acara iii bilangan peroksida

36
ACARA III EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP MINYAK GORENG A. Latar Belakang Mutu dari suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya. Salah satunva adalah ketengikan atau adanya peroksida. Peroksida merupakan suatu tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minvak akibat oksidasi (kontak dengan udara) yang menyebabkan bau/aroma tengik pada minyak. Ukuran dari ketengikan dapat diketahui dengan menentukan bilangan peroksida. Semakin tinggi bilangan peroksida, maka semakin tinggi pula tingkat ketengikan suatu minyak. Bilangan peroksida menunjukkan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya, membentuk peroksida dan selanjutnya terbentuk aldehid yang menyebabkan bau dan rasa tidak enak serta ketengikan minyak. Analisis bilangan peroksida umumnya dilakukan dengan Iodometri dengan titrasi. Selama penggorengan minyak dalam kondisi suhu tinggi, adanya udara dan air yang dikandung oleh

Upload: yasmin-nabila

Post on 29-Dec-2015

389 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Praktikum EGDP

TRANSCRIPT

Page 1: Acara III bilangan peroksida

ACARA III

EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN TITIK ASAP

MINYAK GORENG

A. Latar Belakang

Mutu dari suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya. Salah

satunva adalah ketengikan atau adanya peroksida. Peroksida merupakan suatu

tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minvak akibat oksidasi (kontak

dengan udara) yang menyebabkan bau/aroma tengik pada minyak. Ukuran

dari ketengikan dapat diketahui dengan menentukan bilangan peroksida.

Semakin tinggi bilangan peroksida, maka semakin tinggi pula tingkat

ketengikan suatu minyak. Bilangan peroksida menunjukkan derajat kerusakan

pada minyak atau lemak. Asam lemak tak jenuh dapat mengikat oksigen pada

ikatan rangkapnya, membentuk peroksida dan selanjutnya terbentuk aldehid

yang menyebabkan bau dan rasa tidak enak serta ketengikan minyak.

Analisis bilangan peroksida umumnya dilakukan dengan Iodometri dengan

titrasi.

Selama penggorengan minyak dalam kondisi suhu tinggi, adanya

udara dan air yang dikandung oleh bahan menyebabkan minyak mengalami

kerusakan. Adanya interaksi antara produk dan minyak menyebabkan

terjadinya reaksi yang sangat komplek, yaitu terbentuknya senyawa volatil

maupun nonvolatil yang akan memberikan tanda bahwa minyak telah rusak.

Pada praktikum kali ini akan dievaluasi bilangan peroksida dan titik asap

terkait dengan kualitas minyak yang digunakan dalam proses penggorengan.

B. Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum acara III Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik

Asap Minyak Goreng adalah:

a. Menentukan bilangan peroksida pada minyak goreng

Page 2: Acara III bilangan peroksida

b. Menentukan titik asap pada minyak goreng

C. Tinjauan Pustaka

Minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas,

penambah rasa gurih, dan penambah nilai kalori (Winarno, 2004). Menurut

SNI 01-3741-2002 (BSN, 2002), minyak goreng didefinisikan sebagai minyak

yang diperoleh dengan cara memurnikan minyak makan nabati. Minyak

nabati merupakan minyak yang diperoleh dari serealia (jagung, gandum,

beras, dan lain-lain), kacang-kacangan (kacang kedelai, kacang tanah, dan

lain-lain), palma-palmaan (kelapa dan kelapa sawit), dan biji-bijian (biji

bunga matahari, biji wijen, biji tengkawang, biji kakao, dan lain-lain)

(Nugraha, 2004).

Minyak sawit diketahui memiliki nutrisi makro dan mikro yang

bermanfaat untuk kesehatan manusia antara lain a-, p-, y-karoten, vitamin E

(tokoferol, tokotrienol), licopene, lutein, sterol, asam lemak tidak jenuh dan

ubiquinone. Kandungan utama CPO adalah minyak yang memiliki komposisi

antara lain asam lemak tidak jenuh, yang komposisinya adalah asam oleat

C18:1 Cis (co-9) 40.8%, asamlinoleat C18:2 ( co-6) 11.9% dan asam linolenat

C 18:3 ( co-3) 0.4%. Kandungan asam lemak tidak jenuh tersebut diketahui

efektif mengurangi kadar kolesterol darah. Sedangkan asam lemak jenuhnya

(asam palmitat 36.6% dan asam stearat 3.7%) tidak meningkatkan kolesterol

darah (Bonnie & Choo, 2000 dalam A.yustaningwarno, 2012).

