bab ii kajian pustaka 2.1 2.1.1 1) - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/19059/3/1306043004-3-bab...
Post on 02-Feb-2018
229 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Dasar Pajak
1) Pengertian Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal balik (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut Feldmann, pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh
dan terutang kepada penguasa, tanpa adanya kontrapretasi dan semata-mata
digunakan untuk menutup pengeluara-pengeluaran umum.
Menurut Smeet, pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
melalui norma-norma umum yang dapat dipaksakan tanpa adanya
kontrapretasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual, maksudnya
adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur-unsur.
(1) Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak
hanyalah negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
(2) Berdasarkan Undang-Undang, pajak dipungut berdasarkan atau
dengan ketentuan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya.
5
(3) Tanpa jasa timbal balik atau kontrapretasi dari negara yang secara
langsung dapat ditunjuk. Saat pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan kontrapretasi individual oleh pemerintah.
(4) Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni
pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2) Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2016), terdapat dua fungsi pajak yaitu budgetair
dan regulerend. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
(1) Fungsi Budgetair, yaitu pajak sebagai sumber dana bagi
pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
(2) Fungsi Regulerend atau fungsi mengatur, pajak sebagai alat
untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam
bidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
a) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras
untuk mengurangi konsumsi minuman keras.
b) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang
mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.
c) Tarif pajak untuk ekspor 0% untuk mendorong ekspor
produk Indonesia di pasar dunia.
6
3) Asas-Asas Perpajakan
Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip oleh Nurmantu (2013),
mengemukakaan 4 (empat) asas yang disebut sebagai four maxims atau
four canons, diantaranya adalah equity, certainty, convenience, dan
efficiency, yang akan dijelaskan dibawah ini.
(1) Equity adalah supaya tekanan pajak antara subjek pajak masing-
masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya,
yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya dibawah
perlindungan negara.
(2) Certainty, dimaksudkan supaya pajak yang harus dibayar seseorang
harus terang dan pasti tidak dapat dimulur-mulur atau ditawar-tawar.
(3) Convenience, dimaksudkan supaya dalam memungut pajak
pemerintah hendaknya memperhatikan saat-saat yang paling baik
bagi pembayar pajak.
(4) Efficiency, dimaksudkan supaya pemungutan pajak hendaknya
dilaksanakan sehemat-hematnya, jangan sampai biaya-biaya
memungut lebih tinggi daripada pajak yang dipungut.
4) Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2016), terbagi menjadi
Official Assesment System, Self Assesment System dan With Holding Tax
System. Penjelasan dari ketiga sistem pemungutan pajak tersebut adalah
sebagai berikut.
(1) Official Assesment System adalah suatu sistem pemungutan yang
memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan
7
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Cirinya-cirinya
adalah wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang pada
fiskus; wajib pajak bersifat pasif; utang pajak timbul setelah
dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
(2) Self Assesment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya adalah wewenang untuk
menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri;
wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang; fiskus tidak ikut campur, hanya
mengawasi.
(3) With Holding Tax System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan
bukan wajib pajak yang bersangkutan). Ciri-cirinya adalah
wewenang menentukan besarnya pajak terutang ada pada pihak
ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak itu sendiri.
5) Jenis Pajak
Menurut Mardiasmo (2016), pajak dapat diklasifikasikan menurut
golongan yang terdiri dari pajak langsung dan tidak langsung,
berdasarkan sifatnya terdiri dari pajak subjektif dan pajak objektif,
sedangkan menurut lembaga pemungutannya pajak terdiri pajak pusat
dan pajak daerah, yaitu.
8
(1) Menurut golongannya
a) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri
oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak
Penghasilan (PPh).
b) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya
dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
(2) Menurut Sifatnya
a) Pajak subjektif, pajak yang berpangkal atau berdasarkan
pada subyeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri
wajib pajak. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
b) Pajak Objektif, pajak yang berpangkal pada obyeknya,
tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM).
(3) Menurut Lembaga Pemungutannya
a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
negara. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN, dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), dan Bea Materai.
