bab 7 penutup - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13098/7/d_902013004_bab...

Post on 08-Mar-2019

229 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

BAB 7

Penutup

Kesimpulan

Kelangkaan air telah menjadi sesuatu yang biasa terjadi setiap tahunnya di wilayah TTS. Sebuah pemandangan yang lumrah ketika anak-anak atau orang tua mendorong gerobak atau memikul beberapa jeriken berisi air, karena generasi sebelumnya telah melakukan hal yang sama. Meski dalam kondisi langka air, masyarakat tetap bertahan dengan melakukan adaptasi. Tanaman perkebunan atau pertanian mengandalkan air hujan. Ketika dalam satu tahun curah hujan sangat ringan seperti yang terjadi pada tahun 2014 dan 2015, maka terjadi gagal tanam dan gagal panen. Akar permasalahan masyarakat terletak pada tidak adanya sumber daya air yang kemudian berdampak terhadap kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dari hasil penelitian dan mozaik yang dikumpulkan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

Pertama, permasalahan kelangkaan air di Kabupaten TTS tidak disebabkan oleh kondisi lingkungan hidup, akan tetapi lebih pada permasalahan minimnya aksesibilitas masyarakat terhadap sumber daya air. Berdasarkan perhitungan, antara ketersediaan sumber daya air dan kebutuhan air per kapita masyarakat di Kabupaten TTS mencukupi dengan jumlah + 50 liter/orang/hari. Kondisi wilayah yang berbatu dan berpasir menyebabkan air bawah tanah tidak terkonsentrasi, namun tersebar dengan potensi debit yang bervariasi. Kondisi ini yang menyebabkan kesulitan dalam melakukan eksplorasi selain biaya yang tinggi, dan bukan dengan alasan bahwa eksplorasi tidak bisa dilakukan. Namun permasalahan tersebut tidak menjadi dasar untuk mengabaikan atau menghilangkan hak dasar masyarakat mendapatkan air bersih. Kebiasaan yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun di mana harus

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

132

berjalan jauh dengan waktu berjam-jam hanya untuk mendapatkan beberapa liter air kemudian menjadi hal yang biasa karena sudah menjadi pemandangan sehari-hari bahkan setiap generasi juga melakukan hal yang sama. Eksplorasi yang telah dilakukan oleh PDAM menghadapi kendala teknis yaitu seringkali pipa distribusi pecah atau rusak akibat tekanan air dari sumber air Gunung Mutis yang sangat tinggi. Kontur wilayah yang berbukit-bukit merupakan kendala lain dalam melakukan distribusi air ke seluruh masyarakat. Dalam aspek politik, terjadi tarik menarik antara pemerintah dan masyarakat terkait pengelolaan sumur bor yang telah ada, yang berakibat belum dioperasikannya 3 sumur bor di Kecamatan Kualin. Jadi dapat disimpulkan pada kontribusi teori pertama yaitu bahwa Kabupaten TTS tidak mengalami kelangkaan air namun tertutupnya akses terhadap sumber daya air (kelangkaan ekonomi), permasalahan manajerial, dan politik. Persoalan mendasar yang terjadi disebabkan oleh; a) sebaran air tanah yang tidak terkonsentrasi di satu wilayah namun tersebar, mengakibatkan sulitnya eksplorasi; b) kontur wilayah berbukit-bukit sehingga tidak dapat dilakukan distribusi air secara tersentral; c) lemahnya pengelolaan dan terbatasnya infrastruktur penyedia air untuk konsumsi dan pertanian; dan d) kebijakan pemerintah daerah belum memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan air bersih masyarakat.

Kedua, secara perhitungan teknis, antara ketersediaan air dan kebutuhan air per kapita mencukupi di Kabupaten TTS, namun tertutupnya aksesibilitas terhadap sumber daya air, lemahnya pengelolaan sumber daya air, dan kebijakan pemerintah yang belum beroritentasi pada pemenuhan kebutuhan hak masyarakat atas air menyebabkan terjadinya kelangkaan air di beberapa wilayah. Berdasarkan teori Homer-Dixon (1994) dan Gleick (1998) bahwa kelangkaan sumber daya alam akan memicu terjadinya konflik berbasis sumber daya alam. Penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya alam, pertumbuhan penduduk, dan ketidakadilan akses sumber daya menimbulkan terjadinya peningkatan kelangkaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, persoalan ini yang kemudian mendorong terjadinya migrasi atau penurunan produktivitas ekonomi, hingga

