bab i

Post on 12-Feb-2016

214 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

rls

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Restless Legs Syndrome (RLS) pertama kali ditemukan pada tahun 1685

oleh dokter inggris bernama Sir Thomas Willis. Pada saat itu, Sir Willis

menemukan pasien dengan keluhan tidak bisa tidur karena adanya lonjakan dan

kontraksi pada tungkai. Setelah itu, Sir Willis menuliskan dibukunya yang

berjudul “Cerebral Anatomy” bahwa kegelisahan (restlessness) dan tossing pada

pasien saat tidur dapat memberat hingga dapat mengganggu sampai tidak bisa

tidur. Pada abad ke-19, Restless Legs Syndrome (RLS) atau anxietas tibiarum

mulai dikenal. Pada tahun 1945, Karl Ekbom, seorang neurologis Swedia,

mempelajari kelompok yang terdiri dari 8 orang dan menyatakan bahwa Restless

Legs Syndrome yang dijelaskan Sir Willis sebelumnya juga dapat mengenai

ekstremitas atas. Sejak saat itu dikenal lah gangguan ini sebagai Restless Legs

Syndrome atau Willis-Ekbom Disease.

Restless Legs Syndrome (RLS), atau Willis-Ekbom disease merupakan

ganggaun neurologis yang dikarakteristikkan dengan adanya sensasi tidak nyaman

atau nyeri pada tungkai yang mengganggu serta adanya dorongan tidak

tertahankan untuk menggerakkan tungkai. Gejala RLS memburuk pada saat

beraktivitas dan malam hari. Pemulihan total ataupun sebagian dapat terjadi bila

pasien menggerakkan kaki seperti berjalan, meregang, ataupun dengan menekuk

tungkainya. Pemulihan gejala terjadi sementara dan gejala dapat muncul kembali

apabila pergerakan tungkai kembali berhenti. Bila penyakit ini terjadi secara

berkelanjutan maka, banyak dampak yang dapat ditimbulkan, gejala dapat muncul

lebih awal, dan intensitas yang lebih kuat dan lama pada malam hari dengan atau

tanpa perluasan ke ekstremitas atas. Gejala klinis lainnya dapat bervariasi, tetapi

umumnya pasien RLS mengeluh gatal ataupun rasa benda merayap pada tungkai,

dan rasa geli yang biasa terjadi diantara pergelangan kaki dan lutut. Remisi dapat

terjadi. RLS berat membutuhkan terapi jangka panjang. Prevalensi RLS adalah

1,5-7,4% pada dewasa, lebih banyak mengenai wanita dan usia tua.

Sindroma ini merupakan salah satu gangguan tidur yang mengenai hampir

dari seluruh populasi di dunia. Sindroma dapat terkait secara primer oleh adanya

faktor genetik, namun umum terjadi sekunder oleh kondisi patologi seperti

neuropati perifer, mielopati, uremia, artritis reumatoid, penyakit parkinson,

defisiensi zat besi, attention-deficit hyperactivity disorder pada anak, dan

kehamilan. Sindroma ini apabila terjadi secara berkelanjutan dapat mengakibatkan

terjadinya komorbid hingga menurunkan kualitas hidup penderitanya.

Penderita RLS umumnya memiliki riwayat penyakit keluarga. Berdasarkan

penelitian, seseorang dengan riwayat penyakit keluarga RLS memiliki

kemunkinan sekitar 54-83% untuk mengidap RLS.

Restless Legs Syndrome (RLS) memiliki peran motorik berpasangan yang

membentuk gerakan menyentak berulang yang disebut Periodic Limb Movement

in Sleep (PMLS) / mioklonus nokturna, tetapi PLMS juga dapat terjadi tanpa

disertai RLS.

Adanya disfungsi opioid endogen dan sistem dopaminergik merupakan

prinsip dasar terjadinya RLS dan berhubungan untuk penatalaksanaan

farmakologi. Selain itu, adanya gangguan metabolisme zat besi juga menjadi salah

satu penyebab utama terjadinya RLS.

Dampak utama terjadinya RLS adalah (1)gangguan tidur, dapat

menyebabkan kekurangan tidur kronis yang menyebabkan rasa mengantuk siang

hari, sulit berkonsentrasi, performa buruk, mood buruk;(2) kesulitan istirahat yang

menyebabkan efektifitas kerja terganggu dan cepat lelah.

Diagnosis RLS dapat ditegakkan hanya berdasarkan kriteria klinis. Dasar

kriteria diagnosis RLS berdasarkan International Restless Legs Syndrome Study

Group 2003 meliputi 4 kriteria dasar yang harus ditemukan, yaitu (1) dorongan

tak tertahankan untuk menggerakkan tungkai biasanya disertai rasa tidak

menyenangkan pada tungkai ;(2) sensasi tidak menyenangkan memburuk saat

istirahat atau saat tidak sedang beraktivitas seperti duduk atau berbaring; (3)

sensasi tidak menyenangkan membaik secara total atau sebagian dengan gerak

seperti berjalan, menekuk tungkai, meregang, dan kegiatan lain yang

berkelanjutan; (4) keluhan lebih memburuk pada malam hari dibanding siang hari

atau hanya dapat terjadi pada malam hari. Dengan kata lain, untuk menemukan

keempat kriteria ini, pasien harus memiliki karakteristik gangguan sensorik atau

motorik yang muncul saat istirahat dan membaik dengan gerak serta memberat

atau hanya terjadi pada malam hari.

