ablasio retina
Post on 25-Jul-2015
254 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
ABLASIO RETINA
A. PENDAHULUAN
Retina adalah jaringan neurosensoris yang tipis, semitransparan dan berlapis-lapis yang
terletak pada dua per tiga dinding sebelah dalam bola mata. Retina manusia merupakan suatu
struktur yang sangat terorganisir, yang terdiri dari lapisan-lapisan badan sel dan prosesus
sinaptik. Walaupun ukurannya kompak dan tampak sederhana apabila dibandingkan dengan
struktur saraf misalnya korteks serebrum, retina memiliki daya pengolahan yang sangat canggih.
Pengolahan visual retina diuraikan oleh otak, dan persepsi warna, kontras, kedalaman, dan
bentuk berlangsung di korteks. Pengolahan informasi di retina berlangsung dari lapisan
fotoreseptor melalui akson sel ganglion menuju ke saraf optikus dan otak.1
Retina merupakan lapisan membran neurosensoris dan merupakan lapisan ketiga bola
mata setelah sklera yang merupakan jaringan ikat dan jaringan uvea yang merupakan jaringan
vaskuler yang terdiri dari iris, badan siliar, dan koroid. Retina berbatas dengan koroid dengan sel
pigmen epitel retina. Antara retina dan epitel pigmen retina terdapat rongga potensial yang bisa
mengakibatkan retina terlepas dari epitel pigmen retina. Hal ini yang disebut sebagai ablasio
retina.2
B. ANATOMI MATA
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, berlapis-lapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan
hampir sama jauhnya dengan korpus siliaris, dan berakhir di tepi ora serrata. Pada orang dewasa,
ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di
belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan
epitel berpigmen retina sehingga juga bertumbuk dengan membrane Bruch, koroid dan sklera.
Retina dan epitelium pigmen retina mudah terpisah sehingga cairan vitreous masuk ke ruang
subretina, seperti yang terjadi pada ablasio retina. Tetapi pada diskus optikus dan ora serrata,
retina dan epitelium pigmen retina saling melekat kuat sehingga membatasi perluasan cairan
subretina pada ablasio retina. Hal ini berlawanan dengan ruang subkhoroid yang dapat terbentuk
1
antara khoroid dan sklera yang meluas ke taji sklera. Dengan demikian ablasi koroid meluas
melewati ora serrata, dibawah pars plana dan pars plikata. Lapisan - lapisan epitel permukaan
dalam korpus siliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan ke anterior retina dan
epitelium pigmen retina. Permukaan dalam retina menghadap ke vitreous.1
Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar ke dalam adalah sebagai berikut: 1, 3-5
1. Epitelium pigmen retina
Merupakan lapisan terluar dari retina. Epitel pigmen retina terdiri dari satu lapisan sel
mengandung pigmen dan terdiri atas sel-sel silindris dengan inti di basal. Daerah basal sel
melekat erat membran Bruch dari koroid. Fotoreseptor dipelihara oleh epitel pigmen retina,
yang berperan pada proses penglihatan. Epitel pigmen ini bertanggung jawab untuk fagositosis
segmen luar fotoreseptor, transportasi vitamin, mengurangi hamburan sinar, serta membentuk
sawar selektif antara koroid dan retina.
2. Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut.
Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya menjadi
suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan occipital.
Fotoreseptor tersusun sehingga kerapatan sel-sel kerucut meningkat di di pusat makula (fovea),
dan kerapatan sel batang lebih tinggi di perifer. Pigmen fotosensitif di dalam sel batang disebut
rodopsin. Sel kerucut mengandung tiga pigmen yang belum dikenali sepenuhnya yang disebut
iodopsin yang kemungkinan menjadi dasar kimiawi bagi tiga warna (merah,hijau,biru) untuk
penglihatan warna. Sel kerucut berfungsi untuk penglihatan siang hari (fotopik). Subgrup sel
kerucut responsif terhadap panjang gelombang pendek, menengah, dan panjang (biru, hijau
merah). Sel batang berfungsi untuk penglihatan malam (skotopik). Dengan bentuk penglihatan
adaptasi gelap ini terlihat beragam corak abu-abu, tetapi warnanya tidak dapat dibedakan. Waktu
senja (mesopik) diperantarai oleh kombinasi sel kerucut dan batang.
