bab 2 tinjauan teori sistem transportasi 2.1...
Post on 06-Feb-2018
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
13
BAB 2 TINJAUAN TEORI SISTEM TRANSPORTASI
Bab ini berisi landasan teori mengenai transportasi secara umum dan
penjelasan mengenai moda angkutan darat, khususnya kereta api. Dibahas pula
mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan moda dan
penjelasan mengenai metode-metode yang digunakan.
2.1 Sistem Transportasi dan Pendekatan Perencanaan Transportasi
Transportasi merupakan aktivitas pemindahan barang maupun
penumpang dari satu tempat ke tempat lainnya (Salim, 2004). Transportasi
merupakan kebutuhan turunan (derived demand), bukan sebagai tujuan akhir.
Pergerakan timbul karena adanya kebutuhan akan barang dan jasa yang tidak
bisa dipenuhi di tempat kita berada.
Sistem transportasi meliputi beberapa sistem yang saling berkaitan dan
saling mempengaruhi. Sistem-sistem yang membentuk sistem transportasi
antara lain sistem pergerakan, sistem jaringan, dan sistem aktivitas. Selain itu,
terdapat pula sistem kelembagaan yang berfungsi sebagai penunjang dan yang
mempengaruhi hubungan berbagai sistem tersebut. Sistem kelembagaan ini
dituangkan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan (Fadiah, 2003).
Keseluruhan komponen tersebut juga dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan
yang meliputi aspek fisik, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi dimana sistem
transportasi tersebut berada. Lingkup perwilayahan yang meliputi wilayah kota,
regional, nasional, dan internasional juga berpengaruh besar terhadap sistem
transportasi (Kusbiantoro, 1996 dalam Fadiah, 2003)
Secara singkat, sistem pergerakan (traffic flow) dapat dijelaskan sebagai
sistem yang muncul akibat dari adanya aktivitas dan didukung oleh ketersediaan
fasilitas dan infrastruktur yang berupa sistem jaringan. Menurut Kusbiantoro, dkk
(1996), sistem pergerakan terkait dengan besarnya volume pergerakan, maksud
pergerakan, asal dan tujuan, waktu pergerakan, jarak, kecepatan, frekuensi
pergerakan, dan moda yang digunakan.
Sistem kegiatan merupakan perwujudan dari ruang dan isinya, terutama
manusia dengan segala aktivitasnya yang dilakukan di suatu guna lahan (Zacky,
14
2005). Untuk memenuhi kebutuhan dan menunjang aktivitasnya tersebut,
manusia membutuhkan perjalanan dengan menggunakan sistem transportasi.
Makin tinggi kuantitas dan kualitas penduduk di suatu wilayah dengan
kegiatannya, makin tinggi pula pergerakan yang dihasilkan, baik dari segi jumlah
(volume), frekuensi, jarak, moda, maupun tingkat pemusatan temporal dan atau
spasial (Kusbiantoro dkk., 2005).
Sistem jaringan merupakan sarana dan prasarana transportasi yang
mendukung terjadinya sistem pergerakan. Sistem jaringan meliputi jaringan
infrastruktur, antara lain jalan raya, rel kereta api, terminal, stasiun, pelabuhan,
dan bandara; serta pelayanan transportasi yang meliputi pelayanan angkutan
umum, angkutan paratransit, dan berbagai moda transportasi lainnya. Semakin
tinggi kuantitas dan kualitas jaringan infrastruktur serta pelayanan transportasi,
maka makin tinggi pula kualitas dan kuantitas pergerakan yang dihasilkan
(Kusbiantoro dkk., 2005).
Sistem kelembagaan yang berkaitan dengan sistem transportasi meliputi
aspek legal (kesesuaian UU, Peraturan Pemerintah, RTRW, maupun kebijakan
insentif dan disinsentif dalam penyelenggaraan transportasi), aspek organisasi
(kesiapan organisasi pemerintah, masyarakat, maupun swasta dalam
penyelenggaraan transportasi termasuk kejelasan pembagian tugas dan
koordinasi antarorganisasi), aspek sumberdaya manusia (merupakan kesiapan
sumberdaya manusia yang terdiri dari operator, user, non-user, regulator, dan
sebagainya dalam penyelenggaraan transportasi), serta aspek keuangan.
Keterkaitan antara sistem jaringan, pergerakan, dan aktivitas dalam
sistem transportasi dapat dinyatakan dengan makin tinggi kualitas dan kuantitas
sistem kegiatan dan sistem jaringan, makin tinggi pula kuantitas dan kualitas
pergerakan yang dihasilkan. Sementara itu, bila kualitas dan kuantitas
pergerakan di suatu wilayah semakin meningkat, maka dampak lain yang
ditimbulkan terhadap sistem kegiatan dan sistem kegiatan juga akan meningkat
(Kusbiantoro dkk., 2004). Dampak baru terhadap sistem kegiatan antara lain
tumbuhnya guna lahan baru dan peningkatan nilai lahan di sepanjang jaringan
jalan baru maupun jalan lama yang mengalami peningkatan kualitas. Sedangkan
dampak baru terhadap sistem jaringan sehubungan dengan meningkatnya
sistem pergerakan adalah berkurangnya tingkat pelayanan, misalnya timbulnya
15
kemacetan dan kerusakan jalan akibat intensitas pergerakan kendaraan yang
cukup tinggi.
