acara iii bilangan peroksida
Post on 29-Dec-2015
389 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ACARA III
EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP
MINYAK GORENG
A. Latar Belakang
Mutu dari suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya. Salah
satunva adalah ketengikan atau adanya peroksida. Peroksida merupakan suatu
tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minvak akibat oksidasi (kontak
dengan udara) yang menyebabkan bau/aroma tengik pada minyak. Ukuran
dari ketengikan dapat diketahui dengan menentukan bilangan peroksida.
Semakin tinggi bilangan peroksida, maka semakin tinggi pula tingkat
ketengikan suatu minyak. Bilangan peroksida menunjukkan derajat kerusakan
pada minyak atau lemak. Asam lemak tak jenuh dapat mengikat oksigen pada
ikatan rangkapnya, membentuk peroksida dan selanjutnya terbentuk aldehid
yang menyebabkan bau dan rasa tidak enak serta ketengikan minyak.
Analisis bilangan peroksida umumnya dilakukan dengan Iodometri dengan
titrasi.
Selama penggorengan minyak dalam kondisi suhu tinggi, adanya
udara dan air yang dikandung oleh bahan menyebabkan minyak mengalami
kerusakan. Adanya interaksi antara produk dan minyak menyebabkan
terjadinya reaksi yang sangat komplek, yaitu terbentuknya senyawa volatil
maupun nonvolatil yang akan memberikan tanda bahwa minyak telah rusak.
Pada praktikum kali ini akan dievaluasi bilangan peroksida dan titik asap
terkait dengan kualitas minyak yang digunakan dalam proses penggorengan.
B. Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum acara III Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik
Asap Minyak Goreng adalah:
a. Menentukan bilangan peroksida pada minyak goreng
b. Menentukan titik asap pada minyak goreng
C. Tinjauan Pustaka
Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas,
penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori (Winarno, 2004). Menurut
SNI 01-3741-2002 (BSN, 2002), minyak goreng didefinisikan sebagai minyak
yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan nabati. Minyak
nabati merupakan minyak yang diperoleh dari serealia (jagung, gandum,
beras, dan lain-lain), kacang-kacangan (kacang kedelai, kacang tanah, dan
lain-lain), palma-palmaan (kelapa dan kelapa sawit), dan biji-bijian (biji
bunga matahari, biji wijen, biji tengkawang, biji kakao, dan lain-lain)
(Nugraha, 2004).
Minyak sawit diketahui memiliki nutrisi makro dan mikro yang
bermanfaat untuk kesehatan manusia antara lain a-, p-, y-karoten, vitamin E
(tokoferol, tokotrienol), licopene, lutein, sterol, asam lemak tidak jenuh dan
ubiquinone. Kandungan utama CPO adalah minyak yang memiliki komposisi
antara lain asam lemak tidak jenuh, yang komposisinya adalah asam oleat
C18:1 Cis (co-9) 40.8%, asamlinoleat C18:2 ( co-6) 11.9% dan asam linolenat
C 18:3 ( co-3) 0.4%. Kandungan asam lemak tidak jenuh tersebut diketahui
efektif mengurangi kadar kolesterol darah. Sedangkan asam lemak jenuhnya
(asam palmitat 36.6% dan asam stearat 3.7%) tidak meningkatkan kolesterol
darah (Bonnie & Choo, 2000 dalam A.yustaningwarno, 2012).
Minyak goreng jelantah merupakan minyak yang sudah tidak layak
dikonsumsi, selain berwarna gelap dan menimbulkan rasa gatal pada
tenggorokan, mutu minyak goreng bekas sudah sangat rendah karena adanya
kandungan senyawa peroksida dan asam lemak bebas tinggi. Data penelitian
dari Aisyah (2010) membuktikan bahwa mutu minyak goreng bekas sudah
berada di bawah standar, yaitu mengandung angka peroksida 6,80 meq/ kg
dam FFA 0,35%, nilai ini sangat berbahaya bagi kesehatan spesifikasi SNI
yang aman dikonsumsi untuk peroksida maksimum 2 meq/kg dan FFA 0,3%.
Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan oleh
Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002, SNI ini
merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995, menetapkan bahwa standar mutu
minyak goreng seperti pada Tabel 3.1 berikut ini:
Tabel 3.1 SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak Goreng
Hasil pengukuran terhadap bilangan peroksida menunjukkan
kecenderungan meningkat dengan semakin banyaknya pengulangan
penggorengan. Bilangan peroksida pada minyak segar sebanyak 4,824 meq
peroksida/kg. Aminah (2010) meneliti bahwa pengulangan penggorengan
sampai dua puluh kali. Peningkatan signifikan bilangan peroksida mnyak
terjadi pada pengulangan kesepuluh hingga kedua puluh. Pengukuran angka
peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan
hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.
Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu
berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida
rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil
dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat
kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain.
Oksidasi lemak oleh oksigegn terjadi secara spontan jika bahan berlemak
dibiarkan dengan kontak udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya
tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan
(Raharjo dalam Aminah, 2010).
Ketika lemak atau minyak dipanaskan sampai suhu tinggi maka terjadi
dekomposisi dan akhirnya tercapai suatu titik di mana lemak dipecah menjadi
gliserol dan asam lemak bebas (FFA). Hal tersebut menimbulkan asap
kebiruan (hingga asap terlihat) yang disebut titik asap. Kehadiran akrolein
menyebabkan asap menjadi sangat mengiritasi mata dan tenggorokan. Titik
asap juga menandai awal baik rasa dan degradasi nutrisi memberikan rasa
tidak menyenangkan dan flavor yang tidak diterima untuk makanan. Oleh
karena itu, adalah pertimbangan utama ketika memilih lemak untuk
menggoreng (membutuhkan lemak dengan titik asap tinggi untuk
menggoreng). Titik asap minyak sangat bervariasi tergantung pada asal dan
titik asap pemurnian. Minyak cenderung meningkat karena penurunan kadar
FFA dan tingkat pemurnian meningkat. Lebih jernih, minyak lebih murni
cenderung memiliki titik asap yang lebih tinggi. Minyak kembali memiliki
titik asap yang lebih rendah karena pemanasan minyak menghasilkan FFA
dan pemanasan waktu meningkat, lebih banyak asam tersebut diproduksi,
sehingga mengurangi titik asap (Mishra, 2012).
Menurut Pokorny (1999), proses penggorengan memungkinkan
makanan menyerap sejumlah minyak. Penyerapan minyak oleh produk goreng
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) suhu dan waktu yang
berbandung lurus dengan peningkatan jumlah minyak yang diserap oleh
produk goreng, 2) air yang terkandung dalam bahan pangan yang akan
tergantikan oleh minyak selama proses penggorengan, dan 3) kualitas minyak
yang digunakan. Jenis bahan pangan yang digoreng pun akan mempengaruhi
penyerapan minyak. Produk goreng yang berasal dari bahan pangan nabati
dan mengandung pati akan menyerap minyak lebih banyak dari pada bahan
pangan hewani.
Mutu dari suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya, salah
satu-nva adalah ketengikan atau adanya peroksida. Peroksida merupakan
suatu tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minvak karena terjadi
oksidasi (kontak dengan udara) yang menyebabkan bau dan aroma tengik
pada minyak. Ukuran dari ketengikan dapat diketahui dengan menentukan
bilangan peroksida. Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin tinggi
pula tingkat ketengikan suatu minyak (ASA .2000). Penentuan bilangan
peroksida dilakukan dengan cara titrasi yang menggunakan larutan do sulfat
0.02 N sebagai penitar. Prinsip dari bilangan peroksida adalah: senyawa
dalam lemak (minyak) akan dioksidasi oleh Kalium lodida (KI) dan lod yang
dilepaskan dititar dengan tio sulfat (Wildan, 2002).
Pengukuran warna telah digunakan sebagai parameter kualitas minyak
goreng. Namun, warna tidak dapat digunakan sebagai indikator degradasi atau
kerusakan minyak. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya korelasi antara
perubahan warna minyak goreng dengan hasil degradasi minyak goreng yang
mempengaruhi kualitas produk akhir. Warna minyak goreng yang telah
digunakan berulang kali lebih gelap dibandingkan minyak goreng segar. Hal
ini disebabkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak goreng akibat
pemanasan (Blumenthal, 1996).
Mutu minyak goreng ditentukan pula oleh titik asapnya, yaitu suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat
menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Bila minyak mengalami
pemanasan yang berlebihan, gliserol akan mengalami kerusakan dan
kehancuran dan minyak tersebut segera mengeluarkan asap biru yang sangat
mengganggu lapisan selaput mata. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida
tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin tinggi mutu
minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar
gliserol bebasnya. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik
asapnya akan menurun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena
itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak
sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada
umumnya suhu penggorengan adalah 177-221C (Winarno, 2004).
