72460028 praktek kefarmasian terkait produksi sediaan farmasi print
Post on 26-Jul-2015
104 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKALAH
ETIKA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PRAKTEK KEFARMASIAN TERKAIT PRODUKSI SEDIAAN FARMASI
(CPOB, CPOKB, REGISTRASI)
Disusun oleh :
Laurensia Utami Susanti, S.Farm. (108115061)
Maria Angelina Ratna, S.Farm. (108115062)
Maria Yolanda, S.Farm. (108115063)
PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
PRAKTEK KEFARMASIAN TERKAIT PRODUKSI SEDIAAN FARMASI (CPOB, CPOKB,
REGISTRASI)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 1998, sediaan
farmasi meliputi obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Sediaan farmasi yang
diproduksi maupun yang diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan. Industri farmasi bertanggung jawab menyelenggarakan produksi yang baik dan
sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Produksi adalah kegiatan atau proses menghasilkan,
menyiapkan, mengolah, membuat, mengemas, dan/atau mengubah bentuk sediaan farmasi dan
alat kesehatan.
Saat ini semakin banyak anggota masyarakat yang tanpa sadar mengkonsumsi obat palsu
untuk mengobati penyakit yang mereka derita. Akibatnya bertentangan dengan hasil yang
diharapkan, karena obat palsu tidak hanya dapat memperburuk kondisi kesehatan yang
mengkonsumsinya, namun bahkan dapat mengakibatkan kematian. Peredaran obat palsu
merupakan masalah serius yang saat ini dihadapi oleh setiap negara di dunia, termasuk
Indonesia. Angka perdagangan obat palsu di menyebutkan, perdagangan obat palsu di Indonesia
sebesar Rp 3 triliun per tahun, atau sekitar 10 persen dari perdagangan obat di Tanah Air. Hingga
kini, tercatat 81 merek obat yang beredar di Indonesia dipalsukan. Obat-obat tersebut adalah obat
yang tergolong laku di pasaran. Sebagian obat tergolong palsu karena tidak memiliki izin edar di
Indonesia. Sebagian lagi tergolong palsu karena memiliki kadar bahan aktif di bawah standar.
Sebagian obat tidak memiliki bahan aktif sama sekali atau tidak berkhasiat bagi tubuh.
Menurut Permenkes 1010 tahun 2008 mengenai registrasi obat, obat palsu adalah obat
yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah
memiliki izin edar.
Untuk mencegah semakin maraknya obat-obat palsu, pemerintah telah menyusun
peraturan tentang praktik kefarmasian yang baik. Penyusunan aturan ini juga bertujuan menjamin
mutu produk maupun kualitas pelayanan kepada konsumen.
Selain obat palsu, beredar pula produk kosmetik terdiri dari produk rias wajah dan mata,
serta produk perawatan kulit yang mengandung bahan-bahan berbahaya. Produk tersebut
tentunya membahayakan kesehatan dan berpotensi menimbulkan berbagai penyakit.
Penyimpangan yang terjadi dalam produksi obat maupun kosmetik di Indonesia
seharusnya dapat dikendalikan karena telah ditetapkan ketentuan mengenai Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB) maupun Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB). Industri-
industri farmasi seharusnya menerapkan standar produksi tersebut untuk menjamin
dihasilkannya sediaan farmasi yang aman untuk digunakan.
Upaya untuk menyelesaikan masalah pemalsuan sediaan farmasi ini tentunya bukan
hanya tanggung jawab bersama yang harus dilakukan melalui kerjasama terpadu antara pembuat
kebijakan, lembaga pelayanan kesehatan, industri obat, penegak hukum, media dan masyarakat.
B. TUJUAN
Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang produksi obat dan kosmetik
Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang registrasi obat
Untuk memahami kasus-kasus terkait produksi sediaan farmasi dan registrasinya
Untuk menganalisis kekuatan, kelemahan, serta relevansi perundang-undangan yang
berlaku.
BAB II
PERATURAN PERUNDANGAN YANG TERKAIT
A. Produksi Obat
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan
BAB II
PERSYARATAN MUTU, KEAMANAN DAN KEMANFAATAN
Pasal 2
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk:
a. sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam buku
Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri; sediaan farmasi yang
berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan dalam buku Materia Medika Indonesia
yang ditetapkan oleh Menteri;
c. sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratandalam buku Kodeks
Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri;
d. alat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
BAB III
PRODUKSI
Pasal 3
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha yang telah
memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 4
1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang
berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan.
2) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional oleh
perorangan diatur oleh Menteri.
Pasal 5
1) Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik.
