ahmad despuriansyah-fisip.pdf

118
KEPENTINGAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG PERIODE 2006 – 2012 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Ahmad Despuriansyah 110113000018 PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

Upload: dinhhanh

Post on 04-Feb-2017

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

KEPENTINGAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG

PERIODE 2006 – 2012

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Ahmad Despuriansyah

110113000018

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015

Page 2: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf
Page 3: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf
Page 4: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf
Page 5: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

i

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisa kepentingan Amerika Serikat terhadap perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012. Penelitian skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan data dikumpulkan melalui studi pustaka. Kerangka pemikiran yang digunakan adalah kepentingan nasional dan konsep aliansi. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kepentingan Amerika Serikat dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012 adalah untuk menjalankan strategi extended deterrence dengan memperkuat aliansi militer bersama Jepang yang ditujukan kepada Tiongkok dan Korea Utara, agar stabilitas kawasan Asia Timur terjaga. Tiongkok dan Korea Utara telah dianggap AS sebagai ancaman dalam kepentingannya di kawasan ini. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang dianggap AS sebagai langkah yang penting untuk menangkal kekuatan kedua negara tersebut di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS di Asia Timur akan terwujud jika Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan, dan tidak lagi mengikuti isi pasal 9 Konstitusi 1947 yang menyatakan Jepang dilarang memiliki kekuatan militer dan hanya berlindung pada kekuatan militer AS. Untuk itulah AS memiliki kepentingan dibalik perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, yaitu sebagai jalan demi tercapainya kepentingan di Asia Timur. Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ketika Badan Pertahanan Jepang ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian Pertahanan, anggaran belanja militer konsisten naik, dan berkembangnya teknologi militer Jepang.

Kata Kunci: Kepentingan Nasional, Aliansi, Militer, Kebijakan Pertahanan dan Keamanan, Pasal 9 Konstitusi 1947 Jepang, Extended Deterrence

Page 6: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT

karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang

berjudul ”Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahan

Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang Periode 2006 - 2012”. Penulisan

skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mencapau gelar Sarjana Strata

1 (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penyelesaian skripsi ini tidak

lepas dari peran berbagai pihak yang terlibat dalam skripsi ini. Sehubungan dengan

itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga tercinta terutama Papa dan Mama yaitu Azran Bakri dan

Purnamawati Siregar, Abang dan Kakak kandung dan keponakan, Anri Tirta

Pratama, Inra Riady Widarta, Nurhasanah Ayu Andira, Desty Natalia

Wuriyanti, dan Maulida Salsabilah Anrety, serta semua keluarga di

Palembang yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, mereka yang telah

memberikan dukungan dan doanya untuk kelancaran skripsi ini.

2. Ibu Debbie Affianty selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Ketua Jurusan

Hubungan Internasional, Beliau juga salah satu orang yang ikut

memudahkan kelancaran skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih

banyak.

Page 7: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

iii

3. Bapak M. Adian Firnas selaku Dosen Pembimbing Akademik, dosen jurusan

Hubungan Internasional UIN Jakarta yaitu Bapak Agus Nilmada, Bapak

Irfan Hutagalung, Bapak Nazarudin Nasution, Ibu Sri Mulyati, Bapak Agus

Nugraha, Ibu Eva Mustofa, Bapak Wendi Prajuli, Bapak Jajang Saprijal dan

segenap dosen, tenaga pengajar serta TU FISIP UIN Jakarta yang tidak bisa

saya sebutkan semua, terima kasih telah membantu penulis selama menjadi

mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta.

4. Teman – teman Keluarga Dubbing 2010, Muslim, Yuri, Idris, Miftah, Rima,

Ty, Randy, Nanda, Ana, Rosi, Dek Dita, Dini, Tiwi, Kak Winda, Manda,

Septin, Eed, Angga, Inun, Alaptia, Ayu, Dwi, Acun, Melia, dan spesial buat

Miss Erna Wati, serta Guru MAN 3 Palembang lainnya Aba Zai, Abi

Wahab, Ustd Rozi, Bapak Novir, Bapak Subroto, Bapak Pane, Bapak

Mahendra, Ibu Hernawati, Emak kantin belakang dan semuanya yang tidak

bisa disebut kan satu per satu terima kasih semua untuk dukungan dan

doanya, semoga kita selalu bersama dan diridhoi Allah Swt.

5. Teman – teman alumni SMP N 9 Palembang, Reffy, Nopi, Iqbal, Aldy,

Febri, Alem, Aldo, Ari, Lisan, Edi, Eko, Amen, Dayat, Faisal, Beta, Bebeng,

Rahman, Hasan, Husin, Nurbeta, Topek, Sandi, beserta para guru, Bapak

Musa, Bapak Basarrudin (Alm), Ibu Komalasari, Bapak Syaiful, Bapak

Arfani, Ibu Mariani, Ibu Pariani, Ibu Sinaga dan semuanya yang tidak bisa

disebut kan satu per satu terima kasih semua untuk dukungan dan doanya,

semoga kita selalu bersama dan diridhoi Allah SWT.

Page 8: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

iv

6. Kawan-kawan HI-A 2010 seperjuangan terutama kepada Alva, Bewok, Mul,

Bang Wahyu, Navis, Kopet, Adam, Yoga, Anggi, Murdok, Defa, Detty,

Yuri, Zakia, Peni, Dieny, Eko dll yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.

Terimakasih atas dukungan moril bahkan materilnya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

7. Teman – teman seperjuangan alumni Asrama UIN Jakarta, Nadi, Halimi,

Indra, Jajat, Imam, Aul, Ucim, Jambul, Arif, dan semua yang tidak sempat

disebutkan, terima kasih atas dukungannya, semoga bagi yang belum selesai

skripsinya segera dapat menyusul.

Penulis berharap semoga bantuan dan dukungan yang mereka berikan

mendapat imbalan dari Allah SWT dan dicatat sebagai sebuah amal ibadah. Penulis

menyadari dalam penulisan skrispsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh

sebab itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk bahan koreksi

dimasa yang akan datang.

Jakarta, 27 Januari 2015

Ahmad Despuriansyah

Page 9: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK.......................................................................................... i KATA PENGANTAR........................................................................ ii DAFTAR ISI....................................................................................... v DAFTAR SINGKATAN.................................................................... vii DAFTAR GAMBAR.......................................................................... viii DAFTAR TABEL DAN GRAFIK..................................................... ix BAB I: PENDAHULUAN.............................................................. 1

1.1 Latar Belakang Masalah............................................... 1 1.2 Pertanyaan Penelitian.................................................... 7 1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan...................................... 7 1.4 Tinjauan Pustaka........................................................... 8 1.5 Kerangka Pemikiran...................................................... 14

1.5.1 Kepentingan Nasional......................................... 14 1.5.2 Konsep Aliansi.................................................... 16 1.5.3 Kebijakan Luar Negeri........................................ 18 1.5.4 Teori Defensive Structural Realism.................. 20

1.6 Metode Penelitian......................................................... 21 1.7 Sistematika Penulisan.................................................. 22

BAB II: KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012........................................................... 24

2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan Jepang...................................................................... 24 2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 – 2012...................................................................... 28 BAB III: PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012................................... 40 3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan

Keamanan Jepang............................................................ 40 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang........................................ 41 3.1.2 Teknologi Milter Jepang........................................ 51

3.1.3 Doktrin Tujuan Penggunaan Kekuatan Militer.... 53

Page 10: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

vi

BAB IV: KEPENTINGAN NASIONAL AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG.................. 59

4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri AS. 59 4.2 Faktor – Faktor Penyebab Perubahan Kebijakan

Pertahanan dan Keamanan Jepang................................... 65 4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang................. 66

4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok.............. 69 4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara................... 76

4.3 Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang............................................................................. 82 4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur............................. 82 4.3.2 Extended Deterrence AS terhadap Kekuatan

Militer Tiongkok dan Korea Utara....................... 88 4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan AS di Asia Timur......................................................... 93

BAB V : KESIMPULAN................................................................ 97

Page 11: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

vii

DAFTAR SINGKATAN

A2 : Anti-Access AD : Area Denial APEC : Asia-Pacific Economic Cooperation AS : Amerika Serikat ASCM : Anti Ship Cruise Missile ASEAN : Association of Southeast Asia Nations BMD : Ballistic Missile Defense BOP : Bilateral Common Operational Picture GDP : Gross Domestic Product GSDF : Ground Self Defense Force GSOMIA : General Security of Military Information Agreement IAEA : International Atomic Energy Agency ICBM : Intercontinental Ballistic Missile JSDF : Japan Self Defense Force KLN : Kebijakan Luar Negeri LDP : Liberal Democratic Party MBT : Main Battle Tank MEF : Marine Expeditionary Force NATO : North Atlantic Treaty Organization NDPG : National Defense Program Guideline NDPO : National Defense Program Outline NPT : Non-Proliferation Nuclear Treaty PBB : Perserikatan Bangsa Bangsa PD : Perang Dunia PKO : Peace Keeping Operation QDR : Quadrennial Defense Review RUU : Rancangan Undang Undang SCC : Security Consultative Commitee SDA : Sumber Daya Alam UNODA : United Nations Office for Disarmament Affairs

Page 12: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Pangkalan Militer AS di Okinawa........................................... 26

Gambar 2. Peta Pangkalan Udara Militer AS di Kadena Selatan Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012...................... 37 Gambar 3. Peta Jangkaun Misil Korea Utara .................................................... 81

Gambar 4. Proyek Tahun 2020 Pengembangan Pangkalan Aliansi Militer AS – Jepang .................................................................................... 92

Gambar 5. Peta Jalur Perdagangan AS di Kawasan Asia Pasifik ...................... 95

Page 13: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

ix

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Tabel 1. Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1996 – 2005 ......................................................................... 29 Tabel 2. Daftar Penambahan Peralatan Miltier setelah SCC Joint Statement 2012 .............................................................................. 36 Tabel 3. Kekuatan Militer Jepang Tahun 2012 .................................................... 47

Tabel 4. Teknologi Baru Militer Jepang ............................................................. 52

Tabel 5. Kepemilikan Misil Korea Utara ............................................................ 80

Tabel 6. Nilai ekspor barang dan jasa AS pada pasar Asia 2006 – 2012 ............ 96

Grafik 1. Jumlah Pasukan Angkatan Darat Jepang dari beberapa periode ...... .... 43

Grafik 2. Jumlah Kekuatan Persenjatan Militer Jepang ....................................... 44

Grafik 3. Anggaran Pertahanan Jepang 2002-2012 .............................................. 49

Grafik 4. Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi ......... 69

Grafik 5. Anggaran Militer Tiongkok 2000-2004 ................................................ 75

Page 14: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Skripsi ini akan berfokus pada analisa tentang kepentingan Amerika

Serikat dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan yang

dilakukan oleh Jepang. Wilayah Asia Timur secara khusus akan menjadi fokus

utama dalam skripsi ini.

Menurut Wahyu Wardani di dalam tulisannya berjudul “Realm Asia

Timur” (2009), Asia Timur merupakan sebuah sub-wilayah Asia di mana luasnya

sekitar 11,839,074 km2 atau 15 persen dari benua Asia. Asia Timur terletak di

antara Rusia di utara dan di selatan negara-negara Asia Selatan dan Asia

Tenggara. Wilayah Asia Timur ini membentang dari daerah gurun di Asia Tengah

sampai di Kepulauan Jepang dan Taiwan di kawasan tepi Pasifik Barat (Wardani 2009).

Sub-wilayah Asia Timur meliputi wilayah Tiongkok, Hong Kong, Jepang, Taiwan

Mongolia, Korea Utara dan Korea Selatan, dengan populasi sekitar 1500 juta jiwa

dan kepadatan 133 jiwa/ km2 (Wardani 2009, h.2). Negara-negara di wilayah Asia

Timur yang menjadi fokus utama dalam skripsi ini di antaranya adalah Tiongkok,

Korea Utara dan Jepang.

Menurut Ralph A. Cossa dalam tulisan yang berjudul “The U.S Asia-

Pacific Security Strategy for the Twenty-First Century” (2000), Amerika Serikat

berkomitmen untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama di

bidang politik, ekonomi, serta militer (Cossa 2000). Selain karena kawasan Asia

Page 15: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

2

Timur menjadi prioritas pertama AS, keterlibatan AS pada kawasan ini juga demi

kepentingan masa depan AS dalam menjaga hegemoni di kawasan Asia.

Keberlanjutan keterlibatan AS pada kawasan Asia dikarenakan Quadrennial

Defense Review (QDR) pada tahun 1997 menjelaskan komitmen AS untuk

menjaga stabilitas kawasan Asia. Quadrennial Defense Review (QDR) merupakan

dokumen nasional AS untuk menjelaskan doktrin militer AS, yaitu dengan

penggunaan kekuatan militer secara efektif demi kepentingan nasional AS

(Shambaugh & Yahuda 2008). Komitmen AS diperjelas pada masa Presiden

Obama dengan mengeluarkan “The Pivot to Asia” yaitu perubahan prioritas

Kebijakan Luar Negeri AS pada kawasan Asia Timur (The Foreign Policy

Initiative 2012).

Selanjutnya aliansi militer AS-Jepang menjadi upaya dalam menjaga

stabilitas kawasan Asia Timur, karena dengan berkembangnya kekuatan militer

Tiongkok, masalah konflik semenanjung Korea dan beberapa masalah sengketa

wilayah membuat kawasan ini rentan dengan konflik (Moore 2008). AS menilai

kekuatan militer Tiongkok sebagai ancaman yang besar bagi kawasan. Penilaian

AS tersebut terlihat dari anggaran militer Tiongkok yang terus meningkat dari

tahun 1994, sebesar 18% pada tahun 1995 meningkat lagi sebesar 21%, tahun

2005 meningkat sebesar 12,6%, tahun 2006 meningkat sebesar 14,7% dan tahun

2007 meningkat sebesar 17,8% menjadi 44,94 miliar Dollar AS (Kompas, 5 Maret

2007).

Tiongkok juga sangat agresif dalam sengketa Kepulauan Senkaku dan

Laut Tiongkok Selatan. Pada tahun 2006, terlihat Kebijakan pemerintah Tiongkok

Page 16: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

3

yang agresif pada sengketa Kepulauan Senkaku dengan membangun pipa gas di

Chunxiao sekitar Kepulauan Senkaku. Kemudian kebijakan ini mendapat protes

dari Jepang ketika pertemuan “China-Japan Sea of Peace Cooperation and

Friendship” pada Desember 2007. Pada pertemuan tersebut kedua negara tidak

menemukan kesepakatan kongkrit masalah konflik ini, karena Tiongkok menolak

menghentikan aktivitas pembangunan jalur pipa gas di sekitar Kepulauan Senkaku

dan mengancam akan menyerang negara yang menentang kebijakan ini

(Karismaya 2013).

Kemudian pada bulan Juli 2007, terjadi tindakan agresif militer Tiongkok

pada sengketa Laut Tiongkok Selatan. Kapal Angkatan Laut Tiongkok

menembaki sebuah kapal nelayan Vietnam kemudian menewaskan seorang pelaut

di sekitar Kepulauan Paracel. Insiden tindakan Angkatan Laut Tiongkok ini

membuat konflik Laut Tiongkok Selatan memanas (The Straits Times 2007).

Dapat disimpulkan dari beberapa konflik yang sedang dihadapi Tiongkok, sangat

terlihat perkembangan militer Tiongkok dapat meningkatkan posisinya dalam

proses tawar menawar pada level internasional. Hal ini menguatkan persepsi

kawasan terhadap Tiongkok dalam menjadi ancaman bagi kawasan Asia Timur.

Selain itu pada tahun 2006 terdapat ancaman senjata nuklir Korea Utara

yang dapat menjangkau hampir seluruh dari wilayah Asia Pasifik. Misil

Taepoodong II dan Intercontinental Ballistic Missile atau ICBM milik Korea

Utara memiliki jangkauan 3500 - 6000 km, dapat mengenai wilayah teritori

Jepang (Moore 2008). Pada 9 Oktober 2006 Korea Utara melakukan uji coba

nuklir perdana dengan bahan plutonium, bukan seperti pada masa sebelumnya

Page 17: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

4

hanya dengan uranium yang diperkaya (BBC News 2006). Uji coba yang

dilakukan Korea Utara inilah yang memicu ketegangan keamanan di kawasan

Asia Timur.

Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kerjasama militer bagi AS demi

menjaga kepentingan di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS pada kawasan

Asia Timur menjadikan Jepang sebagai sekutu yang penting pada kawasan ini.

Pada pertemuan antara Presiden George W. Bush dan Perdana Menteri Shinzo

Abe pada 18 November 2006 terdapat kesepakatan peninjauan kerjasama

keamanan bilateral AS-Jepang, khususnya di bidang pertahanan rudal balistik

(BMD), dalam rangka memikirkan kembali potensi ancaman dari Korea Utara dan

Tiongkok (Xu 2014).

AS meminta Jepang untuk terus meningkatkan kekuatan militernya agar

mempermudah, memperlancar dan memperbanyak bentuk kerjasama militer

kedua negara (Avery & Reinhart 2013). Presiden Bush meminta Jepang untuk

segera mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan mereka demi memperkuat

kekuatan aliansi militer AS-Jepang. Dengan semakin berkembangnya militer

Jepang semakin mudah dan banyak kerjasama militer yang mungkin dilakukan

AS-Jepang di masa mendatang. Dalam rangka perubahan kebijakan pertahanan

dan keamanannya Jepang diminta AS untuk mendirikan Kementerian Pertahanan

agar dapat mengajukan anggaran pertahanan dengan lebih mudah (Deutche Welle

News 2007). Ini diikuti dengan perubahan doktrin militer yaitu meninggalkan

Pasal 9 Konstitusi 1947 yang melarang Jepang untuk memiliki kekuatan militer

(Cossa 2000).

Page 18: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

5

Amerika Serikat juga meminta Jepang mengubah doktrin pertahanannya

yang lama dan mengganti dengan white paper pertahanan yang baru. Selanjutnya

National Defense Program Guidelines (NDPG) paling baru yang dikeluarkan

pada tahun 2010 atas dorongan dari Amerika Serikat dalam rangka merespon

pengembangan kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara (Avery & Reinhart

2013). Perubahan penting yang terjadi adalah dengan digantikannya “Basic

Defense Force Concept” menjadi “Dynamic Defense Force”. Artinya Jepang

diminta aktif dalam keamanan kawasan, dan tidak hanya sekedar berlindung pada

kekuatan militer AS (Japan Ministry of Defense 2010).

Atas dorongan AS, Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan

dan keamanan ketika RUU usulan Perdana Menteri Shinzo Abe yang berkaitan

dengan transisi dari Badan Pertahanan Jepang untuk Kementerian Pertahanan

disahkan oleh Majelis dan menjadi Undang-undang pada tanggal 15 Desember

2006. Parlemen menyetujui usulan Perdana Menteri Shinzo Abe tersebut dan

diwujudkan pada 9 Januari 2007 atau 53 tahun setelah pembentukan Badan

Pertahanan pada tahun 1954. Dengan berdirinya Kementerian Pertahanan yang

merupakan sebuah badan pemerintah yang dibawahi langsung oleh seorang

menteri pertahanan, memungkinkan Jepang untuk memiliki anggaran sendiri

dalam pertahanan dan keamanan, serta memungkinkan untuk membuat undang –

undang pertahanan dan keamanan sendiri. Hal ini kemudian diikuti dengan

anggaran militer yang konsisten naik, berkembangnya teknologi militer Jepang

dan perubahan doktrin penggunaan kekuatan militer (Japan Ministry of Defense

2007).

Page 19: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

6

Sejak berubah status menjadi Kementerian Pertahanan, anggaran pertama

diajukan hingga 4.86 triliun Yen atau sebesar 43 miliar Dollar AS dan

mengajukan anggaran sebesar 200 juta Dollar AS khusus alokasi untuk misil

penangkal, atau naik 56,5 persen dibanding anggaran tahun – tahun sebelumnya

yang telah berjalan (Harian Kompas 19 Februari 2007, Hal. 12). Hal ini

memperlihatkan Jepang mengalami transformasi perubahan kebijakan strategis

pertahanannya yang lebih gencar dalam mengadaptasi lingkungan eksternal atas

dorongan AS.

Dapat disimpulkan bahwa peningkatan status Badan Pertahanan menjadi

Kementerian Pertahanan, peningkatan anggaran militer sejak Kementerian

Pertahanan berdiri, perkembangan teknologi militer dan perubahan doktrin

militer, merupakan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan yang telah

dilakukan Jepang atas dorongan mitra aliansinya Amerika Serikat (Wang 2008).

Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ini mencerminkan adanya

keinginan AS agar Jepang memainkan peran lebih besar dalam mengatasi

ancaman keamanan di kawasan (Deming 2004).

Akan dijelaskan pada bab - bab selanjutnya bagaimana bentuk kerjasama

keamanan Jepang-AS yang lebih intensif terjadi pasca Jepang mendirikan

Kementerian Pertahanan.Pasca Kementerian Pertahanan Jepang resmi berdiri,

revisi aliansi Jepang-AS terjadi dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian oleh

kedua pihak yaitu Joint Statement of the Security Consultative Committee Alliance

Transformation: Advancing United States-Japan Security and Defense

Cooperation. Kesepakatan ini untuk memperkuat aliansi AS-Jepang khususnya

Page 20: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

7

untuk menghadapi ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara dengan peninjauan

kembali beberapa kesepakatan lama yang dinilai tidak efektif (Japan Ministry of

Defense 2007).

Hal penting lainnya pada penelitian ini adalah apa yang menjadi

kepentingan AS dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang,

serta kerjasama aliansi bilateral keamanan kedua negara ini. Tahun 2007 dipilih

sebagai awal periode dalam penelitian ini karena pada tahun ini merupakan awal

momentum Jepang dalam proses modernisasi militer negaranya karena dorongan

AS dalam merespon perkembangan militer Tiongkok dan kepemilikan senjata

nuklir Korea Utara. Pada tahun ini atas dorongan dari AS Badan Pertahanan

secara resmi berubah menjadi bentuk kementerian, anggaran belanja militer mulai

naik signifikan, teknologi militer mulai berkembang dan terjadinya perubahan

doktrin penggunaan kekuatan militer. Akhir periode dalam penelitian ini adalah

tahun 2012 karena tahun tersebut merupakan tahun paling akhir dari revisi

kesepakatan aliansi AS-Jepang.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitan sebagai berikut:

“Mengapa Amerika Serikat Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan

Keamanan Jepang pada periode 2006-2012 ?”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kepentingan AS dalam mendorong perubahan

kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang 2006 - 2012

Page 21: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

8

2. Untuk menganalisa kepentingan AS dalam mendorong perubahan

kebijakan pertahanan dan keamanan dengan menggunakan konsep

kepentingan nasional dan aliansi.

3. Diharapkan tulisan ini menjadi rujukan bagi penelitian serupa di masa

mendatang, khususnya tentang kepentingan Amerika Serikat di

kawasan Asia Timur.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tulisan yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini yaitu skripsi

yang berjudul “Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) terhadap

Kerjasama Bilateral AS – Jepang dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan

periode 2001-2006” yang ditulis oleh Faris Bimantara. Faris Bimantara adalah

mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, FISIP, UIN Jakarta tahun 2007.

Faris Bimantara (2012) dalam tulisannya menjelaskan bahwa Amerika Serikat

membuat pangkalan militer di Okinawa yang bertujuan agar AS tetap dapat

mengontrol keamanan di Asia Pasifik lebih efektif dan efisien. Pangkalan militer

AS di Okinawa mempunyai nilai strategis karena letak kepulauan Okinawa di

Jepang sangat menguntungkan bagi kegiatan basis militer AS. Tujuan

membendung pengaruh komunis dan konflik di Asia Timur adalah bagian dari

upaya mencegah masuknya kekuatan-kekuatan komunis di wilayah Asia Pasifik.

