ahmad despuriansyah-fisip.pdf
Post on 04-Feb-2017
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEPENTINGAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG
PERIODE 2006 – 2012
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Ahmad Despuriansyah
110113000018
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
i
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa kepentingan Amerika Serikat terhadap perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012. Penelitian skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan data dikumpulkan melalui studi pustaka. Kerangka pemikiran yang digunakan adalah kepentingan nasional dan konsep aliansi. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kepentingan Amerika Serikat dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012 adalah untuk menjalankan strategi extended deterrence dengan memperkuat aliansi militer bersama Jepang yang ditujukan kepada Tiongkok dan Korea Utara, agar stabilitas kawasan Asia Timur terjaga. Tiongkok dan Korea Utara telah dianggap AS sebagai ancaman dalam kepentingannya di kawasan ini. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang dianggap AS sebagai langkah yang penting untuk menangkal kekuatan kedua negara tersebut di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS di Asia Timur akan terwujud jika Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan, dan tidak lagi mengikuti isi pasal 9 Konstitusi 1947 yang menyatakan Jepang dilarang memiliki kekuatan militer dan hanya berlindung pada kekuatan militer AS. Untuk itulah AS memiliki kepentingan dibalik perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, yaitu sebagai jalan demi tercapainya kepentingan di Asia Timur. Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ketika Badan Pertahanan Jepang ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian Pertahanan, anggaran belanja militer konsisten naik, dan berkembangnya teknologi militer Jepang.
Kata Kunci: Kepentingan Nasional, Aliansi, Militer, Kebijakan Pertahanan dan Keamanan, Pasal 9 Konstitusi 1947 Jepang, Extended Deterrence
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT
karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang
berjudul ”Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahan
Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang Periode 2006 - 2012”. Penulisan
skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mencapau gelar Sarjana Strata
1 (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penyelesaian skripsi ini tidak
lepas dari peran berbagai pihak yang terlibat dalam skripsi ini. Sehubungan dengan
itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Keluarga tercinta terutama Papa dan Mama yaitu Azran Bakri dan
Purnamawati Siregar, Abang dan Kakak kandung dan keponakan, Anri Tirta
Pratama, Inra Riady Widarta, Nurhasanah Ayu Andira, Desty Natalia
Wuriyanti, dan Maulida Salsabilah Anrety, serta semua keluarga di
Palembang yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, mereka yang telah
memberikan dukungan dan doanya untuk kelancaran skripsi ini.
2. Ibu Debbie Affianty selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Ketua Jurusan
Hubungan Internasional, Beliau juga salah satu orang yang ikut
memudahkan kelancaran skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih
banyak.
iii
3. Bapak M. Adian Firnas selaku Dosen Pembimbing Akademik, dosen jurusan
Hubungan Internasional UIN Jakarta yaitu Bapak Agus Nilmada, Bapak
Irfan Hutagalung, Bapak Nazarudin Nasution, Ibu Sri Mulyati, Bapak Agus
Nugraha, Ibu Eva Mustofa, Bapak Wendi Prajuli, Bapak Jajang Saprijal dan
segenap dosen, tenaga pengajar serta TU FISIP UIN Jakarta yang tidak bisa
saya sebutkan semua, terima kasih telah membantu penulis selama menjadi
mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.
4. Teman – teman Keluarga Dubbing 2010, Muslim, Yuri, Idris, Miftah, Rima,
Ty, Randy, Nanda, Ana, Rosi, Dek Dita, Dini, Tiwi, Kak Winda, Manda,
Septin, Eed, Angga, Inun, Alaptia, Ayu, Dwi, Acun, Melia, dan spesial buat
Miss Erna Wati, serta Guru MAN 3 Palembang lainnya Aba Zai, Abi
Wahab, Ustd Rozi, Bapak Novir, Bapak Subroto, Bapak Pane, Bapak
Mahendra, Ibu Hernawati, Emak kantin belakang dan semuanya yang tidak
bisa disebut kan satu per satu terima kasih semua untuk dukungan dan
doanya, semoga kita selalu bersama dan diridhoi Allah Swt.
5. Teman – teman alumni SMP N 9 Palembang, Reffy, Nopi, Iqbal, Aldy,
Febri, Alem, Aldo, Ari, Lisan, Edi, Eko, Amen, Dayat, Faisal, Beta, Bebeng,
Rahman, Hasan, Husin, Nurbeta, Topek, Sandi, beserta para guru, Bapak
Musa, Bapak Basarrudin (Alm), Ibu Komalasari, Bapak Syaiful, Bapak
Arfani, Ibu Mariani, Ibu Pariani, Ibu Sinaga dan semuanya yang tidak bisa
disebut kan satu per satu terima kasih semua untuk dukungan dan doanya,
semoga kita selalu bersama dan diridhoi Allah SWT.
iv
6. Kawan-kawan HI-A 2010 seperjuangan terutama kepada Alva, Bewok, Mul,
Bang Wahyu, Navis, Kopet, Adam, Yoga, Anggi, Murdok, Defa, Detty,
Yuri, Zakia, Peni, Dieny, Eko dll yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.
Terimakasih atas dukungan moril bahkan materilnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman – teman seperjuangan alumni Asrama UIN Jakarta, Nadi, Halimi,
Indra, Jajat, Imam, Aul, Ucim, Jambul, Arif, dan semua yang tidak sempat
disebutkan, terima kasih atas dukungannya, semoga bagi yang belum selesai
skripsinya segera dapat menyusul.
Penulis berharap semoga bantuan dan dukungan yang mereka berikan
mendapat imbalan dari Allah SWT dan dicatat sebagai sebuah amal ibadah. Penulis
menyadari dalam penulisan skrispsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh
sebab itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk bahan koreksi
dimasa yang akan datang.
Jakarta, 27 Januari 2015
Ahmad Despuriansyah
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK.......................................................................................... i KATA PENGANTAR........................................................................ ii DAFTAR ISI....................................................................................... v DAFTAR SINGKATAN.................................................................... vii DAFTAR GAMBAR.......................................................................... viii DAFTAR TABEL DAN GRAFIK..................................................... ix BAB I: PENDAHULUAN.............................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah............................................... 1 1.2 Pertanyaan Penelitian.................................................... 7 1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan...................................... 7 1.4 Tinjauan Pustaka........................................................... 8 1.5 Kerangka Pemikiran...................................................... 14
1.5.1 Kepentingan Nasional......................................... 14 1.5.2 Konsep Aliansi.................................................... 16 1.5.3 Kebijakan Luar Negeri........................................ 18 1.5.4 Teori Defensive Structural Realism.................. 20
1.6 Metode Penelitian......................................................... 21 1.7 Sistematika Penulisan.................................................. 22
BAB II: KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012........................................................... 24
2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan Jepang...................................................................... 24 2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 – 2012...................................................................... 28 BAB III: PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012................................... 40 3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan
Keamanan Jepang............................................................ 40 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang........................................ 41 3.1.2 Teknologi Milter Jepang........................................ 51
3.1.3 Doktrin Tujuan Penggunaan Kekuatan Militer.... 53
vi
BAB IV: KEPENTINGAN NASIONAL AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG.................. 59
4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri AS. 59 4.2 Faktor – Faktor Penyebab Perubahan Kebijakan
Pertahanan dan Keamanan Jepang................................... 65 4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang................. 66
4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok.............. 69 4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara................... 76
4.3 Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang............................................................................. 82 4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur............................. 82 4.3.2 Extended Deterrence AS terhadap Kekuatan
Militer Tiongkok dan Korea Utara....................... 88 4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan AS di Asia Timur......................................................... 93
BAB V : KESIMPULAN................................................................ 97
vii
DAFTAR SINGKATAN
A2 : Anti-Access AD : Area Denial APEC : Asia-Pacific Economic Cooperation AS : Amerika Serikat ASCM : Anti Ship Cruise Missile ASEAN : Association of Southeast Asia Nations BMD : Ballistic Missile Defense BOP : Bilateral Common Operational Picture GDP : Gross Domestic Product GSDF : Ground Self Defense Force GSOMIA : General Security of Military Information Agreement IAEA : International Atomic Energy Agency ICBM : Intercontinental Ballistic Missile JSDF : Japan Self Defense Force KLN : Kebijakan Luar Negeri LDP : Liberal Democratic Party MBT : Main Battle Tank MEF : Marine Expeditionary Force NATO : North Atlantic Treaty Organization NDPG : National Defense Program Guideline NDPO : National Defense Program Outline NPT : Non-Proliferation Nuclear Treaty PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa PD : Perang Dunia PKO : Peace Keeping Operation QDR : Quadrennial Defense Review RUU : Rancangan Undang Undang SCC : Security Consultative Commitee SDA : Sumber Daya Alam UNODA : United Nations Office for Disarmament Affairs
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Pangkalan Militer AS di Okinawa........................................... 26
Gambar 2. Peta Pangkalan Udara Militer AS di Kadena Selatan Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012...................... 37 Gambar 3. Peta Jangkaun Misil Korea Utara .................................................... 81
Gambar 4. Proyek Tahun 2020 Pengembangan Pangkalan Aliansi Militer AS – Jepang .................................................................................... 92
Gambar 5. Peta Jalur Perdagangan AS di Kawasan Asia Pasifik ...................... 95
ix
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel 1. Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1996 – 2005 ......................................................................... 29 Tabel 2. Daftar Penambahan Peralatan Miltier setelah SCC Joint Statement 2012 .............................................................................. 36 Tabel 3. Kekuatan Militer Jepang Tahun 2012 .................................................... 47
Tabel 4. Teknologi Baru Militer Jepang ............................................................. 52
Tabel 5. Kepemilikan Misil Korea Utara ............................................................ 80
Tabel 6. Nilai ekspor barang dan jasa AS pada pasar Asia 2006 – 2012 ............ 96
Grafik 1. Jumlah Pasukan Angkatan Darat Jepang dari beberapa periode ...... .... 43
Grafik 2. Jumlah Kekuatan Persenjatan Militer Jepang ....................................... 44
Grafik 3. Anggaran Pertahanan Jepang 2002-2012 .............................................. 49
Grafik 4. Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi ......... 69
Grafik 5. Anggaran Militer Tiongkok 2000-2004 ................................................ 75
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Skripsi ini akan berfokus pada analisa tentang kepentingan Amerika
Serikat dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan yang
dilakukan oleh Jepang. Wilayah Asia Timur secara khusus akan menjadi fokus
utama dalam skripsi ini.
Menurut Wahyu Wardani di dalam tulisannya berjudul “Realm Asia
Timur” (2009), Asia Timur merupakan sebuah sub-wilayah Asia di mana luasnya
sekitar 11,839,074 km2 atau 15 persen dari benua Asia. Asia Timur terletak di
antara Rusia di utara dan di selatan negara-negara Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Wilayah Asia Timur ini membentang dari daerah gurun di Asia Tengah
sampai di Kepulauan Jepang dan Taiwan di kawasan tepi Pasifik Barat (Wardani 2009).
Sub-wilayah Asia Timur meliputi wilayah Tiongkok, Hong Kong, Jepang, Taiwan
Mongolia, Korea Utara dan Korea Selatan, dengan populasi sekitar 1500 juta jiwa
dan kepadatan 133 jiwa/ km2 (Wardani 2009, h.2). Negara-negara di wilayah Asia
Timur yang menjadi fokus utama dalam skripsi ini di antaranya adalah Tiongkok,
Korea Utara dan Jepang.
Menurut Ralph A. Cossa dalam tulisan yang berjudul “The U.S Asia-
Pacific Security Strategy for the Twenty-First Century” (2000), Amerika Serikat
berkomitmen untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama di
bidang politik, ekonomi, serta militer (Cossa 2000). Selain karena kawasan Asia
2
Timur menjadi prioritas pertama AS, keterlibatan AS pada kawasan ini juga demi
kepentingan masa depan AS dalam menjaga hegemoni di kawasan Asia.
Keberlanjutan keterlibatan AS pada kawasan Asia dikarenakan Quadrennial
Defense Review (QDR) pada tahun 1997 menjelaskan komitmen AS untuk
menjaga stabilitas kawasan Asia. Quadrennial Defense Review (QDR) merupakan
dokumen nasional AS untuk menjelaskan doktrin militer AS, yaitu dengan
penggunaan kekuatan militer secara efektif demi kepentingan nasional AS
(Shambaugh & Yahuda 2008). Komitmen AS diperjelas pada masa Presiden
Obama dengan mengeluarkan “The Pivot to Asia” yaitu perubahan prioritas
Kebijakan Luar Negeri AS pada kawasan Asia Timur (The Foreign Policy
Initiative 2012).
Selanjutnya aliansi militer AS-Jepang menjadi upaya dalam menjaga
stabilitas kawasan Asia Timur, karena dengan berkembangnya kekuatan militer
Tiongkok, masalah konflik semenanjung Korea dan beberapa masalah sengketa
wilayah membuat kawasan ini rentan dengan konflik (Moore 2008). AS menilai
kekuatan militer Tiongkok sebagai ancaman yang besar bagi kawasan. Penilaian
AS tersebut terlihat dari anggaran militer Tiongkok yang terus meningkat dari
tahun 1994, sebesar 18% pada tahun 1995 meningkat lagi sebesar 21%, tahun
2005 meningkat sebesar 12,6%, tahun 2006 meningkat sebesar 14,7% dan tahun
2007 meningkat sebesar 17,8% menjadi 44,94 miliar Dollar AS (Kompas, 5 Maret
2007).
Tiongkok juga sangat agresif dalam sengketa Kepulauan Senkaku dan
Laut Tiongkok Selatan. Pada tahun 2006, terlihat Kebijakan pemerintah Tiongkok
3
yang agresif pada sengketa Kepulauan Senkaku dengan membangun pipa gas di
Chunxiao sekitar Kepulauan Senkaku. Kemudian kebijakan ini mendapat protes
dari Jepang ketika pertemuan “China-Japan Sea of Peace Cooperation and
Friendship” pada Desember 2007. Pada pertemuan tersebut kedua negara tidak
menemukan kesepakatan kongkrit masalah konflik ini, karena Tiongkok menolak
menghentikan aktivitas pembangunan jalur pipa gas di sekitar Kepulauan Senkaku
dan mengancam akan menyerang negara yang menentang kebijakan ini
(Karismaya 2013).
Kemudian pada bulan Juli 2007, terjadi tindakan agresif militer Tiongkok
pada sengketa Laut Tiongkok Selatan. Kapal Angkatan Laut Tiongkok
menembaki sebuah kapal nelayan Vietnam kemudian menewaskan seorang pelaut
di sekitar Kepulauan Paracel. Insiden tindakan Angkatan Laut Tiongkok ini
membuat konflik Laut Tiongkok Selatan memanas (The Straits Times 2007).
Dapat disimpulkan dari beberapa konflik yang sedang dihadapi Tiongkok, sangat
terlihat perkembangan militer Tiongkok dapat meningkatkan posisinya dalam
proses tawar menawar pada level internasional. Hal ini menguatkan persepsi
kawasan terhadap Tiongkok dalam menjadi ancaman bagi kawasan Asia Timur.
Selain itu pada tahun 2006 terdapat ancaman senjata nuklir Korea Utara
yang dapat menjangkau hampir seluruh dari wilayah Asia Pasifik. Misil
Taepoodong II dan Intercontinental Ballistic Missile atau ICBM milik Korea
Utara memiliki jangkauan 3500 - 6000 km, dapat mengenai wilayah teritori
Jepang (Moore 2008). Pada 9 Oktober 2006 Korea Utara melakukan uji coba
nuklir perdana dengan bahan plutonium, bukan seperti pada masa sebelumnya
4
hanya dengan uranium yang diperkaya (BBC News 2006). Uji coba yang
dilakukan Korea Utara inilah yang memicu ketegangan keamanan di kawasan
Asia Timur.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kerjasama militer bagi AS demi
menjaga kepentingan di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS pada kawasan
Asia Timur menjadikan Jepang sebagai sekutu yang penting pada kawasan ini.
Pada pertemuan antara Presiden George W. Bush dan Perdana Menteri Shinzo
Abe pada 18 November 2006 terdapat kesepakatan peninjauan kerjasama
keamanan bilateral AS-Jepang, khususnya di bidang pertahanan rudal balistik
(BMD), dalam rangka memikirkan kembali potensi ancaman dari Korea Utara dan
Tiongkok (Xu 2014).
AS meminta Jepang untuk terus meningkatkan kekuatan militernya agar
mempermudah, memperlancar dan memperbanyak bentuk kerjasama militer
kedua negara (Avery & Reinhart 2013). Presiden Bush meminta Jepang untuk
segera mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan mereka demi memperkuat
kekuatan aliansi militer AS-Jepang. Dengan semakin berkembangnya militer
Jepang semakin mudah dan banyak kerjasama militer yang mungkin dilakukan
AS-Jepang di masa mendatang. Dalam rangka perubahan kebijakan pertahanan
dan keamanannya Jepang diminta AS untuk mendirikan Kementerian Pertahanan
agar dapat mengajukan anggaran pertahanan dengan lebih mudah (Deutche Welle
News 2007). Ini diikuti dengan perubahan doktrin militer yaitu meninggalkan
Pasal 9 Konstitusi 1947 yang melarang Jepang untuk memiliki kekuatan militer
(Cossa 2000).
5
Amerika Serikat juga meminta Jepang mengubah doktrin pertahanannya
yang lama dan mengganti dengan white paper pertahanan yang baru. Selanjutnya
National Defense Program Guidelines (NDPG) paling baru yang dikeluarkan
pada tahun 2010 atas dorongan dari Amerika Serikat dalam rangka merespon
pengembangan kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara (Avery & Reinhart
2013). Perubahan penting yang terjadi adalah dengan digantikannya “Basic
Defense Force Concept” menjadi “Dynamic Defense Force”. Artinya Jepang
diminta aktif dalam keamanan kawasan, dan tidak hanya sekedar berlindung pada
kekuatan militer AS (Japan Ministry of Defense 2010).
Atas dorongan AS, Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan
dan keamanan ketika RUU usulan Perdana Menteri Shinzo Abe yang berkaitan
dengan transisi dari Badan Pertahanan Jepang untuk Kementerian Pertahanan
disahkan oleh Majelis dan menjadi Undang-undang pada tanggal 15 Desember
2006. Parlemen menyetujui usulan Perdana Menteri Shinzo Abe tersebut dan
diwujudkan pada 9 Januari 2007 atau 53 tahun setelah pembentukan Badan
Pertahanan pada tahun 1954. Dengan berdirinya Kementerian Pertahanan yang
merupakan sebuah badan pemerintah yang dibawahi langsung oleh seorang
menteri pertahanan, memungkinkan Jepang untuk memiliki anggaran sendiri
dalam pertahanan dan keamanan, serta memungkinkan untuk membuat undang –
undang pertahanan dan keamanan sendiri. Hal ini kemudian diikuti dengan
anggaran militer yang konsisten naik, berkembangnya teknologi militer Jepang
dan perubahan doktrin penggunaan kekuatan militer (Japan Ministry of Defense
2007).
6
Sejak berubah status menjadi Kementerian Pertahanan, anggaran pertama
diajukan hingga 4.86 triliun Yen atau sebesar 43 miliar Dollar AS dan
mengajukan anggaran sebesar 200 juta Dollar AS khusus alokasi untuk misil
penangkal, atau naik 56,5 persen dibanding anggaran tahun – tahun sebelumnya
yang telah berjalan (Harian Kompas 19 Februari 2007, Hal. 12). Hal ini
memperlihatkan Jepang mengalami transformasi perubahan kebijakan strategis
pertahanannya yang lebih gencar dalam mengadaptasi lingkungan eksternal atas
dorongan AS.
Dapat disimpulkan bahwa peningkatan status Badan Pertahanan menjadi
Kementerian Pertahanan, peningkatan anggaran militer sejak Kementerian
Pertahanan berdiri, perkembangan teknologi militer dan perubahan doktrin
militer, merupakan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan yang telah
dilakukan Jepang atas dorongan mitra aliansinya Amerika Serikat (Wang 2008).
Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ini mencerminkan adanya
keinginan AS agar Jepang memainkan peran lebih besar dalam mengatasi
ancaman keamanan di kawasan (Deming 2004).
Akan dijelaskan pada bab - bab selanjutnya bagaimana bentuk kerjasama
keamanan Jepang-AS yang lebih intensif terjadi pasca Jepang mendirikan
Kementerian Pertahanan.Pasca Kementerian Pertahanan Jepang resmi berdiri,
revisi aliansi Jepang-AS terjadi dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian oleh
kedua pihak yaitu Joint Statement of the Security Consultative Committee Alliance
Transformation: Advancing United States-Japan Security and Defense
Cooperation. Kesepakatan ini untuk memperkuat aliansi AS-Jepang khususnya
7
untuk menghadapi ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara dengan peninjauan
kembali beberapa kesepakatan lama yang dinilai tidak efektif (Japan Ministry of
Defense 2007).
Hal penting lainnya pada penelitian ini adalah apa yang menjadi
kepentingan AS dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang,
serta kerjasama aliansi bilateral keamanan kedua negara ini. Tahun 2007 dipilih
sebagai awal periode dalam penelitian ini karena pada tahun ini merupakan awal
momentum Jepang dalam proses modernisasi militer negaranya karena dorongan
AS dalam merespon perkembangan militer Tiongkok dan kepemilikan senjata
nuklir Korea Utara. Pada tahun ini atas dorongan dari AS Badan Pertahanan
secara resmi berubah menjadi bentuk kementerian, anggaran belanja militer mulai
naik signifikan, teknologi militer mulai berkembang dan terjadinya perubahan
doktrin penggunaan kekuatan militer. Akhir periode dalam penelitian ini adalah
tahun 2012 karena tahun tersebut merupakan tahun paling akhir dari revisi
kesepakatan aliansi AS-Jepang.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitan sebagai berikut:
“Mengapa Amerika Serikat Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan
Keamanan Jepang pada periode 2006-2012 ?”
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kepentingan AS dalam mendorong perubahan
kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang 2006 - 2012
8
2. Untuk menganalisa kepentingan AS dalam mendorong perubahan
kebijakan pertahanan dan keamanan dengan menggunakan konsep
kepentingan nasional dan aliansi.
3. Diharapkan tulisan ini menjadi rujukan bagi penelitian serupa di masa
mendatang, khususnya tentang kepentingan Amerika Serikat di
kawasan Asia Timur.
1.4 Tinjauan Pustaka
Tulisan yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini yaitu skripsi
yang berjudul “Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) terhadap
Kerjasama Bilateral AS – Jepang dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan
periode 2001-2006” yang ditulis oleh Faris Bimantara. Faris Bimantara adalah
mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, FISIP, UIN Jakarta tahun 2007.
Faris Bimantara (2012) dalam tulisannya menjelaskan bahwa Amerika Serikat
membuat pangkalan militer di Okinawa yang bertujuan agar AS tetap dapat
mengontrol keamanan di Asia Pasifik lebih efektif dan efisien. Pangkalan militer
AS di Okinawa mempunyai nilai strategis karena letak kepulauan Okinawa di
Jepang sangat menguntungkan bagi kegiatan basis militer AS. Tujuan
membendung pengaruh komunis dan konflik di Asia Timur adalah bagian dari
upaya mencegah masuknya kekuatan-kekuatan komunis di wilayah Asia Pasifik.