P e n u t u p

133

terjadinya konflik. Namun teori Homer-Dixon dan Gleick ini tidak terbukti terjadi dalam konteks permasalahan kelangkaan air di Kabupaten TTS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, ketidakadilan akses terhadap sumber daya air tidak menimbulkan konflik antarmasyarakat, dan kedua, tidak terjadi migrasi besar-besaran dari wilayah langka air ke wilayah lain. Kedua hasil tersebut disebabkan oleh nilai-nilai budaya-adat dalam masyarakat yang masih dipercaya, dijaga, dan dijunjung tinggi, yaitu nilai nekafmese (sehati) yang mendorong kohefisitas dalam masyarakat sehingga menciptakan harmoni sosial. Temuan empirik ini menjadi sebuah penemuan teori baru dari teori Homer-Dixon dan Gleick, yaitu dengan menambahkan pada aspek nilai-nilai lokal, budaya, adat-istiadat, dan kepercayaan mampu meredam terjadinya konflik di tengah terjadinya kelangkaan sumber daya alam/air dalam konteks masyarakat di Kecamatan Kolbano dan Kualin, dan wilayah lain di Kabupaten TTS (lihat Gambar 3.3).

Ketiga, coping yang dilakukan masyarakat dalam mengatasi permasalahan kelangkaan air melalui beberapa cara, yaitu; a) mandi dilakukan hanya 2 kali dalam seminggu; b) mencuci pakaian 1 kali dalam seminggu di lokasi mata air atau sunggai; c) setiap hari berjalan kaki 3-4 km ke sumber air terdekat untuk mendapatkan 40 liter air guna kebutuhan minum, memasak, dan kakus; dan d) model jamban tidak berbentuk leher angsa namun jamban cemplung untuk menghemat pemakaian air. Pemanenan air (water harvesting) hujan secara optimal belum dilakukan oleh seluruh masyarakat, hanya beberapa orang saja dengan menggunakan kolam penampung berukuran 3m x 2m dengan kedalaman 1,5m yang terletak di samping rumah. Sedangkan selebihnya menggunakan jeriken, tempayan, dan botol. Faktor kemiskinan menjadi permasalahan utama mengapa masyarakat tidak membuat bak penampung air di masing-masing rumah mereka sebagai media untuk memanen air. Upaya pemerintah melakukan eksplorasi sumber air potensial belum dilakukan ke seluruh wilayah TTS khususnya yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya air, dan wilayah yang mengalami kelangkaan air. Hanya beberapa wilayah yang telah dieksplorasi (sumur bor air tanah) namun semuanya belum dapat dimanfaatkan masyarakat. Permasalahan antara

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

134

masyarakat dan pemerintah terkait biaya operasional dan perawatan sumur bor menyebabkan beberapa sumur bor belum dioperasikan oleh pemerintah. Dalam konteks permasalahan ini, untuk mengatasi permasalahan kekeringan dan kelangkaan air yang dihadapi oleh masyarakat, dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan dan kesejahteraan masyarakat, seharusnya pemerintah mengambil langkah taktis dengan mengoperasionalkan sumur bor yang ada dengan biaya operasional ditanggung oleh anggaran daerah.

Keempat, sebuah praktik pengalaman metode kegiatan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus kelangkaan air di Kabupaten TTS. Dari pengalaman praktik penelitian lapangan sangat memperkaya pengalaman, nilai-nilai, dan hal baru yang tidak ditemui dalam literatur metode penelitian, khususnya dalam konteks fokus dan lokasi penelitian yang masuk dalam klasifikasi remote area. Beberapa hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dan persiapan sebelum melakukan penelitian lapangan adalah, lokasi dan waktu penelitian, instrumen dan pendanaan penelitian, organizer lokal, logistik, metode penggalian informasi, dan catatan lapangan (dokumentasi). Aspek penting lainnya dalam melakukan penelitian sosial seperti ini adalah bagaimana peneliti mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitar dengan merasakan dan menangkap fenomena alam kondisi sekitar lokasi penelitian dan interaksi dengan masyarakat. Menggunakan seluruh indera untuk menangkap kesan, merasakan, sehingga mendapatkan pemahaman utuh terhadap kondisi wilayah penelitian. Hal ini yang sekarang telah diabaikan oleh banyak peneliti, padahal dapat menjadi sebuah kekuatan dari riset kualitatif.

Pemilihan praktik penelitian kualitatif dengan studi kasus menurut Yin (2002:18) adalah:

Suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas; dan di mana multi sumber bukti dimanfaatkan.

P e n u t u p

135

Selain itu menurut Yin (2002:13), kelebihan dari strategi studi kasus bilamana:

Pertanyaan “bagaimana” atau “mengapa” akan diarahkan ke serangkaian peristiwa kontemporer, di mana penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tidak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut.

