bab ii - staff official site unila | blog dosen...
Post on 07-Apr-2019
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Organisasi Publik
2.1.1. Pengertian Kinerja Organisasi
Kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang
atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang
bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral
dan etika (Prawirosendtono dalam Widodo 2001). Sedangkan kinerja organisasi
dapat didefinisikan sebagai tingkat pencapaian hasil (“the degree of
accomplisment”), karena itu kinerja organisasi dapat dipandang sebagai tingkat
pencapaian tujuan organisasi. Definisi lain, yang juga memandang kinerja secara
internal, hanya membandingkannya dengan tujuan organisasi, bahwa
“performance refers specificallly to performing and reaching group goal throught
fast work speed; outcomes of high quality, accuracy, and quantity; observation of
rules”.
Kinerja organisasi akan menunjuk pada efektivitas organisasi, dimana hal
itu akan menyangkut pengharapan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai
dengan tujuan kebijakan. Isu efektivitas organisasi dalam kaitannya dengan
kinerja organisasi, mencakup how well the organization is doing, bagaimana
suatu organisasi mencapai profit atau tujuannya dan tingkat kepuasan dari para
pelanggan atau pengguna jasa pelayananya. Efektivitas organisasi secara
internal mencakup efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dan faktor-faktor
8
hubungan manusia (conflic, happy, satisfied) yang akan mempengaruhi
produktivitas. Kinerja organisasi ini bertujuan untuk mencapai specific result
(outcomes) yang hal itu akan dapat tercapai melalui adanya kebijakan, prosedur
dan kondisi lingkungan organisasi.
Perbaikan dan peningkatan kinerja organisasi birokrasi publik bukan hanya
karena merupakan kebutuhan, guna semakin menjamin untuk pencapaian tujuan
seiring dengan berkembangnya tuntutan masyarakat. Dalam memberikan
pelayanan kepada publik, birokrasi publik hendaknya berorientasi kepada
pelanggan, yakni kepuasan pelanggan menjadi orientasi utama pelayanan
publik. Birokrasi publik harus menempatkan pelanggan di kursi pengemudi
(Customer-driven) dan senantiasa terbuka serta mendengar-kan suara
pelanggan (Osborne & Gaebler, 2000), karena kualitas pelayanan adalah
menunjuk pada kemampuan dalam memberikan rasa kepuasan klien sesuai
dengan kebutuhannya.
Dalam upaya memperbaiki pelayanan publik, organsiasi publik perlu
melakukan reformasi pelayanan publik yang dilakukan dengan melakukan
reduksi terhadap bureaucratic red-tape, melalui penyederhanaan regulasi.
Responsivitas pelayanan publik dilakukan dalam rangka mencapai transparansi
pelayanan dan peningkatan kualitas layanan. Strategi yang dapat ditempuh
untuk melakukan reformasi pelayanan publik ini dalah dengan melakukan : (1)
costumer oriented service; (2) Penggunaan tehnologi informasi; (3) kerjasama
dengan sektor swasta; (4) penguatan struktur organisasi dan pengembangan
SDM.
Kinerja organisasi publik yang dalam hal ini adalah kinerja lembaga
perwakilan rakyat yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
9
merupakan perihal yang penting dan perlu mendapat perhatian yang cukup
dalam rangka untuk peningkatan dan perbaikan kualitas pelayanan publik.
Penilaian terhadap kinerja akan sangat berguna untuk melihat atau menilai
kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan; mendorong anggota DPRD untuk
lebih memahami kebutuhan masyarakat yang dilayani serta untuk melakukan
perbaikan pelayanan publik. Oleh karena itulah maka dalam penelitian ini Kinerja
yang dimaksudkan adalah Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
2.1.2. Pengukuran Kinerja Organisasi
Tjipto dan Diana (1996) mengemukakan bahwa kinerja dapat mendukung
perbaikan kualitas bila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
(1) Penilaian Kinerja harus dipisahkan dari sistem dan kompensasi
(2) Penilaian Kinerja harus berdasarkan observasi, yakni didasarkan atas
pengamatan di lapangan mengenai praktek kerja karyawan.
(3) Penilaian Kinerja harus mendorong partisipasi karyawan. Keikutsertaan
karyawan dalam menjaga dan mendukung kemurnian penilaian kinerja
merupakan faktor yang sangat penting dalam memaksimalkan penilaian
kinerja yang objektif
Selanjutnya As’ad (1982) mengemukakan ada beberapa syarat kinerja
menurut ukuran kinerja yang baik, ialah apabila lebih reliabel, realitas,
representatif dan dapat diprediksikan. Namun pengukuran kinerja seringkali
dilihat dari sudut pandang: kuantitas, kualitas dan waktu. Kuantitas pekerjaan
adalah jumlah atau banyaknya pekerjaan yang dihasilkan pegawai/aparatur.
