bab ii tinjauan pustaka a. kajian pustaka dan kerangka

31
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir 1. Hakikat Novel Hakikat novel adalah cerita (narration) yang di dalamnya dan pencerita, masalah yang diceritakan, di mana, kapan, dan dalam suasana apa masalah yang diceritakan itu terjadi, siapa saja pelaku ceritanya, dan bagaimana cerita itu disusun. Jadi, di sana ada manusia (tokoh) yang sedang berhadapan dengan sesuatu (tema), pada saat dan tempat tertentu (latar), dan bagaimana rangkaian peristiwa itu terjadi (alur). Itulah sebabnya, novel dianggap paling dekat mewakili kehidupan manusia (Mahayana, 2015: 91). Novel menurut Mufidati, Mujiyanto, dan Anindyarini (2014: 414) merupakan karya kreatif yang menampilkan berbagai macam peristiwa kehidupan yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Menurut Stanton (2012: 90) novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Bagi seorang novelis menurut Setiyoningsih (2015: 6) novel tidak hanya sebagai alat hiburan saja, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi kehidupan dan nilai-nilai moral. a. Pengertian Novel Secara etimologi, kata “novel” berasal dari “novellus” yang berarti baru. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis- jenis karya sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, jenis novel ini muncul kemudian (Tarigan, 1985: 164). Menurut Waluyo (2011: 5), tadinya novel merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah tangga. Kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita kenal seperti saat ini (menggantikan pengertian roman di samping bentuknya yang utama). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

Upload: others

Post on 18-Nov-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka dan Kerangka Berpikir

1. Hakikat Novel

Hakikat novel adalah cerita (narration) yang di dalamnya dan pencerita,

masalah yang diceritakan, di mana, kapan, dan dalam suasana apa masalah

yang diceritakan itu terjadi, siapa saja pelaku ceritanya, dan bagaimana cerita

itu disusun. Jadi, di sana ada manusia (tokoh) yang sedang berhadapan

dengan sesuatu (tema), pada saat dan tempat tertentu (latar), dan bagaimana

rangkaian peristiwa itu terjadi (alur). Itulah sebabnya, novel dianggap paling

dekat mewakili kehidupan manusia (Mahayana, 2015: 91). Novel menurut

Mufidati, Mujiyanto, dan Anindyarini (2014: 414) merupakan karya kreatif

yang menampilkan berbagai macam peristiwa kehidupan yang dituangkan ke

dalam bentuk tulisan. Menurut Stanton (2012: 90) novel mampu

menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit,

hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit karakter, dan berbagai

peristiwa ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetil. Bagi

seorang novelis menurut Setiyoningsih (2015: 6) novel tidak hanya sebagai

alat hiburan saja, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan

meneliti segi kehidupan dan nilai-nilai moral.

a. Pengertian Novel

Secara etimologi, kata “novel” berasal dari “novellus” yang berarti

baru. Jadi, sebenarnya memang novel adalah bentuk karya sastra cerita

fiksi yang paling baru. Dikatakan baru karena dibandingkan dengan jenis-

jenis karya sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain, jenis novel ini

muncul kemudian (Tarigan, 1985: 164). Menurut Waluyo (2011: 5),

tadinya novel merupakan bentuk catatan harian seorang pembantu rumah

tangga. Kemudian berkembang dan menjadi bentuk prosa fiksi yang kita

kenal seperti saat ini (menggantikan pengertian roman di samping

bentuknya yang utama).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

9

Novel menurut Nurgiyantoro merupakan bentuk karya sastra yang

sekaligus disebut fiksi. Bahkan dalam perkembangannya yang kemudian,

novel dianggap bersinonim dengan fiksi (2005: 9). Menurut Abrams

(dalam Nurgiyantoro, 2005: 9) sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah

yang kemudian masuk ke Indonesia yang berasal dari bahasa Itali novella

(yang dalam bahasa Jerman novella). Secara harfiah, novella berarti

„sebuah barang baru yang kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita

pendek dalam bentuk prosa‟.

Istilah novel menurut Prihatmi (dalam Pujiharto, 2012: 8) adalah

“gambaran dari kehidupan dan perilaku yang nyata dari zaman pada saat

novel itu ditulis…”. Menurut Semi (1993: 32) dalam istilah novel tercakup

pengertian roman, sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman

sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman

waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada

umumnya berorientasi ke Negeri Belanda, yang lazim menamakan bentuk

ini dengan roman. Di antara para ahli teori sastra, memang ada yang

membedakan antara novel dengan roman, dengan mengatakan bahwa

novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang

tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas. Istilah roman kemudian

dikatakan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang

biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa dan

meninggal dunia.

Novel mampu menyampaikan permasalahan yang kompleks secara

penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi” (Nurgiyantoro, 2005: 11).

Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro, 2005: 15) menyatakan bahwa

novel bersifat realistis. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif

nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik, atau sejarah. Jadi, novel

berkembang dari dokumen-dokumen, dan secara stilistik menekankan

pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu pada realitas

yang lebih tinggi dan psikologi lebih mendalam. Shipley (dalam Pujiharto,

2012: 8) novel adalah karya fiksional yang mengenalkan tokoh-tokoh

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

10

(tentang yang memiliki nasib yang kita seharusnya buat untuk peduli) di

dalam hubungan yang goyah yang dikomplikasikan lebih jauh hingga

bergerak dari kegoyahan yang direpresentasikan.

Dilihat dari jenisnya, Nurgiyantoro (2005: 18) mengklasifikasikan

novel ke dalam dua bentuk yaitu novel serius dan novel populer. Novel

populer adalah novel yang populer pada masanya dan banyak

penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Ia menampilkan

masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai

pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan

kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan.

Sebab jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan

berubah menjadi novel serius. Oleh karena itu, novel populer pada

umumnya bersifat artifisial, hanya bersifat sementara, cepat ketinggalan

zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Novel

serius di pihak lain justru harus sanggup memberikan yang serba

berkemungkinan, dan itulah sebenarnya makna sastra yang sastra. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa novel adalah suatu cerita rekaan yang

dapat menggambarkan kehidupan manusia dari segala sisi kehidupan.

b. Struktur Novel

1) Unsur Intrinsik

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu

kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel

mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu

dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel

dikatakan sebagai sebuah totalitas, unsur kata, bahasa, misalnya,

merupakan salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur

pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah

yang menyebabkan novel juga sastra pada umumya menjadi berwujud

(Nurgiyantoro, 2005: 22 – 23). Pembagian unsur yang dimaksud

adalah unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

11

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya

sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra

hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan

dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah

novel adalah unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun

cerita (Nurgiyantoro, 2005: 23).

a) Tema

Untuk menentukan makna pokok sebuah novel, kita perlu

memiliki kejelasan pengertian tentang makna pokok, atau tema, itu

sendiri. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah

karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur

semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-

perbedaan (Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro, 2005: 68).

