bab i pendahuluan a. alasan pemilihan judul 1....
Post on 03-Mar-2019
258 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
1. Aktualitas
Penyandang disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang
menyandang keterbelakangan mental atau memiliki kemampuan intelektual
dibawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Penyandang Disabilitas
Intelektual Ringan atau sering disebut tunagrahita selama ini dalam masyarakat
luas masih dianggap sampah yang akan menjadi beban keluarga dan masyarakat.
Penyandang disabilitas intelektual (PDI) dipandang sebagai anak yang tidak
berguna seperti anak-anak normal pada umumnya. Diskriminasi terhadap
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan ini menjadi masalah yang cukup
penting, perlu adanya perubahan pola pikir masyarakat dan keluarga penyandang
disabilitas intelektual dalam membina para penyandang disabilitas intelektual.
Penyandang disabilitas intelektual dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok,
yaitu kelompok penyandang disabilitas intelektual ringan, sedang, dan berat.
Pada penelitian ini, penulis memilih objek penelitian adalah Penyandang
Disabilitas Intelektual Ringan (PDI), karena kelompok tersebut tampil tidak
berbeda jauh dengan anak pada umunya (Nuraeni, 1997: 106). Hal inilah yang
menarik penulis untuk melakukan penelitian upaya pemberdayaan keluarga dalam
pengembangan kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan.
Alasan yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian dengan
judul upaya pemberdayaan rumah tangga dalam pengembangan kemandirian
2
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan di Temanggung adalah bahwa Balai
Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita “Kartini” Temanggung merupakan balai
besar rehabilitasi tunagrahita atau Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan di
bawah Kementerian Sosial RI yang bertempat di Kabupaten Temanggung. Banyak
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dari berbagai wilayah Indonesia
menjalani rehabilitasi di BBRSBG Kartini. Untuk di Kabupaten Temanggung
sendiri hanya beberapa Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan yang
menjalani rehabilitasi di BBRSBG Kartini. Tentunya hal tersebut sangat
disayangkan sekali mengingat lokasi rehabilitasi berada di wilayah Kabupaten
Temanggung. Hal tersebut dapat terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.1 Rekapitulasi Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
Kabupaten Temanggung Tahun 2008-2011
Tahun
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan
Anak Dewasa
2008 376 499
2009 332 209
2010 332 609
2011 337 607
Sumber: Buku Rekapitulasi Data PMKS dan PSKS Kabupaten Temanggung
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa jumlah Penyandang Disabilitas
Intelektual Ringan yang cukup banyak, sementara daya tampung BBRSBG
Kartini tidak mencukupi. Untuk penjangkauan rehabilitasi penyandaPenyandang
Disabilitas Intelektual Ringan maka BBRSBG memberikan program pelayanan
dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga atau disingkat PRSBK. Pelayanan
3
rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK) ini diupayakan untuk
memberdayakan keluarga, Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan, serta
masyarakat dalam pengembangan kemampuan Penyandang Disabilitas
Intelektual Ringan. Adapun jumlah peserta program PRSBK di Kabupaten
Temanggung dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.2 Jumlah Peserta Program PRSBK Kabupaten Temanggung
Tahun 2008-2011
Tahun Jumlah
2008 4
2009 6
2010 30
2011 40
Sumber: Data Program PRSBK Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita
Kartini Temanggung
Permasalahan mengenai Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan
merupakan permasalahan yang cukup aktual. Penyandang Disabilitas Intelektual
Ringan identik dengan tinggal di panti-panti rehabilitasi sehingga terkesan adanya
diskriminasi terhadap mereka. Keberadaan Penyandang Disabilitas Intelektual
Ringan cukup memprihatinkan dengan adanya anggapan mereka menjadi beban
keluarga dan masyarakat. Dalam majalah Jemari edisi 113/Tahun XI/Juni 2010
halaman 48-49 yang dibaca oleh peneliti, Ketua Umum Dewan Nasional
Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) Prof Dr Haryono Suyono
mengatakan bahwa dengan hidup di panti-panti berarti yang mendapat
penanganan hanya terbatas pada Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dan
4
keluarga saja berbeda bila mereka hidup di masyarakat. Selain itu Ketua Umum
DNIKS juga mengungkapkan bahwa akan mencoba membuat panti-panti tanpa
dinding yaitu dengan mengajak pengelola panti untuk turun ke pedesaan melalui
Pos-Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya), Posdaya inilah yang akan menjadi
tempat untuk menangani anak-anak Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan
memperoleh keterampilan untuk menjadi bekal ketika terjun ke masyarakat.
Dari model pemberdayaan yang dikemukakan oleh Ketua Umum DNIKS
tersebut, penulis memfokuskan pada program pelayanan dan rehabilitasi sosial
berbasis keluarga yang ada di Kabupaten Temanggung. Dalam rangka
memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Penyandang Disabilitas
Intelektual Ringan untuk memperoleh pelayanan sosial, salah satu strategi Balai
Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita Kartini Temanggung adalah memperluas
jangkauan pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi Penyandang Disabilitas
Intelektual Ringan dalam masyarakat. Strategi ini diimplementasikan melalui
penyelenggaraan program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga.
Berdasarkan observasi penulis di wilayah Kabupaten Temanggung dapat
diketahui bahwa Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan mendapatkan
program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK). Orang tua
dan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan tersebut diberikan program
pelayanan untuk meningkatkan kemampuan anak dan orang tuanya baik dari segi
ekonomi ataupun dari sosialnya. Dalam pelaksanaan program tersebut maka anak
dan orang tua diberikan pelayanan program secara rutin dan akan terus dipantau
perkembangannya oleh fasilitator program. Perkembangan anak dan orang tua
5
akan dicatat dan dilaporkan hasilnya untuk mengetahui perkembangan dan
evaluasi terhadap program tersebut.
Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Upaya
Pemberdayaan Rumah Tangga dalam Pengembangan Kemandirian Penyandang
Disabilitas Intelektual Ringan (Studi pada Rumah Tangga Penyandang
Disabilitas Intelektual Ringan Program PRSBK Binaan BBRSBG Kabupaten
Temanggung)” dikarenakan program tersebut sangat menarik sekali untuk diteliti
dimana program tersebut sangat bermanfaat bagi pemberdayaan Penyandang
Disabilitas Intelektual Ringan yang tidak mendapatkan fasilitas untuk dibina di
panti rehabilitasi sosial dikarenakan beberapa faktor. Penyandang Disabilitas
Intelektual Ringan tersebut diasuh oleh orang tuanya sendiri disebabkan
kemungkinan kekhawatiran orang tua apabila anak diasuh oleh pihak lain, orang
tua ingin lebih dekat dengan anaknya, faktor lokasi rehabilitasi yang jauh dari
lokasi sehingga akan mempersulit pertemuan orang tua dengan anak. Oleh karena
itu program pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan berbasis
rumah tangga tersebut penting untuk diteliti untuk mengetahui sejauh mana
pelaksanaan program tersebut dijalankan dan faktor pendukung dan penghambat
apa saja yang ada selama program tersebut dilaksanakan.
