analisis dampak pemekaran wilayah dan faktor … · dalam melaksanakan pembangunan daerah sesuai...
Post on 13-Mar-2019
260 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS DAMPAK PEMEKARAN WILAYAHDAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROPINSI JAWA BARAT(Analisis Panel Data : Kabupaten/Kota di Jawa Barat Periode 2002-2006)
OLEHFITRA MAILENDRA
H14052668
DEPARTEMEN ILMU EKONOMIFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009
RINGKASAN
FITRA MAILENDRA. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat (dibimbing oleh Tony Irawan).
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum tujuan bangsa ini diantaranya untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan. Paradigma pembangunan yang berkembang sekarang ini berfokus pada peningkatan kualitas hidup manusia. Salah satu tolok ukur yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup kualitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (daya beli).
Dengan latar belakang keadaan demografis, geografis, infrastruktur, dan kemajuan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumberdaya (manusia dan alam) yang berbeda, otonomi daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Adanya proses demokratisasi telah mendorong masyarakat untuk lebih berani mengemukakan aspirasinya. Salah satu bentuk aspirasi masyarakat adalah keinginan membentuk pemerintahan sendiri baik pada level kabupaten/kota maupun level propinsi. Di Propinsi Jawa Barat, pada tahun 2000 Banten telah menjadi propinsi tersendiri, selanjutnya terbentuk Kota Tasikmalaya dan Cimahi pada tahun 2002, Kota Banjar pada tahun 2003 serta yang terbaru adalah Kabupaten Bandung Barat pada akhir tahun 2006. Perkembangan pemekaran daerahyang terjadi, tentu berpengaruh sangat besar terhadap proses pembangunan karena daerah-daerah yang baru terbentuk dituntut untuk dapat berkontribusi dalam pelayanan publik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan visi Pemerintah Propinsi Jawa Barat yaitu “Jawa Barat Dengan Iman dan Taqwa sebagai Propinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota Negara Tahun 2010”. Ukuran keberhasilan pencapaian visi Jawa Barat adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 80 pada 2010.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis perkembangan IPM Jabar sebelum dan setelah adanya pemekaran. Selain itu juga akan dianalisis dampak pemekaran dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia Jabar sehingga didapatkan rekomendasi kebijakan guna mewujudkan visi IPM Jabar sebesar 80 pada 2010.
Pada penelitian ini, untuk melihat dampak pemekaran wilayah dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia Jawa Barat digunakan analisis deskriptif dan panel data. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat perkembangan IPM sebelum dan setelah adanya pemekaran wilayah serta untuk melihat dampak pemekaran dengan membandingkan capaian IPM daerah induk dan daerah baru. Sedangkan analisis panel data digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan manusia Jabar. Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data basis IPM Jabar
dan Jabar dalam angka 2002-2007. Periode waktu yang digunakan terbagi menjadi dua yaitu tahun 2002-2003 periode sebelum adanya pemekaran dan tahun 2004-2006 periode setelah adanya pemekaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa IPM seluruh kabupaten dan kota di Jawa Barat mengalami peningkatan. Daerah baru hasil pemekaran memiliki IPM lebih tinggi dari daerah induk. Selain daerah baru, wilayah kota memiliki nilai IPM yang relatif lebih tinggi dibanding kabupaten. Laju pertumbuhan IPM sebelum pemekaran memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan setelah pemekaran. Dari hasil pengolahan data dengan model fixed effect GLS, diketahui bahwa variabel yang secara signifikan mempengaruhi pembangunan manusia Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata 5 persen adalah tingkat kemiskinan, PDRB per kapita, dan belanja publik.
Pemekaran wilayah di Jawa Barat ternyata membuat ketimpangan antar daerah baru dan induk semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian besar potensi daerah induk berada di daerah baru yang dimekarkan. Oleh karena itu setiap usulan pemekaran daerah perlu dikaji lebih mendalam tidak hanya pada kesiapan daerah usulan baru, namun juga kesiapan kondisi daerah lama (induk) jika terjadi pemekaran.
Dari hasil penelitian, peningkatan pendapatan per kapita dan belanja publik dapat dijadikan alternatif kebijakan dalam upaya meningkatkan IPM Jawa Barat, tetapi harus disertai dengan pemerataan pendapatan yang terlihat dari nilai koefisien gini.
ANALISIS DAMPAK PEMEKARAN WILAYAHDAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROPINSI JAWA BARAT(Analisis Panel Data : Kabupaten/Kota di Jawa Barat Periode 2002-2006)
OLEH
FITRA MAILENDRAH14052668
SkripsiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMIFAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009
Judul Skripsi : Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pembangunan Manusia Di Propinsi Jawa Barat
(Analisis Panel Data : Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat
Periode 2002-2006)
Nama : Fitra Mailendra
NIM : H14052668
Menyetujui,Dosen Pembimbing,
Tony Irawan, M. App. EcNIP. 19820306 200501 1 001
Mengetahui,Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MSNIP. 19641023198903 2 002
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-
BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2009
Fitra Mailendra H14052668
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Fitra Mailendra lahir pada tanggal 21 Mei 1987 di Jakarta.
Penulis anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Muhamad Husni dan Ratu
Zahro. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah
dasar pada SDN Sirnabaya 3 Karawang, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 3
Karawang dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMA
Negeri 5 Karawang dan lulus pada tahun 2005.
Pada tahun 2005 penulis meninggalkan kampung tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan
penulis dengan harapan besar agar memperoleh ilmu dan mengembangkan pola pikir,
sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi kampung Karawang tercinta. Penulis
masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai
mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama
menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi seperti Dewan Perwakilan
Mahasiswa FEM, BP Himpro Hipotesa, Koperasi Mahasiswa IPB, dan Rohis kelas Ilmu
Ekonomi angkatan 42. Beberapa prestasi yang pernah diukir diantaranya quarter finalist
National Debate Competition FE UNPAD, 1st National Young Economist Icon
HIPOTESA 2008 dan PKM Kewirausahaan yang dibiayai DIKTI 2008-2009 dengan
judul Brownies dan Kripik Bawang Tepung Hanjeli Sebagai Produk Diversifikasi dari
Tepung Terigu Gandum.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
juga penulis curahkan kepada manusia paling mulia di muka bumi ini, Nabi Muhammad
SAW dimana berkat beliau kita dapat keluar dari masa kegelapan menuju nikmatnya
Islam. Judul skripsi ini adalah “Analisis Dampak Pemekaran Wilayah dan Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat”.
Pembangunan manusia merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan
berdampak positif terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya
yang terjadi di Propinsi Jawa Barat. Di samping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak
dukungan moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tony Irawan, M. App. Ec. sebagai dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas
ilmu, bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama proses
penulisan skripsi hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan. Syamsul Hidayat
Pasaribu, M.Si atas kritik, saran dan kesediaannya menjadi dosen penguji utama
pada ujian sidang skripsi penulis. Dr. Lukytawati Anggraeni atas kesediaannya
menjadi dosen penguji wakil komisi pendidikan departemen Ilmu Ekonomi atas
saran dalam perbaikan tata cara penulisan skripsi ini. Noer Azam Achsani Ph.D
sebagai pembimbing akademik atas saran dan masukannya selama kegiatan
perkuliahan.
2. Keluarga penulis. Ayah, Ibu, Kakak, dan Adikku tercinta yang telah memberikan
curahan kasih sayang, inspirasi hidup dan doa yang tulus selama penulis menimba
ilmu sejak bangku sekolah hingga kuliah. “Terima kasih Ayah, Ibu berkat doa dan
dukungannya, anakmu ini selalu menjadi orang yang optimis terhadap cita-
citanya”.
3. Seluruh dosen pengajar dan staf di Departemen Ilmu Ekonomi. Terima kasih atas
segala pengetahuan, bakti dan kemudahan yang diberikan selama penyelesaian
skripsi ini.
4. Staf bagian perpustakaan BPS Pusat, BPS Jawa Barat, BPS Karawang, BPS Kota
Bogor, dan pihak-pihak lain yang telah membantu dalam proses pencarian data.
5. Rekan satu bimbingan Hary Gustara Pambudi, Sundoro Ari (Acun), dan Anggi
Destria (Achil). Terima kasih atas semangat, saran, perhatian, dukungan dan
kebersamaan dalam menjalankan seluruh tugas skripsi.
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-
besarnya bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, September 2009
Fitra Mailendra
H14052668
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah........................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................... 9
1.4 Ruang Lingkup.................................................................................. 10
1.5 Manfaat Penelitian............................................................................. 10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11
2.1 Tinjauan Teoritis ............................................................................... 11
2.1.1 Konsep Pembangunan .............................................................. 11
2.1.2 Teori Pembangunan Manusia ................................................... 13
2.1.3 Konsep Pembangunan Manusia ................................................ 14
2.1.4 Pertumbuhan Ekonomi ............................................................. 16
2.1.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Manusia.................. 17
2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual........................................................ 20
2.2.1 Indeks Pembangunan Manusia ................................................. 20
2.2.2 Pendapatan Domestik Regional Bruto ...................................... 22
2.2.3 Kemiskinan .............................................................................. 24
2.2.4 Koefisien Gini .......................................................................... 26
2.2.5 Infrastruktur ............................................................................. 28
2.2.6 Belanja Publik .......................................................................... 29
2.2.7 Otonomi Daerah dan Pemekaran Daerah .................................. 31
2.3 Penelitian Terdahulu.......................................................................... 36
2.4 Kerangka Operasional ....................................................................... 40
Halaman
2.5 Hipotesis Penelitian........................................................................... 43
BAB 3 METODE PENELITIAN....................................................................... 44
3.1 Jenis dan Sumber Data ...................................................................... 44
3.2 Metode Pengolahan Data................................................................... 44
3.2.1 Metode Deskriptif .................................................................... 45
3.2.2 Analisis Panel Data .................................................................. 45
3.2.3 Uji Kesesuaian Model .............................................................. 51
3.2.4 Evaluasi Model ........................................................................ 54
3.2.5 Spesifikasi Model Penelitian .................................................... 57
3.3 Definisi Operasional.......................................................................... 57
BAB 4 GAMBARAN UMUM............................................................................ 59
4.1 Kondisi Demografi ............................................................................ 59
4.2 Perekonomian Jawa Barat.................................................................. 61
4.3 Pembangunan Manusia di Jawa Barat ................................................ 62
4.4 Pemekaran Daerah di Propinsi Jawa Barat ......................................... 66
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 67
5.1 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Sebelum dan Setelah Pemekaran di Propinsi Jawa Barat ..................................................... 67
5.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat ....................................................................... 74
5.3.1 Uji Kesesuaian Model .............................................................. 74
5.3.2 Uji Pelanggaran Asumsi ........................................................... 75
5.3.3 Evaluasi Model ........................................................................ 76
5.3.4 Intepretasi Model ..................................................................... 79
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 87
6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 87
6.2 Saran ................................................................................................. 88
Halaman
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 89
LAMPIRAN ......................................................................................................... 92
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 Indeks Rasio Gini Indonesia 1999-2008........................................................ 2
1.2 PDRB dan IPM Propinsi di Indonesia Tahun 2005........................................ 4
2.1 Keterkaitan Millenium Development Goals dengan Pembangunan Manusia .. 15
2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM .......................................... 21
2.3 Kategori Pemeringkatan IPM........................................................................ 22
3.1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi ............................................................... 56
4.1 PDRB Propinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2004-2007 (Juta Rupiah)........................................................................................ 61
5.1 Perkembangan IPM Jawa Barat Tahun 2002-2006 ........................................ 68
5.2 Perbandingan Capaian PAD setelah Dimekarkan Tahun 2004-2006 (dalam juta rupiah) ................................................................................................... 70
5.3 Perkembangan Ketimpangan Pendapatan di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002-2006..................................................................................................... 71
5.4 Penduduk 10 Tahun Keatas Yang Bekerja Menurut Kabupaten dan Lapangan Usaha ........................................................................................... 72
5.5 Rumah tangga Menurut Kabupaten/Kota dan Sumber Air Minum Bersih............... 73
5.6 Hasil Estimasi Fixed Effect dengan pembobotan (cross section weight) dan white cross section........................................................................................ 75
5.7 Hasil Cross Section Effect ............................................................................. 79
5.8 Gambaran Indikator Makro Pembangunan Jawa Barat Tahun 2002-2006...... 81
5.9 PDRB Propinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006 (Juta Rupiah) ......................................... 83
5.10 Persentase Realisasi Belanja Publik dalam APBD Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002-2006 .......................................................... 85
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1 Target Capaian Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Barat.............. 8
2.1 Alur Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dengan Pembangunan Manusia ........................................................................................................ 18
2.2 Koefisien Gini Menurut Kurva Lorenz.......................................................... 27
2.3 Bagan Kerangka Pemikiran........................................................................... 42
4.1 Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat Tahun 2005-2007 ..... 63
5.1 Hasil Uji Normalitas ..................................................................................... 78
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Estimasi Pooled Least Square .................................................................. 92
2. Hasil Estimasi Fixed Effect No Weights ............................................................. 93
3. Hasil Estimasi Random Effect............................................................................ 94
4. Hasil Uji Hausman ............................................................................................ 95
5. Hasil Estimasi Fixed Effect Cross Section Weights dan White Cross Section...... 96
6. Hasil Cross Section Effect ................................................................................. 97
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum tujuan bangsa
ini diantaranya yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai
tujuan bangsa dan pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk
menilai keberhasilan pembangunan dari suatu negara. Dalam pelaksanaan
pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah sasaran utama bagi
negara-negara sedang berkembang. Hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi
berkaitan erat dengan peningkatan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat, sehingga dengan semakin banyak barang dan jasa yang diproduksi,
maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Pertumbuhan ekonomi dapat
diukur antara lain dengan besaran yang disebut Produk Domestik Bruto (PDB)
pada tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk
daerah.
Pembangunan sebenarnya merupakan suatu proses mutidimensional yang
meliputi berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan
kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang
dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan mempunyai dimensi lebih luas
2
dari sekedar peningkatan pertumbuhan ekonomi. Manusia seharusnya merupakan
hakekat dari tujuan pembangunan. Sulit dikatakan ada pembangunan bila
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan masih substansial.
Tabel 1.1 Indeks Rasio Gini Indonesia 1999-2008
Distribusi1999 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Pendapatan
40% penduduk dengan 21,66 20,92 20,57 20,8 18,81 19,75 19,1 19,56
pendapatan terendah
40% penduduk dengan 37,77 36,89 37,1 37,13 36,4 38,1 36,11 35,67
pendapatan menengah
20% penduduk dengan 40,57 42,19 42,33 42,07 44,78 42,15 44,79 44,77
pendapatan tertinggi
Gini Indeks 0,31 0,33 0,32 0,32 0,36 0,33 0,36 0,35Sumber : BPS, 2008
Kondisi ketimpangan distribusi pendapatan pasca krisis memperlihatkan
PDB per kapita Indonesia telah mencapai US$1.924,73, namun ketimpangan
distribusi pendapatan semakin meningkat. Ada dua indikator yang menunjukkan
belum berkualitasnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama jika dilihat dari
dimensi bagaimana pembagian "kue nasional". Ketimpangan yang meningkat
diukur dengan: Pertama, ketimpangan distribusi pendapatan yang makin lebar,
sebagaimana tercermin dari rasio gini yang meningkat dari 0,31 pada tahun 1999
menjadi 0,35 pada tahun 2008. Kedua, “kue nasional” yang dinikmati oleh
kelompok 40% penduduk termiskin mengalami penurunan dari 21,66 tahun 1999
menjadi 19,56 pada tahun 2008. Ironisnya, penurunan kue nasional yang
dinikmati kelompok 40% penduduk termiskin justru diikuti oleh kenaikan “kue
nasional” yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya dari 40,57% menjadi
44,77% pada periode tahun yang sama. Singkatnya, ada indikasi kuat terjadinya
3
trickle up effect atau efek muncrat ke atas, dalam proses pembangunan di
Indonesia. Teori dampak menetes ke bawah (trickle down effect) agaknya tidak
berlaku untuk negeri kita1.
Paradigma pembangunan yang berkembang sekarang ini berfokus pada
peningkatan kualitas hidup manusia. Salah satu tolak ukur yang digunakan adalah
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup kualitas pendidikan,
kesehatan, dan ekonomi (daya beli). Melalui peningkatan pendidikan, kesehatan,
dan daya beli diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas hidup manusia. Hal ini
dikarenakan adanya heterogenitas individu, disparitas geografi serta kondisi sosial
masyarakat yang beragam sehingga menyebabkan tingkat pendapatan tidak lagi
menjadi tolak ukur utama dalam menghitung tingkat keberhasilan pembangunan.
Namun demikian, keberhasilan pembangunan manusia tidak dapat dilepaskan dari
kinerja pemerintah yang berperan dalam menciptakan regulasi bagi tercapainya
tertib sosial.
Menurut Human Development Report 2007-2008, IPM Indonesia sebesar
0,728 dan berada pada peringkat 107 dari 177 negara yang disurvei oleh UNDP.
Indeks GDP Indonesia berdasarkan Purchasing Power Parity mencapai 0,609
(US$3.843). Angka harapan hidup orang Indonesia mencapai 69,7 tahun, atau
dinyatakan dalam indeks harapan hidup mencapai 0,745. Indeks pendidikan
mencapai 0,83 dengan angka melek huruf sebesar 90,4% dan rata-rata rasio masuk
sekolah dari SD sampai SMU mencapai 68,2%.
1
Artikel Prof. Mudrajad Kuncoro dalam harian Seputar Indonesia “Sudahkah Kita Merdeka” 18 Agustus 2008.
4
Tabel 1.2 PDRB dan IPM Provinsi di Indonesia Tahun 2005
Provinsi PDRB Peringkat IPM PeringkatNangroe Aceh Darussalam 56.951.611,99 10 69,0 18
Sumatera Utara 139.618.313,54 6 72,0 8
Sumatera Barat 44.674.569,24 12 71,2 9
Riau 139.018.996,15 7 73,6 3
Jambi 22.487.011,44 21 71,0 11
Sumatera Selatan 81.531.510,00 9 70,2 13
Bengkulu 10.134.450,54 28 71,1 10
Lampung 40.906.788,93 15 68,8 19
Bangka Belitung 14.171.629,64 26 70,7 12
Kepulauan Riau 40.984.738,06 14 72,2 7
DKI Jakarta 433.860.253,00 1 76,1 1
Jawa Barat 389.244.653,84 3 69,9 14
Jawa Tengah 234.435.323,31 4 69,8 16
D. I. Yogyakarta 25.337.603,43 20 73,5 4
Jawa Timur 403.392.350,76 2 68,4 22
Banten 84.622.803,32 8 68,8 20
Bali 33.946.467,53 16 69,8 15
Nusa Tenggara Barat 25.682.674,13 19 62,4 32
Nusa Tenggara Timur 14.810.472,10 25 63,6 31
Kalimantan Barat 33.869.468,05 17 66,2 28
Kalimantan Tengah 20.983.169,93 22 73,2 5
Kalimantan Selatan 31.794.068,90 18 67,4 26
Kalimantan Timur 180.289.090,07 5 72,9 6
Sulawesi Utara 18.763.479,10 23 74,2 2
Sulawesi Tengah 17.116.580,93 24 68,5 21
Sulawesi Selatan 51.780.442,52 11 68,1 23
Sulawesi Tenggara 12.981.046,47 27 67,5 24
Gorontalo 3.480.566,61 32 67,5 25
Sulawesi Barat 4.422.946,41 31 65,7 29
Maluku 4.570.664,05 30 69,2 17
Maluku Utara 2.583.101,46 33 67,0 27
Papua Barat 7.913.776,80 29 64,8 30
Papua 43.615.319,21 13 62,1 33Sumber : BPS, 2008
Dengan rekor pembangunan manusia seperti itu, Indonesia sudah
tertinggal jauh dibanding negara-negara tetangga. Peringkat negara-negara
5
ASEAN masing-masing adalah Timor Leste (150; 0,514), Laos (133; 0,579),
Myanmar (132; 0,583), Kamboja (131; 0,598), Vietnam (105; 0,733), Philipina
(90; 0,771), Thailand (78; 0,781), yang bersama Indonesia masuk dalam kategori
medium human development, sedangkan Malaysia (63; 0,811), Brunei (30; 0,894),
dan Singapura (25; 0,922), sudah mencapai negara dengan pembangunan manusia
kategori tinggi karena mempunyai nilai HDI lebih dari 0,800.
