bab 2 tinjauan pustaka 2.1 baglog jamur
Post on 05-Nov-2021
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5 Institut Teknologi Nasional
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Baglog Jamur
Budidaya jamur pada umumnya menggunakan media yang terbuat dari serbuk gergaji
sebagai substrat. Substrat ini kemudian dikemas didalam kantong plastik tahan panas yang
biasa disebut “baglog”. Pertumbuhan jamur tiram pada baglog serbuk gergaji yaitu dalam
jangka waktu penggunaan antara 40-60 hari seluruh permukaan baglog sudah rata ditumbuhi
oleh misellium berwarna putih yaitu miselium dari jamur tiram. Pada jangka waktu satu
sampai dua minggu setelah baglog dibuka biasanya akan tumbuh tunas dalam 2-3 hari akan
menjadi badan buah yang sempurna untuk dipanen. Pada waktu panen tiba badan buah telah
menunjukkan lebar tudung antara 5-10 cm sebagai ukuran optimal jamur tiram. Produksi
jamur biasanya dilakukan dengan memanen badan buah sebanyak 4-5 kali panen dengan
rerata 100 g jamur setiap panen. Adapun jarak selang waktu antara masing-masing panen
adalah 1-2 minggu (Parlindungan, A.K, 2003).
Gambar 2.1 Baglog Jamur
Baglog yang berperan sebagai media tumbuh yang mengandung nutrisi terbatas hanya
efektif bila digunakan untuk menumbuhkan jamur tiram sebanyak 6-10 kali dari pemrosesan
awal. Pada waktu masa pakainya habis, baglog kemudian diambil dan dibongkar. Dalam
fase ini baglog menjadi limbah budidaya jamur tiram yang apabila tidak ditangani dengan
baik dapat menimbulkan pencemaran udara dan tanah. Penanganan limbah baglog dapat
6
Institut Teknologi Nasional
dimulai dengan memisahkan antara plastik dan media. Plastik tersebut dapat dimusnahkan
dengan dibakar atau didaur ulang sedangkan media yang kebanyakan berupa serbuk kayu
(atau jerami) dapat kemudian diproses menjadi pupuk organik (Warisno dan Kres, 2010).
Adapun komposisi dari media tumbuh jamur yaitu sering disebut baglog adalah 86,6 %
terdiri dari serbuk gergaji, 13% dedak, dan 0,4% mengandung kapur. Pencampuran merata
perlu ditambahkan air sebanyak 70% kemudian diayak hingga merata. Komposisi campuran
media tanam jamur dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komposisi Umum Baglog Jamur Komposisi Jumlah (kg) %
Serbuk gergaji 100 86,6
Dedak 15 13
Kapur 0,5 0,4 Sumber: Chazali dan Pratiwi (2009)
Limbah baglog yang tersusun dari serbuk gergaji dan dedak akan terdekomposisi dan
menyediakan unsur seperti N, P, dan K yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh tanaman
sebagai nutrisi untuk tumbuh. Analisis kandungan unsur N, P, dan K dalam limbah baglog
tersebut dihasilkan kandungan seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kandungan N, P, dan K Limbah Baglog Jamur Unsur Kandungan (%)
Nitrogen 0,87
Fosfor 0,05
Kalium 5,7 Sumber: Kusuma (2014)
2.2 Potensi Limbah Budidaya Jamur
Budidaya jamur saat ini mulai banyak dilirik para pelaku usaha/bisnis baik yang berskala
kecil maupun yang berskala besar sebagai industri budidaya jamur. Seiring dengan semakin
banyaknya pelaku bisnis, secara tidak langsung juga menimbulkan permasalahan baru
mengenai limbah budidaya jamur, terutama limbah baglog jamur yang sudah habis masa
tanamnya.
7
Institut Teknologi Nasional
Menurut Denny Irawati (2017), media tanam limbah budidaya jamur dapat didefinisikan
sebagai media yang tersisa setelah badan buah jamur dipanen selama periode budi daya
jamur. Media tersebut akan berkurang nutrisinya setelah kurang lebih 4-6 bulan massa
pemeliharaan. Media yang sudah tidak produktif akan menjadi limbah harus diganti dengan
media yang baru. Pemanfaatan limbah baglog jamur:
1. Pemanfaatan kembali sebagai media baglog
Media tanam jamur (baglog) yang sudah habis masa tanamnya dapat dipakai kembali
untuk pembuatan baglog baru. Tetapi kekurangannya adalah hasil produksi jamur
dari baglog tersebut nantinya akan sedikit berkurang dari yang seharusnya (hanya
mencapai sekitar 80%nya) dibanding bila menggunakan serbuk gergaji baru.
Sedangkan kelebihan dari pemanfataan ini adalah dapat mengurangi pembelian
serbuk gergaji sehingga dapat menghemat proses produksi.
2. Dapat dibuat menjadi pupuk kompos
Limbah baglog jamur dapat dijadikan pupuk kompos dengan cara menambahkan
EM4 dan bahan organik lain, maka sudah dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk
tanaman. Kekurangannya yaitu hingga saat ini belum diketahui dosis penggunaan
pupuk yang tepat untuk peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman.
3. Digunakan untuk pakan ternak
Limbah baglog jamur mengandung berbagai macam nutrisi dan serat yang
dibutuhkan oleh sapi perah, beberapa penelitian telah menunjukan nilai nutrisi yang
sangat tinggi untuk hewan ternak, dan dengan pengolahan lebih lanjut untuk
meningkatkan selera makan bagi sapi, pakan dari limbah log jamur merupakan solusi
bahi masalah peternakan. Limbah baglog dibuat pakan ternak dengan cara
mencampurkannya bersama tetes tebu dan bakteri pre-biotik yang berperan positif
bagi ternak sapi.
4. Digunakan sebagai bahan bakar
Limbah baglog jamur dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dengan melalui
proses penjemuran untuk menghilangkan kadar air dan setelah kering langsung bisa
digunakan.
8
Institut Teknologi Nasional
2.3 Perekat (Binder)
Berikut beberapa jenis binder yang dapat digunakan sebagai perekat bahan bakar padat,
yaitu:
1. Tepung kanji (kanji)
Tepung kanji umumnya digunakan sebagai bahan perekat briket karena banyak
terdapat dipasaran, harganya relatif murah, dan cara membuatnya mudah yaitu cukup
mencampurkan tepung kanji dengan air lalu didihkan. Selama proses pemanasan,
tepung diaduk terus agar tidak menggumpal. Setelah beberapa menit dipanaskan
warna tepung yang putih akan berubah menjadi transparan dan terasa lengket di
tangan. Dalam penggunaannya perekat kanji menimbulkan asap yang relatif sedikit
dibandingkan bahan perekat lainnya. Penggunaan perekat kanji akan menghasilkan
briket yang nilainya rendah dalam hal kerapatan, keteguhan tekan, kadar abu dan
volatile matter tetapi akan lebih tinggi dalam hal kadar air, kadar karbon, dan nilai
kalor. Namun perekat ini juga memiliki kekurangan yaitu ketahanan terhadap air
rendah, mudah diserang jamur, bakteri dan binatang pemakan pati (Lubis, 2011).
