bab ii tinjauan pustaka 2.1 landasan teori 2.1.1 teori ......29 bab ii tinjauan pustaka 2.1 landasan...
Post on 16-Mar-2021
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
29
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Kesejahteraan
Kegiatan ekonomi yang tidak terlepas dari pasar pada dasarnya
mementingkan keuntungan pelaku ekonomi dari pasar tersebut. Sehingga sangat
sulit menemukan ekonomi yang mensejahterakan jika dilihat dari mekanisme
pasar yang ada, namun kesejahteraan merupakan salah satu aspek yang cukup
penting untuk menjaga dan membina terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi,
kondisi tersebut juga diperlukan untuk meminimalkan terjadinya kecemburuan
sosial dalam masyarakat.
Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang saling
berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk pada individu atau kelompok, sedangkan
tingkat kesejahteraan mengacu pada komunitas atau masyarakat luas. Tingkat
kesejahteraan meliputi pangan, pendidikan, kesehatan, kadang juga dikaitkan
dengan kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan
dan sebagainya. Kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks
karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antar dimensi dan ada dimensi yang
direpresentasikan. Perumusan tentang batasan antara substansi kesejahteraan dan
representasi kesejahteraan ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang
dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh
dinamika pada tingkat global.
30
A. Kesejahteraan Sosial dan Ekonomi
Teori kesejahteraan secara umum dapat diklasifikasi menjadi tiga macam,
yakni classical utilitarian, neoclassical welfare theory dan new contractarian
approach (Albert dan Hahnel, 2005). Pendekatan classical utilitarian
menekankan bahwa kesenangan atau kepuasan seseorang dapat diukur dan
bertambah. Prinsip bagi individu adalah meningkatkan sebanyak mungkin tingkat
kesejahteraannya, sedangkan bagi masyarakat peningkatan kesejahteraan
kelompoknya merupakan prinsip yang dipegang dalam kehidupannya. Pendekatan
neoclassical welfare theory menjelaskan bahwa fungsi kesejahteraan merupakan
fungsi dari semua kepuasan individu. Perkembangan lainnya dalam teori
kesejahteraan sosial adalah munculnya new contractarian approach yang
mengangkat adanya kebebasan maksimum dalam hidup individu atau seseorang.
Hal yang paling ditekankan dalam pendekatan new contractarian approach ini
adalah individu akan memaksimalkan kebebasannya untuk mengejar konsep
mereka tentang barang dan jasa tanpa adanya campur tangan.
B. Indikator Kesejahteraan
Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitasnya memiliki banyak
indikator keberhasilan yang dapat diukur. Indikator kesejahteraan suatu daerah
diukur melalui tingkat kemiskinan, angka buta huruf, angka melek huruf, emisi
gas CO2, perusakan alam dan lingkungan, polusi air dan tingkat produk domestik
bruto (PDB) (Thomas, 2005). Kesejahteraan suatu wilayah juga ditentukan dari
ketersediaan sumber daya yang meliputi sumber daya manusia (H), sumber daya
fisik (K) dan sumber daya lain (R). Ketiga sumber daya tersebut berinteraksi
31
dalam proses pembangunan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Pendapatan orang kaya (golongan menengah ke atas) akan digunakan
untuk dibelanjakan pada barang mewah, emas, perhiasan, rumah yang mahal.
Golongan menengah ke bawah yang memiliki karakteristik miskin, kesehatan,
gizi dan pendidikan yang rendah, peningkatan pendapatan dapat meningkatkan
dan memperbaiki kesejahteraan mereka (Todaro, 2003).
C. Fungsi Kesejahteraan
Teori kesejahteraan ini dispesifikan dan disederhanakan menjadi fungsi
produksi kesejahteraan W (walfare) dengan persamaan berikut:
W = W (Y, I, P) .............................................................................. (2.1)
Keterangan:
Y = pendapatan perkapita
I = ketimpangan
P = Kemiskinan absolut
Berkaitan dengan fungsi persamaan di atas, diasumsikan bahwa
kesejahteraan sosial berhubungan positif dengan pendapatan per kapita, namun
berhubungan negatif dengan kemiskinan absolut dan tingkat ketimpangan. Teori
ekonomi kesejahteraan mempelajari berbagai kondisi di mana cara penyelesaian
dari model equilibrium umum dapat dikatakan optimal. Hal ini memerlukan,
antara lain alokasi optimal faktor produksi di antara konsumen (Salvatore, 1997).
Berdasarkan pada beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa
tingkat kesejahteraan seseorang dapat terkait dengan tingkat kepuasan (utility) dan
kesenangan (pleasure) yang dapat diraih dalam kehidupannya guna mencapai
32
tingkat kesejahteraan yang diinginkannya. Maka dibutuhkan suatu prilaku yang
dapat memaksimalkan tingkat kepuasan sesuai dengan sumberdaya yang tersedia.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat memberi pengertian
sejahtera yaitu suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Kebutuhan dasar tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan,
kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti
lingkungan yang bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan
partisipasi serta terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa (www.menkokesra.go.id diakses tanggal 05 Januari 2016).
Terdapat berbagai perkembangan pengukuran tingkat kesejahteraan dari
sisi fisik, seperti Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia),
Physical Quality Life Index (Indeks Mutu Hidup), Basic Needs (Kebutuhan
Dasar), dan GNP/Kapita (Pendapatan Perkapita). Ukuran kesejahteraan ekonomi
inipun bisa dilihat dari dua sisi, yaitu konsumsi dan produksi (skala usaha). Dari
sisi konsumsi maka kesejahteraan bisa diukur dengan cara menghitung seberapa
besar pengeluaran yang dilakukan seseorang atau sebuah keluarga untuk
kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan lainnya dalam waktu atau
periode tertentu.
Ukuran tingkat kesejahteraan manusia selalu mengalami perubahan. Pada
1950-an, sejahtera diukur dari aspek fisik, seperti gizi, tinggi dan berat badan,
harapan hidup, serta income. Pada 1980-an, ada perubahan di mana sejahtera
diukur dari income, tenaga kerja, dan hak-hak sipil. Pada 1990-an, Mahbub Ul-
Haq, sarjana keturunan Pakistan, merumuskan ukuran kesejahteraan dengan yang
33
disebut Human Development Index (HDI). Dengan HDI, kesejahteraan tidak lagi
ditekankan pada aspek kualitas ekonomi-material saja, tetapi juga pada aspek
kualitas sosial suatu masyarakat.
Kesejahteraan hidup seseorang dalam realitanya, memiliki banyak
indikator keberhasilan yang dapat diukur. Dalam hal ini Thomas dkk. (2005),
menyampaikan bahwa kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat di
representasikan dari tingkat hidup masyarakat yang ditandai oleh terentaskannya
kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, dan peningkatan produktivitas masyarakat. Kesemuanya itu
merupakan cerminan dari peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan
menengah ke bawah.
Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan
Sosial, disebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan
bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya
secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya,
masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial
sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.
Konsep kesejahteraan menurut Nasikun (1996), dapat dirumuskan sebagai
padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat
indikator, yaitu (1) rasa aman; (2) kesejahteraan; (3) kebebasan; dan (4) jati diri.
34
Biro Pusat Statistik Indonesia (BPS,2000), menerangkan bahwa guna melihat
tingkat kesejahteraan rumah tangga suatu wilayah ada beberapa indikator yang
dapat dijadikan ukuruan, antara lain (1) tingkat pendapatan keluarga; (2)
komposisi pengeluaran rumah tangga dengan membandingkan pengeluaran untuk
pangan dengan non-pangan; (3) tingkat pendidikan keluarga; (4) tingkat kesehatan
keluarga; dan (5) kondisi perumahan serta fasilitas yang dimiliki dalam rumah
tangga.
Menurut Kolle dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari
beberapa aspek kehidupan, antara lain (1) dengan melihat kualitas hidup dari segi
materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagaianya; (2) dengan melihat
kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan
sebagainya; (3) dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas
pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya; dan (4) dengan melihat kualitas
hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan
sebagainya.
Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-
pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu
dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan
relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan
kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya secara
selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Definisi-definisi di atas
mengandung pengertian bahwa kesejahteraan sosial mencakup berbagai usaha
35
yang dikembangkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, baik itu di bidang
fisik, mental, emosional, sosial, ekonomi, dan spiritual.
Pemahaman mengenai realitas tingkat kesejahteraan, pada dasarnya
terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tingkat
kesejahteraan, antara lain (1) sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, (2)
struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah
tangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan dan
insfrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan
(4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran
pada skala lokal, regional dan global (Taslim, 2004).
Selama 20 tahun terakhir, kajian tentang kesejahteraan masyarakat telah
berkembang, tidak saja sebatas ukuran nominal, tetapi diperluas ke bidang kajian
non ekonomi, sehingga konsep pengukuran kesejahteraan telah dipolakan sebagai
the quality of life (Wesgate, 1996; Kamya, 2000). The quality of life dinyatakan
memiliki dimensi religious well-being (Tsung, 2002). Spiritual well-being
dinyatakan memiliki komponen yang berkaitan dengan dimensi kesehatan
masyarakat, kondisi fisik dan sosial, serta faktor intelektualitas (Ellison dan
Smith, 1991; Chandler et al., 1992; Kamya, 2000).
Definisi dari spiritual well-being juga diuraikan sebagai prilaku yang serba
religius, memahami dengan baik tujuan dan hakekat hidup, menyelaraskan diri
untuk mencapai kebahagiaan dan pandangan bahwa hidup adalah kompleksitas
36
dari banyak tujuan (Adams et al., 2000). Gambar 2.1 menyajikan kerangka
hubungan kesejahteraan dengan komponen ekonomi dan non ekonomi.