Gambar 2.1
Sistem Transportasi
Sumber : Kusbiantoro, 1996
Untuk mengatasi permasalahan yang mungkin timbul akibat
meningkatnya aktivitas dan pergerakan manusia maupun barang, maka
dibutuhkan suatu perencanaan sistem transportasi. Perencanaan transportasi
merupakan proses yang bertujuan mengembangkan suatu sistem yang
memungkinkan manusia dan barang bergerak atau berpindah tempat dengan
aman dan murah (Pignataro, 1973 dalam Tamin, 1997). Selain aman dan murah,
disebutkan pula bahwa transportasi harus cepat dan nyaman, terutama bila
digunakan untuk mengangkut manusia (Tamin, 1997).
Kajian perencanaan transportasi memiliki ciri dasar yang berbeda
dengan bidang kajian lain. Hal ini disebabkan karena kajian perencanaan
transportasi memiliki objek yang cukup luas dan beragam serta melibatkan aspek
yang beragam. Ciri dasar kajian perencanaan transportasi ditandai dengan
adanya multimoda, multidisiplin, multisektoral, dan multimasalah (Tamin, 1997).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu ciri dasar
perencanaan transportasi adalah adanya jaringan multimoda. Hal ini
membuktikan bahwa kajian perencanaan transportasi selalu melibatkan lebih dari
satu moda transportasi. Transportasi intermoda adalah pengangkutan barang
atau penumpang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan menggunakan lebih
dari satu moda transportasi tanpa terputus dalam hal biaya, pengurusan
16
administrasi, dokumentasi, dan adanya satu pihak yang bertanggung jawab
sebagai pengangkut. Pelayanan transportasi intermoda kadang disebut juga
pelayanan dari pintu ke pintu (door to door service) (Abbas Salim, 1993). Dalam
transportasi intermoda ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, antara lain:
1. Aspek teknis
Harus adanya hubungan tiap moda dengan fasilitas yang digunakan untuk
menangani jenis barang atau kemasa yang dibawa secara teknis.
2. Aspek dokumentasi (file)
Dalam transportasi intermoda hanya terdapat satu macam dokumen
pengangkutan yaitu yang dikeluarkan oleh pihak yang bertindak sebagai
operator (intermoda transportation operator).
3. Aspek tanggung jawab (liability)
Dalam pelaksanaan intermoda transportation hanya ada satu pihak yang
bertanggungjawab terhadap terselenggaranya transportasi.
Peningkatan kebutuhan transportasi intemoda antara lain disebabkan
oleh pendeknya jangka waktu yang dibutuhkan karena pelaku perjalanan tidak
perlu mengurus dokumen perjalanan seperti tiket dan sebagainya untuk berganti
moda, rendahnya biaya transportasi secara total, dan terkendalinya biaya,
keselamatan, serta kepastian jadwal pelaksananan angkutan dari satu moda ke
moda lainnya (keandalan moda transportasi).
2.2 Karakteristik Perangkutan Darat Di Indonesia, sistem perangkutan darat lebih sering diartikan sebagai
perangkutan yang menggunakan prasarana jalan raya. Padahal, selain
perangkutan menggunakan jalan raya, lingkup dari sistem perangkutan darat
juga mencakup perangkutan dengan menggunakan jalan rel (Dewi, 2005).
Definisi lain mengemukakan bahwa secara keseluruhan, perangkutan darat
mencakup lingkup yang lebih luas, yakni angkutan yang menggunakan
prasarana jalan raya, jalan rel (kereta api, monorel, trem), kabel (angkutan
gantung - biasanya untuk kawasan wisata di pegunungan), dan angkutan pipa
(Warpani, 1990). Angkutan yang menggunakan pipa digunakan khusus untuk
mendistribusikan barang cair, seperti BBM, air, atau gas.
17
Sementara itu, perangkutan darat di Indonesia dibagi ke dalam tiga
bagian, yakni angkutan jalan raya, angkutan jalan rel, serta angkutan sungai,
danau, dan penyeberangan (ASDP) (Salim, 1993). Masing-masing angkutan
dalam sistem perangkutan darat tersebut memiliki fungsi dan peran yang
berbeda, namun masih memiliki satu tujuan yang kurang lebih sama, yakni
menyediakan jasa transportasi sesuai kebutuhan masyarakat dan memberikan
pelayanan keselamatan, kenyamanan, serta keamanan dalam perjalanan (Salim,
1993).
