bab 3 analisis data - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab3/lmm2006-63-bab 3.pdf · di...
Post on 08-Mar-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
23
BAB 3
ANALISIS DATA
3.1 Arsitektur Rumah Tradisional Jepang
Arsitektur rumah tradisioanl Jepang terutama dilihat sebagai tempat tinggal yang
alami, sejak abad ke-16 elemen-elemen arsitektur rumah tradisional Jepang meliputi
sistem struktural, yang terdiri dari tatami dan bahan bangunan lainnya yang sepenuhnya
didirikan untuk mempertemukan agama, filosofi, kesenian dan lainnya.
Konsep dasar dalam arsitektur Jepang adalah Ma|間 (ditulis dengan huruf
karakter Cina yang juga diucapkan ken atau aida). Tidak ada arti yang pasti di dalam
Bahasa Inggris, beberapa mengartikan ma dengan: ruangan, hubungan, jarak,
keberuntungan, jeda, atau tergantung pada pemakaian kalimatnya. Di dalam seni
arsitektur istilah yang paling sesuai dengan ma adalah jarak diantara dua tiang
penyanggah atau ruangan diantara dua dinding atau lebih, atau apapun yang dapat saling
berhubungan. Menurut Atsusi Ueda (1990) dalam bukunya yang berjudul In Harmony of
the Japanese House mengatakan: “ The History of Japanese architecture is the struggle
with the pillar” (Dasar dari arsitektur bangunan rumah Jepang adalah pada kekohohan
tiang kayunya). ( Yoshino : 2005 ).
Ada dua hal yang terjadi di dalam proses pembentukan dan pembangunan.
Pertama, suatu keserasian yang dibangun diantara penempatan tembok pembatas,
sehingga membentuk suatu ruangan bagian (ruangan-ruangan). Kedua, dinding itu
sendiri yang dapat merubah keserasian tiang-tiang penyanggah dengan bahan-bahan
yang digunakan di dalam konstruksi bangunan itu sendiri. Hal ini sangatlah penting
24
untuk dijadikan sebagai tembok atau dinding pembatas ruangan. Pada kedua hal
tersebut, salah satunya mengatur ma atau suatu hubungan yang telah ada sebagai proses
pembangunan arsitektur yang dapat mencerminkan suasana hati dari suatu rancangan
arsitektur tradisional Jepang.
Interior rumah tradisional Jepang mempunyai kekhasan karakteristik terhadap
lingkungan tempat tinggal yang alami. Atap rumah yang menonjol berfungsi untuk
melindungi struktur bangunan dalam menghadapi iklim dan kondisi geografis di negara
Jepang seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Selain itu faktor luar seperti
pengaruh dari bangsa asing pun dapat mempengaruhi arsitektur rumah tradisional
Jepang.
Arsitektur rumah tradisional Jepang pada dasarnya memakai bahan dasar kayu,
karena balok kayu merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat berlimpah di
Jepang. Untuk manghadapi keadaan iklim seperti ini rumah tradisional Jepang sangat
memerlukan struktur kayu yang kokoh dan kuat untuk menjaga interiornya.
Yang terpenting dari konsep ken atau ma ini adalah bukan dari standarisasi pada
semua bangunan, tetapi pada standarisasi seluruh ukuran pada bangunan, tiang penguat
pada bangunan, balok penyokong atap rumah, langit-langit, shoji, fusuma, tokonoma,
serta keputusan di dalam meyeimbangkan keharmonisan proporsi bangunan.
Rumah tradisional Jepang dengan tinggi 1,68 meter meskipun di dalam istilah
estetika bukanlah standarisasi untuk manusia atau untuk seseorang yang bisa duduk
(karena tinggi orang yang sedang duduk adalah sekurang-kurangnya 36 inchi atau
sekitar 1 meter untuk orang yang tertinngi di Jepang pada masa lalu). Halaman dan
unsur-unsur yang menunjang keindahan yang lain seperti tokonoma sangatlah perlu
25
untuk dapat dilihat dari dalam ruangan atau ketika sedang duduk di dalam suatu ruangan,
dan penempatan pintu, jendela, tokonoma pun haruslah serasi. (Seike,1977:81-82).
3.2 Elemen-Elemen Rumah Tradisional Jepang
Selain pemilihan bahan bangunan dasar kayu seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, konstruksi bangunan interior rumah tradisional Jepang cenderung
terbuka, karena untuk membiarkan pergerakan keluar-masuknya sirkulasi udara yang
tidak terbatas di dalam ruangan rumah tradisioanl Jepang. Dengan keadaan yang terbuka
seperti ini maka rumah tradisional Jepang lebih mudah terkena berbagai macam
gangguan seperti; kotoran, debu, serangga, dan suara-suara yang dapat mengganggu
ketengan para penghuni rumah. Untuk menyikapi hal tersebut maka ruangan pada
rumah tradisional Jepang dibangun dengan komponen-komponen bangunan sebagai
berikut;
a) Fusuma (ふすま)
Pada zaman dahulu, rumah tradisional Jepang lebih terbuka dengan tidak
dibangunnya ruangan-ruangan atau tembok-tembok pembatas dan hanya dibatasi dengan
dinding pembatas yang disebut dengan fusuma. Fusuma adalah pintu geser yang
dibungkus dengan kertas tebal tembus pandang atau kain di atas bingkai petak-petak
kayu yang digunakan untuk memisah-misahkan ruangan-ruangan (sebagai penyekat atau
pembatas antar ruangan dalam rumah).
