bab i pendahuluan a. latar...
Post on 02-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi dengan mengutamakan pelayanan
pasien (patient oriented) yang mengacu pada Pharmaceutical Care. Kegiatan
pelayanan yang sebelumnya hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi
berubah menjadi pelayanan yang komprehensif mencakup pemberian informasi untuk
mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat
untuk mengetahui hasil terapi serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error), dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Depkes
RI, 2009a).
Rumah sakit sebagai sarana kesehatan terpenting hendaknya memberikan
pelayanan yang bermutu dan memuaskan konsumennya dalam hal ini pasien.
Kepuasan pelanggan (customer satisfaction) adalah suatu ukuran kinerja yang
diberikan oleh sebuah produk sepadan dengan harapan pembeli. Jika kinerja produk
kurang dari harapan, pelanggan kecewa. Jika kinerja sepadan dengan harapan,
pelanggan puas. Jika kinerja produk melebihi harapan, pelanggan senang atau sangat
senang (Kotler dan Amstrong, 2001). Kepuasan pasien seharusnya dinilai dengan
survey berkala yang dilakukan secara baik setidaknya setahun sekali. Lengkap dan
2
akuratnya pelayanan penunjang medik kerap kali menjadi fakor utama dalam promosi
suatu rumah sakit dalam bersaing dengan rumah sakit lain (Aditama, 2000).
Akhir akhir ini biaya kesehatan ataupun pengobatan dirasa tinggi oleh
sebagian besar masyarakat. Tingginya biaya yang diperlukan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan menyebabkan adanya perubahan paradigma
dari pembiayaan yang bersifat swadana ke pembiayaan yang berkoorporasi dengan
perusahaan penjamin atau dikenal dengan sebutan perusahaan asuransi yang banyak
digunakan oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, sehingga
Pemerintah menjamin atau menanggung biaya pengobatan dengan Asuransi
Kesehatan (ASKES) dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Setelah dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1223/MENKES/SK/IX/2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit, banyak rumah sakit berusaha menerapkan standar pelayanan
kefarmasian dengan harapan dapat meningkatkan kepuasan pasien yang dilayani oleh
rumah sakit tersebut. Akan tetapi, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia berpotensi
menyebabkan adanya perbedaan antara harapan konsumen dan pelayanan
kefarmasian yang di terima oleh pasien rawat jalan peserta BPJS ataupun pasien
rawat jalan peserta asuransi swasta.
3
Untuk menilai perbedaan harapan konsumen dan pelayanan kefarmasian yang
diterima oleh pasien rawat jalan peserta BPJS ataupun pasien rawat jalan peserta
asuransi swasta, perlu dilakukan penelitian tentang analisis Perbedaan Tingkat
Kepuasan Pasien Rawat Jalan BPJS dan Asuransi Swasta terhadap Pelayanan
Kefarmasian di RS Bethesda Yogyakarta. Rumah sakit tersebut dijadikan sampel
karena merupakan rumah sakit swasta yang sering dijadikan rujukan sehingga
pasiennya lebih kompleks serta menerima pasien peserta BPJS ataupun asuransi
swasta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah :
1. Apakah terdapat perbedaan tingkat kepuasan pasien peserta BPJS dan
Asuransi Swasta terhadap pelayanan kefarmasian di RS Bethesda
Yogyakarta?
2. Dimensi apakah yang perlu mendapat perhatian lebih dari pihak instalasi
farmasi rawat jalan RS Bethesda Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Melihat perbedaan tingkat kepuasan pasien peserta BPJS dan Asuransi
swasta terhadap pelayanan kefarmasian di RS Bethesda Yogyakarta.
2. Mengetahui pada dimensi mana yang perlu mendapat perhatian lebih dari
pihak instalasi farmasi rawat jalan RS Bethesda Yogyakarta.
4
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, yaitu untuk:
a) Mengetahui harapan dan persepsi pasien rawat jalan BPJS dan
Asuransi Swasta terhadap pelayanan kefarmasian di rumah
sakit tersebut, sehingga dapat dipergunakan sebagai acuan
mengambil langkah yang strategis yang tepat sasaran untuk
menerapkan standar pelayanan kefarmasian efektif dan efisien.
b) Mengetahui dan mengevaluasi jalannya proses pelayanan yang
diberikan pihak rumah sakit kepada pasien
2. Bagi peneliti, merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga dalam
menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama studi secara nyata.
