bab ii teori umum a. definisi maqasid shari
Post on 11-Aug-2019
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
20
BAB II
TEORI UMUM MAQA<S}ID SHARI<’AH
A. Definisi Maqa>s}id Shari<’ah
Maqa>sid al-shari<’ah Secara bahasa (lughawi) terdiri dari dua
kata, yakni maqa>s}id dan shari<’ah. Maqa>s}id adalah bentuk plural
dari maqs}ad yang berakar dari kata kerja ( ومقصدا -قصدا -یقصد - قصد ). Yang
berarti niat, maksud atau tujuan1. Sedangkan kata al-shari<’ah berasal dari
kata shara’a al-shai’ yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil
dari al-shar’ah dan al-shari<’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak
pernah terputus2. Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang
ramai mengambil air. Selain itu shari<’ah berasal dari akar kata shara’a,
yashri’u, shar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan3,
dengan demikian al-shari<’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru
mulai dilaksanakan. Shara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan
menunjukkan jalan. Jadi, secara bahasa shari<’ah menunjukkan kepada
tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan
terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.
Adapun pengertian Maqa>s}id Shari<’ah secara istilah al-Sha>t}ibi>
tidak membuat ta’ri>f yang khusus, beliau cuma mengungkapkan tentang
1 A.W. Munawwir, Kamus Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka Progresif,
1997),1123 2 Yusuf Al-Qard}awi, Fikih Maqa>s}id Shari’ah, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar:, 2007), 12 3 Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press:, 2007), 36
21
shari<’ah dan fungsinya bagi manusia seperti ungkapannya dalam kitab al-
Muwa>faqa>t :
وضعت لتحقيق مقاصد الشارع يف قيام مصاحلهم يف الدين والدنيا معا .… هذه الشريعة“Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat”.
االحكام مشروعة ملصاحل العباد “Hukum-hukum diundangkan untuk kemashlahatan hamba”.4
Dari ungkapan al-Sha>t}ibi> tersebut bisa dikatakan bahwa Al- Sha>t}ibi> tidak
mendefinisikan Maqa>s}id Shari>’ah secara konfrehensif cuma menegaskan bahwa
doktrin Maq>as}id Shari’ah adalah mas}lahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat
manusia baik di dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu al-Sha>t}ibi> meletakkan
posisi mas}lahat sebagai ‘illat hukum atau alasan penshariatan hukum Islam.
Sedangkan Zahruddin Abd Al-Rahman mendefinisikan Maqa>s}id Shari’ah sebagai:
املقاصد هو الغاية واالسرار اليت وضعها الشارع عند كل حكم من احكامه مراعاة ملصاحل 5الناس
“ Maqas}id Shari<’ah adalah tujuan dan rahasia yang ditetapkan oleh Sha>ri’ pada setiap hukum-hukumnya untuk menjaga kemaslahatan manusia”.
sebagian ulama’ menyimpulkan definisi maqa>s}id al-shari>’ah
sebagai :
1. Tujuan-tujuan, nilai, dan faidah yang ingin dicapai dari
diturunkannya shari>’at, baik secara global ataupun secara rinci. Bisa
4 Al- Shat}ibi, Al-Muwa>faqa>t, Jilid II, (Kairo: Must}afa Muhammad, t.th.), 9 5 Zahruddin Abd Al-Rahman, Maqa>s}id Shari’ah fi< Ahka>m al-Buyu>’ (Libanon: Da>r al-kutub al-
Ilmiyah, 2009), 25
22
juga bermakna tujuan-tujuan diturunkannya shari>’at untuk
merealisasikan kemaslahatan umat manusia.6
2. Kemaslahatan untuk umat manusia yang bersifat segera (di dunia / al-
‘a>jilah) ataupun di masa yang akan datang (di akhirat / al-a>jilah),
sebagai tujuan dari Allah karena telah masuk Islam dan melaksanakan
shari’at-Nya.7 Maqa>sid al-shari>’ah kadang juga disebut dengan kata-
kata “ al-hikam, al-‘illah, al-ma’a>ni>, dan al-mas}a>lih}.8
B. Dasar Maqa>s}id Shari<’ah
Beberapa kandungan ayat al-Qur’a>n yang menunjukkan konsep Maqa>s}id
al-shari>’ah yang menunjukkan bahwa hukum-hukum Tuhan mengandung
kemaslahatan.9 Diantara ayat-ayat tersebut adalah :
- Surat al-Nisa’ ayat 165 :
رسال مبشرين ومنذرين لئال يكون للناس على اهللا حجة بعدالرسل“Mereka kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pambawa peringatan, agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.”10