Jenis pekerjaan yang berkaitan dengan bidang tugasnya, seperti bidang
perencanaan, pembangunan, pelayanan, kuantitas alat yang tepat untuk
mengukur kineda aparatur. Oleh karena itu tidak sernua jenis pekerjaan dapat
10
diukur dengan kuantitas pekerjaan ( Syarief, 1997). Kualitas Pekerjaan adalah
Salah satu cara untuk mengetahui tinggi randahnya kinerja organisasi. Menurut
Syarief (1997) kualitas pekerjaan terdiri dari kehalusan, kebersihan dan ketelitian
pekerjaan. Ketepatan waktu merupakan Salah satu cara untuk mengetahui tinggi
- rendahnya kinerja aparatur. Dikatakan kinerja anggota organisasi itu tinggi
apabila menyelesaikan tugas dengan cepat dan tepat. Oleh sebab itu Dharma
(1986) menyatakan bahwa ketepatan waktu dapat dilihat dari sesuai tidaknya
menyelesaikan pekerjaan dengan waktu yang direncanakan. Analisis tentang
kinerja pegawai menurut Gomes (1995), senantiasa berkaitan erat dengan dua
faktor utama yaitu pertama kesediaan atau motivasi pegawai untuk bekerja yang
menimbulkan usaha pegawai dan kedua kernampuan pegawai untuk
melaksanakan pekerjaan. Dengan kata lain kinerja adalah fungsi interaksi antara
motivasi kerja dengan kemampuan.
Elemen kunci dari sistem pengukuran kinerja terdiri dari:
1. Perencanaan dan Penetapan tujuan
2. Pengembangan Ukuran yang Relevan
3. Pelaporan formal atas hasil
4. Penggunaan informasi (LAN dan BPKP, Modul 3, 2000).
Sedangkan Simons dalam LAN dan BPKP, Modul 3 (2000) menyebutkan
sebagai berikut :
"Performance Measurement System membantu manajer dalam memonitor (tracking) implementasi strategi bisnis dengan cara membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan strategis. Sistem pengukuran kinerja ini biasanya terdiri atas metode sistematis dalam penetapan sasaran dan tujuan dan pelaporan periodik yang mengindikasikan realisasi atas pencapaian sasaran dan tujuan".
11
Untuk itu diperlukan indikator kinerja, yaitu ukuran kuantitatif dan atau
kualitatif yang menggambarkan. tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan
yang telah ditetapkan. Oleh karenanya, indikator kinerja harus merupakan
sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk
memiliki atau melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan (ex-ante),
tahap pelaksanaan (on-going), maupun tahap setelah kegiatan selesai dan
berfungsi (ex-post).
Adapun yang di ukur dalam pengukuran kinerja, terlepas dari besar, jenis,
sektor atau operasionalisasinya, setiap organisasi biasanya cenderung untuk
tertarik pada aspek-aspek, sebagai berikut:
1) Aspek finansial.
2) Kepuasan pelanggan.
3) Operasi bisnis internal.
4) Kepuasan pegawai.
5) Kepuasan komunitas dan stakeholders
6) Waktu (LAN dan BPKP, Modul 3, 2000).
Faktor pengaruh terhadap efektivitas kinerja sebagai faktor penentu
dalam keberhasilan perbaikan kualitas organisasi, yang meliputi : peralatan kerja,
proses pelayanan, kualitas dan motivasi, kepemimpinan serta kerjasama antar
instansi terkait. Faktor pengaruh terhadap efektivitas kinerja organisasi
pelayanan publik secara tersirat, yaitu sebagai tahapan yang harus ditempuh
untuk meningkatkan kemampuan kinerja, yaitu: (1) confirmation of organization
mission, (2) identification and selection of strategic issues, (3) environment
scanning, (4) formulation strategy, (5) implentation of strategy.
12
Denhardt (1985) menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang dapat
menghambat kinerja organisasi, antara lain:
(1) limited resources (Keterbatasan Sumberdaya)
(2) inadequate organizational structure (Struktur organisasi yang
berlebihan)
(3) ineffetive communications (Komunikasi yang tidak efektif) dan
(4) poor coordination (Koordinasi yang sangat lemah)
Berpijak dari adanya perbedaan dari tujuan pada organisasi publik, dapat
dipilah indikator ukuran kinerja organisasi pada tiga pusat perhatian, yaitu: (1)
apabila perhatian utamanya pada efisiensi penggunaan sumberdaya,
dipergunakan adalah pendekatan ekonomis dengan penekanannya pada
indikator keluaran, dan apabila memungkinkan pada hasil (outcome); (2) apabila
perhatian utamanya pada akuntabilitas, penekanannya pada indikator pelayanan
publik; dan (3) apabila pusat perhatiannya pada kompetisi manajerial tekanannya
pada pencapaian target.