Minyak goreng jelantah merupakan minyak yang sudah tidak layak

dikonsumsi, selain berwarna gelap dan menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan, mutu minyak goreng bekas sudah sangat rendah karena adanya

kandungan senyawa peroksida dan asam lemak bebas tinggi. Data penelitian

dari Aisyah (2010) membuktikan bahwa mutu minyak goreng bekas sudah

berada di bawah standar, yaitu mengandung angka peroksida 6,80 meq/ kg

Page 3: Acara III bilangan peroksida

dam FFA 0,35%, nilai ini sangat berbahaya bagi kesehatan spesifikasi SNI

yang aman dikonsumsi untuk peroksida maksimum 2 meq/kg dan FFA 0,3%.

Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan oleh

Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002, SNI ini

merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995, menetapkan bahwa standar mutu

minyak goreng seperti pada Tabel 3.1 berikut ini:

Tabel 3.1 SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak Goreng

Hasil pengukuran terhadap bilangan peroksida menunjukkan

kecenderungan meningkat dengan semakin banyaknya pengulangan

penggorengan. Bilangan peroksida pada minyak segar sebanyak 4,824 meq

peroksida/kg. Aminah (2010) meneliti bahwa pengulangan penggorengan

sampai dua puluh kali. Peningkatan signifikan bilangan peroksida mnyak

terjadi pada pengulangan kesepuluh hingga kedua puluh. Pengukuran angka

peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan

hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.

Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah

mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu

berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida

Page 4: Acara III bilangan peroksida

rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil

dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat

kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain.

Oksidasi lemak oleh oksigegn terjadi secara spontan jika bahan berlemak

dibiarkan dengan kontak udara, sedangkan kecepatan proses oksidasinya

tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan

(Raharjo dalam Aminah, 2010).

Ketika lemak atau minyak dipanaskan sampai suhu tinggi maka terjadi

dekomposisi dan akhirnya tercapai suatu titik di mana lemak dipecah menjadi

gliserol dan asam lemak bebas (FFA). Hal tersebut menimbulkan asap

kebiruan (hingga asap terlihat) yang disebut titik asap. Kehadiran akrolein

menyebabkan asap menjadi sangat mengiritasi mata dan tenggorokan. Titik

asap juga menandai awal baik rasa dan degradasi nutrisi memberikan rasa

tidak menyenangkan dan flavor yang tidak diterima untuk makanan. Oleh

karena itu, adalah pertimbangan utama ketika memilih lemak untuk

menggoreng (membutuhkan lemak dengan titik asap tinggi untuk

menggoreng). Titik asap minyak sangat bervariasi tergantung pada asal dan

titik asap pemurnian. Minyak cenderung meningkat karena penurunan kadar

FFA dan tingkat pemurnian meningkat. Lebih jernih, minyak lebih murni

cenderung memiliki titik asap yang lebih tinggi. Minyak kembali memiliki

titik asap yang lebih rendah karena pemanasan minyak menghasilkan FFA

dan pemanasan waktu meningkat, lebih banyak asam tersebut diproduksi,

sehingga mengurangi titik asap (Mishra, 2012).

Menurut Pokorny (1999), proses penggorengan memungkinkan

makanan menyerap sejumlah minyak. Penyerapan minyak oleh produk goreng

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: 1) suhu dan waktu yang

berbandung lurus dengan peningkatan jumlah minyak yang diserap oleh

produk goreng, 2) air yang terkandung dalam bahan pangan yang akan

tergantikan oleh minyak selama proses penggorengan, dan 3) kualitas minyak

Page 5: Acara III bilangan peroksida

yang digunakan. Jenis bahan pangan yang digoreng pun akan mempengaruhi

penyerapan minyak. Produk goreng yang berasal dari bahan pangan nabati

dan mengandung pati akan menyerap minyak lebih banyak dari pada bahan

pangan hewani.

Mutu dari suatu minyak dapat diketahui dari rasa dan aromanya, salah

satu-nva adalah ketengikan atau adanya peroksida. Peroksida merupakan

suatu tanda adanya pemecahan atau kerusakan pada minvak karena terjadi

oksidasi (kontak dengan udara) yang menyebabkan bau dan aroma tengik

pada minyak. Ukuran dari ketengikan dapat diketahui dengan menentukan

bilangan peroksida. Semakin tinggi bilangan peroksida maka semakin tinggi

pula tingkat ketengikan suatu minyak (ASA .2000). Penentuan bilangan

peroksida dilakukan dengan cara titrasi yang menggunakan larutan do sulfat

0.02 N sebagai penitar. Prinsip dari bilangan peroksida adalah: senyawa

dalam lemak (minyak) akan dioksidasi oleh Kalium lodida (KI) dan lod yang

dilepaskan dititar dengan tio sulfat (Wildan, 2002).