- Surat al-Zariyat ayat 56 :
وماخلقت اجلن واإلنس إالليعبدون“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu.”11
- Surat al-‘Ankabut ayat 45 :
6 Ahmad al-Raisu>ni>, al-Fikr al-Maqa>s}idi>, qawa>’iduhu wa fawa>’iduhu, (riba>t}: al-da>r al-baid}a>’,
1999), 13 7 Muhammad bakr Isma>’i>l Habi>b, Maqa>s}id al-Shari>’ah, Ta’s}i>lan wa Taf’i>lan, (tk, tp, tt), 18 8 Ibid, 25 9 Al- Shat}ibi, Al-Muwa>faqa>t, Jilid II, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 6-7 10 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung : Al-Jumanatul Ali, 2004), 524 11 Ibid, 402
23
إن الصالة تنهى عن الفحشاءواملنكر“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.”12
Berdasarkan ayat-ayat diatas, al-Sha>t}ibi> mengatakan bahwa maqa>s}id al-
shari<’ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum secara
keseluruhan.13 Yakni, apabila terdapat permasalahan-permasalahan hukum yang
tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, dapat dianalisis melalui
maqa>s}id al-shari<’ah yang dilihat dari ruh shari’at dan tujuan umum dari agama
Islam.
C. Prinsip Maqa>s}id Shari<’ah
Pembagian maqa>s}id Shari<’ah menjadi tiga tingkatan kemaslahatan,
yaitu d}aru>riya>t, ha>jiya>t dan Tahsi>niya>t. Pembagian tersebut tidak secara
parsial berdiri sendiri karena antara satu dengan yang lain saling melengkapi
dan mengisi kekurangannya14. Kemaslahatan d}aru>riyat adalah bagian
terpenting dari kemaslahatan haji>ya>t dan tahsi>niya>t. Jika d{aru>riyat itu rusak
maka yang lainnya juga ikut rusak, karena d}aru>riyat itu dapat diibaratkan
sebagai imamnya, ha>jiya>t sebagai na>filahnya dan tahsi>niyat itu sesuatu yang
penting selain nafilah.15 Maka dari itu sangat penting kita memelihara
d}aru>riyat terlebih dahulu daripada memelihara ha>jiyat ataupun tahsi>niyat.
12 Ibid, 105 13 Al- Shat}ibi, Al-Muwa>faqa>t, Jilid II, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 6-7 14 Wahbah Al-Zuhaili>, Us}ul al-Fiqh, juz II, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 1026 15 Muhammad Sa’id Ramd}an al-Bu>t}i, D}awa>bit} al-mas}lahah fi al-Shari’ah al isla>miyah,
(Damaskus, Muassasah al-risa>lah,1977), 129
24
Prinsip maqa>s}id shari<’ah adalah menjaga kemaslahatan, Sasaran dari
kemaslahatan itu adalah menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta,
kelima-limanya tersusun secara teratur menurut skala prioritas masing-
masing.16 Dalil maslahat itu tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’a>n, as-
sunnah, dan qiyas, harus mendahulukan yang lebih penting, serta mengikuti
prinsip dasar dalam maqa>s}id shari<’ah. Jika pertentangan antara dua perkara
yang sama maka harus didahulukan maslahah yang lebih umum daripada
maslahah yang lebih khusus.17
Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hamba
dunia dan akhirat. seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat,
kemaslahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang
dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum
Islam.18 Hal senada juga dikemukakan oleh al-sha>t}ibi, Ia menegaskan bahwa
semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan
hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum
yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma> la>
yut}a>q’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).19 Dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama
16 Wahbah Al-Zuhaili>, Us}ul al-Fiqh juz II, (Libanon, Da>r al-kutub al-Ilmiyah, 2009), 1026 17 Muhammad Sa’id Ramd}an al-Bu>t}i, D}awa>bit} al-mas}lahah fi al-Shari’ah al isla>miyah,
(Damaskus: Muassasah al-risa>lah,1977), 129 18 Ibn Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in Rabb al- ‘Alamin, Jilid III, (Beirut: Da>r al-Jayl, t.th.),.3. lihat
juga Izzuddin Ibn Abd al-salam, Qawa>id al-Ahkam fi Mas}a>lih al -Anam , jilid II,(Bairut: Dar al-Jail, t.thn), 72. Wahbah Zuhaili, Us}ul al-Fiqh al-Islami, Jilid II, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 1017.