Kesejahteraan
(life of satisfaction)
Pendapatan
Nominal
Spiritual
Well-being
Sense of
Material well-being
Community well-being
Emotional well-being
Healthy and safety
Gambar 2.1
Pengukuran Life of Satisfaction
Sumber: Kamya (2000), Tsung (2002), dan Kim et al. (2013)
Tsung et al. (2002) menyatakan bahwa dimensi existential well-being
adalah berkaitan dengan life satisfaction dan tingkat kesehatan mental dan
psikologis. Dengan demikian, berbeda dengan konsep pengukuran kesejahteraan
secara nominal, maka pendekatan kesejahteraan sebagaimana dikembangkan
sejumlah peneliti Ellison dan Smith (1991), Chandler et al. (1992), Wesgate
(1996), Kamya (2000), Tsung et al. (2002), pada garis besarnya memberikan
panduan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat secara lebih holistik
dengan memasukkan komponen non ekonomi sebagai pola pengukuran
37
kesejahteraan, karena manusia pada dasarnya adalah makluk yang dinamis dan
kompleks (Adams, 2000; Tsung, 2002).
2.1.2 Kebijakan Pemerintah
Pembangunan merupakan proses mewujudkan masyarakat makmur
sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran,
yaitu meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan.
Pendapatan meningkat sebagai hasil produksi yang semakin meningkat pula.
Proses ini akan terlaksana jika asumsi-asumsi pembangunan yang ada dapat
terpenuhi (Wrihatnolo dan Dwidjowinoto, 2007). Asumsi-asumsi tersebut di
antaranya, kesempatan kerja atau partisipasi termanfaatkan secara penuh (full
employment), setiap orang memiliki kemampuan sama (equal productivity), dan
masing-masing pelaku bertindak rasional (efficient). Pada kenyataannya, asumsi-
asumsi tersebut sulit untuk dipenuhi sehingga pembangunan memerlukan
intervensi pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang akan mendorong
terciptanya kondisi yang lebih baik.
Pemerintah merupakan suatu gejala yang berlangsung dalam kehidupan
bermasyarakat yaitu hubungan antara manusia dengan setiap kelompok termasuk
dalam keluarga. Masyarakat sebagai suatu gabungan dari sistem sosial, akan
senantiasa tersangkut dengan unsur-unsur pemenuhan kebutuhan dasar manusia
seperti keselamatan, istirahat, pakaian dan makanan. Dalam memenuhi kebutuhan
dasar itu, manusia perlu bekerja sama dan berkelompok dengan orang lain; dan
bagi kebutuhan sekunder maka diperlukan bahasa untuk berkomunikasi menurut
38
makna yang disepakati bersama, dan institusi sosial yang berlaku sebagai kontrol
dalam aktivitas dan mengembangkan masyarakat.
Kebutuhan sekunder tersebut adalah kebutuhan untuk bekerjasama,
menyelesaikan konflik, dan interaksi antar sesama warga masyarakat. Dengan
timbulnya kebutuhan dasar dan sekunder tersebut maka terbentuk pula institusi
sosial yang dapat memberi pedoman melakukan kontrol dan mempersatukan
(integrasi) anggota masyarakat (Malinowski dalam Garna, 1996). Untuk
membentuk institusi-institusi tersebut, masyarakat membuat kesepakatan atau
perjanjian di antara mereka, yang menurut Rosseau (terjemahan Sumardjo, 1986),
adalah konflik kontrak sosial (social contract). Adanya kontrak sosial tersebut
selanjutnya melahirkan kekuasan dan institusi pemerintahan.
Lahirnya pemerintahan pada awalnya adalah untuk menjaga suatu sistem
ketertiban di dalam masyasrakat, sehingga masyarakat tersebut bisa menjalankan
kehidupan secara wajar. Seiring dengan perkembangan masyarakat modern yang
ditandai dengan meningkatnya kebutuhan, peran pemerintah kemudian berubah
menjadi melayani masyarakat. Pemerintah modern, dengan kata lain pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan
untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan kemampuan dan
kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Al Rasyid, 2000).
Osborne dan Gaebler (Al Rasyid, 2000) bahkan menyatakan bahwa
pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya dan karena itulah
tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. Lahirnya
39
pemerintahan memberikan pemahaman bahwa kehadiran suatu pemerintahan
merupakan manifestasi dari kehendak masyarakat yang bertujuan untuk berbuat
baik bagi kepentingan masyarakat, bahkan Van Poelje (dalam Hamdi, 1999)
menegaskan bahwa, pemerintahan dapat dipandang sebagai suatu ilmu yaitu yang
mengajarkan bagaimana cara terbaik dalam mengarahkan dan memimpin
pelayanan umum.
Definisi ini menggambarkan bahwa pemerintahan sebagai suatu ilmu
mencakup 2 (dua) unsur utama, yaitu pertama, masalah bagaimana sebaiknya
pelayanan umum dikelola, jadi termasuk seluruh permasalahan pelayanan umum,
dilihat dan dimengerti dari sudut kemanusiaan; kedua, masalah bagaimana
sebaiknya memimpin pelayanan umum, jadi tidak hanya mencakup masalah
pendekatan yaitu bagaimana sebaiknya mendekati masyarakat oleh para pengurus,
dengan pendekatan terbaik, masalah hubungan antara birokrasi dengan
masyarakat, masalah keterbukaan juga keterbukaan yang aktif dalam hubungan
masyarakat, permasalahan psikologi sosial dan sebagainya. Uraian tersebut
menjelaskan juga bahwa suatu pemerintahan karena adanya suatu komitmen
bersama yang terjadi antara pemerintah dengan rakyatnya sebagai pihak yang
diperintah dalam suatu posisi dan peran, yang mana komitmen tersebut hanya
dapat dipegang apabila rakyat dapat merasa bahwa pemerintah itu memang
diperlukan untuk melindungi, memberdayakan dan mensejahterakan rakyat.
Ndraha (2000) mengatakan bahwa pemerintah memegang pertanggung-
jawaban atas kepentingan rakyat. Lebih lanjut Ndraha juga mengatakan bahwa
pemerintah adalah semua beban yang memproduksi, mendistribusikan, atau
40
menjual alat pemenuhan kebutuhan masyarakat berbentuk jasa publik dan
layanan sipil.
Sejalan dengan itu, Kaufman (dalam Thoha, 1995) menyebutkan bahwa
tugas pemerintahan adalah untuk melayani dan mengatur masyarakat. Kemudian
dijelaskan lebih lanjut bahwa tugas pelayanan lebih menekankan upaya
mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik dan memberikan
kepuasan kepada publik, sedangkan tugas mengatur lebih menekankan kekuasaan
power yang melekat pada posisi jabatan birokrasi.
Pendapat lain dikemukakan oleh Al Rasyid (2000) yang menyebutkan
secara umum tugas-tugas pokok pemerintahan mencakup: Pertama, menjamin
keamanan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar, dan menjaga agar
tidak terjadi pemberontakan dari dalam yang dapat menggulingkan pemerintahan
yang sah melalui cara-cara kekerasan. Kedua, memelihara ketertiban dengan
mencegah terjadinya gontok-gontokan di antara warga masyarakat, menjamin agar
perubahan apapun yang terjadi di dalam masyarakat dapat berlangsung secara
damai. Ketiga, menjamin diterapkannya perlakuan yang adil kepada setiap warga
masyarakat tanpa membedakan status apapun yang melatarbelakangi keberadaan
mereka. Keempat, melakukan pekerjaan umum dan memberikan pelayanan dalam
bidang-bidang yang tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga non pemerintahan,
atau yang akan lebih baik jika dikerjakan oleh pemerintah. Kelima, melakukan
upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial: membantu orang miskin
dan memelihara orang cacat, jompo dan anak terlantar: menampung serta
menyalurkan para gelandangan ke sektor kegiatan yang produktif, dan
41
semacamnya. Keenam, menerapkan kebijakan ekonomi yang menguntungkan
masyarakat luas, seperti mengendalikan laju inflasi, mendorong penciptaan
lapangan kerja baru, memajukan perdagangan domestik dan antar bangsa, serta
kebijakan lain yang secara langsung menjamin peningkatan ketahanan ekonomi
negara dan masyarakat. Ketujuh, menerapkan kebijakan untuk memelihara
sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti air, tanah dan hutan.
Lebih lanjut di bagian lain Al Rasyid (2000) menyatakan bahwa tugas-
tugas pokok tersebut dapat diringkas menjadi 3 (tiga) fungsi hakiki, yaitu
pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan
(development). Pelayanan akan membuahkan keadilan dalam masyarakat,
pemberdayaan akan mendorong kemandirian masyarakat, dan pembangunan akan
menciptakan kemakmuran dalam masyarakat. Oleh Ndraha (2000) fungsi
pemerintahan tersebut kemudian diringkas menjadi 2 (dua) macam fungsi, yaitu:
Pertama, pemerintah mempunyai fungsi primer atau fungsi pelayanan (service),
sebagai provider jasa publik yang baik diprivatisasikan dan layanan civil termasuk
layanan birokrasi. Kedua, pemerintah mempunyai fungsi sekunder atau fungsi
pemberdayaan (empowerment), sebagai penyelenggara pembangunan dan
melakukan program pemberdayaan. Dengan begitu luas dan kompleksnya tugas
dan fungsi pemerintahan, menyebabkan pemerintah harus memikul tanggung
jawab yang sangat besar. Untuk mengemban tugas yang berat itu, selain
diperlukan sumber daya, dukungan lingkungan, dibutuhkan institusi yang kuat
yang didukung oleh aparat yang memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku di dalam masyarakat dan pemerintahan. Langkah ini perlu
42
dilakukan oleh pemerintah, mengingat dimasa mendatang perubahan-perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat akan semakin menambah pengetahuan
masyarakat untuk mencermati segala aktivitas pemerintahan dalam hubungannya
dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang tidak melibatkan peran
pemeritah dalam sistem perekonomiannya. Tidak juga di negara yang menganut
sistem kapitalis yang menghendaki peran swasta lebih dominan dalam mengelola
perekonomiannya. Karena tidak ada satupun negara kapitalis di dunia ini yang
menganut sistem kapitalis murni. Menurut Adam Smith, ahli ekonomi kapitalis,
mengemukakan teorinya bahwa dalam perekonomian segala sesuatunya akan
berjalan sendiri-sendiri menyesuaikan diri menuju kepada keseimbangan menurut
mekanisme pasar. Tarik-menarik kekuatan dalam sistem perekonomian itu seperti
dikendalikan oleh “the invisible hand”, sehingga dengan demikian tidak
memerlukan begitu banyak campur tangan pemerintah. Maka menurut Adam
Smith peranan pemerintah hanya meliputi tiga fungsi saja, yaitu memelihara
keamanan dan pertahanan dalam negeri, menyelenggarakan peradilan,
menyediakan barang-barang yang tidak bisa disediakan oleh swasta. Masa
sekarang ini, banyaknya perkembangan dan kemajuan akibat semakin majunya
teknologi dan banyaknya penemu-penemu baru serta semakin terbukanya
perekonomian antar negara, menyebabkan begitu banyak kepentingan yang saling
terkait dan berbenturan. Hal ini menyebabkan peran pemerintah semakin
dibutuhkan dalam mengatur jalannya sistem perekonomian, karena tidak
sepenuhnya semua bidang perekonomian itu dapat ditangani oleh swasta. Sistem
43
perekonomian modern, peranan pemerintah dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu
peranan alokasi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi.