Tinggi pintu ruangan pada rumah tradisioanl Jepang ini biasanya berkisar 6 kaki.
Biasanya kertas-kertas atau kain-kain tersebut digambari dengan gambar pemandangan
alam pada satu atau kedua sisinya. Fusuma biasanya dapat dibongkar atau di pindahkan
26
untuk memperbesar ruangan atau membatasi ruangan. Dengan arti lain fusuma adalah
sebuah dinding yang dapat dipindah-pindahkan dan dapat digeser.
Gambar 1 Fusuma (Yoshino : 2004)
b) Shoji (障子)
Shoji adalah pintu geser yang di bungkus dengan kertas tipis yang di rekatkan
pada petak-petak kayu dan bingkai pintu. Kayu tersebut biasanya tidak diamplas. Shoji
berasal dari Cina. Tinggi shoji pada rumah tradisional Jepang biasanya berkisar enam
kaki, normalnya dibagi menjadi empat bingkai (frame). Yang paling utama dari fungsi
shoji ini adalah sebagai sekat atau untuk memisahkan ruangan dalam dengan ruangan
luar atau teras.
Di dalam rumah modern, shoji digunakan sebagai pemisah ruangan dimana
sandal rumah dipakai ataupun tidak dipakai. Shoji kadang-kadang dibelah menjadi dua,
bagian atas dapat berfungsi sebagai jendela dan bagian bawah dapat berfungsi sebagai
pintu.
27
gambar 2 Shoji (William : 2004)
c) Tatami (畳)
Tatami berasal dari kata kerja tatamu(畳む),yang berarti menumpuk.dengan
kata lain tatami adalah pelapis lantai rumah yang terbuat dari ikatan jerami yang
dijadikan satu dengan papan kayu, dan biasanya di dalam (interior) rumah tradisional
Jepang, tatami ini di jadikan sebagai lantai dan juga digunakan sebagai pembatas antara
ruangan dalam dengan ruangan luar
. Ukuran tatami biasanya sekitar 90x180 cm dan tebalnya sekitar 1 3/4 – 2 ½
inchi.Di daerah Kyoto berukuran 6,3 kaki X 3,1 kaki sedangkan di Tokyo tatami
berukuran 5,8 kaki X 2,9 kaki Untuk rumah tradisioanal Jepang ukuran ruangan di
dalam satu ruangan kurang lebih sekitar enam tikar tatami, atau lebih dikenal dengan
“rokojuma” (六じゅうま) (six-mat-room/ ruangan dengan enam tatami).
Pada saat tatami pertama kali dipasang, tatami ini berwarna hijau, tetapi ketika
lama-kelamaan akibat terkena sinar cahaya matahari yang masuk ke dalam ruangan,
tatami ini berubah warna menjadi kuning. Cara membersihkan tatami sangatlah mudah
28
hanya dilap dengan kain yang diberi sedikit air atau dengan penyedot debu (vacuum
cleaner).(Yoshino :2004)
Tatami sudah digunakan sejak Zaman Heian (794-1185. Memasuki zaman
Muromachi (1333-1568) lantai rumah pada rumah tradisional Jepang sudah dilapisi
semua dengan tatami. Tatami meliputi lantai, futon (kasur lipat yang disimpan didalam
oshiire/lemari didalam dinding). Sejak saat itu tanpa sesuatu yang besar atau furnitur
yang spesifik, maka fungsi ruangan menjadi berubah total.
gambar 3 Tatami (William : 2004)
d) Ranma (らんま)
Ranma atau jendela kecil di atas pintu yang memiliki ukiran yang berada di atas
dinding dan digunakan di antara shoji dan plafon untuk memberikan sirkulasi udara dan
cahaya. Ranma dibuat dalam berbagai macam variasi ukuran. Di daerah barat ranma
digunakan sebagai ventilasi dan dekorasi dinding. Ranma dapat ditempatkan sebagai
shoji, dalam dinding atau dengan cahaya dibelakang dekorasi tersebut. Cahaya dapat
29
ditempatkan di belakang ranma untuk menerangi sebuah desain bangunan. Ranma dapat
dikatakan sebagai kusen. (Japanese room interior design and material :2004)
gambar 4 Ranma ( Yoshino : 2004)
e) Tokonoma (床の間)
Tokonoma adalah suatu ruangan yang berukuran lebih kecil dari ruangan yang
ada di dalam rumah. Letaknya berada di dalam kamar dengan posisinya lebih tinggi
beberapa inchi dari lantai tatami (gaya ruangan masyarakat Jepang).
Alasan mengapa tokonoma dibuat satu tingkat lebih tinggi dari lantai sebuah
ruangan (tatami) adalah karena pada zaman dahulu sebelum pengaruh agama Budha
masuk ke Jepang, bangsa Jepang telah mengalami sistim kepercayaan dinamisme yaitu
percaya bahwa alam adalah segalanya dan dapat dikatakan sebagai dewa bagi mereka.