Kontribusi Teori

Pereira et al. (2009) dalam teorinya mengutarakan bahwa dalam melakukan pendekatan terhadap permasalahan coping with water scarcity dilakukan melalui empat nilai air,yaitu nilai sosial, nilai lingkungan, nilai budaya, dan nilai ekonomi.Pendekatan dari empat nilai tersebut akan menghasilkan skala prioritas alokasi sumber daya air. Namun pendekatan empat nilai air tersebut masih memiliki kekurangan, yaitu belum adanya pendekatan pada aspek kebijakan sumber daya air (Gambar 6.1). Kebijakan tata kelola sumber daya air di tingkat pemerintah memiliki pengaruh, karena menyangkut bagaimana air dapat dikelola dan didistribusikan secara merata ke berbagai sektor tanpa menimbulkan konflik. Pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan pembangunan, harus memperhatikan dan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan hidup yang mendukung keberadaan sumber daya air. Karena isu terkait batas wilayah administrasi menjadi permasalahan sensitif bagi masing-masing daerah, sedangkan sumber dan aliran air melintasi beberapa wilayah atau daerah, hal ini yang kemudian memicu konflik kepemilikan dan pengelolaan sumber air tersebut.

Masing-masing pendekatan dalam empat nilai tersebut akan diukur tingkat urgensi-nya yang kemudian dapat menjadi skala prioritas untuk mengalokasikan sumber daya air. Kontribusi riset ini adalah formulasi skala prioritas tersebut dapat menjadi sebuah kebijakan terkait integrated water resources management (IWRM) yang berkelanjutan.

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

136

Dari temuan empirik, upaya coping yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Kolbano dan Kualin, dapat diformulasikan bahwa di tengah kelangkaan air, prioritas utama masyarakat adalah memenuhi kebutuhan konsumsi (air bersih). Dari prioritas alokasi sumber daya air tersebut dapat menjadi fokus kebijakan pembangunan tata kelola air Pemerintah Kabupaten TTS. Prioritas utama adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat digantikan. Pemenuhan kebutuhan dasar ini terkait dengan eksistensi sebagai manusia yang sehat dan berkualitas. Pada tahap atau prioritas selanjutnya adalah membangun ketahanan pangan melalui penyediaan irigasi pertanian. Seperti yang dikemukakan oleh FAO (2012), skala prioritas penggunaan air menentukan tiga kebijakan utama yaitu: air, pertanian dan keamanan pangan nasional. Ketiga domain tersebut dibedakan menjadi dua kategori yaitu: terkait peningkatan pasokan dan manajemen permintaan. Kategori pertama, air dalam arti luas, terkait dengan pembangunan dan manajemen sumber daya yang memberikan manfaat bagi semua pengguna di semua sektor, termasuk lingkungan hidup. Kategori kedua, pertanian sebagai pengguna utama. Kategori ketiga, kecukupan pangan dan keamanan pangan nasional, yang berimplikasi terhadap perdagangan, pola konsumsi dan industri makanan.

P e n u t u p

137

Socialvalueofwater

Environmentvalueofwater

Landscape&culturalvalueof

water

Economicvalueofwater

Priori8esforwaterresourcesalloca8on

Waterpolicy

Copingwithwaterscarcity

Policyvalueofwater

Sumber: Jocom 2014 (modifikasi dari konsep Pereira et al. 2009)

Gambar 7.1. Disain Model Hubungan Antara Nilai , Alokasi, dan Kebijakan Sumber Daya Air

Dari seluruh hasil penelitian ini dapat diformulasikan menjadi sebuah teori baru terkait dengan model coping strategy with water scarcity dan harmoni sosial, terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air dalam konteks masyarakat di Kabupaten TTS (Gambar 7.2). Kelangkaan air di Kabupaten TTS disebabkan oleh penurunan kuantitas sumber daya air, seperti frekuensi curah hujan yang berkurang dan bertambahnya waktu musim kemarau akibat perubahan iklim. Pada tahun 1821, iklim di Timor teridentifikasi mengalami musim kemarau selama 9 bulan dan hanya 3 bulan basah (hujan)(Nordholt, 1971:31), namun saat ini telah mengalami pergeseran, dengan jumlah bulan kemarau sepanjang tahun (2014-2015) dan berdampak terhadap terjadinya kekeringan.

Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten TTS sebesar 1,18%, masuk dalam kategori pertumbuhan sedang. Namun dengan keterbatasan sumber daya maka pada masa mendatang dapat menimbulkan permasalahan baru. Kontributor permasalahan terakhir yaitu rendahnya akses masyarakat terhadap sumber daya air. Sebagian besar sumber air bersih masyarakat berasal dari mata air, sungai, dan

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

138

sumur. Jarak yang jauh, dan lokasi yang terisolir mendorong masyarakat harus berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih. Tiga permasalahan ini kemudian berdampak terhadap semakin meningkatnya kelangkaan terhadap sumber daya air.

