bab ii pemikiran teoretik pendekatan akulturasi dalam ...digilib.uinsby.ac.id/794/6/bab 2.pdfislam...
Post on 10-Apr-2019
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
33
BAB II
PEMIKIRAN TEORETIK PENDEKATAN AKULTURASI DALAM TRADISI
PERKAWINAN LORO PANGKON
Penelitian yang dilakukan ini adalah tentang “Tradisi Perkawinan Loro
Pangkon (Studi Budaya Masyarakat Muslim Jawa di Mojokerto Jawa Timur)”.
Dengan demikian sebagai kerangka teoretik yang dijelaskan dalam bagian ini
adalah mengenai: Islam, antropologi, sosiologi (interaksionisme simbolik),
akulturasi, pertunjukan wayang dan historisitasnya, dan konsep budaya Jawa.
A. Islam
Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai
akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap
seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spritual, senantiasa
mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti feodalistik,
mencintai kebersihan, megutamakan persaudaraan, berakhlak mulia dan sikap-
sikap positif lainnya.1
Sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, Islam banyak memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dalam menjalankan
tugasnya sehingga diharapkan dapat menyelamatkan sebagaimana makna Islam
yang dapat dipegang sebagai jenjang menuju keselamatan. Selain itu, agama Islam
dengan berbagai dimensinya, seperti sejarah, fikih, pemikiran dan lain sebagainya
1Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 1.
34
telah menjelma sebagai salah satu objek besar dalam dunia ilmu pengetahuan
manusia. Islam memberikan jalan kajian bagi para peneliti untuk dapat menggali
potensi dengan mengkaji Islam dalam tiga tingkatannya. Islam sebagai wahyu,
Islam dalam pemikiran dan pemahaman, serta Islam dalam pengamalan.
Islam sebagai objek, kajian-kajian ke-Islaman membutuhkan aturan dalam
pengkajiannya, tidak bisa lantas peneliti menyimpulkan sesuatu tentang Islam
dengan jalan atau metode yang tidak benar. Metode, pendekatan dan perangkat
lainnya dalam mengkaji Islam akan sangat berperan esensial dan berpengaruh
dalam mengantar pengkaji-pengkaji ke-Islaman untuk sampai pada kesimpulan
yang benar.
Ada dua cara yang dapat dipergunakan dalam melihat apakah makna
Islam, etimologi dan terminologi. Secara etimologi (bahasa) Islam berasal dari
bahasa Arab, dengan akar kata salima yang berarti selamat, sentosa dan damai.
Dari kata salima ini kemudian diubah menjadi kata aslama yang berarti berserah
diri dan masuk dalam kedamaian.2 Kata Islam itu sendiri merupakan bentuk
mashdar dari kata aslama, yang berarti memelihara dalam keadaan selamat,
menyerahkan, menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat. Kemudian bentuk subjek
dari kata kerja aslama ini adalah muslim yang berarti orang yang tunduk, yang
patuh, yang menyerahkan diri.3
Harun Nasution berpendapat bahwa makna Islam ditinjau dari segi
kebahasaan berdekatan artinya dengan agama, yaitu menguasai, menundukkan, 2Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), 655. Lihat juga Nashruddin Razak, Dien al-Islam (Bandung: al-Ma’rif, 1977), 56. 3Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980), 2.
35
patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.4 Senada dengan itu, Nurcholish Madjid
berkesimpulan bahwa sikap pasrah kepada Tuhan merupakan hakikat dari
pengertian Islam.5
Islam menurut terminologi adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Muhammad. Islam pada hakikatnya
tidak hanya mengatur satu sisi kehidupan manusia akan tetapi berbagai sisi dalam
kehidupan manusia tersebut.6 Adapun Arkoun, seorang guru besar studi Islam,
membantah pemaknaan Islam yang diinterpretasikan oleh banyak kalangan
dengan mengambil terjemahan kedalam bahasa Prancis dengan arti “tunduk dan
patuh”. Menurutnya ada hal lain yang tidak hanya tunduk dan patuh yang harus
dimuat oleh kata Islam secara terminologi, tetapi juga merasakan getaran cinta
kepada Allah swt. dan rasa ingin menyandarkan diri kepada semua yang
diperintahkanNya.7
Bila Islam dipahami dari segi ontologi, maka hakekat Islam adalah
seperangkat ajaran yang bersumber dari Allah swt. Ajaran ini kemudian
berimplikasi kepada munculnya perintah dan larangan yang harus ditaati oleh
pengikutnya. Sedangkan Islam menurut kaca mata epistemologi adalah Islam
sebagai ilmu. Islam memang mempunyai banyak aspek yang bisa melahirkan
disiplin ilmu berbeda, seperti hukum, seni, dan sebagainya. Dari aspek-aspek
inilah kemudian muncul beberapa institusi ataupun aplikasi Islam dalam
4Harun Nasution, Islam Ditijnau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2001), 3. 5Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan (Jakarta: Paramdina: 1992), 426. 6Harun, Islam Ditinjau, 7. 7Suadi Putro, Muhammad Arkoun Tentang Islam Dan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998), 30.
36
kehidupan sehari-hari, atau yang disebut Islam aksiologi. Beberapa contoh dari
Islam aksiologi adalah sepeti bank syari’ah, kaligrafi dan lain sebagainya.
Pelaku dari Islam, yakni muslim, secara etimologis berarti orang Islam
atau penganut agama Islam.8 Sementara Arkoun memaknai muslim secara
etimologis adalah orang yang menyerahkan dirinya. Sedangkan secara
terminologis, menurutnya adalah orang yang melakukan penyerahan diri dan
komitmen wujudnya kepada Tuhan dan nabiNya secara sukarela.9
Hal yang menyangkut dengan sifat ke-Islaman adalah Islami artinya
adalah hal yang telah disifatkan dengan Islam dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dengan istilah tersebut baik dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari
ataupun dalam dunia ilmu pengetahuan.
Menurut Marshall Hodgson, bahwa akan banyak terjadi kekeliruan dengan
menggunakan kata Islami secara bebas dan luas. Oleh karena itu menurutnya,
bahwa kata yang bersifat Islam yakni Islami haruslah hal-hal yang berbau agama
Islam itu sendiri, sedangkan hal-hal yang bercorak ke-Islaman tidak bisa
dikatakan sebagai Islami, karena penggunaan term ini dalam kajian yang krusial
akan membawa pada kesimpulan yang kurang benar. Beliau menyajikan dua
istilah berbeda untuk menghindari kesalahan yang sering dilakukan oleh para
sarjanawan, Islami, Islamis (Islamic) dan Islamicate yang berarti bercorak ke-
Islaman.10 Seperti dalam studi sastra, istilah “sastra Islam, sastra Islami”
menunjukkan sastra itu berisi pesan-pesan religius seperti yang terdapat pada
banyak karya Jalaluddin Rumi, sedangkan sastra seperti Laila Majnun haruslah 8Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), 30. 9Putro, Muhammad Arkoun,30. 10Marshall Hodgson, The Venture of Islam Jilid I (Chicago: Chicago University Press, 1974), 23.
37
diistilahkan dengan sastra bercorak Islam (Islamicate Literature), karena
kandungannya hanyalah cerita percintaan romantis Laila, tapi karena novel ini
ditulis oleh orang muslim jadilah ia bernama sastra bercorak Islam.
Memang memahami dan merumuskan makna Islam dalam kajian ilmiah
sangatlah penting. Para sarjanawan Eropa seperti yang dicatat oleh Marshall
Hodgson telah melakukan kesalahan yang sangat fatal dalam kajian mereka, yang
semuanya berangkat dari kesalahan merumuskan apakah itu Islam. Sebagai
contohnya saja, para sarjanawan Eropa pada abad sebelum 18, banyak
merumuskan Islam seperti yang terdapat di Istanbul saja, ada yang merumuskan
Islam seperti pengamalan di India saja, ada yang merumuskan Islam sebagai
budaya Arab dan lain sebagainya.11
Dunia Islam pada era awal abad ke-dua puluh mengalami masa-masa yang
sangat tragis dengan ditandai oleh kemajuan yang dicapai dunia Barat yang nota-
bene mayoritas penduduknya adalah non-muslim, kemajuan ini khususnya dalam
bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Masa tragis ini mencapai puncaknya
ketika dunia Eropa melakukan penjajahan kebeberapa negara, termasuk negara-
negara muslim. Negara-negara Barat tidak hanya menjajah fisik, tapi juga bidang
intelektual. Dari fakta inilah kemudian para generasi penerus bangsa-bangsa
muslim mencoba bangkit dengan mencari sebab-sebabnya, terutama
ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perpecahan
antar sesama muslim.
11Ibid.
38
Untuk tujuan tersebut, muncul ide dan gagasan dari berbagai pakar untuk
mengislamisasikan ilmu pengetahuan yang diasumsikan berasal dari Barat.
Namun pertentangan terjadi di sekitar soal apakah ilmu pengetahuan itu dapat di-
Islamisasikan? mengingat antara ilmu pengetahuan yang berlaku di Barat sangat
berbeda paradigma dengan Islam. Secara umum, ilmu pengetahuan dikenal
bersifat objektif, spekulatif, empiris, rasional, sedangkan agama bersifat mutlak,
subjektif, tidak terbatas, keyakinan, normatif dan serba pasti. Pertanyaan yang
mendasar yang muncul kemudian adalah “apakah mungkin menyatukan dua
paradigma yang berbeda tersebut?”.
Muhammad Arkoun mengatakan bahwa keinginan para cendikiawan
muslim untuk meng-Islamisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu
kesalahan besar, sebab hal tersebut akan menjebak kita dalam ide bahwa Islam
hanyalah semata-semata sebuah ideologi.12 Senada dengan itu Usep Fathuddin
berpendapat bahwa Islamisasi ilmu bukanlah kerja ilmiah, sebab yang dibutuhkan
oleh ummat adalah menguasai ilmu dan mengembangkannya, sedangkan
Islamisasi hanyalah sebuah kerja kreatif atas karya orang lain.13
Sementara itu ada juga kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah Mulyanto yang berbendapat
bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah penerapan etika-etika Islam dalam
ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain Islam hanya berlaku sebagai etika-
etika keagamaan di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasarnya adalah ilmu
12Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), 5. 13Usef Fathuddin, Perlukah Islamisasi Ilmu? (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000),51.
39
pengetahuan adalah bebas, maka konsekuensi logisnya adalah mustahil muncul
ilmu pengetahuan Islami.14
Terlepas dari pro dan kontra pendapat para ilmuwan tentang Islamisasi
ilmu pengetahuan, sebagai seorang peneliti muslim yang hidup pada masa
sekarang hendaklah bisa menampilkan realitas keilmuan yang ideal, yakni dengan
memahami Islam secara komprehensif, melalui metode penerapan dan tekhnik
studi Islam yang aplikatif.
Dalam penelitian tradisi perkawinan loro pangkon di masyarakat muslim
Mojokerto, peneliti mengkaji dari sudut pandang studi Islam yang asumsi
dasarnya adalah ilmu pengetahuan yang dirumuskan dari ajaran Islam yang
dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan
agama adalah pengetahuan yang diklaim sepenuhnya diambil dari ajara-ajaran
agama, seperti tentang aqidah, ibadah dan lain sebagainya.15 Dapat dikatakan
bahwa ajaran Islam yang berupa tuntunan pernikahan merupakan studi Islam
sebagaimana yang diterjemahkan dan direalisasikan masyarakat muslim
Mojokerto. Dalam pelaksanaannya di lapangan, mereka melakukan pernikahan
melalui berbagai modifikasi budaya, di antaranya dengan memasukkan tradisi-
tradisi budaya Jawa di dalam pelaksanaannya.
Sebagaimana pendapat Jacques Wardenburg bahwa studi Islam di
antaranya adalah studi non-normatif tetang aspek Islam dari kebudayaan dan
masyarakat muslim. Makna yang lebih luas dari studi ini tidak berhubungan
dengan Islam saja. Dalam konteks lebih luas lagi butuh kepada pertimbangan,
14Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), 51. 15Lihat Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 152.
40
suatu pendekatan Islam dari sudut pandang sejarah dan literatur atau sudut
antropologi budaya.16
Dengan kata lain bahwa studi Islam itu adalah segala kajian yang tidak
terlepas dari unsur Islam, baik sebagai objek langsung dalam kajian tersebut atau
objek tidak langsung. Studi Islam itu meliputi segala kajian tentang Islam pada
tiga tingkatan yakni Islam sebagai wahyu, Islam sebagai pemikiran atau
pemahaman dan Islam sebagai pengamalan. Dalam konteks ini, tradisi
perkawinan loro pangkon, tinjauannya menitik beratkan kepada studi Islam yang
mengarah kepada Islam sebagai pengamalan masyarakat muslim Mojokerto dalam
menjalankan salah satu unsur ajaran Islam yang berupa perkawinan yang tidak
lepas pula adanya unsur budaya setempat.
Di antara ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang pernikahan
sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisaa’ ayat 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”17
16Nur A. Fadhil Lubis, Introductory Readings on Islamic Studies (Median, IAIN Press, 1998), 2. 17al-Qur’an, 4:3. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 115.
41
Demikian pula dalam hadits Nabi juga diterangkan adanya anjuran
menikah bagi seorang pemuda yang mampu menafkahi dalam kehidupan rumah
tangga, dan apabila masih belum mampu dianjurkan untuk berpuasa, karena hal
itu dapat menjaga pandangan dan kemaluannya. Sebagaimana hadits Nabi
Muhammad saw. berikut:
فإنھ , م الباءة فلیتزوجیا معشر الشباب من استطاع منك
أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم یستطع فعلیھ بالصوم فإنھ لھ وجاء
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu menanggung nafkah, hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.”18
B. Antropologi
Secara etimologi, istilah antropologi berasal dari dua buah kata, yakni kata
“anthropos” artinya manusia (bahasa Romawi), dan kata “logos” artinya ilmu
(bahasa Yunani)19. Jadi, singkatnya antropologi bermakna ilmu tentang manusia
dalam bermasyarakat, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun
masyarakat itu sendiri. Objek dari antropologi adalah manusia di dalam suatu
masyarakat suku bangsa, kebudayaan, dan perilakunya.20
18Hadits Riwayat Bukhari 5065 dan Muslim 1400. 19Koentjaraningrat, dkk., Kamus Istilah Antropologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan & Kebudayaan, 1984), 45. 20Soerjono soekanto, Sosial suatu Pengantar (Jakarta; CV. Rajawali, 1982),13.
42
Di satu sisi, Antropologi adalah suatu ilmu yang memahami sifat-sifat
semua jenis manusia secara lebih komprehensif.21 Antropologi pertama kali
dipergunakan oleh kaum misionaris dalam rangka penyebaran agama Nasrani dan
bersamaan dengan itu pula berlangsung sistem penjajahan terhadap negara-negara
di luar Eropa. Pada era dewasa ini, antropologi dipergunakan sebagai suatu hal
untuk kepentingan kemanusiaan yang lebih luas. Studi antropologi selain untuk
kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di negara-negara yang masuk dalam
kategori negara ketiga (negara berkembang) sangat urgen sebagai “pisau analisis”
untuk pengambilan kebijakan (policy) dalam rangka pembangunan dan
pengembangan masyarakat.
Menurut Achmad Fedyani Saifuddin,22 antropologi bisa saja didudukkan
sebagai salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial, hanya saja
antropologi sejatinya adalah suatu perspektif ilmiah, karena sukarnya tercapai
kesepakatan di kalangan antropolog mengenai kualifikasi antropologi apakah
sebagai suatu ilmu pengetahuan (science) ataukah bukan. Persoalan manusia
memang merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji dan diperdebatkan,
sebab dari persoalan tersebut banyak sisi yang dapat dibicarakan, mulai dari
membicarakan manusia secara fisik sampai pada perilaku manusia sendiri, banyak
hal yang bisa dipelajari dari persoalan manusia.
Salah satu dari persoalan manusia di antaranya adalah perilaku dalam
beragama. Keberagamaan manusia atau masyarakat pendukungnya dapat 21Williiam A. Haviland. Antropologi, terj. RG Soekarjo.( Jakarta: Erlangga. 1988), 3. 22Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),11.