Perangkutan darat merupakan sistem yang paling mendominasi dalam
angkutan perkotaan. Sistem angkutan umum perkotaan, yang merupakan bagian
dari perangkutan darat, dibagi kedalam dua subsistem dengan beberapa jenis
moda angkutan massal (Grava, 2003 dalam Nurlela, 2006), yakni subsistem
berbasis jalan raya dengan moda bus konvensional maupun bus rapid transit
(busway dan high occupancy rate) dan subsistem berbasis jalan rel dengan
moda kereta api (light rail transit (LRT), monorail, metro/heavy rail transit/subway,
dan commuter rail).
Kedua sistem transportasi darat tersebut memiliki perbedaan
karakteristik yang menunjukkan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Perbedaan karakteristik keduanya dapat dilihat pada tabel II.1 berikut.
Tabel II.1
Perbedaan Karakteristik Angkutan Jalan Raya dan Jalan Rel
No Karakteristik Moda Angkutan
Angkutan Jalan Raya Angkutan Jalan Rel
1 Kecepatan Bergantung pada volume lalu lintas dan kondisi jalan
Relatif lebih tinggi karena bebas hambatan samping
2 Pelayanan Pintu ke pintu, mobilitas tinggi
Perlu moda pengumpan (feeder), mobilitas rendah
3 Jenis lalu lintas angkutan
Beragam, mulai dari pejalan sampai truk Hanya untuk kereta api
4 Keandalan jadwal Tergantung faktor luar, fleksibel Tinggi, terikat jadwal
5 Teknologi Sedang dan menyesuaikan keadaan Tinggi
6 Keluwesan rute Fleksibel Kaku, terikat jalur 7 Ketersediaan Lebih mudah diperoleh Relatif lebih sukar diperoleh 8 Penggunaan energi Tinggi Rendah 9 Penggunaan ruang Kurang efisien Lebih efisien
18
No Karakteristik Moda Angkutan
Angkutan Jalan Raya Angkutan Jalan Rel
10 Biaya
Lebih menguntungkan untuk operasi jarak pendek dengan volume penumpang/barang yang diangkut sedikit
Ekonomis untuk jarak dekat (komuter), sedang, maupun jauh dengan volume penumpang/barang yang diangkut tinggi
11 Tingkat Polusi Tinggi Rendah
12 Pemeliharaan Biaya pemeliharaan lebih rendah
Biaya pemeliharaan lebih tinggi
13 Kapasitas Kapasitas lebih kecil Angkutan Massal
14 Perpindahan ke jalur lain Lebih mudah dan leluasa
Harus melalui konstruksi khusus (wessel) dan prosedur tertentu
15 Klasifikasi fungsi Melayani aktivitas perkotaan, pedesaan maupun antarkota
Di beberapa negara, angkutan KA dititikberatkan pada pelayanan sosial karena rute tidak ekonomis
Sumber : Dewi (2005), Judiantono dan Budiyono (2007)
2.2.1 Moda Angkutan Kereta Api
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2007
tentang Perkeretaapian dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68
Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, yang dimaksud dengan
kereta api merupakan suatu kendaraan dengan tenaga gerak, yang berjalan
sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan maupun
sedang bergerak di atas rel. Badan penyelenggara yang melaksanakan
penyelenggaraan kereta api di Indonesia saat ini adalah PT. Kereta Api
(Persero). Namun sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2007 tentang
Perkeretaapian, semua pihak, baik investor swasta maupun pemerintah daerah
dapat melaksanakan penyelenggaraan angkutan kereta api.
Sistem perkeretaapian membutuhkan sarana dan prasarana khusus
untuk pengoperasiannya. Prasarana kereta api terdiri dari jalur kereta api (rel,
termasuk wessel), stasiun kereta api beserta fasilitas sesuai dengan tingkatan
kelasnya, serta fasilitas operasi kereta api, seperti sistem persinyalan dan
fasilitas perawatan sarana KA (dipo). Sedangkan sarana kereta api terdiri dari
lokomotif, kereta, gerbong, dan peralatan khusus lainnya. Lokomotif merupakan
sarana yang memiliki tenaga penggerak sendiri dan digunakan untuk menarik
atau mendorong kereta, gerbong, maupun peralatan khusus. Kereta adalah
sarana perkeretaapian yang ditarik lokomotif atau memiliki tenaga penggerak
19
sendiri dan berfungsi untuk mengangkut orang. Sementara itu, gerbong
merupakan sarana perkeretaapian yang ditarik oleh lokomotif dan berfungsi
untuk mengangkut barang. Sedangkan peralatan khusus merupakan sarana
perkeretaapian yang ditarik oleh lokomotif dan bukan difungsikan untuk
mengangkut orang maupun barang, melainkan digunakan untuk keperluan
khusus, seperti lori, gerbong penolong, derek (crane), kereta ukur, dan kereta
pemeliharaan jalan rel.
