bab ii kajian pustaka 2.1 pestisida pengertian pestisida fileberdasarkan cara kerjanya yaitu...
Post on 25-Jul-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pestisida
2.1.1 Pengertian Pestisida
Pestisida merupakan bahan kimia, campuran bahan kimia, atau bahan-
bahan lain yang bersifat racun dan bioaktif. Oleh sebab sifatnya sebagai racun
pestisida dibuat, dijual, dan digunakan untuk meracuni organisme pengganggu
tanaman (OPT). Menurut The United State Federal Environmental Pesticide
Control Act, pestisida merupakan suatu zat yang fungsinya untuk memberantas
atau mencegah gangguan OPT diantaranya serangga, binatang pengerat,
nematoda, cendawan, gulma, virus, bakteri, jasad renik yang dianggap hama
pengganggu tanaman (Kardinan, 2000). Pestisida dalam pertanian secara spesifik
disebut sebagai produk perlindungan tanaman (crop protection products)
(Djojosumarto, 2008).
2.1.2 Penggolongan Pestisida
Menurut Departemen Kesehatan Indonesia dalam Khamdani (2009),
persentase penggunaan pestisida di Indonesia diantaranya insektisida 55,42%,
herbisida 12,25%, fungisida 12,05%, repelen 3,61%, bahan pengawet kayu 3,61%,
zat pengatur pertumbuhan 3,21%, rodentisida 2,81%, bahan perata atau perekat
2,41%, akarisida 1,4%, moluskisida 0,4%, nematisida 0,44%, dan 0,40% ajuvan
serta lain-lain berjumlah 1,41%. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa
insektisida merupakan jenis pestisida yang paling banyak digunakan. Secara
umum pestisida digolongkan berdasarkan beberapa hal sebagai berikut.
11
a. Menurut sasaran atau organisme target
Pestisida diklasifikasikan menjadi 16 jenis menurut sasaran atau
organisme targetnya diantaranya (1) Insektisida untuk mengendalikan serangga,
(2) Herbisida untuk membunuh gulma, (3) Fungisida untuk membunuh jamur, (4)
Algasida untuk membunuh alga, (5) Avisida untuk mengontrol populasi burung,
(6) Akarisida untuk membunuh tungau atau kutu, (7) Bakterisida untuk
membunuh bakteri, (8) Larvasida untuk membunuh larva, (9) Moluskisida untuk
membunuh siput, (10) Nematisida untuk membunuh cacing, (11) Ovisida untuk
membunuh telur, (12) Pedukulisida untuk membunuh kutu, (13) Piscisida untuk
membunuh ikan, (14) Rodentisida untuk membunuh binatang pengerat, (15)
Predisida untuk membunuh pemangsa atau predator, (16) Termisida untuk
membunuh rayap.
b. Menurut cara kerja
Dalam sistem pertanian hortikultura jenis insektisida, herbisida dan
fungisida yang banyak digunakan oleh petani jika dilihat dari cara kerjanya
diantaranya sebagai berikut (Djojosumarto, 2000).
1. Insektisida
Insektisida dapat dibedakan menjadi beberapa jenis diantaranya menurut
cara kerja pada tanaman terdiri dari (1) Insektisida Sistemik yaitu jenis insektisida
yang diserap oleh organ-organ tanaman baik melalui akar, batang ataupun daun.
Contoh insektisida sistemik adalah Furatiokarb, Fosfamidon, Isolan, Karbofuran,
dan Monokrotofos. (2) Insektisida Nonsistemik merupakan jenis insektisida yang
hanya menempel pada bagian luar tanaman saja. Contohnya adalah Dioksikarb,
12
Diazinon, Diklorvos, Profenofos, dan Quinalfos. Jenis insektisida lainnya
berdasarkan cara kerjanya yaitu Insektisida sistemik lokal. Contohnya adalah
Dimetan, Furatiokarb, Pyrolan, dan Profenofos.
2. Fungisida
Fungisida dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan cara
kerjanya di dalam tubuh tanaman diantaranya Fungisida Nonsistemik, Fungisida
Sistemik dan Fungisida Sistemik Lokal. Contoh fungisida nonsitemik adalah
Kaptan, Maneb, Zineb, Mankoneb, Ziram, Kaptafol, dan Probineb sedangkan
fungsida sistemik tidak akan hilang apabila terjadi hujan. Contoh fungisida
sistemik adalah Benomil, Difenokonazol, Karbendazim, Matalaksil,
Propikonazol, dan Triadimefon dan fungisida sistemik lokal akan diabsorsikan
oleh jaringan tanaman contohnya adalah Simoksanil.
Berdasarkan banyaknya lokasi aktivitas fungisida dalam sistem biologi
jamur, fungisida dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Multiside inhibitor
contoh dari multiside inhibitor adalah Maneb, Mankozeb, Zineb, Probineb, Ziram,
dan Thiram dan monoside inhibitor yaitu fungisida yang bekerja dengan
menghambat salah satu proses metabolisme jamur. Contoh dari monoside
inhibitor adalah Metalaksil, Oksadisil, dan Benalaksil.
3. Herbisida
Secara tradisional, herbisida dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
(1) Herbisida yang aktif untuk mengendalikan gulma dari kelompok rumput,
misalnya Alaklor, Butaklor, dan Ametrin. (2) Herbisida yang aktif untuk
mengendalikan gulma berdaun lebar dan pakis, misalnya 2,4-D, MCPA dan (3)
13
Herbisida yang aktif untuk semua kelompok gulma yang disebut sebagai herbisida
nonselektif contohnya Glifosat, Glufosinat, dan Paraquat.