43
dijadikan sebagai objek kajian dengan berbagai pendekatan. Dalam memahami
agama pendekatan antropologi dapat diterapkan. Abuddin Nata mengatakan
pendekatan antropologi yaitu pendekatan kebudayaan; artinya, pendekatan
antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik dan sistem keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai suatu sistem ide, wujud
ataupun nilai dan norma yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang mengikat
seluruh anggota masyarakat.23
Salah satu contoh kongkret di Indonesia terjadinya pertemuan budaya
mulai dari zaman prasejarah, Hindu, Budha, dan Islam dalam kehidupan
beragama. Masing-masing agama memiliki suatu tata cara beribadah menurut
kepercayaan mereka sendiri. Misalnya istilah “sembahyang” berasal dari
terminologi Hindu, dalam terminologi Islam adalah shalat, dan istilah-istilah
lainnya. Inti dari ajaran beribadah dalam beragama adalah untuk menyembah
kepada Sang Khalik, sebagai sesuatu yang sakral. Dari sinilah bagaimana
mengkaji agama terhadap perilaku keagamaan penganutnya, seperti orang Islam
dalam menjalankan ibadah puasa, demikian pula bagaimana perilaku puasa orang
Hindu, dan masing-masing agama memiliki cara tersendiri.
Melalui pendekatan antropologi, agama tampak akrab dan dekat dengan
masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan
23Abuddin Nata, Metodologi Study Islam (Jakarta,Raja Grafindo, 2008), 35.
44
dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula
untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini, lebih mengutamakan
pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.24
Secara umum, obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang,
yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme
biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologi, linguistik dan
etnografi. Meskipun antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak
asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat
manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan
kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya, sebab tidak ada kebudayaan
tanpa manusia.25
Jika kebudayaan tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang
dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang
datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan
segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang
sakral,26 wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang
muncul. Menurut Atho Mudzhar,27 ada lima fenomena agama yang dapat dikaji,
yaitu pertama, scripture atau naskah atau sumber ajaran, perkembangan pemikiran
keagamaan dan simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka
24Ibid., 36. 25Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), 62. 26Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), 18. 27Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 15.
45
agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus,
lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat,
alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya. Kelima, organisasi
keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti
Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena
kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi
manusia. Pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana seharusnya
beragama menurut kitab suci, tetapi bagaimana menurut penganutnya.
Sebagaimana dalam kitab suci adalah das sollen, bagaimana seharusnya,
sedangkan bagaimana menurut umatnya adalah empirik, yang dialami oleh
manusia, baik yang diyakininya, dikerjakannya, maupun yang dirasakannya.
Dengan demikian, yang diyakini suatu masyarakat beragama dapat saja gaib, tidak
dapat diteliti. Akan tetapi, keyakinan masyarakat dalam bentuk kepercayaan
kepada yang gaib bersifat empirik, dialami oleh manusia, sehingga dapat
dijadikan objek kajian ilmiah. Tetapi manusia percaya kepada Tuhan, bagaimana
sifat Tuhan yang dipercayainya, hubungan dengan Tuhan tersebut dan lainnya
yang mereka alami adalah empirik, kenyataan hidup yang dapat diteliti secara
ilmiah.
Antropologi memakai pendekatan dari dalam atau pendekatan verstehen.
Fenomena budaya yang dihasilkan oleh agama dipahami menurut interpertasi
pemeluknya sendiri, tidak menurut kacamata peneliti. Untuk memahami makna
46
suatu simbol keagamaan, ditanyakan kepada masyarakat penganutnya sendiri.
Sebagai kajian antropologis, keberagamaan manusia ingin dipelajari secara
mendalam, sampai dasar-dasar fundamental dari kehidupan beragama dan asal-
usul manusia beragama. Pendekatan ini tidaklah objektif apabila pemahaman
masalahnya harus disesuaikan dengan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut
peneliti dan dipaksakan tanpa didukung oleh bukti yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.28
Agama sebagai sasaran studi antropologi dapat disimpulkan dalam dua
hal. Pertama, antropologi yang merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi
salah satu sasaran kajian yang penting sehingga menghasilkan kajian cabang
tersendiri yang disebut dengan antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang
antropologi sebenarnya masih ada pada satu rumpun kajian yang bisa saling
berhubungan yaitu antropologis. Karena itu pendekatan antropologi identik
dengan pendekatan kebudayaan.29 Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan
kepercayaan terhadap keyakinan adannya kekuatan gaib, luar biasa atau
supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat,
bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku
tertentu, seperti berdoa, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap tertentu,
seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah dan lainnya dari individu dan masyarakat
yang mempercayainya.30 Oleh karena itu, keinginan, petunjuk dan ketentuaan-
ketentuan gaib harus dipatuhi kalau manusia dan masyarakat ingin kehidupan ini 28William A. Haviland, Antropologi (Jakarta: Erlangga, 1988),59. 29Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMia+Tazzafa, 2009),218. 30Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 155.
47
berjalan dengan baik dan selamat. Kepercayaan beragama yang bertolak dari
kekuatan gaib ini tampak aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan
individu dan masyarakat modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa
sesuatu diyakini ada kalau konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empirik
dan ilmiah.
Penelitian antropologi yang grounded research, yakni penelitian yang
penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang ditelitinya. Seorang peneliti
datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap fenomena keagamaan
yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena tersebut selanjutnya diinterpretasi
dengan menggunakan kerangka teori tertentu. Misalnya seperti penelitian yang
dilakukan oleh Geertz tentang struktur-struktur sosial di Jawa yang berlainan.
Struktur-struktur sosial yang di maksud adalah Abangan (yang intinya
berpusat dipedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau
pasar), dan Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan di kota).
Adanya tiga struktur sosial yang berlainan ini menunjukkan bahwa di balik kesan
yang didapat dari pernyataan bahwa penduduk Mojokuto itu sembilan puluh
persen beragama Islam. Tiga lingkungan yang berbeda itu berkaitan dengan
masuknya agama serta peradaban Hindu dan Islam di Jawa yang telah
mewujudkan adanya Abangan yang menekankan pentingnya spek-aspek
animistik, santri yang menekankan pentingnya aspek-aspek Islam dan priyayi
yang menekankan aspek-aspek Hindu.31
31Ibid., 395-397
48
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis
sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai
‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya
posisi manusia dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga
mengindikasikan bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama
Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami
manusia adalah sesungguhnya persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan
dalam kehidupan kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan
keagamaannya.32
Islam mengajarkan kepada kita untuk berhubungan dengan persoalan-
persoalan utama manusia yang berkaitan dengan lingkungan. Di samping itu
individu dengan masyarakat, baik individu maupun kelompok adalah sifat utama
dari lingkungan. Islam sesungguhnya adalah agama sosial, implikasinya terhadap
umat Islam terlihat jelas. Islam adalah bagian dari ummah, masyarakat, yang
kepadanya harus diberikan kesetiaan dan menyediakan untuknya identitas sosial.
Secara ideal, Islam sebagai agama memiliki bagian kelompoknya, kelompok yang
lebih besar dari ummah.33
Dalam penelitian tradisi perkawinan loro pangkon di masyarakat muslim
Mojokerto, peneliti berusaha menangkap fenomena keagamaan yang terjadi pada
acara pernikahan tersebut. Masyarakat muslim Mojokerto dalam melaksanakan
perkawinan, yang merupakan salah satu unsur dari ajaran Islam, mereka dalam
32Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. IV, 22. 33Rosihon Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia), 131.
49
pelaksanaannya melibatkan praktik-praktik tertentu. Berangkat dari pengamalan
agama yang dilaksanakan masyarakat muslim yaitu perkawinan, peneliti berusaha
memahami agama yang dipraktikkan, yakni dapat diartikan sebagai salah satu
upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat muslim Mojokerto, yakni perkawinan
loro pangkon. Dalam pendekatan antropologi ini peneliti lebih mengutamakan
pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Fenomena budaya yang
dihasilkan oleh agama dipahami menurut interpertasi pemeluknya sendiri, tidak
menurut kacamata peneliti.
C. Sosiologi (Interaksionisme Simbolik)
Dalam keilmuan sosiologi terdapat beberapa perbedaan paradigma,
utamanya pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology.
Dengan adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi
merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm).
Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang berbeda.
Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu
sosiologi, namun menurut George Ritzer,34 secara garis besar ada tiga paradigma
yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni pertama, paradigma fakta
34George Ritzer, Teori Sosiologi Modern (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), 697.
50
sosial dengan didukung beberapa teori yaitu teroi fungsionalisme struktural, dan
teori konflik.
Kedua, paradigma definisi sosial dengan didukung beberapa teori yaitu
teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori
etnometodologi. Ketiga, paradigma perilaku sosial dengan didukung teori
behavioral sociology yang merupakan implementasi dari perpaduan obyek kajian
psikologi perilaku ke dalam sosiologi, dan didukung oleh teori pertukaran
(exchange). Di samping itu terdapat pula paradigma integratif atau multi
paradigma yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma “jalan tengah”.
Paradigma integratif ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma
sesuai dengan tingkat kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut. Paradigma
integratif ini didukung oleh teori konstruksi sosial dan teori strukturasi.
Dalam penelitian tradisi perkawinan loro pangkon, peneliti menggunakan
paradigma definisi sosial yang lebih mengarah pada teori interaksionisme
simbolik. Suwardi Endraswara berpendapat interaksionisme simbolik adalah salah
satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku
manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun,
dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan
fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri.
Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya, jika semula lebih
mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan
dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan mustahil kalau
51
awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya
juga diminati oleh peneliti budaya.35 Perspektif interaksi simbolik berusaha
memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam komunikasi.
Interaksi simbolik lebih menekankan pada makna interaksi budaya sebuah
komunitas. Makna esensial akan tercermin melalui komunikasi budaya antar
warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang
bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.
Blomer mengemukakan ada beberapa premis interaksionisme simbolik
yang perlu dipahami peneliti budaya. Pertama, manusia melakukan berbagai hal
atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka. Misalkan,
para polisi, mobil polisi, penjual minum, tipe orang, dan sebagainya dalam suatu
kerumunan memiliki simbol yang bermakna khusus. Kedua, dasar interaksionisme
simbolik adalah makna berbagai hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi
sosial seorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang
dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefinisikan dalam
konteks orang yang berinteraksi. Ketiga, dari interaksionisme simbolik bahwa
makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang
digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi.
Seorang polisi juga menggunakan kebudayaan untuk menginterpretasikan
situasi.36
35Suwardi Endraswara, “Interaksionisme Simbolik, Grounded Theory, & Cross Cultural Studies”, Metodologi Riset Budaya (Yogyakarta: UGM Press, 2012), 1. 36James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 7.
52
Di samping tiga premis tersebut, Muhadjir menambahkan lagi tujuh
proposisi. Tujuh proposisi tersebut terkait dengan para tokoh-tokoh penemu
pendahulunya. Pertama, perilaku manusia itu mempunyai makna di balik yang
menggejala. Kedua, pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya ke dalam
interaksi sosial. Ketiga, komunitas manusia itu merupakan proses yang
berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier, dan tidak terduga. Keempat,
pemaknaan berlaku menurut penafsiran fenomenologi, yaitu sejalan dengan
tujuan, maksud, dan bukan berdasarkan mekanik. Kelima, konsep mental manusia
berkembang secara dialektik. Keenam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif,
dan kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu menggunakan metode
introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap
makna.37
Demikian pula dalam penelitian tradisi perkawinan loro pangkon, peneliti
berupaya mengungkap makna yang ditangkap oleh masyarakat pendukung budaya
tersebut. Pertama, dalam setiap langkah, individu maupun kelompok melakukan
suatu perbuatan yang memiliki makna dibalik yang terungkap, begitu pula dalam
tradisi perkawinan loro pangkon, tindakan dan perilaku masyarakat budaya
tersebut dengan menggunakan berbagai media, benda-benda yang ada di alam,
kesemuanya memiliki makna.
Kedua, bahwa makna dari berbagai hal yang muncul ke permukaan
diakibatkan adanya interaksi sosial dengan orang lain atau sekelilingnya. Dalam
37Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000), 184-185.
53
tradisi perkawinan loro pangkon berbagai makna yang muncul, mulai dari
pemaknaan media boneka jago yang dipergunakannya, pernak-pernik yang
dipakai dalam upacara perkawinan, semua itu akibat adanya interaksi sosial
dengan orang lain atau lingkungan sekitarnya. Ketiga, makna yang sudah muncul
akan terus berkembang dan dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran sesuai
dengan yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia
hadapi. Demikian pula ketika tradisi perkawinan loro pangkon dilaksanakan oleh
masyarakat pendukungnya, pemaknaan terhadap tradisi tersebut terus
disempurnakan sesuai dengan keadaan yang berkembang saat ini. Misalnya awal
mula dalam tradisi tersebut hanya memakai musik kebogiroan dalam menyambut
kedatangan mempelai putra, saat ini dapat dijumpai dengan memodifikasi dengan
ditambah syrakalan (shalawatan), hal ini bisa saja akan terus ada modifikasi-
modifikasi tertentu.
D. Akulturasi Budaya
Islam menjadi berkembang mulai abad VII sampai dewasa ini, terkait
dengan perkembangan wilayah maupun berbagai kawasan, antara budaya
masyarakat Indonesia dengan Islam mengalami beberapa perubahan dan
modifikasi. Terjadilah proses akulturasi, hubungan timbal balik antara Islam
dengan masyarakat setempat, terjalinlah komunikasi dan transaksi saling
menerima dan memberi. Menurut Koentjaraningrat,38 akulturasi adalah suatu
proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan
38Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), 202.
54
tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima
dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Berbagai ahli mengemukakan tentang teori proses akulturasi, di antaranya
Kroeber,39 yang mengajukan teori principle of integration atau prinsip integrasi
yang memandang dari sudut kebudayaan asli, dengan mengemukakan bahwa
suatu unsur kebudayaan asli sulit tergantikan apabila unsur tersebut telah
diintegrasikan dan diolah menjadi kesatuan. Misalnya penggunaan kembar
mayang oleh masyarakat Jawa yang pada zaman Hindu dikenal sebagai
kalpadruma (the tree of the dream) atau dikenal dengan nama pohon impian atau
kalpawreksa yaitu pohon yang menjaga atau merawat. Dalam istilah Jawa pohon
impian tersebut dikenal dengan kayon (gunungan). Kayon atau gunungan
melambangkan kehidupan, kalpataru yang bercabang delapan sebagai lambang
awal dan akhir. Oleh karena itu gunungan wayang juga membawakan lambang
konsep mitos Jawa; sangkan paraning dumadi.40 Menurut Kempers,41 dalam
kepercayaan masyarakat Jawa gunung dianggap keramat sebagai tempat
bersemayamnya roh leluhur yang telah meninggal. Di Jawa Timur tinggalan
arkeologi yang menunjukkan adanya hubungan antara bangunan suci dengan
39Lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 449-450. 40Tim Penulis Sena Wangi, Ensiklopedi Wayang Indonesia, Jilid 2 (Jakarta: Sena Wangi, 1999), 611. 41A.J. Bernet Kempers, Ancient Indonesian Art (Cambridge: Harvard University Press, 1959), 65-67.
55
gunung, tampak jelas. Di gunung Penanggungan banyak ditemukan bangunan suci
berbentuk teras berundak yang memanfaatkan kemiringan lereng atau gua-gua
pertapaan. Bangunan-bangunan suci tersebut berasal dari sekitar abad ke 10-11.
Beberapa bangunan suci di lereng gunung dan gunung itu sendiri erat kaitannya
dengan konsep pelepasan menuju alam kedewaan.
Kemudian R. K. Merton,42 mengajukan teori principle of function atau
prinsip fungsi sebagai prinsip terpenting, misalnya dapat dilihat dalam
kepercayaan animisme dan dinamisme di masyarakat Jawa. Mereka percaya
adanya benda-benda tertentu yang terdapat di alam, apakah berupa pohon,
matahari, keris, akik memiliki daya kekuatan magis yang dapat membantu
kehidupan manusia. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an bahwa
Tuhan menyuruh manusia mempelajari cosmos dan kekuatannya yang merupakan
kumpulan alam semesta yang menggambarkan adanya kesatuan di balik
penampilan yang beragam sehingga dapat dipergunakan sebaik-baiknya dalam
menyimpulkan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Untuk
memudahkan manusia menarik kesimpulan, maka al-Qur’an mengungkapkannya
dengan cara yang komunikatif dan dialogis. Perhatikan surat An Naml ayat 60
berikut.
42Lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 449-450.