9
b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
daerah. Pajak daerah terdiri atas.
- Pajak Provinsi, contoh: pajak kendaraan bermotor dan
pajak bahan bakar kendaraan bermotor.
- Pajak Kabupaten, contoh: pajak hotel, pajak restoran,
dan pajak hiburan.
6) Tarif Pajak
Menurut Mardiasmo (2016), tarif pajak terdiri dari.
(1) Tarif sebanding/proporsional
Tarif pajak berupa prosentase yang tetap terhadap berapapun
jumlah yang dikenai pajak sehingga pajak yang terutang
proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Contoh:
untuk menyerahkan barang kena pajak di dalam daerah pabean
akan dikenakan pajak pertambahan nilai sebesar 10%.
(2) Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah
yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak terutang tetap. Contoh:
besarnya tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai
nominal berapapun adalah Rp 1.000.000,00.
(3) Tarif Progresif
Prosentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang
dikenai pajak semakin besar. Contoh: Pasal 17 UU Pajak
Penghasilan.
10
2.1.2 Pajak Penghasilan
1) Pengertian Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan termasuk dalam kategori pajak subjektif, artinya
pajak dikenakan karena ada subjeknya yaitu yang telah memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan perpajakan. Apabila
tidak ada subjek pajaknya maka jelas tidak dapat dikenakan pajak
penghasilan.
Menurut Early Suandy dalam bukunya hukum pajak (2013), pajak
penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan dapat
dikenakan secara berkala dan berulang-ulang dalam jangka waktu
tertentu baik masa pajak maupun tahun pajak.
Sedangkan menurut Siti Resmi (2014), Pajak Penghasilan adalah
pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima yang dapat dikenakan secara berkala dan berulang-ulang
dalam jangka waktu tertentu dalam suatu tahun pajak.
2) Subjek Pajak Penghasilan
Subjek dapat diartikan sebagai orang yang dituju oleh Undang-
Undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan
terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Apabila ditinjau dari lembaga pemungutannya maka pajak
penghasilan dikategorikan sebagai subjek pajak, dengan pengertian
bahwa pajak penghasilan ini berpangkal atau mendasarkan pada
11
subjek pajaknya. Menurut Mardiasmo (2016), yang dimaksud
dengan subjek pajak antara lain.
(1) Orang pribadi
Orang pribadi subjek pajak dapat bertempat tinggal atau
berada di Indonesia atau di luar Indonesia.
(2) Warisan yang belum terbagi sebagi suatu kesatuan
menggantikan yang berhak.
Subjek pajak warisan yang belum terbagi sebagai suatu
kesatuan merupakan subjek pajak pengganti menggantikan
mereka yang berhak yaitu ahli waris. Ketika warisan ini sudah
terbagi maka pewarisnyalah yang merupakan subjek pajak.
(3) Badan
Pengertian “badan” mengacu pada ketentuan Undang-Undang
ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
12
Badan sebagai subjek pajak merupakan perkumpulan yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk
memperoleh penghasilan dan/atau memberikan jasa kepada
anggota. Perkumpulan mencakup pula asosiasi, persatuan,
penghimpunan atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai
kepentingan yang sama. Surat edaran Jenderal Pajak Nomor
SE/26/Pj.42/1999 tanggal 21 Juni 1999 menyebutkan bahwa
partai politik juga termasuk subjek pajak.
(4) Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak di dirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk usaha tetap ini
ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri, terpisah dari
badan.
Berdasarkan segi lokasi subjek pajak penghasilan dapat di
bedakan menjadi 2, yaitu subjek pajak dalam negeri dan
subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri terdiri
atas orang pribadi, badan, dan warisan yang belum terbagi.
Sedangkan subjek pajak luar negeri terdiri atas orang pribadi
dan badan.
13
Subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang
bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari
(tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan atau
orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di
Indonesia, badan yang didirikan atau berkedudukan di
Indonesia kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang
memenuhi syarat, yaitu sebagai berikut.
a) Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
b) Pembiayaan bersumber dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD).
c) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah
pusat dan daerah.
d) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
Selain itu, warisan yang belum terbagi sebagai suatu
kesatuan menggantikan yang berhak dapat juga
diklasifikasikan sebagai subjek pajak dalam negeri.