3. Bagi pihak penyelenggara Asuransi, bermanfaat sebagai acuan dalam
pengembangan perbaikan sistem kesehatan asuransi tersebut.
E. Tinjauan Pustaka
1. Produk Jasa (Pelayanan)
Produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar yang dapat
memuaskan kebutuhan atau keinginan konsumen. Oleh karena itu produsen harus
mengetahui kebutuhan dan keinginan konsumen, kemudian memproduksinya dengan
tujuan untuk memuaskan konsumen. Konsep produk tidak terbatas hanya
5
benda/barang fisik. Segala sesuatu yang dapat memuaskan konsumen juga dapat
disebut produk (Sampurno, 2009).
Jasa adalah kegiatan, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk
dijual misalnya jasa reparasi, jasa potong rambut, dan jasa pendidikan. Menurut
penggolongan tersebut, jasa dimasukkan sebagai barang yang tidak konkrit atau tidak
kentara (Dharmmesta dan Sukotjo, 2007). Jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan
yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak
berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Jasa memiliki empat
karakteristik utama menurut Kotler dan Keller (2006), yaitu :
1. Tidak berwujud (intangible), jasa mempunyai sifat tidak berwujud, tidak
dapat dilihat, dirasa, diraba, didengar atau dicium sebelum jasa tersebut dibeli.
Untuk mengurangi ketidak pastian, para pembeli akan mencari tanda atau
bukti mutu jasa tersebut. Mereka akan menarik kesimpulan mengenai mutu
jasa dari tempat, orang, peralatan, alat komunikasi, simbol, dan harga yang
mereka lihat.
2. Tidak terpisahkan (inseparibility), umumnya jasa dikonsumsi dan dihasilkan
bersamaan. Jika seseorang memberikan pelayanan, maka penyediaannya
merupakan bagian jasa tersebut.
3. Bervariasi (variability), karena tergantung siapa penyediannya dan juga waktu
tempat jasa itu diberikan, jasa sangat bervariasi. Pembeli jasa menyadari
6
keragaman tersebut dan sering membicarakannya dengan orang lain sebelum
memilih seorang penyedia jasa.
4. Mudah lenyap (perishability), jasa tidak dapat disimpan dan merupakan
komoditi yang tidak tahan lama. Nilai jasa hanya ditentukan pada saat
konsumen menerima pelayanan tersebut dan berlangsung saat itu juga.
Produksi jasa dapat terkait atau tidak terkait dengan suatu produk fisik, seperti
yang ditunjukkan dalam service mix, produk yang ditawarkan kepada konsumen
dapat berupa (Kotler dan Keller, 2006) :
1. Murni benda yang berwujud, misalnya sabun, sikat gigi, atau garam
2. Benda berwujud yang disertai pelayanan jasa, misalnya mobil dan komputer
yang biasanya disertai layanan purna jual
3. Gabungan benda berwujud dan jasa dengan porsi yang sama, misalnya
restoran
4. Pelayanan jasa yang disertai benda berwujud, misalnya jasa penerbangan yang
juga menyediakan makanan selama penerbangan
5. Murni pelayanan jasa, misalnya salon dan spa
Pelayanan kefarmasian dapat dikategorikan sebagai gabungan benda
berwujud dan tidak berwujud dalam porsi yang sama karena menggabungkan
produk obat (benda berwujud) dengan pemberian informasi dan konseling (benda
tidak berwujud) dalam porsi yang sama.
7
Para peneliti sudah lama berfokus pada faktor faktor yang terkait dengan
pemilihan penyedia layanan kefarmasian. Faktor klasik yang telah ada sejak lama
adalah mandat dari pihak asuransi, kenyamanan lokasi, kedekatan dengan
farmasis dan stafnya, pertimbangan harga, pelayanan yang cepat, jam buka, dam
parkir (Dominelli dkk., 2005). Menurut Crosby dkk. (1990) pihak manajemen
harus merencanakan strategi yang tepat untuk mendorong loyalitas konsumen,
terkait dengan pengaruhnya pada daya tahan konsumen dan daya tahan
perusahaan.