Menurut UU No. 23 Tahun 2007, jenis-jenis kereta api terdiri atas:
a. Kereta api kecepatan normal, yakni kereta api yang memiliki kecepatan
maksimum dibawah 200 km/jam. Seluruh kereta api di Indonesia, baik
penumpang maupun barang merupakan kereta api dengan kecepatan normal
yang memiliki kecepatan maksimum rata-rata 100-120 km/jam.
b. Kereta api kecepatan tinggi, yakni kereta api yang memiliki kecepatan
maksimum diatas 200 km/jam. Kereta api ini pada umumnya memiliki
teknologi tinggi dan dimiliki oleh negara-negara maju karena investasinya
yang cukup besar. Contohnya adalah Shinkansen di Jepang dan TGV di
Perancis.
c. Kereta api monorel, yakni kereta api yang bergerak pada satu rel. Kereta api
jenis ini merupakan kereta jenis ringan yang biasa digunakan sebagai
angkutan umum massal dalam kota. Monorel juga memiliki beberapa tipe,
antara lain monorail straddle, monorel gantung, dan sebagainya.
d. Kereta api motor induksi linear, yakni kereta api yang menggunakan
penggerak motor induksi linear dengan stator pada jalan rel dan rotor pada
sarana perkeretaapian.
e. Kereta api gerak udara, yakni kereta api yang bergerak dengan
menggunakan tekanan udara.
f. Kereta api levitasi magnetik, yakni kereta api yang digerakkan dengan tenaga
magnetik sehingga pada waktu bergerak tidak ada gesekan antara sarana
perkeretaapian dengan jalan rel. Kereta yang biasa disebut dengan maglev
ini juga termasuk kereta api dengan kecepatan tinggi.
g. Trem, yakni kereta api yang bergerak diatas jalan rel yang sebidang dengan
jalan, dan biasanya digerakkan dengan tenaga listrik.
h. Kereta gantung, yakni kereta yang bergerak dengan cara menggantung pada
tali baja. Jenis transportasi ini lebih banyak digunakan di tempat-tempat
20
wisata sebagai fasilitas penunjang kepariwisataan. Menurut Warpani (1990),
kereta gantung ini diklasifikasikan sendiri kedalam sarana angkutan darat
yang menggunakan prasarana kabel.
Peran dari moda angkutan kereta api sudah seharusnya terus
ditingkatkan dalam sistem transportasi regional maupun nasional, karena moda
ini memiliki beberapa keunggulan yang kompetitif dibandingkan moda angkutan
lainnya. Keunggulan moda angkutan kereta api antara lain (Transkod, 1998
dalam Sari, 1999):
1. Mampu mengangkut muatan dalam jumlah besar (massal)
2. Hemat energi
3. Hemat lahan dan konstruksinya tidak menutup tanah sehingga
memungkinkan air untuk dapat tetap meresap ke dalam tanah
4. Berjarak jangkau pelayanan fleksibel (komuter, dekat, sedang, jauh).
5. Tidak polutif
6. Keandalan keselamatan dalam pengoperasiannya
7. Akomodatif terhadap pengembangan kapasitas angkut
8. Jaringannya mampu menembus pusat kota
9. Akomodatif terhadap perkembangan teknologi
10. Andal terhadap perubahan iklim dan keadaan alam setempat
11. Kompetitif terhadap moda lainnya dari segi efisiensinya
12. Tingkat keamanan, keselamatan, dan kenyamanan relatif lebih tinggi
Walaupun memiliki berbagai keunggulan, namun kereta api juga
memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
1. Keterikatan operasi pada sistem jalur tetap
Kereta api berjalan mengikuti jalur rel yang ada dan tidak dapat keluar jalur.
Oleh sebab itu, diperlukan sistem pengoperasian yang cukup rumit dengan
komunikasi antara masinis dengan pengatur perjalanan yang harus terus
berjalan. Apabila terdapat kesalahan pada pengaturan perjalanan, maka
bukan tidak mungkin akan terjadi kecelakaan fatal.
2. Biaya perawatan cukup tinggi
Biaya perawatan kereta api tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan
biaya perawatan moda transportasi darat lainnya. Selain perawatan sarana
21
perkeretaapian seperti lokomotif, kereta, dan gerbong, prasarana kereta api
seperti jalur rel, jembatan, terowongan, dan sistem persinyalan juga
memerlukan perawatan dengan biaya yang tidak sedikit.
3. Dalam waktu singkat tidak adaptif terhadap teknologi baru
Perubahan cepat di bidang teknologi relatif tidak mengubah teknologi di
bidang perkeretaapian karena tingginya investasi.
4. Tidak bersifat door-to-door service
Kereta api hanya dapat menaikkan dan menurunkan penumpang di stasiun
atau perhentian yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu setiap penumpang
kereta api harus menuju stasiun untuk menggunakan moda transportasi ini.
Hal tersebut tentu mengurangi kenyamanan karena cenderung mempersulit
dan tidak efisien. Untuk mengantisipasinya diperlukan suatu sistem
transportasi yang terpadu dan berfungsi sebagai feeder bagi angkutan kereta
api.
2.2.2 Kereta Api sebagai Angkutan Akses Bandara (Airport Rail Link)
Penyelenggaraan sistem transportasi rel untuk akses menuju bandara
berawal dari pembangunan bandara yang berada jauh di luar kota karena
pertimbangan keselamatan operasional penerbangan. Hal tersebut terkadang
menyebabkan waktu tempuh perjalanan penumpang pesawat justru lebih lama di
darat daripada perjalanan udara itu sendiri. Oleh sebab itu diperlukan moda
transportasi yang menghubungkan pusat kota dengan bandara dengan cepat,
aman, nyaman, dan memberikan berbagai kemudahan aksesibilitas, yakni kereta
bandara (airport rail link).