2. Orisinalitas
Terkait dengan orisinalitas, sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan
mengenai Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan, namun berdasarkan
penelusuran yang telah penulis lakukan, tidak ditemui adanya penelitian dengan
judul “Upaya Pemberdayaan Rumah Tangga dalam Pengembangan Kemandirian
6
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan (Studi pada Rumah Tangga
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan Program PRSBK Binaan BBRSBG
“Kartini” Temanggung)”. Dalam hal ini penulis hanya menemukan beberapa
penelitian yang memiliki beberapa aspek yang sama dengan penelitian penulis
tetapi juga sekaligus memiliki beberapa perbedaan. Salah satunya adalah
penelitian tesis Universitas Indonesia yang dilakukan oleh Moch. Zaenal Hakim
dengan judul Pemberdayaan Penyandang Cacat melalui Rehabilitasi
Bersumberdaya Masyarakat: Studi Kasus Pelaksanaan Pemberdayaan terhadap
Lima Orang Penyandang Cacat Melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat
di Kelurahan Dago Kecamatan Coblong Kota Bandung. Persamaan penelitian
tersebut dengan penelitian yang penulis lakukan adalah pada kajiannya yang
membahas tentang proses pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual
Ringan. Hanya saja pada penelitian tersebut kajian pemberdayaan Penyandang
Disabilitas Intelektual Ringan yang dilakukan adalah berbasis sumberdaya
masyarakat serta berlaku untuk seluruh Penyandang Disabilitas apapun,
sedangkan yang penulis lakukan lebih fokus pada pemberdayaan berbasis
keluarga dan hanya pada Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan.
Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian oleh Melli
Manuhuruk dan Tuti Atika yang berjudul Metode Pelayanan Sosial terhadap Anak
Tuna Grahita di Sekolah Tuna Grahita (SLB-C) Santa Lusia Medan. Penelitian
tersebut dan penelitian yang akan penulis lakukan sama-sama mengangkat tema
tentang pemberdayaan anak Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan. Hanya
saja pada penelitian tersebut lebih difokuskan pada upaya pemberdayaan melalui
7
pelayanan sosial secara formal yaitu di sekolah, sedangkan yang akan penulis
lakukan adalah pemberdayaan berbasis keluarga sehingga tidak mencakup aspek
pelayanan sosial di sekolah. Selain itu juga terdapat penelitian yang dilakukan
oleh Rina Juwitasari dengan judul Relasi Relawan Sosial dan Penyandang
Disabilitas dalam proses Pemberdayaan Berbasis Exchange Theory (Studi Kasus
Pada Orsos Kasih Sayang Desa Krebet Kecamatan Jambon Kabupaten Ponorogo).
Penelitian tersebut dan penelitian yang akan penulis lakukan sama-sama
mengangkat tema tentang pemberdayaan Penyandang Disabilitas Intelektual
Ringan. Hanya saja pada penelitian tersebut lebih difokuskan pada upaya
pemberdayaan berbasis Exchange Theory, sedangkan yang penulis lakukan adalah
pemberdayaan berbasis keluarga sehingga tidak mencakup aspek organisasi
sosial. Berdasarkan uraian beberapa penelitian terdahulu tersebut, dapat dilihat
adanya keaslian dari penelitian yang akan penulis lakukan.
3. Relevansi dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Keterkaitan dengan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan adalah
bahwa ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan merupakan ilmu yang
memperlajari tentang masyarakat dan pembangunan masyarakat. Pembangunan
masyarakat merupakan suatu upaya untuk menciptakan hubungan yang seimbang
antara sumberdaya, antara kebutuhan hidup manusia (needs) dengan sumber-
sumber pemenuhan kebutuhan (resources) yang terdapat di suatu daerah sehingga
tercapainya kesejahteraan penuh baik kesejahteraan fisik, kesejahteraan mental,
maupun kesejahteraan sosial masyarakat.
Ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan memiliki tiga kajian keilmuan
8
di antaranya Social Policy, Community Development, dan Coorporate Social
Responcibility. Seperti yang dikatakan Suharto bahwa dalam pembangunan
kesejahteraan sosial terdapat tiga fokus yakni pelayanan sosial, perlindungan
sosial dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006: 19). Pembangunan
kesejahteraan sosial memiliki beberapa misi diantaranya untuk meningkatkan
kualitas hidup masyarakat yang meiliki kemampuan dalam menjangkau dan
memenuhi kebutuhan dasar sesuai harkat martabat kemanusiaan, memperkuat
kepedulian masyarakat dalam pembangunan kesejahteraan sosial sejalan dengan
prinsip masyarakat peduli (caring society) dan kesetiakawanan sosial,
memantapkan dan mengembangkan keberdayaan dan ketahanan sosial masyarakat
melalui sistem perlindungan sosial yang inklusif, partisipatif dan berkeadilan
sosial (Suharto, 2006: 21).
Penelitian mengenai upaya pembedayaan rumah tangga dalam
pengembangan kemandirian Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan/PDI
memiliki relevansi dengan ilmu pembangunan sosial dan kesejahteraan terutama
Community Development. Dalam pembangunan kesejahteraan sosial terdapat
beberapa arahan kebijakan dan salah satunya adalah menyelenggarakan pelayanan
sosial dan rehabilitasi sosial yang merata dan berkualitas, khususnya bagi
kelompok masyarakat yang kurang beruntung (disadavantaged groups) dan
berkebutuhan khusus, seperti orang miskin, orang terlantar, dan orang dengan
kecacatan. Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan masuk di dalam kelompok
orang dengan kecacatan yang membutuhkan pelayanan sosial dan rehabilitasi
sosial. Dalam pencapaian kesejahteraan tersebut ada upaya pemberdayaan sosial
9
melalui penguatan kapasitas (capacity building) para penerima pelayanan sosial
sehingga nantinya mereka memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya, menjangkau pelayanan sosial, serta berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat secara mandiri (Suharto, 2006: 22). Dari dimensi pemberdayaan,
program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga (PRSBK) memiliki
makna strategis, karena pertama melalui PRSBK memungkinkan keluarga dan
masyarakat berpartisipasi aktif dalam pelayanan yang bukan saja sebagai
penerima manfaat, tetapi juga sebagai pengupaya sekaligus sebagai penilai
capaian-capaian dan keberlanjutannya. Kedua adalah meningkatkan kemampuan
rumah tangga dan masyarakat untuk memecahkan masalah dan memenuhi
kebutuhan Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dengan menggunakan
sumber-sumber yang ada. Ketiga mengembangkan tanggung jawab sosial dan
stabilitas dalam kehidupan ketetanggaan. Sebagai konsekuensi dari
penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga adalah
keterlibatan secara aktif keluarga, masyarakat, swasta dan instansi terkait.