2) Cara produksi yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
BAB I
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
Bagian ketiga
Pekerjaan kefarmasian Dalam Produksi
Sediaan Farmasi
Pasal 7
1) Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung
jawab.
2) Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh
apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian.
Pasal 10
Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri.
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) tahun 2006
CPOB BAGIAN PRODUKSI
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan
memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi
persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi).
Penimbangan dan Penyerahan
6.5.4 Untuk tiap penimbangan atau pengukuran hendaklah dilakukan pembuktian kebenaran
identitas dan jumlah bahan yang ditimbang atau diukur oleh dua personil yang independen, dan
pembuktian tersebut dicatat.
Pengolahan
6.6.1 Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaknya diperiksa sebelum dipakai.
Kegiatan Pengemasan
6.110 Hendaklah ada prosedur tertulis yang menguraikan penerimaan dan identifikasi produk
ruahan dan bahan pengemas, pengawasan untuk menjamin bahwa produk ruahan dan bahan
pengemas cetak dan bukan cetak serta bahan lain yang akan dipakai adalah benar, pengawasan
selama proses pengemasan rekonsiliasi terhadap produk ruahan, bahan pengemas cetak dan
bahan cetak lain, serta pemeriksaan akhir terhadap hasil pengemasan. Semua kegiatan
pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai instruksi yang diberikan dan menggunakan
pengemas yang tercantum dalam Prosedur Pengawasan Induk.
CPOB BAGIAN PENGAWASAN MUTU
Pengawasan mutu merupakan bagian yang esensial dari cara pembuatan obat yang baik
untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai
dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan
pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal
pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.
Persyaratan Pengujian
7.33 Bahan Awal
Tiap bahan awal hendaklah diuji terhadap pemenuhan spesifikasi identitas, kekuatan, kemurnian,
dan parameter mutu lain.
7.34 Bahan Pengemas
Bahan pengemas hendaklah memenuhi spesifikasi dengan penekanan pada kompatibilitas bahan
terhadap produk yang diisikan ke dalamnya. Cacat fisik yang kritis dan dapat berdampak besar
serta kebenaran penandaan yang dapat memberi kesan meragukan terhadap kualitas produk
hendaklah diperiksa.
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
BAB I
Pasal 1
(6) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
(e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
B. Produksi Kosmetik
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1175/MenKes/Per/VIII/2010 tentang izin
produksi kosmetika
BAB II
Pasal 7
(1) Industri kosmetika dalam membuat kosmetika wajib menerapkan CPKB.
(2) CPKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penerapan CPKB ditetapkan oleh Kepala Badan.
BABV
PENYELENGGARAAN PEMBUATAN KOSMETIKA
Pasal 16
Industri kosmetika tidak diperbolehkan membuat kosmetika dengan menggunakan bahan
kosmetika yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI NO.MOR HK.00.05.4.1745
Tentang Kosmetik
BAB II
PERSYARATAN DAN PENGGOLONGAN
Bagian Pertama
Persyaratan
Pasal 2
Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
a. menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta persyaratan lain
yang ditetapkan;
b. diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik;
c. terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
BAB III
BAHAN KOSMETIK
Pasal 5
Bahan yang digunakan harus memenuhi persyaratan :
b. Zat warna yang diizinkan digunakan dalam kosmetik sesuai dengan yang ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam lampiran 2;
BAB IV
PRODUKSI
Pasal 8
1. Industri kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik.
2. Industri yang memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik diberikan Sertifikat
oleh Kepala Badan.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor :
HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik
BAB II
BAHAN KOSMETIK
Pasal 2
Bahan kosmetik yang dilarang, terdiri dari:
c. Bahan pewarna yang tidak tercantum dalam Lampiran III, kecuali bahan pewarna yang
penggunaannya hanya untuk pewarna rambut;
d. Bahan pewarna yang tercantum dalam Lampiran III diluar batasan kondisi penggunaan
kecuali bahan pewarna yang penggunaannya hanya untuk pewarna rambut;
Pasal 4
Bahan pewarna yang diizinkan digunakan dalam kosmetik sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III.
Keputusan Kepala BPOM RI NO : HK.00.05.4.3870 Tentang Pedoman Cara Pembuatan
Kosmetik Yang Baik
VII. PRODUKSI
1.2. Verifikasi Material (Bahan)
1.2.1. Semua pasokan bahan awal (bahan baku dan bahan pengemas) hendaklah diperiksa dan
diverifikasi mengenai pemenuhannya terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan dan dapat
ditelusuri sampai dengan produk jadinya.