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
14
usaha tetap di Indonesia juga termasuk sebagai subjek pajak
luar negeri.
Bentuk usaha tetap merupakan bentuk usaha yang
dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan serta badan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat tinggal di Indonesia untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan usaha. Yang termasuk dalam pengertian
bentuk usaha tetap adalah (1) tempat kedudukan manajemen,
(2) cabang perusahaan, (3) kantor perwakilan, (4) gedung
kantor, (5) pabrik, (6) bengkel, (7) gudang, (8) ruang untuk
promosi dan penjualan, (9) pertambangan dan penggalian
sumber alam, (10) wilayah kerja pertambangan minyak dan
gas bumi, (11) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,
atau perhutanan, (12) proyek konstruksi, instalasi, atau
proyek perakitan, (13) pemberian jasa dalam bentuk apapun
oleh pegawai atau orang lain sepanjang dilakukan lebih dari
60 hari dalam jangka waktu 12 bulan, (14) orang pribadi atau
badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas, (15) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang
tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung resiko di Indonesia, (16)
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang
dimiliki, disewa, dan digunakan oleh penyelenggara transisi
15
elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui
internet.
Perbedaan antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak
luar negeri ditunjukkan pada Tabel 2.1 seperti berikut.
Tabel 2.1
Perbedaan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar Negeri
Dikenakan pajak atas penghasilan, baik
yang diterima atau diperoleh dari
dalam maupun luar negeri.
Dikenakan pajak hanya atas
penghasilan yang berasal dari sumber
penghasilan di Indonesia.
Dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan neto.
Dikenakan pajak berdasarkan
penghasilan bruto.
Tarif yang digunakan adalah tarif UU
PPh Pasal 17.
Tarif yang digunakan adalah tarif UU
PPh Pasal 26.
Wajib menyampaikan SPT. Tidak wajib menyampaikan SPT.
Sumber : Mardiasmo. Perpajakan Edisi Revisi Penerbit Andi.2016.
3) Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak penghasilan dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan
pajak dan untuk menghitung pajak terutang. Yang menjadi objek pajak
penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Penghasilan yang menjadi objek pajak dapat dikelompokkan menjadi
4 (empat) bagian, yaitu.
(1) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja.
16
(2) Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
(3) Penghasilan dari modal atau penggunaan harta.
(4) Penghasilan lain-lain yaitu penghasilan yang tidak dapat masuk
dalam 3 kelompok tersebut.
Selain itu penghasilan juga dapat dikelompokkan menjadi penghasilan
yang dikenakan pajak tidak final dan pajak final. Objek pajak
penghasilan yang dikenakan pajak tidak final antara lain.
a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima/diperoleh termasuk gaji, upah, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lain.
Jika penggantian atau imbalan dapat diakui sebagai penghasilan
bagi penerimaannya maka bagi pemberi, penggantian atau imbalan
tersebut dapat diakui sebaga biaya.
b) Hadiah dari undian atau pekerjaan/kegiatan dan penghargaan
termasuk dalam pengertian “hadiah” adalah hadiah dari undian,
pekerjaan dan kegiatan sedangkan yang dimaksud dengan
penghargaan adalah imbalan yang sehubungan dengan kegiatan
tertentu.
c) Laba usaha merupakan penjualan yang telah dikurangi dengan
harga pokok penjualan dan biaya lainnya.
d) Keuntungan karena penjualan dan pengalihan harta termasuk.
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lain sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal.
17
- Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu atau anggota yang diperoleh perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya.
- Keuntungan karena likuiditas, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha atau
reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun.
- Keuntungan karena pengalihan harta hibah, bantuan atau
sumbangan kecuali diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat da badan
keagamaan atau badan pendidikan, badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, kepemilikan, pekerjaan atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan.