Dalam hal ini, Okinawa (Jepang) dinilai sebagai daerah yang tepat bagi tentara

AS untuk kepentingan tersebut (Bimantara, 2012).

Tulisan Faris Bimantara ini membahas tema kerjasama militer AS-Jepang

yang merupakan tema yang sama dengan analisa penelitian yang akan dilakukan

Page 22: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

9

pada skripsi ini. Perbedaan skripsi tulisan Faris Bimantara dan penelitian skripsi

ini terletak pada fokus analisa penelitiannya. Penelitian Faris Bimantara

menganalisa secara detail tentang pengaruh Pangkalan Militer di Okinawa

terhadap hubungan bilateral keamanan AS-Jepang. Sedangkan skripsi ini

menganalisa kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan

dan keamanan Jepang. Kerangka pemikiran yang dipakai pada skripsi Faris

Bimantara yaitu konsep aliansi, kepentingan nasional dan power, perbedaan

dengan penelitian skripsi ini hanya pada konsep power yang tidak digunakan

dalam skripsi ini.

Skripsi kedua yang menjadi tinjauan pustaka pada penulisan skripsi ini

adalah skripsi oleh Satria Satya Nugraha (2014) mahasiswa Hubungan

Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “Dampak

Nasionalisasi Kepulauan Senkaku terhadap Hubungan Jepang – Cina 2012-2013".

Skripsi ini fokus utamanya pada konflik Kepulauan Senkaku antara Jepang dan

Tiongkok. Pada skripsi ini dijelaskan beberapa dampak yang membuat semakin

tegang hubungan Jepang – Tiongkok pasca tindakan Jepang melakukan

nasionalisasi Kepulauan Senkaku secara sepihak. Pada tulisan ini dijelaskan faktor

utama Jepang menasionalisasi Kepulauan Senkaku adalah karena strategisnya

wilayah Senkaku bagi militer Jepang dan kepentingan Jepang untuk menguasai

sumber daya alam di Kepulauan Senkaku (Nugraha 2014).

Persamaan skripsi Satria Satya Nugraha dengan tulisan skripsi ini adalah

analisa hubungan Jepang – Tiongkok atas konflik Kepulauan Senkaku. Perbedaan

antara skripsi Satria Satya Nugraha dan skripsi ini terdapat pada skripsi Satria

Page 23: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

10

Satya Nugraha yang melihat kepentingan Jepang pada Kepulauan Senkaku,

sedangkan penelitan pada skripsi ini melihat kepentingan AS pada transfomasi

militer Jepang, di mana konflik Kepulauan Senkaku hanya sebagai faktor

pendorong Jepang melakukan transformasi militer. Skripsi Satya Nugraha juga

menggunakan konsep kepentingan nasional seperti dengan penelitian skripsi ini.

Perbedaan kerangka pemikiran yang digunakan penulisan skripsi ini dengan Satya

Nugraha pada penggunaan konsep Sengketa Internasional.

Kemudian skripsi dari Mahasiswi FISIP Jurusan Hubungan Internasional,

Universitas Indonesia tahun 2008 yang bernama Rosy Handayani, dengan judul

“Transformasi Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin (1990-2007)”. Skripsi

Rosy Handayani ini merupakan bentuk penelitian dengan tema yang lebih detail

membahas masalah perubahan pertahanan dan keamanan Jepang dengan

periodisasi yang cukup panjang, yaitu pasca Perang Dingin sampai era modern

Jepang tahun 2007. Dalam penelitian ini Rosy Handayani melihat kebijakan

strategis Jepang pasca Perang Dingin (1990-2007) sebagai bentuk adaptasi Jepang

terhadap tuntutan internal dan eksternal negaranya. Rosy Handayani juga

menyatakan bahwa Jepang memandang adanya indikasi dari negara-negara di

sekitar untuk mengembangkan pertahanan negara mereka. Dalam

mempertimbangkan masalah keamanan Jepang perlu juga mempertimbangkan

kondisi Jepang yang ada, termasuk di dalamnya keterbatasan Jepang dalam

masalah strategi militer (Handayani 2008).

Terdapat perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan penelitian yang

dilakukan Rosy Handayani, yaitu penelitian pada skripsi ini lebih fokus pada

Page 24: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

11

kepentingan nasional Amerika Serikat dibalik perubahan signifikan Jepang dalam

bidang pertahanan. Momentumnya saat Jepang mengeluarkan kebijakan

perubahan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan, serta saat

white paper Jepang pada tahun 2010 yang mengeluarkan kebijakan berupa The

National Defense Program Guidelines (NDPG) yang tentu pada penelitian Rosy

Handayani belum tercantum. Berbeda dengan skripsi ini, Rosy Handayani

menggunakan konsep Security Dilemma dan Deterrence dalam penulian

skripsinya.

Selanjutnya tulisan oleh Robyn Lim (2002) yang berjudul “Limits of U.S.-

Japan alliance” dalam jurnal Far Eastern Economic Review Volume 165, dalam

tulisan ini dijelaskan bagaimana aliansi militer AS-Jepang memiliki kelemahan

karena Jepang masih bersandar pada Konstitusi 1947 yang melarang Jepang untuk

terlibat dalam aktivitas menggunakan militer. Dalam tulisan ini juga dijelaskan

bahwa AS harus melakukan strategi deterrence terhadap Tiongkok dan Korea

Utara walaupun aliansi militer bersama Jepang dinilai masih kurang dari beberapa

segi, seperti unit senjata militer, doktrin militer dan perjanjian militer yang masih

lemah. Lim mengatakan masih perlu adanya perbaikan dalam kerjasama militer

AS-Jepang dalam merespon Tiongkok dan Korea Utara (Lim 2002).

Perbedaan rujukan ini dengan skripsi Rosy Handayani terdapat pada

periode penelitian, di mana tulisan ini meniliti pada tahun 2002 yang memang

belum terjadinya revisi Security Consultative Commitee atau SCC antara AS-

Jepang. Sedangkan penelitan skripsi ini pada periode 2006-2012, aliansi militer

AS-Jepang telah merevisi Joint Statement aliansi pada 2005, 2006, 2012. Revisi

Page 25: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

12

tersebut memperbaiki perjanjian sebelumnya dengan mengadakan unit senjata

militer yang lebih banyak, doktrin militer yang lebih dinamis serta beberapa

penambahan pangkalan militer aliansi.

Kemudian, tulisan dari Young June Park (2010) yang berjudul Japan’s

National Defense Program Guidelines 2010 dalam The East Asia Institute Journal

Vol. 56, menjelaskan jika Jepang telah mengubah doktrin militer dengan

mengeluarkan white papar dalam National Defense Program Guidelines atau

NDPG pada tahun 2010. Park mengatakan Jepang secara tidak langsung telah

mengabaikan Pasal 9 Konstitusi 1947 yang mana mengatur Jepang agar tidak

terlibat dalam penggunaan kekuatan militer. NDPG 2010 berisi bahwa doktrin

militer Jepang berubah dari “Basic Defense Force Concept” menjadi “Dynamic

Defense Force”, yang berarti Jepang harus lebih aktif dalam kegiatan intelijen,

pengawasan dan pengintaian. Militer Jepang dituntut lebih aktif dengan

menjalankan serangkaian operasi militer agar lebih siap dalam menghadapi

ancaaman baik ancaman tradisional maun non-tradisional (Park 2010).

Tulisan Park (2010) lebih berfokus pada perubahan doktrin militer Jepang,

walaupun terdapat analisa mengenai dampak perubahan tersebut pada kawasan

Asia Timur. Young June Park juga tidak banyak menjelaskan mengenai

kesepakatan aliansi militer AS-Jepang pada tahun 2010. Sementara skripsi ini

lebih melihat bagaimana kepentingan AS pada kawasan Asia Timur dalam

mendorong perubahan kebijakan militer Jepang, termasuk juga doktrin militernya.

Terdapat juga penjelasan mengenai perbuahan doktrin militer Jepang yang

dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut. Menurut

Page 26: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

13

penelitan skripsi ini AS sangat besar dalam mempengaruhi perubahan doktrin

militer Jepang sehingga pada tahun 2010 dikeluarkan NDPG baru.

Rujukan yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Namzariga

Adamy seorang pengamat kawasan Asia Timur, tulisannya yang berjudul

“Kebijakan Peacekeeping Operation Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan

Terhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin.”

Dengan dipicu oleh peristiwa Perang Teluk, Jepang melakukan re-orientasi

terhadap kebijakan politik luar negerinya dengan mengirim pasukan untuk

berpartisipasi dalam PKO PBB di Kamboja. Peristiwa ini merupakan peristiwa

yang sangat penting karena pertama kalinya Pasukan Bela Diri Jepang dikirim ke

luar negeri sejak Perang Dunia II. Menurut Azami, penting menekankan agenda

keamanan nasional (national security) suatu negara, kemampuan milliter (military

capability) dan suatu perimbangan kekuatan (balance of power) sebagai elemen

utama dalam memelihara stabilitas politik internasional (Adamy 2004).

Tulisan Adamy secara detail menjelaskan bagaimana peran militer Jepang

pada level internasional. Perbedaan karya Adamy dengan skripsi ini terdapat pada

fokus utama di mana karya Adamy hanya pada periode Jepang mengirim Pasukan

Perdamaian Internasional ke Kamboja, sedangkan skripsi ini menggambarkan

secara umum transformasi militer yang dilakukan Jepang dan kepentingan AS

sebagai mitra aliansi Jepang. Kerangka pemikiran karya Adamy menggunakan

konsep Ballance of Power yang berbeda dengan skripsi ini, tetapi persamaannya

Adamy dan penelitain skripsi ini sama-sama menggunakan konsep kepentingan

nasional.

Page 27: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

14

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Kepentingan Nasional

Konsep kepentingan nasional sangat penting dalam menjelaskan dan

memahami perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar

dalam menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara (Art & Jervis 2007).

Kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor

penentu yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara secara khas

atau berbeda dengan negara lain. Selain itu, kepentingan nasional merupakan

unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara paling vital seperti pertahanan,

keamanan, militer dan kesejahteraan ekonomi (Art & Jervis 2007).

Dalam menjelaskan konsep kepentingan nasional seperti yang dikatakan

oleh Daniel S. Papp dalam bukunya Contemporary International Relations (1997)

dapat digunakan beberapa kriteria antara lain kriteria ekonomi, ideologi, dan

militer. Pertama, kriteria ekonomi dapat dijadikan dasar dalam menjelaskan

kepentingan nasional. Artinya setiap kebijakan yang memperkuat perekonomian

suatu negara dapat dianggap sebagai suatu kepentingan nasional. Meningkatkan

neraca perdagangan suatu negara, memperkuat industri, minyak dan gas dianggap

sebagai suatu kepentingan nasional. Kedua, ideologi di mana kebanyakan negara

baik secara formal maupun non formal menggunakan ideologi untuk memberikan

legitimasi kepada kebijakan mereka. Bagi beberapa negara, faktor ideologi

mempengaruhi kepentingan nasional. Ketiga, faktor militer, bahwa tanggung

jawab utama dari sebuah negara adalah memberikan keamanan kepada warga

Page 28: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

15

negaranya. Sehingga militer menjadi penting untuk kepentingan pertahanan dan

keamanan sebuah negara (Papp 1997).

Berdasarkan pernyataan diatas, kepentingan nasional dapat mempengaruhi

power dan militer sebuah negara sehingga dapat menjadi lebih kuat dan besar.

Oleh karena itu, Waltz (1979) menunjuk kepentingan nasional berdasarkan

definisi power, artinya bahwa posisi power yang harus dimiliki negara merupakan

pertimbangan utama yang memberikan bentuk kepada kepentingan nasional.

Konsekuensi dari pemikiran tersebut adalah bahwa suatu tujuan nasional harus

diukur menggunakan tolak ukur posisi power negara. Lebih lanjut dalam

pemikiran Waltz, dijelaskan bahwa kepentingan nasional merupakan produk-

politik (perilaku atau kebijakan negara), dengan jalan mengamati unit-unit atau

bagian-bagian yang membentuk sistem. Semua yang terjadi dalam politik

internasional dalam kerangka Neorealism harus dijelaskan dengan melihat

perilaku dan hubungan antar unit dalam sistem (Burchil 1996).

Kepentingan nasional diakui sebagai konsep kunci dalam politik luar

negeri. Artinya, bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri dapat

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis atau atas pertimbangan

kepentingan (Burchil 1996, h.106). Kepentingan dan ideologis menjalin hubungan

timbal balik dan saling mempengaruhi untuk membuat suatu kebijakan.

Kepentingan nasional selalu berkaitan erat dengan keamanan, kesejahteraan, dan

juga power (Steans & Pettiford 2001, h.20). Kepentingan nasional adalah

kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh sebuah negara untuk menjaga

kelangsungan hidup negara dan keamanan yang dihadapkan pada suatu politik

Page 29: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

16

internasional (sebagai arena persaingan), serta untuk mencapai pertumbuhan

kekayaan, ekonomi dan kekuasaan suatu negara (Stean & Pettiford 2001).

Dari berbagai definisi tentang konsep kepentingan nasional, dalam skripsi

ini akan dilihat bagaimana kepentingan nasional Amerika Serikat pada Jepang

dalam cakupan kawasan Asia Timur. Amerika Serikat memiliki kepentingan

terhadap kawasan ini, maka dari itu Jepang merupakan kunci utama bagi AS

untuk tetap menjadi hegemon di kawasan Asia Timur. Apalagi dengan

kebangkitan militer Tiongkok yang berideologi berbeda dengan AS, menjadikan

AS semakin gencar melakukan aliansi militer dengan Jepang. Jadi dalam

penulisan skripsi ini pertanyaan utama yang akan dijawab pada bab - bab

berikutnya adalah mengenai kepentingan nasional AS dalam mendorong Jepang

melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan sebagai respon

terhadap peningkatan kekuatan militer Tiongkok dan kepemilikan nuklir Korea

Utara.

1.5.2 Konsep Aliansi

Menurut Stephen M. Walt (1985) dalam tulisan Alliance Formation and

the Ballance of World Power dengan teori terkenalnya ballance of threat, aliansi

merupakan upaya negara bergabung dengan negara lain untuk menangkal

ancaman bersama. Strategi yang aman yaitu bergabung dengan pihak yang

mempunyai kepentingan terhadap ancaman bersama. Walt memberikan istilah

balancing yaitu upaya menyatukan kapabilitas kekuatan dengan pihak lain untuk

mengimbangi ancaman bersama. Ada alasan utama bagi negara untuk melakukan

balancing yaitu jika negara tidak melakukan balancing, maka negara tersebut

Page 30: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

17

mempunyai resiko untuk menerima dampak dari ancaman negara yang dianggap

dapat mengancam. (Walt 1985). Dalam skripsi ini dibahas mengenai AS dan

Jepang melakukan aliansi karena menganggap kekuatan Tiongkok dan Korea

Utara sebagai ancaman bersama. Aliansi AS dan Jepang digunakan untuk

melakukan balancing atau mengimbangi kekuatan terhadap ancaman militer dari

kedua negara tersebut.

Semakin kuatnya hubungan aliansi militer AS-Jepang dikarenakan

keadaan security dilemma di kawasan yang dibuat oleh Tiongkok dan Korea Utara

seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Robert Jervis (1978) dalam

tulisan Cooperation under the Security Dilemma, semakin besar peningkatan

militer suatu negara dapat menimbulkan kekhawatiran yaitu rasa tidak aman yang

besar juga pada negara di sekitarnya. Strategi offense-defense dari Robert Jervis

(1978) menjelaskan dalam keadaan security dilemma negara yang merasa

terancam memiliki dua pilihan untuk merespon negara yang mengeluarkan

ancaman, yaitu dengan bertindak menyerang langsung (offense) atau bertahan

(defense) dengan memperkuat militernya (Jervis 1978).

Pada penelitian skripsi ini, AS yang merasakan kekhawatiran terhadap

perkembangan militer Korea Utara dan Tiongkok dan memilih merespon dengan

cara bertahan (defense) dengan menggunakan strategi extended deterrence.

Extended deterrence menurut Justin V. Anderson dan Jefrey A. Larsen (2013)

dalam tulisan “Extended Deterrence and Allied Assurance: Key Concepts and

Current Challenges for U.S. Policy”, merupakan sebuah strategi militer suatu

negera, yaitu dengan membangun kekuatan militer pihak ketiga yang merupakan

Page 31: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

18

mitra aliansi. Kekuatan dibangun untuk melindungi pihak ketiga dari ancaman

sekaligus kekuatan militer yang dibangun digunakan sebagai alat provokasi pada

pihak lawan (Anderson & Larsen 2013, h.5).

Pada skripsi ini AS memberikan perlindungan Jepang pada hubungan

aliansi militer AS-Jepang dari ancaman militer Tiongkok dan nuklir Korea Utara.

Kekuatan aliansi militer AS-Jepang yang semakin juga digunakan sebagai alat

untuk menghalangi (to deter) kekuatan Tiongkok dan Korea Utara. Strategi

extended deterrence yang dipilih AS karena kawasan ini berjarak jauh dengan

wilayah teritori AS. Meningkatkan kekuatan aliansi militer bersama Jepang

merupakan pilihan yang tepat bagi AS untuk mengamankan kepentingan AS pada

kawasan ini.

1.5.3 Kebijakan Luar Negeri

Menurut Kenneth Waltz (1967) dalam tulisannya “Foreign Policy and

Democratic Politics: The American and British Experience”, tidak ada tempat

bagi pembuat kebijakan luar negeri dalam pandangan Waltz yang bebas dari

struktur sistem. Sistem internasional membentuk cara negara berprilaku dan

berinteraksi, termasuk dalam membuat kebijakan luar negeri. Bagi Waltz,

bagaimanapun juga, kepentingan nasional terlihat beroperasi seperti sebuah sinyal

otomatis yang memerintah para pemimpin negara ketika dan kapan harus

bergerak. Pemimpin negara akan secara otomatis mengambil Kebijakan Luar

Negeri berdasarkan kepentingan nasional yang dipengaruhi sistem (Waltz 1967).

Gambaran Waltz pada pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan luar negeri

hampir menyerupai gambaran mekanis yang mana pilihan-pilihan mereka

Page 32: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

19

dibentuk oleh hambatan-hambatan struktural internasional yang mereka hadapi,

seperti ditekankan pada perkataan Waltz berikut:

“Kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur; kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara; keberhasilan adalah ujian terakhir dari kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat negara. Hambatan-hambatan struktural pada sistem menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaaan-perbedaan dalam diri manusia dan negara-negara yang menggunakannya” (Waltz 1979).

Kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan

aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan

eksternalnya. Kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan

mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Lebih lanjut, menurut Rosenau,

apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan memasuki

fenomena yang luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal (internal life) dan

kebutuhan eksternal (eksternal needs) termasuk didalamnya adalah kehidupan

internal dan eksternal seperti aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik,

kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan

memelihara identitas sosial, hukum, dan geografi suatu negara sebagai negara-bangsa

(Yani 2007).

Pada penelitian skripsi ini, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar

negeri dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.

Kebijakan AS dalam membentuk hubungan aliansi militer bersama Jepang

merupakan bentuk kebijakan luar negeri AS terhadap lingkungan eksternal (Jepang).

Kebijakan luar negeri AS terkait dengan bentuk kerjasama aliansi bersama Jepang

Page 33: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

20

tersebut, merupakan dalam rangka merespon persepsi ancaman kekuatan Tiongkok

dan Korea Utara (pengaruh sistem internasional). Termasuk juga dengan kebijakan

luar negeri AS yaitu “the Pivot to Asia” yang dipengaruhi oleh kekuatan militer

Tiongkok dan Korea Utara. Perkembangan pesat militer Tiongkok dan Korea Utara

mempengaruhi stabilitas kawasan Asia Timur yang berdampak pada kekhawatiran

AS dan Jepang.

1.5.4 Teori Defensive Structural Realism

Menurut John J. Mearsheimer (2007), teori structural realism menjelaskan

bahwa untuk memperoleh kekuasaan adalah hal yang terpenting bagi teori ini dalam

sistem politik internasional. Hal yang membedakan antara realisme klasik dengan

structural realism disini adalah jika realisme klasik akan memandang itu sebagai

kebutuhan dasar manusia yang pada hakekatnya selalu haus akan kekuasaan. Namun

structural realism disini berpendapat bahwa sifat manusia tidak ada hubungannya

dengan mengapa negara ingin berkuasa. Bahwa ini hanyalah sebuah strukturisasi

dalam sistem internasional lah yang akhirnya memaksa suatu negara untuk

memperoleh kekuasaan itu sendiri. Serta mempertahankan diri dengan membangun

kekuatan pertahanan yang kuat merupakan pilihan yang penting bagi suatu negara

untk bertahan (defense) dari pengaruh sistem internasional. Istilah “defensive

structural realism” inilah yang menjelaskan perilaku negara yang memilih strategi

bertahan (defense) dengan membangun pertahanan yang kuat atau menciptakan

hubungan aliansi militer yang banyak (Mearsheimer 2007).

Teori defensive structural realism juga menjelaskan bahwa mengejar

hegemoni yang berlebihan itu hanyalah merupakan suatu bentuk ekspansi yang

berlebihan. Negara dalam mempertahankan hidupnya tidak harus mengejar

Page 34: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

21

kekuasaan, namun sebaliknya yaitu dengan mencapai jumlah kekuasaan yang

sesuai. Tujuan utama dari setiap negara menurut teori ini adalah untuk tetap

survive atau bertahan (defense) sebagai sebuah negara. Sebagaimanapun

banyaknya tujuan-tujuan baik secara politik, sosial, ekonomi, keamanan dan

pertahanan sebuah negara tetap tujuan utamanya adalah untuk bertahan hidup.

Teori ini percaya bahwa dengan membatasi diri adalah solusi yang sesuai.

Defensive structural realism percaya jika ada satu negara yang terlalu

memaksimalkan power dan hegemoninya, hal ini justru akan memicu negara-

negara lain untuk beraliansi dan berusaha untuk menandingi hegemoni yang

dicapai negara tersebut (Mearsheimer 2007).

Pada penelitian skripsi ini, Tiongkok dan Korea Utara memaksimalkan power

dengan menjadi ancaman di kawasan Asia Timur yang berdampak pada kekhawatiran

aliansi AS-Jepang. Skripsi ini berfokus pada level analisis sistem, dimana sistem

internasional telah memaksa aliansi AS-Jepang memperkuat kekuatan militernya dan

pada akhirnya AS mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.

Sebagaimana yang telah dijelaskan teori defensive structural realism, pada skripsi

ini aliansi AS-Jepang memilih strategi bertahan (defense) dengan membangun sistem

pertahanan yang kuat dalam rangka untuk merespon perkembangan militer Tiongkok

dan senjata rudal nuklir Korea Utara.

1.6 Metode Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan

kualitatif. Menurut John W. Creswell (1994) dalam buku yang berjudul Research

Design: Qualitative and Quantitative Approaches, penelitian kualitatif adalah

Page 35: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

22

suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial

dan masalah manusia, merupakan penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif

dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Pendekatan

kualitatif untuk menunjang fakta yang terjadi dan dengan teori dapat menganalisa

fenomena tersebut (Creswell 1994).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif

analitis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran dan analisa berbagai situasi

yang menjadi bagian dari permasalahan yang ingin diteliti secara sistematis.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menghubungkan teori dengan data-data yang didapatkan melalui riset

perpustakaan (library research), yaitu dari perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta serta perpustakaan Universitas

Indonesia. Data-data tersebut didapatkan dari buku-buku, jurnal, majalah, surat

kabar dan sumber lainnya (document analysis). Selain itu, dalm skripsi ini juga

menggunakan sarana internet dalam proses pengumpulan data yang berkaitan dan

relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah

terkumpul data–data dianalisis dengan teori dan konsep yang digunakan sehingga

menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini.