56
“Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).”43
Demikian pula penggunaan simbol berupa tanaman seperti pohon pisang
yang sudah berbuah yang diletakkan di sebelah kiri dan kanan pintu gerbang teras
atau terop rumah mempelai pengantin wanita dalam perkawinan. Penggunaan
simbol tanaman tentunya memiliki makna filosofi sebagaimana pohon pisang
yang memiliki banyak fungsi dapat memberikan kesejahteraan bagi kehidupan
manusia, diharapkan dalam perkawinan kedua mempelai dapat menghasilkan
keturunan dan akan terus merawat kehidupannya sebelum menghasilkan sesuatu
buah kehidupan atau anak keturunan (sambung tuwuh).
Bruner mengajukan teori principle of early learning,44 yakni unsur
kebudayaan yang lebih dahulu dipelajari akan sulit tergantikan oleh kebudayaan
asing. Kebudayaan yang terbentuk pertamakali akan menjadi pelajaran bagi
penganutnya dan akan menjadi kebiasaan untuk dikerjakan dalam kehidupan
43al-Qur’an, 27:60. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 601. 44Lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 449-450.
57
mereka. Seperti hubungan biologis laki-laki dan perempuan dapat dipelajari oleh
manusia pada awalnya melalui kehidupan alam dengan melihat perjodohan
kehidupan sepasang binatang. Sejak zaman prasejarah hubungan laki-laki dan
perempuan merupakan hubungan yang sakral, melalui berbagai cara mereka
melakukannya dengan menyelenggaraakan upacara-upacara tertentu yang
sesungguhnya merupakan simbol-simbol kehidupan, seperti dalam upacara
pengantin Jawa menggunakan pecah telur atau disebut wiji dadi dan sebagainya.
Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an surat Al Furqaan berikut.
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”45
Selanjutnya hampir semua ahli mengemukakan principle of utility yang
mengemukakan bahwa unsur asli berupa keyakinan atau kepercayaan akan sulit
tergantikan, dan unsur baru akan mudah diterima apabila unsur-unsur itu memiliki
kegunaan, dapat diartikan antara unsur yang asli dan baru saling memanfaatkan.
Unsur kebudayaan lama yang tidak bertentangan dengan unsur budaya baru yang
datang akan terus dilestarikan secara nyata. Misalnya unsur budaya lama seperti
selamatan merupakan kelanjutan atau identik dengan sodaqoh dalam Islam (unsur
baru), budaya nyekar dalam masyarakat Jawa identik dengan ziarah kubur (Islam),
45al-Qur’an, 25:74. Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Depag RI, 1999), 569.
58
kirab dalam perkawinan dianalogikan dengan walimah, penggunaan instrumen
flora seperti tebu, pisang dan sebagainya masih tetap dipertahankan dalam
masyarakat Jawa.
Terdapat pula teori principle of concreteness atau unsur-unsur yang
konkret lebih mudah hilang diganti dengan unsur asing.46 Teori principle of utility
ini, erat kaitannya dengan teori principle of concreteness, baik tradisi yang
terdapat dalam unsur-unsur perkawinan dari kebudayaan lama dan baru, keduanya
dapat difungsikan dan dapat diintegrasikan melalui personifikasi dalam siklus
daur kehidupan manusia. Misalnya penggunaan “kendi” dalam upacara kematian
dapat digantikan dengan barang baru yang sejenisnya misalnya “cerek”, yang
memiliki kegunaan yang hampir sama sebagai peralatan tempat air untuk minum,
makna filosofinya dalam kehidupan bahwa manusia hidup di dunia itu hanya
sementara untuk sejenak singgah minum air (sakdermo mampir ngombe), oleh
karena itu di dalam kehidupan manusia hendaknya berhati-hati dan menyiapkan
perbekalan yang cukup menuju kehidupan yang kekal abadi. Demikian pula
wayang, ditinjau dari teori principle of concreteness merupakan barang yang
kongkret. Wayang sesungguhnya memiliki sakralitas, dalam pertunjukan wayang
dapat dikatakan sebagai visualisasi dan personifikasi perjuangan nenek moyang,
perjuangan antara kebaikan dan keburukan, keadilan dan keangkaramurkaan.
Adanya kepercayaan sakralitas dan yang ghaib sebagaimana dalam pertunjukan
46Lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 449-450.
59
wayang merupakan salah satu bentuk simbolik yang dimanfaatkan dalam kegiatan
upacara perkawinan masyarakat Jawa.
Dalam proses akulturasi ada dua pendekatan mengenai bagaimana cara
yang ditempuh supaya nilai-nilai Islam dapat diserap menjadi bagian dari
kebudayaan Jawa, pertama melalui Islamisasi kultur. Pendekatan Islamisasi kultur
mengacu terhadap budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik
secara formal maupun secara substansial yang ditandai dengan penggunaan
istilah-istilah Islam, nama-nama Islam, pengambilan peran tokoh Islam pada
berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hukum-hukum, norma-norma
Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Kedua, melalui Jawanisasi Islam, yaitu
sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan nilai
Islam dalam budaya Jawa. Dengan kata lain, meskipun istilah dan nama Jawa
tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai Islam sehingga Islam
menjadi menjawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk
budaya orang Jawa Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam kejawaan
atau Jawa yang keislaman sehingga timbul istilah Jawa atau Islam kejawen.47
Setiap agama memiliki aspek fundamental yaitu aspek kepercayaan dan
memiliki keyakinan, terutama kepercayaan terhadap suatu yang sakral, yang suci
atau yang ghaib. Dalam agama Islam aspek fundamental terumuskan dalam
aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman yang harus dipercaya oleh
orang Islam. Kemudian dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan ajaran
47Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),119.
60
Hindu terdapat kepercayan adanya pulau dewata, terhadap kitab-kitab suci.
Selanjutnya terdapat keyakinan terhadap roh-roh jahat, lingkaran penderitaan
(samsara), hukum karma dan hidup hukum abadi (muksa). Dalam agama Budha
terdapat kepercayaan mengenai empat kebenaran abadi (kesunyatan), yakni dukha
(penderitaan), samudaya (sebuah penderitaan), nirodha (pemadam keinginan) dan
morga (jalan kelepasan). Pada agama primitif sebagian orang Jawa sebelum
kedatangan Hindu atau Budha terdapat kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kepercayaan dari agama Hindu, Budha maupun animisme dan dinamisme
ini dalam proses pengembangan Islam terjadi interaksi dalam kepercayaan agama
Islam, meliputi aspek ketuhanan, dengan demikian prinsip ajaran Islam telah
tercampur dalam berbagai unsur kepercayaan Hindu, dan Budha. Contohnya
seperti sebutan Allah swt., orang kejawen biasa menyebutnya Gusti Allah.
Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan
mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena tercampur dengan
penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati
maupun benda hidup. Arti keramat di sini bukan berarti mulia terhormat, tetapi
memiliki daya magis, sesuatu yang sakral bersifat Ilahiyat. Dalam tradisi Jawa
terdapat berbagai jenis barang yang digunakan. Ada yang disebut azimat pusaka,
dalam bentuk tombak, keris, ikat kepala, cincin, batu, akik dan sebagainya.
Mistik kejawen sesungguhnya merupakan manisfestasi agama Jawa.
Agama Jawa adalah akumulasi praktik religi masyarakat Jawa. Dalam pandangan
Geertz, agama Jawa memiliki tiga variasi yaitu Jawa abangan, santri, dan priyayi.
61
Dalam praktik religi tersebut sebagian orang meyakini terhadap pengaruh
sinkretik dengan agama lain, sedikitnya agama Hindu, Budha dan Islam.
Sebaliknya ada yang meyakini secara puritan bahwa mistik kejawen adalah milik
masyarakat Jawa yang ada sebelum pengaruh lain. Masing-masing asumsi
memiliki alasan yang masuk akal. Esensi agama Jawa adalah pemujaan pada
nenek moyang atau leluhur. Pemujaan tersebut diwujudkan melalui sikap mistik
dan selamatan. Meskipun secara lahiriyah mereka memuja para roh, esensinya
tetap terpusat pada Tuhan. Jadi, agama Jawa yang dilandasi sikap dan perilaku
mistik tetap tersentral kepada Tuhan.48
Wirid Hidayat Jati mengajarkan paham antara manusia dengan Tuhan.
Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan, oleh karena itu
manusia harus bersatu kembali dengan Tuhan. Kesatuan kembali antara manusia
dengan Tuhan di dunia bisa dicapai dengan penghayatan mistik, seperti pada
umumnya dalam ajaran mistik. Akan tetapi, kesatuan yang sempurna antara
manusia dengan Tuhan menurut Wirid Hidayat Jati sesudah datangnya ajal atau
maut, istilah kawulo Gusti yang terdapat dalam Wirid Hiayat Jati kaitannya
dengan istilah ‘abdun dan rabbun’ (hamba dan Tuhan) dalam Islam.49
Kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja pada agama Islam, tetapi
ada juga dalam agama Hindu maupun kepercayaan primitif dan tampaknya telah
saling mengisi. Namun setan, jin (Islam) dan raksa (Hindu) telah dikategorikan
sebagai jenis makhluk atau roh jahat penggoda manusia dan dapat menjelma
48Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen (Yogyakarta:Narasi, 2006),75. 49Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Rangga Warsita (Jakarta:UI-Press, 1998),278.
62
seperti manusia atau hewan. Terdapat pula sejumlah makhluk halus, serta setan-
setan berkelamin pria dan bermuka buruk seperti setan dharat, setan mbisu, setan
mbelis, memedi, dan lain-lain. Adapun setan yang sejenis kelamin wanita seperti
wewe, kuntilanak, sundel bolong, demikian pula setan yang menyerupai anak
kecil atau kerdil adalah tuyul.
Menurut keyakinan orang Islam, orang yang sudah meninggal dunia
ruhnya tetap hidup dan tinggal sementara di alam kubur atau alam barzah, sebagai
alam antara sebelum memasuki akhirat tanpa kecuali, apakah orang tua ataupun
anak-anak. Menurut orang Jawa, arwah-arwah orang tua sebagai nenek moyang
yang telah meninggal dunia berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai
arwah leluhur menetap di makam. Dari sinilah kemudian timbul upacara bersih
desa, termasuk membersihkan makam-makam disertai dengan kenduren maupun
sesaji, dengan maksud agar sang dhanyang akan selalu memberikan perlindungan,
di sisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang yang meninggal dunia perlu
dikirimi do’a.
Ritual atau ritualistik adalah kegiatan yanng meliputi berbagai bentuk
ibadah sebagaimana yang terdapat dalam rukun Islam yaitu syahadat, sholat,
zakat, puasa, dan haji. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya supaya
melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik di atas. Dalam ritual sholat dan puasa,
selain terdapat sholat wajib lima waktu dan puasa wajib di bulan Ramadhan,
terdapat pula sholat dan puasa sunnah. Intisari dari sholat adalah do’a yang
ditujukan kepada Allah SWT., sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian
nafsu dalam rangka penyucian rohani.
63
Dalam do’a dan puasa mempunyai pengaruh yang sangat luas, mewarnai
berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh
dengan upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari
keadaannya dalam perut ibu, lahir, anak-anak, remaja, dewasa, sampai
kematiannya.
Dalam kepercayaan lama upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji
atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan ghaib tertentu
yang bertujuan supaya kehidupannya senantiasa dalam keadaan selamat. Setelah
Islam datang, secara luwes Islam memberikan warna baru dalam kepercayaan itu
dengan sebutan kenduren atau selamatan. Dalam upacara selamatan ini yang
pokok adalah yang dipimpin oleh kiai. Dalam selamatan ini terdapat seperangkat
makanan yang dihidangkan pada peserta selamatan, serta makanan yang dibawa
ke rumah seperti berkat.
Berkaitan dengan lingkaran hidup orang Jawa, Koentjaraningrat
mengemukakan bahwa jenis upacara yang dilakukan orang Jawa di antaranya,
pertama yaitu upacara tingkeban atau mitoni, upacara ini dilakukan pada saat
janin berusia 7 bulan dalam perut ibu. Dalam tradisi santri, pada upacara
tingkeban ini seperti dilakukan di daerah Bagelen dibacakan nyanyian berjanjen
dengan alat musik tamburin kecil. Kedua, upacara kelahiran, upacara ini
dilakukan pada saaat anak diberi nama dan pemotongan rambut pada bayi
berumur 7 hari atau sepasaran. Karena itu selamatan ini disebut juga selamatan
nyepasari. Ketiga, upacara sunatan, upacara ini dilakukan pada saat anak laki-laki
dikhitan. Namun pada usia berapa anak itu dikhitan, pada berbagai masyarakat
64
berberbeda-beda. Keempat, upacara perkawinan, upacara ini dilakukan pada saat
muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Selamatan yang dilakukan
berkaitan dengan upacara perkawinan sering dilaksanakan dalam beberapa tahap,
yakni pada tahap sebelum akad nikah, pada tahap akad nikah dan sesudah akad
nikah. Kelima, upacara kematian, upacara ini dilakukan pada saat persiapan
penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani,
mensholati dan pada akhirnya menguburkan.50
E. Pertunjukan Wayang, Historisitas, dan Maknanya
Masyarakat Jawa dalam beragama pada umumnya menganut agama yang
sesuai dengan agama yang dianut baik oleh orang tuanya maupun penguasa atau
raja. Menilik dari sejarah perkembangan kepercayaan agama orang Jawa, bahwa
kepercayaan mereka adalah penyembahan terhadap leluhur atau nenek moyang
mereka yang sudah meninggal. Pementasan atau pertunjukan wayang pada
mulanya merupakan simbol terhadap bayang-bayang dari arwah nenek moyang
yang sudah tiada. Sebelum bentuk dan wujud wayang purwa seperti sekarang ini,
pada awalnya pertunjukan wayang dimaksudkan bukan sebagai media hiburan.
Pertunjukan wayang awal mulanya lebih mengarah sebagai media ritual atau
upacara penyembahan terhadap para leluhur atau nenek moyang yang sudah
meninggal. Oleh karena itu sebelum pementasan wayang ditampilkan biasanya
didahului dengan sesajen-sesajen khusus untuk menghormati arwah para nenek
moyangnya. Seiring dengan perkembangan zaman pementasan wayang memiliki
50Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000), 119.
65
lebih banyak fungsi, apakah sebagai media penyembahan terhadap leluhur
maupun ketika para wali untuk menyebarkan Islam sebagai media dakwah, dan
dapat pula dijadikan sebagai media hiburan.51 Jadi, pementasan wayang untuk saat
ini memiliki banyak fungsi tergantung dari sisi mana wayang itu dipentaskan,
bahkan dapat dijadikan sebagai media politik dan sebagainya.
Pertunjukan wayang purwa cerita Ramayana dan Mahabarata, di kalangan
masyarakat Jawa biasa disebut dengan istilah pakeliran. Pertunjukan wayang
purwa tersebut bentuknya tradisi, setidak-tidaknya sudah ada sejak jaman
Airlangga abat XI. Hal ini bisa dibuktikan dari prasasti yang ada:
“Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh tuwin yan walulang unikir molah angucap, hatur neng wang tresnaning wisaya malaha tan wihikana, ri tat wan ya maya sahana hananing bawa siluman”.
“Orang melihat wayang menangis, dan tertawa, heran, kagum, meskipun sudah tahu bahwa yang dilihat itu hanyalah kulit dipahat berbentuk manusia bisa bergerak dan bicara. Yang melihat wayang demikian, seumpama orang bernafsu atas keduniawian, sehingga menjadikan diri lupa dan tidak tahu bahwa semua itu hanyalah bayangan yang keluarnya seperti siluman setan atau seperti sulapan belaka”.52
Jenis wayang dalam masyarakat Jawa sebenarnya sangat banyak, setidak-
tidaknya terdapat wayang purwa (kulit), menak, gedhog, madya, suluh, golek,
klitik, dan beber, tetapi wayang-wayang tersebut sekarang sudah tidak praktis
bahkan bisa dikatakan menghadapi kepunahan. Soetarno menjelaskan terhadap
punahnya wayang-wayang tersebut, selain wayang purwa ada beberapa alasan,
51Sri Mulyono, Wayang; Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya (Jakarta: BP Alda, 1975), 59. 52Lihat Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolik (Surakarta: STSI Press, 2005), 30.