Melihat fenomena di atas, pembangunan manusia atau peningkatan
kualitas sumber daya manusia menjadi hal yang sangat penting dalam strategi
kebijakan pembangunan nasional. Penekanan terhadap pentingnya peningkatan
sumber daya manusia dalam pembangunan menjadi suatu kebutuhan karena
kualitas manusia di suatu wilayah memiliki andil besar dalam menentukan
keberhasilan pengelolaan pembangunan wilayahnya.
1.2 Perumusan Masalah
Sejak 1998, gerakan reformasi telah mendorong demokratisasi baik pada
tingkat nasional maupun lokal. Pada masa pemerintahan B.J. Habibie, ditetapkan
peraturan tentang desentralisasi kekuasaan dari Pusat ke daerah yang ditandai oleh
berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem
otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun karena dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
6
otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15
Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.
Dengan latar belakang keadaan demografis, geografis, infrastruktur, dan
kemajuan ekonomi yang tidak sama, serta kapasitas sumberdaya (manusia dan
alam) yang berbeda, maka salah satu konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi
daerah adalah adanya perbedaan kinerja pembangunan antar daerah. Perbedaan
kinerja pembangunan antar daerah selanjutnya akan menyebabkan kesenjangan
dalam kemajuan dan tingkat kesejahteraan antar daerah.
Menurut Mardiasmo dalam Hermani (2007), otonomi daerah diharapkan
dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam melaksanakan pembangunan
daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin dapat meningkatkan partisipasi
aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi utama sehubungan
dengan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu: (1) Menciptakan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; (2) Meningkatkan kualitas pelayanan
umum dan kesejahteraan masyarakat; (3) Memberdayakan dan menciptakan ruang
bagi masyarakat untuk ikut serta dalam proses pembangunan
Implikasi dari kewenangan otonomi daerah diantaranya menuntut daerah
untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama untuk
pembangunan sarana dan prasarana publik (public service). Indikasi keberhasilan
otonomi daerah adalah terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan
7
masyarakat (social welfare), kehidupan demokrasi yang semakin maju, adanya
rasa keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi secara vertikal
antara pusat dan daerah serta hubungan horizontal antar daerah. Pandangan itu
sesungguhnya sejalan dengan arah kewenangan yang mencakup seluruh bidang
dalam rangka otonomi daerah (Gozali dalam Pambudi, 2008).
Jawa Barat merupakan salah satu propinsi penting di Indonesia karena
memiliki jumlah penduduk terbesar dibanding propinsi lain. Jumlah penduduk
Propinsi Jawa Barat hingga akhir tahun 2007 mencapai 41.483.729 jiwa, dengan
laju pertumbuhan penduduk 1,83% dan tingkat kepadatan penduduk rata-rata
1.157 jiwa/tahun. Dengan keadaan penduduk seperti itu, Propinsi Jawa Barat
memiliki potensi sumber daya manusia yang siap untuk diberdayakan.
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada Pemerintah
Propinsi Jawa Barat untuk melaksanakan pembangunan daerah secara lebih
mandiri.
Proses demokratisasi telah mendorong masyarakat untuk lebih berani
mengemukakan aspirasinya. Salah satu aspirasi masyarakat yang menjadi
perhatian serius pemerintah daerah adalah keinginan untuk membentuk
pemerintahan sendiri baik pada level kabupaten/kota maupun level propinsi. Di
Jawa Barat sejak tahun 1999 telah terbentuk 1 propinsi, yaitu Propinsi Banten
yang sebelumnya merupakan wilayah Karesidenan Banten, selanjutnya Kota
Tasikmalaya dan Kota Cimahi pada tahun 2002, Kota Banjar pada tahun 2003
serta yang terbaru adalah Kota Bandung Barat pada akhir tahun 2006. Aspirasi
pembentukan daerah otonom akan te
untuk ikut serta dalam berpemerintahan dan peningkatan pelayanan publik.
Perkembangan pemekaran daerah yang terjadi di
memiliki pengaruh sangat besar terhadap proses pembangunan
dikarenakan daerah-daerah yang baru terbentuk dituntut untuk dapat berkontribusi
dalam pelayanan publik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
daerahnya, baik dari segi ekonomi maupun kebutuhan sosial. Selain faktor
regulasi, perbedaan demografis, geografis,
tidak merata, kualitas sumber daya manusia merupakan faktor utama yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah baru tersebut.
Visi Pemerintah Propinsi Jawa Barat
2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat, yaitu “Jawa Barat
Dengan Iman dan Taqwa sebagai Propinsi Termaju di Indonesia dan Mitra
Terdepan Ibukota Negara
Jawa Barat adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Sumber : Renstra Jawa Barat 2003Gambar 1.1 Target Capaian Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Barat
target IPM
65
70
75
80
85
IPM
pembentukan daerah otonom akan terus berkembang sejalan dengan tuntutan
untuk ikut serta dalam berpemerintahan dan peningkatan pelayanan publik.
Perkembangan pemekaran daerah yang terjadi di Propinsi Jawa Barat
sangat besar terhadap proses pembangunan. Hal ini
daerah yang baru terbentuk dituntut untuk dapat berkontribusi
dalam pelayanan publik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
daerahnya, baik dari segi ekonomi maupun kebutuhan sosial. Selain faktor
regulasi, perbedaan demografis, geografis, infrastruktur serta potensi alam yang
tidak merata, kualitas sumber daya manusia merupakan faktor utama yang dapat
mempengaruhi keberhasilan pembangunan daerah baru tersebut.
Pemerintah Propinsi Jawa Barat sesuai dengan Perda Nomor 1 Tahun
g Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat, yaitu “Jawa Barat
Dengan Iman dan Taqwa sebagai Propinsi Termaju di Indonesia dan Mitra
Negara Tahun 2010”. Ukuran keberhasilan pencapaian visi
Jawa Barat adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 80 pada 2010.
Sumber : Renstra Jawa Barat 2003-2008apaian Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Barat
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2010
target IPM 70,89 72,37 73,53 74,56 75,05 76,58 77,6 80
65
70
75
80
85
target IPM
8
rus berkembang sejalan dengan tuntutan
untuk ikut serta dalam berpemerintahan dan peningkatan pelayanan publik.
Propinsi Jawa Barat
. Hal ini
daerah yang baru terbentuk dituntut untuk dapat berkontribusi
dalam pelayanan publik guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
daerahnya, baik dari segi ekonomi maupun kebutuhan sosial. Selain faktor
infrastruktur serta potensi alam yang
tidak merata, kualitas sumber daya manusia merupakan faktor utama yang dapat
sesuai dengan Perda Nomor 1 Tahun
g Pola Dasar Pembangunan Daerah Jawa Barat, yaitu “Jawa Barat
Dengan Iman dan Taqwa sebagai Propinsi Termaju di Indonesia dan Mitra
Tahun 2010”. Ukuran keberhasilan pencapaian visi
sebesar 80 pada 2010.
apaian Indeks Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Barat
9
Mengingat IPM merupakan indikator komposit yang digunakan untuk
mengukur kualitas pembangunan manusia dari aspek pendidikan, kesehatan dan
kemampuan ekonomi, maka pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan
daya beli masyarakat merupakan faktor strategis dalam mewujudkan visi Jawa
Barat. Dengan demikian, diperlukan upaya-upaya yang lebih keras, cerdas dan
terarah melalui percepatan pembangunan di bidang-bidang tersebut. Melalui Perda
Nomor 1 Tahun 2001, IPM telah dijadikan sebagai indikator keberhasilan
pembangunan Propinsi Jawa Barat.
Berdasarkan pernyataan di atas, beberapa permasalahan yang muncul
diantaranya :
1. Bagaimana kondisi Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat
sebelum dan sesudah adanya pemekaran daerah ?
2. Bagaimana pengaruh pemekaran wilayah terhadap Indeks Pembangunan
Manusia di Propinsi Jawa Barat ?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di
Propinsi Jawa Barat ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
diantaranya :
1. Menganalisis kondisi Indeks Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat
sebelum dan sesudah adanya pemekaran daerah.
10
2. Menganalisis pengaruh pemekaran wilayah terhadap Indeks Pembangunan
Manusia di Propinsi Jawa Barat.
3. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Indeks
Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat.
1.4 Ruang Lingkup
Penelitian ini hanya melihat dampak pemekaran wilayah yang terjadi di
Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2001 hingga 2006 terhadap nilai Indeks
Pembangunan Manusia, dimana Provinsi Banten telah menjadi daerah otonom
tersendiri dan Kabupaten Bandung Barat masih tergabung dalam wilayah
pemerintahan Kabupaten Bandung sehingga diabaikan dari penelitian ini.
1.5 Manfaat Penelitian
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
manfaat diantaranya :
1. Memberikan pemahaman yang mendalam tentang pemekaran daerah tingkat
Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat.
2. Memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Jawa Barat sebagai referensi
dalam pengambilan kebijakan guna mewujudkan pencapaian visi Jawa Barat
mencapai IPM 80 pada 2010.
3. Dapat dijadikan referensi pada penelitian selanjutnya tentang pemekaran
daerah atau Indeks Pembangunan Manusia di daerah lain.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Konsep Pembangunan
Pembangunan merupakan salah satu fungsi utama yang harus dijalankan
oleh pemerintah sebagai salah satu pengambil kebijakan. Dalam konsep
pembangunan, terkandung makna alokasi sumber-sumber daya, regulasi, dan
pemberdayaan masyarakat. Pembangunan sebagai metode alokasi sumber-sumber
daya berarti bahwa melalui berbagai program dan kegiatan, pembangunan
diarahkan untuk mencapai pemerataan dalam distribusi sumber-sumber daya
(resources) yang dimiliki publik, seperti sumber daya alam, sumber daya energi,
sumber dana, sumber daya manusia, dan lain lain. Dalam perspektif ini,
pembangunan semestinya memperluas akses publik untuk memperoleh sumber-
sumber daya yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat,
mempermudah akses publik untuk menikmati berbagai fasilitas pelayanan dasar
(pendidikan, kesehatan, infrastruktur, air bersih, listrik, dan lain sebagainya.),
serta menjamin ketersediaan dan kontinuitas sumber-sumber daya tersebut bagi
kelangsungan hidup masyarakat (Suganda et al, 2008).
Pembangunan terkait dengan fungsi regulasi, mengandung makna bahwa
pemerintah, baik pusat maupun daerah, semestinya mendasarkan penyelenggaraan
program-program pembangunan pada dokumen perencanaan yang memuat arah
kebijakan, strategi, program, dan kebijakan yang sesuai dengan kondisi dan
12
kebutuhan daerah. Setiap daerah memiliki kondisi dan kebutuhan yang beragam,
sehingga model pembangunan yang diterapkan akan berbeda pula dalam hal skala
prioritas. Meskipun demikian, perencanaan pembangunan secara makro di tingkat
nasional dan regional (propinsi) tetap diperlukan untuk menjamin keserasian dan
sinergitas pembangunan sektoral dan kewilayahan yang berlangsung di
kabupaten/kota wilayah cakupannya. Propinsi sebagai kepanjangan tangan
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk berperan sebagai fasilitator dan
koordinator dalam penyelenggaraan pembangunan daerah yang bersifat lintas
kabupaten/kota.
Pembangunan juga berkaitan erat dengan pemberdayaan masyarakat
karena pada hakikatnya pembangunan merupakan upaya untuk memberikan
kebebasan pada masyarakat dalam menentukan nasibnya. Kemampuan dan
kemandirian ini tidak akan terwujud bila tidak ada pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya meningkatkan kapasitas masyarakat
agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang mereka hadapi, mampu mencari
alternatif solusinya, mampu mempertimbangkan dampak-dampak yang mungkin
timbul dari alternatif solusi tersebut, serta mampu memilih alternatif solusi yang
paling tepat. Kemampuan ini hanya akan tercapai bila ada peningkatan kualitas
sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.
Pendidikan akan memperluas wawasan pemikiran dan keterampilan masyarakat,
sementara kesehatan akan menjadi faktor penunjang untuk meningkatkan
produktivitas masyarakat.
13
Sjafrizal (2008)2 menerangkan ketimpangan pembangunan ekonomi
regional merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu
daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan
kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat
pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah
dalam mendorong proses pembangunan ekonomi juga menjadi berbeda. Oleh
sebab itulah, tidak mengherankan jika pada setiap negara atau daerah biasanya
terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang.
Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan
pembangunan antar wilayah juga mempunyai implikasi terhadap formulasi
kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Menurut Sjafrizal (2008) upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah
yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan
antar daerah dalam suatu negara atau wilayah yaitu : (1) penyebaran
pembangunan prasarana perhubungan, (2) mendorong transmigrasi dan migrasi
spontan, (3) pengembangan pusat pertumbuhan, dan (4) pelaksanaan otonomi
daerah
2.1.2 Teori Pembangunan Manusia
Menurut Schultz dalam Jhingan (2003), ada lima cara pengembangan
sumber daya manusia, yaitu : (1) fasilitas dan pelayanan kesehatan, pada
2 http://books.google.co.id/ “Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi”
14
umumnya diartikan mencakup semua pengeluaran yang mempengaruhi harapan
hidup, kekuatan dan stamina, tenaga serta vitalitas rakyat; (2) latihan jabatan,
termasuk magang model lama yang diorganisasikan oleh perusahaan; (3)
pendidikan yang diorganisasikan secara formal pada tingkat dasar, menengah dan
tinggi; (4) program studi bagi orang dewasa yang tidak diorganisasikan oleh
perusahaan, termasuk program ekstensi khususnya pada pertanian; (5) migrasi
perorangan dan keluarga untuk menyesuaikan diri dengan kesempatan kerja yang
selalu berubah. Daftar ini dapat ditambah dengan mamasukkan bantuan teknis,
keahlian dan konsultan.
Modal fisik menjadi lebih produktif jika negara atau daerah mempunyai
modal manusia yang berkualitas. Rens dalam Jhingan (2003) mengatakan bahwa
di negara yang mencoba mempercepat pembangunan ekonominya, ditemukan
bahwa sekalipun pabrik-pabrik modern dirancang oleh insinyur kelas satu dengan
menggunakan metode dan mesin mutakhir dari negara industri yang paling maju,
namun volume dan kualitas outputnya terlalu sering tidak memuaskan, karena
dalam banyak hal, manajemen dan pekerja tidak cukup terlatih dan kurang
pengalaman. Hal tersebut semakin memperjelas pentingnya sumber daya manusia
yang berkualitas disamping modal dalam mencapai tujuan pembangunan.
2.1.3 Konsep Pembangunan Manusia
Beberapa kalimat pembuka dari Human Development Report (HDR)
pertama yang dipublikasikan oleh United Nations Development Programmes
(UNDP) pada tahun 1990 secara jelas menekankan pesan utama yang dikandung
15
oleh setiap laporan pembangunan manusia baik di tingkat global, nasional
maupun tingkat daerah, yaitu pembangunan manusia yang terpusat pada manusia,
yang menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan nasional dan
bukan sebagai alat dari pembangunan.
"People are the real wealth of a nation. The basic objective of development is to create an enabling environment for people to enjoy long, healthy, and creative lives. This may appear to be a simple truth. But it is often forgotten in the immediate concern with the accumulation of commodities and financial wealth."
Berbeda dengan konsep pembangunan yang memberikan perhatian utama
pada pertumbuhan ekonomi dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi pada
akhirnya akan menguntungkan manusia. Pembangunan manusia memperkenalkan
konsep yang lebih luas dan lebih komprehensif yang mencakup semua pilihan
yang dimiliki manusia di semua golongan masyarakat pada semua tahap
pembangunan (UNDP, 2004).
Tabel 2.1 Keterkaitan Millenium Development Goals dengan Pembangunan Manusia
Indikator Pembangunan Manusia Millenium Development GoalsHidup yang sehat dan usia yang Tujuan 4,5,6 : menurunkan angka kematian Panjang anak, meningkatkan kesehatan ibu, dan
menangani penyakit utamaPendidikan yang memadai Tujuan 2,3 : menuntaskan pendidikan dasar,
kesetaraan jender dalam pendidikan, dan memberdayakan wanita
Standar hidup yang layak Tujuan 1 : mengurangi kemiskinan dan Kelaparan
Sumber : UNDP (2003)
Tujuan utama dari pembangunan manusia yaitu untuk memperbanyak
pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Hal tersebut tidak mungkin akan tercapai
tanpa adanya kebebasan memilih apa yang mereka inginkan dan bagaimana
16
mereka akan menjalani hidup. Oleh karena itu manusia harus bebas untuk
melakukan apa yang menjadi pilihannya dalam suatu sistem yang berfungsi
dengan baik (BPS, Bappenas, UNDP, 2001).
Paradigma pembangunan manusia terdiri dari empat komponen utama,
yaitu (1) Produktifitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas
mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan
dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu
bagian dari jenis pembangunan manusia; (2) Ekuitas, masyarakat harus punya
akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap
peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi
didalamnya dan memperoleh manfaat dari kesempatan ini; (3) Kesinambungan,
akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi
sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik,
manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi; dan (4) Pemberdayaan,
pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka.
Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-
proses yang mempengaruhi kehidupan mereka.
2.1.4 Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Todaro (1998), pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai
suatu proses dimana kapasitas produksi dari suatu perekonomian meningkat
sepanjang waktu untuk menghasilkan tingkat pendapatan yang semakin besar.
Menurut Salvatore dalam Yunitasari (2007), pertumbuhan ekonomi adalah suatu
17
proses dimana PDB riil per kapita meningkat secara terus menerus melalui
kenaikan produktivitas per kapita. Sasaran berapa kenaikan produksi riil per
kapita dan taraf hidup (pendapatan riil per kapita) merupakan tujuan utama yang
perlu dicapai melalui penyediaan dan pengarahan sumber-sumber produksi.
Kuznets dalam Jhingan (2003) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi
sebagai kenaikan jangka penjang dalam kemampuan suatu Negara untuk
menyediakan semakin banyak barang-barang ekonomi kepada penduduknya.
Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian
kelembagaan dan ideologis Negara yang bersangkutan.
Teori klasik juga membahas pertumbuhan ekonomi dengan penekanan
pada akumulasi kapital yang dapat meningkatkan output. Asumsinya bahwa
fleksibilitas harga dan upah akan menciptakan kesempatan kerja penuh. Model
pertumbuhan klasik didasari oleh dua faktor utama, yaitu pertumbuhan output
total dan pertumbuhan penduduk. Adam Smith dalam Yunitasari (2007)
mengatakan bahwa peningkatan output atau pertumbuhan ekonomi dapat
dilakukan dengan tiga metode, yaitu peningkatan spesialisasi kerja, sistem
pembagian kerja, dan penggunaan mesin untuk meningkatkan produktivitas.
Apabila ketiga metode tersebut dilakukan, maka peningkatan akumulasi kapital
akan terjadi.
2.1.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Manusia
Modal manusia (human capital) merupakan salah satu faktor penting
dalam pembangunan ekonomi. Dengan modal manusia yang berkualitas, kinerja
18
ekonomi diyakini juga akan lebih baik, sesuai dengan yang dikatakan Mubyarto
dalam Yunitasari (2007) “sosial development is economic development”. Menurut
Todaro (1998), sumber daya manusia dari suatu bangsa merupakan faktor paling
menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi dari bangsa
yang bersangkutan.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia dapat
dijelaskan melalui 2 (dua) jalur seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1. Jalur
pertama adalah melalui kebijakan dan pengeluaran pemerintah. Dalam hal ini,
faktor yang menentukan adalah pengeluaran pemerintah untuk subsektor sosial
yang meliputi belanja publik. Besarnya pengeluaran tersebut mengindikasikan
besarnya komitmen pemerintah terhadap pembangunan manusia.
Sumber : Soebeno dalam Yunitasari, 2007Gambar 2.1 Alur Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dengan
Pembangunan Manusia
Jalur kedua adalah melalui kegiatan pengeluaran rumah tangga. Dalam hal
ini, faktor yang menentukan adalah besar dan komposisi pengeluaran untuk
kebutuhan dasar seperti pemenuhan nutrisi anggota keluarganya, biaya pelayanan
Pertumbuhan Ekonomi
Rasio pengeluaran sosial pemerintah
Distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan
Pengeluaran rumah tangga untuk
kebutuhan dasar
Rasio tingkat pendidikan, pelayanan kesehatan,
pelayanan air bersih dan sanitasi
Pembangunan manusia
Kebijakan dan pengeluaran pemerintah
19
pendidikan dan kesehatan dasar, serta untuk kegiatan lain yang serupa. Selain
pengeluaran pemerintah dan rumah tangga, hubungan antara kedua variabel itu
berlangsung melalui penciptaan lapangan kerja. Aspek ini sangat penting karena
merupakan jembatan yang mengkaitkan antara keduanya (UNDP dalam Soebeno,
2006).
Kecenderungan rumah tangga untuk membelanjakan pendapatan bersihnya
pada barang-barang yang memiliki kontribusi langsung dalam pembangunan
manusia, seperti makanan, air, pendidikan dan kesehatan sangat tergantung dari
sejumlah faktor seperti tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan antar rumah
tangga. Secara umum diketahui bahwa sebagian besar porsi pendapatan penduduk
miskin dihabiskan untuk konsumsi dibandingkan dengan penduduk kaya. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa pembangunan manusia bukan hanya ditentukan
oleh tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan saja, melainkan juga peran
pemerintah dalam kebijakan pengeluarannya. Alokasi sumber daya untuk
pembangunan manusia dari sisi pemerintah merupakan fungsi dari tiga hal, yaitu
total pengeluaran sektor pemerintah, berapa banyak yang dialokasikan ke sektor-
sektor pembangunan manusia, dan bagaimana anggaran tersebut dialokasikan ke
sektor sosial. Dengan kata lain, pengaruh pembangunan manusia terhadap
pertumbuhan ekonomi akan lebih meyakinkan jika memang ada kebiasaan untuk
mendukung pendidikan yang baik, tingkat investasi yang tinggi, distribusi
pendapatan yang lebih merata, dukungan untuk modal sosial yang lebih baik, serta
kebijakan ekonomi yang memadai.
20
Namun, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
manusia secara empiris terbukti tidak bersifat otomatis. Banyak wilayah yang
mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa diikuti oleh pembangunan manusia
yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Bukti tersebut tidak berarti bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak penting bagi pembangunan manusia, pertumbuhan
ekonomi justru merupakan sasaran utama bagi pembangunan manusia, terutama
pertumbuhan ekonomi yang merata secara sektoral dan kondusif terhadap
penciptaan lapangan kerja. Hubungan yang tidak otomatis ini sesungguhnya
merupakan tantangan bagi pemerintah untuk merancang kebijakan yang baik
sehingga hubungan keduanya bersifat saling memperkuat.
2.2 Kerangka Pemikiran Konseptual
2.2.1 Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia merupakan indeks komposit yang
digunakan untuk mengukur pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal
mendasar pembangunan manusia, yaitu: (1) lama hidup, yang diukur dengan
angka harapan ketika lahir; (2) pendidikan, yang diukur berdasarkan rata-rata
lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas; (3) standar
hidup, yang diukur dengan konsumsi per kapita. Indeks ini pertama kali
dikembangkan pada 1990 oleh ekonom Pakistan bernama Mahbub ul Haq3.
Menurut UNDP (2004), IPM memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi
tentang pembangunan manusia : panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur
3
www.wikipedia.com
21
dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang
dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi), serta
memiliki standar hidup layak (diukur dari paritas daya beli, penghasilan). Indeks
tersebut bukanlah suatu ukuran yang menyeluruh tentang pembangunan manusia.
Namun demikian, indeks ini memberikan sudut pandang yang lebih luas untuk
menilai kemajuan manusia serta meninjau hubungan yang rumit antara
penghasilan dan kesejahteraan.
Tabel 2.2 Nilai Maksimum dan Minimum Komponen IPM
Indikator Komponen Nilai Maksimum
Nilai Minimum
Keterangan
Angka Harapan Hidup 85 25 Sesuai standar global (UNDP)
Angka Melek Huruf 100 0 Sesuai standar global (UNDP)
Rata2 Lama Sekolah 15 10 Sesuai standar global (UNDP)
Konsumsi per kapita yang disesuaikan 2005
732.720a) 300.000b) UNDP menggunakan PDB per kapita riil yang disesuaikan
Sumber : BPS, Bappenas, UNDP (2004)
Catatan :a) Proyeksi pengeluaran riil/unit/tahun untuk propinsi yang memiliki angka
tertinggi (Jakarta) pada tahun 2018 setelah disesuaikan dengan formula Atkinson. Proyeksi mengasumsikan kenaikan 6,5 persen per tahun selama kurun 1996-2018
b) Setara dengan dua kali garis kemiskinan untuk propinsi yang memiliki angka terendah tahun 1996 di Papua.
IPM mencoba memberikan peringkat dari skala 0 (terendah) hingga 1
(tertinggi) untuk mengevaluasi keberhasilan suatu daerah atau negara. IPM terbagi
menjadi tiga kategori pemeringkatan.
22
Tabel 2.3 Kategori Pemeringkatan IPM
Kategori Skala
Tinggi 0,800-1
Menengah 0,500-0,799
Rendah 0-0,499Sumber : UNDP (2004)
2.2.2 Pendapatan Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah/wilayah dalam suatu
periode tertentu. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah (value added)
yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah/wilayah
(BPS, 2008). Secara kuantitatif PDRB merupakan nilai barang dan jasa, oleh
karena itu PDRB dihitung atas dasar harga berlaku (at current price) dan PDRB
atas dasar harga konstan (at constant price). PDRB atas dasar harga berlaku
digunakan untuk melihat perubahan struktur ekonomi, sedangkan PDRB atas
dasar harga konstan digunakan untuk melihat pertumbuhan ekonomi riil. Data
PDRB dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Produksi
Menurut pendekatan produksi, PDRB merupakan jumlah nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha/ekonomi dalam suatu
daerah/wilayah pada suatu periode tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit
ekonomi tersebut dalam analisis ini dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha
yaitu: 1. Pertanian; 2. Pertambangan dan Penggalian; 3. Industri Pengolahan; 4.
23
Listrik, Gas, dan Air Bersih; 5. Konstruksi; 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran;
7. Pengangkutan dan Komunikasi; 8. Keuangan, Real Estat, dan Jasa
Perusahaan; 9. Jasa-jasa.
2. Pendekatan Pengeluaran
Menurut pendekatan pengeluaran, PDRB merupakan jumlah semua
komponen permintaan akhir di suatu daerah/wilayah dalam jangka waktu tertentu
(biasanya satu tahun). Komponen permintaan akhir meliputi: pengeluaran
konsumsi rumah tangga, pengeluaran konsumsi lembaga swasta nirlaba,
pengeluaran konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto,
perubahan inventori/stok, dan ekspor neto. Ekspor neto adalah ekspor dikurangi
impor.
3. Pendekatan Pendapatan
Menurut Pendekatan Pendapatan, PDRB merupakan jumlah seluruh balas
jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses
produksi di suatu daerah/wilayah pada jangka waktu tertentu (biasanya satu
tahun). Komponen balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah: upah dan
gaji, sewa tanah, bunga modal, dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong
pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini, PDRB
mencakup juga penyusutan barang modal tetap dan pajak tak langsung neto (pajak
tak langsung dikurangi subsidi). Jumlah semua komponen pendapatan ini per
sektor disebut sebagai nilai tambah bruto sektoral. Oleh karena itu PDRB
merupakan jumlah dari nilai tambah bruto seluruh sektor (lapangan usaha).
24
2.2.3 Kemiskinan
Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang
menjadi pusat perhatian pemerintah di negara maupun daerah manapun. Secara
konseptual, kemiskinan dapat didefinisikan antara lain sebagai berikut :
1. Kemiskinan Relatif
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum
disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen
lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.
Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk.
Dalam praktek, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang
lebih tinggi dari pada negara miskin, misalnya angka kemiskinan resmi (official
figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15 persen di Amerika Serikat dan juga
mendekati 15 persen di Indonesia (negara yang jauh lebih miskin). Artinya,
banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di Amerika Serikat akan dikatakan
sejahtera menurut standar Indonesia.
2. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,
25
perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk
uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah
garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan
digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut “tetap (tidak
berubah)” dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu
membandingkan kemiskinan secara umum.
Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba
menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan
dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala
kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu negara dengan negara lain
hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara
tersebut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat
membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hal ini bermanfaat dalam
menentukan kemana menyalurkan sumber daya finansial (dana) yang ada, juga
dalam menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada
dua ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US $ 1 perkapita per hari
dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah
ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk
yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP
(Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas
ini adalah garis kemiskinan absolut (BPS, 2008).
26
2.2.4 Koefisien Gini
Distribusi pendapatan merupakan salah satu aspek kemiskinan yang perlu
dilihat karena pada dasarnya merupakan ukuran kemiskinan relatif. Oleh karena
data pendapatan sulit diperoleh, pengukuran distribusi pendapatan selama ini
didekati dengan menggunakan data pengeluaran. Analisis distribusi pendapatan
dilakukan dengan menggunakan data total pengeluaran rumah tangga sebagai
proksi pendapatan yang bersumber dari Susenas. Beberapa ukuran untuk
merefleksikan ketimpangan pendapatan diantaranya koefisien Gini (Gini Ratio),
Ukuran Bank Dunia, Indeks Theil dan Indeks-L.
Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering
digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh.
Rumus Koefisien Gini adalah sebagai berikut :
11
1n
i i ii
G R fp F c F c
Dimana :
GR = Koefisien Gini (Gini Ratio)
fpi = frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i
Fci = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i
Fci-1 = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke
(i-1)
27
Sumber : BPS, 2008Gambar 2.2 Koefisien Gini Menurut Kurva Lorenz
Koefisien Gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva
pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu
(misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili
persentase kumulatif penduduk. Untuk membentuk koefisien Gini, grafik
persentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) digambar pada
sumbu horizontal dan persentase kumulatif pengeluaran (pendapatan) digambar
pada sumbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.2. Garis diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien Gini
didefinisikan sebagai A/(A+B), dimana A dan B seperti yang ditunjukkan pada
grafik. Jika A=0 koefisien Gini bernilai 0 yang berarti pemerataan sempurna,
sedangkan jika B=0 koefisien Gini akan bernilai 1 yang berarti ketimpangan
sempurna (BPS, 2008).
28
2.2.5 Infrastruktur
Definisi infrastruktur menurut Kamus Besar Ekonomi (Winarno dan
Ismaya dalam Bulohlabna, 2008) adalah segala sesuatu yang merupakan
penunjang utama terselenggaranya proses usaha, pengembangan proyek dan
sebagainya, seperti jalan raya, rel kereta api, rumah sakit, gedung sekolah, dan
sebagainya. Infrastruktur menurut World Bank terbagi menjadi tiga
penggolongan, yaitu :
1. Infrastruktur ekonomi, meliputi publik utilities (telekomunikasi, air bersih,
sanitasi, gas), publik work (jalan, bendungan, irigasi, drainase), dan sektor
transportasi (jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, lapangan terbang).
2. Infrastruktur sosial, merupakan infrastruktur yang mengarah kepada
pembangunan manusia dan lingkungannya seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, dan rekreasi.
3. Infrastruktur administrasi, merupakan infrastruktur dalam bentuk penegakan
hukum, kontrol administrasi, dan koordinasi.
Infrastruktur pendidikan merupakan suatu persyaratan untuk tahap
selanjutnya dari pembangunan ekonomi. Menurut Harbison dalam Bulohlabna
(2008), sumber daya manusia merupakan basis utama bagi kesejahteraan suatu
negara. Modal dan sumber daya alam hanyalah faktor produksi yang pasif
sedangkan manusia merupakan agen yang aktif, yang dapat mengakumulasi
modal, mengeksploitasi sumber daya alam, serta membangun kehidupan sosial,
ekonomi dan politik serta membawa kemajuan bagi pembangunan nasional
(Todaro, 1998).
29
Schweke dalam Bulohlabna (2008) menyatakan bahwa pendidikan bukan
saja melahirkan sumber daya manusia berkualitas, memiliki pengetahuan dan
ketrampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga menumbuhkan iklim yang
sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi, sehingga investasi di bidang
infrastruktur pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian
kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Pada tingkat mikro, yaitu individu dan keluarga, kesehatan merupakan
dasar bagi produktivitas kerja. Tenaga kerja yang sehat secara fisik dan mental
akan lebih produktif dan mendapatkan penghasilan yang relatif lebih tinggi.
Pengembangan infrastruktur kesehatan, baik secara kualitas maupun kuantitas,
merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Bukti-bukti
makroekonomi menjelaskan bahwa negara-negara dengan kondisi kesehatan dan
pendidikan yang rendah, akan menghadapi tantangan yang lebih berat guna
mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kesejahteraan yang baik.
2.2.6 Belanja Publik
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah sarana atau alat untuk
dalam menjalankan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab serta
memberi isi dan arti tanggung jawab Pemerintah Daerah karena APBD
menggambarkan seluruh kebijaksanaan Pemerintah Daerah. Menurut Undang-
Undang No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah, APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan Daerah yang
ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
30
Belanja Negara. Belanja daerah adalah semua pengeluaran Kas Daerah dalam
periode tahunn anggaran yang bersangkutan yang meliputi belanja rutin
(operasional) dan belanja pembangunan (belanja modal) serta pengeluaran tidak
tersangka.
1. Anggaran Belanja Rutin
Anggaran belanja rutin adalah anggaran yang disediakan untuk membiayai
kegiatan-kegiatan yang sifatnya lancar dan terus menerus, yang dimaksudkan
untuk menjaga kelancaran roda pemerintahan dan memelihara hasil-hasil
pembangunan. Dengan telah diberikannya kewenangan untuk mengelola
keuangan daerah, maka belanja rutin diprioritaskan pada optimalisasi fungsi dan
tugas rutin perangkat daerah. Belanja rutin terdiri dari belanja administrasi umum
(belanja pegawai, barang, perjalanan dinas, dan pemeliharaan), dan belanja
operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana.
2. Anggaran Belanja Pembangunan
Anggaran belanja pembangunan adalah anggaran yang disediakan untuk
membiayai proses perubahan, yang merupakan perbaikan dan pembangunan
menuju kemajuan yang ingin dicapai. Pengeluaran yang dianggarkan dalam
pengeluaran pembangunan didasarkan atas alokasi sektoral (sektor/subsektor)
pajak dan retribusi daerah. Belanja pembangunan terdiri dari:
Belanja Publik. Belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung
oleh masyarakat. Belanja publik merupakan belanja modal yang berupa
investasi fisik (pembangunan infrastruktur) yang mempunyai nilai
31
ekonomis lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan
aset daerah.
Belanja Aparatur adalah belanja yang manfaatnya tidak secara langsung
dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur.
Belanja aparatur menyebabkan terjadinya penambahan aktiva tetap dan
aktiva tidak lancar lainnya. Belanja aparatur diperkirakan akan
memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang.
Pengeluaran transfer adalah pengalihan uang dari pemerintah daerah
dengan kriteria : (1) Tidak menerima secara langsung imbalan barang dan
jasa seperti terjadi transaksi pembelian dan penjualan; (2) Tidak
mengharapkan dibayar kembali di masa yang akan datang, seperti yang
diharapkan pada suatu pinjaman. (3) Tidak mengharapkan adanya hasil
pendapatan, seperti layaknya yang diharapkan pada suatu investasi.
Pengeluaran transfer ini terdiri atas: angsuran pinjaman, dana bantuan dan
dana cadangan.
2.2.7 Otonomi Daerah dan Pemekaran Daerah
Argama (2005) menyatakan pemberlakuan sistem otonomi daerah
merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk
dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur
pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan
permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan
32
Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18
untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis,
“Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat”. Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan”.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak
sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru dibentuk yaitu Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah sebagai
berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai
berikut.
33
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia,
sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah
dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Sementara itu, tugas
pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sebagai konsekuensi pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula
perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(UU Nomor 25 Tahun 1999) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004).
Selain itu, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Gubernur,
Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
34
dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (PP Nomor 6 Tahun
2005).
UUD 1945 tidak mengatur perihal pembentukan daerah atau pemekaran
suatu wilayah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18B ayat (1) bahwa,
“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.”
Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama tercantum kalimat sebagai
berikut:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Secara lebih khusus, UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan
mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang Pembentukan Daerah dan
Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah pemekaran wilayah juga termasuk
dalam ruang lingkup pembentukan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004
menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-
undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian,
ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut.
“Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada
ayat berikutnya, ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Pembentukan daerah dapat
berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau
35
pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.” Dan ayat (4)
menyebutkan, “Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas
minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.”
