bab i pendahuluan a. latar belakang masalaheprints.umm.ac.id/39213/2/bab i.pdf · penjelasan dari...
Post on 07-Aug-2019
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Criminal Justice System atau yang dikenal dengan sistem peradilan
pidana adalah suatu istilah yang digunakan dalam penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan pendekatan sistem. Rusli Muhammad menyatakan
bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan dalam peradilan yang
mana antara bagian-bagian yang terdapat didalamnya saling bekerja sama
secara terpadu guna mencapai tujuannya baik dalam jangka pendek maupun
dalam jangka panjang1. Sehubungan dengan pendapat tersebut, M. Faal juga
memberikan pendapat mengenai definisi dari sistem peradilan pidana, beliau
menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu
peradilan pidana, yang mana didalamnya terdapat komponen-komponen antara
lain Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut
umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili, dan Lembaga
Permasyarakatan yang berfungsi mendidik terpidana, yang mana semua
komponen tersebut bekerja sama untuk menanggulangi kejahatan2. Selanjutnya
Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan, bahwa sistem peradilan pidana
merupakan suatu sistem yang digunakan untuk penanggulangan kejahatan yang
1Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta. UII Press.
Hlm.13
2M.Faal, 2005. Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Jakarta.
Pradnya Paramita. Hlm.24
2
2
terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan
Pemasyaratan terpidana3.
Sebagai kesatuan sistem, Sistem Peradilan Pidana niscaya memiliki
tujuan yang hendak dicapai. Mardjono Reksodiputro menyatakan bahwa tujuan
dari pembentukan Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu upaya untuk
penanggulangan dan pengendalian kejahatan yang terjadi di masyarakat.
“Mardjono Reksodiputro menjelaskan secara rinci terkait tujuan dari
Sistem Peradilan Pidana, yakni antara lain :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.”4
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro,
Romli Atmasasmita memberi pendapatnya mengenai tujuan dari sistem
peradilan pidana, bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk
mencegah terjadinya kejahatan yang ada di masyarakat, menanggulangi
kejahatan yang terjadi dalam masyarakat sehingga masyarakat merasa bahwa
keadilan itu ada, serta mengusahakan agar seseorang yang telah melakukan
kejahatan merasa jera sehingga tidak berniat mengulangi perbuatannya
kembali5. Sehingga Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem yang dibuat untuk
menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu
keamananan dan ketertiban masyarakat.
3 Mardjono Reksodiputro, 2009. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada
Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas –Batas Toleransi). Fakultas Hukum Unversitas
Indonesia. Hlm.1
4 Ibid., Hlm.3
5 Romli Atmasasmita, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana
Prenada Media Grup. Hlm. 3
3
3
Herbert Pecker yang merupakan seorang pakar dalam criminal justice
system membedakan pendekatan normatif dalam sistem peradilan pidana,
beliau membagi menjadi dua model yang berorientasi pada nilai-nilai praktis
dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana, dimana harapannya
agar kita dapat memahami suatu anatomi yang normatif dalam hukum pidana,
kedua model tersebut yaitu Crime Control Model (selanjutnya disebut CCM)
dan Due Process Model (selanjutnya disebut DPM). Kedua model tersebut
tidak menyebutkan mengenai apa kenyataannya dan apa yang seharusnya dan
bukanlah suatu polarisasi yang absolut, namun sebenarnya kedua model yang
diajukan oleh Packer itu sangat erat hubungannya satu sama lainnya karena
DPM itu sendiri pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap CCM dan
keduanya beroperasi dalam sistem peradilan pidana atau beroperasi didalam
adversary system (sistem perlawanan) yang berlaku di Amerika. Pada CCM
berlaku prinsip presumption of guilt (praduga bersalah) dan “sarana cepat”
dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Sedangkan pada DPM berlaku
prinsip presumption of innocence (praduga tak bersalah).6
Sebagaimana penulis telah uraikan diatas bahwa Sistem Peradilan Pidana
merupakan satu kesatuan sistem yakni dari proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan hingga pelaksanaan putusan, maka
dalam pelaksanaannya mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait
hukum pidana itu sendiri, diantaranya adalah hukum pidana formil (acara
pidana) yang terkodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
6 Ibid., Romli Atmasasmita. Hlm.8
4
4
KUHAP (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) dan peraturan perundang-
undangan terkait lainnya.
