bab ii kepemimpinan, pendeta, etnis tionghoa ......berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksudkan...
Post on 18-Dec-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
17
BAB II
KEPEMIMPINAN, PENDETA, ETNIS TIONGHOA DAN GEREJA ALIRAN
PENTAKOSTA
Dalam kerangka teori ini, akan dijelaskan konsep-konsep yang relevan, yang akan digunakan
sebagai alur berpikir untuk membedah masalah menuju pada temuan penelitian. Konsep yang
akan dijelaskan dalam kerangka teoritis sebagai pisau analisa atas permasalahan dalam penelitian
ini adalah konsep kepemimpinan meliputi gaya atau tipe dan karakter kepemimpinan, termasuk
didalamnya akan dijelaskan juga tentang konsep kepemimpin yang melayani serta konsep
tentang etnis Tionghoa. Selain itu, digunakan pula beberapa konsep pendukung yakni konsep
tentang Pendeta sebagai pemimpin yang melayani dan penjelasan tentang gereja aliran
pentakosta. Konsep-konsep tersebut diuraikan secara terperinci dan berurutan sebagai berikut:
2.1. KEPEMIMPINAN
2.1.1. Konsep Kepemimpinan
Konsep kepemimpinan menjadi konsep yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan
telah menjadi objek yang menarik untuk terus diteliti dan dipelajari. Bahkan studi mengenai
kepemimpinan yang berkaitan dengan gaya atau tipe kepemimpinan, karakter pemimpin,
pekerjaan, lingkungan kerja, motivasi, dan berbagai variabel-variabel lainnya menjadi sangat
intensif. Kondisi tersebut menjadi sangat wajar dikarenakan terdapat sesuatu yang mengagumkan
tentang kepemimpinan itu sendiri.
Tercatat hampir setiap proses perubahan yang dramatis dalam sejarah manusia dicetuskan,
dimotivasi, atau digerakan oleh seorang atau sekelompok pemimpin. Tidak heran kalau konsep
dan topik kepemimpinan memiliki daya tarik magnetis yang begitu kuat bagi banyak orang.
Kepemimpinan adalah sebuah konsep dan topik yang “mahaada” yang dijumpai dihampir semua
18
disiplin ilmu yang terkait dengan manusia: Filosofi, psikologi, sosiologi, antropologi, bisnis,
politik dan teologi1. Bahkan kepemimpinan telah terbukti merupakan salah satu faktor kunci
yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah organisasi. Sebelum membahas
lebih lanjut maka pada bagian selanjutnya akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan
kepemimpinan.
Kepemimpinan adalah perihal memimpin yang merupakan suatu seni tata cara atau
kemampuan untuk membimbing, menuntun seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan
tertentu. Dengan kata lain kemampuan mempengaruhi, menuntun, dan membimbing seseorang
atau kelompok dan mempunyai visi dalam pribadinya sebagai landasan berpijak untuk mencapai
cita-cita ataupun tujuan organisasi tersebut2.
Selanjutnya, menurut Roach dan Behling3, kepemimpinan adalah suatu proses
mempengaruhi dan mengorganisir kelompok terhadap pencapaian tujuan-tujuannya.
Kemudian dikemukakan pada bagian selanjutnya bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses
sosial mempengaruhi yang dibagikan di antara semua anggota-anggota grup. Oleh karena
itu kepemimpinan tidak dibatasi oleh penggunaan pengaruh seseorang dalam posisi atau
peran khususnya melainkan juga para pengikutnya adalah bagian dari proses
kepemimpinan itu juga.
Hal yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Northouse yang mendefeniskan
kepemimpinan adalah suatu proses di mana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai
1Sendjaya, Kepemimpinan Kristen: Menjadi Pemimpin Kristen yang Efektif di Tengah Tantangan Arus
Zaman (Yogyakarta: Kairos Books, 2004), 9. 2 Jahenos Saragih, Manajemen Kepemimpinan Gereja (Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa, 2008), 7-8.
3 Richard L. Hughes, Rober C. Ginnet and Gordon J. Curphy, Leadership Enhancing The Lessons of
Experience, (Boston: Richard D, Irwin Inc, 1993), 8.
19
tujuan umum.4 Pengertian ini dipertajam oleh Dubrin bahwa kepemimpinan itu adalah
kemampuan untuk menanamkan keyakinan dan memperoleh dukungan dari anggota organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi5
Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksudkan dengan kepemimpinan adalah suatu proses
dengan berbagai cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang, baik itu pikiran, perasaan,
tingkah laku, untuk mencapai suatu tujuan bersama yang telah ditetapkan secara bersama-sama
pula.
2.1.2. Gaya Kepemimpinan (Leadership Style)
Dalam pembahasan tentang kepemimpinan maka tidak terlepas dari pembahasan
komponen seperti tipe atau gaya kepemimpinan. Setiap pemimpian memiliki tipe atau gaya
kepemimpinan. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut James A.F. Stoner dan R. Edward
Freeman, sebagaimana yang dikutip oleh Nawawi, mengatakan bahwa perilaku atau gaya
kepemimpinan memberikan kontribusi besar pada efektivitas kepemimpinan untuk
mengefektifkan sebuah organisasi6.
Gaya kepemimpinan dipahami oleh Pandji Anoragan sebagai “ciri seorang pimpinan
melakukan kegiatannya dalam membimbing, mengarahkan, mempengaruhi, menggerakkan para
pengikutnya dalam rangka mencapai tujuan”7. Pendapat yang tidak jauh berbeda diungkapkan
oleh Agus Dharma yang dikutip oleh Nawawi dalam tulisannya, yang mendefinisikan bahwa
4 P.G.Northouse, Leadership: Theory and Practice , Third Edition (New Delhi:Response Book, 2003), 3.
5 Dubrin, A. J. Leadership: Research Findings, Practices, and Skills, Third Edition. (Boston: Houghton
Mifflin Company. 2001), 3. 6 Hadari Nawawi, Manajemen Sumber Daya Manusia: Untuk Yang Kompetitif (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2006), 111. 7 Pandji Anoragan, Psikologi Kepemimpinan (Jakarta:PT Asdi Mahasatya, 2001),7.
20
gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba
mempengaruhi orang lain8.
Definisi yang sama juga dikemukakan oleh Paul Hersey dan Kenneth Blanchard yang
mengungkapkan bahwa “gaya kepemimpinan adalah pola perilaku pada saat seseorang mencoba
mempengaruhi orang lain dan mereka menerimanya”9. Sejalan dengan pendapat yang telah
diungkapkan sebelumnya, Miftah Toha juga mengungkapkan hal yang sama. Ia berpendapat
bahwa “gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada
saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat”10
.
Dalam penelurusan beberapa literatur berkaitan dengan gaya kepemimpinan maka ditemukan
bahwa sebelumnya orang hanya mengenal adanya dua gaya kepemimpinan, yakni gaya
kepemimpinan yang berorientasi kepada relasi dan tugas terutama berkaitan dengan suasana
organisasi dan dalam pengambilan keputusan.
Menurut Hendayat Soetopo “Gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas, yaitu
kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada perilaku pemimpin yang mengarah pada
penyusunan rencana kerja, penetapan pola organisasi, adanya saluran komunikasi, metode
kerja, dan prosedur pencapaian tujuan yang jelas. Dan gaya kepemimpinan yang berorientasi
pada hubungan antar manusia, yaitu kepemimpinan yang lebih menaruh perhatian pada
perilaku pemimpin yang mengarah pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling
menghargai, dan penuh kehangatan hubungan antara pemimpin dengan stafnya.”11
Jadi, realitas dari relasi pemimpin dan orang yang dipimpin berkaitan erat dengan situasi atau
suasana kelompok, terutama jika pemimpin menekankan pada orientasi komunikasi dua arah dan
mendengarkan kebutuhan dari orang-orang yang dipimpin. Pada gilirannya akan tercipta adanya
kepercayaan dan penghormatan secara timbal balik. Sedangkan gaya kepemimpinan yang
8 Hadari Nawawi, Manajemen…, 115.
9 Ibid.
10 Miftah Toha, Perilaku Organisasi (Jakarta:PT Raja Grafindo Utama, 2007), 302
11 Hendayat Soetopo, Perilaku Organisasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 232
21
berorientasi kepada tugas, pemimpin lebih menekankan kepada tugas organisasi maupun
pencapaian prestasi yang tinggi dari orang yang dipimpin.
Pada perkembangan selanjutnya, Keating menjelaskan terdapat 4 (empat) gaya kepempinan
yang mendasar. 4 (empat) gaya tersebut berangkat dari dua dimensi tugas kepemimpinan yaitu
kepemimpinan yang berorentasi pada tugas (task oriented) dan kepemimpinan yang berorentasi
pada manusia (human relationship oriented). Dari dua dimensi tugas kepemimpinan tersebut
maka dikembangkan teori (4) gaya kepemimpinan dasar12
, antara lain:
a. “Kekompakan tinggi dan kerja lemah, merupakan gaya kepemimpinan yang berusaha
menjaga hubungan baik, keakraban dan kekompakan kelompok tetapi kurang
memperhatikan unsur tercapainya tujuan kelompok atau penyelesaian tugas bersama.
Dengan gaya kepemimpinan ini para anggota yang berminat pada hasil kerja bersama
akan kecewa, karena mereka mengira bahwa mereka berkumpul untuk mengerjakan
sesuatu, tetapi ternyata hanya untuk senang-senang. Suasana akrab tidak dapat lama
bertahan dan pertemuan akan bubar, karena tujuan kelompok tidak tercapai. Gaya
kemimpinan ini bermanfaat untuk mempengaruhi semangat kelompok, motivasi bersama,
dan rasa setia kawan.”
b. “Kerja tinggi dan kekompakan rendah, merupakan gaya kepemimpinan yang
menekankan segi penyelesaian tugas tercapainya tujuan kelompok. Gaya kepemimpinan
ini menampilkan gaya kepemimpinan yang amat direktif. Gaya kepemimpinan ini baik
untuk kelompok yang baru dibentuk, yang membutuhkan tujuan dan sasaran jelas, dan
kelompok yang telah kehilangan arah, tidak mempunyai lagi tujuan dan sasaran, tidak
mempunyai kriteria untuk meninjau hasil kerjanya, yang sudah kacau dan tidak berarti
lagi. Gaya kepemimpinan kerja tinggi dan kekompakan rendah dapat berguna jika
dipergunakan sesuai dengan situasi kelompok. Namun gaya kepemimpinan ini jarang
dapat berhasil jika dipergunakan untuk jangka waktu yang terlalu lama. Gaya
kepemimpinan ini dapat mendorong usaha kelompok. Tetapi jarang dapat menjaga
jalannya, kerena manusia membutuhkan dukungan, dorongan, dan pujian.”
12
Charles J Keating, Kepemimpinan….,11-15.
kekompakan tinggi
kerja rendah
kerja tinggi
kekompakan tinggi
kekompakan rendah
kerja rendah
kerja tingi
kekompakan rendah
22
c. “Kerja tinggi dan kekompakan tinggi, merupakan gaya kepemimpinan yang menjaga
kerja dan kekompakan kepemimpinan tinggi cocok dipergunakan untuk membentuk
kelompok. Kelompok yang baru dibentuk membutuhkan kejelasan tujuan dan sasaran,
struktur kerja untuk mencapai tujuan dan sasaran itu, serta usaha untuk membina
hubungan antar para anggota. Waktu menggunakan gaya kepemimpinan ini untuk
membentuk kelompok, pemimpin perlu melengkapinya dengan contoh. Dalam gaya
kepemimpinan ini, pemimpin perlu menjadi model untuk kelompok dengan menunjukan
perilaku yang membuat kelompok efektif dan puas.”
d. “Kerja rendah dan kekompakan rendah, merupakan gaya kepemimpinan yang kurang
menekankan penyelesaian tugas dan kekompakan kelompok. Gaya kepemimpinan ini
cocok untuk kelompok yang sudah jelas akan tujuan dan sasarannya, gamblang akan cara
untuk mencapai tujuan dan sasaran itu, dan mengetahui cara menjaga kehidupan
kelompok selama mencapai tujuan dan sasaran. Gaya kepemimpinan ini lemah dan tidak
menghasilkan apa-apa.”
Selanjutnya dijelaskan bahwa “keempat gaya yang telah dijelaskan, tidak ada yang lebih baik
atau lebih buruk dibandingkan satu sama lain”13
. Tidak ada gaya yang baik atau buruk. Hal ini
tergantung dari macam kelompok yang dipimpin14
. Kepemimpinan yang baik tergantung dari
kemampuan untuk menilai keadaan kelompok dan memberikan kepemimpinan yang dibutuhkan
sesuai dengan tingkat perkembangan kelompok yang ada. “Perlu dicatat bahwa kelompok tidak
terus menerus ada dalam keadaan yang sama, dengan kata lain kelompok apapun dapat berubah
dengan alasan yang beribu macam. Maka suatu gaya kepemimpinan dikatakan tidak boleh
dipegang “mati-matian” terus menerus, tetapi selalu disesuaikan dengan keadaan kelompok.”15
Sehubungan dengan itu, dalam penjelasan Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, setidaknya
terdapat 9 tipe atau gaya kepemimpinan yang terdiri dari 3 (tiga) tipe atau gaya utama dan
6(enam) tipe atau gaya pelengkap dengan penjelasan yang khas dari setiap tipe atau gaya
kepemimpinan16
. Untuk keperluan penelitian, berikut akan dikemukakan penjelasan 3 (tiga) tipe
13
Ibid., 15 14
Ibid. 15
Ibid. 16
Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan yang…., 94-109.
23
atau gaya kepemimpinan utama, diikuti dengan penjelasan singkat 6 (enam) tipe atau gaya
kepemimpinan pelengkap. Tipe atau gaya kepemimpinan yang dimaksud antara lain:
2.1.2.1. Gaya Kepemimpinan Otoriter
Seorang pemimpin yang otoriter adalah seseorang yang sangat egois. Egoisme yang sangat
besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang sebenarnya sehingga sesuai dengan
apa yang secara subjektif diinterpretasikan sebagai kenyataan. Egonya yang sangat besar
menumbuhkan dan mengembangkan persepsinya bahwa tujuan organisasi identik dengan tujuan
pribadinya dan oleh karenanya organisasi diperlakukannya sebagai alat untuk mencapai tujuan
pribadi tersebut. Dengan kata lain, kepemimpinan dengan tipe ini merupakan kepemimpinan
yang bersifat sentralistis sebagai satu-satunya penentu, penguasa dan pengendali anggota
organisasi dan kegiatannya dalam usaha mecapai tujuan organisasi.