1.7. Prosedur dan Pengolahan
1.7.1. Semua bahan awal harus lulus uji sesuai spesifikasi yang ditetapkan.
VIII. PENGAWASAN MUTU
1. Pendahuluan
Pengawasan mutu merupakan bagian penting dari CPKB, karena memberi jaminan konsistensi
mutu produk kosmetik yang dihasilkan.
1.1. Hendaknya diciptakan Sistem Pengawasan Mutu untuk menjamin bahwa produk dibuat dari
bahan yang benar, mutu dan jumlah yang sesuai, serta kondisi pembuatan yang tepat sesuai
Prosedur Tetap.
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 105
(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus
memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 106
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.
Undang-Undang N0. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan :
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
C. Registrasi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1010/MenKes/Per/XI/2008 Tentang
Registrasi Obat
Pasal 2
(1) Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi untuk
memperoleh Izin Edar
Pasal 4
Obat yang memiliki izin edar harus memenuhi kriteria berikut:
b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara
Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap
semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih;
e. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan
kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah
disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim.
Pasal 10
(1) Registrasi Obat Impor dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri yang mendapat
persetujuan tertulis dari industri farmasi di luar negeri.
PP No. 72 tahun 1998 ttg Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Bagian Kedua
Izin Edar
Pasal 9
Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperolah izin edar
dari Menteri. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi sediaan
farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan.
Pasal 11
Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperolah izin edar diuji
dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan.
BAB III
KASUS-KASUS TERKAIT PRODUKSI FARMASI
1. KASUS PRODUK OBAT JADI
“Polres Magelang Bongkar Tempat Peracikan Obat Ilegal”
Dalam kasus ini, pelaku yang hanya lulus SD itu dan tidak memiliki keahlian serta
wewenang melakukan pekerjaan farmasi. Pelaku meracik dan mengemas obat untuk
diedarkan secara illegal.
KEDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG
Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998
Bab II pasal 2 ayat 1 dan 2, karena sediaan farmasi yang diproduksi tidak sesuai dengan
standar yang berlaku, sehingga tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan.
Bab III pasal 3, karena pelaku tersebut tidak memiliki izin usaha sesuai perundang-
undangan yang berlaku.
Bab III pasal 5 ayat 1, karena produksi sediaan farmasi tidak dilakukan dengan cara
produksi yang baik.
PP No. 51 tahun 2009
Bab I, pasal 1 ayat 1 dan 3, karena pelaku hanya lulusan SD, yang tidak termasuk
dalam tenaga kefarmasian, sehingga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
kegiatan kefarmasian.
Bab II, pasal 7, ayat 1 dan 2, karena dalam produksi obat harus ada apoteker sebagai
penanggung jawab, sedangkan dalam kasus tersebut tidak ada apoteker yang berperan.
Bab II pasal 10, karena proses produksi obat tersebut tidak memenuhi ketentuan CPOB.
CPOB bagian produksi
karena tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sehingga obat yang dihasilkan
tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan.
CPOB bagian pengawasan mutu
karena tidak ada apoteker penanggung jawab yang memastikan bahwa obat yang
dihasilkan memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.
UU No. 36 tahun 2009
Bab I Pasal 1 Ayat 6, karena tidak ada tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan
atau ketrampilan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan.
UU No. 8 tahun 1999
Bab IV pasal 8 ayat 1 (e), karena barang yang diproduksi tidak sesuai dengan mutu
yang tercantum dalam label.
2. KASUS PRODUK KOSMETIK
“BPOM Babel Musnahkan 77 Kosmetik Berbahaya”
Dalam kasus ini terdapat kandungan zat warna yang berbahaya, zat warna tersebut biasa
digunakan untuk pewarna kertas.
KEDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1175/MenKes/Per/VIII/2010 Tentang Izin
Produksi Kosmetika
Bab II pasal 7, karena proses produksi kosmetik tersebut tidak sesuai dengan CPKB.
Bab V Pasal 16, karena pembuatan kosmetik tersebut menggunakan bahan-bahan
kosmetik yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Keputusa Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI No. HK.00.05.4.1745
Tentang Kosmetik
Bab II Pasal 2, karena kosmetik yang diproduksi tidak menggunakan bahan yang
memenuhi standar.
Bab III Pasal 5, karena zat warna yang digunakan dalam kosmetik tidak sesuai dengan
yang ditetapkan.
Bab IV Pasal 8, karena proses produksinya tidak memenuhi persyaratan Cara
Pembuatan Kosmetik yang Baik.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor :
HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik
Bab II Pasal 2 dan 4, karena bahan pewarna yang digunakan tidak tercantum dalam
lampiran yang berlaku
Keputusan Kepala BPOM RI No: HK.00.05.4.3870 Tentang Pedoman Cara
Pembuatan Kosmetik yang Baik
Bagian produksi karena bahan yang digunakan tidak memenuhi spesifikasi yang telah
ditetapkan
Bagian pengawasan mutu, karena seharusnya ada peran apoteker dalam penjaminan mutu
terhadap produk kosmetik yang dihasilkan.