Mereka juga percaya bahwa kesucian orang Jepang berasal dari alam dan kemudian
menciptakan manusia sebagai bagian dari alam. Maka mereka sering melakukan
persembahan kepada dewa-dewa mereka di dalam sebuah ruangan yang dilengkapi
debgan segala yang berbau alam seperti: ikebana dan dupa. Lantai pada ruangan
persembahan ini sengaja dibuat satu tingkat lebih dari ruangan tatami dengan alasan
bahwa lantai atas pada ruangan pemujaan ini diilustrasikan sebaga dewa, sedangkan
lantai bawah (tatami) diilustrasikan sebagai manusia. Pada akhirnya setelah pengaruh
30
agama Budha mulai masuk ke Jepang maka ruangan persembahan ini pun telah berubah
menjadi sebuah bangunan yang dinamakan Butsudan (altar bagi agama Budha). Seiring
dengan berjalannya waktu maka Butsudan ini telah berubah menjadi sebuah bangunan
yang dinamakan tokonoma.
Ruangan ini sengaja dibuat sebagai cara untuk mempermudah atau membuat
nyaman seseorang ketika merenung atau berkhayal. Kebiasaan membuat ruangan seperti
ini ada sejak periode Muromachi (1573-1603).
Jika dilihat sepintas, ruangan tanpa pintu ini cukup luas, padahal yang
sebenarnya tidaklah demikian, sebab pada awalnya ruangan ini hanyalah berfungsi
sebagai tempat untuk menggulungkan atau memajang hiasan dinding berupa gulungan
dengan motif Budha dan dibawahnya diletakkan sebuah meja kecil dengan tempat
pembakaran dupa. Jadi secara otomatis ruangan ini akan penuh dengan harum dupa.
Tentunya perubahan zaman akan mempengaruhi pula pada fungsi dan tata
ruangan ini. Terbukti kini ruangan ini menjadi tempat untuk menghilangkan kepenatan.
Mereka bisa beristirahat dengan nyaman dan santai di ruangan ini dan hiasan-hiasan di
dindingpun berubah pula, berganti dengan kaligrafi-kaligrafi atau pemandangan alam
yang indah dan cantik dengan meja dan jambangan-jambangan bunga juga beberapa
hiasan benda seni lainnya.
Di dalam tokonoma ini tidak memajang sesuatu yang berbeda untuk menciptakan
sebuah suasana yang baru sesuai dengan kehendak si pemilik rumah ataupun sesuai
dengan musim yang sedang berlaku. (Gozali, 2004 : 24)
Menjelang Zaman Muromachi (1392-1573) tokonoma telah mengalami
peningkatan lantai dapat digunakan sebagai sebuah pangggung atau rak dan berfungsi
sebagai tempat untuk menggantungkan gambar sang Budha atau lukisan kaligrafi dari
31
pendeta Zen, bersamaan dengan vas bunga dan juga dupa. Tempat lilinpun kemudian
berangsur menghilang. ( Yoshino :2004).
Pada zaman Azuchi Momoyama (1573-1603), tokonoma telah menjadi suatu
bangunan standar permanen sebagai bagian dari tujuan untuk memperlihatkan benda-
benda seni yang dianggap sangat beharga dan untuk menghias atau memperindah
ruangan. (Jaanus : 2004).
Ada beberapa komponen yang biasanya terdapat pada tokonoma, yakni
tokobashira /床柱 , yaitu tiang atau pilar dari tokonoma. Tiang ini berguna untuk
menegaskan dimana panggung kecil dari tokonoma itu berdiri. Di dalam chashitsu/茶室
(ruangan minum teh), tokobashira biasanya dibuat dari batang kayu pohon cemara yang
belum jadi. Sedangkan lukisan biasanya digantung ditengah-tengah dinding tokonoma.
Rangkaian bunga ditempatkan di atas meja kecil di depan lukisan. Elemen
tokonoma selanjutnya adalah tokogamachi/床がまち, yaitu bingkai tokonoma bagian
bawah. Kemudian otoshigake/落し掛け、yaitu bingkai tokonoma bagian atas. Lantai
tokonoma harus dilapisi dengan tatami /畳. Tokonoma di dalam chashitsu 茶室 (ruang
untuk upacara minum the formal) dinamakan hondoko/ 本床.
gambar 5
Hondoko (Tea-ceremony : 2005)
32
Sedangkan untuk tokonoma pada ruang upacara minum teh semi formal
dinamakan ryakushiki-doko. Ryakushiki –doko ini terbagi menjadi:
a) Kabe-doko/ 壁床 , yaitu tokonoma yang meninggalkan seluruh elemen
tokonoma yang ada di hondoko, seperti: tokobashira, toko-gamachi, otoshi-
gake dan juga tidak menggunakan lantai tatami. Bagian dindingnya dibuat
untuk mengantungkan lukisan atau tulisan kaligrafi.
b) Oribe-doko/織部床, yaitu ryakushiki-doko yang pada bagian atas kabe-doko
terpasang kayu yang dinamakan oribe-ita. Oribe-ita ini berfungsi sebagai
pelindung gantungan lukisan atau tulisan kaligrafi.
c) Oki-doko/ 置き床 , yaitu ryakushiki-doko yang papan kayunya dapat
dipindah-pindahkan dan diletakan di depan kabe-doko.
d) Tsuri-doko 釣床, yaitu tokonoma yang papan kayunya tergantung.dan
terdiri dari kabe-doko/ 壁床 dan otoshi-gake/落し掛け.