Dalam hal ini, Okinawa (Jepang) dinilai sebagai daerah yang tepat bagi tentara
AS untuk kepentingan tersebut (Bimantara, 2012).
Tulisan Faris Bimantara ini membahas tema kerjasama militer AS-Jepang
yang merupakan tema yang sama dengan analisa penelitian yang akan dilakukan
9
pada skripsi ini. Perbedaan skripsi tulisan Faris Bimantara dan penelitian skripsi
ini terletak pada fokus analisa penelitiannya. Penelitian Faris Bimantara
menganalisa secara detail tentang pengaruh Pangkalan Militer di Okinawa
terhadap hubungan bilateral keamanan AS-Jepang. Sedangkan skripsi ini
menganalisa kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan
dan keamanan Jepang. Kerangka pemikiran yang dipakai pada skripsi Faris
Bimantara yaitu konsep aliansi, kepentingan nasional dan power, perbedaan
dengan penelitian skripsi ini hanya pada konsep power yang tidak digunakan
dalam skripsi ini.
Skripsi kedua yang menjadi tinjauan pustaka pada penulisan skripsi ini
adalah skripsi oleh Satria Satya Nugraha (2014) mahasiswa Hubungan
Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “Dampak
Nasionalisasi Kepulauan Senkaku terhadap Hubungan Jepang – Cina 2012-2013".
Skripsi ini fokus utamanya pada konflik Kepulauan Senkaku antara Jepang dan
Tiongkok. Pada skripsi ini dijelaskan beberapa dampak yang membuat semakin
tegang hubungan Jepang – Tiongkok pasca tindakan Jepang melakukan
nasionalisasi Kepulauan Senkaku secara sepihak. Pada tulisan ini dijelaskan faktor
utama Jepang menasionalisasi Kepulauan Senkaku adalah karena strategisnya
wilayah Senkaku bagi militer Jepang dan kepentingan Jepang untuk menguasai
sumber daya alam di Kepulauan Senkaku (Nugraha 2014).
Persamaan skripsi Satria Satya Nugraha dengan tulisan skripsi ini adalah
analisa hubungan Jepang – Tiongkok atas konflik Kepulauan Senkaku. Perbedaan
antara skripsi Satria Satya Nugraha dan skripsi ini terdapat pada skripsi Satria
10
Satya Nugraha yang melihat kepentingan Jepang pada Kepulauan Senkaku,
sedangkan penelitan pada skripsi ini melihat kepentingan AS pada transfomasi
militer Jepang, di mana konflik Kepulauan Senkaku hanya sebagai faktor
pendorong Jepang melakukan transformasi militer. Skripsi Satya Nugraha juga
menggunakan konsep kepentingan nasional seperti dengan penelitian skripsi ini.
Perbedaan kerangka pemikiran yang digunakan penulisan skripsi ini dengan Satya
Nugraha pada penggunaan konsep Sengketa Internasional.
Kemudian skripsi dari Mahasiswi FISIP Jurusan Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia tahun 2008 yang bernama Rosy Handayani, dengan judul
“Transformasi Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin (1990-2007)”. Skripsi
Rosy Handayani ini merupakan bentuk penelitian dengan tema yang lebih detail
membahas masalah perubahan pertahanan dan keamanan Jepang dengan
periodisasi yang cukup panjang, yaitu pasca Perang Dingin sampai era modern
Jepang tahun 2007. Dalam penelitian ini Rosy Handayani melihat kebijakan
strategis Jepang pasca Perang Dingin (1990-2007) sebagai bentuk adaptasi Jepang
terhadap tuntutan internal dan eksternal negaranya. Rosy Handayani juga
menyatakan bahwa Jepang memandang adanya indikasi dari negara-negara di
sekitar untuk mengembangkan pertahanan negara mereka. Dalam
mempertimbangkan masalah keamanan Jepang perlu juga mempertimbangkan
kondisi Jepang yang ada, termasuk di dalamnya keterbatasan Jepang dalam
masalah strategi militer (Handayani 2008).
Terdapat perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan penelitian yang
dilakukan Rosy Handayani, yaitu penelitian pada skripsi ini lebih fokus pada
11
kepentingan nasional Amerika Serikat dibalik perubahan signifikan Jepang dalam
bidang pertahanan. Momentumnya saat Jepang mengeluarkan kebijakan
perubahan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan, serta saat
white paper Jepang pada tahun 2010 yang mengeluarkan kebijakan berupa The
National Defense Program Guidelines (NDPG) yang tentu pada penelitian Rosy
Handayani belum tercantum. Berbeda dengan skripsi ini, Rosy Handayani
menggunakan konsep Security Dilemma dan Deterrence dalam penulian
skripsinya.
Selanjutnya tulisan oleh Robyn Lim (2002) yang berjudul “Limits of U.S.-
Japan alliance” dalam jurnal Far Eastern Economic Review Volume 165, dalam
tulisan ini dijelaskan bagaimana aliansi militer AS-Jepang memiliki kelemahan
karena Jepang masih bersandar pada Konstitusi 1947 yang melarang Jepang untuk
terlibat dalam aktivitas menggunakan militer. Dalam tulisan ini juga dijelaskan
bahwa AS harus melakukan strategi deterrence terhadap Tiongkok dan Korea
Utara walaupun aliansi militer bersama Jepang dinilai masih kurang dari beberapa
segi, seperti unit senjata militer, doktrin militer dan perjanjian militer yang masih
lemah. Lim mengatakan masih perlu adanya perbaikan dalam kerjasama militer
AS-Jepang dalam merespon Tiongkok dan Korea Utara (Lim 2002).
Perbedaan rujukan ini dengan skripsi Rosy Handayani terdapat pada
periode penelitian, di mana tulisan ini meniliti pada tahun 2002 yang memang
belum terjadinya revisi Security Consultative Commitee atau SCC antara AS-
Jepang. Sedangkan penelitan skripsi ini pada periode 2006-2012, aliansi militer
AS-Jepang telah merevisi Joint Statement aliansi pada 2005, 2006, 2012. Revisi
12
tersebut memperbaiki perjanjian sebelumnya dengan mengadakan unit senjata
militer yang lebih banyak, doktrin militer yang lebih dinamis serta beberapa
penambahan pangkalan militer aliansi.
Kemudian, tulisan dari Young June Park (2010) yang berjudul Japan’s
National Defense Program Guidelines 2010 dalam The East Asia Institute Journal
Vol. 56, menjelaskan jika Jepang telah mengubah doktrin militer dengan
mengeluarkan white papar dalam National Defense Program Guidelines atau
NDPG pada tahun 2010. Park mengatakan Jepang secara tidak langsung telah
mengabaikan Pasal 9 Konstitusi 1947 yang mana mengatur Jepang agar tidak
terlibat dalam penggunaan kekuatan militer. NDPG 2010 berisi bahwa doktrin
militer Jepang berubah dari “Basic Defense Force Concept” menjadi “Dynamic
Defense Force”, yang berarti Jepang harus lebih aktif dalam kegiatan intelijen,
pengawasan dan pengintaian. Militer Jepang dituntut lebih aktif dengan
menjalankan serangkaian operasi militer agar lebih siap dalam menghadapi
ancaaman baik ancaman tradisional maun non-tradisional (Park 2010).
Tulisan Park (2010) lebih berfokus pada perubahan doktrin militer Jepang,
walaupun terdapat analisa mengenai dampak perubahan tersebut pada kawasan
Asia Timur. Young June Park juga tidak banyak menjelaskan mengenai
kesepakatan aliansi militer AS-Jepang pada tahun 2010. Sementara skripsi ini
lebih melihat bagaimana kepentingan AS pada kawasan Asia Timur dalam
mendorong perubahan kebijakan militer Jepang, termasuk juga doktrin militernya.
Terdapat juga penjelasan mengenai perbuahan doktrin militer Jepang yang
dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut. Menurut
13
penelitan skripsi ini AS sangat besar dalam mempengaruhi perubahan doktrin
militer Jepang sehingga pada tahun 2010 dikeluarkan NDPG baru.
Rujukan yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Namzariga
Adamy seorang pengamat kawasan Asia Timur, tulisannya yang berjudul
“Kebijakan Peacekeeping Operation Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan
Terhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin.”
Dengan dipicu oleh peristiwa Perang Teluk, Jepang melakukan re-orientasi
terhadap kebijakan politik luar negerinya dengan mengirim pasukan untuk
berpartisipasi dalam PKO PBB di Kamboja. Peristiwa ini merupakan peristiwa
yang sangat penting karena pertama kalinya Pasukan Bela Diri Jepang dikirim ke
luar negeri sejak Perang Dunia II. Menurut Azami, penting menekankan agenda
keamanan nasional (national security) suatu negara, kemampuan milliter (military
capability) dan suatu perimbangan kekuatan (balance of power) sebagai elemen
utama dalam memelihara stabilitas politik internasional (Adamy 2004).
Tulisan Adamy secara detail menjelaskan bagaimana peran militer Jepang
pada level internasional. Perbedaan karya Adamy dengan skripsi ini terdapat pada
fokus utama di mana karya Adamy hanya pada periode Jepang mengirim Pasukan
Perdamaian Internasional ke Kamboja, sedangkan skripsi ini menggambarkan
secara umum transformasi militer yang dilakukan Jepang dan kepentingan AS
sebagai mitra aliansi Jepang. Kerangka pemikiran karya Adamy menggunakan
konsep Ballance of Power yang berbeda dengan skripsi ini, tetapi persamaannya
Adamy dan penelitain skripsi ini sama-sama menggunakan konsep kepentingan
nasional.
14
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Kepentingan Nasional
Konsep kepentingan nasional sangat penting dalam menjelaskan dan
memahami perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar
dalam menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara (Art & Jervis 2007).
Kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor
penentu yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara secara khas
atau berbeda dengan negara lain. Selain itu, kepentingan nasional merupakan
unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara paling vital seperti pertahanan,
keamanan, militer dan kesejahteraan ekonomi (Art & Jervis 2007).
Dalam menjelaskan konsep kepentingan nasional seperti yang dikatakan
oleh Daniel S. Papp dalam bukunya Contemporary International Relations (1997)
dapat digunakan beberapa kriteria antara lain kriteria ekonomi, ideologi, dan
militer. Pertama, kriteria ekonomi dapat dijadikan dasar dalam menjelaskan
kepentingan nasional. Artinya setiap kebijakan yang memperkuat perekonomian
suatu negara dapat dianggap sebagai suatu kepentingan nasional. Meningkatkan
neraca perdagangan suatu negara, memperkuat industri, minyak dan gas dianggap
sebagai suatu kepentingan nasional. Kedua, ideologi di mana kebanyakan negara
baik secara formal maupun non formal menggunakan ideologi untuk memberikan
legitimasi kepada kebijakan mereka. Bagi beberapa negara, faktor ideologi
mempengaruhi kepentingan nasional. Ketiga, faktor militer, bahwa tanggung
jawab utama dari sebuah negara adalah memberikan keamanan kepada warga
15
negaranya. Sehingga militer menjadi penting untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan sebuah negara (Papp 1997).
Berdasarkan pernyataan diatas, kepentingan nasional dapat mempengaruhi
power dan militer sebuah negara sehingga dapat menjadi lebih kuat dan besar.
Oleh karena itu, Waltz (1979) menunjuk kepentingan nasional berdasarkan
definisi power, artinya bahwa posisi power yang harus dimiliki negara merupakan
pertimbangan utama yang memberikan bentuk kepada kepentingan nasional.
Konsekuensi dari pemikiran tersebut adalah bahwa suatu tujuan nasional harus
diukur menggunakan tolak ukur posisi power negara. Lebih lanjut dalam
pemikiran Waltz, dijelaskan bahwa kepentingan nasional merupakan produk-
politik (perilaku atau kebijakan negara), dengan jalan mengamati unit-unit atau
bagian-bagian yang membentuk sistem. Semua yang terjadi dalam politik
internasional dalam kerangka Neorealism harus dijelaskan dengan melihat
perilaku dan hubungan antar unit dalam sistem (Burchil 1996).
Kepentingan nasional diakui sebagai konsep kunci dalam politik luar
negeri. Artinya, bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri dapat
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis atau atas pertimbangan
kepentingan (Burchil 1996, h.106). Kepentingan dan ideologis menjalin hubungan
timbal balik dan saling mempengaruhi untuk membuat suatu kebijakan.
Kepentingan nasional selalu berkaitan erat dengan keamanan, kesejahteraan, dan
juga power (Steans & Pettiford 2001, h.20). Kepentingan nasional adalah
kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh sebuah negara untuk menjaga
kelangsungan hidup negara dan keamanan yang dihadapkan pada suatu politik
16
internasional (sebagai arena persaingan), serta untuk mencapai pertumbuhan
kekayaan, ekonomi dan kekuasaan suatu negara (Stean & Pettiford 2001).
Dari berbagai definisi tentang konsep kepentingan nasional, dalam skripsi
ini akan dilihat bagaimana kepentingan nasional Amerika Serikat pada Jepang
dalam cakupan kawasan Asia Timur. Amerika Serikat memiliki kepentingan
terhadap kawasan ini, maka dari itu Jepang merupakan kunci utama bagi AS
untuk tetap menjadi hegemon di kawasan Asia Timur. Apalagi dengan
kebangkitan militer Tiongkok yang berideologi berbeda dengan AS, menjadikan
AS semakin gencar melakukan aliansi militer dengan Jepang. Jadi dalam
penulisan skripsi ini pertanyaan utama yang akan dijawab pada bab - bab
berikutnya adalah mengenai kepentingan nasional AS dalam mendorong Jepang
melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan sebagai respon
terhadap peningkatan kekuatan militer Tiongkok dan kepemilikan nuklir Korea
Utara.
1.5.2 Konsep Aliansi
Menurut Stephen M. Walt (1985) dalam tulisan Alliance Formation and
the Ballance of World Power dengan teori terkenalnya ballance of threat, aliansi
merupakan upaya negara bergabung dengan negara lain untuk menangkal
ancaman bersama. Strategi yang aman yaitu bergabung dengan pihak yang
mempunyai kepentingan terhadap ancaman bersama. Walt memberikan istilah
balancing yaitu upaya menyatukan kapabilitas kekuatan dengan pihak lain untuk
mengimbangi ancaman bersama. Ada alasan utama bagi negara untuk melakukan
balancing yaitu jika negara tidak melakukan balancing, maka negara tersebut
17
mempunyai resiko untuk menerima dampak dari ancaman negara yang dianggap
dapat mengancam. (Walt 1985). Dalam skripsi ini dibahas mengenai AS dan
Jepang melakukan aliansi karena menganggap kekuatan Tiongkok dan Korea
Utara sebagai ancaman bersama. Aliansi AS dan Jepang digunakan untuk
melakukan balancing atau mengimbangi kekuatan terhadap ancaman militer dari
kedua negara tersebut.
Semakin kuatnya hubungan aliansi militer AS-Jepang dikarenakan
keadaan security dilemma di kawasan yang dibuat oleh Tiongkok dan Korea Utara
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Robert Jervis (1978) dalam
tulisan Cooperation under the Security Dilemma, semakin besar peningkatan
militer suatu negara dapat menimbulkan kekhawatiran yaitu rasa tidak aman yang
besar juga pada negara di sekitarnya. Strategi offense-defense dari Robert Jervis
(1978) menjelaskan dalam keadaan security dilemma negara yang merasa
terancam memiliki dua pilihan untuk merespon negara yang mengeluarkan
ancaman, yaitu dengan bertindak menyerang langsung (offense) atau bertahan
(defense) dengan memperkuat militernya (Jervis 1978).
Pada penelitian skripsi ini, AS yang merasakan kekhawatiran terhadap
perkembangan militer Korea Utara dan Tiongkok dan memilih merespon dengan
cara bertahan (defense) dengan menggunakan strategi extended deterrence.
Extended deterrence menurut Justin V. Anderson dan Jefrey A. Larsen (2013)
dalam tulisan “Extended Deterrence and Allied Assurance: Key Concepts and
Current Challenges for U.S. Policy”, merupakan sebuah strategi militer suatu
negera, yaitu dengan membangun kekuatan militer pihak ketiga yang merupakan
18
mitra aliansi. Kekuatan dibangun untuk melindungi pihak ketiga dari ancaman
sekaligus kekuatan militer yang dibangun digunakan sebagai alat provokasi pada
pihak lawan (Anderson & Larsen 2013, h.5).
Pada skripsi ini AS memberikan perlindungan Jepang pada hubungan
aliansi militer AS-Jepang dari ancaman militer Tiongkok dan nuklir Korea Utara.
Kekuatan aliansi militer AS-Jepang yang semakin juga digunakan sebagai alat
untuk menghalangi (to deter) kekuatan Tiongkok dan Korea Utara. Strategi
extended deterrence yang dipilih AS karena kawasan ini berjarak jauh dengan
wilayah teritori AS. Meningkatkan kekuatan aliansi militer bersama Jepang
merupakan pilihan yang tepat bagi AS untuk mengamankan kepentingan AS pada
kawasan ini.
1.5.3 Kebijakan Luar Negeri
Menurut Kenneth Waltz (1967) dalam tulisannya “Foreign Policy and
Democratic Politics: The American and British Experience”, tidak ada tempat
bagi pembuat kebijakan luar negeri dalam pandangan Waltz yang bebas dari
struktur sistem. Sistem internasional membentuk cara negara berprilaku dan
berinteraksi, termasuk dalam membuat kebijakan luar negeri. Bagi Waltz,
bagaimanapun juga, kepentingan nasional terlihat beroperasi seperti sebuah sinyal
otomatis yang memerintah para pemimpin negara ketika dan kapan harus
bergerak. Pemimpin negara akan secara otomatis mengambil Kebijakan Luar
Negeri berdasarkan kepentingan nasional yang dipengaruhi sistem (Waltz 1967).
Gambaran Waltz pada pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan luar negeri
hampir menyerupai gambaran mekanis yang mana pilihan-pilihan mereka
19
dibentuk oleh hambatan-hambatan struktural internasional yang mereka hadapi,
seperti ditekankan pada perkataan Waltz berikut:
“Kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur; kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara; keberhasilan adalah ujian terakhir dari kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat negara. Hambatan-hambatan struktural pada sistem menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaaan-perbedaan dalam diri manusia dan negara-negara yang menggunakannya” (Waltz 1979).
Kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan
aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan
eksternalnya. Kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan
mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Lebih lanjut, menurut Rosenau,
apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan memasuki
fenomena yang luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal (internal life) dan
kebutuhan eksternal (eksternal needs) termasuk didalamnya adalah kehidupan
internal dan eksternal seperti aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik,
kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan
memelihara identitas sosial, hukum, dan geografi suatu negara sebagai negara-bangsa
(Yani 2007).
Pada penelitian skripsi ini, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar
negeri dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.
Kebijakan AS dalam membentuk hubungan aliansi militer bersama Jepang
merupakan bentuk kebijakan luar negeri AS terhadap lingkungan eksternal (Jepang).
Kebijakan luar negeri AS terkait dengan bentuk kerjasama aliansi bersama Jepang
20
tersebut, merupakan dalam rangka merespon persepsi ancaman kekuatan Tiongkok
dan Korea Utara (pengaruh sistem internasional). Termasuk juga dengan kebijakan
luar negeri AS yaitu “the Pivot to Asia” yang dipengaruhi oleh kekuatan militer
Tiongkok dan Korea Utara. Perkembangan pesat militer Tiongkok dan Korea Utara
mempengaruhi stabilitas kawasan Asia Timur yang berdampak pada kekhawatiran
AS dan Jepang.
1.5.4 Teori Defensive Structural Realism
Menurut John J. Mearsheimer (2007), teori structural realism menjelaskan
bahwa untuk memperoleh kekuasaan adalah hal yang terpenting bagi teori ini dalam
sistem politik internasional. Hal yang membedakan antara realisme klasik dengan
structural realism disini adalah jika realisme klasik akan memandang itu sebagai
kebutuhan dasar manusia yang pada hakekatnya selalu haus akan kekuasaan. Namun
structural realism disini berpendapat bahwa sifat manusia tidak ada hubungannya
dengan mengapa negara ingin berkuasa. Bahwa ini hanyalah sebuah strukturisasi
dalam sistem internasional lah yang akhirnya memaksa suatu negara untuk
memperoleh kekuasaan itu sendiri. Serta mempertahankan diri dengan membangun
kekuatan pertahanan yang kuat merupakan pilihan yang penting bagi suatu negara
untk bertahan (defense) dari pengaruh sistem internasional. Istilah “defensive
structural realism” inilah yang menjelaskan perilaku negara yang memilih strategi
bertahan (defense) dengan membangun pertahanan yang kuat atau menciptakan
hubungan aliansi militer yang banyak (Mearsheimer 2007).
Teori defensive structural realism juga menjelaskan bahwa mengejar
hegemoni yang berlebihan itu hanyalah merupakan suatu bentuk ekspansi yang
berlebihan. Negara dalam mempertahankan hidupnya tidak harus mengejar
21
kekuasaan, namun sebaliknya yaitu dengan mencapai jumlah kekuasaan yang
sesuai. Tujuan utama dari setiap negara menurut teori ini adalah untuk tetap
survive atau bertahan (defense) sebagai sebuah negara. Sebagaimanapun
banyaknya tujuan-tujuan baik secara politik, sosial, ekonomi, keamanan dan
pertahanan sebuah negara tetap tujuan utamanya adalah untuk bertahan hidup.
Teori ini percaya bahwa dengan membatasi diri adalah solusi yang sesuai.
Defensive structural realism percaya jika ada satu negara yang terlalu
memaksimalkan power dan hegemoninya, hal ini justru akan memicu negara-
negara lain untuk beraliansi dan berusaha untuk menandingi hegemoni yang
dicapai negara tersebut (Mearsheimer 2007).
Pada penelitian skripsi ini, Tiongkok dan Korea Utara memaksimalkan power
dengan menjadi ancaman di kawasan Asia Timur yang berdampak pada kekhawatiran
aliansi AS-Jepang. Skripsi ini berfokus pada level analisis sistem, dimana sistem
internasional telah memaksa aliansi AS-Jepang memperkuat kekuatan militernya dan
pada akhirnya AS mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan teori defensive structural realism, pada skripsi
ini aliansi AS-Jepang memilih strategi bertahan (defense) dengan membangun sistem
pertahanan yang kuat dalam rangka untuk merespon perkembangan militer Tiongkok
dan senjata rudal nuklir Korea Utara.
1.6 Metode Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan
kualitatif. Menurut John W. Creswell (1994) dalam buku yang berjudul Research
Design: Qualitative and Quantitative Approaches, penelitian kualitatif adalah
22
suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial
dan masalah manusia, merupakan penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif
dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Pendekatan
kualitatif untuk menunjang fakta yang terjadi dan dengan teori dapat menganalisa
fenomena tersebut (Creswell 1994).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif
analitis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran dan analisa berbagai situasi
yang menjadi bagian dari permasalahan yang ingin diteliti secara sistematis.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menghubungkan teori dengan data-data yang didapatkan melalui riset
perpustakaan (library research), yaitu dari perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta serta perpustakaan Universitas
Indonesia. Data-data tersebut didapatkan dari buku-buku, jurnal, majalah, surat
kabar dan sumber lainnya (document analysis). Selain itu, dalm skripsi ini juga
menggunakan sarana internet dalam proses pengumpulan data yang berkaitan dan
relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah
terkumpul data–data dianalisis dengan teori dan konsep yang digunakan sehingga
menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini.