Masyarakat Timor atau mereka menyebutnya dengan nama Atoni Pah Meto yang artinya “orang dari lahan kering” (Nordholt, 1971:19) sebagian besar berprofesi sebagai petani, khususnya di Kabupaten TTS mencapai 67% dari total penduduk (BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan, 2014). Pertanian dan hal yang terkait dengan ritual di dalamnya bagi Atoni Pah Meto sangat penting, dan memiliki keterkaitan dengan segala aspek dalam budaya (Nordholt, 1971:17). Selain itu, komitmen pada etos dan mental kerja Atoni Pah Meto untuk bekerja keras dan saling tolong-menolong dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan sebagai masyarakat (Foni, 2003:7). Atoni Pah Meto memiliki ketentuan bagaimana manusia saling berhubungan satu sama lain dan dengan kekuatan yang lebih tinggi termasuk alam lingkungannya (Foni, 2003:9). Mereka memiliki keterikatan yang kuat dengan alam lingkungan dan Tuhan, hal ini terlihat dalam praktek ritus-ritus agama suku yang dilakukan dalam praktek pertanian lahan kering Atoni Pah Meto (Foni, 2003:11), kultus keagamaan yang erat berhubungan dengan penanaman padi dan jagung (Nordholt, 1971:53–91). Berdasarkan hasil penelitian Foni (2003:69) tentang budaya bertani Atoni Pah Meto dikatakan bahwa:

“Kebun atau disebut lele, bagi Atoni Pah Meto merupakan kampung kedua setelah kuan (kampung), oleh karena lele memberikan sejuta harapan bagi masa depan Atoni.”

Berdasarkan hasil diskusi dan wawancara dengan Aleta Baun1, petani Timor memiliki filosofi terhadap lingkungan yaitu: batu adalah tulang, air adalah darah, tanah adalah daging, dan hutan adalah rambut atau urat nadi. Empat unsur ini tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat di Timor, masyarakat belajar dan mendapatkan

1Seorang aktivis perempuan yang menolak tambang di wilayah Mollo sejak tahun 1995 hingga 2011, dan memperoleh penghargaan Goldman Environmental Prize 2013.

P e n u t u p

139

pengetahuan dari alam, seperti cara menenun kain didapatkan dengan melihat jaring laba-laba, sedangkan alatnya dengan menggunakan buah pohon cemara.

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Atoni Pah Meto memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah bahkan lingkungan sekitar dimana mereka berada. Hal tersebut oleh Koentjaraningrat (1996:72) didefinisikan sebagai nilai-nilai budaya, yang adalah tingkat tertinggi dan abstrak dari adat-istiadat. Ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa seseorang karena diresapi sejak kecil dan berakar dalam alam jiwanya. Selaras dengan itu, Hofstede (1994) menyampaikan hal yang sama bahwa budaya merupakan keseluruhan pola pikir, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial yang diistilahkan dengan the collective mental programming. Budaya suatu kelompok terbentuk oleh lingkungan sosial dan kejadian-kejadian yang dialami dalam kehidupan anggota kelompok yang bersangkutan.

Nilai-nilai atau budaya ini yang telah diuraikan di atas (Gambar 7.2), mempengaruhi terjadinya strategi coping dan kohesifitas kelompok. Tindakan coping akan mendorong tindakan inovasi dalam mengatasi permasalahan kelangkaan air, terutama dalam bentuk alih teknologi. Selanjutnya, strategi coping akan mempengaruhi tindakan manajerial yaitu tata kelola infrastruktur, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya air. Landasan tindakan coping yang dilakukan oleh masyarakat, dari perspektif masyarakat, bahwa menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan air bersih bukan merupakan persoalan, karena konsep harmoni dengan alam lingkungan sekitar. Apa yang diberikan oleh alam itu yang mereka terima. Inovasi dan manajerial ini secara tidak langsung saling mempengaruhi, dengan adanya penemuan baru dalam bentuk teknologi eksplorasi atau pengolahan sumber daya air, maka akan mempengaruhi model tata kelola yang lebih profesional, efektif dan efesien. Demikian pula sebaliknya, melalui pembenahan tata kelola sumber daya air, maka secara tidak langsung akan mendorong penemuan baru.