Oksidasi lemak atau minyak terjadi pada ikatan tidak jenuh dalam
asam lemak. Pada suhu kamar sampai dengan suhu 100oC, setiap ikatan tidak
jenuh dapat mengabsorspi 2 atom oksigen, sehingga terbentuk persenyawaan
peroksida yang bersifat labil. Peroksida ini dapat menguraikan radikla tidak
jenuhyang masih utuh sehingga terbentuk 2 molekul persenyawaan oksida.
Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh adanya cahaya, suasana
asam, kelembaban udara dan katalis. Beberapa jenis logam atau garam-
garamnya yang terdapat dalam minyak merupakan katalisator dalam proses
oksidasi, misalnya logam tembaga, besi, kobalt, vanadium, mangan, nikel,
chromium, sedangkan alumunium kecil pengaruhnya terhadap proses
oksidasi. Berbagai macam persenyawaan organic dapat menghambat proses
oksidasi disebut antioksidan. Antioksidan dapat menghambat proses
ketengikan karena antioksidan lebih reaktif dari oksigen. Persenyawaan
antioksidan yang terdapat secara alamiah, dalam minyak adalah tocopherol
(vitamin E), polifenol, goyssypol atau turunan dari anthosianin dan flavones.
Disamping itu ada persenyawaan organic buatan yangs engaja ditambah untuk
menghambat proses oksidasi lemak misalnya Butylated hydroxyanisole
(BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT),, Propylgallte (PG), dan Tertierbutyl
hydroquinone (TBHQ) (Siswanti dkk, 2004).
D. Tempat dan Waktu
Praktikum Acara III. Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap
Minyak Goreng dilaksanakan pada hari Rabu, 26 Maret 2014 pukul 07.00-
12.00 WIB. Bertempat di Laboratorium Rekayasa Proses Pengelolaan Pangan
dan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
E. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Pipet tetes
b. Pipet 20 ml
c. Pipet 1 ml
d. Buret 50 ml
e. Gelas ukur 100 ml IWAKI pyrex
f. Gelas piala 200 ml
g. Hot plate
h. Termometer MC 50 ml
i. Neraca analitik AND GF-300
j. Erlenmeyer 250 ml IWAKI pyrex
k. Alumunium foil
l. Propipet
2. Bahan
a. Minyak sawit Hemart baru
b. Minyak sawit Hemart goreng tempe 1x
c. Minyak sawit Hemart goreng tahu 1x
d. Minyak sawit Hemart goreng tahu 2x
e. Minyak sawit curah baru
f. Asam asetat glasial
g. Kloroform
h. KI jenuh 0,2 ml
i. Aquades
Ditimbang 5 gr sampel minyak sawit berbagai kondisi
Ditambahkan 30 ml pelarut (60% asam asetat glacial + 40% kloroform), dikocok sampai semua sampel minyak larut
Ditambahkan 30 ml aquadest
Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sambil digoyang
Iod yang muncul dititrasi dengan larutan Na-tiosulfat 0,1 N
Ditambahkan amilum 0,5 ml
Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250ml
Dibungkus dengan alumunium foil
j. Na-tiosulfat 0,1 N
F. Prosedur Kerja
a. Penentuan Bilangan Peroksida
150 ml sampel minyak
Diamati suhunya hingga terbentuknya asap
Dipanaskan minyak di atas hot plate
Dimasukkan ke dalam gelas beker 200 ml
b. Penentuan Titik Asap
G. Pembahasan
Tabel 3.2 Bilangan Peroksida Minyak SawitNo Sampel Angka Peroksida
1 Minyak Hemart baru 22 Minyak Hemart goreng tempe 1x 563 Minyak Hemart goreng tahu 1x 144 Minyak Hemart goreng tahu 2x -25 Minyang sawit curah baru 06 Minyak Hemart baru 47 Minyak Hemart goreng tempe 1x 28 Minyak Hemart goreng tahu 1x 0,89 Minyak Hemart goreng tahu 2x 110 Minyang sawit curah baru 0
Sumber: Laporan Sementara
Dalam praktikum acara III dilakukan evaluasi terhadap bilangan
peroksida dan titik asap minyak goreng. Penggorengan dapat didefinisikan
sebagai proses pemasakan dan pengeringan produk melalui media panas
berupa minyak sebagai media pindah panas. Minyak goreng berfungsi sebagai
medium penghantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori
(Winarno, 2004). Menurut SNI 01-3741-2002 (BSN, 2002), minyak goreng
didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan
minyak makan nabati. Minyak nabati merupakan minyak yang diperoleh dari
serealia (jagung, gandum, beras, dan lain-lain), kacang-kacangan (kacang
kedelai, kacang tanah, dan lain-lain), palma-palmaan (kelapa dan kelapa
sawit), dan biji-bijian (biji bunga matahari, biji wijen, biji tengkawang, biji
kakao, dan lain-lain) (Nugraha, 2004).