Menurut Waluyo (2011: 7) tema adalah gagasan pokok dalam cerita

fiksi. Tema cerita mungkin dapat diketahui oleh pembaca melalui judul

atau petunjuk setelah judul, namun yang banyak ialah melalui proses

pembacaan karya sastra yang mungkin perlu dilakukan beberapa kali,

karena belum cukup dilakukan dengan sekali baca.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tema adalah arti

cerita; tema adalah arti penyiaran cerita; tema mungkin menjadi arti

penemuan cerita. Dengan demikian Kenney (dalam Pujiharto, 2012:

76) menyimpulkan bahwa tema berarti implikasi yang perlu dari cerita

keseluruhan bukan bagian yang terpisah dari cerita. Tema membuat

cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian

awal dan akhir cerita menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat

keberadaan tema.

Tema menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2005: 25) adalah

suatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai

pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut,

maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu sering tema dapat

disinonimkan dengan ide tujuan utama cerita.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

12

Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu :

(1) tema yang bersifat fisik, (2) tema organik, (3) tema sosial, (4) tema

egoik (reaksi pribadi), (5) tema divine (Ketuhanan). Tema yang

bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan

kebutuhan fisik manusia, misalnya tentang cinta, perjuangan mencari

nafkah, hubungan perdagangan, dan sebagainya. Tema yang bersifat

organik atau moral menyangkut soal hubungan antar manusia,

misalnya penipuan, masalah keluarga, masalah politik, ekonomi, adat,

tatacara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan

masalah kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan

dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang

berlebihan, dan pertentangan individu, sedangkan tema devine

(Ketuhanan) menyangkut renungan yang religius hubungan manusia

dengan Sang Khalik (Waluyo, 2011: 8). Dengan demikian, tema dapat

dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya

novel.

b) Alur atau Plot

Setiap karya fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri atas

peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata

dijajarkan begitu saja, tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu

dengan lainnya. Hal inilah yang biasanya disebut dengan alur

(Pujiharto, 2012: 32)

Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak

sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara

berbagai unsur fiksi yang lain (Nurgiyantoro, 2005: 110). Menurutnya,

kejelasan plot adalah suatu kejelasan cerita, dan kesederhanaan plot

berarti kemudahan cerita untuk dimengerti. Sebaliknya, plot sebuah

karya fiksi yang ruwet, kompleks, dan sulit dikenali hubungan

kausalitas antarperistiwanya, menyebabkan cerita menjadi lebih sulit

dipahami.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

13

Plot menurut Lukman Ali (dalam Waluyo, 2011: 9) merupakan

sambung sinambungnya cerita berdasarkan hubungan sebab akibat dan

menjelaskan mengapa sesuatu terjadi, sedangkan menurut Stanton

(dalam Nurgiyantoro, 2005: 113) plot adalah cerita yang berisi urutan

kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab

akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya

peristiwa yang lain. Seorang ahli lain yaitu Kenny, menyatakan bahwa

plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang

tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-

peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat (dalam Nurgiyantoro,

2005: 113).

Peristiwa-peristiwa cerita (dan atau plot) dimanifestasikan

lewat perbuatan, tingkah laku, dan sikap tokoh-tokoh (utama) cerita.

Bahkan, pada umumnya peristiwa yang ditampilkan dalam cerita tak

lain dari perbuatan dan tingkah laku para tokoh, baik bersifat verbal

maupun fisik, baik yang bersifat fisik maupun batin. Plot merupakan

cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para tokoh

dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi

berbagai masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 2005: 114). Menurut Scott

(dalam Waluyo, 2011: 9) plot merupakan prinsip esensial dalam cerita.

Ia menyatakan plot sebagai external action.

Menurut Semi (1993: 44) pada umunya alur cerita rekaan

terdiri dari: (1) alur buka, yaitu situasi mulai terbentang sebagai suatu

kondisi permulaan yang akan dilanjutkan dengan kondisi berikutnya;

(2) alur tengah, yaitu kondisi mulai bergerak ke arah kondisi yang

mulai memuncak; (3) alur puncak, yaitu kondisi mencapai titik puncak

sebagai klimaks peristiwa; dan (4) alur tutup, yaitu kondisi memuncak

sebelumnya mulai menampakkan pemecahan atau penyelesaian.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

14

c) Tokoh dan Penokohan

Istilah „tokoh‟ biasa dipergunakan untuk menunjuk pada pelaku

cerita. Tokoh merujuk pada individu-individu yang muncul di dalam

cerita. Namun, kata character yang dalam bahasa Indonesia

diterjemahkan menjadi kata „tokoh‟ dengan pengertian seperti terurai

di atas, juga memiliki arti „watak, karakter, sifat.‟ (Pujiharto, 2012: 43

– 44). Tokoh cerita menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165)

adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau

drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan

apa yang dilakukan dalam tindakan.

Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam

berbagai literatur bahasa Inggris menyaran pada dua pengertian yang

berbeda, yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan

sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang

dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2005:

165). Menurut Nurgiyantoro, istilah “penokohan” lebih luas

pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus

mencakup penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga

sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh

cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai

pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan

kepada pembaca (2005: 166 – 167).

Seperti telah diuraikan di atas, kata „tokoh‟ memiliki arti yang

berbeda dengan „watak‟. Namun, karena keduanya saling berkaitan

antara yang satu dengan lainnya, pembahasan terhadap keduanya

disatukan. Bertolak dari argumen tersebut, pembahasan tentang

penokohan juga tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang

perwatakan. Penokohan adalah cara pengarang dalam melukiskan

tokoh, sedangkan perwatakan adalah cara pengarang dalam

menggambarkan watak dan kepribadian tokoh (Pujiharto, 2012: 44).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

15

d) Latar atau Setting

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,

menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan

sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams

dalam Nurgiyantoro, 2005: 216). Nurgiyantoro (2005: 217)

menjelaskan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan

jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada

pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada

dan terjadi.

Menurut Stanton (2012: 35) latar adalah lingkungan yang

melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi

dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dalam

karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau

sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata

cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat

yang bersangkutan. Latar sebuah fiksi kadang-kadang menawarkan

berbagai kemungkinan yang justru dapat lebih menjangkau di luar

makna cerita itu sendiri (Nurgiyantoro, 2005: 220).

Latar adalah elemen fiksi yang menyatakan pada pembaca di

mana dan kapan terjadinya peristiwa (Pujiharto, 2012: 47). Bila

dijabarkan secara lebih detail, menurut Kenney (dalam Pujiharto,

2012: 48) latar bisa mengacu pada (1) lokasi geografis yang

sesungguhnya, termasuk topografi, pemandangan, bahkan detail-detail

interior ruang; (2) pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari; (3)

waktu terjadinya tindakan atau peristiwa, termasuk periode historis,

musim, tahun, dan sebagainya; dan (4) lingkungan religius, moral,

intelektual, sosial, dan emosional tokoh-tokohnya.