2. Konsep Pelayanan Kefarmasian / Pharmaceutical Care
Menurut Peraturan Pemerintah No 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Dalam pertemuan di Jerman, International Pharmaceutical Feferation
(FIP) mendefinisikan pharmaceutical care sebagai berikut:
"Pharmaceutical care is the responsible provision of pharmacotheraphy
for the purpose of achieving definite outcomes that improve and maintain
patient's quality of life. It is a collaborative process that aims to prevent or
identify and solve medicinal product and health related problems. This is a
continuous quality improvement process for the use of medicinal product"
8
(Anonim, 2015a). Pelayanan Kefarmasian adalah sebuah tanggung jawab
penggunaan obat untuk terapi yang bertujuan untuk mencapai hasil tertentu untuk
meningkatkan dan menjaga kualitas hidup pasien. Merupakan sebuah proses
kolaboratif yang bertujuan untuk mencegah atau mengidentifikasi dan
memecahkan masalah produk obat dan masalah lain yang terkait kesehatan, yang
merupakan proses perbaikan kualitas yang terus-menerus dalam penggunaan
produk obat.
Prinsip-prinsip implementasi Pharmaceutical care diantaranya
(Sampurno, 2009):
1. Koleksi data
Dalam koleksi data, farmasis melakukan wawancara kepada pasien
yang bersifat tertutup (privacy). Data yang diperoleh tersebut harus cukup
akurat, dikumpulkan dengan baik, dan harus selalu diperbaharui. Data
pasien bersifat rahasia dan hanya dapat diberikan kepada pihak lain
dengan sepengetahuan pasien atau atas nama hukum.
2. Evaluasi informasi dan penyusunan rencana
Farmasis yang berkerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya dan
pasien, melakukan identifikasi dan evaluasi terhadap langkah-langkah
penting yang akan dilakukan guna menjamin keamanan (safety) dan
efektivitas (termasuk biaya) terhadap penggunaaan obat untuk terapi yang
9
dilakukan, sekaligus untuk mengurangi potensial masalah kesehatan yang
mungkin dapat ditimbulkannya.
3. Penerapan rencana
Farmasis bekerja sama dengan pasien dengan tujuan untuk
memaksimalkan pemahaman pasien dan komitmennya terhadap rencana
terapi. Farmasis harus dapat menjamin bahwa pasien mengetahui
penggunaan obat yang rasional dan berbagai peralatan yang terkait dengan
pemantauan penggunaan obat secara benar.
4. Monitoring dan modifikasi rencana untuk mencapai hasil terapi positif
Farmasis secara reguler melakukan telaah terhadap kemajuan yang
dicapai pasien dan memberikan laporan kepada pasien maupun petugas
kesehatan lainnya secara layak. Jika kemajuan yang diharapkan tidak
tercapai, maka harus dilakukan modifikasi sehingga dapat diperoleh hasil
dan kemajuan yang lebih baik.
5. Tindak lanjut
Jika hasil yang diinginkan telah dapat dicapai, prosedur lanjutannya
mesti dilaksanakan untuk menjamin pemulihan kesehatan bagi pasien.
Sasaran pelayanan kefarmasian adalah untuk optimasi kesehatan
pasien dengan meningkatkan kualitas hidupnya dan outcomes klinis yang
positif. Untuk mencapai sasaran tersebut perlu dibina dan dipelihara hubungan
yang berbasis kepedulian, saling percaya, komunikasi yang terbuka, dan
pengambilan keputusan yang melibatkan pihak pihak tertentu. Dalam
10
hubungan tersebut farmasis memberikan prioritas pada kesembuhan pasien,
dan menggunakan seluruh pengetahuan dan keterampilan profesionalnya
untuk kepentingan pasien. Sementara itu pasien setuju memberikan informasi
yang bersifat personal dan preferensi pembiayaan serta berpartisipasi dalam
penyiapan rencana terapi (Sampurno, 2009).
3. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan, tempat
menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan
derajad kesehatan yang optimal bagi masyarakat. IFRS dapat didefinisikan
sebagai suatu departemen atau unit atau bagian di suatu rumah sakit di bawah
pimpinan seorang apoteker, dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang
memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
kompeten secara profesional (Siregar, 2004).
Pelayanan rumah sakit juga merupakan salah satu kegiatan di rumah
sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut
diperjelas dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor:1223/MENKES/SK/IX/2014 yang mengacu pada Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor:1197/Menkes/SK/X/2004, Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit, menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah
sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan
rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang
11
bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua
lapisan masyarakat. Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang
terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan
masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan.
Menurut standar, untuk menunjang pelayanan kefarmasian harus
disediakan sarana dan prasarana yang memadai (bangunan, peralatan, sistem
informasi), harus ada sumber daya manusia yang memadai, serta harus ada
sistem dan kebijakan yang mendukung pelaksaan pelayanan kefarmasian.
Standar pelayanan kefarmasian sendiri meliputi ( Depkes RI, 2014a):
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, ketersediaan, pengkajian
resep, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan, disertai
pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan
upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (Medication
Error). Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi
persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis
baik untuk pasien rawat inap ataupun rawat jalan.
2. Penelurusan Riwayat Penggunaan Obat
Merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh
obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat
12
pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat pasien.
3. Rekonsiliasi Obat
Merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat
yang telah didapat pasien dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
obat (Medication Error) yang rentan terjadi pada pemindahan pasien dari
satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada
pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan
sebaliknya.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi,
rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak di luar rumah
sakit.
5. Konseling
Pemberian konseling obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil
terapi, meminimalkan resiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD),
dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan
keamanan penggunaan obat bagi pasien (Patient Safety).
13
6. Visite
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
oleh apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk
mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah
terkait obat, memantau terapi obat, dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan
informasi obat kepada dokter, pasien serta professional kesehatan lainnya.
7. Pemantauan Terapi Obat
Merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien.
8. Monitoring Efek Samping Obat
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang
tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada
manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi. Efek samping obat
adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja
farmakologi.
9. Evaluasi Penggunaan Obat
Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
10. Dispensing Sediaan Steril
Kegiatan yang harus dilakukan di instalasi farmasi rumah sakit dengan
teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan
14
melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari
terjadinya kesalahan pemberian Obat
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas
permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit
atau atas usulan dari apoteker kepada dokter.
4. Kepuasan Konsumen
a. Definisi kepuasan konsumen
Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang
dihasilkan dari membandingkan persepsi produk yang diterima atau outcomes,
dihubungkan dengan harapannya. Jika performansi produk jauh dari harapan
konsumen maka tidak akan dapat memuaskan konsumen. Jika performansi
produk sesuai dengan harapan konsumen maka konsumen terpuaskan. Jika
persepsi yang diperoleh jauh lebih tinggi dari harapan konsumen maka
konsumen akan sangat terpuaskan (Kotler dan Koller, 2006).
Menurut Wijono (1999) kepuasan pelanggan rumah sakit atau
unit/instalasi dalam suatu rumah sakit dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain yang bersangkutan dengan:
1) Pendekatan dan perilaku petugas, perasaan pasien terutama pada saat
pertama kali datang.
15
2) Mutu informasi yang diterima, seperti: apa yang dikerjakan dan
diharapkan.
3) Prosedur perjanjian.
4) Waktu tunggu.
5) Fasilitas umum yang tersedia.
6) Outcome yang diterima pasien.
b. Mengukur kepuasan konsumen
Kepuasan pasien adalah keluaran dari layanan kesehatan dan suatu
perubahan dari sistem layanan kesehatan yang ingin dilakukan tidak mungkin
tepat sasaran dan berhasil tanpa melakukan pengukuran kepuasan pasien.
Karena pengukuran pasien akan digunakan sebagai dasar untuk mendukung
sistem layanan kesehatan, perangkat yang digunakan untuk mengukur
kepuasan itu harus handal dan dapat dipercaya (Pohan, 2004).