66
karena cerita repertoarnya kurang menarik, susah dikembangkan hingga tidak lagi
sesuai dengan kehidupan masyarakat sekarang. Hal ini lain dengan cerita wayang
kulit purwa Ramayana dan Mahabarta, repertoarnya sangat kompleks, mudah
untuk dikembangkan sesuai dengan kehidupan masyarakat sekarang, dan nilai
yang terkandung cocok dengan falsafat masyarakat Jawa hingga menjadikan
wayang kulit purwa eksis sampai dengan sekarang ini.53
Epos Ramayana dan Mahabarata sebagai cerita yang disajikan dalam
pakeliran berasal dari India, tetapi wujud wayangnya merupakan salah satu unsur
budaya Indonesia asli, dalam hal ini Jawa.54 Para ahli yang menyatakan dari India
adalah Krom, selanjutnya bisa di lihat dalam Geschiedenis van Nederlands
Indie.55 Ahli yang menyatakan dari Cina adalah Gosling dalam bukunya De
Wayang Op Java Op Bali, sedang yang menyatakan dari Indonesia dalam hal ini
Jawa adalah Hazeu dan Kruyt.56 Bahkan lebih jelas lagi dikatakan oleh Zarkasi
Effendi bahwa wayang itu dari Jawa ciptaan para Wali (pernyataan tersebut hanya
untuk memberikan targhib atau semangat agar orang Islam Jawa mau
melestarikan budaya wayang) sebagai media dakwah.57
Pernyataan wayang dari Jawa ciptaan para wali seperti di katakan Zarkasi
Effendi tersebut, menurut hipotesis Sedyawati sesungguhnya merupakan mitos
53Lihat Soetarno dan kawan-kawan, Estetika Pedalangan(Surakarta: Institut Seni Indonesia Surakarta Bekerjasama dengan CV. Adji Surakarta, 2007), 50. 54Lihat, Koentjaraningrat, Metode-Metode Antropologi Dalam Penyelidikan-Penyelidikan Masyarakat Dan Kebudayaan Di Indonesia (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958), 455. 55Lihat Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolik (Surakarta: STSI Press, 2005), 34. 56Lihat Soetarno, Wayang Kulit Jawa (Surakarta: CV Cendrawasih, 1995), 5. 57Zarkasi Effendi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan (Yogyakarta: PT. Al-Ma’arif, 1978), 46.
67
saja, artinya tidak didukung oleh fakta dan sejarah yang benar. Fakta dan sejarah
yang benar, wayang telah ada berabad-abad sebelum para wali. Keterangan lebih
lanjut, penguasa yang arif dulu pada zaman para wali memang sengaja membuat
pernyataan dalam bentuk spektrum “wayang ciptaan para wali” digunakan untuk
dakwah, selebihnya dibuat sedemikian rupa miring agar tidak bertentangan
dengan syariat dan berisi ajaran-ajaran agama Islam terutama kalimat laa ilaaha
illallaah (iman). Ajaran kalimat laa ilaaha illallaah ini terdapat dalam berbagai
cerita carangan seperti: Jamus Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, dan Mustakaweni
Maling.58 Sedyawati selanjutnya menegaskan, bahwa pernyataan pendahulu
“wayang ciptaan para wali” tersebut sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk
merusak sejarah, tetapi semata-mata untuk menyelamatkan wayang yang sudah di
ambang kepunahan di tengah-tengah masyarakat yang sedang bergerak menuju
perubahan keislaman. Dengan kebijakan budaya demikian, selanjutnya
diharapkan agar wayang dapat menjadi legitimasi bagi orang-orang Jawa hingga
sah atas perkembangannya di tengah-tengah alam ke-Islaman.59
Perkembangan wayang selanjutnya, sebagian masyarakat menyatakan
bahwa “wayang ciptaan para wali” itu diyakini atas kebenarannya bukan sebagai
mitos, tetapi sebagai sejarah faktual dengan mengajukan sejumlah bukti-bukti
yang ada seperti bonekanya dulu methok kemudian dibuat miring, Tokoh Dewa
58Edy Sedyawati, 1996 “Transformasi Budaya Jawa” (Makalah disampaikan dalam Konggres Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional), 10. 59Ibid., 11. Lihat pula Aminuddin Kasdi, Kepurbakalaan Sunan Giri; Sosok Akulturasi Kebudayaan Indonesia Asli, Hindu-Budha dan Islam Abad 15-16 (Surabaya: Unesa University Press, 2005), 43.
68
dulu dikultuskan kemudian dibuat sejajar dengan manusia keturunan Nabi Adam,
lalu ada cerita senjata Jamus Kalimasada yang paling ampuh, yang sebelumnya
paling ampuh adalah senjata Pasupati, di samping itu terdapat pula cerita Petruk
Dadi Ratu, dan Mustakaweni Maling sebagaimana pendapat Sutiyono dari Bakdi
Sumanto.60 Dalam masyarakat terdapat tradisi lisan yang menyatakan bahwa Serat
Jamus Kalimasada adalah nama sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang
dimiliki oleh Prabu Puntadewa (alias Yudistira), pemimpin para Pandawa. Pusaka
ini berwujud kitab, dan merupakan benda yang sangat dikeramatkan dalam
kerajaan Amarta. Prabu Darmakusuma alias prabu Yudistira dari negara Amarta,
setelah semua saudaranya (Pandawa) meninggal, beliau mengembara ke segala
penjuru dunia. Beliau tidak dapat meninggal dunia selama beliau menggenggam
jimat pusaka “Jamus Kalimasada”, kemudian beliau mencari seseorang yang
dapat membaca dan menjelaskan makna jimat pusaka miliknya. Sampai akhirnya
beliau mengembara ke tanah Jawa. Di satu pihak, Sunan Kalijaga mengetahui dari
kejauhan, ada sinar putih menjulang tinggi ke angkasa. Karena tertarik ia mencari
pemilik atau sumber sinar putih putih tersebut. Akhirnya ditemukanlah sumber
sinar putih yang menjulang tinggi ke angkasa tersebut, yang berasal dari tubuh
Prabu Yudistira yang bertapa di salah satu tempat di selatan pulau Jawa. Maka,
terjadilah dialog antara keduanya, sehingga Prabu Yudistira meminta Sunan
Kalijaga untuk bisa menerangkan makna jimat pusaka Jamus Kalimasada. Setelah
dibaca ternyata, jimat ini adalah kalimat syahadat. Setelah dibaca oleh kanjeng 60Lihat, Muh. Mukti, “Wayang Kulit Purwa Lakon “Cupu Manik Astagina” Sajian Dalang Enthus Susmono Dalam Perspektif Etika Syeikh Maulana Ilyas: Relevansinya Terhadap Usaha Perbaikan Umat Dan Pelestarian Wayang Islam” (Disertasi UGM Yogyakarta, 2011), 2.
69
Sunan dan Yudistira menirukannya, maka wafatlah Prabu Yudistira. Zarkasi
Effendi berpendapat terhadap hal itu, kemudian mengatakan, jika ada orang yang
berani mengatakan bahwa wayang bukan gubahan para wali tetapi ciptaan orang-
orang Hindu, Jamus Kalimasada asalnya bukan dari Jimat Kalimat Syahadat laa
ilaaha illallaah tetapi Jimat Sapulidi yang lima” dimungkinkan yang dimaksud
adalah Jimat Kalima usada seperti yang disampaikan Nartasabda dalam banyak
kaset pakelirannya, sungguh orang itu tidak tahu sejarah wayang.61
Wayang sebagai gubahan para wali itu mitos atau sejarah, yang perlu
ditegaskan adalah adanya keyakinan di kalangan masyarakat Jawa khususnya
yang beragama Islam secara mantap terhadap peran para wali dalam
menggunakan wayang untuk dakwah. Keyakinan tersebut kemudian dijadikan
sebagai rujukan untuk melestarikan wayang sekarang ini, hingga khususnya para
dalang muslim kemudian menggunakan wayang juga untuk dakwah sebagaimana
para wali seperti pendapat Hadi Wijoyo ketika memainkan lewat adegan
Tikbrasara lakon Dewaruci, dan Enthus Susmono ketika di selter Kepuh Harjo
lewat adegan Limbuk-Cangik lakon Semar mBangun Kayangan. Karena para
dalang muslim menggunakan wayang juga untuk dakwah sebagaimana dilakukan
para wali, maka banyak wayang berisi ajaran-ajaran agama Islam seperti yang
61Zarkasi Effendi, Unsur-Unsur Islam dalam Pewayangan (Yogyakarta: PT. Al-Ma’arif, 1978), 175.
70
disajikan oleh Enthus Susmono lakon Ruwatan Rajamala, Syukron lakon Rabine
Irawan, dan Anom Suroto lakon Bangun Taman Maerakaca.62
Wayang yang disajikan oleh Enthus Susmono lakon Ruwatan Rajamala,
berisi ajaran agama Islam di antaranya tentang pentingnya: iman kepada Allah,
mengeluarkan shadaqah, menepati janji, menegakkan shalat, menjaga farji, dan
menggunakan pakaian sunnah, yang disampaikan dalam dialog antara Matswapati
dengan Kencakarupa.63 Demikian pula wayang yang disajikan oleh Haji Syukron
lakon Rabine Irawan, berisi ajaran agama Islam di antaranya tentang pentingnya
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih disampaikan
dalam dialog Jayeng Sabda dan Jayeng Resmi. Wayang yang disajikan oleh Haji
Anom Soeroto lakon Bangun Taman Maerakaca, juga berisi ajaran agama Islam
di antarnya tentang pentingnya syukur kepada Allah disampaikan dalam dialog
antara Dursasana dengan Sengkuni dalam adegan Paseban Jawi.64
Wayang digunakan untuk dakwah dengan cara menyampaikan ajaran-
ajaran agama Islam seperti dilakukan oleh dalang-dalang muslim tersebut di atas,
dalam pandangan tabligh yakni orang-orang Islam yang mengambil usaha
dakwah, sangatlah tepat. Tepatnya karena pandangan atau pemikiran tabligh
terhadap apa pun sebuah tuntunan yang dalam hal ini berarti termasuk juga
wayang, filosofinya adalah dakwah (mengajak manusia taat kepada Allah), bukan
62Lihat, Muh. Mukti, “Wayang Kulit Purwa Lakon “Cupu Manik Astagina” Sajian Dalang Enthus Susmono Dalam Perspektif Etika Syeikh Maulana Ilyas: Relevansinya Terhadap Usaha Perbaikan Umat Dan Pelestarian Wayang Islam” (Disertasi—UGM, Yogyakarta, 2011), 5. 63Ibid. 64Ibid.
71
ibadah (amal agama).65 Sebagai tuntunan, dalam hal ini wayang tersebut
filosofinya adalah dakwah, sebab dakwah itu dasarnya harus hikmah atau
bijaksana sesuai dengan kekuatan yang diajak, hingga syariatnya bergerak mulai
dari adanya larangan sampai dengan kebenaran sesuai dengan al-Qur’an dan
Hadits.
Wayang sebagai tuntunan yang digunakan untuk dakwah dengan cara
menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam seperti dilakukan oleh dalang-dalang
muslim di atas, kenyataannya bercampur dengan ajaran agama Hindu, Budha,
budaya atau kebatinan. Adanya cerita para dewa, laku yogabrata, brahmacari,
dan sebagainya, juga tempat-tempat ibadah seperti candi Saptarga, Saptarengga
dan sebagainya, jelas merupakan ajaran dari agama Hindu. Lakon Murwakala,
Sudamala, dan lakon-lakon ruwatan lain dengan segala penerapannya dalam
kehidupan masyarakat, bahkan bisa dikatakan sebagai ajaran agama Hindu yang
sempurna sesuai dengan ajaran yang ada. Kunjara Karna yang dilakukan oleh
dalang Ki Sutrisna adalah sebuah lakon versi ajaran agama Budha di dalamnya
bisa dirasakan secara langsung, karena setelah Kunjarakarna bisa diruwat oleh
Budha Wairucana kemudian masuk agama Budha. Bahkan dapat dikatakan
wayang mengandung semua ajaran agama, tetapi tersirat tidak mlaha dan tidak
ngguroni (tidak vulgar dan tidak menggurui).66
65Lihat Zakariyya, Fadhilah Amal (diterjemahkan oleh Supriyanto Abdullah): (Yogyakarta: Ash-shaf, 2000). 66Lihat, Muh. Mukti, “Wayang Kulit Purwa Lakon “Cupu Manik Astagina” Sajian Dalang Enthus Susmono Dalam Perspektif Etika Syeikh Maulana Ilyas: Relevansinya Terhadap Usaha Perbaikan Umat Dan Pelestarian Wayang Islam” (Disertasi UGM, Yogyakarta, 2011), 4.
72
Ajaran agama Hindu, Budha, Islam yang terdapat dalam pertunjukan
wayang seperti telah disebutkan itulah kemudian menjadi saling berbenturan,
bahkan karena dalam perjalannannya wayang ternyata tidak bisa melepaskan diri
dari ajaran-ajaran agamanya yang sangat kompleks tersebut untuk menjadi ajaran
agama secara tunggal, maka dalam pertunjukannya kemudian wayang kulit tidak
menyampaikan ajaran agama Islam, Hindu, atau Budha, tetapi secara samar-samar
wayang sebagai ajaran sinkretis.
Pergumulan dari ketiga ajaran agama Hindu, Budha, dan Islam yang tidak
bisa dipisah-pisahkan itulah, kemudian menjadikan wayang sebagai tuntunan
budaya atau kebatinan yang memang sumbernya dari ketiga ajaran agama
tersebut.67 Apalagi mulai dari orde lama, orde baru sampai dengan sekarang ini
dengan undang-undangnya (pasal 29 UUD 45) (lihat UUD 1945, edisi terbaru,
2009-2014) yang secara tidak sengaja sekan-akan telah memberi peluang atas
disahkannya kebatinan sebagai salah satu alternatif dari keyakinan bangsa, maka
wayang sebagai tuntunan atau ajaran kebatinan secara tidak langsung semakin
diakui di tengah-tengah masyarakat pendukung budaya Jawa.
Menurut Suminto sehubungan dengan adanya ajaran kebatinan yang
terdapat dalam wayang tersebut mengatakan: “agama yang lebih cocok untuk
orang-orang Jawa memang sebenarnya wayang, Nabinya Semar”. Maksudnya
wayang secara keseluruhan nilai-nilai yang ada merupakan gambaran dari
manifestasi kekuasaan dan sifat Tuhan, sedang Semar menjadi panutan atau
67As-Salawi Abdul Karim, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebatinan (Pekalongan: Bahagia Batang, 1986), 96.
73
tuntunan bagi setiap orang yang bercita-cita mistik untuk mewujudkan ajaran
“sepi ing pamrih rame ing gawe”, dan memayu hayuning bawana”, untuk menuju
pada manunggaling kawula lan Gusti.68
Kenyataan wayang sekarang ini tersebut, setidak-tidaknya ada empat
ajaran yang terdapat di dalamnya, yakni Hindu, Budha, Islam, dan kebatinan. Ke
empat ajaran tersebut, kadang menyatu kadang terpisah. Menyatu, maksudnya ada
ajaran yang bisa diterima oleh semua agama baik Hindu, Budha, Islam, maupun
kebatinan, terpisah maksdunya hanya bisa diterima oleh salah satu agama saja.
Seperti wayang gambar miring misalnya, bisa diterima oleh semua agama paling
tidak Hindu, dan Islam, tetapi pada penyebutan “hong ilaheng awignam mastu
namassisidam” sebagai do’a hanya bisa diterima oleh agama Hindu saja, atau
tidak bisa diterima oleh agama Islam, karena akan termasuk tasabuh atau meniru
kaum Hindu.
Wayang purwa Jawa yang semula Hindu kemudian dijadikan sedemikian
rupa seni Islami yang setengah-setengah tidak secara keseluruhan, hanya ruhnya
saja, itulah mungkin akibat dari tidak adanya keinginanan orang-orang Islam
untuk menggerus budaya yang tengah dihayati dan dirawat oleh bangsa Indonesia,
karena memang mereka datang bukan sebagai imperialis budaya.69 Akulturasi
atau campuran dari berbagai ajaran agama yang terdapat dalam pertunjukan
wayang purwa tersebut, akibatnya menimbulkan perbedaan pendapat di antara 68Lihat, Muh. Mukti, “Wayang Kulit Purwa Lakon “Cupu Manik Astagina” Sajian Dalang Enthus Susmono Dalam Perspektif Etika Syeikh Maulana Ilyas: Relevansinya Terhadap Usaha Perbaikan Umat Dan Pelestarian Wayang Islam” (Disertasi--UGM, Yogyakarta, 2011), 4. 69Irawanto, 1987, Pluralitas Budaya, Potret Sebuah Masjid di Desa (Makalah disajikan dalam rangka Seminar Budaya Universitas Gadjahmada Yogyakarta).