Adapun komposisi kimia tepung kanji disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Tepung Kanji Komponen Jumlah
Serat (%) 0,5
Protein (%) 0,5-0,7
Lemak (%) 0,2
Karbohidrat (%) 85
Energi (kal/1 00 g) 307
Kalsium (mG) 20
Fosfor (mG) 7
Besi (mG) 1,58
Air (%) 15 Sumber: Amin (2013)
2. Tar batubara
Tar merupakan cairan kental berwarna hitam pekat hasil karbonisasi dan gasifikasi
batubara. Tar dapat juga diperoleh dari distilasi minyak bumi atau tumbuhan seperti
batang pohon pinus (pine tar oil). Tar merupakan cairan dan terdiri atas campuran
yang sangat komplek dari senyawa- senyawa hidrokarbon, yaitu senyawa yang
mengandung hidrogen dan karbon dan memiliki berat jenis yang lebih besar dari air.
9
Institut Teknologi Nasional
Kompleksitas senyawanya merupakan kendala yang dihadapi dalam pengolahan tar,
sehingga perlu dilakukan proses pemisahan awal agar memudahkan dalam
pemanfaatan lebih lanjut.
3. Tetes tebu (molase)
Tetes tebu adalah hasil produk samping pada proses pembuatan gula tebu. Tetes tebu
merupakan cairan kental yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula. Tetes tebu
tidak dapat dibentuk lagi menjadi sukrosa, tetapi masih mengandung gula dengan
kadar tinggi (50-60%), asam amino, dan mineral. Tingginya kandungan gula pada
tetes tebu berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan perekat pada biobriket
(Irawan dkk., 2012).
4. Tanah liat
Tanah liat dapat digunakan sebagai perekat karbon dengan cara tanah liat diayak
halus seperti tepung, lalu diberi air sampai lengket. Namun penampilan briket arang
dari segi warna yang menggunakan bahan perekat ini menjadi kurang menarik dan
membutuhkan waktu lama untuk mengeringkannya. Selain itu kekurangan
penggunaan tar ini briket menjadi agak sulit menyala ketika dibakar.
5. Getah karet
Getah karet memiliki daya lekat yang lebih kuat dibandingkan dengan kanji maupun
tanah liat. Namun, pada ongkos produksinya relatif lebih mahal dan agak sulit
mendapatkannya karena harus membeli. Penggunaan perekat getah karet pada briket
arang akan menghasilkan asap tebal berwarna hitam dan beraroma kurang sedap
ketika dibakar. Oleh karena itu getah karet ini jarang dipilih oleh produsen briket.
6. Getah pinus
Perekat getah pinus hampir mirip dengan perekat getah karet. Namun keunggulannya
terletak pada daya benturan (kekokohan) briket yang kuat meskipun dijatuhkan dari
tempat yang tinggi tetapi briket tetap utuh.
7. Perekat pabrik
Perekat pabrik adalah sejenis lem khusus yang diproduksi oleh pabrik yang
berhubungan langsung dengan industri pengolahan kayu, seperti tripleks, multipleks,
dan furnitur. Lem-lem tersebut memang mempunyai daya lekat yang sangat kuat
tetapi harganya yang relatif lebih tinggi, sehingga kurang ekonomis jika diterapkan
pada briket, kecuali untuk melayani pesanan khusus dari konsumen (Manalu, 2010).
10
Institut Teknologi Nasional
2.4 Biomassa
Biomassa merupakan bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis baik berupa
produk maupun buangan, yang kemudian bahan-bahan organik ini dimanfaatkan sebagai
sumber bahan bakar. Pada proses fotosintesis tersebut, tumbuhan menyimpan energi
matahari yang dimanfaatkan sebagai energi.
Gambar 2.2 Contoh-Contoh Biomassa
Proses fotosintesis yang terjadi pada tumbuhan adalah:
CO2 + H2O + E CX(H2O)Y + O2……………….……(2.1)
Dimana: E = Energi Cahaya
CO2 = karbondioksida
H2O = air
CX(H2O)Y = hidrokarbon
O2 = Oksigen
Proses fotosintesis tersebut dapat terjadi pada klorofil. Klorofil ialah bahan penyusun zat
hijau daun. Hidrokarbon dapat berbentuk gula tebu atau gula bit yang mempunyai rumus
C12H22O11 atau berbentuk selulosa yang mempunyai rumus (C6H10O5)x. Kandungan
hidrokarbon pada hasil proses fotosintesis inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai
bahan bakar.
11
Institut Teknologi Nasional
Menurut Pabir Basu (2013), biomassa termasuk material organik yang berasal dari makhluk
hidup, baik dari tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Setelah suatu organisme mati,
mikoorganisme menguraikan biomassa menjadi unsur penyusun dasar seperti H2O, CO2, dan
energi potensi lainnnya. Sebagai sumber energi terbarukan, biomassa terus terbentuk oleh
interaksi antara CO2, udara, air, tanah, dan sinar matahari dengan tanaman dan hewan.
Material organik yang selama jutaan tahun telah dikonversi menjadi bahan bakar fosil seperti
batubara atau minyak bumi bukan termasuk kedalam biomassa. Material biomassa memiliki
kandungan energi dalam bentuk ikatan kimia antara molekul karbon, hidrogen, dan oksigen.
Ketika terjadi dekomposisi ikatan kimia tersebut, maka akan menghasilkan energi kimia
dalam fasa gas, cair dan padat sesuai dengan perlakuan yang diberikan.
Produk gas alternatif yang dapat dihasilkan dari biomassa yaitu CH4, CO2, CO, dan H2,
sedangkan untuk produk bio-fuel berupa ethanol, methanol, bio-diesel, vegetable oil, dan
phyrolisis oil. Sedangkan untuk produk yang dihasilkan dalam bentuk padatan yaitu
torefaksi biomassa dan charcoal. Struktur utama dari penyusun biomassa adalah material
lignoselulosa yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Lignoselulosa adalah
material berserat yang membentuk dinding sel tumbuh-tumbuhan. Selain itu, komponen
seperti protein, asam lemak ester, dan material organik lainnya (terdiri dari N, P dan K)
terdapat dalam biomassa tetapi dalam jumlah yang sedikit (Amrul, 2014).