- Keuntungan karena penjualan dari pengalihan sebagian
atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan serta permodalan dalam perusahaan
pertambangan. Keuntungan karena penjualan dan
pengalihan harta muncul apabila harga jual atas harga lebih
tinggi dari nilai buku. Harga jual yang dipakai sebagian
dasar menilai keuntungan adalah harga pasar.
e) Penerimaan kembali biaya pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
18
f) Biaya termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena
jaminan pengembalian utang. Premium timbul apabila obligasi
dijual atas nilai nominalnya. Premium merupakan penghasilan
bagi pihak yang menjual obligasi sedangkan diskonto
merupakan penghasilan dari pihak yang membeli diskonto.
g) Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk
deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan
pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi.
h) Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
i) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta.
j) Penerimaan atau perolehan biaya berkala.
k) Keuntungan karena pembebasan utang kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
l) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
m) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n) Premi asuransi.
o) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri atas wajib pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas.
p) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang
belum kena pajak.
q) Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
19
r) Imbalan bunga sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan.
s) Surplus Bank Indonesia.
4) Undang-Undang Yang Mengatur Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia di atur dalam pertama kali dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada
lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1983 Nomor 50.
Selanjutnya berturut-turut.
(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.
(2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994.
(3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
(4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
5) Pajak Penghasilan Badan
Menurut Djoko Muljono (2007), kewajiban pajak subjektif badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir
pada saat dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.
Pada tahun 2009, untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh)
perusahaan atau lebih dikenal dengan sebutan PPh Badan menggunakan
tarif yang berbeda dari tahun sebelumnya. Jika pada tahun-tahun
sebelumnya digunakan tarif progresif, maka untuk tahun 2009 dan
seterusnya digunakan tarif tetap.
Ada beberapa tarif yang diterapkan, sesuai dengan kondisi
perusahaan. Tarif-tarif tersebut adalah sebagai berikut.
20
(1) Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf b = 28%
Perusahaan menggunakan tarif ini jika peredaran bruto usahanya
lebih dari Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Contoh : PT. ABC selama tahun 2009 peredaran bruto-nya
sebesar Rp 55.000.000,00, penghasilan bersihnya/Penghasilan
Kena Pajak (PhKP) sebesar Rp 4.000.000.000,00. Maka PPh
terutang:
28% × Rp 4.000.000.000,00 = Rp 1.120.000.000,00
(2) Tarif PPh Pasal 17 ayat (2) huruf b = (28% - 5%)
Perusahaan menggunakan tarif ini jika perusahaan tersebut
merupakan perusahaan terbuka (perusahaan sahamnya
diperjual-belikan di pasar modal). Dengan catatan saham yang
diperdagangkan adalah 40% dari total secara keseluruhan.
Berapapun peredaran brutonya, tarifnya adalah (28%-5%) ×
PKP.
Contoh : PT. Bagus Tbk adalah anggota Bursa Efek Indonesia
(BEI) dan saham yang diperdagangkan di pasar modal adalah
50% dari total saham. Pada tahun 2009, PT. Bagus Tbk
peredaran brutonya adalah Rp 45.000.000.000,00 dan
Penghasilan Kena Pajaknya Rp 4.000.000.000,00. Maka PPh
terutang:
(28%-5%) × Rp 4.000.000.000,00 = Rp 920.000.000,00
(3) Tarif PPh Pasal 31 huruf E perusahaan menggunakan tarif ini
jika peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima
21
puluh miliar rupiah) dan tidak tercatat sebagai perusahaan
terbuka. Penghitungan tarifnya ada 2 macam, yaitu.
a) 50% × 28%
Perusahaan menggunakan tarif ini jika peredaran bruto
sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah). Contoh: PT. XYZ peredaran bruto selama
tahun 2009 adalah Rp 4.000.000.000,00 dan Penghasilan
Kena Pajak Rp 800.000.000,00. Maka PPh terutang :
(50% × 28% ) × Rp 800.000.000,00 = Rp 112.000.000,00
b) (50% × 28%) × PKP yang memperoleh fasilitas + (28% ×
PKP tidak memperoleh fasilitas).