Herbisida juga dapat dikelompokkan berdasarkan bidang sasarannya yaitu
(1) Herbisida Tanah (Soil Acting Herbicides. Contohnya adalah herbisida
kelompok urea (Diuron, Linuron, Metabromuron), triazin (Atrazine, Ametrin),
karbamat (Asulam, Tiobenkarb), kloroasetanilida (Alaklor, Butaklor, Metalaklor,
Pretilaklor), dan urasil (Bromasil) dan (2) Herbisida yang aktif pada gulma yang
sudah tumbuh. Contohnya adalah 2,4-D, dan Glifosat. Selain kedua kelompok
utama tersebut, terdapat pula herbisida tanah yang aktif terhadap gulma yang baru
tumbuh, misalnya beberapa herbisida dari jenis urea dan triazim
c. Menurut struktur bahan kimia
Berdasarkan struktur kimianya, Sudarmo (1991) dalam Runia (2008)
pestisida terdiri dari empat kelompok besar yaitu organokhlorin, organophosfat,
karbamat dan piretiroid.
Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates,
phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus
esters atau phosphoris acid esters. Mereka adalah derivat dari phosphoric acid
dan biasanya sangat toksik untuk hewan bertulang belakang. Golongan
organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas
syaraf. Organofosfat merupakan senyawa kimia ester asam fosfat yang terdiri atas
1 molekul fosfat yang dikelilingi oleh 2 gugus organik C2H5O (R1 dan R2) serta
gugus (X) atau leaving group yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi
asetilkholin. Gugus X merupakan bagian yang paling mudah terhidrolisis. Gugus
14
R dapat berupa gugus aromatik atau alifatik. Pada umumnya gugus R adalah
dimetoksi atau dietoksi. Sedangkan gugus X dapat berupa nitrogen , fluorida,
halogen lain dan dimetoksi atau dietoksi. Bahan aktif organophosfat yang sudah
dilarang beredar di Indonesia diantaranya diazinon, fention, fenitrotion, fentoat,
klorfirifos, kuinalfos dan malation. Pestisida ini memiliki kemampuan
menghambat aktivitas enzim achetylcholinesterase (ACHe) yang merupakan
neurohormon pada ujung syaraf untuk meneruskan rangsang (Sitepu, 2010).
Berdasarkan toksisitasnya pestisida golongan organophosfat dibagi menjadi
kelompok sangat toksik (extremely toxic) (klorpirifos, parathion dan metil
parathion) dan kelompok toksisitas sedang (dimethoate dan malathion). Gejala
keracunan yang ditimbulkan akibat pestisida golongan organophosfat terhadap
fungsi enzim cholinesterase diantaranya mudah letih, tidak bertenaga, mual
muntah dan merasa lemah, sakit kepala, gangguan penglihatan, sesak nafas,
banyak kelenjar cairan hidung, banyak keringat dan air mata, dan akhirnya
menyebabkan kelumpuhan otot-otot rangka, sukar bicara, kejang dan koma.
Berdasarkan masa degradasinya dalam lingkungan, frekuensi/jarak penyemprotan
sebaiknya adalah 2 minggu sekali (Ardiyanto, 2013).
Kelompok pestisida golongan Karbamat (carbamat) yang terkenal antara
lain proxposure (baygon), carbofuran (furadan), carbaryl (sevin). Insekisida
golongan karbamat sangat banyak digunakan, sama seperti juga insektisida dari
golongan organosfosfat. Sifat-sifat dari senyawa golongan ini tidak banyak
berbeda dengan senyawa golongan organosfosfat baik dari segi aktivitas maupun
daya racunnya. Senyawa karbamat merupakan turunan dari asam karbamik HO-
15
CO-NH2. Seperti halnya pada senyawa golongan organosfosfat, senyawa
golongan karbamat juga menghambat kerja enzim cholinesterase. Berdasarkan
toksisitasnya pestisida golongan karbamat juga dibagi menjadi toksisitas tinggi
(highly toxic) (carbofuran, methomyl dan temik) dan kelompok toksisitas sedang
(carbaryl dan baygon). Sama halnya dengan Organophosfat, pestisida jenis ini
menghambat kerja enzim cholinesterase. Gejala keracunan yang timbul sebagian
besar hampir sama dengan gejala yang muncul akibat keracunan Organophosfat
yang paling umum diantaranya sakit kepala, gangguan penglihatan, muntah dan
merasa lemah. Keracunan akut dapat menimbulkan terjadinya kelumpuhan otot-
otot rangka, bingung, sukar bicara, kejang-kejang dan koma. Masa degradasi di
lingkungan hampir sama dengan Organophosfat yaitu sekitar 12-14 hari, oleh
karena itu maka frekuensi penyemprotannya berkisar 12-14 hari.
Organiklorin merupakan senyawa insektisida yang mengandung atom
karbon, klor, dan hidrogen, dan terkadang oksigen. Senyawa ini sering juga
disebut sebagai hidorokarbon khlorinat. Senyawa organoklorin tergolong
memiliki toksisitas yang relatif rendah namun mampu bertahan lama dalam
lingkungan. Racun yang terdapat dalam senyawa ini bersifat menggaggu susunan
syaraf pusat dan larut dalam lemak. Pada umumnya pestisida golongan ini
berbentuk padat dan menggunakan air atau pelarut organik sebagai pelarut.