74
umat muslim. Salah satu ayat al-Qur’an yang dijadikan landasan untuk menolak
pertunjukan wayang purwa sebagai media dakwah seperti dalam Surat An Nahl
ayat 125 menyatakan:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”70
Ajaran wayang purwa yang dilihat dengan dasar Al-Qur’an itulah
kemudian mengantarkan sampai pada hukum berbeda, ada yang memperbolehkan,
ada yang tidak. Mereka yang memperbolehkan karena wayang purwa
mengandung nilai-nilai ajaran agama Islam yang sangat fundamental, yang dahulu
juga dilakukan oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam, sedang mereka
yang tidak memperbolehkan, karena bagaimanapun wayang, ajaranya tidak murni
atau campur baur dengan agama lain. Ada suatu kelompok agama di Indonesia
yang memiliki banyak pengikut, dengan keras menolak atas sikapnya terhadap
wayang, yakni takhayul (percaya kepada barang gaib yang tidak di ajarkan dalam
agama), bid’ah (melakukan ibadah yang tidak ada tuntunannya dalam agama),
khurafat (percaya pada kekuatan suatu benda), bahkan musrik (mensekutukan
70al-Qur’an, 16: 125, Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999), 421
75
Tuhan) hingga harus diberantas sesuai dengan ideologinya TBC: takhayul, bid’ah
dan khurafat yang harus dienyahkan selama ini.71 Lepas dari perbedaan pendapat
atau khilafiyah para alim ulama terhadap hukum wayang tersebut, yang jelas
sampai dengan sekarang wayang kulit purwa masih tetap dilestarikan, dan tanda-
tanda digunakannya untuk dakwah berisi ajaran-ajaran agama Islam masih
dilakukan.
Berbagai lakon dalam pertunjukan wayang kulit memiliki makna simbolik
misalnya untuk do’a kelahiran yaitu lakon lahirnya Gatutkaca, lahirnya Arjuna,
dan lain-lain. Untuk kepentingan perkawinan dapat ditampilkan melalui
pertunjukan dengan lakon rabine atau perkawinan Arjuna, perkawinan Krisna,
dan perkawinan Bima. Tidak akan ada wayang dengan lakon “patine Gatutkaca”
misalnya ditampilkan dalam acara perkawinan. Dengan demikian lakon atau tema
yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang tentunya disesuaikan dengan
keperluan yang ada.
F. Konsep Budaya Jawa
Dalam studi budaya dikenal beberapa istilah menurut para ahli, sehingga
untuk memahami pengertian budaya dapat menyebabkan pemahaman yang
berbeda-beda antara satu orang dengan yang lainnya. Istilah-istilah tersebut antara
lain; budaya, kebudayaan (culture), peradaban (civilization), dan warisan budaya.
71Lihat, Sutiono “Puritan Versus Sinkretisme di Trucuk Klaten Jawa Tengah” (Disertasi-- Universitas Airlangga, Surabaya, 2009).
76
Untuk memperjelas istilah-istilah tersebut, penulis memaparkan terlebih dahulu
pengertian-pengertian tersebut agar memperjelas kajian ini, mulai dari pengertian
budaya secara bahasa dan secara istilah para ahli budaya. Berikut ini penulis
memaparkan istilah-istilah di atas agar dapat memberikan kejelasan makna
tentang penggunaan istilah-istilah yang dimaksudkan.
Secara bahasa kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayyah,
yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”, sehingga
kebudayaan dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.72
Sedangkan menurut Kamus Bahasa Indonesia, budaya berarti pikiran, atau akal
budi, sedangkan kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal
budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, adat, dan lain-lain.73 Oleh karena
itu budaya secara harfiyah berarti hal-hal yang berkaitan dengan fikiran dan hasil
dari tenaga fikiran tersebut.74 Terdapat para ahli lain mengkaji kata budaya
sebagai suatu perkembangan dari kata majemuk budi-daya, yang berarti “daya dan
budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dan “kebudayaan”, yaitu
“budaya” adalah “daya dan budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Namun
dalam istilah “antropologi budaya” perbedaan itu ditiadakan. Kata “budaya”
hanya dipakai sebagai suatu singkatan saja dari “kebudayaan” dengan arti yang
sama.75
72Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 146. 73Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 243. 74Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu (Jakarta: Pustaka Antara, 1963), 49. Lihat juga Khadziq, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Teras, 2009), 28. 75Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 146.
77
Istilah culture adalah kata asing yang memiliki arti sama dengan
“kebudayaan”. Kata culture berasal dari kata Latin colore yang berarti “mengolah,
mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Berangkat dari arti tersebut
berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk
mengolah tanah (pertanian) dan mengubah alam.”76
Demikian pula kata kebudayaan sering disetarakan atau berdekatan dengan
kata peradaban. Padanan kata peradaban dalam bahasa Inggris adalah civilization
yang berakar kata civic, artinya yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
warga negara. Oleh karena itu civilisasi berarti menjadikan seorang warga negara
hidup lebih baik, teratur, tertib, sopan dan berkemajuan. Ciri-ciri masyarakat
seperti itu adalah masyarakat yang beradab. Hal ini sesuai dengan asal kata
peradaban, yaitu (adab: Arab) yang berarti sopan santun.77
Penjelasan lain mengenai kata peradaban ada yang mengacu pada
masyarakat klasik. Peradaban (civilation), sebuah kata turunan dari kata bahasa
Latin civis, adalah sebuah istilah yang menggambarkan sebuah keadaan di mana
manusia menjadi bagian dari sebuah kolektivitas yang mewujudkan kualitas-
kualitas tertentu. Betapapun semua kualitas itu dipilihnya sendiri, yang
membedakan kolektivitas itu dari ‘massa’ atau keadaan keberadaan (state of
being) yang lebih rendah yang biasa dikaitkan dengan keadaan manusia-manusia
‘barbar’. Konsep semacam ini adalah pengertian Yunani dan Romawi Kuno untuk
76Ibid., 146. 77Khadziq, Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: Teras, 2009), 34.
78
mengidentifikasi entitas bangsa (nation) dan negara (state).78 Sedangkan makna
peradaban secara leksikal menurut kamus Bahasa Indonesia adalah kecerdasan
lahir batin, dan tingkat kehidupan yang lebih maju, baik secara moral maupun
material.79 Koenjaraningrat menegaskan bahwa peradaban biasa dipakai untuk
menyebut bagian dan unsur dari kebudayaan yang halus, maju, dan indah,
misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan-santun pergaulan, kepandaian
menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya.80
Beberapa ahli mendefinisikan tentang kebudayaan diantaranya Sir Edward
Taylor bahwa kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan,
keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan
kebiasaan yang lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat.81
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan adalah
segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota
suatu masyarakat.
Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Soekanto yang menyatakan bahwa
budaya terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang
normatif, yang mencakup segala cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan
78Chris Jenks, Culture Studi Kebudayaan, terj. Erika Setyawati (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 3. 79Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), 27. 80Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 146. 81Harsojo, Pengantar Antropologi (Bandung: Binacipta, 1988), 92. Lihat pula Paul B Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1996), 58. Lihat juga Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), 172.
79
bertindak.82 Menurut Ki Hadjar Dewantara bahwa budaya berarti buah budi
manusia hasil perjuangan terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam
yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi bagaimana
rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.83
Di sisi lain, Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.84 Definisi tersebut
menegaskan bahwa kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar untuk
mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya menjadi
kebiasaan. Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu berlangsung
secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Koenjaraningrat menambahkan bahwa hampir seluruh tindakan manusia
adalah “kebudayaan” karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan
masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa
tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau
kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan
82Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), 173. 83Eko A. Meinarno, dkk., Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 90. Ki Hadjar Dewantara menjelaskan bahwa budaya atau kebudayaan adalah buah budi manusia yang berasal dari perkataan cultura, asal bahasa Latin colore berarti, memelihara, memajukan dan, memuja-muja. Arti kata budi pada pokoknya terdiri dari tiga kekuatan jiwa manusia yakni, pikiran, rasa dan, kemauan (cipta, rasa, karsa). Dengan kata lain, kebudayaan adalah hasil perjuangan manusia dalam melawan segala kekuatan alam dan pengaruh-pengaruh zaman yang dirintangi kemajuannya, kemajuan ke arah hidup yang selamat dan bahagia. Perlawanan yang terus menerus ada antara hidup manusia dengan alamnya dan zamannya atau masyarakatnya. Lihat Ki Hadjar Dewantara, Karya KHD Bagian IIA : Kebudayaan(Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1967), 10. 84Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 145.
80
kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti makan,
minum, atau, berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak olehnya menjadi
tindakan kebudayaan.85 Definisi yang menganggap bahwa “kebudayaan” dan
“tindakan kebudayaan” itu adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh
manusia dengan belajar (learned behavior), juga diajukan oleh beberapa ahli
antropologi terkenal seperti C. Wissler, C. Kluckhohn, A. Davis, dan A. Hoebel.86
James Spradley nampaknya hampir sependapat dengan Koentjaraningrat.
Ia mengatakan budaya merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia
melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan untuk
menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi
perilaku dalam menghadapi dunia sekitar.87 Sementara itu, dengan mempelajari
beberapa rumusan kebudayaan yang disampaikan para ahli, Harsojo sampai pada
kesimpulan bahwa kebudayaan meliputi seluruh kelakuan dan hasil kelakuan
manusia, yang teratur oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan
belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.88
Dari berbagai pendapat para ahli tentang rumusan kebudayaan, sehingga
dapat dijadikan rujukan bahwa kebudayaan dapat digunakan untuk memahami
agama yang terdapat pada tataran empirs atau agama yang tampil dalam bentuk
formal yang menggejala dalam masyarakat. Sebab pengamalan agama yang
85Ibid., 145. 86Lihat Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), 145. Lihat pula A. Hoebel, Man in the Primitive World. An Introduction to Anthropology (New York: Mc Graw Hill, 1958), 152-153. 87James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007), 6. 88Harsojo, Pengantar Antropologi (Bandung: Binacipta, 1988), 93.
81
terdapat di masyarakat tersebut sudah melewati proses penalaran, yaitu penalaran
atas sumber agama (wahyu), dan kitab-kitag fiqh. Dengan pendekatan
kebudayaan seseorang dapat memilah-milah antara ajaran agama yang
sesungguhnya (murni wahyu Tuhan/ Al –Qur’an) dengan praktik keagamaan yang
sudah bercampur dengan kebudayaan masyarakat setempat.89
Van Peursen pernah menjelaskan tentang hakekat kebudayaan,
sebenarnya sama dengan pertanyaan mengenai hakekat manusia, jika ditulis
dalam buku tidak akan ada habis-habisnya. Kebudayaan pada dasarnya
merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia.90 Geertz menjelaskan pula,
kebudayaan adalah susunan dinamis dari ide-ide dan aktivitas-aktivitas yang
saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain secara terus
menerus.91
Kaitannya pemahaman tentang budaya tersebut dengan budaya Jawa,
menurut Gunawan S, para ahli kebudayaan, baik dari luar Indonesia maupun yang
ada di dalam negeri,92 pada prinsipnya mereka memiliki kesamaan dalam
memandang central concepts (intisari konsep) nilai-nilai budaya Jawa “yang
diidealkan” atau “budaya Jawa yang dipikirkan” khususnya untuk daerah Solo dan
89Abuddin Nata, Metodologi Study Islam (Jakarta,Raja Grafindo, 2008), 49. 90C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan,terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1976),9. 91Clifford Geertz,”The Impact of the Concept of Culture on the Concept of Man”, dalam John R. Platt (ed.), New Views of the Nature of Man (Chicago: The University of Chicago Press, 1965),93-95. 92Gunawan S menyebutkan beberapa ahli dari luar Indonesia seperti, Niels Mulder, Clifford Geertz, Ben Anderson, William Liddle, maupun yang ada di dalam negeri seperti Franz Magnis Suseno (dia juga berasal dari Jerman), Mochtar Lubis, Koentjaraningrat, sampai dengan Sri Sultan Hamengkubuwana X. Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan Integrasi Nasional”, dalam: Leila Retna Kumala (Ket. Pan.), Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional (Surakarta: Team Simposium Nasional, 2003), 8.
82
Yogyakarta. Kesamaan pandangannya bisa ditarik sebagai central concepts nilai-
nilai budaya Jawa pada umumnya yang terdiri dari tiga hal.
1. Budaya Jawa mendasarkan diri kepada “harmonis”.
Biasanya disebutkan bahwa budaya Jawa93 adalah senantiasa
menghindari konflik karena menurut idealnya bahwa dunia ini harus ditata
secara harmonis, antara jagad cilik (jiwa, pikiran, hati nurani manusia)
maupun jagad gede (komunitas, masyarakat). Berbagai cara untuk
menjaga atau menuju keharmonisan, terutama dengan sikap toleransi.94
Budaya Jawa termasuk budaya yang paling memberi tempat bagi
perbedaan, dan menerima perbedaan sebagai kekayaan yang harus dipupuk
bersama.
Selain itu, karakteristik pandangan yang harmonis dimaksudkan
agar dapat menciptakan dan menjaga kesesuaian atau keselarasan
hubungan antara manusia dengan sesama manusia, masyarakat95 dengan
93Bagi orang Jawa, budaya bukanlah suatu pengertian antropologi yang kabur. Budaya mengandung makna menjadi beradab, dengan kata lain bijaksana: menyadari diri dan orang lain. Agar berbudaya berarti harus “lulus” dari durung Jawa (belum Jawa) menuju wis Jawa (sudah Jawa). Lihat,Niels Mulder,Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis, (Yogyakarta : LkiS, 2001), 96. 94Toleransi dalam bahasa Inggris: tolerance, dari bahasa Latin: tolerare (tahan, bersabar). Toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru. Dengan sikap itu ia juga tidak mencoba memberangus ungkapan-ungkapan yang syah dari keyakinan-keyakinan orang lain tersebut. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), 1111. 95Dalam hubungannya antara manusia dengan masyarakat, Niels Mulder memahami pandangan Jawa mengenai “filosofi sosial: kesatuan dan harmoni” ideal mistik tentang kesatuan dan harmoni antara manusia dengan “Tuhan” hadir sebagai model bagi hubungan antara manusia dengan masyarakat. Upaya mencapai keselarasan dan pemeliharaan ketertiban adalah anasir yang menonjol. Gagasan kesatuan menyiratkan keteraturan. Hasrat, ambisi, dan nafsu pribadi dianggap mengancam harmoni, sampai-sampai timbul pemikiran bahwa “berkorban demi harmoni sosial akan mengantarkan
83
alam. Ketiganya merupakan satu sistem yang disebutkan “pandangan
dunia Jawa”. Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah
nilai pragmatisnya agar mencapai suatu keadaan psikis tertentu:
ketenangan, ketentraman dan, keseimbangan batin. Karenanya, maksud
pandangan dunia Jawa ini tidak terbatas bagi agama-agama formal dan
mitos, melainkan seperti dimaksud istilah kejawen.96
Niels Mulder menjelaskan, kejawen merupakan suatu cap
deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa atau sebagai kategori yang
khas Jawa.97 Kejawen bukanlah kategori keagamaan (religius), namun ia
lebih menunjuk pada sebuah etika dan gaya hidup yang diilhami oleh
pemikiran Jawa. Kejawen pada dasarnya merupakan “suatu sikap khas”
terhadap kehidupan sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan
agama.98 Sikap mental kejawen antara lain condong pada “sinkretisme dan
toleransi”,99 merupakan dasar sikap baik yang dapat menciptakan sikap
hormat terhadap berbagai ungkapan religius (agama formal) mewujudkan
pada pahala tertinggi”. Seseorang lebih baik mengalah kepada masyarakat dari pada mencoba memaksakan kehendaknya. Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 96. 96Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa,(Jakarta: Gramedia, 2001), 82. 97Niels Mulder, Mysticism and Everyday Life in Contemporary Java, Cultural Persistence and Change, (Singapore : Singapore University Press, 1978), 17. 98Niels Mulder, Pribadi dan Masyarakat di Jawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1996), 17. 99Sinkretisme adalah penyatuan atau upaya penyatuan ideologi-ideologi yang bertentangan ke dalam suatu kesatuan pikiran dan atau ke dalam suatu hubungan sosial yang harmonis, saling kerja sama. Toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinan-keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru maka toleransi lebih sebagai sikap hormat terhadap adanya keanekaragaman ideologi itu dan terhadap martabat manusia yang bebas. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia,2000), 1012 dan 111.
