agro forest ri
Post on 25-Jan-2016
230 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Penerapan Sistem Agroforestri dalam Rangka Pengelolaan Hutan di
Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang Jawa Timur
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengetahuan Lingkungan
yang dibina oleh Dr. Sueb, M.Kes dan Dr.H. Istamar Syamsuri, M.Pd.
Oleh:
Kelompok 11/offering C :
Dian Hidayaturrahma (130341614840)
Firmanti Syukuriasri (130341614837)
Gigih Hasbi R (130341614830)
Rizka Permatasari (130341614841)
Yoananda Ramadina (13034161826)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
September 2014
ABSTRAK
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui penerapan sistem
agroforestri dalam rangka pengelolaan hutan di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Sistem agroforestri merupakan salah satu sistem pertanian yang memanfaatkan
hutan sebagai tempat bercocok tanam dengan tanaman tumpangsari. Agroforestri
merupakan salah satu kerjasama antara pihak perhutani dengan petani yang
bertempat tinggal disekitar hutan dan petani. Adanya Agroforestri memiliki
dampak yang baik bagi masyarakat disekitar hutan karena mampu menaikkan
perekonomian masyarakat setempat. Awal mula adanya agroforesti di Dusun
Maron karena adanya penjarahan hutan lalu pada tahun 2005 pihak perhutani dan
petani melakukan kerjasama.
Kata Kunci: Agroforestri, petani, pihak perhutani
ABSTRACT
This paper was made in order to determine the application of agroforestry systems
in the framework of forest management in Malang, East Java. Agroforestry
systems is one farming systems that utilize the forest as a place of farming with
crops. Agroforestry is one of cooperation between the forestry and farmers who
live around the forest and farmers. The existence of Agroforestry has a good
impact on the communities around the forest because it can boost local
economies. Beginning of the existence of agroforestry in Hamlet Maron due to the
looting of the forest and in 2005 the forestry and farmers to cooperate.
Keywords: Agroforestry, farmers, the forestry
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agroforestri merupakan manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan
lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian pada
unit pengelolaan lahan yang sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan
fisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang berperan serta (Anonymous,
1990).
Tujuan agroforestri untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat petani,
terutama di sekitar hutan yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif
masyarakat dan memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak dan berlanjut
dengan pemeliharaannya. Program agroforestri biasanya diarahkan pada
peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya yang akhirnya akan
meningkatkan taraf hidup masyarakat sendiri (Triwanto, 2002).
Agroforestri berpotensi sebagai suatu upaya konservasi tanah dan air, serta
menjamin keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak maupun
hasil kayu, khususnya dari lahan marginal dan terdegradasi. Agroforestri sebagai
istilah kolektif bagi sistem dan teknologi penggunaan lahan yang sesuai
diterapkan pada lahan pertanian beresiko tinggi terhadap erosi, terdegradasi, dan
lahan marginal (Nair, 1989).
Pengembangan agroforestri diarahkan untuk meningkatkan produktivitas
hasil hutan, meningkatkan peran/serta dan kesempatan kerja, produktivitas tenaga
kerja, pendapatan dan mengentaskan kemiskinan secara terus menerus dan
berkelanjutan (Triwanto ,2000a ). Masyarakat harus melakukan konservasi tanah
dan air dilakukan secara vegetatif yang berupa penanaman campuran termasuk
tanaman, tumpangsari (agroforestri) dan tumpang gilir serta teknik konservasi
dengan bangunan teknis berupa teras gulud maupun teras bangku termasuk
pembuatan pematang kontur dan pembuatan saluran air (Anonymous, 1997 dan
Triwanto, 2000b).
Pada Kecamatan Ngantang, terdapat hutan yang luasnya 11.195 ha.
Terjadi pula peningkatan kepadatan penduduk dari 587 jiwa/km2 pada tahun 1990
menjadi 657 jiwa/km2 di tahun 2000. Disinyalir mendorong peningkatan aktivitas
manusia di dalam menggunakan lahan. Akibatnya terjadi alih fungsi hutan
menjadi lahan pertanian. Dalam kurun waktu 1990 – 2000, terjadi penurunan
luasan hutan yang diiringi meningkatnya luasan semak belukar dan perkebunan.
