sarafambarawa.files.wordpress.com€¦  · web view4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien...

45
LAPORAN KASUS ANTERIOR CORD INJURY Pembimbing : dr Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp S Disusun oleh : Andhita Riezki Adrianti 1820221141 Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jakarta Pendidikan Profesi Kedokteran Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Ambarawa 1

Upload: others

Post on 09-Apr-2020

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

ANTERIOR CORD INJURY

Pembimbing :

dr Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp S

Disusun oleh :

Andhita Riezki Adrianti

1820221141

Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ JakartaPendidikan Profesi Kedokteran Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf

RSUD Ambarawa2019

1

Lembar Pengesahan

ANTERIOR CORD INJURY

Oleh :

Andhita Riezki Adrianti

1820221141

Laporan kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat mengikuti

ujian kepaniteraan Klinik di Bagian Penyakit Saraf RSUD Ambarawa.

Ambarawa, Oktober 2019

Mengetahui

Pembimbing

Dr Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp S.

2

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Usia : 45 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Rembes 4/3 Bringin Kab. Semarang

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status : Menikah

Masuk Rumah Sakit : 15 Oktober 2019

B. ANAMNESA

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 16 Oktober

2019, pukul 12.00 WIB di Bangsal Dahlia RSUD Ambarawa.

C. KELUHAN UTAMA:

Sulit dan nyeri saat BAK serta kelemahan anggota gerak bawah.

D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:

7 hari sebelum masuk rumah sakit pasien jatuh dari tempat tidur dengan posisi duduk

dengan Visual Annalogue Scale (VAS) 4-5 pada bagian punggung dan bokong, kemudian pasien

merasakan kelemahan anggota gerak bawah bagian kanan dan kiri, sulit digerakkan, kesemutan

(-), kebas (-), kehilangan sensasi dari bagian pinggang ke bawah dan pasien tidak dapat berjalan.

Tetapi pasien mengira hal tersebut merupakan hal yang biasa sehingga pasien tidak berobat.

4 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami nyeri perut bagian bawah, sulit dan

terasa nyeri saat BAK. Tidak ada BAK berpasir ataupun berdarah. BaAK berwarna kuning

jernih. Pasien juga merasa pinggang terasa sedikit nyeri yang menjalar hingga ke daerah bokong

sampai kaki. Demam (-). Karena kesulitan dan nyeri yang tidak tertahankan dan tidak membaik,

3

pasien dibawa oleh keluarga ke IGD RSUD Ambarawa pukul 22.00 dan di diagnosa retensi urin

oleh dokter jaga.

Sekitar pukul 00.00 pasien dipindahkan dari IGD menuju bangsal Dahlia dan keesokan

harinya dilakukan evaluasi oleh dokter spesialis penyakit dalam, kemudian di konsulkan ke

bagian penyakit saraf karena terdapat riwayat jatuh dengan posisi duduk dan kelemahan pada

anggota gerak bagian bawah.

E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat kelemahan anggota gerak : disangkal

Riwayat trauma sebelumnya : disangkal

F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat Diabetes Melitus : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

G. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL EKONOMI :

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dan tinggal di rumah hanya dengan

suaminya.

H. ANAMNESIS SISTEM :

Sistem Serebrospinal : nyeri pada bagian punggung

Sistem Kardiovaskuler : Tidak ada keluhan

Sistem Respirasi : Tidak ada keluhan

Sistem Gastrointestinal           : Tidak ada keluhan

Sistem Muskuloskeletal : kelemahan anggota tubuh bawah bagian kanan dan

Kiri, tidak bisa berjalan

Sistem Integumen                    : rasa kehilangan sensasi pada daerah pinggang

4

hingga ujung kaki bagian kanan dan kiri

Sistem Urogenitalia : tidak bisa BAK dan terasa nyeri

I. RESUME ANAMNESIS

Seorang perempuan usia 45 tahun mengalami nyeri perut bagian bawah disertai kesulitan

dan nyeri saat BAK sejak 4 hari yang lalu. Tidak ada BAK berpasir ataupun berdarah. BAK

berwarna kuning jernih. Pasien juga mengaku pinggang terasa nyeri yang menjalar hingga ke

daerah bokong sampai kaki. Demam (-), pusing (-). Sebelumnya yaitu 6 hari yang lalu pasien

jatuh ke lantai dari tempat tidur dengan posisi duduk kemudian yang dirasakan pasien yaitu

lemas, kelemahan anggota gerak bawah bagian kanan dan kiri, kesemutan (-), kebas (-), sulit

digerakkan, kehilangan sensasi dari bagian pinggang ke bawah dan pasien tidak bisa berjalan.

Sebelum kejadian tersebut, pasien dapat beraktivitas normal seperti biasanya.

DISKUSI I

Dari anamnesa tersebut didapatkan seorang perempuan usia 45 tahun mengalami

kelemahan anggota gerak bawah bagian kanan dan kiri, kehilangan sensasi dari pinggang ke

bawah, pasien tidak bisa berjalan dan kehilangan fungsi otonom nya yaitu tidak bisa

mengeluarkan BAK setelah pasien terjatuh dari tempat tidur dengan posisi duduk . Hal tersebut

memungkinkan terjadinya trauma pada bagian tulang belakang akibat pasien terjatuh ke lantai

dari tempat tidur dengan posisi duduk. Keluhan kemungkinan disebabkan trauma pada tulang

belakang dapat mengenai jaringan lunak berupa ligamen, diskus dan faset tulang belakang dan

medulla spinalis. Pada cedera medulla spinalis dapat didapatkan keluhan berupa kelemahan,

kelumpuhan, kesemutan, kehilangan refleks pada bagian tubuh yang persarafannya terganggu

akibat adanya lesi pada medulla spinalis pada segmen tersebut. Selain itu informasi mengenai

gangguan saraf otonom (sulit BAK) memberikan petunjuk adannya lesi medulla spinalis.