Pengukuran terhadap kepuasan pelanggan menjadi kebutuhan yang
mendasar bagi suatu rumah sakit. Hal ini dikarenakan pengukuran terhadap
kepuasan pelanggan dapat memberikan masukan dan umpan balik dalam
strategi peningkatan kepuasan pelanggan. Menurut Kotler (2001) ada empat
metode yang bisa digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu :
1) Sistem keluhan dan saran
Perusahaan yang berorientasi pada pelanggan (Costumer Oriented)
menyediakan kesempatan penuh bagi para pelanggannya untuk
16
menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang bisa
digunakan meliputi kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis,
menyediakan saluran telepon khusus pengaduan pelanggan, dan membuat
account di situs jejaring sosial.
2) Ghost shopping (Mystery shopping)
Metode ini dilaksanakan dengan mempekerjakan beberapa orang
perusahaan (ghost shopper) untuk berperan atau bersikap sebagai
pelanggan/pembeli di perusahaan dan pesaing. Kemudian ghost shopper
menyampaikan temuan-temuan mengenai kekuatan dan kelemahan produk
perusahaan dan pesaing sehingga dapat dijadikan sebagai koreksi terhadap
kualitas pelayanan perusahaan itu sendiri.
3) Analisa pelanggan yang hilang (Lost customer analysis)
Metode ini dilakukan perusahaan dengan cara menghubungi kembali
pelanggan yang sudah lama tidak berkunjung atau melakukan pembelian lagi
di perusahaan tersebut karena telah berpindah ke perusahaan pesaing,
sehingga diperoleh informasi penyebab terjadinya hal tersebut.
4) Survei kepuasan pelanggan
Sesekali perusahaan perlu melakukan survei kepuasan pelanggan
terhadap kualitas jasa atau produk perusahaan tersebut. Survei ini dapat
dilakukan dengan penyebaran kuesioner oleh karyawan perusahaan kepada
para pelanggan. Melalui survei tersebut, perusahaan dapat mengetahui
kekurangan dan kelebihan produk atau jasa perusahaan tersebut, sehingga
17
perusahaan dapat melakukan perbaikan pada hal yang dianggap kurang oleh
pelanggan.
Selain empat metode tersebut, kepuasan dapat diukur dengan metode
SERVQUAL yaitu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kualitas
pelayanan adalah analsis gap seperti yang dikemukakan oleh Pasuraman dkk.
Dalam penelitiannya mereka mengidentifikasi ada lima gap yang
menyebabkan kegagalan penyampaian jasa, antara lain sebagai berikut :
1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen. Gap tersebut adalah
perbedaan antara penawaran pelayanan untuk pelanggan dan anggapan
manajemen tentang harapan pelanggan.
2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi
kualitas jasa atau spesifikasi kualitas. Gap tersebut disebabkan oleh tidak
adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber
daya, atau karena adanya kelebihan permintaan.
3. Gap penyampaian pelayanan. Gap tersebut adalah kesenjangan antara
spesifikasi kualitas jasa dan pemyampaian jasa.
4. Gap komunikasi pemasaran adalah kesenjangan antara penyampaian jasa dan
komunikasi eksternal.
5. Gap dalam pelayanan yang dirasakan adalah kesenjangan yang terjadi karena
ada perbedaan antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan.
18
Gambar 1. Model Servqual (Pasuraman dkk. 1988)
Pasuraman dkk. (1998) mengemukakan lima dimensi pokok kualitas jasa
yang dapat diukur sebagai berikut :
1. Tangibles (berwujud) meliputi penampilan fisik, peralatan, petugas, dan
materi komunikasi.
2. Reliability (keandalan) adalah kemampuan untuk melaksanakan jasa yang
dijanjikan secara terpecaya dan akurat. Keandalan berhubungan dengan
konsistensi kinerja dan ketergantungan.
19
3. Responsiveness (daya tanggap) adalah kemampuan untuk membantu
pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat. Daya tanggap berhubungan
dengan kesiapan karyawan menyediakan layanan jasa, serta menyangkut
ketepatan waktu pelayanan.
4. Assurance (jaminan) adalah pengetahuan dan kesopanan karyawan serta
kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan.
Jaminan mencakup kebebasan dari rasa takut, beresiko, dan keraguan.