Namun demikian, pembentukan daerah hanya dapat dilakukan apabila
telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Bagi provinsi,
syarat administratif yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD
kabupaten/kota dan bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi
bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi
dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota, syarat administratif
yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta
rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya, syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi
faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor : (1)
kemampuan ekonomi, (2) otensi daerah, (3) sosial budaya, (4) sosial politik, (5)
kependudukan, (6) luas daerah, (7) pertahanan, (8) keamanan, dan (9) faktor lain
yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah
Terakhir, syarat fisik yang dimaksud harus meliputi paling sedikit lima
kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan
untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota,
lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
36
2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan dampak pemekaran wilayah terhadap
indikator keberhasilan pembangunan melalui pendekatan Indeks Pembangunan
Manusia, pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Aisyah (2004) dengan judul “Keterkaitan Antara Indikator Pembangunan
Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia Dalam Perekonomian Indonesia
Studi Kasus Analisis Antar Wilayah”. Data yang digunakan yaitu data Indeks
Pembangunan Manusia menurut kabupaten/kota tahun 1996, 1999, dan 2002; data
PDRB per kapita berdasarkan harga konstan 1993 menurut kabupaten/kota tahun
1996, 1999, dan 2002; dan data jumlah penduduk menurut kabupaten/kota tahun
1996, 1999, dan 1999. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis L-
indeks dan Koefisien Korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hubungan pembangunan ekonomi dan indikator-indikator IPM tahun 1996 dan
1999 bernilai positif dan signifikan pada taraf nyata 10%, sedangkan hubungan
pembangunan ekonomi pada tahun 2002 dan indeks pembangunan manusia tahun
2002 hampir semua bernilai positif namun tidak signifikan pada taraf 10%.
Puspandika (2007) dengan judul “Analisis Ketimpangan Pembangunan di
Era Otonomi Daerah : Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Dengan
Kesejahteraan Masyarakat”. Data yang digunakan yaitu : data PDRB per kapita
menurut propinsi 2001-2005 berdasarkan harga konstan tahun 2000; jumlah
penduduk menurut propinsi 2001-2005; dan data IPM 2001-2005. Metode analisis
yang digunakan adalah Indeks Williamson dan analisis panel data. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan antar propinsi di
37
Indonesia berada pada kategori tinggi dengan nilai indeks lebih dari 0,8.
Hubungan pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat terlihat dari
besarnya pengaruh pengeluaran riil per kapita masyarakat terhadap indeks
pembangunan manusia. Hal ini dikarenakan untuk mendapatkan pendidikan dan
kesehatan yang lebih baik, maka masyarakat harus melakukan pengeluaran yang
lebih banyak.
Yunitasari (2007) dengan judul “Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan
Ekonomi Dengan Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Timur”. Data yang
digunakan yaitu : PDRB, jumlah penduduk, tingkat kemiskinan, APBD, IPM, dan
IDJ. Metode analisis yang digunakan adalah analisis panel data dengan Indeks
Pembangunan Manusia sebagai variabel terikat. Hasil penelitian menunjukkan
PDRB per kapita (PDRB), tingkat kemiskinan (K), pengeluaran pemerintah untuk
sektor pendidikan (PPP), pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan (PPK)
serta kebijakan otonomi daerah (Dotda) berpengaruh signifikan terhadap IPM
Jawa Timur. Sedangkan indeks pemberdayaan jender (IDJ) yang menggambarkan
peran perempuan tidak berpangaruh signifikan.
Oktapriono (2008) dengan judul “Analisis Dampak Investasi Pemerintah
Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pembangunan Manusia : Studi Kasus
Kawasan Timur Indonesia Periode 2001-2003”. Data yang digunakan yaitu :
PDRB menurut provinsi berdasarkan harga konstan tahun 2000; data IPM; dan
jumlah penduduk miskin menurut propinsi. Metode analisis yang digunakan
adalah analisis panel data dengan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel
terikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi pemerintah sektor
38
pendidikan (IPP), investasi pemerintah sektor kesehatan (IPK), pertumbuhan
ekonomi (PDRB) dan jumlah penduduk miskin (Miskin) berpengaruh signifikan
terhadap peningkatan pembangunan manusia.
Pambudi (2008) dengan judul “Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian
Fiskal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa
Barat”. Data yang digunakan yaitu : APBD kabupaten/kota di Jawa Barat terdiri
dari PAD (pajak, retribusi, laba badan usaha milik daerah, dan pendapatan asli
daerah lainnya yang sah) dan DAU; data IPM (AHH, AMH, RLS, dan PPP).
Metode analisis yang digunakan adalah Analisis Panel Data. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa indeks pembangunan manusia di Kabupaten/kota di Jawa
Barat selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil estimasi tingkat
kemandirian fiskal, rata-rata kemandirian fiskal kabupaten/kota di Jawa Barat
selama tahun 2002-2006 tergolong kurang. Hasil estimasi juga menunjukkan
bahwa peningkatan PAD berpengaruh nyata dan positif terhadap IPM
kabupaten/kota di Jawa Barat.
Hidayat (2008) dengan judul “Analisis Hubungan Komponen Indeks
Pembangunan Manusia Dengan Kemiskinan di Propinsi Jawa Barat”. Data yang
digunakan yaitu persentase jumlah penduduk miskin, data angka harapan hidup,
angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, pengeluaran per kapita yang
disesuaikan, infrastruktur sosial, pengangguran dan beban ketergantungan.
Metode analisis yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan panel data. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengangguran semakin menurun tetapi
angka beban ketergantungan dan tingkat kemiskinan cenderung meningkat
39
periode tahun 2003-2006. Faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap
tingkat kemiskinan yaitu angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah,
kemampuan daya beli, dan tingkat pengangguran. Sedangkan angka melek huruf,
infrastruktur sosial dan angka beban ketergantungan tidak berpengaruh secara
signifikan.
Wibowo (2008) dengan judul “Strategi Perancangan Kebijakan Umum
APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia di Kabupaten
Bogor”. Data yang digunakan yaitu data primer, APBD Kab. Bogor dan Indeks
Pembangunan Manusia Kab. Bogor. Metode Analisis yang digunakan adalah
analisis regresi berganda, SWOT, dan AHP. Hasil analisis regresi menunjukkan
bahwa pengaruh realisasi belanja aparatur (RBA) dan realisasi belanja publik
(RBP) terhadap IPM sangat signifikan. Pada pendekatan menggunakan analisis
SWOT memperlihatkan bahwa strategi perencanaan yang optimal bagi sektor
pendidikan, kesehatan dan perekonomian adalah S-T atau strategi diversifikasi
dengan cara mengoptimalkan kekuatan untuk menanggulangi ancaman. Hasil
analisis AHP memperlihatkan bahwa prioritas program pembangunan sektor
pendidikan adalah : penyelenggaraan sekolah gratis SD-SLTP, pembangunan dan
rehabilitasi gedung, penyelenggaraan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM),
penyelenggaraan SD-SLTP satu atap. Prioritas sektor kesehatan adalah :
pelayanan kesehatan gratis, pembangunan sarana kesehatan. Prioritas sektor
ekonomi adalah pembaerian bantuan modal koperasi dan usaha kecil menengah
(KUKM).
40
Yanuarta (2009) dengan judul “ Strategi Alokasi Anggaran Pembangunan
Dalam Rangka Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten
Lampung Barat”. Data yang digunakan adalah data primer, jumlah penduduk, data
pendidikan, data kesehatan, data perekonomian, APBD dan IPM. Metode analisis
yang digunakan adalah analisis regresi berganda, SWOT dan AHP. Hasil analisis
regresi menunjukkan bahwa belanja pendidikan mempunyai pengaruh yang
signifikan dan positif terhadap IPM, belanja kesehatan mempunyai pengaruh
signifikan negatif terhadap IPM sedangkan belanja ekonomi tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan IPM.
Alvan (2008) dengan judul “Forging a Link Between Human
Development and Income Inequality : Cross Country Evidence”. Data yang
digunakan HDI, GNI per kapita, GDP indeks dan Gini indeks. Metode analisis
yang digunakan adalah regresi linear OLS. Hasil analisis menunjukkan bahwa
Gini indeks memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap HDI.
2.4 Kerangka Operasional
Konsep pembangunan selama ini hanya menekankan pada pertumbuhan
ekonomi (economic growth), padahal pencapaian kesejahteraan masyarakat tidak
cukup hanya dengan menekankan pada pembangunan ekonomi dan infratruktur
fisik, melainkan juga dengan pembangunan manusia (human development).
Adanya pergeseran paradigma pembangunan memerlukan keselarasan antara
pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia. Oleh karena itu, keberhasilan
41
pembangunan tidak hanya dilihat dari besarnya PDRB, tetapi juga ditunjukkan
dari capaian IPM.
Jawa Barat merupakan propinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar
di Indonesia. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat, hingga akhir tahun 2007
mencapai 41.483.729 jiwa. Selain kaya akan sumber daya manusia, ditinjau dari
segi ekonomi, Jawa Barat merupakan salah satu daerah dengan tingkat PDRB
tinggi, hingga tahun 2007, PDRB Jawa Barat telah mencapai angka 274 trilyun
rupiah. Walaupun demikian potensi sumber daya manusia yang melimpah harus
dibarengi dengan keterampilan atau kualitas yang memadai, karena jika tidak,
hanya akan menambah beban pemerintah. Begitu pun dengan pencapaian sektor
ekonomi. Laju ekonomi yang tinggi harus dibarengi dengan peningkatan
pemerataan pembangunan, karena jika tidak, hanya akan meningkatkan
ketimpangan yang justru dapat menjadi masalah yang sistemik.
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan keleluasaan kepada Pemerintah
Propinsi Jawa Barat utuk melaksanakan pembangunan daerah secara lebih
mandiri. Proses demokratisasi telah mendorong masyarakat untuk lebih berani
mengemukakan aspirasinya. Bentuk aspirasi masyarakat diantaranya adalah
keinginan untuk membentuk pemerintahan sendiri baik pada level kabupaten/kota
maupun level propinsi. Hal tersebut dikarenakan masyarakat menginginkan
terjadinya peningkatan dalam pelayanan dan kesejahteraan sosial (social welfare).
Perkembangan pemekaran daerah yang terjadi di Propinsi Jawa Barat tentu
berpengaruh sangat besar terhadap proses pembangunan karena daerah-daerah
yang baru terbentuk dituntut untuk dapat berkontribusi dalam pelayanan publik
42
guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya, baik dari segi
ekonomi maupun kebutuhan sosial. Selain faktor regulasi, perbedaan demografis,
geografis, infrastruktur serta potensi alam yang tidak merata kualitas sumber daya
manusia merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi keberhasilan
pembangunan daerah baru tersebut.
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, dan konsep sebelumnya,
kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat di Gambar 2.3
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pemikiran
Untuk mencapai visi Jawa Barat 2010 diperlukan kerja keras dari semua
pihak. Visi tersebut akan tercapai apabila ada suatu bentuk kerja sama yang
Rekomendasi
Jawa Barat Sebagai Propinsi dengan Jumlah Penduduk Terbesar di Indonesia
Pertumbuhan Ekonomi
IPM pada Tingkat Propinsi dan Kab/Kota :Sesudah vs Sebelum Pemekaran
Kondisi SDM diukur dengan IPM
PemekaranWilayah
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan Manusia Propinsi Jawa barat
43
harmonis antara pemerintah daerah sebagai pembuat kebijakan dengan instansi,
pihak swasta serta masyarakat sebagai pelaksana. Kondisi makroekonomi yang
baik akan mampu menunjang pembangunan daerah sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang salah satunya diukur dari
pencapaian Indeks Pembangunan Manusia. Untuk mendukung kestabilan
makroekonomi, pemerintah daerah dituntut untuk dapat menyelaraskan kebijakan
yang dikeluarkan agar tidak bertentangan. Diharapkan dengan adanya kondisi
makroekonomi yang baik dan kebijakan pemerintah yang selaras akan dapat
mendukung visi Jawa Barat 2010.
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pernyataan dan latar belakang yang telah dikemukakan, dapat
disusun hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Pertumbuhan ekonomi dan belanja publik mempengaruhi dan mempunyai
hubungan yang positif dengan pembangunan manusia. Semakin tinggi
kontribusi dari faktor-faktor tersebut, diharapkan akan meningkatkan
indeks pembangunan manusia.
2. Tingkat kemiskinan mempengaruhi dan mempunyai hubungan yang
negatif dengan pembangunan manusia. Semakin rendah tingkat
kemiskinan, maka peluang suatu individu untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya akan semakin baik sehingga pada akhirnya dapat mendukung
pembangunan manusia.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, baik yang
bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi : (1) Data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota di
Jawa Barat; (2) Data Basis Untuk Analisis Indeks Pembangunan Manusia Propinsi
Jawa Barat; (3) Jawa Barat Dalam Angka.
Data-data tersebut diperoleh dari BPS Pusat, BPS Propinsi Jawa Barat,
BAPPEDA Propinsi Jawa Barat, hasil-hasil penelitian terdahulu, jurnal-jurnal,
internet dan literatur lainnya untuk melengkapi data-data yang diperlukan.
3.2 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua metode analisis, yaitu
analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Pengolahan data yang dilakukan dalam
penelitian ini menggunakan software Microsoft Excel dan E-views 6. Hasil
pengolahan data disajikan pada bagian lampiran. Untuk penjelasan hasil analisis,
dikutip beberapa bagian dari olahan dan dideskripsikan dalam bab hasil dan
pembahasan.
45
3.2.1 Metode Deskriptif
Metode deskriptif adalah metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan
penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna
(Walpole, 1992). Proses deskripsi data pada dasarnya meliputi upaya penelusuran
dan pengungkapan informasi yang relevan, yang terkandung dalam data dan
penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, sehingga pada
akhirnya mengarah pada keperluan adanya penjelasan dan penafsiran.
Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan pembangunan
manusia (IPM) dan pemekaran wilayah di Propinsi Jawa Barat. Analisis deskriptif
dilakukan dengan membaca tabel dan grafik untuk melihat kecenderungan dari
perkembangan data-data komponen atau variabel yang digunakan dalam
penelitian ini.
3.2.2 Analisis Panel Data
Menurut Gujarati (2004), data panel (pooled data) atau yang disebut juga
data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time
series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu
terhadap banyak individu, sedangkan data time series merupakan data yang
dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Metode data panel
merupakan suatu metode yang digunakan untuk melakukan analisis empirik yang
tidak mungkin dilakukan jika hanya menggunakan data time series atau cross
section.
46
Kelebihan yang diperoleh dari penggunaan data panel adalah :
1. Dapat mengendalikan heterogenitas individu atau unit cross section
2. Dapat memberikan informasi yang lebih luas, mengurangi kolinearitas
diantara variabel, memperbesar derajat bebas dan lebih efisien.
3. Dapat diandalkan untuk mengidentifikasi dan mengukur efekyang tidak dapat
dideteksi dalam model data cross section maupun time series
4. Lebih sesuai untuk mempelajari dan menguji model perilaku (behavioural
models) yang kompleks dibandingkan dengan model data cross section
maupun time series
5. Dapat diandalkan untuk studi dynamic of adjustment
Estimasi model menggunakan data panel dapat dilakukan dengan tiga
metode, yaitu metode kuadrat terkecil (pooled least square), metode efek tetap
(fixed effect) dan metode efek random (random effect).
1. Metode Pooled Least Square
Pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel adalah
dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa, yang diterapkan dalam data
yang berbentuk pool. Misalkan dalam persemaan berikut ini :
Yit = α + xjitβj + εit untuk i = 1,2,….,N dan t = 1,2,….,T
dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode
waktunya. Dengan mengasumsi komponen error dalam pengolahan kuadrat
terkecil biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap
unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross
section sebagai berikut :
47
Yi1 = α + xjitβj + εi1 untuk i = 1,2,….,N
yang akan berimplikasi diperolehnya persamaan sebanyak T persamaan yang
sama. Begitu juga sebaliknya, akan dapat diperoleh persamaan deret waktu (time
series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi. Namun, untuk
mendapatkan parameter α dan β yang konstan dan efisien, dapat diperoleh dalam
bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi. Akan
tetapi, jika menggunakan metode Pooled Least Square, perbedaan antar individu
maupun antar waktu tidak akan terlihat.
2. Metode Efek Tetap (Fixed Effect)
Kesulitan terbesar dalam pendekatan metode kuadrat terkecil biasa adalah
adanya asumsi intersep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan,
baik antar daerah maupun antar waktu yang mungkin tidak beralasan. Generalisasi
secara umum sering dilakukan dengan memasukkan variabel boneka (dummy
variabel) untuk memungkinkan terjadinya perbedaan nilai parameter yang
berbeda-beda baik lintas unit cross section maupun antar waktu. Pendekatan
dengan memasukkan variabel boneka ini dikenal dengan sebutan model efek tetap
(fixed effect) atau Least Square Dummy Variabel atau disebut juga Covariance
Model. Secara umum, pendekatan fixed effect dapat dituliskan sebagai berikut :
yit = αi + xjitβj +
2
n
i
aiDi + εit
dimana :
yit = variabel terikat di waktu t untuk unit cross section i
αi = intersep yang berubah-ubah antar cross section unit
xjit = variabel bebas j di waktu t untuk unit cross section i
48
βj = parameter untuk variabel ke j
eit = komponen error di waktu t untuk unit cross section i
Dengan menggunakan pendekatan ini, akan terjadi degree of freedom
sebesar NT N K . Keputusan memasukkan variabel boneka ini harus
didasarkan pada pertimbangan statistik. Hal tersebut disebabkan, dengan
melakukan penambahan variabel boneka akan dapat mengurangi jumlah degree of
freedom yang pada akhirnya akan mempengaruhi keefisienan dari parameter yang
diestimasi. Pertimbangan pemilihan pendekatan yang digunakan ini didekati
dengan menggunakan statistik F yang berusaha memperbandingkan antara nilai
jumlah kuadrat error dari proses pendugaan dengan metode kuadrat terkecil dan
efek tetap yang telah memasukkan variabel boneka. Secara umum dirumuskan
sebagai berikut :
2,N T NT N TF =
1 2
2
/ 1
/
ESS ESS NT
ESS NT N K
dimana ESS1 dan ESS2 adalah jumlah kuadrat sisa dengan menggunakan metode
kuadrat kecil biasa dan model efek tetap, sedangkan statistik F mengikuti
distribusi F dengan derajat bebas NT-1 dan NT-N-K. nilai statistik F uji inilah
yang kemudian diperbandingkan dengan nilai statistik F tabel yang akan
menentukan pilihan model yang akan digunakan.
Pada metode fixed effect, estimasi dapat dilakukan dengan tanpa
pembobot (no weighted) atau Least Square Dummy Variabel (LSDV) dan dengan
pembobot (cross section weight) atau General Least Square (GLS). Tujuan
49
dilakukannya pembobotan adalah untuk mengurangi heterogenitas antar unit cross
section (Gujarati, 2004).
3. Metode Efek Acak (Random Effect)
Keputusan untuk memasukkan variabel boneka dalam model efek tetap tak
dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan konsekuensi (trade off). Penambahan
variabel boneka ini akan dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan (degree
of freedom) yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang
diestimasi. Berkaitan dengan hal ini, dalam model data panel dikenal pendekatan
ketiga yaitu model efek acak (random effect). Dalam model efek acak, parameter-
parameter yang berbeda antar daerah maupun antar waktu dimasukkan ke dalam
error. Karena hal inilah, model efek acak juga disebut model komponen error
(error component model). Bentuk model acak dijelaskan pada persamaan berikut
ini :
Yit = αit + xjitβj + uit
dimana αit diasumsikan sebagai variabel random dari rata-rata nilai intersep (αi).