Selain coping, kohesifitas kelompok atau keutuhan kelompok dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya sumpah adat yang dilakukan oleh tiga raja yaitu “tiga batu tungku makan satu periuk.” Tiga raja tersebut memiliki ikatan darah dalam satu keturunan, yang kemudian

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

140

mendirikan Kerajaan Amanatun (wilayah bagian timur), Kerajaan Amanuban (wilayah bagian tengah) dan Kerajaan Mollo (wilayah bagian utara). Sumpah adat tersebut memiliki makna bahwa karena berasal dari satu keturunan dan hidup di Pulau Timor, memperoleh makan dari hasil bumi tanah Timor, maka dalam keadaan apapun baik susah maupun senang, masyarakat harus saling menghargai dan tolong-menolong, sehingga tidak memicu konflik atau permusuhan di antara mereka. Sumpah adat ini yang masih dipegang teguh oleh masyarakat hingga sekarang, dan mampu membentuk kohesifitas kelompok atau keutuhan kelompok, serta tidak menimbulkan konflik di antara masyarakat terkait perebutan sumber daya air. Kohesifitas kelompok ini mendorong masyarakat untuk bertahan hidup dengan melakukan adaptasi, namun di sisi lain kohesifitas tersebut secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya migrasi walaupun dalam skala kecil ketika masyarakat tidak mampu menerima beban.

P e n u t u p

141

Gam

bar

7. 2

. D

isai

n M

odel

Cop

ing

dan

Koh

esif

itas

Kel

ompo

k T

erh

adap

Kel

angk

aan

A

ir d

i K

abup

aten

Tim

or T

enga

h S

elat

an

Penu

runan

kuan)tas

sumbe

rdaya

airya

ngdapat

dipe

rbaharui

Pertu

mbu

han

pend

uduk

Rend

ahnya

akses

terhadap

sumbe

rdaya

alam

Peningkatan

kelan

gkaan

sumbe

rdayaa

ir

Kohe

sifitas

kelompo

k

Budaya/nilai-

nilai

masyarakat

Adaptasi

Pem

erin

tah

(Keb

ijaka

n)

Inov

asi

Man

ajer

ial

Mas

yara

kat

IWRM

Ke

rber

lanj

utan

Hasil

Em

pirik

St

rate

gi Coping

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

142

Kontribusi Kebijakan

Kabupaten TTS merupakan representasi dari wilayah di Indonesia yang mengalami permasalahan kekeringan dan kelangkaan air terburuk. Dari hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa persoalan utama kelangkaan air di Kabupaten TTS terletak pada minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan air yang disebabkan karena persoalan teknis yaitu sumur bor yang dibangun oleh pemerintah daerah tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat, di samping persoalan manajerial dan politik seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya. Meskipun secara teknis menghadapi kendala struktur tanah berbatuan karang dan berpasir, namun masih memungkinkan untuk dieksplorasi.

Dari kondisi empirik di atas jika dianalisa dengan menggunakan teori dari Smith dan Jalal (2000:55) dalam Rogers et al., (2010:51), dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, nampak seolah-olah pemerintah dan masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa dalam mengatasi persoalan kelangkaan air. Baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat, kelangkaan air di wilayah TTS bukan menjadi persoalan utama. Pemandangan anak-anak dan perempuan yang harus berjalan jauh mencari air setiap harinya merupakan sebuah hal yang biasa ditemui di wilayah Timor. Ketika mengalami gagal tanam dan gagal panen tanaman jagung sebagai makanan pokok akibat hari dan curah hujan yang sangat rendah, menuntut masyarakat mencari makanan alternatif untuk dapat bertahan hidup. Kondisi ini mendudukkan masyarakat dalam lingkaran setan permasalahan kemiskinan. Penghasilan masyarakat didapatkan dari hasil tanaman perkebunan kemiri, kelapa, asam, kapuk, dan lainnya yang setiap tahun mengalami penurunan produksi akibat kelangkaan air. Kelangkaan air adalah akar persoalan dari kondisi kemiskinan yang dialami oleh masyarakat, dan rantai persoalan ini hanya bisa diputus dengan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan hak atas air. Kelangkaan air dari perspektif pemerintah merupakan hal yang wajar karena telah dialami dan terjadi berpuluh-puluh tahun sebelumnya, dan kondisi ini harus diterima apa adanya karena faktor alam yang

P e n u t u p

143

tidak dapat diubah oleh manusia. Perspektif ini kemudian yang mendasari arah pembangunan daerah tidak menyentuh akar persoalan kelangkaan air, sehingga dari ketidakberdayaan tersebut lebih mengarah pada model karitatif bukan pada model inovatif sehingga tidak pernah menyelesaikan masalah. Model pembangunan seharusnya mengintegrasikan lingkungan ke dalam pembangunan dengan salah satu bentuk mengembangkan inovasi teknologi serta upaya lain dalam rangka mengatasi permasalahan kemiskinan. Dua lingkaran inilah yang kemudian membentuk perspektif pemerintah dan masyarakat bahwa kelangkaan air bukan sebuah persoalan mendasar yang perlu dicari jalan keluarnya secepat mungkin, semua itu karena kondisi alam dan iklim yang harus diterima oleh masyarakat Timor.