1.7 Sistematika Penulisan
Dalam penelitan ini skripsi ini dengan membagi menjadi lima bab, yang
mana pada tiap bab memiliki inti penjelasan tersendiri. Berikut jabaran dari tiap
bab pada penelitian ini:
BAB I: PENDAHULUAN:
23
1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Pertanyaan Penelitian 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4 Tinjauan Pustaka 1.5 Kerangka Pemikiran 1.6 Metode Penelitian 1.7 Sistematika Penulisan
BAB II: KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012
2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan
Jepang 2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 - 2012
BAB III: PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012
3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang
3.1.2 Teknologi Militer Jepang 3.1.3 Tujuan Penggunaan Kekuatan Militer
BAB IV : KEPENTINGAN AS DALAMMENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG
4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri AS 4.2 Faktor Penyebab AS Mendorong Perubahan Kebijakan
Pertahanan dan Keamanan Jepang 4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok 4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara
4.3 Kepentingan Amerika Serikat terhadap Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur 4.3.2 Extended Deterrence terhadap Kekuatan Militer Tiongkok
dan Korea Utara 4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan di Kawasan Asia Timur
BAB V : KESIMPULAN
24
BAB II KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN
JEPANG 2006 – 2012
Pada latar belakang telah dijelaskan bahwa Amerika Serikat berkomitmen
untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama politik internasional,
dikarenakan Amerika Serikat menempatkan kawasan Asia Timur sebagai prioritas
utama dalam kepentingan nasional mereka pada kawasan Asia Timur. Bab
sebelumnya juga menjelaskan secara singkat latar belakang dari perubahan
kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah dan bentuk kerjasama
keamanan Amerika Serikat dan Jepang. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian,
pertama sejarah singkat kerjasama keamanan AS-Jepang pada masa awal pasca
Perang Dunia II sampai tahun 2005, dan kedua kerjasama keamanan AS-Jepang
pada masa dari awal Jepang melakukan modernisasi militer sampai revisi terakhir
aliansi militer AS-Jepang (2006-2012).
2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan AS - Jepang
Kekalahan yang dialami Jepang pada Perang Dunia II memaksa Jepang
menandatangani perjanjian kesepakatan yang berisi bahwa Jepang dikuasai
Amerika Serikat untuk sementara waktu. Perjanjian ini berdampak pada campur
tangan AS untuk kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang yaitu pasal 9
Konstitusi 1947 (Irsan 2005).
25
Di bawah Konstitusi 1947, AS memaksa Jepang untuk tidak memiliki
kekuatan militer dan memulai suatu pola yang secara jelas membagi ekonomi dan
politik (Maswood 1990). Menurut Hikmahanto Juwana (1993) dalam tulisan yang
berjudul Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia,
masalah pertahanan dan keamanan Jepang bersandar pada Amerika Serikat.
Amerika menempatkan sejumlah pasukannya di Jepang untuk memelihara tatanan
dan mempertahankan Jepang dari serangan luar. Jepang lebih fokus pada
pembangunan ekonomi domestik negara daripada kebijakan pertahanannya.
Jepang menyerahkan masalah pemeliharaan keamanannya kepada Amerika
Serikat dalam sebuah perjanjian keamanan Jepang - Amerika Serikat tahun 1951
di San Francisco (Juwana 1993).
Perjanjian San Francisco tahun 1951 mengakhiri konsekuensi dan segala
urusan pada Perang Dunia II, serta adanya pembicaraan langkah awal mengenai
aliansi militer AS dan Jepang. Sekitar 10 tahun kemudian U.S – Japan Mutual
Security Treaty ditandatangani. Pada tahun 1960 perjanjian ini direvisi sehingga
berubah nama menjadi Treaty of Mutual Cooperation and Security (Japan
Ministry of Defense 2007). Perjanjian militer ini memberikan hak untuk AS
mendirikan pangkalan militer di wilayah Okinawa sebagai komitmen dalam
memenuhi janji AS menjaga pertahanan Jepang. Di bawah ini peta dari
pangkalan militer AS di Okinawa.
26
`Gambar 1: Pangkalan Militer AS di Okinawa pada Treaty of Mutual Cooperation and Security 1960
Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp diakses pada 15 Juli 2014
Pangkalan AS di Pulau Okinawa terletak tepat di tengah-tengah wilayah
yang sangat padat. Misalnya, Kota Kadena telah dipakai untuk Air Base Military
(Pangkalan Militer Angkatan Udara). Pangkalan militer AS di kota ini telah
mengambil 83% dari lahan Kota Kadena, dan menyisakan 17 % untuk warga di
kota itu. Adapun daerah di Okinawa yang dijadikan tempat bagi pangkalan militer
AS adalah Futenma Air Station, Kadena Air Base, Camp Hansen, Camp Schwab,
Henoko, Stasiun Komunikasi Tori (Kodansha Encyclopedy of Japan 1983).
Pada masa Perang Dingin strategi AS untuk terus membendung kekuatan
komunis Uni Soviet adalah dengan sebanyak banyaknya membentuk aliansi.
Jepang dijadikan sekutu aliansi oleh AS karena untuk membantu menangkal
27
kekuatan Soviet. Pada awal aliansi AS-Jepang terbentuk, 50.000 anggota angkatan
perang AS ditempatkan di Jepang termasuk 2.600 personil Angkatan Darat,
21.000 Marinir (dengan wing udara dan kapal amphibi), dan 230 pesawat tempur
Angkatan Udara ditempatkan pada pangkalan militer di Okinawa (Karismaya
2013).
Kapabilitas teknologi dan perindustrian canggih yang dimiliki Jepang
merupakan hasil dari pemanfaatan teknologi militer yang diperoleh dari AS sejak
1960-an. Pertukaran teknologi dengan AS bagi Jepang merupakan suatu upaya
untuk mendapatkan keuntungan lain dari bentuk aliansi militer. Jepang berhasil
menyerap teknologi militer melalui lisensi produk persenjataan AS, yang
dilandasi the Mutual Defence Assistance Agreement tahun 1954 (Rosa 2008).
Sejak itu, Amerika Serikat dan Jepang semakin menjalin hubungan militer yang
kuat.
Pada tahun 1970 kerjasama militer AS-Jepang mengalami peninjauan
kembali, hal yang terpenting dari revisi perjanjian ini adalah diberlakukannya
anggaran militer Jepang sebesar 1% dari APBN. Sebelumnya, Jepang hanya
diperbolehkan mengeluarkan anggaran militer di bawah 1% dari APBN. Hal ini
menandakan bahwa AS mulai meminta Jepang untuk mengubah kebijakan
pertahanan agar lebih mandiri dan tidak secara berlebihan berlindung pada payung
militer AS (Akaha 1990).
Ketika Perang Dingin berakhir pada awal 1990an, Perjanjian Keamanan
Jepang-AS mulai melemah, hal ini memunculkan gagasan untuk mencari bentuk
baru dari perjanjian Jepang-AS. Pada 17 April 1996 akhirnya Jepang dan AS
28
memperbaharui perjanjian keamanannya dengan menandatangani Japan-US Joint
Declaration on Security—Alliance for the Twenty-First Century. Sebagai bagian
dari kesepakatan ini, kedua negara setuju untuk meninjau kembali Guidelines for
Japan-US Defense Cooperation yang pernah disepakati pada tahun 1978 (Japan
Ministry of Defense 2007).
Adanya Joint Statement pada tahun 1997, menciptakan landasan yang
solid untuk kerjasama Jepang-AS baik dalam keadaan keamanan Asia Timur yang
normal maupun tidak menentu. Ada tiga prinsip dasar yang dihasilkan dari Joint
Statement ini, yaitu: pertama, hak dan kewajiban dalam The Japan-U.S Treaty of
Mutual Cooperation and Security dan perjanjian-perjanjian lainnya tidak akan
berubah; kedua, kerangka dasar kerjasama aliansi Jepang-AS tidak akan berubah;
ketiga Jepang akan bertindak sesuai dengan batasan dalam konstitusinya (East
Asia Strategic Review 2000).
Pada November 2003, Pertemuan Jepang-AS diadakan di Tokyo yang
dihadiri Menteri Pertahanan, Shigeru Ishiba dan Menteri Pertahanan AS, Donald
Rumsfeld. Pada pertemuan tersebut, keduanya mendiskusikan masalah-masalah
penting, seperti kerjasama pertahanan Jepang-AS, peningkatan militer Tiongkok,
dan masalah nuklir Korea Utara. Ishiba dan Rumsfeld setuju bahwa kedua negara
perlu meningkatkan kerjasama tidak hanya di kawasan tetapi juga pada masalah
keamanan global (Morrison 2003, h.49).
Pada tanggal 29 Oktober 2005, AS-Jepang dalam Security Consultative
Committee (SCC) menyetujui rekomendasi untuk penataan kembali pasukan AS
di Jepang. AS dan Jepang bersama meningkatkan keamanan nasional negaranya
29
berdasarkan Joint Statement tahun 1997, yang secara bersama menjaga keamanan
dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik dan menghalau segala kemungkinan
terjadinya penyerangan terhadap AS (Irsan 2007). Berikut gambaran kekuatan
persenjataan aliansi AS-Jepang yang mengalami perubahan dari tahun 1996 yaitu
awal pemasukan senjata sampai dengan tahun 2005.
Tabel 1: Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1996 – 2005
Kekuatan
Militer
Tahun
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tank 25 56 52 52 56 30 26 20 50 100
Artillery Piece - 68 61 49 49 50 67 67 80 90 Armored Personel
35 45 61 60 71 73 9 13 300 400
SSM - 6 16 16 16 16 8 8 4 4 Anti Tank Helicopter
- 8 8 8 8 9 8 6 4 6
Transport Helicopter
- 4 5 5 5 3 3 3 3 3
Surface to air quided missile
- 1 1 1 2 2 3 3 4 5
Destroyer - 3 2 1 3 2 3 3 6 7 Submarine - 1 1 1 1 1 2 3 17 17 Fixed wing
anti-submarine patrol aircraft
(P-3c)
10
10 9 9 10 8 7 9 14 15
Anti Submarine 16 13 17 12 12 11 5 7 6 6 Minessweeping
Helicopter 2 4 4 2 4 4 1 4 5 7
Fighter Interceptor (F-
15)
10 12 12 12 11 5 7 7 12 27
Transport Helicopter (CH-47 J)
3 3 2 3 4 5 6 6 12 23
Transport Aircraft
1 2 4 4 5 6 7 8 8 20
30
Sumber: Japan Ministry of Defense diakses pada 2 November 2014 dan International Military And Defence Encyclopedia oleh Trevor N. Dupuy
Dari data diatas dapat ditarik beberapa kenyataan bahwa aliansi AS-Jepang
tiap tahun mengalami kenaikan persenjataan dan armada tempur, guna
menghadapi serangan musuh. AS dalam hal ini mengakomodasi dan
memodernisasi alat-alat tempur Jepang yang telah dikontrol oleh AS, guna
menjaga keberlanjutan kerjasama AS-Jepang di Asia Pasifik (Sinaga 2007).
Kekuatan militer Jepang memang tidak sekuat negara-negara lain di Asia Timur.
Akan tetapi keberadaan Amerika Serikat di Okinawa sebagai payung militer,
membuat kekuatan Jepang disegani dan ditakuti oleh banyak negara pasca Perang
Dingin (Irsan 2007).
Pasca SCC 2005 hubungan aliansi militer AS-Jepang semakin kuat,
dengan ditandai banyak masuknya persenjataan militer. Realisasi dari kesepakatan
aliansi militer AS-Jepang terlihat pada periode ini. Berawal pada tahun 1996
senjata militer banyak didatangkan, hingga pada tahun 2005 senjata militer
konsisten bertambah untuk kepentingan aliansi militer. Walaupun beberapa tahun
terjadi penurunan jumlah unit persenjataan pada hubungan aliansi militer AS-
Jepang, tetapi periode ini merupakan awal dari masa efektifnya aliansi militer AS-
Jepang. Tahun 2006, Aliansi Keamanan AS-Jepang memasuki periode baru
ditandai dengan transformasi militer yang dilakukan Jepang pada tahun 2006-
2007.
31
2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat – Jepang Periode 2006 – 2012
Percobaan senjata nuklir Korea Utara di tahun 2006, membuat terjadi
adanya pembicaraan pada aliansi AS-Jepang. Pemerintahan Bush memasukkan
Korea Utara ke dalam daftar hitam negara – negara yang dinilai dapat mengancam
kestabilan sistem internasional. Amerika Serikat meminta Jepang untuk
membantu terlibat kembali dalam Deklarasi Pyongyang (Avery & Rinehart
2013). Provokasi peluncuran senjata nuklir oleh Korea Utara menjadi salah satu
faktor pendorong bagi Jepang dalam mengubah kebijakan pertahanan dan
keamanan negara, salah satunya dengan dibentuknya Kementerian Pertahanan
pada tahun 2007 (Xu 2014).
Kunjungan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi ke White House
disambut baik oleh Presiden George W. Bush pada 29 Juni 2006. Kunjungan ini
dalam rangka merayakan ikatan persahabatan AS-Jepang. Dalam pertemuan ini,
kedua pihak juga mengingat dan mengevaluasi pencapaian yang didapat dari
aliansi AS-Jepang ini, serta kemungkinan adanya perluasan dan penambahan
bentuk kerjasama lain (Japan Ministry of Defense 2007). Pada pertemuan ini
kedua pihak sepakat untuk terus berkomitmen dalam aliansi berdasarkan nilai –
nilai keamanan universal dan kepentingan bersama.
Jepang dan Amerika Serikat kemudian menyepakati Initial Actions for the
Implementation of the Joint Statement pada 13 februari 2007 dan difokuskan
kepada masalah Korea Utara. Terdapat lima hal penting dari tujuan strategis
bersama yang disepakati kedua pihak, yaitu: (Sinaga 2007)
32
Pertama mencapai denuklirisasi Korea Utara melalui Six-Party Talks dan
memperhatikan normalisasi hubungan Korea Utara, Amerika Serikat dan Jepang.
Menyadari kontribusi Tiongkok dalam keamanan regional dan global serta
mendorong Tiongkok untuk meningkatkan transparansi dalam anggaran
militernya. Kedua meningkatkan kerjasama untuk memperkuat kerjasama dalam
APEC sebagai forum ekonomi regional yang memiliki peran penting dalam
mencapai stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di kawasan. Ketiga mendukung
usaha ASEAN dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pemerintahan yang
baik, aturan hukum, kebebasan, dan ekonomi pasar di Asia Tenggara, serta
membangun kerjasama regional pada isu-isu keamanan tradisional dan
transnasional secara bilateral melalui ASEAN Regional Forum. Keempat
memperkuat kerjasama trilateral antara Jepang, Amerika Serikat, dan Australia
termasuk dalam hal keamanan dan pertahanan berdasarkan nilai-nilai demokrasi.
Kelima, mencapai kerjasama yang lebih erat antara Jepang dan NATO mengingat
NATO memberikan kontribusi global bagi perdamaian dan keamanan serta tujuan
strategis dalam aliansi Jepang dan Amerika Serikat.
Kemudian penerapan dari Joint Statement 2007 yaitu proses relokasi
militer dari Okinawa ke Guam baru ditandatangani pada tahun 2009, di mana
8000 pasukan marinir AS tersebut akan dipindah dari pangkalannya di Futenma,
Pulau Okinawa, Jepang, ke Guam, yang masih merupakan teritori AS (Kompas
2009). Keputusan tersebut memperlancar kesepakatan untuk mengorganisir
kembali hampir 50.000 pasukan Amerika Serikat yang berdiam di Jepang.
Relokasi pasukan di Jepang merupakan bagian dari upaya Amerika Serikat untuk
33
mentransformasikan pasukan militernya menjadi lebih modern (Moore 2008).
Relokasi akan mengurangi jumlah pasukan marinir Amerika Serikat di Okinawa,
sebuah wilayah paling miskin di Jepang, menjadi sekitar 7.000 dari 18.000
marinir yang ada saat ini. Target pada 2014 relokasi militer ini sepenuhnya
selesai. (Japan Ministry of Defense 2007)
Faktor penyebab utama pengurangan pasukan AS di Okinawa karena di
dalam negeri Jepang terjadi penolakan kehadiran pasukan Amerika Serikat.
Keberadaan pasukan Amerika Serikat di kepulauan Okinawa sudah lama menjadi
masalah kontroversial di dalam negeri. Warga lokal di Okinawa mengatakan
keberadaan Futenma sebagai pangkalan militer yang dekat dengan kota sangat
berbahaya dan bising. Warga ingin agar pangkalan tersebut dipindahkan ke pulau
lain. Selain membahayakan, di kawasan ini kerap terjadi tindak kriminal yang
dilakukan oleh personel militer Amerika Serikat, termasuk kasus pemerkosaan
yang dilakukan oleh tiga anggota militer Amerika Serikat terhadap seorang gadis
berusia 12 tahun pada 27 April 2009 (Tempo, 21 Agusutus 2009).
Warga Okinawa menginginkan semua fasilitas militer tersebut
dipindahkan keluar dari pulaunya. Bahkan Gubernur Okinawa mendesak Tokyo
merevisi Kesepakatan Status Pasukan (Status of Forces Agreement) yang
memberikan keleluasaan bagi pasukan AS dalam masalah-masalah hukum
(Kompas 2009). Faktor domestik Amerika Serikat juga mendorong pasukan
militer AS segera dipindahkan. Parlemen Amerika Serikat menekan Pemerintah
AS untuk segera merelokasi pasukan dari Okinawa atas nama HAM masyarakat
Okinawa (Moore 2008).
34
Pada awal 2009 sejak Obama menjabat sebagai Presiden AS ada upaya
pendekatan dan penguatan hubungan aliansi keamanan secara bilateral dengan
negara-negara Asia Pasifik (Khairunissa 2013). Istilah rebalance policy yang
menggambarkan AS di Asia Pasifik yang baru, atau dikenal sebagai “The Pivot to
Asia” merupakan perubahan prioritas AS terhadap negara-negara di Asia. Hal
tersebut terlihat dari upaya AS menambah pasukan di kawasan Asia Pasifik dan
memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia. Tidak hanya itu,
AS juga mendorong negara-negara aliansinya untuk mengadopsi kebijakan yang
sama (The Foregin Policy Initiative 2014).
Anggota Security Consultative Comitee (SCC) AS-Jepang pada 28 Mei
2010 kembali mengeluarkan Joint Statement of the U.S.-Japan Security
Committee. Dalam pertemuan ini masalah – masalah yang telah dibicarakan pada
Joint Statement SCC 2007 kembali dibahas, seperti masalah relokasi militer dari
Okinawa ke Guam, mengkonstruksi ulang fasilitas militer di Henoko Saki, lebih
memikirkan dampak lingkungan dan dampak terhadap penduduk setempat (SCC
Joint Statement Document 2010).
Pada 21 Juni 2011 kembali dikeluarkan kesepakatan SCC yaitu Joint
Statement of the Security Consultative Committee Toward a Deeper and Broader
U.S.-Japan Alliance: Building on 50 Years of Partnership. Masalah yang dibahas
pada pertemuan dalam rangka setengah abad aliansi AS-Jepang ini berkaitan
dengan bencana alam yang terjadi pada Jepang yaitu pada 11 Maret 2011, gempa
bumi dan tsunami, serta keadaan darurat reaktor nuklir Fukushima. Kerja sama ini
melibatkan operasi gabungan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Pasukan
35
Pertahanan Bela Diri Jepang (SDF) dan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat.
Hal ini telah memberikan keyakinan baru kepada aliansi ini untuk saling
membantu bila salah satu pihak tertimpa bencana (Japan Ministry of Defense
2007).
Usaha pembentukan Joint Force dalam aliansi kemudian direncanakan
akan dibicarakan pada pertemuan SCC berikutnya. Selanjutnya 27 April 2012
pertemuan SCC dilakukan oleh Menteri Pertahanan Leon Panetta dan Menteri
Luar Negeri Hillary Clinton dari AS, serta Jepang diwakili Menteri Pertahanan
Naoki Tanaka dan Menteri Luar Negeri Koichiro Genba. Pertemuan ini
menghasilkan Joint Statement of the Security Consultative Committee yang
intinya memperkuat aliansi bersama serta beberapa revisi terhadap kesepakatan
sebelumnya. Revisi tersebut diantaranya mengkomposisi ulang unit militer di
Okinawa, Guam, dan daerah luar Jepang lainnya, mengkonsolidasikan pangkalan
militer kembali ke Okinawa, membangun fasilitas militer kembali di Futenma,
dan mengembalikan pangkalan udara Kadena Selatan (SCC Joint Statement
Document 2012).
Kesepakatan bersama SCC pada tahun 2012 ini kemudian menghasilkan
beberapa pengaturan ulang terhadap kesepakatan SCC United States-Japan
Roadmap for RealignmentI Implementation yang pernah disepakati pada tahun
2006, untuk penempatan fasilitas militer di provinsi Okinawa dan beberapa
tempat di dalam negeri dan luar negara Jepang (Dupuy 2012). Beberapa
penempatan ulang unit militer pada provinsi Okinawa diantaranya: Marine Corps
Air Station (MCAS) di Futenma, Pelabuhan Naha, Markas Kuwae, Markas
36
Zukeran di Futenma Barat, Daerah Perbaikan Makiminato, dan Pangkalan Udara
di Kadena Selatan. Selain itu revisi kesepakatan SCC ini juga berisi tentang
penambahan senjata dan unit militer seperti, penambahan armored vehicle,
missiles, mortar,rifle, grenade, howitzer, helicopter, Recon UAV, aircraft dan
sebagainya. Penambahan senjata ini dikarenakan beberapa pangkalan militer yang
baru dikembalikan di Okinawa membutuhkan fasilitas baru (SCC Joint Statement
Document 2012).
Berikut tabel penambahan senjata militer untuk aliansi setelah kesepakatan
SCC tahun 2012 dan peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena
Selatan, Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012.
Tabel 2: Daftar Penambahan Peralatan Militer setelah SCC Joint Statement 2012
Nama Alat Jumlah Unit Sebelum
Kesepakatan SCC 2012
Jumlah Unit Sebelum
Kesepakatan SCC 2012
Type 10 Main Battle Tank 10 53 Type 89 Infantry Fighting Vehicle 9 68 Maneuvr Combat Vehicle 4 103 Type 73 Armored Personnel Carrier 24 338 FH-70 Towed Howitzer 200 310 Chemical Reconnaussance Vehicle 5 47 Type 92 Mine Clearance Vehicle - 5 Bushmaster Protected Mobility Vehicle - 4 LR-2 Super King Aircraft - 7 Lr-1 MU-2 aircraft - 2 Bell Ah-1 Cobra 10 88 OH-6D Scout Helicopter 50
106
RT 120mm Heavy Mortar
50
430
L16 81mm Mortar
-
5
37
Sumber: Japan Ministry of Defense dan International Military And Defence Encyclopedia oleh Trevor N. Dupuy
Dapat disimpulkan dari tabel di atas, aliansi militer AS-Jepang pada
kesepakatan SCC 2012 menghasilkan kebijakan aliansi untuk menambah jumlah
persenjataan yang ada dan menghasilkan pengadaan jenis senjata yang baru.