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan
Pasal 105 ayat 2, karena kosmetika tersebut tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan yang ditentukan.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 3, karena kosmetik yang dihasilkan tidak menjamin keamanan dan keselamatan
konsumen.
3. KASUS REGISTRASI
OBAT
“BPOM dan Polri Sita 141 Item Obat tanpa Izin Edar”
Dalam kasus ini, banyak ditemukan beredar obat-obatan tanpa izin edar yang berasal dari
berbagai negara di antaranya Australia dan China. Di antara item tersebut, termasuk juga dua
item obat yang mengandung codein. Codein adalah semacam senyawa kimia yang
mengandung narkotik dalam kadar rendah. Senyawa codein ini ternyata ditemukan dalam
obat batuk anak-anak yang beredar dengan bebas.
KOSMETIK
“Kosmetik Berbahaya Beredar di Aceh”
sebagian besar kosmetik yang tidak memiliki izin edar beredar di Aceh
KEDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 106, karena obat dan kosmetik tersebut hanya dapat diedarkan setelah mendapat
izin edar.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1010/MenKes/Per/XI/2008
Tentang Registrasi Obat
Pasal 2 ayat 2, karena seluruh obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya
harus dilakukan registrasi untuk memperoleh Izin Edar.
Pasal 4 (b), karena obat yang memiliki izin edar harus memenuhi syarat yang dinilai
dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB).
Pasal 10, ayat (1), karena obat tersebut berasal dari Australia dan China dan seharusnya
dilakukan registrasi obat impor oleh industri farmasi dalam negeri.
PP No. 72 tahun 1998 ttg Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 9, karena obat dan kosmetik hanya dapat diedarkan setelah memperolah izin edar.
Pasal 11, karena dengan tidak memiliki izin edar, maka obat dan kosmetik tersebut
belum dipastikan mutu, keamanan dan kemanfaatannya.
BAB IV
ANALISIS SWOT DAN RELEVANSI PERUNDANG-UNDANGAN
Kasus 1
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
1. Strength (Kekuatan)
a) Pemerintah mengatur secara jelas batas-batas Pekerjaan Kefarmasian dan siapa saja
yang termasuk Tenaga Kefarmasian.
b) Tenaga Kefarmasian memiliki kewenangan yang jelas untuk melakukan Pekerjaan
Kefarmasian
2. Weakness (Kelemahan)
a) Belum meratanya sosialisasi dari pemerintah mengenai peraturan ini sehingga masih
banyak terjadi kasus-kasus penyimpangan Pekerjaan Kefarmasian.
b) Belum jelasnya sanksi yang akan diberikan jika terjadi pelanggaran terhadap
peraturan ini.
3. Opportunity (Peluang)
Merupakan kesempatan besar bagi tenaga kefarmasian untuk menunjukkan perannya
dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.
4. Threat (Ancaman)
Sanksi pidana yang tidak jelas tidak membuat jera para pelaku usaha yang melakukan
penyimpangan.
5. Relevansi Peraturan
PP Nomor 51 Tahun 2009 sudah relevan dengan kasus yang terjadi, dimana dalam
peraturan ini telah dijelaskan batas-batas yang jelas mengenai Pekerjaan Kefarmasian
yang hanya boleh dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian sehingga kasus-kasus yang serupa
dapat diminimalkan.
Ketentuan Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) tahun 2006
1. Strength (Kekuatan)
a) Adanya jaminan mengenai kandungan dan kebenaran identitas obat sehingga kualitas,
kemanjuran (dosis untuk terapi sesuai dengan label), serta keamanan sediaan
terjamin.
b) Produsen menjadi lebih fokus pada kualitas sediaan obat yang akan diproduksi
c) Ketatnya peraturan atau ketentuan dalam produksi obat dapat meningkatkan
kompetensi produsen obat sehingga meningkatkan kepercayaan konsumen.
2. Weakness (Kelemahan)
Proses pembuatan yang harus dilalui suatu produk untuk menjadi obat jadi cukup
panjang dengan banyaknya tahapan, sehingga dapat berakibat meningkatnya resiko
kekeliruan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
3. Opportunity (Peluang)
Ikut meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan adanya tujuan untuk
menghasilkan produk yang berkualitas.
4. Threat (Ancaman)
Proses yang terjadi di dalam sebuah produksi sangatlah banyak sehingga sulit untuk
memantau penyimpangan yang sering terjadi.