Berat ringannya penyakit dapat diukur dengan menggunakan “International

RLS Rating Scale” yang meliputi 10 pertanyaan atas beratnya gejala. Dari skoring

pertanyaaan tersebut dapat ditentukan derajat kesakitan pasien dengan RLS.

Berat-ringannya RLS bervariasi. Pada RLS ringan, terganggunya aktivitas

minimal, namun pada RLS berat dapat sangat menggaggu hingga tampak pula

gangguan pada kualitas hidup penderita. Gangguan kualitas hidup ini

berhubungan dengan perkerjaan dan aktivitas sosial serta menurunkan fungsi dan

emosi. RLS juga menyebabkan gangguan tidur yang menyebabkan gangguan

fungsional, cemas, dan depresi. Komplikasi jangka panjang gangguan tidur ini

dapat menyebabkan gangguan pada sistem kardiovaskular. Keluhan cepat lelah

merupakan keluhan yang umumnya terjadi pada pasien hingga berobat.

Keakuratan diagnosis RLS beserta derajat berat-ringannya penyakit penting

untuk menentukan jenis serta evaluasi terapi RLS. Terapi (farmakologi dan non-

farmakologi) bervariasi bergantung pada usia dan derajat beratnya penyakit.

Terapi non-farmakologi yang dianjurkan meliputi olah raga, hindari faktor

pencetus RLS (kafein, alkohol, anti-depresan, anti-histamin), faktor yang

menghambat stimulus sensorik (mandi air dingin atau panas, pijat pada tungkai,

pemakaian celana ketat), obat-obatan herbal dan akupuntur, dan terapi perilaku.

Terapi farmakologi umumnya diberikan kepada pasien dengan RLS sedang –

berat. Terapi farmakologi utama yang digunakan adalah agen dopaminergik,

hipnotik sedatif, antikonvulsan, opium, dan zat besi. FDA merekomendasikan

penggunaan obat anti-dopaminergik atau anti-konvulsan sebagai terapi utama

pada pasien RLS sedang-berat. Tujuan utama terapi RLS adalah untuk

mengendalikan gejala dengan terapi farmakologi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis merasa perlu untuk

membahas lebih lanjut mengenai dampak Restless Legs Syndrome terhadap

terjadinya disfungsi ereksi serta penatalaksanaannya ditinjau dari kedokteran dan

Islam.

1.2 Permasalahan

1.2.1 Mengapa Restless Legs Syndrome dapat berdampak terhadap terjadinya

disfungsi ereksi pada pria?

1.2.2 Bagaimana penatalaksanaan disfungsi ereksi akibat Restless Legs

Syndrome?

1.2.3 Bagaimana pandangan Islam mengenai fungsi reproduksi pria?

1.2.4 Bagaimana pandangan islam mengenai disfungsi ereksi?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Memberikan informasi mengenai dampak Restless Legs Syndrome terhadap

terjadinya disfungsi ereksi serta penatalaksanaannya ditinjau dari segi

kedokteran dan Islam.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Memberikan informasi mengenai dampak Restless Legs Syndrome

terhadap terjadinya disfungsi ereksi.

1.3.2.2 Memberikan informasi mengenai penatalaksanaan disfungsi ereksi akibat

Restless Legs Syndrome.

1.3.2.3 Memberikan informasi pandangan Islam mengenai fungsi reproduksi

pria.

1.3.2.4 Memberikan informasi pandangan Islam mengenai Disfungsi ereksi.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Penulis

Untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar dokter muslim di Fakultas

Kedokteran Universitas YARSI serta menambah wawasan pengetahuan dalam

bidang ilmu kedokteran dan agama Islam tentang dampak Restless Legs

Syndrome terhadap terjadinya disfungsi ereksi serta penatalaksanaannya.

1.4.2 Bagi Universitas YARSI

Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan di perpustakaan Universitas YARSI serta menjadi bahan masukan

bagi civitas akademika mengenai dampak Restless Legs Syndrome terhadap

terjadinya disfungsi ereksi serta penatalaksanaannya ditinjau dari kedokteran

dan Islam.

1.4.3 Bagi Masyarakat

Diharapkan dengan skripsi ini dapat membantu menambah khasanah

pengetahuan masyarakat dan dapat diaplikasikan untuk meningkatkan kualitas

hidup dengan mengetahui dampak Restless Legs Syndrome terhadap terjadinya

disfungsi ereksi serta penatalaksanaannya ditinjau dari segi kedokteran dan

Islam.

top related