2.4.1 Pemanfaatan Biomassa
Sebelum manusia mengenal bahan bakar fosil, penggunaan biomassa sebagai sumber energi
telah terlebih dahulu diketahui dan digunakan. Contohnya adalah penggunaan kayu dan
ranting sebagai bahan bakar. Pemanfaatan tersebut dikenal dengan pemanfaatan biomassa
secara langsung. Namun, setelah ditemukannya bahan bakar fosil, penggunaan biomassa
menjadi sangat terbatas pemanfaatannya dikarenakan energi yang dihasilkan lebih kecil.
Setelah cadangan bahan bakar fosil yang semakin lama semakin menipis, pemanfaatan akan
biomassa menjadi aktif kembali dan semakin luas. Dalam pengelolaannya, biomassa dapat
dimanfaatkan dengan melalui thermo chemical coversion, physochemical conversion dan
biological conversion seperti pada Gambar 2.3.
12
Institut Teknologi Nasional
Gambar 2.3 Skema Pengolahan Biomassa Sumber: Anggiat Jupar (2013)
2.4.2 Keunggulan dan Kekurangan Biomassa
Keunggulan maupun kekurangan yang dimiliki biomassa adalah sebagai berikut:
1. Keunggulan
Adapun keunggulan yang terdapat dalam pemanfaatan biomassa adalah:
a) Dapat mengurangi adanya efek gas rumah kaca.
Penggunaan biomassa akan membuat permasalahan sampah organik yang
menghasilkan gas metana yang menyebabkan terbentuknya gas rumah kaca
dapat diminimalisir. Contohnya dari sampah organik tersebut adalah kotoran
hewan, dedaunan, tongkol jagung, dan sekam padi. Penggunaan biomassa
pula akan mengurangi penggunaan energi fosil yang menyumbang gas-gas
rumah kaca terbesar saat ini.
b) Melindungi kebersihan air dan tanah.
Pemanfaatan biomassa akan mengurangi sampah yang berbahaya bagi
lingkungan. Sampah yang tertimbun tersebut akan mengeluarkan cairan
berbahaya dan diserap oleh tanah sehingga mencemari air tanah, sedangkan
13
Institut Teknologi Nasional
air tanah ini digunakan oleh masyarakat untuk konsumsi dan kebutuhan
lainnya. Sehingga dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan bakar,
pencemaran air dan tanah dapat diminamalisir.
c) Mengurangi sampah organik.
Sama halnya seperti melindungi kebersihan air dan tanah, pemanfaatan
biomassa akan mengurangi sampah organic, karena sampah tersebut diubah
kebentuk lain dapat dimanfaatkan menjadi bahan bakar.
d) Meningkatkan pemanfaatan lahan.
Penggunaan biomassa ini akan membuat lahan yang ditempati sampah
menjadi kosong, sehingga lahan kosong dapat dimanfaatkan untuk menanam
tumbuhan penghasil biodiesel seperti kelapa sawit dan jarak pagar.
2. Kekurangan
Sedangkan, kekurangan yang dimiliki oleh biomassa dalam kaitannya sebagai
sumber energi adalah:
a) Kandungan kelembaban yang tinggi.
Dalam kandungan biomassa pula, terdapat kandungan air yang cukup tinggi.
Hal ini dapat dilihat dari reaksi yang dihasilkan pada proses fotosintesis,
dimana pada hasil reaksinya terdapat air (H2O).
b) Nilai kalor yang dikandung biomassa relatif cukup rendah, karena kandungan
C pada biomassa belum terputus, masih berupa rantai panjang dalam senyawa
hemiselulosa, selulosa maupun lignin.
c) Mempunyai densitas yang cukup rendah.
Biomassa umumnya mempunyai densitas yang cukup rendah. Sehingga
untuk menghasilkan energi yang setara dengan bahan bakar fosil, contohnya
batubara, dibutuhkan jumlah biomassa yang banyak. Selain itu,
pendistribusian yang sulit karena terdapat hambatan dalam maslah
14
Institut Teknologi Nasional
pengemasan. Contohnya adalah biomassa yang berasal dari sekam padi dan
sulit dikemas dalam bentuk briket dibandingkan dengan batu bara.
d) Pembersihan atau penguraian.
Dikarenakan biomassa juga berasal dari limbah, sulit untuk menguraikan
bahan-bahan penyusun biomassa yang dibutuhkan sebagai sumber energi
dengan bahan-bahan yang memang tidak diperlukan.
2.5 Bahan Bakar
Bahan bakar adalah suatu materi yang ketika dipanaskan pada temperatur tertentu akan
mengalami reaksi kimia dengan oksigen yang terkandung di dalam udara membentuk api
dan dapat melepaskan panas atau energi. Apabila dibakar, bahan bakar yang baik dapat
meneruskan proses pembakaran dengan sendirinya yang disertai dengan keluarnya karbon
(Ndraha, 2009). Berdasarkan formasi dan proses pembentukannya bahan bakar dapat
digolongkan menjadi beberapa macam, antara lain (Yudanto,2012):
1. Berdasarkan materi pembentuknya, bahan bakar dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu:
a) Bahan bakar berbasis bahan organik, yang terdiri dari:
Bahan bakar fosil misalnya batubara, minyak bumi, dan gas bumi.
Bahan bakar terbarukan (biofuel) misalnya biomassa, biogas, biodisel,
bioetanol yang berbasis pada minyak nabati dan hewani.
b) Bahan bakar nuklir misalnya uranium dan plutonium.
2. Berdasarkan proses pembentukannya, bahan bakar dibagi menjadi 2 yaitu:
Bahan bakar alamiah, merupakan bahan bakar yang ditemukan langsung dari
alam. Contohnya batubara antrasit, batubara bitumen, gas alam, petroleum,
kayu, sisa tumbuhan dan lain-lain.
Bahan bakar non-alamiah, merupakan bahan bakar bersifat buatan (diolah
dengan teknologi maju). Contohnya kokas, semi-kokas, bensin, minyak
tanah, dan solar.
3. Berdasarkan wujudnya, bahan bakar dibagi menjadi tiga yaitu:
15
Institut Teknologi Nasional
Bahan bakar padat, merupakan bahan bakar yang memiliki struktur yang
sangat rapat dan keras contohnya batubara, arang, dan briket.
Bahan bakar cair, merupakan bahan bakar yang berbentuk cair dan memiliki
struktur tidak rapat serta molekulnya dapat bergerak bebas contohnya bensin,
solar, dan minyak tanah.
Bahan bakar gas, merupakan bahan bakar yang struktur molekulnya
berjauhan satu sama lain dan dapat bergerak bebas contohnya LPG (Liquid
Petroleum Gas).