Pengukuran warna telah digunakan sebagai parameter kualitas minyak

goreng. Namun, warna tidak dapat digunakan sebagai indikator degradasi atau

kerusakan minyak. Hal ini disebabkan oleh tidak terdapatnya korelasi antara

perubahan warna minyak goreng dengan hasil degradasi minyak goreng yang

mempengaruhi kualitas produk akhir. Warna minyak goreng yang telah

digunakan berulang kali lebih gelap dibandingkan minyak goreng segar. Hal

ini disebabkan senyawa-senyawa hasil degradasi minyak goreng akibat

pemanasan (Blumenthal, 1996).

Mutu minyak goreng ditentukan pula oleh titik asapnya, yaitu suhu

pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat

menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Bila minyak mengalami

pemanasan yang berlebihan, gliserol akan mengalami kerusakan dan

kehancuran dan minyak tersebut segera mengeluarkan asap biru yang sangat

mengganggu lapisan selaput mata. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida

Page 6: Acara III bilangan peroksida

tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap, makin tinggi mutu

minyak goreng itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar

gliserol bebasnya. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik

asapnya akan menurun, karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena

itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak

sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada

umumnya suhu penggorengan adalah 177-221C (Winarno, 2004).

Oksidasi lemak atau minyak terjadi pada ikatan tidak jenuh dalam

asam lemak. Pada suhu kamar sampai dengan suhu 100oC, setiap ikatan tidak

jenuh dapat mengabsorspi 2 atom oksigen, sehingga terbentuk persenyawaan

peroksida yang bersifat labil. Peroksida ini dapat menguraikan radikla tidak

jenuhyang masih utuh sehingga terbentuk 2 molekul persenyawaan oksida.

Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh adanya cahaya, suasana

asam, kelembaban udara dan katalis. Beberapa jenis logam atau garam-

garamnya yang terdapat dalam minyak merupakan katalisator dalam proses

oksidasi, misalnya logam tembaga, besi, kobalt, vanadium, mangan, nikel,

chromium, sedangkan alumunium kecil pengaruhnya terhadap proses

oksidasi. Berbagai macam persenyawaan organic dapat menghambat proses

oksidasi disebut antioksidan. Antioksidan dapat menghambat proses

ketengikan karena antioksidan lebih reaktif dari oksigen. Persenyawaan

antioksidan yang terdapat secara alamiah, dalam minyak adalah tocopherol

(vitamin E), polifenol, goyssypol atau turunan dari anthosianin dan flavones.

Disamping itu ada persenyawaan organic buatan yangs engaja ditambah untuk

menghambat proses oksidasi lemak misalnya Butylated hydroxyanisole

(BHA), Butylated hydroxytoluene (BHT),, Propylgallte (PG), dan Tertierbutyl

hydroquinone (TBHQ) (Siswanti dkk, 2004).

D. Tempat dan Waktu

Page 7: Acara III bilangan peroksida

Praktikum Acara III. Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik Asap

Minyak Goreng dilaksanakan pada hari Rabu, 26 Maret 2014 pukul 07.00-

12.00 WIB. Bertempat di Laboratorium Rekayasa Proses Pengelolaan Pangan

dan Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

E. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Pipet tetes

b. Pipet 20 ml

c. Pipet 1 ml

d. Buret 50 ml

e. Gelas ukur 100 ml IWAKI pyrex

f. Gelas piala 200 ml

g. Hot plate

h. Termometer MC 50 ml

i. Neraca analitik AND GF-300

j. Erlenmeyer 250 ml IWAKI pyrex

k. Alumunium foil

l. Propipet

2. Bahan

a. Minyak sawit Hemart baru

b. Minyak sawit Hemart goreng tempe 1x

c. Minyak sawit Hemart goreng tahu 1x

d. Minyak sawit Hemart goreng tahu 2x

e. Minyak sawit curah baru

f. Asam asetat glasial

g. Kloroform

h. KI jenuh 0,2 ml

i. Aquades

Page 8: Acara III bilangan peroksida

Ditimbang 5 gr sampel minyak sawit berbagai kondisi

Ditambahkan 30 ml pelarut (60% asam asetat glacial + 40% kloroform), dikocok sampai semua sampel minyak larut

Ditambahkan 30 ml aquadest

Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, didiamkan selama 2 menit di dalam ruang gelap sambil digoyang

Iod yang muncul dititrasi dengan larutan Na-tiosulfat 0,1 N

Ditambahkan amilum 0,5 ml

Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250ml

Dibungkus dengan alumunium foil

j. Na-tiosulfat 0,1 N

F. Prosedur Kerja

a. Penentuan Bilangan Peroksida

Page 9: Acara III bilangan peroksida

150 ml sampel minyak

Diamati suhunya hingga terbentuknya asap

Dipanaskan minyak di atas hot plate

Dimasukkan ke dalam gelas beker 200 ml

b. Penentuan Titik Asap

G. Pembahasan

Tabel 3.2 Bilangan Peroksida Minyak SawitNo Sampel Angka Peroksida

1 Minyak Hemart baru 22 Minyak Hemart goreng tempe 1x 563 Minyak Hemart goreng tahu 1x 144 Minyak Hemart goreng tahu 2x -25 Minyang sawit curah baru 06 Minyak Hemart baru 47 Minyak Hemart goreng tempe 1x 28 Minyak Hemart goreng tahu 1x 0,89 Minyak Hemart goreng tahu 2x 110 Minyang sawit curah baru 0