1.2 Rumusan Masalah:
Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk agroforestri yang ada di Kecamatan Ngantang
Kabupaten Malang?
2. Bagaimana proses yang terjadi dalam sistem agroforestri di Kecamatan
Ngantang Kabupaten Malang?
3. Bagaimana peranan agroforestri dalam pelestarian sumber daya hutan di
Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang?
1.3 Tujuan:
1. Mengenal bentuk agroforestri yang ada di Kecamatan Ngantang
Kabupaten Malang
2. Memahami proses yang terjadi dalam sistem agroforestri di Kecamatan
Ngantang Kabupaten Malang
3. Mengetahui peranan agroforestri dalam pelestarian sumber daya hutan di
Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Bentuk Agroforestri
A. Sistem Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana (pada gambar 2.1) adalah suatu sistem
pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih
jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak
lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain
misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar (De Foresta et
al., 1997).
Jenis pohon yang ditanam juga sangat beragam, bisa yang bernilai
ekonomi tinggi misalnya kelapa, karet, cengkeh, kopi, kakao (coklat), nangka,
belinjo, petai, jati dan mahoni atau yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap,
lamtoro dan kaliandra. Jenis tanaman semusim biasanya berkisar pada tanaman
pangan yaitu padi (gogo), jagung, kedelai, kacangkacangan, ubi kayu, sayur-
mayur dan rumput atau jenis tanaman lainnya (De Foresta et al., 1997).
Bentuk agroforestri sederhana yang paling banyak dibahas di Jawa adalah
tumpangsari. Sistem ini, dalam versi Indonesia, dikenal dengan “taungya” yang
diwajibkan di areal hutan jati di Jawa dan dikembangkan dalam rangka program
perhutanan sosial dari Perum Perhutani. Pada lahan tersebut petani diijinkan untuk
menanam tanaman semusim di antara pohon jati muda. Hasil tanaman semusim
diambil oleh petani, namun petani tidak diperbolehkan menebang atau merusak
pohon jati dan semua pohon tetap menjadi milik Perum Perhutani. Bila pohon
telah menjadi dewasa, tidak ada lagi pemaduan dengan tanaman semusim karena
adanya masalah naungan dari pohon. Jenis pohon yang ditanam khusus untuk
menghasilkan kayu bahan bangunan (timber) saja, sehingga akhirnya terjadi
perubahan pola tanam dari sistem tumpangsari menjadi perkebunan jati
monokultur. Sistem sederhana tersebut sering menjadi penciri umum pada
pertanian komersial (Michon et al., 1995).
Dalam perkembangannya, sistem agroforestri sederhana ini juga
merupakan campuran dari beberapa jenis pohon tanpa adanya tanaman semusim.
Sebagai contoh, kebun kopi biasanya disisipi dengan tanaman dadap (Erythrina)
atau kelorwono disebut juga gamal (Gliricidia) sebagai tanaman naungan dan
penyubur tanah.
Gambar 2.1 Agroforestri Sederhana: Tembakau ditanam di antara barisan pohon
siwalan di Sumenep, Madura. (Foto. Widianto)
B. Sistem Agroforestri Kompleks
Sistem agroforestri kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang
melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam
maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani
mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini,
selain terdapat beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat
(liana), tanaman musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Penciri utama
dari sistem agroforestri kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di
dalamnya yang mirip dengan ekosistem hutan alam baik hutan primer maupun
hutan sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforest
(Noviana et al., 2009).
Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistim agroforestri kompleks
ini dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home
garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya
disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal (De Foresta et al., 2000).
Contohnya ‘hutan damar’ di daerah Krui, Lampung Barat atau ‘hutan karet’ di
Jambi.
Gambar 2.2 Agroforest Kompleks: Kebun damar di Krui, Lampung Barat
(De Foresta et al, 2000).