B. Latar Belakang Masalah
Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan dapat dikatakan merupakan
bagian dari kondisi manusia. Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan termasuk
yang memiliki gangguan jangka panjang secara fisik, mental, intelektual, atau
sensorik yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat menghalangi
partisipasi penuh dan efektif seseorang di dalam masyarakat atas dasar kesetaraan
dengan yang lainnya (ILO, 2013: 12). Disabilitas adalah definisi yang diberikan
10
oleh International Classification of Functioning for Disability and Health, yang
kemudian disepakati oleh World Health Assembly dan digunakan di WHO.
Pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri mendorong ratifikasi UU
Penyandang Cacat menjadi UU Konversi Penyandang Disabilitas pada 18
Oktober 2011.
Disabilitas sering salah dimaknai dan dianggap sebagai pemalu atau
memiliki kepercayaan diri yang kurang. Hal demikian terjadi karena
kesalahpahaman mendasar terhadap disabilitas yang tidak jarang dinilai
mengalami hambatan dari lingkungan seperti kesulitan dalam mengakses fasilitas
umum transportasi atau bangunan (ILO, 2013: 12). Disabilitas menghadapi
kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat pada umumnya sebab
memiliki hambatan tersendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Disabilitas
seringkali tidak memiliki akses untuk pendidikan yang layak, pelayanan
kesehatan, dan kegiatan perekonomian. Kurangnya akses dalam transportasi,
bangunan, pendidikan, dan pekerjaan merupakan beberapa contoh yang menjadi
penghambat dalam kehidupan sehari-hari para disabilitas (ILO, 2013: 3).
Kebanyakan keluarga besar memiliki anggota keluarga dengan disabilitas, dan
banyak orang non-disabilitas mengambil tanggung jawab untuk mendukung dan
memperhatikan kerabat dan teman mereka yang merupakan disabilitas (ILO,
2013: 12)
Disabilitas intelektual diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang
sedimikian rendahnya (di bawah normal) sehingga untuk meniti tugas
perkembangannya memerlukan bantuan dan layanan secara khusus termasuk
11
dalam kebutuhan pendidikan dan bimbingan (Mohammad Effendi, 2005). Selain
itu Johston (dalam Hendrarno dan Supriyo, 1991) menyatakan bahwa Disabilitas
intelektual (tunagrahita) bukan merupakan penyakit dan tidak dapat disembuhkan,
tetapi dapat ditingkatkan kemampuannya dengan pendidikan, pelatihan dan
perlakuan khusus, di antaranya melalui rehabilitasi sosial.
Banyak sekali permasalahan yang membelit disabilitas intelektual seperti
diskriminasi, pelanggaran hak, aksesibilitas, pendidikan, perlindungan sosial dan
kurangnya kesempatan kerja yang menjadikan banyaknya permasalahan
kesejahteraan penyandang cacat termasuk disabilitas intelektual. Dalam konvensi
PBB tentang hak-hak disabilitas intelektual (United Nation Convention on The
Right of Person with Disabilities) bahwa mengubah cara pandang pemerintah dan
masyarakat terhadap hak asasi disabilitas yang harus dilindungi dengan
penegasan penerapan konsep-konsep pokok hak asasi manusia seperti martabat
(dignity), kesetaraan (equality), dan kebebasan menentukan pilihan sesuai keadaan
mereka (freedom to make one’s choices to the situation of people with disability,)
serta mengharuskan pemerintah untuk mengambil tindakan proaktif guna
menyingkirkan kendala sikap dan lingkungan fisik serta mengembangkan
komunikasi yang menghargai disabilitas dalam berpartisipasi dalam masyarakat
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention on the
Rights of Persons with Disabilities (UNCRPD) pada November 2011.
Diskriminasi terhadap disabilitas dilarang oleh banyak undang-undang. Terdapat
dua perundang-undangan pokok mengenai disabilitas di Indonesia, yaitu Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas beserta pengaturan
12
implementasinya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 tentang
Upaya untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas
(ILO, 2013: 3).
Upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi disabilitas
intelektual adalah melalui pengaturannya dalam regulasi, sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya diwujudkan dengan memprioritaskan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial bagi disabilitas intelektual agar dapat meningkatkan kualitas
hidup, kelangsungan hidup, serta memulihkan fungsi-fungsi sosial dalam
mencapai kemandirian seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009. Selain itu, dalam hal ini pemerintah juga menyelenggarakan program
rehabilitasi kesejahteraan sosial untuk meningkatkan pelayanan dasar disabilitas
intelektual sebagai salah satu program prioritas nasional.
Terkait dengan program tersebut, Departemen Sosial melalui Direktorat
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial dalam hal ini memiliki peran penting
untuk pelaksanaannya. Khususnya yaitu melalui Balai Besar Rehabilitasi Sosial
Bina Grahita (BBRSBG) yang menangani rehabilitasi disabilitas intelektual, salah
satunya yaitu BBRSBG Kartini Kabupaten Temanggung.
Jumlah disabilitas intelektual, untuk Provinsi Jawa Tengah bisa dikatakan
cukup besar. Pada tahun 2006 jumlah disabilitas intelektual Provinsi Jawa Tengah
mencapai jumlah 23.216 (data dari BBRSBG Kabupaten Temanggung). Dilihat
dari populasi disabilitas intelektual tentunya tak sebanding dengan kemampuan
lembaga pelayanan sosial baik pemerintah maupun swasta sehingga masih banyak
disabilitas intelektual yang tidak tersentuh oleh pelayanan sosial. Sementara di
13
Kabupaten Temanggung sendiri berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh
Pusadatin Departemen Sosial bekerjasama dengan PT Surveyor Indonesia pada
tahun 2007 menyatakan bahwa jumlah disabilitas intelektual sebanyak 1.040
orang dan berdasarkan data dari Dinas Sosial Kabupaten Temanggung jumlah
yang telah tertangani baru mencapai 6,27 persen (BBRSBG Kartini Temanggung,
2009: 1).
Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya untuk
memperluas pelayanan bagi disabilitas intelektual. Hal demikian dikarenakan
selama ini pelayanan bagi disabilitas intelektual hanya dilakukan sebatas
perkenalan pada dunia sekolah, baik melalui panti rehabilitasi maupun Sekolah
Luar Biasa yang kemudian membangun adanya sekat pembatas antara disabilitas
intelektual dengan masyarakat luas. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk lebih
membuat disabilitas intelektual dapat lebih membaur dengan masyarakat. Salah
satunya yaitu melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga dalam
pemberdayaan disabilitas intelektual.
Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita (BBRSBG) “Kartini”
Kabupaten Temanggung memprakarsai program Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial Berbasis Keluarga (PRSBK) untuk penyandang disabilitas intelektual
ringan dengan dimensi pemberdayaan masyarakat. Program tersebut memiliki
makna yang strategis, pertama, memungkinkan keluarga dan masyarakat
berpartisipasi aktif, bukan hanya sebagai penerima manfaat tetapi juga sebagai
pengupaya sekaligus sebagai penilai capaian-capaian dan keberlanjutannya.
Kedua, meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk memecahkan
14
masalah dan memenuhi kebutuhan tunagrahita dengan menggunakan sumber-
sumber yang ada. Ketiga, mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas
dalam kehidupan ketetanggaan. Melalui program ini memungkinkan keluarga
untuk lebih memiliki kesempatan dalam berperan aktif mengembangkan
kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilannya guna mencapai
kemandirian sesuai kondisi dan potensi yang dimiliki (BBRSBG Kartini
Temanggung, 2009: ii).
Bentuk pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga sebagai berikut:
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, pelatihan orang tua (parrents training),
konseling keluarga, pendampingan dan supervisi, bantuan stimulan usaha
ekonomi produktif, dan pelayanan aksesibilitas. Dari beberapa bentuk program
pemberdayaan melalui pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga maka
muncul pertanyaan bagaimana implementasi program tersebut bagi keberdayaan
para disabilitas intelektual ringan dan rumah tangga disabilitas intelektual ringan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka rumusan masalah yang
dapat disusun adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan upaya pemberdayaan rumah tangga dalam
pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual ringan di
Kabupaten Temanggung?
2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat dalam upaya pemberdayaan rumah
tangga dalam pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual
15
ringan di Kabupaten Temanggung?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disusun, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pelaksanaan pemberdayaan rumah tangga dalam
pengembangan kemandirian penyandang disabilitas intelektual ringan di
Kabupaten Temanggung.
2. Untuk menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan
pemberdayaan rumah tangga dalam pengembangan kemandirian
penyandang disabilitas intelektual ringan di Kabupaten Temanggung.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan beberapa manfaat sebagai
berikut:
1. Menambah kajian keilmuan mengenai upaya pemberdayaan penyandang
disabilitas intelektual ringan, khususnya terkait pemberdayaan berbasis
keluarga.
2. Dapat digunakan sebagai masukan untuk Balai Rehabilitasi Sosial Bina
Grahita Kartini Kabupaten Temanggung mengenai pelaksanaan program-
program yang telah dijalankan serta solusi untuk mengatasi permasalahan
yang dihadapi pada pelaksanaannya.
3. Dapat menjadi bahan pembelajaran bagi pemerintah, swasta, LSM, maupun
16
masyarakat umum mengenai upaya pemberdayaan penyandang disabilitas,
khususnya bagi penyandang disabilitas intelektual ringan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga
Pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga (PRSBK) dapat
dipahami sebagai serangkaian aktivitas pengembangan kemampuan fisik,
mental, sosial, dan keterampilan bagi tunagrahita dalam lingkungan keluarga
yang dilakukan melalui peran aktif keluarga dan lingkungan sosialnya sebagai
pengupaya, penilai dan pemelihara yang berkelanjutan (BBRSBG Kartini
Temanggung, 2009: 4). Pada dasarnya PRSBK tersebut merupakan upaya
untuk memberdayakan orang tua atau keluarga penyandang disabilitas
intelektual ringan agar mampu mengatasi masalah atau memenuhi kebutuhan
penyandang disabilitas intelektual ringan sesuai dengan sumber daya yang
tersedia dalam lingkungan masyarakat (BBRSBG Kartini Temanggung, 2009:
6). Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pada pokoknya
program PRSBK merupakan program yang tidak hanya dilakukan untuk
mengembangkan mental para penyandang disabilitas intelektual ringan, tetapi
lebih luas juga mencakup upaya pengembangan kemampuan fisik, sosial, serta
keterampilannya.
Tujuan umum dari pelaksanaan program pelayanan dan rehabilitasi sosial
berbasis keluarga (PRSBK) dalam hal ini adalah untuk mencapai kemandirian
bagi para penyandang disabilitas intelektual ringan dalam melakukan aktivitas
17
dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan potensi yang dimiliki (BBRSBG
Kartini Temanggung, 2009: 4). Sementara itu, selain tujuan utama tersebut
pelaksanaan PRSBK juga memiliki beberapa tujuan khusus sebagai berikut
(BBRSBG Kartini Temanggung, 2009: 4):
a. Meningkatkan kemampuan orang tua, keluarga, dan lingkungan sosial
dalam memberikan pelayanan dan bimbingan serta menciptakan situasi
yang kondusif untuk menumbuhkembangkan kemampuan penyandang
disabilitas intelektual ringan.
b. Meningkatkan kemampuan fisik, mental, sosial, dan keterampilan atau
usaha kerja penyandang disabilitas intelektual ringan.
c. Terwujudnya aksesibilitas dalam memanfaatkan sumber daya bagi
pemeliharaan dan pengembangan kemandirian penyandang disabilitas
intelektual ringan.
Apabila dilihat dari kerangka pemberdayaan masyarakat dalam hal ini
PRSBK memiliki nilai strategis tersendiri. Hal demikian dikarenakan PRSBK
memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut (BBRSBG Kartini
Temanggung, 2009: 2):
a. Melalui PRSBK memungkinkan keluarga dan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif sebagai pengupaya dan penilai capaian-capaian maupun
keberlanjutan dari proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan.
b. PRSBK dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk
memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan penyandang disabilitas
intelektual ringan dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki.
18
c. Mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas dalam kehidupan
ketetanggaan dalam masyarakat.