gambar 6
Ryakushi-doko (Tea-ceremony : 2004)
33
Di dalam tokonoma bergaya shoin (書院), kita dapat menemukan meja kecil
yang dinamakn tsukeshoin. Tsukeshoin ini berfungsi untuk memajang alat-alat untuk
menulis. Kemudian elemen selanjutnya adalah rak-rak bersusun (chigaidana) yang
berfungsi untuk memajang benda-benda koleksi pribadi seperti; buku atau alat-alat
untuk jamuan minum teh. Sebagai penambahannya adalah pintu dekorasi (chogaidome)
yang digunakan sebagai elemen tambahan pada tokonoma. Chogaidome ini mempunyai
ciri khusus, dimana pintu geser ini dilukis dengan berbagai hiasan. Di tembok bagian
lain biasanya ada jendela yang berguna untuk membiarkan cahaya masuk kedalam
ruangan, dan setiap tokonoma memiliki karakteristik tersendiri. (Display-tokonoma:
2004)
Sebagai seorang tamu yang dihormati biasanya duduk di depan atau tepat di
sebelah tokonoma, Bagaimanapun ini dikarenakan dari penataan ruang tempat duduk
untuk tamu maka bagian belakang dari badan si tamu adalah tokonoma. Si tuan rumah
bertatapan langsung memandangi tokonoma ketika sedang berbicara dengan si tamu, hal
ini mungkin dikarenakan sejak si tuan rumah telah meluangkan waktu utuk memilih
dengan seksama lukisan yang tepat untuk dipajang sesuai dengan situasi dan kondisi.
Dan bersamaan dengan itu si tamu pada umunya melihat ke daerah taman yang secara
langsung berlawanan pandang dengan tokonoma. ( Yoshino : 2004).
Tokonoma juga dapat dikelompokan lagi sesuai dengan ukuran besar dan
lebarnya menjadi:
a) Masu-doko/升常, yaitu tokonoma yang berukuran sekutar sentengah ukuran
lantai tatami.
34
b) Daime-doko/台目床, yaitu tokonoma yang berukuran daime tatami.
c) Ikken-doko/一間床, yaitu tokonoma yang berukuran maru-tatami(丸畳).
d) Nana-shaku-doko/ 七尺床, yaitu tokonoma yang lebarnya sekitar 212—227
cm (satu shaku berukuran sekitar 30.3 cm).
e) Hasshaku-doko/八尺床, yaitu tokonoma yang berukuran delapan shaku atau
setara dengan 272cm.
f) Kyuushaku-doko/九尺床, yaitu tokonoma yang berukuran sekutar sembilan
shaku atau setara dengan 302cm.
Mempertimbangkan fakta bahwa ketika tokonoma menjadi sangat terkenal di
masa Meiji (1868-1912), kebanyakan orang-orang tidak memiliki lukisan atau
semacamnya yang seharusnya terpajang bersamaan dengan benda-benda seni yang lain,
yang seharusnya berada disana.
Pada saat itu banyak pemilik rumah di Jepang telah mencapai suatu kekayaan
tertentu, namun ingin kembali seperti dahulu karena merasa rindu dengan masa itu.
Setelah masa itu sebuah ruang tamu tidak dikatakan lengkap apabila ruangan tersebut
tidak ada tokonoma, dan memiliki tokonoma merupakan suatu kebanggan tersendiri.
Sampai dengan abad ke-19, hampir tidak ada tokonoma di setiap rumah-rumah baik di
desa maupun di kota. Untuk saat ini di perumahan-perumahan kota Kyoto,
kesempurnaan sebuah keluarga (rumah), bukan hanya terletak pada adanya sebuah
lukisan di dinding ataupun benda-benda seni lainnya di tokonoma, akan tetapi penutup
yang terpisah dari gudang.
Di dalam sebuah rumah, ruang tempat duduk atau semacam ruang tamu (座敷/
和室 ) untuk tempat bersantai saat ini yang lebih diperhitungkan adalah dengan
35
terdapatnya sebuah rak (chigaidana) pagar/bingkai tokonoma (tokogamachi), dan sebuah
meja baca dengan rak susun yang semuanya itu termasuk di dalam elemn-elemen
tokonoma. (Atsusi ,1990:91)
gambar 7.
Tokonoma (Yoshino : 2004)
3.3 Contoh-Contoh Tokonoma di Kota Tokyo dan Kyoto
Pada tahun 1868 pemerintahan Tokugawa runtuh, mengiringi masuknya era
pemerintahan modern. Kaisar Meiji meninggalkan Kyoto dan menempati tempat tinggal
di Edo, yang sekarang berubah nama menjadi Tokyo (“eastern capital”/Ibu kota
wilayah timur), dan menjadi pusat dari kekuasaan negara. Pada masa transisi seperti ini,
era ini disebut sebagai masa “Restorasi Meiji” (berhubungan dengan “restorasi” kaisar
sebagai penguasa yang syah menurut hukum dari negara tersebut termasuk Shogun).
Dan pemerintahan Kaisar Meiji ini sekarang lebih dikenal dengan masa pemerintahan
Meiji (Meiji Period).
Masa pemerintahan Meiji memiliki ciri-ciri yaitu melakukan penolakan terhadap
sistim dan budaya pada masa Edo dan mulai berkembangnya sistem modernisasi
36
pemerintahan, dan pada hakekatnya bersamaan dengan berlakunya budaya barat
(westernization). (Inaba, 2000: 93-94).
Sebelum runtuhnya pemerintahan Tokugawa Shogun, perumahan bergaya
kebarat-baratan telah dipergunakan untuk para diplomat asing dan para pedagang.
Budaya kebarat-baratan seperti ini tidak hanya pada penataan perumahan tetapi juga
pada gaya makanan, gaya pakaian dan sebagainya, yang semuanya ini telah sebagian
besar membaur pada akhir abad ke-19. Meskipun demikian bangsa Jepang mulai
membangunnya pertama kali untuk mereka gunakan sendiri.