3. Membran limitans eksterna
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, Ini terdiri dari inti dari batang dan kerucut.
5. Lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan – sambungan sel bipolar dan sel
horisontal dengan fotoreseptor.
6. Lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin dan sel horisontal
7. Lapisan pleksiformis dalam, yang mengandung sambungan–sambungan sel ganglion dengan
sel amakrin dan sel bipolar.
2
8. Lapisan sel ganglion
9. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson – akson sel ganglion yang berjalan menuju ke
nervus optikus.
10. Membrana limitans interna. Ini adalah lapisan paling dalam dan memisahkan retina dari
vitreous. Membran ini terbentuk oleh persatuan ekspansi terminal dari serat yang Muller, dan
pada dasarnya adalah dasar membran.
Gambar 1. Lapisan retina dari luar ke dalam3
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior. Di
tengah – tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis makula dapat didefinisikan
sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal (xantofil) yang
berdiameter 5-6 mm. Secara histologis makula merupakan bagian retina yang lapisan
ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel. Secara klinis, makula adalah bagian yang
dibatasi oleh arkade – arkade pembuluh darah retina temporal. Di tengah makula sekitar 3,5 mm
di sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea yang secara klinis jelas – jelas merupakan suatu
cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Fovea merupakan
zona avaskular di retina pada angiografi fluoresens. Secara histologi, fovea ditandai dengan
menipisnya lapisan inti luar dan tidak adanya lapisan – lapisan parenkim karena akson – akson
sel fotoreseptor (lapisan serat Henle) berjalan oblik dan pergeseran secara sentrifugal lapisan
retina yang lebih dekat ke permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada
3
fovea, disini fotoreseptornya adalah sel kerucut dan bagian retina yang paling tipis. Semua
gambaran histologis ini memberikan diskriminasi visual yang halus. Ruang ekstraseluler retina
yang normalnya kosong potensial paling besar di makula dan penyakit yang menyebabkan
penumpukan bahan di ekstrasel dapat menyebabkan daerah ini menjadi tebal sekali. 1,4,6
Gambar 2. Anatomi makula3
Retina menerima darah dari dua sumber yaitu khoriokapilaria yang berada tepat diluar
membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina termasuk lapisan pleksiformis luar dan
lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina serta cabang – cabang dari arteri
sentralis retinae yang mendarahi dua pertiga sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh
khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki kalau retina mengalami
ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang yang membentuk
sawar darah retina. Lapisan endotel pembuluh khoroid dapat ditembus. Sawar darah retina
sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina. 1,3
C. DEFINISI
Ablasio retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel kerucut dan sel
batang retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih
melekat erat dengan membran Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina
tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga
merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis. Pada mata normal, retina
4
sensorik yang utuh tertahan melekat ke epitel pigmen oleh adanya tarika oleh epitel terhadap
ruang kedap air diantara keduanya. Apabila terdapat robekan retina, gerakan bola mata yang
cepat dan rotasi bola mata mendadak dapat menimbulkan gaya inersi yang cukup besar untuk
menimbulkan pelepasan retina.1,2,7
D. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian ablasio retina adalah 1 dari 15.000 orang. Penyebab The most common
worldwide etiologic factors associated with retinal detachment are myopia (ie, nearsightedness),
aphakia, pseudophakia (ie, cataract removal with lens implant), and traumpaling umum di
seluruh dunia yang terkait dengan ablasio retina adalah miop, afakia, pseudofakia, dan trauma.