Pemanasan minyak goreng yang berulang rentan terhadap kerusakan
oksidasi. Kerusakan tersebut dapat mempengaruhi mutu dan nilai dari minyak
dan bahan yang digoreng. (Ketaren, 1986). Menurut Birowo (2000),
penggunaan minyak goreng berulang kali akan menyebabkan oksidasi asam
lemak tidak jenuh yang kemudian membentuk gugus peroksida dan monomer
siklik. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang
mengonsumsinya, yaitu menyebabkan berbagai gejala keracun. Beberapa
penelitian pada hewan menunjukkan bahwa gugus peroksida dalam dosis yang
besar dapat merangsang terjadinya kanker kolon. Oleh sebab itu, penggunaan
minyak jelantah secara berulang-ulang akan sangat berbahaya bagi kesehatan.
Ketaren (1996) menambahkan bahwa perubahan kimia dalam minyak goreng
jelantah akibat oksidasi dan hidrolisis dapat menyebabkan kerusakan pada
minyak goreng tersebut.
Salah satu bentuk kerusakan yang dapat terjadi adalah ketengikan yang
dapat diketahui melalui bilangan peroksida. Bilangan peroksida merupakan
metode yang paling luas untuk menentukan derajat degradasi minyak. Produk
oksidasi primer dari minyak adalah hidroperoksida. Hidroperoksida
merupakan produk primer dari oksidasi lemak. Komponen hidroperoksida
bersifat sangat tidak stabil dan sangat sensitif terhadap suhu minyak
(Krishnamurthy dan Vernon, 1996; Blumethal, 1996). Hal ini karena
hidroperoksida merupakan radikal bebas yang bersifat sangat reaktif. Radikal
bebas adalah molekul yang amat tidak stabil, sangat reaktif terhadap molekul
lain yang berada di dekatnya dan selalu berusaha merampas elektron milik
molekul lain guna mendapatkan kondisi stabil kembali. Apabila molekul yang
telah diserang menjadi ganjil karena kehilangan elektron, molekul tersebut
berubah menjadi molekul radikal bebas dan berusaha merampas elektron
milik molekul lainnya. Proses oksidasi lemak dapat dilihat pada Gambar 3.1
Gambar 3.1 Proses Oksidasi Lemak (Winarno, 2002)
Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan
rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Adanya peroksida dapat
ditentukan secara iodometri. Angka peroksida dinyatakan sebagai banyaknya
mili-ekivalen peroksida dalam setiap 1000 g (1 kilogram) minyak, lemak dan
senyawa-senyawa lain.
Cara yang sering digunakan untuk menetukan bilangan peroksida
adalah berdasarkan reaksi antara kalium iodide dengan peroksida dalam
suasana asam. Iodium yang dibebaskan selanjutnya dititrasi dengan larutan
baku natrium tiosulfat menggunakan indikator amilum sampai warna biru
tepat hilang. Reaksi iodium tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Reaksi Iodium (Gandjar dan Rohman, 2007)
Peroksida dapat dihitung secara kuantitatif dengan penentuan jumlah
iodin yang dibebaskan oleh reaksi peroksida dengan KI. Biasanya angka
peroksida digunakan untuk menyatakan tingkat kerusakan dari minyak yang
didasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan
peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan
larutan Na2S2O3, metode ini disebut dengan iodometri. Angka peroksida
dinyatakan dalam milieqivalen dari peroksida dalam 1000 gram sampel
(Ketaren, 1986).