Nilai intersep untuk masing-masing individu dapat dituliskan :
αit = αi + εit i = 1,2,….,N
dimana αi adalah rata-rata intersep, εit adalah random error (yang tidak bisa
diamati) yang mengukur perbedaan karakteristik masing-masing individu.
Bentuk model efek acak ini kemudian dapat ditulis dengan rumus :
Yit = αit + xjitβj + εit + uit
Yit = αit + xjitβj + ωit
dimana : ωit = εit + uit
50
Bentuk ωit terdiri dari dua komponen error term yaitu εit sebagai
komponen cross section dan uit yang merupakan gabungan dari komponen time
series error dan komponen error kombinasi.
Bentuk model efek acak akhirnya dapat ditulis dengan persamaan :
Yit = αit + xjitβj + ωit
ωit = εi + vt + wit
dimana εi ~ N(0, δu2) = komponen cross section error
vt ~ N(0, δv2) = komponen time series error
wit ~ N(0, δw2) = komponen error kombinasi
dalam persamaan tersebut diasumsikan bahwa error secara individual tidak saling
berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya.
Dengan menggunakan model efek acak ini, maka dapat menghemat
pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang
dilakukan pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi parameter yang merupakan
hasil estimasi akan menjadi semakin efisien. Keputusan penggunaan model efek
tetap atau pun acak ditentukan dengan menggunakan Uji Hausmann.
Namun disamping dengan menggunakan tes statistika (uji Hausmann),
terdapat beberapa pertimbangan untuk memilih apakah akan menggunakan fixed
effect atau random effect. Apabila diasumsikan bahwa εi dan variabel bebas X
berkorelasi, maka fixed effect lebih cocok untuk dipilih. Sebaliknya, apabila εi dan
variabel bebas X tidak berkorelasi, maka random effect yang lebih baik untuk
dipilih (Gujarati, 2004). Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan acuan untuk
memilih antara fixed effect atau random effect adalah :
51
1. Bila T (banyaknya unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross
section) kecil, maka hasil fixed effect dan random effect tidak jauh berbeda
sehingga dapat dipilih pendekatan yang lebih mudah untuk dihitung yaitu
fixed effect model.
2. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan akan
berbeda jauh. Sehingga apabila diyakini bahwa unit cross section yang
dipilih dalam penelitian diambil secara acak (random) maka random effect
harus digunakan. Sebaliknya apabila diyakini bahwa unit cross section
yang dipilih dalam penelitian tidak diambil secara acak, maka harus
meggunakan fixed effect.
3. Apabila komponen error individual (εi) berkorelasi dengan variabel bebas
X maka parameter yang diperoleh dengan random effect akan bias
sementara parameter yang diperoleh dengan fixed effect tidak bias
4. Apabila N besar dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari random
effect dapat terpenuhi, maka random effect lebih efisien dibandingkan
fixed effect.
3.2.3 Uji Kesesuaian Model
Untuk menguji kesesuaian atau kebaikan model dari tiga metode pada
teknik estimasi data panel digunakan Chow Test dan Hausmann Test. Chow Test
digunakan untuk menguji kesesuaian model antara model yang diperoleh dari
pooled least square dan model yang diperoleh dari metode fixed effect.
52
Selanjutnya dilakukan Hausmann Test terhadap model terbaik yang diperoleh dari
hasil Chow Test dengan model yang diperoleh dari metode random effect.
1. Chow Test
Chow Test atau beberapa buku menyebutnya dengan pengujian F statistik
adalah pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least
Square atau Fixed Effect. Seperti yang diketahui, terkadang asumsi bahwa setiap
unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis
mengingat dimungkinkan saja setiap unit cross section memiliki perilaku yang
berbeda. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut :
H0 : Model PLS
H1 : Model Fixed Effect
Dasar penolakan terhadap hipotesa nol tersebut adalah dengan
menggunakan F statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow :
CHOW =
1 2
2
/ 1
/
ESS ESS NT
ESS NT N K
dimana :
ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model fixed effect
ESS2 = Residual Sum Square hasil pendugaan model pooled least square
N = jumlah data cross section
T = jumlah data time series
K = jumlah variabel penjelas
Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas
(N-1, NT – N - NK). Jika Chow Statistik (F-Statistik) hasil pengujian lebih besar
53
dari F-Tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol
sehingga model yang digunakan adalah model fixed effect, begitu juga sebaliknya.
Pengujian ini disebut Chow Test karena kemiripannya dengan Chow Test yang
digunakan untuk menguji stabilitas dari parameter (stability test).
2. Hausmann Test
Hausman Test adalah pengujian statistik sebagai dasar pertimbangan kita
dalam memilih apakah menggunakan model fixed effect atau model random effect.
Seperti yang diketahui bahwa penggunaan model fixed effect mengandung suatu
unsure trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan memasukkan variabel
dummy. Namun, penggunaan metode random effect juga harus memperhatikan
ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Pengujian ini dilakukan
dengan hipotesa sebagai berikut :
H0 : Model Random Effect
H1 : Model Fixed Effect
Sebagai dasar penolakan hipotesa nol tersebut digunakan dengan
menggunakan pertimbangan statistik Chi-Square. Statistik Hausmann dirumuskan
dengan :
1
0 1m b M M b ~ 2 K
dimana :
β = vektor statistik variabel fixed effect
b = vektor statistik variabel random effect
(M0) = matriks kovarian untuk dugaan model fixed effect
(M1) = matriks kovarian untuk dugaan model random effect
54
Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari Chi-Square (χ2) tabel, maka
cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap hipotesa nol sehingga model
yang lebih baik digunakan adalah model fixed effect, begitu pula sebaliknya.
3.2.4 Evaluasi Model
Untuk menghasilkan model yang efisien dan konsisten, perlu evaluasi
berdasarkan criteria ekonomi apakah hasil estimasi terhadap model regresi tidak
terjadi masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi. Selain itu,
juga perlu dilihat seberapa baik model dalam mengestimasi, berdasarkan nilai
koefisien determinasi.
1. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi berfungsi untuk menunjukkan seberapa baik model
yang diperoleh sesuai dengan data actual (goodness of fit), mengukur berapa
persentase variasi dalam peubah terikat mampu dijelaskan oleh informasi peubah
bebas. Kisaran nilai koefisien determinasi adalah 0 ≤ R2 ≤ 1. Model dikatakan
semakin baik apabila nilai R2 mendekati 1 atau 100 persen.
2. Multikolinearitas
Multikolinearitas adalah hubungan linear yang kuat antara variabel-
variabel bebas dalam persamaan regresi berganda. Gejala multikolinearitas ini
dapat dideteksi dari nilai R2 tinggi tetapi tidak terdapat atau sedikit sekali
koefisien dugaan yang berpengaruh nyata dan tanda koefisien regresi tidak sesuai
dengan teori (Gujarati, 2004). Multikolinearitas dalam pooled data dapat di atasi
dengan pemberian pembobotan (cross section weight) atau GLS, sehingga
55
parameter dugaan pada taraf uji tertentu (t-statistik maupun F-hitung) menjadi
signifikan.
3. Heteroskedastisitas
Dalam regresi linear berganda, salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar
taksiran parameter dalam model tersebut BLUE adalah var (ui) = σ2 (konstan),
semua error mempunyai variasi yang sama. Pada umumnya, heteroskedastisitas
diperoleh pada data cross section. Jika pada model dijumpai heteroskedastisitas,
maka akan membuat varians residual dari variabel tidak konstan (tidak
homoskedastisitas), sehingga menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun
tidak bias dan konsisten. Dengan kata lain, jika regresi tetap dilakukan meskipun
ada masalah heteroskedastisitas, maka hasil regresi akan menjadi misleading
(Gujarati, 2004).
Untuk menguji adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas, digunakan
uji white heteroskedasticity yang diperoleh dalam program E-views. Uji white
heteroskedasticity dilakukan dengan membandingkan Obs* R-Square dengan χ2
(Chi-Square) tabel. Jika nilai Obs* R-Square lebih kecil dari χ2 tabel, maka tidak
ada heteroskedastisitas pada model. Dalam pengolahan data panel dengan E-views
6, dapat digunakan metode General Least Square (cross section weight), dan
untuk mendeteksi heteroskedastisitas dilakukan dengan cara membandingkan Sum
Square Resid pada weighted statistics dengan Sum Square Resid unweighted
statistics. Jika Sum Square Resid pada weighted statistics lebih kecil dari Sum
Square Resid unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Perlakuan
56
untuk pelanggaran tersebut adalah dengan mengestimasi GLS menggunakan
White Heteroskedasticity.
4. Autokorelasi
Suatu model dikatakan memiliki autokorelasi jika error dari periode waktu
(time series) yang berbeda saling berkorelasi. Masalah autokorelasi ini akan
menyebabkan model menjadi tidak efisien meskipun masih tidak bias dan
konsisten. Autokorelasi menyebabkan estimasi standar error dan varian koefisien
regresi yang diperoleh akan underestimate, sehingga R2 akan besar serta uji-t dan
uji-F menjadi tidak valid. Autokorelasi yang kuat dapat menyebabkan dua
variabel yang tidak berhubungan menjadi berhubungan. Bila OLS digunakan,
maka akan terlihat koefisien signifikansi dan R2 yang besar atau juga disebut
sebagai regresi lancung atau palsu.
Untuk mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin
Watson (DW), yaitu dengan membandingkan nilai Durbin Watson dari model
dengan DW-tabel.
Tabel 3.1 Kerangka Identifikasi Autokorelasi
Nilai DW Hasil
4 - dl < DW < 4 Terdapat korelasi serial negatif
4 - du < DW < 4- dl Hasil tidak dapat ditentukan
2 < DW < 4 – du Tidak ada korelasi serial
du < DW < 2 Tidak ada korelasi serial
dl < DW < du Hasil tidak dapat ditentukan
0 < DW < dl Terdapat korelasi serial positif
Sumber : Irfany dan Holis dalam Pambudi, 2008
57
3.2.5 Spesefikasi Model Penelitian
Perumusan model penelitian hubungan antara variabel makroekonomi dan
kebijakan pemerintah daerah terhadap pembangunan manusia didasarkan pada
alur hubungan yang dijelaskan pada tinjauan pustaka dan tergambar pada Gambar
2.3. Berdasarkan penelitian dan kerangka pemikiran sebelumnya, maka analisis
data dibatasi pada empat variabel, yaitu variabel pembangunan manusia (IPM),
pertumbuhan ekonomi (PDRBK)4, tingkat kemiskinan (POV)1, alokasi belanja
publik daerah (BPUB)5.
Secara ekonometrika, hubungan antara variabel makroekonomi dan
kebijakan pemerintah daerah terhadap pembangunan manusia Propinsi Jawa Barat
dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan berikut ini :
ln IPMit = αi + β1 POVit + β2 PDRBKit + β4 BPUBit + uit
Dimana :
IPM = indeks pembangunan manusia
POV = tingkat kemiskinan (persen)
PDRBK = pendapatan domestik regional bruto per kapita (rupiah)
BPUB = alokasi belanja publik (persen)
3.3 Definisi Operasional
IPM = merupakan indeks komposit yang digunakan untuk mengukur
pencapaian rata-rata suatu negara dalam tiga hal mendasar
pembangunan manusia, yaitu : (1) lama hidup, yang diukur 4 Didasarkan pada model penelitian Yunitasari, 20075 Didasarkan pada penelitian Wibowo, 2008
58
dengan angka harapan ketika lahir; (2) pendidikan, yang diukur
berdasarkan rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf
penduduk usia 15 tahun ke atas; (3) standar hidup, yang diukur
dengan konsumsi per kapita.
POV = Penduduk yang secara ekonomi tidak mampu memenuhi
kebutuhan makanan setara 2100 kalori dan kebutuhan non
makanan yang mendasar.
PDRBK = jumlah nilai tambah (value added) yang dihasilkan oleh seluruh
unit usaha atau jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh seluruh unit kegiatan ekonomi dalam suatu daerah/wilayah.
Dalam penelitian ini digunakan PDRB per kapita ADHK.
BPUB = belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh
masyarakat. Dalam penelitian, belanja publik yang digunakan
adalah persentase realisasi belanja publik terhadap total belanja
daerah.
BAB 4
GAMBARAN UMUM
4.1 Kondisi Demografi
Sejarah perkembangan Propinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa Jawa
Barat merupakan Propinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad
Nomor : 378). Propinsi Jawa Barat dibentuk berdasarkan UU No.11 Tahun 1950,
tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat. Dalam sejarah perkembangannya,
telah banyak yang berubah dari Jawa Barat, baik di bidang pemerintahan,
ekonomi, maupun kemasyarakatan. Dengan lahirnya UU No.23 Tahun 2000
tentang Provinsi Banten, maka wilayah Banten resmi keluar dari wilayah
pemerintahan Propinsi Jawa Barat dan ditetapkan menjadi Provinsi Banten dengan
daerahnya meliputi : Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten
Lebak dan Kabupaten/Kota Tangerang serta Kota Cilegon. Dengan adanya
perubahan tersebut, maka saat ini Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 Kabupaten
yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis,
Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta,
Karawang, Bekasi dan Bandung Barat; selain itu juga terdapat 9 Kotamadya yaitu
Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya, dan
Banjar.
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah
penduduk yang cukup besar, bahkan terbesar di Indonesia. Menurut data Suseda
2007, jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat sebesar 41,48 juta jiwa dengan laju
60
pertumbuhan penduduk 1,84 persen. Jumlah tersebut mendiami wilayah seluas
34.588,89 km2 sehingga secara rata-rata kepadatan penduduk di Provinsi Jawa
Barat adalah 1.199,3 jiwa per km2. Wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak
adalah Kabupaten Bandung yaitu sebesar 4.399.128 jiwa, sedangkan wilayah
dengan penduduk paling sedikit adalah Kotamadya Banjar sebesar 177.118 jiwa.
Jika ditinjau dari kepadatan penduduk, wilayah terpadat adalah Kotamadya
Bandung dengan kepadatan mencapai 13.927,31 jiwa per km2, dan wilayah
dengan kepadatan terkecil adalah Kabupaten Sukabumi sebesar 579,47 jiwa per
km2 (Suseda 2006). Komposisi penduduk Jawa Barat tahun 2007 (hasil Suseda
2007) menurut jenis kelamin adalah penduduk laki-laki sebesar 20.919.807 orang
dan penduduk perempuan sebesar 20.563.922 orang dengan sex ratio sebesar
101,7 yang berarti setiap 1.000 perempuan berbanding dengan 1.017 laki-laki.
Adanya kelahiran dan adanya migrasi masuk dari daerah lain merupakan faktor
penambah penduduk. Sebagian besar penduduk Jawa Barat bekerja di sektor
pertanian (26,37%), perdagangan (25,60%) dan industri (17,37%).
Dalam negara berkembang, jumlah penduduk yang besar dengan mutu
yang rendah belum bisa dijadikan sebagai modal pembangunan bahkan sebaliknya
seringkali menjadi beban dalam proses pembangunan. Karena itu, untuk
menunjang keberhasilan pembangunan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat harus
secara terus-menerus melakukan upaya pengendalian jumlah penduduk, dengan
menciptakan tatanan keluarga kecil yang sehat dan berkualitas sebagai upaya
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ke depan. Berkualitas
61
bukan hanya dari sisi intelektualnya tetapi juga dari sisi moral, emosi, dan
spiritualnya. Tidak cukup badannya yang sehat tetapi jiwanya juga harus sehat.
4.2 Perekonomian Jawa Barat
Ditinjau dari segi perekonomian, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat
bertumpu pada tiga sektor dominan yang meliputi : (1) sektor industri pengolahan;
(2) sektor perdagangan, hotel dan restoran; serta (3) sektor pertanian. Ketiga
sektor tersebut dalam kurun waktu 2004-2007 mengalami perkembangan yang
berfluktuatif dengan kecenderungan meningkat. Sektor industri merupakan sektor
dengan perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh
kecenderungan pola tata ruang yang bersifat aglomeratif atau memusat.
Tabel 4.1 PDRB Propinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2004-2007 (Juta Rupiah)
No Lapangan usaha 2004 2005 2006 2007
1 Pertanian 34.457.716,98 34.942.015,45 34.822.021,09 35.687.490,42
2 Pertambangan & Penggalian 7.705.213,45 7.143.208,64 6.982.246,74 6.491.518,69
3 Industri pengolahan 96.978.417,53 105.334.047,15 114.299.625,74 122.702.671,33
4 Listrik, Gas & Air Bersih 5.337.897,17 5.649.829,62 5.427.579,55 5.750.578,63
5 Bangunan 6.602.399,92 7.780.823,72 8.232.950,09 8.928.178,08
6 P'dagangan, Hotel & Restoran 45.529.027,75 47.259.969,72 50.719.350,06 54.789.912,15
7 Pengangkutan & Komunikasi 10.309.020,56 10.329.164,21 11.143.253,97 12.271.024,90
8 Keu. Persewaan & js.p'ushaan 7.247.001,69 7.623.682,08 7.672.322,47 8.645.553,06
9 Jasa-jasa 15.836.800,82 16.821.141,16 18.200.096,05 18.728.217,67
Total PDRB 230.003.495,86 242.883.881,74 257.499.445,75 273.995.144,93
Sumber : BPS Pusat, 2008
Selain ketiga sektor tersebut, sektor lain yang memiliki kontribusi cukup
besar terhadap PDRB adalah sektor jasa serta pengangkutan dan komunikasi.
Sektor pengangkutan dan komunikasi harus mampu mengimbangi kemajuan
62
ekonomi Jawa Barat karena memiliki peran dalam mengatasi ekonomi biaya
tinggi.
4.3 Pembangunan Manusia di Jawa Barat
Pembangunan manusia dalam perencanaan pembangunan di Propinsi Jawa
Barat sudah menjadi fokus utama. Setelah berjalan hampir setengah dekade,
sebagian kalangan tampaknya merasa kurang optimis, keinginan mencapai IPM
80 bisa terwujud. Angka IPM 80 pada tahun 2010 dianggap tidak wajar dan tidak
rasional, karena hingga 2007 IPM Jawa Barat baru mencapai 70,76 (angka sangat
sementara) atau hanya naik 1,41 dari kondisi tahun 2005 yang mencapai 69,35.
Kekhawatiran tersebut sangat wajar mengingat jika dicermati laju perkembangan
IPM Jawa Barat relatif belum begitu menggembirakan selama beberapa tahun
terakhir, akan tetapi patut pula menjadi renungan bersama bagaimana
konsistennya negara jiran, Malaysia, mendukung tujuan “Wawasan 2020” untuk
menjadikan Malaysia sebagai negara maju menjelang tahun 2020. Belajar dari
semangat pemimpin negeri Malaysia untuk tetap konsisten dengan cita-cita
pendahulunya, maka konsep pembangunan manusia yang sudah menjadi semangat
pembangunan di Jawa Barat harus tetap diwujudkan walaupun terjadi pergantian
pimpinan daerah.
Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, pencapaian IPM
Provinsi Jawa Barat memperlihatkan pertumbuhan yang positif dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2005 misalnya, angka IPM Provinsi Jawa Barat telah mencapai
69,35 dan kemudian menunjukkan kemajuan yang cukup berarti di tahun 2006
menjadi 70,28 atau naik sekitar 0,93 poin, yang akhirnya pada tahun 2007 IPM
Jawa Barat mencapai 70,76 atau naik sebesar 0,48 poin dari tahun sebelumnya
(BPS Jawa Barat, 2007).
Selama kurun waktu 2 (dua) tahun pembangunan, terhitung dari 2005
hingga 2007, Jawa Barat telah mengalami peningkatan IPM sebesar 1,41 poin.
Suatu peningkatan yang cukup signifikan untuk provinsi sebesar Jawa Barat,
mengingat dengan jumlah penduduk mencapai 41,48 j
tantangan tersendiri untuk menjalankan proses peningkatan kualitas manusia.
Terlepas dari itu, sebesar apapun tantangan yang akan dihadapi, dengan semakin
terwujudnya optimalisasi dan sinergitas pola serta sasaran pembangunan manu
yang dikembangkan pemerintah dan masyarakat di Provinsi Jawa Barat selama ini
akan dapat lebih memacu lagi pertumbuhan pembangunan manusia, kaitannya
dengan target capaian IPM Jawa Barat 80 pada Tahun 2010.
Sumber : BPS Jawa Barat, Suseda 20Gambar 4.1 Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat
0102030405060708090
100
Indeks AHH2005 69,28
2006 70,67
2007 71,03
menjadi 70,28 atau naik sekitar 0,93 poin, yang akhirnya pada tahun 2007 IPM
Jawa Barat mencapai 70,76 atau naik sebesar 0,48 poin dari tahun sebelumnya
(BPS Jawa Barat, 2007).
run waktu 2 (dua) tahun pembangunan, terhitung dari 2005
hingga 2007, Jawa Barat telah mengalami peningkatan IPM sebesar 1,41 poin.
Suatu peningkatan yang cukup signifikan untuk provinsi sebesar Jawa Barat,
mengingat dengan jumlah penduduk mencapai 41,48 juta jiwa tentunya menjadi
tantangan tersendiri untuk menjalankan proses peningkatan kualitas manusia.
Terlepas dari itu, sebesar apapun tantangan yang akan dihadapi, dengan semakin
terwujudnya optimalisasi dan sinergitas pola serta sasaran pembangunan manu
yang dikembangkan pemerintah dan masyarakat di Provinsi Jawa Barat selama ini
akan dapat lebih memacu lagi pertumbuhan pembangunan manusia, kaitannya
dengan target capaian IPM Jawa Barat 80 pada Tahun 2010.
Sumber : BPS Jawa Barat, Suseda 2005-2007Gambar 4.1 Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat
Tahun 2005-2007
Indeks AHH Indeks AMH Indeks RLS Indeks PPP IPM94,52 49,73 59,18 69,35
94,9 49,73 60,34 70,28
95,63 52,13 60,13 70,76
63
menjadi 70,28 atau naik sekitar 0,93 poin, yang akhirnya pada tahun 2007 IPM
Jawa Barat mencapai 70,76 atau naik sebesar 0,48 poin dari tahun sebelumnya
run waktu 2 (dua) tahun pembangunan, terhitung dari 2005
hingga 2007, Jawa Barat telah mengalami peningkatan IPM sebesar 1,41 poin.
Suatu peningkatan yang cukup signifikan untuk provinsi sebesar Jawa Barat,
uta jiwa tentunya menjadi
tantangan tersendiri untuk menjalankan proses peningkatan kualitas manusia.
Terlepas dari itu, sebesar apapun tantangan yang akan dihadapi, dengan semakin
terwujudnya optimalisasi dan sinergitas pola serta sasaran pembangunan manusia
yang dikembangkan pemerintah dan masyarakat di Provinsi Jawa Barat selama ini
akan dapat lebih memacu lagi pertumbuhan pembangunan manusia, kaitannya
Gambar 4.1 Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia Jawa Barat
IPM69,35
70,28
70,76
64
Jika ditelaah menurut komponen penyusun IPM, peningkatan capaian
Provinsi Jawa Barat periode 2005-2007 secara nyata didukung oleh meningkatnya
kualitas kesehatan penduduk kemudian tingkat pendidikan serta terakhir oleh
komponen daya beli. Hal tersebut tercermin dari kenaikan IPM sebesar 1,41 poin
(2005-2007) merupakan hasil dari peningkatan indeks komponen kesehatan
sebesar 1,75 poin, indeks komponen pendidikan 1,54 poin serta indeks daya beli
0,95 poin. Kondisi tersebut dimungkinkan karena pada kedua komponen pertama
(kesehatan dana pendidikan), program pembangunan yang dilaksanakan pada saat
ini tidak terlepas dari perencanaan serta tahapan pembangunan di masa
sebelumnya dimana pada dua komponen ini relatif lebih mudah diterapkan suatu
kebijakan maupun intervensi pembangunan.
Pemerintah, pusat maupun daerah, telah serius dalam mengupayakan
segala bentuk kemudahan bagi masyarakat luas untuk mengakses sarana
pendidikan dan kesehatan dasar. Upaya yang ditempuh antara lain melalui
peningkatan kualitas serta penambahan jumlah sarana maupun pembebasan
pungutan biaya untuk mendapatkan pelayanan (Bantuan Operasional Sekolah,
keaksaraan fungsional dan pendidikan luar sekolah, pelayanan kesehatan gratis,
dan sebagainya). Meskipun di beberapa wilayah Jawa Barat, khususnya daerah
‘tertinggal’, dirasa belum optimal pelaksanaannya sehingga masih membutuhkan
perhatian yang lebih guna mempertajam hasil yang ingin dicapai. Sedangkan pada
komponen daya beli sendiri, meskipun dimungkinkan bagi pemerintah untuk
melakukan intervensi, dampaknya masih belum begitu terlihat mengingat masih
65
cukup besar pengaruh yang dirasakan masyarakat akibat kondisi pasar serta
stabilitas ekonomi.
Terdapat hal menarik dari realita di atas, bahwasanya kesehatan dan
pendidikan merupakan komponen yang kontribusinya sulit untuk dipacu untuk
menghasilkan peningkatan yang sifatnya spontan dan dapat dirasakan dalam
waktu dekat. Peningkatan yang terjadi, seperti telah diungkapkan, tidak terlepas
dari pondasi pembangunan yang telah diletakkan sebelumnya serta sifatnya relatif
lebih stabil dan mudah mengalami kejenuhan apabila telah mencapai derajat
tertentu. Misalkan, daerah perkotaan yang telah mencapai angka melek huruf
cukup tinggi pasti akan mengalami ‘stagnasi’ peningkatan capaian indikator,
demikian pula dengan rata-rata lama sekolah serta angka harapan hidup (BPS
Jawa Barat, 2008)
Berbeda halnya dengan potensi komponen daya beli yang kontribusi dapat
bertambah secara nyata seiring dengan keberhasilan peningkatan kesejahteraan
masyarakat sebagai dampak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan.
Potensi tersebut terlihat demikian besarnya mengingat indeks yang telah dicapai
Jawa Barat hanya sebesar 60,13 sangat rendah dibanding capaian indeks
kesehatan (71,03) maupun pendidikan (81,13). Namun sayangnya pertumbuhan
ekonomi kita masih dalam skala medium serta diperparah dengan masih didapati
ketimpangan pemerataan pendapatan penduduk di beberapa wilayah Jawa Barat.
66
4.4 Pemekaran Daerah di Propinsi Jawa Barat
Sebagai provinsi dengan luas daerah dan jumlah penduduk yang cukup
besar, Jawa Barat menghadapi permasalahan yang cukup kompleks dalam hal
rentang kendali dan penyebaran pembangunan. Kesenjangan pembangunan akibat
pemusatan pertumbuhan ekonomi di sejumlah kawasan menimbulkan persoalan-
persoalan kesejahteraan, seperti kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Bahkan
isu etnisitas yang membedakan antara Priangan dengan non Priangan turut
mewarnai wacana pemekaran daerah di Jawa Barat.
Bila merujuk pada desain penataan wilayah yang dibuat Pemerintah
Provinsi Jawa Barat pada tahun 1990 yang termuat dalam Pola Induk
Pengembangan Wilayah Propinsi DATI I Jawa Barat dalam jangka panjang (25-
30 tahun), kebijakan kemungkinan penataan kembali Daerah Tingkat II di Jawa
Barat diarahkan untuk berkembang dari 24 menjadi 42 Daerah Tingkat II.
Meskipun demikian, hingga tahun 2006, jumlah daerah otonom di Jawa Barat
masih berjumlah 26 termasuk dengan Kabupaten Bandung Barat yang dibentuk
pada akhir tahun 2006.
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis dampak pemekaran wilayah dan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat diestimasi dengan
menggunakan analisis deskriptif untuk menjelaskan bagaimana perkembangan
indeks pembangunan manusia di Jawa Barat sebelum dan setelah adanya
pemekaran daerah serta untuk menjelaskan pengaruh pemekaran terhadap
pembangunan manusia di Jawa Barat. Analisis panel data dilakukan dengan 22
kabupaten/kota sebagai komponen cross section dan periode 2002-2006 sebagai
komponen time series. Analisis panel data digunakan untuk melihat faktor-faktor
yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia di Jawa Barat.
Dalam analisis panel data, variabel Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
dijadikan sebagai variabel terikatnya, yang dihubungkan dengan beberapa variabel
bebas (penjelas) yaitu, pendapatan per kapita atas dasar harga konstan (PDRBK),
tingkat kemiskinan (POV), dan alokasi belanja publik (BPUB).
5.1 Perkembangan Indeks Pembangunan Manusia Sebelum dan Setelah Pemekaran di Propinsi Jawa Barat
Dalam konteks kebijakan hubungan antara pemerintah Pusat dan Daerah,
kebijakan pembangunan dapat dilihat dari sisi pelimpahan kewenangan atau
urusan untuk melaksanakan pembangunan tersebut. Ada dua pendekatan yang
biasa digunakan, yaitu pendekatan sentralisasi dan pendekatan desentralisasi.
Pendekatan sentralisasi lebih mengutamakan efisiensi, sementara itu pendekatan
68
desentralisasi lebih mengedepankan kemandirian daerah dan keadilan ketimbang
efisiensi. Seiring dengan bergulirnya masa otonomi daerah, Pemerintah Propinsi
Jawa Barat memfokuskan kebijakan pembangunan pada upaya peningkatan
kualitas Sumber Daya Manusia secara nyata dan berkelanjutan (sustainable).
Dengan adanya otonomi daerah, daerah yang merasa diperlakukan kurang “adil”
yang tercermin dari distribusi pendapatan dan tingkat pengembalian kekayaan
yang dimiliki ke wilayahnya, berusaha untuk mengembangkan daerah baru dan
memisahkan diri dari daerah induknya.
Tabel 5.1 Perkembangan IPM Jawa Barat Tahun 2002-2006IPM 2002 2003 Laju (%) 2004 2005 2006 Laju (%)
Kab bogor 65,60 67,81 3,37 68,10 68,99 69,79 1,23Kab sukabumi 63,80 67,13 5,22 67,56 68,54 69,04 1,09Kab cianjur 64,50 65,58 1,67 66,18 66,79 67,44 0,95Kab bandung 68,80 67,51 -1,87 68,52 69,16 70,41 1,37Kab garut 62,80 65,21 3,84 66,31 67,03 68,61 1,72Kab tasik 67,10 67,06 -0,06 68,46 69,08 69,74 0,93Kab ciamis 65,30 69,93 7,09 70,89 71,08 71,95 0,75Kab kuningan 65,00 67,28 3,51 68,00 68,80 69,17 0,86Kab Cirebon 62,40 63,00 0,96 63,97 64,58 65,51 1,20Kab majalengka 64,40 67,35 4,58 68,01 68,52 68,81 0,59Kab sumedang 67,50 69,67 3,21 70,65 71,40 71,66 0,71Kab indramayu 61,20 61,90 1,14 63,24 64,48 65,72 1,94Kab subang 63,00 67,42 7,02 68,20 68,47 69,06 0,63Kab purwakarta 65,60 68,19 3,95 68,86 69,52 69,85 0,72Kab karawang 62,90 64,33 2,27 65,04 66,35 66,95 1,46Kab bekasi 66,90 69,78 4,30 70,52 70,88 71,08 0,40Kota bogor 71,90 73,96 2,87 74,64 74,94 75,09 0,30Kota sukabumi 69,20 73,40 6,07 73,96 74,58 75,09 0,76Kota bandung 73,00 77,15 5,68 77,17 77,42 77,48 0,20Kota Cirebon 69,20 71,00 2,60 71,92 72,52 73,05 0,78Kota bekasi 72,80 73,49 0,95 74,95 75,48 75,65 0,47Kota depok 73,90 76,13 3,02 76,85 77,81 77,97 0,73Kota cimahi - - - 73,83 75,16 75,25 0,96Kota tasik - - - 71,05 71,62 72,33 0,90Kota banjar - - - 71,52 71,73 71,94 0,29
Jawa Barat 65,8 67,87 3,15 68,36 69,35 70,28 1,39Sumber : Data Basis IPM Jabar 2002-2006 (diolah)
69
Secara umum, dengan membandingkan kondisi capaian Indeks
Pembangunan Manusia Jawa Barat sebelum dan setelah adanya pemekaran
wilayah, seluruh kabupaten dan kota yang ada di Propinsi Jawa Barat mengalami
peningkatan dalam pencapaian IPM. Hal ini dapat diartikan bahwa akhirnya
masyarakat dapat menjangkau dan mengenyam pendidikan lebih baik, mampu dan
mudah memperoleh pelayanan kesehatan serta mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Berdasarkan tabel perkembangan IPM Jawa Barat, terlihat jelas bahwa
daerah-daerah baru hasil pemekaran (Kota Cimahi, Tasik, dan Banjar) ternyata
berhasil meraih nilai IPM yang lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah
induknya. Hal tersebut disebabkan oleh daerah-daerah baru yang dibentuk
memang sejak awal telah berkembang menjadi daerah potensial, sehingga
statusnya ditingkatkan dari kecamatan menjadi Kota Administratif (Kotif).
Rentang waktu dari kotif menjadi kota otonom pun relatif memadai untuk
mempersiapkan struktur dan manajemen pemerintahan. Sebagai contoh adalah
Kota Cimahi yang pada tahun 1935 merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Bandung, kemudian menjadi Kota Administratif pada tahun 1975 dan
baru menjadi Kotamadya pada tahun 2002, sehingga tidak heran bila daerah-
daerah baru tersebut mampu melaju meninggalkan daerah-daerah induknya.
Namun demikian, dampak negatif yang ditimbulkan dengan adanya
pemekaran wilayah adalah ketimpangan antara daerah induk dan daerah baru hasil
pemekaran. Hal ini seperti terjadi di Kabupaten Tasikmalaya yang merupakan
daerah induk dari Kotamadya Tasikmalaya. Ketimpangan yang paling terlihat
70
secara signifikan setelah pemekaran wilayah adalah keuangan daerah, khususnya
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Setelah terjadi pemekaran wilayah,
Kabupaten Tasikmalaya di satu pihak hanya memiliki PAD yang sangat kecil,
sementara Kota Tasikmalaya memiliki PAD yang relatif lebih besar. Hal ini
terjadi karena konsentrasi sumber-sumber PAD yang potensial berada di Kota
Tasikmalaya. Dengan demikian, daerah induk yang seharusnya mampu membina
daerah baru pecahannya, dalam hal PAD tidak mampu untuk melakukan
pembinaan, bahkan sebagian PAD Kota Tasikmalaya (lebih kurang 30%)
diserahkan kepada Kabupaten Tasikmalaya.
Tabel 5.2 Perbandingan Capaian PAD setelah Dimekarkan Tahun 2004-2006(dalam juta rupiah)
Daerah Tahun Daerah Tahun
Induk 2003 2004 2005 2006 Baru 2004 2005 2006Kab. Bandung 99.760,6 109.581,8 108.322,4 137.532,5 Kota Cimahi 39.454,3 47.688,4 50.243,3Kab. Ciamis 27.856,9 32.368,1 24.946,6 30.984,0 Kota Banjar 4.430,3 13.237,2 18.790,1
Kab. Tasik 18.659,2 20.844,6 21.865,6 35.440,6 Kota Tasik 29.937,4 29.671,6 50.829,8Sumber: Data APBD Kab/Kota di Propinsi Jawa Barat 2003-2007
Selain pada daerah-daerah hasil pemekaran, nilai Indeks Pembangunan
Manusia di wilayah perkotaan cenderung lebih besar dibandingkan dengan
pencapaian di wilayah kabupaten. Kondisi ini sebenarnya terkait dengan adanya
ketimpangan antara kota dan kabupaten. Seperti diketahui, sebagian besar wilayah
kabupaten merupakan wilayah pedesaan. Hal ini menggambarkan bahwa sebagian
besar penduduk di kabupaten bekerja di sektor pertanian sedangkan sebagian
besar penduduk di wilayah perkotaan bekerja di sektor perdagangan dan jasa.
Walaupun ada beberapa kabupaten yang menjadi kawasan industri seperti di
Kabupaten Karawang, Bogor dan Bekasi, namun secara agregat sebagian besar
penduduk kabupaten di Propinsi Jawa Barat bekerja di sektor pertanian. Jika
71
dikaitkan dengan teori ketimpangan antara kota dan desa, masyarakat perkotaan
secara rata-rata tentu akan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan masyarakat di pedesaan sehingga masyarakat perkotaan memiliki daya
beli dan akses terhadap kebutuhan sosial seperti pendidikan dan kesehatan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di kabupaten.
Tabel 5.3 Perkembangan Ketimpangan Pendapatan di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002-2006
Gini Rasio 2002 2003 2004 2005 2006Kab bogor 0,193 0,176 0,165 0,185 0,187Kab sukabumi 0,196 0,179 0,217 0,213 0,217Kab cianjur 0,172 0,158 0,186 0,192 0,203Kab bandung 0,179 0,157 0,155 0,155 0,171Kab garut 0,214 0,205 0,240 0,219 0,229Kab tasik 0,218 0,200 0,186 0,207 0,221Kab ciamis 0,191 0,183 0,168 0,165 0,165Kab kuningan 0,181 0,180 0,181 0,146 0,154Kab Cirebon 0,197 0,196 0,281 0,261 0,247Kab majalengka 0,193 0,188 0,326 0,225 0,232Kab sumedang 0,186 0,185 0,179 0,169 0,172Kab indramayu 0,166 0,164 0,230 0,204 0,203Kab subang 0,153 0,148 0,242 0,219 0,233Kab purwakarta 0,152 0,151 0,242 0,215 0,211Kab karawang 0,167 0,165 0,236 0,228 0,225Kab bekasi 0,122 0,121 0,130 0,194 0,202Kota bogor 0,123 0,122 0,168 0,158 0,175Kota sukabumi 0,163 0,159 0,223 0,191 0,200Kota bandung 0,111 0,110 0,094 0,159 0,178Kota Cirebon 0,169 0,157 0,228 0,198 0,205Kota bekasi 0,132 0,126 0,088 0,184 0,196Kota depok 0,121 0,118 0,121 0,199 0,192Kota cimahi - - 0,185 0,195 0,200Kota tasik - - 0,210 0,199 0,206Kota banjar - - 0,165 0,213 0,226
Sumber : Data Basis IPM Jawa Barat 2002-2007
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa ketimpangan pendapatan
bervariasi tiap kabupaten dan kota. Dari tabel juga dapat dilihat bahwa daerah-
daerah hasil pemekaran ternyata memiliki ketimpangan yang lebih tinggi
dibandingkan daerah induknya. Hal ini semakin menjelaskan adanya ketimpangan
72
antara kabupaten dan kota, dimana di wilayah kabupaten yang sebagian besar
penduduknya bekerja di sektor pertanian, menyebabkan distribusi pendapatan
penduduknya lebih seragam dan merata dibandingkan dengan di wilayah
perkotaan.