5. Empathy (empati) adalah kesediaan untuk peduli, memberikan perhatian
kepada pelanggan, sensitif terhadap harapan konsumen, dan senantiasa
berupaya untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Seperti konsumen pada umumnya, pasien kadang-kadang (atau selalu) memiliki
pandangan yang berbeda dengan petugas kesehatan ketika menilai kualitas perawatan
dan pelayanan. Sangat penting untuk mengetahui kebutuhan pasien dan
mengumpulkan informasi tentang penyampaian pelayanan jasa dan kegiatan
pelayanan dari sudut pandang pasien.
5. Asuransi Kesehatan (ASKES)
Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992, Asuransi atau
Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
20
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Asuransi kesehatan adalah sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus
menjamin biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi tersebut jika mereka
jatuh sakit atau mengalami kecelakaan. Secara garis besar ada dua jenis perawatan
yang ditawarkan perusahaan-perusahaan asuransi, yaitu rawat inap (in-patient
treatment) dan rawat jalan (out-patient treatment). Produk asuransi kesehatan
diselenggarakan baik oleh perusahaan asuransi sosial, perusahaan asuransi jiwa,
maupun juga perusahaan asuransi umum. Berdasarkan pengelola dana asuransi dibagi
menjadi dua, yaitu askes pemerintah dan askes swasta.
a. ASKES PEMERINTAH (BPJS)
BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan)
merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah
untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi seluruh
rakyat Indonesia, terutama untuk Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS
dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan
Usaha lainnya ataupun rakyat biasa. BPJS Kesehatan sebelumnya bernama Askes
(Asuransi Kesehatan), yang dikelola oleh PT Askes Indonesia (Persero), namun
sesuai UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, PT. Askes Indonesia berubah menjadi
BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014 Tujuannya adalah agar semua
21
penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah.
Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat wajib dari
peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas risiko sosial ekonomi
yang menimpa mereka dan atau anggota keluarganya (UU SJSN No.40 tahun 2004).
1) KEPESERTAAN
Beberapa pengertian:
a) Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat
6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar Iuran.
b) Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau
imbalan dalam bentuk lain.
c) Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara
yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau
imbalan dalam bentuk lainnya.
22
Peserta BPJS kesehatan ada dua kelompok, yaitu:
a. PBI Jaminan Kesehatan
PBI (Penerima Bantuan Iuran) adalah peserta jaminan kesehatan bagi fakir
miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya
dibayari pemerintah sebagai program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir
miskin yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur melalu peraturan pemerintah dan
seseorang yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu.
b. Bukan PBI Jaminan Kesehatan
Peserta bukan PBI (Non PBI) jaminan kesehatan terdiri atas pekerja penerima
upah dan anggota keluarganya; pekerja bukan penerima upah dan anggota
keluarganya; bukan pekerja dan anggota keluarganya. Seluruh penduduk Indonesia
wajib menjadi peserta BPJS kesehatan meskipun yang bersangkutan sudah memiliki
jaminan kesehatan lain. Pada tahun 2019, diharapkan seluruh penduduk Indonesia
sudah menjadi peserta BPJS kesehatan (BPJS Kesehatan, 2014).
2) PEMBIAYAAN
Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh
Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan
(pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan). Setiap Peserta wajib
23
membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk
pekerja penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan
PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan
iuran peserta yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut
setiap bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat tanggal 10 setiap
bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan
pada hari kerja berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda
administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total iuran yang tertunggak dan
dibayar oleh Pemberi Kerja. Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta
bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan kepada BPJS Kesehatan. Pembayaran iuran
JKN dapat dilakukan diawal.