Menurut Winarno (2004), prinsip penentuan angka peroksida
ditentukan berdasarkan jumlah iodin yang dibebaskan setelah lemak atau
minyak ditambahkan dengan KI. Lemak direaksikan dengan KI dalam pelarut
asam asetat dan kloroform, kemudian iodin yang terbentuk ditentukan dengan
titrasi memakai Na2S2O3. Fungsi penambahan KI jenuh dijelaskan oleh teori
dari AOAC (1995) yang menjelaskan bahwa peroksida adalah hasil reaksi
oksidasi antara asam-asam lemak tidak jenuh dengan oksigen bebas yang
terjadi pada ikatan rangkap. Peroksida ini merupakan oksidator yang akan
mengoksidasi kalium iodida sehingga dihasilkan iodium bebas. Iodium bebas
ini ditentukan jumlahnya dengan cara iodometri menggunakan larutan Na-tio
dan indikator amilum.
Selanjutnya penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan pelarut
kloroform dan asam asetat glasial. Kloroform bersifat non polar dan asam
asetat glasial bersifat polar. Campuran keduanya adalah campuran pelarut
polar dan non polar yang dapat melarutkan minyak goreng. Penggunaan
pelarut polar dan non polar dilakukan karena lipida yang terkandung dalam
minyak goreng bukan hanya terdiri dari bahan organik yang larut dalam
pelarut organik non polar tetapi juga pelarut anorganik polar (Anggraini, dan
Siti, 2012).
Berdasarkan standar SNI 01-3741-2002 mengenai standar mutu
minyak goreng, diketahui bahwa angka peroksida maksimum yang
terkandung dalam minyak goreng dalam hal ini minyak kelapa sawit adalah 2
meq/kg. Tabel 3.1 berikut menunjukkan standar persyaratan mutu minyak
goreng.
Tabel 3.1 SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak Goreng
Menurut Ketaren (2005), peroksida juga dapat mempercepat proses
timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan.
Jika jumlah peroksida dalam bahan pangan melebihi 2 meq/kg, dikhawatirkan
akan meracuni tubuh. Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan pada Tabel
3.1, diketahui bahwa beberapa sampel telah mengalami ketengikan
ditunjukkan dari angka peroksida yang melebihi 2 meq/kg. Kelompok 1
menggunakan sampel minyak Hemart baru dengan angka peroksida sebesar 2
meq/kg. Kelompok 2 menggunakan sampel minyak Hemart goreng tempe 1
kali dengan angka peroksida sebesar 56 meq/kg. Kelompok 3 menggunakan
sampel minyak Hemart goreng tahu 1 kali dengan angka peroksida sebesar 14
meq/kg. Kelompok 4 menggunakan sampel minyak Hemart goreng tahu 2 kali
dengan angka peroksida sebesar -2 meq/kg. Kelompok 5 menggunakan
sampel minyak goreng curah baru dengan angka peroksida sebesar 0.
Kelompok 6 menggunakan sampel minyak Hemart baru dengan angka
peroksida sebesar 4 meq/kg. Kelompok 7 menggunakan sampel minyak
Hemart goreng tempe 1 kali dengan angka peroksida sebesar 1 meq/kg.
Kelompok 8 menggunakan sampel minyak Hemart goreng tahu 1x dengan
angka peroksida sebesar 0,8 meq/kg. Kelompok 9 menggunakan sampel
minyak Hemart goreng tahu 2 kali dengan angka peroksida sebesar 1 meq/kg.
Sedangkan kelompok 10 menggunakan sampel minyak goreng curah baru
dengan angka peroksida sebesar 0.
Urutan bilangan peroksida dari yang terbesar hingga terkecil adalah
minyak Hemart goreng tempe 1 kali milik kelompok 2 (56 mek/kg), minyak
Hemart goreng tahu 1 kali milik kelompok 3 (14 mek/kg), minyak Hemart
baru milik kelompok 6 (4 mek/kg), minyak Hemart baru milik kelompok 1 (2
mek/kg), minyak Hemart goreng tempe 1 kali milik kelompok 7 dan minyak
Hemart goreng tahu 2 kali milik kelompok 9 (1 mek/kg), minyak Hemart
goreng tahu 1 kali milik kelompok 8 (0,8 mek/kg), minyak goreng curah baru
milik kelompok 5 dan 10 (0 mek/kg) dan yang terkecil adalah minya Hemart
goreng tahu 2 kali milik kelompok 4 (-0,2 mek/kg).