5. Relevansi Peraturan
Ketentuan yang diatur dalam CPOB ini relevan dengan kasus yang terjadi dimana
aturan-aturan di dalamnya sudah memberikan informasi yang lengkap dan jelas dalam
pembuatan suatu sediaan obat.
Kasus 2
Keputusan Kepala BPOM RI NO : HK.00.05.4.3870 Tentang Pedoman Cara
Pembuatan Kosmetik Yang Baik
1. Kekuatan:
Dengan adanya peraturan ini, produsen lebih terarah untuk mengutamakan
kualitas dalam pelayanan terhadap konsumen.
2. Kelemahan:
Dalam CPKB dijelaskan bahwa bahan yang digunakan harus sesuai spesifikasi,
tetapi tidak dijelaskan secara detail bahan-bahan apa saja yang berbahaya bagi kesehatan.
3. Peluang
Produsen dapat meningkatkan kualitas kosmetik yang dihasilkan sehingga
meningkatkan sisi persaingan usaha yang sehat dan tidak merugikan masyarakat.
4. Ancaman
Sanksi yang diberikan harus disebutkan dengan jelas agar pelaku usaha
menghindari penyimpangan yang dilakukan.
5. Relevansi:
CPKB ini kurang relevan dengan kasus yang terjadi. Dalam CPKB, peraturan
yang dijabarkan masih terlalu luas dan masih kurang tegas dalam hal menetapkan batas-
batas tentang keamanan bahan-bahan yang digunakan.
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI NO.MOR HK.00.05.4.1745
Tentang Kosmetik
1. Kekuatan:
Adanya perlindungan konsumen dari pemerintah lewat surat keputusan kepala
BPOM ini untuk menetapkan standar mutu kosmetik yang diproduksi (dalam hal ini,
misalnya adanya pengaturan bahan pewarna yang digunakan) sehingga dapat dijamin
bahwa produk kosmetik tersebut mengandung bahan-bahan yang terbukti keamanannya.
Pemerintah dapat mengatur dan mengontrol sistem produksi kosmetik yang memenuhi
syarat cara pembuatan kosmetik yang baik
2. Kelemahan:
Kurang ketatnya proses analisa senyawa yang terkandung di dalam produk
kosmetik sebelum diedarkan
3. Peluang
Produsen dapat meningkatkan kualitas kosmetik yang dihasilkan sehingga
meningkatkan sisi persaingan usaha yang sehat dan tidak merugikan masyarakat.
4. Ancaman
Sanksi yang diberikan harus disebutkan dengan jelas agar pelaku usaha
menghindari penyimpangan yang dilakukan
5. Relevansi:
Peraturan pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI
NO.MOR HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik yaitu pasal 2,5, dan 8 tentang persyaratan
kosmetik sudah relevan dengan kasus yang terjadi. Dalam peraturan tersebut, sudah
dijelaskan bahwa semua produk kosmetik harus diproduksi berdasarkan CPKB . Selain
itu juga terdapat aturan tentang bahan-bahan kosmetik yang diperbolehkan untuk
dipergunakan.
Kasus 3
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1010/MenKes/Per/XI/2008
Tentang Registrasi Obat.
1. Strength (Kekuatan)
Dengan peraturan tersebut maka obat-obat yang beredar di wilayah Indonesia
adalah obat-obat yang telah memiliki izin edar dari BPOM sehingga mutu, khasiat dan
keamanannya pun terjamin.
2. Weakness (Kelemahan)
Kurang tegasnya sanksi dan rumitnya proses registrasi suatu obat menyebabkan
banyak produsen mengedarkan obat tanpa lebih dulu meminta izin edar pada BPOM.
3. Peluang
Konsumen akan memperoleh obat yang bermutu dan memberikan manfaat bagi
peningkatan kesehatan masyarakat.
4. Ancaman
Sanksi pidana yang tidak jelas dan kurang tegas tidak membuat jera para pelaku
yang melakukan penyimpangan.
5. Relevansi
PerMenKes No.1010 tersebut sudah relevan dengan kasus peredaran obat tanpa
izin edar tersebut karena dalam peraturan tersebut telah disebutkan mengenai persyaratan
yang harus dipenuhi oleh obat-obat sebelum dapat beredar di Indonesia.
Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 Pasal 10 Tentang Izin Edar Kosmetik
1. Strength (Kekuatan)
Pemerintah dapat mengatur dan mengontrol system peredaran produk kosmetik
yang telah memenuhi syarat cara pembuatan kosmetik yang baik.