Larutan pestisida organoklorin tahan terhadap pengaruh udara, cahaya, panas, dan
karbondioksida. Pestisida jenis ini tidak dapat rusak oleh asam kuat, namun bisa
rusak dengan basa dimana pestisida jenis ini akan menjadi tidak stabil dan
mengalami deklorinase. Senyawa organoklorin masuk ke dalam tubuh melalui
16
udara, saluran pencernaan, dan absorpsi melalui kulit. Bila digunakan dalam
bentuk serbuk, absorpsi melalui kulit tidak akan terlalu berbahaya, namun apabila
digunakan sebagai larutan dalam minyak atau pelarut organik, maka toksisitasnya
akan meningkat. Senyawa ini memiliki kemampuan untuk menembus membran
sel dengan cukup kuat, dan tersimpan di dalam jaringan lemak tubuh. Karena
bersifat lipotropik, senyawa ini tersimpan di Organokhlorin dalam sistem
pertanian juga dilarang penggunaannya seperti dieldrin, endosulfan, dan clordan.
Nama formulasi yang beredar di Indonesia adalah herbisida garlon 480 EC dan
fungisida Akofol 50 WP. Golongan ini dapat mengakibatkan sakit kepala, pusing,
mual, muntah-muntah, mencret, badan lemah, gugup, gemetar, kejang-kejang dan
hilang kesadaran (Wudianto, 2005).
Piretiroid merupakan jenis golongan pestisida lainnya selain dari
organophosfat, karbamat dan organokhlorin serta secara alamiah piretroid
diperoleh dari ekstrak bunga chrysanthemum. Senyawa aktifnya adalah piretrin I
dan II cinerin I dan II, dan jasmolin I dan II, yang merupakan ester dari tiga
alkohol, pyrethrolone, cinerolone, dan jasmolone, dengan asam chrysanthemic
dan pyrethric. Karena sifat toksiknya terhadap mamalia yang sangat rendah
dibanding pestisida jenis lain, piretroid banyak digunakan sebagai bahan aktif dari
produk insektisida yang ada di pasaran. Pada umumnya piretroid mengalami
metabolisme pada mamalia melalui proses hidrolisis, oksidasi dan konjugasi.
Tidak ada kecenderungan terjadinya akumulasi pada jaringan akibat pajanan
terhadap piretroid. Piretroid bersifat racun terhadap jaringan saraf, yakni dengan
cara mempengaruhi permeabilitas membran terhadap ion, sehingga mengganggu
17
impuls saraf. Contoh dari pestisida golongan pyretroid adalah Deltametrin,
Permetrin, Fenvalerate, Difetrin, Sipermetrin, Fluvalinate, Siflutrin, Fenpropatrin,
Tralometrin, Sihalometrin, Flusitrinate, Alletrin, dan Bioresmetrin.
2.1.3 Pekerjaan yang Berhubungan dengan Pestisida
Dalam penggunaan pestisida aktivitas yang berpengaruh terhadap
gangguan kesehatan diantaranya adalah pada saat pencampuran, penyemprotan
dan penanganan pestisida. Mencampur pestisida merupakan pekerjaan yang paling
berisiko oleh karena bekerja secara langsung dengan konsentrat. Upaya yang
dapat dilakukan untuk menghindarkan diri dari kontak secara langsung dengan
pestisida diantaranya pemilihan tempat pencampuran yang sirkulasi udaranya
lancar dan penggunaan alat pelindung diri. Dalam pencampuran pestisida wadah
yang digunakan adalah khusus untuk pencampuran bisa menggunakan ember dan
corong untuk memindahkan pestisida ke tangki penyemprotan. Pada saat
pencampuran pestisida, dosis dan konsentrasi disesuaikan dengan yang dianjurkan
pada kemasan. Pada saat pencampuran APD yang dianjurkan untuk digunakan
adalah masker (pelindung pernafasan) dan sarung tangan karet. Selain itu juga
makan, minum, dan merokok selama melakukan pencampuran sangat tidak
dianjurkan (Wudianto, 2005).
Penyemprotan sebagai aktivitas dalam aplikasi pestisida juga perlu
memperhatikan hal-hal berikut diantaranya (1) pemilihan alat semprot sesuai
dengan luas areal yang akan di semprot, jenis-jenis alat semprot pestisida
diantaranya sprayer tangan (hand sprayer) merupakan sprayer dengan kapasitas
18
tangki paling kecil dan mudah untuk dipindahkan ke bagian tanaman yang akan
disemprot sedangkan sprayer lainnya yaitu back sprayer (sprayer knap sack)
digunakan dengan cara menggendong di punggung dan menggunakan tenaga
manusia untuk memompa dan sprayer mesin (machine sprayer) menggunakan
mesin untuk menggerakkan pompa. Waktu untuk melakukan penyemprotan
sebaiknya antara pukul 08.00-11.00 WIB atau sore hari pukul 15.00-18.00 WIB
dan tidak dilakukan pada saat aliran udara meningkat (thermik) selain itu tidak
dianjurkan melakukan penyemprotan di saat angin kencang dan melawan arah
angin karena banyak pestisida yang tidak mengenai sasaran (Wudianto, 2005).