PKP tidak memperoleh fasilitas = PKP – PKP yang
memperoleh fasilitas. Contoh: PT. Horizon peredaran bruto
tahun 2009 sebesar Rp 30.000.000,00, penghasilan kena
pajaknya Rp 5.000.000.000,00. Maka PPh terutang.
a) PKP yang memeroleh fasilitas, yaitu sebagai berikut.
(Rp 4.800.000.000,00 / Rp 30.000.000.000,00) ×
Rp 5.000.000.000,00 = Rp 800.000.000,00
b) PKP yang tidak memperoleh fasilitas, yaitu sebagai
berikut. Rp 5.000.000.000,00 – Rp 800.000.000,00 =
Rp 4.200.000.000,00
c) PPh terutang = (50% × 28% × Rp 800.000.000,00) +
(28% × Rp 4.200.000.000,00) = Rp 1.288.000.000,00.
22
(4) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
Tarif tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 yang menjadi
dasar pengenaan pajak penghasilan adalah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2008 perubahan keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983.
(5) Sesuai dengan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh, maka tarif
penghitungan PPh Badan untuk pajak tahun 2010 ini adalah tarif
25% dari Penghasilan Kena Pajak.
(6) Sesuai dengan Pasal 31 E UU PPh tersebut terdapat fasilitas atas
besarnya tarif pajak PPh badan ini adalah Wajib Pajak badan
dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat
fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh
persen) dan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf b dan ayat (2) huruf a yang dikenakan atas Penghasilan
Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2.1.3 Konsep Modal
Menurut Atmaja (2002), modal adalah dana yang digunakan untuk
membiayai pengadaan aktiva dan operasi perusahaan. Modal terdiri dari
item-item yang ada disisi kanan suatu neraca yaitu utang, saham preferen,
saham biasa, dan laba ditahan.
23
Menurut Thomas C. (2002), modal adalah suatu aktiva dengan umur
lebih dari satu tahun dan tidak diperdagangkan dalam kegiatan sehari-
hari.
Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
modal adalah dana yang digunakan untuk membiayaan pengadaan aktiva
dan operasi perusahaan yang tidak diperdagangkan sehari-hari.
2.1.4 Struktur Modal
1) Pengertian Struktur Modal
Menurut J. Fred Weston dan Thomas E Copeland (1996)
mengatakan bahwa struktur modal adalah pembiayaan permanen yang
terdiri dari utang jangka panjang, saham preferen, dan modal pemegang
saham.
Berdasarkan beberapa referensi tersebut penulis dapat
menyimpulkan bahwa struktur modal adalah proporsi dalam
menentukan pemenuhan kebutuhan belanja perusahaan dengan sumber
pendanaan jangka panjang yang berasal dari dana internal dan dana
eksternal, dengan demikian stuktur modal adalah struktur keuangan
dikurangi utang jangka pendek. Sedangkan pengertian struktur
keuangan menurut Farah Margaretha (2004) menggambarkan susunan
keseluruhan sisi kredit neraca yang terdiri atas utang jangka pendek,
utang jangka panjang, dan modal sendiri. Kebutuhan dana yang berasal
dari dalam atau sering disebut modal sendiri adalah modal yang berasal
dari perusahaan itu sendiri seperti cadangan laba yang berasal dari
pemilik seperti modal saham. Modal inilah yang menjadi tanggungan
24
terhadap keseluruhan resiko perusahaan dan dijadikan jaminan bagi
kreditor. Sedangkan dana yang berasal dari kreditur (penyandang dana),
modal inilah yang merupakan utang bagi perusahaan yang
bersangkutan.
2) Komponen Struktur Modal
Menurut Warsono (2003), Struktur modal suatu perusahaan secara
umum terdiri dari dua komponen, yaitu utang jangka panjang dan
modal sendiri. Diuraikan sebagai berikut.