2.2. Akuntabilitas Publik
2.2.1. Pengertian Akuntabilitas Publik
Dalam perkembangan sektor publik di Indonesia, fenomena yang terjadi
dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas publik oleh para pejabat
publik, baik di pusat maupun daerah. Pada dasarnya akuntabilitas publik adalah
pemberian informasi dan disclosure/ pengungkapan atas aktivitas dan kinerja
pejabat publik kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Tanggung jawab
pejabat birokrasi pemerintahan, atau yang kini lebih populer dengan istilah
akuntabilitas publik, diyakini merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Tanpa akuntabilitas publik, prakarsa
13
dan partisipasi masyarakat sebagai inti kekuatan negara sulit dibangun. Oleh
karena itu, masing-masing institusi harus dapat membangun akuntabilitas peran
dan fungsinya untuk dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Dalam pandangan Soemidiharso (2001), ada tiga pilar utama yang
menjadi prasyarat terbangunnya akuntabilitas. Pertama, adanya transparansi
para penyelenggara pemerintahan dalam menetapkan kebijakan publik dengan
menerima masukan dan mengikutsertakan berbagai institusi. Kedua, adanya
standar kinerja di setiap institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas,
fungsi, dan wewenangnya. Ketiga, adanya partisipasi untuk saling menciptakan
suasana kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur
yang mudah, biaya yang murah, dan pelayanan yang cepat.
Dengan tumbuhnya akuntabilitas, diharapkan dapat mendorong
pemberdayaan masyarakat serta tumbuhnya prakarsa, kreativitas maupun
partisipasi masyarakat. Selain itu, yang tak kalah penting adalah mendorong
proses demokrasi yang dimulai dari pemerintahan lokal, yakni kabupaten/kota,
hingga pemerintah pusat sekaligus mendorong terwujudnya pemerataan dan
keadilan dalam bidang ekonomi. Dengan tumbuhnya akuntabilitas diharapkan
ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat
juga tumbuh, yakni dengan cara menyebarkan dan mendekatkan pusat-pusat
pengambilan keputusan.
Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent)
untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya
kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan
untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Akuntabilitas publik terdiri atas dua
14
macam yaitu akuntabilitas vertical dan akuntabilitas horizontal. Akuntabilitas
vertikal merupakan proses pertanggungjawaban ke atas (pemberi wewenang)
sedangkan akuntabilitas horizontal adalah akuntabilitas yang diberikan kepada
warga masyarakat.
Ada empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi
sektor publik yaitu (Modul LAN dan BPKP, 2000):
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum,
2. Akuntabilitas proses,
3. Akuntabilitas program ,
4. Akuntabilitas kebijakan
Transparansi kinerja pejabat publik merupakan penyampaian informasi
kepada masyarakat tentang hal-hal yang telah dan akan dilakukan oleh oleh
pejabat publik. Untuk menuju transparansi kinerja ini diperlukan saluran akses
untuk masyarakat dalam rangka mendapatkan informasi tentang hal-hal yang
diperlukan. Peran Partisipasi publik dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga
perwakilan maupun lembaga civil society. Karena hal ini menyangkut peran
publik dalam memberikan penilaian terhadap kinerja pejabat publik, maka sarana
yang lebih baik adalah melalui lembaga civil society. Hal ini dikarenakan lembaga
perwakilan telah dianggap justru lebih banyak melakukan pelanggaran terhadap
akuntabilitasnya sendiri.
Akuntabilitas sebagaimana dikutip dari Deklarasi Tokyo menyatakan
bahwa akuntabilitas adalah kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau
penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya publik dan yang
bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawabannya baik fiskal, manajerial dan program.(LAN-RI, 2000).
15
Akuntabilitas Publik merupakan salah satu ciri atau karakteristik utama
dari penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (Good Governance) (Widodo,
2001). Akuntabilitas Publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent)
untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya
kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan
untuk meminta pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo, 2002).
Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Akuntabilitas Publik merupakan kewajiban bagi penyelenggara kebijakan
(pembuatan, pelaksanaan dan penilaian) untuk mempertanggungjawabkan
segala tindakannya itu kepada publik, baik tindakan yang berhasil terlebih lagi
tindakan yang gagal.