Airport Rail Link adalah kereta penumpang yang menghubungkan
antara bandara dengan pusat kota yang dilayani oleh bandara tersebut.
Biasanya stasiun kereta bandara juga menyediakan layanan perhubungan
dengan kota lainnya dalam suatu wilayah yang masih menjadi jangkauan
pelayanan bandara tersebut. Maksud dan tujuan dari pembangunan jalur kereta
bandara antara lain adalah untuk mereduksi kemacetan jalan penghubung antara
kota dengan bandara, mengurangi beban area parkir di kawasan bandara,
mendorong penggunaan sarana transportasi umum, meningkatkan aksesibilitas
dari bandara ke pusat kota maupun sebaliknya, dan sebagai pemenarik bagi
wisatawan yang berkunjung.
22
Dengan sistem transportasi seperti ini, aktivitas check in dan cek bagasi
untuk penerbangan sangat mungkin dilakukan stasiun kereta sebelum berangkat
ke bandara. Jadi, penumpang pesawat dapat melakukan cek bagasi dan check
in penerbangan di stasiun pusat kota sebelum berangkat ke bandara dengan
menggunakan layanan kereta api.
Tipe-tipe koneksi antara pusat kota dengan bandara yang menggunakan
moda transportasi kereta api antara lain (wikipedia, 2007) :
1. One seat ride via main line train
Tipe ini merupakan bentuk layanan yang menghubungkan antara bandara
dengan pusat kota dengan menggunakan kereta secara langsung (direct),
tanpa berganti kereta ataupun tanpa perhentian di antara stasiun asal dan
tujuan (ekspres). Sarana yang digunakan adalah heavy rail yang biasanya
digerakkan dengan tenaga listrik, sedangkan jalur yang digunakan
merupakan jalur utama. Di Asia, bentuk koneksi ini diterapkan pada Narita
Express di Tokyo Narita International Airport dan KLIA Express di KLIA.
2. One seat ride via local public transport
Selain kereta ekspres, beberapa kota juga menyedikan layanan transportasi
ke bandara dengan menggunakan metro atau light rail system. Tidak seperti
kereta ekspres yang digunakan pada sistem one seat ride via main line train,
pengoperasian LRT ini tidak berjalan langsung dari stasiun awal ke tujuan,
namun berhenti di beberapa stasiun dan perhentian. Di beberapa bandara,
seperti O’Hare di Chicago dan Hartfield-Jackson di Atlanta, LRT hanya
berhenti di satu terminal bandara. Untuk menuju terminal lainnya,
penumpang harus berganti moda ke alat transportasi internal bandara.
3. Rail to airport people mover
Merupakan gabungan antara one seat ride via main line train dan one seat
ride via local public transport, yaitu kereta ekspres yang langsung terhubung
ke sebuah stasiun di kawasan bandara, namun tidak ke terminal bandara.
Dari stasiun kereta di dalam kawasan bandara tersebut, penumpang beralih
ke people mover atau kereta ringan menuju terminal. Sistem yang sama
dapat juga melayani penumpang berpindah antara satu terminal ke terminal
lainnya atau dari dan ke area parkir. Beberapa bandara yang menggunakan
sistem ini antara lain Paris Orly Airport dengan Orlyval, dan JFK International
Airport-New York dengan AirTrain JFK.
23
4. Rail to bus to airport
Sistem transportasi bandara lainnya adalah rail to bus to airport. Dalam
sistem ini kereta mengantar penumpang dari pusat kota ke sebuah stasiun
yang dekat dengan batas kawasan bandara, kemudian penumpang berganti
moda dengan bus ke dalam area terminal bandara. Contoh penerapannya
berada di Oakland International Airport via AirBART dan BART, serta Los
Angeles International Airport dengan Metro Green Line atau Amtrak
California dan shuttle bus.
2.2.3 Contoh Airport Rail Link : KLIA Express dan KLIA Transit Perusahaan yang diberi kepercayaan mengelola sistem kereta bandara
di Malaysia adalah Express Rail Link Sdn Bhd., sebuah perusahaan patungan
dari tiga perusahaan swasta yang telah diberikan mandat oleh pemerintah
kerajaan Malaysia untuk membiayai, mengelola, mengendalikan, dan
mengevaluasi sistem penyelenggaraan transportasi rel yang menghubungkan
KLIA dengan Kuala Lumpur.