(1) Utang jangka panjang
Menurut Keown (2004) utang jangka panjang meliputi pinjaman
dari Bank atau sumber lain yang meminjamkan uang untuk waktu
jangka panjang lebih dari 12 bulan. Pinjaman utang jangka
panjang dapat berupa pinjaman berjangka (pinjaman yang
digunakan untuk membiayai kebutuhan modal kerja permanen,
untuk melunasi utang lain atau membeli mesin dan peralatan) dan
penerbitan obligasi (utang yang diperoleh melalui penjualan
surat-surat obligasi ditentukan nilai normal, bunga per tahun, dan
jangka waktu pelunasan obligasi tersebut).
(2) Modal sendiri
Modal sendiri atau ekuitas merupakan modal jangka panjang yang
diperoleh dari pemilik perusahaan atau pemegang saham. Modal
sendiri diharapkan tetap berada dalam perusahaan untuk jangka
waktu yang tidak terbatas sedangkan modal pinjaman memiliki
jatuh tempo.
25
Terdapat 2 (dua) modal saahm sendiri sebagaimana di jelaskan
sebagai berikut.
a) Modal saham preferen
Saham preferen memberikan para pemegang sahamnya
beberapa hak istimewa yang menjanjikannya lebih di
prioritaskan daripada pemegang saham biasa. Oleh karena itu
perusahaan tidak memberikan saham preferen dalam jumlah
yang banyak.
b) Modal saham biasa
Pemilik perusahaan adalah pemegang saham biasa yang
menginvestasikan uangnya dengan harapan mendapat
pengembalian di masa yang akan datang. Pemegang saham
biasa kadang disebut pemilik residual, sebab mereka hanya
menerima saja setelah seluruh tuntutan atas pendapatan dan
aset terpenuhi.
3) Teori Struktur Modal
Menurut Houtson (2011) teori mengenai struktur modal modern
bermula pada tahun 1958 ketika Prof. Franco Modligiani dan Prof.
Merton Miller (yang selanjutnya kita sebut MM) mempublikasikan yang
disebut sebagai artikel keuangan yang paling berpengaruh yang pernah
ditulis. Berdasarkan serangkaian asumsi yang sangat membatasi MM
membuktikan bahwa nilai suatu perusahaan tidak memengaruhi struktur
modalnya. Dengan kata lain hasil-hasil MM menyatakan bahwa tidak
terjadi masalah perusahaan membiayai operasinya, jadi struktur modal
26
tidak relevan. Tetapi studi MM didasarkan pada sejumlah asumsi yang
tidak realistis antara lain.
a) Tidak ada biaya broker (pialang)
b) Tidak ada pajak
c) Tidak ada biaya kebangkrutan
d) Para investor dapat meminjam dengan tingkat suku bunga
yang sama seperti manajemen mengenai peluang investasi
perusahaan dimasa yang akan datang.
e) Earnings Before Interest and Taxes (EBIT) atau laba sebelum
bunga dan pajak tidak dipengaruhi oleh penggunaan utang.
4) Faktor Penentu Struktur Modal
Menurut Moeljadi (2006), penentu struktur modal perlu
mempertimbangkan beberapa hal yang dapat dijelaskan dalam uraian
sebagai berikut.
a) Tujuan perusahaan
Tujuan struktur modal yang optimal adalah yang dapat
memaksimalkan nilai pasar perusahaan. Sedangkan apabila
tujuan manajer adalah memaksimalkan kemanan pekerjanya,
maka struktur modal yang optimal adalah rata-rata (average)
perusahaan lain dalam satu industri.
b) Tingkat average perusahaan yang sama dalam satu industri.
c) Kemampuan dana intern. Penentuan dana intern adalah tingkat
pertumbuhan pendapatan. Tingkat pertumbuhan pendapatan
yang tinggi memungkinkan manajemen memperoleh dana yang
27
lebih besar daripada laba ditahan yang akan mengurangi dana
pinjaman.
d) Pemusatan pemilikan dan pengendalian suara. Apabila saham
yang ada dalam suatu perusahaan hanya dimiliki oleh sejumlah
kecil pemilik maka manajer akan segan untuk mengeluarkan
saham baru.
e) Batas kredit. Usaha manajemen menyesuaikan average dengan
yang lain dipengaruhi oleh sikap kreditor terhadap perusahaan
tersebut.