Menurut Nawawi dampak dari kepemimpinan otoriter ini adalah sebagai berikut:
a. Anggota organisasi cenderung pasif, bekerja menunggu perintah, tidak berani mengambil
keputusan dalam memecahkan masalah meskipun menyangkut masalah yang kecil17
.
b. Anggota organisasi tidak ikut berpartisipasi aktif bukan karena tidak memiliki
kemampuan, tetapi tidak mau atau enggan menyampaikan inisiatif, gagasan, ide,
kreativitas, saran, pendapat, kritik atau menciptakan kegiatan pekerjaan sendiri tanpa
menunggu perintah18
.
c. Kepemimpinan otoriter yang mematikan inisiatif, kreativitas, dan lain-lain, berdampak
pada kehidupan organisasi berlangsung statis dengan kegiatan rutin yang sama dari tahun
ke tahun sehingga organisasi tidak berkembang secara dinamis19
.
d. Pemimpin otoriter tidak membina dan tidak mengembangkan potensi kepemimpinan
anggota organisasinya, dalam arti pemimpin tidak melakukan kegiatan suksesi dan
pengkaderan, sehingga berakibat sulit memperoleh pemimpin pengganti diantara anggota
organisasi jika keadaan mengharuskan20
.
e. Disiplin, rajin dalam bekerja dan bersedia bekerja keras serta kepatuhan dilakukan secara
terpaksa dan cenderung berpura-pura, karena takut pada sanksi/hukuman dilakukan pada
saat pemimpin berada di tempat21
.
17
Hadari Nawawi, Manajemen…., 122. 18
Ibid. 19
Ibid. 20
Ibid. 21
Ibid.
24
f. Secara diam-diam muncul kelompok penantang yang menunggu kesempatan untuk
melawan, menghambat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan
organisasi terutama pimpinan22
.
g. Pemimpin cenderung akan kehabisan inisiatif, kreativitas, gagasan, inovasi dan lain-lain
sedang anggota organisasi tidak diberi kesempatan untuk membantu akibatnya motivasi,
gairah, dan semangat kerja anggota organisasi menjadi rendah/turun23
.
h. Tidak ada rapat, diskusi atau musyawarah dalam bekerja karena dianggap membuang-
buang waktu24
.
i. Disiplin diterapkan secara ketat dan kaku sehingga iklim menjadi tegang, saling
mencurigai, dan saling tidak mempercayai antar anggota organisasi yang satu dengan
yang lainnya25
.
j. Pemimpin tidak menyukai perubahan, perbaikan, dan perkembangan organisasi, dan
selalu curiga pada orang luar yang terlihat akrab dengan anggota organisasi dengan
prasangka buruk akan menjadi pemicu timbulnya kelompok-kelompok yang akan
melakukan perubahan atau menantang kepemimpinannya. Pemimpin cenderung tidak
menyukai dan berusaha menghalangi terbentuknya organisasi (serikat pekerja) yang
dibentuk anggota organisasi, sebaliknya berusaha untuk membentuk organisasi yang
mendukung kepemimpinannya26
.
Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa gaya kepemimpinan otoriter cenderung diwujudkan
melalui gaya atau perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan hasil, yang secara
ekstrim harus seuai dengan keinginan pemimpin, yang tidak mustahil keluar dari tujuan
organisasi.
2.1.2.2. Gaya Kepemimpinan laissez faire (bebas)
Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya berpandangan bahwa anggota organisasinya mampu
mandiri dalam membuat keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing, dengan
sedikit mungkin pengarahan atau pemberian petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-
masing sebagai bagian dari tugas pokok organisasi. Sehubungan dengan itu Jenning dan
Golembiewski menyatakan bahwa pemimpin membiarkan kelompoknya memantapkan tujuan
22
Ibid. 23
Ibid. 24
Ibid. 25
Ibid. 26
Ibid.
25
dan keputusannya27
. Kontak yang terjadi antara pemimpin dan anggota kelompoknya terjadi
apabila pemimpin memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannnya.
Pemimpin memberikan sedikit dukungan untuk melakukan usaha secara keseluruhan. Kebebasan
anggota kadang-kadang dibatasi oleh pimpinan dengan menetapkan tujuan yang harus dicapai
disertai parameter-parameternya, sedang yang paling ekstrim adalah pemberian kebebasan
sepenuhnya pada anggota organisasi untuk bertindak tanpa pengarahan dan kontrol kecuali jika
di minta.
Gaya kepemimpinan ini merupakan kebalikan dari gaya kepemimpinan otoriter,
meskipun tidak sama atau kepemimpinan yang demokratis pada titik ekstrim yang paling rendah.
Kepemimpinan dijalankan tanpa memimpin atau tanpa berbuat sesuatu dalam mempengaruhi
pikiran, perasaan, sikap dan perilaku anggota organisasinya. Dalam keadaan seperti itu, apabila
ada anggota organisasi yang bertindak melakukan kepemimpinan, maka kepemimpinan yang
sebenarnya menjadi tidak berfungsi. Pemimpin seperti itu pada umumnya seorang yang berusaha
mengelak atau menghindar dari tanggung jawabnya, sehingga apabila terjadi kesalahan atau
penyimpangan, dengan mudah dan tanpa beban mengatakan bukan kesalahan atau bukan
tanggung jawabnya karena bukan keputusannya dan tidak pernah memerintahkan
pelaksanaannya.
2.1.2.3. Gaya Kepemimpinan Demokratis
Pemimpin yang Demokratis biasanya memandang perannya selaku koordinator dan
integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu
totalitas. Karena itu pendekatannya dalan menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya adalah
pendekatan yang holistik dan integralistik. Seorang pemimpin yang demokratis biasanya
27
Ibid., 147.
26
menyadari bahwa mau tidak mau organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga
menggambarkan secara jelas aneka ragam tugas dan kegiatan yang tidak bisa tidak harus
dilakukan demi tercapainya tujuan dan berbagai sasaran organisasi.
Dalam tipe ini pula dikatakan bahwa manusia ditempatkan sebagai faktor terpenting dalam
kepemimpinan yang dilakukan berdasarkan dan mengutamakan orientasi pada hubungan dengan
anggota organisasi. Filsafat demokratis yang mendasari pandangan gaya kepemimpinan
demokratis ini adalah pengakuan dan penerimaan bahwa manusia merupakan makhluk yang
memiliki hatkat dan martabat yang mulia dengan hak asasi yang sama.
Nilai-nilai demokratis dalam kepemimpinan tampak dari kebijakan pemimpin yang
orientasinya pada hubungan manusiawi, berupa pengakuan yang sama dan tidak membeda-
bedakan anggota organisasi atas dasar warna kulit, ras, kebangsaan, agama, status sosial
ekonomi, dan lain-lain. Pengimplementasian nilai-nilai demokratis di dalam kepemimpinan
dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas pada anggota organsasi untuk
berpartisipasi dalam setiap kegiatan sesuai dengan posisi dan wewenang masing-masing.
Selain 3 (tiga) tipe atau gaya kepemimpinan utama tersebut terdapat 6 (enam) tipe atau gaya
kepemimpinan pelengkap yang terdiri dari28
:
2.1.2.4. Gaya kepemimpinan kharismatik, diartikan kemampuan menggerakan orang lain
dengan mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan dalam sifat/aspek kepribadian
yang dimiliki pemimpi, sehingga menimbulkan rasa hormat , segan dan kepatuhan pada
orang-orang yang dipimpinnya. Tipe kepemimpinan simbol, merupakan tipe
kepemimpinan yang menempatkan seseorang pemimpin sekedar sebagai lambing atau
simbol, tanpa menjalankan kegiatan kepemimpinan yang sebenarnya.
2.1.2.5. Gaya pengayom, menempatkan seseorang sebagai Kepala pada dasarnya berfungsi
sebagimana layaknya seorang kepala keluarga. Kepemimpinan dijalankan dengan
melakukan kegiatan kepeloporan, kesediaan berkorban, pengabdian, melindungi, dan
selalu melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan atau kelompok.
28
Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari, Kepemimpinan…., 103-109.
27
Pemimpin ibarat ayah yang berfungsi mengayom anggotanya ibarat anak-anak dan
anggota keluarganya yang lain.
2.1.2.6. Gaya pemimpin ahli (Expert), tipe kepemimpinan ini bertolak dari asumsi bahwa
kegiatan yang menjadi bidang garapan suatu organisasi/kelompok, hanya akan
berlangsung efektif dan efisien, bilamana dipimpin oleh seseorang yang memiliki
keahlian dalam bidang tersebut. Kepemimpinan harus dijalankan oleh seseorang yang
memiliki ketrampilan atau keahlian tertentu yang sesuai dengan bidang garapan atau
yang dikelola oleh organisasi /kelompok.
2.1.2.7. Gaya kepemimpinan organisatotoris dan administrator, tipe ini dijalankan oleh
para pemimpin yang senang dan memiliki kemampuan mewujudkan dan membina kerja
sama, yang pelaksanaannya berlangsung secara sistematis dan terarah pada tujuan yang
jelas. Pemimpin bekerja secara berencana, bertahap dan tertib.
2.1.2.8. Gaya kepemimpinan agitator, tipe kepemimpinan yang diwarnai dengan kegiatan
pemimpin dalam bentuk tekanan-tekanan, adu domba, memperuncing perselisihan,
menimbulkan dan memperbesar perpecahan/pertentangan dan lain-lain dengan maksud
untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.
James Mc. Gregor, seperti yang dikutip oleh Sedarmayanti menyatakan bahwa terdapat 2 (dua)
gaya kepemimpinan29
, yaitu:
2.1.2.9. Gaya Kepemimpinan Transaksional, merupakan gaya kepemimpinan dimana
seseorang memimpin cenderung memberikan arahan kepada bawahan, serta
memberikan imbalan dan hukuman kepada bawahan. Kepemimpinan transaksional
lebih menekankan kepada transaksi antara pemimpin dan bawahan. Pada kepemimpinan
transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan
dengan cara reward dengan kinerja tertentu, dengan kata lain sebuah transaksi bawahan
dijanjikan mendapatkan reward atau penghargaan bila bawahan mampu menyelesaikan
tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama30
.
Jadi bertolak dari penjelasan tersebut, maka dapat diringkas gaya kepemimpinan transaksional
adalah gaya kepemimpinan yang bercirikan adanya pengorbanan individu terhadap oganisasi
dikarenakan adanya kepentingan pribadi.
2.1.2.10. Gaya Kepemimpinan Transformasional, merupakan gaya kepemimpinan bagi
seorang pemimpin yang cenderung memberi motivasi kepada bawahan untuk
melakukan tindakan yang lebih baik dan menitik beratkan pada perilaku
membantu/transformasi antar individu dengan organisasi. Kepemimpinan
transformasional pada hakikatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu
29
Sedarmayanti, Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpianan Masa Depan
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), 184-185. 30
Ibid.
28
memotivasi bawahannya untuk melakukan tanggung jawab lebih dari apa yang
diharapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan,
mengkomunikasikan dan mengartikulasi visi organisasi dan bawahan harus menerima
dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.
Sedangkan Nair mendefenisikan gaya kepemimpinan transformasional dalam kaitannya
dengan “kemauan pemimpin untuk mempengaruhi nilai-nilai, sikap, kepercayaan dan perilaku
dari pihak lain dengan berkerja bersama mereka dengan tujuan untuk mencapai misi dan tujuan
oranisasi.”31
Sementara itu Blac dan Porter mendefenisikan gaya kepemimpinan
transformasional sebagai “kepemimpinan yang memotivasi para pengikut yang ada untuk
mengabaikan kepentingan pribadi mereka dan bekerja untuk kepentingan organisasi untuk
mencapai hasil yang signifikan; bertitik beratkan pada pengartikulasian visi yang meyakinkan
bawahan untuk melakukan perubahan besar”32
.
Menurt Sanusi, selain gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional, terdapat 2 (dua)
gaya kepemimpinan lainnya yang termasuk dalam gaya kepemimpinan abad ke-2133
, yaitu:
2.1.2.11. Gaya Kepemimpinan Situasional, yaitu gaya kepemimpinan yang mencoba
mengidentifikasi karakteristik situasi dan keadaan sebagai faktor penentu utama yang
membuat seorang pemimpin berhasil melakukan tugas-tugas organisasi secara efektif
dan efisien. Kepemimpinan situasional menekankan bahwa keefektifan kepemimpinan
seseorang bergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat dalam
menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan.
Harsey dan Blanchard seperti yang dikutip oleh Thoha, mengembangkan gaya kepemimpinan
situasional efektif dengan memadukan tingkat kematangan jiwa bawahan dengan pola perilaku
31 Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI…., 6.
32 Ibid.
33 Achmad Sanusi, Kepemimpinan Sekarang dan Masa Depa (Bandung:Prospect, 2009), 22.
29
yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Ada 4 (empat) perilaku dasar kepemimpinan situasional34
,
yaitu:
a. Perilaku Direktif
Perilaku direktif adalah perilaku yang diterapkan apabila pemimpin dihadapkan pada
tugas yang rumit dan bawahan belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk
mengerjakan tugas tersebut, atau pemimpin berada di bawah tekanan waktu penyelesaian,
maka pemimpin akan menjelaskan apa yang perlu dikerjakan. Perilaku ini ditandai
dengan komunikasi satu arah dan pembatasan peran bawahan. Pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan semata-mata menjadi wewenang pemimpin, serta adanya
pengawasan yang ketat oleh pemimpin.
b. Perilaku Konsultatif
Perilaku konsultatif adalah perilaku yang diterapkan ketika bawahan telah termotivasi
dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Dalam hal ini pemimpin hanya perlu
memberi penjelasan yang lebih terperinci dan membantu bawahan untuk mengerti dengan
meluangkan waktu membangun hubungan yang baik dengan mereka. Pada perilaku ini
pemimpin masih memberikan instruksi yang cukup besar serta penetapan keputusan-
keputusan dilakukan oleh pemimpin, namun dengan adanya komunikasi dua arah dan
memberikan dukungan terhadap bawahan serta mau mendengar keluhan dan perasaan
mereka, keputusan yang diambil tetap ada pada pemimpin.
c. Perilaku Partisipatif
Perilaku partisipatif diterapkan apabila bawahan telah mengenal teknik-teknik yang
dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang dekat dengan pemimpin. Pemimpin
meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan bawahan untuk lebih melibatkan
mereka dalam pengambilan keputusan. Pemimpin mendengarkan saran dan masukan dari
bawahan mengenai peningkatan kerja. Keikutsertaan bawahan dalam memecahkan
masalah dan mengambil keputusan berdasarkan pemimpin yang berpendapat bahwa
bawahan juga memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup luas untuk
menyelesaikan tugas.
d. Perilaku Delegatif
Perilaku delegatif diterapkan apabila bawahan sepenuhnya paham dan efisien dalam
kinerja tugas, sehingga pemimpin dapat melepaskan mereka untuk menjalankan tugasnya
sendiri.