Perumahan bergaya kebarat-baratan yang dibangun seperti ini tidak terlalu
banyak dibandingkan dengan perumahan paviliun yang dibangun sebagai hiburan atau
membedakan para masyarakat pendatang (tamu). Keluarga yang tinggal di rumah yang
bergaya Jepang memasang samping rumahnya dengan serambi yang biasa ada atau
dengan membuat lorong kecil. Intisari dari rumah bergaya Jepang adalah membuat lebih
sederhana bangunan yang bergaya Shoin (Shoin Style), kemudian memisahkan ke dalam
dua bagian yaitu bagian ruang formal dan ruang keluarga.
Bagian formal sebagian besar terdiri dari seperempat ruangan kepala rumah
tangga , atau sebuah ruangan yang digunakan untuk acara santai (acara tidak resmi),
yang dilengkapi dengan zashiki/ 座敷 (ruang duduk ala Jepang), yang termasuk
didalamnya adalah sebuah ruang dekoratif (tokonoma/床の間 ) lengkap dengan rak
susunnya (staggered shelve). (Inaba kazuya:2000:96).
Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Edward S. Morse pada saat
kedatangannya ke Jepang pada tahun 1877, Morse memberikan gambaran mengenai
37
contoh-contoh tokonoma yang ada pada saat itu khususnya di kota Tokyo dan Kyoto.
Dan akan di jelaskan sebagai berikut:
1) Contoh tokonoma di kota Tokyo pada ruang tamu
Gambar 8
Tokonoma-Tokyo (Morse, 1977 : 141)
Di dalam suatu ruangan yang luas di Tokyo, tokonoma memiliki kedalaman
sekitar enam kaki (six-feet) dengan luas yang bervariasi. Vas bunga dan lukisan gantung
yang terdapat di bilik (suatu ruangan kecil yang ada di dalam suatu ruangan besar)
berukuran sangat besar. Pada ruangan lainnya di sebuah rumah seorang bangsawan,
terdapat susunan gulungan kain sutra pada tokonoma, sebagai pengganti dari terbukanya
berandah (verandah),yang telah dibatasi oleh sekat permanen untuk mengisi sebagian
sisi ruangan yang membatasi berandah tersebut.
Di dalam sekat tersebut terdapat sebuah jendela berbentuk lingkaran yang terbuat
dari bingkai bambu yang indah. Bagian luar yang terbuka dari jendela ini telah ditutupi
dengan shoji, dimana tergantung sebuah pengait dan dapat dipindahkan ketika
38
dibutuhkan. Di dalam hal ini seorang tamu, ketika duduk di depan tokonoma akan
terlindungi dari angin dan sinar matahari ketika ruangan tersebut dibuka.
Pada rumah seorang bangsawan, di sebuah tempat yang disekat ini sering
terdapat sebuah tokonoma yang memiliki rak kecil dengan sebuah papan dibawahnya
sebagai sebuah hiasan di bawah jendela. (Edward, 1977: 141)
2). Contoh penempatan tokonoma pada sebuah tempat tinggal di kota Kyoto
Gambar 9
Tokonoma-Kyoto (Morse, 1977 : 145)
Pada ruangan ini memancarkan akhir kesempurnaan dari kemurnian sebuah
ruangan. Sebuah tokobashira (pilar) terdiri dari lilitan sebatang kayu yang sangat keras
dankayu yang lain dari biasanya. Penutup dinding penyekat di sekitar chigaidana (rak
susun) memiliki bimgkai yang terbuat dari bambu berwarna coklat kehitam-hitaman,
salah satu bagian yang vertikal di sisi lain dari chigaidana terdapat potongan tiang
hitam bersegi delapan membagi permukaan tersebut secara tidak beraturan.
39
Fusuma (pintu geser) menutup rak yang terdapat pada tokonoma ini, yang mana
pintu ini telah dilapisi dengan kertas berwarna emas. Selanjutnya hikite (pegangan pada
fusuma) dibuat dari belahan bambu dan dibiarkan dipermukaan. Plester dari tokonoma
sangat mewah, hangat dengan warna kuning tuanya. Langit-langit dibuat dari dinding
segi empat yang besar yang berasal dari kayu pohonn cemara tua diperindah dengan
butiran biji padi. Ruangan ini sudah cukup modern pada zaman tersebut, dan dibangun
pada tahun 1868 (Edward, 1977: 145)
3.4 Karakteristik Wabi-Sabi Terhadap Tokonoma
Menurut Leonard koren (1994), sebagai sistem estetik yang komprenhensif,
wabi-sabi(詫び寂び) telah mempunyai jangkauan ruang lingkup yang luas antara lain;
ajaran moral, spiritual, metaphisik, ekspresi dan kualitas benda.
Menurut Suzuki (1991), ajaran ilmu estetika mengenai hidup seperti bertapa
(pertapaan) bukanlah bagian terpenting dari ilmu estetika Zen. Seni mendorong hati kita
untuk lebih hidup sederhana atau lebih membawa diri kita berlaku baik. Daya tarik seni
lebih mengacu pada prilaku atau sifat manusia. Berperilaku baik adalah bersifat teratur,
sedangkan berkesenian adalah kreatifitas. Salah satunya adalah tuntutan-tuntutan yang
tidak masuk akal, yang lainnya adalah tidak mengekang berekspresi di dalam berseni.