Selain itu Kesepakatan SCC 2012 juga menghasilkan beberapa keputusan untuk
mengembalikan beberapa markas militer yang sebelumnya pada 2009 telah
dihentikan sementara. Di bawah ini peta dari pangkalan udara AS di Kadena
Selatan.
Gambar 2: Peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena Selatan Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012
Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp diakses pada 20 September 2014
Type 91 Portable Air Missile 100 210
38
Gambar diatas menjelaskan peta Kadena Selatan berdasarkan daerah mana
yang paling memenuhi syarat untuk dikembalikan fasilitas militernya setelah
perjanjian Futenma Replacement Facility atau FRF dan Joint Statement SCC
2012. Pengembalian wilayah pangkalan militer ini telah disetujui oleh Parlemen
Jepang. Dengan pengembalian wilayah ini membuktikan Okinawa siap kembali
menjadi tuan rumah dalam pangkalan militer aliansi (Japan Ministry of Defense
2012).
Dapat disimpulkan sejak Jepang melakukan tranformasi militer hingga
tahun 2012, hubungan militer AS-Jepang mengalami banyak sekali perubahan dan
revisi kesepakatan bersama. Pada tahun 2006 provokasi yang dilakukan Korea
Utara dalam meluncurkan senjata nuklir serta perkembangang pesat kekuatan
militer Tiongkok berdampak pada revisi yang banyak pada kesepakatan bersama
aliansi, di mana beberapa pertemuan SCC menghasilkan keputusan untuk terus
memperbaiki kinerja dari aliansi militer ini. Hubungan aliansi mulai mendapat
pertentangan dari internal Jepang saat munculnya isu perlakuan asusila dan
kriminalitas yang dilakukan para tentara AS di Okinawa. Hal ini berdampak pada
wacana pengurangan pasukan militer Amerika Serikat di Jepang bahkan adanya
wacana mengusir penuh.
Akan tetapi hubungan buruk ini tidak berlangsung lama, pada tahun 2009
melalui “The Pivot to Asia”, Presiden Obama memfokuskan Kebijakan Luar
Negeri AS pada kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Timur. Hal ini kemudian
direalisasikan pada tahun 2012 dengan mengeluarkan dokumen resmi Sustaining
US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense. Hal ini menjadikan
39
Jepang sebagai mitra aliansi yang sangat penting untuk kepentingan AS
(Khairunissa 2013).
Hal ini merupakan bentuk penguatan aliansi AS-Jepang dalam
menghadapi kekuatan ancaman dari Tiongkok dan Korea Utara. Jepang sejak
tahun 2006 terus mengarahkan militernya untuk terus berkembang sangat
bergantung pada Amerika Serikat, karena dengan penguatan aliansi militer maka
militer Jepang mendapatkan pembelajaran strategi militer, teknologi militer yang
canggih serta pengelolahan militer yang baik (Avery & Reinhart 2013). Bagi
Amerika Serikat, Jepang adalah mitra aliansi yang penting demi kepentingan
mereka yang ingin terus mempunyai pengaruh di kawasan Asia Timur. Jepang
menjadi perpanjangan tangan AS untuk menyebarkan pengaruh dan nilai – nilai
demokrasi, liberalisme, kemerdekaan dan sebagainya serta menunjukkan power
untuk membendung paham komunis Korea Utara dan Tiongkok agar tidak
menyebar di kawasan Asia Timur (Dupuy 2012). Tetap menjadi kekuatan
hegemoni di Asia Pasifik menjadi prioritas utama pendekatan Kebijakan Luar
Negeri AS di era Presiden Obama. Untuk itu memperkuat aliansi militer bersama
Jepang secara konsisten merupakan langkah penting bagi Amerika Serikat.
40
BAB III PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN
KEAMANAN JEPANG 2006 -2012
Pada Bab II telah dijelaskan sejarah dan bentuk kerjasama keamanan dan
pertahanan aliansi Amerika Serikat dan Jepang, bermula dari masa setelah Perang
Dunia II, Perang Dingin, pasca Perang Dingin, sampai di masa Jepang melakukan
modernisasi militer hingga revisi terakhir aliansi keamanan AS-Jepang tahun
2006 - 2012. Dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa hubungan aliansi AS-Jepang
mengalami pasang surut, tetapi pada akhirnya kesepakatan SCC 2012 menandai
hubungan AS-Jepang semakin erat.
Akan dijelaskan pada bab ini perubahan kebijakan pertahanan dan
keamanan Jepang. Bab ini berisi bentuk perubahan kebijakan pertahanan dan
keamanan Jepang; jumlah kekuatan, teknologi kekuatan, dan penggunaan
kekuatan militer.
3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang
2006 – 2012
Menurut Stephen Biddle dalam bukunya Military Power: Explaining
Victory and Defeat In Modern Battle (2004), untuk mengukur kapabilitas militer
suatu negara dapat dilihat dari tiga cara. Pertama, dengan melihat jumlah
kekuatan militer, suatu negara tentu dengan mudah diidentifikasi kapabilitas
militernya dengan melihat secara langsung jumlah kekuatan militernya. Kedua,
41
indikator teknologi militer. Negara dengan kapabilitas militer yang besar adalah
dengan teknologi militer yang tinggi dan canggih, bukan sekedar jumlah tetapi
juga kualitas teknologi militernya. Ketiga, doktrin tujuan dari penggunaan
kekuatan militer. Kapabilitas militer suatu negara dapat diukur dengan doktrin
tujuan dari penggunaan kekuatan militer tersebut (Biddle 2004). Kemudian
indikator – indikator ini akan dibahas secara detail dalam beberapa sub-bab
berikut ini.
3.1.1 Kekuatan Militer Jepang
Jepang mengalami peningkatan jumlah pasukan militer semenjak kekuatan
pertahanannya dibangun kembali pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II.
Sedikit berbeda dengan pasukan militer di negara lain, dibentuknya pasukan
bernama Japan Self Defense Force atau JSDF pada tahun 1954 sebatas hanya
pasukan bela diri bukan sepenuhnya militer. Pasukan bela diri ini terdiri dari
165.000 pasukan. Pada doktrin National Defense Program Guidelines (NDPG)
1976, ditambah pasukan bela diri baru jsekitar 25.000 pasukan sehingga totalnya
menjadi sekitar 190.000 pasukan.
Akan tetapi pasca Perang Dingin hingga sekarang, jumlah pasukan bela
diri Jepang menurun. Pada tahun 2012 Jepang hanya mempunyai pasukan darat
yang terdiri dari personel aktif yang berjumlah sekitar 150.000 pasukan, dan
pasukan cadangan yang berjumlah sekitar 8.500 pasukan (Japan Ministry of
Defense 2012). Menurut analisa dalam skripsi ini, peningkatan jumlah terjadi pada
masa Perang Dingin, dan mulai mengalami penurunan, setelah berakhirnya
42
Perang Dingin, dikarenakan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan
Jepang lebih diarahkan untuk menciptakan pasukan yang lebih efektif dan efisien,
Jepang melakukan peningkatan kualitas terhadap kekuatan Japan Self
Defense Force atau JSDF pada masa pasca Perang Dingin, yaitu melalui
kebijakan Japan Defense Build Up Program pada NDPG 1995 . Jepang lebih
mefokuskan pada peningkatan kualitas pertahanannya, khususnya pada kekuatan
maritim dan udaranya. Kemudian melakukan efisiensi terhadap kekuatan daratnya
dengan melakukan pengurangan persenjataannya, khususnya Tank Penyerang
Utama atau Main Battle Tank dan artileri yang dimilikinya. Pengurangan jumlah
alutsista dari tahun 1976 hingga masa pasca Perang Dingin, sampai masa awal
pembentukan Kementerian Pertahanan serta pada akhirnya pada tahun 2012
merupakan bentuk program baru Jepang untuk lebih meningkatkan kualitas
militernya (Karismaya 2013).
Berikut ini grafik yang menjelaskan jumlah pasukan bersenjata dan senjata
militer yang dimiliki Jepang dari masa 1976 sampai tahun 2012.
43
Grafik 1: Jumlah Pasukan Angkatan Darat Jepang dari beberapa periode
Sumber: Website Kementerian Pertahanan Jepang, www.mod.jp.go diakses pada 10 Oktober 2014 Pada grafik di atas menjelaskan jumlah pasukan militer Jepang dari awal doktrin
militer pada NDPG pertama di tahun 1976 sampai NDPG terbaru di tahun 2012. Pada
NDPG 1976, jumlah pasukan militer (pasukan bela diri pada saat itu) Jepang yang
terbanyak, dengan jumlah hampir 180.000 pasukan utama dan tidak ada pasukan
cadangan karena pada saat itu belum ada pembagian pasukan utama dan cadangan.
NDPG merupakan doktrin militer awal Jepang pasca kekalahan Perang Dunia II, dimana
doktrin ini menakankan pada jumlah pasukan dan persenjataan, tidak heran jumlah
pasukan militer Jepang hampir 180.000 pasukan (Japan Ministry of Defense 2012).
Kemudian pada NDPG selanjutnya Jepang mengurangi jumlah pasukan militer
dikarenakan mulai berdatangannya pasukan aliansi militer dari AS. Sampai pada
NDPG 2012, pasukan utama militer Jepang berjumlah 155.000 pasukan dan
pasukan cadangan berjumlah 15.000 pasukan.
0 50000 100000 150000 200000
NDPG 1976
NPDG 1995
NDPG 2004
NDPG 2010
NDPG 2012
Pasukan Utama
Pasukan Cadangan
/ pasukan
44
Kemudian di bawah ini grafik yang menggambarkan kekuatan
persenjataan militer Jepang berdasarkan jumlah pada Angaktan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara.
Grafik 2: Jumlah Kekuatan Persenjatan Militer Jepang
Sumber: Diolah dari Website Kementerian Pertahanan Jepang, www.mod.jp.go dan Military Balance 2012 diakses pada 8 Oktober 2014 Seperti yang dapat dilihat dalam grafik di atas, alutsista yang dimiliki oleh
Jepang dalam beberapa periode mengalami penurunan jumlah pada persenjataan
yang dimiliki oleh Angkatan Darat. Pada NDPG 1976, Jepang terkesan hanya
memikirkan kuantitas persenjataan daripada kualitasnya, sekitar 13.000 senjata
pada Angkatan Darat. Akan tetapi jika melihat pada Angkatan Laut dan Angkatan
Udara militer Jepang berjumlah sangat sedikit, hanya sekitar 200 senjata dan tidak
mengalami kenaikan besar seiring berubahnya doktrin pada NDPG baru.
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
Angkatan Darat Angkatan Laut Angkatan Udara
1976
1996-1999 (PascaPerang Dingin)
2001
2005
2007
2012
45
Peningkatan kualitas dan mengurangi kuantitas unit militer yang kurang
efektif menjadi doktrin baru dalam militer Jepang. Persenjataan yang efektif dan
efisien merupakan tujuan dari Jepang melakukan pengurangan terhadap armada
militernya. Contoh Jepang mengurangi Tank Tipe-74 secara bertahap yang
rencananya akan digantikan oleh Tank terbaru Tipe-10, dan meningkatkan jumlah
Tank Tipe-90 yang dinilai canggih dan efisien. Pada Angkatan Udara dan
Angkatan Laut Jepang terjadi peningkatan, karena pada white paper sebelum
2012 Jepang tidak terlalu fokus pada pengembangan armada udara dan maritim
(Military Ballance 2012).
Kemudian Jepang melakukan transformasi pada segi alat pengintaian dan
radar dan armada udara. Tercatat saat ini Jepang mempunyai empat unit satelit
pengintai, empat unit pesawat pengisi bahan bakar tipe KC-767, lima unit
helikopter anti kapal selam tipe SH-60J dan satu unit helikopter penumpang atau
aircraft carrier helicopter pada tahun NDPG 2010. NDPG 2010 menambah
armada laut Jepang dengan menambah ssistem pertahanan rudal balistik yang
dipasang pada kapal tempur. Kemudian menambah enam buah kapal tempur kelas
Kongo dan penambahan dua unit kapal tempur kelas Atago (Japan Ministry of
Defense 2012).
Ketika AS mendorong Jepang untuk meningkatkan status Badan
Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan dari 2006 – 2007, merupakan suatu
momentum penting bagi Jepang dalam sejarah transformasi militernya.
Kementerian Pertahanan kini dapat secara langsung mengajukan rancangan
undang-undang dalam pertemuan kabinet dan memberikan permohonan anggaran
46
pertahanan ke Kementerian Keuangan tanpa harus melalui kementerian lainnya
(di mana sebelumnya, posisi dan status Badan Pertahanan yang berada di bawah
kementerian lainnya membuatnya tidak mempunyai wewenang penuh atas bidang
pertahanan). Tanggung jawab utama pertahanan nasional akan berpindah dari
Perdana Menteri kepada Menteri Pertahanan, akan tetapi untuk kepentingan
kontrol sipil terhadap Self Defense Force (SDF), Perdana Menteri akan tetap
menjadi Panglima Tertinggi dengan kuasa untuk memerintahkan mobilisasi untuk
keperluan pertahanan dan untuk menegakkan hukum dan ketertiban (Irsan 2007).
Dengan berdirinya Kementerian Pertahanan Jepang secara mandiri dan
tidak lagi di bawah kementerian lain berdampak pada kapabilitas militer Jepang
yang mengalami perkembangan pesat. Menurut Ashley J.T. dan Janice Bially
(2000) dalam buku Measuring National Power in the Postindustrial Age,
kapabilitas militer suatau negara dapat dilihat dari kekuatan militernya dalam
menghadapi ancaman dari luar demi menjaga keamanan nasional. Kapabilitas
militer juga dilihat bagaimana negara dapat memanfaatkan semua armada
militernya dalam menghadapi ancaman negara dan demi kepentingan nasional
(Ashley & Bially 2000).
Kapabilitas militer Jepang dalam doktrin NDPG 2010 lebih memfokuskan
pada peningkatan kualitas armada tempur dan mengurangi kuantitas armada
tempur yang dianggap tidak sesuai dengan ancaman pada zaman sekarang.
Peningkatan kualitas militer ini terlihat dari pengurangan jumlah Tank Kelas
Utama tipe lama digantikan dengan tipe baru, meningkatkan senjata artileri
dengan rudal kendali yang dapat mencapai target di udara (surface to air), serta
47
dalam segi komando dengan jaringan yang efisien yaitu membangun unit siaga.
Atas dorongan AS, Pencipataan kekuatan militer Jepang yang lebih efisien,
mobilitas dan fleksibilitas tinggi untuk menghadapi ancaman militer Korea Utara
dan Tiongkok. AS akan terus memberikan Jepang pembelajaran militer demi
menciptakan sistem pertahanan yang kuat (NDPG Document 2010). Jepang juga
melakukan peningkatan pada kekuatan armada maritimnya untuk mengantispasi
kemungkinan adanya ancaman pada kepulauan teritori Jepang yang di sekitar
empat pulau utama (Park 2010). Berikut ini adalah tabel mengenai peningkatan
kekuatan Jepang yang dilihat melalui kepemilikan alutsista.
Tabel 3: Kekuatan Militer Jepang Tahun 2012
Nama Unit Militer Jumlah (buah) Satelit pengintai 4
Pesawat pengintai maritim
95
Pesawat peringatan Dini 17 MBT (Main Battle Tank) 850 Helikopter Serang 185 Artilery 1880 Kapal Selam 40 Kapal Tempur Permukaan Utama 49 Aircraft Carrier Helicopter 40 Armor Cruiser 2 Destroyer 30 Frigates 16 Coastal and patrol combatants 6 Pesawat dengan kemampuan tempur 469 Fighter Ground Attack & Fighter 361 Sumber: Japan Ministry of Defense 2012 diakses dari http://www.mod.go.jp pada 13 Agustus 2014 Tabel di atas menggambarkan kekuatan militer Jepang pada tahun 2012,
dimana jumlah armored cruiser sangat sedikit yaitu hanya dua buah. Armored
Cruiser merupakan kapal perang pada medan perang lautan lepas dan samudera,
48
Jepang banyak kehilangan kapal perangnya pada Perang Dunia II, sekitar puluhan
Cruiser Jepang tennggelam oleh sekutu AS (Bishop 1998). Pada masa sekarang
AS lebih berperan dalam menyiapkan cruiser untuk kekuatan aliansi militer kedua
negara.
Pada tabel di atas juga terlihat Jepang memiliki banyak artileri atau senjata
meriam, terdiri dari Rocket Launcher atau penembak roket: 120 mm Six-Rocket
Launcher, 200 mm Rocket Launcher Model 1 200 mm, Rocket Launcher Model
2200 mm, Rocket Launcher Model 3, 450 mm Heavy Rocket Launcher, dan tipe
lainnya. Selain Rocket Launcer, artilery militer Jepang juga terdiri dari heavy
anti-aircraft gun anti tank guns type 3 12 cm aa gun, model 96 25 mm at/aa
guntype 1 37 mm, anti-tank gun, light anti-aircraft gun type 93 13.2 mm aa
machinegun, medium anti-aircraft gun model 96 25 mm, dual purpose anti-
tank/anti-aircraft gun, vickers type 40 mm at/aa gun, dan lainnya dengan total
artilery atau senjata meriam sebesar 1880 senjata dengan beberapa bentuk dan
model yang telah dijelaskan di atas (Japan Ministry of Defense 2012).
Selain dengan melihat gambaran persenjataan militer secara langsung, kita
dapat melihat peningkatan jumlah kekuatan persenjataan dengan melihat anggaran
belanja militer yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Jepang. Pada masa
kepemimpinan Perdana Menteri Takeo Miki pada tanun 1976, Jepang
memberlakukan pembatasan terhadap anggaran pertahanannya dalam batasan 1%
dari APBN. Sampai saat ini Jepang memberlakukan pembatasan tersebut kecuali
di tahun 1987 pada masa pemerintahan Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone,
yang melebihi sedikit di atas 1% APBN. Akan tetapi pasca Kementerian
49
Pertahanan berdiri, anggaran belanja militer Jepang konsisten naik walaupun porsi
di APBN masih 1% dikarenakan APBN Jepang yang juga naik (Irsan 2007).
Berikut grafik anggaran belanja militer Jepang pada satu dekade (2002-2012).
Grafik 3: Anggaran Pertahanan Jepang 2004-2014
Sumber: Diolah dari Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang www.mod.go.jp/e/d_budget/ dan Bank Dunia www.worldbank.org di akses pada 25 September 2014 Dari data yang didapat dari World Bank, dalam kurun waktu 10 tahun
belakangan (1992-2012), grafik anggaran pertahanan Jepang menunjukkan
konsisten meningkat setelah tahun 2007. Setelah sempat mengalami penurunan
pada tahun sebelum 2007, anggaran pertahanan Jepang mulai mengalami
peningkatan kembali dari tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada tahun 2007
anggaran belanja militer Jepang sebesar 43 miliar Dollar AS, meningkat di tahun
2008 sebesar 45 miliar Dollar AS, meningkat lagi pada tahun 2009 sebesar 50
miliar Dollar AS, berturut dari tahun 2010-2012 meningkat sebesar 55-65 miliar
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
2006-2012
2013-2014
/ Miliar Dollar
50
Dollar AS (Japan Ministry of Defense 2012). Pada tahun berikutnya yaitu 2013
anggaran belanja Jepang hanya meningkat sedikit, yaitu menjadi 66 miliar Dollar
AS, serta pada 2014 menjadi 68 miliar Dollar AS (World Bank 2014).
Awal kenaikan pada tahun 2007 dikarenakan pengaruh peningkatan status
Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan yang secara resmi dapat
mengajukan langsung anggaran pertahanannya (Wang 2008). Yang kemudian
menjadi perhatian adalah bahwa angka 1% dari APBN tidak memberikan
gambaran bahwa Jepang memiliki anggaran pertahanan yang lebih rendah
dibandingkan negara lain yang memiliki jumlah persen anggaran pertahanan yang
lebih besar dari APBN. Negara dengan kemampuan ekonomi yang besar seperti
Jepang, walaupun hanya mengalokasikan bagian kecil dari APBN untuk
pertahanan dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan
kekuatan militer yang terlihat dari grafik yang konsisten naik (Deming 2004).
Kekuatan militer adalah salah satu indikator untuk melihat kapabiltas
militer suatu negara, dalam isu ini Jepang terlihat mengalami penurunan kuantitas
alutsista Angkatan Darat dari tahun 1976 hingga 2012. Dapat dilihat juga
peningkatan kuantitas dari pengadaan persenjataan atau sistem pertahanan baru
yang belum pernah dimiliki oleh Jepang sebelumnya. Dilihat dari grafik anggaran
pertahanan dari 2002-2012, Jepang konsisten dalam peningkatan jumlah
walaupun tidak signifikan kenaikannya, dikarenakan pengaruh peningkatan status
Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan yang secara resmi dapat
mengajukan langsung anggaran pertahanannya. Kesimpulannya, Jepang lebih
memfokuskan pada peningkatan kualitas pertahanannya bukan kuantitasnya,
51
khususnya pada kekuatan maritim dan udaranya. Selain itu juga melakukan
efisiensi terhadap kekuatan daratnya dengan melakukan pengurangan
persenjataannya (Military Balance 2012). Artinya dana pertahanan yang terus
naik digunakan Jepang dalam pengadaan senjata baru yang lebih modern dan
mengurangi kuantitas senjata lama yang dianggap tidak mampu bersaing di zaman
ini.
3.1.2 Teknologi Militer Jepang
Teknologi Militer merupakan salah satu indikator yang sering dilihat untuk
melihat kapabilitas militer suatu negara. Teknologi militer Jepang mulai
berkembang pasca dikeluarkannya NDPG 1976. Dalam white paper tersebut
mengarahkan Jepang untuk melakukan transformasi pada alutsista misalnya
dengan pengadaan peralatan militer dan pengembangan dengan meningkatkan
(upgrade) senjata militer tersebut (Halloran 1995).
Dalam bidang teknologi, Jepang termasuk negara dengan teknologi yang
maju, sehingga sangat rasional jika teknologi menjadi salah atau andalan yang
dimiliki Jepang dalam kebijakan pertahanan dan keamanannya. Ditunjang dengan
APBN yang besar. Kementerian Pertahanan Jepang mengajukan anggaran hingga
43 miliar Dollar AS pada tahun 2007. Khusus pembelian misil penangkal,
diajukan dana 220 juta Dollar AS atau naik 56,5 persen dibanding anggaran tahun
sebelumnya yang telah berjalan. Dengan kemampuan demikian, sangat terbuka
bagi Jepang untuk meningkatkan kapabilitas atau kemampuan tempurnya (Toki
2013). Dibawah ini tabel yang menjelaskan teknologi baru pertahanan Jepang
yang telah dikembangkan.