Approximately 40-50% of all patients with detachments have myopia, 30-40% have undergone
cataract removal, and 10-20% have encountered direct ocular trauma. Sekitar 40-50% dari semua
pasien dengan ablasio memiliki miop tinggi (> 6 dioptri), 30-35% pernah menjalani operasi
pengangkatan katarak, dan 10-20% pernah mengalami trauma okuli. Traumatic detachments are
more common in young persons, and myopic detachment occurs most commonly in persons aged
25-45 years.Dablasio ablasio retina yang terjadi akibat trauma lebih sering terjadi pada orang
muda, dan miop terjadi paling sering pada usia 25-45 tahun. Although no studies are available to
estimate incidence of retinal detachment related to contact sports, specific sports (eg, boxing and
bungee jumping) have an increased risk of retinal detachment. Meskipun tidak ada penelitian
yang menunjukkan untuk terjadinya ablasio retina yang berhubungan dengan olahraga tertentu
(misalnya, tinju dan bungee jumping) tetapi olahraga tersebut meningkatkan resiko terjadinya
ablasio retina.9,10
SexNo predilection exists; overall, incidence is unchanged even when corrections for the
higher rate of ocular trauma in men is considered.Kejadian ini tidak berubah ketika dikoreksi,
meningkat pada pria dengan trauma okuli.Of those younger than 45 years who have retinal
detachment, 60% are male and 40% are female. Ablasio retina pada usia kurang dari 45 tahun,
60% laki-laki dan 40% perempuan.9,10
Ablasio AgeAs the population ages, retinal detachments (RDs) are becoming more
common.ablasiAblasio retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. However,
paintball injuries in young children and teens are becoming increasingly common causes of eye
5
injuries, including traumatic retinal detachments. Namun, cedera paintball pada anak-anak dan
remaja merupakan penyebab umum dari cedera mata, yang termasuk ablasio retina traumatik.9,10
E. KLASIFIKASI
Berdasakan penyebabnya ablasio retina dibagi menjadi:
1. ABLASIO RETINA REGMATOGENOSA
Ablasio regmatogenosa berasal dari kata Yunani rhegma, yang berarti diskontuinitas atau
istirahat. Pada ablasi retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi adanya robekan pada retina
sehingga cairan masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan
retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke
rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.
Ablasio regmantogenosa spontan biasanya didahului atau disertai oleh pelepasan korpus vitreum
posterior. 1,3,11
Faktor predisposisi terjadinya ablasio retina regmantosa antara lain: 1,3
1. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 – 60 tahun. Namun, usia tidak
menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang mempengaruhi
2. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki – laki dengan perbandingan laki
: perempuan adalah 3 : 2.
3. Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasio retina regmatogenosa adalah seseorang yang
menderita rabun jauh.
4. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada yang fakia.
5. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
6. Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasio retina dalam
banyak kasus.
7. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice degeneration,
Snail track degeneration, White-with-pressure and white-without or occult pressure,
acquired retinoschisis
Berbagai factor resiko akan menyebabkan terjadinya robekan pada retina, yang
menyebabkan cairan vitreous dapat masuk ke ruang subretina melalui robekan tersebut dan akan
memisahkan retina dari epitel pigmen retina.3
6
Ablasi retina akan memberikan gejala prodromal berupa gangguan penglihatan yang
kadang–kadang terlihat sebagai adanya tabir yang menutupi di depan mata (floaters) akibat dari
degenerasi vitreous secara cepat dan terdapat riwayat fotopsia (seperti melihat kilasan cahaya)
pada lapangan penglihatan karena iritasi retina oleh pergerakan vitreous.3,10
Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal sangat berbahaya karena dapat
mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut bila lepasnya retina mengenai makula
lutea. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan
pembuluh darah diatasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata
bergerak akan terlihat retina yang lepas (ablasi) bergoyang. Kadang – kadang terdapat pigmen
didalam badan kaca. Pada pupil terdapat adanya defek aferen pupil akibat penglihatan menurun.
Tekanan bola mata rendah dan dapat meninggi bila telah terjadi neovaskuler glaucoma pada
ablasi yang telah lama.3,6,7
Gambar 3. Ablasio retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe tear7
2. ABLASIO RETINA NON REGMATOGENOSA
A) ABLASIO RETINA EKSUDATIF
Ablasio retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di bawah retina
(subretina) dan mengangkat retina hingga terlepas. Penimbunan cairan subretina terjadi akibat
ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid. Penyebab ablasio retina eksudatif yaitu
7
penyakit sistemik yang meliputi Toksemia gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis nodos dan
karena penyakit mata yang meliputi inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita), penyakit
vaskular (central serous retinophaty, and exudative retinophaty of coats), neoplasma (melanoma
maligna pada koroid dan retinoblastoma), perforasi bola mata pada operasi intraokuler.1-3
Ablasio retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasio retina regmatogenosa dengan:3
a. Tidak adanya photopsia, lubang/sobekan, lipatan dan undulasi
b. Ablasio retina eksudatif halus dan konveks. Bagian atasnya biasa bulat dan bisa
menunjukkan gangguan pigmentari
c. Kadang-kadang, pola pembuluh darah retina mungkin terganggu akibat adanya
neovaskularisasi.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan perubahan posisi daerah terpisah karena pengaruh
gravitasi merupakan ciri khas yang dari ablasio retina eksudatif.
e. Pada tes transilluminasi, ablasio retina regmatogenosa nampak transparan sedangkan ablasio
retina eksudatif lebih opak.
