ahok dan persepsi komunikasi politik
Post on 14-Apr-2017
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
AHOK DAN PERSEPSI KOMUNIKASI POLITIK
Suharto, M. Si.(Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Palu dan Penggiat Komunikasi Politik)
*****
Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih populer disapa Ahok, secara
sepintas dapat diberikan nilai terbaik kepadanya sebagai komunikator politik yang
‘sukses’. Konsistensi akan gaya dan model komunikasi yang tampak dalam desain
komunikasi politiknya meneguhkannya sebagai salah satu newsmaker politik yang
telah menempati posisi teratas sebagai figur komunikator politik pemimpin opini.
Sikap istiqomah dalam berkomunikasi gubernur DKI Jakarta tersebut,
sejak mulai tampil sebagai wakil gubernur terpilih pendamping gubernur terpilih
Joko Widodo pada pemilihan gubernur 2012 lalu, hingga kini sikap dan perilaku
komunikasi Ahok nyaris tidak pernah berubah. Adalah gaya bahasa yang kerap
dinilai tidak santun, tidak sopan dan tidak etis membuat bekas Bupati Belitung
Timur itu menuai kritikan, kecaman baik langsung maupun melalui media massa
dan media sosial. Berbagai macam kritikan dan beribu macam komentar miring
acapkali mengiringi prilaku politik dan gaya kepemimpinannya.
Ahok kemudian perlahan-lahan menjelma sebagai aktor politik yang
dinilai di satu sisi sebagai perambah jalan demokrasi dan reformasi birokrasi.
Akibat dari akting-akting politik yang diperagakan selama memimpin Jakarta
sebagai Gubernur dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi
program-program pembangunannya menimbulkan efek signifikan terhadap
perubahan pola sikap dan prilaku pemerintahan dan layanan birokrasi yang berani
1
memutus mata rantai budaya birokratis yang seremonial belaka, perilaku korup
dan bahkan mengamputasi model pemerintahan kongkalikong dengan lembaga
legislatif.
Namun, di sisi lainnya, perjalanan Ahok memimpin ibukota oleh sebagian
lainnya mempersepsikan gaya kepemimpinan Ahok sedikit Bar-barian, diktator
ataupun tidak berprikemanusiaan. Golongan orang-orang yang dapat
dikategorikan sebagai Ahokphobia, musuh Ahok ataupun penantang dan atau
politicall inters group yang doyan berposisi sebagai oposisi dalam dan di luar
pemerintahan Ahok beranggapan bahwa alumni sekolah politik partai golkar
tersebut sangat kasar, tidak beretika dan bahkan kerjanya menggusur warga DKI
tanpa ampun dan tanpa berprikemanusiaan.
Pertanyaannya menyusul kemudian, adalah jika ditimbang-timbang baik
sepintas maupun secara mendalam, maka ada konklusi sementara yang dapat kita
tarik benang merahnya. Yakni, jika Ahok dianggap sebagai pemimpin yang tak
‘manusiawi’, tidak sopan dan sangat reaktif, lalu kenapa warga Jakarta tidak
merapatkan barisan untuk menurunkan Ahok sebelum masa tugasnya berakhir?
Dan jika Ahok dinilai sebagai tokoh politik yang tidak layak untuk
dijadikan pemimpin, lalu kenapa warga Jakarta malah berlomba-lomba menjadi
relawan Ahok untuk mendukung Ahok kembali menjadi gubernur? Kenapa
sebagian besar ‘raksasa-raksasa’ partai politik seperti PDI Perjuangan dan Partai
Golkar kukuh menjadi garda depan mengusung Ahok bersama dengan partai-
partai politik lain seperti parta Nasdem dan Hanura?