Dalam hal penyimpanan pestisida, perlu diperhatikan beberapa hal seperti
penyimpanan pestisida harus jauh dari jangkauan anak-anak, tidak bercampur
dengan tempat makan atau bahan makanan dan tersedia tempat khusus yang
terkunci dan terhindar dari sinar matahari langsung. Setelah selesai penyemprotan
hal-hal yang juga perlu diperhatikan diantaranya alat semprot segera dibersihkan
setelah selesai digunakan sedangkan untuk sisa cairan pestisida dan bekas
kemasan pestisida dikubur atau dibakar jauh dari sumber mata air untuk
menghindari pencemaran ke badan air dan tidak menggunakan bekas kemasan
pestisida untuk tempat makanan dan minuman. Selain itu, setelah selesai aplikasi
pakaian yang digunakan segera dicuci dengan bersih dan petani penyemprot
segera mandi dengan bersih menggunakan sabun (Wudianto, 2005).
Dalam Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida yang diterbitkan oleh
Direktorat Pupuk dan Pestisida Kementrian Pertanian Tahun 2011 disebutkan
bahwa pakaian dan atau peralatan pelindung tubuh harus dipakai bukan saja waktu
19
aplikasi, tetapi sejak mulai mencampur, mencuci peralatan aplikasi dan sesudah
aplikasi selesai. Pakaian serta peralatan pelindung yang harus dipakai adalah
sebagai berikut (1) untuk menutupi seluruh atau sebagian dari percikan bahan
beracun dapat digunakan pakaian terusan dengan celana panjang dan lengan
panjang. Baju panjang dan celana panjang yang digunakan adalah berbahan kulit
atau plastik. Jika baju panjang dan celana panjang yang digunakan adalah pakaian
kerja sehari-hari maka pada saat melakukan penyemprotan harus dilapisi dengan
beberapa baju dan celana panjang atau pakaian terusan yang berbahan tenunan
rapat atau menggunakan apron (bahan kulit atau plastik) (2) penutup kepala yang
digunakan petani dapat berupa topi atau tudung untuk melindungi kepala dari zat-
zat kimia dan kondisi iklim yang buruk dan penutup mata untuk menghindari
kontak pada mata dapat menggunakan kaca mata (3) alat pelindung hidung dan
mulut dapat berupa masker untuk melindungi pernafasan dari gas, uap, debu atau
udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang dapat bersifat racun dan korosi,
(4) sarung tangan dapat terbuat dari karet untuk melindungi diri dari paparan
bahan kimia sehingga larutan pestisida tidak masuk ke kulit dan (5) sepatu kerja
untuk melindungi kaki dari larutan kimia dapat terbuat dari kulit, karet sintetik
atau plastik. Ketika menggunakan sepatu boot ujung celana tidak boleh
dimasukkan ke dalam sepatu, karena cairan pestisida dapat masuk ke dalam
sepatu.
20
2.2 Dampak Penggunaan Pestisida
2.2.1 Pengaruh Pestisida Terhadap Kesehatan
Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara diantaranya
melalui kulit (epidermis) apabila pestisida kontak dengan kulit. Lebih dari 90%
kasus keracunan di seluruh dunia disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Selain
itu pestisida masuk melalui sistem pernafasan (inhalation) apabila
terhisap/terhirup, dan melalui mulut/pencernaan (ingestion) apabila
terminum/tertelan (Wudianto, 2005). Organ-organ tubuh yang biasanya terkena
dampak dari racun pestisida diantaranya paru-paru, hati (hepar), susunan saraf
pusat (otak dan sumsum tulang belakang), sumsum tulang, ginjal, kulit, susunan
saraf tepi, dan darah. Efek racun pada tubuh juga akan memberikan efek lokal
seperti iritasi, reaksi alergi, dermatitis, ulkus dan gejala lain.
a. Keracunan Kronis
Keracunan kronis timbul setelah terjadinya pemaparan dalam jangka
panjang karena racun terakumulasi di dalam tubuh khususnya dalam lemak tubuh.
Keracunan kronik lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak
menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun, keracunan kronik dalam
jangka waktu lama bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Keracunan kronis
dapat ditemukan dalam bentuk kelainan syaraf dan perilaku (bersifat neuro toksik)
atau mutagenitas. Selain itu ada beberapa dampak kronis keracunan pestisida,
antara lain gangguan otak dan syaraf (ingatan, kelumpuhan, bahkan kehilangan
kesadaran dan koma), gangguan pada fungsi hati diantaranya paparan selama
bertahun-tahun dapat menyebabkan Hepatitis.
21
Hasil penelitian Fleming, Gomez-Martin, Zheng Ma, Lee, et al., (2003),
melalui analisis data survei kematian oleh National Health di Amerika diperoleh
bahwa petani penyemprot pestisida baik laki-laki maupun perempuan berisiko
tinggi untuk menderita kanker, gangguan limfa dan kelainan susunan saraf. Selain
itu pestisida juga berdampak terhadap kesehatan keluarga petani di wilayah
Neonates oleh hasil penelitian Eskenazi et al., (2005), diperoleh hasil penggunaan
pestisida Organophosfat mempengaruhi fungsi organ dan sistem saraf.