Peranan alokasi oleh pemerintah ini sangat dibutuhkan terutama dalam hal
penyediaan barang-barang yang tidak dapat disediakan oleh swasta yaitu barang-
barang umum atau disebut juga barang publik. Karena dalam sistem
perekonomian suatu negara, tidak semua barang dapat disediakan oleh swasta dan
dapat diperoleh melalui sistem pasar. Dalam hal seperti ini maka pemerintah harus
bisa menyediakan apa yang disebut barang publik tadi. Tidak dapat tersedianya
barang-barang publik tersebut melalui sistem pasar disebut dengan kegagalan
pasar. Hal ini dikarenakan manfaat dari barang tersebut tidak dapat dinikmati
hanya oleh yang memiliki sendiri, tapi dapat dimiliki/dinikmati pula oleh yang
lain, dengan kata lain, barang tersebut tidak mempunyai sifat pengecualian seperti
halnya barang swasta. Contohnya: seperti udara bersih, jalan umum, jembatan,
dan lain-lain. Kegiatan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi maupun
barang-barang dan atau jasa-jasa untuk memuaskan/memenuhi kebutuhan
masyarakat. Jadi kegiatan ini untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu
maupun kebutuhan masyarakat yang secara efektif tidak dapat dipuaskan oleh
mekanisme pasar. Contohnya dalam kegiatan pendidikan, pertahanan dan
keamanan, serta keadilan.
Peranan distribusi ini merupakan peranan pemerintah sebagai distribusi
pendapatan dan kekayaan. Tidak mudah bagi pemerintah dalam menjalankan
peranan ini, karena distribusi ini berkaitan erat dengan masalah keadilan.
Sedangkan masalah keadilan ini sudah terlalu kompleks, sebab keadilan ini
44
merupakan satu masalah yang bisa ditinjau dari berbagai presepsi, bahkan
masalah keadilan ini juga tergantung dari pandangan masyarakat terhadap
keadilan itu sendiri, karena keadilan itu merupakan masalah yang relatif dan
dinamis. Kegiatan dalam mengadakan redistribusi pendapatan atau mentransfer
penghasilan ini memberikan koreksi terhadap distribusi penghasilan yang ada
dalam masyarakat. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan masyarakat
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya dengan
pajak progresif, yaitu membebankan pajak yang relatif lebih besar bagi orang
kaya dan relatif lebih kecil bagi orang miskin, disertai subsidi bagi golongan
miskin. Secara tidak langsung, bisa melalui kebijaksanaan pengeluaran
pemerintah, misalnya pembangunan perumahan tipe rumah sederhana (RS) dan
tipe rumah sangat sederhana (RSS) yang lebih banyak porsinya dibanding rumah
mewah, untuk golongan pendapatan tertentu, subsidi untuk pupuk petani, dan lain
sebagainya.
Peranan Stabilisasi, kegiatan menstabilisasikan perekonomian yaitu
dengan menggabungkan kebijakan-kebijakan moneter dan kebijakan-kebijakan
lain seperti kebijakan fiskal dan perdagangan untuk meningkatkan atau
mengurangi besarnya permintaan agregat sehingga dapat mempertahankan full
employment dan menghindari inflasi maupun deflasi. Peranan stabilisasi
pemerintah dibutuhkan jika terjadi gangguan dalam menstabilkan perekonomian,
seperti: terjadi deflasi, inflasi, penurunan permintaan/penawaran suatu barang,
yang nantinya masalah-masalah tersebut akan mengakibatkan timbulnya masalah
yang lain secara berturut-turut, seperti pengangguran, stagflasi, dan lain-lain.
45
Permasalahannya sekarang ialah bagaimana menyelaraskan seluruh kebijakan
yang akan diterapkan jika terjadi suatu masalah, tanpa bertentangan dengan
kebijakan yang lain dan tanpa menimbulkan masalah baru. Baik itu kebijakan
dalam rangka peranan pemerintah sebagai alat untuk mengalokasikan sumber-
sumber ekonomi agar efisien, distribusi pendapatan agar merata dan adil, serta
stabilitas ekonomi. Demikian juga halnya kebijakan di bidang-bidang lain. Oleh
karenanya dituntut kebijakan yang betul-betul seimbang dari pemerintah demi
kesejahteraan masyarakat. Secara khusus dalam perekonomian pemerintah
memiliki peran, sebagai berikut.
1. Pemerintah sebagai pelaku ekonomi yaitu harus sebagai penyedia fasilitas
a. Pemerintah melalui Bank Indonesia memberikan bantuan dana kepada
Bank Bank yang sedang mengalami kesulitan dana.
b. Memberikan bantuan modal kepada koperasi, usaha kecil, usaha menegah
yang sedang berkembang.
c. Membantu memasarkan hasil produksi perusahaan gula dan beras melalui
perum bulog.
d. Pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum (PU) menyediakan
prasarana berupa jalan dan jembatan untuk membantu proses
pendistribusian produk badan usaha.
e. Pemerintah mengimpor kedelai dari Brasil untuk menjamin ketersedian
bahan baku perusahaan kecap dan produsen tempe.
2. Pemerintah sebagai pengatur ekonomi bertugas mengatur badan usaha agar
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perwujudan peran sebagai pengatur
46
ekonomi dapat dilihat melalui beberapa peraturan dan kebijakan pemerintah,
sebagai berikut.
a. Pemerintah melalui UU No. 5 Tahun 1999 mengatur larangan praktik
monopoli dan persaingan tidak sehat. Pada UU ini pemerintah mengatur
persaingan usaha yang sehat menjamin adanya kepastian kesempatan
berusaha yang sama baik bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil.
b. Melalui UU No. 25 Tahun 1992 pemerintah mengatur kegiatan Koperasi,
dalam UU ini diatur segala sesuatu yang berkaitan dengan koperasi mulai
dari tata cara pendirian, operasionalisasi Koperasi, dan tata cara
pembubaran Koperasi.
c. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 1997
mengatur tentang waralaba. PP ini menmgatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan tata cara penyelenggaraan waralaba.
d. Pemerintah mengatur pemanfaatan tenaga nuklir PP No. 64 Tahun 2000,
pada PP ini diatur tentang segala sesuatu berkaitan dengan pemanfaatan
tenaga nuklir, mulai dari perizinan, tata cara pemanfaatan, pengolahan
limbah, kewajiban dan penanggung jawab pemegang izin.
A. Kebijakan Pemerintah dan Daya Saing Dunia Usaha
Peran pemerintah dalam pembangunan telah menjadi obyek pembahasan
yang menarik sejak lama. Di negara manapun selalu ada campur tangan atau
intervensi pemerintah dalam perekonomian. Tidak ada pemerintah yang dalam
percaturan ekonomi negerinya berperan semata-mata sebagai wasit atau polisi,
yang hanya berfungsi membuat undang-undang dan peraturan, untuk kemudian
47
menjadi perelai jika timbul masalah atau penyelamat bila terjadi kepanikan.
Keterlibatan pemerintah dalam perekonomian jelas beralasan dan mustahil
dicegah. Tidak ada suatu perekonomianpun, bebas dari intervensi pemerintahnya.
Demikian pula halnya dengan pengembangan daya saing dunia usaha
memerlukan kelembagaan dalam rangka menciptakan framework conditions yang
memungkinkan aset produktif berkembang untuk mendapatkan pangsa pasar yang
semakin bersaing. Dalam kerangka perspektif pengembangan daya saing usaha,
kebijakan pemerintah memegang peranan yang menentukan sebagai fasilitator
dalam pembinaan kelembagaan bersifat formal maupun non formal (North, 1990).
Peran kebijakan pemerintah sebagaimana disajikan pada Gambar 2.2 mencakup
lima pola kebijakan pengembangan antara lain, Pola kebijakan pemerintah
diteorikan sebagai lembaga yang berperan dalam memperkuat posisi daya saing
dunia usaha melalui sejumlah langkah kebijakan, antara lain (1) memfasilitasi
pengembangan sumber daya produktif, (2) bantuan sarana pengembangan
teknologi yang lebih menghemat biaya produksi, (3) bantuan fasilitas
pemberdayaan organisasi bisnis yang mampu membangun kinerja efektif dan
efisien, (4) bantuan pola pemasaran dan kerja sama pengembangan pasar, (5) daya
saing produk dan pengembangan kelembagaan bisnis berkelanjutan.
48
Kebijakan
Pemerintah
Kinerja
Dunia Usaha
Sumber Daya
Perusahaan
(resources)
Kreativitas
Dan teknologi
perusahaan
Pemberdayaan
Organisasi
usaha
Pemasaran
Dan
Kemitraan
Daya saing
Produk dan
Kelembagaan
Gambar 2.2
Institutions, Institutional Change and Economic Performance
Sumber : North (1990)
B. Kebijakan Pemerintah dan Industri Kecil.
Salah satu dari tujuan utama pembangunan adalah mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Friendmann (dalam Effendi,
2000) menjelaskan bahwa strategi yang dapat dikembangkan untuk mendukung
tercapainya sasaran pembangunan yang berorientasi pada kerakyatan adalah
meningkatkan dan memperluas kegiatan usaha-usaha berbasis komunitas
(community enterprises). Kegiatan usaha-usaha masyarakat tersebut telah eksis
dalam masyarakat dan memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selama krisis ekonomi melanda Indonesia,
kegiatan industri kecil tersebut mampu bertahan dan menjadi sumber penghasilan
andalan masyarakat.