Sumber: Laporan Sementara

Dalam praktikum acara III dilakukan evaluasi terhadap bilangan

peroksida dan titik asap minyak goreng. Penggorengan dapat didefinisikan

sebagai proses pemasakan dan pengeringan produk melalui media panas

berupa minyak sebagai media pindah panas. Minyak goreng berfungsi sebagai

medium penghantar panas, penambah rasa gurih dan penambah nilai kalori

(Winarno, 2004). Menurut SNI 01-3741-2002 (BSN, 2002), minyak goreng

didefinisikan sebagai minyak yang diperoleh dengan cara memurnikan

minyak makan nabati. Minyak nabati merupakan minyak yang diperoleh dari

Page 10: Acara III bilangan peroksida

serealia (jagung, gandum, beras, dan lain-lain), kacang-kacangan (kacang

kedelai, kacang tanah, dan lain-lain), palma-palmaan (kelapa dan kelapa

sawit), dan biji-bijian (biji bunga matahari, biji wijen, biji tengkawang, biji

kakao, dan lain-lain) (Nugraha, 2004).

Pemanasan minyak goreng yang berulang rentan terhadap kerusakan

oksidasi. Kerusakan tersebut dapat mempengaruhi mutu dan nilai dari minyak

dan bahan yang digoreng. (Ketaren, 1986). Menurut Birowo (2000),

penggunaan minyak goreng berulang kali akan menyebabkan oksidasi asam

lemak tidak jenuh yang kemudian membentuk gugus peroksida dan monomer

siklik. Hal tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi yang

mengonsumsinya, yaitu menyebabkan berbagai gejala keracun. Beberapa

penelitian pada hewan menunjukkan bahwa gugus peroksida dalam dosis yang

besar dapat merangsang terjadinya kanker kolon. Oleh sebab itu, penggunaan

minyak jelantah secara berulang-ulang akan sangat berbahaya bagi kesehatan.

Ketaren (1996) menambahkan bahwa perubahan kimia dalam minyak goreng

jelantah akibat oksidasi dan hidrolisis dapat menyebabkan kerusakan pada

minyak goreng tersebut.

Salah satu bentuk kerusakan yang dapat terjadi adalah ketengikan yang

dapat diketahui melalui bilangan peroksida. Bilangan peroksida merupakan

metode yang paling luas untuk menentukan derajat degradasi minyak. Produk

oksidasi primer dari minyak adalah hidroperoksida. Hidroperoksida

merupakan produk primer dari oksidasi lemak. Komponen hidroperoksida

bersifat sangat tidak stabil dan sangat sensitif terhadap suhu minyak

(Krishnamurthy dan Vernon, 1996; Blumethal, 1996). Hal ini karena

hidroperoksida merupakan radikal bebas yang bersifat sangat reaktif. Radikal

bebas adalah molekul yang amat tidak stabil, sangat reaktif terhadap molekul

lain yang berada di dekatnya dan selalu berusaha merampas elektron milik

molekul lain guna mendapatkan kondisi stabil kembali. Apabila molekul yang

telah diserang menjadi ganjil karena kehilangan elektron, molekul tersebut

Page 11: Acara III bilangan peroksida

berubah menjadi molekul radikal bebas dan berusaha merampas elektron

milik molekul lainnya. Proses oksidasi lemak dapat dilihat pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Proses Oksidasi Lemak (Winarno, 2002)

Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan

rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Adanya peroksida dapat

ditentukan secara iodometri. Angka peroksida dinyatakan sebagai banyaknya

mili-ekivalen peroksida dalam setiap 1000 g (1 kilogram) minyak, lemak dan

senyawa-senyawa lain.

Cara yang sering digunakan untuk menetukan bilangan peroksida

adalah berdasarkan reaksi antara kalium iodide dengan peroksida dalam

suasana asam. Iodium yang dibebaskan selanjutnya dititrasi dengan larutan

baku natrium tiosulfat menggunakan indikator amilum sampai warna biru

tepat hilang. Reaksi iodium tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Page 12: Acara III bilangan peroksida

Gambar 3.2 Reaksi Iodium (Gandjar dan Rohman, 2007)

Peroksida dapat dihitung secara kuantitatif dengan penentuan jumlah

iodin yang dibebaskan oleh reaksi peroksida dengan KI. Biasanya angka

peroksida digunakan untuk menyatakan tingkat kerusakan dari minyak yang

didasarkan pada reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan

peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan

larutan Na2S2O3, metode ini disebut dengan iodometri. Angka peroksida

dinyatakan dalam milieqivalen dari peroksida dalam 1000 gram sampel

(Ketaren, 1986).