Jadi, gaya kepemimpinan situasional yang dikembangkan oleh Harsey dan Blanchard berangkat
dari keyakinan dan nilai tentang orang yaitu: Orang dapat dan ingin dikembangkan;
Kepemimpinan adalah kemitraan; Orang berkembang dalam keterlibatan dan komunikasi. Hal
34
Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 71-73.
30
utama dalam gaya kepemimpinan ini adalah bagaimana pemimpin dapat mengembangkan
semaksimal mungkin kemampuan pengikut mereka sesuai dengan gaya dan tahapan dari
pengikut yang ada.35
2.1.2.12. Gaya Kepemimpinan Visioner, yaitu pola kepemimpinan yang ditujukan untuk
memberi arti pada kerja dan usaha yang perlu dilakukan bersama-sama oleh para
anggota organisasi dengan cara memberikan arahan dan makna pada kerja, dan usaha
yang dilakukan berdasarkan visi yang jelas. Kepemimpinan visioner memerlukan
kompetensi tertentu.
Pemimpin visioner setidaknya harus memiliki 4 (empat) kompetensi sebagaimana yang
dikemukakan oleh Burt Nanus, seperti yang dikutip oleh Sanusi36
, yaitu:
a) Seorang pemimpin visioner harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara
efektif dengan manajer dan karyawan lainnya dalam organisasi.
b) Seorang pemimpin visioner harus memahami lingkungan luar dan memiliki kemampuan
bereaksi secara tepat atas segala ancaman dan peluang.
c) Seorang pemimpin visioner harus memegang peran penting dalam membentuk dan
mempengaruhi praktek organisasi, prosedur, produk dan jasa. Seorang pemimpin dalam
hal ini harus terlibat dalam organisasi untuk menghasilkan dan mempertahankan
kesempurnaan pelayanan, sejalan dengan mempersiapkan dan memandu jalan organisasi
ke masa depan.
d) Seorang pemimpin visioner harus memiliki atau mengembangkan ceruk untuk
mengantisipasi masa depan. Ceruk ini merupakan sebuah bentuk imajinatif, yang
berdasarkan atas kemampuan data untuk mengakses kebutuhan masa depan
konsumen,tekhnologi dan lain sebagainya. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatur
sumber daya organisasi guna mempersiapkan diri menghadapi kemunculan kebutuhan
dan perubahan.
Dari penjelasan dari berbagai literatur berkaitan dengan gaya kepemimpinan maka dapat
disimpulkan bahwa setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memahami situasi sehingga dapat
menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi yang ada. Gaya kepemimpinan seorang
pemimpin sangat mempengaruhi keberhasilannya dalam memimpin kelompoknya, karena
dengan cara tersebut ia akan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang pemimpin.
35
Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI….,31. 36
Achmad Sanusi, Kepemimpinan Sekarang dan Masa Depa….,21.
31
2.1.3. Kepemimpinan yang Melayani (Servant Leadership)
Istilah servant leadership dipakai untuk pertama kalinya oleh seorang eksekutif perusahaan
telekomunikasi AT&T bernama Robert K. Greenleaf pada tahun 1970, dalam tulisannya yang
berjudul The Servant as Leader37
. Ide ini kemudian muncul di ruang publik menjadi sebuah
gerakan baru pada bidang manajemen38. Ide tulisan The Servant as Leader muncul setelah
Greenleaf membaca sebuah cerita mitos dalam buku yang berjudul Journey to the East karangan
Hermann Hesse.39
Greenleaf melihat cerita novel yang ia baca menyampaikan pesan sentral
terkait pendekatannya sendiri terhadap kepemimpinan, bahwa pemimpin-pemimpin besar adalah
mereka yang melayani orang-orang lain. Kemudian dalam mendefinisikan servant leadership,
Greenleaf menulis:
The servant-leader is servant first. It begins with the natural feeling that one wants to
serve. Then conscious choice brings one to aspire to lead. The best test is: do those served
grow as persons; do they, while being served, be come healthier, wiser, freer, more autono-
mous, more likely themselves to be come servants? And, what is the effect on the least
privileged in society? Will they benefit, or at least not be further deprived?40
Berdasarkan kutipan tersebut Greenleaf menjelaskan bahwa kepemimpinan yang melayani
adalah orang yang mula-mula menjadi pelayan, dalam pernyataannya di atas ia mengatakan
bahwa “Kepemimpinan yang melayani ini dimulai dengan perasaan alami bahwa orang ingin
melayani, meyani lebih dahulu. Kemudian pilihan sadar membawa orang untuk berkeinginan
memimpin. Perbedaan ini memanifestasikan diri dalam keperdulian yang diambil oleh pelayan
yang mula-mula memastikan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi orang lain adalah dilayan.
37
Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership: Developments in Theory and
Research (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 12. 38
Fons Trompenaars dan Ed Voerman. Servant-Leadership Across Cultures: Harnessing the strength of the
world's most powerful leadership philosophy (New York: Infinite Ideas Limited. 2009), 3. 39
Larry C. Spears and Michele Lawrence (Editor), FOCUS ON LEADERSHIP: Servant-Leadership for the
Twenty-First Century (New York: John Wiley & Sons, Inc, 2002), 19 40
Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership…., 11.
32
Ujian terbaik dalam kepemimpinan ini adalah: apakah mereka yang dilayani tumbuh sebagai
pribadi, atau apakah mereka yang dilayani, menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas,
lebih mandiri, dan lebih memungkinkan diri mereka menjadi pelayan?.” Jadi kepemimpinan
yang melayani menurutnya dimulai dari kesadaran seorang pemimpin adalah pelayan.
Berkaitan dengan itu, Neuschel41
menyebut yang melayani adalah seorang pemimpin
dengan pengikut yang ia bantu untuk berkembang dalam reputasi, kemampuan atau dalam
sejumlah hal memberi kontribusi untuk membangun mereka menjadi orang yang lebih
berguna dan bahagia. Pemimpin yang melayani mengembangan kemampuan para
pengikutnya untuk memberi kontribusi bagi organisasi. Pemimpin yang melayani membuat
para bawahannya berkembang dalam kemampuan mereka untuk berproduksi. Dapat dikatakan
bahwa kepemimpinan transformasional dan servant leadership, keduanya berfokus pada
proses antara pemimpin dan pengikut. Hubungan antara pemimpin dan pengikutnya
menekankan proses antara keduanya yaitu visi, pengaruh, kredibilitas, kepercayaan dan
pelayanan. Servant leadership muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin, nilai-nilai dan
kepercayaan. Melayani pihak lain berarti pemimpin memfasilitasi bawahannya untuk
mencapai tujuan yang diharapkan. Pemimpin yang melayani merasa bahwa begitu
arahannya jelas, peranannya adalah membantu bawahannya mencapai sasaran.42
Itulah sebabnya pemimpin yang melayani terus menerus mencoba menemukan hal-hal
yang diperlukan orang-orang mereka untuk berhasil. Pemimpin yang melayani memiliki rasa
kemanusian yang tinggi karena dia melayani orang-orang bukan untuk memperoleh lebih
banyak dari mereka; melainkan karena ingin meningkatkan harga diri mereka dan
41
Robert P. Neuschel, PEMIMPIN YANG MELAYANI: Mengerahkan Kekuatan Orang-orang Anda
(Jakarta: Academia, 2008), 107. 42
Jony Oktavian Haryanto, KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI….,45.
33
kebanggaan orang-orang itu. Hal ini semata-mata bukan hanya melayani untuk
mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya.
Menurut Greenleaf ada beberapa hal yang ditemukan dalam Servant Leadership sebagai
berikut: 43
a) Sesuatu diawali dari inisiatif individu. Pikiran, sikap dan tindakan dari setiap
orang diawali dari konsep individu yang lahir dari inspirasi. Pemimpin yang
melayani membutuhkan lebih dari inspirasi. Pemimpin yang berinisiatif membangun ide
dan struktur dan mampu menanggung resiko kegagalan dalam perjalanan menuju
sukses.
b) Mimpi adalah konsep visioner menggerakkan dan menjadikan kepemimpinan
mencapai gol sehingga sekalipun resiko tinggi, bawahan dapat menerima dan
mengikuti pemimpin.
c) Visi, adalah sebuah tindakan untuk melihat objek eksternal, yaitu kemampuan untuk
melihat, penglihatan; Visi lebih sempurna dan akurat pada hewan daripada manusia.
Dapat juga dikatakan visi sesuatu yang diimpikan untuk dilihat, kadang-kadang tidak
nyata dan masih bersifat abstrak. Visi memberikan semangat dan mengubah tujuan
menjadi tindakan nyata. Oleh karena itu visi merupakan sebuah realita yang belum
nyata dan lebih dari sekedar mimpi. Seorang pemimpin haruslah seseorang yang
memiliki visi, pandangan dan mampu untuk mengetahui cara berpikir dari pihak lain.
Banyak penulis teori kepemimpinan menekankan pentingnya visi untuk
menginspirasikan pihak lain, untuk memotivasi tindakan, untuk bergerak dengan
harapan untuk masa depan. Penjelasan yang lebih jauh visi merefleksikan pengertian
mendalam yang memungkinkan seseorang mendeteksi pola dan trend yang selama
43
Robert K. Greenleaf, Servant leadership….,45 – 55.
34
ini dipegang sehingga dapat menuntun pemimpin untuk masa kini dan masa yang
akan datang. Untuk itu seorang pemimpin haruslah pertama sekali mengembangkan
semangat dan mental positif dalam mencapai harapan yang dikehendaki. Mental
positif ini yang disebut visi atau kadang juga disebut sebagai tujuan dari misi.
Kemudian Haryanto dapat menyimpulkan visi, yaitu44
: (1)Visi yang profetik (2) Indera
untuk mengetahui hal yang tidak belum diketahui, (3) Melihat apa yang tidak terlihat.
d) Mendengar dan Memahami
Seorang pemimpin yang benar-benar pelayan secara alami merespon dengan
spontan setiap masalah dengan lebih dahulu mendengar. Pemimpin yang secara
alami membutuhkan displin belajar mendengar sehingga dapat mendengar dengan
benar dan mampu membangun kekuatan bagi orang lain. Oleh karena itu jangan
takut diam, sebab dengan diam kita dapat mengembangkan apa yang ada dalam
pikiran kita.
e) Pengaruh
Pengaruh memiliki peranan yang sangat penting dalam hubungan antara pemimpin yang
dipimpin, terutama dalam pemenuhan tujuan mereka. Oleh sebab itu pengaruh
merupakan hal yang vital untuk memperoleh kerjasama dari pihak lain untuk
memenuhi tujuan grup dan organisasi.
f) Kredibilitas
Hal yang sangat penting lainnya dalam memahami dan menerapkan servant
leadership adalah kredibilitas. Kredibilitas adalah sesuatu yang pemimpin impikan.
Seorang pemimpin haruslah mengkomunikasikan kredibilitas kepada mereka yang
diinginkannya untuk menjadi bawahan atau pengikutnya. Kredibilitas pemimpin yang
44
Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan Yang Melayani….,9.
35
melayani didasarkan pada ketergantungan dan kepercayaan antara atasan dan bawahan.
Kredibilitas pemimpin terjadi ketika pemimpin mendemonstrasikan keahlian dan
kompetensinya dan menunjukkan pengetahuan berkaitan dengan tehnologi dan
pengembangan baru dalam bidangnya. Pemimpin yang memiliki kredibilitas akan
senantiasa belajar dan menciptakan situasi pembelajaran didalam organisasi mereka.
Pemimpin juga menginspirasikan harapan dan keberanian pada pihak lain dengan
memberikan keyakinan, dengan memfasilitasi citra yang positif, dan dengan
memberikan bantuan kepada pihak lain.
g) Kepercayaan
Kepercayaan adalah faktor yang sangat penting mempengaruhi hubungan
antara pemimpin dan pengikutnya. Kepercayaan adalah akar dari kepemimpinan
yang melayani dan pengambilan keputusan. Integritas dipandang sebagai integral
dari hubungan kepercayaan. Tanpa integritas, kepercayaan tidak akan pernah dapat
diperoleh. Pemimpin yang terbaik adalah yang transparan, melakukan apa yang
mereka katakan dan bertindak dalam nilai-nilai yang benar. Kepercayaan sangat
penting dalam mengembangkan hubungan interpersonal, terutama dalam proses
komunikasi interpersonal. Kepercayaan adalah pusat dari hubungan kemitraan yang
diwakili melalui ide dari persahabatan dan kepercayaan dengan pihak lain. Ada 4
komponen yang membangun kepercayaan yaitu: (a) kompetensi (b) keterbukaan (c)
keprihatinan (d) reliability.
36
2.1.4. Karakteristik Pemimpin yang Melayani (Characteristics of the Servant-Leader)
Karakter merupakan fondasi kemampuan kepemimpinan45
. Pemahaman mendasar
berkaitan dengan karakter biasanya berhubungan dengan sifat-sifat yang ditunjukan oleh seorang
pemimpin. Dalam kelompok apa pun, seorang pemimpin akan muncul karena ia memiliki
kekuatan karakter dan kepribadian yang diinginkan dan bukan semata karena kapasitas
intelektual atau IQ dalam jumlah tertentu46
. Karakter yang dimiliki seorang pemimpin lebih
penting daripada kecerdasan dalam diri seorang pemimpin. Kecerdasan bukanlah faktor terkuat
yang mempengaruhi dan memotivasi orang yang menikutinya. Daya tarik kualitatif dari sifat,
seperti integritas, kematangan, konsistensi, antusiasme, dan keuletan membuat orang berbaris di
belakang pemimpin47
.