49
Keberadaan kegiatan atau usaha industri kecil dapat menjadi sumber
penghasilan andalan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari peranan industri kecil
dalam perekonomian nasional yang cukup diperhitungkan, dimana sektor industri
kecil menurut Thoha (2000) dapat menjadi sabuk pengaman (savety belt) bagi
masalah-masalah sosial ekonomi seperti penyediaan peluang kerja, penampung
terakhir tenaga-tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan
sebagainya. Senada dengan itu, menurut Rustani (1996) masih ada beberapa
kekuatan atau keunggulan yang dimiliki oleh industri kecil, yaitu: 1) Penyedia
lapangan kerja, 2) Penyedia barang-barang murah untuk dikonsumsi rakyat, 3)
Efisiensi dan fleksibelitasnya terbukti menjadi kekuatan yang mampu
membuatnya tetap bertahan hidup, dan 4) Industri kecil sebagai sumber penghasil
wirausahawan baru.
Melihat besarnya peranan industri kecil dalam pembangunan ekonomi
Indonesia, untuk itu menurut Soetrisno (1997) mengemukakan bahwa pemerintah
seharusnya berhenti melihat sektor industri kecil sebagai buffer sector yaitu sektor
ekonomi yang berfungsi sebagai penangkal krisis saja dan seharusnya sektor
industri kecil diberlakukan sebagai sektor yang mandiri seperti sektor pertanian,
sehingga dengan demikian sektor ini harus memperoleh perhatian yang sama
dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam hal ini industri kecil telah
menunjukkan kinerja yang mengesankan, selama ini praktis mereka tidak
memperoleh perlindungan sebagaimana dinikmati industri besar dalam berbagai
bentuk proteksi. Dengan demikian peranan industri kecil sebagai penyerap tenaga
kerja yang terbesar, semakin menunjukkan bahwa memang industri
50
kecil/pengusaha yang relatif lemah perlu memperoleh perhatian yang lebih besar
dalam rangka pembinaannya.
Peranan usaha/industri kecil yang terus meningkat sudah selayaknya
sektor ini memperoleh pembinaan dan masih banyak yang perlu dilakukan untuk
memajukan sektor industri kecil, seperti diantaranya adalah pemihakkan yang
sungguh-sungguh dari pemerintah untuk sektor ini masih sangat diperlukan dan
ditingkatkan. Dengan keberpihakan pemerintah kepada ekonomi masyarakat
dalam pembangunan nasional dapat diwujudkan pembangunan yang
memprioritaskan, mengembangkan dan memberdayakan ekonomi lemah (skala
kecil dan menengah).
2.1.3 Social Infrastructure dan Entrepreneurs
Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan
dipandang sebagai lokomotif pembangunan nasional dan daerah. Peran
infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari kontribusinya terhadap
pertumbuhan ekonomi yang implikasinya terhadap peningkatan kualitas hidup
masyarakat. Secara makro ketersediaan pelayanan infrastruktur mempengaruhi
marginal productivity of private capital dan secara mikro pengaruh pelayanan
infrastruktur adalah mengurangi biaya produksi. Pengaruh infrastruktur terhadap
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, adalah peningkatan nilai
konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan
kerja, serta peningkatan kemakmuran.
Konsep teori yang dikembangkan Flora dan Flora (1993), tentang
enterpreneural social infrastructure adalah kerangka teori yang dibangun dalam
51
rangka memfasilitasi kelembagaan untuk memperkuat keberadaan entrepreneurs
menjadi semakin berkembang. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa
entrepreneurs social infrastructure adalah penguatan jaringan komunitas dalam
rangka memperkokoh kreativitas dan inovasi khususnya pada masyarakat
pedesaan di Amerika Serikat yang menjadi lokasi penelitian Flora dan Flora
(1993).
Penguatan kelembagaan dalam rangka menumbuhkembangkan iklim
kreativitas dan inovasi yang telah terbentuk pada masyarakat pedesaan,
seyogyanya dipandu dengan membangun kerangka sistem yang memungkinkan
terpeliharanya kreativitas entrepreneurs secara berkelanjutan. Flora dan Flora
(1993), menguraikan 3 (tiga) komponen yaitu symbolic diversity, mobilization of
resources, dan network quality. Gambar 2.3 menyajikan entrepreneurs social
infrastructure.
52
Entrepreneurs
Social Infrastructure
(collective action)
Simbolic
DiversityNetwork
Quality
Mobilization of
Resources
a. Mengindari konflik
b. Depolitisasi peran individu
c. Fokus pada proses
a. Individual local invesment
b. Collective local invesment
a. Diverse and exclusive
b. Linkage and boundries
Gambar 2.3
Enterpreneur Social Infrastructure
Sumber : Flora dan Flora (1993), Flora et al. (1997)
Symbolic diversity adalah proses dari collective action pada aktivitas
komunitas pedesaan yang cenderung memiliki kedekatan satu sama lain antar
pribadi satu dengan pribadi lain secara informal. Symbolic diversity
menggambarkan pola hubungan antar pribadi yang lebih berorientasi kepada
proses tindakan aksi dalam rangka memperkuat kedekatan personal satu sama
lainnya, menghindari konflik dan cenderung memiliki kesamaan dalam
pandangan politik tertentu, sehingga komunitas lebih mendahulukan adanya
kesamaan persepsi dan menghindarkan konflik. Kedekatan kekerabatan dalam
komunitas (high acquaintance) dicirikan oleh kesamaan geografik, kekerabatan
53
sebagai komunitas yang telah tinggal bersama secara turun-temurun, perikatan
mana tidak akan terbangun secara sama dengan penduduk pendatang.
Dimensi kedua dari entrepreneurs social infrastructure, adalah
mobilization of resources sebagai ketahanan sumberdaya lokal dalam menghadapi
berbagai tantangan bisnis dan persaingan pasar. Surplus sumberdaya lokal adalah
kunci dalam pengembangan inovasi dan kreativitas dalam berproduksi, sehingga
mobilitas sumberdaya semaksimal mungkin dikelola untuk mempertahankan
sumberdaya lokal tersedia secara berkelanjutan. Penguasaan atas sumberdaya
produksi secara terkonsentrasi pada sekelompok kecil individu tidak akan
mendorong atau akan memperlemah upaya membangun collective action yang
diperlukan dalam rangka penguatan kreativitas dan inovasi. Ketika terjadi krisis
ekonomi, ketahanan masyarakat akan menjadi kuat dan memiliki ketahanan
apabila sumberdaya dikelola secara bersama. Dengan demikian, mobilitas
sumberdaya dalam konteks social infrastructure adalah adanya kesamaan cara
pandang anggota komunitas untuk berinvestasi secara kolektif, dengan mengelola
sumberdaya sedemikian rupa untuk kepentingan bersama (individual local
investment menjadi collective local investment).
Dimensi ketiga dari entrepreneurs social infrastructure adalah network
quality, yang menjadikan pondasi penguatan langkah inovasi dan kreativitas
komunitas melalui pengembangan jejaring informasi, pengetahuan dan strategi
bisnis yang berdaya guna untuk dipraktekkan dan dimanfaatkan secara bersama.
Penguatan network antar individu dalam kerangka hubungan antar individu dalam
kelompok (diverse dan exclusive) serta pengembangan jaringan pasar dengan
54
kualitas keterpaduan langkah dan kebijakan, akan memungkinkan penguatan
network menjadi pondasi penguatan daya saing produksi mencapai jaringan pasar
yang diinginkan.
Sejalan dengan konsep di atas, adanya nilai-nilai luhur yang terpelihara
dalam kehidupan masyarakat pada aktivitas komunitas pedesaan yang cenderung
memiliki kedekatan satu sama lain antar pribadi satu dengan pribadi lain secara
informal dengan menjaga ketahanan sumber daya lokal dalam menghadapi
berbagai tantangan bisnis dan persaingan pasar sehingga ketahanan masyarakat
akan menjadi kuat dan memiliki ketahanan apabila sumberdaya dikelola secara
bersama dengan berbasiskan pengembangan jejaring informasi, pengetahuan dan
strategi bisnis yang berdaya guna untuk dipraktekkan dan dimanfaatkan secara
bersama dapat dikatakan sebagai kearifan lokal (local wisdom).
Sesuai definisinya, kearifan lokal dapat dikatakan sebagai kebijaksanaan
atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal
berupa tradisi, dan semboyan hidup. Pengertian kearifan lokal secara terminologi
terdiri dari dua kata, yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti
setempat dan wisdom berarti kebijaksanaan. Dengan kata lain, maka local wisdom
dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-pandangan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal merupakan suatu yang berkaitan secara spesifik dengan
budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Kearifan
lokal merupakan cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh
55
sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan
lingkungan setempat yang terbentuk dari tinggal di tempat tersebut secara turun-
temurun. Pengetahuan semacam ini mempunyai beberapa karakteristik penting
yang membedakannya dari jenis-jenis pengetahuan yang lain. Kearifan lokal
berasal dari dalam masyarakat sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dimiliki
secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa
generasi dan mudah diadaptasi, dan tertanam di dalam cara hidup masyarakat
sebagai sarana untuk bertahan hidup. Kearifan lokal dapat menjadi kekuatan
ketika pengetahuan dan praktik-praktiknya digunakan secara selaras dengan usaha
pembangunan masyarakat. Dengan demikian, pengaruhnya tidak hanya terbatas
pada proses pembangunan itu sendiri, tetapi juga pada keberlanjutan proses dalam
jangka panjang. Begitu pula dalam hal membangkitkan kreativitas dan inovasi,
local wisdom dapat menjadi penggerak bahkan dapat mengembangkan munculnya
entrepreneur baru yang semakin kuat dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Kata entrepreneur (bahasa Inggris) diterjemahkan sebagai wirausahawan
(entrepreneur), adalah orang yang melakukan aktivitas wirausaha yang dicirikan
dengan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi
baru, menyusun manajemen operasi untuk pengadaan produk baru,
memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Kata entrepreneurship
yang dahulunya sering diterjemahkan dengan kata kewiraswastaan, akhir-akhir ini
diterjemahkan dengan kata kewirausahaan. Entrepreneur berasal dari bahasa
Perancis, yaitu entreprendre yang artinya memulai atau melaksanakan.