Jika dibandingkan dengan SNI, hasil praktikum yang didapat tidak
sesuai dengan teori karena angka peroksida yang didapatkan bersifat terlalu
besar maupun terlalu kecil, yaitu 56 meq/kg pada minyak hemart goreng
tempe 1 kali dan -2 meq/kg pada minyak hemart goreng tahu 2 kali. Padahal
menurut Wijayanti (2008), semakin rusak suatu minyak maka bilangan
peroksida akan semakin besar karena pengukuran angka peroksida pada
dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang
terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Selain itu, terdapat banyak
sampel yang tidak sesuai dengan standari SNI, dimana batas peroksida
maksimal pada minyak adalah 2 mek/kg. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
kesalahan pada saat titrasi menggunakan Na-tiosulfat dan indikator amilum.
Semburat warna yang dihasilkan kemungkinan tidak terlihat terlalu jelas
sehingga Na-tiosulfat yang ditambahkan terlalu banyak dan hal tersebut
mempengaruhi angka perosksida yang dihasilkan. Selain itu, penambahan
asam asetat glasial, kloroform serta KI yang tidak sesuai pun dapat
mempengaruhi hasil praktikum. Gandjar dan Rohman (2007) juga
menambahkan bahwa peroksida jenis tertentu hanya bereaksi sebagian pada
uji Iodometri, disamping itu juga kemungkinan terjadi kesalahan yang
disebabkan oleh reaksi antara kalium iodide dengan oksigen dari udara pada
uji tersebut.
Dalam praktikum ini digunakan 3 jenis minyak goreng, yaitu minyak
goreng sawit merk Hemart baru, minyak sawit merk Hemart yang telah
digunakan untuk menggoreng dan minyak sawit curah baru. Menurut
Wijayanti (2008), minyak sawit diperoleh dari proses pengempaan daging
buah kelapa sawit (Elais Guineensis Jaqs) berbentuk kasar, berwarna kuning
kemerah-merahan sampai warna merah tua. Minyak nabati mengandung
asam-asam lemak esensial seperti asam linoleat, lenolenat, dan arakidonat
yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan
kolesterol. Minyak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin-
vitamin A, D, E dan K (Ketaren, 2008).
Wijayanti (2008) menambahkan bahwa minyak nabati banyak
digunakan sebagai bahan untuk makanan dan minyak goreng. Minyak jelantah
merupakan minyak nabati yang telah menjadi tidak layak untuk digunakan
sebagai bahan makanan karena telah mengalami degradasi kimia dan/atau
mengandung akumulasi kontaminan-kontaminan di dalamnya. Minyak jenis
ini cukup mudah dikenali karena warnanya lebih hitam dibandingkan minyak
goreng yang baru dipakai 1-2 kali proses penggorengan. Sumber minyak
jelantah antara lain dari rumah makan, rumah tangga, pabrik atau perusahaan
yang memproduksi bahan makanan dengan proses penggorengan, dan lain-
lain.
Pada hasil praktikum dapat diketahui bahwa beberapa sampel minyak
goreng Hemart yang telah digunakan untuk menggoreng tempe 1 kali, tahu 1
kali dan 2 kali memiliki angka peroksida yang sangat tinggi, seperti sampel
minyak goreng Hemart goreng tempe 1 kali yang digunakan oleh kelompok
1 dengan angka peroksida sebesar 56 mek/kg. Minyak jelantah tidak baik
digunakan untuk menggoreng bahan makanan karena minyak telah
mengalami beberapa kali (3-4 kali) proses pengggorengan, dimana ikatan
rangkap pada asam lemak tidak jenuh rusak, sehingga yang tersisa hanya
asam lemak jenuh. Penyakit yang dapat timbul setelah mengonsumsi
makanan yang digoreng menggunakan minyak jelantah antara lain kanker,
jantung koroner, stroke dan hipertensi (Wijayanti, 2008). Data penelitian
dari Aisyah (2010) pun membuktikan bahwa mutu minyak goreng jelantah
sudah berada di bawah standar, yaitu mengandung angka peroksida sebesar
6,80 meq/ kg.
Terdapat faktor-faktor yang dapat mempercepat kerusakan minyak
(pembentukan peroksida). Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh
adanya cahaya, suasana asam, kelembaban uadar dan katalis. Beberapa jenis
logam atau garam-garamnya yang terdapat dalam minyak merupakan
katalisator dalam proses oksidasi, misalnya logam tembaga, besi, kobalt,
vanadium, mangan, nikel, chromium, sedangkan alumunium kecil
pengaruhnya terhadap proses oksidasi (Siswanti dkk, 2004). Menurut Aminah
(2010), penggunaan suhu tinggi selama penggorengan juga dapat
menyebabkan turunnya kualitas minyak goreng curah. Semakin banyak
pengulangan penggorengan, maka bilangan peroksida semakin meningkat.