b. ASURANSI SWASTA
Asuransi kesehatan swasta (Private Health Insurance). Asuransi kesehatan
milik swasta atau pengelolaan dana dilakukan oleh suatu badan swasta. Kecepatan,
kemudahan dan fleksibilitas itu yang utama dalam proses berobat. Model asuransi
kesehatan ini juga berkembang di Indonesia, dapat dibeli preminya baik oleh
individu maupun segmen masyarakat kelas menengah ke atas. Premi asuransi
kesehatan murni (tanpa investasi, premi hangus) paling tidak tarifnya Rp 300.000 –
Rp 500.000 per orang per bulan. Premi tersebut jauh lebih mahal bila dibandingkan
dengan premi asuransi kesehatan milik pemerintah. Beberapa perusahaan swasta
24
yang menyediakan asuransi kesehatan misalnya : PT Asuransi Central Asia, PT AIA
Financial, PT Asuransi Jiwa Recapital, PT Asuransi Allianz Life Indonesia, PT Astra
Aviva Life, PT Bosowa Asuransi, PT Asuransi Jiwa Bringin Jiwa Sejahtera, PT
Equity Life Indonesia, PT Great Eastern Life Indonesia, PT MNC Life Assurance,
PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia, PT Asuransi Sinar Mas, PT Asuransi Tugu
Mandiri, PT Asuransi AXA Mandiri Financial Service, PT Lippo Insurance, dan PT
Avrist Assurance.
6. Sekilas Tentang Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
RS Bethesda diresmikan pada tanggal 20 Mei 1899 oleh Dr. J. Gerrit Scheurer
dengan nama PETRONELLA ZIENKENHUIS. Kemudian oleh masyarakat disebut
sebagai RS TOELOENG/PITULUNGAN karena dalam pelayanan terhadap pasien,
rumah sakit ini tidak memandang Apa dan Siapa pasien itu, tetapi mengutamakan
pertolongan lebih dahulu. Pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945) namanya
diganti dengan YOGYAKARTA TJUO BJOIN, dan kemudian setelah terlepas dari
penjajahan Jepang dikenal sebagai RUMAH SAKIT PUSAT. Agar masyarakat
umum mengetahui bahwa Rumah Sakit Pusat ini merupakan salah satu rumah sakit
pelayananan kasih (Kristen), maka pada tanggal 28 Juni 1950 diganti dengan
nama Rumah Sakit Bethesda (kolam penyembuhan). Rumah Sakit
Bethesda tergabung dalam suatu yayasan yang menaungi rumah sakit-rumah sakit
25
Kristen, yang bernama YAKKUM (Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum).
Yayasan ini resmi berdiri pada tanggal 1 Februari 1950.
V I S I
Menjadi rumah sakit pilihan yang bertumbuh dan memuliakan Allah.
M I S I
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang holistik, unggul, efisien, efektif, dan
aman yang berwawasan lingkungan
2. Menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengembangan yang
berkesinambungan untuk menghasilkan SDM yang berintegritas dan berjiwa kasih.
3. Mewujudkan pelayanan kesehatan yang terjangkau, memuaskan customer dengan
jejaring yang luas dan mampu berkembang dengan baik.
4. Menyediakan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dengan
mempertimbangkan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Kebijakan Mutu RS. Bethesda:
Rumah Sakit Bethesda memberikan layanan yang Cepat, Tepat, Komunikatif, dan
Terpadu sesuai dengan standar mutu, sehingga menghasilkan pelanggan yang puas
dan setia
Rumah Sakit Bethesda berkomitmen untuk selalu melaksanakan dan meningkatkan
keefektifan sistem mutu
26
F. Landasan Teori
Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya
kesehatan. Instalasi Farmasi sebagai salah satu unit pelayanan utama di rumah sakit
berperan untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien, untuk itu harus mampu
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasien tanpa memandang status
ekonomi dan sosial pasien baik itu pasien peserta BPJS (asuransi pemerintah)
maupun asuransi kesehatan swasta (asuransi swasta).
Pasien peserta BPJS merupakan pasien yang menerima bantuan biaya kesehatan
dari pemerintah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dengan premi
asuransi yang terjangkau. Prosedur untuk mendapatkan pelayanan kesehatan bagi
peserta BPJS diketahui lebih rumit bila dibandingkan dengan pasien asuransi swasta.