Wiraswasta/wirausaha berasal dari kata wira: utama, gagah berani, luhur; swa:
56
sendiri; sta: berdiri; usaha: kegiatan produktif. Berdasarkan asal kata tersebut,
wiraswasta pada mulanya ditujukan pada orang-orang yang dapat berdiri sendiri.
Di Indonesia kata wiraswasta sering diartikan sebagai orang-orang yang tidak
bekerja pada sektor pemerintah, yaitu para pedagang, pengusaha, dan orang-orang
yang bekerja di perusahaan swasta, sedangkan wirausahawan adalah orang-orang
yang mempunyai usaha sendiri.
Yaghoobi, Salarzehi, Aramesh, dan Akbari (2010) menyatakan bahwa
wirausahawan adalah orang yang berani membuka kegiatan produktif yang
mandiri. Jong dan Wennekers (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan dapat
didefinisikan sebagai pengambilan risiko untuk menjalankan usaha sendiri dengan
memanfaatkan peluang-peluang untuk menciptakan usaha baru atau dengan
pendekatan yang inovatif sehingga usaha yang dikelola berkembang menjadi
besar dan mandiri dalam menghadapi tantangan-tantangan persaingan. Kata kunci
dari kewirausahaan, adalah pengambilan resiko, menjalankan usaha sendiri,
memanfaatkan peluang-peluang, menciptakan usaha baru, pendekatan yang
inovatif, mandiri (seperti tidak bergantung pada bantuan pemerintah). Secara
umum posisi wirausahawan adalah menempatkan dirinya terhadap risiko atas
guncangan-guncangan dari perusahaan yang dibangunnya (venture).
Wirausahawan memiliki risiko atas finansialnya sendiri atau finansial orang lain
yang dipercayakan kepadanya dalam memulai suatu, dan juga berisiko atas
keteledoran dan kegagalan usahanya.
Wirausahawan lebih memiliki keahlian intuisi dalam mempertimbangkan
suatu kemungkinan atau kelayakan dan perasaan dalam mengajukan sesuatu
57
kepada orang lain. Wirausaha merupakan pengambilan resiko untuk menjalankan
sendiri dengan memanfaatkan peluang-peluang untuk menciptakan usaha baru
atau dengan pendekatan yang inovatif sehingga usaha yang dikelola berkembang
menjadi besar dan mandiri tidak bergantung kepada pemerintah atau pihak-pihak
lain dalam menghadapi segala tantangan persaingan. Inti dari kewirausahaan
adalah pengambilan resiko, menjalankan sendiri, memanfaatkan peluang-peluang,
menciptakan baru, pendekatan yang inovatif, dan mandiri.
Baldacchino (2009) menyatakan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan
kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari
peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui berpikir kreatif dan bertindak
inovatif untuk menciptakan peluang. Kreativitas adalah kemampuan untuk
mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah dan
menemukan peluang. Intinya kreativitas adalah memikirkan sesuatu yang baru
dan berbeda. Sedangkan inovasi merupakan kemampuan untuk menerapkan
kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang. Intinya
inovasi adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu yang baru dan berbeda.
Seorang wirausahawan harus memiliki ide-ide baru yang dihasilkan dari suatu
kreativitas. Kreativitas inilah yang akan membawa wirausahawan untuk ber-
inovasi terhadap usahanya.
Drucker (1985) mengartikan kewirausahaan sebagai semangat,
kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha atau kegiatan yang
mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi,
58
dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan
pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar.
Ada lima esensi pokok kewirausahaan, yaitu (1) kemampuan kuat untuk berkarya
dengan semangat kemandirian (terutama dalam bidang ekonomi); (2) kemampuan
untuk memecahkan masalah dan membuat keputusan secara sistematis, termasuk
keberanian mengambil resiko; (3) kemampuan berfikir dan bertindak secara
kreatif dan inovatif; (4) kemampuan bekerja secara teliti, tekun dan produktif;
serta (5) kemampuan berkarya dalam kebersamaan berdasarkan etika bisnis
yang sehat.
Sikap-sikap yang umum ditemui, yaitu (1) keinginan untuk preferensi
tanggung jawab atas risiko yang lebih besar, wirausahawan tidak mengambil
risiko secara liar melainkan memperhitungkan terlebih dahulu risiko yang akan
diambil; (2) keyakinan akan kemampuan mereka untuk berhasil. Biasanya
memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuan mereka untuk berhasil; (3)
keinginan untuk hasil segera; (4) tingkat tinggi energi, lebih energik daripada rata-
rata orang; (5) orientasi terhadap masa depan. Berorientasi pada masa depan,
wirausahawan kurang peduli dengan apa yang telah mereka lakukan kemarin
dibandingkan dengan apa yang akan mereka lakukan besok; (6) keahlian dalam
pengorganisasian, tahu bagaimana menempatkan orang yang tepat di tempat yang
tepat; (7) secara efektif menciptakan sinergi antara orang dan pekerjaan, sehingga
memungkinkan wirausahawan untuk mewujudkan visi mereka menjadi kenyataan;
dan (8) nilai prestasi atas uang.
59
2.1.4 Konsep Teori x-Efficiency
Menurut Leibenstein (1977), dengan teori Model x-Efficiency,
mengasumsikan bahwa fungsi produksi neo-klasik adalah semu dan tidak
mencapai tingkat efisiensi yang sebenarnya, karena fakta menunjukkan bahwa
manusia sebagai penggerak faktor produksi tidak memiliki respon yang sama
dalam menanggapi setiap pressure yang terjadi sebagai akibat dari dinamika
pasar. Intertial cost yang dihadapi oleh setiap masyarakat adalah sangat berbeda,
karena akan tergantung kepada kondisi demografik dan lingkungan faktor
ekonomi (Chang, 2007). Jika masyarakat memiliki respon yang tinggi dalam
menghadapi setiap perkembangan dinamika pasar, maka pressure akan
menghasilkan effort yang menciptakan low cost production dan peningkatan
produktivitas dan daya saing.
Leibenstein (1977) mendefinisikan work effort dengan empat variabel.
Teori ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki empat kombinasi pilihan
untuk mendapatkan satu dari empat pilihan yang paling optimal. Pilihan satu dari
empat kemungkinan disebut effort point, pada tingkat pilihan terbawah karakter
tingkat kepuasan pilihan masih positif, tetapi berproses mencapai puncak
kemudian bergerak menurun (lihat Gambar 2.4). Gerakan kurve yang menurun
tersebut menggambarkan marginal utility dari effort akan menjadi negatif, dan
total utility mulai berjalan menurun.
60
A B
UTILITAS
EFFORT
Gambar 2.4
Fungsi Utilitas Pekerja Individual
Sumber : Leibenstein (1977)
Bentuk fungsi effort utility individual menggambarkan potensi
competitiveness yang menjadi pendukung pertumbuhan sebuah perusahaan atau
sistem produksi tertentu. Pada level effort yang lebih tinggi di mana seorang
individual berhasil mencapai tingkat optimalnya, yang menggambarkan semakin
produktifnya individu yang bersangkutan. Bergeraknya utility bergantung kepada
work effort seorang individual yang sangat peka pada tersedianya tantangan
insentif atau faktor lain yang membangkitkan work effort yang bersangkutan.
Maka, Leibenstein sampai kepada kesimpulan bahwa negative incentive dapat
disebabkan oleh internal dan external pressure. Internal pressure bersumber dari
kendali manajemen organisasi, kelompok dalam masyarakat, serta culture
organisasi tertentu. External pressure bersumber dari lingkungan masyarakat,
61
sistem kompetisi, persaingan pasar pada produksi barang dan jasa, mendapatkan
pekerjaan baru dan seterusnya. Keterbatasan sumberdaya yang tersedia, juga
menjadi alasan sejumlah pihak berjuang untuk mendapatkan sumberdaya yang
diinginkan (Porter, 1990).
Pengaruh pembentukan effort juga dapat bersumber dari faktor internal
dan eksternal seperti status sosial dan reputasi dapat menjadi pendorong
kompetisi. Kelompok keluarga tertentu, organisasi perusahaan, organisasi tim
olahraga, dapat menjadikan seseorang mendapatkan kepuasan berdasarkan effort
secara individual. Marginal utility yang berbasis kepada insentif keuangan akan
menjadi semakin menurun bersamaan dengan peningkatan kesejahteraan individu
yang bersangkutan. Ini sejalan dengan teori backward bending supply curve
sebagai fungsi dari upah. Teori effort Libenstein juga konsisten dengan Maslow
hierarchy of needed yang menyatakan bahwa terdapat kebutuhan aktualisasi diri
yang semakin menguat apabila kebutuhan material telah dipandang terpenuhi.
Dengan demikian, kecenderungan rangsangan insentif keuangan semakin
menurun apabila individu yang bersangkutan semakin sejahtera.
Apabila internal dan external pressure melemah, maka akan menurunkan
work effort. Jadi, untuk membangkitkan inovasi, sangatlah banyak tantangan yang
akan memperlemah upaya tersebut. Porter menyatakan terdapat tiga faktor yang
bisa memperlemah effort mencapai sumberdaya berdaya bersaing, (1) pressure
yang bersumber dari disadvantages sources; (2) pesaing yang sangat gigih dan
kuat; (3) demanding consumer. Ketiganya dapat menjadi penentu effort yang
memperlemah inovasi jika tidak berfungsi merangsang seseorang untuk bergerak.