2.2 Proses Yang Terjadi Dalam Sistem Agroforestri
Pada prinsipnya, bentuk, fungsi, dan perkembangan agroforest itu
dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologis dan sosial (FAO dan IIRR, 1995),
antara lain sifat dan ketersediaan sumberdaya di hutan, arah dan besarnya tekanan
manusia terhadap sumberdaya hutan, organisasi dan dinamika usaha tani yang
dilaksanakan, sifat dan kekuatan aturan sosial dan adat istiadat setempat, tekanan
kependudukan dan ekonomi, sifat hubungan antara masyarakat setempat dengan
‘dunia luar’, perilaku ekologis dari unsur pembentuk agroforest, stabilitas struktur
agroforest, cara pelestarian yang dilakukan.
Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok tanam berbasis pohon yang
paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di
Jawa Barat adalah sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan
pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman
semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase ke dua pohon buah
(durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpang sari dengan tanaman
semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga beberapa tanaman asal hutan
yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman
asli setempat misalnya bambu, pohon penghasil kayu lainnya dengan pohon buah
(fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya amat
terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini
sering disebut dengan fase ‘talun’. Dengan demikian pembentukan talun memiliki
tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Perkembangan sistem kebun talun (De Foresta et al, 2000).
2.3 Peranan Agroforestri Dalam Pelestarian Sumber Daya Hutan
Agroforestri memainkan peran penting dalam pelestarian sumberdaya
hutan baik nabati maupun hewani karena struktur dan sifatnya yang khas.
Agroforestri menciptakan kembali arsitektur khas hutan yang mengandung habitat
mikro, dan di dalam habitat mikro ini sejumlah tanaman hutan alam mampu
bertahan hidup dan berkembang biak. Kekayaan flora semakin besar, jika di dekat
kebun terdapat hutan alam yang berperan sebagai sumber (bibit) tanaman. Bahkan
ketika hutan alam sudah hampir lenyap sekalipun, warisan hutan masih mampu
terus berkembang dalam kelompok besar: misalnya kebun campuran di Maninjau
melindungi berbagai tanaman khas hutan lama di dataran rendah, padahal hutan
lindung yang terletak di dataran lebih tinggi tidak mampu menyelamatkan
tanaman-tanaman tersebut (Noviana et al., 2009).
Di pihak lain, agroforest merupakan struktur pertanian yang dibentuk dan
di rawat. Tanaman bermanfaat yang umum dijumpai di hutan alam menghadapi
ancaman langsung karena daya tarik manfaatnya. Dewasa ini sumber daya hutan
dikuras tanpa kendali. Berbeda dengan kebun agroforest, bagi petani, agroforest
merupakan kebun bukan hutan. Agroforest merupakan warisan sekaligus modal
produksi. Sumberdayanya, baik yang tidak maupun yang sengaja ditanam,
dimanfaatkan dengan selalu mengingat kelangsungan dan kelestarian kebun.
Pohon di hutan dianggap tidak ada yang memiliki. Sebaliknya, pohon di kebun
ada pemiliknya sehingga pohon tersebut mendapat perlindungan yang lebih
efektif daripada yang terdapat di hutan negara. Sumber daya hutan di dalam
agroforest dengan demikian turut berperan dalam mengurangi tekanan terhadap
sumber daya alam. Secara tidak langsung agroforest turut melindungi hutan alam
(Triwanto, 2002).
Aneka kebun campuran di pedesaan di Jawa mempunyai peranan penting
bagi pelestarian kultivar pohon (tradisional) buah-buahan dan tanaman pangan.
Karena kendala ekonomi dan keterbatasan ketersediaan lahan, maka kebun
tersebut tidak dapat berfungsi sebagai tempat berlindung jenis tanaman yang tidak
bernilai ekonomi bagi petani. Di Sumatera dan Kalimantan, agroforest masih
mampu menawarkan pemecahan masalah pelestarian tanaman hutan alam dan
sekaligus dapat diterima pula dari sudut ekonomi (Michon dan de Foresta, 1995).