52
Tabel 4: Teknologi Baru Militer Jepang
Nama Teknologi Jenis Tahun
Control Missile Type-99 Air-to-air
Misil Pengendali 2006
Missile Type-03 Chu-SAM Pertahanan Misil 2006 Radar FBX-T Radar Pertahanan 2007 SH-60J Helicopter Helikopter Anti Kapal
Selam 2007
SM-3 Missile Penangkal Misil Balistik 2007 AH-64 D Longbow Apache Helikopter tempur 2007 MBT-X Type 10 Tank tempur 2008 16DDH/Hyuga Kapal induk pengangkut
(Aircraft Carrier) 2009
P-3C Orion Pesawat Pengintai 2010 Submarine ASW Hunter Killer Kapal Selam 2010 F-35 Lightning II Jet tempur 2011 C4ISR Sistem Teknologi Satelit 2012 ATD-X Shinshin Jet tempur 2012
Sumber: Diolah dari website resmi Kementerian Pertahanan Jepang www.mod.go.jp dan www.globalsecurity.org/military/world/japan diakses pada 5 November 2014
Dari tabel di atas terlihat banyak teknologi militer baru yang
dikembangkan Jepang pasca berdirinya Kementerian Pertahanan. Walaupun ada
beberapa teknologi yang dikembangkan pada tahun 2006, ketika Jepang telah
lebih memikirkan ulang dalam masalah pertahanannya. Seperti yang telah
dijelaskan pada pembahasan sebelumnya tentang kapabilitas militer Jepang,
Jepang lebih memilih meningkatkan kualitas teknologi senjata militernya daripada
meningkatkan kuantitas senjata militernya, dengan mengurangi kuantitas senjata
yang dianggap tidak layak bersaing di era modern dan memperbanyak temuan
teknologi militer yang canggih merupakan upaya dalam perubahan kebijakan dan
pertahanan bagi Jepang (Toki 2013).
53
3.1.3 Doktrin Penggunaan Kekuatan Militer
Doktrin penggunaan kekuatan militer adalah tujuan dari suatu negara
menggunakan kekuatan militernya dan bagaimana cara suatu negara dalam
memakai kekuatan militernya. Penggunaan kekuatan, salah satunya dapat dilihat
melalui doktrin pertahanan suatu negara, karena dalam doktrin tersebut akan dapat
terlihat bagaimana negara menggunakan kekuatan militer yang ada untuk
kepentingan negara tersebut. Jepang telah beberapa kali mengganti white paper
pertahananya, dimulai pada tahun 1976 yaitu National Defense Program
Guidelines-nya (NDGP) yang pertama, yang diikuti dengan NDPG berikutnya,
tahun 1995, 2004 dan yang terakhir tahun 2010. NDPG adalah doktrin militer
tertinggi dari kebijakan pertahanan Jepang untuk menetapkan dasar, nilai – nilai
serta prinsip pertahanan dan keamanan dari Japan Self Defense Force (SDF)
(Shoji 2011).
Pada tahun 1976, Jepang mengeluarkan white paper mengenai kebijakan
pertahanan dan keamanan yaitu National Defense Program Guidelines (NDPG).
Pada kebijakan ini, doktrin “Basic Defense Force Concept” pertama kali
diperkenalkan pada militer Jepang. Tujuan dalam doktrin ini adalah untuk
menciptakan pertahanan untuk menangkal segala bentuk invasi ke Jepang.
Penerapannya terlihat pada peran Japan Self Defense Force (JSDF) yang
bertransformasi dari yang awal sebatas pasukan bela diri menjadi pasukan militer.
Doktrin 1976 juga menjelaskan jika Jepang mulai dapat terlibat dalam segala
bentuk Peace Keeping Operation (PKO) yang dipimpin militer AS. Ini
54
membuktikan Jepang mulai meninggalkan Pasal 9 Konstitusi 1947 (Deming
2004).
Kemudian Badan Pertahanan Jepang membuat dokumen tambahan pada
NDPG 1976. Jepang mengeluarkan dokumen New Defense Build Up Plan yang
masih tercantum pada NDPG 1976. Dokumen ini terdiri dari empat tahap
penerapan yaitu sebagai berikut: Pertama, peningkatan kemampuan pertahanan
Jepang agar siap dalam menghadapi serangan langsung, melalui pemeliharaan dan
pengawasan atas laut dan udara Jepang. Kedua dengan mencegah ancaman negara
yang berusaha untuk menduduki wilayah Jepang. Ketiga yaitu pencegahan atas
serangan dari luar di bawah perjanjian keamanan dengan AS atau usaha-usaha
melalui perdamaian PBB. Keempat, ketergantungan Jepang akan payung nuklir
AS, dalam rangka mencegah ancaman penggunaan senjata nuklir. Hal ini
dilakukan karena Jepang menganut tiga prinsip non nuklir pada tahun 1971, yaitu
tidak memiliki, tidak membuat serta tidak mengijinkan masuknya senjata nuklir
ke wilayah Jepang. Jepang ikut menandatangani Nuclear Non Poliferation Treaty
tahun 1976, yang menyatakan bahwa Jepang adalah negara yang tidak memiliki
senjata nuklir (Nakanishi 2003).
Pada tahun 1995, Jepang kembali mengeluarkan National Defense
Program Guidelines (NDPG). Pada NDPG kali ini banyak revisi dalam rangka
merespon keadaan Hubungan Internasional yang baru tercipta yaitu pasca
runtuhnya Uni Soviet. Keadaan kawasan yang belum stabil pasca Uni Soviet
runtuh membuat Jepang perlu mengubah doktrin militernya. Perubahan doktrin
militer pada tahun ini terlihat pada peran angkatan militer Jepang atau JSDF
55
diperkuat dalam rangka merespon ancaman dari kemungkinan invasi ke Jepang
dalam sekala besar. Kemudian JSDF ditingkatkan perannya selain ikut sebagai
operasi penjaga perdamaian bersama AS, JSDF juga bertanggung jawab pada
semua kejadian bencana alam dikarenakan pada masa ini Jepang sering tertimpa
bancana gempa bumi dan Tsunami. JSDF bukan sekedar tentara bela diri Jepang
lagi, melainkan telah menjadi angkatan bersenjata yang sama dengan tentara pada
negara – negara di dunia secara umumnya (Shoji 2011).
National Defense Program Guidelines 2004 dikeluarkan ketika Jepang
mulai terancam oleh berbagai ancaman baru, seperti meningkatnya jumlah
proliferasi senjata pemusnah masal dan misil balistik Korea Utara, perkembangan
militer Tiongkok serta munculnya organisasi teroris. NDPG 2004 berisi prinsip
dasar kebijakan pertahanan yaitu sebagai berukut: pertama, mencegah ancaman
langsung mencapai Jepang, dan jika itu terjadi mengusir dan meminimalisir
kerusakan yang disebabkannya; dan kedua, meningkatkan keamanan lingkungan
internasional untuk mengurangi potensi ancaman mencapai Jepang. Dua tujuan
tersebut diikuti dengan tiga pendekatan yaitu melalui usaha Jepang sendiri, kerja
sama dengan mitra aliansi AS, dan kerja sama dengan komunitas internasional
(PBB) (Japan Ministry of Defense 2004).
Yang terakhir adalah NDPG paling baru yang dikeluarkan pada tahun
2010 atas dorongan dari Amerika Serikat dalam rangka merespon pengembangan
kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara (Park 2010). Doktrin “Basic Defense
Force Concept” yang dibuat pada tahun 1976 berubah menjadi “Dynamic Defense
Force” pada NDPG terbaru ini. NDPG tersebut membangun kekuatan militer
56
Jepang yang dapat secara efektif merespon berbagai ancaman keamanan yang ada
saat ini termasuk ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara. Membangun
kekuatan militer yang besar sangat diutamakan dikarenakan untuk
mengoptimalkan waktu secara efisien daripada mengandalkan peringatan yang
ada dalam menangkal ancaman (Japan Ministry of Defense 2010).
Di dalam NDPG 2010 dijelaskan bahwa prinsip-prinsip dasar keamanan
yang akan diterapkan adalah: 1) mencegah ancaman potensial dan meminimalisir
kerusakan yang mungkin terjadi ; 2) berusaha membuat keadaan keamanan
kawasan Asia Timur yang stabil, dan mencegah ancaman kawasan dengan
meningkatkan keamanan kawasan; dan 3) pada level internasional bersuaha
menjadi pasukan kedamaian dengan bergabung dengan AS pada Peace Keeping
Operation (PKO) di PBB (NDPG Document 2010).
Jadi dapat disimpulkan doktrin militer Jepang berubah dari “Basic
Defense Force Concept” menjadi “Dynamic Defense Force”, yang berarti Jepang
harus lebih aktif dalam kegiatan intelijen, pengawasan dan pengintaian. Militer
Jepang dituntut lebih aktif dengan menjalankan serangkaian operasi militer agar
lebih siap dalam menghadapi ancaaman baik ancaman tradisional maun non-
tradisional. Perubahan doktrin ini momentum awalnya saat Kementerian
pertahanan berdiri.
Dapat disimpulkan pergeseran ancaman juga ikut memperluas peran
JSDF, di mana ancaman tidak lagi dilihat hanya berupa ancaman keamanan
tradisional, akan tetapi juga telah memasukkan ancaman non-tradisional ke
dalamnya, seperti bencana alam, teroris, kemanusiaan, dan lainnya. Dengan peran
57
JSDF diperluas otomatis kapabiltas militer Jepang meningkat, sehingga Jepang
semakin siap dalam menghadapi ancaman di kawasan Asia Timur.
Dari ketiga indikator yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa Jepang mengalami peningkatan kapabilitas militernya, tidak
dalam jumlah kuantitatifnya, akan tetapi lebih mengarah pada modernisasi
alutsista melalui peningkatan dan penggunaan teknologi. Peningkatan pertahanan
Jepang mengarah kepada kekuatan yang berorientasi kepada teknologi ketimbang
kepada kuantitas. Selain itu, dalam aliansi dengan AS, Jepang diminta lebih
mementingkan masalah pertahanan dan keamanan dalam respon ancaman di
kawasan Asia Timur.
Perkembangan penting lainnya yang dapat dilihat dalam NDPG adalah
perluasan tanggung jawab pertahanan yang semakin diungkapkan secara eksplisit
oleh Pemerintah Jepang. Jika dalam NDPG pertama Jepang hanya menitik
beratkan pada pertahanan dalam negerinya untuk menciptakan efek tangkal
terhadap invasi dalam skala kecil, dalam NDPG selanjutnya Jepang sudah mulai
memasukkan wilayah “surrounding region” walaupun tidak didefinisikan secara
jelas, dan pada NDPG 2004, Jepang memasukkan “international security
environment”, hingga NDPG terbaru yang secara eksplisit mengungkapkan “Asia-
Pasific region” dan “global security environment”. Hal tersebut dapat dilihat
sebagai sebuah bentuk kepercayaan diri Jepang yang semakin meningkat seiring
berkembangnya peran dan tanggung jawabnya dalam dunia internasional.
Salah satu hal yang tidak mengalami perubahan melihat NDPG adalah
Jepang masih menganggap penting perjanjian keamanan Jepang-AS sebagai salah
58
satu dasar dalam pertahanan keamanannya, walaupun pada dua NDPG terakhir
Jepang juga menyebutkan pendekatan melalui penggunaan kekuatan sendiri dan
dengan kerja sama dunia internasional. Di sisi lain, Jepang telah mengalami
perkembangan yang cukup signifikan dalam penggunaan kekuatan militernya.
59
BAB IV KEPENTINGAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG
PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan perubahan kebijakan pertahanan dan
keamanan Jepang, khususnya mengenai bentuk perubahan kebijakan pertahanan
dan keamanan Jepang yaitu: jumlah kekuatan, teknologi kekuatan, dan doktrin
penggunaan kekuatan militer. Pada bab ini akan berfokus pada faktor – faktor
yang mempengaruhi AS mendorong perubahantio kebijakan pertahanan dan
keamanan Jepang dan jawaban dari pertanyaan penelitian skripsi yaitu
kepentingan Amerika Serikat dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan
dan keamanan Jepang 2006-2012.
Bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian pertama
menjelaskan peran partai politik dominan di AS dalam mempengaruhi perumusan
Kebijakan Luar Negeri AS yang mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan
keamanan Jepang; kedua, berfokus pada faktor – faktor yang mempengaruhi AS
dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang; ketiga
yaitu kepentingan AS untuk menjaga Jepang yang masih merupakan bagian
wilayah Asia Timur dari ancaman kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara,
menjelaskan extended deterrence AS terhadap kekuatan militer Tiongkok dan
Korea Utara serta pengamanan jalur perdagangan AS di kawasan Asia Timur.
4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat
Menurut John F Bibby (2005) dalam tulisannya yang berjudul “Political
Parties in The United States”, setiap pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS
60
sangat dipengaruhi dari ideologi partai Presiden yang sedang memimpin.
Kebijakan Luar Negeri AS yang dominan menentukan adalah dari pihak
pemerintah yaitu Presiden dan Kementerian Luar Negeri AS (U.S Department of
State) daripada suara Kongres AS. Suatu isu internasional yang dibicarakan oleh
pihak Pemerintah dan Parlemen jika berbeda pendapat, maka pada akhirnya
Kebijakan Luar Negeri yang diambil adalah keinginan pemerintah itu sendiri. Ini
terlihat pada Kebijakan Invasi AS ke Irak di tahun 2003 yang diambil oleh
Presiden Bush walaupun suara Kongres AS dominan tidak menginginkan
kebijakan tersebut (Bibby 2005).
Paul Allen Beck dan Frank J.Sorauf (1992) dalam buku “Party Politics in
America”, mengidentifikasi perbedaan ciri khas foreign policy yang diambil
antara Partai Republik dan Partai Demokrat jika sedang berkuasa di pemerintahan
AS. Ideologi Partai Republik sangat konservatif yaitu tidak menekankan pada
perubahan dan cenderung status quo dengan pemerintahan yang telah berjalan.
Bagi Partai Republik, negara dapat menggunakan kekuatan militer demi
mencapai kepentingan nasionalnya. Partai Republik dipengaruhi paham Realisme
sehingga sering menggunakan pendekatan pada hard power dalam Kebijakan
Luar Negeri yang diambil. Sedangkan Partai Demokrat lebih berorientasi pada
pendekatan yang lebih soft power, dan paham Liberalisme dianut oleh partai ini.
Sesuai dengan ciri khas paham Liberalisme, Partai Demokrat tidak dengan mudah
menggunakan kekuatan militer dalam proses tawar menawar dengan negara lain.
Partai Demokrat lebih memikirkan cost-benefit dalam setiap kebijakan luar negeri
yang akan diambil AS (Beck & Sorauf 1992).
61
Skripsi ini menganalisa di masa Presiden Bush yaitu awal Jepang
mengubah kebijakan pertahanannya atau ketika Partai Republik berkuasa di
pemerintahan. Ciri khas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat yang berasal dari
Partai Republik yaitu penggunaan force atau kekuatan militer, yang dapat
digunakan untuk memaksa negara lain dalam proses tawar menawar. Jika Partai
Republik sedang berkuasa di pemerintahan AS, maka anggaran belanja negara
akan banyak dikeluarkan pada bidang pertahanan dan keamanan (Beck & Sorauf
1992). Kebijakan invasi Afghanistan di tahun 2001, Irak di tahun 2003, dan
peningkatan jumlah pasukan dan armada militer aliansi bersama Jepang (SCC
2005) merupakan Kebijakan Luar Negeri dengan pendekatan force pada masa
Presiden Bush.
Partai Republik pada masa kepemimpinan Presiden Bush sangat besar
memberikan pengaruh pada pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS. Selain fokus
kepada negara - negara kawasan Timur Tengah, isu peluncuran senjata nuklir oleh
Korea Utara di kawasan Asia Timur pada 9 Oktober 2006 juga menjadi fokus
utama Kebijakan Luar Negeri yang diambil oleh Presiden Bush. Presiden Bush
memasukkan Korea Utara sebagai salah satu daftar hitam negara yang dapat
mengancam dunia internasional karena memiliki senjata nuklir (BBC News
2006). Kemudian Presiden Bush meminta kepada mitra aliansinya di Asia Pasifik
yaitu Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Filipina untuk segera mengadakan
pembicaraan bilateral perihal masalah ini (Shambaugh & Yahuda 2008).
Permasalahan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara juga dibahas pada
level domestik AS, Kongres AS mengadakan rapat paripurna membahas perlu
62
tidaknya kenaikan anggaran pertahanan AS yang akan dialokasikan kepada mitra
aliansi di Asia Pasifik dalam rangka merespon peluncuran senjata nuklir Korea
Utara. Hasil pengambilan voting kongres AS tersebut yaitu 70% setuju jika
anggaran belanja pertahanan aliansi meningkat menjadi 10% - 15% (ABC News
2006). Anggota parlemen AS pada rapat paripurna tersebut didominasi dari Partai
Republik yang pendekatannya pada penggunaan militer, tidak heran jika hasil
voting mendukung kebijakan AS menggunakan kekuatan militer.
Selain itu, Kongres yang didominasi Partai Republik tersebut juga
meminta pada pemerintah AS agar pada setiap hubungan aliansi AS perlu
memikirkan kembali Joint Statement yang telah dibuat demi kepentingan nasional
pada kawasan Asia Pasifik (Xu 2014). Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan
mitra aliansi agar mewaspadai kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara yang
terus berkembang (Avery & Reinhart 2013). Kemudian hasil dari permintaan
Partai Republik tersebut terlihat pada aliansi AS-Jepang, dimana Security
Consultative Committee Joint Statement U.S – Japan 2007 disepakati sesuai
usulan Partai Republik.
Skripsi ini juga menganalisa Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat pada
masa Kepresidenan Barrack Obama yang berasal dari Partai Demokrat. AS pada
masa Partai Demokrat berkuasa di eksekutif, tidak sering menggunakan kekuatan
militer, sangat berbeda pada masa Presiden Bush yang sering melakukan invasi ke
kawasan timur tengah. Penggunaan force hanya sebatas pada misi Pasukan
Perdamaian Dunia PBB dan NATO. Misalnya pada krisis di Libya, AS bergabung
63
dengan pasukan aliansi NATO mengintervensi Libya atas dasar Humanitarian
Intervention pada tahun 2011 (BBC News 2011).
Pada masa kepresidenan Obama, paham liberalisme yang dianut Partai
Demokrat mempengaruhi ciri khas foreign policy AS, yaitu lebih mementingkan
kepentingan ekonomi. Kepentingan AS pada kawasan Asia Timur selain pada
bidang politik dan militer, tetapi juga pada bidang ekonomi (Sutter 2005). Hal ini
ditandai dengan jumlah kegiatan ekspor-impor yang meningkat di kawasan ini
ketika masa Presiden Obama, kemudian akan dijelaskan secara rincih pada sub-
bab selanjutnya. Selain itu, “the Pivot to Asia” merupakan Kebijakan Luar Negeri
Presiden Obama yang memprioritaskan pada kawasan Asia Timur, termasuk juga
prioritas kepentingan ekonomi (The Foreign Policy Initiative 2012). Walaupun
mengutamakan kepentingan ekonomi, AS juga tidak mengurangi kegiatan aliansi
militernya bersama Jepang, karena membuat stabil kawasan Asia Timur
merupakan langkah utama AS dalam menjaga kepentingan ekonominya pada
kawasan ini (Cossa 2000).
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kepentingan nasional sebagai konsep
kunci dalam Kebijakan Luar Negeri. Artinya, bahwa keputusan dan tindakan
politik luar negeri dapat didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis
atau atas pertimbangan kepentingan nasional (Burchil 1996, h.106). Pada skripsi
ini Kebijakan Luar Negeri AS pada masa Presidan Bush banyak dipengaruhi oleh
ideologi dan nilai yang dianut Partai Republik. Pada masa Presiden Obama paham
Liberalisme Partai Demokrat yang banyak memberikan pengaruh pada Kebijakan
Luar Negeri yang diambil. Menurut analisa pada penelitan skripsi ini, faktor peran
64
Partai Republik pada masa Presiden Bush dan peran Partai Demokrat pada masa
Presiden Obama menentukan apa yang menjadi Kepentingan Nasional AS pada
kawasan Asia Timur.
Jadi dapat disimpulkan ketika awal momentum Jepang mengubah
kebijakan pertahanan dan keamanannya, pada saat itu pengaruh Kebijakan Luar
Negeri AS masih didominasi oleh Partai Republik. Mendorong Jepang untuk
melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan serta peningkatan
anggaran aliansi militer AS, merupakan ciri dari Kebijakan Luar Negeri yang
berdasarkan penggunaan militer. AS mulai lebih menaruh perhatian Kebijakan
Luar Negeri mereka pada kawasan Asia Timur. Hal ini ditandai dengan beberapa
agenda rapat kongres AS mengenai masalah peluncuran senjata nuklir Korea
Utara.
AS kemudian sedikit mengubah prioritas, ketika Obama menjadi Presiden
pada tahun 2008. Kepentingan ekonomi menjadi prioritas utama AS pada
kawasan Asia Timur selain kepentingan di bidang keamanan dan politik. Dalam
mengamankan kepentingan ekonomi, AS masih memperkuat kekuatan aliansi
militer bersama Jepang, karena masih adanya ancaman kekuatan militer Tiongkok
dan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Kekuatan militer Tiongkok dan
kepemilikan senjata nuklir Korea Utara dapat mengancam kepentingan ekonomi
AS pada kawasan ini. Jadi AS pada masa Obama masih memiliki kepentingan
dalam aliansi bersama Jepang, AS tidak bisa begitu saja untuk meninggalkan atau
meminimalkan hubungan aliansinya, walaupun Partai Demokrat yang tidak
menganut paham penggunaan force sedang berkuasa di pemerintah.
65
4.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi AS Mendorong Perubahan dan
Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang
Seperti telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, Jepang melakukan
perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan bermula pada NDPG 2004,
orientasi kebijakan pertahanan mengarah untuk sebisa mungkin mempertahankan
Jepang dari ancaman yang mulai terlihat saat itu yaitu nuklir Korea Utara dan
kemajuan militer Tiongkok. Tahun 2007 menjadi awal momentum Jepang dalam
transformasi militer di mana Kementerian Pertahanan Jepang dibentuk atas
dorongan dari Amerika Serikat, menandakan Jepang mengubah orientasi
kebijakan pertahanannya untuk lebih serius. AS meminta perubahan doktrin
militer Jepang sehingga dikeluarkannya NDPG 2010, berisi bahwa orientasi
“Basic Defense Force Concept” berubah menjadi “Dynamic Defense Force”, a
rtinya Jepang harus lebih aktif dalam masalah pertahanan terkait persepsi
ancaman bertambah, tidak hanya ancaman tradisional tapi juga ancaman non-
tradisional. Jepang melakukan transformasi kebijakan pertahanan dan keamanan
tentu memiliki faktor penyebabnya, baik itu faktor internal maupun eksternalnya.
Pada sub bab ini dibagi menjadi dua bagian, pertama faktor internal yang
mempengaruhi perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, yaitu
keinginan Jepang untuk melakukan amandemen pasal 9 Konstitusi Jepang 1947.
Selanjutnya yang kedua, faktor eksternal yaitu masalah kepemilikan senjata nuklir
Korea Utara yang menjadi ancaman kawasan, serta peningkatan militer Tiongkok
yang menimbulkan efek Security Dilemma bagi Jepang.
66
4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947
AS meminta Jepang untuk ikut berpartisipasi dalam pasukan militer
multinasional yang dipimpin oleh AS, misalnya keterlibatan dalam perang di
Afghanistan. Militer Jepang juga bergabung dalam Operasi Penjaga Perdamaian
PBB. Di Afghanistan kapal-kapal laut Jepang beroperasi di Samudera Hindia
untuk memberi bahan bakar dan bantuan logistik lainnya bagi pesawat-pesawat
AS. Di bawah PM Junichiro Koizumi, pasukan Jepang juga bergabung dalam misi
penjaga perdamaian di Irak. Penempatan pasukan di Irak merupakan keikutsertaan
pertama ke dalam zona perang sejak PD II. Misi-misi semacam itu selalu memicu
perdebatan publik mengenai apakah tindakan semacam itu bertentangan atau tidak
dengan Konstitusi Jepang. Karena itu pula Shinzo Abe menginginkan Pasal 9
diamandemen untuk perluasan wewenang bagi militer Jepang yang sesuai dengan
konstitusi (The Diplomat 2012).