19 Al- Shat}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi Us}ul al- Shari’ah, juz II, (Kairo: Mustafa Muhammad, t.th.), 150.
25
Us}ul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi,
semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin
terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi Maqa>s}id al-Sha>ri’ah dimaksud
adalah memelihara Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.20
Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas.
Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan
siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling
bertentangan. Dalam konteks ini level D}aru>riyya>t menempati peringkat
pertama disusul H{a>jiyya>t dan Tah{siniyya>t. level D}aruriyya>t adalah
memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Bila
kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan
diatas. Sementara level H{ajiyya>t tidak mengancam hanya saja menimbulkan
kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level Tah{siniyya>t, adalah
kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam
masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara
unsur Agama, aspek d}aruriayya>tnya antara lain mendirikan Shalat, shalat
merupakan aspek d}aruriayya>t, keharusan menghadap kiblat merupakan aspek
h{ajiyya>t, dan menutup aurat merupakan aspeks tah{siniyyat.21 Ketiga level
ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum
Islam.
20 Abi H{a>mid Muhammad bin Muh{ammad al-Ghaza>li, al-mustas}fa> min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.th), 20 21 Ibid, 72
26
Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Shari<’ah,
berikut ini akan dijelaskan kelima misi pokok menurut kebutuhan dan skala
prioritas masing-masing.
1. Memelihara Agama (Hifz} al-di>n)
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara Agama dalam peringkat D}aruriyya>t, yaitu
memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang
masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima
waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah
eksistensi Agama.
b. Memelihara Agama dalam peringkat H{ajiyya>t, yaitu
melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari
kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang
yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan
maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan
hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c. Memelihara agama dalam peringkat tah}siniyya>t, yaitu
mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat
manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap
tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar
shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini
27
kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini
tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan
mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi
orang yang melakukannya.
2. Memelihara jiwa (H{ifz} al-Nafs)
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
a. memelihara jiwa dalam peringkat d}aruriyya>t, seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia.
b. memelihara jiwa, dalam peringkat h}ajiyya>t, seperti diperbolehkan
berburu binatang dan mencari ikan dilaut untuk menikmati
makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka
tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya
mempersulit hidupnya.
c. Memelihara dalam tingkat tah{siniyya>t, seperti ditetapkannya
tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan
dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam
eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan
seseorang.
3. Memelihara Akal (H{ifz} al-aql)
28
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara akal dalam peringkat d}aruriyya>t,seperti diharamkan
meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan,
maka akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b. Memelihara aqal dalam peringkat h}ajiyya>t, seperti dianjurkannya
menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka
tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang,
dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
c. Memelihara akal dalam peringkat tah}siniyya>t. Seperti
menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu
yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak
akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
4. Memelihara keturunan (H{ifz} al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. memelihara keturunan dalam peringkat d}aruriyya>t, seperti
dishari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
b. memelihara keturunan dalam peringkat h}ajiyya>t, seperti
ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada
waktu akad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu
29
tidak disebutkan pada waktu akad, maka suami akan mengalami
kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam
kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak
menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya
tidak harmonis.
c. memelihara keturunan dalam peringkat tah}siniyya>t, seperti
dishari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini
dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal
ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan,
dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5. Memelihara Harta (H{ifz} al-ma>l)
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
a. memelihara harta dalam peringkat d{aruriyya>t, seperti Shari’at
tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta
orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu
dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
b. memelihara harta dalam peringkat h}ajiyya>t seperti shari’at tentang
jual beli dengan cara salam (pesanan). Apabila cara ini tidak
dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan
akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
30
c. memelihara harta dalam peringkat tah}siniyya>t, seperti ketentuan
tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal
ini erat kaitannya dengan etika bermua’malah atau etika bisnis.
Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu,
sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya
peringkat yang kedua dan pertama.22
Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua
cara yaitu:
1. Dari segi adanya (min na>hiyyati al-wujud) yaitu dengan cara
manjaga dan memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan
keberadaannya seperti :
a. Menjaga agama dari segi al-wujud misalnya shalat dan
zakat.
b. Menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan
minum.
c. Menjaga akal dari segi al-wujud misalnya makan dan
mencari ilmu.
d. Menjaga al-nasl dari segi al-wujud misalnya nikah.
e. Menjaga al-mal dari segi al-wujud misalnya jual beli dan
mencari rizki23.
22 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), 128 – 131 23 Al- Sha>t}ibi, Al-Muwa>faqa>t, Jilid II, (Kairo: Da>r Ibn ‘Affa>n, t.th.), 17-19.
31
2. Dari segi tidak ada (min na>hiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara
mencegah hal-hal yang menyebabkan ketiadaannya.
seperti :
a. Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan
hukuman bagi orang murtad.
b. Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qis}as}
dan diyat.
c. Menjaga akal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum
khamr.
d. Menjaga al-nasl dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina
dan muqdzif.
e. Menjaga al-mal dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong
tangan pencuri24.
D. Macam-macam Maqa>s}id Shari<’ah
Maq>as}id Shari<’ah terbagi pada dua bagian penting yakni Maksud
Sha>ri’ (qas}du al-sha>ri’) dan Maksud Mukallaf (qas}du al-mukallaf)25.
Maksud Sha>ri’ kemudian dibagi lagi menjadi empat bagian yaitu26:
1. Qas}du al-Sha>ri’ fi Wad}’i al-Shari<’ah (maksud sha>ri’ dalam
menetapakan syariat). Dalam bagian ini mengacu kepada suatu
24 Ibid., 19. 25 Dalam hal beribadah, harus disertai dengan niat yang jelas dan sah secara shar’i dan harus
dibedakan amalan yang termasuk ibadah dan amalan yang termasuk adat, hukumnya pun harus dibedakan. al-Sha>t}ibi, Al-Muwa>faqa>t, juz II, (Kairo: Mus}t}afa> Muhammad, t.th.), 323-324.
26 Ahmad al-Raisu>ni>, Nadhariyyat al-maqa>s}id ‘inda al-ima>m al-sha>t}ibi>, (riba>t}: da>r al-ama>n, 2009), 124.
32
pertanyaan: “Apakah sesungguhnya maksud sha>ri’ dengan
menetapkan shari’atnya itu?”, Menurut al-Shat}ibi, Allah
menurunkan shariat (aturan hukum) tidak ada lain selain untuk
mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan
(jalbul mas}a>lih wa dar’ul mafa>sid). Dengan bahasa yang lebih
mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah
untuk kemaslahatan manusia itu sendiri27.
2. Qas}du al-Sha>ri’ fi Wad}’I al-Shari<’ah lil Ifha>m 28(maksud
Sha>ri’ dalam menetapkan shari<’ahnya ini adalah agar dapat
dipahami). Ada dua hal penting yang dibahas dalam bagian
ini. Pertama, shari<’ah ini diturunkan dalam Bahasa Arab. Oleh
kerena itu, untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu
memahami seluk beluk dan uslub bahasa Arab. Kedua, bahwa
shari’at ini ummiyyah, maksudnya untuk dapat memahaminya
tidak membutuhkan bantuan ilmu-ilmu alam seperti ilmu
hisab, kimia, fisika dan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar
shari<’ah mudah dipahami oleh semua kalangan manusia.
Apabila untuk memahami shari’ah ini memerlukan bantuan
ilmu lain seperti ilmu alam, paling tidak ada dua kendala besar
yang akan dihadapi manusia umumnya, yaitu kendala dalam
hal pemahaman dan dalam pelaksanaan. Shari<’ah mudah 27 Ibid., 125. 28 Ibid., 129.
33
dipahami oleh siapa saja dan dari bidang ilmu apa saja karena
ia berpangkal kepada konsep maslahah (fahuwa ajra> ‘ala
i’tibari al-mas}lahah).