2.6 Bahan Bakar Padat
Bahan bakar padat termasuk kedalam bahan bakar yang bersifat keras dan strukturnya sangat
rapat. Bahan bakar padat telah digunakan sejak dahulu sebagai sumber energi dari hasil
proses pembakaran material yang menghasilkan panas. Bahan bakar padat merupakan bahan
bakar yang paling efisien, serta dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal dalam
jangka waktu yang relatif singkat, dikarenakan teknologi dan peralatan yang digunakan
relatif sederhana (Nugraha, 2013).
Bahan bakar padat contohnya antara lain:
a) Batubara
Batubara merupakan bahan bakar fosil yang dapat terbakar dan terbentuk dari
endapan batuan organik yang mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen
dan sulfur. Batubara berasal dari sisa tumbuhan mati berjuta tahun lalu dengan
komposisi utama cellulosa yang terbentuk melalui proses coalification
(pembentukan batubara) yang dibantu oleh faktor kimia, fisika dan alam yang
akan mengubah cellulosa menjadi lignite, bituminous, subbituminous dan
anthracite (AS, 2009)
Reaksi pembentukan batubara jenis lignit sebagai berikut:
5(C6 H10O5) C20 H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO….. (2.2)
Selulosa Lignit Metana Air
16
Institut Teknologi Nasional
b) Arang
Arang adalah padatan dengan pori hasil proses pembakaran bahan yang
mengandung karbon tanpa oksigen sehingga bahan hanya mengalami
karbonisasi dan tidak teroksidasi. Pori pada arang sebagian besar masih tertutup
oleh hidrogen, tar, dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari air,
abu, nitrogen, dan sulfur (Wijayanti,2009). Peningkatan mutu arang dapat
dilakukan dengan cara aktivasi menjadi arang aktif. Arang aktif dapat diperoleh
dari proses pembesaran luas permukaan arang pada temperatur tinggi dalam
selang waktu tertentu sehingga akan mengalami perubahan sifat fisika dan kimia
pada arang.
c) Briket
Briket adalah hasil proses pengempaan bahan dengan ukuran partikel kecil yang
berasal dari limbah organik, limbah pabrik, maupun limbah rumah tangga
kedalam suatu cetakan. Briket dikategorikan sebagai bahan bakar padat
alternatif atau pengganti bahan bakar minyak yang paling efisien dan
dimungkinkan untuk dikembangkan secara masal dalam waktu yang relatif
singkat dikarenakan teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana
(Widarti, 2010).
2.7 Teknologi Pembriketan
Pembriketan adalah salah satu teknologi pemadatan dimana suatu bahan/material dikenai
tekanan tertentu untuk membentuk produk yang mempunyai density lebih tinggi, sehingga
kandungan air lebih rendah, serta ukuran yang seragam dan sifat-sifat bahannya (Mutaqin,
2005). Adapula tujuan dari pembriketan adalah untuk meningkatkan kualitas bahan bakar,
mempermudah penanganan, dan dalam segi transportasi, serta mengurangi kehilangan bahan
dalam bentuk abu pada proses pengangkutan. Menurut Anggiat Jupar (2013), secara umum
teknologi pembriketan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a) Pembriketan dengan tekanan tinggi
Teknologi pembriketan ini adalah dengan memadatkan bahan biomassa dengan
tekanan tinggi pada tekanan tertentu. Pada proses pembuatannya umumnya
menggunakan teknologi screw press atau piston press.
17
Institut Teknologi Nasional
b) Pembriketan bertekanan sedang dengan bantuan alat pemanas
Teknologi pembriketan dengan cara ini adalah dengan memadatkan bahan
biomassa dengan tekanan sedang. Akan tetapi, pada proses pemadatannya bahan
biomassa tersebut dipanasi dengan alat pemanas yang berfungsi seperti lem yang
akan membantu proses pengikatan partikel-partikel bahan biomassa.
c) Pembriketan bertekanan rendah dengan bahan pengikat
Teknologi pembriketan ini adalah dengan menggunakan tekanan yang rendah.
Untuk membentuk ikatan antar partikel-partikel biomassa digunakan bahan
pengikat.
Penyempurnaan pada pembriketan dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan atau tanpa
pengikat (binder). Proses pengikatan dibutuhkan untuk membuat bahan yang akan
dibriketkan menjadi homogen selama proses penekanan. Tanpa pengikat, briket akan remuk
menjadi potongan-potongan atau serpihan saat diangkat dari cetakan. Namun, pada
prosesnya terdapat bahan yang tidak memerlukan binder atau perekat yaitu bahan yang pada
temperatur dan tekanan tinggi dapat bersifat sebagai perekat atau pengikatnya sendiri
(Mutaqin, 2005). Dengan pemakaian bahan pengikat maka tekanan yang dibutuhkan akan
jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan briket tanpa memakai bahan pengikat. Bahan
pengikat digunakan untuk menarik air dan membentuk tekstur yang padat atau mengikat dua
substrat yang akan direkatkan. Adapula bahan pengikat dapat diklasifikasikan menjadi tiga
jenis yaitu (Royhan, 2003):
a) Pengikat anorganik
Perekat anorganik, contoh perekat jenis ini adalah sodium silikat, magnesium,
dan cement. Kekurangan dari penggunaan bahan perekat ini adalah sifatnya
yang banyak meninggalkan abu sekam pada waktu pembakaran.
b) Bahan pengikat tumbuh-tumbuhan
Penggunaan bahan perekat yang dibutuhkan untuk jenis ini jauh lebih sedikit
bila dibandingkan dengan bahan perekat hydrocarbon. Kekurangan yang dapat
18
Institut Teknologi Nasional
ditimbulkan adalah arang cetak (briket) yang dihasilkan kurang tahan terhadap
kelembaban.
c) Hydrocarbon dengan berat molekul besar
Bahan perekat ini dapat sering dijumpai untuk dipergunakan sebagai bahan
perekat pembuatan arang cetak ataupun batubara cetak.