Penyebab trauma pada medula spinalis adalah kecelakaan lalu lintas (44%), kecelakaan olah raga

(22%), terjatuh dari ketinggian (24%).

5

Anatomi dan Fisiologi Vertebra

Gambar 1. Anatomi Vertebra.

(Dikutip dari kepustakaan nomor 1)

Vertebra adalah tulang yang membentuk punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33

vertebra pada manusia, 7 ruas vertebra cervicalis, 12 ruas vertebra thoracalis, 5 ruas vertebra

lumbalis, 5 ruas vertebra sacralis yang membentuk os sacrum, dan 4 ruas vertebra coccygealis

yang membentuk os coccygeus.2

Sebuah vertebra terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari corpus

vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh

dua “kaki” atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni

procesus articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk

lubang yang disebut foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan

membentuk saluran sebagai tempat medulla spinalis. Di antara dua vertebra dapat ditemui celah

yang disebut foramen intervertebrale. Dan di antara satu corpus vertebra dengan corpus vertebra

lainnya terdapat discus intervertebralis.

a. Vertebra Cervicalis

Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

Corpus vertebra kecil, pendek, dan berbentuk segiempat.

6

Foramen vertebra berbentuk segitiga dan besar.

Processus transversus terletak di sebelah vertebra processus articularis.

Pada processus transversus terdapat foramen costotransversarium, dilalui oleh arteri dan

vena vertebralis.

Processus transversus mempunyai dua tonjolan, yaitu tuberculum anterius dan tuberculum

posterius yang dipisahkan oleh sulcus spinalis, dilalui oleh nervus spinalis.

Processus spinosus pendek dan bercabang dua.

b. Vertebra Thoracalis

Mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

Corpus vertebra berukuran sedang, berbentuk seperti jantung, bagian anterior lebih rendah

daripada bagian posterior.

Foramen vertebra bulat.

Processus spinosus panjang dan runcing.

Pada processus transversus dan pada corpus vertebra terdapat fovea costalis, tempat

perhubungan dengan costa.

c. Vertebra Lumbalis

Vertebra lumbalis bentuknya adalah yang terbesar, corpusnya sangat besar dibandingkan dengan corpus vertebra yang lainnya dan berbentuk seperti ginjal melintang, processus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti kapak kecil, processus tranversusnya panjang dan langsing, ruas ke lima membentuk sendi dengan sakrum pada sendi lumbo sakral. (2)

d. Vertebra Sacralis

Terdiri atas 5 ruas tulang yang saling melekat menjadi satu membentuk os sacrum. Os sacrum berbentuk segitiga, dasarnya berada di sebelah cranial, disebut basis ossis sacri, dan puncaknya berada di bagian caudal, disebut apex ossis sacri.

e. Vertebra Coccygeus

Terdiri atas 4 ruas yang melekat menjadi satu tulang. Vertebra coccygeus I masih mempunyai sisa-sisa processus transversus, membentuk cornu coccygeus.

7

Definisi

Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai servikalis,

vertebralis, thorakalis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang,

seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga, dan

sebagainya. Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak pada tulang belakang

yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau spinal kord.

.Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu

tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan,

sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan. (Muttaqin, 2008).

Etiologi

Cedera spinal terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai servikal dan

lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Di

daerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur thoraks.

Kelainan dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi atau kominutif dan dislokasi,

sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan

melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah atau perdarahan.

Kelainan sekunder dapat disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan

oleh hipotensi, udem atau kompresi.

Kerusakan pada spinal merupakan kerusakan permanen karena tidak ada regenerasi dari

jaringan saraf.

Epidemiologi

Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker

dan stroke, tercatat 50 meningkat per 100.000 populasi tiap tahun, 3% penyebab kematian ini

karena trauma langsung medula spinalis, 2% karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-

laki 5 kali lebih besar dari perempuan. Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury

disebabkan kecelakaan lalu lintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja. Lokasi

fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan C5 dan C6 terutama

pada usia dekade 3.

8

Gambaran Klinis

Gambaran klinis tergantung dari letak dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan

melintang memberikan gambaran hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat

kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal terjadi Karena hilangnya rangsang yang berasal dari

pusat. Peristiwa ini umumnya terjadi selama satu hingga enam minggu. Tandanya adalah

kelumpuhan flasid, anesthesia, arefleksia, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rectum dan

kandung kemih, priapismus, bradikardia dan hipotermal. Setelah syok spinal pulih akan terdapat

hiperrefleksia.

Sindrom sumsum tulang belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik

dibawah tempat kerusakan disetai hilangnya sensasi nyeri dan suhu ada kedua sisinya, sedangkan

sensari raba dan posisi tidak tergnaggu.

Cedera sumsum tulang belakang sentral jarang terjadi. Pada umumnya terjadi akibat

cedera di daerah servikal dan disebabkan hiperekstensia mendadak sihingga sumsum tulang

belakang terdesak oleh ligamentum flavum yang terlipat. Gambaran klinis berupa tetraparese

parsial. Gangguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan

daerah perianal tidak terngnanggu.

Sindrom brown-sequard disebabkan oleh kerusakan paruh lateral sumsum tlang belakang.

Sindrom ini jarang ditemukan gejalanya burupa gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi

pada posisi ipsilateraldi kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu.

Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan anesthesia perianaal,

ganggguan fungsi defleksi, miksi,impotensi, serta hilangnya reflex anal dan reflex

bulbokavernosa.

Sindrom kauda equine disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbo sacral setinggi ujung

konus medularis dan menyebabkan leumpuhan dan anesthesia di daerah lumbosakral yang mirip

dengan sindrom konus medularis.

Diagnosis

Pada penderita yang masih sadar, cedera spinal mudah dikenali dengan menilai keluhan

dan melakukan pemeriksaan terhadap kelainan yang terjadi; misalnya penderita mengeluh sakit

9

sepanjang kolumna vertebra, mengeluh baal, kebas hingga lumpuh pada anggota gerak tertentu.

Namun pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran hingga koma akan sulit menilai

keluhan dan melakukan pemeriksaan klinis sehingga kita selalu melakukan praduga positif dan

melakukan serangkaian pemeriksaan penunjang.

Beberapa keadaan yang harus dicurigai sebagai cedera spinal dan harus dikelola sebagai

cedera spinal adalah :

Semua penderita pasca trauma yang tidak sadar

Penderita yang mengalami gejala neurologis

Penderita yang mengeluh nyeri gerak dan nyeri tekan pada sepanjang daerah spinal

Penderita yang jatuh dari ketinggian

Penderita multiple trauma akibat kecelakaan lalulintas

Klasifikasi Cedera Medulla Spinalis

Cedera medulla spinalis diklasifikasikan berdasarkan level, beratnya deficit neurologis,

sindroma medulla spinalis dan morfologi.1,4

1. Level

Level neurologis adalah segmen paling kaudal yang masih memiliki fungsi sensorik dan

motorik nomal di kedua sisi tubuh. Pada cedera komplit bila ditemukan kelemahan fungsi

sensorik dan/atau motorik dibawah segmen normal terendah. Hal ini disebut dengan zona

preservasi parsial. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya penentuan level trauma pada kedua sisi

sangat penting.

Perbedaan yang jelas terjadi antara lesi diatas dan di bawah T1. Cedera pada 8 segmen

medulla spinalis servikal akan menyebabkan tetraplegi dan lesi di bawah T1 akan menyebabkan

paraplegi. Level tulang trauma adalah tulang vertebra yang mengalami kerusakan sehingga

menyebabkan kerusakan medulla spinalis. Semakin kaudal suatu cedera, semakin jelas

perbedaan yang terjadi.

10

2. Beratnya Defisit Neurologis

Cedera medulla spinalis dibagi menjadi :

Paraplegi inkomplit

Para plegi komplit

Tetraplegi inkomplit

Tetraplegi komplit

Sangat penting untuk mencari tanda-tanda adanya preservasi fungsi dari semua jenis

medulla spinalis. Adanya fungsi mototrik atau sensorik di bawah level trauma menunjukkan

adanya cedera inkomplit. Tanda – tanda cedera inkomplit meliputi adanya sensasi atau gerakan

volunteer di ekstremitas bawah, sacral sparing, kontraksi sfingter ani volunteer, dan fleksi ibu

jari kaki volunteer. Reflex sacral. Seperi reflex bulbokavernosus atau kerutan anas, tidak

termasuk.

3. Sindrom medulla spinalis

Central cord syndrome ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada

ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik bervariasi.

Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang mengalami

kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat jatuh ke depan

dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau

dislokasi. Perbaikan biasanya mengikuti pola yang khas, ekstremitas bawah mengalami

perbaikan lebih dahulu diikuti dengan fungsi kandung kemih dan ekstremitas atas serta tangan

terakhir. Central cord syndrome diperkirakan terjadi akibat gangguan vascular di daerah yang

diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Arteri ini member suplai ke daerah sentral medulla

spinalis. Karena serabut motorik disegmen servikal secara topografis tersusun kearah sentral

medulla spinalis, lengan serta tangan adalah yang terpengaruh paling parah.

11

Anterior cord syndrome adalah ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik

disosiasi dengan hilangnya snssasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior teteap bertahan.

Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis yang

diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera

inkomplit lainnya.

Sindrom brown sequerd terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya terjadi

akibat trauma tembus. Sindrom ini terdiri dari kehilangna motorik ipsilateral disertai hilangnya

sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua level di bawah level trauma.

12

Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya

Klasifikasi berdasarkan mekanisme trauma :

a. Trauma Hiperfleksi

1. Subluksasi anterior

Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher ; ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasi ke posterior (kifosis) local pada tempat kerusakan ligament. Tanda-tanda lainnya :- Jarak yang melebar antara prosesus spinosus

- Subluksasi sendi apofiseal

2. Bilateral interfacetal dislocation

Terjadi robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulan ligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak diskolasi anterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal.

13

Gambar 1. Subluksasi anterior

Gambar 2. Bilateral interfacetal

dislocation

3. Flexion tear drop fracture dislocation

Tenaga fleksi murni ditambah komponen kompresi menyebabkan robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulan ligamen posterior disertai fraktur avulse pada bagian antero-inferior korpus vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal dalam fleksi :- Fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian antero-inferior korpus

vertebrae

- Pembengkakan jaringan lunak pravertebral

4. Wedge fracture

Vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal anterior dan kumpulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil.

5. Clay shovelers fracture

14

Gambar 3. Flexion tear drop fracture dislocation

Gambar 4. Wedge fracture

Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus ; biasanya pada CVI-CVII atau Th1.

b. Trauma Fleksi-rotasi

Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun terjadi kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang bersangkutan.