Zen jelas sangat berhubungan dengan seni dan bukan dengan sikap unmoral. Zen
merupakan suatu semangat jiwa yang tejadi atas gabungan dari sikap moral dan seni.
Ketika para seniman Jepang mengkreasikan sebuah benda tidak sempurna dari sudut
pandang bentuk, mereka dapat menganggap alasan berkesenian mereka masih
menjunjung sikap moral secara luas. (Suzuki. 1991:27)
40
Secara keseluruhan ruang lingkup tersebut merupakan bagian dari perwujudan
karakteristik ajaran Zen Budha(禅). Kaidah-kaidah estetis wabi-sabi memuat nilai-
nilai ajaran Zen Budha sebagai faktor internal yang secara langsung berkaitan dengan
penciptaan karya seni dan secara eksternal berfungsi sebagai penunjang dalam
mewujudkan karya seni, yang berkaitan dengan material dan teknik.
Menurut Hizamatsu Shinichi (1974), prinsip-prinsip ajaran zen telah digunakan
sebagai acuan dalam menentukan kaidah-kaidah estetis (wabi-sabi), termasuk unsur dan
prinsip seni jepang. Adapun karakteristik dari seni tersebut adalah sebagai berikut:
1. Fukinsei (不均整)
Fukinsei mempunyai pengertian ketidakteraturan atau irregular. Fukinsei
merupakan salah satu karakteristik dari ajaran zen, dalam hal ini Hizamatsu telah
menggunakan karakter tersebut sebagai prinsip utama dalam menciptakan karya seni
untuk menampilkan kesan dinamis.
Sebagai latar belakang kebudayaan zen, asimetri atau fukinsei mempunyai makna
membuang nafsu duniawi atau kehidupan bukan saja berorientasi pada kesempurnaan
tetapi juga pada ketidak sempurnaan, karena sesuatu kesempurnaan yang sempurna
adalah sesuatu yang tidak sempurna atau sebaliknya. (Sri :2002).
Makna fukinsei ini juga tampak pada rumah tradisional Jepang yang tata letak
ruangannya terbuka dan tanpa di penuhi oleh furniture serta hiasan-hiasan penunjang
lainnya. Ini jelas menggambarkan bahwa si pemilik rumah tersebut telah membuang
nafsu duniawinya dengan tidak memperindah rumah dengan hiasan-hiasan rumah
modern di dunia pada umumnya. Dengan demikian, letak kesempurnaan dari suatu
41
keindahan pada sebuah rumah bagi orang Jepang adalah keindahan alami, sederhana,
namun tetap tampak mewah.
Selanjutnya di katakan bahwa untuk mewujudkannya makna tersebut ke dalam
suatu karya seni, seniman harus berkreatif dalam melakukan pengubahan, perusakan dan
penyimpangan bentuk. Yang dikenal dengan istilah yugami dan henkei (distorsi dan
deformasi). Sehingga ada kalanya berkesan sangat wajar atau tidak wajar. (Hizamatsu;
1974)
Kendatipun pendistorsian dan pendeformasian dalam suatu bentuk yang
dilakukan oleh seorang seniman mempunyai bermacam-macam tujuan antara lain; demi
komposisi, demi keindahan, demi ekspresi, dan seterusnya. Di dalam ajaran zen Budha,
menekankan bahwa ketidak keteraturan merupakan suatu proporsi alami yang terjadi di
alam, yang senantiasa muncul ketika terjadi harmoni geometris. Keseimbangan yang
asimetris dan keteraturan yang menampilkan kesan statis serta monoton.
Di dalam prinsip seni, asimetris bisa juga diartikan tidak sama tetapi seimbang,
dan ketidak seimbangan tersebut terjadi karena adanya irama atau ritual yang dinamis;
misalnya ada pebedaan ukuran, warna, bentuk, tekstur, ruang, dan pencahayaan. Di
dalam tokonoma keseimbangan asimetri ini terjadi antara keselarasan bentuk dan
penataan cahaya yaitu keselarasaan antara ikebana, kakejiku, dupa serta ditambahi
dengan penataan cahaya yang dinamis. Yang walaupun ketiga benda tersebut bentuk dan
ukurannya berbeda namun dengan penambahan cahaya yang dinamis maka benda-benda
tersebut akan menjadi indah di dalam tokonoma.
Koji Yagi pun mengatakan bahwa unsur pencahayaan di dalam tokonoma (床の
間) juga sangatlah penting karena dapat memberikan kesan yang sangat indah dan
42
dinamis terhadap tokonoma(床の間) tersebut, maka dari itu untuk memberikan
pencahayaan yang asimetris tidak dilakukan dengan sembarangan.(lihat lampiran ).
(Koji, 1987: 70).
2. Kanso (簡素)
Kanso mempunyai pengertian sederhana yang menurut pandangan zen ibarat
warna langit yang berwarna biru dan Nilai tertinggi dari suatu kesederhanaan itu
menurut Hizamatsu adalah sesuatu yang dapat mewakili atau mencerminkan sifat dari
suatu benda secara utuh yang diekspresikan melalui garis, warna, bentuk dan unsur-
unsur lainnya. (Hizamztsu : 1993).
Kesederhanaan seperti ini juga tampak pada seni arsitektur rumah tradisional
Jepang yang simpel, sederhana tanpa dipenuhi dengan berbagai macam furnitur dan
hanya diperindah dengan hiasan-hiasan yang terdapat pada tokonoma ( 床の間 ).