Gambar 4. Ablasio retina eksudatif3
B) ABLASIO RETINA TRAKSI
Pada ablasio ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut. Pada
badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan diabetes mellitus proliferative,
trauma, dan perdarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi.1
8
Ablasio retina traksi dihubungkan dengan kondisi-kondisi seperti, retraksi jaringan
parut post trauma terutama akibat trauma penetrasi, retinopati diabetik proliferatif, retinitis
proliferans post hemoragik, retinopati prematuritas, retinopati sel sabit.3
Tipe ini juga dapat terjadi sebagai komplikasi dari ablasio retina regmatogensa. Ablasio
retina tipe regmatogenosa yang berlangsung lama akan membuat retina semakin halus dan tipis
sehingga dapat menyebabkan terbentuknya proliferatif vitreotinopathy (PVR). Pada PVR juga
dapat terjadi kegagalan dalam penatalaksanaan ablasio retina regmatogenosa. Pada PVR, epitel
pigmen retina, sel glia, dan sel lainya yang berada di dalam maupun di luar retina pada badan
vitreus akan membentuk membran. Kontraksi dari membran tersebut akan menyebabkan retina
tertarik ataupun menyusut, sehingga dapat mengakibatkan terdapatnya robekan baru atau
berkembang menjadi ablasio retina traksi.1,3,7
Gambar 5. Ablasio retina traksi3
F. DIAGNOSIS
Ablasio retina ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Gejala umum pada ablasio retina yang sering dikeluhkan penderita adalah: 9,10,11
- Floaters (terlihatnya benda melayang – laying) yang terjadi karena adanya kekeruhan di
vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau degenerasi vitreous.
- Fotopsi (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya, yang umumnya terjadi
sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap.
9
- Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya sebagian seperti tertutup
tirai yang semakin lama semakian luas. Pada keadaan yang telah lanjut, dapat terjadi
penurunan tajam penglihatan yang berat.
Pada ablasio regmatogenosa, pada tahap awal masih relatif terlokalisir, tetapi jika hal
tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan berkembang menjadi lebih berat jika
berlangsung sedikit sedikit demi sedikit menuju ke arah makula. Keadaan ini juga tidak
menimbulkan rasa sakit. Kehilangan penglihatan dapat tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya
sudah parah. Pasien biasanya mengeluhkan adanya awan gelap atau tirai di depan mata.1,3
Selain itu perlu dianamnesa adanya faktor predisposisi yang menyebabkan terjadinya
ablasio retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat pembedahan sebelumnya seperti ekstraksi
katarak, pengangkatan corpus alienum intraokuler, riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis,
perdarahan vitreus, ambliopia, glaukoma, dan retinopati diabetik). Riwayat keluarga dengan sakit
mata yang sama serta riwayat penyakit yang berhubungan dengan ablasio retina (diabetes
mellitus, tumor, sickle cell leukimia, eklamsia, dan prematuritas.1,3
Pemeriksaan Oftalmologi
Adapun tanda – tanda yang dapat ditemukan pada keadaan ini antara lain:1,3,7
1. Pemeriksaan visus. Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya makula
lutea atau kekeruhan media refrakta atau badan kaca yang menghambat sinar masuk. Tajam
penglihatan akan sangat terganggu bila makula lutea ikut terangkat.
2. Tekanan intraokuler biasanya sedikit lebih tinggi, normal, atau rendah
3. Pemeriksaan funduskopi. Merupakan salah satu cara terbaik untuk mendiagnosa ablasio
retina dengan menggunakan oftalmoskop inderek binokuler. Pada pemeriksaan ini retina
yang mengalami ablasio tampak sebagai membran abu – abu merah muda yang menutupi
gambaran vaskuler koroid. Jika terdapat akumulasi cairan pada ruang subretina, didapatkan
pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina yang terlepas dari
dasarnya berwarna gelap, berkelok – kelok dan membengkok di tepi ablasio. Pada retina
yang terjadi ablasio telihat lipatan – lipatan halus. Satu robekan pada retina terlihat agak
merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawahnya.
4. Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada
5. Ultrasonography mengkonfirmasikan diagnosis.
10
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Pada pembedahan ablasio retina
dapat dilakukan dengan cara :
Scleral buckle
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina rematogenosa terutama tanpa
disertai komplikasi lainnya. Tujuan skleral buckling adalah untuk melepaskan tarikan
vitreous pada robekan retina, mengubah arus cairan intraokuler, dan melekatkan kembali
retina ke epitel pigmen retina. Prosedur meliputi lokalisasi posisi robekan retina,
menangani robekan dengan cryoprobe, dan selanjutnya dengan skleral buckle (sabuk).
Sabuk ini biasanya terbuat dari spons silikon atau silikon padat. Ukuran dan bentuk sabuk
yang digunakan tergantung posisi lokasi dan jumlah robekan retina. Pertama – tama
dilakukan cryoprobe atau laser untuk memperkuat perlengketan antara retina sekitar dan
epitel pigmen retina. Sabuk dijahit mengelilingi sklera dengan jahitan tipe matras pada
sklera, sehingga terjadi tekanan pada robekan retina sehingga terjadi penutupan pada
robekan tersebut. Penutupan retina ini akan menyebabkan cairan subretinal menghilang
secara spontan dalam waktu 1-2 hari. Komplikasi dari skleral buckling meliputi myopia,
iskemia okuler anterior, diplopia, ptosis, ulitis sel orbital, perdarahan subretina, inkarserasi
retina.3,5
Retinopeksi pneumatik
Retinopati pneumatik merupakan metode yang sering digunakan pada ablasio retina
regmatogenosa terutama jika terdapat robekan tunggal pada bagian superior retina.Tujuan
dari retinopeksi pneumatik adalah untuk menutup kerusakan pada retina dengan gelembung
gas intraokular dalam jangka waktu yang cukup lama hingga cairan subretina direabsorbsi.
Teknik pelaksanaan prosedur ini adalah dengan menyuntikkan gelembung gas (SF6 atau
C3F8) ke dalam rongga vitreus. Gelembung gas ini akan menutupi robekan retina dan
mencegah pasase cairan lebih lanjut melalui robekan. Jika robekan dapat ditutupi oleh
gelembung gas, cairan subretinal biasanya akan hilang dalam 1-2 hari. Robekan retina
dapat juga dilekatkan dengan kriopeksi atau laser sebelum gelembung disuntikkan.
Parasentesis ruang anterior bisanya dibutuhkan untuk menurunkan tekanan intraokuler
yang dihasilkan oleh injeksi gas. Pasien harus mempertahankan posisi kepala tertentu
selama beberapa hari untuk meyakinkan gelembung terus menutupi robekan retina. Untuk
11
pasien ablasio retina dengan durasi < 14 hari yang melibatkan makula, prosedur retinopeksi
traumatic lebih baik daripada skleral buckling. Komplikasi dari prosedur ini meliputi
migrasi gas ke subretina, migrasi gas ke ruang anterior, endoftalmitis, katarak, dan ablasio
retina rekurens dengan terbentuknya kerusakan retina yang baru 3,5
Gambar 6. Retinopeksi traumatik5
Vitrektomi
Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio akibat diabetes, dan juga pada
ablasio regmatogenosa yang disertai traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara
pelaksanaannya yaitu dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian
memasukkan instrumen pada ruang vitreous melalui pars plana. Setelah itu dilakukan
vitrektomi dengan vitreus cutre untuk menghilangkan berkas badan kaca (vitreuos stands),
membran, dan perlengketan – perlengketan. Teknik dan instrumen yang digunakan
tergantung tipe dan penyebab ablasio. Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan
kembali dengan teknik-teknik bedah mata modern, meskipun kadang- kadang diperlukan
lebih dari satu kali operasi.3,5,6
H. PROGNOSIS
Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasio retina. Hasil akhir perbaikan
pada penglihatan tergantung dari beberapa factor, misalnya keterlibatan macula. Dalam keadaan
di mana ablasio telah melibatkan makula, ketajaman penglihatan jarang kembali normal. Lubang,
robekan, atau tarikan baru mungkin terjadi dan menyebabkan ablasio retina yang baru. Suatu
penelitian telah melaporkan bahkan setelah pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% -
9% pasien dapat mengalami robekan baru pada retina
12
KATARAK
A. PENDAHULUAN
Katarak berasal dari bahasa Yunani yaitu Kataarhakies. Katarak adalah setiap keadaan
kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan ) lensa, denaturasi
protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya. Klasifikasi katarak berdasarkan usia adalah
sebagai berikut:12
1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia dibawah 1 tahun
2. Katarak juvenile, katarak yang sudah terlihat pada usia di atas 1 tahun
3. Katarak senile, katarak usia 50 tahun
Katarak senil merupakan suatu gangguan penglihatan yang ditandai oleh proses
penebalan lensa yang progresif dan bertahap. Penyakit ini hingga sekarang masih menjadi
penyebab kebutaan nomor satu di dunia. Dan hal ini patut disayangkan karena morbiditas yang
disebabkan oleh gangguan penglihatan akibat katarak yang berkaitan dengan usia bersifat
reversibel. Deteksi dini, pengawasan ketat, dan pengaturan waktu untuk intervensi bedah
merupakan hal yang penting dalam manajemen katarak senil. 13
B. ETIOLOGI
Katarak senilis merupakan suatu proses penuaan. Meskipun etiopatogenesisnya belum
jelas, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit katarak yaitu: 14
1. Faktor keturunan. Faktor ini cuku;p berperang penting dalam insidens, onset umur, dan jenis
maturasi katarak dalam tiap-tiap keluarga.
2. Radiasi sinar Ultraviolet. Makin banyak paparan terhadap sinar UV maka akan makin
meningkatkan onset dan maturasi dari katarak senilis.
3. Makanan (Diet). Kurangnya konsumsi protein tertentu, asam amino, vitamin ( riboflavin,
vitamin E. Vitamin C) dan elemen penggting lainnya juga berperan dalam meningkatkan
onset dan maturasi katarak.
4. Krisis Dehidrasi. Krisis dehidrasi berat seperti pada diare dan kolera akan berpengaruh pada
onset katarak
13
5. Merokok. Merokok dilaporkan juga memiliki hubungan yang memperberat onset dan
maturasi katarak.
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang mendasari katarak senil merupakan suatu proses yang kompleks dan
hingga kini belum sepenuhnya dimengerti. Dalam semua kemungkinan, patogenesis penyakit ini
merupakan suatu proses multifaktorial. Yang melibatkan interaksi beberapa proses fisiologis.
Seiring dengan bertambahnya usia lensa, maka berat dan ketebalannya mengalami peningkatan
sedangkan kekuatan akomodasinya mengalami penurunan. Begitu lapisan kortikal baru
dihasilkan dalam pola yang kosentrik, maka nukleus sentral mengalami kompresi dan bertambah
keras. Proses ini dinamakan sklerosis nuklear. 13
Sejumlah mekanisme berkontribusi pada hilangnya transparansi lensa secara progresif.
Epitel lensa dipercaya mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya usia, perubahan ini
ditandai oleh penurunan densitas sel epitel dan diferensiasi sel fibrosa lensa yang menyimpang.
Meskipun epitel pada lensa katarak jarang mengalami proses kematian apoptosis, penurunan
densitas epitel tetap terjadi akibat sel-sel epitel banyak tergantikan oleh pembentukan jaringan
fibrosa dan proses hemostasis sehingga membuat lensa kehilangan transparansi. Sebagai
tambahan, ketika lensa bertambah tua, terjadi penurunan volume air dan, mungkin, molekul
metabolit yang larut air dapat memasuki nukleus lensa melalui epitel dan korteks yang kemudian
menurunkan transpor air, nutrisi, dan antioksidan menuju lensa. 13
Konsekuensinya, kerusakan oksidatif yang progresif pada lensa dapat mengakibatkan
pembentukan katarak senil. Sejumlah penelitian menunjukkan adanya peningkatan produk
oksidasi (seperti glutathione teroksidasi) serta penurunan antioksidan vitamin dan enzim
superoksida dismutasi yang semakin menegaskan peranan penting proses oksidatif pada
kataraktogenesis.13
Mekanisme lain yang terlibat adalah konversi protein lensa bermolekul rendah yang larut
pada sitoplasma menjadi agregat protein bermolekul besar, tidak larut, dan tidak larut pada
matriks protein-membran. Akibat dari perubahan protein ini menyebabkan fluktuasi yang
mendadak pada indeks refraksi lensa, penghamburan cahaya, dan penurunan transparansi.13
14
D. KLASIFIKASI KATARAK SENIL
Stadium-stadium katarak terdiri atas 4 (empat) stadium, yaitu :, 12
Katarak insipiens
Pada stadium ini akan terlihat kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeriji menuju
korteks anterior dan posterior (katarak kortikal). Vakuol mulai terlihat dalam korteks. Kekeruhan
ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks refraksi yang tidak sama pada semua bagian
lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.