Salah satu prinsip dan asas yang dipakai dalam proses peradilan pidana
sebagaimana tersebut diatas adalah asas sederhana, cepat dan murah7.
Penjelasan dari asas sederhana yakni pemeriksaan dan penyelesaian perkara
dilakukan dengan cara efisien dan efektif, lebih lanjut dalam proses peradilan
yaitu konteks acara haruslah jelas dan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
Asas cepat, yakni proses keseluruhan peradilan dari tahap awal sampai akhir
haruslah cepat dimana dapat dimaknai sebagai efisiensi8 dan efektivitas dalam
hal waktu dan tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Sedangkan
yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat
dijangkau oleh masyarakat9, dalam hal ini penulis berpendapat bahwa
masyarakat yang dimaksud adalah seluruh masyarakat dari segala lapisan
sehingga hukum dan keadilan dapat dicapai oleh semua orang (equality before
the law). Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 9 paragraf 3 UU No. 12
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And
Political Rights10
yang menyatakan bahwa salah satu tujuan dari prinsip
peradilan yang cepat adalah untuk melindungi hak-hak terdakwa, yakni untuk
7 Lihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
8 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) efisiensi yaitu
ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga,
biaya); kedayagunaan; ketepatgunaan; kesangkilan; kemampuan menjalankan tugas dengan baik
dan tepat (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya)
9 Lihat Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
10 Lihat ketentuan Pasal 9 paragraf 3 UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant On Civil And Political Rights
5
5
tidak ditahan terlalu lama serta memastikan adanya kepastian hukum bagi
terdakwa.
Namun, pada implementasinya terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan asas sederhana, cepat dan biaya ringan tersebut,
sehingga faktor-faktor tersebut secara tidak langsung berdampak pada
munculnya berbagai permasalahan dalam proses pelaksanaan peradilan pidana
di Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain lamanya proses
penyelesaian perkara pidana, tingginya biaya yang dikeluarkan dalam
penyelesaian perkara pidana, serta menumpuknya perkara pidana di pengadilan
yang tak kunjung usai. Permasalahan penumpukan perkara pada lingkup
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terlihat pada data yang penulis peroleh
dari Website atau laman resmi Mahkamah Agung Republik Indonesia11
. Data
ini menunjukkan, bahwa di tahun 2013 sampai dengan 2014, terdapat perkara
yang harusnya diselesaikan pada tahun 2013, namun menjadi perkara yang
masih harus diselesaikan ditahun berikutnya yaitu tahun 2014. Adapun data
yang dipaparkan adalah sebagai berikut :
Tabel 1:
Presentase jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung (MA)
tahun 2013 sampai dengan tahun 2014
Jenis Perkara Sisa
2013
Masuk Jumlah
Beban
Putus Sisa %
Putus
Beban
% Sisa
Beban
Perdata 3.112 3.907 7.019 4.787 2.232 68,20% 31,80%
Perdata Khusus 234 904 1.138 864 274 75,92% 24,08%
Pidana 945 1.793 2.738 2.152 586 78,60% 21,40%
Pidana Khusus 1.265 2.763 4.028 3.184 844 79,05% 20,95%
Perdata Agama 195 820 1.015 997 18 98,23% 1,77%
Pidana Militer 48 370 418 380 38 90,91% 9,09%
11 Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2015. http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id.
Diakses pada tanggal 4 Maret 2017
6
6
Tata Usaha
Negara
616 1.954 2.570 2.137 433 83,15% 16,85%
Jumlah 2014 6.415 12.511 18.926 14.501 4.425 76,62% 23,38%
Jumlah 2013 10.112 12.337 22.449 16.034 6.415 71,42% 28,58%
Perbandingan 1,41 % -15,69 % -9,56 % -31,02 % 5,20 % -5,20%
Sumber : http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id
Berdasarkan tabel diatas, pada tahun 2013 menyisakan 945 perkara
pidana dan menyisahkan 1.265 perkara pidana khusus untuk dituntaskan
ditahun 2014, ditambah lagi perkara baru yang masuk pada tahun berjalan
tahun 2014 yaitu 1.793 perkara pidana dan 2.763 perkara pidana khusus.