Kebijakan pembuatan sumur bor dan sumur gali di dua kecamatan, Kualin dan Kolbano dilatarbelakangi persoalan kekeringan dan kelaparan di wilayah tersebut pada tahun 2014 dan 2015. Permasalahan air, tidak dapat direspon dengan bentuk kebijakan yang bersifat karitatif tanpa perencanaan yang matang dan menyeluruh. Karakter atau model kebijakan demikian terjadi di seluruh wilayah di Indonesia, bahkan wilayah yang melimpah air pun akan mengalami kelangkaan air ketika musim kemarau setiap tahunnya karena belum ada kebijakan yang terintegrasi yang mengatur tata kelola sumber daya air. Terlebih lagi di Nusa Tenggara Timur yang masuk dalam klasifikasi wilayah semi arid. Arah kebijakan tata kelola sumber daya air mengarah pada model integrated water resources management (IWRM), yaitu proses yang mempromosikan pengembangan terkoordinasi dan pengelolaan air, tanah dan sumber daya terkait, untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial yang dihasilkan secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem penting (Global Water Partnership, 2000:22). Untuk mencapai IWRM ada kebutuhan untuk mengenali beberapa kriteria utama yang mempertimbangkan kondisi keadilan sosial, efesiensi ekonomi dan keberlanjutan ekologi (Global Water Partnership, 2000:30).

Dari latar belakang kondisi dan dinamika permasalahan air di Kabupaten TTS, dapat mengambil pelajaran dari negara Israel yang enam puluh persen wilayahnya adalah gurun pasir, dan sisanya semi arid. Sejak berdiri tahun 1948, jumlah populasi penduduknya

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

144

meningkat 10 kali lipat, masuk dalam salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk tercepat pasca perang dunia kedua. Israel memulai sebagai negara miskin dan kemudian berkembang menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Meskipun menghadapi tantangan alam dan iklim, Israel tidak memiliki permasalahan terkait krisis air, bahkan mereka mengalami surplus air, bahkan melakukan ekspor air ke negara-negara tetangganya (Siegel 2015:6).

Bagaimana Israel sebagai sebuah negara kecil membangun sebuah pendekatan yang mutakhir terhadap pengelolaan air, sudah dimulai jauh sebelum negara mereka merdeka. Perencanaan tata kelola air dan penggunaan teknologi menjadi pusat perhatian pemerintah negara tersebut di setiap tahapan pembangunannya.

Jika dilihat dari aspek kebijakan pembangunan, Kabupaten TTS belum memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya air secara terpadu dan menyeluruh. Di sisi lain, kelangkaan air menjadi persoalan prioritas yang patut mendapatkan perhatian dan penanganan utama. Berangkat dari persoalan tersebut, maka arah kebijakan yang harus dikembangkan pada masa mendatang adalah: prioritas pertama, mengalokasikan dan mengupayakan air untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Prioritas kedua diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, dimana kedua prioritas tersebut menjamin keberlangsungan lingkungan hidup (Gambar 7.3). Dua prioritas ini masing-masing memiliki dan menekankan bagaimana pengelolaan sumber daya air dan tujuan penggunaannya dari sisi penawaran dan permintaan.

Penyediaan air bersih untuk masyarakat dilakukan melalui optimalisasi potensi sumber daya air yang belum tereksplorasi baik itu air bawah tanah maupun air permukaan melalui pembangunan dam, mengembangkan air bawah tanah dan air permukaan, serta purifikasi air laut. Dengan tersedianya air tersebut maka dapat menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat dan lingkungan hidup. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit akibat terjadinya kelangkaan air, sehingga diharapkan dapat menjamin kesehatan masyarakat dan lingkungan sekitar tempat tinggal. Tersedianya sumber daya air

P e n u t u p

145

berdampak terhadap sektor pertanian dan dapat menggerakkan perekonomian daerah.

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

146

Gam

bar

7. 3

. D

isai

n M

odel

Ker

angk

a W

ater

Pol

icy

dan

Pri

orit

as P

rogr

am d

i K

abup

aten

T

imor

Ten

gah

Sel

atan

Airu

ntukpangan

• Pe

ngem

bangan&intensifikasipe

rtanian

• Pe

rlind

ungan,kon

servasihutandanalam.

• Pe

ngelolaanairh

ujan

• Men

jaminketerlibatanlembagaadat

dalamse

<apbu

dayabertanidan

pengelolaanlingkun

ganhidu

p.