3. Qas}du al-Sha>ri’ fi< Wad}’I al-Shari<’ah li al-Taklif bi
Muqtad}a>ha>29 (maksud Sha>ri’ dalam menentukan shari’at
adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntutNya).
Masalah yang dibahas dalam bagian mengacu kepada dua
masalah pokok yaitu: Pertama, taklif (pembebanan) yang di
luar kemampuan manusia (at-taklif bima> la> yut}a>q). artinya
tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas
kemampuan manusia. Kedua, taklif yang di dalamnya
terdapat mashaqah, kesulitan (al-taklif bima> fii>hi mashaqqah).
Artinya dengan adanya taklif, Shari’ tidak bermaksud
menimbulkan mashaqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi
sebaliknya di balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukalla.
Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit
yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti
memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di
balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa
berikutnya. Dalam masalah agama misalnya, ketika ada
kewajiban jihad, maka sesungguhnya tidak dimaksudkan
29 Ibid., 130.
34
dengannya untuk menceburkan diri dalam kebinasaan, tetapi
untuk kemaslahatan manusia itu sendiri yaitu sebagaiwasilah
amar makruf nahyil munkar. Demikian pula dengan hukum
potong tangan bagi pencuri, tidak dimaksudkan untuk merusak
anggota badan akan tetapi demi terpeliharanya harta orang
lain. Apabila dalam taklif ini ada masyaqah, maka
sesungguhnya ia bukanlah masyaqah tapi kulfah,30 sesuatu
yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari kegiatan manusia
sebagaimana dalam kacamata adat, orang yang memikul
barang atau bekerja siang malam untuk mencari kehidupan
tidak dipandang sebagai masyaqah, tetapi sebagai salah satu
keharusan dan kelaziman untuk mencari nafkah. Demikian
juga halnya dengan masalah ibadah. Masyaqah seperti ini
menurut Imam Sha>t}ibi disebut Mashaqqah Mu’ta>dah karena
dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota badan dan
karenanya dalam syara’ tidak dipandang sebagai masyaqah.31
4. Qas}du al-Sha>ri’ fi Dukhul al-Mukallaf Tah}ta Ahkam al-
Shari<’ah32 (tujuan sha>ri’ dalam menjadikan mukallaf dibawah
naungan hukum shari<’ah). Pembahasan ini mengacu kepada
pertanyaan: “Mengapa mukallaf melaksanakan hukum
30 Al- Sha>t}ibi, Al-Muwa>faqa>t, (Kairo: Da>r Ibn ‘Affa>n, t.th.), Jilid II, 214. 31 Ibid, 217. 32 Ahmad al-Raisu>ni>, Nadhariyyat al-maqa>s}id ‘inda al-ima>m al-sha>t}ibi>, (riba>t}: da>r al-ama>n, 2009), 135.
35
Shari<’ah?” Jawabannya adalah untuk mengeluarkan mukallaf
dari tuntutan dan keinginan hawa nafsunya sehingga ia
menjadi seorang hamba yang dalam istilah al-Sha>t}ibi disebut:
hamba Allah yang ikhtiyaran dan bukan yang id}t}ira>ran.
Adapun Maksud Mukallaf (qas}du al-mukallaf) terbagi menjadi dua
yaitu (1) maksud mukallaf terkait dengan niat dan yang ke (2) maksud
mukallaf harus sesuai dengan maksud sha>ri’.
E. Cara Memahami Maqa>s}id al-shari>‘ah
1. Dengan memahami tata bahasa Arab (Uslu>b)
Cara pertama ini bertitik tolak dari alasan bahwa Al qur’an
sebagai sumber hukum diturunkan oleh Allah Swt., dengan
menggunakan bahasa arab sebagaimana dijelaskan dalam Alqur’an
Q.S Shura ayat 192-195:
رب ل زي ن تـ ل نه إ مني و ال لع ني . ا ألم وح ا ل به الر ن . نـز نذري مل ن ا ن م تكو ك ل لب ى قـ . علني ب يب م ر سان ع .بل
“Dan Sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.