Tampak dislokasi anterior korpus vertebra. Vertebra yang bersangkutan dan vertebra proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan vertebra distalnya tetap dalam posisi lateral.

c. Trauma Hiperekstensi

1. Fraktur dislokasi hiperekstensi

Dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina dan prosessus spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian postero-inferior. Lesi tidak stabil karena terdapat kerusakan pada elemen posterior tulang leher dan ligament yang bersangkutan.

15

Gambar 5. Clay Shovelers fracuter

Gambar 6. Trauma Fleksi-rotasia. Tampak Lateral b. Tampak AP c. Tampak oblik

2. Hangmans fracture

Terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior C2 terhadap C3.

d. Ekstensi-rotasi

Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisie. Kompresi vertical

Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui kepala, kondilus oksipitalis, ke tulang leher.

1. Bursting fracture dari atlas (jeffersons fracture)

16

Gambar 7. Hangmans Fracture

Gambar 8. Jeffersons fracture

2. Bursting fracture vertebra servikal tengah dan bawah

J. DIAGNOSIS SEMENTARA

Diagnosis klinis   : Parahipoestesia, paraparese, retensi urin

Diagnosis topic : Medula spinalis torakal

Diagnosis etiologi   : Spinal Cord Injury

K. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari ke 2 perawatan yang dilakukan di bangsal asoka

tanggal 17 Oktober 09.00 WIB:

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran :  Compos mentis

GCS : E4V5M6

VAS : 5

Tanda vital

Tekanan darah : 100/80 mmHg

Nadi                : 69 x/menit

Pernapasan      : 20 x/menit

Suhu                : 36.7 oC

Status gizi : kesan normoweight

Status Generalis

Kepala : mesocephal, hematoma (-)

Mata : edema palpebra (-), refleks pupil(+/+), isokor (3 mm / 3 mm)

17

Gambar 8. Bursting fracture vertebra servical tengah & bawah

Telinga : secret (-), tinnitus (-), discharge (-)

Hidung : nafas cuping hidung, epistaksis (-), obstruksi (-)

Mulut : sianosis (-), lesi (-)

Leher : simetris, vulnus ekskoriatum (-)

Thoraks : Normochest, simetris, jejas (-)

Pulmo : VBS +/+ normal, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung : S1-S2 normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : Datar, BU menurun, supel, nyeri tekan 9 regio (-), jejas (-), hipostesia regio

inguinal dextra, hipogastric dan inguinal sinistra

Genitalia         : Dalam batas normal, terpasang DC, hematuri (-)

Ekstremitas atas    : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-)

Ekstremitas bawah : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-), sianosis (-), hipostesia

Status Psikiatrik

Tingkah laku : Normoaktif

Perasaan hati : Normoritmik

Orientasi : Orientasi orang, waktu, dan tempat baik

Kecerdasan : Dalam batas normal

Daya ingat : Dalam batas normal

 

Status Neurologis

Sikap Tubuh            : Simetris

Gerakan Abnormal   : tidak ada

Cara berjalan : tidak dapat dinilai

18

Pemeriksaan Saraf Kranial

Nervus Pemeriksaan Kanan KiriN. I. Olfaktorius Daya penghidu N NN. II. Optikus Daya penglihatan N N

Pengenalan warna

N N

Lapang pandang N NN. III. Okulomotor Ptosis – –

Gerakan mata ke medial

N N

Gerakan mata ke atas N NGerakan mata ke bawah

N N

Ukuran pupil 3 mm 3 mmBentuk pupil Bulat BulatRefleks cahaya langsung

+ +

Refleks cahaya konsensual

+ +

N. IV. Troklearis Strabismus divergen – –Gerakan mata ke lat-bwh

– –

Strabismus konvergen

– –

N. V. Trigeminus Menggigit – –Membuka mulut – –Sensibilitas muka N NRefleks kornea N NTrismus – –

N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral

N N

Strabismus konvergen

– –

N. VII. Fasialis Kedipan mata N NLipatan nasolabial Simetris SimetrisSudut mulut Simetris SimetrisMengerutkan dahi Simetris SimetrisMenutup mata N NMeringis N NMenggembungkan pipi

N N

N. VIII.Vestibulokoklearis

Mendengar suara bisik

+ +

Mendengar bunyi arloji

+ +

19

Tes Rinne TDL TDLTes Schwabach TDL TDLTes Weber TDL TDL

N. IX.Glosofaringeus

Arkus faring Simetris SimetrisDaya kecap lidah 1/3 post

N

Refleks muntah NSengau –Tersedak –

N. X. Vagus Denyut nadi 80 x/menitArkus faring Simetris SimetrisBersuara NMenelan N

N. XI. Aksesorius Memalingkan kepala sulit dinilai sulit dinilaiSikap bahu N NMengangkat bahu - -Trofi otot bahu Eutrofi Eutrofi

N. XII.Hipoglossus

Sikap lidah NArtikulasi NTremor lidah –Menjulurkan lidah SimetrisTrofi otot lidah –Fasikulasi lidah –

Pemeriksaan Saraf Motorik

Anggota gerak atas Kanan KiriGerakan Terbatas terbatasKekuatan 5 5Tonus Normotonus normotonusTrofi Eutrofi EutrofiRefleks fisiologis + +Sensibilitas Eustesia EustesiaAnggota gerak bawah Kanan KiriGerakan Terbatas TerbatasKekuatan 2 2Tonus Hipertonus HipertonusKlonus + +Trofi Eutrofi EutrofiRefleks fisiologis Hiperrefleks HiperrefleksRefleks patologis + +Sensibilitas Hipoestesia Hipoestesia