Studi di Amerika Serikat (AS) oleh Bouchard et al., (2010), membuktikan
bahwa anak yang di dalam urinnya terdeteksi mengandung metabolit pestisida
golongan Organophosfat mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) yaitu suatu gangguan
perkembangan yang bila dalam derajat berat disebut sebagai autisme, yang jumlah
kasusnya juga semakin meningkat di Indonesia. Hasil penelitian di Ekuador oleh
Grandjean et al., (2006), membuktikan bahwa pajanan pestisida merupakan
prediktor untuk terjadinya keterlambatan tumbuh-kembang pada anak
(Suhartono,2014).
b. Keracunan akut.
Keracunan akut terjadi apabila efek keracunan pestisida langsung pada
saat aplikasi atau seketika setelah aplikasi pestisida. Dampak dari Keracunan akut
dibedakan menjadi (1) efek akut lokal, apabila efeknya hanya mempengaruhi
bagian tubuh yang terkena kontak langsung dengan pestisida biasanya bersifat
iritasi mata, hidung, tenggorokan dan kulit dan (2) efek akut sistemik, terjadi
apabila pestisida masuk ke dalam tubuh manusia dan mengganggu sistem tubuh.
22
Darah akan membawa pestisida keseluruh bagian tubuh yang menyebabkan
bergeraknya saraf-saraf otot secara tidak sadar dengan gerakan halus maupun
kasar dan pengeluaran air mata serta pengeluaran air ludah secara berlebihan,
pernafasan menjadi lemah/cepat (tidak normal).
Hasil penelitian Butinof (2015), menunjukkan bahwa dampak penggunaan
pestisida pada 880 petani yang diobservasi di wilayah Cordoba Argentina
sebanyak 47,4% mengalami iritasi, 35,5% mengalami fatigue, 40,4% menderita
sakit kepala dan 27,6% mengalami gangguan saraf dan depresi selama
menggunakan pestisida. Hasil penelitian di Indonesia oleh Catur, (2012)
menunjukkan keluhan utama yang dirasakan oleh petani penyemprot pestisida
yang mengalami keracunan pestisida diantaranya sakit kepala (25,6%), mudah
lelah (13,95%). Hasil penelitian oleh Choudary (2011), pada 175 petani di Bhopal
Madhya Pradesh, India gejala keracunan akut yang dialami oleh para petani
diantaranya iritasi mata/mata merah sebanyak 62,5%, 37,5% mengalami gangguan
pada kulit dan gangguan saraf selama aplikasi pestisida.
Baik petani maupun keluarga petani memiliki risiko yang sama terkena
dampak akut penggunaan pestisida seperti keluhan sakit kepala, iritasi kulit dan
gangguan pernafasan. Sebagian besar istri petani ikut terlibat dalam sistem
pertanian dalam hal menyiangi rumput/tanaman pengganggu, memanen, atau
menata dan mengikat hasil panen, hal tersebut menempatkan mereka sebagai
populasi yang berisiko mengalami berbagai gangguan kesehatan akibat pajanan
pestisida (Leilanie, 2009).
23
Keluarga petani yang tinggal di kawasan pertanian meskipun tidak terlibat
secara langsung dalam kegiatan pertanian juga memiliki risiko kontak dengan
pestisida melalui residu yang ada di lingkungan, seperti hasil panen, air maupun
tanah. Kebiasaan petani dalam penanganan pestisida pasca penyemprotan (take-
home pathway) oleh Fenske et al., (2000), dan Curl et al., (2002), diantaranya
membawa pakaian kerja pulang tanpa dibersihkan terlebih dahulu, membawa atau
menyimpan sisa pestisida dan kemasan pestisida dengan tidak aman dari
jangkauan anak-anak diidentifikasikan sebagai sumber utama paparan pestisida
pada keluarga petani.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keracunan Pestisida
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan pestisida dan
gangguan kesehatan lainnya pada petani diantaranya dapat dibedakan menjadi dua
kelompok meliputi faktor eksternal dan faktor internal.
a. Faktor eksternal
Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi terjadinya keracunan
pestisida diantaranya sebagai berikut.
1. Suhu lingkungan dan waktu penyemprotan
Suhu lingkungan berkaitan dengan pengaruh penguapan melalui keringat
petani, sehingga tidak dianjurkan menyemprot pada suhu udara lebih dari 35oC.
Suhu lingkungan pada saat penyemprotan juga berkaitan dengan waktu
penyemprotan yang sesuai sehingga menurut Sartono (2002), secara umum
disarankan waktu yang baik untuk melakukan penyemprotan pestisida adalah pada
24
pagi hari pukul 07.00-10.00 dan sore hari pukul 15.00-18.00 (Budiawan, 2013).
Waktu penyemprotan pestisida berkaitan dengan suhu lingkungan yang mana
penyemprotan pestisida pada siang hari dapat menyebabkan keluarnya keringat
lebih banyak sehingga kemungkinan penyerapan pestisida melalui kulit lebih
mudah selain itu kondisi panas yang terik menyebabkan kecenderungan petani
menyeka APD karena kondisi panas (Dahlan, 2009).
2. Arah kecepatan angin
Penyemprotan pestisida sebaiknya dilakukan searah dengan arah angin
sehingga kabut semprot tidak mengarah kepada penyemprot dan sebaiknya
penyemprotan dilakukan pada kecepatan angin dibawah 750 mil permenit. Petani
yang melakukan penyemprotan melawan arah angin memiliki risiko 1,54 kali
lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang
menyemprot mengikuti arah angin dengan nilai OR 1,54 ; 95%CI : 1,20-1,94
(Kim et al., 2013).