Selanjutnya dijelaskan bahwa citra pemimpin bukan pada tampilan luar dirinya,
melainkan lebih merupakan seluruh sistem nilai yang ditunjukan terus menerus. Ketika
manifestasi ini jelas dan konsisten serta merefleksikan suatu karakter integritas pribadi, citra
inilah yang akan menjadi instrument yang efektif dalam mempengaruhi pengikutnya48
. Jadi
kepempinan tidak hanya bergantung pada kecerdasan intelektual, tetapi yang harus diakui adalah
kekuatan dari karakter yang dimiliki oleh pemimpin menjadi faktor yang penting dan mendasar
dalam kepemimpinan.
45
Robert P. Neuschel, PEMIMPIN YANG MELAYANI..., 40. 46
Ibid.,39 47
Ibid., 37 48
Ibid.
37
Dalam tulisannya yang berjudul Servant Leadership and Robert K. Greenleaf Legacy49
,
Spears menyebutkan sepuluh karakteristik seorang servant-leader yang dapat diindentifikasikan
olehnya dari karya Robert Greenleaf. Sepuluh karakteristik yang dikemukakan, antara lain:
a. Mendengarkan (Listening) Para pemimpin secara tradisional dinilai berkaitan dengan keterampilan mereka dalam
hal berkomunikasi dan pengambilan keputusan. Memang dua hal ini merupakan
keterampilan-keterampilan yang penting untuk dimiliki oleh seorang servant-leader,
namun harus diperkuat dengan komitmen mendalam untuk secara intens mendengarkan
orang-orang yang berbicara kepadanya. Seorang servant-leader senantiasa berupaya
untuk mengetahui kehendak kelompoknya, dan dia mencoba untuk mengklarifikasi
kehendak itu. Dia berupaya untuk mendengarkan apa saja yang dikatakan dan tidak
dikatakan oleh orang-orang lain kepadanya. Seorang pendengar yang baik juga selalu
mendengarkan suara di dalam batinnya, dan berupaya untuk memahami komunikasi yang
disampaikan orang-orang lain lewat bahasa tubuh mereka, seperti ekspresi wajah dlsb.
Upaya mendengarkan harus disertai refleksi secara teratur demi tercapainya pertumbuhan
sang servant-leader itu sendiri50
.
b. Empati (Empathy). Seorang servant-leader senantiasa berupaya untuk memahami dan berempati dengan
orang-orang lain. Orang-orang mempunyai kebutuhan untuk diterima dan diakui untuk
semangat mereka yang istimewa dan unik. Seorang servant-leader harus mengandaikan
adanya niat-niat baik dari orang-orang yang dilayaninya dan tidak menolak mereka
sebagai pribadi-pribadi manusia, walaupun dia terpaksa harus menolak perilaku atau
prestasi kerja mereka. Para servant-leader yang paling sukses adalah mereka yang
menjadi sangat terampil sebagai para pendengar yang penuh empati51
.
c. Penyembuhan (healing). Belajar untuk menyembuhkan adalah suatu kekuatan hebat terciptanya transformasi dan
integrasi. Satu dari kekuatan-kekuatan dahsyat servant-leadership adalah dimilikinya
potensi untuk menyembuhkan diri sendiri dan orang-orang lain. Banyak orang menderita
karena berbagai macam luka emosional. Walaupun ini adalah suatu bagian dari
keberadaan kita sebagai manusia, seorang servant-leader melihat hal ini sebagai suatu
kesempatan untuk menolong orang lain yang dijumpai agar dapat menjadi seorang
pribadi yang utuh52
.
49
Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership….,11. 50
Ibid.,17. 51
Ibid. 52
Ibid.
38
d. Kesadaran (Awareness).
Kesadaran umum, dan terutama kesadaran-diri akan memperkuat diri seorang servant-
leader. Membuat komitmen untuk memperkuat kesadaran dapat menjadi menakutkan,
karena kita tidak pernah tahu apa yang akan kita alami! Kesadaran juga membantu sang
servant-leader dalam memahami isu-isu yang menyangkut etika dan nilai-nilai.
Kesadaran akan memampukan sang servant-leader untuk memandang kebanyakan situasi
yang dihadapi dari posisi yang lebih terintegrasi dan holistik sifatnya. Kesadaran memang
mempunyai risiko-risiko, namun kesadaran membuat hidup ini menjadi lebih menarik;
yang jelas kesadaran ini memperkuat keefektifan seseorang sebagai seorang pemimpin.
Apabila seseorang senantiasa sadar, hal ini berarti lebih daripada sekadar berjaga-jaga
yang biasa, dan sang pemimpin juga berkontak secara lebih intens dengan situasi yang
langsung dihadapi53
.
e. Persuasif atau bujukan (Persuasion). Seorang servant-leader menggunakan persuasi, bukannya menggunakan otoritas karena
posisinya, dalam meyakinkan orang-orangnya terkait pengambilan keputusan-keputusan
dalam sebuah organisasi. Seorang servant-leader berupaya untuk menyakinkan orang-
orangnya, bukan dengan memaksakan mereka untuk taat kepada perintahnya. Unsur yang
satu ini menunjukkan satu perbedaan paling jelas antara model tradisional yang
menekankan otoritas dan servant-leadership. Seorang servant-leader itu efektif dalam
membangun konsensus di dalam kelompok-kelompok54
.
f. Konseptualisasi (Conceptualization). Seorang servant-leader berupaya memelihara kemampuannya untuk “memimpikan
mimpi-mimpi besar” (to dream great dreams). Kemampuan untuk melihat sebuah
masalah (atau sebuah organisasi) dari perspektif konseptualisasi berarti seseorang harus
berpikir melampaui realitas-realitas sehari-hari. Para manajer tradisional dikuasai oleh
pemikiran untuk mencapai tujuan operasional yang bersifat jangka pendek. Namun
seorang manajer yang juga ingin menjadi seorang servant-leader harus merentangkan
pemikirannya agar dapat mencakup pemikiran konseptual yang berbasis lebih luas.
Seorang servant-leader dipanggil untuk berupaya memelihara keseimbangan antara
pemikiran konseptual dan pendekatan yang terfokus dari hari ke hari55
.
g. Kemampuan meramalkan (Foresight).
Yang dimaksudkan dengan foresight adalah kemampuan di atas rata-rata untuk
memprakirakan apakah yang akan terjadi dan di manakah terjadinya hal tersebut di masa
depan. Kemampuan ini erat terkait dengan “konseptualisasi” yang dikemukakan dalam
butir 6 di atas: sulit untuk didefinisikan namun mudah untuk diidentifikasikan. Kita
mengetahuinya ketika kita melihatnya. Foresight adalah suatu karakteristik yang
memampukan seorang servant-leader memahami pelajaran-pelajaran dari masa lalu,
realitas-realitas hari ini, dan konsekuensi-konsekuensi yang dimungkikan dari sebuah
keputusan berkaitan dengan masa depan. Foresight juga berakar secara mendalam dalam
pikiran yang intuitif. Ada ahli-ahli yang mengatakan bahwa foresight ini adalah
53
Ibid. 54
Ibid., 18. 55
Ibid.
39
karakteristik bawaan sejak lahir dari seorang pribadi, sedangkan karakteristik-
karakteristik lainnya dapat dikembangkan lewat pelatihan dan studi. Yang jelas foresight
ini belum merupakan pokok yang banyak diselidiki dan ditulis oleh para ahli
kepemimpinan56
.
h. Kepengurusan (Stewardship).
Peter Block, pengarang “Stewardship and The Empowered Manager) mendefinisikan
stewardship ini sebagai memegang/mengurus sesuatu untuk orang lain atas dasar
kepercayaan”. Menurut pandangan Robert Greenleaf, semua lembaga adalah tempat di
mana CEO, para pekerja dll. Semua memainkan peranan yang signifikan dalam
mengurus lembaga-lembaga mereka atas dasar kepercayaan demi kebaikan masyarakat
yang lebih besar. Servant-leadership, seperti juga stewardship pertama-tama dan
terutama mengandaikan suatu komitmen untuk melayani kebutuhan-kebutuhan orang
lain. Hal tersebut juga menitik-beratkan penggunaan keterbukaan dan persuasi, bukan
pengendalian (kontrol)57
.
i. Komitmen terhadap pertumbuhan orang-orang (Commitment to the growth of
people). Seorang servant-leader percaya bahwa pribadi-pribadi memiliki nilai intrinsik
yang melampaui kontribusi-kontribusi mereka yang kelihatan sebagai pekerja-pekerja
dalam perusahaan (dalam hal dunia bisnis). Dengan demikian sang servant-leader
memiliki komitmen mendalam berkaitan dengan pertumbuhan setiap individu dalam
lembaganya. Sang servant-leader di sini mengakui tanggung-jawab yang besar sekali
untuk melakukan segala sesuatu di dalam kekuasaannya untuk memelihara pertumbuhan
pribadi, pertumbuhan profesional dan pertumbuhan spiritual. Dalam prakteknya, hal ini
dapat mencakup (namun tidak terbatas pada) tindakan-tindakan konkret seperti
menyediakan dana yang diperlukan untuk pengembangan pribadi dan pengembangan
profesional, menaruh perhatian pribadi sang pemimpin pada ide-ide dan usul-usul dari
setiap orang, mendorong serta menyemangati keterlibatan orang yang dipimpinnya dalam
proses pengambilan keputusan, dan secara aktif membantu para karyawan yang terkena
PHK supaya mendapat pekerjaan baru58
.
j. Membangun komunitas (Building community). Seorang servant-leader merasakan
bahwa masyarakat modern telah kehilangan banyak dalam sejarah manusia – teristimewa
akhir-akhir ini – karena adanya pergeseran dari komunitas-komunitas lokal kepada
lembaga-lembaga besar sebagai pembentuk utama kehidupan manusia. Kesadaran ini
menyebabkan sang servant-leader berupaya untuk mengidentifikasikan beberapa cara
untuk membangun komunitas di antara mereka yang bekerja dalam sebuah lembaga
tertentu. Servant-leadership menyarankan bahwa komunitas sejati dapat diciptakan di
antara mereka yang bekerja dalam bisnis dan lembaga-lembaga lain. Greenleaf sendiri
mengatakan, bahwa apa yang diperlukan untuk membangun kembali komunitas sebagai
bentuk kehidupan yang dapat hidup terus bagi orang-orang yang berjumlah banyak,
adalah agar ada cukup banyak servant-leaders untuk menunjukkan jalannya, tidak
dengan gerakan-gerakan massal, melainkan oleh masing-masing servant-leader yang
56
Ibid.,18-19. 57
Ibid.,19. 58
Ibid.
40
mendemonstrasikan kewajibannya sendiri yang tak terbatas untuk melayani kelompok
khusus yang terkait komunitas59
.
Sebenarnya sepuluh karakteristik servant-leadership masih dapat disempurnakan lagi. Akan
tetapi diharapkan bahwa sepuluh karakteristik ini dapat mengkomunikasikan kekuatan dan janji
yang ditawarkan oleh konsep kepemimpinan ini, teristimewa bagi segala pihak yang bersedia
membuka diri terhadap undangannya dan berbagai tantangannya60
.
Pendapat lain berkaitan pembahasan tentang karakteristik kepemimpinan yang melayani diungkapkan
oleh Patterson. Patterson (2003) melihat Servant leadership (kepemimpinan melayani) adalah suatu
teori mengenai kebajikan atau kesalehan (Virtuous Theory). Kebajikan atau kesalehan adalah
karakteristik kualitatif yang merupakan bagian dari karakter seseorang, sesuatu yang ada di dalam diri
seseorang yang bersifat internal, atau yang lebih ditekankan disini yakni bersifat spritual atau rohaniah
atau batiniah. Teori kebijakan atau kesalehan (Virtue Theory) menunjukan ide dalam melakukan
hal-hal yang tepat dengan fokus pada karakter moral, dan mencari hal-hal yang tepat dilakukan
dalam situasi tertentu. Kesalehan atau kebajikan berharga bagi kepemimpinan karena berfokus pada
kebaikan bersama, bukan pada maksimal keuntungan, karena itu mendapat tempat dalam
kepemimpinan61
. Model teoritis yang dibuat oleh Patterson (2003) mengenai servant leadership
(kepemimpinan melayani), terdiri dari tujuh konstruk kebijakan atau kesalehan62
, yaitu:
(a) Kasih yang murni atau Agape (Agape Love), menurut Patterson merupakan landasan
hubungnan kepemimpinan dan pengikut adalah Kasih Agape. Menurut Dennis dan Bocarnea
(2006) kasih agape artinya mengasihi dalam arti sosial atau moral. Menurutnya Kasih ini
menyebabkan pemimpin untuk menggap setiap orang tidak hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan, tetapi sebagai orang pelengkap antara kebutuhan dan keinginan. Lebih
lanjut menurutnya ”lakukan kepada orang lain seperti yang anda inginkan kepada orang
tersebut lakukan kepadamu” terapkan untuk semua. Servant leadership (kepemimpinan
melayani) benar-benar peduli untuk orang lain dan tertarik dalam kehidupan pengikutnya63
.
59
Ibid., 19-20. 60
Ibid., 20. 61
Dirk van Dierendonk dan Kathleen Patterson (Editor), Servant Leadership…., 67-76. 62
Ibid.,170. 63
Ibid.,171.
41
(b) Kerendahan Hati (Humility), menurut Sandage dan Wiens (2001) dalam tulisan
Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kemampuan untuk menjaga sebuah sebuah
prestsi dan talenta dalam prespektif. Ini berarti berlatih penerimaan diri, tetapi selanjutnya
meliputi praktek kerendahan hati yang sejati, yang berarti tidak menjadi berfokus pada diri
sendiri melainkan berfokus pada orang lain. Swindoll (1981) dalam tulisan Dennis dan
Bocarnea (2006) berpendapat bahwa kerendahan pelayan tidak boleh disamakan dengan
miskin harga diri, melainkan bahwa kerendahan hati adalah sejalan dengan ego yang sehat.
Dengan kata lain, kerendahan hati bukan berarti memiliki rendahnya pandangan terhadap
diri sendiri atau nilai diri seseorang, melainkan berarti melihat sesorang tidak lebih baik
atau buru daripada yang lainnya. Servant leadership (kepemimpinan melayani) melihat
kerendahan hati sebagai cerminan akurat dari penilain diri dan karena itu, memelihara
fokus pada rendah diri (Tangney: 2000)64
.