Tabel 5.4 Penduduk 10 Tahun Keatas Yang Bekerja Menurut Kabupaten dan Lapangan Usaha
Lapangan UsahaKabupaten/Kota Pertanian Industri Perdagangan Jasa
2003 2006 2003 2006 2003 2006 2003 2006Kab. Bogor 19,03 18,87 21,76 20,00 27,35 26,32 14,99 17,34Kab. Sukabumi 47,34 37,75 12,29 9,81 18,79 20,72 8,31 11,72Kab. Cianjur 60,56 57,46 4,79 4,54 19,09 17,53 6,58 6,25Kab. Bandung 24,37 24,04 27,17 25,97 20,98 21,04 12,47 10,72Kab. Garut 46,23 40,57 8,54 9,87 24,64 24,50 8,52 12,47Kab. Tasikmalaya 52,73 47,44 15,67 15,50 14,88 19,69 6,93 7,71Kab. Ciamis 52,47 37,89 8,91 16,05 21,31 24,53 6,57 9,29Kab. Kuningan 50,21 40,48 5,79 5,41 25,87 28,64 8,10 12,35Kab. Cirebon 35,06 17,57 12,77 19,28 26,31 34,89 13,70 11,96Kab. Majalengka 50,13 32,32 15,19 16,99 19,41 26,11 5,88 8,52Kab. Sumedang 43,85 40,15 12,71 15,74 19,70 21,51 9,99 11,00Kab. Indramayu 52,58 43,41 6,78 6,16 18,94 26,63 8,94 9,64Kab. Subang 57,82 40,73 5,23 7,43 19,16 25,06 6,10 9,38Kab. Purwakarta 34,09 24,54 17,45 19,20 21,91 21,12 8,37 11,78Kab. Karawang 41,84 24,48 15,99 18,23 19,96 29,17 10,28 9,87Kab. Bekasi 17,89 9,84 26,07 28,33 23,83 29,32 11,75 14,24Kota Bogor 4,76 2,30 17,73 21,53 26,99 26,05 26,62 28,84Kota Sukabumi 6,02 4,47 13,28 8,99 40,46 33,71 16,90 31,96Kota Bandung 1,29 2,11 27,30 25,96 35,78 35,12 16,96 19,24Kota Cirebon 3,37 2,27 9,56 9,19 37,00 40,18 25,30 25,20Kota Bekasi 3,51 1,16 24,04 25,46 18,08 23,78 29,02 22,86Kota Depok 3,29 1,28 16,81 14,94 26,60 28,33 27,07 29,34Kota Cimahi - 0,28 - 41,38 - 21,21 - 22,54Kota Tasikmalaya - 7,72 - 28,63 - 30,69 - 15,24Kota Banjar - 28,71 - 14,33 - 20,93 - 13,83
Jawa Barat 34,86 26,37 15,96 17,37 22,57 25,60 11,97 13,61Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah 2005
Selain faktor ketimpangan kota dan desa, faktor lain yang turut
menyebabkan timpangnya nilai pencapaian Indeks Pembangunan Manusia di
wilayah perkotaan dan kabupaten adalah faktor sarana dan prasarana publik
73
seperti air bersih. Berikut adalah gambaran rumah tangga di kabupaten/kota
terhadap akses sumber air minum bersih.
Tabel 5.5 Rumah tangga Menurut Kabupaten/Kota dan Sumber Air Minum Bersih
Sumber Air MinumKabupaten/Kota 2002 2005
Bersih (%) Tak Bersih (%) Bersih (%) Tak Bersih (%)Kab. Bogor 76,40 23,60 75,87 24,13Kab. Sukabumi 65,13 34,87 79,45 20,55Kab. Cianjur 74,20 25,80 83,65 16,35Kab. Bandung 84,94 15,06 89,26 10,74Kab. Garut 63,31 36,69 73,12 26,88Kab. Tasikmalaya 62,76 37,24 70,91 29,09Kab. Ciamis 72,85 27,15 75,47 24,53Kab. Kuningan 83,85 16,15 73,60 26,4Kab. Cirebon 93,34 6,66 87,06 12,94Kab. Majalengka 77,48 22,52 81,54 18,46Kab. Sumedang 88,10 11,90 86,24 13,76Kab. Indramayu 91,14 8,86 91,38 8,62Kab. Subang 81,57 18,43 97,16 2,84Kab. Purwakarta 48,70 51,30 52,11 47,89Kab. Karawang 84,83 15,17 85,52 14,48Kab. Bekasi 90,48 9,52 95,53 4,47Kota Bogor 86,90 13,10 99,01 0,99Kota Sukabumi 94,99 5,01 96,25 3,75Kota Bandung 97,45 2,55 99,17 0,83Kota Cirebon 97,04 2,96 98,75 1,25Kota Bekasi 98,73 1,27 99,14 0,86Kota Depok 93,44 6,56 90,19 9,81Kota Cimahi - - 92,59 7,41Kota Tasikmalaya - - 84,13 15,87Kota Banjar - - 85,65 14,35
Jawa Barat 81,21 18,79 85,05 14,95Sumber : Survei Sosial Ekonomi Daerah Jawa Barat 2002
Survei Sosial Ekonomi Daerah Jawa Barat 2005
Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa masyarakat yang tinggal
di wilayah perkotaan memiliki akses yang lebih baik untuk menikmati sarana dan
prasarana air minum bersih. Air minum bersih merupakan faktor yang memegang
peranan penting terhadap kesehatan karena dapat menggambarkan tingkat sanitasi
masyarakat. Semakin banyak orang yang menggunakan air minum bersih untuk
74
kebutuhan hidupnya maka kesehatan orang tersebut akan semakin baik jika
dibandingkan orang yang menggunakan air tidak bersih.
Jika ditinjau dari laju pertumbuhan IPM sebelum dan setelah pemekaran,
laju pertumbuhan IPM di Jawa Barat,mempunyai nilai yang positif atau dengan
kata lain IPM di Jawa Barat selalu meningkat tiap tahunnya, baik sebelum
maupun setelah pemekaran. Namun, laju pertumbuhan yang sama-sama bernilai
positif tersebut jika dibandingkan antara sebelum dan setelah pemekaran, ternyata
laju pertumbuhan IPM Jawa Barat sebelum dimekarkan lebih besar dibandingkan
setelah adanya pemekaran. Hal ini berarti pemekaran wilayah di Jawa Barat
belum dapat dijadikan sebagai arah kebijakan akselerasi guna memacu
pertumbuhan IPM Jawa Barat menuju visi Jawa Barat 2010.
5.2 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembangunan Manusia di Propinsi Jawa Barat
5.2.1 Uji Kesesuaian Model
Untuk mengetahui model yang akan dipilih antara fixed effect dan random
effect, maka dilakukan uji Hausman. Berdasarkan uji Hausman, didapat nilai Chi-
Square pada taraf nyata 5 persen sebesar 163,547090 dengan probabilitas 0,0000.
Karena nilai Chi-Square statistik lebih besar dari Chi-Square tabel dengan derajat
bebas 3 sebesar 7,81473 maka tolak hipotesis nol yang berarti pendekatan fixed
effect lebih cocok untuk digunakan dalam mengestimasi data. Selain dengan
melihat nilai Chi-Square, uji kesesuaian juga dapat dilihat dari nilai probabilitas
(p-value). Jika nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata 5 persen maka model
yang digunakan adalah fixed effect. Pengolahan dengan model fixed effect secara
75
umum dapat dilakukan dengan metode Pooled Least Square (no weighted) atau
dengan General Least Square (cross section weight).
Tabel 5.6 Hasil Estimasi Fixed Effect dengan pembobotan (cross section weight) dan white cross section
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.994286 0.473476 2.099973 0.0387POV 0.002589 0.000828 3.126944 0.0024
LN_PDRBK 0.205278 0.031564 6.503533 0.0000BPUB 0.000748 0.000125 5.964512 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.979951 Mean dependent var 6.005768Adjusted R-squared 0.974290 S.D. dependent var 4.051804S.E. of regression 0.014965 Sum squared resid 0.019035F-statistic 173.1103 Durbin-Watson stat 1.847053Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.946464 Mean dependent var 4.236655Sum squared resid 0.019395 Durbin-Watson stat 1.717557
Sumber : Lampiran
5.2.2 Uji Pelanggaran Asumsi
Setelah didapatkan keputusan untuk menggunakan model fixed effect,
langkah selanjutnya adalah melakukan uji pelanggaran asumsi agar model terbaik
memenuhi asumsi klasik regresi, yaitu terbebas dari heteroskedastisitas, dan
autokorelasi. Salah satu asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi
adalah homoskedastisitas atau dengan kata lain, model harus bersifat BLUE (Best
Linier Unbiased Estimate). Kondisi ini tercapai jika semua residual atau error
memiliki varian yang sama. Apabila varian error tidak konstan atau berubah-
ubah, maka hal tersebut disebut heteroskedastisitas. Untuk mengetahui adanya
76
masalah heteroskedastisitas dapat dilakukan metode fixed effect dengan
pembobotan (General Least Square/Cross Section Weight), yaitu membandingkan
antara sum square resid pada weighted statistics dan sum square resid pada
unweighted statistics. Jika nilai sum square resid pada pada weighted statistics
lebih kecil dari sum square resid pada unweighted statistics, maka diindikasikan
terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah ini, dilakukan uji white
dengan mengestimasi model menggunakan pembobotan (GLS) kemudian
dilakukan white heteroscedasticity covariance.
Setelah menguji masalah heteroskedastisitas, asumsi lain yang harus
dipenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model. Dengan jumlah observasi
110 dan variabel penjelas di luar konstanta sebanyak 3, didapatkan nilai dL 1,613
dan dU 1,736. Nilai Durbin Watson hasil estimasi sebesar 1,847 berada pada (dU <
DW < 2) yaitu (1,736 < 1,847 < 2) yang berarti bahwa tidak ada korelasi serial.
5.2.3 Evaluasi Model
Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi
secara bersamaan (uji semesta). Jika nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari
taraf nyata, maka berarti minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh nyata
terhadap peubah dependen (terikat). Dari hasil estimasi terbaik, terlihat bahwa
nilai probalititas F-statistik bernilai 0,000000 yang berarti minimal ada satu
variabel bebas dalam model yang mempengaruhi pembangunan manusia di
Propinsi Jawa Barat.
77
Setelah melakukan uji-F, langkah selanjutnya adalah melakukan uji-t. Uji-t
dilakukan untuk menghitung koefisien regresi secara individu. Apabila t-hitung
lebih besar dari t-tabel, berarti variabel bebas dalam dalam model nyata secara
statistik pada taraf 5 persen. Pada tabel distribusi-t didapatkan nilai t-tabel untuk
persamaan dengan derajat bebas 80 ((NxT)-(N-1)-K) sekitar 2,000. Dari hasil
estimasi terbaik didapatkan 3 variabel yang mempunyai nilai t-statistik lebih besar
dari t-tabel. Variabel-variabel tersebut adalah tingkat kemiskinan, pendapatan per
kapita, dan belanja publik.
Koefisien determinasi (goodness of fit) merupakan suatu ukuran yang
penting karena menggambarkan baik atau tidaknya model regresi yang diestimasi.
Nilai R2 mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel independen (terikat)
dapat dijelaskan oleh variabel bebas. Semakin tinggi nilai R2 maka kemampuan
variabel bebas untuk menjelaskan variabel terikatnya semakin baik. Dari hasil
estimasi terbaik didapatkan nilai R2 sebesar 0,9799 yang berarti bahwa 97,99
persen keragaman pembangunan manusia di Jawa Barat dapat dijelaskan oleh
model tersebut, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
Uji normalitas dilakukan untuk memeriksa apakah error term mendekati
distribusi normal atau tidak. Jika asumsi ini tidak terpenuhi, maka prosedur
pengujian mengguakan statistik-t menjadi tidak sah. Uji normalitas error term
dapat dilakukan dengan menggunakan uji Jarque Bera.
78
Sumber : Lampiran
Gambar 5.1 Hasil Uji Normalitas
Berdasarkan gambar di atas, didapatkan nilai probabilitas Jarque Bera
yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen. Hal ini berarti error term terdistribusi
dengan normal, sehingga pengujian menggunakan statistik-t telah sah.
Keunggulan pendekatan efek tetap dalam mengestimasi data panel adalah
dapat mengakomodasi heterogenitas unit-unit observasi yang digunakan.
Heterogenitas unit observasi dapat dilihat pada cross section effect. Nilai-nilai
tersebut mempengaruhi heterogenitas konstanta intersep unit-unit cross section
yang digunakan. Konstanta intersep dalam suatu hasil regresi menggambarkan
komponen peubah terikat yang tidak dapat diterangkan oleh masing-masing
peubah bebas yang digunakan dalam model. Nilai tersebut menunjukkan jika
semua peubah yang digunakan tidak berpengaruh nyata, maka nilai intersep
menunjukkan nilai IPM yang sesungguhnya.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
-0.02 -0.01 -0.00 0.01 0.02
Series: Standardized ResidualsSample 2002 2006Observations 110
Mean 3.23e-18Median 0.002462Maximum 0.023816Minimum -0.027151Std. Dev. 0.013215Skewness -0.335681Kurtosis 2.234378
Jarque-Bera 4.752477Probability 0.092899
79
Tabel 5.7 Hasil Cross Section Effect
CROSSID Effect1 Kab. Bogor -0.0319022 Kab. Sukabumi 0.0573483 Kab. Cianjur 0.0448864 Kab. Bandung -0.0307405 Kab. Garut 0.0023606 Kab. Tasikmalaya 0.0742597 Kab. Ciamis 0.0699568 Kab. Kuningan 0.0697389 Kab. Cirebon 0.015114
10 Kab. Majalengka 0.06845111 Kab. Sumedang 0.05609112 Kab. Indramayu -0.20274413 Kab. Subang 0.00829914 Kab. Purwakarta -0.08744715 Kab. Karawang -0.12918616 Kab. Bekasi -0.26805817 Kota Bogor 0.12602118 Kota Sukabumi 0.07122919 Kota Bandung 0.01911620 Kota Cirebon -0.20817321 Kota Bekasi 0.06918522 Kota Depok 0.206196
Sumber : Lampiran
5.2.4 Intepretasi Model
Dari hasil pengolahan data dengan model fixed effect GLS, diketahui
bahwa variabel yang secara signifikan mempengaruhi pembangunan manusia
Propinsi Jawa Barat pada taraf nyata 5 persen adalah tingkat kemiskinan, PDRB
per kapita dan belanja publik.
5.3.4.1 Tingkat Kemiskinan
Variabel kemiskinan yang dalam hal ini menggunakan persentase jumlah
penduduk miskin mempengaruhi pembangunan manusia Propinsi Jawa Barat
secara signifikan pada taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien regresi dari variabel
tingkat kemiskinan sebesar 0,0026 dengan probabilitas (p-value) sebesar 0,0024.
80
Artinya secara rata-rata, indeks pembangunan manusia Jawa Barat mengalami
peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 0,26 persen seiring dengan
peningkatan kemiskinan sebesar 1 persen tiap tahunnya, asumsi cateris paribus.
Hubungan yang positif mengindikasikan bahwa sejalan dengan peningkatan
kemiskinan yang terjadi, pembangunan manusia Jawa Barat justru semakin
meningkat. Hal ini bertentangan dengan hipotesis awal yang telah dibuat
sebelumnya.
Tingkat kemiskinan di propinsi Jawa Barat masih tergolong cukup tinggi
yaitu sebesar 12,1 persen, atau berjumlah 4.654.200 jiwa pada tahun 2004. Jumlah
ini kemudian meningkat pada tahun 2005 seiring dengan adanya kebijakan
kenaikan harga BBM. Data dari BPS Jawa Barat pada tahun 2006 tercatat jumlah
penduduk miskin di Jawa Barat mencapai 13,39 persen. Jika diasumsikan jumlah
penduduk Jawa Barat pada tahun 2006 sebesar 40 juta, maka total penduduk
miskin mencapai 5,35 juta.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang terus tumbuh setiap tahunnya
ternyata tidak diimbangi oleh distribusi pendapatan yang merata di masyarakat.
Hal ini dapat terlihat dari Tabel 5.3, dimana kecenderungan ketimpangan
pendapatan kabupaten/kota di Jawa Barat semakin meningkat selama periode
2002-2006. Laju pertumbuhan ekonomi yang positif seharusnya diimbangi
dengan daya serap tenaga kerja, namun fakta di Jawa Barat, tingkat pengangguran
terbuka masih tetap tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil dari
pembangunan ekonomi tidak tersebar secara merata yang menyebabkan efek
menetes ke bawah tidak terjadi.
81
Tabel 5.8 Gambaran Indikator Makro Pembangunan Jawa Barat Tahun 2002-2006
No Indikator Tahun
2002 2003 2004 2005 2006
1 IPM 67,45 67,87 68,36 69,35 70,28
2 Indeks Pendidikan 78,27 78,40 79,02 79,59 79,84
Angka Melek Huruf (%) 93,94 93,60 93,96 94,52 94,90
Rata-rata Lama Sekolah (tahun) 7,04 7,20 7,37 7,46 7,46
3 Indeks Kesehatan 66,55 66,57 67,23 69,28 70,67
Angka Harapan Hidup (tahun) 64,93 64,94 65,34 66,57 67,40
4 Indeks Daya Beli 57,53 58,63 58,83 59,18 60,34
PPP (Rp) 551.350,- 553.699,- 554.570,- 556.100,- 561.100,-
5 Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 3,93 4,50 5,06 5,31 6,02
6 Penduduk Miskin (%) 13,38 12,90 12,10 13,06 13,39
7 Pengangguran (%) 10,23 12,69 12,25 11,91 10,95Sumber: RKPD Jawa Barat 2008-2013 dan Data Basis IPM Jawa Barat
Melihat fenomena di atas, pemerintah Propinsi Jawa Barat berupaya untuk
mewujudkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari volume Belanja
Daerah pada APBD Provinsi Tahun 2009. Anggaran tersebut diprioritaskan dalam
upaya untuk mewujudkan Jawa Barat bebas biaya pendidikan melalui Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) Provinsi untuk satuan Pendidikan dasar dan
Menengah, penyediaan buku teks pelajaran yang diujian nasional-kan, dan
bantuan baju seragam sekolah bagi siswa yang tidak mampu; upaya Jawa Barat
bebas buta aksara melalui kegiatan keaksaraan fungsional untuk menangani
326.900 orang sasaran buta aksara; dan upaya Jawa Barat Bebas Putus Jenjang
Sekolah melalui kegiatan paket B dan paket C untuk peningkatan angka RLS.