Adanya perubahan sosial ekonomi dapat mempengaruhi sifat dan susunan
kebun, sehingga dikhawatirkan banyak spesies yang terancam kepunahan. Pada
gilirannya sumberdaya tersebut akan punah dan usaha penyelamatannya belum
terbayangkan. Apakah seluruh sumberdaya genetik yang ada dalam agroforest
dapat disimpan dalam lahan-lahan khusus atau bank benih.
Untuk meningkatkan keberhasilan perlindungan terhadap sumber daya
alam, maka petani harus dilibatkan pada setiap usaha pelestarian alam, misalnya
dengan memberikan pengakuan terhadap agroforest yang sudah ada dan
melaksanakan budidaya agroforest di pinggiran kawasan taman-taman nasional.
Upaya melestarikan alam harus sekaligus dapat memenuhi kebutuhan penduduk
setempat. Gagasan ini bukan khayalan, karena secara tradisional telah dirintis oleh
petani agroforest. Pada akhirnya agroforest di daerah tropika merupakan lahan
berharga bagi eksplorasi genetik dan etno-botani. Pengetahuan petani pengelola
agroforest seyogyanya tidak lagi diremehkan oleh para pengelola hutan (Noviana
et al., 2009).
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ( PHBM) adalah suatu sistem
pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama-sama antara Perum
Perhutani dan masyarakat desa, atau Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan
(MDH) dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) berdasarkan prinsip
berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan
manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.
Pada prinsip berbagi ada pembagian peran, tanggung jawab, faktor produksi
(input) hingga pembagian hasil (output). Dalam PHBM, pemberdayaan
masyarakat bukan suatu program tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam pengelolaan hutan. (Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani
Nomor 136/KPTS/DIR/2001) (Noviana et al., 2009).
PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya
hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional
dan professional. Salah satu tujuan dari Program PHBM adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Akan tetapi tidak semua
masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mendapatkan lahan dari Perhutani
melalui program PHBM. Ada beberapa kriteria masyarakat yang dapat menerima
program PHBM? antara lain:? Masyarakat yang kurang mampu/miskin?
Masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian ?Masyarakat yang tidak memiliki
pekerjaan Janda Pada awal program, banyak masyarakat miskin di Kecamatan
Ngantang dan Pujon yang menjadi peserta PHBM dan mendapatkan hak kelola
lahan dari Perhutani. Namun, kemudian banyak terjadi kasus pengalihan hak
kelola lahan Perhutani oleh peserta PHBM yang miskin kepada orang yang lebih
mampu, terutama terjadi di wilayah Kecamatan Pujon. Mereka menyebut
pengalihan hak kelola ini dengan istilah ”uang ganti rugi”. Padahal menurut
aturan PHBM, lahan yang diberikan tidak boleh dipindahtangankan. Karena
lahan garapan telah dipindahtangankan, maka sekarang mereka tidak memiliki
lahan lagi, sehingga dampak dari program PHBM ini tidak dapat dirasakan,
terutama terhadap pendapatan mereka (Noviana et al.,2009).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah
metode observasi dan wawancara langsung ke petani program tumpangsari atau
program agroforestri sederhana.
Observasi adalah metode atau cara yang menganalisis dan mengadakan
pencatatan secara sistematis mengenai tingkah laku dengan melihat atau
mengamati individu atau kelompok secara langsung. Cara atau metode tersebut
dapat juga dikatakan dengan menggunakan teknik dan alat khusus seperti blanko,
check list atau daftar isian yang telah dipersiapkan sebelumnya (Ngalim, 2008).