20

Pemeriksaan Saraf Sensoris

Eksteroseptif

- Rasa raba : sensibilitas menurun di regio inguinalis dextra, hipogastric dan inguinalis sinistra,

sampai bagian ujung kaki (menggunakan kapas)

- Rasa nyeri : sensibilitas menurun di regio inguinalis dextra, hipogastric dan inguinalis sinistra,

sampai bagian ujung kaki (menggunakan jarum)

- Rasa suhu : tidak mampu membedakan suhu panas atau dingin yang diberikan dimulai dari regio inguinalis dextra, hipogastric dan inguinalis sinistra, sampai bagian ujung kaki (menggunakan es batu dan air hangat)

Proprioseptif

- Rasa gerak : Positif. Pasien tahu bahwa bagian tubuhnya sedang digerakkan- Rasa sikap : Positif. Pasien tahu jari apa yang sedang disentuh- Rasa getar : Positif. Pasien dapat merasakan getaran garpu tala yang diletakkan di ibu

jari/malleolus pasien.- Rasa tekan : Positif. Pasien mampu merasakan tekanan benda pada jarinya dan dapat

menunjukkan lokasinya.- Nyeri dalam : Positif. Pasien dapat merasakan rangsangan yang diberikan pada bagian lengan

atas, lengan bawah, paha, betis, dan tendon Achilles.

Pemeriksaan Saraf Otonom  :

Miksi : retensi urin, terpasang DC, warna urin kuning jernih

Defekasi : -

Pemeriksaan Kognitif

Secara umum tidak terdapat gangguan fungsi kognitif pada pasien. Pasien dapat dengan

mudah menyebutkan tanggal dan hari.

21

L. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium (15/10/2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Darah RutinHemoglobin 14.6 13,2 – 17,3 g/dl

Leukosit 9,8 3,8 – 10,6 RibuEritrosit 4,71 4,4 – 5,9 JutaHematokrit 40.1 40 - 52

%

Trombosit 253 150 - 400 Ribu

MCV 85.1 82 – 98 fL

MCH 31.0 27 – 32 Pg

MCHC 35.5 32 – 37 g/dl

RDW 12.0 10 – 16 %

MPV 6.43 7 – 11 mikro m3

Limfosit 5,6 H 1,0 - 4,5 103/mikro m3

Monosit 2,3 H 0,2 - 1,0 103/mikro m3

Eusinofil 0,251 0,04 – 0,8 103/mikro m3

KIMIA KLINIK

SGOT 30 0-50 U/LSGPT 19 0-50 IU/LUREUM 27 10-50 Mg/dLKreatinin 1.03 0,62-1,1 Mg/dLHDLHDL DIRECT 41 28-62 Mg/dLLDL+CHOLESTEROL 46.8 <150 Mg/dLCHOLESTEROL 124 <200 Mg/dLTRIGLISERIDA 181 H 70-140 Mg/dLGDS 107 74 – 106 Mg/dL

22

2.Urinalisis (15/10/2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Urin LengkapWarna Kuning -

Kekeruhan Jernih -Protein urin Negatif Negatif

g/LGlucose urin Negatif Negatif Mmol/L

Ph 5,0 5-9 -

Bilirubine urin Negatif Negatif Umol/L

Urobilinogen Negatif Negatif Umol/L

Berat jenis urin 1,025 1000-1030 -

Keton urin Negatif Negatif Mmol/L

Lekosit Negatif Negatif Sel/L

Eritrosit Negatif Negatif Sel/L

Nitrit Negatif Negatif -

Silinder patologis 0,11 Negatif -Mucus 0,00 Negatif -Sperma 0,0 Negatif -Konduktivity 13,8 Negatif -

23

3.Rontgen Vertebrae Thoracolumbal AP/ Lateral (16/10/2019)

Kesan (Vertebra Thoracolumbal AP/Lateral):

Spondilosis torakalis-lumbalis Tak tampak penyempitan diskus intervertebralis Tak tampak kompresi maupun listesis

DISKUSI II

Berdasarakan pada data-data tersebut diatas, saat ini pasien sudah tidak terdapat rasa nyeri

pada bagian pinggang, punggung ataupun bokong. Kemungkinan pasien juga mengalami

hipostesia (penurunan sensasi/sensitivitas) berupa rasa nyeri dan suhu yang dimulai dari setinggi

torakal XII yaitu pada regio inguinal sinistra, hipogastric, inguinal dextra sampai ke bagian ujung

ekstremitas dextra dan sinistra. Walaupun pada hasil pemeriksaan rontgen tidak tampak kelainan,

hal tersebut mungkin dapat disebabkan karena lesi minimal atau lesi yang terbentuk berada di

dalam bagian yang tidak terdeteksi oleh hasil foto rontgen.

Kesulitan BAK pada pasien menandakan telah adanya gangguan pada saraf otonom yang

mengatur sistem urinaria akibat dari cedera medula spinalis. Sistem saluran kemih bagian bawah

mendapatkan inervasi dari serabut saraf aferen yang berasal dari buli-buli dan uretra serta serabut

24

saraf eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik dan somatik. Serabut aferen dari dinding buli-

buli menerima impuls stretch receptor (reseptor regangan) dari dinding buli-buli yang dibawa

oleh nervus pelvikus ke korda spinalis S2-S4 dan diteruskan sampai ke otak melalui traktus

spinotalamikus. Signal ini akan memberikan informasi kepada otak tentang volume urin didalam

buli-buli. Jalur aferen dari sfingter uretra eksterna dan uretra mengenal sensasi suhu, nyeri dan

adanya aliran urin didalam uretra. Impuls ini dibawa oleh nervus pudendus menuju ke korda

spinalis S2-S4.