KLIA Ekspres mulai beroperasi secara resmi pada tanggal 14 April
2002, menghubungkan kota Kuala Lumpur dengan Kuala Lumpur International
Airport tanpa henti. Kereta ini beroperasi mulai pukul 05.00 sampai 00.00 dengan
frekuensi setiap 15 menit sekali. Waktu perjalanannya yang relatif singkat dan
cepat, hanya 28 menit, menjadikan moda transportasi ini sebagai pilihan utama
bagi para penumpang yang akan menuju atau dari KLIA. Pangsa pasar moda
transportasi ini adalah pekerja maskapai penerbangan yang bekerja di KLIA
namun berdomisili di KL, wisatawan, maupun para pelaku bisnis, baik dalam
maupun luar negeri.
KLIA Ekspres beroperasi dengan menggunakan delapan buah kereta
bertenaga listrik (Electric Multiple Unit – EMU) buatan Jerman. Kereta yang
mempu melaju sampai kecepatan 170 km per jam ini juga dilengkapi dengan
fasilitas, pengatur suhu udara (AC), toilet, ruang khusus baggage check in dan
penyimpanan bagasi. Setiap unit kereta mampu menampung hingga 156 orang
penumpang dalam satu kali perjalanan. Daya tampung dalam satu trip dapat
ditingkatkan sampai 300 penumpang pada saat peak hour. Untuk menjamin
keamanan penumpangnya, pintu keluar masuk kereta dibuka tutup secara
otomatis dan diatur dari kabin masinis.
24
Gambar 2.2 Interior dan Eksterior KLIA Express
Sumber : Kereta Tanah Melayu Berhad Fans Club (KTMBFC), 2006
Selain KLIA Ekspres, Express Rail Link Sdn Bhd juga mengoperasikan
KLIA Transit dengan rute yang sama. KLIA Transit adalah layanan moda
transportasi cepat yang didesain khusus untuk para pelaju atau komuter dan
pekerja di kawasan Bandara Internasional Kuala Lumpur. KLIA Transit resmi
beroperasi sejak bulan Juni 2002, dua bulan setelah KLIA Ekspres beroperasi.
Bila KLIA Ekspres melayani perjalanan langsung dari pusat kota Kuala Lumpur
ke KLIA tanpa henti, maka KLIA Transit melayani rute yang sama namun dengan
berhenti di beberapa stasiun dan perhentian antara lain Bandar Tasik Selatan,
Putrajaya & Cyberjaya, dan Salak Tinggi. Sistem pengoperasiannya yang
berhenti di tiap stasiun bukan menjadi sebuah kelemahan, namun itu justru
membuat KLIA Transit menjadi moda yang dapat diandalkan oleh masyarakat di
kawasan-kawasan tersebut untuk menuju ke pusat kota ataupun ke bandara
dengan mudah dan cepat. Oleh sebab itu, pangsa pasar kereta ini tidak terbatas
pada penumpang pesawat atau wisatawan saja, namun juga para komuter yang
bekerja di Kuala Lumpur atau bandara namun berdomisili di sekitar Putrajaya
maupun sebaliknya.
KLIA Transit juga terintegrasi dengan jaringan kereta dalam kota, yakni
KTM Komuter dan STAR LRT di stasiun Bandar Tasik Selatan, serta terkoneksi
dengan Putrajaya Monorail di stasiun Putrajaya’s Western Transport Terminal.
Hal tersebut juga merupakan salah satu keunggulan dari KLIA Transit karena
penumpang dapat berganti moda dengan mudah untuk menuju ke seluruh
bagian kota.
25
2.3 Pemilihan Moda dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Pemilihan moda (modal split) dapat didefinisikan sebagai pembagian
secara seimbang/proporsional jumlah seluruh pelaku perjalanan kedalam
berbagai metode perjalanan atau moda transportasi (Bruton, 1985 dalam
Sihombing, 1990). Pada dasarnya, pemilihan moda angkutan oleh pelaku
perjalanan merupakan akibat dari adanya transaksi antara kegiatan penyediaan
dan permintaan (Kanafani, 1983). Beberapa pendapat menyatakan bahwa
sampai saat ini, pemilihan moda transportasi merupakan tahap terpenting
sekaligus menjadi tahap tersulit dalam perencanaan transportasi (Dewi, 2005).
Pemilihan moda transportasi oleh masyarakat akan sangat dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain karakteristik pergerakan, karakteristik pelaku
perjalanan, dan karakteristik sistem perangkutan (Bruton, 1975 dalam Warpani,
1990). Dalam memilih moda angkutan, masyarakat akan menilai aribut
pelayanan moda yang ditawarkan namun tetap sesuai dengan kondisi sosial
ekonominya. Selain itu, dalam memutuskan suatu pilihan moda angkutan, pelaku
perjalanan juga dipengaruhi oleh dorongan yang bersifat situasional dan bersifat
pribadi. Yang dimaksud dengan dorongan bersifat situasional adalah faktor
lingkungan pada saat pelayanan transportasi diberikan serta tingkat pelayanan
moda transportasi tersebut. Sedangkan dorongan bersifat pribadi sangat
dipengaruhi oleh gaya hidup maupun status sosial masyarakat yang sulit untuk
dikuantitatifkan (Manheim, 1979).