2
Persepsi Komunikasi
Menghadapi, mengamati dan ataupun melawan Ahok baik mediumnya
Ahok sebagai gubernur maupun kontennya Ahok sebagai kandidat gubernur, yang
dalam hal ini baik perkataan maupun tindakan-tindakan politik Ahok dinilai
‘membahayakan’, meresahkan dan bahkan menghina kaum tertentu adalah sebuah
gerak dinamik yang (kemungkinan) di bawah alam sadar kita kemudian bereaksi,
berteriak dan bahkan ‘menghukumnya’ sebagai sebuah tindakan yang semakin
mengasosiasikan dan mempersonifikasikan Ahok sebagai pemimpin hebat, politisi
kawakan dan birokrat terbaik.
Asumsinya sangat sederhana, bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang
atau sekelompok orang yang senantiasa menjadi lawan (bicara dan tanding) Ahok
di ranah politik adalah sebuah pertanda kesuksesan Ahok dalam melakukan
strategi komunikasi politik. Bahwa sebenarnya tindak-tindakan yang berlawanan
Ahok merupakan umpan balik dalam istilah komunikasi politik yang lahir akibat
adanya efek komunikasi yang telah dilakoni Ahok.
Proses kerja bentuk komunikasi politik Ahok itulah yang melahirkan
persepsi-persepsi komunikasi. Werner dan Jamer dalam bukunya tentang Teori
Komunikasi (2009) setidaknya mengamini perilaku komunikasi Ahok. Werner
dan James mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian ilmiah pada persepsilah
seseorang bisa memahami kata-kata, suara dan gambar yang mereka tangkap
dalam pesan yang terjadi di setiap proses informasi.
3
Persepsi merupakan salah satu inti dalam kerangka komunikasi politik,
dimana komunikator massa lanjut Werner dan James mengharapkan audiensnya
untuk memperhatikan pesan-pesan (politik) mereka, mempelajari isi pesan
tersebut, dan membuat perubahan pada perilaku atau keyakinan atau
menghasilkan respon-respon tingkah laku yang diinginkan.
Sebagai komunikator politik, Ahok saat bertindak sebagai sumber
informasi dan atau pengirim pesan dengan gaya dan prilakunya, entah mediumnya
media massa ataupun mediumnya di internal pemerintahannya, tidak ada yang
perlu dikhawatirkan. Tidak mesti ada orang keranjingan, kesurupan dan bahkan
ingin berprilaku kalap untuk menghantam balik Ahok. Sebab, yang perlu disadari
bahwa dinamika proses politik apapun yang dilakukan Ahok adalah sesuatu yang
secara subyektif adalah “benar” dan atau dapat di”benar”kan. Dan semua prilaku
dan gaya komunikasinya tidak semestinya harus reaktif dan membabi buta karena
itu adalah bagian dari strategi dan taktik dalam berpolitik yang sudah terdesain
secara matang dan sudah tentu terikut bilangan-bilangan atau hitung-hitungan
resikonya. Jelasnya, semua desain komunikasi politik yang diimplementasikan
dalam momentum dan proses politik selalu berbarengan dengan pengharapan si
pelaksana dan pelaku politik untuk memperoleh dampak politik yang sebesar-
besarnya dan sehebat-hebatnya. Meskipun harus gaduh, meskipun harus
berskalasi tinggi dan ataupun terpaksa harus berkonflik, maka spektasi politisi dan
komunikator politik akan adanya respon atau feedback senantiasa menjiwai dan
menafasi setiap gerak langkahnya.
4
Komunikasi politik yang berdampak itulah yang dapat menguasai medan
tempur politik dan dapat menyita perhatian publik. Singkatnya, semakin banyak
orang atau kelompok orang yang tergoda untuk menanggapi, berasumsi dan
merespons setiap tindakan dari komunikasi politik tersebut, maka akan semakin
besar peluang komunikator politik tersebut untuk mewujudkan tujuan-tujuan
politiknya. Tidak tertutup kemungkinan, salah satu faktor utama dalam
kemenangan Ahok (misalnya jika Ahok terpilih kembali menjadi gubernur
mengungguli dua pasangan rivalnya yakni Anies Baswedan – Sandiaga S Uno dan
Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana) adalah akumulasi dari kepiawaian Ahok
dan timnya dalam mensiasati setiap dinamika yang menyerang secara
personifikasi Ahok.