2. Weakness (Kelemahan)
Peraturan dalam memperoleh izin edar yang masih kurang tegas dari pemerintah
terhadap produk yang akan diedarkan. Hal ini terbukti pada beberapa produk yang telah
memperoleh izin edar dan beredar di masyarakat masih saja mengandung bahan
berbahaya bagi konsumen.
3. Peluang
Konsumen akan memperoleh kosmetik yang berkualitas dan aman (tidak
menimbulkan efek samping yang merugikan).
4. Ancaman
Tingkat kebutuhan konsumen (terutama wanita) terhadap kecantikan seringkali
menjadi “angin segar” bagi para pelaku untuk melancarkan aksinya.
5. Relevansi Peraturan
Pasal 10 tentang izin edar kosmetik yang telah ditetapkan relevan dengan kasus
yang terjadi, dimana telah ditegaskan pada pasal tersebut bahwa kosmetik yang akan
diedarkan harus melalui proses registrasi. Pada kasus masih terjadi pelanggaran pada
beredarnya produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya karena kurang tegasnya
sanksi bagi para pelaku.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan produksi obat dan kosmetik :
Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan
Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang pengamanan sediaan farmasi
dan alat kesehatan
Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
Cara Pembuatan Obat yang Baik 2006
Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1175/MenKes/Per/VIII/2010 tentang izin
produksi kosmetika
Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik
Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik
2. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan registrasi sediaan farmasi :
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1010/MenKes/Per/XI/2008
Tentang Registrasi Obat
PP No. 72 tahun 1998 ttg Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
3. Ketiga kasus tersebut menunjukkan banyaknya praktik kefarmasian yang bertentangan
dengan peraturan yang berlaku terkait produksi dan registrasi sediaan farmasi, sehingga
kurang menjamin kualitas dari produk yang dihasilkan dan sangat merugikan konsumen.
4. Adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang terjadi menunjukkan :
Kurang tegasnya pemerintah dalam menindaklanjuti pelanggaran
Perlunya pembaharuan peraturan sehingga meminimalkan celah yang
memungkinkan terjadinya pelanggaran dalam produksi sediaan farmasi
Masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemahaman
mengenai obat
B. REFLEKSI
Masih tingginya pelanggaran yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam hal produksi
sediaan farmasi menunjukkan bahwa pengamanan sediaan farmasi yang ada masih rendah. Hal
ini sangat berkaitan dengan keselamatan konsumen (dapat membahayakan kesehatan). Apoteker
yang seharusnya bertanggung jawab dalam bidang kefarmasian malah tidak menjalankan
kewajibannya dengan baik. Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi apoteker Indonesia, di mana
apoteker merupakan profesi yang mempunyai tradisi luhur jabatan kefarmasian untuk
menjunjung sumpah dan etika keprofesiannya.
Selain itu, perlu dilakukan perbaikan tentang regulasi yang terkait produksi sediaan
farmasi. Dengan kejelasan peraturan dan kejelasan hukum di Indonesia, diharapkan dapat
menurunkan kasus pelanggaran mengenai sediaan farmasi. Masyarakat luas juga perlu diberi
informasi lengkap mengenai obat-obatan, dalam hal ini peran apoteker harus ditunjukkan.
Keseimbangan antara peran apoteker dalam menjalankan perannya, pemerintah sebagai
penyusun kebijakan, aparat hukum yang tegas, serta peran aktif masyarakat dalam memberantas
terjadinya kasus pelanggaran peraturan yang ada dapat meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1998, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Anonim, 2006, Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta
Anonim, 2009, Peraturan Pemerintahan No. 51 Tahun 2009, tentang Pekerjaan Kefarmasian
Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Anonim, 2009, Polres Magelang Bongkar Tempat Peracikan Obat Ilegal, http://rol.republika.co.id/berita/48513/Polres_Magelang_Bongkar_Tempat_Peracikan_Obat_Ilegal, diakses pada 18 September 2010
Anonim, 2008, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang registrasi obat
Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2007, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-undangan Terkait Apotek termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat, Edisi Revisi, Penerbit USD, Yogyakarta
Heryanto, 2008, Kosmetik Berbahaya Beredar di Aceh, www.modusaceh.com/html/.../kosmetik_berbahaya_beredar_di_aceh.pdf, diakses pada 17 September 2010
Khairina, 2007, Awas, obat palsu mengintai kita, http://medicastore.com/med/artikel.php?id=191, diakses pada 18 September 2010
Rochmi, 2010, Jangan Sesat Beli Obat, http://gresnews.com/ch/National/cl/Sepekan/id/1446937/Jangan+Sesat+Beli+Obat, diakses pada 15 September 2010
LAMPIRAN
Lampiran 1
Polres Magelang Bongkar Tempat Peracikan Obat Ilegal
MAGELANG--Jajaran Kepolisian Resor (Polres) Magelang, Jawa Tengah membongkar tempat peracikan obat ilegal dan menangkap seorang tersangka.