Hingga akhir tahun 2014, masih terdapat perkara pidana dan pidana khusus
yang belum mampu tertuntaskan yaitu 586 perkara pidana dan 844 perkara
pidana khusus yang kembali harus dituntaskan ditahun selanjutnya yaitu tahun
2015. Sehingga dari data tersebut menandakan bahwa sistem peradilan di
Indonesia hingga hari ini belum efektif dan efisien12
, permasalahan tersebut
memang tidak serta merta disebabkan oleh rumitnya beracara di pengadilan
tetapi juga sumber daya manusia dalam penegakan hukum. Sehingga dianggap
perlu adanya sistem baru dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia yang
diyakini dapat membuat penanganan perkara lebih efisien, sekaligus sebagai
pemecah kebuntuan dan evaluasi terhadap sistem sebelumnya.
Sebagai suatu yang terus berkembang, hukum bukanlah skema final. Ia
adalah proyek raksasa yang harus terus diupayakan untuk menciptakan
keadilan.13
Sebagaimana penulis kemukakan sebelumnya, tulisan ini bermula
12 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (selanjutnya disebut KBBI) efisien yaitu tepat
atau sesuai untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga,
biaya); mampu menjalankan tugas dengan tepat dan cermat; berdaya guna; bertepat guna;
13 Satjipto Rahardjo, 2008. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta.
Genta Publishing. Hlm.6
7
7
dari berbagai permasalahan yang diantaranya berada dalam wilayah
penuntutan, secara kelembagaan Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut
JPU) adalah pihak yang diberikan amanat oleh Undang-Undang untuk
melakukan tindakan penuntutan. Penerimaan berkas dari Penyidik,
pemeriksaan, penahanan, hingga pemeriksaan di Peradilan , merupakan tugas
yang diemban oleh Jaksa,14
sehingga tidak salah jika dalam menangani setiap
perkara, Jaksa selalu memakan waktu yang lama. Inilah yang kemudian
melatarbelakangi penulis untuk memfokuskan diri pada permasalahan di
lembaga JPU. Sehingga penulis berpandangan, bahwa pembaharuan dalam
sistem peradilan pidana, khususnya wilayah JPU tidak dapat dihindarkan.
Pembaharuan yang penulis maksud, diantaranya yakni dengan penerapan Plea
Bargaining System. Plea Bargaining System telah diterapkan di beberapa
negara Common Law salah satunya yaitu Amerika Serikat. Alschuler
mengemukakan, bahwa pada awalnya Plea Bargaining ini muncul pada
pertengahan abad ke-19, dan kemudian dikenal dalam bentuknya seperti
sekarang ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem ini sangat
berperan dalam mengatasi kesulitan dalam menangani perkara pidana. Bahkan
pada sekitar tahun 1930, pengadilan di Amerika Serikat sangat bergantung
pada sistem ini.15
Amerika Serikat menerapkan Plea Bargaining System atas
dasar pemikiran untuk mengefektifkan kinerja hakim dan pengadilan dalam
menangani banyaknya perkara yang masuk, sehingga Sistem Peradilan Pidana
14 Lihat ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
8
8
di Amerika Serikat mampu mencegah keluarnya biaya yang tinggi dan waktu
yang panjang dalam proses peradilan pidananya.16
Black’s Law Dictionary menyatakan :
“Plea bargaining is the process whereby the accused and the prosecutor
in a criminal case work out a mutually satisfactory disposition of the
case subject to the court approach. It usually involves the defendant’s
pleading guilty to lesser offense or to only one or some of the counts of
multi counts indictment in return for a lighter sentence than that possible
for the graver charge”.17
(Terjemahan : Suatu kesepakatan perundingan antara penuntut umum dan
terdakwa dimana terdakwa mengaku bersalah atas tindak pidana tertentu
atau atas lebih dari satu tuntutan dengan imbalan dari penuntut umum,
untuk menuntut hukuman ringan atau membebaskan dari tuntutan atas
tindak pidana lainnya).