Amandemen tersebut, apabila berhasil dilakukan akan mengubah
arsitektur politik luar negeri Jepang dari yang selama ini pasif, menjadi lebih
agresif. Perubahan ini sangat baik bagi keamanan nasional Jepang, namun di sisi
lain telah menimbulkan berbagai kecurigaan dari negara-negara tetangganya,
khususnya di Asia Timur (Prajuli 2008). Sikap ekspansionisme militer Jepang
pada masa Perang Dunia dan memburuknya kondisi keamanan di kawasan
menjadi faktor utama kecurigaan negara-negara tetangga Jepang dalam
menanggapi amandemen konstitusi Jepang ini (Wang 2008).
Amandemen Pasal 9 merupakan bagian dari upaya merevisi kebijakan
keamanan untuk keluar dari kebijakan pasifisme yang selama ini dianut oleh
67
Jepang. Pasal 9 itu sendiri berbunyi (Japan Ministry of Defense 2012,
http://www.mod.go.jp/e/dpolicy diakses pada 12 September 2014)
“1) Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of setting international disputes; 2) In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized” Yang diterjemahkan sebagai berikut: “1)Dalam keinginan yang sesungguh-sungguhnya akan mencapai perdamaian berdasarkan keadilan dan ketertiban, bangsa Jepang untuk selama-lamanya menolak perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan ancaman atau penggunaan kekuatan sebagai wahana untuk menyelesaikan perselisihan internasional. 2)Demi mencapai tujuan tersebut, tidak akan dibina angkatan darat, laut, dan udara maupun potensi perang lainnya. Hak perang negara tidak akan diakui”
Berdasarkan Pasal 9 Konstitusi 1947 tersebut, secara tegas dinyatakan
bahwa Jepang tidak akan membangun kekuatan militer. Namun, para penguasa
Jepang tidak pernah menginterpretasikan larangan itu secara ketat, sehingga
kemudian Jepang dimungkinkan untuk memiliki kekuatan militer terbatas untuk
memenuhi kebutuhan pertahanan yang mereka sebut Self-Defense Force/SDF
(pasukan bela diri) (Prajuli 2008).
Untuk melancarkan keinginan mengamandemen Pasal 9, Jepang harus
mengubah Pasal 96 dahulu yang mengatur proses perubahan konstitusi. Berikut isi
dari Pasal 96 Konstitusi Jepang 1947 (Konstitusi Jepang 1946 diakses dari
Kantei.go.jp 2015):
“1) Amendments to this Constitution shall be initiated by the Diet, through a concurring vote of two-thirds or more of all the members of each House and shall thereupon be submitted to the
68
people for ratification, which shall require the affirmative vote of a majority of all votes cast thereon, at a special referendum or at such election as the Diet shall specify. 2) Amendments when so ratified shall immediately be promulgated by the Emperor in the name of the people, as an integral part of this Constitution” Yang diterjemahkan sebagai berikut:
“1) Amandemen Konstitusi ini harus dimulai oleh Dewan Parlemen, melalui pemungutan suara dari dua pertiga atau lebih dari semua anggota masing-masing faksi dan kemudian akan diserahkan kepada rakyat untuk ratifikasi, yang akan memerlukan suara mayoritas setuju dari semua faksi, pada referendum khusus atau seperti di pemilu Dewan Parlemen harus menetapkan. (2) Amandemen setelah diratifikasi harus segera diumumkan oleh Kaisar atas nama rakyat, sebagai bagian dari Konstitusi ini” Dengan mengubah Pasal 96, Jepang dengan mudah memproses perubahan
konstitusional lainnya, termasuk mengamandemen Pasal 9. Sekalipun partai Abe,
Partai Demokrat Liberal Jepang (LDP) mendominasi di majelis rendah dan
majelis tinggi, langkah Pemerintahan Abe tidak akan berjalan mudah karena
masyarakat Jepang belum semua menginginkan perubahan pasal 9 tersebut (New
York Times 2012).
Pergeseran pendapat publik Jepang terjadi pada tahun 2012 di mana
berdasarkan survei Nikkei Asian Reviews (2012), 56% responden percaya bahwa
konstitusi harus direvisi. Menurut survei dari Nikkei Asian Reviews itu, 28%
responden warga Jepang tidak menginginkan perubahan konstitusi. Persentase ini
terendah dalam delapan tahun terakhir setelah sebelumnya selalu berada di atas
30%. Angka ini dinilai banyak pengamat dikarenakan pengaruh militer AS di
Okinawa berdampak pada opini publik Jepang untuk meningkatkan kekuatan
militer mereka (Nikkei Asian Reviews 2012).
69
Grafik 4: Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi
Sumber: Nikkei Asian Reviews 2012
Dari survei di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang mulai
menginginkan perubahan dalam konstitusi, khususnya dalam bidang pertahanan
dan keamanannya. Hal ini menjadi faktor internal pendorong bagi Jepang untuk
terus mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan. Walaupun hingga sekarang
pasal 9 belum juga diamandemen, tetapi dalam implementsinya Jepang tidak lagi
berlandaskan pada pasal tersebut, hanya menunggu waktu saja agar pasal 9
Konstitusi 1947 diamanden (Prajuli 2008).
4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok
Faktor yang mempengaruhi AS dalam mendorong perubahan kebijakan
pertahanan dan keamanan Jepang adalah peningkatan militer Tiongkok yang
dalam beberapa tahun terakhir terus meningkatkan kekuatan militernya. Amerika
Serikat yang mempunyai kepentingan untuk terus menjadi hegemon di kawasan
Asia Timur melihat kebangkitan militer Tiongkok sebagai ancaman serius di
kawasan ini. Dengan kemitraan yang dibangun bersama Jepang dan Korea
Selatan, AS mengharapkan kawasan Asia Timur bebas dari pengaruh Tiongkok
56% 28%
16%
Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi
Setuju Amandemen Pasal 9(56%)
Tidak Setuju (28%)
Tidak Mengerti (16%)
70
dan Korea Utara. Jepang juga melihat kekuatan militer Tiongkok yang terus
berkembang menimbulkan Security Dilemma, di mana Jepang harus
meningkatkan kekuatan militernya untuk setidaknya dapat mempertahankan
wilayahnya dari ancaman Tiongkok. Perubahan kekuatan militer dibutuhkan
Jepang untuk memberi rasa aman ketika bersengketa dengan Tiongkok yang
memiliki kekuatan militer yang kuat, misalnya pada sengketa wilayah Kepulauan
Senkaku (Sukma 2009).
Akan tetapi jika melihat kebelakang, militer bukan awal fokus dari
Tiongkok dalam pembangunan negara. Sejak tahun 1980 Tiongkok memulai
sebuah program untuk menghilangkan hambatan-hambatan antara sipil dan
militer. Program ini menunjukkan kesuksesan untuk beberapa tahun, tetapi
dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pusat membuat pemerintah
mengalihkan perhatian ke perekonomian dibandingkan modernisasi kekuatan
militer (Lilley 1996). Tiongkok memang menginginkan untuk membangun negara
dengan tingkat ekonomi kelas dunia. Namun ternyata mereka juga berkomitmen
untuk membangun kekuatan militer yang modern. Maka dari itu para pemimpin
sipil dan militer di Tiongkok mendukung tujuan nasional untuk menciptakan
status Tiongkok sebagai kekuatan dunia. Mereka menganggap bahwa kunci untuk
menjadi negara yang kuat harus memiliki kekuatan baik itu dalam bidang
ekonomi maupun militer (Sukma 2009).
Tiongkok dipersepsikan oleh banyak negara akan menjadi superpower
baru di masa depan, tidak hanya karena ekonominya yang mengalami
pertumbuhan sangat kuat hingga mencapai rata-rata 9-10% per tahun (terutama
71
pada dekade 1990-an) tetapi juga karena kekuatan militernya (Moore 2008).
Perkembangan Ekonomi Tiongkok yang pesat berdampak besar pada
meningkatnya anggaran militer Tiongkok yang berbanding lurus dengan
peningkatan kemampuan militernya. Pengembangan kekuatan militer Tiongkok
inilah yang menjadi isu hangat internasional, khususnya di kawasan Asia Timur
(Kharismaya 2013).
Tiongkok telah berhasil sebagai kekuatan potensial yang mampu
mengimbangi AS sebagai pemain utama di kawasan Asia Timur. Fenomena
kebangkitan Tiongkok ini merupakan hasil langsung dari proses modernisasi yang
dijalankan oleh pemerintah Tiongkok pasca Mao Zedong sejak tahun 1979 (Tjeng
1983). Secara ekonomi, Tiongkok telah menjadi raksasa yang impresif. Dalam hal
purchasing power parity, ekonomi Tiongkok diperkirakan akan menyamai
ekonomi AS pada tahun 2020 atau 2030. Pada tahun 2050, Tiongkok diperkirakan
akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, melampaui AS, Jepang dan
Eropa (Sukma 2009). Kemajuan ekonomi memungkinan Tiongkok untuk
mengalokasikan sebagian dari kekayaannya itu untuk memodernisasi dan
membangun kekuatan militer.
Dalam U.S Annual Report to Congress on The Military Power of The PRC
2003, Tiongkok melakukan transformasi militer tidak hanya pada persenjataan
mereka, tetapi juga pada anggaran dan doktrin militer. Peningkatan kekuatan
militer Tiongkok dapat dilihat juga dari doktrin militer mereka yang berubah, dari
“predominately annihililation” menjadi menggunakan “coercive war fighting”.
Doktrin “coercive war fighting” memiliki dua strategi dalam operasional pasukan
72
militer Tiongkok, yaitu pertama, “actively taking initiative” atau penyerangan
dengan memanfaatkan waktu dengan optimal; kedua ”catching enemy
unprapared” tipuan pada persembunyian pasukan agar musuh mengira mereka
menang jumlah pasukan dan selanjutnya melakukan serangan kejutan dengan
pasukan yang bersembunyi (U.S Annual Report to Congress on The Military
Power of The PRC 2003).
Tiongkok juga melakukan peningkatan pada kekuatan persenjataan pada
semua angkatan bersenjatanya. Beberapa peningkatan kekuatan militer Tiongkok
pada Angkatan Darat, Laut dan Udara: pertama, kekuatan darat Tiongkok dengan
meningkatkan kekuatan lebih dari 1000 tank dengan senjata tipe 59, memproduksi
tank tipe 96 di tahun 2005, dan Angkatan Darat Tiongkok lebih efektif lagi dalam
menerapkan Command, Control, Communications, Computers and Intelligence
(C41); kedua, dari kekuatan laut, Tiongkok memproduksi sendiri kapal selam
dengan tenaga dissel-listrik (SONG YJ-82) yang mempunyai misil dalam laut dan
memproduksi kapal selam penyerang tipe 93 dengan torpedo dan misil
penghancur; ketiga, Angkatan Udara Tiongkok meningkatkan jangkauan udara
dengan radar AA-12/ADDER dan menambah jumlah unit pesawat tempur Su-
30MKK Fighter dari Rusia (Sutter 2005).
Terdapat perubahan dalam prioritas strategi militer Tiongkok dengan
meningkatkan sistem pertahanan udara, laut berikut persenjataannya. Maka dari
itu sampai saat ini prioritas kapabilitas militer Tiongkok tidak hanya pada
kekuatan darat, tetapi juga udara dan laut. Untuk menjaga keamanannya,
Tiongkok mendeklarasikan untuk mempertahankan kedaulatan nasional, integritas
73
wilayah dan hak dan kepentingan di wilayah laut dan untuk mengembangkan
masyarakat dan perekonomiannya serta untuk terus memperkuat kekuatan
nasional yang komprehensif, Tiongkok sampai saat ini tetap menjaga
keseimbangan antara konstruksi ekonomi dan pertahanan (Kharismaya 2013).
Tiongkok secara agresif mempromosikan Revolution in Military Affairs with
Chinese Characteristics berdasarkan strategi militer untuk memenangkan
Informationalized War, termasuk pada Perang Teluk, Konflik Kosovo, dan Perang
Irak (Shambaugh & Yahuda 2009).
Untuk mencapai tujuannya tersebut maka Tiongkok memodernisasi
militernya. Secara spesifik, Tiongkok mengurangi personil militer dan
memodernisasi kekuatan bersenjatanya terutama kekuatan udara dan laut serta
kapabilitas misil dan nuklir. Selain itu Tiongkok juga memfokuskan pada energi
dan pelatihan personil berbakat serta perbaikan kapabilitas operasional. Dengan
adanya modernisasi militer Tiongkok yang pesat, Tiongkok memfokuskan hal
tersebut sebagai implementasi dari isu Taiwan. Namun dalam memodernisasi
kapabilitas militernya, Tiongkok memberikan transparansi terbatas mengenai hal
tersebut (Kharismaya 2013)
Secara historis, Tiongkok tidak menutupi segala informasi mengenai
kepemilikan perlengkapan, pelatihan dan operasi militer yang dilakukan dan
dimilikinya. Namun setelah Tiongkok menjadi negara yang memiliki kekuatan
ekonomi dan politik di kawasan, kecenderungan peningkatan kapabilitas militer
diberikan perhatian khusus oleh sejumlah negara di kawasan. Di bawah kondisi
74
yang seperti ini menuntut Tiongkok untuk meningkatkan transparansi mengenai
kebijakan pertahanan nasional dan kapabilitas militernya (Tjeng 1983).
Pada Desember 2006, Tiongkok mengeluarkan China’s National Defense
in 2006. Dokumen ini sangat penting untuk dikeluarkan untuk mengetahui
transparansi kapabilitas militer yang dimilikinya. Namun ternyata kelima buku
putih tersebut tidak secara substansif memberikan transparansi mengenai
kapabilitas militernya. Sebagai contoh mengenai anggaran pertahanan nasional,
buku putih tersebut hanya menerangkan mengenai jumlah total dan tujuan umum
yang terdiri dari tiga kategori yaitu jumlah personil, peningkatan biaya operasi,
dan biaya untuk perlengkapan (Japan Defense White Paper 2006).
Selain itu pada Januari 2007, ketika Tiongkok melakukan uji senjata anti
satelit, kemudian Jepang meminta Tiongkok untuk memberikan penjelasan
mengenai hal tersebut. Namun ternyata Tiongkok tidak bisa menjelaskan secara
substantif mengenai uji senjata anti satelit kepada Jepang. Sedangkan mengenai
biaya pertahanan nasional, salah satu elemen untuk menghitung kekuatan militer
sebuah negara, Tiongkok mengumumkan anggaran pertahanan nasionalnya untuk
tahun 2007 sekitar 347,2 juta yuan, meningkat sebanyak 17,8 % dibandingkan
tahun 2006. Anggaran militer Tiongkok mengalami pertumbuhan sekitar 10 %
untuk jangka waktu selama 19 tahun. Fase peningkatan ini meningkat sebanyak
16 kali dalam waktu 19 tahun terakhir. Adanya keterhubungan antara pertahanan
dan ekonomi nasional tercermin dalam China’s National Defense pada tahun 2006
menyatakan prinsipnya dalam pembangunan pertahanan dan ekonomi nasional.
75
Sehingga dapat dikatakan bahwa Tiongkok menempatkan peningkatan kapabilitas
militer dan ekonomi sama pentingnya (BBC News 2006)
Anggaran belanja militer Tiongkok juga menunjukkan perubahan yang
konsisten, dengan menambah anggaran belanja militernya setiap tahun. Pada
tahun 2000, Tiongkok mengeluarkan dana 15 miliar dollar AS untuk belanja
militernya atau 1,9% dari seluruh total APBN. Kemudian konsisten meningkat
dari tahun 2001 menjadi 17 miliar (1,9 % APBN) , tahun 2002 menjadi 20 miliar,
hingga kemudian 2005 menjadi 30 miliar dollar AS (2,1 % APBN) (World Bank
2014). Di bawah ini grafik yang menunjukkan anggaran belanja militer Tiongkok
pada periode 2006 – 2012.
Grafik 5: Anggaran Militer Tiongkok 2000-2012
Sumber: BBC News Diakses dari http://news.bbcimg.co.uk/media/images/7338100 pada 5 Oktober 2014
76
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa anggaran militer Tiongkok
dari tahun 2006 hingga 2012 dalam kurun waktu 6 tahun telah meningkat lebih
kurang 300%. Pada tahun 2006 sebesar 32 miliar Dollar AS meningkat menjadi
106 miliar Dollar AS pada tahun 2012. Angka 300% dalam kurun waktu 6 tahun
menandakan Tiongkok sangat serius membenahi kebijakan pertahanannya, dan
berdampak pada kekhawatiran AS dan Jepang.
Pada tahun 2010, Tiongkok merupakan negara kedua yang menghabiskan
dana paling besar untuk belanja militer. Dalam rentang waktu sepuluh tahun
(2001-2010) Tiongkok mengalami peningkatan belanja militernya sebanyak
189%. Belanja militer Tiongkok pada tahun 2010 diperkirakan mencapai angka
US$ 78,6 miliar. Tahun 2012 anggaran pertahanan Tiongkok menjadi US$ 106
miliar, mengalami kenaikan sebanyak 11.2 % dari tahun 2011 sebesar US$ 91,5
miliar (US Annual Report, 2009-2012).
Peningkatan kekuatan militer Tiongkok menjadi pertimbangan AS
mendorong Jepang untuk ikut juga dalam meningkatkan kekuatan militernya.
Amerika Serikat kemudian meminta aliansi AS-Jepang melakukan sejumlah
peningkatan Joint Statement, menjadikan Tiongkok sebagai objek ancaman utama
di kawasan (Sutter 2005). Menurut AS, Jepang akan semakin terancam jika masih
menjalankan kebijakan militer yang pasif sesuai Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947
dan hanya bersandar pada kekuatan AS saja. Maka penting bagi AS agar Jepang
meningkatkan kekuatan militernya demi memperkuat kekuatan aliansi di kawasan
Asia Timur (Sukma 2009).
77
4.2.3 Ancaman Senjata Nuklit Korea Utara
Salah satu faktor eksternal yang menjadi pertimbangan AS mendorong
Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan adalah kepemilikan senjata
nuklir oleh Korea Utara. Akan dijelaskan pada bagian ini bahwa ancaman senjata
nuklir Korea Utara menjadi salah faktor pendorong AS untuk meminta Jepang
mengubah kebijakan pertahanan dan keamanannya.
Bermula pada tahun 1994 pada krisis nuklir Korea Utara, ketika
International Atomic Energy Agency (IAEA) dilarang pemerintah Korea Utara
untuk menyelidiki reaktor nuklir di Yongbyeon. Kemudian Korea Utara menutup
reaktor nuklirnya di Yongbyeon dengan imbalan bantuan pasokan minyak solar
dari AS. Pada tahun 1998, Korea Utara membuat kecurigaan dunia internasional
ketika rudal berjangkauan 1.700-2.200 km diluncurkan. Akhirnya pada tahun
2001, setelah melakukan penyelidikan dan uji reaktor nuklir selama tiga tahun,
IAEA menuduh Korea Utara memiliki setidaknya dua senjata rudal nuklir.
Setahun kemudian AS menghentikan bantuan pasokan solarnya atas embargo
kepemilikan senjata nuklir Korea Utara (KBS News 2014).
Pemerintahan Bush menyikapi masalah ini dengan reaksi keras. Pada
tahun 2002 Korea Utara dianggap AS sebagai bagian “axis of evil” selain
terorisme. Kemudian AS meminta kepada semua negara di dunia untuk
mengecam tindakan Korea Utara dan menghentikan semua bentuk bantuan pada
Korea Utara (Kim 2011). Dampak lainnya adalah pada pertemuan aliansi AS-
Jepang pada tahun 2004, Bush meminta masalah nuklir Korea Utara dijadikan
sebagai agenda utama keamanan kawasan selain perkembangan militer Tiongkok.
78
Setelah efek Security Dilemma yang disebabkan Korea Utara, AS dan Jepang
berkomitmen untuk terus memperkuat aliansi militer dalam rangka menjaga
kestabilan kawasan (Hughes 2009).
Pada 4-5 Juli 2006, Korea Utara melakukan uji coba peluncuran rudal
Taepodong-2. Uji coba yang dilakukan Korea Utara tersebut mendapat reaksi
keras dari banyak negara, Amerika Serikat dan Australia mengecam uji coba rudal
itu. Bahkan Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan darurat untuk
menyikapi aksi Korea Utara itu. PBB akhirnya mengeluarkan Resolusi DK PBB
untuk melarang peluncuran rudal yang dilakukan Korea Utara. (Kompas, 14 Juli
2006). Kemudian pada 9 Oktober 2006, Korea Utara melakukan uji coba rudal
nuklir, kali ini dengan bahan nuklir plutonium khusus, bukan seperti pada masa
sebelumnya hanya dengan uranium yang diperkaya dengan sedikit kandungan
nuklir (BBC News 2006).
Dunia internasional melalui International Atomic Energy Agency (IAEA)
dan Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapon (NPT) terus meminta
Korea Utara menghentikan ujicoba nuklirnya karena dapat mengancam keamanan
internasional (UNODA 2014). IAEA meminta Korea Utara yang statusnya bukan
sebagai negara anggota NPT untuk secara transparan memberitakan data dari
kegiatan perkembangan nuklir. Korea Utara menolak dengan alasan tidak ada
kewajiban membuat laporan kepada IAEA dan NPT karena Korea Utara telah
lama keluar dari keanggotaan NPT (April 2003 Korea Utara keluar dari
keanggotan NPT). Korea Utara mengatakan jika pengembangan nuklir yang
dilakukannya hanya sebatas pengembangan tenaga nuklir untuk konsumsi sama
79
halnya dengan produksi listrik bukan untuk membuat senjata pemusnah massal
yang selama ini dituduh AS dan IAEA (China Daily 2003).
Korea Utara memiliki alasan sendiri untuk terus mengembangkan
nuklirnya dan tidak mendengarkan permintaan dunia internasional. Alasan yang
pertama Korea Utara ingin melindungi diri dari ancaman Korea Selatan, karena
pasca Perang Korea 1953 belum ada perjanjian damai antara keduanya tetapi
hanya sekedar gencatan senjata; kedua karena faktor ekonomi, Korea Utara
menggunakan peluncuran senjata nuklir sebagai alat memeras negara – negara di
sekitarnya, seperti Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok. Korea Utara akan
menghentikan peluncuran dan pengembangan senjata nuklir dengan imbalan
bantuan dana dari negara yang diperas; ketiga, kepemilikan senjata nuklir adalah
alat Korea Utara untuk pencitraan di kawasan Asia Timur. Korea Utara ingin
mengangkat citranya di kawasan dengan kepemilikan senjata nuklir (Moore
2008).
Bagi Jepang, kepemilikan nukir Korea Utara sangat mengancam
keamanan nasional mereka dan menimbulkan Security Dilemma. Menurut laporan
IAEA dan UNODA, Korea Utara memiliki beberapa jenis senjata nuklir yang
jangkauannya dapat menjangkau setengah dari wilayah Asia. Rudal nuklir dengan
nama Taepodong II merupakan jenis rudal nuklir yang jangkauan 3500-6000 km.