Kualitas produk briket ditinjau dari berbagai macam sifat berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (BPPK) ditampilkan
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Standar Nilai Briket Menurut SNI dan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan (BPPK)
No Sifat Arang Standar
SNI BPPK
1 Kadar air Maks 8 % 7,57%
2 Volatile matter Minimal 15 % 16,14%
3 Kadar abu Maks 8 % 5,51%
4 Karbon tetap 64-67 % 78,35%
5 Densitas - 0,4407%
6 Tekanan 60 kg/cm2 -
7 Nilai kalor Min 5000 kalori/gram 6814,11 kalori/gram Sumber: SNI dan BPPK
Standar mutu briket berbeda di setiap negaranya, hal tersebut disesuaikan dengan aturan
yang berlaku dinegara itu. Adapula standar briket di beberapa negara di dunia tertera pada
Tabel 2.5
Tabel 2.5 Standar Nilai Briket arang Dunia
No Sifat-sifat Standar mutu briket
Komersial Impor Jepang Inggris USA
1 Kadar air (%) 7-8 6-8 6-8 3-4 6
2 Kadar abu (%) 5,26 5-6 5-7 8-10 16
3 Kadar Zat
terbang (%) 15,24 15-28 15-30 16,4 19-28
4 Karbon
tetap (%) 77,36 65-75 60-80 75 60
5 Kerapatan
(gr/cm3) 0,4 0,53 1,0-1,2 0,46-0,84 1,0-1,2
6 Kekuatan
tekan (kg/cm2)
50 46 60 12,7 62
7 Nilai kalor
(kalori/gram) 6000 4700-5000 5000-6000 5870 4000-6500
Sumber: Erikson Sinurat (2011)
19
Institut Teknologi Nasional
Pengujian terhadap kualitas briket yang dihasilkan dapat dilakukan dengan analisis berikut:
1. Kadar air
Kadar air yang dikandung dalam briket dapat dinyatakan dalam dua macam:
a) Free moisture (uap air bebas)
Free moisture dapat dihilangkan dengan penguapan, misalnya dengan air drying.
Kandungan free moisture sangat penting dalam perencanaan handling dan
preparation equipment.
b) Inherent moisture (uap air terikat)
Kandungan inherent moisture dapat ditentukan dengan memanaskan briket
antara temperatur 104-110oC selama satu jam.
2. Kandungan abu (ash)
Semua briket mempunyai kandungan zat anorganik yang dapat ditentukan jumlahnya
sebagai berat yang tinggal apabila briket dibakar secara sempurna. Zat tinggal ini
disebut abu. Abu briket berasal dari clay, pasir, dan bermacam-macam zat mineral
lainnya. Briket dengan kandungan abu yang tinggi sangat tidak menguntungkan
karena akan membentuk kerak.
3. Kandungan volatile matter
Volatile matter tersusun dari gas-gas yang mudah terbakar seperti karbon monoksida
(CO), hidrogen dan metana (CH4). Tetapi terkadang terdapat gas-gas yang tidak
terbakar seperti karbon dioksida (CO2) dan H2O. Volatile matter adalah bagian dari
briket yang terbentuk bila briket tersebut dipanaskan pada kondisi tanpa udara pada
temperatur tertentu. Untuk kadar volatile matter ±40%, pada saat pembakaran akan
diperoleh nyala yang panjang dan akan menimbulkan asap yang banyak. Sedangkan
untuk kadar volatile matter yang rendah antara 15-25% lebih diminati dikarenakan
pada saat pembakaran asap yang dihasilkan sedikit (Jupar, 2013).
4. Karbon tetap (fixed carbon)
Fixed carbon merupakan karbon dalam keadaan bebas yang tidak terikat dengan
elemen lain. Kandungan fixed carbon dapat memberikan gambaran kasar atas nilai
kalor yang terkandung dalam material tersebut. Fixed carbon tidak dapat diketahui
melalui pengujian secara laboratorium, melainkan didapatkan dari hasil perhitungan
20
Institut Teknologi Nasional
jenis analisis proksimat lainnya yaitu dengan pengurangan dari kadar abu, kadar air
dan kadar zat terbang (Simorangkir,2014).
5. Nilai kalor
Nilai kalor ialah jumlah panas yang dapat dipindahkan ketika produk dari
pembakaran bahan bakar didinginkan hingga mencapai temperatur awal dari bahan
bakarnya atau udara pembakarnya. Nilai ini dapat pula menunjukan jumlah energi
kimia suatu massa atau volume bahan bakar. Nilai kalor terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Nilai kalor tinggi atau Higher Heating Value (HHV). Pada penentuan nilai HHV,
produk yang dihasilkan berupa gas CO2 dan H2O yang masih berupa fasa uap.
CxHy + O2 CO (g) + H2O (l)…………… (2.3)
b. Nilai kalor rendah atau Lower Heating Value (LHV). Pada penentuan nilai LHV,
produk yang dihasilkan berupa gas CO2 dan H2O yang masih berupa fasa gas.
CxHy + O2 CO2 (g) + H2O (g) …………… (2.4)
Alat yang digunakan untuk menentukan nilai kalor ialah kalorimeter bom. Penentuan
nilai kalor ini bertujuan untuk mendapatkan nilai kalor optimum yang terkandung
dalam briket. Nilai kalor termasuk salah satu indikator utama dari berbagai jenis
bahan bakar komersial (Sari dan Paramita, 2007)
Gambar 2.4 Kalorimeter Bom
21
Institut Teknologi Nasional
2.8 Pencetakan Briket
Pencetakan pada briket bertujuan untuk memperoleh bentuk yang seragam serta
memudahkan dalam pengemasan serta penggunaannya. Pencetakan briket akan
memperbaiki dari segi penampilan serta menambah nilai ekonomis. Terdapat berbagai
macam alat perekat yang dapat dipilih tergantung tujuan penggunaannya yang menghendaki
kekerasan atau kekuatan pengempaan tertentu. Berbagai macam bentuk briket dapat
dijumpai, dimana spesifikasinya sesuai dengan jumlah industri atau usaha yang ada dan
tergantung dari penggunaannya (Lubis, 2011).
Berikut beberapa bentuk briket:
2.9 Proses Pengolahan Biomassa
2.9.1 Proses Karbonisasi
Karbonisasi ialah metode atau teknologi dengan cara memanaskan biomassa pada
temperatur relatif tinggi dengan jumlah udara atau oksigen dibatasi sehingga hanya cukup
untuk pembakaran (Sari dan Paramita, 2007). Perubahan alamiah dari suatu batubara, briket,
arang menjadi faktor pertimbangan yang penting dalam proses karbonisasi. Hal tersebut
berhubungan dengan hasil produk samping cairan dan gas yang akan dihasilkan.
Berdasarkan akan pertimbangan tersebut, proses karbonisasi pada briket batubara dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (Mutaqin, 2005):
1. Karbonisasi dengan temperatur rendah, temperatur berkisar antara 500-750oC
2. Karbonisasi dengan temperatur menengah, temperatur berkisar antara 750- 900oC
3. Karbonisasi dengan temperatur tinggi, temperatur berkisar antara 900-1175oC
(a) (b) (c) (d)
Gambar 2.5 Bentuk-bentuk briket (a) bantalan (oval), (b) sarang
tawon (honey comb), (c) silinder (cylinder), dan (d) telur (egg)
22
Institut Teknologi Nasional
2.9.2 Proses Pirolisis
Pirolisis ialah proses dekomposisi termal dari biomassa yang menggunakan panas biasanya
pada temperatur 300-650°C, tanpa adanya oksigen. Menurut Andre Bezanson (2009) ada tiga
jenis proses pirolisis, diantaranya:
1. Slow Pyrolisis
Proses slow pyrolisis dari material biomassa akan menghasilkan produk solid char
yang digunakan sebagai solid fuel/slurry fuel. Temperatur pada proses 400oC lebih
sepanjang waktu untuk memaksimalkan pembentukan arang.
