72460028 praktek kefarmasian terkait produksi sediaan farmasi print

42
MAKALAH ETIKA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PRAKTEK KEFARMASIAN TERKAIT PRODUKSI SEDIAAN FARMASI (CPOB, CPOKB, REGISTRASI) Disusun oleh : Laurensia Utami Susanti, S.Farm. (108115061) Maria Angelina Ratna, S.Farm. (108115062) Maria Yolanda, S.Farm. (108115063) PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

Upload: trie-inzaghi-rohmafajri

Post on 26-Jul-2015

104 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

MAKALAH

ETIKA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PRAKTEK KEFARMASIAN TERKAIT PRODUKSI SEDIAAN FARMASI

(CPOB, CPOKB, REGISTRASI)

Disusun oleh :

Laurensia Utami Susanti, S.Farm. (108115061)

Maria Angelina Ratna, S.Farm. (108115062)

Maria Yolanda, S.Farm. (108115063)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

Page 2: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

PRAKTEK KEFARMASIAN TERKAIT PRODUKSI SEDIAAN FARMASI (CPOB, CPOKB,

REGISTRASI)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 tahun 1998, sediaan

farmasi meliputi obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Sediaan farmasi yang

diproduksi maupun yang diedarkan harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan

kemanfaatan. Industri farmasi bertanggung jawab menyelenggarakan produksi yang baik dan

sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Produksi adalah kegiatan atau proses menghasilkan,

menyiapkan, mengolah, membuat, mengemas, dan/atau mengubah bentuk sediaan farmasi dan

alat kesehatan.

Saat ini semakin banyak anggota masyarakat yang tanpa sadar mengkonsumsi obat palsu

untuk mengobati penyakit yang mereka derita. Akibatnya bertentangan dengan hasil yang

diharapkan, karena obat palsu tidak hanya dapat memperburuk kondisi kesehatan yang

mengkonsumsinya, namun bahkan dapat mengakibatkan kematian. Peredaran obat palsu

merupakan masalah serius yang saat ini dihadapi oleh setiap negara di dunia, termasuk

Indonesia. Angka perdagangan obat palsu di menyebutkan, perdagangan obat palsu di Indonesia

sebesar Rp 3 triliun per tahun, atau sekitar 10 persen dari perdagangan obat di Tanah Air. Hingga

kini, tercatat 81 merek obat yang beredar di Indonesia dipalsukan. Obat-obat tersebut adalah obat

yang tergolong laku di pasaran. Sebagian obat tergolong palsu karena tidak memiliki izin edar di

Indonesia. Sebagian lagi tergolong palsu karena memiliki kadar bahan aktif di bawah standar.

Sebagian obat tidak memiliki bahan aktif sama sekali atau tidak berkhasiat bagi tubuh.

Menurut Permenkes 1010 tahun 2008 mengenai registrasi obat, obat palsu adalah obat

yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah

memiliki izin edar.

Page 3: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Untuk mencegah semakin maraknya obat-obat palsu, pemerintah telah menyusun

peraturan tentang praktik kefarmasian yang baik. Penyusunan aturan ini juga bertujuan menjamin

mutu produk maupun kualitas pelayanan kepada konsumen.

Selain obat palsu, beredar pula produk kosmetik terdiri dari produk rias wajah dan mata,

serta produk perawatan kulit yang mengandung bahan-bahan berbahaya. Produk tersebut

tentunya membahayakan kesehatan dan berpotensi menimbulkan berbagai penyakit.

Penyimpangan yang terjadi dalam produksi obat maupun kosmetik di Indonesia

seharusnya dapat dikendalikan karena telah ditetapkan ketentuan mengenai Cara Pembuatan

Obat yang Baik (CPOB) maupun Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB). Industri-

industri farmasi seharusnya menerapkan standar produksi tersebut untuk menjamin

dihasilkannya sediaan farmasi yang aman untuk digunakan.

Upaya untuk menyelesaikan masalah pemalsuan sediaan farmasi ini tentunya bukan

hanya tanggung jawab bersama yang harus dilakukan melalui kerjasama terpadu antara pembuat

kebijakan, lembaga pelayanan kesehatan, industri obat, penegak hukum, media dan masyarakat.

B. TUJUAN

Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang produksi obat dan kosmetik

Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang registrasi obat

Untuk memahami kasus-kasus terkait produksi sediaan farmasi dan registrasinya

Untuk menganalisis kekuatan, kelemahan, serta relevansi perundang-undangan yang

berlaku.

Page 4: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

BAB II

PERATURAN PERUNDANGAN YANG TERKAIT

A. Produksi Obat

Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat

Kesehatan

BAB II

PERSYARATAN MUTU, KEAMANAN DAN KEMANFAATAN

Pasal 2

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diproduksi dan/atau diedarkan harus memenuhi

persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan.