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau
pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang
dinamakan panduan wawancara (interview guide). Walaupun wawancara adalah
proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara
adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu penelitian (Ngalim, 2008).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Penelitian selesai pada bulan Oktober 2014
3.2.2 Penelitian dilakukan di Desa Mulyorejo Kecamatan Ngantang Kecamatan
Malang, Jawa Timur
3.3 Subyek Penelitian
Petani program tumpangsari/program agroforestri sederhana di Kecamatan
Ngantang Kabupaten Malang, Jawa Timur
3.4 Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data yang digunakan adalah wawancara. Wawancara
merupakan daftar pertanyaan yang akan digunakan oleh periset untuk memperoleh
data dari sumbernya secara langsung melalui proses komunikasi atau dengan
mengajukan pertanyaan (Churchill, 2005). Sebelum menyusun kuesioner, ada
beberapa tahap yang harus dilakukan antara lain:
1. menetapkan informasi yang ingin diketahui
2. menetukan jenis wawancara dan metode administrasinya
3. menentukan isi dari masing-masing pertanyaan
4. menentukan banyak respon atas tiap pertanyaan
5. menentukan kata yang digunakan untuk setiap pertanyaan
6. menentukan karakteristik fisik wawancara
7. menguji kembali langkah satu sampai tujuh dan melakukan perubahan jika
perlu
8. melakukan uji awal atas wawancara dan melakukan perubahan jika perlu
3.5 Alat Penelitian
3.5.1 Pedoman wawancara
Panduan Wawancara
Koresponden : Petani Agroforestri
Wilayah : Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang
Tanggal wawancara : 14 September 2014
Nama responden :Pak Martani ( Sekertaris Kelompok Tani Wono Lestari)
Umur : 56 tahun
Alamat :Dusun Maron, Desa Mulyorejo
1. Apa yang melatar belakangi pembuatan agroforestri pada kawasan ini ?
Jawab :
Pertamanya bekerjasama dengan perhutani dengan petani disekitar hutan.
Dimulai dengan penjarahan hutan atau tebang tanam hutan disekitar
Dusun Maron, sejak 2005.
2. Sudah berapa lama pembuatan agroforestri pada kawasan ini ?
Sudah lama mbak sekitar 9 tahun lamanya.
3. Bagaimana cara melakukan agroforestri ?
Jawab :
Kami menanam tanaman tumpang sari dengan bibit tanaman dari kami
sendiri sedangkan lahannya pembagian lahan bantuan dari perhutani.
Sedangkan untuk perawatan tanamannya itu murni dari petani sendiri
tanpa bantuan pihak perhuutani.
4. Apa saja tanaman yang bisa ditanaman untuk agroforestri?
Jawab :
Tanaman yang biasa di tanaman itu seperti singkong, kopi, jagung,
brambang, jahe, kunyit, ataupun tanaman yang menghasilkan buah(pisang,
alpukat, nangka, durian) dan sebagaian tamanan hutan asli seperti pinus
dan pohon karet.
5. Bagaimana cara menanam tanaman pada kawasan ini?
Jawab :
Tanaman biasanya ditaman pada saat musim hujan karena pada saat
musim kemarau air tidak banyak
6. Apakah ada cara khusus untuk merawat tanaman agroforestri ?
Cara merawat tanaman hanya dengan pemberian pupuk tiga kali setahun.
ditanaman saat musim hujan sedangkan pada musim kemarau hanya
tanaman yang bisa bertahan dengan kondisi air yang sedikit.
7. Berapa lama tanaman agroforestri dapat dipanen ?
Jawab :
Masing- masing tanaman itu usianya berbeda mbak. Seperti kopi itu
biasanya 1 tahun baru bisa dipanen. Bawang merah 3 bulan sekali sudah
bisa dipanen. Jahe 1 tahun baru bisa dipanen,sedangkan alpukat 1 tahun
sekali baru bisa dipanen mbak.
8. Bagaimana cara memanennya ?
Jawab :
Panen dilakukan oleh petani yang mengolah tumpang sari atau agroforesti
disekitar hutan secara langsung tanpa dibantu oleh pihak perhutani.
9. Bagaimana hasil panen tanaman agroforestri ?
Jawab :
Hasil panen dari tumpang sari biasanya langsung dijual pada tengkulak
atau pembeli yang langsung membeli pada petani. Karena kelompok tani
masih belum membuat koperasi. Hasil panen biasanya 6% dari hasil panen
diberikan untuk pihak perhutan oleh kelompok usahatani Desa Mulyorejo
kepada pihak perhutani.
10. Apakah ada perbandingan ekonomi pada masyarakat setelah adanya
program agroforesti ?
Kondisi ekonomi semakin meningkat dan perlahan warga bisa hidup
dengan sejahtera. Berbeda dengan sebelum adanya agroforesti atau
tumpang sari.