Beberapa keunggulan PRSBK sebagaimana telah diuraikan tersebut
menunjukkan bahwa upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga
memiliki kekuatan tersendiri dalam memperluas jangkauan pelayanan dan
rehabilitasi sosial itu sendiri. Sementara itu, pelaksanaan PRSBK dalam hal ini
memiliki beberapa sasaran sebagai berikut (BBRSBG Kartini Temanggung,
2009: 4):
a. Pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas intelektual ringan untuk
tumbuh dan berkembang dalam aspek fisik, mental, sosial, keterampilan,
serta kesempatan untuk mengembangkan kemandiriannya.
b. Peningkatan kemampuan orang tua atau keluarga dalam menciptakan
lingkungan yang promotif bagi tumbuh kembang penyandang disabilitas
intelektual ringan.
c. Peningkatan peran aktif masyarakat, instansi terkait, organisasi sosial, dan
dunia usaha untuk mengupayakan serta memlihara capaian-capaian PRSBG
yang telah berhasil diraih.
Program pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga yang
dilakukan oleh BBRSBG Kartini Temanggung pada dasarnya dilakukan selama
kurun waktu dua tahun. Setelah dua tahun, guna memelihara dan
mengembangkan capaian program yang telah diraih maka dilakukan bimbingan
lanjutan oleh pihak dinas sosial.
2. Tinjauan Tentang Pemberdayaan
19
Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan dan
potensi yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat
mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan
dan mengembangkan diri secara mandiri dibidang ekonomi, sosial, agama, dan
budaya (Widjaja, 1995: 54). Menurut Prijono dan Pranaka pemberdayaan
adalah suatu strategi untuk memperbaiki sumber daya manusia dengan
pemberian tanggungjawab dan kewenangan terhadap pihak yang nantinya
diharapkan dapat memungkinkan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi di
era yang selalu berubah”(Prijono dan Pranaka, 1996: 121). Sementara itu,
menurut Sedarmayanti, konsep pemberdayaan memuat dua kecenderungan
yaitu sebagai berikut (Sedarmayanti, 2000:75):
a. Pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan
sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat,
organisasi, atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini sering
disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.
b. Menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, dan memotivasi
individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan
hal yang menjadi pilihan hidupnya. Proses ini sering disebut sebagai
kecenderungan sekunder dari makna pemberdayaan.
Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pemberdayaan
merupakan kecenderungan proses menuju kekuasaan, kekuatan atau
kemampuan individu agar lebih berdaya dengan cara mendorong dan
20
memotivasi individu bersangkutan. Sementara itu, tujuan atau makna
pemberdayaan ini meliputi (Makmur, 2007: 120-121):
a. Menciptakan kemandirian dan kepercayaan diri. Kepercayaan diri dan
kemandirian dalam menghadapi berbagai hambatan atau tantangan hidup
dapat melahirkan kekuatan dan ketahanan diri untuk menggantungkan
harapan kepada pihak lain.
b. Memiliki kegesitan dan proaktif. Pemberdayaan manusia menciptakan
kegesitan memiliki daya dorong untuk proakif mencari kegiatan yang dapat
lebih menguntungkan.
c. Memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan merupakan sumber
keterampilan dalam melaksananakan suatu kegiatan yang hasilnya lebih
menguntungkan.
d. Kepatuhan dan kesadaran. Kehidupan manusia senantiasa diatur oleh suatu
ketentuan hidup yang perlu ditaati dan sekedar untuk menciptakan
keteraturan dan keharmonisan, baik dalam melakukan kegiatan maupun
dalam pergaulan. Kepatuhan dan kesadaran terhadap norma-norma sebagai
fundamental kehidupan bermasyarakat, berorganisasi dan sebagainya
menjadi terapi yang sangat tepat serta mosaic dalam upaya meningkatkan
pemberdayaan, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Pada sisi lain, hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah beralihnya
fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek sehingga realisasi sosial
yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan realisasi antar subyek dengan
subyek yang lain (Vidhyandika 1996: 135). Oleh sebab itu, dalam hal tersebut
21
istilah pemberdayaan pada intinya dinilai sebagai upaya pemanusiaan. Menurut
Tjandraningsih (1996: 3), pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari
orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaannya. Hal demikianlah yang
menjauhkan upaya pemberdayaan dari konotasi ketergantungan dan berbeda
dengan upaya charity
Upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari dua upaya untuk
mewujudkan pemberdayaan itu sendiri. Menurut Kartasasmita (2003: 11),
terdapat dua upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan pemberdayaan,
yaitu:
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap
manusia dan setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Artinya, tidak ada individu yang sama sekali tanpa daya. Oleh sebab itu,
pemberdayaan dilakukan sebagai upaya untuk membangun daya tersebut
dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya.
b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat
(empowering). Dalam hal ini diperlukan langkah-langkah lebih positif,
selain menciptakan iklim dan suasana sebagaimana teah diuraikan. Upaya
memperkuat potensi tersebut meliputi langkah-langkah nyata, dan
menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses
ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat
menjadi makin berdaya.
22
Sementara itu, pendekatan pemberdayaan menurut Kartasasmita (2003:
13) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Upaya yang dilakukan harus terarah (targetted). Pemberdayaan ditujukan
langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk
mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
b. Upaya harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh
masyarakat yang menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan
dibantu mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk membuat upaya
pemberdayaan efektif karena sesuai dengan kehendak dan kemampuan serta
kebutuhan sasaran. Selain itu sekaligus meningkatkan keberdayaan
(empowering) masyarakat dengan pengalaman dalam merancang,
melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya
peningkatan diri dan ekonominya.
c. Pemberdayaan menggunakan pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok
adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaan sumber daya juga
lebih efisien.
3. Teori Kemandirian
Kehidupan manusia saat ini semakin dihadapkan dengan permasalahan
kompleks. Keadaan ini menuntut setiap individu untuk mampu memecahkan
permasalahan yang dihadapi tanpa harus tergantung dengan orang lain dan
berani menentukan sikap yang tepat. Salah satu aspek yang diperlukan adalah
kemandirian dalam bersikap dan bertindak. Kemandirian adalah kemampuan
23
untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan
perkembangan dan kepastiannya (Lie, 2004 : 24).
Kemandirian merupakan suatu sikap individu yang diperoleh secara
komulatif selama perkembangan, di mana individu akan terus belajar untuk
bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga
individu mampu berfikir dan bertindak sendiri. Dengan kemandirian seorang
dapat memilih jalan hidupnya untuk berkembang yang lebih mantap (Mu’tadin,
2002: 112).