Setting menurut Waluyo (2011: 23) adalah tempat kejadian

cerita. Tempat kejadian cerita dapat berkaitan dengan aspek fisik,

aspek sosiologis, dan aspek psikis. Namun, setting juga dapat dikaitkan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

16

dengan tempat dan waktu. Fungsi setting menurut Waluyo (2011: 23)

adalah untuk: (1) mempertegas watak pelaku; (2) memberikan tekanan

pada tema cerita; (3) memperjelas tema yang disampaikan; (4)

metafora bagi situasi psikis pelaku; (5) sebagai pemberi atmosfir; dan

(6) memperkuat posisi plot.

e) Sudut Pandang Pengarang (Point of View)

Point of view menurut Waluyo (2011: 25) dinyatakan sebagai

sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang digunakan oleh pengarang

untuk berperan dalam cerita itu. Hal ini diperkuat dengan pendapat

Pujiharto (2012: 66) bahwa dalam menentukan posisinya itu,

pengarang harus memilihnya dengan hati-hati agar cerita yang

diutarakannya menimbulkan efek yang tepat. Pengarang dapat

menyampaikan ceritanya dari sisi dalam atau dari sisi luar. Pertama

cerita disampaikan oleh salah satu tokoh di dalam cerita, sedangkan

yang kedua cerita disampaikan oleh orang ketiga.

Sudut pandang dalam karya fiksi mempersoalkan tentang siapa

yang menceritakan, atau dari posisi mana (siapa) peristiwa dan

tindakan itu dilihat. Stevick menjelaskan bahwa sudut pandang

mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca. Pembaca

membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita (dalam

Nurgiyantoro, 2005: 251).

Sudut pandang menurut Lubbock (dalam Nurgiyantoro, 2005:

251) merupakan sarana terjadinya koherensi dan kejelasan penyajian

cerita. Bahkan oleh Schorer (dalam Nurgiyantoro 2005: 251), sudut

pandang tak hanya dianggap cara pembatasan dramatik saja,

melainkan secara lebih khusus sebagai penyajian definisi tematik.

Menurut Shipley (dalam Waluyo 2011: 25) ada dua jenis point

of view, yaitu internal point of view dan external point of view. Internal

point of view ada empat macam, yaitu: (1) tokoh yang bercerita; (2)

pencerita menjadi salah seorang pelaku; (3) sudut pandang akuan; dan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

17

(4) pencerita sebagai tokoh sampinngan dan bukan tokoh hero.

Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua jenis, yaitu: (1)

gaya diaan; dan (2) penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya.

f) Amanat

Pengertian amanat menurut Dewi (2015: 20) berbeda dengan

tema, untuk membedakan amanat dan tema dapat dinyatakan bahwa

tema bersifat sangat objektif, lugas, dan khusus, sedangkan amanat

bersifat subjektif, kias, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda

menafsirkan makna karya itu bagi dirinya dan semuanya cenderung

dibenarkan. Amanat terdapat pada sebuah karya sastra secara implisit

ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu

disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita dan

eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan

seruan, saran, peringatan, nasehat, anjuran, larangan, dan sebagainya.

(Sudjiman, 1988: 57 – 58).

2) Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya

sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau

sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat

dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita

sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di

dalamnya (Nurgiyantoro, 2005: 23).

2. Hakikat Pendekatan Psikologi Sastra

a. Pengertian Psikologi

Gerungan menjelaskan arti psikologi, yaitu berasal dari kata psyche

yang dalam bahasa Yunani berarti “jiwa” dan kata logos yang dapat

diterjemahkan dengan kata „ilmu”. Dengan demikian, istilah ilmu jiwa

merupakan terjemahan harfiah dari istilah psikologi (2004: 1). Ilmu jiwa

merupakan istilah dalam bahasa Indonesia sehari-hari dan dipahami setiap

orang sehingga kita pun menggunakannya dalam arti yang luas karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

18

masyarakat telah memahaminya. Arti kata psikologi sendiri merupakan

suatu istilah ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sehingga kita

menggunakannya untuk merujuk kepada pengetahuan ilmu jiwa yang

bercorak ilmiah tertentu.

Menurut Syah (2014: 7), psikologi yang dalam istilah lama disebut

ilmu jiwa itu berasal dari kata bahasa Inggris psychology. Kata psychology

merupakan dua akar kata yang bersumber dari bahasa Greek (Yunani),

yaitu: 1) psyche yang berarti jiwa; 2) logos yang berarti ilmu.Jad secara

harfiah psikologi memang berarti ilmu jiwa. Definisi psikologi menurut

Chaplin (dalam Syah, 2014: 9) dalam Dictionary of Psychology yaitu:

…the science of human and animal behavior, the study of the

organism in all its variety and complexity as it responds to the flux and

flow of the physical and social events which make up the environment.

(Psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai perilaku manusia dan hewan,

juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan

kerumitannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan

peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan).

Menurut Rohmah, psikologi bukan hanya diartikan sebagai ilmu

yang mempelajari sesuatu yang abstrak/tidak bisa dilihat, melainkan

psikologi adalah ilmu yang ingin mempelajari manusia sebagai satu

kesatuan antara jasmani dan rohani (2012: 1). Menurut Knight dan Knight

(dalam Khodijah, 2014: 3) psikologi dapat didefinisikan sebagai studi

sistematis tentang pengalaman dan perilaku manusia dan hewan, normal,

dan abnormal, individu dan sosial. Dalam definisi ini dijelaskan bahwa

perilaku yang dipelajari tidak hanya dibatasi pada perilaku manusia,

melainkan juga meliputi perilaku hewan.

Dalam perkembangannya, menurut Chaer (2009: 2 – 3) psikologi

telah terbagi menjadi beberapa aliran sesuai dengan paham filsafat yang

dianut. Karena itulah dikenal adanya psikologi yang mentalistik,

behavioristik, dan kognifistik. Psikologi yang mentalistik melahirkan

aliran yang disebut psikologi kesadaran. Tujuan dari psikologi kesadaran

ini adalah mencoba mengkaji proses-proses akal manusia dengan cara

mengintrospeksi atau mengkaji diri. Psikologi ini merupakan suatu proses

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

19

akal dengan cara melihat ke dalam diri sendiri setelah suatu rangsangan

terjadi. Psikologi yang behavioristik melahirkan aliran yang disebut

psikologi perilaku. Tujuan utama dari psikologi perilaku ini adalah

mencoba mengkaji perilaku manusia yang berupa reaksi apabila suatu

rangsangan terjadi, dan selanjutnya bagaimana mengawasi dan mengontrol

perilaku itu. Aliran psikologi yang terakhir adalah psikologi yang

kognifistik dan lazim disebut psikologi kognitif. Psikologi kognitif

mencoba mengkaji proses-proses kognitif manusia secara ilmiah.

Aliran psikologi yang lain diungkapkan oleh Sagala (2010: 117)

bahwa, ada beberapa aliran psikologi misalnya, strukturalisme,

asosiasionisme, fungsionalisme, behaviorisme, psikologi dalam, psikologi

personalistik, dan sebagainya. Semua aliran-aliran ini yang mempengaruhi

cabang-cabang psikologi karena aliran itu terutama bergerak dalam bidang

pemikiran dan pandangan. Adapun cabang-cabang psikologi misalnya

psikologi umum, psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi

kepribadian, psikologi industri, psikologi sosial, dan sebagainya. Adanya

cabang-cabang psikologi ini memberi gambaran ini memberi gambaran

bahwa ada perbedaan-perbedaan lapangan yang dipelajari. Cakupan

psikologi itu luas, meliputi hampir semua aspek kepribadian dan tingkah

laku manusia.