(c) Mengutamakan orang lain (altruism), tulisan Kaplan (2000) menyatakan bahwa altruism
adalah membantu orang lain tanpa pamrih, yang melibatkan pengorbanan pribadi, meskipun
tidak ada keuntungan pribadi. sementara Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip tulisan
Eisenberg (1986) mendefenisikan perilaku altruistik sebagai perilaku sukarela yang
dimaksudkan untuk menguntungkan pihak lain dan tidak dimotivasi oleh harapan eksternal yakni
penerimaan imbalan atau pahala. Bagi Johnson (2001) dalam tulisan Dennis dan Bocarnea
(2006) yang berpendapat bahwa altruism merupakan perspektif etika. Menerapkan teori
kognisi sosial untuk menjelaskan altruism, yang berfokus pada faktor-faktor identitas, persepi
diri, cara pandangan, dan empati. Lebih lanjut Monroe (1994) mengutip pendapat yang
dikemukakan oleh Dennis dan Bocarnea (2006) mendefenisikannya sebagai perilaku yang
dimaksukan untuk mendatangkan keuntungan yang lain, bahkan melakukannya mungkin
beresiko atau memerlukan pengorbanan untuk kesejahteraan orang lain65
.
(d) Visi (Vision), Blanchard (2000) mendefinisikan visi sebagai ”Gambaran masa depan
yang menghasilkan gairah”, selanjutnya dijelaskan bahwa visi diperlukan untuk
kepemimpinan yang baik. Demikian Laub (1999) menemukan bahwa visi bersama membangun
orang lain (memberdayakan mereka) dan melayani kebutuhan orang lain (melayani mereka).
Menurut Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa servant leadership (kepemimpinan
melayani) harus bermimpi sambil tetap berada di masa lalu dan fokus pada masa depan,
karena ini memungkinkan pemimpin untuk mengambil keuntungan dari peluang masa kini.
Berkaitan visi dan kerendahan hati Dennis dan Bocarnea (2006) mengutip pendapat yang
dikemukakan oleh Buchan (2002) menyatakan bahwa kepemimpinan yang melayani tidak
mementingkan diri sendiri, memungkinkan ego pemimpin dengan mendapatkan cara
kemampuannya dalam membayangkan masa depan organisasi66
.
(e) Percaya (Trust), kepercayaan adalah karakteristik penting dari servant leadership
(kepemimpinan melayani). Model tersebut kebenaran servant leadership (kepemimpinan
melayani) dalam cara melatih, memberdayakan dan mempengaruhi. Kepercayaan ini ada
sebagai elemen dasar untuk suatu kepemimpinan sejati. Menurut Russell (2001) dalam
tulisan Dennis dan Bocarnea (2006) dinyatakan bahwa nilai-nilai integritas dan kejujuran
membangun kepercayaan interpersonal, organisasi dan menyebabkan kredibilitas; kepercayaan
ini sangat penting dalam servant leadership (kepemimpinan melayani), dan selalu hadir sebagai
faktor penting yang merupakan pusat kepemimpinan. Selain itu Melrose (1998)
sebagaimana dikutip dalam Dennis dan Bocarnea (2006) menyatakan bahwa para pemimpin
melakukan apa yang dikatakan, yang menimbulkan kepercayaan. Keterbukaan seorang
64
Ibid. 65
Ibid. 66
Ibid.
42
pemimpin untuk menerima masukan dari orang lain meningkatkan kepercayaan pada
seorang pemimpin. Pengikut lebih cenderung mengikuti pemimpin dengan perilaku yang
konsisten, dapat dipercaya dan dapat langsung terhubung dengan aspirasi pengikutnya67
.
(f) Pemberdayanaan (Empowerment), Pemberdayaan adalah mempercayakan kekuasaan
kepada orang lain, dan untuk servant leadership (kepemimpinan melayani) menyangkut
mendengarkan secara efektif, membuat orang merasa penting, menempatkan penekanan
pada kerja sama tim, menghargai cinta dan kesetaraan (Russell dan Stone, 2002). Covey
(2002) berpendapat bahwa pemimpin berfungsi sebagai contoh untuk memberdayakan orang
lain dan untuk menilai perbedaan pengikutnya. Mcgee-Cooper dan Trammell (2002)
sebagaimana dikutip dalam Dennis dan Bocarnea (2006) berpendapat bahwa memahami
asumsi dasar dan latar belakang informasi tentang isu-isu penting pemberdayakan masyarakat
untuk menemukan makna lebih dalam pekerjaan dan untuk berpartisipasi lebih lengkap
dalam pengambilan keputusan yang efektif. Bass (1990) sebagaimana dikutip dalam Dennis
dan Bocarnea (2006) mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah pembagian kekuasaan
dengan pengikut dalam perencanaan dan pengambilan keputusan68
.
(g) Pelayanan (Service). Tindakan melayani meliputi misi tanggung jawab kepada orang
lain (Dennis dan Bocarnea: 2006). Pemimpin memahami bahwa pelayanan adalah pusat
servant leadership (kepemimpinan melayani). Model servant leadership (kepemimpinan
melayani), melayani sesamanya dalam perilaku, sikap, dan nilai-nilai. Menurut Block
(1993) sebagaimana dikutip dalam tulisan Dennis dan Bocarnea (2006), pelayanan adalah
segalanya. Orang-orang bertanggung jawab kepada siapa yang dilayani apakah itu bawahan
atau pengikutnya. Greenleaf (1996) mengemukakan bahwa bagi para pemimpin untuk
melayani orang lain, harus memiliki rasa tanggungjawab69
.
Patterson (2003) menjadikan kasih sebagai karakteristik dari Servant leadership
(kepemimpinan melayani) yang paling mendasar atau utama, dan diakhiri dengan pelayanan. Model
yang dibuat Patterson, sesuai dengan ajaran Yesus, yaitu hukum yang kedua, yang sama
pentingnya dengan hukum yang terutama, adalah mengasihi sesama manusia. Sebagai orang yang
mengasihi sesama manusia dengan baik dan penuh kasih. Dalam kerangka karakteristik ini diawali
dengan Kasih sebagai karakteristik dasar servant leadership (kepemimpinan melayani), dan diakhiri
dengan motivasi untuk melayani sesama, sebagai akibat yang timbul dari sikap mengasihi tersebut70
.
Patterson memakai teori Maslow bahwa, salah satu kebutuhan manusia adalah dikasihi atau
dicintai. Kasih dapat memberikan dorongan yang kuat pada diri sesorang untuk berbuat sesuatu. Jadi
servant leadership (kepemimpinan melayani) juga perlu memimpin bahwahannya dengan Kasih atau
67
Ibid., 172 68
Ibid. 69
Ibid. 70
Ibid., 67-76
43
cinta. Sebetulnya dasar dari konsep servant leadership (kepemimpinan melayani), adalah konsep
kasih atau cinta kepada sesama, khususnya kepada para bawahannya. Hal ini perlu ditumbuhkan
pada para pemimpin, agar seorang pemimpin menumbuhkan potensi yang ada pada bawahannya
dengan lebih baik lagi, yaitu dengan mengasihi, mengembangkan dan melayani bawahan-nya, serta
mengajar bawahannya untuk kembali mengasihi orang lain dan mau mengembangkan serta
melayani orang lain dengan lebih baik lagi71
.
Pendapat lain datang dari Sendjaya72
, yang mendeskripsikan karakter pemimpin yang perlu
dimiliki oleh seorang pemimpin yang melayani dan secara konseptual dikelompokkan dalam
enam dimensi, antara lain:
a) Kesadaran Diri sebagai Pelayan (Voluntary Subordination), Pemimpin
memprioritaskan kepentingan dan kebutuhan individu lain diatas kebutuhan diri sendiri.
Seorang pemimpin pelayan memiliki kencederungan untuk melayani orang lain daripada
dilayani. Dengan memandang dirinya sebagai pelayan, maka para pemimpin pelayan
melayani orang lain tanpa pandang latar belakang. Kepemimpinan yang melayani
menggunakan kuasa untuk melayani orang lain bukan ambisinya sendiri, sebab
kekuasaan dipandang hanyalah ala untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Kekuasaan
bukan tujuan, tetapi pada prinsipnya, kekuasaan, dalam pengertian jabatan formal, tidak
menjadi sangat menentukan bagi krdibilitas seorang pemimpin. Ia dapat melayani dalam
posisi apapun, namun kesempatan melayani dari posisi kekuasaan yang lebih tinggi
memberikan kesadaran padanya untuk melayani dengan kualitas yang lebih baik.
Pemimpin melayani dengan menunjukkan rasa keperduliannya melalui tindakan
konkrit sebagai seorang pelayan.
71
Ibid. 72
Ibid., 40-42.
44
b) Pribadi yang Otentik (Authentic Self), Pemimpin melakukan setiap tindakan
didasarkan pada kerendahan hati. Pemimpin memiliki pandangan ke depan,
sehingga pemimpin telah mempertimbangkan setiap konsekuensi untuk setiap
perencanaan. Diri yan otentik di sini berhubungan dengan transparansi yaitu keterbukaan
diri yang otentik tentang perasaan, keyakinan, dan tindakan seorang pemimpin kepada
para pengikutnya, sehingga muncul kerendahan hati yang memungkinkan integritas,
dapat dipercaya, bertanggungjawab dan dapat diandalkan.
c) Covenantal Relationship, dalam hal hubungan dengan individu lain, pemimpin
mampu menerima individu lain sebagaimana dirinya, dengan kelebihan serta
kekurangan dari individu tersebut. Pemimpin memperlakukan individu lain sebagai rekan
kerja dibandingkan bawahan. Pemimpin memberikan waktu untuk membangun
hubungan secara profesional dengan individu lain. Pemimpin melibatkan individu
lain dalam setiap keputusan serta perencanaan. Dimensi ini ditandai dengan adanya sikap
penerimaan, keseimbangan, kebergunaan, dan kolaborasi.
d) Responsible Morality, pemimpin membawa individu lain untuk bekerja dengan
adanya tujuan moral, sehingga individu memiliki rasa kepemilikan atas apa yang ia
kerjakan. Pemimpin mengajak individu untuk bekerja dengan cara yang benar,
bukan hanya dengan cara yang terlihat baik. Dalam dimensi ini pemimpin yang
melayani tidak bersifat memperbolehkan, tetapi selalu menetapkan standar tinggi dalam
keberadaan dan perbiatan.
45
e) Trancendent Spirituality, pemimpin melakukan hal dengan suatu tujuan yang lebih
dari sekedar pencapaian pribadi, melainkan untuk Tuhan dan individu lain.
Pemimpin membantu para pengikut untuk menemukan tujuan hidup selain dari
menyelesaikan suatu pekerjaan dengan baik. Pemimpin membantu individu lain
untuk menemukan rasa kebermaknaan dari kehidupan sehari-hari pada pekerjaan.
Pemimpin memberikan suatu nilai kepada para pengikut yang tidak berfokus pada
materi dan diri sendiri.
f) Transforming Influence, pemimpin akan memastikan setiap individu dalam
organisasi memegang visi yang dibagikan bersama. Pemimpin mengijinkan para
pengikut untuk mengekspresikan diri dan menuangkan kreativitas, tanpa harus
memaksa mereka mengikuti cara dari pemimpin dan tidak merasa takut untuk
mencoba. Pemimpin menjadi teladan dari pengaruh yang dibawa. Pemimpin
memberikan timbal balik kepada para pengikut atas peforma dari individu.
6 dimensi karakter dari pemimpin yang melayani, yang telah dijelaskan di atas, secara ringkas
diuraikan dalam gambar berikut ini:
46
Gambar 2.1. Enam Dimensi Karakter Pemimpin yang Melayani
Being a servant Voluntary
subordination
Acts of servive
Humility
Authentic self Integrity
Security
Accountability
Vulnerability
Availability
Acceptance
Covenantal
relationship Equality
Collaboration
Moral action
Responsible
morality
Moral reasoning
Religiousness
Transcendental
spirituality Sense of mision
Interconnectedness
Wholeness
Vision
Transforming
influence Mentoring
Modelling
Trust
Empowerment
47
2.2. PENDETA
2.2.1. Pendeta sebagai Pemimpin yang Melayani
Kata pendeta diambil dari kata “Pasteur, Pastor” (bahasa latin dari kata gembala). Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendeta didefinisikan sebagai orang pandai, pertapa
(dalam cerita-cerita kuno), pemuka, pemimpin atau guru agama73
. Kata ‟Pendeta” sendiri tidak
ditemukan dalam Alkitab. Alexander Strauch menyebutkan bahwa kata Pendeta diambil
dari luar kekristenan untuk memberikan nama kepada seorang gembala tunggal atau senior
yang berkuasa74
. Jadi secara umum, berdasarkan pemahaman tersebut maka pendeta dipahami
sebagai sebutan bagi pemimpin agama.
Walaupun Pendeta adalah pemimpin, namun menurut pernyataan LCA (Gereja Lutheran
di Australia), jabatan kependetaan tidak berarti bahwa mereka yang memegangnya mempunyai
kuasa yang sewenang-wenang atas orang Kristen lainnya75
. Disamping pendeta sebagai
pemimpin dalam jabatan gerejawi, namun jabatan kependetaan seharusnya tidak dipandang dan
dihayati hanya sebagai jabatan pribadi yang dimiliki pendeta tanpa memperdulikan makna tugas
pelayan yang diemban di dalamnya.
Menurut Dahlenburg, posisi pendeta dalam jemaat sesungguhnya adalah pelayan yang
tidak lebih tinggi dari pada kaum awam, dengan kata lain Pedeta adalah pelayan di antara
pelayan-pelayan lain76
. Hal tersebut didasarkan pada pemahaman bahwa panggilan sebagai
seorang Kristen adalah panggilan untuk melayani. Walaupun ada pelbagai karunia yang berbeda,
73
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 747 74
Alexander Strauch, Manakah Yang Alkitabiah: Kepenatuaan atau Kependetaan (Yogyakarta: Andi,
1992), 179 75
G.D.Dahlenburg, Siapakah Pendeta Itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 10. 76
Ibid., 9.