2.2.2. Tipe-tipe Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas dapat dibedakan atas akuntabilitas vertikal (vertical
accountability) dan akuntabilitas horisontal (horizontal accountability).
Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada
otoritas yang lebih tinggi. Sedangkan akuntabilitas horisontal adalah
pertanggungjawaban kepada masyarakat luas (Mardiasmo, 2002). Terwujudnya
Akuntabilitas ini merupakan tujuan utama dari reformasi sektor publik (reformasi
administrasi publik). Namun demikian mewujudkan akuntabilitas ini lebih sulit
daripada memberantas korupsi karena begitu kompleksnya permasalahan-
permasalahan yang dihadapi. Tuntutan-tuntutan akuntabilitas publik ini
mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada
pertanggungjawaban horisontal bukan hanya pertanggungjawaban vertikal.
Selama ini yang terjadi di Indonesia adalah akuntabilitas pejabat publik yang
16
lebih bersifat vertikal dan seringkali sekedar untuk menunjukkan kebaikan-
kebaikan saja atau sering dikenal dengan laporan ABS (asal bapak senang).
Akuntabilitas publik yang harus dilakukan oleh pejabat publik meliputi hal-
hal sebagai berikut:
1. Akuntabilitas Hukum dan akuntabilitas Peraturan (accountability for
probity and legally)
2. Akuntabilitas Proses (process accountability)
3. Akuntabilitas Program (Program accountability)
4. Akuntabilitas Kebijakan (policy accountability) (Joko Widodo, 2001).
Akuntabilitas hukum dan peraturan terkait dengan jaminan adanya
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang diisyaratkan dalam
penggunaan sumber daya publik. Akuntabilitas proses terkait dengan apakah
prosedur yang digunakan dalam melaksanakan tugas sudah cukup baik.
Akuntabilitas proses dalam pemerintah dapat diwujudkan melalui pemberian
pelayanan publik yang cepat, responsif dan berbiaya murah. Akuntabilitas
program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan yang ditetapkan dapat
dicapai atau tidak, dan apakah pemerintah daerah telah mempertimbangkan
alternatif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang
minimal. Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah,
baik pusat maupun daerah, terhadap kebijakan yang diambil pemerintah daerah
sebagai Eksekutif kepada DPRD sebagai legeslatif dan masyarakat luas.
Selain itu Jabbra dan Dwivedi (dalam Widodo, 2001) menyebutkan lima
macam jenis Akuntabilitas Publik yaitu:
a. Akuntabilitas Administratif/ organisasional, Akuntabilitas Administratif/
organisasional terkait dengan hubungan hierarkhis yang tegas di antara
17
pusat-pusat pertanggung jawabn dengan unit-unit di bawahnya. Hubungan
ini biasanya didefinisikan dengan jelas dan tegas, berupa aturan-aturan
organisasi yang formal maupun hubungan-hubungan yang informal. Dalam
akuntabilitas administratif/ organisasional ini pertanggung jawaban yang
dilakukan oleh seorang pegawai publik lebih diutamakan kepada jenjang
yang di atasnya (hierarki) dan sebaliknya pengawasan lebih banyak
dilakukan oleh atasannya tersebut. Pelanggaran atas pelaksanaan tugas
juga akan diberikan sanksi oleh unit hierarki di atasnya mulai dari sanksi
yang paling ringan hingga sanksi yang paling berat (pemecatan)
b. Akuntabilitas Legal, Akuntabilitas Legal lebih terkait dengan tindakan-
tindakan hukum yang dilaksanakan oleh Eksekutif atas kebijakan-
kebijakan yang diambil oleh Legislatif. Pelanggaran atas hal ini
diselesaikan melalui muka pengadilan atau lewat proses revisi peraturan
yang dianggap bertentangan dengan undang-undang.
a. Akuntabilitas Politik, Akuntabilitas Politik terkait dengan pertanggung
jawaban karena adanya pengakuan atas kewenangan para pemegang
kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan
pendistribusian sumber-sumber dan menjamin adanya kepatuhan
pelaksanaan tanggung jawab administratif dan legal karena mereka
mempunyai kewajiban untuk menjalankan tugas-tugasnya dengan baik.
b. Akuntabilitas Profesional, Akuntabilitas Profesional terkait dengan
pertanggungjawaban seseorang pegawai publik atas tindakan yang
dilakukan sesuai dengan bidang tugasnya. Para aparat profesioanl
mendapatkan kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-
18
tugasnya dan dalam menetapkan kepentingan publik. Untuk itu aparat
harus lebih mengutamakan kepentingan publik dalam akuntabilitasnya.