Serabut eferen parasimpatik berasal dari korda spinalis S2-S4 dibawa oleh nervus pelvikus

dan memberikan inervasi pada otot detrusor. Asetilkolin adalah neurotransmitter yang berperan

dalam penghantaran signal saraf kolinergik, yang setelah berkaitan dengan reseptor muskarinik

menyebabkan kontraksi otot detrusor. Reseptor muskarinik yang banyak berperan didalam

kontraksi buli-buli adalah M2 dan M3. Peranan sistem parasimpatik pada proses miksi berupa

kontraksi detrusor dan terbukanya sfingter uretra.

Serabut saraf simpatik berasal dari korda spinalis segmen thorakolumbal (T10-L2) yang

dibawa olehj nervus hipogastrikus menuju buli-buli dan uretra. Terdapat 2 jenis reseptor

adrenergik yang letaknya berada didalam buli-buli dan uretra, yaitu reseptor adrenergik α yang

banyak terdapat pada leher buli-buli (sfingter interna) dan uretra posterior, serta reseptor

adrenergik β yang banyak terdapat pada fundus buli-buli. Rangsangan pada reseptor adrenergik α

menyebabkan kontraksi, sedangkan pada β menyebabkan relaksasi. Sistem simpatik ini berperan

pada fase pengisian yaitu menyebabkan terjadinya : (1) relaksasi otot detrusor karena stimulasi

adrenergik β dan (2) kontraksi sfingter interna serta uretra posterior karena stimulasi adrenergik

α yang betujuan untuk mempertahankan resistensi uretra agar selama fase pengisian urin tidak

bocor (keluar) dari buli-buli.

Serabut saraf somatik berasal dari nucleus Onuf yang berada di kornu anterior spinalis S2-

S4 yang dibawa oleh nervus pudendus dan menginervasi otot bergaris sfingter eksterna dan otot-

otot dasar panggul. Perintah daei korteks serebri (secara disadari) menyebabkan terbukanya

sfingter eksterna pada saat miksi.

Pada saat buli-buli terisi oleh urin dari kedua ureter, volume buli-buli bertambah besar

karena ototnya mengalami peregangan. Regangan itu menyebabkan stimulasi pada stretch

receptor yang berada di dinding buli-buli yang kemudian memberikan signal kepada otak tentang

jumlah urin yang mengisi buli-buli. Setelah kurang lebih terisi separuh dari kapasitasnya, mulai

25

dirasakan oleh otak adanya urin yang mengisi buli-buli. Pada saat buli-buli sedang terisi, terjadi

stimulasi pada sistem simpatik yang mengakibatkan kontraksi sfingter uretra interna

(menutupnya leher buli-buli), dan inhibisi sistem parasimpatik berupa relaksasi otot detrusor.

Kemudian pada saat buli-buli terisi penuh dan timbul keinginan untuk miksi, timbul stimulasi

sistem parasimpatik dan menyebabkan kontraksi otot detrusor, serta inhibisi sistem simpatik

yang menyebabkan relaksasi sfingter interna (terbukanya leher buli-buli). Miksi kemudian terjadi

jika terdapat relaksasi sfingter uretra eksterna dan tekanan intravesikal melebihi tekanan

intrautera. Kelainan pada unit vesikouretra dapat terjadi pada fase pengisian atau pada fase

miksi. Kegagalan buli-buli dalam menyimpan urin menyebabkan urin tidak sempat tersimpan di

dalam buli-buli dan bocor keluar buli-buli, yaitu pada inkontinensia urin sedangkan pada fase

miksi menyebabkan urin tertahan didalam buli-buli hingga terjadi retensi urin pada kasus ini.

26

Adanya paraparese dan penurunan sensasi pada ekstremitas inferior dapat timbul akibat

adanya trauma pada medula spinalis bagian thorakal. Pada kasus ini, mungkin lesi berada

setinggi dermatom TH XII yang ditandai oleh menurunnya sensibilitas setinggi lesi tersebut.

Selain itu ditemukan hilangnya kemampuan motorik dibawah tingkat lesi.

Cedera pada medula spinalis biasanya hanya berupa memar atau iskemia akibat oklusi

sementara arteri vertebralis diikuti oleh perbaikan secara spontan. Gejala klinis memberikan

gambaran yang beragam, mulai dari ringan dan sembuh secara spontan hingga kerusakan yang

bersifat ireversibel.

Pada pasien tidak ada indikasi untuk dilakukan operasi. Indikasi untuk operasi adalah

adanya fraktur, pecahan tulang yang menekan medulla spinalis, gambaran neurologis yang

progresif memburuk, fraktur atau dislokasi yang labil, terjadinya herniasi diskus intervertebralis

yang menekan medulla spinalis. Intervensi operasi memiliki dua tujuan, yang pertama adalah

untuk dekompresi medula spinalis atau radiks dorsalis pada pasien dengan defisit neurologis

inkomplit. Kedua, untuk stabilisasi cedera yang terlalu tidak stabil untuk yang hanya dilakukan

eksternal mobilisasi. Fiksasi terbuka (open fixation) dibutuhkan untuk pasien trauma spinal

dengan defisit neurologis komplit tanpa sedikitpun tanda pemulihan, atau pada pasien yang

mengalami cedera tulang atau ligament spinal tanpa defisit neurologis. Operasi stabilisasi dapat

disertai mobilisasi dini, perawatan, dan terapi fisik. Indikasi lain operasi yaitu adanya benda

asing atau tulang di kanalis spinalis disertai dengan defisit neurologis yang progresif sehingga

menyebabkan terjadinya epidural spinal atau subdural hematoma.