Psikologi sangat berkaitan erat dengan kehidupan manusia dalam

segala kegiatannya yang sangat luas. Oleh karena itu, menurut Chaer

(2009: 3) muncullah berbagai cabang psikologi yang diberi nama sesuai

dengan penerapannya. Di antara cabang-cabang ilmu itu adalah psikologi

sosial, psikologi perkembangan (kanak-kanak), psikologi klinik, psikologi

komunikasi, dna psikologi bahasa.

b. Pengertian Psikologi Sastra

Suatu karya sastra pasti tak lepas dari peran penting tokoh utama

dalam cerita.Karakter yang dibawakannya pun akan melekat dalam benak

pembaca. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai unsur kejiwaan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

20

yang terdapat pada tokoh. Sastra juga tak lepas dari ilmu psikologi sebagai

pelengkap dan pendukung kajiannya. Analisis psikologi dalam karya

sastra terutama fiksi dan drama, tampaknya memang tidak terlalu

berlebihan karena baik sastra maupun psikologi sama-sama membicarakan

manusia. Hal yang berbedanya adalah sastra membicarakan manusia yang

diciptakan manusia imajiner oleh pengarang, sedangkan psikologi

membicarakan manusia yang diciptakan Tuhan yang secara riil hidup di

alam nyata. Meskipun sifat-sifat manusia di alam sastra bersifat imajiner,

tetapi di dalam menggambarkan karakter dan jiwanya, pengarang

menjadikan manusia yang hidup di alam nyata sebagai model di dalam

penciptaannya. Hal ini senada dengan pendapat Emzir dan Rohman (2015:

186) bahwa menganalisis tokoh dalam karya sastra dan perwatakannya

seorang pengaji sastra juga harus mendasarkan pada teori dan hukum-

hukum psikologi yang menjelaskan perilaku dan karakter manusia.

Menurut Semi (1993: 66) prinsip pokok fiksi psikologi adalah eksplorasi

segi-segi pemikiran dan kejiwaan tokoh-tokoh utama cerita, terutama

menyangkut alam pikiran pada tingkat yang lebih dalam, di tingkat alam

bawah sadar.

Dalam psikologi terdapat tiga aliran pemikiran (revolusi yang

memengaruhi pemikiran personologis modern). Pertama, psikoanalisis

yang menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri dan

konflik-konflik struktur kepribadian. Konflik-konflik struktur kepribadian

ialah konflik yang timbul dari pergumulan antar id, ego, dan superego.

Kedua, behaviorisme mencirikan manusia sebagai korban yang fleksibel,

pasif, dan penurut terhadap stimulus lingkungan. Ketiga, psikologi

humanistik, adalah sebuah “gerakan” yang muncul, yang menampilkan

manusia yang berbeda dari gambaran psikoanalisis dan behaviorisme. Di

sini manusia digambarkan sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat

serta selalu bergerak ke arah pengungkapan segenap potensi yang

dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan (Koswara dalam

Minderop, 2010: 9).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

21

Menurut Wellek dan Warren (2013: 81) istilah “psikologi sastra”

mempunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi

pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Kedua, studi proses kreatif.

Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya

sastra. Keempat, mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi

pembaca).

Psikologi sastra menurut Endraswara (2008: 16) adalah sebuah

interdisiplin antara psikologi dan sastra. Mempelajari psikologi sastra

sebenarnya sama halnya dengan mempelajari manusia dari sisi dalam.

Aspek „dalam‟ ini acap kali bersifat subjektif, yang membuat para

pemerhati sastra menganggapnya berat. Sesungguhnya mempelajari

psikologi sastra amat indah, karena kita dapat memahami sisi kedalaman

jiwa manusia, jelas amat luas dan amat dalam (Endraswara, 2008: 14).

Daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan

potret jiwa. Minderop (2010: 59) menyatakan bahwa tanpa psikologi sastra

dengan berbagai acuan kejiwaan, kemungkinan pemahaman sastra akan

timpang.

Endraswara (2008: 7 – 8) menjelaskan bahwa psikologi sastra

dianggap penting karena: pertama, karya sastra merupakan produk dari

suatu keadaan kejiwaan dan pemikiran pengarang yang berada dalam

situasi setengah sadar (subconsicious) setelah mendapat bentuk yang jelas

dituangkan ke dalam bentuk tertentui secara sadar (conscious) dalam

penciptaan karya sastra. Jadi, proses penciptaan karya sastra terjadi dalam

dua tahap, yaitu tahap pertama dalam meramu gagasan dalam situasi

imajinatif dan abstrak, kemudian dipindahkan ke dalam tahap kedua, yaitu

penulisan karya sastra yang sifatnya konkritisasi apa yang sebelumnya

dalam bentuk abstrak.

Kedua, mutu sebuah karya sastra ditentukan oleh bentuk proses

penciptaan dari tingkat petama, yang berada dalam keadaan sadar. Bisa

jadi bahwa dalam situasi tingkat pertama gagasan itu sangat baik, namun

setelah berada dalam situasi kedua menjadi kacau, sehingga mutu karya

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

22

tersebut akan sangat bergantung pada kemampuan penulis menata dan

mencerna perwatakan dan menyajikannya dengan bahasa yang mudah

dipahami. Jadi, dalam penelitian dan analisis ini ditujukan kepada masalah

proses. Ketiga, di samping membahas proses penciptaan dan kedalaman

segi perwatakan tokoh, perlu pula mendapat perhatian dan penelitian yaitu

makna, pemikiran, dan falsafah yang terlihat di dalam karya sastra (dalam

Minderop, 2010: 15).

Endraswara (2008: 200) juga menyatakan bahwa gagasan Freud

yang banyak dianut oleh beberapa pemerhati psikologi sastra adalah teori

mimpi dan fantasi. Mimpi yang kerap dipandang sebagai kembang tidur,

dalam konsep Freud dianggap lain. Mimpi memliki peranan khusus dalam

studi psikologi sastra.Inti pengmatan Freud terhadap sastra adalah bahwa

sastra lahir dari mimpi dan fantasi. Freud juga percaya bahwa mimpi

mempengaruhi perilaku seseorang. Menurutnya, mimpi merupakan

representasi dari konflik dan ketegangan dalam kehidupan kita sehari-hari

(Eagleton dalam Minderop, 2010: 17).

Psikologi sebagai ilmu yang bertujuan memahami, menjelaskan,

dan meramalkan tingkah laku manusia tidak dapat dilepaskan dari konteks

budaya yang melingkupi para peneliti dan orang-orang yang ditelitinya.

Keadaan psikologis orang-orang dalam sebuah wilayah budaya merupakan

sistem yang dibagi bersama yang dengan itu orang-orang mengelola

pengalaman, pengetahuan, dan transaksi mereka dengan dunia sosial.