2. Rapid/Fast Pyrolisis
Proses ini pada umumya menghasilkan produk yang berupa cairan dan dapat
digunakan sebagai bio-oil/gas. Material biomassa dipanaskan pada rentang
temperatur 650-1000oC bergantung pada bio-oil/gas yang akan diproduksi.
3. Pyrolisis in a Medium
Pada proses ini biasanya menggunakan hydrogen atau air.
a. Hydrogen digunakan karena molekul hydrogen berikatan dengan
hidrokarbon kemudian dapat meningkatkan volatile (gas) produk
hidrokarbon.
b. Air digunakan untuk memecahkan biomassa menjadi bio-oil dengan kadar
oksigen yang sedikit.
2.9.3 Proses Torefaksi
Torefaksi adalah suatu teknologi yang dapat meningkatkan sifat-sifat biomassa (Van der Selt
dkk,2011). Reaksi yang terjadi pada proses torefaksi yaitu:
CnHmOp + heat ► char + CO + CO2 + H2O + condensable vapors (2.5)
Berikut perbedaan antara proses torefaksi, pirolisis dan karbonisasi:
23
Institut Teknologi Nasional
Tabel 2.6 Perbedaan proses torefaksi, pirolisis dan karbonisasi Keterangan Torefaksi Pirolisis Karbonisasi
Temperatur operasi (°C) 200-300 300-650 500-1200
Kebutuhan oksigen Tidak Tidak Sedikit
Tekanan operasi (MPa) 0,1 0,1-0,5 > 0,1
Produk yang dihasilkan Padat Cair Padat
Seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.6, perbedaan paling penting antara pirolisis,
karbonisasi dan torefaksi terletak pada permintaan produk. Misalnya permintaan utama dari
pirolisis adalah untuk memaksimalkan produk cair dan meminimalkan hasil arang.
Permintaan produk karbonisasi adalah untuk memaksimalkan karbon dan meminimalkan
kandungan hidrokarbon dari produk padat, sedangkan pada torefaksi untuk memaksimalkan
energi dan hasil produk dengan pengurangan rasio oksigen menjadi karbon (O/C) dan
hidrogen menjadi karbon (H/C).
2.10 Torefaksi (Torrefaction)
Torefaksi adalah suatu proses perlakuan panas pada biomassa dengan rentang temperatur
antara 200-300°C dan tekanan atmosfer tanpa kehadiran oksigen serta laju pemanasan
partikel yang rendah (<50 °C/min). Penggunaan metode ini diharapkan akan memperbaiki
karakteristik bahan bakar seperti peningkatan nilai kalor, menurunkan kadar air, grindability,
dan memperbaiki sifat higroskopik. Penelitian awal mengenai torefaksi dimulai pada tahun
1930-an, akan tetapi publikasi dari hasil penelitian tersebut terbatas. Nama lain dari proses
torefaksi adalah roasting, wood cooking, slow-mild pyrolysis, dan high temperature drying.
Torefaksi dapat digunakan sebagai langkah pengkondisian awal untuk metode konversi
biomassa seperti gasifikasi dan co-firing. Perlakuan panas tidak hanya mengubah struktur
serat, tetapi juga dapat mengubah keuletan dari biomassa. Selama proses torefaksi, biomassa
akan mengalami devolatisasi serta menyebabkan penurunan berat, tetapi kandungan energi
awal dari biomassa yang telah ditorefaksi tersebut tetap terjaga dalam produk padatan
sehingga densitas energi dari biomassa menjadi lebih tinggi dibanding biomassa awal.
Proses torefaksi dapat terbagi menjadi beberapa langkah, seperti pemanasan, pengeringan,
torefaksi, dan pendinginan seperti yang telah dijelaskan oleh Patrick Bergman dan Jacob
Kiel (2005). Penjelasan dari tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
24
Institut Teknologi Nasional
1. Pemanasan awal.
Pada proses awal, biomassa dipanasi sampai tahapan pengeringan tercapai. Pada
tahapan ini terjadi peningkatan temperatur dari biomassa dan pada akhir dari tahap
ini uap air dari biomassa mulai mengalami penguapan.
2. Pengeringan.
Tahapan pengeringan ini dibagi menjadi dua kondisi, yaitu:
a) Pengeringan awal atau pre-drying.
Tahap ini tercapai pada saat suhu biomassa mendekati 100° C, air yang
dikandung oleh biomassa akan mulai menguap pada temperatur konstan.
b) Pengeringan akhir atau post-drying.
Pada saat suhu biomassa mendekati 200°C, kandungan air akan terlepas akibat
perpindahan kalor pada partikel biomassa. Selama tahap ini pula terdapat
sebagian berat yang dapat hilang sehingga tahapan ini juga disebut torefaksi
ringan.
3. Torefaksi
Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses torefaksi. Proses torefaksi akan
dimulai pada saat temperatur mencapai 200°C. Temperatur torefaksi didefinisikan
sebagai temperatur konstan maksimum. Selama proses ini, sebagian besar dari berat
material akan hilang.
4. Pendinginan.
Selanjutnya, biomassa yang telah ditorefaksi akan didinginkan dari temperatur
kurang dari 200° C menuju temperatur akhir, yaitu temperature ruangan. Proses ini
harus dijalankan tanpa adanya udara, karena menghindari ledakan debu reaktif yang
tinggi yang mungkin terjadi selama proses.
25
Institut Teknologi Nasional
Gambar 2.6 Tahapan pemanasan biomassa dari temperatur ruang hingga temperatur
torefaksi yang diinginkan dan pendinginan biomassa Sumber: Patrick Bergman, dkk. (2005)
Keterangan:
th = waktu pemanasan untuk pengeringan
tdry = waktu pengeringan
th,mt = waktu pemanasan antar pengeringan hingga torrefaction
ttor = waktu reaksi pada temperatur torrefaction yang diinginkan
ttor,h = waktu pemanasan torrefaction dari 200oC hingga temperatur
yang diinginkan
ttor,c = waktu pendinginan dari temperatur yang diinginkan hingga 200oC
tc = waktu pendinginan hingga temperatur ruang
Gambar 2.6 mengilustrasikan bahwa konsumsi panas terbesar adalah ketika pemanasan awal
(pre-drying) biomassa. Tetapi konsumsi panas bergantung pada biomassa yang digunakan,
sehingga mungkin tahap pengeringan tidak terjadi untuk biomassa yang sangat kering.