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Langkah Persiapan
3.6.1.1 Mencari informasi via internet, buku dan jurnal
3.6.1.2 Menyusun kerangka makalah
3.6.1.3 Observasi tempat penelitian
3.6.2 Implementasi
3.6.2.1 Melakukan wawancara, menyebar angket, dan kuestioner
3.6.3 Langkah Akhir
3.6.3.1 Melaporkan hasil penelitian
BAB IV
HASIL DAN DISKUSI
4.1 HASIL
1. Apa yang melatar belakangi pembuatan agroforestri pada kawasan ini ?
Jawab :
Pertamanya bekerjasama dengan perhutani dengan petani disekitar hutan.
Dimulai dengan penjarahan hutan atau tebang tanam hutan disekitar
Dusun Maron, sejak 2005.
2. Sudah berapa lama pembuatan agroforestri pada kawasan ini ?
Sudah lama sekitar 9 tahun lamanya.
3. Bagaimana cara melakukan agroforestri ?
Jawab :
Kami menanam tanaman tumpang sari dengan bibit tanaman dari kami
sendiri sedangkan lahannya pembagian lahan bantuan dari perhutani.
Sedangkan untuk perawatan tanamannya itu murni dari petani sendiri
tanpa bantuan pihak perhutani.
4. Apa saja tanaman yang bisa ditanaman untuk agroforestri?
Jawab :
Tanaman yang biasa di tanaman itu seperti singkong, kopi, jagung,
brambang, jahe, kunyit, ataupun tanaman yang menghasilkan buah(pisang,
alpukat, nangka, durian) dan sebagaian tamanan hutan asli seperti pinus
dan pohon karet.
5. Bagaimana cara menanam tanaman pada kawasan ini?
Jawab :
Tanaman biasanya ditaman pada saat musim hujan karena pada saat
musim kemarau air tidak banyak
6. Apakah ada cara khusus untuk merawat tanaman agroforestri ?
Cara merawat tanaman hanya dengan pemberian pupuk tiga kali setahun.
ditanaman saat musim hujan sedangkan pada musim kemarau hanya
tanaman yang bisa bertahan dengan kondisi air yang sedikit.
7. Berapa lama tanaman agroforestri dapat dipanen ?
Jawab :
Masing- masing tanaman itu usianya berbeda mbak. Seperti kopi itu
biasanya 1 tahun baru bisa dipanen. Bawang merah 3 bulan sekali sudah
bisa dipanen. Jahe 1 tahun baru bisa dipanen,sedangkan alpukat 1 tahun
sekali baru bisa dipanen mbak.
8. Bagaimana cara memanennya ?
Jawab :
Panen dilakukan oleh petani yang mengolah tumpang sari atau agroforesti
disekitar hutan secara langsung tanpa dibantu oleh pihak perhutani.
9. Bagaimana hasil panen tanaman agroforestri ?
Jawab :
Hasil panen dari tumpang sari biasanya langsung dijual pada tengkulak
atau pembeli yang langsung membeli pada petani. Karena kelompok tani
masih belum membuat koperasi. Hasil panen biasanya 6% dari hasil panen
diberikan untuk pihak perhutan oleh kelompok usahatani Desa Mulyorejo
kepada pihak perhutani.
10. Apakah ada perbandingan ekonomi pada masyarakat setelah adanya
program agroforesti ?
Kondisi ekonomi semakin meningkat dan perlahan warga bisa hidup
dengan sejahtera. Berbeda dengan sebelum adanya agroforesti atau
tumpang sari.
4.2 DISKUSI
Menurut Pak Martani sekertaris kelompok tani Wono Lestari, pertama kali
terbentuknya tumpang sari akibat adanya penjarahan hutan yang dilakukan oleh
masyarakat Dusun Maron. Awal kerjasama petani dengan pihak perhutani karena
adanya manfaat yang didapat oleh petani dan pihak perhutani. Kerjasama ini
sudah dimulai sejak tahun 2005. Kerjasama ini sudah berjalan sekitar 9 tahun
lamanya dan memberikan banyak manfaat bagi petani dan pihak perhutani.