Dengan demikian, menurut Takwin (2007: 32) pemahaman terhadap aspek

psikologis manusia sebagai individu adalah pemahaman terhadap

bagaimana rangkaian cerita itu terbentuk. Lebih khusus lagi bagaimana

makna dari berbagai peristiwa dikonstruksikan oleh individu sebagai

bagian dari kebudayaannya. Dewi (2015: 22) menyatakan bahwa

pendekatan psikologi sastra adalah sebuah pendekatan yang dari dalamnya

dapat kita ketahui watak atau kepribadian yang beragam dari tokoh dalam

karya sastra tersebut, dan pendekatan psikologi sastra ini berorientasi pada

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

23

pandangan bahwa sebuah karya sastra selalu membahas kehidupan

manusia yang perilakunya beragam.

c. Langkah-langkah Penerapan Pendekatan Psikologi Sastra terhadap

Novel SUTI Karya Sapardi Djoko Damono

Kajian psikologi sastra dimanfaatkan untuk mengungkap nilai-nilai

kejiwaan dalam hal ini nilai kejiwaan tokoh utama yang terdapat dalam

novel SUTI karya Damono. Penelitian psikologi sastra memiliki peranan

penting dalam pemahaman sastra karena adanya beberapa kelebihan

seperti: pertama pentingnya psikologi sastra untuk mengkaji lebih

mendalam aspek perwatakan. Kedua, dengan pendekatan ini dapat

memberi umpan balik kepada peneliti tentang masalah perwatakan yang

dikembangkan. Dan terakhir, penelitian semacam ini sangat membantu

untuk menganalisis karya sastra yang kental dengan masalah-masalah

psikologis (Endraswara, 2008: 12).

Abrams (dalam Minderop, 2010: 61) mengungkapkan bahwa

sebelum dilakukan telaah bagaimana hubungan antara kepribadian dan

karya sastra, terdapat beberapa unsur yang perlu diketahui, yaitu: (a) Kita

perlu mengamati si pengarang untuk menjelaskan karyanya; dan (b) Perlu

memahami si pengarang terlepas dari karyanya.

Perlu membaca suatu karya sastra untuk menemukan cerminan

kepribadian si pengarang di dalam karya tersebut. Endraswara (2008: 89)

mengemukakan terdapat tiga langkah dalam memahami teori psikologi

sastra, yaitu: (1) melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian

dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra; (2) menentukan sebuah

karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori

psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan; dan (3) secara simultan

menemukan teori-teori dan objek penelitian.

Terkait dengan hubungan antara sastra dan psikologi, Minderop

(2010: 61) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang perlu

diperhatikan, yaitu: (1) suatu karya sastra harus merefleksikan kekuatan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

24

kekaryaan, dan kepakaran penciptannya; (2) karya sastra harus memiliki

keistimewaan dalam hal gaya dan masalah bahasa sebagai alat untuk

mengungkapkan pikiran dan perasaan pengarang; dan (3) masalah gaya,

struktur dan tema karya sastra harus saling terkait dengan elemen-elemen

yang mencerminkan pikiran dan perasaan individu, tercakup di dalamnya.

d. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud

Dari berbagai cabang psikologi, maka psikologi-analisis yang lebih

banyak dianut oleh para sastrawan. Menurut Semi (1993: 66 – 67)

psikologi-analisis ini menganut teori adanya dorongan bawah sadar yang

mempengaruhi tingkah laku manusia. Pelopor psikoanalisis ini adalah

Sigmund Freud. Prinsip yang dianut psikologi ini antara lain:

(1) Lapisan kejiwaan yang paling dalam (rendah) adalah lapisan bawah

sadar (libido) atau daya hidup yang berbentuk dorongan seksual dan

perasaan-perasaan lain yang mendorong manusia mencari kesenangan

dan kegairahan;

(2) Pengalaman-pengalaman semasa dalam kandungan dan masa bayi

banyak memberi pengaruh terhadap sikap hidup pada masa dewasa;

(3) Sebuah pikiran, betapa pun kelihatannya tidak berarti, masih tetap

penting bila dihubungkan dengan daerah bawah sadar;

(4) Konflik emosi dan pada dasarnya adalah konflik antara perasaan

bawah sadar dengan keinginan-keinginan yang muncul dari luar;

(5) Emosi itu sendiri bersifat dwirasa: benci dan sayang saling berbaur;

dan

(6) Sebagian konflik emosi bisa diendapkan atau disublimasikan maka ia

akan menjadi konflik emosi di dasar jiwa yang menyerupai neurosis.

Menurut Brenner (dalam Minderop, 2010: 11) psikoanalisis adalah

disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900an oleh Sigmund Freud.

Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental

manusia.Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan

kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini.

Boeree (2006: 35 – 36) menyatakan bahwa Sigmund Freud

membagi kehidupan jiwa menjadi tiga tingkat kesadaran, yaitu:

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

25

(1) Alam sadar (conscious mind)

Alam sadar adalah apa yang anda sadari pada saat-saat tertentu,

pengindraan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, perasaan yang anda

miliki;

(2) Pra-sadar (available memory)

Pra-sadar yaitu, apa yang kita sebut saat ini dengan “kenangan yang

sudah tersedia”, yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dapat

dipanggil ke alam sadar, kenangan-kenangan yang walaupun tidak

dapat diingat waktu berpikir, tapi dapat dengan mudah dipanggil lagi;

dan

(3) Alam bawah sadar (unconscious mind)

Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam

sadar, termasuk segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah

sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke

situ karena kita tidak mampu menjangkaunya, seperti kenangan atau

emosi-emosi yang terkait dengan trauma.

Menurut Semi (1993: 67), Freud merumuskan hipotesisnya

berhubungan dengan seluk beluk jiwa manusia, yakni yang tersusun dalam

tiga tingkat, yaitu: (1) id (libido atau dorongan dasar); (2) ego (pertautan

secara sadar antara orang); dan (3) superego (penuntun moral dan aspirasi

seseorang). Id tidak dapat dimusnahkan, hanya dapat dikawal dan di dalam

tidur sebagian sering menjelma kembali. Ego biasanya bertugas mengawal

dan menekan dorongan id yang kuat, mengubah sifatnya jika menjelma ke

tingkat alam sadar. Superego berfungsi sebagai lapisan atau saringan yang

menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan

seseorang mempunyai sifat malu atau merasa senang terhadap sesuatu

yang baik dan terpuji.

Dalam buku Psikologi Sastra, menurut Freud id merupakan energi

psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar

seperti misalnya kebutuhan: makan, seks menolak rasa sakit atau tidak

nyaman. Menurutnya, id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak

dengan realitas. Cara kerja id berhubungan dengan prinsip kesenangan,

yakni selalu mencari kenikmatan dan selalu menghindari

ketidaknyamanan (Minderop, 2010: 21).

Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan

dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

26

kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. Ego berada di antara

alam sadar dan alam bawah sadar. Tugas ego memberi tempat pada fungsi

mental utama, misalnya penalaran, penyelesaian masalah, dan

pengambilan keputusan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena

keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk.

Struktur yang ketiga adalah superego yang mengacu pada

moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan „hati nurani‟

yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience). Sebagaimana id,

superego tidak mempertimbangkan realitas karena tidak bergumul dengan

hal-hal realistik.