62
Effort Pressure
Biaya perUnit
Tingkat Responsibilitas
E2 E1P1 P2
E
E
R
R
U
U
12
3 4
C1
C2
Gambar 2.5
Pressure dan Effort x-Efficiency
Sumber: Leibenstein (1977)
Gambar 2.5 pada Quadrant 1 dan 2 menggambarkan internal dan eksternal
pressure yang membangkitkan effort. Seseorang tidaklah seluruhnya memiliki
sifat pasif dari pressure yang ada. Meski demikian, ada kendala untuk
membangkitkan effort atas pressure yang terjadi. Jika pressure terjadi dari titik P1
ke P2, maka akan terjadi peningkatan respon individual dari E1 ke E2. Maka
meningkatnya work effort tersebut akan menurunkan cost per output dari C2 ke C1
sehingga akan meningkatkan produktivitas dan output ke tingkat lebih tinggi.
Sistem keseimbangan akhirnya tercapai pada Quadrant 4, pada titik R tertinggi.
Teori Effort Leibenstein, menyatakan bahwa setiap individu memiliki
pilihan inertial cost, kapan mereka menanggapi respon atas pressure yang terjadi.
63
Sistem keseimbangan akan bertahan tanpa perubahan sepanjang waktu, jika tidak
terdapat effort yang kuat untuk mendorong bangkitnya produktivitas. Leibenstein
menyebutkan sebagai Inertial cost, yaitu lambannya effort bergerak sebagai akibat
dari pressure. Jika intertial cost sangat tinggi (respon individual terhadap pressure
sangatlah lamban), maka pressure tidaklah merubah reaction point, maka
individual effort tidaklah berubah dalam jangka waktu panjang. Permasalahan
budaya kerja, orientasi kerja dan tingkat kemakmuran tertentu pada masyarakat
dapat menjadi kendala bagi berkembang tumbuhnya inertial cost yang
menghambat produktivitas untuk berkembang, meski pressure telah semakin
menguat.
Dengan demikian, tantangan untuk mencapai x-Efficiency adalah
pengembangan individual yang responsif terhadap pressure pada tingkat di mana
kesejahteraan ideal dianggap belum tercapai. Kondisi ekonomi yang serba
dianggap cukup dapat menjadi kendala bagi terobosan inovasi baru yang
menggeser sistem keseimbangan quadrant 4. Masyarakat yang telah merasa
tercukupi pada skala ekonomi subsistem misalnya, kurang memiliki respon dalam
membangun effort, sehingga pressure belum dapat membentuk keseimbangan
jangka panjang x-Efficiency.
Merujuk pada kajian pustaka maka hubungan antar variable penelitian
dapat dijelaskan bahwa salah satu tujuan utama pembangunan adalah
mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Kesejahteraan
merupakan salah satu aspek yang cukup penting untuk menjaga dan membina
terjadinya stabilitas sosial dan ekonomi. Ellison dan Smith (1991), Chandler et al.
64
(1992), Wesgate (1996), Kamya (2000), Tsung et al. (2002), pada garis besarnya
memberikan panduan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat secara lebih
holistik dengan memasukkan komponen non ekonomi sebagai pola pengukuran
kesejahteraan, karena manusia pada dasarnya adalah makluk yang dinamis dan
kompleks (Adams, 2000; Tsung, 2002).
Menurut Kolle dalam Bintarto (1989), kesejahteraan dapat diukur dari
beberapa aspek kehidupan, antara lain (1) dengan melihat kualitas hidup dari segi
materi, seperti kualitas rumah, bahan pangan dan sebagaianya; (2) dengan melihat
kualitas hidup dari segi fisik, seperti kesehatan tubuh, lingkungan alam, dan
sebagainya; (3) dengan melihat kualitas hidup dari segi mental, seperti fasilitas
pendidikan, lingkungan budaya, dan sebagainya; dan (4) dengan melihat kualitas
hidup dari segi spiritual, seperti moral, etika, keserasian penyesuaian, dan
sebagainya. Undang-Undang No. 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial,
disebutkan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya
Pembangunan merupakan proses mewujudkan masyarakat makmur
sejahtera secara adil dan merata. Kesejahteraan ditandai dengan kemakmuran,
yaitu meningkatnya konsumsi yang disebabkan oleh meningkatnya pendapatan.
Pendapatan meningkat sebagai hasil produksi yang semakin meningkat pula.
Friendmann (dalam Effendi, 2000) menjelaskan bahwa strategi yang dapat
dikembangkan untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan yang
berorientasi pada kerakyatan adalah meningkatkan dan memperluas kegiatan
65
usaha-usaha berbasis komunitas (community enterprises). Dimana selama ini
kegiatan usaha-usaha masyarakat tersebut telah eksis dalam masyarakat dan
memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan adanya kehadiran
pemerintah yang dapat berperan untuk mencapai kesejahteraan. Pemerintah
tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat,
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota mengembangkan
kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Al Rasyid,
2000). Osborne dan Gaebler (Al Rasyid, 2000) bahkan menyatakan bahwa
pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya dan karena itulah
tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. Ndraha
(2000) menyatakan fungsi pemerintahan ada 2 (dua) macam fungsi, yaitu:
Pertama, pemerintah mempunyai fungsi primer atau fungsi pelayanan (service),
sebagai provider jasa publik yang baik diprivatisasikan dan layanan civil termasuk
layanan birokrasi. Kedua, pemerintah mempunyai fungsi sekunder atau fungsi
pemberdayaan (empowerment), sebagai penyelenggara pembangunan dan
melakukan program pemberdayaan. Tidak ada satu negarapun di dunia ini yang
tidak melibatkan peran pemeritah dalam sistem perekonomiannya. Tidak juga di
negara yang menganut sistem kapitalis yang menghendaki peran swasta lebih
dominan dalam mengelola perekonomiannya. Karena tidak ada satupun negara
kapitalis di dunia ini yang menganut sistem kapitalis murni.
66
Demikian pula halnya dengan pengembangan daya saing dunia usaha
memerlukan kelembagaan dalam rangka menciptakan framework conditions yang
memungkinkan aset produktif berkembang untuk mendapatkan pangsa pasar yang
semakin bersaing. Dalam kerangka perspektif pengembangan daya saing usaha,
kebijakan pemerintah memegang peranan yang menentukan sebagai fasilitator
dalam pembinaan kelembagaan bersifat formal maupun non formal (North, 1990).
Hasil penelitian Flora dan Flora (1993) menunjukkan bahwa entrepreneurs
social infrastructure adalah penguatan jaringan komunitas dalam rangka
memperkokoh kreativitas dan inovasi khususnya pada masyarakat pedesaan.
Penguatan kelembagaan dalam rangka menumbuhkembangkan iklim kreativitas
dan inovasi yang telah terbentuk pada masyarakat pedesaan, seyogyanya dipandu
dengan membangun kerangka sistem yang memungkinkan terpeliharanya
kreativitas entrepreneurs secara berkelanjutan. Seorang entrepreneur harus
memiliki jiwa kewirausahaan sebagaimana yang dinyatakan oleh Drucker (1985)
mengartikan kewirausahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap, perilaku
individu dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya
mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan
meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan
atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Namun jiwa kewirausahaan
ternyata belum cukup sehingga perlu memiliki sumberdaya bersaing yang
diwujudkan dengan respon yang tinggi dalam menghadapi setiap perkembangan
dinamika pasar, maka pressure akan menghasilkan effort yang menciptakan low
67
cost production dan peningkatan produktivitas dan daya saing, Leibenstein
(1977).
Peran pemerintah yang diwujudkan melalui penerapan kebijakan ditunjang
dengan terciptanya sistem sosial pengrajin (entrepreneurs social infrastructure)
yang terkondisikan dengan baik, juga dibarengi dengan pengrajin itu sendiri
memiliki jiwa kewirausahaan dan sumberdaya bersaing yang tinggi maka
kesejahteraan pengrajin secara ekonomi dan non ekonomi akan terpelihara secara
berkelanjutan.
2.2 Kajian Empiris dan Penelitian Sebelumnya
2.2.1 Chang (2007), Entrepreneurship and Economic Development and
Growth in America: An Investigation at The Country Level
Studi Chang terfokus pada faktor demografik dan faktor ekonomi
masyarakat sebagai pembentuk kreativitas dan inovasi yang mendorong
terwujudnya entrepreneurs sebagai pemicu pembangunan ekonomi dan
pertumbuhan ekonomi. Sejumlah variabel demografik yang menjadi fokus
penelitian Chang, berkaitan dengan (1) faktor demografik seperti diversity, skilled
labor, population growth yaitu perubahan secara alami dari population pada
daerah bersangkutan, migration dan foreign yang mendorong kreativitas dan
inovasi; (2) faktor ekonomi seperti infrastructure, income, un-employment, dan
poverty.
68
Diversity
Skilled Labor
Pop Growth
Migration
Foreigners
Infrastructure
Income
Unemployment
Poverty
Dinamika
Kreativitas
H1c
H1d
H1e
H1f
H1g
H2c
H2d
H2e
H2f
Economic
development
Economic
Growth
H4a
H4b
Komponen
Demographik
Faktor
Ekonomi
Gambar 2.6
Entrepreneurship and Economic Development and Growth in America
Sumber: Chang (2007)
Kreativitas dan inovasi yang terbentuk dari faktor demografik dan faktor
ekonomi membentuk kreativitas dan inovasi serta berperan positif dalam mendorong
proses pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Kreativitas dan inovasi
dalam produksi dan teknologi di mediasi oleh potensi sumberdaya entrepreneurs
yang telah tersedia dengan proses pembangunan ekonomi yang menyediakan pangsa
pasar atas produksi barang dan jasa masyarakat
Keberadaan entrepreneurs menjadi semakin berkembang sebagai akibat dari
proses pembanguan itu sendiri yang membangun dinamika permintaan pasar
produksi, sehingga kreativitas para entrepreneurs menjadi berkembang karena
dukungan indikator dari demographic composition dan faktor ekonomi,
pembangunan ekonomi dan perluasan produksi serta kesempatan kerja yang
tercermin pada pertumbuhan ekonomi. Studi Chang memberikan kontribusi pada
ilmu pengetahuan tentang entrepreneurship bahwa secara empiric telah dibuktikan
faktor demografik dan faktor ekonomi menjadi penentu dan pemicu munculnya
69
kreativitas dalam berinovasi yang menghasilkan nilai tambah bagi kawasan ekonomi
bersangkutan.