Sementara menurut John H. Langbein dalam Understanding The Short
History of Plea Bargaining yang penulis kutip dari M Lutfi Chakim
menyatakan, “Plea Bargaining mengandung perjanjian antara penuntut umum
dan terdakwa atau penasehat hukumnya yang berujung pada pengakuan
bersalah oleh terdakwa”. Jaksa penuntut umum setuju untuk memberikan
tuntutan yang lebih ringan dibanding dengan menempuh mekanisme
persidangan yang mungkin akan merugikan terdakwa karena kemungkinan
mendapatkan hukuman yang lebih berat.18
Dari beberapa definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa Plea Bargaining Sytem merupakan suatu negosiasi antara
15 Op.Cit., Romli Atmasasmita. Hlm.119
16 Ibid.
17 Black’s Law Dictionary. 2010. 11 th Ed., West Publishing Company. page 1037.
18 M Lutfi Chakim, 2015. Plea Bargaining. http://www.lutfichakim.com. Diakses pada
tanggal 4 Maret 2017
9
9
penuntut umum dengan tertuduh19
atau pembelanya, dimana motivasi
utamanya adalah untuk mempercepat proses penyelesaian perkara pidana.
Terdapat hal menarik dalam pelaksanaan Plea Bargaining System, yakni jaksa
penuntut umum dan tertuduh akan melakukan negosiasi untuk mencari
kesepakatan yang paling menguntungkan baik bagi terdakwa ataupun
penasehat hukumnya. Namun mekanisme tersebut bukan dalam kerangka
tawar-menawar hukuman, akan tetapi lebih kepada tujuan untuk efesiensi dan
efektivitas dalam penegakan hukum sehingga proses penyelesaian perkara
pidana berjalan efektif dan efisien.
Pada praktik Plea Bargaining System di Amerika Serikat, jika melihat
statistik dari United States Departement of Justice pada tahun 2000, sebanyak
37,188 terdakwa melakukan mekanisme Plea Bargaining sebanyak 87,1%
sementara hanya 5,2% melanjutkan ke pengadilan.20
Supreme Court Amerika
Serikat telah menyatakan mekanisme Plea Bargaining adalah elemen esensial
dan diinginkan dalam Sistem Peradilan Pidananya.21
Sebanyak 95% dakwaan
di Amerika serikat diselesaikan dengan pengakuan bersalah dari terdakwa.22
Dari data tersebut dapat dilihat tingginya tingkat keberhasilan penerapan Plea
Bargaining System di Amerika Serikat dalam menangani perkara yang masuk
ke pengadilan, khususnya perkara pidana.
19 Dalam beberapa literatur yang ditemukan oleh penulis, penyebutan “terdakwa”
sebagaimana dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dalam pembahasan Sistem Peradilan
Pidana di common law disebut sebagai “tertuduh”.
20 Misha, 2005. Issues of Overcrowded Prisons and the Trade-Off “Plea Bargaining in the
Criminal Justice”. http://www .associatedcontent.com. Diakses pada tanggal 5 Maret 2017
21 Sidhartha Mohapatra & Hailshree Saksena, Santobello v New York, 404 US 257, 2009.
Plea Bargain: A Unique Remedy. http://indlaw.com. Diakses pada tanggal 5 Maret 2017.
22 Ibid.
10
10
Plea Bargaining System yang berlaku di Amerika Serikat pada
hakekatnya merupakan suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan
tertuduh atau pembelanya. Di Amerika Serikat pengaturan mengenai Plea
Bargainning System diatur dalam Federal Rules of Criminal Procedure.