Psikologi Freud bertitik tolak dari dunia nyata, dunia yang penuh

benda-benda. Di antaranya ada objek yang sangat khusus, yaitu organisme.

Menurut Boeree (2006: 37 – 38), objek tersebut dikatakan khusus karena,

dia bertindak untuk mempertahankan diri dan berkembang-biak, dan untuk

mencapai tujuan ini, dia diarahkan oleh kebutuhannya seperti, rasa lapar,

haus, menghindari rasa sakit, dan seks. Salah satu bagian terpenting dari

suatu organisme adalah sistem saraf yang memiliki karakter sangat peka

terhadap apa yang dibutuhkannya. Sistem syaraf inilah yang disebut

sebagai id.

Penjelasan Boeree (2006: 38 – 39) tentang id, yakni bahwa id

bekerja sejalan dengan prinsip-prinsip kenikmatan, yang bisa dipahami

sebagai dorongan untuk selalu memenuhi kebutuhan dengan serta

merta.Sebagian id berubah menjadi ego. Ego menghubungkan organisme

dengan realitas dunia melalui alam sadar yang dia tempati, dan dia

mencari objek-objek untuk memuaskan keinginan dan nafsu yang

dimunculkan id untuk mempresentasikan apa yang dibutuhkan organisme.

Ketika ego berusaha membuat id (atau organisme) tetap senang, di sisi lain

dia juga mengalami hambatan yang ada di dunia nyata. Seiring dia

mengalami objek yang menghalanginya mencapai tujuan. Ego akan tetap

mencatat apa-apa yang menghalangi dan sekaligus mengingat apa-apa

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

27

yang memuluskan jalannya mencapai tujuan. Catatan tentang segala objek

inilah yang kemudian disebut sebgai superego.

Superego menurut Boeree (2006: 39 – 40) memiliki dua sisi.

Pertama, nurani (conscience) merupakan internalisasi dari hukuman dan

peringatan. Kedua, ego ideal berasal dari pujian dan contoh-contoh positif

yang diberikan kepada anak-anak.

3. Hakikat Nilai-nilai Pendidikan Karakter

a. Pengertian Nilai Pendidikan Karakter

Nilai memiliki pengertian yang beragam. Dalam kehidupan sehari-

hari, manusia tidak asing dengan istilah nilai, bahkan sering

menggunakannya, serta dapat merasakan adanya berbagai macam

pengertian nilai. Menurut Hartini (2013: 19) nilai adalah sesuatu yang

menarik, karena dapat memberi daya tarik terhadap manusia. Hal tersebut

sejalan dengan pernyataan Moeleong (dalam Hartini, 2013: 19) bahwa

nilai dapat memberikan kunci pemecahan persoalan nilai dalam ranah

psikologi, serta percaya bahwa persoalan nilai berakar dalam kehidupan

emosional. Nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan kebenaran dan

keadilan sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya, yaitu

berupa ajaran agung dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Pendidikan menurut Syah (2014: 10) berasal dari kata “didik”, lalu

kata ini mendapat awalan me sehingga menjadi “mendidik”, artinya

memelihara dan memberi latihan. Dalam bahasa Inggris menurut McLeod

(dalam Syah, 2014: 10) pendidikan bersal dari kata education (mendidik)

artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan

mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam pengertian yang sempit

education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk

memeroleh pengetahuan.

Menurut John Dewey (dalam Muslich, 2014: 67), pendidikan

adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan

emosional ke arah alam dan sesama manusia. Tujuan pendidikan dalam

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

28

hal ini agar generasi muda sebagai penerus generasi tua dapat menghayati,

memahami, mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan

cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan

keterampilan yang melatarbelakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup

dan kehidupan.

Pendidikan menurut Silberman (dalam Sagala, 2010: 5) tidak sama

dengan pengajaran. Pengajaran hanya menitikberatkan pada usaha

mengembangkan intelektualitas manusia, sedangkan pendidikan berusaha

mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan kemampuan manusia,

baik dilihat dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pendidikan

mempunyai makna yang lebih luas dari pengajaran, tetapi pengajaran

merupakan sarana yang ampuh dalam menyelenggarakan pendidikan.

Menurut Simon Philips (dalam Muslich, 2014: 70), karakter adalah

kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi

pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu,

Koesoema (2007: 80) menyatakan bahwa karakter sama dengan

kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, atau

gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-

bentukan yang diterima lingkungan misalnya keluarga.

Karakter menurut Maksudin (2013: 3) adalah jati diri (daya qalbu)

yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah manusia yang

penampakannya berupa budi pekerti (sikap dan perbuatan lahiriah),

sedangkan menurut Suryanto (dalam Maksudin, 2013: 3) karakter adalah

cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk

hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga,

masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian yang dimaksud dengan

karakter adalah ciri khas setiap individu berkenaan dengan jati dirinya

(daya qalbu), yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah, cara

berpikir, cara berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) hidup seseorang

dan bekerja sama baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa maupun

negara.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

29

Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (dalam Listyarti,

2012: 8) adalah perihal menjadi sekolah karakter, di mana sekolah adalah

tempat terbaik untuk menanamkan karakter. Adapun proses pendidikan

karakter itu sendiri didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup

seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan

fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga,

satuan pendidikan, dan masyarakat. Suwija (2015: 139 – 140) menyatakan

bahwa talk about character education in a phenomeneon of life, there is a

study of the moral, ethics, morals traditions, customs, and the trait of good

and bad. There are also assesments require good behavior. Berbicara

tentang pendidikan karakter dalam fenomena kehidupan, terdapat beberapa

topik terkait antara lain pelajaran moral, etnik, moral tradisi, kepercayaan,

dan hal-hal yang berkaitan dengan karakter salah dan benar. Terdapat pula

penilaian-penilaian yang membutuhkan kebiasaan baik. Listyarti (2012: 8)

menyatakan bahwa berdasarkan totalitas psikologis dan sosiokultural

pendidikan karakter dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Olah hati, olah pikir, olah rasa/karsa, olahraga.

2) Beriman dan bertaqwa, jujur, amanah, adil, betanggung jawab,

berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela

berkorban, dan berjiwa patriotik.

3) Ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong

royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum,

bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja

keras, beretos kerja.

4) Bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan,

bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, gigih, cerdas,

kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif,

berorientasi IPTEKS (Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni), dan

reflektif.

Karakter dan budaya suatu bangsa harus dipertahankan sehingga

dapat dibedakan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lainnya.

Untuk mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia perlu melakukan

pembangunan karkter yang merupakan upaya perwujudan amanat

Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, pendidikan

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

30

karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral

knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling), dan

perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan

perilaku dan sikap hidup peserta didik (Rachmah, 2013: 9). Pendidikan

yang hakiki adalah pendidikan yang mengajarkan kemanusiaan yaitu

membentuk pribadi yang unggul dan berkompeten.