Menurut al- Sha>t}ibi al-Qur’an dipaparkan dalam bahasa Arab
yang tinggi dan Ma’hu>d (berkembang) dalam kalangan bangsa Arab
baik dari segi lafaz}nya maupun uslu>bnya. Sebagai contoh, al-Sha>t}ibi
menyebutkan bahwa orang-orang Arab adakalanya menggunakan
36
lafalz ‘a>m dengan tujuan kha>s, adakalanya dengan tujuan ‘a>m pada
satu segi dan khas pada segi yang lain33.
Berhubungan dengan pendapat al-Sha>t}ibi di atas yang
menyatakan betapa pentingnya Bahasa Arab untuk memahami al-
qur’an dan disinggungnya contoh lafaz} ‘a>m yang di Isti’malkan
(penggunaan) oleh bangsa Arab, penulis menganggap penting
menyinggung sedikit tentang lafaz} ‘a>m sebagai contoh lafaz} yang
harus dipahami bagi siapa saja yang ingin memahami maksud Sha>ri’
yang terdapat dalam al-qur’an dan hadist.
Menurut istilah Ulama’ Us}ul fiqih, ‘a>m adalah “Suatu lafaz}
yang sengaja diciptakan untuk menunjukkan kepada suatu makna
yang mencakup seluruh satuan-satuan tanpa terbatas pada satu
jumlah tertentu”.34 Lafaz} Insan umpamanya, mencakup semua yang
namanya manusia. Dilihat dari segi penerapan lafaz} ‘a>m, ulama Us}ul
Fiqh membaginya kepada tiga tingkatan, yaitu:
a, Lafalz ‘a>m yang dikehendaki darinya adalah ‘a>m.35 Artinya,
lafalz ‘am dan maksudnya juga‘am. Lafalz ‘am dalam bentuk ini
tidak didapatkan indikasi untuk memberlakukan takshis padanya.
33 Ahmad al-Raisu>ni>, Nadhariyyat al-maqa>s}id ‘inda al-ima>m al-sha>t}ibi>, (riba>t}: da>r al-ama>n, 2009),
272 34 al-Ra>zi, al-Mahs}u>l Fi> ‘Ilmi al-Us}u>l, jilid II, (Makah : Maktabah Nizar Mustafa al-Baaz, 1997),
460. 35 Wahbah Al-Zuhaili>, Us}ul al-Fiqh, juz II, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 250
37
b, Lafalz ‘a>m yang mengandung pernyataan Umum tetapi yang di
kehendaki darinya adalah Khusus36. ‘a>m dalam bentuk ini
terdapat indikasi yang memalingkan arti ‘a>mnya.
c, Lafalz ‘a>m yang mutlak, artinya tidak diperdapatkan tanda-tanda
untuk dikehendaki kepada umum ataupun kepada khusus37.
Masih banyak lagi istilah-istilah khusus selain lafaz} ‘am yang
berkaitan dengan pembahasan lafaz} dan dilalah lafalz yang harus
diketahui oleh seorang yang ingin memahami Maslahah (Maqa>shid
al- Syari’ah) yang terdapat dalam al-qur’an dan hadis, diantaranya
lafaz} Khas, Musytarak, Haqiqat, Majaz, Dilalah lafaz}, dan Nasakh38.
2. Menelaah ‘Illah al-Amr dan al-Nahy
Maqas}id shari>’ah dapat dipahami melalui analisis atas ‘illah
hukum yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an atau Hadis. Apabila
‘illah tersebut tertulis secara jelas maka harus mengikuti apa yang
tertulis tersebut.39 Namun apabila ‘illah tersebut tidak dapat
diketahui dengan jelas, maka yang dilakukan adalah tawaqquf.
36 Tajuddin al-Subqi, Jam’u al- Jawa>mi’, juz II, (Semarang : toha putra, t.th), 4. 37 ‘Abd Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Quwaitiyyah, 1968), 186 38 Mengenai keharusan memahami bahasa Arab, Fazlurrahman memperkuat pendapat al-Sha>t}ibi>
dengan menyatakan bahwa memahami al-Qur’an secara tepat diperlukan pengetahuan bahasa Arab termasuk dengan idiom-idiom bahasa Arab pada zaman Nabi. Lihat: Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1984), 48. Muh}ammad Abu> Zahrah memastikan bahwa secara pasti dapat dikatakan bahwa seluruh ulama ahl al-us}u>l al-fiqh sepakat terhadap keharusan adanya kemampuan atas bahasa Arab bagai orang yang ingin mendalami dan menggali kandungan al-Qur’an sebagai sumber hukum berbahasa Arab. Lihat: Muh}ammad Abu> Zahrah, Us}u>l al-Fiqh (Mesir: Da>r al-Fikr al-‘Arabiy, 1958), 380.