3. Dosis pestisida
Pestisida merupakan racun sehingga jika penggunaan dosisnya
ditingkatkan dapat mempermudah terjadinya keracunan karena efek toksik juga
akan meningkat. Berkaitan dengan penggunaan pestisida yang juga sering menjadi
masalah adalah dalam penentuan dosis, dimana dalam anjuran pakai pestisida
untuk dosis cair rata-rata 1,5 - 2,5 cc per 1 liter air sedangkan untuk pestisida
bubuk 1,5 – 2,5 gram per 1 liter air. Tangki yang umum digunakan berkapasitas
17 liter. Dalam perhitungan luas tanaman 1 hektar diperlukan sekitar 500 liter
pestisida yang sudah dilarutkan dalam air untuk satu kali penyemprotan.
25
Kim et al., (2013) menyatakan bahwa penggunaan dosis pestisida tanpa
mengikuti label instruksi kemasan pestisida meningkatkan risiko keracunan akut
sebesar 1,61 kali lebih besar dibandingkan dengan yang mengikuti label instruksi
kemasan pestisida dengan nilai OR 1,61; 95% CI 1,21-213.
4. Lama penyemprotan
Semakin lama seseorang kontak dengan pestisida, semakin besar risiko
mengalami keracunan, penyemprotan hendaknya tidak melebihi 4-5 jam secara
terus-menerus dalam sehari. Hasil penelitian oleh Mahyuni (2015), menunjukkan
bahwa lama menyemprot berhubungan dengan keracunan pestisida pada petani
bawang merah di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo dengan nilai p value
kurang dari 0,05 (0,018<0,05). Selain itu hasil penelitian oleh Nasruddin (2001),
menyatakan bahwa petani yang melakukan penyemprotan lebih dari 3 jam per hari
memiliki risiko 3 kali lebih besar mengalami keracunan (OR 3,32; 95% CI 1,39
6,14).
5. Masa kerja
Semakin lama seseorang menjadi petani maka semakin banyak pula
kemungkinan untuk kontak dengan pestisida sehingga risiko untuk mengalami
keracunan juga akan semakin tinggi. Hasil penelitian oleh Butinof (2015),
disebutkan bahwa masa kerja > 10 tahun berhubungan dengan kejadian iritasi
kulit pada petani dengan nilai p value < 0,05 (0,03<0,05). Hasil penelitian oleh
Zuraida (2012) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan
keluhan kesehatan pada petani dimana dijelaskan bahwa petani petani yang
memiliki masa kerja < 5 tahun dianggap pengetahuan dalam menggunakan
26
pestisida lebih baik daripada petani yang memiliki masa kerja sudah lebih dari 10
sehingga lebih mampu untuk menjaga kesehatannya pada saat akan kontak dengan
pestisida.
6. Jenis lahan dan tinggi tanaman yang disemprot
Jenis lahan pertanian khususnya hortikultura dapat berupa ladang terbuka
dan juga greenhouse. Hasil penelitian oleh Kim et al., (2013), menunjukkan
bahwa jenis lahan greenhouse bukan merupakan faktor risiko keracunan pada
petani (OR 0,55; 95% CI 0,24-1,29) selain itu jenis tanaman yang ditanam akan
berkaitan dengan tinggi tanaman yang disemprot karena semakin tinggi tanaman
maka petani cenderung mendapat pemaparan yang lebih besar.
7. Luas lahan
Luas lahan yang digarap oleh petani memberikan risiko kepada petani
untuk mengalami keracunan. Hal ini dikaitkan dengan lama kontak petani dengan
pestisida semakin luas lahan yang digarap kemungkinan untuk mengalami
keracunan akan meningkat, hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh
Kim et al., (2013) yaitu petani yang menggarap lahan ≥ 1 ha memiliki risiko 1,9
kali lebih besar untuk mengalami keracunan dibandingkan dengan petani yang
menggarap lahan < 1 ha (OR 1,90 ; 95% CI 1,53-2,53).
8. Kebiasaan memakai alat pelindung diri
Petani yang menggunakan baju lengan panjang dan celana panjang akan
mendapat efek yang lebih rendah dibandingkan yang berpakaian minim. Hasil uji
regresi logistik multinomial dalam penelitian Kim et al., (2013), menunjukkan
bahwa risiko keracunan pestisida akut meningkat pada petani yang tidak memakai
27
masker (OR 1,46; 95% CI 1,04-2,06) sedangkan hasil penelitian Butinof (2015),
menunjukkan bahwa penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak lengkap
berhubungan dengan gejala iritasi pada petani pengguna pestisida dengan nilai p
adalah 0,004 dan hasil uji regresi pemakaian APD sebagai faktor protektif dengan
nilai (OR 0.61; 95% CI 0.40-0.92).
9. Jenis pestisida
Penggunaan pestisida campuran lebih berbahaya dari pada penggunaan
dalam bentuk tunggal, hal ini berkaitan dengan kandungan zat aktif yang ada
dalam pestisida. Hasil penelitian Butinof (2015), menyatakan bahwa mencampur
pestisida atau mengaplikasikan pestisida lebih dari 10 jenis dalam sekali
campuran meningkatkan risiko terjadinya gejala iritasi pada kulit (OR 1,56;
95%CI: 1.04-2.35). Hasil penelitian di Kecamatan Kersana oleh Siwiendayanti
(2011), menunjukkan jumlah jenis pestisida yang digunakan dalam waktu yang
sama menimbulkan efek sinergistik dan memberikan risiko 3 kali lebih besar
untuk terjadinya keracunan bila dibandingkan dengan 1 jenis pestisida yang
digunakan karena daya racun dan dosis pestisida akan semakin kuat sehingga
memberikan efek samping yang semakin besar pula.