Rudal nuklir Korea utara dengan nama Intercontinental Ballistic Missile Defense
(ICBM) dengan jangkauan 9000-10000 km, merupakan rudal yang jangkauan
paling luas di dunia (UNODA 2014). Di bawah ini tabel rudal nuklir yang dimiliki
Korea Utara beserta jangkauan, jumlah dan jumlah peluncuran.
80
Tabel 5: Kepemilikan Misil Korea Utara
Sumber: Global Security diakses melalui http://www.globalsecurity.org/wmd/world/dprk/nuke.htm pada 23 November 2014
Amerika Serikat kemudian meminta Jepang untuk mewaspadai kegiatan
uji coba nuklir Korea Utara, dan mengusulkan Jepang untuk meningkatkan
serangan penangkal mereka. Jepang kemudian mempertimbangkan usulan untuk
serangan penangkal ke basis-basis peluru kendali Korea Utara sebagai hak
konstitusional Jepang dalam mempertahankan diri (Gray 1995). Meski konstitusi
Jepang melarang penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa
internasional dan melarang Jepang memiliki angkatan bersenjata untuk perang,
namun AS meyakinkan Jepang jika peraturan itu memperbolehkan negara
memiliki angkatan bersenjata untuk membela diri (Avery & Reinhart 2013).
Uji coba yang dilakukan Korea Utara pada tahun 2006 inilah yang memicu
ketegangan keamanan di kawasan Asia Timur. Tidak lama kemudian, atas
dorongan dari Presiden Bush, Perdana Menteri Shinzo Abe menyerukan
memperkuat badan pertahanan untuk memperkuat respon dalam mengatasi
ketegangan dengan Korea Utara (Moore 2008).
81
Pada April 2009, Korea Utara kembali meluncurkan rudal nuklirnya.
Peluncuran ini dengan rudal Scoud B dengan jangkauan 3000 km (BBC News
2009). Dalam merespon hal ini, AS meminta pertemuan Anggota Security
Consultative Comitee (SCC) AS-Jepang pada 28 Mei 2010 perihal membahas
ancaman senjata nuklir Korea Utara (Shoji 2011). Di bawah ini jangkauan misil
nuklir Korea Utara yang menjadi ancaman kawasan.
Gambar 3: Jangkauan Misil Korea Utara
Sumber: www.globalsecurity.org diakses pada 20 September 2014
Dari gambar diatas sangat jelas bahwa ancaman yang dimiliki Korea Utara
memiliki efek Security Dilemma bagi kawasan khususnya bagi Jepang dan Korea
Selatan karena jarak teritori Jepang sangat dekat dengan Korea Utara. Faktor
ancaman dari eksternal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Amerika
Serikat mendorong Jepang untuk terus meningkatkan kekuatan militer dengan
82
semakin menjalin hubungan militer dengan Amerika Serikat. AS terus meminta
Jepang terus waspada dan meningkatkan kekuatan militer mereka demi
menangkal ancaman militer Korea Utara.Dengan perubahan NPDG 2010
dikatakan bahwa Jepang harus ikut lebih bertanggung jawab atas keamanan
kawasan Asia Timur, maka penting bagi Jepang melakukan transformasi
militernya.
4.3 Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang
4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur
Amerika Serikat memiliki kepentingan dari perubahan kebijakan
pertahanan dan keamanan Jepang. Kepentingan tersebut terkait dengan keinginan
AS menjaga kawasan Asia Timur dari kekuatan militer Korea Utara dan
Tiongkok. Security Dilemma yang disebabkan Tiongkok dan Korea Utara
mengancam kepentingan AS pada kawasan ini. Beberapa kepentingan AS dalam
keterlibatan di Asia Timur antara lain, berusaha mencegah negara – negara yang
berada pada kawasan ini menjadi hegemon; kepentingan jalur akses transit AS
pada negara mitra di kawasan ini; kepentingan menjaga jalur perdagangan demi
investasi masa depan; dan yang terakhir yaitu hubungan aliansi dengan mitra AS
di kawasan semakin kuat untuk membendung kekuatan militer Korea Utara dan
Tiongkok (Dosch 2004).
Tiongkok dan Korea Utara adalah ancaman paling besar di kawasan Asia
Timur. Disisi lain dibandingkan dengan sekutu AS lainnya, Jepang keamanan dan
pertahanannya masih dinilai memerlukan perubahan untuk menghadapi kekuatan
83
Tiongkok dan Korea Utara. Untuk itu AS terus fokus dalam membantu
modernisasi militer Jepang demi kepentingan menjaga kawasan dari kekuatan
militer Tiongkok dan Korea Utara (Dosch 2004).
Ada tiga kepentingan utama AS di kawasan Asia Timur dalam buku East
Asian Strategic Review (2000) yaitu pertama, untuk selalu mencegah kekuatan
tunggal yang ingin mendominasi kawasan. Negara-negara di kawasan Asia Pasifik
memiliki populasi yang besar, kekuatan militer yang signifikan dan memiliki
potensi ekonomi serta teknologi yang canggih. Sehingga besar kemungkinan ada
kekuatan-kekuatan baru di kawasan yang mengancam kekuatan besar AS. Kedua,
untuk menjaga stabilitas dan tatanan negara-negara di kawasan. Asia Timur
dianggap sangat rentan terhadap konflik antar negara dan konflik lainnya. Ketiga,
kepentingan ekonomi. Kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang penting
bagi kepentingan komersial AS. Kawasan ini menjanjikan jaminan wilayah bagi
investasi AS (East Asian Strategic Review 2000).
Kepentingan – kepentingan AS pada kawasan Asia Timur yang telah
dijelaskan di atas merupakan tujuan utama dalam kepentingan AS terhadap
perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.
Amerika Serikat memposisikan diri pada kawasan Asia Timur sebagai
penyeimbang dalam rangka membendung Security Dilemma yang diciptakan oleh
kekuatan militer Tiongkok dan menentang kepemilikan nuklir Korea Utara.
Kepentingan Amerika Serikat di Asia Timur ialah sikap yang konsisten mengenai
perdamaian dan keamanan agar stabilitas sistem internasional dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Perdamaian ini sukar didapatkan ketika kondisi keamanan
84
antar negara tidak bisa dikontrol oleh sistem dan peraturan yang mengikat (U.S
Department of Defense Office of Internasional Security Affairs 2005). Atas dasar
tersebut, Amerika Serikat membuat sebuah kebijakan di Asia Timur yang selaras
dengan kepentingan keamanan, ekonomi dan tantangan politik dalam dinamika
kawasan Asia Timur (Tjeng 1983).
Strategi militer AS di kawasan Asia Timur tergolong ke dalam ballance of
threat yang cenderung dilakukan oleh negara yang memiliki kekuatan besar untuk
mencegah munculnya negara yang berpotensi menjadi hegemoni dan mengganggu
kondisi ballance of power di suatu kawasan tertentu (Walt 1985). Kebijakan
militer AS dilakukan melalui pembentukan koalisi dengan negara-negara Asia
Timur yang memiliki persamaan pandangan mengenai Tiongkok dan Korea Utara
sebagai “potensi ancaman” terhadap ballance of power di kawasan kemudian
membuat negara-negara Asia Timur mendukung kehadiran AS di kawasan
(Prabhakar 2006).
Kehadiran militer AS diperlukan sebagai counterballance untuk
meningkatkan posisi bargaining mereka dalam upaya penyelesaian yang tengah
diupayakan. Pertimbangan negara-negara Asia Timur mengacu pada kekuatan
militer yang mereka miliki cenderung lebih lemah jika dibandingkan dengan
Tiongkok yang terus mengalami peningkatan dan modernisasi. Keberadaan AS
dengan kekuatan militernya dapat mengimbangi dan membendung perkembangan
pesat kekuatan militer Tiongkok di kawasan. Walaupun pada saat ini Tiongkok
dengan kekuatan besarnya yang terus mengalami peningkatan pesat tersebut
bukanlah sebuah ancaman, akan tetapi di masa depan, tanpa adanya kekuatan
85
penyeimbang (counterballancer), Tiongkok memiliki kemungkinan besar untuk
menjadi ancaman keamanan bagi negara sekitarnya (Prabhakar 2006).
Tiongkok dianggap AS sebagai kekuatan yang dapat mengancam kawasan
Asia Timur yang terlihat pada tahun 2003. Saat itu Tiongkok memperkuat armada
udaranya dengan teknologi SU-30 (naval strike version) yang mampu memyerang
dengan meluncurkan rudal anti ship cruise yang mempunyai daya hancur besar.
Tiongkok juga membeli empat buah Jet Tempur dari Rusia di tahun yang sama.
Hal ini menimbulkan Security Dilemma kawasan dan kekhawaitran bagi Amerika
Serikat yang ingin menjaga kawasan Asia timur dari kekuatan militer Tiongkok
(US Annual Report on The Military Power of The PRC, 2003).
Kemudian dalam merespon peningkatan kekuatan militer Tiongkok pada
November 2003, Pertemuan Jepang-AS diadakan di Tokyo yang dihadiri Menteri
Pertahanan, Shigeru Ishiba dan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Pada
pertemuan tersebut, keduanya mendiskusikan peningkatan militer Tiongkok.
Ishiba dan Rumsfeld setuju bahwa peningkatan militer Tiongkok adalah ancaman
kawasan Asia Timur. Kedua negara perlu meningkatkan kerjasama tidak hanya di
kawasan tetapi juga pada masalah keamanan global. Selalu mengawasi
peningkatan kekuatan militer yang dilakukan Tiongkok, AS meminta Jepang
untuk semakin memperkuat pertahanan dan keamanan negaranya (Morrison
2003).
Pada April 2007 di Washington, Presiden Amerika Serikat George W.
Bush dan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe sepakat akan meningkatkan
tekanan pada Korea Utara agar menghentikan program nuklirnya. Setelah
86
pertemuan di peristirahatan presiden di Camp David, Presiden Bush meminta
Jepang untuk ikut aktif dalam menekan Korea Utara dalam kepemilikan senjata
nuklirnya. Amerika Serikat berjanji akan terus mendukung kekuatan aliansi
militer AS-Jepang demi menjaga kestabilan kawasan Asia Timur (Deutche Welle
News 2007).
Menurut Christoper W. Hughes dalam bukunya “Japanese Military
Modernization In Search of a Normal Security Role” (2005), Amerika Serikat
meminta Jepang untuk terus memperbaiki keadaan militer dan tidak lagi
bergantung penuh pada payung militer AS. Amerika Serikat menjelaskan pada
Jepang bahwa ancaman–ancaman dari kekuatan militer Tiongkok dan Korea
Utara yang sangat mungkin terjadi (Hughes 2005).
NDPG atau National Defense Program Guidelines 2004 merupakan hasil
dari pengaruh AS yang meminta Jepang dalam tranformasi kekuatan militernya.
NDPG 2004 merupakan awal landasan dasar bagi Jepang dalam perubahan
kebijakan pertahanan dan keamanan terkait respon Jepang dalam persepsi
ancaman Korea Utara dan Tiongkok. Kemudian berlanjut pada NDPG 2010, di
mana merupakan dampak dari dilema keamanan yang dibuat Tiongkok dan Korea
Utara (Wang 2008).
Pada masa kepresidenan Obama di tahun 2009, AS mengeluarkan
Kebijakan Luar Negeri “The Pivot to Asia” yaitu mengubah fokus kepentingan
dari kawasan Timur Tengah ke kawasan Asia Pasifik. Hal ini memperkuat alasan
AS untuk terus terlibat pada kawasan Asia Timur (U.S Departmen of State 2009).
Dalam wawancara yang dilakukan The Foregin Policy Initiative dengan Assistant
87
Secretary of State for East Asian and Pacific Affairs Kurt Campbell pada
Desember 2012, Kurt Campbell mengatakan Kebijakan Luar Negeri “The Pivot to
Asia” yang diambil Presiden Obama dikarenakan pengaruh kondisi kawasan Asia
Pasifik yang beresiko dikuasi oleh kekuatan Korea Utara dan Tiongkok. Amerika
Serikat menurut Kurt Campbell harus memperkuat aliansi dengan mitra aliansinya
di Asia Pasifik yaitu Jepang, Korea Selatan, Australia dan Filipina. Kemudian AS
akan terus berusaha untuk mendekati Tiongkok dan Korea Utara dalam
memperbaiki hubungan demi kepentingan AS di kawasan Asia. Kurt Campbell
mengatakan jika AS memiliki hubungan baik kepada semua pihak maka
kepentingan AS di kawasan Asia dapat tercapai (The Foregin Policy Initiative
2012).
Amerika Serikat mempertegas kebijakan The Pivot to Asia yaitu dengan
meningkatkan kehadiran militer di kawasan Asia Timur meskipun anggaran
pertahanan berkurang akibat krisis ekonomi. “Setelah ekonomi membaik dan
anggaran pertahanan kembali naik, kami akan segera meningkatkan kehadiran
militer Amerika Serikat di Asia Pasifik untuk menyeimbangkan kembali
konstelasi kekuatan di kawasan," kata Wakil Menteri Pertahanan AS Ashton
Carter (Antara News 2012).
Lebih dari itu, Carter mengatakan bahwa AS bertanggung jawab untuk
menjaga perdamaian dari kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok di Asia
Timur. Kehadiran militer AS telah membuat negara-negara di kawasan Asia
Timur seperti Jepang dan Korea Selatan dapat berkonsentrasi membangun
ekonomi sehingga kesejahteraan negara-negara tersebut meningkat. "Kehadiran
88
kami di Jepang dan Korea Selatan untuk mencegah hadirnya kekuatan komunisme
pada masa lalu, telah membuat kedua negara ini aman dan demikian sejahtera"
kata Ashton Carter yang berbicara dalam forum Jakarta International Defence
Dialogue (Jakarta International Defence Dialogue 2014).
Jadi kepentingan Amerika Serikat terhadap perubahan kebijakan
pertahanan dan keamanan Jepang adalah untuk menjaga wilayah Asia Timur dari
kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok. Peningkatan kekuatan militer
Tiongkok yang menimbulkan Security Dilemma di kawasan Asia Timur, serta
kepemilikan senjata nuklir Korea Utara merupakan dua bentuk ancaman bagi AS
dalam keterlibatannya di Asia Timur. Maka menjalin hubungan militer dengan
Jepang merupakan jalan yang tepat bagi AS dalam usaha menjaga kestabilan
kawasan. Aliansi AS-Jepang adalah penggabungan kekuatan dalam mengimbangi
ancaman (ballance of threat) dari kekuatan militer Tiongkok dan senjata nuklir
Korea utara. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ke arah lebih baik
yang dilakukan Jepang merupakan suatu dorongan bagi AS demi mencapai
kepentingannya di kawasan Asia Timur.
4.3.2 Extended Deterrence AS terhadap Kekuatan Militer Tiongkok dan Korea Utara Salah satu kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan
pertahanan dan keamanan Jepang adalah terkait erat dengan hubungan aliansi
militernya bersama Jepang. Seperti yang telah dijelaskan pada kerangka
pemikiran, aliansi merupakan upaya negara bergabung dengan negara lain untuk
menangkal ancaman bersama. AS bersama-sama Jepang menggabungkan
kekuatan militer mereka untuk mengimbangi kekuatan militer Korea Utara dan
89
Tiongkok yang merupakan ancaman di kawasan ini. Upaya Ballance of Threat
dari aliansi AS-Jepang menjadikan sebuah strategi Extended Deterrence dalam
rangka merespon Security Dilemma kawasan yang diciptakan oleh Korea Utara
dan Tiongkok.
Menurut Koji Murata (1998) dalam tulisan “Japan Military Cooperation
and Alliances in the Asia-Pacific Region”, AS dan Jepang menjalin aliansi militer
bukan untuk menjadi ancaman bagi negara-negara di kawasan Asia Timur, akan
tetapi dengan mempertimbangkan kepentingan kawasan yang selalu dipromosikan
Amerika Serikat yaitu demi terciptanya perdamaian di kawasan Asia Timur.
Kepentingan AS menciptakan perubahan militer pada Jepang adalah untuk
meningkatkan kapabilitas pertahanan dalam rangka mempersiapkan diri
menghadapi ancaman dari nuklir Korea Utara dan militer Tiongkok (Murata
1998). Untuk itulah Amerika Serikat dalam setiap Joint Statement Security
Consultative Committee (SCC) aliansi militer AS-Jepang dari pasca Perang
Dingin sampai SCC 2012 selalu mendorong Jepang agar terus memodernisasi
militernya.
Menurut Michael Green (2008) dalam tulisannya “Japan in Asia” pada
buku “International Relations of Asia”, aliansi militer antara Amerika Serikat dan
Jepang merupakan suatu hubungan saling ketergantungan di mana kedua negara
saling memiliki kepentingan sendiri. Amerika Serikat memiliki kepentingan
dalam mencegah kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara dengan memperkuat
aliansi militer dengan Jepang. Cara memperkuat aliansi militer oleh AS adalah
dengan terus mendorong Jepang untuk bertransformasi dalam militernya.
90
Sedangkan bagi Jepang faktor keamanan nasional adalah prioritas utama dalam
menghadapi kekuatan Tiongkok dan Korea Utara. Dengan memanfaatkan
teknologi militer dari aliansi militer bersama AS, Jepang menyerap teknologi
demi menciptakan militer lebih kuat (Shambaugh & Yahuda 2008).
Jepang diarahkan untuk terus membangun militernya agar lebih kuat
dengan cara mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan. Dengan perubahan
kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang maka kerjasama aliansi militer AS-
Jepang akan semakin meningkat (Shambaugh & Yahuda 2008). Dalam bab
sebelumnya telah menjelaskan pasca Jepang memiliki Kementerian Pertahanan,
aliansi militer AS-Jepang mengalami penambahan jumlah kerjasama, Puncaknya
setelah kesepakatan bersama SCC 2012 di mana kerjasama militer aliansi AS-
Jepang meningkat pesat. Peningkatan kerasama militer AS-Jepang tidak terlepas
dari pendekatan Kebijakan Luar Negeri AS pada masa Presiden Obama di mana
wilayah Asia Pasifik lebih diprioritaskan.
Penegasan dan pernyataan resmi perubahan fokus kebijakan ke kawasan
Asia Pasifik secara umum dan khususnya Asia Timur baru dikeluarkan oleh
pemerintahan Obama pada akhir tahun 2011. Akan tetapi, sejak Obama menjabat
sebagai Presiden AS telah ada suatu upaya pendekatan dan penguatan hubungan
aliansi keamanan secara bilateral dengan negara-negara Asia Timur termasuk
Jepang.
Ditambah dengan komitmen kebijakan militer AS dalam dokumen resmi
Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense yang
dikeluarkan Kementerian Pertahanan pada Januari 2012. Korea Utara dan
91
Tiongkok menjadi pelaku utama ancaman kawasan Asia di dalam dokumen ini.
Dalam dokumen tersebut, AS akan berusaha mencegah setiap aktivitas Korea
Utara dan Tiongkok dalam pembetukan Anti Access/ Area Denial (A2/AD) yang
dapat membatasi akses di wilayah perairan internasional. Semua ini demi
kepentingan kelancaran akses AS untuk menjangkau seluruh wilayah Asia Pasifik
(Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense 2012).
Dalam dokumen Army Strategic Planning Guidance menyatakan strategi
Extended Deterrence akan menjadi strategi AS dalam menghadapi tantangan serta
potensi ancaman Tiongkok dan Korea Utara di abad ke-21. Extended deterrence
memerlukan pasukan militer yang berkualitas dengan adanya kapabilitas dan
kapasitas yang memadai, serta mampu menjalankan misi secara internasional
dengan tetap menjaga kepentingan nasional AS di Asia Timur. Dalam
implementasinya, kebijakan militer AS cenderung difokuskan ke sub-kawasan
Asia Timur, wilayah di mana Tiongkok dan Korea Utara menjadi ancaman
(Document of Army Strategic Planning Guidance 2012).
Dalam penerapan extended deterrence, Amerika Serikat mengajak Jepang
terus meningkatkan hubungan aliansi militer di mana AS telah menyiapkan
proyek aliansi militer jangka menengah 2020 dan proyek aliansi jangka panjang
2049. Dalam beberapa pertemuan SCC, AS telah menjelaskan pada Jepang proyek
jangka menengah 2020 dan belum menjelaskan proyek jangka panjang 2049. Isi
dari proyek jangka menengah 2020 adalah dengan mengoptimalkan pembangunan
7 fasilitas pangkalan militer aliansi AS-Jepang, yaitu Pangkalan Udara Yokota,
Pangkalan Udara Miwa, Pangkalan Udara Kadena, Stasiun Udara Futenma,
92
Stasiun Udara Iwakuni, Pangkalan Angkatan Laut Sasebo, dan Pangkalan Kapal
Yokosuka. Semua pangkalan militer ini tersebar di seluruh wilayah Jepang dalam
rangka strategi Extended Deterrence di kawasan Asia Timur. Berikut adalah
gambaran dari proyek aliansi militer yang ingin dikembangkan Amerika Serikat
tersebar di seluruh wilayah Jepang (Project-2049 Institute 2014).
Gambar 4: Proyek 2020 Pengembangan Pangkalan Aliansi Militer
Sumber: Project-2049 Institute, http://www.project2049.net diakses pada 28 November 2014.
Dengan mengembangkan proyek ini, AS sangat yakin dapat meningkatkan
kekuatan aliansi militer yang lebih efektif dari sebelumnya serta dapat
menciptakan extended deterrence yang besar di kawasan Asia Timur. Proyek
aliansi ini dapat cepat terlaksana jika pemerintah Jepang menciptakan NDPG yang
baru berisikan inti dari proyek aliansi jangka menengah ini. Dibutuhkan NDPG
paling baru yang dapat memperbarui NDPG 2012 terakhir yang belum
menjelaskan proyek aliansi militer ini (Project-2049 Institute 2014). Untuk itulah
perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang menentukan sejauh ma
93
na tingkat aliansi militer AS-Jepang. Kembali lagi ini semua demi kepentingan
AS yang ingin terciptanya kawasan Asia Timur yang bebas dari kekuatan militer
Korea Utara dan Tiongkok
Dapat disimpulkan bahwa kepentingan AS di kawasan Asia Timur adalah
menciptakan kawasan yang bebas dari kekuatan militer Tiongkok dan Korea
Utara. Demi mencapai kepentingan tersebut, AS mendorong Jepang untuk
mengubah kebijakan pertahanan dan keamanannya ke arah lebih modern dan
canggih.
4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan AS di Asia Timur
Selain karena kawasan Asia Timur menjadi prioritas pada politik luar
negeri AS, menurut Robert Sutter (2005) dalam tulisan berjudul The United States
in Asia: Challenged but Durable Leadership, keterlibatan AS pada kawasan ini
juga demi kepentingan masa depan AS dalam menjaga jalur perdagangan di
kawasan Asia secara keseluruhan. Kawasan Asia merupakan pasar terbesar bagi
perdagangan Amerika Serikat pasca Perang Dingin. Telah dijelaskan sebelumnya
menjadikan kawasan ini stabil tanpa ada kekuatan militer yang mengancam adalah
kepentingan dari AS. Selain itu kepentingan AS berada pada sektor perdagangan.