Menurut Caralee (2013: 7) Character education often entails a

school embracing a set of values that are taught in regular advisory

sessions or integrated into classroom lessons or both. Supporters say

character education is simply about how people treat each other, and the

ideas are fairly universal. Pendidikan karakter sering kali memerlukan

bantuan sekolah untuk mengajarkan nilai-nilai yang diajarkan dalam

aktivitas sehari0hari atau diintegrasikan ke dalam pengajaran di dalam

kelas. Kebanyakan orang menganggap bahwa pendidikan karakter hanya

tentang bagaimana orang memperlakukan satu sama lain, dan pandangan

ini sangatlah umum. Pendidikan karakter menjadi penting bila kita melihat

jauh ke masa depan generasi bangsa (Nugraheni, 2013: 3).

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter

itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral.

Jadi orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral

(tertentu) positif. Dengan demikian pendidikan adalah membangun

karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola

perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif

atau baik, bukan negatif atau buruk.

b. Macam-macam Nilai Pendidikan Karakter

Dalam penelitian ini, nilai-nilai pendidikan karakter yang akan

digunakan adalah nilai pendidikan karakter menurut Kemendiknas (2010:

9 – 10), yang mengklasifikasikan pendidikan karakter sebagai berikut :

1) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan

ajaran agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah

agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain;

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

31

2) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya

sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan,

dan pekerjaan;

3) Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan

agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang

berbeda dengan dirinya;

4) Disiplin adalah tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh

pada berbagai ketentuan dan peraturan;

5) Kerja Keras adalah perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-

sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta

menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya;

6) Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan

cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki;

7) Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada

orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas;

8) Demokratis adalah cara berpikir, bertindak, dan bersikap yang menilai

sama hak dan kewajibandirinya dan orang lain.

9) Rasa Ingin Tahu adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk

mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang

dipelajarinya, dilihat, dan didengar;

10) Semangat Kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak, dan

berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di

atas kepentingan pribadi dan kelompoknya;

11) Cinta Tanah Air adalah cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang

menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan tertinggi

terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan

polituk bangsa;

12) Menghargai Prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong

dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,

dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain;

13) Bersahabat/Komunikatif adalah tindakan yang memperlihatkan rasa

senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain;

14) Cinta Damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang

menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran

dirinya;

15) Gemar Membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk

membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya;

16) Peduli Lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya

mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan

mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam

yang terjadi;

17) Peduli Sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi

bantuan pada orang lain dan masyarakat yang mebutuhkan; dan

18) Tanggung Jawab adalah sikap dan perilaku seseorang untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

32

terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan

budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

4. Hakikat Materi Ajar Sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA)

a. Pengertian Materi Ajar

Materi ajar disebut juga sebagai bahan ajar yang digunakan sebagai

bahan/materi pembelajaran di sekolah.bahan atau materi ajar adalah

sesuatu yang dapat memberikan pelajaran serta ilmu yang berguna bagi

siswa. Hal ini juga dikemukakan oleh Ismawati (2013: 35) materi ajar atau

bahan ajar adalah sesuatu yang mengandung pesan yang akan disampaikan

dalam proses belajar-mengajar. Bahan ajar dikembangkan berdasarkan

tujuan pembelajaran. Beberapa hal terkait dengan pemilihan materi ajar

menurut Ismawati (2013: 35) di antaranya:

1) Materi harus spesifik, jelas, akurat, mutakhir.

2) Materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual.

Komunikatif.

3) Materi harus mencerminkan kebhinekaan dan kebersamaan,

pengembangan budaya, ipteks, dan pengembangan kecerdasan

berpikir, kehalusan perasaan, kesantunan sosial.

Bahan ajar atau materi kurikulum (curriculum material) menurut

Majid (2007: 174) adalah isi atau muatan kurikulum yang harus dipahami

oleh siswa dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Menurut Panen

(dalam Prastowo, 2011: 16), bahan ajar merupakan bahan-bahan atau

materi pelajaran yang disusun secara sistematis, yang digunakan guru dan

peserta didik dalam proses pembelajaran.

Bahan ajar menurut Widodo dan Jasmadi (dalam Lestari, 2013: 1)

adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi

pembelajaran, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang

didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan

yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau subkompetensi dengan

segala kompleksitasnya. Bahan ajar atau materi pembelajaran pada

dasarnya adalah “isi” dari kurikulum, yakni berupa mata pelajaran atau

bidang studi dengan topik/subtopik dan rinciannya (Ruhimat, 2011: 152).

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

33

Dengan materi ajar, memungkinkan siswa dapat mempelajari suatu

kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga

secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan

terpadu.

Menurut Lestari (2013: 2) bahan ajar adalah seperangkat materi

pembelajaran yang mengacu pada kurikulum yang digunakan (dalam hal

ini adalah silabus perkuliahan, silabus mata mata pelajaran, dan/atau

silabus mata diklat tergatung pada jenis pendidikan yang diselenggarakan)

dalam rangka mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar yang

ditentukan.

Materi ajar merupakan segala bentuk materi yang digunakan guru

untuk membantu melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Materi ajar

yang baik, yaitu materi yang mampu mencakup segala kompetensi yang

akan dicapai, serta relevan dengan tujuan pembelajaran yang ada. Hal ini

juga disampaikan oleh Winkle (2009: 331 – 332), pemilihan bahan ajar

atau materi pengajaran harus sesuat dengan beberapa kriteria sebagai

berikut: (1) materi atau bahan pelajaran harus relevan terhadap tujuan

instruksional yang harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun jenis perilaku

yang dituntut siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan

psikomotorik; (2) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan taraf

kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah

materi itu; (3) materi atau bahan pelajaran harus dapat menunjang motivasi

siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari

siswa, sejauh hal itu masih memungkinkan; (4) materi atau bahan

pelajaran harus membantu untuk melibatkan diri secara aktif, baik dengan

berpikir sendiri maupun dengan melakukan berbagai kegiatan; (5) materi

atau bahan pelajaran harus sesuai dengan prosedur didaktis yang diikuti.

Misalnya, materi pelajaran akan lain bila guru menggunakan bentuk

ceramah, dibandingkan dengan pelajaran bentuk diskusi kelompok; dan

(6) materi atau bahan pelajaran harus sesuai dengan media pengajaran

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

34

yang tersedia misalnya perangkat lunak seperti videocassette dan film

hanya dapat digunakan bila tersedia alat perangkat keras yang sesuai.

b. Pembelajaran Sastra

Membaca karya sastra bagi siswa tentunya dapat memberikan

pengertian baik tentang hidup dan kehidupan para tokoh, serta mampu

memunculkan ide dan nilai-nilai yang terkadung di dalamnya. Dengan hal

ini pula, siswa diharapkan dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik.

Menurut Waluyo (2011: 32) di dalam pembelajaran sastra di

sekolah memang cukup sulit untuk menyajikan novel atau roman dalam

buku ajar atau disampaikan di kelas. Karena betapa banyaknya materi ajar

berupa novel tersebut. Karena itu, dalam proses pengapresiasian novel

perpustakaan sekolah perlu memiliki novel-novel yang memadai.