Katarak imatur
Katarak imatur, sebagian lensa keruh. Katarak yang belum mengenai seluruh lapis lensa.
Pada katarak imatur akan dapat bertambah volume lensa akibat meningkatnya tekanan osmotik
bahan lensa yang degeneratif. Pada keadaan lensa mencembung, akan dapat menimbulkan
hambatan pupil, sehingga dapat juga mengakibatkan glaukoma sekunder.12
Gambar 7. Katarak senilis Imatur14
Katarak Matur
Katarak matur, kekeruhan telah mengenai seluruh masa lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi
akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila katarak imatur tidak dikeluarkan maka cairan lensa
akan keluar, sehingga lensa kembali pada ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruh
lensa yang bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa.12
15
Gambar 8 Katarak Senil Matur15 Gambar 9 Katarak Senil Hipermatur15
Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur, katarak yang mengalami proses degenerasi lanjut, dapat menjadi
keras atau lembek dan mencair. Masa lensa yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga
lensa menjadi mengecil, berwarna kuning dan kering, pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam
dan lipatan kapsul lensa.12
Klasifikasi Katarak Berdasarkan LOCS III adalah:
Gambar 9: Klasifikasi Katarak menurut LOCS III.
16
Keterangan:
Nuclear Opalescense = NO NO 1 - NO 6
Nuclear Color = NC NC 1 - NC 6
Cortical cataract = C C 1 - C 5
Posterior Subcapsular cataract = P P 1 - P 5
Klasifikasi ketebalan nukleus berdasarkan pemeriksaan slit lamp. 14
Grade Deskripsi ketebalan (hardness) Warna Nukleus
1 Lunak Putih atau kuning kehijauan
2 Lunak – sedang Kekuningan (yellowish)
3 Sedang – keras Kuning gelap (amber)
4 Keras Kecoklatan
5 Sangat keras (ultra hard) Kehitaman
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada katarak adalah pembedahan atau ekstraksi katarak. Beberapa
teknik operasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Intracapsular cataract extraction (ICCE)
Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa besama kapsul. Dapat dilakukan pada
zonula Zinn telah rapuh atau bergenerasi dan mudah diputus. Pada katarak ekstraksi
intrascapular tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan tindakan pembedahan yang
sangat lama populer. Akan tetapi pada tehnik ini tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada
pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai segmen hialoidea kapsular. Penyulit
yang dapat terjadi pada pembedaha ini yaitu astigmat, glaucoma, uveitis, endoftalmitis dan
perdarahan. 16
2. Extracapsular cataract extraction (ECCE)
Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa dengan
memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga massa lensa dan korteks lensa dapat
17
keluar melalui robekan tesebut. Termasuk dalam golongan ini ekstraksi linear, aspiasi dan ligasi.
Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-
sama keratoplasti, implantasi lensa intra ocular, kemungkinan akan dilakukan bedah glaucoma,
mata dengan predisposisi untuk tejadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata mengalami
ablasi retina, mata dengan sitoid makula edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit
pada saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul
pada pembedahan ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder.17
3. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
SICS adalah salah satu teknik operasi katarak yang pada umumnya digunakan di Negara
berkembang. Teknik ini biasanya menghasilkan hasil visus yang bagus dan sangat berguna untuk
operasi katarak dengan volume yang tinggi. Teknik ini dilakukan dengan cara insisi 6 mm pada
sclera (jarak 2 mm dari limbus), kemudian dibuat sclera tunnel sampa di bilik mata depan.