1.7 Sistematika Penulisan

Dalam penelitan ini skripsi ini dengan membagi menjadi lima bab, yang

mana pada tiap bab memiliki inti penjelasan tersendiri. Berikut jabaran dari tiap

bab pada penelitian ini:

BAB I: PENDAHULUAN:

Page 36: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

23

1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Pertanyaan Penelitian 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4 Tinjauan Pustaka 1.5 Kerangka Pemikiran 1.6 Metode Penelitian 1.7 Sistematika Penulisan

BAB II: KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012

2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan

Jepang 2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 - 2012

BAB III: PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012

3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang

3.1.2 Teknologi Militer Jepang 3.1.3 Tujuan Penggunaan Kekuatan Militer

BAB IV : KEPENTINGAN AS DALAMMENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG

4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri AS 4.2 Faktor Penyebab AS Mendorong Perubahan Kebijakan

Pertahanan dan Keamanan Jepang 4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok 4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara

4.3 Kepentingan Amerika Serikat terhadap Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur 4.3.2 Extended Deterrence terhadap Kekuatan Militer Tiongkok

dan Korea Utara 4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan di Kawasan Asia Timur

BAB V : KESIMPULAN

Page 37: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

24

BAB II KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN

JEPANG 2006 – 2012

Pada latar belakang telah dijelaskan bahwa Amerika Serikat berkomitmen

untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama politik internasional,

dikarenakan Amerika Serikat menempatkan kawasan Asia Timur sebagai prioritas

utama dalam kepentingan nasional mereka pada kawasan Asia Timur. Bab

sebelumnya juga menjelaskan secara singkat latar belakang dari perubahan

kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah dan bentuk kerjasama

keamanan Amerika Serikat dan Jepang. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian,

pertama sejarah singkat kerjasama keamanan AS-Jepang pada masa awal pasca

Perang Dunia II sampai tahun 2005, dan kedua kerjasama keamanan AS-Jepang

pada masa dari awal Jepang melakukan modernisasi militer sampai revisi terakhir

aliansi militer AS-Jepang (2006-2012).

2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan AS - Jepang

Kekalahan yang dialami Jepang pada Perang Dunia II memaksa Jepang

menandatangani perjanjian kesepakatan yang berisi bahwa Jepang dikuasai

Amerika Serikat untuk sementara waktu. Perjanjian ini berdampak pada campur

tangan AS untuk kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang yaitu pasal 9

Konstitusi 1947 (Irsan 2005).

Page 38: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

25

Di bawah Konstitusi 1947, AS memaksa Jepang untuk tidak memiliki

kekuatan militer dan memulai suatu pola yang secara jelas membagi ekonomi dan

politik (Maswood 1990). Menurut Hikmahanto Juwana (1993) dalam tulisan yang

berjudul Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia,

masalah pertahanan dan keamanan Jepang bersandar pada Amerika Serikat.

Amerika menempatkan sejumlah pasukannya di Jepang untuk memelihara tatanan

dan mempertahankan Jepang dari serangan luar. Jepang lebih fokus pada

pembangunan ekonomi domestik negara daripada kebijakan pertahanannya.

Jepang menyerahkan masalah pemeliharaan keamanannya kepada Amerika

Serikat dalam sebuah perjanjian keamanan Jepang - Amerika Serikat tahun 1951

di San Francisco (Juwana 1993).

Perjanjian San Francisco tahun 1951 mengakhiri konsekuensi dan segala

urusan pada Perang Dunia II, serta adanya pembicaraan langkah awal mengenai

aliansi militer AS dan Jepang. Sekitar 10 tahun kemudian U.S – Japan Mutual

Security Treaty ditandatangani. Pada tahun 1960 perjanjian ini direvisi sehingga

berubah nama menjadi Treaty of Mutual Cooperation and Security (Japan

Ministry of Defense 2007). Perjanjian militer ini memberikan hak untuk AS

mendirikan pangkalan militer di wilayah Okinawa sebagai komitmen dalam

memenuhi janji AS menjaga pertahanan Jepang. Di bawah ini peta dari

pangkalan militer AS di Okinawa.

Page 39: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

26

`Gambar 1: Pangkalan Militer AS di Okinawa pada Treaty of Mutual Cooperation and Security 1960

Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp diakses pada 15 Juli 2014

Pangkalan AS di Pulau Okinawa terletak tepat di tengah-tengah wilayah

yang sangat padat. Misalnya, Kota Kadena telah dipakai untuk Air Base Military

(Pangkalan Militer Angkatan Udara). Pangkalan militer AS di kota ini telah

mengambil 83% dari lahan Kota Kadena, dan menyisakan 17 % untuk warga di

kota itu. Adapun daerah di Okinawa yang dijadikan tempat bagi pangkalan militer

AS adalah Futenma Air Station, Kadena Air Base, Camp Hansen, Camp Schwab,

Henoko, Stasiun Komunikasi Tori (Kodansha Encyclopedy of Japan 1983).

Pada masa Perang Dingin strategi AS untuk terus membendung kekuatan

komunis Uni Soviet adalah dengan sebanyak banyaknya membentuk aliansi.

Jepang dijadikan sekutu aliansi oleh AS karena untuk membantu menangkal

Page 40: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

27

kekuatan Soviet. Pada awal aliansi AS-Jepang terbentuk, 50.000 anggota angkatan

perang AS ditempatkan di Jepang termasuk 2.600 personil Angkatan Darat,

21.000 Marinir (dengan wing udara dan kapal amphibi), dan 230 pesawat tempur

Angkatan Udara ditempatkan pada pangkalan militer di Okinawa (Karismaya

2013).

Kapabilitas teknologi dan perindustrian canggih yang dimiliki Jepang

merupakan hasil dari pemanfaatan teknologi militer yang diperoleh dari AS sejak

1960-an. Pertukaran teknologi dengan AS bagi Jepang merupakan suatu upaya

untuk mendapatkan keuntungan lain dari bentuk aliansi militer. Jepang berhasil

menyerap teknologi militer melalui lisensi produk persenjataan AS, yang

dilandasi the Mutual Defence Assistance Agreement tahun 1954 (Rosa 2008).

Sejak itu, Amerika Serikat dan Jepang semakin menjalin hubungan militer yang

kuat.

Pada tahun 1970 kerjasama militer AS-Jepang mengalami peninjauan

kembali, hal yang terpenting dari revisi perjanjian ini adalah diberlakukannya

anggaran militer Jepang sebesar 1% dari APBN. Sebelumnya, Jepang hanya

diperbolehkan mengeluarkan anggaran militer di bawah 1% dari APBN. Hal ini

menandakan bahwa AS mulai meminta Jepang untuk mengubah kebijakan

pertahanan agar lebih mandiri dan tidak secara berlebihan berlindung pada payung

militer AS (Akaha 1990).

Ketika Perang Dingin berakhir pada awal 1990an, Perjanjian Keamanan

Jepang-AS mulai melemah, hal ini memunculkan gagasan untuk mencari bentuk

baru dari perjanjian Jepang-AS. Pada 17 April 1996 akhirnya Jepang dan AS

Page 41: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

28

memperbaharui perjanjian keamanannya dengan menandatangani Japan-US Joint

Declaration on Security—Alliance for the Twenty-First Century. Sebagai bagian

dari kesepakatan ini, kedua negara setuju untuk meninjau kembali Guidelines for

Japan-US Defense Cooperation yang pernah disepakati pada tahun 1978 (Japan

Ministry of Defense 2007).

Adanya Joint Statement pada tahun 1997, menciptakan landasan yang

solid untuk kerjasama Jepang-AS baik dalam keadaan keamanan Asia Timur yang

normal maupun tidak menentu. Ada tiga prinsip dasar yang dihasilkan dari Joint

Statement ini, yaitu: pertama, hak dan kewajiban dalam The Japan-U.S Treaty of

Mutual Cooperation and Security dan perjanjian-perjanjian lainnya tidak akan

berubah; kedua, kerangka dasar kerjasama aliansi Jepang-AS tidak akan berubah;

ketiga Jepang akan bertindak sesuai dengan batasan dalam konstitusinya (East

Asia Strategic Review 2000).

Pada November 2003, Pertemuan Jepang-AS diadakan di Tokyo yang

dihadiri Menteri Pertahanan, Shigeru Ishiba dan Menteri Pertahanan AS, Donald

Rumsfeld. Pada pertemuan tersebut, keduanya mendiskusikan masalah-masalah

penting, seperti kerjasama pertahanan Jepang-AS, peningkatan militer Tiongkok,

dan masalah nuklir Korea Utara. Ishiba dan Rumsfeld setuju bahwa kedua negara

perlu meningkatkan kerjasama tidak hanya di kawasan tetapi juga pada masalah

keamanan global (Morrison 2003, h.49).

Pada tanggal 29 Oktober 2005, AS-Jepang dalam Security Consultative

Committee (SCC) menyetujui rekomendasi untuk penataan kembali pasukan AS

di Jepang. AS dan Jepang bersama meningkatkan keamanan nasional negaranya

Page 42: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

29

berdasarkan Joint Statement tahun 1997, yang secara bersama menjaga keamanan

dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik dan menghalau segala kemungkinan

terjadinya penyerangan terhadap AS (Irsan 2007). Berikut gambaran kekuatan

persenjataan aliansi AS-Jepang yang mengalami perubahan dari tahun 1996 yaitu

awal pemasukan senjata sampai dengan tahun 2005.

Tabel 1: Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1996 – 2005

Kekuatan

Militer

Tahun

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Tank 25 56 52 52 56 30 26 20 50 100

Artillery Piece - 68 61 49 49 50 67 67 80 90 Armored Personel

35 45 61 60 71 73 9 13 300 400

SSM - 6 16 16 16 16 8 8 4 4 Anti Tank Helicopter

- 8 8 8 8 9 8 6 4 6

Transport Helicopter

- 4 5 5 5 3 3 3 3 3

Surface to air quided missile

- 1 1 1 2 2 3 3 4 5

Destroyer - 3 2 1 3 2 3 3 6 7 Submarine - 1 1 1 1 1 2 3 17 17 Fixed wing

anti-submarine patrol aircraft

(P-3c)

10

10 9 9 10 8 7 9 14 15

Anti Submarine 16 13 17 12 12 11 5 7 6 6 Minessweeping

Helicopter 2 4 4 2 4 4 1 4 5 7

Fighter Interceptor (F-

15)

10 12 12 12 11 5 7 7 12 27

Transport Helicopter (CH-47 J)

3 3 2 3 4 5 6 6 12 23

Transport Aircraft

1 2 4 4 5 6 7 8 8 20

Page 43: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

30

Sumber: Japan Ministry of Defense diakses pada 2 November 2014 dan International Military And Defence Encyclopedia oleh Trevor N. Dupuy

Dari data diatas dapat ditarik beberapa kenyataan bahwa aliansi AS-Jepang

tiap tahun mengalami kenaikan persenjataan dan armada tempur, guna

menghadapi serangan musuh. AS dalam hal ini mengakomodasi dan

memodernisasi alat-alat tempur Jepang yang telah dikontrol oleh AS, guna

menjaga keberlanjutan kerjasama AS-Jepang di Asia Pasifik (Sinaga 2007).

Kekuatan militer Jepang memang tidak sekuat negara-negara lain di Asia Timur.

Akan tetapi keberadaan Amerika Serikat di Okinawa sebagai payung militer,

membuat kekuatan Jepang disegani dan ditakuti oleh banyak negara pasca Perang

Dingin (Irsan 2007).

Pasca SCC 2005 hubungan aliansi militer AS-Jepang semakin kuat,

dengan ditandai banyak masuknya persenjataan militer. Realisasi dari kesepakatan

aliansi militer AS-Jepang terlihat pada periode ini. Berawal pada tahun 1996

senjata militer banyak didatangkan, hingga pada tahun 2005 senjata militer

konsisten bertambah untuk kepentingan aliansi militer. Walaupun beberapa tahun

terjadi penurunan jumlah unit persenjataan pada hubungan aliansi militer AS-

Jepang, tetapi periode ini merupakan awal dari masa efektifnya aliansi militer AS-

Jepang. Tahun 2006, Aliansi Keamanan AS-Jepang memasuki periode baru

ditandai dengan transformasi militer yang dilakukan Jepang pada tahun 2006-

2007.

Page 44: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

31

2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat – Jepang Periode 2006 – 2012

Percobaan senjata nuklir Korea Utara di tahun 2006, membuat terjadi

adanya pembicaraan pada aliansi AS-Jepang. Pemerintahan Bush memasukkan

Korea Utara ke dalam daftar hitam negara – negara yang dinilai dapat mengancam

kestabilan sistem internasional. Amerika Serikat meminta Jepang untuk

membantu terlibat kembali dalam Deklarasi Pyongyang (Avery & Rinehart

2013). Provokasi peluncuran senjata nuklir oleh Korea Utara menjadi salah satu

faktor pendorong bagi Jepang dalam mengubah kebijakan pertahanan dan

keamanan negara, salah satunya dengan dibentuknya Kementerian Pertahanan

pada tahun 2007 (Xu 2014).

Kunjungan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi ke White House

disambut baik oleh Presiden George W. Bush pada 29 Juni 2006. Kunjungan ini

dalam rangka merayakan ikatan persahabatan AS-Jepang. Dalam pertemuan ini,

kedua pihak juga mengingat dan mengevaluasi pencapaian yang didapat dari

aliansi AS-Jepang ini, serta kemungkinan adanya perluasan dan penambahan

bentuk kerjasama lain (Japan Ministry of Defense 2007). Pada pertemuan ini

kedua pihak sepakat untuk terus berkomitmen dalam aliansi berdasarkan nilai –

nilai keamanan universal dan kepentingan bersama.

Jepang dan Amerika Serikat kemudian menyepakati Initial Actions for the

Implementation of the Joint Statement pada 13 februari 2007 dan difokuskan

kepada masalah Korea Utara. Terdapat lima hal penting dari tujuan strategis

bersama yang disepakati kedua pihak, yaitu: (Sinaga 2007)

Page 45: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

32

Pertama mencapai denuklirisasi Korea Utara melalui Six-Party Talks dan

memperhatikan normalisasi hubungan Korea Utara, Amerika Serikat dan Jepang.

Menyadari kontribusi Tiongkok dalam keamanan regional dan global serta

mendorong Tiongkok untuk meningkatkan transparansi dalam anggaran

militernya. Kedua meningkatkan kerjasama untuk memperkuat kerjasama dalam

APEC sebagai forum ekonomi regional yang memiliki peran penting dalam

mencapai stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di kawasan. Ketiga mendukung

usaha ASEAN dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pemerintahan yang

baik, aturan hukum, kebebasan, dan ekonomi pasar di Asia Tenggara, serta

membangun kerjasama regional pada isu-isu keamanan tradisional dan

transnasional secara bilateral melalui ASEAN Regional Forum. Keempat

memperkuat kerjasama trilateral antara Jepang, Amerika Serikat, dan Australia

termasuk dalam hal keamanan dan pertahanan berdasarkan nilai-nilai demokrasi.

Kelima, mencapai kerjasama yang lebih erat antara Jepang dan NATO mengingat

NATO memberikan kontribusi global bagi perdamaian dan keamanan serta tujuan

strategis dalam aliansi Jepang dan Amerika Serikat.

Kemudian penerapan dari Joint Statement 2007 yaitu proses relokasi

militer dari Okinawa ke Guam baru ditandatangani pada tahun 2009, di mana

8000 pasukan marinir AS tersebut akan dipindah dari pangkalannya di Futenma,

Pulau Okinawa, Jepang, ke Guam, yang masih merupakan teritori AS (Kompas

2009). Keputusan tersebut memperlancar kesepakatan untuk mengorganisir

kembali hampir 50.000 pasukan Amerika Serikat yang berdiam di Jepang.

Relokasi pasukan di Jepang merupakan bagian dari upaya Amerika Serikat untuk

Page 46: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

33

mentransformasikan pasukan militernya menjadi lebih modern (Moore 2008).

Relokasi akan mengurangi jumlah pasukan marinir Amerika Serikat di Okinawa,

sebuah wilayah paling miskin di Jepang, menjadi sekitar 7.000 dari 18.000

marinir yang ada saat ini. Target pada 2014 relokasi militer ini sepenuhnya

selesai. (Japan Ministry of Defense 2007)

Faktor penyebab utama pengurangan pasukan AS di Okinawa karena di

dalam negeri Jepang terjadi penolakan kehadiran pasukan Amerika Serikat.

Keberadaan pasukan Amerika Serikat di kepulauan Okinawa sudah lama menjadi

masalah kontroversial di dalam negeri. Warga lokal di Okinawa mengatakan

keberadaan Futenma sebagai pangkalan militer yang dekat dengan kota sangat

berbahaya dan bising. Warga ingin agar pangkalan tersebut dipindahkan ke pulau

lain. Selain membahayakan, di kawasan ini kerap terjadi tindak kriminal yang

dilakukan oleh personel militer Amerika Serikat, termasuk kasus pemerkosaan

yang dilakukan oleh tiga anggota militer Amerika Serikat terhadap seorang gadis

berusia 12 tahun pada 27 April 2009 (Tempo, 21 Agusutus 2009).

Warga Okinawa menginginkan semua fasilitas militer tersebut

dipindahkan keluar dari pulaunya. Bahkan Gubernur Okinawa mendesak Tokyo

merevisi Kesepakatan Status Pasukan (Status of Forces Agreement) yang

memberikan keleluasaan bagi pasukan AS dalam masalah-masalah hukum

(Kompas 2009). Faktor domestik Amerika Serikat juga mendorong pasukan

militer AS segera dipindahkan. Parlemen Amerika Serikat menekan Pemerintah

AS untuk segera merelokasi pasukan dari Okinawa atas nama HAM masyarakat

Okinawa (Moore 2008).

Page 47: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

34

Pada awal 2009 sejak Obama menjabat sebagai Presiden AS ada upaya

pendekatan dan penguatan hubungan aliansi keamanan secara bilateral dengan

negara-negara Asia Pasifik (Khairunissa 2013). Istilah rebalance policy yang

menggambarkan AS di Asia Pasifik yang baru, atau dikenal sebagai “The Pivot to

Asia” merupakan perubahan prioritas AS terhadap negara-negara di Asia. Hal

tersebut terlihat dari upaya AS menambah pasukan di kawasan Asia Pasifik dan

memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia. Tidak hanya itu,

AS juga mendorong negara-negara aliansinya untuk mengadopsi kebijakan yang

sama (The Foregin Policy Initiative 2014).

Anggota Security Consultative Comitee (SCC) AS-Jepang pada 28 Mei

2010 kembali mengeluarkan Joint Statement of the U.S.-Japan Security

Committee. Dalam pertemuan ini masalah – masalah yang telah dibicarakan pada

Joint Statement SCC 2007 kembali dibahas, seperti masalah relokasi militer dari

Okinawa ke Guam, mengkonstruksi ulang fasilitas militer di Henoko Saki, lebih

memikirkan dampak lingkungan dan dampak terhadap penduduk setempat (SCC

Joint Statement Document 2010).

Pada 21 Juni 2011 kembali dikeluarkan kesepakatan SCC yaitu Joint

Statement of the Security Consultative Committee Toward a Deeper and Broader

U.S.-Japan Alliance: Building on 50 Years of Partnership. Masalah yang dibahas

pada pertemuan dalam rangka setengah abad aliansi AS-Jepang ini berkaitan

dengan bencana alam yang terjadi pada Jepang yaitu pada 11 Maret 2011, gempa

bumi dan tsunami, serta keadaan darurat reaktor nuklir Fukushima. Kerja sama ini

melibatkan operasi gabungan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Pasukan

Page 48: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

35

Pertahanan Bela Diri Jepang (SDF) dan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat.

Hal ini telah memberikan keyakinan baru kepada aliansi ini untuk saling

membantu bila salah satu pihak tertimpa bencana (Japan Ministry of Defense

2007).

Usaha pembentukan Joint Force dalam aliansi kemudian direncanakan

akan dibicarakan pada pertemuan SCC berikutnya. Selanjutnya 27 April 2012

pertemuan SCC dilakukan oleh Menteri Pertahanan Leon Panetta dan Menteri

Luar Negeri Hillary Clinton dari AS, serta Jepang diwakili Menteri Pertahanan

Naoki Tanaka dan Menteri Luar Negeri Koichiro Genba. Pertemuan ini

menghasilkan Joint Statement of the Security Consultative Committee yang

intinya memperkuat aliansi bersama serta beberapa revisi terhadap kesepakatan

sebelumnya. Revisi tersebut diantaranya mengkomposisi ulang unit militer di

Okinawa, Guam, dan daerah luar Jepang lainnya, mengkonsolidasikan pangkalan

militer kembali ke Okinawa, membangun fasilitas militer kembali di Futenma,

dan mengembalikan pangkalan udara Kadena Selatan (SCC Joint Statement

Document 2012).

Kesepakatan bersama SCC pada tahun 2012 ini kemudian menghasilkan

beberapa pengaturan ulang terhadap kesepakatan SCC United States-Japan

Roadmap for RealignmentI Implementation yang pernah disepakati pada tahun

2006, untuk penempatan fasilitas militer di provinsi Okinawa dan beberapa

tempat di dalam negeri dan luar negara Jepang (Dupuy 2012). Beberapa

penempatan ulang unit militer pada provinsi Okinawa diantaranya: Marine Corps

Air Station (MCAS) di Futenma, Pelabuhan Naha, Markas Kuwae, Markas

Page 49: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

36

Zukeran di Futenma Barat, Daerah Perbaikan Makiminato, dan Pangkalan Udara

di Kadena Selatan. Selain itu revisi kesepakatan SCC ini juga berisi tentang

penambahan senjata dan unit militer seperti, penambahan armored vehicle,

missiles, mortar,rifle, grenade, howitzer, helicopter, Recon UAV, aircraft dan

sebagainya. Penambahan senjata ini dikarenakan beberapa pangkalan militer yang

baru dikembalikan di Okinawa membutuhkan fasilitas baru (SCC Joint Statement

Document 2012).

Berikut tabel penambahan senjata militer untuk aliansi setelah kesepakatan

SCC tahun 2012 dan peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena

Selatan, Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012.

Tabel 2: Daftar Penambahan Peralatan Militer setelah SCC Joint Statement 2012

Nama Alat Jumlah Unit Sebelum

Kesepakatan SCC 2012

Jumlah Unit Sebelum

Kesepakatan SCC 2012

Type 10 Main Battle Tank 10 53 Type 89 Infantry Fighting Vehicle 9 68 Maneuvr Combat Vehicle 4 103 Type 73 Armored Personnel Carrier 24 338 FH-70 Towed Howitzer 200 310 Chemical Reconnaussance Vehicle 5 47 Type 92 Mine Clearance Vehicle - 5 Bushmaster Protected Mobility Vehicle - 4 LR-2 Super King Aircraft - 7 Lr-1 MU-2 aircraft - 2 Bell Ah-1 Cobra 10 88 OH-6D Scout Helicopter 50

106

RT 120mm Heavy Mortar

50

430

L16 81mm Mortar

-

5

Page 50: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

37

Sumber: Japan Ministry of Defense dan International Military And Defence Encyclopedia oleh Trevor N. Dupuy

Dapat disimpulkan dari tabel di atas, aliansi militer AS-Jepang pada

kesepakatan SCC 2012 menghasilkan kebijakan aliansi untuk menambah jumlah

persenjataan yang ada dan menghasilkan pengadaan jenis senjata yang baru.