Menurut Winarno (2004), prinsip penentuan angka peroksida

ditentukan berdasarkan jumlah iodin yang dibebaskan setelah lemak atau

minyak ditambahkan dengan KI. Lemak direaksikan dengan KI dalam pelarut

asam asetat dan kloroform, kemudian iodin yang terbentuk ditentukan dengan

titrasi memakai Na2S2O3. Fungsi penambahan KI jenuh dijelaskan oleh teori

dari AOAC (1995) yang menjelaskan bahwa peroksida adalah hasil reaksi

oksidasi antara asam-asam lemak tidak jenuh dengan oksigen bebas yang

terjadi pada ikatan rangkap. Peroksida ini merupakan oksidator yang akan

mengoksidasi kalium iodida sehingga dihasilkan iodium bebas. Iodium bebas

ini ditentukan jumlahnya dengan cara iodometri menggunakan larutan Na-tio

dan indikator amilum.

Selanjutnya penentuan bilangan peroksida dilakukan dengan pelarut

kloroform dan asam asetat glasial. Kloroform bersifat non polar dan asam

asetat glasial bersifat polar. Campuran keduanya adalah campuran pelarut

polar dan non polar yang dapat melarutkan minyak goreng. Penggunaan

Page 13: Acara III bilangan peroksida

pelarut polar dan non polar dilakukan karena lipida yang terkandung dalam

minyak goreng bukan hanya terdiri dari bahan organik yang larut dalam

pelarut organik non polar tetapi juga pelarut anorganik polar (Anggraini, dan

Siti, 2012).

Berdasarkan standar SNI 01-3741-2002 mengenai standar mutu

minyak goreng, diketahui bahwa angka peroksida maksimum yang

terkandung dalam minyak goreng dalam hal ini minyak kelapa sawit adalah 2

meq/kg. Tabel 3.1 berikut menunjukkan standar persyaratan mutu minyak

goreng.

Tabel 3.1 SNI 01-3741-2002 tentang Standar Mutu Minyak Goreng

Menurut Ketaren (2005), peroksida juga dapat mempercepat proses

timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak dikehendaki dalam bahan pangan.

Jika jumlah peroksida dalam bahan pangan melebihi 2 meq/kg, dikhawatirkan

akan meracuni tubuh. Berdasarkan hasil praktikum yang dilakukan pada Tabel

3.1, diketahui bahwa beberapa sampel telah mengalami ketengikan

ditunjukkan dari angka peroksida yang melebihi 2 meq/kg. Kelompok 1

menggunakan sampel minyak Hemart baru dengan angka peroksida sebesar 2

Page 14: Acara III bilangan peroksida

meq/kg. Kelompok 2 menggunakan sampel minyak Hemart goreng tempe 1

kali dengan angka peroksida sebesar 56 meq/kg. Kelompok 3 menggunakan

sampel minyak Hemart goreng tahu 1 kali dengan angka peroksida sebesar 14

meq/kg. Kelompok 4 menggunakan sampel minyak Hemart goreng tahu 2 kali

dengan angka peroksida sebesar -2 meq/kg. Kelompok 5 menggunakan

sampel minyak goreng curah baru dengan angka peroksida sebesar 0.

Kelompok 6 menggunakan sampel minyak Hemart baru dengan angka

peroksida sebesar 4 meq/kg. Kelompok 7 menggunakan sampel minyak

Hemart goreng tempe 1 kali dengan angka peroksida sebesar 1 meq/kg.

Kelompok 8 menggunakan sampel minyak Hemart goreng tahu 1x dengan

angka peroksida sebesar 0,8 meq/kg. Kelompok 9 menggunakan sampel

minyak Hemart goreng tahu 2 kali dengan angka peroksida sebesar 1 meq/kg.

Sedangkan kelompok 10 menggunakan sampel minyak goreng curah baru

dengan angka peroksida sebesar 0.

Urutan bilangan peroksida dari yang terbesar hingga terkecil adalah

minyak Hemart goreng tempe 1 kali milik kelompok 2 (56 mek/kg), minyak

Hemart goreng tahu 1 kali milik kelompok 3 (14 mek/kg), minyak Hemart

baru milik kelompok 6 (4 mek/kg), minyak Hemart baru milik kelompok 1 (2

mek/kg), minyak Hemart goreng tempe 1 kali milik kelompok 7 dan minyak

Hemart goreng tahu 2 kali milik kelompok 9 (1 mek/kg), minyak Hemart

goreng tahu 1 kali milik kelompok 8 (0,8 mek/kg), minyak goreng curah baru

milik kelompok 5 dan 10 (0 mek/kg) dan yang terkecil adalah minya Hemart

goreng tahu 2 kali milik kelompok 4 (-0,2 mek/kg).

