadap semua komponen kemampuan
yang berkaitan dengan siswa seperti: membaca, menulis, mendengarkan,
dan berbicara. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan jenis
kemampuan yang diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa).
Menurut Emzir dan Saifur (2015: 233), pembelajaran sastra tidak
akan mencapai tujuan bila guru tidak memiliki inovasi dan peserta didik
hanya ditugasi untuk menghapal periodisasi sastra, tokoh, karya, istilah-
istilah, dan teori. Pendekatan pembelajaran menurut Sagala (2010: 68)
merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai
tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu.
Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau
tercetak.Tampaknya istilah sastra paling tepat diterapkan pada seni sastra,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Namun, istilah sastra sebagai karya
imajinatif di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai
imaji (citra) (Wellek dan Warren, 2013: 10,12,19). Sastra melalui unsur
imajinasinya mampu membimbing anak didik pada keluasan berpikir,
bertindak, berkarya dan sebagainya. Menurut Schiller (dalam Wibowo,
2013: 20) sastra bisa menjadi semacam permainan menyeimbangkan
segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan
energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seseorang diasah
kreativitas, perasan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga
terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, dan picik.
Pada kondisi bangsa Indonesia yang tengah serius
mengimplementasikan pendidikan karakter, kiranya tepat jika sastra
menjadi salah satu medianya. Hal itu karena salah satu definisi sastra
menurut Wibowo (2013: 128) adalah sastra secara etimologis berarti alat
untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk.
Selain sebagai media edukatif, sastra menurut Aristoteles (dalam Wibowo,
2013: 128) bisa menjadi media katarsis atau pembersih jiwa tidak saja bagi
penulis, tetapi juga pembaca maupun penikmatnya.
Pembelajaran sastra di sekolah khususnya di SMA belumlah
berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, melainkan masuk dalam
pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini mengharuskan guru mata pelajaran
Bahasa Indonesia untuk mampu pula menguasai materi tentang sastra dan
menyampaikan secara apik dan efisien kepada siswa.
c. Pengajaran Sastra di SMA dengan Kurikulum Satuan Pendidikan
(KTSP)
Menurut Ismawati (2013: 1) yang dimaksud dengan pengajaran
sastra adalah pengajaran yang menyangkut seluruh aspek sastra, yang
meliputi: teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra perbandingan, dan
apresiasi sastra. Dari lima aspek pengajaran sastra tersebut, aspek apresiasi
sastra adalah yang paling sulit untuk diajarkan. Ini disebabkan karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
apresiasi sastra menekankan pengajaran pada aspek afektif yang berurutan
dengan rasa, nurani, nilai-nilai, dan seterusnya. Dalam proses belajar
mengajar di sekolah, salah satu komponen terpenting yang harus ada
adalah kurikulum. Kurikulum dijadikan sebagai patokan kegiatan
pembelajaran sehingga dapat berjalan terarah dan memiliki tujuan. Istilah
kurikulum menurut Trianto (2014: 13) berasal dari bahasa Yunani Curir
yang artinya pelari, dan Curere artinya tempat berpacu atau tempat lomba,
dan Curriculum berarti “jarak” yang harus ditempuh. Dalam
perkembangan selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia
pendidikan dan pengajaran sebagai termuat dalam Webster Dictionare
(dalam Trianto, 2014: 13) yang mendefinisikan kurikulum sebagai berikut,
“a course, especially a specified fixed course of study, as in a school or
collage, as one leading to a degree.” (Kurikulum merupakan sejumlah
mata pelajaran di sekolah atau di akademi yang harus ditempuh oleh siswa
untuk mencapai tingkat atau ijazah).Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi
sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat
setempat, dan karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2007: 8).
Menurut Setiyoningsih (2015: 25) sekolah dan komite sekolah,
atau madasrah dan komite madasrah, menngembangkan kurikulum
tingkat satuan pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar
kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas
kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan SD, SMP,
SMA, dan MTK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan
di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.
Pengajaran sastra menurut Dewi (2015: 35) meliputi teori sastra,
apresiasi, dan kritik sastra. Pengajaran sastra di sekolah menengah
biasanya mengenal kritik sastra dalam bentuk resensi karya sastra. Karya
sastra digunakan sebagai bahan ajar di sekolah menengah atas biasanya
berbentuk puisi, cerpen, roman, dan novel. Pengajaran sastra di sekolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
menengah pertama dilakukan dengan berpatokan pada kurikulum yang
berlaku.
Jika dikaitkan dengan pembelajaran sastra, aspek pembahasan
pembelajaran sastra dalam KTSP terdapat pada tingkat SMA kelas XI
semester I dengan standar kompetensi (SK): memahami berbagai hikayat,
novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD) antara
lain: (a) menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat; dan (b)
menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel
terjemahan.
B. Kerangka Berpikir
Penelitian ini difokuskan pada kajian psikologi sastra, nilai-nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam novel, serta relevansinya dengan
pembelajaran sastra di SMA. Aspek pendekatan psikologi sastra dalam penelitian
ini diarahkan pada aspek kejiwaan tokoh utama yang ada dalam novel SUTI karya
Damono tentang bagaimana pergulatan batinnya dalam menghadapi perubahan
hidup yang dialami. Selain itu, dari aspek kejiwaan yang telah dikaji, maka akan
dapat diambil nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam tokoh utama.
Novel SUTI karya Damono di dalamnya terdapat pesan nilai pendidikan
karakter yang disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit kepada pembaca.
Untuk menemukan nilai pendidikan karakter yang ada di dalamnya, pembaca
harus mampu menganalisis nilai yang ingin disampaikan penulis. Nilai pendidikan
karakter tersebut dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di SMA. Kerangka
berpikir dalam penelitian ini lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Gambar 1.1 Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Novel SUTI karya Sapardi Djoko
Damono
Analisis unsur
intrinsik
Analisis aspek kejiwaan
tokoh utama
Analisis Nilai
Pendidikan Karakter
Relevansi novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono
sebagai materi ajar sastra di SMA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
top related