Kemandirian seperti halnya psikologis yang lain, dapat berkembang
dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang
dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini, latihan tersebut
berupa pemberian tugas tanpa bantuan. Kemandirian akan memberi dampak
yang positif bagi perkembangan anak, maka sebaiknya kemandirian diajarkan
pada anak sedini mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala
seseautu yang dapat diusahakan sejak sedini mungkin sesuai kemampuan anak.
Seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat diusahakan sejak dini akan dapat
dihayati dan semakin berkembang menuju kesempurnaan (Mu’tadin, 2002:
114).
Kemandirian seorang anak diperkuat melalui proses sosialisasi yang
terjadi antara anak dengan teman sebaya. Hurlock (1991: 87) mengatakan
bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, anak belajar berpikir secara
mandiri, mengambil keputusan sendiri. Dalam mencapai keinginan untuk
mandiri sering kali anak mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh
24
masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain (Mu’tadin,
2002:114).
Zakiyah (2002: 32) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mandiri
apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Adanya tendensi untuk berperilaku bebas dan berinisiatif, mampu bersikap
dan berpendapat.
b. Adanya tendensi untuk percaya diri dan tidak tergantung pada orang lain.
c. Adanya sikap oroginal (keaslian) yang bukan sekedar menerima orang lain.
d. Tidak mengharapkan pengharahan dari orang lain.
e. Adanya tendensi untuk mencoba segala sesuatunya sendiri.
Steinberg (2002: 140) mengemukakan bahwa aspek-aspek kemandirian
meliputi:
a. Kemandirian Emosi (Emotional Autonomy)
Aspek emosional mengarah pada kemampuan remaja untuk memulai
melepaskan diri secara emosi dengan orang tua dan mengalihkannya pada
hubungan dengan teman sebaya. Remaja yang mandiri secara emosional
tidak membebankan pikiran orang tua meski dalam masalah. Remaja yang
mandiri secara emosi dapat melihat serta berinteraksi dengan orang tua
mereka sebagai orang-orang yang dapat mereka ajak untuk bertukar pikiran.
b. Kemandirian Perilaku (Behavioral Autonomy)
Aspek kemandirian perilaku merupakan kemampuan remaja untuk
mandiri dalam membuat keputusannya sendiri dengan mempertimbangkan
berbagai sudut pandang. Remaja mandiri tidak mudah dipengaruhi dan
25
mampu mempertimbangkan terlebih dahulu nasehat yang diterima. Mereka
yang mandiri secara perlaku tidak akan menunjukkan perilaku yang buruk
atau semena-mena yang dapat menjatuhkan harga diri mereka.
4. Tinjauan tentang Penyandang Disabilitas Intelektual Ringan(PDI)
Disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang
menyandang terbelakang mental atau memiliki kemampuan intelektual di
bawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Retardasi mental juga
dapat diartikan sebagai keadaan rendahnya fungsi intelektual, umum yang
terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan kerusakan salah
satu atau lebih diantara faktor, kemasakan, kemampuan belajar, dan
penyesuaian diri dengan lingkungan sosial (Azwar, 1996: 144).
Istilah disabilitas intelektual berkaitan dengan istilah retardasi mental
atau hambatan mental (mentally handicap). Sementara itu, anak disabilitas
intelektual atau berkelainan mental yaitu anak yang diidentifikasi memiliki
tingkat kecerdasan yang sedemikian rendah atau di bawah rata-rata, sehingga
untuk mengerjakan tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan
secara khusus, termasuk kebutuhan program pendidikan dan bimbingan
(Mohammad Efendi, 2006: 9).
Disabilitas intelektual atau anak yang terbelakang mentalnya dapat
dilihat dari beberapa ciri, seperti dari segi fisik kurang normal sebagaimana
anak pada umumnya. Kepalanya kecil, matanya sipit seperti orang Mongolia,
gendut, pendek, lidahnya menonjol keluar, tangan dan kakinya agak lain. Dari
segi non fisik IQ-nya di bawah rata-rata berkisar antara 40-50 (Nuraeni, 1997:
26
106). Disabilitas intelektual dapat dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu
kelompok disabilitas intelektual ringan, sedang, dan berat.
Kelompok disabilitas intelektual ringan tampil tidak berbeda jauh
dengan anak pada umunya (Nuraeni, 1997: 106). Menurut Wantah (2007: 9),
disabilitas intelektual ringan dengan istilah tunagrahita mampu didik memiliki
kemampuan IQ 50-70. Sementara itu Mohammad Efendi (2006: 90)
mengemukakan disabilitas intelektual ringan adalah tunagrahita yang tidak
mampu mengikuti program pendidikan di sekolah regular, namun memiliki
kemampuan yang masih dapat dikembangkan melului pendidikan meskipun
hasilnya tidak maksimal. Adapun ciri-ciri disabilitas intelektual ringan terletak
pada IQ yang dimilikinya yaitu antara 50-70, sebagaimana atas dasar
pengukuran tes intelegensi binet, dengan demikian IQ yang dimiliki disabilitas
intelektual sedikit demi sedikit mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan besar kemungkinan dapat berdiri sendiri sebagian atau sepenuhnya
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975: 44).
Derajat retardasi disabilitas intelektual ringan merupakan bagian
populasi terbesar di antara penyandang disabilitas intelektual ringan yang lain.
Sesudah dewasa IQ mereka setara dengan anak berusia 8-11 tahun.
Penyesuaian sosial mereka hampir setara dengan remaja normal, namun kalah
dalam hal imajinasi, kreativitas, dan kemampuan membuat penilaian-penilaian.
Mereka ini edukabel atau dapat dididik. Artinya, bila kasus mereka diketahui
sejak dini dan selanjutnya mendapatkan pendampingan dari orang tua serta
mendapatkan program pendidikan luar biasa, sebagian besar dari mereka
27
mampu menyesuaikan diri dalam pergaulan, mampu menguasai keterampilan
akademik dan keterampilan kerja sederhana, dan dapat menjadi warga
masyarakat yang mandiri (Supratiknya, 1995: 77).
Sementara itu, disabilitas intelektual sedang memiliki derajat retardasi
kemampuan intelektual agak berat, sehingga masih bisa mencapai kematangan
melalui tahapan belajar. Ciri-cirinya tampak pada segi fisiknya seperti fungsi
organ tubuhnya tidak normal, kaki dan tangannya tidak luwes, lidahnya
menonjol dan kelainan fisik yang lainnya (Nuraeni, 1997: 106). Kemampuan
intelektual penyandang tunagrahita sedang tergolong pada taraf IQ anak
embisil yang berkisar antara 20-25 dan 40 sampai 50. Pada taraf embisil ini
daya tangkap dalam belajarnya lamban atau terbatas (Gunarsa, 2004: 110).