Selanjutnya tujuan utama dari negosiasi tersebut adalah untuk mempercepat
proses penanganan perkara pidana. Sifat negosiasi harus dilandaskan pada
kesukarelaan tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan dari
penuntut umum untuk memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki oleh
tertuduh atau pembelanya. Sehingga hakim dalam sistem ini hanya
menjatuhkan pidana sebagaimana hasil perundingan yang telah disepakati oleh
penuntut umum dan terdakwa. Penuntut umum dalam proses Plea Bargaining
akan menawarkan terdakwa ancaman hukuman yang lebih ringan dibandingkan
dengan kemungkinan hukuman yang akan diterimanya apabila ia diadili di
muka persidangan. Apabila negosiasi berhasil, kesepakatan antara terdakwa
dan penuntut umum dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut Plea
Agreement untuk kemudian dibawa kemuka hakim. Selanjutnya hakim akan
mengajukan pertanyaan kepada terdakwa terkait perjanjian yang telah
dibuatnya, apakah terdakwa menyetujui hukuman yang terdapat dalam
perjanjian tersebut, dan apakah dalam pelaksanaan plea bargaining tersebut
dilakukan dengan paksaan atau benar-benar telah sesuai prosedur
pelaksanaannya.
Dalam proses penanganan perkara pidana di Amerika Serikat dengan
penerapan Plea Bargaining System terdapat beberapa tahapan yang dapat
dipilih oleh terdakwa, jadi dalam sistem ini akan menguntungkan baik bagi
11
11
terdakwa maupun penegak hukum yang menangani perkara apabila negosiasi
dapat tercapai. Sehingga pemberlakuan sistem tersebut dianggap cukup efektif
di Amerika Serikat hingga sekarang.
Berkaitan dengan fakta-fakta yang telah diuraikan diatas serta ke
efektifan penerapan Plea Bargaining System di Amerika Serikat, menurut
hemat penulis Plea Bergaining System sangat penting bagi pembaharuan
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, mengingat Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia mengalami berbagai permasalahan. Sehingga penulis tertarik untuk
meneliti penerapan Plea Bargaining System dalam pembaharuan Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia dalam bentuk kajian ilmiah dengan judul
“URGENSI PLEA BARGAINING SYSTEM DALAM PEMBAHARUAN
SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA (Studi Perbandingan
Plea Bargaining System di Amerika Serikat).
B. Rumusan Permasalahan
Dalam suatu penelitian, perumusan masalah merupakan hal yang penting
agar dalam penelitian dapat lebih terarah dan terperinci sesuai dengan tujuan
yang dikehendaki. Berdasarkan pada uraian dari latar belakang di atas, adapun
perumusan permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep Plea Bargaining System dalam Sistem Peradilan
Pidana di Amerika Serikat?
2. Bagaimana urgensi Plea Bargaining System dalam pembaharuan Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia?
12
12
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas, maka
tujuan dari penelitian hukum ini ialah:
1. Untuk memahami dan mengkaji konsep Plea Bargaining System dalam
Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat;
2. Untuk menganalisis urgensi Plea Bargaining System dalam pembaharuan
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia;
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian hukum ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Bagi Penulis
Penelitian ini selain dapat memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan
baru untuk penulis terkait Plea Bargaining System serta urgensi
penerapan Plea Bargaining System dalam pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia. Di samping itu, manfaat penelitian secara subyektif
yaitu sebagai syarat untuk Penulisan Tugas Akhir dan menyelesaikan
studi Srata-1 di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
dengan gelar Sarjana Hukum.
b. Bagi Mahasiswa
Memberikan tambahan pengetahuan mengenai Plea Bargaining System
serta urgensi penerapan Plea Bargaining System dalam pembaharuan
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
c. Bagi Penegak Hukum
Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan dan
memberikan wacana baru terkait konsep Plea Bargaining System dalam
13
13
pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, sehingga nantinya
penanganan perkara akan menjadi lebih efisien.
d. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk memperoleh
informasi yang utuh terkait dengan konsep Plea Bargaining System
dalam pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
mengenai Plea Bargaining System serta urgensi penerapan Plea Bargaining
System dalam pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Disamping
itu untuk memahami kesesuaian sistem yang digunakan oleh Amerika Serikat
tersebut untuk pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, sehingga
penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan peradilan
di Indonesia. Serta menjadi sumbangsih pemikiran bagi kalangan praktisi
hukum maupun pelaku kekuasaan dalam menjalankan peradilan di Indonesia.