2.2.2 Meutia (2013), Entrepreneurial Social Competence and Entrepreneurial
Orientation to Build SME’s Business Network and Business
Performance
Penelitian Meutia (2013), melakukan kajian studi tentang entrepreneurial
social competence sebagai faktor yang mendorong peningkatan kinerja usaha,
serta pada saat bersamaan entrepreneurial social competence juga berperan dan
berpengaruh terhadap kinerja usaha melalui business network. Pada sisi lain,
entrepreneurial orientation juga merupakan persepsi yang memperkuat busniness
network, serta pada gilirannya berpengaruh kepada kinerja usaha (lihat
Gambar 2.7)
Entrepreneurial
Social
Competence
Entrepreneur
Orientation
Business
Network
Business
Performance
SME’s
Gambar 2.7
Entrepreneurial Social Competence dan Business Performance
Sumber: Meutia (2013)
70
Penelitian ini menemukan bahwa, entrepreneurial social competence
berpengaruh signifikan terhadap kinerja usaha (business performance). Penelitian
ini dilakukan pada industri kecil (SME’S) di wilayah Jawa Barat, dengan
mengambil sampel sebanyak 193, penelitian ini tidak berhasil membuktikan
adanya pengaruh mediasi dari entrepreneur orientation ke business performance
melalui business nettwork, tetapi lebih membuktikan bahwa entrepreneur
orientation berpengaruh signifikan terhadap business performance. Meskipun
demikian, entrepreneurial social competence berhasil dibuktikan karena
berpengaruh secara signifikan baik melalui hubungan langsung dengan business
performance maupun secara tidak langsung dari pengaruh entrepreneurial social
competence terhadap business performance melalui business network.
2.2.3 Kajian Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Infrastruktur
Sosial.
Pemerintah modern, pada hakekatnya adalah pelayanan kepada
masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi
untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
anggota mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai
kemajuan bersama (Al Rasyid, 2000).
Osborne dan Gaebler (Al Rasyid, 2000) bahkan menyatakan bahwa
pemerintah yang demokratis lahir untuk melayani warganya dan karena itulah
tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. Dengan
demikian lahirnya pemerintahan memberikan pemahaman bahwa kehadiran suatu
pemerintahan merupakan manifestasi dari kehendak masyarakat yang bertujuan
71
untuk berbuat baik bagi kepentingan masyarakat, bahkan Van Poelje (dalam
Hamdi, 1999) menegaskan bahwa, pemerintahan dapat dipandang sebagai suatu
ilmu yaitu yang mengajarkan bagaimana cara terbaik dalam mengarahkan dan
memimpin pelayanan umum. Bagian lain Al Rasyid (2000) menyatakan bahwa
tugas-tugas pokok pemerintah dapat diringkas menjadi 3 (tiga) fungsi hakiki
yaitu: pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan
(development).
Kebijakan pemerintah dewasa ini dapat difungsikan melalui kerja sama
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Keterpaduan ketiganya dikenal dalam
kerangka kebijakan Corporate Social Responsibility, dimana pemerintah
mengajak serta dunia usaha untuk membangun kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan pemerintah diarahkan untuk lebih terfokus kepada konsep yang
berorientasi pada business in the community, yaitu konsep kebijakan yang
merujuk kepada bagaimana pemerintah bersama dunia usaha membangun kerja
sama dan kolaborasi dalam upaya mensejahterakan masyarakat. Corporate Social
Responsibility merupakan corporate network public private partnership yang
diprogram dalam rangka menyelesaikan persoalan sosial kemasyarakatan yang
terdampak atas perkembangan sektor industri (Nidasio, 2004). Kebijakan
pemerintah berdampak kepada sosial kemasyarakatan (Flora dan Flora, 1993;
Thompson, 2008). Kebijakan pemerintah berdampak nyata memberikan
kontribusi pada basis kekuatan usaha dan pembentukan kesejahteraan masyarakat
(Wolff, 2002).
72
2.2.4 Kajian Pengaruh Kebijakan Pemerintah dan Infrastruktur Sosial
Terhadap Kewirausahaan.
Peran pemerintah dalam rangka pemberdayaan usaha kecil, melakukan
fasilitasi pengembangan inovasi untuk mendorong kemajuan usaha kecil. Cook et
al. (2003), menyatakan kebijakan pemerintah menjadi penentu dalam agenda
pengembangan usaha kecil yang berdampak kepada usaha bersangkutan,dan para
konsumen pengguna produk serta pihak lainnya (Herrera dan Nieto, 2008).
Kebijakan pemerintah memfasilitasi pengembangan inovasi untuk
mendorong kemajuan usaha kecil, sehingga merupakan komponen penggerak
entrepreneur (Guan dan Chen, 2012). Menurut Cook et al. (2003), kebijakan
pemerintah berdampak kepada pengusaha untuk mengembangkan product
innovation. Miller (1983); Freiling dan Schelhowe (2014), menyimpulkan adanya
risk-taking dalam pengembangkan inovasi, sehingga memerlukan dukungan
fasilitas pendanaan pemerintah dan pendampingan (Cook et al., 2003). Kebijakan
pemerintah menjadi penggerak inovasi usaha (Herrera dan Nieto, 2008)
Kondisi sosial kemasyarakatan adalah sumber yang menentukan
keberlanjutan entrepreneurship. Infrastruktur sosial adalah sistem sosial
kemasyarakatan yang digagas oleh Flora dan Flora (1993), Thompson (2008),
yang berdampak kepada keberlangsungan inovasi dan kreativitas usaha kecil
(Miller, 1983; Freiling dan Schelhowe, 2014). Social infrastructure yang mampu
melahirkan dan mengembangkan secara berkelanjutan entrepreneurs digagas oleh
Van de Ven dan Garud (1989). Lebih terfokus kepada pembentukan organisasi
formal yang dapat membedakan dengan jelas pilar organisasi dalam rangka
pengembangan entrepreneurs berkelanjutan (Defourny dan Nyssens, 2008).
73
2.2.5 Kajian Pengaruh Kebijakan Pemerintah,Infrastruktur Sosial, dan
Kewirausahaan Terhadap Sumber Daya Bersaing
Pemerintah memfasilitasi pengembangan inovasi untuk mendorong
kemajuan usaha kecil mencakup kebutuhan inovasi, bantuan pemerintah dalam
rangka pengembangan skill karyawan, serta upaya untuk membangun
produktivitas karyawan yang semakin berdaya saing (Guan dan Chen, 2012).
Kebijakan pemerintah berdampak nyata memberikan kontribusi pada
pemberdayaan sumber daya dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya
melalui pendampingan dan pemberdayaan (Wolff, 2002). Kebijakan pemerintah
berdampak kepada sumber daya saing (Hayes, 2007) yang memberikan
pandangan pengembangan kompetensi sumber daya bersaing (Khan, 2014).
Entrepreneurship merupakan komponen yang berdampak kepada
peningkatan kualitas sumber daya bersaing (Chang, 2007). Keberadaan
entrepreneur (Piere dan Sable, 1984; Carlsson, 1992; Wennekers dan Thurik,
1999), menjadi penentu bagi keberhasilan pengembangan sumber daya bersaing
(Hayes, 2007) yang menyimpulkan perlunya penguatan daya saing berbasis
entrepreneurial.
2.2.6 Kajian Pengaruh Kebijakan Pemerintah,Infrastruktur Sosial,
Kewirausahaan, dan Sumber Daya Bersaing Terhadap Kesejahteraan
Pengrajin.
Infrastruktur sosial merupakan sistem sosial kemasyarakatan sebagaimana
digagas oleh Flora dan Flora (1993), Thompson (2008), serta Ridley et al. (2011)
berfungsi menjadi pondasi bagi penguatan nilai-nilai sosial dan spiritual well-
being yang dinyatakan memiliki dampak terhadap kesejahteraan masyarakat
dimana tingkat kesejahteraan dinyataan sebagai The quality of life yang
74
dinyatakan memiliki dimensi religious well-being (Tsung, 2002), serta memiliki
komponen yang berkaitan dengan dimensi kesehatan masyarakat, kondisi fisik
dan sosial, serta faktor intelektualitas (Ellison dan Smith, 1991; Chandler et al.,
1992; Kamya, 2000).
Entrepreneur merupakan kompoonen yang menggerakkan kesejahteraan
masyarakat. Entrepreneur digagas oleh Miller (1983), sikap risk-taking, proactive
serta sikap inovatif dan kreatif dalam pengembangan produksi. Lumpkin dan Dess
(1996), menyimpulkan bahwa keberhasilan usaha sangat ditentukan oleh orentasi
dalam pengelolaan usaha yang dapat membangun nilai usaha untuk semakin
dikenal oleh publik. Freiling dan Schelhowe (2014), mengembangkan konsep
pengukuran entrepreneurship yang bersumber dari Miller (1983), dengan
perluasan menjadi empat komponen yaitu inovasi, arbitrage, coordination dan
resiko usaha. Komponen entrepreneurs tersebut memiliki dampak atas
kesejahteraan sebagaimana digambarkan oleh The quality of life dinyatakan
memiliki dimensi religious well-being (Tsung, 2002), serta memiliki komponen
yang berkaitan dengan dimensi kesehatan masyarakat, kondisi fisik dan sosial,
serta faktor intelektualitas (Ellison dan Smith, 1991; Chandler et al., 1992;
Kamya, 2000).