Karena bersifat wajib dan preminya cukup terjangkau, mengakibatkan jumlah peserta
BPJS sangat banyak. Implikasinya adalah ke proses antrian dalam pelayanan di
rumah sakit yang begitu lama. Dalam sebuah hasil survei kepuasan peserta dan
fasilitas kesehatan terhadap BPJS Kesehatan yang dilakukan salah satu lembaga
survey pada tahun 2014, Myriad Research Comitted menyebutkan hasil sebagai
berikut:
“Di tingkat FKRTL, kepuasan peserta yang datang ke RS Pemerintah berada
pada angka 80%, sementara untuk RS Swasta adalah 83%. Dari sisi jenis layanan,
rawat jalan atau rawat inap di rumah sakit, tidak ada perbedaan tingkat kepuasan di
antara keduanya” (BPJS Kesehatan, 2015). Sebagai pelaksana program jaminan
27
kesehatan yang baru berjalan selama satu tahun pada tahun 2014, BPJS Kesehatan
terbilang sukses dalam pelaksanaannya. Namun, Sistem Jaminan Kesehatan Nasional
masih perlu dilakukan perbaikan secara terus menerus sehingga penerapan standar
pelayanannya dapat terlaksana semakin baik pada tahun-tahun selanjutnya.
Pasien peserta asuransi swasta adalah pasien yang dianggap mampu untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak dengan biaya sendiri dan premi
asuransi yang cukup tinggi yang di bayarkan langsung kepada perusahaan swasta
pengelola asuransi kesehatan. Asuransi swasta ini biasanya digunakan oleh
masyarakat golongan menengah ke atas. Lumenta (1989) yang menyatakan bahwa
masyarakat berpenghasilan rendah pada umumnya sangat banyak bergantung pada
fasilitas pelayanan kesehatan, Sebaliknya, jika seseorang mendapatkan penghasilan
yang besar maka kebutuhan pelayanan kesehatan yang ia dapatkan akan lebih banyak
(Barata, 2006). Hal ini menyatakan bahwa orang yang berpenghasilan tinggi akan
merasa tidak puas dibandingkan dengan orang yang berpenghasilan rendah karena
orang yang berpenghasilan tinggi cenderung lebih banyak kebutuhan pelayanan
kesehatan yang harus terpenuhi.
Untuk mencapai peningkatan pelayanan yang berkesinambungan antara pasien
peserta BPJS dengan pasien peserta asuransi swasta perlu dilakukan evaluasi kualitas
pelayanan sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien
rawat jalan peserta BPJS dan pasien peserta asuransi swasta di suatu rumah sakit
yaitu Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
28
Kepuasan pasien berkaitan erat dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh
suatu rumah sakit. Banyak penelitian yang mengangkat tentang permasalahan
kepuasan pasien terhadap kualitas pelayanan rumah sakit diantaranya penelitian yang
dilakukan oleh Tiana (2013) mendapatkan hasil bahwa pada dimensi reliability
memiliki nilai gap tertinggi sehingga perlu mendapat perhatian lebih dari pihak
instalasi farmasi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Penelitian yang dilakukan oleh Afiyah (2015) mendapatkan hasil bahwa pasien
BPJS belum puas terhadap pelayanan farmasi di depo farmasi rawat jalan RS PKU
Muhammadiyah Gamping Yogyakarta. Hal ini ditunjukkan dengan nilai gap negatif
pada semua dimensi. Dimensi dengan nilai gap terbesar adalah dimensi reliability
dan dimensi assurance adalah dimensi dengan nilai gap terkecil, serta penelitian yang
dilakukan oleh Ariyani (2015) mendapatkan hasil bahwa pada dimensi reliability
memiliki nilai gap tertinggi Hal ini ditunjukkan dengan nilai gap negatif pada semua
dimensi sehingga pasien rawat jalan di IFRS Islam Ibnu Sina Pekanbaru belum
merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan.
G. Hipotesis
Hipotesis yang diambil dalam penelitian adalah:
1. Terdapat perbedaan tingkat kepuasan pasien rawat jalan BPJS dan Asuransi swasta
terhadap pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
2. Dimensi reliability merupakan dimensi yang perlu mendapat perhatian lebih dari
pihak instalasi farmasi Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
29
H. Kerangka konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
RUMAH SAKIT
PASIEN PESERTA
Asuransi Swasta
PASIEN
PESERTA BPJS
HARAPAN PERSEPSI HARAPAN PERSEPSI
KEPUASAN PASIEN PESERTA
Asuransi Swasta
KEPUASAN PASIEN
PESERTA BPJS
top related