Selain itu Kesepakatan SCC 2012 juga menghasilkan beberapa keputusan untuk

mengembalikan beberapa markas militer yang sebelumnya pada 2009 telah

dihentikan sementara. Di bawah ini peta dari pangkalan udara AS di Kadena

Selatan.

Gambar 2: Peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena Selatan Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012

Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp diakses pada 20 September 2014

Type 91 Portable Air Missile 100 210

Page 51: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

38

Gambar diatas menjelaskan peta Kadena Selatan berdasarkan daerah mana

yang paling memenuhi syarat untuk dikembalikan fasilitas militernya setelah

perjanjian Futenma Replacement Facility atau FRF dan Joint Statement SCC

2012. Pengembalian wilayah pangkalan militer ini telah disetujui oleh Parlemen

Jepang. Dengan pengembalian wilayah ini membuktikan Okinawa siap kembali

menjadi tuan rumah dalam pangkalan militer aliansi (Japan Ministry of Defense

2012).

Dapat disimpulkan sejak Jepang melakukan tranformasi militer hingga

tahun 2012, hubungan militer AS-Jepang mengalami banyak sekali perubahan dan

revisi kesepakatan bersama. Pada tahun 2006 provokasi yang dilakukan Korea

Utara dalam meluncurkan senjata nuklir serta perkembangang pesat kekuatan

militer Tiongkok berdampak pada revisi yang banyak pada kesepakatan bersama

aliansi, di mana beberapa pertemuan SCC menghasilkan keputusan untuk terus

memperbaiki kinerja dari aliansi militer ini. Hubungan aliansi mulai mendapat

pertentangan dari internal Jepang saat munculnya isu perlakuan asusila dan

kriminalitas yang dilakukan para tentara AS di Okinawa. Hal ini berdampak pada

wacana pengurangan pasukan militer Amerika Serikat di Jepang bahkan adanya

wacana mengusir penuh.

Akan tetapi hubungan buruk ini tidak berlangsung lama, pada tahun 2009

melalui “The Pivot to Asia”, Presiden Obama memfokuskan Kebijakan Luar

Negeri AS pada kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Timur. Hal ini kemudian

direalisasikan pada tahun 2012 dengan mengeluarkan dokumen resmi Sustaining

US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense. Hal ini menjadikan

Page 52: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

39

Jepang sebagai mitra aliansi yang sangat penting untuk kepentingan AS

(Khairunissa 2013).

Hal ini merupakan bentuk penguatan aliansi AS-Jepang dalam

menghadapi kekuatan ancaman dari Tiongkok dan Korea Utara. Jepang sejak

tahun 2006 terus mengarahkan militernya untuk terus berkembang sangat

bergantung pada Amerika Serikat, karena dengan penguatan aliansi militer maka

militer Jepang mendapatkan pembelajaran strategi militer, teknologi militer yang

canggih serta pengelolahan militer yang baik (Avery & Reinhart 2013). Bagi

Amerika Serikat, Jepang adalah mitra aliansi yang penting demi kepentingan

mereka yang ingin terus mempunyai pengaruh di kawasan Asia Timur. Jepang

menjadi perpanjangan tangan AS untuk menyebarkan pengaruh dan nilai – nilai

demokrasi, liberalisme, kemerdekaan dan sebagainya serta menunjukkan power

untuk membendung paham komunis Korea Utara dan Tiongkok agar tidak

menyebar di kawasan Asia Timur (Dupuy 2012). Tetap menjadi kekuatan

hegemoni di Asia Pasifik menjadi prioritas utama pendekatan Kebijakan Luar

Negeri AS di era Presiden Obama. Untuk itu memperkuat aliansi militer bersama

Jepang secara konsisten merupakan langkah penting bagi Amerika Serikat.

Page 53: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

40

BAB III PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN

KEAMANAN JEPANG 2006 -2012

Pada Bab II telah dijelaskan sejarah dan bentuk kerjasama keamanan dan

pertahanan aliansi Amerika Serikat dan Jepang, bermula dari masa setelah Perang

Dunia II, Perang Dingin, pasca Perang Dingin, sampai di masa Jepang melakukan

modernisasi militer hingga revisi terakhir aliansi keamanan AS-Jepang tahun

2006 - 2012. Dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa hubungan aliansi AS-Jepang

mengalami pasang surut, tetapi pada akhirnya kesepakatan SCC 2012 menandai

hubungan AS-Jepang semakin erat.

Akan dijelaskan pada bab ini perubahan kebijakan pertahanan dan

keamanan Jepang. Bab ini berisi bentuk perubahan kebijakan pertahanan dan

keamanan Jepang; jumlah kekuatan, teknologi kekuatan, dan penggunaan

kekuatan militer.

3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang

2006 – 2012

Menurut Stephen Biddle dalam bukunya Military Power: Explaining

Victory and Defeat In Modern Battle (2004), untuk mengukur kapabilitas militer

suatu negara dapat dilihat dari tiga cara. Pertama, dengan melihat jumlah

kekuatan militer, suatu negara tentu dengan mudah diidentifikasi kapabilitas

militernya dengan melihat secara langsung jumlah kekuatan militernya. Kedua,

Page 54: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

41

indikator teknologi militer. Negara dengan kapabilitas militer yang besar adalah

dengan teknologi militer yang tinggi dan canggih, bukan sekedar jumlah tetapi

juga kualitas teknologi militernya. Ketiga, doktrin tujuan dari penggunaan

kekuatan militer. Kapabilitas militer suatu negara dapat diukur dengan doktrin

tujuan dari penggunaan kekuatan militer tersebut (Biddle 2004). Kemudian

indikator – indikator ini akan dibahas secara detail dalam beberapa sub-bab

berikut ini.

3.1.1 Kekuatan Militer Jepang

Jepang mengalami peningkatan jumlah pasukan militer semenjak kekuatan

pertahanannya dibangun kembali pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II.

Sedikit berbeda dengan pasukan militer di negara lain, dibentuknya pasukan

bernama Japan Self Defense Force atau JSDF pada tahun 1954 sebatas hanya

pasukan bela diri bukan sepenuhnya militer. Pasukan bela diri ini terdiri dari

165.000 pasukan. Pada doktrin National Defense Program Guidelines (NDPG)

1976, ditambah pasukan bela diri baru jsekitar 25.000 pasukan sehingga totalnya

menjadi sekitar 190.000 pasukan.

Akan tetapi pasca Perang Dingin hingga sekarang, jumlah pasukan bela

diri Jepang menurun. Pada tahun 2012 Jepang hanya mempunyai pasukan darat

yang terdiri dari personel aktif yang berjumlah sekitar 150.000 pasukan, dan

pasukan cadangan yang berjumlah sekitar 8.500 pasukan (Japan Ministry of

Defense 2012). Menurut analisa dalam skripsi ini, peningkatan jumlah terjadi pada

masa Perang Dingin, dan mulai mengalami penurunan, setelah berakhirnya

Page 55: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

42

Perang Dingin, dikarenakan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan

Jepang lebih diarahkan untuk menciptakan pasukan yang lebih efektif dan efisien,

Jepang melakukan peningkatan kualitas terhadap kekuatan Japan Self

Defense Force atau JSDF pada masa pasca Perang Dingin, yaitu melalui

kebijakan Japan Defense Build Up Program pada NDPG 1995 . Jepang lebih

mefokuskan pada peningkatan kualitas pertahanannya, khususnya pada kekuatan

maritim dan udaranya. Kemudian melakukan efisiensi terhadap kekuatan daratnya

dengan melakukan pengurangan persenjataannya, khususnya Tank Penyerang

Utama atau Main Battle Tank dan artileri yang dimilikinya. Pengurangan jumlah

alutsista dari tahun 1976 hingga masa pasca Perang Dingin, sampai masa awal

pembentukan Kementerian Pertahanan serta pada akhirnya pada tahun 2012

merupakan bentuk program baru Jepang untuk lebih meningkatkan kualitas

militernya (Karismaya 2013).

Berikut ini grafik yang menjelaskan jumlah pasukan bersenjata dan senjata

militer yang dimiliki Jepang dari masa 1976 sampai tahun 2012.

Page 56: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

43

Grafik 1: Jumlah Pasukan Angkatan Darat Jepang dari beberapa periode

Sumber: Website Kementerian Pertahanan Jepang, www.mod.jp.go diakses pada 10 Oktober 2014 Pada grafik di atas menjelaskan jumlah pasukan militer Jepang dari awal doktrin

militer pada NDPG pertama di tahun 1976 sampai NDPG terbaru di tahun 2012. Pada

NDPG 1976, jumlah pasukan militer (pasukan bela diri pada saat itu) Jepang yang

terbanyak, dengan jumlah hampir 180.000 pasukan utama dan tidak ada pasukan

cadangan karena pada saat itu belum ada pembagian pasukan utama dan cadangan.

NDPG merupakan doktrin militer awal Jepang pasca kekalahan Perang Dunia II, dimana

doktrin ini menakankan pada jumlah pasukan dan persenjataan, tidak heran jumlah

pasukan militer Jepang hampir 180.000 pasukan (Japan Ministry of Defense 2012).

Kemudian pada NDPG selanjutnya Jepang mengurangi jumlah pasukan militer

dikarenakan mulai berdatangannya pasukan aliansi militer dari AS. Sampai pada

NDPG 2012, pasukan utama militer Jepang berjumlah 155.000 pasukan dan

pasukan cadangan berjumlah 15.000 pasukan.

0 50000 100000 150000 200000

NDPG 1976

NPDG 1995

NDPG 2004

NDPG 2010

NDPG 2012

Pasukan Utama

Pasukan Cadangan

/ pasukan

Page 57: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

44

Kemudian di bawah ini grafik yang menggambarkan kekuatan

persenjataan militer Jepang berdasarkan jumlah pada Angaktan Darat, Angkatan

Laut dan Angkatan Udara.

Grafik 2: Jumlah Kekuatan Persenjatan Militer Jepang

Sumber: Diolah dari Website Kementerian Pertahanan Jepang, www.mod.jp.go dan Military Balance 2012 diakses pada 8 Oktober 2014 Seperti yang dapat dilihat dalam grafik di atas, alutsista yang dimiliki oleh

Jepang dalam beberapa periode mengalami penurunan jumlah pada persenjataan

yang dimiliki oleh Angkatan Darat. Pada NDPG 1976, Jepang terkesan hanya

memikirkan kuantitas persenjataan daripada kualitasnya, sekitar 13.000 senjata

pada Angkatan Darat. Akan tetapi jika melihat pada Angkatan Laut dan Angkatan

Udara militer Jepang berjumlah sangat sedikit, hanya sekitar 200 senjata dan tidak

mengalami kenaikan besar seiring berubahnya doktrin pada NDPG baru.

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

Angkatan Darat Angkatan Laut Angkatan Udara

1976

1996-1999 (PascaPerang Dingin)

2001

2005

2007

2012

Page 58: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

45

Peningkatan kualitas dan mengurangi kuantitas unit militer yang kurang

efektif menjadi doktrin baru dalam militer Jepang. Persenjataan yang efektif dan

efisien merupakan tujuan dari Jepang melakukan pengurangan terhadap armada

militernya. Contoh Jepang mengurangi Tank Tipe-74 secara bertahap yang

rencananya akan digantikan oleh Tank terbaru Tipe-10, dan meningkatkan jumlah

Tank Tipe-90 yang dinilai canggih dan efisien. Pada Angkatan Udara dan

Angkatan Laut Jepang terjadi peningkatan, karena pada white paper sebelum

2012 Jepang tidak terlalu fokus pada pengembangan armada udara dan maritim

(Military Ballance 2012).

Kemudian Jepang melakukan transformasi pada segi alat pengintaian dan

radar dan armada udara. Tercatat saat ini Jepang mempunyai empat unit satelit

pengintai, empat unit pesawat pengisi bahan bakar tipe KC-767, lima unit

helikopter anti kapal selam tipe SH-60J dan satu unit helikopter penumpang atau

aircraft carrier helicopter pada tahun NDPG 2010. NDPG 2010 menambah

armada laut Jepang dengan menambah ssistem pertahanan rudal balistik yang

dipasang pada kapal tempur. Kemudian menambah enam buah kapal tempur kelas

Kongo dan penambahan dua unit kapal tempur kelas Atago (Japan Ministry of

Defense 2012).

Ketika AS mendorong Jepang untuk meningkatkan status Badan

Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan dari 2006 – 2007, merupakan suatu

momentum penting bagi Jepang dalam sejarah transformasi militernya.

Kementerian Pertahanan kini dapat secara langsung mengajukan rancangan

undang-undang dalam pertemuan kabinet dan memberikan permohonan anggaran

Page 59: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

46

pertahanan ke Kementerian Keuangan tanpa harus melalui kementerian lainnya

(di mana sebelumnya, posisi dan status Badan Pertahanan yang berada di bawah

kementerian lainnya membuatnya tidak mempunyai wewenang penuh atas bidang

pertahanan). Tanggung jawab utama pertahanan nasional akan berpindah dari

Perdana Menteri kepada Menteri Pertahanan, akan tetapi untuk kepentingan

kontrol sipil terhadap Self Defense Force (SDF), Perdana Menteri akan tetap

menjadi Panglima Tertinggi dengan kuasa untuk memerintahkan mobilisasi untuk

keperluan pertahanan dan untuk menegakkan hukum dan ketertiban (Irsan 2007).

Dengan berdirinya Kementerian Pertahanan Jepang secara mandiri dan

tidak lagi di bawah kementerian lain berdampak pada kapabilitas militer Jepang

yang mengalami perkembangan pesat. Menurut Ashley J.T. dan Janice Bially

(2000) dalam buku Measuring National Power in the Postindustrial Age,

kapabilitas militer suatau negara dapat dilihat dari kekuatan militernya dalam

menghadapi ancaman dari luar demi menjaga keamanan nasional. Kapabilitas

militer juga dilihat bagaimana negara dapat memanfaatkan semua armada

militernya dalam menghadapi ancaman negara dan demi kepentingan nasional

(Ashley & Bially 2000).

Kapabilitas militer Jepang dalam doktrin NDPG 2010 lebih memfokuskan

pada peningkatan kualitas armada tempur dan mengurangi kuantitas armada

tempur yang dianggap tidak sesuai dengan ancaman pada zaman sekarang.

Peningkatan kualitas militer ini terlihat dari pengurangan jumlah Tank Kelas

Utama tipe lama digantikan dengan tipe baru, meningkatkan senjata artileri

dengan rudal kendali yang dapat mencapai target di udara (surface to air), serta

Page 60: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

47

dalam segi komando dengan jaringan yang efisien yaitu membangun unit siaga.

Atas dorongan AS, Pencipataan kekuatan militer Jepang yang lebih efisien,

mobilitas dan fleksibilitas tinggi untuk menghadapi ancaman militer Korea Utara

dan Tiongkok. AS akan terus memberikan Jepang pembelajaran militer demi

menciptakan sistem pertahanan yang kuat (NDPG Document 2010). Jepang juga

melakukan peningkatan pada kekuatan armada maritimnya untuk mengantispasi

kemungkinan adanya ancaman pada kepulauan teritori Jepang yang di sekitar

empat pulau utama (Park 2010). Berikut ini adalah tabel mengenai peningkatan

kekuatan Jepang yang dilihat melalui kepemilikan alutsista.

Tabel 3: Kekuatan Militer Jepang Tahun 2012

Nama Unit Militer Jumlah (buah) Satelit pengintai 4

Pesawat pengintai maritim

95

Pesawat peringatan Dini 17 MBT (Main Battle Tank) 850 Helikopter Serang 185 Artilery 1880 Kapal Selam 40 Kapal Tempur Permukaan Utama 49 Aircraft Carrier Helicopter 40 Armor Cruiser 2 Destroyer 30 Frigates 16 Coastal and patrol combatants 6 Pesawat dengan kemampuan tempur 469 Fighter Ground Attack & Fighter 361 Sumber: Japan Ministry of Defense 2012 diakses dari http://www.mod.go.jp pada 13 Agustus 2014 Tabel di atas menggambarkan kekuatan militer Jepang pada tahun 2012,

dimana jumlah armored cruiser sangat sedikit yaitu hanya dua buah. Armored

Cruiser merupakan kapal perang pada medan perang lautan lepas dan samudera,

Page 61: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

48

Jepang banyak kehilangan kapal perangnya pada Perang Dunia II, sekitar puluhan

Cruiser Jepang tennggelam oleh sekutu AS (Bishop 1998). Pada masa sekarang

AS lebih berperan dalam menyiapkan cruiser untuk kekuatan aliansi militer kedua

negara.

Pada tabel di atas juga terlihat Jepang memiliki banyak artileri atau senjata

meriam, terdiri dari Rocket Launcher atau penembak roket: 120 mm Six-Rocket

Launcher, 200 mm Rocket Launcher Model 1 200 mm, Rocket Launcher Model

2200 mm, Rocket Launcher Model 3, 450 mm Heavy Rocket Launcher, dan tipe

lainnya. Selain Rocket Launcer, artilery militer Jepang juga terdiri dari heavy

anti-aircraft gun anti tank guns type 3 12 cm aa gun, model 96 25 mm at/aa

guntype 1 37 mm, anti-tank gun, light anti-aircraft gun type 93 13.2 mm aa

machinegun, medium anti-aircraft gun model 96 25 mm, dual purpose anti-

tank/anti-aircraft gun, vickers type 40 mm at/aa gun, dan lainnya dengan total

artilery atau senjata meriam sebesar 1880 senjata dengan beberapa bentuk dan

model yang telah dijelaskan di atas (Japan Ministry of Defense 2012).

Selain dengan melihat gambaran persenjataan militer secara langsung, kita

dapat melihat peningkatan jumlah kekuatan persenjataan dengan melihat anggaran

belanja militer yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Jepang. Pada masa

kepemimpinan Perdana Menteri Takeo Miki pada tanun 1976, Jepang

memberlakukan pembatasan terhadap anggaran pertahanannya dalam batasan 1%

dari APBN. Sampai saat ini Jepang memberlakukan pembatasan tersebut kecuali

di tahun 1987 pada masa pemerintahan Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone,

yang melebihi sedikit di atas 1% APBN. Akan tetapi pasca Kementerian

Page 62: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

49

Pertahanan berdiri, anggaran belanja militer Jepang konsisten naik walaupun porsi

di APBN masih 1% dikarenakan APBN Jepang yang juga naik (Irsan 2007).

Berikut grafik anggaran belanja militer Jepang pada satu dekade (2002-2012).

Grafik 3: Anggaran Pertahanan Jepang 2004-2014

Sumber: Diolah dari Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang www.mod.go.jp/e/d_budget/ dan Bank Dunia www.worldbank.org di akses pada 25 September 2014 Dari data yang didapat dari World Bank, dalam kurun waktu 10 tahun

belakangan (1992-2012), grafik anggaran pertahanan Jepang menunjukkan

konsisten meningkat setelah tahun 2007. Setelah sempat mengalami penurunan

pada tahun sebelum 2007, anggaran pertahanan Jepang mulai mengalami

peningkatan kembali dari tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada tahun 2007

anggaran belanja militer Jepang sebesar 43 miliar Dollar AS, meningkat di tahun

2008 sebesar 45 miliar Dollar AS, meningkat lagi pada tahun 2009 sebesar 50

miliar Dollar AS, berturut dari tahun 2010-2012 meningkat sebesar 55-65 miliar

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

2006-2012

2013-2014

/ Miliar Dollar

Page 63: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

50

Dollar AS (Japan Ministry of Defense 2012). Pada tahun berikutnya yaitu 2013

anggaran belanja Jepang hanya meningkat sedikit, yaitu menjadi 66 miliar Dollar

AS, serta pada 2014 menjadi 68 miliar Dollar AS (World Bank 2014).

Awal kenaikan pada tahun 2007 dikarenakan pengaruh peningkatan status

Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan yang secara resmi dapat

mengajukan langsung anggaran pertahanannya (Wang 2008). Yang kemudian

menjadi perhatian adalah bahwa angka 1% dari APBN tidak memberikan

gambaran bahwa Jepang memiliki anggaran pertahanan yang lebih rendah

dibandingkan negara lain yang memiliki jumlah persen anggaran pertahanan yang

lebih besar dari APBN. Negara dengan kemampuan ekonomi yang besar seperti

Jepang, walaupun hanya mengalokasikan bagian kecil dari APBN untuk

pertahanan dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan

kekuatan militer yang terlihat dari grafik yang konsisten naik (Deming 2004).

Kekuatan militer adalah salah satu indikator untuk melihat kapabiltas

militer suatu negara, dalam isu ini Jepang terlihat mengalami penurunan kuantitas

alutsista Angkatan Darat dari tahun 1976 hingga 2012. Dapat dilihat juga

peningkatan kuantitas dari pengadaan persenjataan atau sistem pertahanan baru

yang belum pernah dimiliki oleh Jepang sebelumnya. Dilihat dari grafik anggaran

pertahanan dari 2002-2012, Jepang konsisten dalam peningkatan jumlah

walaupun tidak signifikan kenaikannya, dikarenakan pengaruh peningkatan status

Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan yang secara resmi dapat

mengajukan langsung anggaran pertahanannya. Kesimpulannya, Jepang lebih

memfokuskan pada peningkatan kualitas pertahanannya bukan kuantitasnya,

Page 64: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

51

khususnya pada kekuatan maritim dan udaranya. Selain itu juga melakukan

efisiensi terhadap kekuatan daratnya dengan melakukan pengurangan

persenjataannya (Military Balance 2012). Artinya dana pertahanan yang terus

naik digunakan Jepang dalam pengadaan senjata baru yang lebih modern dan

mengurangi kuantitas senjata lama yang dianggap tidak mampu bersaing di zaman

ini.

3.1.2 Teknologi Militer Jepang

Teknologi Militer merupakan salah satu indikator yang sering dilihat untuk

melihat kapabilitas militer suatu negara. Teknologi militer Jepang mulai

berkembang pasca dikeluarkannya NDPG 1976. Dalam white paper tersebut

mengarahkan Jepang untuk melakukan transformasi pada alutsista misalnya

dengan pengadaan peralatan militer dan pengembangan dengan meningkatkan

(upgrade) senjata militer tersebut (Halloran 1995).

Dalam bidang teknologi, Jepang termasuk negara dengan teknologi yang

maju, sehingga sangat rasional jika teknologi menjadi salah atau andalan yang

dimiliki Jepang dalam kebijakan pertahanan dan keamanannya. Ditunjang dengan

APBN yang besar. Kementerian Pertahanan Jepang mengajukan anggaran hingga

43 miliar Dollar AS pada tahun 2007. Khusus pembelian misil penangkal,

diajukan dana 220 juta Dollar AS atau naik 56,5 persen dibanding anggaran tahun

sebelumnya yang telah berjalan. Dengan kemampuan demikian, sangat terbuka

bagi Jepang untuk meningkatkan kapabilitas atau kemampuan tempurnya (Toki

2013). Dibawah ini tabel yang menjelaskan teknologi baru pertahanan Jepang

yang telah dikembangkan.