Petani menanam tanaman tumpang sari dengan bibit tanaman dari petani
sendiri sedangkan lahannya merupakan pembagian lahan bantuan dari perhutani.
Sedangkan untuk perawatan tanamannya itu murni dari petani sendiri tanpa
bantuan pihak perhutani.
Tanaman tumpangsari yang biasa di tanam di lahan agroforestri itu seperti
tanaman singkong, kopi, jagung, bawang merah, jahe, kunyit, ataupun tanaman
yang menghasilkan buah seperti pisang, alpukat, nangka, durian dan sebagian
tamanan hutan asli seperti pinus dan pohon karet. Tanaman tumpangsari biasanya
ditanam pada saat musim hujan karena sumber pengairan yang digunakan
tergantung pada hujan sedangkan pada musim kemarau jarang ditanami karena
tidak adanya sumber pengairan dan tanaman yang ditanam rentan untuk layu
bahkan mati kekeringan .
Cara merawat tanaman tumpangsari cukup mudah hanya diberi pupuk tiga
kali setahun. Petani menanaman tanaman pada musim hujan sedangkan pada
musim kemarau hanya tanaman tertentu saja yang bisa bertahan dengan kondisi
air yang sedikit seperti karet, pinus, kopi. Masing- masing tanaman tumpangsari
memiliki usia panen yang berbeda-beda tergantung jenis tanamannya. Seperti kopi
memiliki usia panen yang lama yaitu satu tahun baru bisa dipanen. Sedangkan
bawang merah memiliki usia panen yang lebih singkat yakni usia panen 3 bulan
sekali sudah bisa dipanen jadi selama satu tahun petani dapat memanen hingga
empat kali. Sama halnya dengan kopi, masa panen jahe dan alpukat juga cukup
lama yaitu satu tahun sekali baru bisa dipanen
Panen dilakukan oleh petani yang mengolah tumpang sari atau agroforesti
disekitar hutan secara langsung tanpa dibantu oleh pihak perhutani. Hasil panen
dari tumpang sari biasanya langsung dijual pada tengkulak atau pembeli yang
langsung datang dan membeli pada petani. Alasan dari petani untuk menjual
langsung kepada pembeli yang datang atau ke tengkulak karena kelompok tani
Wono Lestari belum mempunyai badan usaha koperasi yang mampu menampung
hasil panen para petani, hal ini pula yang mendorong Bapak Martani untuk
mendirikan koperasi khususnya bagi kelompok tani Wono Lestari agar ada yang
menampung hasil panen para petani. Sebagai bentuk pembagian hasil dari
kerjasama petani dan pihak perhutani, hasil panen para petani biasanya disisihkan
6% dari hasil panen untuk diberikan kepada pihak perhutani oleh kelompok
usahatani Desa Mulyorejo kepada pihak perhutani.
Adanya agroforestri dapat dirasakan manfaatnya oleh para petani. Sebelum
adanya agroforestri, rata-rata pekerjaan mereka yaitu pencari kayu bakar, pencari
rumput untuk pakan ternak, bahkan adapula yang bekerja sebagai buruh tani yang
mengolah sawah orang lain. Keuntungan yang didapat para petani dari pengadaan
tumpang sari yaitu kondisi ekonomi semakin meningkat ditandai dengan makin
banyaknya petani yang membuka dan mengolah lahan perhutani, karena sebagian
besar dari petani tumpangsari tidak memiliki sawah sehingga dengan adanya
agroforestri mendorong para warga yang tidak memiliki sawah dapat mengolah
lahan perhutani sehingga dapat meningkatkan perekonomiannya menjadi lebih
baik dan perlahan warga bisa hidup dengan sejahtera, berbeda jauh ketika sebelum
adanya agroforesti atau tumpang sari. Keuntungan dengan adanya agroforestri
tidak hanya dirasakan oleh para petani tetapi juga dirasakan oleh pihak perhutani
yakni dengan adanya sistem argoforestri, pihak perhutani dapat merasakan hasil
panen dari tanaman tumpangsari yang besarnya 6%.