c. Akuntabilitas Etik, Akuntabilitas Etis (moral) terkait dengan tuntutan bahwa
seyogyanya pemerintah bertanggung secara moral atas tindakan-
tindakannya. Landasan pegawai pemerintah seharusnya didasarkan pada
prinsip-prinsip moral dan etika sebagaimana diakui oleh konstitusi dan
peraturan-peraturan lainnya serta dapat diterima oleh publik sebagai
norma dan perilaku sosial yang telah mapan. Untuk menghindari perilaku
koruptif maka masyarakat berhak untuk menuntut dan mengharapkan
aparat pemerintah dapat mempunyai dan mengembangkan akuntabilitas
moral sesuai dengan tanggunggjawabnya sebagai pegawai publik.
2.2.3. Pilar Akuntabilitas Publik
Paling tidak ada tiga pilar utama yang menjadi prasyarat terbangunnya
akuntabilitas. Pertama, adanya transparansi para penyelenggara pemerintahan
dalam menetapkan kebijakan publik dengan menerima masukan dan
mengikutsertakan berbagai institusi. Kedua, adanya standar kinerja di setiap
institusi yang dapat diukur dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenangnya. Ketiga, adanya partisipasi untuk saling menciptakan suasana
kondusif dalam menciptakan pelayanan masyarakat dengan prosedur yang
mudah, biaya yang murah, dan pelayanan yang cepat.
Agar prinsip-prinsip tersebut efektif maka masyarakat (dan stakeholder
lainnya) harus memiliki kapasitas. Adanya informasi yang transparan tentang
pembangunan prasarana akan meningkatkan kapasitas pengetahuan
masyarakat, dan masyarakat perlu dibekali tentang "hak dan kewajibannya" yang
berkaitan dengan prasarana publik. Trend protes masyarakat harus "dikanalisasi"
19
agar tidak terjadi pengatasnamaan masyarakat. Karena itu perangkat-perangkat
identifikasi stakeholder yang berkaitan dengan KPP (Kebijakan atau Program
atau Proyek) menjadi suatu hal yang penting. Pola hubungan baru antara
pemerintah dan stakeholder lainnya harus dikaji ulang untuk mencegah klaim
pemerintah pula bahwa wakil-wakil mereka telah dibatalkan (diakomodasi) dalam
proses perencanaan.
2.2.4. Hambatan dalam Pelaksanaan Akuntablitas Publik
Akuntabilitas dapat terwujud manakala ada kemauan dari diri seorang
individu, perangkat hukum yang tegas dan kondisi lingkungan yang kondusif
(sikap aktif dan partisipatif dari masyarakat). Akan tetapi akuntabilitas publik ini
tidak akan terwujud jika dihadapkan kondisi-kondisi yang buruk seperti:
1. Masyarakat tidak mendukung dan peduli terhadap hak-hak publiknya dan
memberikan toleransi yang tinggi pada kurangnya akuntabilitas pejabat
atau sering disebut low literacy percentage. Sikap ini meliputi malpraktek,
nepotisme, korupsi, sogok menyogok.
2. Rendahnya imbalan gaji yang diterima oleh para pegawai cenderung
mendorong para pegawai untuk mencari penghasilan di luar
pekerjaannya dengan cara-cara yang kurang baik. Kondisi ini disebut
sebagai Poor Standard of Living.
3. Rendahnya moralitas para pejabat juga menghambat terlaksananya
proses akuntabilitas ini. Rendahnya moral ini bisa disebabkan oleh sikap
hidup yang materialistis dan konsumerisme para pejabat. Dengan
moralitas yang rendah ini mereka menjadi tidak mampu untuk
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka menganggap
biasa hal-hal seperti korupsi, sogok-menyogok dan memihak dengan
20
merugikan orang lain. Kondisi semacam ini disebut sebagai General
Decline in the moral values.
4. Pengabaian terhadap hak-hak publik dan mengutamakan kepentingan
pribadi.
5. Mengutamakan kepentingan kelompok
6. Adanya sentalisasi kewenangan menjadikan pejabat negara menjadi sulit
dikontrol
7. Buruknya sistem akuntansi
8. Kurangnya keinginan untuk memperkuat akuntabilitas dari semua pihak,
baik pejabat sendiri, masyarakat maupun sistem yang buruk.
Disamping hambatan diatas ada beberapara kondisi lagi yang
mengakibatkan buruknya kondisi akuntabilitas diantaranya; sikap mental terjajah,
lemahnya hukum, instabilitas politik, garis kewenangan tidak jelas dan
sebagainya. Dengan dipahaminya konsep-konsep akuntabilitas di atas maka
perlu dibuat pula bagaimana prosedur atau tata cara melakukan pelaporannya.