AS membuat kawasan ini stabil dari ancaman nuklir Korea Utara dan militer
Tiongkok juga untuk memberikan keamanan pada kegiatan perdagangan pada
kawasan ini. Jika kondisi kawasan Asia aman untuk melakukan kegiatan
perdagangan maka kepentingan AS juga terjaga. Untuk itulah penting bagi AS
memberikan dorongan agar meningkatkan kekuatan militer kepada Jepang dan
negara mitra aliansi lain yang berada pada kawasan ini (Sutter 2005).
94
Masa kepresidenan Obama dari tahun 2008 menjadikan AS kembali fokus
pada urusan perdagangannya di kawasan ini. Selama Presiden Bush berkuasa,
Kebijakan Luar Negeri AS pendekatannya cenderung lebih fokus pada
penggunaan militer dan sedikit mengabaikan urusan perdagangan. Ketika Partai
Republik berkuasa anggaran menjadi defisit karena banyak dikeluarkan untuk
militer, termasuk kekuatan aliansi militer bersama Jepang yang menghabiskan
banyak dana sekitar 452 miliar Dollar AS pada tahun 2006, meningkat defisitnya
menjadi 455, sampai tahun akhir kekuasaan Presiden Bush di tahun 2007 menjadi
455 miliar Dollar AS (US Census Bureau 2012). AS mengalami defisit dalam
pembuatan pangkalan militer, tank tempur, senjata personil dan lain sebagainya
(Shoji 2011). Untuk itulah, sejalan dengan The Pivot to Asia yang telah
diumumkan oleh Presiden Obama, wilayah Asia-Pasifik adalah fokus semua
bentuk Kebijaka Luar Negeri AS baik itu politik atau ekonomi. Maka penting bagi
AS untuk menjaga kegiatan perdagangan AS di kawasan ini karena merupakan
investasi jangka panjang bagi AS (The Foregin Policy Initiative 2012).
Kawasan Asia menjadi salah satu tujuan utama ekspor komoditas AS.
Mitra perdagangan AS pada kawasan Asia Timur meliputi wilayah Jepang, Korea
Selatan, Taiwan, dan Hongkong serta negara – negara Asia Tenggara seperti
Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Laos, dan Vietnam. Pada kawasan ini,
Amerika Serikat lebih memfokuskan pada komoditas senjata militer, kendaraan,
pesawat, elektronik, alat rumah tangga, mesin pabrik, pipa pabrik dan sebagainya
(CNBC News 2014). Dibawah ini jalur perdagangan AS pada kawasan Asia.
95
Gambar 5: Peta Jalur Perdagangan AS di Kawasan Asia Pasifik
Sumber: http://www.geographic.org/maps/new2/us-trade-asia pada 20 November 2014 Dari gambar di atas dapat disimpulkan jalur perdagangan AS di Asia
sangat dekat dan rentan dengan ancaman militer Tiongkok dan senjata nuklir
Korea Utara. Asia Timur merupakan pintu masuk awal dari jalur perdagangan AS
untuk mencapai ke Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Sangat penting bagi AS demi
investasinya di kawasan ini membuat kawasan Asia Timur aman dari ancaman
militer Tiongkok dan Korea Utara (Geographic 2014). Kepentingan AS untuk
mengamankan investasi pada jalur Asia Pasifik kuncinya adalah membuat
kawasan Asia Timur menjadi stabil seperti telah dijelaskan pada penjelasan
sebelumnya. Hal ini mengingat kegiatan perdagangan AS di kawasan ini nilainya
96
sangat besar. Berikut tabel yang menjelaskan jumlah nilai ekspor komoditas AS
pada pasar Asia (US Census Bureau 2012)
Tabel 6: Nilai ekspor barang dan jasa AS pada pasar Asia 2006 – 2012
Tahun Nilai Ekspor (juta dollar AS) 2006 290,765.1 2007 327,285.9 2008 359,151.2 2009 307,896.6 2010 387,360.6 2011 439,240.7 2012 456,538.2
Sumber: US Census Bureau 2012 diakses dari https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c0016.html
Dari data tabel diatas terlihat jumlah ekspor komoditas AS pada kawasan
ini ternilai sangat besar pada tahun 2012 yaitu 456.538 juta Dollar AS, meningkat
jauh dari tahun 2006 yang bernilai 290,765 juta Dollar AS, hal inilah yang
menjadikan kawasan Asia sangat penting bagi AS. AS tidak hanya memiliki
kepentingan pada bidang politik dan keamanan tapi juga pada bidang ekonomi.
Untuk itulah kegiatan perdagangan Amerika Serikat di Asia harus aman dari
ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara karena hal ini merupakan investasi
jangka panjang AS.
97
BAB V KESIMPULAN
Berawal pada masa Presiden Bush, AS mendorong perubahan kebijakan
dan pertahanan Jepang karena adanya ancaman senjata nuklir Korea Utara dan
perkembangan pesat militer Tiongkok. Presiden Bush meminta Jepang untuk
segera mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan demi memperkuat
kekuatan aliansi militer AS-Jepang. Dengan adanya perubahan kebijakan
pertahanan dan keamanan Jepang, AS mengharapkan semakin mudah dan banyak
kerjasama militer yang mungkin dilakukan AS-Jepang di masa mendatang dalam
rangka menangkal ancaman kekuatan Korea Utara dan Tiongkok.
Amerika Serikat pada masa kepemimpinan Presiden Obama menempatkan
kawasan Asia Pasifik menjadi prioritas utama pada Kebijakan Luar Negeri AS.
Kebijakan ini dikenal dengan nama “The Pivot to Asia” Amerika Serikat memiliki
kepentingan untuk menjadi negara hegemon di kawasan Asia Pasifik tanpa
kekuatan penyaing. Bagi Amerika Serikat setidaknya memiliki empat tujuan
utama yang mendasari keterlibatannya di daerah Asia Timur, antara lain pertama
mencegah munculnya hegemoni regional yaitu kekuatan militer Tiongkok dan
Korea Utara; kedua, mempertahankan jalur transit di daerah Asia Timur baik jalur
laut maupun udara, ketiga menjaga akses komersial yang dibutuhkan untuk
menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan perdagangan; keempat memperkuat
dan mempertahankan hubungan keamanan di antara sekutu dalam rangka
membendung kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok di kawasan Asia Timur.
98
Kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara yang mengalami
perkembangan pesat dianggap AS dapat menghalangi kepentingannya di kawasan
ini. Kekuatan Tiongkok dan Korea Utara berada pada sub-kawasan Asia Timur,
yang mana pada kawasan ini AS memiliki hubungan aliansi dengan Jepang.
Untuk itulah Amerika Serikat menganggap persekutuan bersama Jepang adalah
strategi untuk membendung kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara di
kawasan Asia Timur.
Perkembangan pesat militer Tiongkok dan kepemilikan senjata nuklir oleh
Korea Utara mengakibatkan AS meminta Jepang untuk lebih memperhatikan
masalah pertahanannya. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang
dianggap AS sebagai langkah yang penting dalam kepentingan untuk menangkal
kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara. Jepang melakukan perubahan
kebijakan pertahanan dan keamanan ketika Badan Pertahanan Jepang ditingkatkan
statusnya menjadi Kementerian Pertahanan yang dipimpin langsung oleh seorang
menteri dan berhak secara langsung mengajukan anggaran pertahanan sendiri.
Berdirinya Kementerian Pertahanan Jepang menjadi momentum penting
bagi Jepang untuk terus bertransformasi dalam kekuatan militernya. Kementerian
Pertahanan berdiri diikuti dengan kenaikan anggaran belanja militer pada 2006,
perkembangan teknologi militer dan perubahan doktrin penggunaan kekuatan
militer. Semua perubahan ini atas dorongan Amerika Serikat kepada Jepang
dalam merespon ancaman yang terlihat dari perkembangan militer Tiongkok dan
kepemilikan senjata nuklir Korea Utara.
99
Penambahan fasilitas militer serta semakin banyak ditandatanganinya nota
kesepakatan bersama AS-Jepang merupakan bukti bahwa kekuatan aliansi militer
AS-Jepang semakin kuat pasca Kementerian Pertahanan Jepang berdiri. Tujuan
transformasi militer Jepang ini agar Jepang tidak lagi mengikuti pasal 9 Konstitusi
1947 yang berisi tentang ketergantungan Jepang terhadap payung militer AS,
tetapi menjadi sekutu aliansi yang mandiri demi menghadapi ancaman kekuatan
Tiongkok dan Korea Utara.
Jadi kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan
dan keamanan Jepang adalah untuk ballance of threat yaitu berusaha
menyeimbangi kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok, dengan strategi
extended deterrence yang ditujukan pada Tiongkok dan Korea Utara. Tiongkok
dan Korea Utara dianggap Amerika Serikat sebagai hambatan yang dapat
menghalangi AS dalam mencapai kepentingan nasionalnya di kawasan ini,
termasuk kepentingan investasi ekonominya pada jalur perdagangan Asia Pasifik.
x
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Adamy, Namzariga. Kebijakan Peacekeeping Operation Jepang di Kamboja : Suatu
TinjauanTerhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin, Jakarta : UI, 2004.
Akaha, Tsuneo. Japan Security After US Hegemony , The International Relation of Japan, Kathlen Newland : London Publishing Group, 1990.
Anderson, Justin V & Jeffrey A. Larsen. Extended Deterrence and Allied Assurance: Key Concepts and Current Challenges for U.S. Policy,Colorado: USAF Institute for National Security Studies, September 2013.
Anggoro, Kusnanto. Makalah Pembanding Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII: Keamanan Nasional, Pertahanan Negara dan Ketertiban Umum, Jakarta: CSIS, 2003.
Art, Robert J & Robert Jervis Robert.International Politics Enduring Concepts and Contemporary Issues, New York : Pearson Longman, 2007.
Ashley J.T., & Janice Bially. Measuring National Power in the Postindustrial Age. New York: Rand, 2000.
Avery Emma & Rinehart Ian E. U.S – Japan Alliance. Congressional Research Service: December 2013.
Beck, Paul Allen dan Frank J.Sorauf. (1992). Party Politics in America. USA : HarperCollins Publisher
Betts, Richard K. Conflict After the Cold Arguments on Cause of War and Peace, Mac Millan Publishing Company, 1994.
Burchill, Scott. Theoris of International Relation, New York : Palgrave, 1996. Biddle, Stephen. Military Power: Explaining Victory and Defeat In Modern Battle.
New Jersey: Princeton University Press, 2004. Bishop, Chris (eds) The Encyclopedia of Weapons of World War II. Barnes &
Nobel. 1998. Buzan, Barry.“An Introductionto Strategic Studies: Military Technology and
International Relations” dalam ikrar Nusa Bakti, “Forum Regional ASEAN dan Pengaturan Keamanan Regional di Asia Pasifik”..Jurnal Ilmu Politik, No.10 1997.
Buzan, Barry & Eric Herring, The Arms Dynamic in World Politics, (London:Lynne Rienner Publisher, 1998)
Dupuy, Trevor N.International military and defence Encylopedia : vol : 1-6 Brassery’s (US) NY : 2012
Cossa, R A. The U.S Asia-Pacific Secuirity Strategy for the Twenty-First Century, pada The Security Environment in The Asia-Pacifi, (eds) Tien H & T. Cheng. New York: M.E. Sharpe & An East Gate Book, 2000.
Creswell, John W. 1994. Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks : SAGE Publications,IncCharles,William Maynes. The perils of (and for) an Imperial America, foreign Policy, Summer, 1998.
xi
Dosch, John. 2004. “The United States in the Asia Pacific”, pp. 17-34 in Michael K Connors, Remy Davidson, Jorn Dosch (eds), The New Global Politics of the Asia-Pacific.
Kim, Suk Hi, Terence Roehrig adn Bernhard Seliger. The Survival of North Korea.USA: McFarland & Company, Inc. Publishers, 2011.
Kodansha Encyclopedy of Japan. Tokyo: Kodansha.1983. Gray, Colin. “The Arm Race Phenomenon”, dalam Bilveer Singh, The Chalenge of
Conventional Arms Proliferation In East Asia , CSIS, Jakarta:1995. Gill, Stephen & David Law. Perspective, Problems and Policies, Baltimore: The
Hopkins University Press, 1998. Griffiths, M. Fifty Key Thinkers in International Relations. New York: Routledge.
2001. Goldstein, Joshua S. International Relations. Longman, 2004. Halloran, Richard. “Japan’s Military Force: Return of The Samurai”. Parameters,
No. 25, Winter, 1995. Herz, John. Political Realism and Political Idealism : A Study in Theories and
Realities, Chicago : Chicago University Press, 1951. Hughes, Christopher W. Japan’s Remilitarisation. New York: Routledge. 2009. Irsan, Abdul. Budaya dan Perilaku Politik Jepang di Asia. Jakarta : Grafindo, 2007. Irsan, Abdul. Jepang: Politik Domestik, Global, dan Regional. Makassar:
Hasanuddin University Press, 2005. Jackson, R. & Sorensen, G. Introduction to International Relations, Oxford
University Press. 1999. Lilley, James. “Foreword” in Military Modernization.1996. London: TJ Press. Maswood, Javed S. Japanese Defence : The Search for Political Power, Singapura:
ISEAS, 1990. Murata, Koji. “Japan Military Cooperation and Alliances in the Asia-Pacific
Region”pada pada The Security Environment in The Asia-Pacifi, (eds) Tien H & T. Cheng. New York: M.E. Sharpe & An East Gate Book, 2000.
Morrison, Charles E.,2003. 200. Asia Pacific Security Outlook, Tokyo: Japan Center for International Exchange, Inc.
Papp, Daniel S. Contemproray International Relations: Framework for Understanding, US: Maemilan College, 1997.
Prabhakar, Lawrence W, Joshua H. Ho, and Sam Bateman. The Evolving Maritime Balance of Power in the Asia Pacific. Singapore: Institute of Defense and Strategic Security dan World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2006.
Reinard, John C. Communication Research Statistics, SAGE, 2006. Shambaugh, David & Yahuda Michael. International Relations of Asia (Asia in
World Politics). New York: Rowman & Littlefields Publisher, Inc, 2009. Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. Hubungan Internasional : Perpektif dan Tema.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Sutter, R. G. China’s Rise in Asia: Promises and Perils. Lanham, MD: Rowman &
Littlefield, 2005. ___________. The United States in Asia: Challenged but Durable Leadership
Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005.
xii
Tjeng, Lie Tek. Percaturan politik di kawasan Asia Pasifik. Jakarta: PT karya universe, 1983.
Waltz, Kenneth N. Foreign Policy and Democratic Politics: The American and
British Experience. Little, Brown and Company. New York: 1967. Waltz, Kenneth N. Theory of Internasional Politics, Addison-Wesley Publishing
Company, Philippines, 1979 Wang, Ke. Japan’s “Defense” Policy: Strengthening Conventional Offensive Capability,
University of Pennsylvania, 2008. Wardani, Wahyu. Realm Asia Timur. Malang: Universitas Negeri Malang, 2009. Jurnal : Deming, Rust, 2004. “Japan’s Contitution and Defense Policy: Entering New Era” .
Jurnal Strategi Forum 213 Nov. East Asian Strategic Review 2000, “A New Legal Framework for Japan-U.S.
Defense Cooperation”, Vol. XI, No. 12, Tokyo: The National Institue for Defense Studies, 2000.
Hughes, C. W. (2009). "Super-sizing" the DPRK threat: Japan's evolving military posture and north korea. Asian Survey, Vol 49(2), 291-311.
Jervis, R. "Cooperation under the Security Dilemma," World Politics vol. 30, no.2, January 1978.
Juwana, Hikmahanto. Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia, The Indonesian Quarterly, Vol XXI, No. 4, Fourth Quarter. 1993.
Karismaya, Hesti. Manajemen Konflik Jepang-Cina dalam Mengatasi Sengketa Kepulauan Senkaku. Journal ilmu hubungan internasional, Mei Vol 127, Universitas Mulawarman, 2013
Khairunissa. Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012. Ejournal Ilmu Hubungan Internasional Universitas Mulawarman Volume 1 No.3 589-604, 2013.
Lim, Robyn. (2002). Limits of U.S.-japan alliance. Far Eastern Economic Review, Vol 165 (17), p.20.
Mergel, S., & Dueck, C. (2012). Hard line: The republican party and U.S. foreign policy since world war II. Journal of American Studies, volume 46(2), 517-518
Monica, Sandra. Strategi Jepang Menghadapi Rusia Terhadap Sengketa Kepulauan Kuril Tahun 2008-2012, Universitas Riau, 2013.
Moore, Gregory J., 2008. “How North Korea Threatens China’s Interests: Understanding Chinese duplicity’ on the North Korean Nuclear Issue”, International Relations of the Asia Pacific, Volume 8,
Nakanishi, Hiroshi. Toward a New Foreign Policy Doctrine. Vol. 44, No 23. Japan Inst. of International Affairs, 2003
Park, Young June. Japan’s National Defense Program Guidelines 2010 and Its Implication to South Korean Security Policies, Republic of Korea: The East Asia Institute Journal Vol. 56, 2010.
xiii
Prajuli, Wendy A. Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang: Mungkinkah Berhasil Dilakukan?.Jurnal Hubungan Internasional II Volume III No. 2 Februari 2008.
Rosa, Rizki. Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional AS. Jurnal Hubungan Internasional II Volume III No. 2 Februari 2008.
Sinaga, Obasatar. Aliansi Jepang-Amerika Serikat dalam Menghadapi Pembangunan Kapabilitas Militer China dan Korea Utara. Jurnal Hubungan Internasional II Volume II No. 1 Februari 2007.
Sukma, Rizal. Kebangkitan dan Peran Strategis Cina dalam Kerja Sama Asia Timur: Perspektif Indonesia. Analisis CSIS Vol. 38 No. 3 September 2009.
Suryohadiprojo, Sayidiman. Kebijakan Pertahanan Jepang. Jurnal Studi Jepang Volume 1, Jakarta: Universitas Indonesia, 1999.
Shoji, Tomotoka “Japan’s Security Outlook: Security Chalange and the New National Defense Program Guidelines”, dalam Security Outlook of the Asia-Pasific Countries and Its Implications for the Defense Sector. NIDS Joint Research Series No. 6, 2011.
Walt. Stephen M. Spring. 1985. Alliance Formation and the Balance of World Power. International Security Vol 9 No. 4. MIT Press. Hal 4
Skripsi : Bimantara, Faris. “Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) terhadap
Kerjasama Bilateral AS-Jepang dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Periode 2001-2006”.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
Handayani, Rosy. “Transformasi Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin (1990-2007)”. Universitas Indonesia: Jurusan Hubungan Internasional, 2008.
Nugraha, Satya. “Dampak Nasionalisasi Kepulauan Senkaku terhadap Hubungan Jepang – Cina 2012-2013”. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakart, 2014.
Dokumen Resmi : Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. US Annual Report to Congress on The
Military Power of The PRC 2003 _______________________. Document of Army Strategic Planning Guidance 2012 ______________________. Document of Sustaining US Global Leadership:
Priorities for 21st Century Defense 2012 Kementerian Pertahanan Jepang. National Defense Program Guidelines 2004 ________________________. National Defense Program Guidelines 2010 ________________________. National Defense Program Guidelines 2012 Security Consultative Committee U.S-Japan. Joint Statement Document 2010 ___________________________________. Joint Statement Document 2012 Konstitusi Jepang. Diakses dari
http://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of_japan/constitution_e.html pada 20 Desember 2014
Koran dan Media Online: Harian Kompas 19 Februari 2007, Hal.7 Harian Kompas 5 Maret 2007, Hal.8
xiv
Harian Republika 30 Agustus 2006, Hal 12. Harian Tempo 21 Agustus 2006, Hal.5 ABC News. Diakses dari http://abcnews.go.com/ pada 9 Desember 2014 Antara News, http://www.antaranews.com/berita/364372/as-akan-lanjutkan-
kebijakan-penyeimbangan-kembali-di-asia-pasifik diakses pada 3 Desember 2014
BBC News, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6036491.stm diakses pada 5 Oktober 2014
China Daily, 19 Desember 2003. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/257710001?pq-origsite=summon pada 24 Desember 2014
Deutsche Welle News http://www.dw.de/alliance+U.S=Japan diakses pada 16 November 2014
The Diplomat Magazine, http://thediplomat.com/2014/12/the-okinawa-reality/ diakses pada 15 November 2014
KBS News. Pada 24 Desember 2014 dan diakses dari http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/news_02.htm
New York Times http://www.nytimes.com/2014/05/09/opinion/japans-pacifist-constitution.html diakses pada 13 November 2014
The Straits Times. www.straitstimes.com diakses pada 30 Desember 2014
Tempo Online http://www.tempo.co/read/news/2012/04/27/116400174/Amerika-Serikat-Tarik-Marinirnya-dari-Okinawa diakses pada 10 November 2012
Website:
Bibby, John F. Political Parties in the United States, 2005. diakses dari https://www15.uta.fi/FAST/US4/REF/pparties.html pada 25 Desember 2014
Geographic, 2014. Dikases dari http://www.geographic.org pada 20 November 2014 Global Security http://www.globalsecurity.org pada 5 November 2014 Halloran, Richard. Real Clear Politics: January 08, 2007 diakses dari
http://www.realclearpolitics.com/articles/2007/01/japans_defense_chang_symbolic pada 6 Juni 2014
The Foregin Policy Initiative, “The Pivot to Asia” http://www.foreignpolicyi.org/content/obama-administrations-pivot-asia diakses pada 6 Desember 2014
Jakarta International Defence Dialogue, 2012. Diakses dari http://www.apsdex.com/jidd-2014/
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. http://www.state.gov diakses pada 20 November 2014
Kementerian Luar Negeri Jepang http://www.mofa.go.jp diakses pada 19 Juni 2014.
Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. http://www.defense.gov diakses pada 19 November 2014
Kementerian Pertahanan Jepang. http://www.mod. go.jp diakses pada 15 Juli 2014
xv
Nikkei Asian Review http://asia.nikkei.com/japan+constitution+1947 diakses pada 18 Oktober 2014
Military Ballance. https://www.iiss.org pada 8 Oktober 2014 Politics Stacks Exchange http://politics.stackexchange.com/questions/817/does-the-
us-republican-party-have-a-demographics-problem diakses pada 14 Desember 2014
Project 2049 Institute, U.S.-Japan Exchange Program Capstone Report. http://www.project2049.net diakses pada 28 November 2014.
Toki, Masako. “Japan's Defense Guidelines”: New Conventional Strategy, Same Old Nuclear Dilemma. 2011. http://www.nti.org/analysis/articles/japans-defense-guidelines/ diakses pada 21 April 2013
United Nations Office for Disarmament Affairs (UNODA). diakses dari http://www.un.org/disarmament/WMD/Nuclear/NPT.shtm pada 1 November 2014
US Census Bureau 2012. Diakses dari https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c0016.html pada 15 Desember 2014
World Bank. Dari http://data.worldbank.org/indicator/MS.MIL.XPND.GD.ZS pada 25 September 2014
Xu, Beina. “The U.S.-Japan Security Alliance”. Council on Foreign Relations: diakses dari http://www.cfr.org/japan/us-japan-security-alliance/p31437 pada 24 September 2014
Yani, Yanyan Mochammad. Politik Luar Negeri. Universitas Padjajaran Bandung: 2007 diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/politik_luar_negeri.pdf pada 4 Februari 2015
top related