48
namun karunia itu bukanlah alat pengukur tingkat dan status umat Allah, karena di hadapan
Allah derajat semua umat-Nya sama77
.
Selanjutnya dijelaskan bahwa pelayanan kependetaan adalah suatu pelayanan yang umum
dan resmi. Luther menyatakan bahwa, “Kalau kita orang Kristen, maka kita semua adalah
pendeta. Tetapi pendeta-pendeta yang kita panggil adalah pelayan-pelayan yang kita panggil
untuk melayani atas nama kita dan jabatan mereka sebagai pendeta merupakan suatu pelayan
saja.”78
Karena tidak semua orang mampu dan boleh berkhotbah, mengajar, memimpin,
maka harus ada orang yang dipercayakan dan diutus dengan doa dan penumpangan tangan di
hadapan Tuhan dan jemaatnya yang kemudian memegang jabatan sebagai pendeta. Dalam
menjalankan tugasnya bukan untuk kepentingan jabatan tersebut melainkan untuk melayani
semua anggota yang lain79
. Lebih lanjut ditegaskan oleh Dahlenburg bahwa pendeta itu harus
berbicara sebagai seorang pelayan kepada pelayan-pelayan lain; sebagai seorang berdosa kepada
orang-orang berdosa80
.
Penekanan yang terpenting dari pemahan-pemahan yang berkaitan dengan jabatan
kependetaan yang telah dijelaskan adalah pendeta seharusnya menjadi pemimpin yang melayani.
Pendeta tanpa menyadari posisinya sebagai pelayan maka itu bukan pendeta, karena pada
hakikatnya jabatan kependetaan adalah suatu pelayanan kepada Tuhan melalui sesama dan bukan
jabatan pribadi yang dimiliki pendeta. Jabatan kependetaan bukan semata tentang posisi sebagai
pemimpin, melainkan lebih dari itu fungsi sebagai pemimpin yang melayani. Jadi seorang
pendeta adalah seorang pelayan. Ketika dia melayani dan tidak berorentasi pada kepentingan
pribadi maka dia disebut pemimpin yang melayani.
77
Ibid.,8. 78
Ibid., 9. 79
Ibid. 80
Ibid.,10.
49
2.3. ETNIS TIONGHOA
2.3.1. Konsep tentang Etnis dan Kelompok Etnis
Dalam pemahaman tentang etnis (ethinic) akan ditemukan adanya hubungan dengan
kelompok sosial dalam kelompok sistem sosial atau kebuadayaan yang mempunyai arti atau
kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama bahasa, dan seterusnya81
. Etnis diartikan
sebagai seuatu yang terkait pada segolongan rakyat atau suku atau suatu bangsa yang dianggap
masih ada hubungan biologis. Etnis juga digunakan untuk menendai suatu golongan atau suku
atau bangsa yang merupakan bagian keseluruhan umat manusia di dunia82
.
Selain itu terdapat pendapat dari Smith, yang mendefenisikan etnis (ethinic) sebagai berikut:
Ethinics are in turn defined as named units of population with common ancestry myths and
historical memories, element of shared culture, some link with a historic territory and some
measure of solidarity, at least among their elites83
. (Etnis pada gilirannya didefenisikan
sebagai unit yang bernama populasi dengan mitos nenek moyang yang sama dan kenangan
sejarah yang sama, unsur budaya bersama, adanya keterkaitan yang sama dengan wilayah
bersejarah, dan beberapa ukuran solidaritas, setidaknya di antara elite mereka).
Dari defenisi di atas dapat dipahami adanyapenekanan Smith pada keseragaman tipologi
masyarakat secara universal dengan kesamaan yang berlatar belakang mitos tentangf kesamaan
nenek moyang dan sejarah, kesamaan budaya, adanya keterkaitan sejarah mendiami wilayah
yang sama, serta adanya rasa solidaritas terhadap sesame mereka yang setidak-tidaknya setia
terhadap pemimpin/tokoh mereka. Berkaitan dengah hal tersebut, terdapat juga pengertian dari
kelompok etnis yang dijelaskan oleh Schermerhorn. Ia menjelaskan pengertian kelompok etnis
sebagai berikut:
81
Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka 2005), 309. 82
Pringgodigdo, Ensiklopedia Umum (Yogyakarta: Kanisius,1973), 316. 83
Anthony D. Smith, Nation and Nationalism in a Global Era (Cambridge United Kingdom: Polity Press, 1995),57.
50
Suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau
digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang
sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau beberapa elemen
yang simbolik itu seperti pola keluarga, ciri-ciri fisik, afiliasi agama dan kepercayaan,
bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionaitas, atau kombinasi dari sifat-sifat
yang tersebut di atas. Pada dasarnya di dalam kelompok tersebut terdapat sejenis tali
pengikat antar anggotanya sebagai suatu kelompok84
.
Tentang defenisi kelompok etnis penulis juga merujuk defenisi yang dijelaskan oleh Smith
berikut ini:
An ethnic group (or ethnicity) is group of people whose members identify with each other,
through a common heritage, consisting of a common language a common culture (often
including a shared religion) and a tradition of common ancestry (corresponding to a history
of endogamy). Members of an ethnic group are conscious of belonging to an ethnic group:
moreover ethnic identity is further marked by the recognition from others of a group’s
distinctiveness85
. (Sebuah kelompok etnis (atau etnis) adalah sekelompok orang yang
anggotanya mengidentifikasi satu sama lain, melalui warisan bersama, yang terdiri dari bahasa
yang sama, sebuah kebudayaan umum (sering termasuk kesamaan agama) dan tradisi nenek
moyang sama ( yang berhubngan dengan sejarah endogami). Anggota kelompok etnis sadar
bahwa memiliki kelompok etnis yang sama, apalagi identitas etnis lebih lanjut ditandai oleh
pengakuan dari orang lain dari kekhasan suatu kelompok itu).
Bedasarkan defenisi tersebut maka dapat dipahami bahwa kelompok etnis menjadi
identitas pada tiap-tiap kelompok etnis yang satu dengan yang lain sekaligus menjadi faktor
pembeda yang kontras. Dengan begitu, apabila ada satu individu dari kelompok etnis yang satu
masuk ke dalam kelompok etnis yang lain maka akan sangat kelihatan perbedaan secara kontras
karena kelompok etnis sebagai identitas selamanya melekat pada individu. Pendapat lain dari
seorang sosiolog terkenal dari Jerman yang bernama Max Weber mendefenisikan kelompok etnis
sebagai berikut:
84
H.A.R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia (Jakarta:Rineka Cipta, 2007), 5. 85
Smith, 1987; Marcus Banks, Ethnicity: Antropological Constructions (London: 1996), 151.
51
Those human groups that entertain a subjective belief in their common descent because
of similarities of physical type pr of customs or both, or because of memories of
colonization and migration; this belief must be important for group formation;
furthermore it does not matter whether an objective blood relationship exists86
.
(Kelompok manusia yang memelihara keyakinan subyektif dalam keturunan bersama
mereka karena kesamaan tipe fisik atau kebiasaan atau keduanya, atau karena kenangan
kolonisasi dan migrant; selanjutnya tidak perduli apakah ada tujuanhubungan darah atau
tidak, namun kepercayaan ini harus dikedepankan untuk pembentukan kelompok).
Berdasarkan defenisi tersebut maka, kelompok etnis dapat didefenisikan kembali yaitu
kelompok etnis adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang dianggap
masih ada hubungan biologis maupun hubungan antar anggota suatu kelompok atau suku
(dominasi atau penguasaan, subordinasi atau sikap tunduk, persahabatan, saingan, dan
sebagainya) dan sifat lain menyangkut kelompok itu secara menyeluruh (besarnya kelompok,
masuk tidaknya, rasa kekitaan, rasa setia kawan dan sebagainya), yang semuanya memberikan
ciri-ciri khas pada kelompok itu dalam hubungannya dengan kelompok lain87
.
2.3.2. Identitas Etnis Tionghoa di Indonesia
Istilah Tionghoa (untuk orangnya) dan Tiongkok (untuk negaranya) mulai digunakan
oleh etnis Tionghoa sendiri dan kemudian istilah tersebut diikuti oleh kelompok lain. Istilah ini
juga diterima oleh pers dan pemerintah Indonesia sampai munculnya Orde Baru88
. Tan Chee
Beng menyatakan bahwa identitas etnis dan kultur orang Tionghoa di Asia Tenggara telah
dibentuk oleh berbagai pengalaman lokal di negara tempat mereka tinggal dalam suatu proses
86
Max Weber, Economy and Society eds. Guenther Roth and Claus Wittich, Trans. Ephraim Fischof, Vol.
2 Bekeley: University of California Press, 1978, 389. 87
M.D. La Ode, ETNIS CINA INDONESIA DALAM POLITIK: Politik Etnis Cina Pontianak dan
Singkawang di Era Reformasi 1998-2008 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), 38. 88
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia: sebuah bunga rampai, 1965-2008
(Jakarta: Kompas, 2010),193.
52
yang disebut lokalisasi89
. Identitas orang Indonesia-Tionghoa berlapis-lapis sesuai dengan
tingkat adaptasi dan akulturasi mereka dengan kondisi-kondisi setempat90
. Manifestasi
ketionghoaan yang berlainan dalam periode pemerintahan yang berbeda menunjukan bahwa
identitas itu tidak statis, tetapi dinamis dan bisa diubah serta didefenisikan kembali91
.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, dalam kaitannya dengan keberadaan orang-
orang etnis Tionghoa di Indonesia, sejak proklamasi Republik Indonesia, orang-orang etnis
Tionghoa yang hidup di Indonesia dianggap senangtiasa menimbulkan “masalah”: tetapi
“masalahnya” tidak selalu sama. Mula-mula pada zaman kolonial mereka diangap pro-Belanda
dan antinasionalisme Indonesia, eksklusif dan kerjanya hanya mencari keuntungan, kemudian
dianggap unsur komunis atau simpatisan komunis. Terakhir mereka dianggap sebagai kapitalis
dan konglomerat yang mengeruk kekayaan negara tanpa perasaan patriotisme. Indonesia telah
merdeka selama lebih dari setengah abad, tetapi masalah Tionghoa masih tidak kunjung selesai92
.
Selama rezim Orde Baru berkuasa (1966-1998), etnis Tionghoa memperoleh hak-hak
istimewa untuk mengembangkan ekonomi Indonesia (dan kekayaan mereka sendiri), tetapi
anehnya mereka dipinggirkan dan didiskriminasi dalam semua wilayah sosial: budaya, bahasa,
politik, hak masuk ke perguruan tinggi negeri, hak atas pelayanan publik dan hak untuk menjadi
pegawai negeri93
. Diskriminasi yang disengaja dan berkelanjutan ini membuat etnis Tionghoa
terus menerus merasa sebagai orang asing dan berada dalam posisi rentan untuk dimusuhi secara
kelas dan etnis94
.
89
Chang-Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto: Budaya, Politik, dan Media (Jakarta: Yayasan
Nabil. 2012), 23. 90
Ibid. 91
Ibid. 92
Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa….,184. 93
Ariel Heryanto, “Rape, Race and Reporting” dalam Arief Budiman, Barbara Hatley dan Damien
Kingsbury (eds), Reformasi: Chrisis and Change ini Indonesia (Clayton:Monash Asia Instite, Monash University,
1999), 326. 94
Chang-Yau Hoon. Identitas Tionghoa Pasca-Soeharto…., xxxi.
53
Etnis Tionghoa yang hidup di Indonesia secara stereotipikal digambarkan sebagai
makhluk ekonomi dan pembisnis kaya95
. Orang-orang etnis Tionghoa yang hidup di Indonesia
diidentikan atau dikaitkan dengan golongan yang hanya memiliki kemampuan dalam bidang
ekonomi dan bisnis. Pandangan ini diperkuat dan didukung oleh penelitian yang dilakukan, yang
mengungkapkan bahwa di Indonesia, orang-orang Tionghoa walau hanya berjumlah 3-4% di
negeri ini dari 210 juta jiwa ternyata berhasil menguasai 70% dari sektor swasta dalam
perekonomian negeri ini96
.
Secara kultural, menurut Skiner orang Tionghoa membuktikan bahwa mereka paling
cocok untuk perkembangan ekonomi. Mereka menekankan sistem nilai yang mementingkan
kerajinan, kehematan, pengendalian pada diri sendiri, semangat berusaha dan ketrampilan
ditambah pula dengan prinsip-prinsip organisasi sosial yang mudah sekali disesuaikan dan
digunakan97
.
Kelompok etnis Tionghoa di Indonesia sesungguhnya bukan merupakan kelompok yang
homogen. Secara konvensional, dari sudut budaya, orang Tionghoa terbagi atas dua kelompok
utama, yakni peranakan dan totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di
Indonesia dan umumnya sudah “terbaur”. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-
hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Sedangkan totok adalah pendatang baru, umumnya
baru tinggal di negeri ini selama satu sampai dua generasi dan masih mengusai bahasa
Tionghoa98
. Kelompok totok berorientasi ke Tiongkok, dan biasanya juga lahir di negeri
Tiongkok.
95
Ibid., xxxvii.
96
Melly G. Tan, Etnis Tionghoa Di Indonesia: Kumpulan Tulisan, ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), 274.
97
Idem, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia. 1979), vii-xix. 98
Ibid., 183
54
Dalam perkembangannya, dikotomi totok dan peranakan tidak lagi relevan dalam
merumuskan identitas etnis Tionghoa. Terutama yang harus dipertanyakan menurut Tan
adalah eksistensi Tionghoa totok. Dikotomi identitas tersebut dibentuk oleh fakta sejarah
emigrasi orang-orang Tionghoa yang terpaksa bercampur dengan penduduk lokal karena
minimnya wanita-wanita dari Cina yang beremigrasi ke Indonesia. Gelombang demi
gelombang emigrasi yang kemudian masuk, serta perkembangan politik Indonesia pra
kemerdekaan membentuk identitas Tionghoa dalam dua identitas yang saling
berseberangan.99
Oleh karena itu, identitas etnis Tionghoa perlu didefinisikan di luar
dikotomi totok dan peranakan. Pertanyaannya: apakah mungkin memunculkan satu identitas
Tionghoa yang sama sekali lepas dari dua istilah dasar tersebut?
Di Indonesia, untuk mengenal orang-orang etnis Tionghoa sendiri sering ditandai dengan
ciri fisik yang sangat mudah diidentifikasi, misalnya melalui wajah, mata, dan warna kulit100
.