Page 65: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

52

Tabel 4: Teknologi Baru Militer Jepang

Nama Teknologi Jenis Tahun

Control Missile Type-99 Air-to-air

Misil Pengendali 2006

Missile Type-03 Chu-SAM Pertahanan Misil 2006 Radar FBX-T Radar Pertahanan 2007 SH-60J Helicopter Helikopter Anti Kapal

Selam 2007

SM-3 Missile Penangkal Misil Balistik 2007 AH-64 D Longbow Apache Helikopter tempur 2007 MBT-X Type 10 Tank tempur 2008 16DDH/Hyuga Kapal induk pengangkut

(Aircraft Carrier) 2009

P-3C Orion Pesawat Pengintai 2010 Submarine ASW Hunter Killer Kapal Selam 2010 F-35 Lightning II Jet tempur 2011 C4ISR Sistem Teknologi Satelit 2012 ATD-X Shinshin Jet tempur 2012

Sumber: Diolah dari website resmi Kementerian Pertahanan Jepang www.mod.go.jp dan www.globalsecurity.org/military/world/japan diakses pada 5 November 2014

Dari tabel di atas terlihat banyak teknologi militer baru yang

dikembangkan Jepang pasca berdirinya Kementerian Pertahanan. Walaupun ada

beberapa teknologi yang dikembangkan pada tahun 2006, ketika Jepang telah

lebih memikirkan ulang dalam masalah pertahanannya. Seperti yang telah

dijelaskan pada pembahasan sebelumnya tentang kapabilitas militer Jepang,

Jepang lebih memilih meningkatkan kualitas teknologi senjata militernya daripada

meningkatkan kuantitas senjata militernya, dengan mengurangi kuantitas senjata

yang dianggap tidak layak bersaing di era modern dan memperbanyak temuan

teknologi militer yang canggih merupakan upaya dalam perubahan kebijakan dan

pertahanan bagi Jepang (Toki 2013).

Page 66: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

53

3.1.3 Doktrin Penggunaan Kekuatan Militer

Doktrin penggunaan kekuatan militer adalah tujuan dari suatu negara

menggunakan kekuatan militernya dan bagaimana cara suatu negara dalam

memakai kekuatan militernya. Penggunaan kekuatan, salah satunya dapat dilihat

melalui doktrin pertahanan suatu negara, karena dalam doktrin tersebut akan dapat

terlihat bagaimana negara menggunakan kekuatan militer yang ada untuk

kepentingan negara tersebut. Jepang telah beberapa kali mengganti white paper

pertahananya, dimulai pada tahun 1976 yaitu National Defense Program

Guidelines-nya (NDGP) yang pertama, yang diikuti dengan NDPG berikutnya,

tahun 1995, 2004 dan yang terakhir tahun 2010. NDPG adalah doktrin militer

tertinggi dari kebijakan pertahanan Jepang untuk menetapkan dasar, nilai – nilai

serta prinsip pertahanan dan keamanan dari Japan Self Defense Force (SDF)

(Shoji 2011).

Pada tahun 1976, Jepang mengeluarkan white paper mengenai kebijakan

pertahanan dan keamanan yaitu National Defense Program Guidelines (NDPG).

Pada kebijakan ini, doktrin “Basic Defense Force Concept” pertama kali

diperkenalkan pada militer Jepang. Tujuan dalam doktrin ini adalah untuk

menciptakan pertahanan untuk menangkal segala bentuk invasi ke Jepang.

Penerapannya terlihat pada peran Japan Self Defense Force (JSDF) yang

bertransformasi dari yang awal sebatas pasukan bela diri menjadi pasukan militer.

Doktrin 1976 juga menjelaskan jika Jepang mulai dapat terlibat dalam segala

bentuk Peace Keeping Operation (PKO) yang dipimpin militer AS. Ini

Page 67: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

54

membuktikan Jepang mulai meninggalkan Pasal 9 Konstitusi 1947 (Deming

2004).

Kemudian Badan Pertahanan Jepang membuat dokumen tambahan pada

NDPG 1976. Jepang mengeluarkan dokumen New Defense Build Up Plan yang

masih tercantum pada NDPG 1976. Dokumen ini terdiri dari empat tahap

penerapan yaitu sebagai berikut: Pertama, peningkatan kemampuan pertahanan

Jepang agar siap dalam menghadapi serangan langsung, melalui pemeliharaan dan

pengawasan atas laut dan udara Jepang. Kedua dengan mencegah ancaman negara

yang berusaha untuk menduduki wilayah Jepang. Ketiga yaitu pencegahan atas

serangan dari luar di bawah perjanjian keamanan dengan AS atau usaha-usaha

melalui perdamaian PBB. Keempat, ketergantungan Jepang akan payung nuklir

AS, dalam rangka mencegah ancaman penggunaan senjata nuklir. Hal ini

dilakukan karena Jepang menganut tiga prinsip non nuklir pada tahun 1971, yaitu

tidak memiliki, tidak membuat serta tidak mengijinkan masuknya senjata nuklir

ke wilayah Jepang. Jepang ikut menandatangani Nuclear Non Poliferation Treaty

tahun 1976, yang menyatakan bahwa Jepang adalah negara yang tidak memiliki

senjata nuklir (Nakanishi 2003).

Pada tahun 1995, Jepang kembali mengeluarkan National Defense

Program Guidelines (NDPG). Pada NDPG kali ini banyak revisi dalam rangka

merespon keadaan Hubungan Internasional yang baru tercipta yaitu pasca

runtuhnya Uni Soviet. Keadaan kawasan yang belum stabil pasca Uni Soviet

runtuh membuat Jepang perlu mengubah doktrin militernya. Perubahan doktrin

militer pada tahun ini terlihat pada peran angkatan militer Jepang atau JSDF

Page 68: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

55

diperkuat dalam rangka merespon ancaman dari kemungkinan invasi ke Jepang

dalam sekala besar. Kemudian JSDF ditingkatkan perannya selain ikut sebagai

operasi penjaga perdamaian bersama AS, JSDF juga bertanggung jawab pada

semua kejadian bencana alam dikarenakan pada masa ini Jepang sering tertimpa

bancana gempa bumi dan Tsunami. JSDF bukan sekedar tentara bela diri Jepang

lagi, melainkan telah menjadi angkatan bersenjata yang sama dengan tentara pada

negara – negara di dunia secara umumnya (Shoji 2011).

National Defense Program Guidelines 2004 dikeluarkan ketika Jepang

mulai terancam oleh berbagai ancaman baru, seperti meningkatnya jumlah

proliferasi senjata pemusnah masal dan misil balistik Korea Utara, perkembangan

militer Tiongkok serta munculnya organisasi teroris. NDPG 2004 berisi prinsip

dasar kebijakan pertahanan yaitu sebagai berukut: pertama, mencegah ancaman

langsung mencapai Jepang, dan jika itu terjadi mengusir dan meminimalisir

kerusakan yang disebabkannya; dan kedua, meningkatkan keamanan lingkungan

internasional untuk mengurangi potensi ancaman mencapai Jepang. Dua tujuan

tersebut diikuti dengan tiga pendekatan yaitu melalui usaha Jepang sendiri, kerja

sama dengan mitra aliansi AS, dan kerja sama dengan komunitas internasional

(PBB) (Japan Ministry of Defense 2004).

Yang terakhir adalah NDPG paling baru yang dikeluarkan pada tahun

2010 atas dorongan dari Amerika Serikat dalam rangka merespon pengembangan

kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara (Park 2010). Doktrin “Basic Defense

Force Concept” yang dibuat pada tahun 1976 berubah menjadi “Dynamic Defense

Force” pada NDPG terbaru ini. NDPG tersebut membangun kekuatan militer

Page 69: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

56

Jepang yang dapat secara efektif merespon berbagai ancaman keamanan yang ada

saat ini termasuk ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara. Membangun

kekuatan militer yang besar sangat diutamakan dikarenakan untuk

mengoptimalkan waktu secara efisien daripada mengandalkan peringatan yang

ada dalam menangkal ancaman (Japan Ministry of Defense 2010).

Di dalam NDPG 2010 dijelaskan bahwa prinsip-prinsip dasar keamanan

yang akan diterapkan adalah: 1) mencegah ancaman potensial dan meminimalisir

kerusakan yang mungkin terjadi ; 2) berusaha membuat keadaan keamanan

kawasan Asia Timur yang stabil, dan mencegah ancaman kawasan dengan

meningkatkan keamanan kawasan; dan 3) pada level internasional bersuaha

menjadi pasukan kedamaian dengan bergabung dengan AS pada Peace Keeping

Operation (PKO) di PBB (NDPG Document 2010).

Jadi dapat disimpulkan doktrin militer Jepang berubah dari “Basic

Defense Force Concept” menjadi “Dynamic Defense Force”, yang berarti Jepang

harus lebih aktif dalam kegiatan intelijen, pengawasan dan pengintaian. Militer

Jepang dituntut lebih aktif dengan menjalankan serangkaian operasi militer agar

lebih siap dalam menghadapi ancaaman baik ancaman tradisional maun non-

tradisional. Perubahan doktrin ini momentum awalnya saat Kementerian

pertahanan berdiri.

Dapat disimpulkan pergeseran ancaman juga ikut memperluas peran

JSDF, di mana ancaman tidak lagi dilihat hanya berupa ancaman keamanan

tradisional, akan tetapi juga telah memasukkan ancaman non-tradisional ke

dalamnya, seperti bencana alam, teroris, kemanusiaan, dan lainnya. Dengan peran

Page 70: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

57

JSDF diperluas otomatis kapabiltas militer Jepang meningkat, sehingga Jepang

semakin siap dalam menghadapi ancaman di kawasan Asia Timur.

Dari ketiga indikator yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil

kesimpulan bahwa Jepang mengalami peningkatan kapabilitas militernya, tidak

dalam jumlah kuantitatifnya, akan tetapi lebih mengarah pada modernisasi

alutsista melalui peningkatan dan penggunaan teknologi. Peningkatan pertahanan

Jepang mengarah kepada kekuatan yang berorientasi kepada teknologi ketimbang

kepada kuantitas. Selain itu, dalam aliansi dengan AS, Jepang diminta lebih

mementingkan masalah pertahanan dan keamanan dalam respon ancaman di

kawasan Asia Timur.

Perkembangan penting lainnya yang dapat dilihat dalam NDPG adalah

perluasan tanggung jawab pertahanan yang semakin diungkapkan secara eksplisit

oleh Pemerintah Jepang. Jika dalam NDPG pertama Jepang hanya menitik

beratkan pada pertahanan dalam negerinya untuk menciptakan efek tangkal

terhadap invasi dalam skala kecil, dalam NDPG selanjutnya Jepang sudah mulai

memasukkan wilayah “surrounding region” walaupun tidak didefinisikan secara

jelas, dan pada NDPG 2004, Jepang memasukkan “international security

environment”, hingga NDPG terbaru yang secara eksplisit mengungkapkan “Asia-

Pasific region” dan “global security environment”. Hal tersebut dapat dilihat

sebagai sebuah bentuk kepercayaan diri Jepang yang semakin meningkat seiring

berkembangnya peran dan tanggung jawabnya dalam dunia internasional.

Salah satu hal yang tidak mengalami perubahan melihat NDPG adalah

Jepang masih menganggap penting perjanjian keamanan Jepang-AS sebagai salah

Page 71: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

58

satu dasar dalam pertahanan keamanannya, walaupun pada dua NDPG terakhir

Jepang juga menyebutkan pendekatan melalui penggunaan kekuatan sendiri dan

dengan kerja sama dunia internasional. Di sisi lain, Jepang telah mengalami

perkembangan yang cukup signifikan dalam penggunaan kekuatan militernya.

Page 72: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

59

BAB IV KEPENTINGAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG

PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan perubahan kebijakan pertahanan dan

keamanan Jepang, khususnya mengenai bentuk perubahan kebijakan pertahanan

dan keamanan Jepang yaitu: jumlah kekuatan, teknologi kekuatan, dan doktrin

penggunaan kekuatan militer. Pada bab ini akan berfokus pada faktor – faktor

yang mempengaruhi AS mendorong perubahantio kebijakan pertahanan dan

keamanan Jepang dan jawaban dari pertanyaan penelitian skripsi yaitu

kepentingan Amerika Serikat dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan

dan keamanan Jepang 2006-2012.

Bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian pertama

menjelaskan peran partai politik dominan di AS dalam mempengaruhi perumusan

Kebijakan Luar Negeri AS yang mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan

keamanan Jepang; kedua, berfokus pada faktor – faktor yang mempengaruhi AS

dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang; ketiga

yaitu kepentingan AS untuk menjaga Jepang yang masih merupakan bagian

wilayah Asia Timur dari ancaman kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara,

menjelaskan extended deterrence AS terhadap kekuatan militer Tiongkok dan

Korea Utara serta pengamanan jalur perdagangan AS di kawasan Asia Timur.

4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Menurut John F Bibby (2005) dalam tulisannya yang berjudul “Political

Parties in The United States”, setiap pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS

Page 73: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

60

sangat dipengaruhi dari ideologi partai Presiden yang sedang memimpin.

Kebijakan Luar Negeri AS yang dominan menentukan adalah dari pihak

pemerintah yaitu Presiden dan Kementerian Luar Negeri AS (U.S Department of

State) daripada suara Kongres AS. Suatu isu internasional yang dibicarakan oleh

pihak Pemerintah dan Parlemen jika berbeda pendapat, maka pada akhirnya

Kebijakan Luar Negeri yang diambil adalah keinginan pemerintah itu sendiri. Ini

terlihat pada Kebijakan Invasi AS ke Irak di tahun 2003 yang diambil oleh

Presiden Bush walaupun suara Kongres AS dominan tidak menginginkan

kebijakan tersebut (Bibby 2005).

Paul Allen Beck dan Frank J.Sorauf (1992) dalam buku “Party Politics in

America”, mengidentifikasi perbedaan ciri khas foreign policy yang diambil

antara Partai Republik dan Partai Demokrat jika sedang berkuasa di pemerintahan

AS. Ideologi Partai Republik sangat konservatif yaitu tidak menekankan pada

perubahan dan cenderung status quo dengan pemerintahan yang telah berjalan.

Bagi Partai Republik, negara dapat menggunakan kekuatan militer demi

mencapai kepentingan nasionalnya. Partai Republik dipengaruhi paham Realisme

sehingga sering menggunakan pendekatan pada hard power dalam Kebijakan

Luar Negeri yang diambil. Sedangkan Partai Demokrat lebih berorientasi pada

pendekatan yang lebih soft power, dan paham Liberalisme dianut oleh partai ini.

Sesuai dengan ciri khas paham Liberalisme, Partai Demokrat tidak dengan mudah

menggunakan kekuatan militer dalam proses tawar menawar dengan negara lain.

Partai Demokrat lebih memikirkan cost-benefit dalam setiap kebijakan luar negeri

yang akan diambil AS (Beck & Sorauf 1992).

Page 74: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

61

Skripsi ini menganalisa di masa Presiden Bush yaitu awal Jepang

mengubah kebijakan pertahanannya atau ketika Partai Republik berkuasa di

pemerintahan. Ciri khas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat yang berasal dari

Partai Republik yaitu penggunaan force atau kekuatan militer, yang dapat

digunakan untuk memaksa negara lain dalam proses tawar menawar. Jika Partai

Republik sedang berkuasa di pemerintahan AS, maka anggaran belanja negara

akan banyak dikeluarkan pada bidang pertahanan dan keamanan (Beck & Sorauf

1992). Kebijakan invasi Afghanistan di tahun 2001, Irak di tahun 2003, dan

peningkatan jumlah pasukan dan armada militer aliansi bersama Jepang (SCC

2005) merupakan Kebijakan Luar Negeri dengan pendekatan force pada masa

Presiden Bush.

Partai Republik pada masa kepemimpinan Presiden Bush sangat besar

memberikan pengaruh pada pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS. Selain fokus

kepada negara - negara kawasan Timur Tengah, isu peluncuran senjata nuklir oleh

Korea Utara di kawasan Asia Timur pada 9 Oktober 2006 juga menjadi fokus

utama Kebijakan Luar Negeri yang diambil oleh Presiden Bush. Presiden Bush

memasukkan Korea Utara sebagai salah satu daftar hitam negara yang dapat

mengancam dunia internasional karena memiliki senjata nuklir (BBC News

2006). Kemudian Presiden Bush meminta kepada mitra aliansinya di Asia Pasifik

yaitu Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Filipina untuk segera mengadakan

pembicaraan bilateral perihal masalah ini (Shambaugh & Yahuda 2008).

Permasalahan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara juga dibahas pada

level domestik AS, Kongres AS mengadakan rapat paripurna membahas perlu

Page 75: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

62

tidaknya kenaikan anggaran pertahanan AS yang akan dialokasikan kepada mitra

aliansi di Asia Pasifik dalam rangka merespon peluncuran senjata nuklir Korea

Utara. Hasil pengambilan voting kongres AS tersebut yaitu 70% setuju jika

anggaran belanja pertahanan aliansi meningkat menjadi 10% - 15% (ABC News

2006). Anggota parlemen AS pada rapat paripurna tersebut didominasi dari Partai

Republik yang pendekatannya pada penggunaan militer, tidak heran jika hasil

voting mendukung kebijakan AS menggunakan kekuatan militer.

Selain itu, Kongres yang didominasi Partai Republik tersebut juga

meminta pada pemerintah AS agar pada setiap hubungan aliansi AS perlu

memikirkan kembali Joint Statement yang telah dibuat demi kepentingan nasional

pada kawasan Asia Pasifik (Xu 2014). Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan

mitra aliansi agar mewaspadai kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara yang

terus berkembang (Avery & Reinhart 2013). Kemudian hasil dari permintaan

Partai Republik tersebut terlihat pada aliansi AS-Jepang, dimana Security

Consultative Committee Joint Statement U.S – Japan 2007 disepakati sesuai

usulan Partai Republik.

Skripsi ini juga menganalisa Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat pada

masa Kepresidenan Barrack Obama yang berasal dari Partai Demokrat. AS pada

masa Partai Demokrat berkuasa di eksekutif, tidak sering menggunakan kekuatan

militer, sangat berbeda pada masa Presiden Bush yang sering melakukan invasi ke

kawasan timur tengah. Penggunaan force hanya sebatas pada misi Pasukan

Perdamaian Dunia PBB dan NATO. Misalnya pada krisis di Libya, AS bergabung

Page 76: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

63

dengan pasukan aliansi NATO mengintervensi Libya atas dasar Humanitarian

Intervention pada tahun 2011 (BBC News 2011).

Pada masa kepresidenan Obama, paham liberalisme yang dianut Partai

Demokrat mempengaruhi ciri khas foreign policy AS, yaitu lebih mementingkan

kepentingan ekonomi. Kepentingan AS pada kawasan Asia Timur selain pada

bidang politik dan militer, tetapi juga pada bidang ekonomi (Sutter 2005). Hal ini

ditandai dengan jumlah kegiatan ekspor-impor yang meningkat di kawasan ini

ketika masa Presiden Obama, kemudian akan dijelaskan secara rincih pada sub-

bab selanjutnya. Selain itu, “the Pivot to Asia” merupakan Kebijakan Luar Negeri

Presiden Obama yang memprioritaskan pada kawasan Asia Timur, termasuk juga

prioritas kepentingan ekonomi (The Foreign Policy Initiative 2012). Walaupun

mengutamakan kepentingan ekonomi, AS juga tidak mengurangi kegiatan aliansi

militernya bersama Jepang, karena membuat stabil kawasan Asia Timur

merupakan langkah utama AS dalam menjaga kepentingan ekonominya pada

kawasan ini (Cossa 2000).

Seperti yang telah dijelaskan bahwa kepentingan nasional sebagai konsep

kunci dalam Kebijakan Luar Negeri. Artinya, bahwa keputusan dan tindakan

politik luar negeri dapat didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis

atau atas pertimbangan kepentingan nasional (Burchil 1996, h.106). Pada skripsi

ini Kebijakan Luar Negeri AS pada masa Presidan Bush banyak dipengaruhi oleh

ideologi dan nilai yang dianut Partai Republik. Pada masa Presiden Obama paham

Liberalisme Partai Demokrat yang banyak memberikan pengaruh pada Kebijakan

Luar Negeri yang diambil. Menurut analisa pada penelitan skripsi ini, faktor peran

Page 77: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

64

Partai Republik pada masa Presiden Bush dan peran Partai Demokrat pada masa

Presiden Obama menentukan apa yang menjadi Kepentingan Nasional AS pada

kawasan Asia Timur.

Jadi dapat disimpulkan ketika awal momentum Jepang mengubah

kebijakan pertahanan dan keamanannya, pada saat itu pengaruh Kebijakan Luar

Negeri AS masih didominasi oleh Partai Republik. Mendorong Jepang untuk

melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan serta peningkatan

anggaran aliansi militer AS, merupakan ciri dari Kebijakan Luar Negeri yang

berdasarkan penggunaan militer. AS mulai lebih menaruh perhatian Kebijakan

Luar Negeri mereka pada kawasan Asia Timur. Hal ini ditandai dengan beberapa

agenda rapat kongres AS mengenai masalah peluncuran senjata nuklir Korea

Utara.

AS kemudian sedikit mengubah prioritas, ketika Obama menjadi Presiden

pada tahun 2008. Kepentingan ekonomi menjadi prioritas utama AS pada

kawasan Asia Timur selain kepentingan di bidang keamanan dan politik. Dalam

mengamankan kepentingan ekonomi, AS masih memperkuat kekuatan aliansi

militer bersama Jepang, karena masih adanya ancaman kekuatan militer Tiongkok

dan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Kekuatan militer Tiongkok dan

kepemilikan senjata nuklir Korea Utara dapat mengancam kepentingan ekonomi

AS pada kawasan ini. Jadi AS pada masa Obama masih memiliki kepentingan

dalam aliansi bersama Jepang, AS tidak bisa begitu saja untuk meninggalkan atau

meminimalkan hubungan aliansinya, walaupun Partai Demokrat yang tidak

menganut paham penggunaan force sedang berkuasa di pemerintah.

Page 78: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

65

4.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi AS Mendorong Perubahan dan

Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang

Seperti telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, Jepang melakukan

perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan bermula pada NDPG 2004,

orientasi kebijakan pertahanan mengarah untuk sebisa mungkin mempertahankan

Jepang dari ancaman yang mulai terlihat saat itu yaitu nuklir Korea Utara dan

kemajuan militer Tiongkok. Tahun 2007 menjadi awal momentum Jepang dalam

transformasi militer di mana Kementerian Pertahanan Jepang dibentuk atas

dorongan dari Amerika Serikat, menandakan Jepang mengubah orientasi

kebijakan pertahanannya untuk lebih serius. AS meminta perubahan doktrin

militer Jepang sehingga dikeluarkannya NDPG 2010, berisi bahwa orientasi

“Basic Defense Force Concept” berubah menjadi “Dynamic Defense Force”, a

rtinya Jepang harus lebih aktif dalam masalah pertahanan terkait persepsi

ancaman bertambah, tidak hanya ancaman tradisional tapi juga ancaman non-

tradisional. Jepang melakukan transformasi kebijakan pertahanan dan keamanan

tentu memiliki faktor penyebabnya, baik itu faktor internal maupun eksternalnya.

Pada sub bab ini dibagi menjadi dua bagian, pertama faktor internal yang

mempengaruhi perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, yaitu

keinginan Jepang untuk melakukan amandemen pasal 9 Konstitusi Jepang 1947.

Selanjutnya yang kedua, faktor eksternal yaitu masalah kepemilikan senjata nuklir

Korea Utara yang menjadi ancaman kawasan, serta peningkatan militer Tiongkok

yang menimbulkan efek Security Dilemma bagi Jepang.