Konsumsi panas terbesar ke dua adalah saat post-drying dan selanjutya torrefaction. Faktor-
faktor yang berpengaruh selama proses torefaksi berlangsung adalah sebagai berikut:
26
Institut Teknologi Nasional
1. Temperatur
Proses torefaksi berada pada rentang temperatur 200-300°C. Temperatur torefaksi
memiliki pengaruh yang besar pada proses torefaksi karena tingkat degradasi termal
biomassa bergantung pada temperatur. Meningkatnya temperatur torefaksi akan
meningkatkan laju dekomposisi pada struktur penyusun material biomassa. Hal
tersebut akan mengakibatkan terjadinya peningkatan kehilangan massa dan
karbonisasi material biomassa. Temperatur yang tinggi dapat menghasilkan jumlah
massa dan energi lebih rendah tetapi kerapatan energinya lebih tinggi. Fraksi karbon
tetap pada biomassa meningkat sedangkan kandungan hidrogen dan oksigen akan
berkurang pada saat terjadi kenaikan temperatur torefaksi. Temperatur reaksi yang
tinggi melebihi temperatur torefaksi yang seharusnya akan meningkatkan laju
dekomposisi yang mengakibatkan komponen lignoselulosa banyak dikonversikan ke
dalam bentuk gas dan cairan, sehingga produk padatan yang dihasilkan pada proses
torefaksi menjadi berkurang.
2. Waktu Tinggal
Waktu tinggal ialah parameter lain yang mempengaruhi produk yang dihasilkan dari
proses torefaksi. Waktu tinggal berkaitan dengan lamanya waktu material biomassa
bertahan didalam reaktor. Parameter ini dapat mempengaruhi proses dekomposisi
dan karbonisasi selama proses torefaksi berlangsung. Waktu tinggal bervariasi
tergantung pada temperatur torefaksi, jenis biomassa, dan produk akhir yang
diinginkan. Proses torefaksi dengan waktu tinggal yang lebih lama akan
menghasilkan massa produk padatan yang lebih rendah tetapi memiliki energi
padatan yang lebih tinggi, walaupun efek waktu tinggal tidak mempengaruhi sifat
biomassa secara signifikan (Pimchuai dkk., 2010).
3. Ukuran Partikel
Menurut Patrick Bergman dan Jacob Kiel (2005), Ukuran partikel dapat
mempengaruhi reaksi dari torefaksi, tetapi lebih rendah dibandingkan temperatur dan
waktu tinggal. Ukuran partikel mempengaruhi luas permukaan kontak perpindahan
panas antara material biomassa dan sumber panas selama berlangsungnya proses
dekomposisi termal. Semakin kecil ukuran bahan baku yang digunakan maka
permukaan perpindahan panas akan semakin luas dan dapat meningkatkan laju
27
Institut Teknologi Nasional
pemanasan ke permukaan bahan baku. Hal ini dapat berakibat pada peningkatan laju
dekomposisi pada material biomassa dan meningkatkan efisiensi torefaksi terutama
pada kebutuhan waktu tinggal yang pendek.
4. Jenis Biomassa
Jenis biomassa termasuk kedalam parameter penting lainnya yang dapat
mempengaruhi proses torefaksi. Hal ini karena kandungan hemiselulosa paling
banyak terdegradasi pada saat proses torefaksi dan berakibat pada kehilangan jumlah
massa yang lebih tinggi pada biomassa yang banyak megandung hemiselulosa.
Dalam kisaran suhu torefaksi kandungan xilan dari hemiselulosa paling reaktif
sehingga menurunkan massa lebih cepat dari komponen padat lainnya dari biomassa
(Basu, 2013).
Selama proses torefaksi berlangsung, kadar air akan terlepas dan terjadi proses devolatilisasi
terbatas. Pada proses ini massa akan berubah menjadi 70% massa awal, kandungan
energinya menjadi 90%, dan kadar air 1-2%. Sehingga secara keseluruhan dapat
meningkatkan nilai kalor per unit massa.
Gambar 2.7 Kesetimbangan massa dan energi proses torefaksi
(M: massa, E:energi)
Gambar 2.7 menggambarkan kesetimbangan massa dan energi tipikal untuk proses torefaksi.
Secara umum, 70% massa akan menjadi produk padatan, sedangkan 30% massa akan
dikonversi menjadi gas torefaksi. Sementara itu, hanya 10% kandungan energi yang terbawa
oleh gas torefaksi, sehingga terjadi densifikasi energi sebesar 1,3 basis massa. Hal ini sangat
berbeda dengan proses pirolisis konvensional yang hanya bisa mendapatkan 55-65% energi
pada produk padatannya.
28
Institut Teknologi Nasional
2.11 Hasil Penelitian yang Telah Dilakukan Terkait dengan Bahan Bakar Padat
dari Limbah Organik
Pada tahun 2005, Igne dan Dameria dari Teknik Kimia ITENAS melakukan penelitian
tentang pembuatan briket arang dari sebuk kayu sengon. Proses pengolahan serbuk kayu
sengon menjadi briket yang dilakukan melalui proses pirolisis pada temperatur 400oC dan
500oC selama 2 jam. Kesimpulan dari briket yang dihasilkan yaitu (Suryanto, 2005):
1. Briket arang dengan tekanan pengempaan yang besar memiliki waktu
penyalaan yang lebih lama.
2. Semakin tinggi temperatur pirolisis maka semakin banyak senyawa- senyawa
organik peyusun kayu yang terurai menjadi arang.
3. Kadar emisi CO dari pembakaran briket arang pada temperatur pirolisis 400oC
adalah 0,0057% dan temperatur 500oC adalah 0,0033%.
Tahun 2007, Eliana dan Sonya dari Teknik Kimia ITENAS melakukan penelitian mengenai
pembuatan briket dari sekam padi menggunakan polyethylene sebagai binder. Pada
percobaannya dilakukan proses pirolisis pada temperatur 300oC, 500oC, dan 600oC selama
3,5 jam. Polyethylene yang digunakan tidak hanya sebagai binder, namun sebagai peningkat
nilai kalor. Kondisi terbaik pirolisis yang dilakukan yaitu pada komposisi 25% polyethylene
dan 75% sekam padi serta pada temperatur 600oC dengan nilai kalor sebesar 4672 kcal/kg
(Sari dan Paramita,2007).