Beberapa contoh studi mengenai pola pemilihan moda dan sensitivitas
masyarakat terhadap atribut layanan moda antara lain studi yang dilakukan oleh
Siahaan (1986) yang menyatakan bahwa untuk menarik golongan masyarakat
berpendapatan menengah-rendah agar menggunakan sarana transportasi
umum, maka perlu dilakukan peningkatan atribut pelayanan moda. Tidak sama
dengan halnya bagi pengguna kendaraan pribadi. Bagi pengguna kendaraan
pribadi, perbaikan tingkat pelayanan moda transportasi tidak terlalu
mempengaruhi perpindahan moda. Perpindahan moda dari kendaraan pribadi ke
kendaraan umum harus dilaksanakan dengan cara meningkatkan pelayanan
kendaraan umum sekaligus memberi tekanan atau “paksaan” kepada pengguna
kendaraan pribadi. Misalnya, pembangunan sistem angkutan umum massal yang
nyaman dan cepat, dibarengi dengan kebijakan kenaikan tarif parkir.
26
Pembatasan kendaraan pribadi semacam ini lebih dikenal dengan istilah travel
demand management (TDM).
Pemilihan moda transportasi di Indonesia dibedakan ke dalam dua jenis
moda pokok, yakni kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Kendaraan umum
(bermotor) dibedakan menjadi kendaraan jalan raya dan jalan rel, sedangkan
kendaraan pribadi (bermotor) terdiri dari mobil pribadi dan sepeda motor.
Masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai bepergian dengan
menggunakan kendaraan pribadi karena berbagai sebab, antara lain karena
kendaraan umum di Indonesia dianggap masih jauh dari kenyamanan,
keamanan, dan diragukan ketepatan waktunya. Selain itu, penggunaan
kendaraan pribadi juga masih dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi
dan guna memenuhi gaya hidup masyarakat masa kini.
Gambar 2.3
Pola Pemilihan Moda Transportasi di Indonesia
Sumber : Tamin, 1997
27
2.4 Tingkat Pelayanan Moda Transportasi Tingkat pelayanan (level of service) moda transportasi merupakan salah
satu faktor penting bersifat situasional yang mempengaruhi pemilihan moda oleh
pelaku perjalanan. Faktor bersifat situasional ini disebut juga faktor internal
karena dipengaruhi secara langsung oleh pemberi jasa angkutan. Lain halnya
dengan faktor lingkungan yang disebut juga dengan faktor eksternal. Faktor
eksternal atau lingkungan berada di luar kendali penyedia jasa angkutan.
Tingkat pelayanan moda yang mempengaruhi pemilihan moda
transportasi bagi pelaku perjalanan meliputi:
a. Atribut pelayanan biaya perjalanan
Atribut biaya perjalanan meliputi seluruh ongkos yang dikeluarkan oleh
pelaku perjalanan seperti biaya bahan bakar, biaya parkir, biaya tol, dan
biaya perawatan kendaraan bagi pengguna kendaraan pribadi. Sedangkan
bagi pengguna kendaraan umum, ongkos yang dikeluarkan antara lain tarif
moda angkutan, dan biaya angkutan pengumpan (feeder) dari tempat asal ke
pangkalan/terminal angkutan.
b. Atribut pelayanan waktu perjalanan
Atribut waktu perjalanan terdiri dari waktu tempuh primer (in-vehicle travel
time) dan waktu tempuh sekunder (out-of-vehicle travel time). Waktu tempuh
primer merupakan waktu yang dibutuhkan selama pelaku perjalanan berada
dalam kendaraan. Waktu tempuh primer ini sangat bergantung pada
kecepatan rata-rata kendaraan dan ada tidaknya hambatan dalam
perjalanan. Sedangkan waktu tempuh sekunder merupakan waktu yang
dibutuhkan pelaku perjalanan diluar kendaraan, misalnya waktu memarkir
kendaraan, waktu tempuh dari lokasi awal ke tempat memperoleh kendaraan
umum dan sebaliknya, serta waktu tunggu kendaraan umum.
c. Atribut pelayanan kemudahan
Atribut pelayanan ini meliputi kemudahan pelaku perjalanan dalam
mengakses terminal atau lokasi keberangkatan dan kedatangan moda serta
kemudahan dalam memperoleh pelayanan angkutan. Kemudahan
mengakses terminal/moda angkutan utama dipengaruhi oleh aksesibilitas
lokasi terminal tersebut dan ada tidaknya angkutan pengumpan. Sedangkan
kemudahan mendapatkan pelayanan angkutan umum dipengaruhi oleh
tingkat keterisian moda dan frekuensi keberangkatan.
28
d. Atribut pelayanan kenyamanan
Atribut pelayanan kenyamanan meliputi kenyamanan yang dilihat secara fisik
dan psikis. Atribut ini sulit untuk diukur karena menyangkut unsur
subjektivitas. Namun, atribut pelayanan kenyamanan dalam moda
transportasi minimal adalah ketersediaan tempat duduk. Hal ini juga
dipengaruhi oleh tingkat keterisian dan frekuensi keberangkatan.