F. Metode Penelitian
Penulisan karya ilmiah ini akan dibuat dalam bentuk penelitian yang juga
membutuhkan beberapa terapan ilmu demi memudahkan tercapainya penelitian
yang ilmiah dan dapat menjadi sumber data dan sumber ilmu yang akurat.
Penelitian dalam ilmu hukum adalah keseluruhan aktivitas berdasarkan disiplin
ilmiah untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, menganalisis dan
menginterpretasi fakta serta hubungan di lapangan hukum yang relevan bagi
kehidupan hukum, dan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dapat
14
14
dikebangkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan cara-cara ilmiah untuk
menanggapi berbagai fakta dan hubungan tesebut.23
1. Metode Pendekatan
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau
penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan
sehingga mencapai tujuan penelitian atau penulisan.24
Berdasarkan
ruang lingkup serta identifikasi masalah sebagaimana telah diuraikan,
untuk mengkaji secara komprehensif dan holistik pokok
permasalahan, akan ditelusuri dengan menggunakan tipe penelitian
yuridis normatif (normatif legal research) yaitu penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan perundang-undangan, dan
didukung dengan literatur yang ada mengenai pokok permasalahan
yang dibahas.
Adapun metode pendekatan yang digunakan yakni pendekatan
konseptual (Conceptual Approach) dan pendekatan perbandingan
(Comparative Approach).
a. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan ini beranjak dari pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari hal-hal
tersebut peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum
23 Zainudin Ali, 2013. Metode Penelitian Hukum (cetakan keempat). Jakarta. Sinar Grafika.
Hlm.18
24 Abdulkadir Muhammad, 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung. Citra Aditya
Bakti. Hlm.112
15
15
relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan dasar bagi
peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam
memecahkan isu yang dihadapi.25
b. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)
Alasan dipergunakannya pendekatan perbandingan dalam
penulisan hukum ini ialah untuk memahami penerapan Plea
Bargaining System dalam Sistem Peradilan Pidana di Amerika
Serikat. Demikian pula terkait dengan kemungkinan penerapan
Plea Bargaining System dalam pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia. Pada intinya penggunaan pendekatan
perbandingan dalam penelitian ini untuk membandingkan tradisi
Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat yang menggunakan
konsep Plea Bargaining System yang nantinya dapat digunakan
sebagai sumber dalam penelitian konsep Plea Bargaining System
dalam rangka pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Pendekatan perbandingan dilakukan dengan mengadakan
studi perbandingan hukum. Studi perbandingan hukum merupakan
kegiatan untuk membandingkan hukum suatu negara dengan
hukum negara lain. Perbandingan hukum dapat dilakukan tanpa
melihat sistem hukum maupun tingkat ekonomi, melainkan hanya
melihat substansinya yang merupakan kebutuhan secara
25 Peter Mahmud Marzuki, 2015. Penelitian Hukum (Edisi Revisi). Jakarta. Penerbit
Kencana, Hlm.177
16
16
universal.26
Dengan demikian, penelitian ini akan melakukan
perbandingan hukum dengan melakukan perbandingan The Federal
of Criminal Procedure mengenai Plea Bargaining System di
Amerika Serikat dengan KUHAP dalam rangka pembaharuan
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
2. Bahan Hukum
Dalam proses penyunan penelitian ini penulis menggunakan 3
(tiga) jenis bahan hukum27
yaitu :
a. Bahan Hukum Primer, menurut Mukti Fajar dan Yulianto
Achmad adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas, yaitu merupakan hasil dari tindakan atau
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga yang berwewenang
untuk itu.28
Bahan-bahan hukum primer ini terdiri dari
perundang-undangan. Bahan hukum primer meliputi Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, The
Ferderal Of Criminal Procedure Amerika Serikat, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan
peraturan perundang-undangan terkait.
b. Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan-bahan hukum yang
diperoleh dari buku/tekstual, artikel ilmiah internet, jurnal-
26 Ibid., Hlm 172
27 Dalam penelitian ini tidak digunakan istilah “data”, tapi istilah “bahan hukum”, karena
dalam penelitian normatif tidak memerlukan data, yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap
bahan hukum. Dalam Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, halaman 268-269.