Tindakan operasi dapat dilakukan dalam 24 jam sampai dengan 3 minggu pasca trauma.

Tindakan operatif awal (kurang dari 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan neurologis,

komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun pasca trauma.Terapi bedah bertujuan untuk

mengeluarkan fragmen tulang, benda asing, reparasi hernia diskus, dan menstabilisasi vertebra

guna mencegah nyeri kronis.

Spinal cord injury without radiological abnormality (SCIWORA) adalah cedera tulang

belakang tanpa kelainan radiografis dengan tanda klinis myelopathy setelah cedera dengan tidak

ada fraktur atau ketidakstabilan ligamen pada gambar hasil foto polos sinar X tulang belakang

dan tomography. Pemeriksaan MRI (resonans magnetik imaging) pada beberapa cedera akibat

trauma tembus, sengatan listrik dan komplikasi obstetric serta kelainan kongenital tulang

belakang.

27

Spinal cord injury without radiological abnormality (SCIWORA) merupakan trauma akut

yang mengenai tulang belakang termasuk trauma serabut saraf yang menyebabkan deficit

neurologis atau deficit motorik atau keduanya tanpa ditemukan bukti adanya fraktur vertebral

atau malalignment pada hasil pemeriksaa poto polos X-ray maupun dan CT scans.

M. DIAGNOSIS AKHIR

Diagnosis Klinik : Parahipoestesia protopatik, paraparese spastik, retensi urin

Diagnosis Topik : Medula spinalis setinggi segmen Th XII

Diagnosis Etiologi: Spinal Cord Injury suspek Anterior Cord Injury

N. PENATALAKSANAAN

Farmakologi

Infus Asering 20 tpm

Injeksi metilprednisolon 125 mg/12 jam

Inj mecobalamine 1x1

Inj omeprazole 1x1 amp

PO Depacote ER 2x250

PO Eperison 3x1

Non Farmakologi

Rawat inap

Bed rest

Konsul fisioterapi

O. PROGNOSIS

Death              : dubia ad bonam

Disease            : dubia ad bonam

Disability        : dubia ad bonam

Dissatisfaction : dubia ad bonam

Discomfort      : dubia ad bonam

28

Destituation    : dubia ad bonam

DISKUSI III

Tatalaksana pada pasien ini meliputi tatalaksana non medikamentosa dan

medikamentosa. Golden hours pada pengobatan cedera medula spinalis dengan pemberian

kortikosteriod pada kurang dari 3 jam pertama setelah trauma dapat mengurangkan pemburukan

gejala pada pasien. Sehingga penanganan yang melewati dari golden hours memiliki prognosis

kedepannya yang buruk, pada pasien ini tetap diberikan kortikosteroid dengan tujuan prognosis

tidak menjadi lebih buruk dari sebelumnya.

Tatalaksana nonmedikamentosa meliputi tirah baring, edukasi dan rehabilitasi medik.

Pemberian medikamentosa pada pasien dengan cedera medula spinalis

Asering

Infus asering diindikasikan untuk perawatan darah dan kehilangan cairan, hipokalsemia,

kekurangan kalium, ketidakseimbangan elektrolit, inkonsistensi pH, natrium yang rendah dalam

darah dan kondisi lainnya

Metilprednisolon

Metilprednisolon adalah suatu glukokortikoid alamiah dan diabsorpsi cepat di saluran

cerna. Metilprednisolon bekerja dengan menduduki reseptor spesifik dalam sitoplasma sel yang

responsive. Ikatan steroid reseptor ini lalu berikatan dengan DNA yang kemudian mempengaruhi

sintesis berbagai protein. Beberapa efek yang timbul adalah berkurangnya produksi

prostaglandin dan leukotrein, berkurangnya degranulasi sel mast, berkurangnya sintesis kolagen.

Steroid juga berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema

vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat pelepasan endorfin

dari hipofisi dan menghambat respon radang. Studi NACIS II (The National Acute Spinal Cored

Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/ kg BB secara bolus IV selama 15 menit

dilanjutkan 5,4 mg/ kg BB/ jam selama 23 jam. Selanjutnya diberikan 2x125 mg selama 48 jam.

Hal ini sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena

distribusi metilprednisolon akan terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada

mekanisme kerusakan sekunder.

Omeprazole

29

Merupakan obat golongan Proton Pump Inhibitor (PPI) yang bekerja berikatan dengan

H+/K+ exchanging ATPase dalam sel parietal gaster, mengakibatkan supresi sekresi asam

lambung. 

Meticobalamin

Mecobalamin merupakan bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan

dalam reaksi transmetilasi dan merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan homolog

vitamin B12 lainnya dalam tubuh, dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat,

protein dan lemak.Mecobalamin/methylcobalamin meningkatkan metabolisme asam nukleat,

protein dan lemak. Mecobalamin bekerja sebagai koenzim dalam sintesa metionin. Mecobalamin

terlibat dalam sintesis timidin pada deoksiuridin dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada

penelitian lain ditemukan mecobalamin mempercepat sintesis lesitin, suatu komponen utama dari

selubung mielin.