Pelaporan akuntabilitas oleh pejabat publik yang sering disebut Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) ini menunjuk pada proses-
proses kelembagaan publik. Perlu pula dibuat indikator-indikator pengukurannya
sehingga kinerja instansi pemerintah ini tidak mengambang. Indikator
pengukuran kinerja ini perlu didasarkan pada masukan (inputs), Proses
(process), keluaran (outputs), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan Dampak
(impact). Tanpa memperhatikan hal tersebut maka pengukuran kinerja tidak akan
bisa secara komprehensif menilai kinerja instansi pemerintah.
2.3. Good Governance
2.3.1. Pengertian Good Governance
21
Berkaitan dengan proses reformasi administrasi yang terjadi di Indonesia,
maka sangatlah dibutuhkan dan mendesak untuk mengimplementasikan konsep
Good Governance ini. Good Governance dimaknai secara sederhana sebagai
bentuk terbaik dari proses penyelenggaraan pemerintahan dalam mengadakan
public goods and services. Penerapan good governance ini membutuhkan
komitmen yang tinggi dari semua pihak yang terlibat terutama terkait dengan
koordinasi, profesionalitas, etos kerja, moralitas dan integritas.
Menurut Ghani (dalam Widodo, 2001) yang dimaksud dengan Good
Governance adalah Mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial
yang melibatkan pengaruh sektor publik atau Pemerintah dan sektor swasta/
privat serta masyarakat dalam suatu kegiatan kolektif. Pemerintah sebagai
komponen pembuat sekaligus pelaksana kebijakan sudah saatnya untuk
bertindak secara transparan terhadap pelaksanaan-pelaksanaan tugasnya.
Untuk itu, Pemerintah hendaknya tidak membuat dan menjalankan suatu
kebijaksanaan secara otokratis berdasarkan kemauannya sendiri. Akan tetapi
Pemerintah harus selalu melibatkan unsur-unsur lain dalam masyarakat, baik
sektor swasta maupun komponen civil society yang sering disebut sebagai Good
Governance. Dalam hal ini Pemerintah harus mampu memberikan respon
terhadap dinamika masyarakat yang menghendaki adanya sebuah kondisi yang
transparan dan akuntabel. Good Governance juga diartikan sebagai praktek
penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam
pengelolaan urusan pemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi
pada khususnya.
World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab
22
yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran
salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi politik maupun
administrasi. Artinya Good governance adalah penyelenggaraan pemerintah
yang solid dan bertanggung jawab, efisien, dan efektif dengan unsur-unsur
profesionalisme, akuntabilitas, dan transparansi. Akhirnya Good Governance
sering diartikan sebagai pemerintahan yang baik (Tjokroamidjojo, 1999). Dengan
Demikian Good Governance secara sederhana dapat dimaknai sebagai bentuk
terbaik dari proses penyelenggaraan pemerintahan dalam mengadakan public
goods and services.
Konsep Governance sebenarnya merupakan suatu konsep tentang
bagaimana sebaiknya kebijakan publik itu dibuat melalui pelibatan aktif:
pemerintahan sendiri, sektor swasta (pengusaha), civil society (LSM, kelompok
Profesional dan sebagainya). Keterlibatan atau interaksi sederhana dari ketiga
aktor diatas dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Gambar 1:Interaksi Hubungan Ketiga Aktor; Pemerintah, Swasta dan LSM dalam
Konsep Good Governance
Governance merupakan suatu jaringan para pelaku yang memerintah
secara mandiri dan otonom. Jaringan governance tidak hanya melibatkan upaya
mempengaruhi pemerintah, tetapi juga mengambil alih urusan pemerintah.
23
STATE
SOCIETY
PRIVATE
Dalam konteks pengertian governance demikian, suatu pemerintahan yang baik
pada intinya harus memenuhi prinsip-prinsip: demokratis, produktif, efisien,
melayani publik, transparan, akuntabel, responsive, adil, partisipatif yang
diharapkan menciptakan pemerintahan yang memiliki legitimasi dan kompetensi.
2.4.2. Karakteristik Good Governance
Adapun karakteristik Good Governance menurut UNDP (dalam
Mardiasmo, 2002) adalah sebagai berikut:
1. Partisipasi (participation) yakni: keterlibatan masyarakat dalam
pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung
2. Peraturan Hukum (Rule of Law), yakni: Kerangka aturan hukum yang adil
dan dilaksanakan dengan tidak pandang bulu
3. Keterbukaan (Transparency), yakni: keterbukaan memperoleh informasi
terutama berkaitan dengan kepentingan publik agar dapat diakses secara
langsung bagi mereka yang membutuhkan.