"Seorang tersangka diamankan, dan puluhan ribu tablet obat diamankan sebagai barang bukti," kata Kepala Polres Magelang, AKBP Mustaqim, didampingi Kepala Satuan Narkoba, AKP Sudirman, di Magelang, Selasa.
Tersangka pelaku dan sekaligus pemilik tempat peracikan obat ilegal itu bernama SS (35), warga Desa Madyocondo, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang.
Ia mengatakan, tempat peracikan obat ilegal dengan menggunakan alat khusus itu di sebuah rumah di kawasan padat penduduk di desa itu.
"Dia memiliki tiga pegawai, semua perempuan, dengan tugas meracik dan mengemas obat untuk diedarkan," katanya.
Selama beberapa waktu, katanya, petugas melakukan pengintaian terhadap tempat itu, sedangkan penangkapan dilakukan pada hari Senin (4/5).
Ia mengatakan, tersangka membeli bahan obat dari sejumlah toko di Solo.
Peredaran obat ilegal produknya itu, katanya, di pasar-pasar tradisional, baik di Kota maupun Kabupaten Magelang dengan harga berkisar Rp3.000 per tablet.
Tersangka dijerat dengan pasal 82 ayat 1 (d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman penjara selama lima tahun.
"Perbuatan tersangka sebagai tindakan kriminal, tersangka yang hanya lulus SD itu tidak memiliki keahlian dan wewenang melakukan pekerjaan farmasi, dia juga melakukan pendistribusian dan pelayanan penyediaan farmasi. Itu membahayakan," katanya.
Berdasarkan pengakuan, katanya, tersangka melakukan pekerjaan itu selama dua bulan terakhir. ant/pur
Lampiran 2
BPOM Babel Musnahkan 77 Kosmetik BerbahayaSelasa, 9 Maret 2010 20:24 WIB | Peristiwa | Kesehatan | Dibaca 2086 kali
Barang bukti Kosmetik/ilustrasi. (ANTARA/Agus Bebeng)Pangkalpinang (ANTARA News) - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Bangka Belitung (Babel) dalam 2009 memusnahkan 77 jenis kosmetik berbahaya yang beredar di daerah itu.
Kasie Pemeriksaan, Penyelidikan, Sertifikasi, dan Layanan Informasi Konsumen BPOM Babel, Iswandi S. Farm, Apt, di Pangkalpinang Selasa mengatakan, produk itu dimusnahkan karena membahayakan kesehatan dan berpotensi menimbulkan berbagai penyakit.
Tujuh puluh kosmetik itu terdiri dari produk rias wajah dan mata, perawatan kulit, serta kosmetik kesediaan mandi. Sampel penelitian diambil dari berbagai tempat mulai dari pasar tradisional, modern, maupun salon kecantikan.
Produk yang dimusnahkan diantaranya Ponds Detox Complete Beauty Care Make Up Kit, dan Olay 4 in 1 Complete Make Up. Ponds mengandung zat Merah K.3 dan K.10, sedangkan Olay
mengandung zat Merah K.10. Kedua produk juga tak terdaftar di BPOM.
Kandungan zat warna Merah K.3 dan K.10 sangat berbahaya untuk kulit. Bisa menyebabkan kanker kulit karena merupakan zat warna sisntetis yang biasanya digunakan untuk pewarna kertas.
Untuk itu, kata dia, dihimbau masyarakat agar lebih berhati-hati memilih kosmetik terutama lipstik, cairan pemutih, dan pelembab. Ketiga jenis kosmetik tersebut sering digunakan masyarakat, padahal kandungan produk kosmetik impor ini masih diragukan.
Masyarakat yang ingin membeli produk kosmetik agar sebaiknya memperhatikan kode izin peredaran resmi dari BPOM yaitu "CD" untuk produk lokal dan "CL" untuk produk impor.
Apabila tidak memiliki kode, sebaiknya kosmetik tersebut tidak dibeli dan melaporkannya ke BPOM atau pihak-pihak terkait untuk mengantisipasi peredaran produk itu.
"Produk-produk kosmetik yang tidak terdaftar, kebanyakan mengandung zat mercury dan hydroquinone serta lisptik yang mengandung pewarna rodamin B dan produk yang mengandung bahan-bahan tersebut sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kanker kulit," ujarnya.