Depacote ER

Depacote adalah nama paten dari obat sodium (natrium) divalproat. Depacote biasa

dikonsumsi untuk mencegah kemunculan kejang. Depacote bekerja dengan cara menghambat

neurotransmitter di otak. Didalam tubuh obat ini di metabolisme di dalam organ hati dan dibuang

melalui ginjal

Eperison

Eperison adalah kelompok obat relaksan otot yang berfungsi meredakan bagian-bagian

tubuh yang mengalami kejang otot. Obat ini juga berfungsi meningkatkan sirkulasi darah,

meringankan gejala myotonia, dan meredakan rasa sakit. Kadang-kadang eperison juga

digunakan untuk meringankan pusinh dan tinnitus (telinga berdenging).

30

P. Follow UP:

Tanggal S O A PKamis, 17/10/19 Tangan dapat

diangkat, kaki sulit

diangkat, belum

bisa berjalan, bisa

BAK menggunakan

DC, saat ini sudah

tidak nyeri pada

perut bagian bawah

dan saat BAK.

Ku: Lemah

Kesadaran: CM

GCS : E4 V5 M6

TD: 110/80

N: 80, RR: 20

S: 36.3

motorik

5 5

2 2

Sensorik :

+ +

- -

Paraparese spastic

ec Spinal Cord

Injury Th XII susp

Anterior Cord

Injury

Infus Asering 20 tpm

Inj metilprednisolone 2x1

Inj metycobalamine 1x1

Inj omeprazol 1x1 amp

PO depacote ER 2x250

(+) PO eperison 3x1

Jumat 18/10/19 Tangan dapat

diangkat, kaki sulit

diangkat, belum

bisa berjalan, bisa

BAK menggunakan

DC, saat ini sudah

tidak nyeri pada

perut bagian bawah

dan saat BAK.

Ku: Lemah

Kesadaran: CM

GCS : E4 V5 M6

TD: 110/70

N: 93, RR: 20

S: 36

motorik

5 5

2 2

Sensorik :

+ +

- -

-

Paraparese spastic

ec Spinal Cord

Injury Th XII susp

Anterior Cord

Injury

Infus Asering 20 tpm

Inj metilprednisolone 2x1

Inj metycobalamine 1x1

Inj omeprazol 1x1 amp

PO depacote ER 2x250

PO eperison 3x1

Sabtu 19/10/19 Tangan dapat

diangkat, kaki

mulai bisa diangkat

sedikit-sedikit

namun masih

kesulitan, belum

bisa berjalan, bisa

BAK menggunakan

DC, saat ini sudah

tidak nyeri pada

Ku:

Lemah

Kesadaran: CM

GCS : E4 V5 M6

TD: 120/80

N: 93, RR: 20

S: 36,2

Paraparese spastic

ec Spinal Cord

Injury Th XII susp

Anterior Cord

Injury

Infus Asering 20 tpm

Inj metilprednisolone 2x1

Inj metycobalamine 1x1

Inj omeprazol 1x1 amp

PO depacote ER 2x250

PO eperison 3x1

Program :

Bila Stabil Senin BLPL

31

perut bagian bawah

dan saat BAK.

motorik

5 5

2 2

Minggu, 20/10/19 Tangan dapat

diangkat, kaki

mulai bisa diangkat

namun belum bisa

melawan tahanan

yang diberikan,

belum bisa berjalan,

bisa BAK

menggunakan DC,

saat ini sudah tidak

nyeri pada perut

bagian bawah dan

saat BAK.

Ku: Sedang

Kesadaran: CM

GCS : E4 V5 M6

TD: 130/80

N: 87, RR: 20

S: 36,2

motorik

5 5

3 3

Paraparese spastic

ec Spinal Cord

Injury Th XII susp

Anterior Cord

Injury

Infus Asering 20 tpm

Inj metilprednisolone 2x1

Inj metycobalamine 1x1

Inj omeprazol 1x1 amp

PO depacote ER 2x250

PO eperison 3x1

Program :

BLPL Besok

Senin, 21/10/19 Tangan dapat

diangkat, kaki

mulai bisa diangkat

namun belum bisa

melawan tahanan

yang diberikan,

belum bisa berjalan,

bisa BAK

menggunakan DC,

saat ini sudah tidak

nyeri pada perut

bagian bawah dan

saat BAK.

Ku: Sedang

Kesadaran: CM

GCS : E4 V5 M6

TD: 100/80

N: 60, RR: 20

S: 36,6

motorik

5 5

3 3

Paraparese spastic

ec Spinal Cord

Injury Th XII susp

Anterior Cord

Injury

Infus Asering 20 tpm

Inj metilprednisolone 2x1

Inj metycobalamine 1x1

Inj omeprazol 1x1 amp

PO depacote ER 2x250

PO eperison 3x1

Program:

BLPL hari ini

32

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM.Sinopsis Ilmu Bedah Saraf : Trauma Spinal. Sagung

Seto.Jakarta : 2011. Hal 31-42

2. Schwartz.intisari Prinsip-prinsip Ilmu bedah edisi 6.penerbit buku kedokteran EGC.1995.hal 626-

630

3. De Jong,Wim. Buku ajar Ilmu bedah edisi 2. Cedera tulang belakang dan sumsum tulang.

Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2005. Hal 822

4. Hughes,Irvene. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS) edisi 8. Trauma tulang

belakang dan medulla spinalis. Americam College of surgeons. Chicago : 2008. Hal 185 - 202

5. Anonim. Fraktur Cervical. Last updated 5-09-2008. http://www.Dislokasi-interfasetal-

bilateral.html .

6. Moira Davinport. Fracture cervical spine. Last updated 30-04-2010. http://www.82340-

overview.htm l

7. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Cedera Spinal. PT Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta : 2010. Hal 393 - 403

33