Penampilan fisik yang berbeda seperti warna kulit lebih terang, bermata sipit, berambut lurus,
bertulang pipi lebih menonjol dibandingkan dengan kaum Pribumi,101
sering menjadi dasar
stereotip.
Dalam penemuan Lasiyo, dijelaskan bahwa etnis Tionghoa tidak dapat melepaskan diri
dari warisan leluhur mereka, terutama dalam hal orientasi agama. Meski menganut agama
baru, namun orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia masih mempraktikkan agama asli
mereka. Penerimaan agama baru bagi mereka hanyalah bentuk adaptasi dengan lingkungan
sekitar102
.
99
Melly G. Tan. Etnis Tionghoa Di Indonesia…,166. 100
Menurut Rahoyo (2010:138), dari ciri fisik sebenarnya cukup mudah untuk mengidentifikasi
seseorang apakah Tionghoa atau bukan. 101
Gondomono, Membanting Tulang Menyembah Arwah: Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina
(Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996),1. 102
Situasi ini menurut Tan (1991:123) dipertegas oleh sebuah riset di Solo yang menunjukkan bahwa
55
Senada dengan temuan tersebut, Tjhin mengatakan bahwa kesuksesan orang-orang
Tionghoa memang sangat dipengaruhi oleh latar belakang sejarah mereka, terutama nilai-
nilai sosial kultural yang berakar pada konfusianisme, tanggung jawab terhadap keluarga,
dan pemanfaatan sumber daya dan akumulasi modal. Situasi ini menurut Thjin menjadi
faktor penting yang mempengaruhi bisnis etnis Tionghoa. Orientasi kekerabatan etnis
Tionghoa sebagai simbol familisme dijaga dengan kuat sehingga tidak mengherankan jika
mereka loyal terhadap negeri leluhur mereka103
.
Pedapat lain dari Suryadinata, cara utama yang digunakan olehnya, dalam membahas
identitas etnis Tionghoa adalah bagaimana mengidentifikasi etnis Tionghoa dengan memperjelas
istilah-istilah utama yang selama ini banyak dipergunakan. Kategori-kategori identifikasi
etnis Tionghoa yang lazim digunakan seperti ras, bahasa, dan agama dikritik oleh
Suryadinata karena menurutnya tidak relevan dengan kenyataan bahwa banyak orang
Tionghoa Indonesia yang memiliki latar belakang ras campuran, tidak dapat berbahasa Cina, dan
bukan penganut agama Cina. Kategori identifikasi diri misalnya dengan cara mengidentifikasi
nama keluarga Tionghoa menurut Suryadinata juga tidak relevan karena adanya kebijakan resmi
negara untuk mewajibkan orang-orang Tionghoa mengganti nama menjadi khas Indonesia104
.
Analisis yang selama ini dianggap paling memadai mengenai identitas etnis
Tionghoa adalah analisis Gungwu 105
. Gungwu106
mengatakan bahwa identitas Tionghoa saling
totok lebih banyak menjadi muslim ketimbang orang-orang peranakan. Ketika orang-orang peranakan ditanya
mengenai fenomena ini, umumnya mereka mengatakan bahwa konversi agama orang-orang totok ke Islam hanya
untuk mempermudah urusan bisnis mereka. 103
Tjhin, Christine Susanna, 2007. The Chinese Indonesians‟ Role in Substantiating Sino-Indonesia
Strategic Partnership dalam The Indonesian Quarterly, Jurnal CSIS Vol. 35 No. 4 Fourth Quarter 2007, 335. 104
Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Diterjemahkan oleh Wilandari Supardan, ( Jakarta.
Grafiti Press 1984), xvii. 105
Mely G. Tan, The Ethnic Chinese in Indonesia: Issues of Identity dalam Ethnic Chinese as
Southeast Asians, Editor Leo Suryadinata, Institute of Southeast Asian Studies dan Allen & Unwin, Pasir
Panjang dan New South Wales. 1997, 39.
56
tumpang tindih, berubah dari waktu ke waktu, saling menyilang, dan selalu tidak bisa dilepaskan
dari pencampuran identitas. Menurut Gungwu 107
, ada tujuh identitas etnis Tionghoa yang
dapat diidentifikasi, yaitu:
a. Identitas sejarah
Berkaitan dengan sejarah masa lalu orang-orang Tionghoa dan terbentuk umumnya
sebelum perang dunia kedua. Identitas ini membungkus konsep dengan identitas budaya.
b. Identitas nasionalis China
Berkaitan dengan orientasi sebagian kelompok terhadap nasionalisme di China yang
bangkit pada awal tahun 1900-an. Identitas ini menurut Gungwu sudah sangat tipis
untuk tidak mengatakannya sudah tidak ada.
c. Identitas komunal
Identitas ini bersifat jejaring kuat dan menurut Gungwu dapat dijumpai di Malaysia.
Identitas ini dapat berubah menjadi identitas etnis.
d. Identitas nasional (lokal)
Identitas ini berkaitan dengan identitas diri sebagai warganegara dimana mereka
berada. Identitas ini umumnya dipegang oleh orang-orang yang berada di wilaya Asia
Tenggara.
e. Identitas budaya
Identitas ini diserap dari tradisi identitas sejarah dan merupakan identitas yang paling
lentur.
106
Wang Gungwu, The Study of Chinese Identities in Southeast Asia dalam Changing Identities of
The Southeast Asian Chinese since World War II, Editor Jennifer Cushman dan Wang Gungwu, (Hong Kong
,Hong Kong University Press, 1988),1-16. 107
Ibid., 9.
57
f. Identitas etnis
Identitas etnis pada dasarnya mengoreksi identitas budaya dalam hal orisinalitas ras
dan lebih spesifik menyangkut gagasan dari tujuan politik dalam rangka mencapai
legitimasi hak-hak minoritas. Konsep ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari
dunia luar.
g. Identitas kelas
Identitas ini sangat tergantung pada persilangan batas-batas etnis yang tumbuh
sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan dalam waktu yang lama. Pada titik ini, menurut
Gungwu, identitas menjadi sangat tergantung dengan keadaan, termasuk elemen di luar
Tionghoa itu sendiri
2.4. GEREJA ALIRAN PENTAKOSTA
Gerakan keagamaan aliran Pentakosta108
muncul pada awal abad XX, di Amerika Serikat.
Gerakan keagamaan ini disebut aliran pentakosta, sebab kelahirannya dilatarbelakangi oleh
kerinduan orang-ornag Kristen untuk memperoleh pengalaman rohani seperti yang terjadi dalam
peristiwa pentakosta yang tertulis dalam Kisah Para Rasul khususnya pasal 2 (dua).
Baptis Roh Kudus, menjadi penting dan mendapat perhatian lebih besar. Pengalaman
rohani melalui baptis Roh Kudus dan kepenuhan Roh Kudus dengan tanda berbicara dalam
bahasa Roh menjadi penting. Disamping perhatian pada karya Roh Kudus melalui baptisan dan
kepenuhan Roh Kudus, indolator lainnya yang menunjukan bahwa suatu gereja termasuk dalam
kelompok aliran pentakosta adalah suasana kebaktian. Suasana kebaktian aliran pentakosta
108
Istilah yang digunakan dalam Tesis ini adalah pentakosta, bukan pantekosta Pemakaian istilah
pentakosta, menurut penulis lebih sesuai dengan bunyi kata aslinya yaitu pentakoste, yang berarti hari kelimapuluh.
Namun untuk menyebut nama gereja, istilah pentakosta digunakan. Bdk. Tapilatu, Gereja-Gereja Pentakosta di
Indonesia (Jakarta, Tesis Magister Teologi, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1982), vi-vii.
58
berbedadengan suasana kebaktian dalam gereja Roma Katolik maupun Gereja Protestan.
Nyanyian dinyayikan dengan penuh semangat dan diulang berkali-kali, penuh kegemebiraan dan
emosional, diiring dengan musik yang meriah, senangtiasa disertai sorakan dan teriakan
haleluya, tepuk tangan yang meriah mengiringi lagu pujian, serta doa yang dinaikan dengan
suara keras dan nyaring dan diikuti oleh seluruh anggota jemaat.
Setengah abad kemudian, muncul gerakan keagamaan yang memiliki cirri khas yang
hampir sama dengan gerakan pentakosta, sehingga disebut aliran Pentakosta baru, kemudian
lebih dikenal aliran Kharismatik. Maksud dan tujuan gerakan ini adalah “memberikan kepada
anggota-anggota jemaat suatu penghayatan iman yang intensif atau, seperti yang dikatakan oleh
pengikut-pengikutnya suatu penghayatan iman yang lebi intensif atau seperti yang dikatakan
oleh pengikut-pengikutnya suatu penghayatan baru dari peristiwa pentakosta”109
.
Dalam perkembangan selanjutnya aliran pentakosta maupun pentakosta baru,
berkembang bersama saling menyatu, sehingga pada saat ini cukup sulit untuk membedakan.
Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan gereja aliran pentakosta adalah gereja yang angota
terdiri dari penganutnya aliran pentakosta maupun pentakosta baru (kharismatik)
2.4.1. Ciri-ciri Gereja Aliran Pentakosta
Embrio aliran Pentakosta adalah gerakan kesucian. Gerakan kesucian muncul di dalam gereja
dan menjadi bagian dari gereja. Dalam perkembangan selanjtnya, aliran pentakosta berkembang,
dan memisahkan diri dari gereja, dengan membentuk suatu dominasi gereja. Aliran pentakosta
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
109
Abineno, Gerakan Pntakosta dan Gerakan Pentakosta Baru, dalam Gerekan Kharismatik Apakah Itu,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982), 290.
59
a. Pandangan terhadap Alkitab Biblisistis, Fragmentaris dan Fundamentalis.
Sebagai geraka yang mewarisi semangat revivalis, maka aliran pentakosta cenderung untuk
mempergunakan Alkitab sebagai satu-satunya sumber, termasuk dalam menggunakan pandangan
teologinya”110
. Pemikiran dan pandangan teologinya dari bapak-bapak gereja, tradisi gereja dan
sejarah gereja kurang mendapat perhatian. Injil dipahami sesuai dengan apa yang tertulis, dan
menghindari segala macam bentuk penafsiran terhdap Alitab dengan bantuan berbagai macam
hasil penemuan dari hasil penelitian. Dalam bentuk yang lebih ekstrem, misalnya dalam ibadah,
usaha yang dilakukan adalah meniru seperti apa yang tertulis dalam Alkitab111
. Alkitabiah
dipahami sebagai usaha melakukan suatu tindakan yang sama persis yang tertulis dalam Alkitab.
Alkitab dipahami tidak secara menyeluruh dan komprehensif. Pemahaman yang dilakukan
cenderung menekankan bagian ayat/perikop Alkitab, yang mendukung pandangan ajaran serta
norma-norma yag dianggap palig benar. Bagian Alkitab yang mendapat tekanan dan pokok
perhatian misalnya masalah kepenuhan Roh Kudus dan manifestasinya karunia-karuania Roh
Kudus, mujizat-mujizat, pembenaran, penyucian, dan eskatologis112
.
Pandangan terhadap Alkitab termasuk fundamentalis. Aliran pentakosta berusaha menolak
setiap bentuk kritik terhadap Alkitab. “ Alkitab adalah Firman Allah yang diIlhami dan isinya
merupakan penyataan ilahi yang sempurna. Oleh sebab itu Alkitab tidak mungkin salah atau
keliru”113
. Maka aliran pentakosta menolak bentuk kritik teks. Menurut golongan aliran
110
M. Tapila, Gereja-gereja Pentakosta di Indonesia, Thesis, Program Pascasarjana, STT Jakarta, Jakarta 1982, 13. 111
Ibid. 112
Ibid. 113
Ibid.,14.
60
pentakosta, kritik teks, berarti “menyangkali kebenaran-kebenaran fundamental yang merupakan
kebenaran-kebenaran yang menentukan sekaligus merupakan keunikan Kristen114
.
Yang dimaksudkan kebenaran-kebearan tersebut antara lain: “ketidak-salahan Alkitab, ke-
Allahan dari Yesus, kelahiran Yesus dari anak dara, imbalan atas pertobatan, kebangkitan daging
dan kedatangan Kristus kembali dalam tubuh yang utuh115
”. Alkitab sudah sangat jelas, sehingga
tidak perlu dipahami dengan menggunakan penafsir, apa yang tertulis, yang harus dipercayai,
demikian menurut pandangan aliran pentakosta.
b. Bentuk Ibadah bebas, tanpa liturgi yang ketat.
Ibadah yang dilakukan oleh aliran pentakosta tidak diatur dengan litugi yang ketat seperti
yang dilakukan dalam gereja-gereja aliran utama. Maka, “suasana di dalam ibadah nampaknya
lebih bebas, misalnya dalam liturginya situasi selama ibadah, pakaian pendeta dan lain-lain”116
.
Pemimpin ibadah dan pemimpin pujian-pujian, tidak memimpin berdasarkan liturgi tertentu,
tetapi sesuai dengan kebutuhan. Hal ini didasarkan pada kepercayaan bahwa “Roh Kudus yang
akan bekerja dan menentukan sepenuhnya di dalam ibadah117
.
Demikian juga pendeta yang berkhotbah. Pendeta berkhotbah sesuai dengan keinginan Roh
Kudus, sehingga dapat terjadi pendeta khotbah tidak sesuai dengan nats yang dipersiapkan.
Persiapan yang matang dan tertib “secara keseluruhan maupun tidak langsung akan membatasi
pemimpin Roh Kudus kepada pengkhotbah terutama tentang apa yang akan dikatakan. Bahkan
kadang-kadang khotbah tidak perlu dipersiapkan sama sekali terlebih dahulu”118
. Pada akhirnya
114
Ibid. 115
Ibid. 116
Ibid.,105. 117
Ibid.,12. 118
Ibid., 109.
61
ibadah sering disertai dengan tantangan terhadap jemaat yang mengalami berbagai masalah, baik
sakit penyakit, masalah keuangan, masalah pekerjaan, masalah keluaga dan kadang disertai
dengan altar call119
.
c. Kebaktian Kebangunan Rohani
Sebagai pewaris dari kegiatan revival, kegiatan kebangunan rohani merupakan kegiatan yang
sangat menonjol gereja aliran pentakosta. Kabaktian kebangunan rohani diselenggarakan secara
berkala oleh jemaat-jemaat lokal, ada yang tiap tiga bulan sekali, bahkan ada yang setiap bulan
sekali”120
.