Jika dibandingkan dengan SNI, hasil praktikum yang didapat tidak

sesuai dengan teori karena angka peroksida yang didapatkan bersifat terlalu

besar maupun terlalu kecil, yaitu 56 meq/kg pada minyak hemart goreng

tempe 1 kali dan -2 meq/kg pada minyak hemart goreng tahu 2 kali. Padahal

menurut Wijayanti (2008), semakin rusak suatu minyak maka bilangan

peroksida akan semakin besar karena pengukuran angka peroksida pada

Page 15: Acara III bilangan peroksida

dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan hidroperoksida yang

terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Selain itu, terdapat banyak

sampel yang tidak sesuai dengan standari SNI, dimana batas peroksida

maksimal pada minyak adalah 2 mek/kg. Hal tersebut dapat disebabkan oleh

kesalahan pada saat titrasi menggunakan Na-tiosulfat dan indikator amilum.

Semburat warna yang dihasilkan kemungkinan tidak terlihat terlalu jelas

sehingga Na-tiosulfat yang ditambahkan terlalu banyak dan hal tersebut

mempengaruhi angka perosksida yang dihasilkan. Selain itu, penambahan

asam asetat glasial, kloroform serta KI yang tidak sesuai pun dapat

mempengaruhi hasil praktikum. Gandjar dan Rohman (2007) juga

menambahkan bahwa peroksida jenis tertentu hanya bereaksi sebagian pada

uji Iodometri, disamping itu juga kemungkinan terjadi kesalahan yang

disebabkan oleh reaksi antara kalium iodide dengan oksigen dari udara pada

uji tersebut.

Dalam praktikum ini digunakan 3 jenis minyak goreng, yaitu minyak

goreng sawit merk Hemart baru, minyak sawit merk Hemart yang telah

digunakan untuk menggoreng dan minyak sawit curah baru. Menurut

Wijayanti (2008), minyak sawit diperoleh dari proses pengempaan daging

buah kelapa sawit (Elais Guineensis Jaqs) berbentuk kasar, berwarna kuning

kemerah-merahan sampai warna merah tua. Minyak nabati mengandung

asam-asam lemak esensial seperti asam linoleat, lenolenat, dan arakidonat

yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan

kolesterol. Minyak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin-

vitamin A, D, E dan K (Ketaren, 2008).

Wijayanti (2008) menambahkan bahwa minyak nabati banyak

digunakan sebagai bahan untuk makanan dan minyak goreng. Minyak jelantah

merupakan minyak nabati yang telah menjadi tidak layak untuk digunakan

sebagai bahan makanan karena telah mengalami degradasi kimia dan/atau

mengandung akumulasi kontaminan-kontaminan di dalamnya. Minyak jenis

Page 16: Acara III bilangan peroksida

ini cukup mudah dikenali karena warnanya lebih hitam dibandingkan minyak

goreng yang baru dipakai 1-2 kali proses penggorengan. Sumber minyak

jelantah antara lain dari rumah makan, rumah tangga, pabrik atau perusahaan

yang memproduksi bahan makanan dengan proses penggorengan, dan lain-

lain.

Pada hasil praktikum dapat diketahui bahwa beberapa sampel minyak

goreng Hemart yang telah digunakan untuk menggoreng tempe 1 kali, tahu 1

kali dan 2 kali memiliki angka peroksida yang sangat tinggi, seperti sampel

minyak goreng Hemart goreng tempe 1 kali yang digunakan oleh kelompok

1 dengan angka peroksida sebesar 56 mek/kg. Minyak jelantah tidak baik

digunakan untuk menggoreng bahan makanan karena minyak telah

mengalami beberapa kali (3-4 kali) proses pengggorengan, dimana ikatan

rangkap pada asam lemak tidak jenuh rusak, sehingga yang tersisa hanya

asam lemak jenuh. Penyakit yang dapat timbul setelah mengonsumsi

makanan yang digoreng menggunakan minyak jelantah antara lain kanker,

jantung koroner, stroke dan hipertensi (Wijayanti, 2008). Data penelitian

dari Aisyah (2010) pun membuktikan bahwa mutu minyak goreng jelantah

sudah berada di bawah standar, yaitu mengandung angka peroksida sebesar

6,80 meq/ kg.

Terdapat faktor-faktor yang dapat mempercepat kerusakan minyak

(pembentukan peroksida). Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh

adanya cahaya, suasana asam, kelembaban uadar dan katalis. Beberapa jenis

logam atau garam-garamnya yang terdapat dalam minyak merupakan

katalisator dalam proses oksidasi, misalnya logam tembaga, besi, kobalt,

vanadium, mangan, nikel, chromium, sedangkan alumunium kecil

pengaruhnya terhadap proses oksidasi (Siswanti dkk, 2004). Menurut Aminah

(2010), penggunaan suhu tinggi selama penggorengan juga dapat

menyebabkan turunnya kualitas minyak goreng curah. Semakin banyak

pengulangan penggorengan, maka bilangan peroksida semakin meningkat.