Dilakukan CCC, hidrodiseksi, hidrideliniasi dan disini nucleus dikeluarkan dengan manual,
korteks dikeluarkan dengan aspirasi dan irigasi kemudian dipasang IOL in the bag.18
4. Phacoemulsification/fakoemulsifikasi
Phacoemulsifikasi adalah teknik pembedahan katarak yang paling mutakhir. Hanya
diperlukan irisan yang sangat kecil saja. Dengan menggunakan getaran ultrasonic yang dapat
menghancurkan nukleus lensa. Sebelum itu dengan pisau yang tajam, kapsul anterior lensa
dikoyak. Lalu jarum ultrasonik ditusukkan ke dalam lensa, sekaligus menghancurkan dan
menghisap massa lensa keluar. Cara ini dapat dilakukan sedemikian halus dan teliti sehingga
kapsul posterior lensa dapat dibiarkan tanpa cacat. Dengan teknik ini maka luka sayatan dapat
dibuat sekecil mungkin sehingga penyulit maupun iritasi pasca bedah sangat kecil 16,17
F. PROGNOSIS
Tidak adanya penyakit okular lain yang menyertai pada saat dilakukannya operasi yang
dapat mempengaruhi hasil dari operasi, seperti degenerasi makula atau atropi nervus optikus
memberikan hasil yang baik dengan operasi standar yang sering dilakukan yaitu ECCE dan
Phacoemulsifikasi.13
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Hardy RA, Shetlar DJ. Retina. In: Riordan P, Whitcher JP. editors. Vaughan and
Asbury’s General Ophthalmology. 16th ed. New York: McGraw-Hill.2004. p. 190, 200-
201
2. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Masa edisi ketiga. 2010. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta. p.1-10, 183-6
3. Khurana AK. Diseases of The Retina. In: Comprehensive Ophthalmology. 4th edition.
New Age International Limited Publisher: India. 2007. p. 250-2, 275-9.
4. Carneiro J, Junqueira LC. Histologi Dasar Teks & Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC. 2007.
Hal. 470-475
5. American Academy of Ophthalmology. Retina and Vitreous: Section 12 2011-2012.
Singapore: LEO. 2011. p. 360-4
6. Cassidy L, Olver, J. Ophthalmology at a Glance. 2005. Blackwell Science: USA. 2005.
p. 84-6.
7. Lang, GK. Ophtalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition. 2006.Stuttgart: Thieme.
2007. p. 305-322, 339- 344.
8. James, Bruce, dkk. Oftalmologi Lecture Notes. 2003. Erlangga: Jakarta. p. 117-22
9. Larkin, L. Gregory. Retinal Detachment. 2010. [cited 21th Mei 2012]. Available from :
http//emedicine.medscape.com/article/1226426
10. Swierzewski SJ. Retinal Detachment. 2011. [cited 21th Mei 2012]. Available from :
http://www.healthcommunities.com/retinal-detachment/retinal-detachment-
overview.shtml
11. Dahl AA. Retinal Detachment. 2010. [cited 21th Mei 2012]. Available from :
http://www.medicinenet.com/retinal_detachment/article.htm
12. Sidarta I. Penglihatan Turun Perlahan Tanpa Mata Merah. Ilmu Penyakit Mata Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.200-11
13. Ocampo V, Foster CS. Cataract, Senile. 2008. [cited 25th Mei 2012]. Available from:
http://www.emedicine.com/oph/TOPIC49.HTM
14. Khurana, AK. Diseases of the Lens In: Comprehensive Ophthalmology. Fourth edition.
New Age International: New Delhi; 2007.p.167-202
19
15. Gregory L. Section 11 Lens and Cataract. American Academy of Ophthalmology. Singapore : LEO;2008.p5-9;46-49;71
16. Akmam,SM dan Azhar, Zainal. Katarak dan Perkembangan Operasinya. 1999. [cited 25th
Mei 2012]. Available from: http://www/portalkalbe/files/06/ KatarakDanPerkembangan Operasinya021.pdf.com
17. Holmes J. Phacoemulsification. 2011. [cited 25th Mei 2012]. Available from: http://www.medisurg.com/Pages/BlogDetail.aspx?PageID=17&BlogID=5
18. Kumar, Hnening A., Small incision cataract surgery. 2008. [cited 25th Mei 2012].
Available from URL: http://www.communityeyehealth_journal.com
20
top related