• Eksplorasisumbe

rairpe

rmukaandan

bawahta

nah

• Pe

ngelolaanairh

ujan

• Melakukanpen

guatanlembagaadat

didesa

Kond

isilingkungan:sem

iarid

,langkaair

Kond

isiSosial:masyarakatp

edesaanmisk

in,kekurangan

pangan,nilaibud

ayaadatkuat,kekerabatan

Airu

ntukm

anusia

PrioritasProgramPenggunaan

AirPrinsip

Kebijakan

Mem

pertahankanritualadatd

alam

bud

aya

bertaniatonipah

meto

Mem

perkuatlem

bagaadatd

idesa

melakukankon

troldanpen

gawasan

dalampen

guasaan,pem

anfaatan,dan

pengelolaansumbe

rdayaair

PrinsipSosial

• Pe

rtaniantadahhu

jan

• Ko

nservasitanahdanair.

• Pe

manen

anair

• Pe

rtanianlerengbukitdan

pengem

banganDAS

.• 

Integrasiinsen

<fekono

mi

• Melangsun

gkanritualdalam

proses

bertanidanpen

gelolaanlingkunganhidup

• Men

jaminte

rsed

ianyapasokanair,

sanitasi,dankeb

ersih

an.

• Pe

nyed

iaanairminum

ped

esaan.

• Pe

manen

anairhu

jan

• Pe

nyed

iaanairyangberkualita

s• 

Konservasitanahdanair.

• Mod

elperanlembagaadatd

alam

pe

ngelolaanlingkun

gan.

P e n u t u p

147

Kebijakan pangan diarahkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian, mengelola area irigasi, dan mereduksi terjadinya kehilangan hasil pertanian. Kebutuhan ini direspon melalui sebuah kebijakan model re-use dan recycling, memanfaatkan air bawah tanah, dan menyimpan hasil pertanian sehingga tahan lama. Kebijakan keberlangsungan lingkungan hidup, terkait konservasi hutan dan pemeliharaan tanah, serta upaya untuk memanfaatkan air hujan.

Ketiga kebijakan tersebut menjadi kewenangan suku dinas ESDM, PU, Bappeda, dan Pertanian Kabupaten TTS bekerja sama dengan kecamatan dan desa setempat. Dalam proses perencanaan dan implementasi program tersebut perlu melibatkan masyarakat secara aktif, dengan tujuan agar output kegiatan dapat selaras dengan kebutuhan dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Keberhasilan program ini sangat bergantung pada pendekatan yang diterapkan dalam semua tahapan proses perencanaan hingga implementasi. Partisipasi memegang peranan kunci keberhasilan program dengan melibatkan stakeholders terkait yaitu mereka yang merasakan dampak dan melaksanakan kebijakan tersebut. Melalui partisipasi ini, terbangun komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan dan mengawasi seluruh rangkaian program.

Berikut adalah water policy dan prioritas program sebagai respon terhadap permasalahan kelangkaan air di Kabupaten TTS (Gambar 6.3):

Air untuk manusia Tujuan

Ketersediaan air minum bagi semua orang di setiap saat dalam jumlah yang cukup dan berkualitas, serta tersedianya sanitasi yang memadai.

Prinsip Sosial

Lembaga adat atau pemangku adat yang berada di tingkat desa memiliki peran penting dalam mengorganisir dan menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Penguatan lembaga adat dengan tetap membuka ruang untuk terlibat aktif dalam bidang kemasyarakatan,

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

148

terutama menjaga nilai-nilai harmoni baik dengan sesama manusia maupun dengan alam.

Prinsip kebijakan

a) Masyarakat memiliki hak mendapatkan akses ke air minum dan sanitasi serta kebersihan yang memadai.

b) Penyediaan air untuk keperluan minum adalah prioritas utama terhadap semua kegunaan lain.

c) Untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan, saat investasi dalam penyediaan air dan sanitasi harus dikaitkan dengan peningkatan pendapatan (misalnya hortikultura, hewan ternak).

d) Tarif air harus dirancang untuk menjamin semua masyarakat memiliki akses ke air minum.

e) Mempertahankan pemangku adat di desa sebagai motor penggerak perubahan sosial.

Program Prioritas

a) Menjamin tersedianya pasokan air, sanitasi, dan kebersihan. b) Penyediaan air minum pedesaan melalui pembuatan sumur bor,

sumur dangkal, dan embung. c) Pemanenan air hujan melalui penyediaan embung, bak penampung

di tingkat dusun, desa, dan kecamatan. d) Penyediaan air yang berkualitas, tidak tercemar untuk mendukung

kesehatan masyarakat.