Page 79: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

66

4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947

AS meminta Jepang untuk ikut berpartisipasi dalam pasukan militer

multinasional yang dipimpin oleh AS, misalnya keterlibatan dalam perang di

Afghanistan. Militer Jepang juga bergabung dalam Operasi Penjaga Perdamaian

PBB. Di Afghanistan kapal-kapal laut Jepang beroperasi di Samudera Hindia

untuk memberi bahan bakar dan bantuan logistik lainnya bagi pesawat-pesawat

AS. Di bawah PM Junichiro Koizumi, pasukan Jepang juga bergabung dalam misi

penjaga perdamaian di Irak. Penempatan pasukan di Irak merupakan keikutsertaan

pertama ke dalam zona perang sejak PD II. Misi-misi semacam itu selalu memicu

perdebatan publik mengenai apakah tindakan semacam itu bertentangan atau tidak

dengan Konstitusi Jepang. Karena itu pula Shinzo Abe menginginkan Pasal 9

diamandemen untuk perluasan wewenang bagi militer Jepang yang sesuai dengan

konstitusi (The Diplomat 2012).

Amandemen tersebut, apabila berhasil dilakukan akan mengubah

arsitektur politik luar negeri Jepang dari yang selama ini pasif, menjadi lebih

agresif. Perubahan ini sangat baik bagi keamanan nasional Jepang, namun di sisi

lain telah menimbulkan berbagai kecurigaan dari negara-negara tetangganya,

khususnya di Asia Timur (Prajuli 2008). Sikap ekspansionisme militer Jepang

pada masa Perang Dunia dan memburuknya kondisi keamanan di kawasan

menjadi faktor utama kecurigaan negara-negara tetangga Jepang dalam

menanggapi amandemen konstitusi Jepang ini (Wang 2008).

Amandemen Pasal 9 merupakan bagian dari upaya merevisi kebijakan

keamanan untuk keluar dari kebijakan pasifisme yang selama ini dianut oleh

Page 80: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

67

Jepang. Pasal 9 itu sendiri berbunyi (Japan Ministry of Defense 2012,

http://www.mod.go.jp/e/dpolicy diakses pada 12 September 2014)

“1) Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of setting international disputes; 2) In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized” Yang diterjemahkan sebagai berikut: “1)Dalam keinginan yang sesungguh-sungguhnya akan mencapai perdamaian berdasarkan keadilan dan ketertiban, bangsa Jepang untuk selama-lamanya menolak perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan ancaman atau penggunaan kekuatan sebagai wahana untuk menyelesaikan perselisihan internasional. 2)Demi mencapai tujuan tersebut, tidak akan dibina angkatan darat, laut, dan udara maupun potensi perang lainnya. Hak perang negara tidak akan diakui”

Berdasarkan Pasal 9 Konstitusi 1947 tersebut, secara tegas dinyatakan

bahwa Jepang tidak akan membangun kekuatan militer. Namun, para penguasa

Jepang tidak pernah menginterpretasikan larangan itu secara ketat, sehingga

kemudian Jepang dimungkinkan untuk memiliki kekuatan militer terbatas untuk

memenuhi kebutuhan pertahanan yang mereka sebut Self-Defense Force/SDF

(pasukan bela diri) (Prajuli 2008).

Untuk melancarkan keinginan mengamandemen Pasal 9, Jepang harus

mengubah Pasal 96 dahulu yang mengatur proses perubahan konstitusi. Berikut isi

dari Pasal 96 Konstitusi Jepang 1947 (Konstitusi Jepang 1946 diakses dari

Kantei.go.jp 2015):

“1) Amendments to this Constitution shall be initiated by the Diet, through a concurring vote of two-thirds or more of all the members of each House and shall thereupon be submitted to the

Page 81: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

68

people for ratification, which shall require the affirmative vote of a majority of all votes cast thereon, at a special referendum or at such election as the Diet shall specify. 2) Amendments when so ratified shall immediately be promulgated by the Emperor in the name of the people, as an integral part of this Constitution” Yang diterjemahkan sebagai berikut:

“1) Amandemen Konstitusi ini harus dimulai oleh Dewan Parlemen, melalui pemungutan suara dari dua pertiga atau lebih dari semua anggota masing-masing faksi dan kemudian akan diserahkan kepada rakyat untuk ratifikasi, yang akan memerlukan suara mayoritas setuju dari semua faksi, pada referendum khusus atau seperti di pemilu Dewan Parlemen harus menetapkan. (2) Amandemen setelah diratifikasi harus segera diumumkan oleh Kaisar atas nama rakyat, sebagai bagian dari Konstitusi ini” Dengan mengubah Pasal 96, Jepang dengan mudah memproses perubahan

konstitusional lainnya, termasuk mengamandemen Pasal 9. Sekalipun partai Abe,

Partai Demokrat Liberal Jepang (LDP) mendominasi di majelis rendah dan

majelis tinggi, langkah Pemerintahan Abe tidak akan berjalan mudah karena

masyarakat Jepang belum semua menginginkan perubahan pasal 9 tersebut (New

York Times 2012).

Pergeseran pendapat publik Jepang terjadi pada tahun 2012 di mana

berdasarkan survei Nikkei Asian Reviews (2012), 56% responden percaya bahwa

konstitusi harus direvisi. Menurut survei dari Nikkei Asian Reviews itu, 28%

responden warga Jepang tidak menginginkan perubahan konstitusi. Persentase ini

terendah dalam delapan tahun terakhir setelah sebelumnya selalu berada di atas

30%. Angka ini dinilai banyak pengamat dikarenakan pengaruh militer AS di

Okinawa berdampak pada opini publik Jepang untuk meningkatkan kekuatan

militer mereka (Nikkei Asian Reviews 2012).

Page 82: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

69

Grafik 4: Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi

Sumber: Nikkei Asian Reviews 2012

Dari survei di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang mulai

menginginkan perubahan dalam konstitusi, khususnya dalam bidang pertahanan

dan keamanannya. Hal ini menjadi faktor internal pendorong bagi Jepang untuk

terus mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan. Walaupun hingga sekarang

pasal 9 belum juga diamandemen, tetapi dalam implementsinya Jepang tidak lagi

berlandaskan pada pasal tersebut, hanya menunggu waktu saja agar pasal 9

Konstitusi 1947 diamanden (Prajuli 2008).

4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok

Faktor yang mempengaruhi AS dalam mendorong perubahan kebijakan

pertahanan dan keamanan Jepang adalah peningkatan militer Tiongkok yang

dalam beberapa tahun terakhir terus meningkatkan kekuatan militernya. Amerika

Serikat yang mempunyai kepentingan untuk terus menjadi hegemon di kawasan

Asia Timur melihat kebangkitan militer Tiongkok sebagai ancaman serius di

kawasan ini. Dengan kemitraan yang dibangun bersama Jepang dan Korea

Selatan, AS mengharapkan kawasan Asia Timur bebas dari pengaruh Tiongkok

56% 28%

16%

Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi

Setuju Amandemen Pasal 9(56%)

Tidak Setuju (28%)

Tidak Mengerti (16%)

Page 83: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

70

dan Korea Utara. Jepang juga melihat kekuatan militer Tiongkok yang terus

berkembang menimbulkan Security Dilemma, di mana Jepang harus

meningkatkan kekuatan militernya untuk setidaknya dapat mempertahankan

wilayahnya dari ancaman Tiongkok. Perubahan kekuatan militer dibutuhkan

Jepang untuk memberi rasa aman ketika bersengketa dengan Tiongkok yang

memiliki kekuatan militer yang kuat, misalnya pada sengketa wilayah Kepulauan

Senkaku (Sukma 2009).

Akan tetapi jika melihat kebelakang, militer bukan awal fokus dari

Tiongkok dalam pembangunan negara. Sejak tahun 1980 Tiongkok memulai

sebuah program untuk menghilangkan hambatan-hambatan antara sipil dan

militer. Program ini menunjukkan kesuksesan untuk beberapa tahun, tetapi

dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pusat membuat pemerintah

mengalihkan perhatian ke perekonomian dibandingkan modernisasi kekuatan

militer (Lilley 1996). Tiongkok memang menginginkan untuk membangun negara

dengan tingkat ekonomi kelas dunia. Namun ternyata mereka juga berkomitmen

untuk membangun kekuatan militer yang modern. Maka dari itu para pemimpin

sipil dan militer di Tiongkok mendukung tujuan nasional untuk menciptakan

status Tiongkok sebagai kekuatan dunia. Mereka menganggap bahwa kunci untuk

menjadi negara yang kuat harus memiliki kekuatan baik itu dalam bidang

ekonomi maupun militer (Sukma 2009).

Tiongkok dipersepsikan oleh banyak negara akan menjadi superpower

baru di masa depan, tidak hanya karena ekonominya yang mengalami

pertumbuhan sangat kuat hingga mencapai rata-rata 9-10% per tahun (terutama

Page 84: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

71

pada dekade 1990-an) tetapi juga karena kekuatan militernya (Moore 2008).

Perkembangan Ekonomi Tiongkok yang pesat berdampak besar pada

meningkatnya anggaran militer Tiongkok yang berbanding lurus dengan

peningkatan kemampuan militernya. Pengembangan kekuatan militer Tiongkok

inilah yang menjadi isu hangat internasional, khususnya di kawasan Asia Timur

(Kharismaya 2013).

Tiongkok telah berhasil sebagai kekuatan potensial yang mampu

mengimbangi AS sebagai pemain utama di kawasan Asia Timur. Fenomena

kebangkitan Tiongkok ini merupakan hasil langsung dari proses modernisasi yang

dijalankan oleh pemerintah Tiongkok pasca Mao Zedong sejak tahun 1979 (Tjeng

1983). Secara ekonomi, Tiongkok telah menjadi raksasa yang impresif. Dalam hal

purchasing power parity, ekonomi Tiongkok diperkirakan akan menyamai

ekonomi AS pada tahun 2020 atau 2030. Pada tahun 2050, Tiongkok diperkirakan

akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, melampaui AS, Jepang dan

Eropa (Sukma 2009). Kemajuan ekonomi memungkinan Tiongkok untuk

mengalokasikan sebagian dari kekayaannya itu untuk memodernisasi dan

membangun kekuatan militer.

Dalam U.S Annual Report to Congress on The Military Power of The PRC

2003, Tiongkok melakukan transformasi militer tidak hanya pada persenjataan

mereka, tetapi juga pada anggaran dan doktrin militer. Peningkatan kekuatan

militer Tiongkok dapat dilihat juga dari doktrin militer mereka yang berubah, dari

“predominately annihililation” menjadi menggunakan “coercive war fighting”.

Doktrin “coercive war fighting” memiliki dua strategi dalam operasional pasukan

Page 85: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

72

militer Tiongkok, yaitu pertama, “actively taking initiative” atau penyerangan

dengan memanfaatkan waktu dengan optimal; kedua ”catching enemy

unprapared” tipuan pada persembunyian pasukan agar musuh mengira mereka

menang jumlah pasukan dan selanjutnya melakukan serangan kejutan dengan

pasukan yang bersembunyi (U.S Annual Report to Congress on The Military

Power of The PRC 2003).

Tiongkok juga melakukan peningkatan pada kekuatan persenjataan pada

semua angkatan bersenjatanya. Beberapa peningkatan kekuatan militer Tiongkok

pada Angkatan Darat, Laut dan Udara: pertama, kekuatan darat Tiongkok dengan

meningkatkan kekuatan lebih dari 1000 tank dengan senjata tipe 59, memproduksi

tank tipe 96 di tahun 2005, dan Angkatan Darat Tiongkok lebih efektif lagi dalam

menerapkan Command, Control, Communications, Computers and Intelligence

(C41); kedua, dari kekuatan laut, Tiongkok memproduksi sendiri kapal selam

dengan tenaga dissel-listrik (SONG YJ-82) yang mempunyai misil dalam laut dan

memproduksi kapal selam penyerang tipe 93 dengan torpedo dan misil

penghancur; ketiga, Angkatan Udara Tiongkok meningkatkan jangkauan udara

dengan radar AA-12/ADDER dan menambah jumlah unit pesawat tempur Su-

30MKK Fighter dari Rusia (Sutter 2005).

Terdapat perubahan dalam prioritas strategi militer Tiongkok dengan

meningkatkan sistem pertahanan udara, laut berikut persenjataannya. Maka dari

itu sampai saat ini prioritas kapabilitas militer Tiongkok tidak hanya pada

kekuatan darat, tetapi juga udara dan laut. Untuk menjaga keamanannya,

Tiongkok mendeklarasikan untuk mempertahankan kedaulatan nasional, integritas

Page 86: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

73

wilayah dan hak dan kepentingan di wilayah laut dan untuk mengembangkan

masyarakat dan perekonomiannya serta untuk terus memperkuat kekuatan

nasional yang komprehensif, Tiongkok sampai saat ini tetap menjaga

keseimbangan antara konstruksi ekonomi dan pertahanan (Kharismaya 2013).

Tiongkok secara agresif mempromosikan Revolution in Military Affairs with

Chinese Characteristics berdasarkan strategi militer untuk memenangkan

Informationalized War, termasuk pada Perang Teluk, Konflik Kosovo, dan Perang

Irak (Shambaugh & Yahuda 2009).

Untuk mencapai tujuannya tersebut maka Tiongkok memodernisasi

militernya. Secara spesifik, Tiongkok mengurangi personil militer dan

memodernisasi kekuatan bersenjatanya terutama kekuatan udara dan laut serta

kapabilitas misil dan nuklir. Selain itu Tiongkok juga memfokuskan pada energi

dan pelatihan personil berbakat serta perbaikan kapabilitas operasional. Dengan

adanya modernisasi militer Tiongkok yang pesat, Tiongkok memfokuskan hal

tersebut sebagai implementasi dari isu Taiwan. Namun dalam memodernisasi

kapabilitas militernya, Tiongkok memberikan transparansi terbatas mengenai hal

tersebut (Kharismaya 2013)

Secara historis, Tiongkok tidak menutupi segala informasi mengenai

kepemilikan perlengkapan, pelatihan dan operasi militer yang dilakukan dan

dimilikinya. Namun setelah Tiongkok menjadi negara yang memiliki kekuatan

ekonomi dan politik di kawasan, kecenderungan peningkatan kapabilitas militer

diberikan perhatian khusus oleh sejumlah negara di kawasan. Di bawah kondisi

Page 87: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

74

yang seperti ini menuntut Tiongkok untuk meningkatkan transparansi mengenai

kebijakan pertahanan nasional dan kapabilitas militernya (Tjeng 1983).

Pada Desember 2006, Tiongkok mengeluarkan China’s National Defense

in 2006. Dokumen ini sangat penting untuk dikeluarkan untuk mengetahui

transparansi kapabilitas militer yang dimilikinya. Namun ternyata kelima buku

putih tersebut tidak secara substansif memberikan transparansi mengenai

kapabilitas militernya. Sebagai contoh mengenai anggaran pertahanan nasional,

buku putih tersebut hanya menerangkan mengenai jumlah total dan tujuan umum

yang terdiri dari tiga kategori yaitu jumlah personil, peningkatan biaya operasi,

dan biaya untuk perlengkapan (Japan Defense White Paper 2006).

Selain itu pada Januari 2007, ketika Tiongkok melakukan uji senjata anti

satelit, kemudian Jepang meminta Tiongkok untuk memberikan penjelasan

mengenai hal tersebut. Namun ternyata Tiongkok tidak bisa menjelaskan secara

substantif mengenai uji senjata anti satelit kepada Jepang. Sedangkan mengenai

biaya pertahanan nasional, salah satu elemen untuk menghitung kekuatan militer

sebuah negara, Tiongkok mengumumkan anggaran pertahanan nasionalnya untuk

tahun 2007 sekitar 347,2 juta yuan, meningkat sebanyak 17,8 % dibandingkan

tahun 2006. Anggaran militer Tiongkok mengalami pertumbuhan sekitar 10 %

untuk jangka waktu selama 19 tahun. Fase peningkatan ini meningkat sebanyak

16 kali dalam waktu 19 tahun terakhir. Adanya keterhubungan antara pertahanan

dan ekonomi nasional tercermin dalam China’s National Defense pada tahun 2006

menyatakan prinsipnya dalam pembangunan pertahanan dan ekonomi nasional.

Page 88: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

75

Sehingga dapat dikatakan bahwa Tiongkok menempatkan peningkatan kapabilitas

militer dan ekonomi sama pentingnya (BBC News 2006)

Anggaran belanja militer Tiongkok juga menunjukkan perubahan yang

konsisten, dengan menambah anggaran belanja militernya setiap tahun. Pada

tahun 2000, Tiongkok mengeluarkan dana 15 miliar dollar AS untuk belanja

militernya atau 1,9% dari seluruh total APBN. Kemudian konsisten meningkat

dari tahun 2001 menjadi 17 miliar (1,9 % APBN) , tahun 2002 menjadi 20 miliar,

hingga kemudian 2005 menjadi 30 miliar dollar AS (2,1 % APBN) (World Bank

2014). Di bawah ini grafik yang menunjukkan anggaran belanja militer Tiongkok

pada periode 2006 – 2012.

Grafik 5: Anggaran Militer Tiongkok 2000-2012

Sumber: BBC News Diakses dari http://news.bbcimg.co.uk/media/images/7338100 pada 5 Oktober 2014

Page 89: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

76

Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa anggaran militer Tiongkok

dari tahun 2006 hingga 2012 dalam kurun waktu 6 tahun telah meningkat lebih

kurang 300%. Pada tahun 2006 sebesar 32 miliar Dollar AS meningkat menjadi

106 miliar Dollar AS pada tahun 2012. Angka 300% dalam kurun waktu 6 tahun

menandakan Tiongkok sangat serius membenahi kebijakan pertahanannya, dan

berdampak pada kekhawatiran AS dan Jepang.

Pada tahun 2010, Tiongkok merupakan negara kedua yang menghabiskan

dana paling besar untuk belanja militer. Dalam rentang waktu sepuluh tahun

(2001-2010) Tiongkok mengalami peningkatan belanja militernya sebanyak

189%. Belanja militer Tiongkok pada tahun 2010 diperkirakan mencapai angka

US$ 78,6 miliar. Tahun 2012 anggaran pertahanan Tiongkok menjadi US$ 106

miliar, mengalami kenaikan sebanyak 11.2 % dari tahun 2011 sebesar US$ 91,5

miliar (US Annual Report, 2009-2012).

Peningkatan kekuatan militer Tiongkok menjadi pertimbangan AS

mendorong Jepang untuk ikut juga dalam meningkatkan kekuatan militernya.

Amerika Serikat kemudian meminta aliansi AS-Jepang melakukan sejumlah

peningkatan Joint Statement, menjadikan Tiongkok sebagai objek ancaman utama

di kawasan (Sutter 2005). Menurut AS, Jepang akan semakin terancam jika masih

menjalankan kebijakan militer yang pasif sesuai Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947

dan hanya bersandar pada kekuatan AS saja. Maka penting bagi AS agar Jepang

meningkatkan kekuatan militernya demi memperkuat kekuatan aliansi di kawasan

Asia Timur (Sukma 2009).

Page 90: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

77

4.2.3 Ancaman Senjata Nuklit Korea Utara

Salah satu faktor eksternal yang menjadi pertimbangan AS mendorong

Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan adalah kepemilikan senjata

nuklir oleh Korea Utara. Akan dijelaskan pada bagian ini bahwa ancaman senjata

nuklir Korea Utara menjadi salah faktor pendorong AS untuk meminta Jepang

mengubah kebijakan pertahanan dan keamanannya.

Bermula pada tahun 1994 pada krisis nuklir Korea Utara, ketika

International Atomic Energy Agency (IAEA) dilarang pemerintah Korea Utara

untuk menyelidiki reaktor nuklir di Yongbyeon. Kemudian Korea Utara menutup

reaktor nuklirnya di Yongbyeon dengan imbalan bantuan pasokan minyak solar

dari AS. Pada tahun 1998, Korea Utara membuat kecurigaan dunia internasional

ketika rudal berjangkauan 1.700-2.200 km diluncurkan. Akhirnya pada tahun

2001, setelah melakukan penyelidikan dan uji reaktor nuklir selama tiga tahun,

IAEA menuduh Korea Utara memiliki setidaknya dua senjata rudal nuklir.

Setahun kemudian AS menghentikan bantuan pasokan solarnya atas embargo

kepemilikan senjata nuklir Korea Utara (KBS News 2014).

Pemerintahan Bush menyikapi masalah ini dengan reaksi keras. Pada

tahun 2002 Korea Utara dianggap AS sebagai bagian “axis of evil” selain

terorisme. Kemudian AS meminta kepada semua negara di dunia untuk

mengecam tindakan Korea Utara dan menghentikan semua bentuk bantuan pada

Korea Utara (Kim 2011). Dampak lainnya adalah pada pertemuan aliansi AS-

Jepang pada tahun 2004, Bush meminta masalah nuklir Korea Utara dijadikan

sebagai agenda utama keamanan kawasan selain perkembangan militer Tiongkok.

Page 91: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

78

Setelah efek Security Dilemma yang disebabkan Korea Utara, AS dan Jepang

berkomitmen untuk terus memperkuat aliansi militer dalam rangka menjaga

kestabilan kawasan (Hughes 2009).

Pada 4-5 Juli 2006, Korea Utara melakukan uji coba peluncuran rudal

Taepodong-2. Uji coba yang dilakukan Korea Utara tersebut mendapat reaksi

keras dari banyak negara, Amerika Serikat dan Australia mengecam uji coba rudal

itu. Bahkan Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan darurat untuk

menyikapi aksi Korea Utara itu. PBB akhirnya mengeluarkan Resolusi DK PBB

untuk melarang peluncuran rudal yang dilakukan Korea Utara. (Kompas, 14 Juli

2006). Kemudian pada 9 Oktober 2006, Korea Utara melakukan uji coba rudal

nuklir, kali ini dengan bahan nuklir plutonium khusus, bukan seperti pada masa

sebelumnya hanya dengan uranium yang diperkaya dengan sedikit kandungan

nuklir (BBC News 2006).

Dunia internasional melalui International Atomic Energy Agency (IAEA)

dan Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapon (NPT) terus meminta

Korea Utara menghentikan ujicoba nuklirnya karena dapat mengancam keamanan

internasional (UNODA 2014). IAEA meminta Korea Utara yang statusnya bukan

sebagai negara anggota NPT untuk secara transparan memberitakan data dari

kegiatan perkembangan nuklir. Korea Utara menolak dengan alasan tidak ada

kewajiban membuat laporan kepada IAEA dan NPT karena Korea Utara telah

lama keluar dari keanggotaan NPT (April 2003 Korea Utara keluar dari

keanggotan NPT). Korea Utara mengatakan jika pengembangan nuklir yang

dilakukannya hanya sebatas pengembangan tenaga nuklir untuk konsumsi sama

Page 92: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

79

halnya dengan produksi listrik bukan untuk membuat senjata pemusnah massal

yang selama ini dituduh AS dan IAEA (China Daily 2003).

Korea Utara memiliki alasan sendiri untuk terus mengembangkan

nuklirnya dan tidak mendengarkan permintaan dunia internasional. Alasan yang

pertama Korea Utara ingin melindungi diri dari ancaman Korea Selatan, karena

pasca Perang Korea 1953 belum ada perjanjian damai antara keduanya tetapi

hanya sekedar gencatan senjata; kedua karena faktor ekonomi, Korea Utara

menggunakan peluncuran senjata nuklir sebagai alat memeras negara – negara di

sekitarnya, seperti Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok. Korea Utara akan

menghentikan peluncuran dan pengembangan senjata nuklir dengan imbalan

bantuan dana dari negara yang diperas; ketiga, kepemilikan senjata nuklir adalah

alat Korea Utara untuk pencitraan di kawasan Asia Timur. Korea Utara ingin

mengangkat citranya di kawasan dengan kepemilikan senjata nuklir (Moore

2008).

Bagi Jepang, kepemilikan nukir Korea Utara sangat mengancam

keamanan nasional mereka dan menimbulkan Security Dilemma. Menurut laporan

IAEA dan UNODA, Korea Utara memiliki beberapa jenis senjata nuklir yang

jangkauannya dapat menjangkau setengah dari wilayah Asia. Rudal nuklir dengan

nama Taepodong II merupakan jenis rudal nuklir yang jangkauan 3500-6000 km.