Hiasan-hiasan tersebut dibuat secara sesederhana mungkin dengan penyusunan rak-rak
kayu (chigaidana) yang secara asimetris diharmonisasikan dengan sistem penataan
cahaya yang berkesinambungan dengan warna alami kayu yang juga dibuat sedimikian
rupa untuk menampilkan kesan sederhana, alami namun tetap mewah dan menimbulkan
keindahan yang dinamis.
Selanjutnya warna yang sederhana adalah warna yang tidak menyolok (warna
redup), atau monokromatik dan mempunyai nilai rendah. Contoh warna tidak menyolok
ini antara lain terdapat pada warna dasar kayu (coklat). Sedangkan bentuk yang
sederhana adalah bentuk yang tidak bervariasi dan polos.
43
3. Kokou (考古拘 ) / かれる
Kokou mempunyai pengertian ekssensi atau hakikat dari suatu banda yang
tercermin melalui karakteristiknya, untuk memperoleh kehakikiannya itu perlu
melakukan pemahaman antau pencerapan. Dalam hal ini Hizamatsu mencontohkan
bentu bulat sebagai dari bentuk geometris (segitiga, segiempat, maupun ouval). Karena
bentuk A dan B berasal dari bentuk C
A B C
Gambar 10 Essensi bentuk (Pramudjo : 2002)
Gambar A dan B berasal dari bentuk lingkaran atau bulat dan sehingga gambar C
merupakan bentuk yang paling sederhana atau essensi. (Pramudjo : 2002)
Bentuk geometris di ata merupakan bentuk-bentuk yang berasal dari alam,
seperti bentuk segitiga bagi orang Jepang merupakan pencerminan dari bentuk gunung,
sedangkan bentuk persegi panjang merupakan pencerminan dari bentuk sungai dan
bentuk lingkaran merupakan pencerminan dari bentuk matahari.
4. Shizen (自然)
44
Shizen(自然) merupakan suatu yang terjadi dengan sendirinya, secara wajar dan
apa adanya (ariga mama). Juga tanpa pamrih atau tidak diawali dengan pemikiran dan
tujuan tertentu; bukan naïf atau bukan artificial. Hizamatsu menggaris bawahi bahwa
shizen itu bersifat lazim, alami (natural) dan wajar sehingga bukan sesuatu yang di buat-
buat dengan unsur kesengajaan. Sengaja atau perbuatan tak wajar (wazatorashii/ わざと
らしい ), merupakan sesuatu perbuatan yang datang dengan sendirinya (muri suri
naruyou/ むりすりなるよう). (Pramudjo : 2002).
Seperti yang terlihat pada lukisan (kakemono) dan juga pada rangkaian ikebana
(生け花), yang terpajang di dalam tokonoma(床の間). Keduanya ini merupakan
sebuah benda seni yang dibuat secara sederhana, alami tetapi sangat ekspresif yang
dapat menunjukan suasana hati si pelukis. Lukisan serta rangkaian bunga ini selain
dilukis dan dibuat berdasarkan suasana hati si pelukis, tetapi juga dibuat berdasarkan
pada keadaan musim yang sedang berlangsung pada saat benda seni tersebut dibuat. Dan
semuanya itu dibuat dengan tetap menampilkan unsur alam dan natural.
Shizen ini juga terdapat pada tokonoma dan alat penunjangnya dalam rumah
tradisional Jepang yang dibuat secara sederhana, alami dengan memakai bahan dasar
alami seperti kayu, bebatuan, jerami, dan tumbuh-tumbuhan (bunga atau pohon bonsai)
dibiarkan alami apa adanya dan hanyalah sebuah ruangan kecil dekoratif yang terbuat
dari kayu alami dengan hanya diberi hiasan rangkaian bunga dan gantungan lukisan
pemandangan alam ataupun kaligrafi yang semuanya itu dibuat sesuai dengan keadaan
musim yang sedang berlaku, tanpa di tambahi dengan pernak-pernik hiasan rumah yang
lainnya. Prinsip shizen ini juga diterapkan pada kesederhanaan rumah Jepang yang
selalu ingin menampilkan keindahan sesuatu tanpa harus menghilangkan unsur
45
kealamiannya. (semakin alami sebuah rumah, maka semakin indahlah rumah itu bagi
orang Jepang).
Semua itu merupakan sikap mental yang alami dari seorang yang terpanggil
untuk menciptakan sesuatu, sehingga dapat menghasilkan karya seni ekspreseif, unik
dan tiada duanya. Bisa juga pengertian natural dikaitkan dengan kehidupan yakni tidak
menentang kodrat atau alam; saat ini-seperti ini dan hari ini, misalnya setiap musim
datang dan bergantian sesuai dengan waktunya (musim semi, musim panas, musim
gugur dan musim dingin).