Bukan pula hal yang muskil terjadi, bahwa persepsi berlebihan terhadap
Ahok secara pribadi akan berdampak buruk bagi lawan politiknya (keuntungan
politiknya malah ke Ahok). Karena asumsi dan persepsi berlebihan itu bisa
menjadi amunisi politik bagi Ahok untuk melakukan redesain komunikasi politik
dengan membangun opini publik yang seolah-olah serangan-serangan yang
dialamatkan kepadanya adalah bagian dari politicking yang bersumber dari lawan-
lawan politiknya, dengan memanfaatkan politicall presseure/inters group dan
golongan-golongan yang secara terbuka anti-Ahok, seperti FPI.
Belajar Politik Pada Ahok
Dengan tidak berada di salah satu bagian manapun pada konteks politik
dan kepentingan dalam membincang Ahok. Juga dengan tidak bermaksud ingin
membela ataupun membelakangi Ahok, tulisan ini pada gilirannya ikut tergoda
5
dengan asumsi-asumsi sebagian kecil dari elemen masyarakat untuk turut
mempersepsikan Ahok sebagai tokoh politik yang patut terus memperoleh ruang
berimprovisasi secara politik. Lantaran kehadirannya telah membawa dampak
perubahan pola sikap dan perilaku kita di dalam berpolitik.
Eksistensi Ahok kemudian menjadi sangat penting untuk tetap di bukakan
jalan untuk mewujudkan nawacita politiknya. Sebab, tanpa Ahok dunia politik
kita (terkhusus di DKI Jakarta) tidak akan pernah sedinamis ini, baik sebelumnya
maupun sesudah Ahok habis masanya di arena politik.
Belajar pada Ahok, saya yakin bukanlah sebuah uangkapan dan
pengharapan (apalagi jalan pemaksaan) yang keliru, gila atau tidak waras.
Melainkan adalah sebuah jalan intropeksi dan sekaligus mawas diri bagi sebagian
orang atau kelompok (mayoritas) yang merasa lebih layak dari Ahok yang
notabene berasal dari golongan-golongan minoritas.
Menjadikan Ahok sebagai sekolah demokrasi dan atau sebagai kampus
politik adalah sebuah solusi jika ingin Ahok segera mengakhiri “masa
berlakunya” di langit politik Indonesia. Bukan sebaliknya, dengan mengambil
jalan berbeda apalagi berlawanan, maka yakinlah akan semakin memperpanjang
nafas dan gerak langkah Ahok, semakin membiarkan Ahok menggurita dan
bermetamorfosis sebagai golongan yang menjadi besar dan kuat.
Akhirnya, menghadapi Ahok tidak diperlukan asumsi metafisis, cukup
dengan asumsi matematis saja agar tidak menjadi bias bagi masa depan demokrasi
dan politik nasional.
6
Harapan kita persepsi politik yang dominan lahir dari asumsi terhadap
Ahok bukanlah diibaratkan sebagai langkah mundur untuk meninggalkan budaya
dan hegemoni. Jangan sampai persepsi berlebihan berikut reaksinya yang
berdampak untuk semakin mengikis hegemoni itu dan melempangkan jalan bagi
tumbuhnya komunitas mayoritas baru. Sehingga dibutuhkan kesadaran individu
dan kesolehan sosial kita untuk melewati desas-desus berdemokrasi dan berpolitik
yang tidak gamang dan tetap memperlihatkan sikap dan aksi politik yang
mencerminkan seseorang dan ataupun segolongan orang layak dihormati sebagai
pemilik sah republik ini. []wallahu a’lam bissawwab
Palu, 22 Oktober 2016
Penulisd/a Perumahan Dosen Untad Blok C6/6 Kota Palu
HP / WA 081245273777Twitter: @Attock_Suharto
Facebook: Attock Lector SuhartoEmail: attocksuharto@gmail.com
7
top related