Rudal nuklir Korea utara dengan nama Intercontinental Ballistic Missile Defense

(ICBM) dengan jangkauan 9000-10000 km, merupakan rudal yang jangkauan

paling luas di dunia (UNODA 2014). Di bawah ini tabel rudal nuklir yang dimiliki

Korea Utara beserta jangkauan, jumlah dan jumlah peluncuran.

Page 93: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

80

Tabel 5: Kepemilikan Misil Korea Utara

Sumber: Global Security diakses melalui http://www.globalsecurity.org/wmd/world/dprk/nuke.htm pada 23 November 2014

Amerika Serikat kemudian meminta Jepang untuk mewaspadai kegiatan

uji coba nuklir Korea Utara, dan mengusulkan Jepang untuk meningkatkan

serangan penangkal mereka. Jepang kemudian mempertimbangkan usulan untuk

serangan penangkal ke basis-basis peluru kendali Korea Utara sebagai hak

konstitusional Jepang dalam mempertahankan diri (Gray 1995). Meski konstitusi

Jepang melarang penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa

internasional dan melarang Jepang memiliki angkatan bersenjata untuk perang,

namun AS meyakinkan Jepang jika peraturan itu memperbolehkan negara

memiliki angkatan bersenjata untuk membela diri (Avery & Reinhart 2013).

Uji coba yang dilakukan Korea Utara pada tahun 2006 inilah yang memicu

ketegangan keamanan di kawasan Asia Timur. Tidak lama kemudian, atas

dorongan dari Presiden Bush, Perdana Menteri Shinzo Abe menyerukan

memperkuat badan pertahanan untuk memperkuat respon dalam mengatasi

ketegangan dengan Korea Utara (Moore 2008).

Page 94: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

81

Pada April 2009, Korea Utara kembali meluncurkan rudal nuklirnya.

Peluncuran ini dengan rudal Scoud B dengan jangkauan 3000 km (BBC News

2009). Dalam merespon hal ini, AS meminta pertemuan Anggota Security

Consultative Comitee (SCC) AS-Jepang pada 28 Mei 2010 perihal membahas

ancaman senjata nuklir Korea Utara (Shoji 2011). Di bawah ini jangkauan misil

nuklir Korea Utara yang menjadi ancaman kawasan.

Gambar 3: Jangkauan Misil Korea Utara

Sumber: www.globalsecurity.org diakses pada 20 September 2014

Dari gambar diatas sangat jelas bahwa ancaman yang dimiliki Korea Utara

memiliki efek Security Dilemma bagi kawasan khususnya bagi Jepang dan Korea

Selatan karena jarak teritori Jepang sangat dekat dengan Korea Utara. Faktor

ancaman dari eksternal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Amerika

Serikat mendorong Jepang untuk terus meningkatkan kekuatan militer dengan

Page 95: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

82

semakin menjalin hubungan militer dengan Amerika Serikat. AS terus meminta

Jepang terus waspada dan meningkatkan kekuatan militer mereka demi

menangkal ancaman militer Korea Utara.Dengan perubahan NPDG 2010

dikatakan bahwa Jepang harus ikut lebih bertanggung jawab atas keamanan

kawasan Asia Timur, maka penting bagi Jepang melakukan transformasi

militernya.

4.3 Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang

4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur

Amerika Serikat memiliki kepentingan dari perubahan kebijakan

pertahanan dan keamanan Jepang. Kepentingan tersebut terkait dengan keinginan

AS menjaga kawasan Asia Timur dari kekuatan militer Korea Utara dan

Tiongkok. Security Dilemma yang disebabkan Tiongkok dan Korea Utara

mengancam kepentingan AS pada kawasan ini. Beberapa kepentingan AS dalam

keterlibatan di Asia Timur antara lain, berusaha mencegah negara – negara yang

berada pada kawasan ini menjadi hegemon; kepentingan jalur akses transit AS

pada negara mitra di kawasan ini; kepentingan menjaga jalur perdagangan demi

investasi masa depan; dan yang terakhir yaitu hubungan aliansi dengan mitra AS

di kawasan semakin kuat untuk membendung kekuatan militer Korea Utara dan

Tiongkok (Dosch 2004).

Tiongkok dan Korea Utara adalah ancaman paling besar di kawasan Asia

Timur. Disisi lain dibandingkan dengan sekutu AS lainnya, Jepang keamanan dan

pertahanannya masih dinilai memerlukan perubahan untuk menghadapi kekuatan

Page 96: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

83

Tiongkok dan Korea Utara. Untuk itu AS terus fokus dalam membantu

modernisasi militer Jepang demi kepentingan menjaga kawasan dari kekuatan

militer Tiongkok dan Korea Utara (Dosch 2004).

Ada tiga kepentingan utama AS di kawasan Asia Timur dalam buku East

Asian Strategic Review (2000) yaitu pertama, untuk selalu mencegah kekuatan

tunggal yang ingin mendominasi kawasan. Negara-negara di kawasan Asia Pasifik

memiliki populasi yang besar, kekuatan militer yang signifikan dan memiliki

potensi ekonomi serta teknologi yang canggih. Sehingga besar kemungkinan ada

kekuatan-kekuatan baru di kawasan yang mengancam kekuatan besar AS. Kedua,

untuk menjaga stabilitas dan tatanan negara-negara di kawasan. Asia Timur

dianggap sangat rentan terhadap konflik antar negara dan konflik lainnya. Ketiga,

kepentingan ekonomi. Kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang penting

bagi kepentingan komersial AS. Kawasan ini menjanjikan jaminan wilayah bagi

investasi AS (East Asian Strategic Review 2000).

Kepentingan – kepentingan AS pada kawasan Asia Timur yang telah

dijelaskan di atas merupakan tujuan utama dalam kepentingan AS terhadap

perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.

Amerika Serikat memposisikan diri pada kawasan Asia Timur sebagai

penyeimbang dalam rangka membendung Security Dilemma yang diciptakan oleh

kekuatan militer Tiongkok dan menentang kepemilikan nuklir Korea Utara.

Kepentingan Amerika Serikat di Asia Timur ialah sikap yang konsisten mengenai

perdamaian dan keamanan agar stabilitas sistem internasional dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Perdamaian ini sukar didapatkan ketika kondisi keamanan

Page 97: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

84

antar negara tidak bisa dikontrol oleh sistem dan peraturan yang mengikat (U.S

Department of Defense Office of Internasional Security Affairs 2005). Atas dasar

tersebut, Amerika Serikat membuat sebuah kebijakan di Asia Timur yang selaras

dengan kepentingan keamanan, ekonomi dan tantangan politik dalam dinamika

kawasan Asia Timur (Tjeng 1983).

Strategi militer AS di kawasan Asia Timur tergolong ke dalam ballance of

threat yang cenderung dilakukan oleh negara yang memiliki kekuatan besar untuk

mencegah munculnya negara yang berpotensi menjadi hegemoni dan mengganggu

kondisi ballance of power di suatu kawasan tertentu (Walt 1985). Kebijakan

militer AS dilakukan melalui pembentukan koalisi dengan negara-negara Asia

Timur yang memiliki persamaan pandangan mengenai Tiongkok dan Korea Utara

sebagai “potensi ancaman” terhadap ballance of power di kawasan kemudian

membuat negara-negara Asia Timur mendukung kehadiran AS di kawasan

(Prabhakar 2006).

Kehadiran militer AS diperlukan sebagai counterballance untuk

meningkatkan posisi bargaining mereka dalam upaya penyelesaian yang tengah

diupayakan. Pertimbangan negara-negara Asia Timur mengacu pada kekuatan

militer yang mereka miliki cenderung lebih lemah jika dibandingkan dengan

Tiongkok yang terus mengalami peningkatan dan modernisasi. Keberadaan AS

dengan kekuatan militernya dapat mengimbangi dan membendung perkembangan

pesat kekuatan militer Tiongkok di kawasan. Walaupun pada saat ini Tiongkok

dengan kekuatan besarnya yang terus mengalami peningkatan pesat tersebut

bukanlah sebuah ancaman, akan tetapi di masa depan, tanpa adanya kekuatan

Page 98: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

85

penyeimbang (counterballancer), Tiongkok memiliki kemungkinan besar untuk

menjadi ancaman keamanan bagi negara sekitarnya (Prabhakar 2006).

Tiongkok dianggap AS sebagai kekuatan yang dapat mengancam kawasan

Asia Timur yang terlihat pada tahun 2003. Saat itu Tiongkok memperkuat armada

udaranya dengan teknologi SU-30 (naval strike version) yang mampu memyerang

dengan meluncurkan rudal anti ship cruise yang mempunyai daya hancur besar.

Tiongkok juga membeli empat buah Jet Tempur dari Rusia di tahun yang sama.

Hal ini menimbulkan Security Dilemma kawasan dan kekhawaitran bagi Amerika

Serikat yang ingin menjaga kawasan Asia timur dari kekuatan militer Tiongkok

(US Annual Report on The Military Power of The PRC, 2003).

Kemudian dalam merespon peningkatan kekuatan militer Tiongkok pada

November 2003, Pertemuan Jepang-AS diadakan di Tokyo yang dihadiri Menteri

Pertahanan, Shigeru Ishiba dan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Pada

pertemuan tersebut, keduanya mendiskusikan peningkatan militer Tiongkok.

Ishiba dan Rumsfeld setuju bahwa peningkatan militer Tiongkok adalah ancaman

kawasan Asia Timur. Kedua negara perlu meningkatkan kerjasama tidak hanya di

kawasan tetapi juga pada masalah keamanan global. Selalu mengawasi

peningkatan kekuatan militer yang dilakukan Tiongkok, AS meminta Jepang

untuk semakin memperkuat pertahanan dan keamanan negaranya (Morrison

2003).

Pada April 2007 di Washington, Presiden Amerika Serikat George W.

Bush dan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe sepakat akan meningkatkan

tekanan pada Korea Utara agar menghentikan program nuklirnya. Setelah

Page 99: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

86

pertemuan di peristirahatan presiden di Camp David, Presiden Bush meminta

Jepang untuk ikut aktif dalam menekan Korea Utara dalam kepemilikan senjata

nuklirnya. Amerika Serikat berjanji akan terus mendukung kekuatan aliansi

militer AS-Jepang demi menjaga kestabilan kawasan Asia Timur (Deutche Welle

News 2007).

Menurut Christoper W. Hughes dalam bukunya “Japanese Military

Modernization In Search of a Normal Security Role” (2005), Amerika Serikat

meminta Jepang untuk terus memperbaiki keadaan militer dan tidak lagi

bergantung penuh pada payung militer AS. Amerika Serikat menjelaskan pada

Jepang bahwa ancaman–ancaman dari kekuatan militer Tiongkok dan Korea

Utara yang sangat mungkin terjadi (Hughes 2005).

NDPG atau National Defense Program Guidelines 2004 merupakan hasil

dari pengaruh AS yang meminta Jepang dalam tranformasi kekuatan militernya.

NDPG 2004 merupakan awal landasan dasar bagi Jepang dalam perubahan

kebijakan pertahanan dan keamanan terkait respon Jepang dalam persepsi

ancaman Korea Utara dan Tiongkok. Kemudian berlanjut pada NDPG 2010, di

mana merupakan dampak dari dilema keamanan yang dibuat Tiongkok dan Korea

Utara (Wang 2008).

Pada masa kepresidenan Obama di tahun 2009, AS mengeluarkan

Kebijakan Luar Negeri “The Pivot to Asia” yaitu mengubah fokus kepentingan

dari kawasan Timur Tengah ke kawasan Asia Pasifik. Hal ini memperkuat alasan

AS untuk terus terlibat pada kawasan Asia Timur (U.S Departmen of State 2009).

Dalam wawancara yang dilakukan The Foregin Policy Initiative dengan Assistant

Page 100: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

87

Secretary of State for East Asian and Pacific Affairs Kurt Campbell pada

Desember 2012, Kurt Campbell mengatakan Kebijakan Luar Negeri “The Pivot to

Asia” yang diambil Presiden Obama dikarenakan pengaruh kondisi kawasan Asia

Pasifik yang beresiko dikuasi oleh kekuatan Korea Utara dan Tiongkok. Amerika

Serikat menurut Kurt Campbell harus memperkuat aliansi dengan mitra aliansinya

di Asia Pasifik yaitu Jepang, Korea Selatan, Australia dan Filipina. Kemudian AS

akan terus berusaha untuk mendekati Tiongkok dan Korea Utara dalam

memperbaiki hubungan demi kepentingan AS di kawasan Asia. Kurt Campbell

mengatakan jika AS memiliki hubungan baik kepada semua pihak maka

kepentingan AS di kawasan Asia dapat tercapai (The Foregin Policy Initiative

2012).

Amerika Serikat mempertegas kebijakan The Pivot to Asia yaitu dengan

meningkatkan kehadiran militer di kawasan Asia Timur meskipun anggaran

pertahanan berkurang akibat krisis ekonomi. “Setelah ekonomi membaik dan

anggaran pertahanan kembali naik, kami akan segera meningkatkan kehadiran

militer Amerika Serikat di Asia Pasifik untuk menyeimbangkan kembali

konstelasi kekuatan di kawasan," kata Wakil Menteri Pertahanan AS Ashton

Carter (Antara News 2012).

Lebih dari itu, Carter mengatakan bahwa AS bertanggung jawab untuk

menjaga perdamaian dari kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok di Asia

Timur. Kehadiran militer AS telah membuat negara-negara di kawasan Asia

Timur seperti Jepang dan Korea Selatan dapat berkonsentrasi membangun

ekonomi sehingga kesejahteraan negara-negara tersebut meningkat. "Kehadiran

Page 101: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

88

kami di Jepang dan Korea Selatan untuk mencegah hadirnya kekuatan komunisme

pada masa lalu, telah membuat kedua negara ini aman dan demikian sejahtera"

kata Ashton Carter yang berbicara dalam forum Jakarta International Defence

Dialogue (Jakarta International Defence Dialogue 2014).

Jadi kepentingan Amerika Serikat terhadap perubahan kebijakan

pertahanan dan keamanan Jepang adalah untuk menjaga wilayah Asia Timur dari

kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok. Peningkatan kekuatan militer

Tiongkok yang menimbulkan Security Dilemma di kawasan Asia Timur, serta

kepemilikan senjata nuklir Korea Utara merupakan dua bentuk ancaman bagi AS

dalam keterlibatannya di Asia Timur. Maka menjalin hubungan militer dengan

Jepang merupakan jalan yang tepat bagi AS dalam usaha menjaga kestabilan

kawasan. Aliansi AS-Jepang adalah penggabungan kekuatan dalam mengimbangi

ancaman (ballance of threat) dari kekuatan militer Tiongkok dan senjata nuklir

Korea utara. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ke arah lebih baik

yang dilakukan Jepang merupakan suatu dorongan bagi AS demi mencapai

kepentingannya di kawasan Asia Timur.

4.3.2 Extended Deterrence AS terhadap Kekuatan Militer Tiongkok dan Korea Utara Salah satu kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan

pertahanan dan keamanan Jepang adalah terkait erat dengan hubungan aliansi

militernya bersama Jepang. Seperti yang telah dijelaskan pada kerangka

pemikiran, aliansi merupakan upaya negara bergabung dengan negara lain untuk

menangkal ancaman bersama. AS bersama-sama Jepang menggabungkan

kekuatan militer mereka untuk mengimbangi kekuatan militer Korea Utara dan

Page 102: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

89

Tiongkok yang merupakan ancaman di kawasan ini. Upaya Ballance of Threat

dari aliansi AS-Jepang menjadikan sebuah strategi Extended Deterrence dalam

rangka merespon Security Dilemma kawasan yang diciptakan oleh Korea Utara

dan Tiongkok.

Menurut Koji Murata (1998) dalam tulisan “Japan Military Cooperation

and Alliances in the Asia-Pacific Region”, AS dan Jepang menjalin aliansi militer

bukan untuk menjadi ancaman bagi negara-negara di kawasan Asia Timur, akan

tetapi dengan mempertimbangkan kepentingan kawasan yang selalu dipromosikan

Amerika Serikat yaitu demi terciptanya perdamaian di kawasan Asia Timur.

Kepentingan AS menciptakan perubahan militer pada Jepang adalah untuk

meningkatkan kapabilitas pertahanan dalam rangka mempersiapkan diri

menghadapi ancaman dari nuklir Korea Utara dan militer Tiongkok (Murata

1998). Untuk itulah Amerika Serikat dalam setiap Joint Statement Security

Consultative Committee (SCC) aliansi militer AS-Jepang dari pasca Perang

Dingin sampai SCC 2012 selalu mendorong Jepang agar terus memodernisasi

militernya.

Menurut Michael Green (2008) dalam tulisannya “Japan in Asia” pada

buku “International Relations of Asia”, aliansi militer antara Amerika Serikat dan

Jepang merupakan suatu hubungan saling ketergantungan di mana kedua negara

saling memiliki kepentingan sendiri. Amerika Serikat memiliki kepentingan

dalam mencegah kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara dengan memperkuat

aliansi militer dengan Jepang. Cara memperkuat aliansi militer oleh AS adalah

dengan terus mendorong Jepang untuk bertransformasi dalam militernya.

Page 103: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

90

Sedangkan bagi Jepang faktor keamanan nasional adalah prioritas utama dalam

menghadapi kekuatan Tiongkok dan Korea Utara. Dengan memanfaatkan

teknologi militer dari aliansi militer bersama AS, Jepang menyerap teknologi

demi menciptakan militer lebih kuat (Shambaugh & Yahuda 2008).

Jepang diarahkan untuk terus membangun militernya agar lebih kuat

dengan cara mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan. Dengan perubahan

kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang maka kerjasama aliansi militer AS-

Jepang akan semakin meningkat (Shambaugh & Yahuda 2008). Dalam bab

sebelumnya telah menjelaskan pasca Jepang memiliki Kementerian Pertahanan,

aliansi militer AS-Jepang mengalami penambahan jumlah kerjasama, Puncaknya

setelah kesepakatan bersama SCC 2012 di mana kerjasama militer aliansi AS-

Jepang meningkat pesat. Peningkatan kerasama militer AS-Jepang tidak terlepas

dari pendekatan Kebijakan Luar Negeri AS pada masa Presiden Obama di mana

wilayah Asia Pasifik lebih diprioritaskan.

Penegasan dan pernyataan resmi perubahan fokus kebijakan ke kawasan

Asia Pasifik secara umum dan khususnya Asia Timur baru dikeluarkan oleh

pemerintahan Obama pada akhir tahun 2011. Akan tetapi, sejak Obama menjabat

sebagai Presiden AS telah ada suatu upaya pendekatan dan penguatan hubungan

aliansi keamanan secara bilateral dengan negara-negara Asia Timur termasuk

Jepang.

Ditambah dengan komitmen kebijakan militer AS dalam dokumen resmi

Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense yang

dikeluarkan Kementerian Pertahanan pada Januari 2012. Korea Utara dan

Page 104: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

91

Tiongkok menjadi pelaku utama ancaman kawasan Asia di dalam dokumen ini.

Dalam dokumen tersebut, AS akan berusaha mencegah setiap aktivitas Korea

Utara dan Tiongkok dalam pembetukan Anti Access/ Area Denial (A2/AD) yang

dapat membatasi akses di wilayah perairan internasional. Semua ini demi

kepentingan kelancaran akses AS untuk menjangkau seluruh wilayah Asia Pasifik

(Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense 2012).

Dalam dokumen Army Strategic Planning Guidance menyatakan strategi

Extended Deterrence akan menjadi strategi AS dalam menghadapi tantangan serta

potensi ancaman Tiongkok dan Korea Utara di abad ke-21. Extended deterrence

memerlukan pasukan militer yang berkualitas dengan adanya kapabilitas dan

kapasitas yang memadai, serta mampu menjalankan misi secara internasional

dengan tetap menjaga kepentingan nasional AS di Asia Timur. Dalam

implementasinya, kebijakan militer AS cenderung difokuskan ke sub-kawasan

Asia Timur, wilayah di mana Tiongkok dan Korea Utara menjadi ancaman

(Document of Army Strategic Planning Guidance 2012).

Dalam penerapan extended deterrence, Amerika Serikat mengajak Jepang

terus meningkatkan hubungan aliansi militer di mana AS telah menyiapkan

proyek aliansi militer jangka menengah 2020 dan proyek aliansi jangka panjang

2049. Dalam beberapa pertemuan SCC, AS telah menjelaskan pada Jepang proyek

jangka menengah 2020 dan belum menjelaskan proyek jangka panjang 2049. Isi

dari proyek jangka menengah 2020 adalah dengan mengoptimalkan pembangunan

7 fasilitas pangkalan militer aliansi AS-Jepang, yaitu Pangkalan Udara Yokota,

Pangkalan Udara Miwa, Pangkalan Udara Kadena, Stasiun Udara Futenma,

Page 105: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

92

Stasiun Udara Iwakuni, Pangkalan Angkatan Laut Sasebo, dan Pangkalan Kapal

Yokosuka. Semua pangkalan militer ini tersebar di seluruh wilayah Jepang dalam

rangka strategi Extended Deterrence di kawasan Asia Timur. Berikut adalah

gambaran dari proyek aliansi militer yang ingin dikembangkan Amerika Serikat

tersebar di seluruh wilayah Jepang (Project-2049 Institute 2014).

Gambar 4: Proyek 2020 Pengembangan Pangkalan Aliansi Militer

Sumber: Project-2049 Institute, http://www.project2049.net diakses pada 28 November 2014.

Dengan mengembangkan proyek ini, AS sangat yakin dapat meningkatkan

kekuatan aliansi militer yang lebih efektif dari sebelumnya serta dapat

menciptakan extended deterrence yang besar di kawasan Asia Timur. Proyek

aliansi ini dapat cepat terlaksana jika pemerintah Jepang menciptakan NDPG yang

baru berisikan inti dari proyek aliansi jangka menengah ini. Dibutuhkan NDPG

paling baru yang dapat memperbarui NDPG 2012 terakhir yang belum

menjelaskan proyek aliansi militer ini (Project-2049 Institute 2014). Untuk itulah

perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang menentukan sejauh ma

Page 106: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

93

na tingkat aliansi militer AS-Jepang. Kembali lagi ini semua demi kepentingan

AS yang ingin terciptanya kawasan Asia Timur yang bebas dari kekuatan militer

Korea Utara dan Tiongkok

Dapat disimpulkan bahwa kepentingan AS di kawasan Asia Timur adalah

menciptakan kawasan yang bebas dari kekuatan militer Tiongkok dan Korea

Utara. Demi mencapai kepentingan tersebut, AS mendorong Jepang untuk

mengubah kebijakan pertahanan dan keamanannya ke arah lebih modern dan

canggih.

4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan AS di Asia Timur

Selain karena kawasan Asia Timur menjadi prioritas pada politik luar

negeri AS, menurut Robert Sutter (2005) dalam tulisan berjudul The United States

in Asia: Challenged but Durable Leadership, keterlibatan AS pada kawasan ini

juga demi kepentingan masa depan AS dalam menjaga jalur perdagangan di

kawasan Asia secara keseluruhan. Kawasan Asia merupakan pasar terbesar bagi

perdagangan Amerika Serikat pasca Perang Dingin. Telah dijelaskan sebelumnya

menjadikan kawasan ini stabil tanpa ada kekuatan militer yang mengancam adalah

kepentingan dari AS. Selain itu kepentingan AS berada pada sektor perdagangan.