Pokorny (1999) menambahkan bahwa air yang terkandung dalam bahan
pangan juga mempengaruhi kecepatan kerusakan minyak, karena air tersebut
akan tergantikan oleh minyak selama proses penggorengan. Selain itu,
kualitas minyak yang digunakan pun turut berperan dalam kerusakan minyak,
jika digunakan minyak jelantah untuk menggoreng tentu saja kerusakan
minyak akan semakin cepat.
Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan
antioksdidan. Prooksidan akan mempercepat terjadinya oksidasi, sedangkan
antioksidan akan menghambatnya. Adanya antioksidan dalam lemak akan
mengurangi kecepatan proses oksidasi. Antioksidan secara alamiah terdapat di
dalam lemak nabati, namun kadang-kadang sengaja ditambahkan (Winarno,
2004). Terdapat dua macam antioksidan, yaitu anti oksidan primer dan
antioksidan sekunder.
Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi
berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang
termasuk golongan ini berasal dari alam dan dapat pula buatan. Antioksidan
alam antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, dan asam
askorbat. Antioksidan alam yang paling banyak ditemukan dalam minyak
nabati adalah tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat
dalam bentuk α, β, γ dan tokoferol. Tokoferol ini akan mempunyai banyak
ikatan rangkap yang mudah dioksidasi sehingga akan melindungi lemak dari
oksidasi.
Sedangkan antioksidan sekunder adalah suatu zat yang mencegah
kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam
organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-
logam (sequestran). Misalnya satu molekul asam sitrat akan mengikat
prooksidan Fe seperti sering dilakukan pada minyak kacang kedelai. EDTA
(Etilendiamin tetraasetat) adalah sequestran logam yang sering digunakan
dalam minyak salad (Winarno, 2004).
Selain dilihat dari bilangan peroksida, mutu minyak goreng juga
ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk
akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada
tenggorokan. Titik asap berupa asap kebiruan yang timbul ketika lemak atau
minyak dipanaskan sampai suhu tinggi sehingga terjadi dekomposisi dan
akhirnya tercapai suatu titik di mana lemak dipecah menjadi gliserol dan asam
lemak bebas (FFA). Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh
atau akrolein, suatu zat yang menyebabkan asap menjadi sangat mengiritasi
mata dan tenggorokan. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak
goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol
bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan
turun, karena telah menjadi hidrolisis molekul lemak.
Titik asap juga menandai awal baik rasa dan degradasi nutrisi serta
memberikan rasa tidak menyenangkan dan flavor yang tidak diterima untuk
makanan. Oleh karena itu, dibutuhkan pertimbangan dalam memilih lemak
untuk menggoreng. Titik asap minyak sangat bervariasi tergantung pada asal
dan titik asap pemurnian. Minyak cenderung meningkat karena penurunan
kadar FFA dan tingkat pemurnian meningkat. Minyak yang lebih jernih dan
murni cenderung memiliki titik asap yang lebih tinggi (Mishra, 2012).
Lemak atau minyak yang digunakan untuk menggoreng titik asapnya
akan turun, karena telah terjadi hidrolisis. Karena itu, untuk menekan
terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada
suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu
penggorengan adalah 177-221C (Winarno, 2004). Gambar 3.3 menunjukkan
reaksi antara gliserol membentuk akrolein dan air akibat suhu tinggi.
Gambar 3.3 Reaksi Pembentukan Titik Asap
Minyak goreng sangat mudah untuk mengalami oksidasi. Maka,
minyak goreng berulang kali atau yang disebut minyak jelantah telah
mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun
drastis, dan bila disimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbau
tengik. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam
jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi
gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak jenuh. (Ketaren, 2005).
Menurut Dewan Standarisasi Nasional tahun 1995, standar titik asap
pada minyak goreng adalah minimal 200oC. Tabel 3.3 menunjukkan
persyaratan mutu minyak goreng berdasarkan Dewan Standarisasi Nasional.