Disamping kebangunan rohani diselenggarakan oleh gereja lokal, juga ada kebangunan
rohani yang diselenggarakan secara bersama-sama dengan menggunakan tempat umum
misalnya, lapangan olahraga, restoran, hotel , tempat-tempat pertemuan yang lain. Program
kegiatan kebangunan rohani sangat menonjol dalam gereja aliran pentakosta disebabkan karena,
“kebangunan rohani dilihat sebagai suatu yang terbaik untuk pembangunan umat121
”.
d. Menekankan Kesucian Hidup
Kesucian hidup iman jemaat menjadi masalah yang penting. Pertobatan dan kesucian harus
seangtiasa dilakukan. “Kesucian merupakan buah dari kelahiran baru, sehingga kesucian
merupakan satu-sautunya jalan bagi orang yang sudah dilahirkan kembali”122
. Kegiatan-kegiatan
ibadah rutin di gereja maupun dalam bentuk kebaktian kebangunan rohani, merupakan cara yang
dilakukan jemaat untuk hidup dalam kesucian. Kegiatan yang dianggap tidak rohani, sehingga
kurang mendapat perhatian. Kesucian yang dipraktekkan kadang sampai dalam bentuk yang
119
Ibid., 110. 120
Ibid., 15. 121
Ibid. 122
Ibid., 171.
62
sangat eksterm , misalnya anti segala macam barang-barang seni untuk koleksi, tidak mau
terlibat dalam suatu kegiatan adat istiadat masyarakat maupun bentuk-bentuk budaya lainnya.
Kesucian hidup dalam aliran pentakosta menjadi penting karena pandangan tentang
kesucian didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
1. Ada berkat rohani yang akan dirasakan sesudah pertobatan.
2. Seseorang harus mencari pemimpin Roh Kudus dalam setiap aspek kehidupan
3. Kebangunan Rohani diadakan dengan maksud untuk memenangkan jiwa dan untuk
memajukan kehidupan rohani.
4. Orang percaya harus mempertahankan pengharapan kedatangan Kristus kembali dengan
segera.
5. Seseorang harus meninggalkan kahidupan duniawi dan semua yang berbau keduniawian
seperti: hiburan, kemewahan, pemakaian kosmetik dan perhiasan123
.
e. Menekankan Bahasa dan karunia Roh Kudus.
Pengalaman dibaptis dan dipenuhi Roh Kudus merupakan pengalaman penting dan sangat
diharapka dalam aliran pentakosta. Hal ini didasarkan pada, pertama, “baptisan Roh Kudus
merupakan perintah dan perjanjian Tuhan bagi setiap orang percaya”124
. Sedangkan kedua,
“Baptissan Roh itu harus ada di dalam kehidupan orang percaya. Bahwa orang percaya harus
berusaha berusaha memperolehnya”125
. Dipenuhi Roh Kudus akan disertai dengan tanda
berbahasa Roh/bahasa asing serta mendapatkan karunia-karunia Roh Kudus, seperti yang tertulis
dalam Alkitab. Dalam pemahaman orang-orang pentakosta, berbahasa Roh mempunyai fungsi;
“Pertama, berkata-kata dengan bahasa asing sebagai salah satu dari karunia-karunia Roh”126
.
Maka berbahasa Roh merupakan fenomena yang penting. Menurut golongan pentakosta, terdapat
123
Stevan H. Talumewo, Sejarah Gerakan Pentakosta (Yogyakarta: Yayasan Andi, 1988), 5. 124
M. Tapilatu….,178. 125
Ibid., 179. 126
Ibid., 183
63
beberapa syarat yang harus dipenuhi, agar seseorang dapat mengalami baptis Roh Kudus, antara
lain: “penyerahan kepada kehendak Allah, doa yang berapi-api dan bertekun iman”127
.
f. Kesembuhan Ilahi
Kesembuhan ilahi merupakan salah satu pokok pengakuan iman yang penting dalam aliran
pentakosta. Allah sebagai pencipta, Dia juga sebagai pemelihara Allah menciptakan manusia
dengan sempurna, tanpa cacat dan kelemahan. Apabila ada yang mengalami kelemahan dan sakit
penyakit, dalam pandangan aliran pentakosta, disebabkan karena orang tersebut masih dalam
belenggu dosa”128
. Pandangan ini disadarkan prinsip “Kalau kejatuhan manusia membawa
penyakit, maka penebusan Kristus haruslah membawa penyembuhan”129
.
Maka apabila dosa telah diampuni maka sakit penyakit tidak aka nada. Darah-Nya yang
tercurah “mempunyai kuasa untuk menyucikan hati manusia dari segala dosa, begitupun
bilurnya, mempunyai kuasa untuk menyembuhkan tubuh manusia dari segala penyakit (Yesaya
53: 5,1, I Petrus 2:24)130
. Maka dalam suatu kebaktian baik kabaktian umu setiap hari minggu
maupun dalam kebaktian kebangunan rohani, kesaksian tentang kesembuhan ilahi maupun
undangan untuk menerima kesembuhan ilahi menjadi hal yang penting. Karena kuatnya
kepercayaan tentang Tuhan Yesus sebagai tabib/ahli obat131
dan penyembuh, maka pada tingkat
tertentu menebabkan penganut pentakosta anti obat-obatan dan dokter. Minum obat dan pergi ke
dokter menunjukan tanda kurang beriman.
127
Ibid., 186. 128
Ibid., 210. 129
Stevan H. Talumewo…., 9. 130
M. Tapilatu…., 210. 131
Muler Kruger, Gerakan-gerakan Pentakosta, 30, menyebutkan bahwa salah satu kepercayaan dari gereja
pentakosta adalah Yesus adalah ahli obat bagi segala penyakit dan cacat.
64
g. Tema-tema Khotbah lebih bersifat praktis dan mengarah dunia “sana”
Pemahaman Alkitab yang biblisistis, fragmentaris serta fundamentalis, menyebabkan
khotbah-khotbah yang disampaikan sangat bersifat praktis. Alkitab ditafsirkan secara alegoris132
,
da seperti apa yang tertulis, merupakan cir yang menonjol dalam khotbah-khotbah di gereja
aliran pentakosta. Khotbah-khotbah yang dogmatis sistematis, pengajaran serta etis kurang
disukai. “Khotbah yang disampaikan biasanya dalam bahasa yang sederhana, panjang dan penuh
emosi”133
. Khotbah yang disertai cerita kesaksian merupakan hal-hal yang sangat disukai. Dalam
khotbah tersebut juga censerng mengajak umat untuk masuk dalam dunia dan pengalaman
rohani, dunia yang jauh dari realitas, dnia sana.
h. Kegiatan sosial hanya untuk kalangan sendiri.
Mementingkan hal-hal yang bersifat rohani, berusaha mencapai pengalaman kepenuhan Roh
Kudus dengan segala manifestasi dan karunianya, serta pengjaran-pengajaran yang
mementingkan dunia sana; menyebabkan jemaat kurang memperhatikan dalam masalah-masalah
sosial disekitarny. Masalah-masalah sosial kurang mendapat perhatian secara serius. Jika
memaruh perhatian pada masalah sosial hanya bersifat incidental misalnya, “dalam rangaka
penanggulangan benca alam (banjir) yang menimpa masyarakat di lingkungannya dan kerja bakti
membersihkan lingkungan dimana mereka berada”134
.
Disamping kegiatan yang insidental, juga terlibat dalam kegiatan sosial yang terstruktur dan
terprogram, misalnya dalam bentuk lembaga pelayanan sosial, yang berbentuk yayasan.
Lembaga pelayanan sosial yang diselenggarakan tersebut misalnya: “panti asuhan dan panti
132
M. Tapilatu…., 108. 133
Ibid., 12. 134
Ibid., 128.
65
wreda (perumahan jompo), poliklinik dan sekolah”135
. Lahirnya lembaga pelayana sosial, apabila
diperhatikan dan diteliti, ternyata kegiatan yang diadakan itu lebih ditunjukan kedalam
lingkungan gereja gereja pentakosta sendiri.
i. Kerjasama dengan gereja lain hanya pada aras praktis .
Kebutuhan praktis, merupakan faktor yang mendorong gereja aliran pentakosta untuk
bekerjasama dengan gereja lain baik dalam kelompok alira pentakosta maupun dengan gereja
aliran utama. “Hubungan kerjasama yang diadakan dibatasi pada kebersamaan dalam progam
kesaksian dan pelayanan saja. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh kemudahan-
kemudahan dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas-tugas pelayanan dan kesaksian
gereja”136
. Ini mungkin merupakan ciri pentakosta yang tidak dibangun dari suatu dasar yang
dirumuskan secara sistematis, tetapi berdasarkan pada hal-hal yang praktis, sehingga
kerjasamapun lebih untuk kepentingan sasaat dan sangat pragmatis. Maka aliran pentakosta lebih
cenderung bekerja sama dalam lembaga-lembaga yang tidak mengikat dan juga menangani
berbagai persoalan praktis misalnya di “badan musyawarah antar gereja, Persekutuan Injili
Indonesia (PPI)dan Persekutuan umat Kristen Oikumene (PUKO)137
.
2.4.2. Kepemimpinan, Tata Gereja dan Tata Tertib Gereja dalam Gereja Aliran
Pentakosta.
Gereja aliran Pentakosta pada awalnya merupakan sautu gerakan, sehingga masalah
organisasi kurang mendapat perhatian bahkan dilihat secara negatif. Organisasi gereja tidak
diperlukan, disebabkan karena: Kristus akan segera datang pada kali yang kedua, Roh Kudus
sendirilah yang akan memimpin gereja sehingga manusia tidak perlu ikut campur organisasi
135
Ibid. 136
Ibid., 250. 137
Ibid., 251.
66
mengandung unsur keduniawian138
. Pengharapan akan kedatangan Krstus yang kedua kali
ternyata masih tertunda, sehinga mau tidak mau gerakan pentakosta harus menata diri dalam
bentuk organisasi. Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai organisasi, Gereja-gereja aliran
pentakosta memerlukan tata gereja dan tata tertib gereja.
Tata Gereja dan tata tertib gereja merupakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, tata gereja memuat pokok-pokok peraturan
dasar maupun prosedur pelaksanaan peraturan, struktur kepemimpinan dan jabatan serta
prosedur pengambilan keputusan, maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah
organisasi. Sebagai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga , tata gereja dan tata tertib gereja,
menjadi dasar/acuan dalam membuat kebijakan dan menjadi sumber peraturan yang dapat
dipakai untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam oraganisasi, dibawah Alkita.
Namun dalam kenyataan , tata gereja dan tata tertib gereja lebih merupakan suatu aturan formal
dan dokumen tertulis yang dapat diabaikan. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan sehari-hari
kebijakan pemimpin setempat lebih mempunyai wibawa daripada tata gereja dan tata tertib
gereja. Kurang efektifnya pelakasanaan tata gereja dan tata tertib gereja, seperti yang sudah
dilansir di atas, disebabkan karena dalam organisasi gereja aliran pentakosta, peran pemimpin
sangat dominan.
Hal ini tidak dipisahkan dari sejarahnya. Sebagai gerakan yang bersifat revival,
pemimpin gereja aliran pentakosta mendapat wewenang sebagai pemimpin dari kharisma yang
dimiliki seseorang. Meskipun sudah merupakan sebagai organisasi, masalah kharisma
merupakan hal penting yang harus dimiliki seorang pemimpin gereja aliran pentakosta. “Jabatan
atau kepemimpinan yang diperoleh seseorang dalam gereja adalah berdasarkan kharisma yang
dimiliki. Atau dengan kata lain, kepemimpinan yang terdapat di dalam gereja-gereka aliran
138
M. Tapilatu…., 78.
67
pentakosta adalah kepimpinan kharismatis, yaitu kepemimpinan yang diterima karena
kharisma”139
. Pentingnya kharisma, dalam kepemimpinan jemaat, juga ditunjukan syarat yang
harus dimiliki oleh seseorang calon pendeta di lingkungan gereja-gereja aliran pentakosta. Dalam
persyaratan untuk menjadi calon pendeta disebutkan:
1. Tamatan sekolah Alkitab atau lulusan kursus kependetaan yang diselenggarakan oleh
badan gerejawi yang ditunjuk untuk itu, misalnya Badan Pekerja Harian.
2. Sudah menerima Baptis Roh Kudus dengan salah satu manifestasi karunia dan terlihat
Buah Roh Kudus dalam kehidupannya.
3. Merasa dan menerima panggilan Tuhan untuk bekerja di lading-Nya.
4. Kehidupan pribadi yang kehidupan rumah tangga sesuai dengan Firman Tuhan.
5. Menghayati dan mengamalkan azaz pengajaran dan pengakuan iman gerejanya.
6. Taat pada tata gereja dan tata tertib gereja, atau anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga140
.
Meskipun sudah ada aturan persyaratan menjadi seorang pendeta seperti tersebut di aas,
namun dalam pelaksanannya, ternyata persyaratan yang paling penting adalah “faktor kesucian
hidup sebagai perwujudan dari kelahiran baru, penerima Baptis Roh Kudus dan karunia-
karuniaRoh dan [yang tampak dalam] kehidupan sehari-hari141
. Tipe kepemimpinan kharismatik,
serta hak otonomi gereja lokal, menyebabkan pesan pemimpin lokal sangat kuat dalam gereja.
Gembala Sidang sebagai pemimpin tunggal.
Hal ini menyebabkan jemaat, taat dan tunduk kepada segala keputusan Gembala Sidang
maupun pengajaran-pengajaran yang disampaikan. Gembala Sidang sebagai pemimpin, sebagai
bapak menjadi teladan yang harus dituruti dan diikuti. Ia sebagai teladan, dalam perilaku dan
kehidupan. Dengan orentasi gembala sidang hanya dalam kehidupan jemaat lokal dan diri sendiri
serta kurang dibekalinya dengan pengetahuan umum, menyebabkan jemaat hanya
mengorientasikan dirinya untuk kehidupan sendiri, kurang menaruh perhatian pada masalah-
masalah lain di luar gereja, misalnya persoalan sosial masyarakat.
139
Ibid., 84. 140
Ibid., 81. 141
Ibid., 82.
top related