39 Sebagai contoh ‘illah yang tertulis secara jelas dapat dilihat dalam penshari’atan jual beli yang bertujuan saling mendapatkan manfaat melalui sebuah transaksi, penshari’atan h}udu>d untuk memelihara jiwa, dan pensyari’atan nikah yang bertujuan untuk melestarikan keturunan.
38
Mengenai hal ini al-Sha>t}ibi memberikan perhatian khusus
mengenai definisi praktis atas konsep ‘illah dalam karyanya al-
muwa>faqa>t fi> us}u>l al-shari>’ah dalam bab khusus (ba>b fi> al-shart}),
beliau membedakan antara ‘illah, sabab dan ma>ni’. Perbedaan antara
term tersebut terekam jelas dalam tulisannya:
د به ما وضع شرعا حلكم حلكمة يقتضيها ذلك احلكمفأما السبب فاملرا “sebab adalah sesuatu yang oleh shara’ dijadikan sebagai patokan adanya hukum”.40
ا األوامر او اإلباحة ا احلكم واملصاحل اليت تعلقت واملفاسد , وأما العلة فاملراد
ا النواهي اليت تعلقت “’illah adalah hikmah dan mas}lah}ah} yang berhubungan dengan perintah dan kebolehan, mafsadah dengan larangan”.41
ألنه إمنا يطلق بالنسبة إىل : وأما املانع فهو السبب املقتضى لعلة تنايف علة ما منع سبب مقتض حلكم لعلة فيه
“Ma>ni’ adalah sabab yang menjadikan hilangnya ‘illah. Dengan pijakan bahwa ditetapkannya hukum karena ‘illah yang terdapat di dalamnya”.42 Contoh praktis ‘illah hukum yang ditawarkan oleh al-Sha>t}ibi>
adalah Hadis:
40 Contoh konkret yang dapat diambil diantaranya adalah pencapaian nis}ab atas wajib zakat,
pergeseran matahari atas wajib shalat, mencari menjadi sebab atas wajib potong tangan, akad menjadi sebab diperbolehkannya memanfaatkan barang atau perpindahan hak milik.
41 Misalnya, kesulitan (mashaqqah) merupakan ‘illah atas diperbolehkannya qas}r al-s}ala>h dan ift}a>r al-s}iya>um dalam perjalanan (musafir). Sedangkan dalam perjalanan (safar) dianggap sebagai sabab diperbolehkannya qas}r al-s}}ala>h dan ift}a>r al-s}iya>m.
42 Misalnya, hutang menjadi pencegah danya aturan wajib zakat. Dengan asumsi bahwa dengan adanya seseorang mempunyai hutang, maka sabab kewajibab membayar zakat (kaya) menjadi hilang.
39
ت ع ري مس ن عم ك ب ل د الم ا عب ثـن ة حد ب ا شع ثـن حد ا آدم ثـن ن أيب حد د الرمحن ب عبة كر و ب ة قال كتب أب كر أنت ب ني اثـنـني و قضي بـ ان بأن ال تـ ه وكان بسجست ن ىل اب إ
قضني حكم قول ال يـ سلم يـ ه و ي عل ت النيب صلى الله ع ان فإين مس ني غضب ني اثـنـ بـان هو غضب 43.و
“tidak boleh seorang hakim mengambil keputusan hukum dalam keadaan marah”.
Dalam analisis al-Sha>t}ibi>, keadaan marah (ghad}ab) dipahami
sebagai sabab, sedangkan ‘illah-nya adalah timbulnya keraguan (was-
was) pikiran dalam meletakkan dasar dan alasan-alasan hukum.