10. Frekuensi menyemprot
Semakin sering petani melakukan penyemprotan akan lebih besar risiko
keracunan karena menyebabkan residu pestisida dalam tubuh manusia menjadi
lebih tinggi. Namun hasil penelitian oleh Mahyuni (2015) menunjukkan bahwa
frekuensi penyemprotan tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada
dengan nilai p lebih besar dari 0,05 (0,406>0,05). Petani yang melakukan
penyemprotan pestisida ≥ 2 kali dalam seminggu memiliki risiko 4,95 kali lebih
28
tinggi untuk mengalami keracunan dengan nilai OR 4,95; 95% CI 2,03-12,07
(Mualim, 2002).
11. Pengelolaan pestisida
Pengelolaan pestisida meliputi tindakan pencampuran, penyemprotan
sampai dengan penanganan pestisida setelah selesai penyemprotan. Tindakan ini
berpengaruh terhadap kejadian keracunan jika tidak dilakukan sesuai dengan
ketentuan. Hasil penelitian oleh Prijanto (2009), menunjukkan bahwa cara
penyimpanan (OR 1,61; 95% CI 1,090-2,369), tempat pencampuran (OR 1,51;
95% CI 1,030-2,218) dan cara penanganan pestisida (OR 2,44; 95%CI 1,182-
5,057) berkaitan dengan kejadian keracunan pestisida golongan Organophosfat
pada petani di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang.
12. Jenis alat semprot
Keterpaparan pestisida juga dapat terjadi melalui kontak langsung saat
penggunaan pompa gendong (back sprayer). Pada saat pemindahan pestisida yang
telah dicampur ke pompa gendong ada risiko pestisida tertumpah dan mengenai
bagian tubuh secara langsung. Namun hasil uji chi square pada penelitian
Mahyuni (2014), menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara
keluhan dengan jenis alat penyemprot yang digunakan dengan nilai p sebesar
0,685 (0,685>0,05). Jika dilihat dari aspek ergonomi, berat pompa gendong juga
mempengaruhi kelelahan kerja akibat manual handling (mulai dari mengangkat,
menopang beban, menurunkan dan memindahkan beban dari satu tempat ke
tempat lainnya) yang dialami penyemprot. Hasil penelitian oleh Butinof (2015),
29
penggunaan alat semprot back sprayer berhubungan dengan keluhan pusing (sakit
kepala) dengan nilai p < 0,05 (0,02<0,05).
13. Kebiasaan merokok, makan, minum diladang dan kebersihan baju kerja
Dalam aplikasi pestisida, makan, minum dan merokok sangat tidak
dianjurkan. Sesuai dengan penelitian Budiyono (2004), merokok saat menyemprot
dapat memberikan kontribusi terhadap absorbsi pestisida pada petani penyemprot.
Namun, dari hasil penelitian Kim et al., (2013), kebiasaan merokok selama
menangani pestisida tidak berhubungan dengan kejadian keracunan akut pada
petani dengan nilai OR 1,02; 95% CI 0,79 – 1,33. Selain itu mencuci tangan dan
muka sebaiknya dilakukan jika akan makan, minum dan merokok. Kebiasaan
mencuci tangan dibutuhkan selalu setiap selesai melakukan aktivitas yang
berhubungan dengan pestisida.
Budiyono, 2006 juga mengemukakan bahwa proporsi keracunan pestisida
melalui absorpsi tubuh sebesar 64,72% jika tidak mengganti pakaian setelah
menyemprot dan proporsi yang tidak mandi setelah menyemprot sebesar 55,88%
dapat pula meningkatkan keracunan pestisida pada petani penyemprot.
Peningkatan dampak pestisida terhadap petani dikarenakan juga oleh petani
setelah melakukan penyemprotan tidak langsung pulang ke rumah tetapi masih
melanjutkan aktivitas di sawah. Hal ini yang membuat mereka rentan terpapar
pestisida, pakaian yang mereka pakai tidak langsung dicuci tetapi masih
dikenakan untuk aktivitas selanjutnya.
30
b. Faktor internal
Beberapa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya keracunan sebagai
berikut.
1. Umur petani
Semakin tua usia petani akan semakin cenderung untuk mendapatkan
pemaparan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan menurunnya fungsi organ tubuh
yang berakibat pada menurunnya aktivitas cholinesterase darahnya dan
mempermudah terjadinya keracunan pestisida. Hasil penelitian oleh Kim et al.,
(2013) menunjukkan bahwa umur > 30 tahun tidak berhubungan dengan kejadian
keracunan pestisida pada petani (OR 0,81 ; 95% CI 0,57-1,17).
2. Jenis kelamin
Petani dengan jenis kelamin wanita cenderung memiliki rata-rata kadar
cholinesterase yang lebih tinggi dibandingkan petani laki-laki. Meskipun
demikian tidak dianjurkan wanita menyemprot pestisida, karena pada kehamilan
kadar cholinesterase cenderung turun sehingga kemampuan untuk menghidrolisa
acethilcholin berkurang. Hasil penelitian oleh Zuraida (2012), menunjukkan
bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida
dengan nilai p 0,697 > 0,05.