84
kesatuan hidup Jawa.100 Para pengkaji luar negeri dan orang-orang Jawa
yang terdidik semakin bersepaham akan sebutan sinkretisme dan
meresapnya sikap toleransi bagi masyarakat Jawa ini.101
Menurut Niels Mulder, sikap sinkretis dan toleran kejawen ini, di
satu pihak merupakan produk dari penundukan kerajaan-kerajaan Jawa
oleh kongsi dagang Belanda (VOC), dan di lain pihak sebagai hasil dari
pertemuan kolonial antara orang Jawa dan Belanda. Akibat adanya
pencampuradukan dan gesekan-gesekan dari berbagai macam sosial
budaya, nilai atau ideologi tersebut, orang Jawa sebaiknya merasa wajib
memikirkan kembali jati dirinya sebagai sebuah identitas budaya Jawa
yang sesuai pada masanya.102
Menurut Anderson, orang Jawa memilki cara mengungkapkan
sikapnya yang sinkretis dan toleran yang sebenarnya, maupun simbol
penting sebagai acuan identifikasi pemikiran tentang cara hidupnya. Salah
satu caranya, seperti secara mendalam yang diungkapkan melalui mitologi
dalam pementasan wayang.103 Mencermati pendapat Anderson, searah
dengan apa yang dilakukan masyarakat muslim Mojokerto, salah satu yang
mereka lakukan adalah melalui tradisi perkawinan loro pangkon, mereka
yang memiliki hajat (tuan rumah) tidak ketinggalan pula dengan 100Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis, (Yogyakarta: LKiS, 2001), 10. 101Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S., (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), 2. 102Niels Mulder, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis (Yogyakarta: LKiS, 2001), 11. 103Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta : Kanisius, 1983), 56.
85
memberikan hiburan lewat pementasan wayang. Menurut Soemarsaid
Moertono, wayang104 adalah cermin kehidupan orang Jawa. Lakon wayang
selain melukiskan suatu kehidupan kenegaraan yang diidamkan, juga
kebijaksanaan dan kebiasaannya.105
Menurut S. Margana, dalam Tripama salah satu karya sastra Sri
Mangkunegara IV, dikisahkan tiga contoh perjuangan dan pengabdian
yang dilakukan oleh tiga tokoh dalam wayang yang terkenal dan sangat
digemari oleh masyarakat Jawa pada umumnya.106 Menurut Suseno,
sumber dasar tiga kisah itu berasal dari India.107 Pertama, paparan yang
diambil dari kisah perjuangan Sumantri, ketika nyuwita atau ngenger
(mengabdi) kepada raja Prabu Arjuna Sasrabahu di kerajaan Mahespati.
Kisah tersebut sebagai pendahuluan kisah kepahlawanan dalam 104Secara etimologi wayang bervariasi dengan kata “bayang” berarti “bayang-bayang” atau “bayangan”, yang memiliki nuansa menerawang, samar-samar, atau remang-remang; dalam arti harfiah wayang merupakan bayang-bayang yang dihasilkan oleh “boneka-boneka wayang” di dalam teatrikalnya. Boneka-boneka wayang mendapat cahaya dari lampu minyak (blencong) kemudian menimbulkan bayangan, ditangkaplah bayangan itu pada layar (kelir), dari balik layar tampaklah bayangan; bayangan ini disebut wayang;Wayang berasal dari kata “hyang”, berarti “dewa”, “roh”, atau “sukma”. Partikel wa pada kata wayang tidak memiliki arti, seperti halnya kata wahiri yang berarti (h) iri; ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa wayang merupakan perkembangan dari sebuah upacara pemujaan kepada roh nenek moyang/ leluhur bangsa Indonesia pada masa lampau (prasejarah). Pemujaan kepada para leluhur. Di samping itu makna secara filosofis, wayang merupakan bayangan, gambaran atau lukisan mengenai kehidupan alam semesta. Di dalam wayang digambarkan bukan hanya mengenai manusia, namun kehidupan manusia dalam kaitannya dengan manusia lain, alam, dan Tuhan. Alam semesta merupakan satu kesatuan yang serasi, tidak lepas satu dengan yang lain dan senantiasa berhubungan. Unsur yang satu dengan yang lain di dalam alam semesta berusaha keras ke arah keseimbangan. Kalau salah satu goncang maka goncanglah keseluruhan alam sebagai suatu keutuhan (sistem kesejagadan). Lihat Darmoko, dkk., Pedoman Pewayangan Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban (Jakarta: LPSK, 2010), 10-11. 105Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau (Jakarta : YOI, 1985), 13. 106S. Margana, Pujangga Jawa dan Bayang Bayang Kolonial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 234.. 107Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 160.
86
Ramayana. Berkat keluhuran budi atau keutamaan dan keberhasilannya
dalam menjalankan berbagai tugas dari rajanya dia diangkat sebagai
pejabat tertinggi setelah raja yaitu, patih dan bernama Patih Suwanda.
Kedua, paparan dari kisah kepahlawanan Kumbakarno adalah seorang
kesatria raksasa dari kerajaan Alengka, sebagai kisah dalam Ramayana.
Inti motivasi kepahlawanannya bukan membela raja Rahwana yang
terkenal berwatak angkara murka, melainkan berdasarkan kesadaran budi
luhurnya atau sifat keutamaannya sebagai kesatria berkewajiban menjaga
dan membela negera Alengka.
Ketiga, paparan kisah dalam Mahabharata tentang kepahlawanan
Adipati Karno dari pihak Kurawa yang gugur melawan Arjuna dari
Pandawa. Adipati Karno sebenarnya kakak seibu lain ayah dengan Ajuna.
Adipati Karno nyuwita (mengabdi) kepada Prabu Suyudana (raja Kurawa)
diberi kerajaan Ngawangga maka ia merasa berhutang budi padanya.
Motivasi kepahlawanannya di pihak Kurawa demi membalas budi itulah
yang memberikan nilai dirinya sebagai orang yang utama atau berbudi
luhur.108
Harmanto Bratasiswara menjelaskan asal-usul tiga tokoh tersebut
dalam “Paparan Ringkas Tripama Piwulang Budi Luhur”. Pertama, tokoh
Sumantri putra Resi Suwandagni di desa Jatisarana.109 Kedua,
108Ibid., 162. 109Harmanto Bratasiswara (Kabid. Kebudayaan dan Pendidikan Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryasumirat (Kabid. KPHKMS), Paparan Ringkas Tripama Piwulang Budi
87
Kumbakarna adalah putra kedua dari empat bersaudara buah perkawinan
antara begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi di kerajaan Alengka.110
Ketiga, Adipati Karno dilahirkan melalui perkawinan gaib antara Kunti
dengan Bathara Surya (Dewa Matahari). Karenanya, dia juga bernama
Suryatmaja (anak dewa matahari).111 Kunti merasa malu, maka
dibuangnya ke sungai dan diambil Nyi Nanda dan Ki Adirata. Ki Adirata,
seperti dijelaskan Anderson, adalah sais atau sopir kereta raja Suyudana,
berkat kepandaiannya terutama di bidang keprajuritan, maka diangkat
panglima perang dan adipati (Gubernur sekarang) di Ngawangga.112
Berbagai penjelasan tentang sumber dan asal usul tiga tokoh sekaligus dari
tiga lakon wayang tersebut sebagai acuan analisa dan pemahaman tentang
nilai-nilai moral budaya Jawa.
Dalam mencermati lakon pewayangan tersebut tentunya dapat
dijadikan rujukan oleh masyarakat Jawa, langkah seperti apakah yang
semestinya mereka perbuat. Bila mencermati kaitannya dengan asal-usul
yang melatarbelakangi tokoh wayang Sumantri dan Adipati Karno, kedua
tokoh ini asal-usulnya berangkat dari golongan rakyat kecil (wong cilik)
atau masyarakat desa, sedang bentuk Kumbakarna adalah raksasa. Adipati
LuhurKarya KGPAA Mangkunegara IV, (Surakarta: Kantor Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran, 1998), 37-38. 110Putra pertama, bernama Dasamuka atau Rahwana berparas raksasa dan berwatak angkara, yang ketiga Gunawan Wibisana berparas satria dan berwatak satria-pinandhita dan, yang ketiga Sarpakenaka berparas raksasa dan berwatak serba tidak menentu (amorven). Ibid., 45. 111Ibid.,51-55. 112Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S., (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), 37.
88
Karno selain pekerjaan ayahnya hanya sebagai sopir113 kereta, dia
berpihak kepada Kurawa. Orang Kurawa, dijelaskan F.M. Suseno, bagi
pandangan hidup orang Jawa pada umumnya, dinilai sebagai lambang
orang yang bermoral jelek atau tidak baik. Mereka itu rakus dan haus
kuasa, tidak dapat mengontrol diri dan kasar dalam pergaulan, mereka
dinilai buta terhadap tanda-tanda nasib. Pandangan masyarakat Jawa
sebagai lambangnya raksasa (buta).114
Tokoh pewayangan berikutnya yang perlu juga dicermati dapat
dialamatkan kepada yang dialami tokoh Kumbakarna. Anderson
menjelaskan, dia raksasa, wayang yang terbesar. Wajahnya merah brutal,
gigi bertaring seperti serigala. Kumbakarna melambangkan manusia
dengan ciri-ciri badaniah yang sering menjijikan bagi pandangan dunia
atau hidup orang Jawa pada umumnya.115 Menurut Suseno, figur raksasa
(buta) pada dasarnya bagi orang Jawa sebagai “makhluk dari seberang”
atau “orang luar” yang bukan manusiawi. Raksasa, karena di samping
sebagai figur yang tidak manusiawi, maka juga tidak bisa menjadi model
113Dengan masuknya pengaruh Eropa bagi masyarakat Jawa, kerja dinilai pada pembagiannya menjadi: alus, sedheng, dan kasar (halus, sedang dan, kasar). Pekerjaan sebagai sopir termasuk jenis kerja sedheng (sedang atau sebagai orang menengah). Sartono Kartodirdjo dkk., Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta : UGM Press, 1993), 140-141. 114Para raksasa (buta) tidak terdapat dalam Mahabarata India, jadi kiranya mereka diciptakan di Jawa dan peranan mereka yang terbesar justru bukan sebagai tokoh utama dalam lakon wayang. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 166. 115Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, terj. Revianto B.S., (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), 42.
89
identifikasi bagi orang Jawa pada umumnya.116 Istilah “makhluk dari
seberang” atau “orang luar” bisa berarti orang yang tidak termasuk di satu
lingkungan pekerjaan masyarakat, bangsa117 atau budaya Jawa.
Masalah yang cukup penting untuk dicermati kaitannya dengan
sikap masyarakat Jawa, selain memiliki kecondongan sikap integrasi,
sikap mereka merupakan suatu tatanan yang egaliter118 terhadap berbagai
pihak. Termasuk melepaskan perbedaan identitas ras mereka.119
“Keutamaan” masyarakat Jawa hal ini dapat dilihat melalui refleksi simbol
tiga tokoh wayang yang dijadikan contoh. Namun watak tersebut tidak
sepenuhnya mutlak harus dilaksanakan. Masalah tersebut disebabkan, di
satu pihak mereka sebagai para kesatria dengan “keutamaan” Jawa,
demikian pula dalam kisah perjalanan kehidupan mereka memiliki
berbagai sifat dan tingkah laku yang salah atau tidak baik pada pihak
lainnya.120
116Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 167. 117Orang luar berarti orang yang tidak termasuk di satu lingkungan (golongan, pekerjaan, dan sebagainya). Orang Barat berarti orang yang berasal dari belahan bumi sebelah barat, terutama orang Eropa dan Amirika (orang kulit putih). Hasan Alwi (Pim. Red.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), 180. 118Sikap egaliter berarti sikap memberikan penilaian terhadap semua manusia adalah sama dan seharusnya diperlakukan secara sama dalam hal kemerdekaan, hak, kehormatan, penerimaan dan, kesempatan. Ali Mudhofir, Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi (Yogyakarta: UGM Press, 1996), 54. 119Ras merupakan klasifikasi sosial adas dasar keturunan dengan ciri-ciri tertentu seperti warna kulit, tekstur tubuh, bahasa, dan lain-lain. Ruth Benedict, Race and Racism (London: Routledge & Kegan Paul, 1983), 6. 120Sumantri sebagai orang yang tidak tahu diri karena adiknya yang membantunya justru dibunuhnya hanya karena malu terhadap rupa adiknya yang jelek memaksa ingin ikut suwita (mengabdi) kepada raja Arjuna Sasrabahu. Bagi Kumbakarna, ragu-ragu atau tidak gigih setelah gagal mengingatkan Rahwana tentang kemurkaannya, dia memilih bertapa membisu tidak mau tahu keadaan serta, dia juga egois. Adipati Karna ditunjukkan, tinggi hati dan gila hormat,
90
Kisah perjuangan dan pengabdian tiga tokoh tersebut menurut
ceritera pewayangan, hanya Sumantri yang ketika ngenger pada raja
Arjuna Sasrabahu selalu di-emong (diasuh) atau dalam momongan
Semar.121 Namun nampaknya dia lupa atau menyepelekan peranan
punakawan122 Semar, adalah suara batin setiap kesatria atau manusia.123
Mencermati kekurangbaikan sifat atau kesalahan yang dilakukan oleh tiga
tokoh yaitu Sumantri, Kumbakarna, dan Adipati Karna. Ketiga tokoh itu
dalam bertindak hanya menyesuaikan pada norma-norma yang berlaku
secara umum. Bedanya di antara mereka bertiga adalah, Sumantri
gambaran tokoh dengan kemandirian moral dan keberanian moral yang
cenderung pada guilt societies (perilaku yang berbeda dengan pandangan
masyarakat), maka sikap moralnya condong ke arah individualisme.
Adipati Karno dan Kumbakarna gambaran tokoh dengan etosnya yang
shame societies (perilaku yang tidak menyalahi pandangan masyarakat),
maka sikap moral keduanya condong ke arah kolektivisme. Franz Magnis
pendendam dan pahlawan kebencian serta, kesetiaan membuta. Harmanto Bratasiswara (Kabid. Kebudayaan dan Pendidikan Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryasumirat (Kabid. KPHKMS), Paparan Ringkas Tripama Piwulang Budi LuhurKarya KGPAA Mangkunegara IV (Surakarta: Kantor Reksa Pustaka Pura Mangkunegaran, 1998), 43, 50, dan 63. 121Semar mengasuh (momong) para tokoh Pandawa dalam siklus Mahabarata, melainkan juga Sumantri dalam siklus Arjuna Sasrabahu dan Hanoman dalam Ramayana. Mereka dianggap berasal dari Jawa dan tidak ada dalam epos-epos India asli. Peodjawijatna, Filsafat Sana-Sini (Yogyakarta: Kanisius, 1975), 56. Lihat juga Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar (Jakarta: Gunung Agung, 1978), 115. 122Punakawan adalah orang kepercayaan yang memiliki kepekaan dan atau ketajaman batin. Ibid., 68. 123Tokoh Semar adalah lambang suara batin manusia. Tuti Sumukti, Semar Dunia Batin Orang Jawa, terjemahan dari disertasinya berjudul The Power of Semar Based on Selected Javanese Shadowply Stories (Yogyakarta: Galang Press, 2005), 49-50.
91
Suseno menjelaskan, perbedaan guilt societies dan shame societies tidak
mutlak.124
Cara hidup dan sikap-sikap yang diperlihatkan oleh para tokoh
dalam wayang, sebagaimana dikutip dari F.M. Suseno, merupakan acuan
identifikasi pemikiran orang Jawa sejak kecil. Masyarakat Jawa memiliki
sejumlah besar kemungkinan identifikasi moral dari padanya, mereka juga
bisa memilih suatu model yang cocok, yang dapat diharapkan juga
diterima dalam masyarakatnya.125 Identifikasi cara hidup dengan sikap-
sikapnya menunjukkan nilai-nilai dasarnya etika Jawa yang tetap akan
menjadi landasan kuat bagi pengembangan etika Jawa saat ini atau yang
sesuai dengan tantangan-tantangan moral pada masanya.126
Berbagai penjelasan tentang wayang tersebut, di satu pihak sebagai
acuan analisa untuk mengkaji sikap masyarakat muslim Mojokerto
terhadap apa saja dan siapa saja sesuai dengan tradisi masyarakat Jawa,
salah satunya yang diungkapkan dalam tradisi perkawinan loro pangkon
serta pertunjukan wayang. Sikap tersebut di lain pihak, juga sebagai
refleksi sosial tindakan moral yang eksistensinya berada pada dataran
124Dalam sosiologi dibedakan antara guilt societies dan shame societies. Perbedaan itu sama dengan perbedaan antara orang yang lebih “ego-oriented” dan yang lebih “superego-oriented”. Yang pertama condong ke arah individualisme, mencari prestasi dan tidak begitu perduli akan pendapat (dan kadang-kadang: perasaan) orang lain. Yang kedua condong ke arah kolektivisme, bertahan pada yang lama dan menomorsatukan kesepakatan dibanding dengan prestasi. Franz Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 66-67. 125Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 164. 126Franz Magni Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 95-96.