BAB IV
PENUTUP
5. 1 KESIMPULAN
Sistem agroforestri yakni sistem pertanian dengan cara penanaman
tanaman secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman yang semusim
misalnya pinus, karet, kopi, jahe, dan kunyit. Sistem tumpang sari dibedakan
menjadi sistem agroforestri sederhana dan kompleks. Pada hasil wawancara kami,
kelompok tani Dusun Maron, Desa Mulyorejo menggunakan sistem agroforestri
kompleks. pengertian dari agroforestri kompleks adalah suatu sistem pertanian
menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik
sengaja ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan
dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem menyerupai hutan.
Agroforestri kompleks diterapkan oleh kelompok tani Dusun Maron dengan
menanam tumpangsari kawasan hutan dengan berbagai macam tanaman seperti
kopi, jahe, bawang merah dan kunyit.
Sistem agroforesti ini memberikan banyak manfaat selain untuk para
petani juga memberikan manfaat bagi pihak perhutani. Manfaat yang dirasakan
oleh para petani Dusun Maron yaitu terjadi peningkatan ekonomi yang semula
bekerja sebagai buruh tani ataupun pencari kayu bakar dihutan sekarang menjadi
petani dengan hasil yang menjanjikan tanpa harus memiliki lahan atau sawah.
5.2 SARAN
Penerapan sistem agroforestri merupakan salah satu rangka pengelolaan
hutan yang ada di Malang khususnya di Dusun Mulyorejo. Sistem agroforestri ini
selain menguntungkan petani juga menguntungkan pihak perhutani. Adanya
kerjasama yang baik antara duabelah pihak menjadikan agroforestri dianggap
sebagai salah satu bentuk pengelolaan hutan yang mampu meningkatkan
perekonomian masyarakat disekitar hutan.
DAFTAR RUJUKAN
Anonymous 1992 . Manual Kehutanan . Departemen Kehutanan R.I. Jakarta.
__________ 1997. Pengelolaan Sumber daya lahan kering di Indonesia. Pusat
Penyuluhan Kehutanan. Jakarta.
Churchill, gilbert A. 2005. Dasar-Dasar Riset Pemasaran. Edisi 4 jilid i alih
bahasa oleh andriani,dkk. Penerbit Erlangga. Jakarta.
De Foresta H and Michon G, 1997. The agroforest alternative to Imperata
grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability.
Agroforestry Systems 36:105-120.
De Foresta H, Kusworo A, Michon G dan Djatmiko WA, 2000. Ketika Kebun
Berupa Hutan – Agroforest Khas Indonesia – Sebuah Sumbangan
Masyarakat. ICRAF, Bogor. 249 pp.
Drs. M. Ngalim Purwanto. M.P. 2008. Prinsip-Prinsip Evaluasi Pengajaran.
Jakarta.
FAO, IIRR, 1995. Resource management for upland areas in SE-Asia. An
Information Kit. Farm field document 2. Food and Agriculture
Organisation of the United Nations, Bangkok, Thailand and International
Institute of Rural Reconstruction, Silang, Cavite, Philippines. ISBN 0-
942717-65-1:p 207
Michon G and de Foresta H, 1995. The Indonesian agro-forest model: forest
resource management and biodiversity conservation. Dalam: Halladay P
and Gilmour DA (eds.), Conserving Biodiversity outside protected areas.
The role of traditional agroecosystems. IUCN: 90-106
Noviana Khususiyah, Suyanto dan Yana Buana.2009. Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) : Pembelajaran Keberhasilan & Kegagalan
Program.Brief no.01 Policy Analysis Unit World Agroforestry Centre-
ICRAF pg 1-3
Triwanto, J., 2000a. Seminar Sehari Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.
Himpunan Mahasiswa Jurusan Silva. Tidak dipublikasikan. Fakultas
Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
Triwanto, J., 2000b. Seminar Sehari Perhutanan Sosial bagi Kelompok
Pondok Pesantren. Tidak dipublikasikan. Universitas Islam Malang.
Triwanto, J., 2002. Buku Ajar Agroforestry. Tidak dipublikasikan. Fakultas
Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
top related