5. Yuugen (幽玄)
Yuugen mempunyai pengertian interpertasi, kesan atau makna yang ditangkap
oleh manusia terhadap keadaan alam yang ada di luar penalarannya. Tentunya
interpertasi tersebut ditentukan oleh latar masing-masing. Misalnya: suasana gelap pada
umumnya memberikan kesan seram, mencekam, menakutkan, mistik, kekejaman,
ataupun ancaman. Yugen bagi Zen Jepang mempunyai makna untuk menumbuhkan
kosentrasi dan menciptakan suasana hening dan cerah. Seperti yang terlihat pada
pewarnaan lukisan Jepang yang monokromatik, juga pada pengaturan cahaya yang
temaram di dalam sebuah tokonoma(床の間)pada rumah tradisional Jepang akan
memberikan kesan hening, damai, tentram, lembut, sunyi dan tenang. Sehingga bila kita
berada dalam sebuah ruangan yang terdapat tokonoma (床の間)di dalamnya maka
jika kita memandang ke arah tokonoma yang diberikan efek cahaya yang redup sambil
kita menatap sebuah lukisan yang tergantung di dalamnya atau melihat sebuah rangkaian
46
bunga yang terdapat di sana maka suasana hati kita pun mempunyai kesan ikut merasa
tenang dan damai.
6. Datsuzoku (脱俗)
Pada butir keenam ini menekankan suatu kebebasan yang tidak terikat pada pola-
pola, patokan, rumus, kebiasaan, dan seterusnya. Bagi zen aneka macam rumusan atau
peraturan tersebut akan menjadikan penghalang atau aktivitas dan kreativitas. Seperti
yang di katakan oleh Sen no rikyu dalam Sri (2002): kreativitas akan muncul jika
mampu melepaskan diri dari patokan, pola dan peraturan yang ada. Sehingga kebebasan
disini bukan berarti bebas secara rasio atau sesuai dengan kehendak, tetapi kebebasan
dalam arti di bawah peraturan apapun, dan peraturan diatas peraturan merupakan suatu
kebebasan yang tidak terbatas.
Seperti pada penataan tokonoma(床の間) pada daerah Tokyo dan Kyoto
pada bab sebelumnya, di sini si pemilik rumah bebas menentukan letak dari tokonoma
tersebut sesuai dengan keinginan hati mereka tanpa dipengaruhi oleh aturan-aturan
apapun.
Hizamatsu (1974), menambahkan bahwa kebebasan ibarat para rahib atau unsui
(雲水) yang bejalan bagaikan awan dan air sungai yang mengalir terus tanpa batas.
Ungkapan tersebut berkaitan dengan kreativitas seniman di dalam mengekspresikan
pemahamannya terhadap alam sebagai kehidupan yang senantiasa bergerak kedalam.
Prinsip Datsuzoku ini juga di gunakan sebagai dasar untuk memperoleh ide-ide
kreatif ke dalam suatu karya seni seperti: seni lukis, arsitektur bangunan dan ruangan
rumah, seni merangkai bunga dan lain-lain
.
47
7. Seijaku (静寂)
Seijaku mempunyai pengertian ketenangan yang bersifat dinamis. Dalam konsep
zen (禅)ketenangan itu diekspresikan dalam keadaan yang diam tetapi mempunyai
bentuk yang bergerak. Konsep ketenangan yang mengacu pada gerak dalam diam ini
merupakan akar dari metafisika wabi-sabi(侘び寂び) , yang mepunyai makna bahwa
alam raya senantiasa bergerak menjalin kekuatan menuju ketiadaan dan setelah
ketiadaan itu hadir, akan muncul kembali sesuatu yang baru untuk berkembang dan
bergerak menuju ketiadaan kembali (circle life/ roda kehidupan). (Sri:2002)
Dan semua ini terdapat pada sebuah tokonoma yang merupakan sebuah benda
tak bergerak tetapi disana terdapat sebuah keindahan dan membuatnya seakan bergerak
kedalam bathin dan menciptakan suatu ketenangan jiwa yang menyatu dengan alam,
apabila kita melihat kearah rangkaian ikebana dan lukisan asri yang tergantung pada
tokonoma tersebut dapat membuat hati kita damai dan sejuk.
Jadi konsep ketiadaan, kesederhanaan dan keindahan menurut wabi-sabi(詫び
寂び), adalah bahwa segala sesuatu yang bersifat sederhana, miskin atau tidak sempurna
bukan berarti sesuatu itu tidak memiliki arti. Namun di kesederhanaan itu dapat
mencerminkan suatu keindahan yang tiada duanya jika kita dapat menyelaraskannya
dengan benda-benda dan sesuatu yang ada di dalam kehidupan kita. Seperti yang
terdapat pada kedua tokonoma di kota Tokyo dan Kyoto, walaupun kedua tokonoma itu
awalnya hanya merupakan sebuah ruang kosong yang dibuat sangat sederhana akan
tetapi jika kita dapat menyelaraskannya dengan benda-benda seni lainnya seperti
ikebana, kakejiku, dan dupa, juga dengan ruangan sekitar maka tokonoma tersebut akan
terlihat indah, mewah dan sempurna. Itulah yang akan menjadikan suatu ketiadaan
48
menjadi suatu keberadaan. Karena di dalam ketiadaan itu membuat kita untuk mau
berusaha mejadikan keberadaan.
Dengan membiasakan diri untuk hidup sederhana dan membuang nafsu
keduniawian kita maka di dalam kehidupan, kita akan terbiasa untuk membuang nafsu
keduniawian kita untuk lebih memikirkan hari akhir dan juga dapat mensucikan hati dan
pikiran kita. Demikian karakteristik zen Budha yang tercermin dalam tujuh prinsip seni
Jepang atau dalam kaidah estetis wabi-sabi, telah digunakan sebagai pedoman atau
panutan dalam menciptakan sebuah karya seni baik itu karya seni arsitektur maupun
karya seni lainnya yang disesuaikan dengan nilai-nilai budaya orang Jepang.
top related