Menurut Schumer (1974, dalam Fadiah, 2003), secara lebih rinci atribut-
atribut tingkat pelayanan pada sistem transportasi yang efisien dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Kecepatan; merupakan periode waktu yang dilalui oleh pengguna jasa
dalam melakukan perjalanan dari titik awal sejak memulai perjalanan
hingga tiba di tempat tujuan.
2. Keselamatan dan keamanan. Yang dimaksud keselamatan adalah
terhindarnya perjalanan dari kecelakaan yang disebabkan oleh faktor
internal. Sedangkan keamanan adalah terhindarnya perjalanan dari
gangguan-gangguan bersifat eksternal, baik gangguan alam maupun ulah
manusia
3. Kapasitas; merupakan kesediaan sarana dengan kapasitas yang
memadai untuk setiap permintaan yang dapat diterima.
4. Frekuensi; merupakan keteraturan kedatangan dan keberangkatan moda
transportasi dalam jangka waktu tertentu
5. Keteraturan; yang diartikan bahwa pergerakan moda transportasi terjadi
pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan jadwal dan peraturan
perjalanan.
6. Kekomprehensifan; yaitu adanya keterkaitan antarmoda (multimoda)
7. Tanggung jawab; yaitu kualitas pelayanan yang diinginkan tetapi dapat
dikondisikan dengan pertanggungjawaban yang sah atas pengusahaan
alat transportasi dan kemampuannya untuk membayar kompensasi jika
terjadi klaim dari pengguna
8. Kenyamanan dalam perjalanan; merupakan terwujudnya ketenangan dan
ketenteraman bagi penumpang selama dalam perjalanan. Kenyamanan
disini meliputi tempat duduk, sirkulasi dan pengaturan temperatur udara,
serta fasilitas perjalanan jarak jauh, seperti pelayanan konsumsi (makan
dan minum), hiburan, dan fasilitas akomodasi.
29
9. Tarif yang wajar; merupakan penetapan tarif batas atas dan batas bawah
yang wajar dan sesuai dengan tingkat pelayanan yang ditawarkan serta
dapat diterima oleh pengguna jasa.
Agar moda transportasi yang dioperasikan tidak mubazir, dalam artian
tingkat keterisian (occupancy rate) yang kecil, maka atribut pelayanan moda
transportasi yang ditawarkan harus sesuai dengan keinginan pelaku perjalanan.
Menurut Meyer dan Miller (1984), penyediaan pelayanan moda transportasi
dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pengguna dan perspektif
operator. Jika dilihat dari sisi pengguna, maka atribut pelayanannya harus sesuai
dengan kebutuhannya, misalnya cepat, nyaman, jadwal yang diandalkan dan
frekuensi keberangkatan (headway) yang cukup. Sedangkan dari sisi operator,
pelayanan moda angkutan meliputi frekuensi perjalanan, kapasitas, biaya
operasional, dan sistem penjadwalan.
2.5 Metode Analisis dalam Penelitian
Berikut akan diuraikan metode-metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini. Metode analisis yang digunakan antara lain metode analisis
deskriptif dan inferensi untuk mengetahui karakteristik responden dan
mengetahui tingkat ketersediaan responden untuk menggunakan KA Bandara.
Analisis inferensi digunakan untuk menentukan proporsi populasi calon
pengguna KA Bandara. Dalam penelitian ini jumlah populasinya tidak diketahui
secara pasti sehingga dilakukan pengambilan sampel yang jumlahnya cukup
besar. Dengan demikian distribusi sampling dalam penelitian ini mendekati
distribusi normal. Untuk mengetahui proporsi populasi, perlu diketahui terlebih
dahulu nilai interval kepercayaan dengan persamaan dari Healey (1996) berikut:
Dimana: c.i = confident interval (interval kepercayaan)
p = proporsi sampel q = 1-p
z = nilai z pada error yang ditetapkan
n = ukuran sampel
30
Untuk melakukan estimasi populasi yang mau menggunakan moda
KA Bandara maka digunakan persamaan sebagai berikut:
F = T x Npopulasi
Dimana: F = populasi yang bersedia menggunakan KA Bandara
T = populasi pengguna potensial KA Bandara
Npop = nilai proporsi populasi
Sedangkan nilai proporsi populasi dapat diketahui dengan
menggunakan persamaan:
Dimana: N = nilai proporsi populasi
z = nilai z untuik error yang ditetapkan
M = proporsi sampel yang mau menggunakan KA Bandara
n = jumlah sampel yang diambil
Dengan menggunakan persamaan-persamaan tersebut maka jumlah
populasi pengguna potensial yang bersedia menggunakan moda transportasi KA
Bandara untuk mengakses Bandara Internasional Soekarno-Hatta dapat
diketahui.
Dasar-dasar sistem transportasi dan perhitungan proporsi populasi
tersebut digunakan untuk menentukan estimasi jumlah populasi yang bersedia
berpindah moda menggunakan kereta api dalam perjalanannya menuju Bandara
Soekarno-Hatta. Hal tersebut akan dibahas pada bagian analisis di bab 4.
top related