28 Mukti Fajar dan Yulianto Achnmad, 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar. Hlm.157
17
17
jurnal, doktrin, atau sumber-sumber lain baik cetak maupun
online yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini seperti.
c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan-penjelasan terhadap bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier
berupa kamus dan ensiklopedia hukum dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah
model studi kepustakaan (library research). Yaitu pengkajian
informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari berbagai sumber
dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam penelitian
hukum normatif,29
yakni penulisan yang didasari pada data-data yang
dijadi kan obyek penulisan kemudian dikaji dan disusun secara
komprehensif.
4. Teknik Analisa Bahan Hukum
Analisis bahan hukum di dalam penelitian ini dengan
menggunakan teknik analisis kualitatif isi (content analysis) yakni
dengan menelaah konsep dari Sistem Peradilan Pidana di Amerika
Serikat dengan membandingkan kelebihan dan kekurangannya yang
selanjutnya dianalisa untuk menemukan urgensi dari suatu konsep
tersebut, setelah urgensi dari konsep tersebut ditemukan, kemudian
disesuaikan dan dirumuskan dalam pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia. Sehingga nantinya penulis akan menemukan
29 Jhony Ibrahim, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang.
Bayumedia. Hlm.392
18
18
urgensi Plea Bargaining System dalam Pembaharuan Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia. Bahan-bahan hukum yang dianalisis secara
kualitatif isi (content analysis) akan dikemukan dalam bentuk uraian
secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antar bahan hukum
yang digunakan. Selanjutnya semua bahan hukum tersebut diseleksi
dan diolah kemudian dinyatakan secara deskriptif untuk mencari
kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristik-karakteristik khusus
dari suatu konsep tersebut, sehingga nantinya dapat mencapai tujuan
dari pemecahan terhadap permasalahan yang dimaksud.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis membagi dalam 4 bab
dan masing-masing bab terdiri atas sub yang bertujuan agar mempermudah
pemahamannya. Adapaun sistematika penulisannya sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam penelitian ini Penulis membagi pendahuluan dalam beberapa sub
bab diantaranya terdiri dari latar belakang sebagai penjelasan dan pengantar
dalam permasalahan yang diangkat oleh Penulis. Rumusan masalah dibagi
menjadi dua permasalahan yang akan menjadi fokus permasalahan dalam
penulisan ini. Tujuan penulisan, merupakan penyampaian yang akan dilakukan
oleh Penulis dalam membuat penulisan hukum ini. Manfaat penulisan terdiri
dari aspek teoritis dan aspek praktis yang menjadi suatu penjelasan mengenai
siapa saja dan apa saja yang akan mendapatkan manfaat dari penulisan ini,
serta kegunaan penulisan bagi Penulis, masyarakat, kalangan praktisi hukum
dan akademisi. Metode Penulisan yang digunakan oleh Penulis ialah penelitian
19
19
hukum normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Rencana jadwal
penelitian dimaksudkan untuk merencanakan penelitian hukum yang akan
dilakukan Penulis. Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini terdiri
dari BAB I, BAB II, BAB III, dan BAB IV.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Pustaka merupakan penggunaan beberapa terminologi yang
akan digunakan Penulis guna memfokuskan permasalahan yang akan dibahas.
Dalam tinjauan pustaka, maka batasan yang dibuat oleh Penulis dengan
menggunakan beberapa terminologi, akan dijabarkan sesuai dengan kajian
pustaka yang ada berserta pendapat ahli yang akan didapatkan oleh Penulis
dalam penelitian kepustakaan.
BAB III : PEMBAHASAN
Bab ini adalah inti dari penulisan hukum yang dibuat oleh Penulis.
Dalam bab ini akan diuraikan tengtang gambaran mengenai pembahasan dari
rumusan masalah yang diangkat oleh Penulis sesuai dengan sumber yang
didapatkan oleh Penulis.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan hukum ini dimana berisi
kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya serta berisikan saran penulis
dalam menanggapi permasalahan yang menjadi fokus kajian serta berisikan
saran dan rekomendasi penulis sehingga diharapkan menjadi masukan yang
bermanfaat bagi semua pihak.
top related