Page 17: Acara III bilangan peroksida

Pokorny (1999) menambahkan bahwa air yang terkandung dalam bahan

pangan juga mempengaruhi kecepatan kerusakan minyak, karena air tersebut

akan tergantikan oleh minyak selama proses penggorengan. Selain itu,

kualitas minyak yang digunakan pun turut berperan dalam kerusakan minyak,

jika digunakan minyak jelantah untuk menggoreng tentu saja kerusakan

minyak akan semakin cepat.

Proses ketengikan sangat dipengaruhi oleh adanya prooksidan dan

antioksdidan. Prooksidan akan mempercepat terjadinya oksidasi, sedangkan

antioksidan akan menghambatnya. Adanya antioksidan dalam lemak akan

mengurangi kecepatan proses oksidasi. Antioksidan secara alamiah terdapat di

dalam lemak nabati, namun kadang-kadang sengaja ditambahkan (Winarno,

2004). Terdapat dua macam antioksidan, yaitu anti oksidan primer dan

antioksidan sekunder.

Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi

berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Zat-zat yang

termasuk golongan ini berasal dari alam dan dapat pula buatan. Antioksidan

alam antara lain tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, dan asam

askorbat. Antioksidan alam yang paling banyak ditemukan dalam minyak

nabati adalah tokoferol yang mempunyai keaktifan vitamin E dan terdapat

dalam bentuk α, β, γ dan tokoferol. Tokoferol ini akan mempunyai banyak

ikatan rangkap yang mudah dioksidasi sehingga akan melindungi lemak dari

oksidasi.

Sedangkan antioksidan sekunder adalah suatu zat yang mencegah

kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergik. Beberapa asam

organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-

logam (sequestran). Misalnya satu molekul asam sitrat akan mengikat

prooksidan Fe seperti sering dilakukan pada minyak kacang kedelai. EDTA

(Etilendiamin tetraasetat) adalah sequestran logam yang sering digunakan

dalam minyak salad (Winarno, 2004).

Page 18: Acara III bilangan peroksida

Selain dilihat dari bilangan peroksida, mutu minyak goreng juga

ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk

akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan. Titik asap berupa asap kebiruan yang timbul ketika lemak atau

minyak dipanaskan sampai suhu tinggi sehingga terjadi dekomposisi dan

akhirnya tercapai suatu titik di mana lemak dipecah menjadi gliserol dan asam

lemak bebas (FFA). Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh

atau akrolein, suatu zat yang menyebabkan asap menjadi sangat mengiritasi

mata dan tenggorokan. Makin tinggi titik asap, makin baik mutu minyak

goreng tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol

bebas. Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan

turun, karena telah menjadi hidrolisis molekul lemak.

Titik asap juga menandai awal baik rasa dan degradasi nutrisi serta

memberikan rasa tidak menyenangkan dan flavor yang tidak diterima untuk

makanan. Oleh karena itu, dibutuhkan pertimbangan dalam memilih lemak

untuk menggoreng. Titik asap minyak sangat bervariasi tergantung pada asal

dan titik asap pemurnian. Minyak cenderung meningkat karena penurunan

kadar FFA dan tingkat pemurnian meningkat. Minyak yang lebih jernih dan

murni cenderung memiliki titik asap yang lebih tinggi (Mishra, 2012).

Lemak atau minyak yang digunakan untuk menggoreng titik asapnya

akan turun, karena telah terjadi hidrolisis. Karena itu, untuk menekan

terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan pada

suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu

penggorengan adalah 177-221C (Winarno, 2004). Gambar 3.3 menunjukkan

reaksi antara gliserol membentuk akrolein dan air akibat suhu tinggi.

Page 19: Acara III bilangan peroksida

Gambar 3.3 Reaksi Pembentukan Titik Asap

Minyak goreng sangat mudah untuk mengalami oksidasi. Maka,

minyak goreng berulang kali atau yang disebut minyak jelantah telah

mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun

drastis, dan bila disimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbau

tengik. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam

jangka waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi

gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak jenuh. (Ketaren, 2005).

Menurut Dewan Standarisasi Nasional tahun 1995, standar titik asap

pada minyak goreng adalah minimal 200oC. Tabel 3.3 menunjukkan

persyaratan mutu minyak goreng berdasarkan Dewan Standarisasi Nasional.