Lampiran 3
Lampiran 3
BPOM dan Polri Sita 141 Item Obat tanpa Izin Edar
JAKARTA (Media): Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama pihakKepolisian Republik Indonesia (Polri) berhasil menyita 141 item obat tanpaizin edar. Dalam operasi yang dilaksanakan pada 1-2 Oktober 2003 di seluruhIndonesia, juga ditemukan 202 toko obat yang menjual obat palsu dan tanpa izin.
Sementara itu, Kota Surabaya merupakan tempat yang paling banyak ditemukanberedar obat-obatan tanpa izin edar.
Kepala BPOM Sampurno mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers diJakarta, kemarin.
Menurut Sampurno, dari operasi tersebut telah diamankan antara lain 141item obat tanpa izin edar yang berasal dari berbagai negara di antaranyaAustralia dan China. Di antara item tersebut, termasuk juga dua item obatyang mengandung codein.
Codein adalah semacam senyawa kimia yang mengandung narkotik dalam kadarrendah. Senyawa codein ini ternyata ditemukan dalam obat batuk anak-anakyang beredar dengan bebas.
Selain itu, juga ditemukan tiga item obat palsu yaitu Incidal di Bandung,Ponstan 250 mg, dan Ponstan 500 mg di Palembang. Juga ditemukan 839 itemobat keras, 28 item obat program, dan 15 item obat psikotropik/diazepam.
Menurut Sampurno, prioritas sasaran operasi gabungan nasional ini adalahuntuk menertibkan peredaran obat keras yang dijual pada sarana atau tokoobat yang tidak berhak/ilegal.
Dalam operasi gabungan nasional ini telah diperiksa 373 toko obat dengantemuan yaitu sebanyak 202 toko obat (53,9%) melakukan pelanggaran, dansebanyak 150 toko obat ditindaklanjuti dengan projustisia atau perkaranyadibawa ke pengadilan.
Pelanggaran yang ditindaklanjuti dengan projustisia paling banyak ditemukandi Surabaya, DKI Jakarta, Palembang, Jambi, dan Medan. Toko-toko yangpaling banyak melakukan pelanggaran projustisia di Kota Surabaya denganjumlah pelanggaran 27 kasus, disusul Kota Jambi dengan jumlah pelanggaransembilan, kemudian Jakarta dengan jumlah pelanggaran delapan, dan Medandengan jumlah pelanggaran delapan.
Menurut dia, operasi ini akan terus dilaksanakan dua kali dalam setahun,dan dilakukan secara tetap oleh tim permanen gabungan antara BPOM danbagian reserse dan kriminal Polri.
''Prioritas dari operasi ini adalah agar pemasukan obat-obat terlarang kepasar-pasar gelap dapat dihentikan, dan produsen yang memproduksi obattersebut dapat ditangkap dan diberi hukuman setimpal,'' tegasnya.
Kasus peredaran obat-obat tanpa izin edar ini, tutur Sampurno, baru empatkasus yang diproses di pengadilan. Selama ini, lanjutnya, hasil putusanpengadilan terhadap kasus-kasus tersebut sangat ringan, hanya berupahukuman percobaan selama beberapa bulan dan denda uang. Misalnya, kasusseorang pengusaha obat yang mencampur obat keras dengan jamu, ternyatakeputusan pengadilan hanyalah menghukumnya dengan empat bulan kurungan dandenda sebesar Rp10 juta.
''Tetapi, walaupun hukuman yang didapatkan bagi para pengedar maupunpembuat obat-obat tanpa izin edar ringan, kami akan tetap melakukanpenertiban dan penangkapan terhadap para pelakunya,'' tegasnya.
Sebab, kata dia, jika dibiarkan terus maka yang mengalami kerugian adalahmasyarakat sendiri, walaupun masyarakat membeli obat-obat tersebut denganharga yang murah. Namun, lanjutnya, efek sampingnya akan sangatmembahayakan keselamatan jiwa.
Saat ini, jelas Sampurno, BPOM dan Polri sudah menemukan siapa aktorutamanya, modus operandi, dan jaringan pengedar obat-obat ini, hanya masihsedang diproses, sehingga baru tiga bulan lagi akan diberitahukan kepadamasyarakat.
''Dan perusahaan-perusahaan besar yang anak perusahaannya terlibat dalampengedaran obat-obat ini, saat ini sedang diberikan pembinaan danperingatan agar bisa menindak terlebih dahulu para pelaku di perusahaannyatersebut,'' tambahnya.
Merujuk pada fakta yang ada di lapangan tersebut, menurut dia, BPOM jugamengambil langkah-langkah yang berdampak panjang yaitu antara lainmenginstruksikan pemilik produk untuk bertanggung jawab dalam menjagaketertiban peredaran produknya dan tidak memasok obat keras pada toko yangtidak memiliki kewenangan. (CR-33/V-2)
top related