Pada tahun 2009, Azhar dan Heri Rustamaji Jurusan Teknik Kimia Universitas Lampung
melakukan penelitian mengenai bahan bakar padat dari bambu dengan proses torrefaction
dan densification. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara densitas briket
bambu dengan nilai kalor dan laju keterbakarannya. Proses pengolahan awal bambu
dipotong dengan ukuran 20 cm kemudian dilakukan proses torrefaction pada temperatur
200oC, 250oC dan 300oC selama 2 jam di dalam furnace. Bambu hasil torrefaction digiling
dan diayak pada ukuran 60 mesh hingga halus. Variabel percoban yang digunakan berupa
komposisi bahan baku sebanyak 1 kg; 1,2 kg dan 1,4 kg kemudian ditekan dengan dongkrak
pada tekanan 3,5-5 MPa. Briket yang dihasilkan memiliki diameter 9 cm dan tinggi 16 cm.
Briket kemudian ditentukan nilai bakarnya, dilakukan analisis proximate (komposisi
29
Institut Teknologi Nasional
kimiawi), analisis ultimate serta laju keterbakaran. Hasil penelitian menunjukan bahwa
proses torrefaction berhasil dilakukan pada temperatur 200-300oC serta memperoleh produk
arang yang memiliki sifat getas, hidrofobik dan kandungan moisture-nya menurun. Briket
bambu dengan densitas lebih besar memiliki nilai kalor lebih tinggi serta laju
keterbakarannya kecil (Azhar dkk., 2009).
Pada tahun 2012 Anton Irawan dkk, Jurusan Teknik Kimia Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa melakukan penelitian mengenai pengolahan sekam padi sebagai bahan bakar
melalui proses torrefaction. Percobaan awal, sekam padi dilakukan proses torrefaction
dalam suatu oven pada temperatur 200-250oC sebanyak 25 gram. Variasi yang digunakan
berupa temperatur oven sebesar 200oC, 225oC dan 250oC dan lama proses torrefaction yaitu
10, 20, 30, 40, 50, dan 60 menit. Sekam padi yang telah mengalami proses torrefaction
dikeringkan menggunakan sinar matahari kemudian dilakukan analisis secara proksimate
dan ultimate serta kandungan energinya. Analisa proksimate dilakukan untuk melihat
perubahan komposisi khususnya pada kandungan air dan kandungan volatile matter. Hasil
dari penelitian ini adalah proses torrefaction untuk sekam padi dapat berlangsung pada
temperatur 200-250oC. Laju penurunan massa sebanding dengan semakin lamanya proses
torrefaction dan proses torrefaction mampu menaikkan densitas energi dari sekam padi.
Kondisi terbaik didapatkan pada temperatur 250oC dan waktu proses 60 menit dengan nilai
kalor yang didapatkan 2977,7 kcal/kg (Irawan, 2012).
Pada tahun 2013, Anggiat Jupar P.T Jurusan Teknik Mesin Universitas Diponegoro
melakukan penelitian mengenai metode torrefaction pada biobriket campuran 75% kulit
mete dan 25% sekam padi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pengaruh
metode torrefaction terhadap kenaikan nilai kalor biobriket. Sebelum penelitian dilakukan,
kulit mete dan sekam padi ditimbang dengan perbandingan berat masing-masing 75% dan
25%. Kemudian bahan tersebut digiling dan direkatkan dengan lem PVA lalu dibentuk
menjadi briket dengan tinggi 25-30 mm dan diameter 25 mm. Briket di torrefaction dengan
variasi temperatur 200oC, 250oC, dan 300oC serta waktu tinggal untuk masing- masing
temperatur selama 15, 25, dan 35 menit. Hasil dari penelitian ini adalah semua variasi
berhasil menaikkan nilai kalor dari briket. Kenaikkan nilai kalor paling tinggi terjadi pada
temperatur 300oC dengan waktu tinggal 25 menit sebesar 6014,70 cal/gram dan kenaikan
yang terjadi sebesar 22,3% dari nilai kalor tanpa torrefaction sebesar 4918,36 kal/g. Selain
30
Institut Teknologi Nasional
itu juga persentase penurunan berat terbesar juga terjadi pada variasi uji tersebut sebesar
53,83% dari berat awal briket sebesar 16 gram (Jupar, 2013).
Pada tahun 2013, Ajimufti dan Annisa Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung
melakukan penelitian mengenai karakteristik produk torefaksi limbah kayu karet. Limbah
kayu karet sebesar 25 gram dengan ukuran dimensi 5x5x40 mm dimasukkan ke dalam kassa
logam. Kassa tersebut dimasukkan kedalam reaktor tubular furnace yang telah dipanaskan
hingga temperatur 100oC yang dijaga inert dengan mengalirkan nitrogen teknis sebanyak
260 mL/min kemudian temperatur dinaikkan hingga mencapai temperatur torrefaction
dengan laju pemanasan 45oC/menit. Torrefaction dilakukan dengan variasi waktu reaksi
terkoreksi (waktu ekuivalent) 30, 45, dan 60 menit dan temperatur sebesar 225oC, 250oC,
275oC, dan 300oC. Hasil dari penelitian ini adalah temperatur torrefaction memberikan
pengaruh yang lebih signifikan terhadap karakteristik pembakaran produk dibandingkan
waktu torrefaction. Semakin tinggi temperatur dan waktu torrefaction maka nilai kalor
pembakaran semakin meningkat. Akan tetapi, hal ini diikuti dengan hilang massa yang
semakin besar. Berdasarkan parameter nilai kalor, perolehan energi, hilang massa, dan nilai
kelembapan maka kondisi optimal proses torrefaction pada temperatur 275oC pada waktu
reaksi 45 menit dengan nilai kalor 5005 kcal/kg (Azhari dkk., 2013).
Tahun 2016, Raditya dan Bobie dari Teknik Kimia ITENAS melakukan penelitian mengenai
pembuatan briket dari limbah sebetan kayu pinus melalui proses torrefaction. Variasi
temperatur yang dilakukan yaitu 240°C, 270°C, dan 300°C dan rasio perbandingan
komposisi bahan baku terhadap perekat berupa tepung kanji yaitu 85%b:15%b; 90%b:10%b;
dan 95%b:5%b. Kondisi terbaik proses pembuatan briket dari limbah sebetan
kayu pinus yaitu pada temperatur torrefaction 300ᴼC dan komposisi binder sebesar 10%b
dari bahan baku dengan kadar air 2,26%, kadar abu 1,35%, volatile matter 35,68%, fixed
carbon 60,71%, nilai kalor 6507 kal/g, persentase hilang massa 81,2% dan memiliki tekstur
yang kokoh serta berwarna hitam. Nilai kalor briket dari limbah sebetan kayu pinus berkisar
antara 6107 kal/g hingga 6973 kal/g yang setara dengan batubara kelas subbituminous tipe
C (Amalia dan Kurniawan, 2016).
top related