4. Responsif (Reponsiveness), dalam arti ketanggapan lembaga-lembaga
publik untuk melayani stakeholders
5. Berorientasi pada konsensus (Consensus Orientation), yakni: menjadi
perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik
demi kepentingan yang lebih luas
6. Persamaan (Equality), yakni: adanya kesempatan yang sama bagi semua
warga negara tanpa pembedaan gender dan sebagainya untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri
7. Efektitifas dan Efisiensi (Effectiveness and efficiency), yakni:
penyelenggaraan negara harus menghasilkan sesuai dengan apa yang
24
dikehendaki dengan menggunakan sumberdaya secara semaksimal
mungkin.
8. Akuntabilitas (Accountability), yakni: semua kegiatan, baik yang bersifat
internal maupun eksternal yang dilakukan oleh unsur governance
(pemerintah, swasta dan masyarakat) harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik dan lembaga-lembaga
stakeholders.
9. Visi yang Strategis (Strategic Vision), yakni: pemimpin dan publik harus
memiliki perspektif good governance dan pengembangan manusia yang
luas dan jauh ke depan sejalan dengan kebutuhan pembangunan.
(Mardiasmo, 2002)
Kesembilan karakteristik good governance di atas pada prinsipnya akan
membawa proses-proses kenegaraan pada suatu kondisi dimana terjadi
sinergitas antara ketiga domain good governance tadi. Akantetapi peran dominan
tetap berada pada kekuasaan state (negara), sehingga mau tidak mau para
pejabat negara harus mampu menjadi motor penggerak good governance ini.
Dengan uraian tentang good governance diatas, maka good governance tidak
dapat dilepaskan dari akuntabilitas. Untuk menciptakan kondisi yang efektif,
efisien, ekonomis, etis, dan responsif dalam praktek kenegaraan, akuntabilitas
para penyelenggara negara mutlak diperlukan. Tanpa akuntabilitas, maka semua
harapan dan keinginan good governance tidak mungkin akan tercapai.
2.4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Berdasarkan undang-undang nomor 32 tahun 2004, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah menempati posisi yang sangat kuat dan setara dengan
kekuasaan eksekutif. DPRD dibekali dengan sejumlah hak yang tentu saja kalau
25
dijalankan dengan baik akan mengakibatkan lembaga tersebut akan mampu
memainkan peranan yang sangat kuat dalam menciptakan Checks and Balance
dengan pihak eksekutif. Sehingga segala sesuatunya terpulang kembali kepada
Dewan itu sendiri untuk mampu atau tidaknya memainkan peran yang
diharapkan oleh warga masyarakat.
DPRD mempunyai tugas dan wewenang bersama-sama dengan
Pemerintah Daerah untuk membentuk Peraturan Daerah dan menetapkan
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. selain itu DPRD mempunyai tugas dan
wewenang lain yang tidak dilakukan bersama dengan Pemerintah Daerah yaitu;
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah,
pelaksanaan keputusan kepala daerah, pelaksanaan anggaran pendapatan dan
belanja daerah serta kebijakan pemerintah daerah.
Tugas dan wewenang dalam UU No. 32 Tahun 2004, tercantum sebagai
berikut:
a. membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk
mendapat persetujuan bersama;
b. membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD
bersama dengan kepala daerah;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan
peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD,
kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan
daerah, dan kerja sama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala
daerah/wakil kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri
26
bagi DPRD provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi
DPRD kabupaten/kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan
wakil kepala daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah
daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i. membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j. melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah;
k. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah
dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
Lembaga legislatif ini menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu fungsi
legislatif (pembuatan Perda APBD dan Perda lainnya), fungsi anggaran
(budgetair function), fungsi pengawasan, dan fungsi perwakilan dalam bidang –
bidang yang menyangkut kewenangan daerah Otonom Kabupaten atau Kota dan
Daerah Otonom Propinsi tersebut. Untuk melaksanakan fungsi legislatif, para
anggota DPRD diberi hak prakarsa (mengajukan Rancangan Peraturan Daerah),
hak amandemen (mengubah Rancangan Peraturan Daerah baik secara
subtansial maupun redaksional), dan hak anggaran (termasuk mengajukan
RAPBD, mengajukan bentuk dan arah kebijakan anggaran pendapat dan
27
belanja, menentukan alokasi anggaran menurut program dan lokasi, dan
sebagainya).