Air untuk pangan

Tujuan

Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam (air), peningkatan ketahanan pangan dan penciptaan kegiatan yang menghasilkan pendapatan bagi penduduk pedesaan.

Prinsip Sosial

Mempertahankan ritual adat dalam budaya bertani atoni pah meto

P e n u t u p

149

Prinsip kebijakan

a) Fokus pada daerah pedesaan di daerah kering dan gersang. b) Tindakan konservasi tanah dan air serta praktek pertanian

ditingkatkan. Prioritas Program

a) Pertanian tadah hujan, tindakan yang didukung oleh konservasi tanah dan air.

b) Pemanenan air untuk irigasi tambahan di lahan kering dan daerah kering musiman.

c) Fokus pada pertanian lereng bukit dan pengembangan DAS. d) Integrasi insentif ekonomi (usaha kecil) merupakan unsur penting

untuk memperkuat komponen yang menghasilkan pendapatan.

Seluruh kebijakan pada dua aspek tersebut dalam perumusan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi monitoring dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat secara aktif. Melalui partisipasi ini diharapkan dapat membangun kepedulian dan komitmen bersama antara pemerintah dan masyarakat guna menjamin tercapainya program yang telah dirancang.

Bentuk partisipasi tidak hanya diukur dengan tingkat kehadiran dalam setiap pertemuan, melainkan kontribusi nyata dari masing-masing stakeholders, dari pihak masyarakat, diharapkan masyarakat dapat berkontribusi dalam bentuk nyata lain. Budaya gotong royong, nilai-nilai adat yang masih dijunjung tinggi dalam masyarakat adalah modal sosialdi wilayah TTS.

Pengelolaan program bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah namun juga masyarakat. Misalnya dalam pengelolaan dan perawatan sumur bor dapat dilakukan oleh masyarakat dengan terlebih dahulu pemerintah daerah melatih beberapa orang dengan keterampilan teknis dalam melakukan perawatan mesin sumur bor. Selain itu, partisipasi masyarakat untuk membiayai bahan bakar penggerak pompa generator yang berfungsi menaikkan air ke permukaan. Demikian halnya dengan melakukan konservasi hutan dan

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

150

tanah, masyarakat sangat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Jadi tidak hanya dari sisi pemerintah, peran masyarakat sangat menentukan keberhasilan program.

Keterbatasan dan Agenda Penelitian

Isu tentang sumber daya air selalu mendapatkan perhatian khusus karena menyangkut seluruh aspek kehidupan umat manusia, dan mengikuti dinamika perkembangan sosial, ekonomi, politik dan teknologi. Hasil penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, hanya sebagian kecil dari isu sumber daya air dan memiliki keterbatasan. Pendekatan kuantitatif tentang potensi keberadaan debit sumber daya air secara menyeluruh di kawasan Timor belum diteliti; aspek inovasi teknologi eksplorasi dan distribusi sumber daya air; aspek tata kelola sumber daya air dalam konteks di wilayah TTS; dan model budidaya pertanian yang tepat sesuai dengan karakteristik wilayah. Sedangkan pendekatan penelitian kualitatif diarahkan lebih mendalam pada sosial budaya lokal yang memiliki kekuatan dalam membangun kohesifitas kelompok dan strategi coping; dan keterkaitan antara kemiskinan masyarakat dengan air. Aspek-aspek tersebut di atas belum tersentuh dalam penelitian ini.

Hal menarik yang menjadi prioritas agenda penelitian pada masa mendatang dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu, pertama mengkaji lebih mendalam sejarah masyarakat Timor, yang memiliki pengaruh sosial budaya terhadap kohesifitas kelompok dan strategi coping menghadapi persoalan kelangkaan air. Kedua, berdasarkan hasil agenda penelitian pertama, dilanjutkan dengan mengkaji masyarakat di wilayah lain Indonesia yang menghadapi persoalan kelangkaan air yang sama dengan wilayah TTS. Hipotesa yang dibangun apakah proses terbentuknya atau terbangunnya tatanan sosial budaya masyarakat di wilayah lain, yang memiliki kesamaan dengan di wilayah TTS menghasilkan strategi coping yang sama? Dengan nilai-nilai budaya sebagai alat membentuk kohesifitas dan bertahan hidup menghadapi kelangkaan air sampai pada tingkat ekstrim?

P e n u t u p

151

Ketiga, menyusun model pembangunan berkelanjutan dalam konteks wilayah Timor, dengan mengacu pada konsep sustainable development goals, terutama capaian keenam yaitu menjamin ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi secara berkelanjutan. Model pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada rencana aksi pengelolaan sumber daya air secara terpadu.

K e l a n g k a a n A i r : C o p i n g D a l a m H a r m o n i

152

top related