3. Melakukan pengamatan terhadap perilaku syariat (istiqra>’ al-
shari>‘ah fi tas}arrufa>tiha>). Cara ini dibagi menjadi dua:
a, Pengamatan atas hukum-hukum yang telah diketahui ‘illa>t-
nya, yaitu ‘illa>t-’illa>t hukum yang telah ditetapkan oleh ulama
Ushul. Dengan cara ini, menurut Ibnu ‘Ashu>r, kita akan
dengan mudah menyimpulkan maksud-maksud yang
terkandung didalam hukum-hukum tersebut. Sebagai contoh,
ketika diketahui bahwa ‘illa>t dari larangan meminang wanita
yang berada dalam pinangan orang lain atau menawar barang
yang ditawar orang lain adalah karena menghalangi seseorang
untuk memiliki apa yang dikehendakinya dapat menyebabkan
permusuhan dan kebencian, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa maqs}ad shar‘iy-nya adalah terjaminnya
keberlangsungan persaudaraan antar kaum muslimin.
Sehingga dapat dipahami kemudian, ketika peng-khit}bah
43 Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri>, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}, IV (Kairo: al-Maktabah
al-Salafiyyah, 1400H), 332.
40
ataupun penawar pertama mengurungkan niatnya, larangan itu
tidak berlaku lagi44.
b, Dengan mengamati dalil-dalil hukum yang mempunyai
kesamaan ‘illa>t. Melalui cara ini, akan diketahui bahwa ‘illa>t
itu merupakan maqs}ad yang diinginkan Sha>ri‘. Sebagai
contoh: ‘illa>t larangan menjual barang yang tidak berada
dalam genggaman penjualnya (baca: tidak dimilikinya) adalah
supaya barang-barang tersebut tetap tersedia dan beredar di
pasaran. Demikian juga larangan penimbunan barang dimana
‘illat-nya adalah supaya tidak menyebabkan sedikitnya stok
barang di pasar atau bahkan menghilangkannya dari
peredaran. Dari sini dapat disimpulkan bahwa penyediaan stok
barang agar tetap beredar di pasar dan memudahkan orang
untuk mendapatkannya menjadi maqs}ad dalam hukum ini.
Demikian pula banyaknya perintah untuk memerdekakan
budak menunjukkan bahwa maqs}ad sebenarnya adalah
tercapainya kebebasan45.
4. Memahami al-Suku>t ‘an Sha>r’iyyah al-‘Amal ma’a Qiya>m al-Ma’na>
al-Muqtad}a> lah (sikap diam al-Sha>ri’ dari penshari’atan sesuatu)
Metode ini dapat dipahami sebagai melakukan pemahaman
terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak disebut oleh
sha>ri’. Oleh al-Sha>t}ibi>, hal ini dibagi menjadi dua bagian:
1) al-Suku>t Karena Tidak ada motif
44 Ahmad al-Raisu>ni>, Nadhariyyat al-maqa>s}id ‘inda al-ima>m al-sha>t}ibi>, (riba>t}: da>r al-ama>n, 2009),
283. 45 Ibid., 285-289
41
Adalah sikap diamnya al-sha>ri’ dalam kaitan ini
disebabkan oleh tidak adanya motif atau tidak terdapat faktor
yang dapat mendorong al-sha>ri’ untuk memberikan ketetapan
hukum. Namun seiring berputarnya waktu dapat dirasakan
manfaat positifnya. Sebagai contoh adalah penerapan hukum
Islam pasca wafat Nabi, sebagaimana pengumpulan mus}h}af al-
Qur’an.46
2) al-Suku>t Walaupun Ada Motif
Merupakan sikap diam al-sha>ri’ terhadap sebuah
persoalan hukum, walaupun pada dasarnya terdapat faktor atau
motif yang mengharuskan al-sha>ri’ untuk tidak bersikap diam saat
muncul persoalan tersebut.
Contoh yang ditawarkan adalah tidak dishari’atkannya
sujud syukur dalam maz}ab Maliki. Tidak dishari’atkannya sujud
syukur ini disebabkan karena Nabi tidak melakukannya, namun di
lain pihak faktor untuk melakukan realisasi syukur terhadap
nikmat senantiasa tidak terpisahkan dari kehidupan manusia,
kapan pun dan di mana pun. Dengan demikian, sikap diam atau
tidak dilakukannya sujud syukur oleh Nabi pada masanya
46 Asafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Shatibi (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996), 100.
42
merngandung maqa>s}id al-shari>’ah bahwa sujud syukur memang
tidak dianjurkan47.
47 Ibid., 101
top related