Tabel 3.3 Persyaratan Mutu Minyak Goreng
H. Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum acara II Evaluasi Bilangan Peroksida dan
Titik Asap Minyak Goreng ini adalah:
1. Bilangan peroksida merupakan bilangan yang dapat menentukan
derajat degradasi minyak
2. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), batas maksimal angka
peroksida pada minyak hingga terbentuk bau tengik dan flavor yang
tidak dikehendaki adalah 2 meq/kg
3. Bilangan peroksida terbesar terdapat pada minyak Hemart goreng
tempe 1 kali (56 mek/kg), sedangkan bilangan peroksida terkecil
terdapat pada minyak Hemart goreng tahu 2 kali (-2 mek/kg)
4. Semakin tinggi angka peroksida pada minyak maka kualitas minyak
tersebut akan semakin rendah.
5. Titik asap adalah temperatur pada minyak atau lemak menghasilkan
asap kebiruan pada saat pemanasan
6. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, semakin tinggi
titik asap, semakin baik pula mutu minyak goreng tersebut
7. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam jangka
waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi
gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak jenuh
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng dan Sifat Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan Gizi. Vol. 01. No. 01. Hal 3.
Aisyah, Siti, dkk. 2010. Penurunan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas (FFA) pada Proses Bleaching Minyak Goreng Bekas Oleh Karbon Aktif Polong Buah Kelor (Moringa Oliefera, Lamk) dengan Aktivasi NaCl. Alchemy. Vol. 1. No.2. Hal 5.
Ayustaningwarno, Fitriyono. 2012. Proses Pengolahan dan Aplikasi Minyak Sawit Merah pada Industri Pangan. Vol. 2. No.1. ISSN: 2085-7683. Program Studi Ilmu Gizi, F akultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Birowo, A., 2000, Minyak Jelantah Berbahaya, www. also.as/anands.co.id. Diakses pada hari Jumat, 11 April 2014 pukul 04.42 WIB.
BSN, 1995. Minyak Goreng. SNI 01-3741-1995. Badan Standarisasi Nasional.
Blumenthal, M.M. 1996. Frying Technology. Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gandjar, I.G. dan Abdul Rohman. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 220, 240 dan 255.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Mishra, Sundeep dan Manchanda. 2012. Cooking Oils for Heart Health. Volume 1. Nomor 2.
Moh, M.H, Y.B. Che Mana, F.R. van de Voort dan W.J.W. Abdullah. 1999. Determination of Peroxide Value in Thermally Oxidized Crude Palm Oil by Near Infrared Spectroscop. Volume 76. Nomor 1.
Nugraha, W.S. 2004. Kendali Adsorben Karbon Aktif dan Magnesium Silikat dalam Efisiensi Pemakaian Minyak Goreng di Further Processing PT. Chaeroen Pokhand Indonesia-Serang. Skripsi.Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Tenologi Pertanian. IPB. Bogor.
Pokorny, J. 1989. Flavor Chemistry of Deep-Fat Frying ini Oil. Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jurusan Teknik Kimia FTI UPN Veteran. Jawa Timur.
Siswanti, dkk. 2004. Pemanfaatan Antioksidan Alami Flavonol Untuk Mencegah Proses Ketengikan Minyak Kelapa.
Wannahari, R dan Nordin M.F.N. 2012. Reduction of Peroxide Value in Used Palm Cooking Oil Using Bagasse Adsorbent. Volume 2. Nomor 1.
Wijayanti, Febnita Eka. 2008. Pemanfaatan Minyak Jelantah sebagai Sumber Bahan Baku Produksi Metil Ester. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia.
Wildan, Farihah. 2002. Penentuan Bilangan Peroksida dalam Minyak Nabati dengan Cara Titrasi. Jurnal Teknis Fungisonal. Balai Penelitian Ternak-Ciawi. P.O . Box 221 . Bogor 16002.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
LAMPIRAN
ANALISIS PERHITUNGAN
Kelompok 4
Sampel : minyak Hemart yang sudah digunakan untuk menggoreng tahu sebanyak 2
kali.
Milieqivalen peroksida = A x N x 1000/G
= (0,3-0,4) x 0,01 x 1000/5
= -0,2 mek/kg
A = ml Na2S2O3 titrasi sampel – ml Na2S2O3 titrasi blanko
N = normalitas Na2S2O3
G = berat sampel minyak (gram)
Perubahan warna
Awal : kuning muda
Setelah ditambah pelarut + KI : kuning muda
Setelah ditetes indikator amilum : kuning keruh
Setelah titrasi : kuning muda
top related