Hayes (2007) menguraikan delapan dimensi yang menentukan kualitas
sumber daya bersaing, dimana perubahan pasar global memerlukan dukungan
sumber daya perajin yang tanggap dan responsif terhadap persaingan usaha,
mencakup komponen kemampuan pengusaha dalam mengelola kerja sama. Chang
(2007) dan Hayes (2007) yang menggali pustaka untuk menyajikan kompetensi
75
sumber daya bersaing. Khan (2014), menyajikan sejumlah kendala yang dapat
menghambat terwujudnya sumber daya bersaing dalam rangka mendapatkan
perluasan pasar dan pengembangan potensi produksi. Penggabungan komponen
penentu sumber daya bersaing berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan
pengusaha perajin (Tsung, 2002).
2.2.7 Kajian Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Kewirausahaan
Melalui Infrastruktur Sosial
Kewirausahaan adalah sikap perilaku pengusaha yang tidak dapat
dilepaskan dari kondisi sosial kemasyarakatan. Apabila kondisi sistem sosial
dapat memberikan dukungan bagi keberlangsungan wirausahawan untuk
berkembang, maka sistem sosial dapat menjadi penggerak kinerja usaha untuk
mencapai daya saing. Bahwa sebagaimana dinyatakan Flora dan Flora (1993)
penataan sistem sosial menjadi sangat strategis untuk dikondisikan, sehingga
kehadiran kebijakan pemerintah (North, 1990) menjadi relevan untuk dihadirkan
dalam rangka penguatan sistem sosial kemasyarakatan untuk melahirkan lebih
banyak wirausahawan baru.
2.2.8 Kajian Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Sumber Daya
Bersaing Melalui Infrastruktur Sosial dan Kewirausahaan
Sebagaimana telah dinyatakan Zott (2003), bahwa kewirausahaan
merupakan faktor yang membentuk sumber daya bersaing, meningkatkan
kapasitas menjadi lebih bersaing untuk membangun kinerja produksi, sehingga
kualitas sumber daya akan dapat ditingkatkan melalui pemberdayaan
kewirausahaan agar semakin responsive dan penuh kesiapan dalam mengelola
resiko usaha dan pengembangan produk dalam rangka pengembangan kinerja
76
usaha berdaya saing. Man, Lau dan Snape (2002) mempertegas posisi
wirausahawan sebagai prilaku yang dibutuhkan dalam mempermantap sumber
daya bersaing dalam membangun kinerja usaha. Dengan demikian, maka
kebijakan pemerintah sangat relevan dan penting untuk dihadirkan dalam
penguatan kewirausahaan yang akhirnya berdampak kepada penguatan sumber
daya saing untuk membangun kinerja usaha.
2.2.9 Kajian Empiris Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap
Kesejahteraan Pengrajin Melalui Infrastruktur Sosial,
Kewirausahaan, dan Sumber Daya Bersaing
Social infrastructure sebagai mediasi yang memperkuat kebijakan
pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan direkomendasikan oleh Crocker et
al. (1998), yang menggambarkan peran pemerintah lokal sebagai regulator, dan
fasilitator, serta pemberdayaan melalui partnership dalam membangun public
capital. Kebijakan pemerintah menjadi bagian penting dalam menggerakkan
public capital dan social infrastructure untuk memperkuat komunitas lokal
membangun kesejahteraan mereka (Kretzman dan McKnight, 1993).
Peran entrepreneur sebagai mediasi dalam rangka menggerakkan
pertumbuhan usaha dan kesejahteraan disampaikan oleh Piere dan Sable (1984)
serta Wennekers dan Thurik (1999). Dalam hal mana kebijakan pemerintah
melaksanakan fungsinya melakukan regulasi dan pemberdayaan dalam rangka
penguatan infrastruktur sosial, termasuk ketersediaan asset dan terpeliharanya
sumber daya alam (North, 1990; Kretzman dan McKnight, 1993; Wollf, 2002).
Sumber daya bersaing tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kreativitas dan
77
inovasi yang diperlukan dalam membangun kinerja usaha. Zirger dan Maidique
(1990) mengkaitkan kualitas sumber daya bersaing sebagai kreativitas dalam
menggali gagasan-gagasan baru dalam membangun inovasi produk untuk
mendapatkan perluasan segmentasi pasar. Sumber daya bersaing yang memiliki
kualitas untuk menggerakkan kreativitas mencakup sejumlah komponen aktivitas
baik berkaitan dengan kreativitas pengembangan produksi maupun dalam rangka
pengembangan kinerja pengelolaan usaha Hult et al. (2004). Peneliti lainnya,
Roehrich (2004) menjelaskan kreativitas sebagai kapabilitas sumber daya untuk
mengembangkan produk baru sesuai dengan arah perkembangan persaingan pasar.
Lin dan Chen (2007) menyatakan keterkaitan kreativitas dalam rangka
pengembangan desain produk, proses, tata kelola administrasi, market strategy,
serta kemampuan sumber daya dalam membangun adaptasi teknologi baru yang
relevan dengan kebutuhan pasar. Dengan demikian, sebagaimana dinyatakan oleh
North (1990) bahwa kebijakan pemerintah menjadi sangat strategis dalam rangka
membangun kualitas bersaing pada komponen pengusaha kecil dan menengah.
2.2.10 Kajian Empiris Pengaruh Infrastruktur Sosial Terhadap Sumber
Daya Bersaing Melalui Kewirausahaan
Seorang wirausahawan sukses dengan cara memikirkan dan mengerjakan
hal-hal baru atau hal-hal lama dengan cara-cara baru. Memiliki ide yang hebat
tidaklah mencukupi, mengubah ide menjadi produk, jasa, atau usaha bisnis yang
berwujud merupakan tahapan berikutnya yang esensial (Zimmerer, Scarborough,
dan Wilson, 2008). Inovasi terdapat dalam dua bentuk yaitu melakukan dengan
78
lebih baik atau melakukan yang berbeda. Melakukan dengan lebih baik atau
steady state di mana inovasi terjadi tetapi dilakukan dengan lebih baik.
Melakukan yang berbeda di mana aturan mainnya telah bergeser baik dikarenakan
pasar utama teknologi atau pergeseran politik dan di mana terdapat ketidakpastian
yang tinggi. Sumber daya bersaing tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan
kreativitas dan inovasi yang diperlukan dalam membangun kinerja usaha.
Zirger dan Maidique (1990), mengkaitkan kualitas sumber daya bersaing
sebagai kreativitas dalam menggali gagasan-gagasan baru dalam membangun
inovasi produk untuk mendapatkan perluasan segmentasi pasar. Sumber daya
bersaing yang memiliki kualitas untuk menggerakkan kreativitas mencakup
sejumlah komponen aktivitas baik berkaitan dengan kreativitas pengembangan
produksi maupun dalam rangka pengembangan kinerja pengelolaan usaha Hult et
al. (2004).
2.2.11 Kajian Empiris Pengaruh Infrastruktur Sosial Terhadap
Kesejahteraan Pengrajin Melalui Kewirausahaan dan Sumber Daya
Bersaing
Infrastuktur sosial merupakan sistem sosial yang memberikan ruang bagi
berkembangnya kewirausahaan sebagaimana dikembangkan oleh Flora dan Flora
(1997), serta Emory dan Flora (2006). Kondisi sosial yang menunjang penguatan
sumber daya kewirausahaan khususnya pada skala usaha kecil dan menengah
merupakan hal yang sangat strategis. Sirivanh dan Sukkabot (2010) menyatakan
bahwa kewirausahaan menjadi penentu dalam pengembangan daya saing usaha
kecil dan menengah, sehingga peran kewirausahaan menjadi sangat strategis
79
dalam pengembangan kesejahteraan usaha kecil dan menengah (SME). Gürbüz
dan Aykol (2009) membuktikan bahwa penguatan kewirausahaan menjadi kunci
penentu dalam menggerakkan usaha mendapatkan perluasan segmen pasar.
2.2.12 Kajian Empiris Pengaruh Kewirausahaan Terhadap Kesejahteraan
Pengrajin Melalui Sumber Daya Bersaing
Sumber daya bersaing (Hayes, 2007) menjadi penentu dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Khan (2014) menyimpulkan sumber daya
bersaing dapat diperkuat melalui peran entrepreneurial sebagai basis sumber daya
yang responsive dan tanggap terhadap pengembangan inovasi dan kreativitas
dalam membangun produk bernilai tambah (Guan dan Chen, 2012; Cook et al.,
2003), berdampak kepada pengusaha untuk mengembangkan product innovation
(Miller, 1983).
Jong dan Wennekers (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan merupakan
sikap atau keamampuan yang dimiliki oleh seorang entrepreneur yang berani
mengambil risiko untuk menjalankan usaha sendiri dengan memanfaatkan
peluang-peluang untuk menciptakan usaha baru atau dengan pendekatan yang
inovatif sehingga usaha yang dikelolanya berkembang menjadi besar dan mandiri
dalam menghadapi tantangan-tantangan persaingan. Kata kuncinya adalah
pengambilan resiko, menjalankan usaha sendiri, memanfaatkan peluang-peluang,
menciptakan usaha baru, pendekatan yang inovatif, mandiri (seperti tidak
bergantung pada bantuan pemerintah). Keberhasilan menerapkan sikap dan
kemampuan tersebut dapat memberikan peningkatan pendapatan seorang
entrepreneur sebagai hasil dari kinerja usahanya.
80
Baldacchino (2009) menyatakan bahwa kewirausahaan adalah kemampuan
kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari
peluang menuju sukses dengan cara memikirkan sesuatu yang baru dan berbeda
dan melakukan sesuatu yang baru dan berbeda. Seorang wirausahawan harus
memiliki ide-ide baru yang dihasilkan dari suatu kreativitas. Kreativitas inilah
yang akan membawa wirausahawan untuk ber-inovasi terhadap usahanya.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Drucker (1985) bahwa dengan
semangat, kemampuan, sikap, perilaku yang dimiliki oleh seorang entrepreneur
dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari,
menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan
meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan
atau memperoleh keuntungan yang lebih besar sehingga pendapatan semakin
meningkat sebagai cermin dari peningkatan kesejahteraannya.
top related