Selain itu, dalam sektor kesehatan, pemerintah Jawa Barat juga telah
memberikan asuransi kesehatan bagi keluarga tidak mampu dan dalam sektor
daya beli, adanya bantuan langsung tunai dari pemerintah pusat sebagai insentif
akibat naiknya harga BBM menyebabkan peningkatan daya beli masyarakat yang
82
kurang mampu. Faktor-faktor tersebut yang diduga menyebabkan hubungan yang
positif antara tingkat kemiskinan dan pembangunan manusia. Namun demikian
hal ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar bagi pemerintah Jawa Barat
guna menciptakan pembangunan yang tidak hanya tinggi secara kuantitas, tetapi
diikuti dengan kualitas yang baik pula.
5.3.4.2 Pertumbuhan Ekonomi
Variabel pertumbuhan ekonomi yang diwakili dengan menggunakan
indikator PDRB per kapita atas dasar harga konstan tahun 2000 berpengaruh
secara signifikan terhadap pembangunan manusia Propinsi Jawa Barat pada taraf
nyata 5 persen. Nilai koefisien regresi dari variabel PDRBK sebesar 0,2053
dengan nilai probabilitas sebesar 0,0000. Nilai koefisien regresi sebesar 0,2053
menggambarkan elastisitas dari perubahan indeks pembangunan manusia Jawa
Barat terhadap perubahan pendapatan per kapita. Artinya jika terjadi kenaikan
PDRB per kapita sebesar 1 persen maka nilai IPM di Propinsi Jawa Barat akan
meningkat sebesar 0,2053 persen. Semakin tinggi PDRB per kapita Jawa Barat,
maka semakin tinggi IPM Jawa Barat, asumsi cateris paribus.
PDRB per kapita yang berhubungan positif dan signifikan terhadap
pembangunan manusia Jawa Barat sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat
sebelumnya. Sesuai dengan visi Jawa Barat 2010 yang ingin menjadikan “Jawa
Barat Dengan Iman dan Taqwa sebagai Propinsi Termaju di Indonesia dan Mitra
Terdepan Ibukota Negara Tahun 2010”, salah satu cara untuk mewujudkan visi
tersebut adalah dengan menggenjot laju pertumbuhan ekonomi. Namun demikian,
83
pembangunan ekonomi harus sejalan dengan pembangunan sosial sehingga
dengan adanya pertumbuhan ekonomi akan dapat meningkatkan kualitas
kesejahteraan sosial.
Tabel 5.7 PDRB Propinsi Jawa Barat Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun 2002-2006 (Juta Rupiah)
Lap. Usaha 2002 2003 2004 2005 2006
1 31,617,283.70 32,402,164.32 34,457,716.98 34,942,015.45 34,822,021.09
2 7,999,634.26 8,232,371.91 7,705,213.45 7,143,208.64 6,982,246.74
3 90,371,399.97 93,938,482.51 96,978,417.53 105,334,047.15 114,299,625.74
4 4,858,690.20 4,918,153.74 5,337,897.17 5,649,829.62 5,427,579.55
5 5,580,463.39 5,985,267.25 6,602,399.92 7,780,823.72 8,232,950.09
6 40,643,460.69 42,758,204.32 45,529,027.75 47,259,969.72 50,719,350.06
7 8,592,140.96 9,379,745.45 10,309,020.56 10,329,164.21 11,143,253.97
8 6,490,645.26 6,967,352.63 7,247,001.69 7,623,682.08 7,672,322.47
9 13,577,470.98 14,943,478.53 15,836,800.82 16,821,141.16 18,200,096.05
PDRB 209,731,189.42 219,525,220.65 230,003,495.86 242,883,881.74 257,499,445.75
Sumber: BPS Pusat 2008Keterangan : (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik, Gas dan Air Bersih; (5) Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Komunikasi; (8) Keu. Persewaan & Jasa Perusahaan; (9) Jasa-Jasa.
Pemerintah Propinsi Jawa Barat telah sadar bahwa pertumbuhan ekonomi
yang tinggi tanpa diikuti dengan pembangunan manusia yang berkualitas tidak
akan bertahan lama. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menjadikan
Indeks Pembangunan Manusia sebagai ukuran keberhasilan pembangunan
sekaligus sebagai indikator pencapaian visi Jawa Barat 2010. Berdasarkan tabel
5.7, peningkatan PDRB Jawa Barat didominasi oleh sektor industri pengolahan,
perdagangan, hotel dan restoran serta sektor pertanian. Seperti diketahui ketiga
sektor tersebut merupakan sektor basis yang menyerap sebagian besar tenaga
kerja di Jawa Barat dan sektor-sektor tersebut sangat sesuai dengan potensi daerah
Jawa Barat. Hal ini terkait dengan wilayah Jawa Barat yang banyak terdapat
kawasan industri seperti di Kabupaten Karawang, Kabupaten Bogor, dan
84
Kabupaten Bekasi, kemudian lahan pertanian yang masih luas seperti di
Kabupaten Karawang dan Cianjur, serta potensi pariwisata, baik wisata alam,
wisata belanja dan wisata kuliner yang menyebabkan sektor-sektor tersebut
memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian Propinsi Jawa Barat
sehingga peningkatan laju pertumbuhan yang didominasi oleh ketiga sektor
tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas.
5.3.4.4 Belanja Publik
Variabel belanja publik berpengaruh secara signifikan terhadap
pembangunan manusia Jawa Barat. Nilai koefisien regresi dari variabel belanja
publik sebesar 0,0007. Artinya secara rata-rata, indeks pembangunan manusia
Jawa Barat mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 0,07 persen
seiring dengan peningkatan alokasi belanja publik sebesar 1 persen tiap tahunnya.
Semakin besar belanja publik yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah, maka
semakin tinggi IPM Jawa Barat, asumsi cateris paribus.
Belanja publik yang berhubungan positif dan signifikan terhadap
pembangunan manusia Jawa Barat sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat
sebelumnya. Dengan semakin meningkatnya anggaran belanja publik dalam
APBD, berarti pemerintah daerah menunjukkan komitmennya sebagai pelayan
masyarakat.
85
Tabel 5.10 Persentase Realisasi Belanja Publik dalam APBD Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat Tahun 2002-2006
Belanja Publik 2002 2003 2004 2005 2006Kab bogor 26,67 18,90 21,71 28,79 33,52Kab sukabumi 34,61 64,61 59,29 67,08 66,91Kab cianjur 25,49 25,64 23,38 65,41 66,70Kab bandung 32,01 67,01 69,55 64,69 67,64Kab garut 13,79 70,39 67,02 63,32 62,83Kab tasik 12,42 71,07 72,18 74,53 72,77Kab ciamis 13,47 72,07 69,93 72,27 30,36Kab kuningan 16,82 77,05 71,65 71,18 71,93Kab Cirebon 33,28 65,37 61,92 61,15 62,98Kab majalengka 26,06 82,79 67,94 79,25 38,49Kab sumedang 10,52 57,94 60,85 61,20 59,38Kab indramayu 32,18 74,79 72,04 63,89 67,03Kab subang 26,05 64,14 59,78 59,28 67,45Kab purwakarta 25,40 48,14 55,69 57,80 59,11Kab karawang 30,53 60,35 63,25 56,51 59,16Kab bekasi 49,04 65,90 58,90 63,30 65,01Kota bogor 26,36 78,17 59,87 59,76 67,98Kota sukabumi 30,67 72,98 73,05 75,80 74,42Kota bandung 22,39 35,27 47,70 50,89 50,47Kota Cirebon 29,80 65,37 68,49 75,61 72,08Kota bekasi 44,72 57,78 53,45 58,07 57,57Kota depok 42,44 59,62 57,58 59,32 62,16Kota cimahi - - 78,30 77,89 58,92Kota tasik - - 70,57 65,54 67,93Kota banjar - - 62,92 66,50 64,61
Sumber : Jawa Barat Dalam Angka 2002-2007
Dari tabel di atas, dapat terlihat bahwa hampir seluruh kabupaten dan kota
yang ada di Jawa Barat berupaya telah mengalokasikan sebagian besar alokasi
biaya pembangunan dalam anggaran belanja publik. Anggaran belanja publik
dapat dijadikan oleh pemerintah untuk meningkatkan pelayanan dan fasilitas-
fasilitas publik seperti untuk pendidikan dan kesehatan. Upaya yang telah
dilakukan oleh pemerintah Jawa Barat dalam mengalokasikan belanja publik
diantaranya memberikan kemudahan biaya pendidikan melalui Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) untuk satuan Pendidikan dasar dan Menengah,
penyediaan buku teks pelajaran yang diujian nasional-kan, dan bantuan baju
86
seragam sekolah bagi siswa yang tidak mampu; upaya Jawa Barat bebas buta
aksara melalui kegiatan keaksaraan fungsional untuk menangani 326.900 orang
sasaran buta aksara; dan upaya Jawa Barat Bebas Putus Jenjang Sekolah melalui
kegiatan paket B dan paket C untuk peningkatan angka RLS. Dari aspek
kesehatan, upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah Jawa Barat diantaranya
peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pengembangan
pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dengan cara peningkatan jumlah
puskesmas, tenaga bidan desa/kelurahan dengan standar pendidikan minimal
Diploma III, maupun pengembangan pelayanan kegawat-daruratan kebidanan dan
bayi baru lahir melalui pengembangan Puskesmas yang mampu melaksanakan
pelayanan obstetric dan neonatal emergency (PONED).
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, N. 2004. Keterkaitan Antara Indikator Pembangunan Ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia dalam Perekonomian Indonesia : Analisis antar Wilayah. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Alvan, A. 2008. Forging a Link Between HumanDevelopment and Income Inequality: Cross-Country Evidence. Review of Social, Economic & Business Studies, Vol.7/8, 31-43.
Argama, R. 2005. Pemberlakuan Otonomi Daerah dan Fenomena Pemekaran Wilayah di Indonesia. Makalah. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Baltagi, B.H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data, 3rd edition. John Wiley and Sons, Chichester.
Bank Indonesia. 2008. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Jawa Barat : Triwulan IV-2007. Kantor Bank Indonesia Bandung, Bandung.
Bapeda Propinsi Jawa Barat. 2003. Rencana Strategis Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat Tahun 203-2008. Bapeda Jawa Barat, Bandung.
________. 2009. Rencana Kerja Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat Tahun 2010. Bapeda Jawa Barat, Bandung.
________. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Propinsi Jawa Barat 2008-2013. Bapeda Jawa Barat, Bandung.
Bapeda Propinsi Jawa Barat dan BPS Propinsi Jawa Barat. 2003. Data Basis Untuk Analisis Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2002. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
________. 2004. Data Basis Untuk Analisis Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2003. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
________. 2005. Data Basis Untuk Analisis Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2004. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
________. 2006. Data Basis Untuk Analisis Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2006. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
________. 2007. Data Basis Untuk Analisis Indeks Pembangunan Manusia Tahun 2007. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
90
BAPPENAS dan UNDP. 2007. MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia 2007/2008. BAPPENAS, Jakarta.
BPS, BAPPENAS, UNDP. 2001. Indonesia Human Development Report 2001. BPS, Jakarta.
________. 2004. Indonesia Human Development Report 2004. BPS, Jakarta.
BPS Jakarta. 2008. Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. BPS Jakarta, Jakarta.
BPS Propinsi Jawa Barat. 2003. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2003. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
________. 2004. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
________. 2006. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2006. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
________. 2007. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2007. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
________. 2008. Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008. BPS Propinsi Jawa Barat, Bandung.
Bulohlabna, C. 2008. Tipologi dan Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gujarati, D.N. 2004. Basic Econometrics, 4th edition. The McGraw-Hill Companies, New York.
Hermani, A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hidayat, N.K. 2008. Analisis Hubungan Komponen Indeks Pembangunan Manusia Dengan Kemiskinan di Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jhingan, M.L. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Raja Grafindo Pustaka, Jakarta.
91
Oktapriono, A. 2008. Analisis Dampak Investasi Pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan Terhadap Pembangunan Manusia : Studi Kasus Kawasan Timur Indonesia Periode 2001-2003. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pambudi, S.B. 2008. Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten/Kota di Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Puspandika, B.A. 2007. Analisis Ketimpangan Pembangunan di Era Otonomi Daerah : Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Dengan Kesejahteraan Masyarakat. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Soebeno, A. 2005. Analisis Pembangunan Manusia dan Penentuan Prioritas Pembangunan Sosial di Jawa Timur. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suganda, T., Kodrat, W,, dan Dede, M. 2008. Bersama Menata Perubahan. BAPPENAS, Jakarta
Todaro, M.P. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta.
UNDP. 2008. Human Development Report 2007/2008. United Nations Development Programme, New York, USA.
Walpole, R. E. 1992. Pengantar Statistika, Bambang S. [penerjemah]. Gramedia, Jakarta.
Wibowo, E. 2008. Strategi Perancangan Kebijakan Umum APBD Untuk Meningkatkan Kualitas Pembangunan Manusia di Kabupaten Bogor. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yanuarta, H. 2009. Strategi Alokasi Anggaran Pembangunan Dalam Rangka Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Lampung Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Yunitasari, M. 2007. Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pembangunan Manusia Propinsi Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
92
Lampiran 1. Hasil Estimasi Pooled Least Square
Dependent Variable: LN_IPMMethod: Panel Least SquaresDate: 09/09/09 Time: 18:47Sample: 2002 2006Periods included: 5Cross-sections included: 22Total panel (balanced) observations: 110
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 4.577681 0.110071 41.58831 0.0000POV -0.008180 0.000638 -12.82206 0.0000
LN_PDRBK -0.018012 0.006875 -2.619912 0.0101BPUB 0.000810 0.000181 4.482028 0.0000
R-squared 0.645389 Mean dependent var 4.236655Adjusted R-squared 0.635353 S.D. dependent var 0.057651S.E. of regression 0.034813 Akaike info criterion -3.841956Sum squared resid 0.128467 Schwarz criterion -3.743757Log likelihood 215.3076 Hannan-Quinn criter. -3.802126F-statistic 64.30647 Durbin-Watson stat 0.664628Prob(F-statistic) 0.000000
93
Lampiran 2. Hasil Estimasi Fixed Effect No Weights
Dependent Variable: LN_IPMMethod: Panel Least SquaresDate: 09/09/09 Time: 18:49Sample: 2002 2006Periods included: 5Cross-sections included: 22Total panel (balanced) observations: 110
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 1.303001 0.514030 2.534876 0.0131POV 0.002741 0.000714 3.838987 0.0002
LN_PDRBK 0.184927 0.033454 5.527873 0.0000BPUB 0.000809 9.72E-05 8.322488 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
R-squared 0.946824 Mean dependent var 4.236655Adjusted R-squared 0.931809 S.D. dependent var 0.057651S.E. of regression 0.015055 Akaike info criterion -5.357548Sum squared resid 0.019265 Schwarz criterion -4.743802Log likelihood 319.6651 Hannan-Quinn criter. -5.108609F-statistic 63.06085 Durbin-Watson stat 1.791770Prob(F-statistic) 0.000000
94
Lampiran 3. Hasil Estimasi Random Effect
Dependent Variable: LN_IPMMethod: Panel EGLS (Cross-section random effects)Date: 09/09/09 Time: 18:50Sample: 2002 2006Periods included: 5Cross-sections included: 22Total panel (balanced) observations: 110Swamy and Arora estimator of component variances
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 3.940805 0.124240 31.71931 0.0000POV -0.002283 0.000548 -4.168016 0.0001
LN_PDRBK 0.017779 0.007914 2.246584 0.0267BPUB 0.000943 8.76E-05 10.77169 0.0000
Effects SpecificationS.D. Rho
Cross-section random 0.018177 0.5931Idiosyncratic random 0.015055 0.4069
Weighted Statistics
R-squared 0.369229 Mean dependent var 1.471517Adjusted R-squared 0.351377 S.D. dependent var 0.029642S.E. of regression 0.023873 Sum squared resid 0.060411F-statistic 20.68276 Durbin-Watson stat 0.725496Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.350117 Mean dependent var 4.236655Sum squared resid 0.235438 Durbin-Watson stat 0.186154
95
Lampiran 4. Hasil Uji Hausman
H0 : RANDOM EFFECTH1 : FIXED EFFECT
Correlated Random Effects - Hausman TestEquation: PERBAIKANTest cross-section random effects
Test SummaryChi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 163.547090 3 0.0000
Dari hasil uji hausman pada taraf nyata 5 persen, diperoleh nilai Chi-Square Statistic sebesar 163.547090. Nilai tersebut lebih besar dari Chi-Square Tabel dengan derajat bebas 3 sebesar 7,81473 sehingga tolak H0 atau model fixed effect lebih cocok digunakan untuk mengestimasi data. Selain dengan melihat nilai Chi-Square, cara mudah lain adalah dengan melihat nilai probabilitas (p-value). Jika nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata, maka tolak H0.
96
Lampiran 5. Hasil Estimasi Fixed Effect dengan pembobotan (cross section weights) dan white cross section.
Dependent Variable: LN_IPMMethod: Panel EGLS (Cross-section weights)Date: 09/09/09 Time: 18:55Sample: 2002 2006Periods included: 5Cross-sections included: 22Total panel (balanced) observations: 110Linear estimation after one-step weighting matrixWhite cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.994286 0.473476 2.099973 0.0387POV 0.002589 0.000828 3.126944 0.0024
LN_PDRBK 0.205278 0.031564 6.503533 0.0000BPUB 0.000748 0.000125 5.964512 0.0000
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.979951 Mean dependent var 6.005768Adjusted R-squared 0.974290 S.D. dependent var 4.051804S.E. of regression 0.014965 Sum squared resid 0.019035F-statistic 173.1103 Durbin-Watson stat 1.847053Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.946464 Mean dependent var 4.236655Sum squared resid 0.019395 Durbin-Watson stat 1.717557
Sum square resid pada weighted statistics lebih kecil dari sum square resid unweighted statistics, maka terjadi heteroskedastisitas.
Untuk mengatasi pelanggaran ini maka dilakukan estimasi cross section weight dengan white heteroscedasticity.
Dengan jumlah observasi 110 dan variabel penjelas di luar konstanta sebanyak 3 didapatkan nilai dL 1,613 dU 1,736. Nilai Durbin Watson hasil estimasi sebesar 1,847053 berada pada (dU < DW < 2) yaitu (1,736 < 1,847 < 2) yang berarti bahwa tidak ada korelasi serial. Namun demikian, pendekatan fixed effect tidak mensyaratkan hasil estimasi yang bebas dari masalah autokorelasi, sehingga asumsi adanya autokorelasi dapat diabaikan.
97
Lampiran 6. Cross Section Effect
CROSSID Effect1 1 -0.0319022 2 0.0573483 3 0.0448864 4 -0.0307405 5 0.0023606 6 0.0742597 7 0.0699568 8 0.0697389 9 0.015114
10 10 0.06845111 11 0.05609112 12 -0.20274413 13 0.00829914 14 -0.08744715 15 -0.12918616 16 -0.26805817 17 0.12602118 18 0.07122919 19 0.01911620 20 -0.20817321 21 0.06918522 22 0.206196
top related