Page 20: Acara III bilangan peroksida

Tabel 3.3 Persyaratan Mutu Minyak Goreng

H. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum acara II Evaluasi Bilangan Peroksida dan

Titik Asap Minyak Goreng ini adalah:

1. Bilangan peroksida merupakan bilangan yang dapat menentukan

derajat degradasi minyak

2. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002), batas maksimal angka

peroksida pada minyak hingga terbentuk bau tengik dan flavor yang

tidak dikehendaki adalah 2 meq/kg

3. Bilangan peroksida terbesar terdapat pada minyak Hemart goreng

tempe 1 kali (56 mek/kg), sedangkan bilangan peroksida terkecil

terdapat pada minyak Hemart goreng tahu 2 kali (-2 mek/kg)

4. Semakin tinggi angka peroksida pada minyak maka kualitas minyak

tersebut akan semakin rendah.

Page 21: Acara III bilangan peroksida

5. Titik asap adalah temperatur pada minyak atau lemak menghasilkan

asap kebiruan pada saat pemanasan

6. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, semakin tinggi

titik asap, semakin baik pula mutu minyak goreng tersebut

7. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam jangka

waktu tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi

gliserol dan FFA (free fatty acid) atau asam lemak jenuh

Page 22: Acara III bilangan peroksida

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng dan Sifat Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan Gizi. Vol. 01. No. 01. Hal 3.

Aisyah, Siti, dkk. 2010. Penurunan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas (FFA) pada Proses Bleaching Minyak Goreng Bekas Oleh Karbon Aktif Polong Buah Kelor (Moringa Oliefera, Lamk) dengan Aktivasi NaCl. Alchemy. Vol. 1. No.2. Hal 5.

Ayustaningwarno, Fitriyono. 2012. Proses Pengolahan dan Aplikasi Minyak Sawit Merah pada Industri Pangan. Vol. 2. No.1. ISSN: 2085-7683. Program Studi Ilmu Gizi, F akultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.

Birowo, A., 2000, Minyak Jelantah Berbahaya, www. also.as/anands.co.id. Diakses pada hari Jumat, 11 April 2014 pukul 04.42 WIB.

BSN, 1995. Minyak Goreng. SNI 01-3741-1995. Badan Standarisasi Nasional.

Blumenthal, M.M. 1996. Frying Technology. Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Gandjar, I.G. dan Abdul Rohman. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 220, 240 dan 255.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.

Mishra, Sundeep dan Manchanda. 2012. Cooking Oils for Heart Health. Volume 1. Nomor 2.

Moh, M.H, Y.B. Che Mana, F.R. van de Voort dan W.J.W. Abdullah. 1999. Determination of Peroxide Value in Thermally Oxidized Crude Palm Oil by Near Infrared Spectroscop. Volume 76. Nomor 1.

Nugraha, W.S. 2004. Kendali Adsorben Karbon Aktif dan Magnesium Silikat dalam Efisiensi Pemakaian Minyak Goreng di Further Processing PT. Chaeroen Pokhand Indonesia-Serang. Skripsi.Sarjana Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Tenologi Pertanian. IPB. Bogor.

Page 23: Acara III bilangan peroksida

Pokorny, J. 1989. Flavor Chemistry of Deep-Fat Frying ini Oil. Di dalam : Romaria, Mayland. 2008. Karakteristik Fisiko Kimia Minyak Goreng Pada Proses Penggorengan Berulang Dan Umur Simpan Kacang Salut Yang Dihasilkan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Jurusan Teknik Kimia FTI UPN Veteran. Jawa Timur.

Siswanti, dkk. 2004. Pemanfaatan Antioksidan Alami Flavonol Untuk Mencegah Proses Ketengikan Minyak Kelapa.

Wannahari, R dan Nordin M.F.N. 2012. Reduction of Peroxide Value in Used Palm Cooking Oil Using Bagasse Adsorbent. Volume 2. Nomor 1.

Wijayanti, Febnita Eka. 2008. Pemanfaatan Minyak Jelantah sebagai Sumber Bahan Baku Produksi Metil Ester. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia.

Wildan, Farihah. 2002. Penentuan Bilangan Peroksida dalam Minyak Nabati dengan Cara Titrasi. Jurnal Teknis Fungisonal. Balai Penelitian Ternak-Ciawi. P.O . Box 221 . Bogor 16002.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 24: Acara III bilangan peroksida

LAMPIRAN

ANALISIS PERHITUNGAN

Kelompok 4

Sampel : minyak Hemart yang sudah digunakan untuk menggoreng tahu sebanyak 2

kali.

Milieqivalen peroksida = A x N x 1000/G

= (0,3-0,4) x 0,01 x 1000/5

= -0,2 mek/kg

A = ml Na2S2O3 titrasi sampel – ml Na2S2O3 titrasi blanko

N = normalitas Na2S2O3

G = berat sampel minyak (gram)

Perubahan warna

Awal : kuning muda

Setelah ditambah pelarut + KI : kuning muda

Setelah ditetes indikator amilum : kuning keruh

Setelah titrasi : kuning muda