AS membuat kawasan ini stabil dari ancaman nuklir Korea Utara dan militer

Tiongkok juga untuk memberikan keamanan pada kegiatan perdagangan pada

kawasan ini. Jika kondisi kawasan Asia aman untuk melakukan kegiatan

perdagangan maka kepentingan AS juga terjaga. Untuk itulah penting bagi AS

memberikan dorongan agar meningkatkan kekuatan militer kepada Jepang dan

negara mitra aliansi lain yang berada pada kawasan ini (Sutter 2005).

Page 107: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

94

Masa kepresidenan Obama dari tahun 2008 menjadikan AS kembali fokus

pada urusan perdagangannya di kawasan ini. Selama Presiden Bush berkuasa,

Kebijakan Luar Negeri AS pendekatannya cenderung lebih fokus pada

penggunaan militer dan sedikit mengabaikan urusan perdagangan. Ketika Partai

Republik berkuasa anggaran menjadi defisit karena banyak dikeluarkan untuk

militer, termasuk kekuatan aliansi militer bersama Jepang yang menghabiskan

banyak dana sekitar 452 miliar Dollar AS pada tahun 2006, meningkat defisitnya

menjadi 455, sampai tahun akhir kekuasaan Presiden Bush di tahun 2007 menjadi

455 miliar Dollar AS (US Census Bureau 2012). AS mengalami defisit dalam

pembuatan pangkalan militer, tank tempur, senjata personil dan lain sebagainya

(Shoji 2011). Untuk itulah, sejalan dengan The Pivot to Asia yang telah

diumumkan oleh Presiden Obama, wilayah Asia-Pasifik adalah fokus semua

bentuk Kebijaka Luar Negeri AS baik itu politik atau ekonomi. Maka penting bagi

AS untuk menjaga kegiatan perdagangan AS di kawasan ini karena merupakan

investasi jangka panjang bagi AS (The Foregin Policy Initiative 2012).

Kawasan Asia menjadi salah satu tujuan utama ekspor komoditas AS.

Mitra perdagangan AS pada kawasan Asia Timur meliputi wilayah Jepang, Korea

Selatan, Taiwan, dan Hongkong serta negara – negara Asia Tenggara seperti

Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Laos, dan Vietnam. Pada kawasan ini,

Amerika Serikat lebih memfokuskan pada komoditas senjata militer, kendaraan,

pesawat, elektronik, alat rumah tangga, mesin pabrik, pipa pabrik dan sebagainya

(CNBC News 2014). Dibawah ini jalur perdagangan AS pada kawasan Asia.

Page 108: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

95

Gambar 5: Peta Jalur Perdagangan AS di Kawasan Asia Pasifik

Sumber: http://www.geographic.org/maps/new2/us-trade-asia pada 20 November 2014 Dari gambar di atas dapat disimpulkan jalur perdagangan AS di Asia

sangat dekat dan rentan dengan ancaman militer Tiongkok dan senjata nuklir

Korea Utara. Asia Timur merupakan pintu masuk awal dari jalur perdagangan AS

untuk mencapai ke Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Sangat penting bagi AS demi

investasinya di kawasan ini membuat kawasan Asia Timur aman dari ancaman

militer Tiongkok dan Korea Utara (Geographic 2014). Kepentingan AS untuk

mengamankan investasi pada jalur Asia Pasifik kuncinya adalah membuat

kawasan Asia Timur menjadi stabil seperti telah dijelaskan pada penjelasan

sebelumnya. Hal ini mengingat kegiatan perdagangan AS di kawasan ini nilainya

Page 109: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

96

sangat besar. Berikut tabel yang menjelaskan jumlah nilai ekspor komoditas AS

pada pasar Asia (US Census Bureau 2012)

Tabel 6: Nilai ekspor barang dan jasa AS pada pasar Asia 2006 – 2012

Tahun Nilai Ekspor (juta dollar AS) 2006 290,765.1 2007 327,285.9 2008 359,151.2 2009 307,896.6 2010 387,360.6 2011 439,240.7 2012 456,538.2

Sumber: US Census Bureau 2012 diakses dari https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c0016.html

Dari data tabel diatas terlihat jumlah ekspor komoditas AS pada kawasan

ini ternilai sangat besar pada tahun 2012 yaitu 456.538 juta Dollar AS, meningkat

jauh dari tahun 2006 yang bernilai 290,765 juta Dollar AS, hal inilah yang

menjadikan kawasan Asia sangat penting bagi AS. AS tidak hanya memiliki

kepentingan pada bidang politik dan keamanan tapi juga pada bidang ekonomi.

Untuk itulah kegiatan perdagangan Amerika Serikat di Asia harus aman dari

ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara karena hal ini merupakan investasi

jangka panjang AS.

Page 110: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

97

BAB V KESIMPULAN

Berawal pada masa Presiden Bush, AS mendorong perubahan kebijakan

dan pertahanan Jepang karena adanya ancaman senjata nuklir Korea Utara dan

perkembangan pesat militer Tiongkok. Presiden Bush meminta Jepang untuk

segera mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan demi memperkuat

kekuatan aliansi militer AS-Jepang. Dengan adanya perubahan kebijakan

pertahanan dan keamanan Jepang, AS mengharapkan semakin mudah dan banyak

kerjasama militer yang mungkin dilakukan AS-Jepang di masa mendatang dalam

rangka menangkal ancaman kekuatan Korea Utara dan Tiongkok.

Amerika Serikat pada masa kepemimpinan Presiden Obama menempatkan

kawasan Asia Pasifik menjadi prioritas utama pada Kebijakan Luar Negeri AS.

Kebijakan ini dikenal dengan nama “The Pivot to Asia” Amerika Serikat memiliki

kepentingan untuk menjadi negara hegemon di kawasan Asia Pasifik tanpa

kekuatan penyaing. Bagi Amerika Serikat setidaknya memiliki empat tujuan

utama yang mendasari keterlibatannya di daerah Asia Timur, antara lain pertama

mencegah munculnya hegemoni regional yaitu kekuatan militer Tiongkok dan

Korea Utara; kedua, mempertahankan jalur transit di daerah Asia Timur baik jalur

laut maupun udara, ketiga menjaga akses komersial yang dibutuhkan untuk

menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan perdagangan; keempat memperkuat

dan mempertahankan hubungan keamanan di antara sekutu dalam rangka

membendung kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok di kawasan Asia Timur.

Page 111: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

98

Kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara yang mengalami

perkembangan pesat dianggap AS dapat menghalangi kepentingannya di kawasan

ini. Kekuatan Tiongkok dan Korea Utara berada pada sub-kawasan Asia Timur,

yang mana pada kawasan ini AS memiliki hubungan aliansi dengan Jepang.

Untuk itulah Amerika Serikat menganggap persekutuan bersama Jepang adalah

strategi untuk membendung kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara di

kawasan Asia Timur.

Perkembangan pesat militer Tiongkok dan kepemilikan senjata nuklir oleh

Korea Utara mengakibatkan AS meminta Jepang untuk lebih memperhatikan

masalah pertahanannya. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang

dianggap AS sebagai langkah yang penting dalam kepentingan untuk menangkal

kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara. Jepang melakukan perubahan

kebijakan pertahanan dan keamanan ketika Badan Pertahanan Jepang ditingkatkan

statusnya menjadi Kementerian Pertahanan yang dipimpin langsung oleh seorang

menteri dan berhak secara langsung mengajukan anggaran pertahanan sendiri.

Berdirinya Kementerian Pertahanan Jepang menjadi momentum penting

bagi Jepang untuk terus bertransformasi dalam kekuatan militernya. Kementerian

Pertahanan berdiri diikuti dengan kenaikan anggaran belanja militer pada 2006,

perkembangan teknologi militer dan perubahan doktrin penggunaan kekuatan

militer. Semua perubahan ini atas dorongan Amerika Serikat kepada Jepang

dalam merespon ancaman yang terlihat dari perkembangan militer Tiongkok dan

kepemilikan senjata nuklir Korea Utara.

Page 112: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

99

Penambahan fasilitas militer serta semakin banyak ditandatanganinya nota

kesepakatan bersama AS-Jepang merupakan bukti bahwa kekuatan aliansi militer

AS-Jepang semakin kuat pasca Kementerian Pertahanan Jepang berdiri. Tujuan

transformasi militer Jepang ini agar Jepang tidak lagi mengikuti pasal 9 Konstitusi

1947 yang berisi tentang ketergantungan Jepang terhadap payung militer AS,

tetapi menjadi sekutu aliansi yang mandiri demi menghadapi ancaman kekuatan

Tiongkok dan Korea Utara.

Jadi kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan

dan keamanan Jepang adalah untuk ballance of threat yaitu berusaha

menyeimbangi kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok, dengan strategi

extended deterrence yang ditujukan pada Tiongkok dan Korea Utara. Tiongkok

dan Korea Utara dianggap Amerika Serikat sebagai hambatan yang dapat

menghalangi AS dalam mencapai kepentingan nasionalnya di kawasan ini,

termasuk kepentingan investasi ekonominya pada jalur perdagangan Asia Pasifik.

Page 113: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

x

DAFTAR PUSTAKA

Buku: Adamy, Namzariga. Kebijakan Peacekeeping Operation Jepang di Kamboja : Suatu

TinjauanTerhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin, Jakarta : UI, 2004.

Akaha, Tsuneo. Japan Security After US Hegemony , The International Relation of Japan, Kathlen Newland : London Publishing Group, 1990.

Anderson, Justin V & Jeffrey A. Larsen. Extended Deterrence and Allied Assurance: Key Concepts and Current Challenges for U.S. Policy,Colorado: USAF Institute for National Security Studies, September 2013.

Anggoro, Kusnanto. Makalah Pembanding Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII: Keamanan Nasional, Pertahanan Negara dan Ketertiban Umum, Jakarta: CSIS, 2003.

Art, Robert J & Robert Jervis Robert.International Politics Enduring Concepts and Contemporary Issues, New York : Pearson Longman, 2007.

Ashley J.T., & Janice Bially. Measuring National Power in the Postindustrial Age. New York: Rand, 2000.

Avery Emma & Rinehart Ian E. U.S – Japan Alliance. Congressional Research Service: December 2013.

Beck, Paul Allen dan Frank J.Sorauf. (1992). Party Politics in America. USA : HarperCollins Publisher

Betts, Richard K. Conflict After the Cold Arguments on Cause of War and Peace, Mac Millan Publishing Company, 1994.

Burchill, Scott. Theoris of International Relation, New York : Palgrave, 1996. Biddle, Stephen. Military Power: Explaining Victory and Defeat In Modern Battle.

New Jersey: Princeton University Press, 2004. Bishop, Chris (eds) The Encyclopedia of Weapons of World War II. Barnes &

Nobel. 1998. Buzan, Barry.“An Introductionto Strategic Studies: Military Technology and

International Relations” dalam ikrar Nusa Bakti, “Forum Regional ASEAN dan Pengaturan Keamanan Regional di Asia Pasifik”..Jurnal Ilmu Politik, No.10 1997.

Buzan, Barry & Eric Herring, The Arms Dynamic in World Politics, (London:Lynne Rienner Publisher, 1998)

Dupuy, Trevor N.International military and defence Encylopedia : vol : 1-6 Brassery’s (US) NY : 2012

Cossa, R A. The U.S Asia-Pacific Secuirity Strategy for the Twenty-First Century, pada The Security Environment in The Asia-Pacifi, (eds) Tien H & T. Cheng. New York: M.E. Sharpe & An East Gate Book, 2000.

Creswell, John W. 1994. Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks : SAGE Publications,IncCharles,William Maynes. The perils of (and for) an Imperial America, foreign Policy, Summer, 1998.

Page 114: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

xi

Dosch, John. 2004. “The United States in the Asia Pacific”, pp. 17-34 in Michael K Connors, Remy Davidson, Jorn Dosch (eds), The New Global Politics of the Asia-Pacific.

Kim, Suk Hi, Terence Roehrig adn Bernhard Seliger. The Survival of North Korea.USA: McFarland & Company, Inc. Publishers, 2011.

Kodansha Encyclopedy of Japan. Tokyo: Kodansha.1983. Gray, Colin. “The Arm Race Phenomenon”, dalam Bilveer Singh, The Chalenge of

Conventional Arms Proliferation In East Asia , CSIS, Jakarta:1995. Gill, Stephen & David Law. Perspective, Problems and Policies, Baltimore: The

Hopkins University Press, 1998. Griffiths, M. Fifty Key Thinkers in International Relations. New York: Routledge.

2001. Goldstein, Joshua S. International Relations. Longman, 2004. Halloran, Richard. “Japan’s Military Force: Return of The Samurai”. Parameters,

No. 25, Winter, 1995. Herz, John. Political Realism and Political Idealism : A Study in Theories and

Realities, Chicago : Chicago University Press, 1951. Hughes, Christopher W. Japan’s Remilitarisation. New York: Routledge. 2009. Irsan, Abdul. Budaya dan Perilaku Politik Jepang di Asia. Jakarta : Grafindo, 2007. Irsan, Abdul. Jepang: Politik Domestik, Global, dan Regional. Makassar:

Hasanuddin University Press, 2005. Jackson, R. & Sorensen, G. Introduction to International Relations, Oxford

University Press. 1999. Lilley, James. “Foreword” in Military Modernization.1996. London: TJ Press. Maswood, Javed S. Japanese Defence : The Search for Political Power, Singapura:

ISEAS, 1990. Murata, Koji. “Japan Military Cooperation and Alliances in the Asia-Pacific

Region”pada pada The Security Environment in The Asia-Pacifi, (eds) Tien H & T. Cheng. New York: M.E. Sharpe & An East Gate Book, 2000.

Morrison, Charles E.,2003. 200. Asia Pacific Security Outlook, Tokyo: Japan Center for International Exchange, Inc.

Papp, Daniel S. Contemproray International Relations: Framework for Understanding, US: Maemilan College, 1997.

Prabhakar, Lawrence W, Joshua H. Ho, and Sam Bateman. The Evolving Maritime Balance of Power in the Asia Pacific. Singapore: Institute of Defense and Strategic Security dan World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2006.

Reinard, John C. Communication Research Statistics, SAGE, 2006. Shambaugh, David & Yahuda Michael. International Relations of Asia (Asia in

World Politics). New York: Rowman & Littlefields Publisher, Inc, 2009. Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. Hubungan Internasional : Perpektif dan Tema.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Sutter, R. G. China’s Rise in Asia: Promises and Perils. Lanham, MD: Rowman &

Littlefield, 2005. ___________. The United States in Asia: Challenged but Durable Leadership

Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005.

Page 115: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

xii

Tjeng, Lie Tek. Percaturan politik di kawasan Asia Pasifik. Jakarta: PT karya universe, 1983.

Waltz, Kenneth N. Foreign Policy and Democratic Politics: The American and

British Experience. Little, Brown and Company. New York: 1967. Waltz, Kenneth N. Theory of Internasional Politics, Addison-Wesley Publishing

Company, Philippines, 1979 Wang, Ke. Japan’s “Defense” Policy: Strengthening Conventional Offensive Capability,

University of Pennsylvania, 2008. Wardani, Wahyu. Realm Asia Timur. Malang: Universitas Negeri Malang, 2009. Jurnal : Deming, Rust, 2004. “Japan’s Contitution and Defense Policy: Entering New Era” .

Jurnal Strategi Forum 213 Nov. East Asian Strategic Review 2000, “A New Legal Framework for Japan-U.S.

Defense Cooperation”, Vol. XI, No. 12, Tokyo: The National Institue for Defense Studies, 2000.

Hughes, C. W. (2009). "Super-sizing" the DPRK threat: Japan's evolving military posture and north korea. Asian Survey, Vol 49(2), 291-311.

Jervis, R. "Cooperation under the Security Dilemma," World Politics vol. 30, no.2, January 1978.

Juwana, Hikmahanto. Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia, The Indonesian Quarterly, Vol XXI, No. 4, Fourth Quarter. 1993.

Karismaya, Hesti. Manajemen Konflik Jepang-Cina dalam Mengatasi Sengketa Kepulauan Senkaku. Journal ilmu hubungan internasional, Mei Vol 127, Universitas Mulawarman, 2013

Khairunissa. Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012. Ejournal Ilmu Hubungan Internasional Universitas Mulawarman Volume 1 No.3 589-604, 2013.

Lim, Robyn. (2002). Limits of U.S.-japan alliance. Far Eastern Economic Review, Vol 165 (17), p.20.

Mergel, S., & Dueck, C. (2012). Hard line: The republican party and U.S. foreign policy since world war II. Journal of American Studies, volume 46(2), 517-518

Monica, Sandra. Strategi Jepang Menghadapi Rusia Terhadap Sengketa Kepulauan Kuril Tahun 2008-2012, Universitas Riau, 2013.

Moore, Gregory J., 2008. “How North Korea Threatens China’s Interests: Understanding Chinese duplicity’ on the North Korean Nuclear Issue”, International Relations of the Asia Pacific, Volume 8,

Nakanishi, Hiroshi. Toward a New Foreign Policy Doctrine. Vol. 44, No 23. Japan Inst. of International Affairs, 2003

Park, Young June. Japan’s National Defense Program Guidelines 2010 and Its Implication to South Korean Security Policies, Republic of Korea: The East Asia Institute Journal Vol. 56, 2010.

Page 116: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

xiii

Prajuli, Wendy A. Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang: Mungkinkah Berhasil Dilakukan?.Jurnal Hubungan Internasional II Volume III No. 2 Februari 2008.

Rosa, Rizki. Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional AS. Jurnal Hubungan Internasional II Volume III No. 2 Februari 2008.

Sinaga, Obasatar. Aliansi Jepang-Amerika Serikat dalam Menghadapi Pembangunan Kapabilitas Militer China dan Korea Utara. Jurnal Hubungan Internasional II Volume II No. 1 Februari 2007.

Sukma, Rizal. Kebangkitan dan Peran Strategis Cina dalam Kerja Sama Asia Timur: Perspektif Indonesia. Analisis CSIS Vol. 38 No. 3 September 2009.

Suryohadiprojo, Sayidiman. Kebijakan Pertahanan Jepang. Jurnal Studi Jepang Volume 1, Jakarta: Universitas Indonesia, 1999.

Shoji, Tomotoka “Japan’s Security Outlook: Security Chalange and the New National Defense Program Guidelines”, dalam Security Outlook of the Asia-Pasific Countries and Its Implications for the Defense Sector. NIDS Joint Research Series No. 6, 2011.

Walt. Stephen M. Spring. 1985. Alliance Formation and the Balance of World Power. International Security Vol 9 No. 4. MIT Press. Hal 4

Skripsi : Bimantara, Faris. “Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) terhadap

Kerjasama Bilateral AS-Jepang dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Periode 2001-2006”.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.

Handayani, Rosy. “Transformasi Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin (1990-2007)”. Universitas Indonesia: Jurusan Hubungan Internasional, 2008.

Nugraha, Satya. “Dampak Nasionalisasi Kepulauan Senkaku terhadap Hubungan Jepang – Cina 2012-2013”. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakart, 2014.

Dokumen Resmi : Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. US Annual Report to Congress on The

Military Power of The PRC 2003 _______________________. Document of Army Strategic Planning Guidance 2012 ______________________. Document of Sustaining US Global Leadership:

Priorities for 21st Century Defense 2012 Kementerian Pertahanan Jepang. National Defense Program Guidelines 2004 ________________________. National Defense Program Guidelines 2010 ________________________. National Defense Program Guidelines 2012 Security Consultative Committee U.S-Japan. Joint Statement Document 2010 ___________________________________. Joint Statement Document 2012 Konstitusi Jepang. Diakses dari

http://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of_japan/constitution_e.html pada 20 Desember 2014

Koran dan Media Online: Harian Kompas 19 Februari 2007, Hal.7 Harian Kompas 5 Maret 2007, Hal.8

Page 117: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

xiv

Harian Republika 30 Agustus 2006, Hal 12. Harian Tempo 21 Agustus 2006, Hal.5 ABC News. Diakses dari http://abcnews.go.com/ pada 9 Desember 2014 Antara News, http://www.antaranews.com/berita/364372/as-akan-lanjutkan-

kebijakan-penyeimbangan-kembali-di-asia-pasifik diakses pada 3 Desember 2014

BBC News, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6036491.stm diakses pada 5 Oktober 2014

China Daily, 19 Desember 2003. Diakses dari http://e-resources.pnri.go.id:2056/docview/257710001?pq-origsite=summon pada 24 Desember 2014

Deutsche Welle News http://www.dw.de/alliance+U.S=Japan diakses pada 16 November 2014

The Diplomat Magazine, http://thediplomat.com/2014/12/the-okinawa-reality/ diakses pada 15 November 2014

KBS News. Pada 24 Desember 2014 dan diakses dari http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/news_02.htm

New York Times http://www.nytimes.com/2014/05/09/opinion/japans-pacifist-constitution.html diakses pada 13 November 2014

The Straits Times. www.straitstimes.com diakses pada 30 Desember 2014

Tempo Online http://www.tempo.co/read/news/2012/04/27/116400174/Amerika-Serikat-Tarik-Marinirnya-dari-Okinawa diakses pada 10 November 2012

Website:

Bibby, John F. Political Parties in the United States, 2005. diakses dari https://www15.uta.fi/FAST/US4/REF/pparties.html pada 25 Desember 2014

Geographic, 2014. Dikases dari http://www.geographic.org pada 20 November 2014 Global Security http://www.globalsecurity.org pada 5 November 2014 Halloran, Richard. Real Clear Politics: January 08, 2007 diakses dari

http://www.realclearpolitics.com/articles/2007/01/japans_defense_chang_symbolic pada 6 Juni 2014

The Foregin Policy Initiative, “The Pivot to Asia” http://www.foreignpolicyi.org/content/obama-administrations-pivot-asia diakses pada 6 Desember 2014

Jakarta International Defence Dialogue, 2012. Diakses dari http://www.apsdex.com/jidd-2014/

Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. http://www.state.gov diakses pada 20 November 2014

Kementerian Luar Negeri Jepang http://www.mofa.go.jp diakses pada 19 Juni 2014.

Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. http://www.defense.gov diakses pada 19 November 2014

Kementerian Pertahanan Jepang. http://www.mod. go.jp diakses pada 15 Juli 2014

Page 118: AHMAD DESPURIANSYAH-FISIP.pdf

xv

Nikkei Asian Review http://asia.nikkei.com/japan+constitution+1947 diakses pada 18 Oktober 2014

Military Ballance. https://www.iiss.org pada 8 Oktober 2014 Politics Stacks Exchange http://politics.stackexchange.com/questions/817/does-the-

us-republican-party-have-a-demographics-problem diakses pada 14 Desember 2014

Project 2049 Institute, U.S.-Japan Exchange Program Capstone Report. http://www.project2049.net diakses pada 28 November 2014.

Toki, Masako. “Japan's Defense Guidelines”: New Conventional Strategy, Same Old Nuclear Dilemma. 2011. http://www.nti.org/analysis/articles/japans-defense-guidelines/ diakses pada 21 April 2013

United Nations Office for Disarmament Affairs (UNODA). diakses dari http://www.un.org/disarmament/WMD/Nuclear/NPT.shtm pada 1 November 2014

US Census Bureau 2012. Diakses dari https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c0016.html pada 15 Desember 2014

World Bank. Dari http://data.worldbank.org/indicator/MS.MIL.XPND.GD.ZS pada 25 September 2014

Xu, Beina. “The U.S.-Japan Security Alliance”. Council on Foreign Relations: diakses dari http://www.cfr.org/japan/us-japan-security-alliance/p31437 pada 24 September 2014

Yani, Yanyan Mochammad. Politik Luar Negeri. Universitas Padjajaran Bandung: 2007 diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/politik_luar_negeri.pdf pada 4 Februari 2015