Kelompok disabilitas intelektual berat kemampuan inteleknya lebih
rendah dari kelompok disabilitas intelektual sedang. Kelompok disabilitas
intelektual berat tidak dapat dilatih untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya
sendiri dan tidak sanggup merawat dirinya. Oleh sebab itu, disabilitas
intelektual berat cenderung tidak dapat menolong dirinya terhadap bahaya serta
harus selalu dijaga karena mudah jatuh. Disabilitas intelektual berat sangat
rendah kemampuan intelegensinya sehingga sangat sulit, bahkan tidak bisa
dilatih dan diajar, baik ketrampilan maupun yang lainnya karena memiliki IQ
sangat rendah, yaitu antara 20 sampai 25 (Azwar, 1996: 45).
Keterbelakangan mental atau disabilitas intelektual dapat disebabkan atas
beberapa faktor sebagai berikut (Nuraeni, 1997: 106):
28
a. Faktor Keturunan
Disabilitas intelektual kategori ringan merupakan faktor pembawaan
sejak kecil bahkan sejak anak dalam kandungan akibat kedua orang tua yang
terbelakang mentalnya atau disabilitas intelektual sehingga secara langsung
berpengaruh pada anaknya. Adanya kelainan dalam “chromosom” atau
“gen” dari salah satu dari orang tuanya karena terdapat gen yang lemah pada
salah satu orang tuanya dalam hal ini membuat ada kemungkinan anaknya
mengalami lemah mental.
b. Faktor Kurang Gizi
Pola makan dan makanan yang cenderung diidentikan dengan gizi.
Artinya, pemberian gizi pada anak sangat berpengaruh terhadap
perkembangan dan kecerdasan seorang anak. Kekurangan asupan gizi
tersebut salah satu akibatnya dapat membuat perkembangan dan kecerdasan
anak terganggu atau kurang normal.
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan terjadi akibat infeksi yang diderita sang ibu pada
waktu hamil, seperti demam disertai lepuh (luka bakar pada kulit), sipilis,
dan juga keracunan seperti rokok, alkohol, morpin, obat-obatan makanan
berbahaya. Hal demikian kemudian dapat mempengaruhi tumbuh kembang
janin yang dikandung sehingga perkembangan kecerdasannya tidak normal.
Sementara itu, menurut Kartini Kartono (Kartono, 1991: 54) faktor
penyebab disabilitas intelektual adalah sebagai berikut:
1) Orang tuanya sering mengkonsumsi minuman keras, karena kadar alkohol
29
atau minuman keras dalam darah melebihi kadar 0,5% dapat mempengaruhi
bayi dalam kandungan ibu.
2) Adanya penyakit syphilis yang diderita oleh orang tuanya, hal ini dapat
menular pada bayi dalam kandungan atau bayi sewaktu melahirkan.
3) Pengaruh radiasi atas ionisasi dari sinar X waktu bayi dalam kandungan.
4) Kelahiran bayi mengalami kesulitan, sehingga melahirkan ditolong dengan
vacuum pump/tang.
5) Bayi lahir belum waktunya.
6) Karena jatuh, tertumbuk, dipukul keras kepalanya sehingga bayi mengalami
geger otak.
7) Karena terganggu kelenjar gondoknya (kekurangan unsur yodium dalam
tubuh) sehingga menderita cretinism (organ).
8) Karena penyakit yang diderita semasa kanak-kanak seperti ayan (epilepsi),
atau cacar air (chicken pooch).
Faktor penyebab lainnya dapat terjadi pada saat setelah bayi lahir yaitu
adanya infeksi pada otak/selaput otak oleh penyakit-penyakit cerebral
meningitis, gabag (maize Len, campak), diphtheria, radang kuping yang
mengandung nanah, dan lain sebagainya (Kartono, 1989: 33). Berdasarkan
uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penyebab seorang anak menjadi
disabilitas intelektual dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
5. Tinjauan tentang Kesejahteraan Sosial
Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global
maupun nasional. Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, telah lama
30
mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat
internasional (Suharto, 1997). PBB memberi batasan kesejahteraan sosial
sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu
individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan
meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan
masyarakat.
Di Indonesia, konsep kesejahteraan sosial telah lama dikenal. Ia telah ada
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 6 tahun
1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial, misalnya,
merumuskan kesejahteraan sosial sebagai berikut:
Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual
yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir
dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah,
rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia
sesuai dengan Pancasila.
Salah satu ciri ilmu kesejahteraan sosial adalah upaya pengembangan
metodologi untuk menangani berbagai macam masalah sosial, baik tingkat
individu, kelompok, keluarga maupun masyarakat (Adi, 1994: 3). Berikut ini
akan dijelaskan pengertian kesejahteraan sosial menurut para ahli (dalam
Sumarnonugroho, 1987: 28-35).
a. Arthur Dunham
Kesejahteraan sosial dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang
terorganisasi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dari segi sosial
melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-
31
kebutuhan di dalam beberapa bidang seperti kehidupan keluarga dan anak,
kesehatan, penyesuaian sosial, waktu senggang, standar-standar kehidupan
dan hubungan-hubungan sosial. Pelayanan kesejahteraan sosial memberi
perhatian utama terhadap individu-individu, kelompok-kelompok,
komunitas-komunitas dan kesatuan-kesatuan penduduk yang lebih luas,
pelayanan ini mencakup pemeliharaan atau perawatan, penyembuhan dan
pencegahan.
b. Harold L. Wilensky dan Charles N. Lebaux
Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari usaha-usaha
pelayanan sosial dan lembaga-lembaga sosial, untuk membantu individu-
individu dan kelompok dalam mencapai tingkat hidup serta kesehatan yang
memuaskan. Maksudnya agar individu dan relasi-relasi sosialnya
memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan
kemampuan-kemampuannya serta meningkatkan atau menyempurnakan
kesejahteraan sebagai manusia sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
c. Walter A. Friendlander
Kesejahteraan sosial adalah suatu sistem yang terorganisir dari pelayanan-
pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bermaksud untuk membantu
individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai standar-standar
kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan-hubungan
perorangan dan sosial yang memungkinkan mereka memperkembangkan
segenap kemampuan dan meningkatkan kesejahteraan mereka selaras
dengan kebutuhan-kebutuhan keluarga maupun masyarakat.