Dalam Demokratisasi, ada beberapa prinsip yang harus dipegang dalam
menetapkan Isu publik untuk menjamin pelaksanaan asas kerakyatan, maka
semua ketentuan yang : (a) Mengatur dan membatasi hak dan kebebasan warga
daerah, b) Mengenakan beban pajak, retribusi dan pungutan lainnya kepada
warga daerah, dan c) Mendistribusikan dan mengalokasikan berbagai bentuk
manfaat materiil kepada warga daerah, harus dibuat dengan persetujuan DPRD.
Setiap kebijakan yang menimbulkan kerugian materiil atau non materiil bagi
sebagian warga masyarakat dan atau atau menimbulkan keuntungan materiil
atau non materiil bagi sebagian warga masyarakat lainnya harus dibuat dengan
persetujuan DPRD.
DPRD melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan
Daerah dan peraturan perundang – undangan lain, pelaksanaan Keputusan
Kepala Daerah, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
kebijakan Pemerintah Daerah, dan pelaksanaan kerjasama internasional di
daerahnya. Pengawasan yang dilakukan DPRD tidak hanya sekedar
mencocokkan implementasi dengan peraturan dan kebijakan yang sudah
ditetapkan tetapi juga bersifat substantif, yaitu apakah tujuan pembuatan
peraturan dan kebijakan tercapai ataukah tidak. Pengawasan dilakukan DPRD
tidak hanya bersifat kualitatif berupa kesenjangan implementasi dengan
kebijakan dan tercapai tidaknya tujuan kebijakan tetapi juga bersifat kuantitatif
beruap jumlah penerimaan, jumlah pengeluaran dan pertanggungjawaban
penerimaan dan penggunaan anggaran. Untuk dapat melaksanakan fungsi
28
pengawasan seperti ini, para anggota DPRD diberi hak bertanya, hak meminta
keterangan kepada Pemda, hak mengadakan penyelidikan (hak angket), hak
meminta pertanggungjawaban Kepala Daerah, dan hak mengajukan pertanyaan
pendapat. Pengaturan tentang tata cara penggunaan hak – hak ini dirumuskan
oleh DPRD dalam Peraturan tata Tertib. Tata cara penggunaan hak penyelidikan
kini tidak perlu diatur dengan Undang – Undang melainkan cukup diatur oleh
DPRD sendiri dalam Peraturan tata tertib DPRD.
Dengan adanya keharusan bagi pemerintah untuk meminta pendapat dan
pertimbangan DPRD bila hendak mengadakan perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan daerah, maka tidak akan terjadi lagi pendayagunaan
sumber daya alam yang tidak menguntungkan masyarakat setempat. Dengan
keharusan meminta pendapat dan pertimbangan seperti ini, maka setidak –
tidaknya definisi masyarakat setempat tentang sumber daya alam (local
knowledge) akan diperhatikan. Dalam menampung tuntutan berbagai kelompok
masyarakat, DPRD dapat melakukan secara proaktif (DPRD mengundang
kelompok masyarakat yang datang atas prakarsa sendiri). Bentuk tindak lanjut
yang dapat dipilih DPRD tergantung pada isi tuntutan berbagai kelompok
masyarakat tersebut. bila menyangkut penyimpangan dalam pelaksanaan suatu
APBD atau Perda lainnya, bentuk tindak lanjut dapat berupa pengajuan
permintaan keterangan kepada instansi yang bertanggung jawab, bahkan dapat
pula berupa penggunaan hak penyelidikan (hak angket). Bila tuntutan itu
menyangkut penyempurnaan Perda ataupun Perda baru, maka anggota DPRD
dapat menggunakan hak prakarsa dan hak amandemen. Sepanjang substansi
tuntutan itu menyangkut jenis kewenangan daerah Otonom yang bersangkutan,
seperti ditetapkan dalam Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
29
Pemerintah Daerah, maka DPRD (dan Kepala Daerah) mempunyai otoritas
menangani tuntutan itu sepenuhnya. Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan
Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004, Otonomi Daerah bagi kabupaten dan
Kota tidak saja luas lingkup keputusan (mencakup 11 kewenangan wajib dan
kewenangan lain yang tidak diserahkan kepada Propinsi dan Pusat) tetapi juga
leluasa dalam intensitas isi keputusan, yaitu mencakup perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan evaluasi. Konsekuensinya, DPRD
tidak lagi dapat memberikan jawaban berupa usul ditampung atau tuntutan akan
diteruskan kepada Eksekutif terhadap tuntutan berbagai kelompok masyarakat.
30
top related