92
pemikiran masyarakat muslim Jawa Mojokerto terhadap martabat manusia
atau pihak-pihak yang berkepentingan. Bisa juga dikatakan, etika Jawa
masyarakat muslim Jawa Mojokerto tersebut tidak hanya ditujukan bagi
kemandirian dan keberanian moral yang ditunjukkan dan diraih oleh satu
atau sekelompok orang dengan statusnya sosialnya saja. Melainkan etika
Jawa juga sebagai acuan dasar ketekadan batin dan kekuatan moral yang
terefleksikan dalam berbagai hal.
2. Budaya Jawa dalam konteks modern (penyesuaian; adaptasi) sebagai paradigma “Struktural Fungsional”.
Pemahaman yang dimaksudkan dengan paradigma “struktural
fungsional” adalah dengan asumsi bahwa setiap orang atau lembaga
memiliki tempatnya masing-masing dan ia harus berperilaku atau bekerja
sesuai dengan tempat keberadaannya tersebut. Pemahaman tentang
“tempat” dalam hal ini bukanlah pemahaman mati atau mutlak, melainkan
sebagai sesuatu yang kondisional dan atau relatif.
Pemahaman itu termasuk tentang nilai-nilai moral budaya Jawa
sebagaimana yang diidealkan atau yang dipikirkan oleh para cendikiawan
Jawa (pujangga Jawa) yang tertuang dan tersebar dalam berbagai karya
sastranya. Sebutan bagi kesusastraan Jawa tersebut antara lain, suluk,
wirid, primbon, serat, dan lain-lain. Mencermati penjelasan tersebut, maka
istilah “struktural fungsional” bukan dimaksudkan struktur dalam arti
sebagai stratifikasi sosial masyarakat Jawa seperti dalam pemikiran Geertz
93
yang menafsirkan menjadi priyayi, santri, dan abangan. Struktural
fungsional yang dimaksudkan tersebut yaitu sebagai struktur sosial127
tentang nilai-nilai moral (keutamaan) Jawa. Maksudnya, “struktur” di satu
pihak sebagai bangunan ide para pujangga tentang nilai-nilai moral Jawa,
dan cara memfungsikan atau pemberdayaannya sebagai konsep hubungan
antar individu dalam kehidupan bermasyarakat dan merupakan pedoman
ajaran moral bagi tingkah laku atau perilaku lahiriah individu pada pihak
lainnya.
Menurut Muchtarom, pembagian orang Jawa menjadi priyayi,
santri, dan abangan atas penafsiran Geertz, mengkacaukan dan
menyesatkan, sebab pembagian seperti itu tidak didasarkan pada kriteria
yang konsekuen. Ia telah mengkacaukan dua pembagian yang termasuk
susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan antara pembagian
horisontal (sebagai hubungan antar sesamanya) dan vertikal (sebagai
hubungan manusia kepada Tuhan).128
Harsaja W. Bachtiar lebih menjelaskan, priyayi merupakan status
sosial atau golongan sosial dalam komunitas Jawa dan tidak menunjukkan
salah satu tradisi keagamaan khusus. Seorang atau para priyayi dapat
termasuk muslim saleh dan muslim statistik (santri dan abangan dalam
127Struktur sosial artinya, konsep perumusan asas hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu. Hasan Alwi (Pim. Red.), Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 1092. 128Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), 17.
94
istilah Geertz) sekaligus, sebagaimana mereka juga dapat termasuk orang
Hindu-Budha atau Kristen.129
Berbagai paham tersebut, dijelaskan Fachry Ali, merupakan
sumber ajaran moral budaya Jawa yang difungsikan sebagai ideologi
terutama, bagi corak hidup seluruh kalangan bangsawan (priyayi) juga
dapat memberikan arah cara bersikap kepada seluruh rakyat Jawa.130
Identifikasi pengetahuan esoterik tersebut dasar pengetahuan dan
pemahaman awalnya bersumber pada nilai-nilai moral budaya Jawa yang
pertama dengan karakteristiknya harmonis seperti telah dijelaskan di
muka. Hal itu sebagaimana dijelaskan F.M. Suseno, bahwa pemahaman
awal tentang karakteristik harmonis bagi pandangan dunia Jawa (kejawen)
ini adalah sikapnya terhadap dunia luar (alam, masyarakat dan, alam
adikodrati) dialami sebagai satu kesatuan “numinus” atau Yang Ilahi131
adalah pengalaman khas religius (pengalaman keagamaan Jawa).
Salah satu karya Sunan Paku Buwana IV yaitu Serat Wulangreh
juga memuat bait-bait yang menguraikan berbagai ajaran moral bagi
priyayi ketika baru ngenger (mengabdi) kepada raja. Dia harus dengan
ikhlas lahir batin mengikuti segala perintah raja. Ia tidak boleh ragu, dan
harus mengumpamakan dirinya seperti: “sarah munggeng jaladri, darma
129Harsaja W. Bachtiar, “The Religion of Java A Commentary”, dalam Indonesian Journal of Cultural Studies, No. 1, Vol. V, (Januari 1973), 90. 130Fachry Ali, Refleksi paham “Kekuasaan Jawa” dalam Indonesia modern (Jakarta: Gramedia, 1986), 153-155. 131Istilah“numinus” (dari Latin, numen, cahaya; Inggris, numinous) menunjuk pada pengalaman khas religius, dapat diterjemahkan dengan “Yang Ilahi “, “Yang Adikodrati” dan sebagainya. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 84.
95
lumaku sapakon”, artinya sebagai sampah di laut, wajib berjalan menurut
perintahnya. Dia harus mantep dan madhep, artinya mantap dan tidak
gentar menghadapi kesukaran. Dia harus memelihara milik raja dengan
gemi (tidak boros), terhadap perintahnya ia harus nastiti (memperhatikan
dengan cermat) dan, ngati-ati yang artinya hati-hati dalam menjaga
tuannya atau rajanya siang dan malam.132 Sikapnya ketika di paseban,
harus datang lebih dahulu daripada rajanya, dan wajib secara tertib
menghadap di paseban pada hari-hari tertentu, sekalipun raja tidak keluar
dari kedhaton.133
Searah dengan maksud tersebut, Kitab Nitisruti, yang menyebut
nama patih Koja Jajahan dari Mesir, mengemukakan bahwa seorang yang
ngawula dikatakan baik, jika ia dapat membuat dirinya seperti bayangan di
dalam kaca yang mengikuti kemauan tuannya.134 Serat Raja Kapakapa
melambangkan abdi dalem (priyayi) sebagai kuda, curiga, dan wanita
(kuda, keris, dan wanita). Kuda melambangkan aspek sepak terjangnya,
jika ia dikasih tahu tentang rahasia rajanya, ia harus pandai dan awas akan
isyarat, seperti tajamnya curiga (keris). Tingkah laku dan atau sopan
santunnya, cara bersikap dan sebagainya harus seperti wanita, tidak
merasa dirinya sebagai pria.135
132Resodidjojo (peny.), Terjemahan Serat Wulangreh Karya Sunan Paku Buwana IV (Semarang: G.C.T. Van Dorp & Co., 1929), 17-19. 133Ibid., 21-22. 134Padmosudihardjo (peny.),Kitab Nitisruti, sajian R.Ng. Dr. Poerbatjaraka (Jakarta: Depdikbud., 1978), 41. 135Tanpa nama pengarang, Serat Raja Kapakapa, Manuskrip nomor 302 (Surakarta: Reksa Pustaka Mangkuneagaran, 1911), 3.
96
Demikian pula dalam tradisi perkawinan loro pangkon,
penyesuaian dengan hal-hal yang modern dilakukan oleh masyarakat
muslim Jawa Mojokerto. Mereka memiliki sikap kreatif berusaha mencari
inovasi-inovasi baru disesuaikan dengan perkembangan zaman, agar
tradisi yang dilakukannya dapat menyesuaikan diri dan mampu bertahan di
tengah-tengah arus budaya asing yang gencar saling mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Berangkat dari hal tersebut, bahwa budaya Jawa
tentunya dapat dijadikan sebagai kerangka teoretik untuk mengkaji
pelaksanaan perkawinan yang terjadi di masyarakat muslim Jawa
Mojokerto. Dalam pelaksanaan perkawinan di masyarakat muslim Jawa
Mojokerto, mereka melakukannya tidak hanya sebatas pada acara
seremoni belaka tentang adanya syarat dan rukunnya pernikahan. Lebih
dari itu, proses yang dilakukannya juga tidak lepas dari tradisi setempat
yang telah dilakukannya dari para pendahulunya dan disesuaikan dengan
keadaan saat ini.
3. Budaya Jawa menghargai hal-hal atau “nilai-nilai yang bersifat transendental”.
Hal-hal atau nilai-nilai yang bersifat transendental dimaksudkan
adalah sesuatu yang berhubungan dengan yang transenden, yang bukan
dunia material, tetapi sebagaimana dalam filsafat yaitu sesuatu yang
metafisika atau numinus (Yang Ilahi). Nilai yang transendental ini dalam
budaya Jawa, seperti yang disebut sebagai kejawen (mistik Jawa),
kebatinan yang dalam sastra Jawa disebut suluk, wirid, primbon, serat,
97
serta istilah lain yang sejenisnya. Sifat transendental itu dilatarbelakangi
oleh keyakinan bahwa hidup selalu kepadaNya, Tuhan Yang Maha
Kuasa.136
Beberapa makna yang berkaitan dengan kata “transendetal” adalah
sesuatu secara kualitas teratas, atau di luar apa yang diberikan oleh
pengalaman manusia. Kehidupan mengarah ke dalam yang transendental
berarti, sebagai yang mampu mengungkapkan seluruh realitas obyektif
yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan secara total sampai pada
makna-makna hidup yang paling final.137 Penjelasan makna kata
“tansendental” itu secara implisit dapat mengacu kepada Panembahan
Senapati bagi identifikasi tokoh yang diidealkan (dicita-citakan) bagi
masyarakat Jawa. Panembahan Senapati dianggap sebagai raja Jawa telah
merasakan atau memperoleh rasa sejati adalah wahyu (anugerah Tuhan)
sebagai semacam “iklim” penghayatan budi luhur138 atau alam hakiki
disebut ngelmu mistik139 merupakan eksistensi pengalaman kegamaan
(Islam) Jawa.
136Gunawan Sumodiningrat, “Budaya Jawa dan Integrasi Nasional”, dalam: Leila Retna Kumala (Ket. Pan.), Keraton Surakarta dan Perubahan Masyarakat, Membumikan Nilai-nilai Tradisional (Surakarta: Team Simposium Nasional, 2003),11-13. 137Lihat Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 34. 138Dimaksud kata rasa sejati dalam Serat Wedhatama bukan sesuatu yang organis melainkan semacam “iklim” penghayatan budi luhur. Y.A. Surohardjo, Mistisisme Suatu Introduksidi dalam Usaha Memahami Gejala Mistik termasuk yang Ada di Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), 62. 139Menurut C. Geertz, dikutip F.M. Suseno, kata rahsa sejati atau rasa sejati disebut sebagai “alam hakiki” adalah ngelmu yang berarti tiga hal sekaigus yaitu ilmu pengetahuan, pengertian mistis dan, kekuatan gaib sebagai salah satu bentuk kemampuan yang lebih menyolok untuk bertindak tepat. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 106.
98
Penjelasan tersebut bukan hanya dimaksudkan dalam rasa sejati
sebagai pengalaman keagamaan hanya bagi kalangan priyayi (elit
kerajaan), melainkan merupakan dasar kehendak dengan eksistensi nilai-
nilainya harus dikembangkan atau diberdayakan setiap manusia. Maksud
penjelasan tersebut bahwa rasa sejati (wahyu atau anugerah Tuhan) di satu
sisi eksistensinya milik atau hak siapa saja, yang bersedia memberdayakan
dan atau mengembangkannya melalui “sembah catur (empat sembah)”140
yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa pada sisi lainnya sebagaimana
termuat dalam Serat Wedhatama sebagai berikut:
“Samengko ingsun tutur sembah, sembah catur supaya lumuntur, dhihin: raga, cipta, jiwa, rasa, kaki, ing kono lamun tinemu,...Sumusuping rasa jati…Sajatine kang mangkana…Sapa ntuk wahyuning Allah…Nulada laku utama, tumraping wong tanah Jawi, wong-Agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siang ratri, amamangun karyenak tyasing sasama”.
Terjemahan bebas: “Sekarang saya akan bertutur akan empat macam sembah, agar
supaya dianut, yaitu: sembah: raga, cipta, jiwa, dan rasa. Bilamana hal itu dapat dikuasai serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh maka,…Walau belum berusia lanjut dan atau orang yang tak berarti (wong cilik: rakyat biasa),…Datanglah menyusup RASA SEJATI ke dalam kalbunya...Bila orang sudah mengalami demikian, artinya telah mendapatkan anugerah Tuhan (wahyu),…Orang yang telah demikian itu antara lain ialah mendiang Panembahan Senapati dari Mataram. Bagi orang-orang di tanah Jawa perlu mencontoh tapabarata (sikap-laku) utama Sang Panembahan itu. Bahwasannya siang maupun malam yang beliau usahakan ialah memadamkan berkobarnya hawa nafsu yang tujuannya untuk membangun watak cinta kasih sesama
140Empat tigkat sembah atau “sembah catur” merupakan inti ajaran kerokhanian (mistik) dalam Serat Wedhatama yaitu sebagai jalan mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan. Simuh, Sufisme Jawa:Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang, 1999), 256.
99
atau memberikan kesenangan dan kesejahteraan kepada sesama manusia”.141
Karkono Kamajaya Partokusumo (Kamajaya) menjelaskan
kalimat: “amamangun karyenak tyasing sasama” sebagai tujuan laku
(tapabrata) Panembahan Senapati ini untuk membangun watak cinta kasih
bagi sesama dan atau menciptakan suasana yang mensejahterakan
kehidupan sesama manusia. Pembangunan itu merupakan karakteristik
budaya pendidikan kekuasaan Jawa bahwa berbuat baik kepada sesama
amatlah didambakan.142
Karakteristik budaya Jawa yang lain, sebagai paham
tradisionalisme tentang laku dalam arti tapabrata identifikasi sumbernya
dijelaskan C.C. Berg. Menurutnya, tidak terbilang banyaknya ceritera-
cerita Jawa yang mengkisahkan tentang makhluk-makhluk (tidak hanya
manusia) karena bertapa (laku) lama sekali memperoleh kekuatan
sedemikian rupa, sehingga mampu menakhlukkan seluruh dunia bahkan
para dewa takut padanya. Hal itu sudah menjadi ciri khas bagi pandangan
dunia dan hidup sebagaimana tersebar dalam berbagai karya sastra Jawa.
Karenanya, orang-orang Jawa sudah sejak zaman kuno (dahulu) sampai
141S.Z. Hadisutjipto, Terjemahan Wedhatama Karya K.G.P.A.A. Mangkunagoro IV Surakarta Hadiningrat (Jakarta : Pradnya Paramita, 1979), 31-38. 142H. Karkono Kamajaya Partokusumo, “Kebudayaan Jawa dan Proses Demokratisasi”, dalam Agus R. Sarjono, Pembebasan Budaya-Budaya Kita: Sejumlah gagasan di tengah Taman Ismail Marzuki (Jakarta: Gramedia, 1999), 218.