Pengajaran sastra yang ideal mensyaratkan adanya guru/dosen sastra yang

dapat dijadikan model, teladan, contoh bagi peserta didiknya dalam hal

yang terkait dengan apresiasi sastra. Hal ini juga sesuai dengan pendapat

Derakhshan dan Shirmohammadli (2015: 103) bahwa:

Teaching is a multidimensional process, and teachers should pay enough

attention to all skills of students such as: reading, writing, listening, and

speaking. These skills are educated by teachers and learnt by students.

(Mengajar merupakan proses multidimensi, dan guru seharusnya

memberikan perhatian yang cukup terhadap semua komponen kemampuan

yang berkaitan dengan siswa seperti: membaca, menulis, mendengarkan,

dan berbicara. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan jenis

kemampuan yang diajarkan oleh guru dan dipelajari oleh siswa).

Menurut Emzir dan Saifur (2015: 233), pembelajaran sastra tidak

akan mencapai tujuan bila guru tidak memiliki inovasi dan peserta didik

hanya ditugasi untuk menghapal periodisasi sastra, tokoh, karya, istilah-

istilah, dan teori. Pendekatan pembelajaran menurut Sagala (2010: 68)

merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa dalam mencapai

tujuan instruksional untuk suatu satuan instruksional tertentu.

Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau

tercetak.Tampaknya istilah sastra paling tepat diterapkan pada seni sastra,

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

35

yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Namun, istilah sastra sebagai karya

imajinatif di sini tidak berarti bahwa setiap karya sastra harus memakai

imaji (citra) (Wellek dan Warren, 2013: 10,12,19). Sastra melalui unsur

imajinasinya mampu membimbing anak didik pada keluasan berpikir,

bertindak, berkarya dan sebagainya. Menurut Schiller (dalam Wibowo,

2013: 20) sastra bisa menjadi semacam permainan menyeimbangkan

segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan

energi yang harus disalurkan. Dengan kesusastraan, seseorang diasah

kreativitas, perasan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaannya, sehingga

terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, dan picik.

Pada kondisi bangsa Indonesia yang tengah serius

mengimplementasikan pendidikan karakter, kiranya tepat jika sastra

menjadi salah satu medianya. Hal itu karena salah satu definisi sastra

menurut Wibowo (2013: 128) adalah sastra secara etimologis berarti alat

untuk mendidik, alat untuk mengajar, dan alat untuk memberi petunjuk.

Selain sebagai media edukatif, sastra menurut Aristoteles (dalam Wibowo,

2013: 128) bisa menjadi media katarsis atau pembersih jiwa tidak saja bagi

penulis, tetapi juga pembaca maupun penikmatnya.

Pembelajaran sastra di sekolah khususnya di SMA belumlah

berdiri sendiri sebagai sebuah mata pelajaran, melainkan masuk dalam

pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini mengharuskan guru mata pelajaran

Bahasa Indonesia untuk mampu pula menguasai materi tentang sastra dan

menyampaikan secara apik dan efisien kepada siswa.

c. Pengajaran Sastra di SMA dengan Kurikulum Satuan Pendidikan

(KTSP)

Menurut Ismawati (2013: 1) yang dimaksud dengan pengajaran

sastra adalah pengajaran yang menyangkut seluruh aspek sastra, yang

meliputi: teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, sastra perbandingan, dan

apresiasi sastra. Dari lima aspek pengajaran sastra tersebut, aspek apresiasi

sastra adalah yang paling sulit untuk diajarkan. Ini disebabkan karena

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

36

apresiasi sastra menekankan pengajaran pada aspek afektif yang berurutan

dengan rasa, nurani, nilai-nilai, dan seterusnya. Dalam proses belajar

mengajar di sekolah, salah satu komponen terpenting yang harus ada

adalah kurikulum. Kurikulum dijadikan sebagai patokan kegiatan

pembelajaran sehingga dapat berjalan terarah dan memiliki tujuan. Istilah

kurikulum menurut Trianto (2014: 13) berasal dari bahasa Yunani Curir

yang artinya pelari, dan Curere artinya tempat berpacu atau tempat lomba,

dan Curriculum berarti “jarak” yang harus ditempuh. Dalam

perkembangan selanjutnya istilah kurikulum digunakan dalam dunia

pendidikan dan pengajaran sebagai termuat dalam Webster Dictionare

(dalam Trianto, 2014: 13) yang mendefinisikan kurikulum sebagai berikut,

“a course, especially a specified fixed course of study, as in a school or

collage, as one leading to a degree.” (Kurikulum merupakan sejumlah

mata pelajaran di sekolah atau di akademi yang harus ditempuh oleh siswa

untuk mencapai tingkat atau ijazah).Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi

sekolah/daerah, karakteristik sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat

setempat, dan karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2007: 8).

Menurut Setiyoningsih (2015: 25) sekolah dan komite sekolah,

atau madasrah dan komite madasrah, menngembangkan kurikulum

tingkat satuan pendidikan dan silabus berdasarkan kerangka dasar

kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas

kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan SD, SMP,

SMA, dan MTK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan

di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.

Pengajaran sastra menurut Dewi (2015: 35) meliputi teori sastra,

apresiasi, dan kritik sastra. Pengajaran sastra di sekolah menengah

biasanya mengenal kritik sastra dalam bentuk resensi karya sastra. Karya

sastra digunakan sebagai bahan ajar di sekolah menengah atas biasanya

berbentuk puisi, cerpen, roman, dan novel. Pengajaran sastra di sekolah

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

37

menengah pertama dilakukan dengan berpatokan pada kurikulum yang

berlaku.

Jika dikaitkan dengan pembelajaran sastra, aspek pembahasan

pembelajaran sastra dalam KTSP terdapat pada tingkat SMA kelas XI

semester I dengan standar kompetensi (SK): memahami berbagai hikayat,

novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar (KD) antara

lain: (a) menemukan unsur intrinsik dan ekstrinsik hikayat; dan (b)

menganalisis unsur-unsur instrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/novel

terjemahan.

B. Kerangka Berpikir

Penelitian ini difokuskan pada kajian psikologi sastra, nilai-nilai

pendidikan karakter yang terdapat dalam novel, serta relevansinya dengan

pembelajaran sastra di SMA. Aspek pendekatan psikologi sastra dalam penelitian

ini diarahkan pada aspek kejiwaan tokoh utama yang ada dalam novel SUTI karya

Damono tentang bagaimana pergulatan batinnya dalam menghadapi perubahan

hidup yang dialami. Selain itu, dari aspek kejiwaan yang telah dikaji, maka akan

dapat diambil nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam tokoh utama.

Novel SUTI karya Damono di dalamnya terdapat pesan nilai pendidikan

karakter yang disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit kepada pembaca.

Untuk menemukan nilai pendidikan karakter yang ada di dalamnya, pembaca

harus mampu menganalisis nilai yang ingin disampaikan penulis. Nilai pendidikan

karakter tersebut dapat dijadikan bahan pembelajaran sastra di SMA. Kerangka

berpikir dalam penelitian ini lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka dan Kerangka

38

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Novel SUTI karya Sapardi Djoko

Damono

Analisis unsur

intrinsik

Analisis aspek kejiwaan

tokoh utama

Analisis Nilai

Pendidikan Karakter

Relevansi novel SUTI karya Sapardi Djoko Damono

sebagai materi ajar sastra di SMA

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user