f) Besarnya perusahaan. Suatu perusahaan yang berukuran lebih
besar mudah memperoleh pinjaman jika dibandingkan dengan
perusahaan kecil.
g) Pertumbuhan aktiva perusahaan. Pertumbuhan aktiva dapat
dijadikan indikator bagi kesempatan pengembangan perusahaan
pada waktu yang akan datang sebab dapat memberikan
gambaran bagi kebutuhan dana secara total dalam perusahaan.
h) Stabilitas produktif. Berhubung variabilitas produktif dapat
menjadi ukuran rasio bisnis suatu perusahaan, maka calon
kreditor cenderung memberikan pinjaman kepada perusahaan
yang mempunyai produktivitas yang relatif stabil.
i) Biaya modal sendiri. Karena biaya modal sendiri dapat
merefleksikan harga saham maka turun naiknya saham akan
menunjukkan harapan bagi pembiayaan ekuitas yang murah
28
atau mahal yang dapat mengakibatkan pembiayaan menjadi
kurang/lebih menarik.
j) Biaya utang. Jika biaya utang lebih besar dari rentabilitas, maka
penambahan utang akan membawa efek yang tidak baik bagi
rentabilitas modal sendiri.
k) Tarif pajak. Karena pembayaran bunga merupakan pengurangan
pajak bagi perusahaan, maka pembiayaan akan lebih menarik
daripada pembiayaan ekuitas. Dengan demikian tarif pajak dan
resiko rata-rata di hipotesiskan mempunyai hubungan positif.
l) Perkiraan tingkat inflasi. Perkiraan tingkat inflasi akan
memengaruhi permintaan dan penawaran dana. Dalam keadaan
inflasi yang tinggi perusahaan menyukai pembiayaan.
m) Kemampuan dana sumber utang. Penawaran dana secara
agregat terutama dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah.
Berkurangnya ketersediaan dana ekstern mengakibatkan
pembiayaan menjadi lebih mahal.
n) Kebiasaan umum di pasar modal. Kebiasaan yang kaku di pasar
modal misalnya investor hanya menyukai surat-surat berharga
yang dikeluarkan oleh Bank, perusahaan asuransi, dan public
utility akan menyulitkan perusahaan untuk segera mengubah
struktur modalnya.
o) Struktur Aktiva. Apabila komposisi aktiva suatu perusahaan
bersifat capital-intensive maka yang diutamakan adalah
pembiayaan. Artinya modal pinjaman hanya merupakan
29
pelengkap terutama untuk memenuhi kebutuhan dana bagi
modal kerja.
2.2 Pembahasan hasil penelitian sebelumnya
Pembahasan hasil penelitian sebelumnya dijelaskan seperti pada Tabel 2.2
berikut.
Tabel 2.2
Penelitian Sebelumnya
No. Peneliti Variabel
yang
digunakan
Alat
Analisis
Hasil
Penelitian
Persamaan Perbedaan
1. Mutria
Lisa
Septiami
(2010)
a. Modal
sendiri
b. Hutang
Jangka
Panjang
Regresi
linear
berganda
a. Tidak ada
hubungan
linear
antara
modal
sendiri
dengan
pajak
penghasilan
terutang
b. Terdapat
hubungan
linear
antara
hutang
jangka
panjang
dengan
pajak
penghasilan
terutang.
Modal
sendiri,
hutang jangka
panjang dan
jangka
pendek.
Analisis
data
dengan
data
kuantitatif.
2. Nur
Wachidah
Yulianti
(2011)
Debt to
Asset Ratio
Regresi
linear
berganda
Variable Debt
to Asset Ratio
tidak memiliki
pengaruh
terhadap PPh
terhutang
sehingga jika
perusahaan
Menggunakan
Variable Dabt
to Asset Ratio
Analisa
data
dengan
data
kuantitatif
30
meningkatkan
atau
menurunkan
DAR nya maka
tidak akan
membawa
dampak apapun
terhadap pajak
penghasilan
Sumber : data diolah, 2016
top related