3. Status gizi
Petani yang status gizinya buruk memiliki kecenderungan untuk
mendapatkan risiko keracunan yang lebih besar bila bekerja dengan pestisida
organophosfat dan karbamat oleh karena gizi yang kurang berpengaruh terhadap
kadar enzim yang bahan dasarnya adalah protein. Status gizi pada orang dewasa
31
dapat diukur dengan perhitungan BMI/IMT, status gizi berkaitan dengan kadar
cholinesterase. Dalam Mualim (2002) disebutkan bahwa status gizi merupakan
faktor risiko keracunan pada petani (OR 6,87; 95% CI 2,08-22,62).
4. Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin kecil
peluang terjadinya keracunan pada dirinya karena pengetahuannya mengenai
pestisida termasuk cara penggunaan dan penanganannya secara aman dan tepat
sasaran akan semakin tinggi sehingga kejadian keracunan akan dapat dihindari.
Hasil penelitian oleh Butinof (2015), menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
tidak berhubungan dengan keluhan kesehatan pada petani di Cordoba, Argentina
dengan nilai p value > 0,005 (0,20>0,05).
5. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan tentang pestisida sangat penting untuk dimiliki oleh petani
khususnya. Hal ini berkaitan dengan pemahaman dan kemampuan petani dalam
melakukan pengelolaan pestisida dengan baik pula, sehingga risiko terjadinya
keracunan dapat dihindari. Hasil penelitian Prijanto (2009), menunjukkan bahwa
tingkat pengetahuan petani merupakan faktor risiko terjadinya keracunan dengan
nilai OR 1,96; 95% CI 1,09-3,15. Namun hasil penelitian oleh Zuraida (2012),
menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keracunan
pestisida pada petani dengan nilai p>0,05 (0,423>0,05).
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Praktik/Perilaku
Berdasarkan penelitian Wahyuni (2010), diketahui bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku petani dalam penggunaan pestisida adalah pengaruh
32
teman seprofesi, kurangnya sosialisasi kebijakan, serta persepsi petani yang masih
keliru tentang pestisida. Oleh Azwar (2013) disebutkan bahwa perilaku juga
berorientasi pada tujuan dengan kata lain perilaku pada umumnya dimotivasi oleh
keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Hal ini berdampak pada penggunaan
pestisida yang tidak sesuai dengan petunjuk dan aturan yang tepat karena adanya
tujuan untuk memperoleh hasil panen yang baik. Pola penggunaan pestisida harus
mengacu kepada 6T yaitu tepat jenis, dosis, waktu penggunaan, cara penggunaan,
sasaran, dan kombinasi (Djojosumarto, 2008). Dalam Khamdani, (2009)
disebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya praktik oleh Green
dikenal dengan model PRECEDE (Predisposing, Reinforcing and Enabling).
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factor)
Faktor predisposisi yaitu faktor yang mempermudah dan mempengaruhi
terjadinya perilaku diantaranya pendidikan, pengetahuan, umur dan masa kerja.
Seseorang dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah untuk memahami
perubahan yang terjadi dilingkungannya dan orang tersebut akan menyerap
perubahan tersebut apabila merasa bermanfaat bagi dirinya.
Pengetahuan, menurut Notoatmodjo, (2003), perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Umur sebagai bagian dari faktor predisposisi mendapat perhatian
karena akan mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemauan kerja, dan tanggung
jawab seseorang. Menurut teori psikologi, masa dewasa di bagi menjadi dewasa
awal adalah usia 18-40 tahun dan dewasa lanjut usia 41-60 tahun sedangkan lansia
adalah di atas 60 tahun (Irwanto, 2002). Umur pekerja dewasa awal diyakini dapat
33
membangun kesehatannya dengan cara mencegah suatu penyakit atau
menanggulangi gangguan penyakitnya. Masa kerja akan berkaitan dengan
semakin lama tenaga kerja bekerja, semakin banyak pengalaman yang dimiliki
begitu pula sebaliknya semakin singkat masa kerja, akan semakin sedikit
pengalaman yang diperoleh. Pengalaman bekerja banyak memberikan keahlian
dan keterampilan kerja, sebaliknya terbatasnya pengalaman kerja mengakibatkan
tingkat keahlian dan keterampilan yang dimiliki makin rendah.
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan
bagi masyarakat. Sarana dan prasarana atau fasilitas yang di maksud adalah alat
pelindung diri yang digunakan petani pengguna pestisida semprot seperti pakaian
kerja, penutup kepala, alat pelindung pernafasan, sarung tangan dan sepatu kerja
atau boot, sehingga memungkinkan petani untuk memakai alat pelindung diri
tersebut.
c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)
Faktor ini meliputi sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas
kesehatan dalam hal sosialisasi pengamanan dalam penggunaan pestisida. Faktor
tersebut akan mempengaruhi petani dalam pemakaian alat pelindung diri. Selain
itu pengelolaan produk pestisida oleh pemerintah seperti sistem pengawasan
langsung, ketersediaan pelatihan bagi petani penyemprot pestisida dan
dikeluarkannya perundang-undangan serta buku-buku petunjuk mengenai
pengelolaan pestisida.
top related