32
d. Alfred J. Khan
Kesejahteraan sosial terdiri dari program-program yang tersedia selain yang
tercakup dalam kriteria pasar untuk menjamin suatu tindakan kebutuhan
dasar seperti kesehatan, pendidikan kesejahteraan, dengan tujuan
meningkatkan derajat kahidupan komunal dan berfungsinya individual, agar
dapat mudah menggunakan pelayanan-pelayanan maupun lembaga-lembaga
yang ada pada umumnya serta membantu mereka yang mengalami kesulitan
dan dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
Dengan demikian, kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna yang
relatif berbeda, meskipun substansinya tetap sama. Kesejahteraan sosial pada
intinya mencakup tiga konsepsi, yaitu:
a. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial.
b. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan
sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha
kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.
c. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk
mencapai kondisi sejahtera.
6. Keterkaitan Antar Teori
Disabilitas intelektual merupakan sebutan untuk individu yang
menyandang terbelakang mental atau memiliki kemampuan intelektual di
bawah rata-rata teman seusianya (Suwarno, 1992: 84). Retardasi mental juga
dapat diartikan sebagai keadaan rendahnya fungsi intelektual, umum yang
33
terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan dengan kerusakan salah
satu atau lebih diantara faktor, kemasakan, kemampuan belajar, dan
penyesuaian diri dengan lingkungan sosial (Azwar, 1996: 144). Sementara itu,
anak disabilitas intelektual atau berkelainan mental yaitu anak yang
diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendah atau di
bawah rata-rata, sehingga untuk mengerjakan tugas perkembangannya
memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk kebutuhan program
pendidikan dan bimbingan (Mohammad Efendi, 2006: 9).
Hal demikian menjadikan anak-anak disabilitas tidak jarang memiliki
tingkat kemandirian yang rendah karena sangat bergantung pada orang tua atau
orang lain di sekitarnya. Oleh sebab itu, menjadi hal yang sangat penting untuk
mewujudkan kemandirian bagi anak-anak disabilitas intelektual.
Kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas
sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan kepastiannya (Lie, 2004:
24). Kemandirian seperti halnya psikologis yang lain, dapat berkembang
dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang
dilakukan secara terus menerus dan dilakukan sejak dini, latihan tersebut
berupa pemberian tugas tanpa bantuan (Mu’tadin, 2002: 114). Kemandirian
akan memberi dampak yang positif bagi perkembangan anak, maka sebaiknya
kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuan anak.
Seperti telah diakui segala seseautu yang dapat diusahakan sejak sedini
mungkin sesuai kemampuan anak. Seperti telah diakui segala sesuatu yang
34
dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan semakin berkembang
menuju kesempurnaan (Mu’tadin, 2002: 114).
Guna membuat anak-anak disabilitas intelektual dapat mencapai
kemandirian, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui
pemberdayaan. Pemberdayaan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
dan potensi yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat
mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan
dan mengembangkan diri secara mandiri di bidang ekonomi, sosial, agama, dan
budaya (Widjaja, 1995: 54). Upaya pemberdayaan tidak dapat dilepaskan dari
dua upaya untuk mewujudkan pemberdayaan itu sendiri. Menurut Kartasasmita
(2003: 11), terdapat dua upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan
pemberdayaan, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat berkembang (enabling), serta memperkuat potensi atau
daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering).
Terkait dengan pemberdayaan bagi pencapaian kemandirian disabilitas
intelektual, sasaran yang perlu diberdayakan bukan hanya anak-anak
disabilitas itu sendiri. Lebih dari itu, juga diperlukan upaya pemberdayaan bagi
rumah tangga disabilitas intelektual, sehingga secara keseluruhan tercipta
suasana kondusif bagi perkembangan anak disabilitas intelektual. Salah satu
bentuk konkrit dari upaya pemberdayaan rumah tangga disabilitas intelektual
adalah melalui program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Berbasis Keluarga
(PRSBK).
35
Pada dasarnya PRSBK tersebut merupakan upaya untuk memberdayakan
orang tua atau keluarga disabilitas intelektual agar mampu mengatasi masalah
atau memenuhi kebutuhan disabilitas intelektual sesuai dengan sumber daya
yang tersedia dalam lingkungan masyarakat (BBRSBG Kartini Temanggung,
2009: 6). Berdasarkan hal demikian maka dapat dikatakan bahwa pada
pokoknya program PRSBK merupakan program yang tidak hanya dilakukan
untuk mengembangkan mental para disabilitas, tetapi lebih luas juga mencakup
upaya pengembangan kemampuan fisik, sosial, serta keterampilannya.
Apabila dilihat dari kerangka pemberdayaan masyarakat dalam hal ini
PRSBK memiliki nilai strategis tersendiri. Hal demikian dikarenakan PRSBK
memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut (BBRSBG Kartini
Temanggung, 2009: 2):
a. Melalui PRSBK memungkinkan keluarga dan masyarakat untuk
berpartisipasi aktif sebagai pengupaya dan penilai capaian-capaian maupun
keberlanjutan dari proses pelayanan dan rehabilitasi yang dilakukan.
b. PRSBK dapat meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk
memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan disabilitas dengan
menggunakan sumber daya yang dimiliki.
c. Mengembangkan tanggung jawab sosial dan stabilitas dalam kehidupan
ketetanggaan dalam masyarakat.
Beberapa keunggulan PRSBK sebagaimana telah diuraikan tersebut
menunjukkan bahwa upaya pelayanan dan rehabilitasi sosial berbasis keluarga
memiliki kekuatan tersendiri dalam memperluas jangkauan pelayanan dan
36
rehabilitasi sosial itu sendiri. Tujuan akhir yang diharapkan dalam hal ini
adalah tercapainya kesejahteraan sosial pada rumah tangga disabilitas
intelektual. Kesejahteraan sosial yang dimaksud mencakup tiga konsepsi dasar
sebagaimana diatur Undang-Undang RI Nomor 6 tahun 1974 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, yaitu:
a. Kondisi kehidupan atau keadaan sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan-
kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial.
b. Institusi, arena atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan
sosial dan berbagai profesi kemanusiaan yang menyelenggarakan usaha
kesejahteraan sosial dan pelayanan sosial.
c. Aktivitas, yakni suatu kegiatan-kegiatan atau usaha yang terorganisir untuk
mencapai kondisi sejahtera.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa kesejahteraan sosial
bagi rumah tangga disabilitas intelektual merupakan tujuan akhir dari upaya
pemberdayaan yang dilakukan. Selain itu, dalam proses mencapai
kesejahteraan tersebut anak-anak penyandang disabilitas intelektual juga
diharapkan dapat menjadi lebih mandiri untuk selanjutnya juga mampu
berpartisipasi dalam upaya pemberdayaan tersebut.
top related