100
dengan sekarang memiliki kepercayaan bahwa terdapat hubungan yang
sangat kuat atau mesra antara laku (bertapa) dengan prestasi.143
Koentjaraningrat menunjukkan berbagai jenis tradisi laku tersebut
seperti, mutih maksudnya pantang makan selain nasi, pati geni seperti
puasa dalam suatu ruangan yang pekat tidak tembus cahaya. Ngalong yaitu
dengan menggantung terbalik, kedua kaki diikat di dahan pohon, ngluwat
maksudya bertapa di kuburan seseorang dalam jangka tertentu. Bolot
adalah tidak mandi dalam jangka waktu tertentu, ngrambang artinya,
menyendiri dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan, dan lain-
lain.144 Misalnya, raja Erlangga bertahun-tahun lamanya hidup dalam
hutan bersama-sama dengan para pandita bertapa (semadi) supaya
memperoleh ilmu gaib dan atau daya-daya magis.145
Terdapat kemungkinan terdorong untuk melanjutkan tradisi laku
tersebut seperti yang pernah dilakukan pihak Mangkunegaran yaitu
Mangkunegara I, sedang dari Kasunanan Surakarta oleh R. Ng.
Ranggawarsita sewaktu masih bernama Bagus Burhan sedang berguru di
pondok pesantren Tegalsari. Terdapat keanehan hubungan antara pola
kekeluargaan dengan budaya pendidikan mondhok dan laku-nya elit
kerajaan Kasunanan Surakarta itu nampak kurang mengembangkan
kemampuannya dalam bidang-bidang kehidupan praktis, politik dan
143C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1985), 22. 144Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa(Jakarta: Balai Pustaka, 1994),372. 145Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia(Bandung: Whollyrevised edition The Hague, 1959), 36.
101
ekonomi misalnya. Keanehan penting lainnya dalam kemampuannya juga
seperti kurang bisa mendukung atau tidak diberdayakan, di satu pihak bagi
kemajuan yang sesuai dengan kondisi masa itu, ke dalam kemajuan yang
manusiawi di pihak lainnya. Masalah itu bisa dicermati dalam
bandingannya dengan pola budaya pendidikan pihak Mangkunegaran
menyatu dalam pola kekeluargaan keraton.
Eksistensi pemikiran sebagai acuan teoretis tentang laku, menurut
F.M. Suseno terkait erat dengan pandangan dunia dan hidup orang Jawa
tentang, di satu pihak sebagai prestasi dan kekuasaan pada pihak lainnya.
Dua pandangan itu pada dasarnya sama baik menurut wong cilik (rakyat
biasa) atau priyayi. Keduanya dalam pemikiran keagamaan (Islam) oleh
para ahli disebut kaum abangan.146 Bagi pihak pertama “kekuasaan”
ditentukan oleh kegiatan berbagai kekuatan yang tidak kelihatan yang
personifikasinya sebagai roh atau makhluk halus seperti dhanyang,
memedi, dhemit, thuyul, dan lain-lain.147 Bagi pihak kedua “kekuasaan”
bersifat lebih halus atau lebih spekulatif sebagai dasar sikap dalam hidup,
namun keduanya sama-sama kaum abangan bertolak ke dalam Yang Ilahi,
adikodrati, nominus, transendental atau lain-lain sebutan.148 Identifikasi
146Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 16. Lihat juga Darsiti Suratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939 (Yogyakarta: Penerbit Tamansiswa, 1989), 45. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 10. Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang, 1999), 25. 147Clifford Geertz,The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 16-20. 148Identifkasi ungkapan pandangan dunia dan hidup kaum priyayi bersifat spekulatif kaitannya dengan laku untuk memperoleh ngelmu diungkap dalam salah satu kata-katanya: manunggaling
102
yang dimaksudkan dengan wong cilik dalam hal itu ditunjukkan melalui
slametan.
Slametan merupakan ritus religius terpenting dalam masyarakat
Jawa yang dimengerti sebagai ritus pemulihan keadaan slamet.149 Bagi
kaum priyayi, laku (tapabarata) teori atau jalan memperoleh ngelmu
(kawruh) itu ditunjukkan dalam keberhasilannya merealisasikan kenyataan
kekuasaannya sendiri yang sebenarnya bersatu dengan Yang Ilahi.150
Persatuan itulah tujuan mistik Jawa yang diistilahkan sebagai “persatuan
hamba dengan Tuhan” dengan berbagai sebutannya seperti, pamore,
manunggaling atau, jumbuhing kawula Gusti.151
Menurut Suseno, dalam pandangan banyak orang Jawa lakon
Dewa Ruci memuat intisari kebijaksanaan Jawa.152 Acuan isi singkat kisah
itu dijelaskan Soebardi dalam disertasinya The Book of Cabolek,
menjelaskan, bahwa Bima berguru kepada Drona (Durna) agar
menemukan air hidup (tirta prawita sari atau manunggaling kawula
Gusti). Bima disuruh masuk ke adalam gua Condrodimuka yang terletak di
tengah hutan Tirkrasara. Dia mengobrak-abriknya, sehingga dua raksasa
kawula lan Gusti. Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau (Jakarta : YOI, 1985), 8. 149Koentjaraningrat,”The Javanese of Soulth Central Java”, dalam George Peter Murdock (ed.), Social Structure in Southeast Asia (Chicago: Quadrangle Books, 1971), 95-97. 150Franz Magnis Suseno,Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 119. 151Petrus Josephus Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti (Jakarta: Gramdeia, 1990), 204-208. Lihat juga Franz Magnis Suseno,Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 2001), 120. 152Franz Magnis Suseno, Etika Jawa dalam Tantangan (Yogyakarta : Kanisius, 1983), 112.
103
(Rukmuka dan Rukmala) sebagai penunggunya marah. Perkelahian seru
terjadi dan setelah keduanya mati ternyata dewa Indra dan Bayu kena
kutukan menjadi raksasa. Walaupun begitu, ‘air kehidupan’ belum
diketemukan dan bertanya kepada Durna. Gurunya Bima ini menjawab,
‘air kehidupan’ itu berada di dasar samudera selatan. Tanpa menghiraukan
tangis ratapan adik-adik keluarganya Pandawa, Bima menceburkan diri ke
dalam gelombang samudera. Bima di dalam samudera diserang naga
raksasa yaitu, Nemburnawa. Berkat kesaktian kukunya, naga dirobek-
robek sehingga mati. Bima merasa lelah dan membiarkan diri didorong
terombang-ambing ombak samudera.153
Saat itulah muncul wujud kecil mirip dengan Bima,
memperkenalkan diri bernama Dewaruci yang menyuruh memasuki
batinnya melalui telinga kirinya. Bima merasa agak ragu tetapi dengan
mudah masuk ke batin Dewaruci. Ia pada awalnya memasuki ruang
kekosongan (awang-uwung) tanpa batas dan kehilangan orientasi. Bima
melihat matahari, bintang-bintang, gunung-gunung dan laut. Pendek kata,
seluruh alam lahir seperti terbalik (jagad walikan). Dewaruci
menerangkan sekarang seluruh dunia diliputi olehnya.154 Bima juga
153S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 64-65. Lihat juga T.E. Behrend dan Titik Pudjiastuti (Peny.) Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-A Fakultas Sastra UI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), 336. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 115. Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 50. 154S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 67. Lihat juga Franz Magnis Suseno,Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 117.
104
melihat empat warna, tiga dari padanya adalah kuning, merah dan hitam
melambangkan nafsu-nafsu berbahaya untuk dijauhi, sedang yang keempat
warna putih melambangkan ketenangan hati. Ia juga melihat boneka
gading kecil disebut pramana adalah prinsip hidup Ilahi yang berada
dalam dirinya sendiri serta memberi hidup. Oleh karena itu, Bima
menyadari hakikat dirinya yang paling mendalam adalah manunggaling
kawula lan gusti (kesatuan hamba dengan Tuhan).155
Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa
disebut “kawruh sangkan paraning dumadi”, pengetahuan (kawruh)
tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala yang diciptakan
(dumadi). Ini berarti Bima menjadi penguasa atas seluruh bumi atau alam
semesta tertampung olehnya (wus kawengku ameng sira jagad kabeh).
Bima dalam kehidupannya telah mati dan ia hidup dalam kematiannya
(wus mati sajroning urip lan urip sajroning mati). Artinya ia telah mati
bagi alam luar dan mencapai hidup yang benar dalam Yang Ilahi atau
transendental.156
Keberhasilan Bima tersebut menjadikan dirinya memiliki kekuatan
yang takterkalahkan (kasekten). Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci,
akhirnya Bima berhasil memperoleh ketentraman batin (ketentremaning
manah). Ia pulang kepada kakak-adiknya disambut dengan gembira.
155S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 68. Lihat juga Ibid., 118. 156S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 69. Lihat juga Ibid., 120. BandingkanFranz Magnis Suseno,Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 51.
105
Keberhasilan dalam kekuasaan dan atau kekuatan (kasekten) Bima, berkat
pertemuannya dengan Dewa Ruci sebagai mencapai manunggaling kawula
Gusti menemukan tirta prawita sari sama dengan mulih mula-mulanira
dan kawruh sangkan paraning dumadi157 juga mendapat pesan penting.
Pentingnya pesan Dewa Ruci ditegaskan pada Bima tentang dua
sikap moral bagi tindakan moralnya dalam hidup bermasyarakat kaitannya
dengan identifikasi pengetahuan esoterik (rahasia) tersebut. Pertama,
kesadaran mistik ini harus dirahasiakan dan tidak diperlihatkan kepada
orang-orang lain. Kedua, setiap orang yang telah memperoleh realisasi
dari persatuan dengan Tuhan, terutama harus tetap dalam keadaan bersikap
jujur, waspada (eling) serta hati-hati agar terhindar dari berbagai hawa
nafsu seperti sikap sombong (bangga diri) atau congkak dan lain-lain.158
Ini berarti, tirta prawita sari sebagai nilai-nilai moral (keutamaan), suatu
nilai dari Yang Ilahi, adikodrati. Sesuatu yang transendental telah diterima
Bima, secara implisit dimaksudkan bahwa di satu sisi sebagai manusia
baru (insan kamil) dan telah terbentuk atau memiliki perilaku lahiriah etis
yang spiritual terutama sebagai yang manusiawi itu sendiri.159 Namun, di
157S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 70. Lihat juga Ibid., 121. Bandingkan Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 53. 158Dua pesan tersebut secara implisit dalam ungkapan berikut: “Jangan engkau membicarakannya / dengan sesamamu / yang belum dikaruniai keanugerahan Ilahiah ini / …dalam membicarakan ajaran rahasia ini / lebih baik mengalah /Janganlah mulutmu terdorong banyak / jangan tinggi hati / …Dalam hal demikian hati-hatilah…/ jauhkan dari kesenangan hawa nafsu / jujur dan waspadalah / …janganlah bangga, dan bicaralah dengan hati-hati / (karena) ini adalah ajaran rahasia. S. Soebardi, The Book of Cabolek (The Hague: Nijhoff, 1975), 102. 159Dimaksud spiritual terutama dalam arti yang manusiawi adalah, yang non material seperti keindahan, kebaikan, cinta, kebenaran, belaskasihan, kejujuran dan, kesucian, mengacu ke
106
sisi lainnya eksistensi manusiawi sebagai identifikasi perilaku Bima
tersebut tidak sepenuhnya dimiliki atau belum semua sebagai identitas
spiritualitasnya dalam kehidupan bermasyarakat seperti dijelaskan
Anderson berikut ini:
Bima (Werkudara) adalah satria yang paling ditakuti. Dia tidak mau kemegahan dan basa-basi. Kepada siapapun tidak mau menunjukkan sikap hormat (dengan membungkuk misalnya) bahkan kepada dewapun bicaranya tidak dengan bahasa halus melainkan ngoko (bentuk bahasa Jawa untuk bercakap-cakap dengan teman akrab atau berkedudukan rendah). Tidak belas kasih pada musuhnya, bertubuh sebesar raksasa, kasar, berotot dan berbulu, dengan mata melotot dan suara mengguntur. Tetapi bagaimanapun, kejujurannya yang teguh, kesetiaannya, kegigihannya, kemampuan militernya menjadikannya di antara sosok yang paling disegani di jagat wayang.160
Secara kritis Franz Magnis Suseno mempertanyakan, dengan
begitu apakah betul laku (semedi) sudah pasti mencapai persatuan dengan
Yang Ilahi? Menurutnya, berbagai bentuk semedi dalam budaya Jawa
tradisional sebetulnya salah arah, sebab kekuatan batinnya itu mesti
mengalami ambivalensi161 jika berhadapan dengan berbagai kekuasaan
perasaan dan emosi-emosi religius dan, estetik. Selain itu perilaku lahiriah etis yang spiritual dapat pula dimaksudkan dengan pola pemikiran yang artinya, sesuatu yang diterima seseorang dan dipakai sebagai pedoman sebagaimana diterimanya dari masyarakat sekelilingnya. Hasan Alwi (Pemred.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), 885. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 82. 160Benedict R.O’G. Anderson, Mythology and Tolerance in the Javanese, (Ithaca N.Y. : Conell University, 1965), 28-29. 161Ambivalensi berarti, perasaan tidak sadar yang saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama. Hasan Alwi (Pim. Red.), Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2001), 37. Dimaksud ambivalensi dalam laku (bertapa) atau semedi yang bentuknya matiraga atau penyangkalan diri seperti dalam kisah Dewa Ruci, kekuasaan dan usaha Bima untuk memperolehnya justru mudah dirusak oleh pamrih. Misalnya, kemampuan atau keampuannya itu akan dipergunakan demi kemajuan masyarakat. Franz Magnis Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 55-57.
107
sebagaimana ciri khas budaya Jawa sekarang.162 Motivasi semedi Bima
memang suci, yaitu demi tirta prawita sari seluruh keluarganya bahkan
nyawanya sendiri tidak dipertimbangkan. Namun dalam kehidupan nyata
sekarang sulit sekali untuk memastikan apakah penggunaan kekuasaan
atau kekuatan yang dikandung dalam tirta prawita sari atau sebagai
ngelmu (pengetahuan esoterik, mistik) adalah betul-betul sepi ing pamrih ?
Dijelaskan selanjutnya, sebenarnya kekuatan-batin seseorang
sebagai kemampuan konsentrasi sangat relatif artinya atau mudah
mengalami masalah dalam makna positifnya. Nilai terdalamnya memang
bisa untuk “penertiban diri sendiri”, jadi “dangkal” dan sering lebih
cenderung membentuk sikap egois atau individualis, misalnya
“sombong”.163
Pendapat para ahli tersebut tentunya dapat dipakai sebagai latar
belakang pemahaman atau landasan teoretik untuk menganalisa dan
memahami “fungsi” nilai-nilai moral budaya Jawa dalam tradisi
perkawinan loro pangkon (Studi Budaya Masyarakat Muslim Jawa di
Mojokerto Jawa Timur) dan “hubungannya” pemahaman masyarakat
setempat mengenai tradisi tersebut. Maksudnya kata “fungsi” di sini,
selain menunjukkan kepada pengaruhnya bagi tiga sistem nilai-nilai moral
Lihat juga Franz Magnis Suseno, Suseno, 12 Tokoh Etika Abad ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 172. 162Ciri khas kebudayaan Jawa sekarang terletak dalam kemampuan luar biasanya untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar. Hinduisme dan Budhisme serta Agama Islam dirangkul dan semakin menemukan identitasnya sendiri. Franz Magnis Suseno, Etika Jawa sebuah Analisa Falsafi Kebijaksanaan Hidup Jawa (Jakarta: Gramedia, 2001), 1. 163Franz Magnis Suseno,Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 64. Lihat juga Ibid., 117.
108
budaya Jawa, tetapi juga terutama dalam suatu hubungan tertentu
memperoleh arti dan maknanya.164 Maksud dari “hubungan”, selain
menganalisa dan memahami dalam arti pengaruhnya juga bentuk lainnya
dari tradisi perkawinan loro pangkon (Studi Budaya Masyarakat Muslim
Jawa di Mojokerto Jawa Timur) bagi sistem nilai-nilai moral budaya Jawa
tersebut.165
164Mengacu kepada pendapat Van Peursen, kata ‘fungsi’ selalu menunjukkan pengaruh terhadap sesuatu yang lain dan khususnya dalam suatu hubungan tertentu memperoleh arti dan maknanya. C.A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan,terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 85. 165Mengacu pada penjelasan Jujun S Suriasumantri, studi mengenai ‘hubungan’, dapat berupa ‘pengaruh’ atau bentuk lainya dari suatu gagasan orang lain atau kejadian. Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan, dan Keagamaan Mencari Paradigma Kebersamaan”, dalam Deden Ridwan (ed.), Tradisi Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu (Bandung: Nuansa, 2001), 70.
top related