(2) Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk:

a. sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan dalam buku

Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri; sediaan farmasi yang

berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan dalam buku Materia Medika Indonesia

yang ditetapkan oleh Menteri;

c. sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratandalam buku Kodeks

Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri;

d. alat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.

BAB III

PRODUKSI

Pasal 3

Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diproduksi oleh badan usaha yang telah

memiliki izin usaha industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pasal 4

1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 tidak berlaku bagi sediaan farmasi yang

berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan.

Page 5: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

2) Ketentuan lebih lanjut mengenai produksi sediaan farmasi yang berupa obat tradisional oleh

perorangan diatur oleh Menteri.

Pasal 5

1) Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik.

2) Cara produksi yang baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

BAB I

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,

pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat,

pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas

Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

Bagian ketiga

Pekerjaan kefarmasian Dalam Produksi

Sediaan Farmasi

Pasal 7

1) Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung

jawab.

2) Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh

apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian.

Pasal 10

Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7

harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan yang Baik yang ditetapkan oleh Menteri.

Page 6: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) tahun 2006

CPOB BAGIAN PRODUKSI

Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan

memenuhi ketentuan CPOB yang menjamin senantiasa menghasilkan produk yang memenuhi

persyaratan mutu serta memenuhi ketentuan izin pembuatan dan izin edar (registrasi).

Penimbangan dan Penyerahan

6.5.4 Untuk tiap penimbangan atau pengukuran hendaklah dilakukan pembuktian kebenaran

identitas dan jumlah bahan yang ditimbang atau diukur oleh dua personil yang independen, dan

pembuktian tersebut dicatat.

Pengolahan

6.6.1 Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaknya diperiksa sebelum dipakai.

Kegiatan Pengemasan

6.110 Hendaklah ada prosedur tertulis yang menguraikan penerimaan dan identifikasi produk

ruahan dan bahan pengemas, pengawasan untuk menjamin bahwa produk ruahan dan bahan

pengemas cetak dan bukan cetak serta bahan lain yang akan dipakai adalah benar, pengawasan

selama proses pengemasan rekonsiliasi terhadap produk ruahan, bahan pengemas cetak dan

bahan cetak lain, serta pemeriksaan akhir terhadap hasil pengemasan. Semua kegiatan

pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai instruksi yang diberikan dan menggunakan

pengemas yang tercantum dalam Prosedur Pengawasan Induk.

CPOB BAGIAN PENGAWASAN MUTU

Pengawasan mutu merupakan bagian yang esensial dari cara pembuatan obat yang baik

untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai

dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan

pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal

pembuatan sampai kepada distribusi produk jadi.

Persyaratan Pengujian

Page 7: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

7.33 Bahan Awal

Tiap bahan awal hendaklah diuji terhadap pemenuhan spesifikasi identitas, kekuatan, kemurnian,

dan parameter mutu lain.

7.34 Bahan Pengemas

Bahan pengemas hendaklah memenuhi spesifikasi dengan penekanan pada kompatibilitas bahan

terhadap produk yang diisikan ke dalamnya. Cacat fisik yang kritis dan dapat berdampak besar

serta kebenaran penandaan yang dapat memberi kesan meragukan terhadap kualitas produk

hendaklah diperiksa.

UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

BAB I

Pasal 1

(6) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk

jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

BAB IV

PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

(e) tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau

penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau

jasa tersebut;

B. Produksi Kosmetik

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1175/MenKes/Per/VIII/2010 tentang izin

produksi kosmetika

BAB II

Pasal 7

(1) Industri kosmetika dalam membuat kosmetika wajib menerapkan CPKB.

Page 8: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

(2) CPKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penerapan CPKB ditetapkan oleh Kepala Badan.

BABV

PENYELENGGARAAN PEMBUATAN KOSMETIKA

Pasal 16

Industri kosmetika tidak diperbolehkan membuat kosmetika dengan menggunakan bahan

kosmetika yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI NO.MOR HK.00.05.4.1745

Tentang Kosmetik

BAB II

PERSYARATAN DAN PENGGOLONGAN

Bagian Pertama

Persyaratan

Pasal 2

Kosmetik yang diproduksi dan atau diedarkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut

a. menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu serta persyaratan lain

yang ditetapkan;

b. diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetik yang baik;

c. terdaftar pada dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.

BAB III

BAHAN KOSMETIK

Pasal 5

Bahan yang digunakan harus memenuhi persyaratan :

Page 9: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

b. Zat warna yang diizinkan digunakan dalam kosmetik sesuai dengan yang ditetapkan

sebagaimana tercantum dalam lampiran 2;

BAB IV

PRODUKSI

Pasal 8

1. Industri kosmetik harus memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik.

2. Industri yang memenuhi persyaratan Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik diberikan Sertifikat

oleh Kepala Badan.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor :

HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik

BAB II

BAHAN KOSMETIK

Pasal 2

Bahan kosmetik yang dilarang, terdiri dari:

c. Bahan pewarna yang tidak tercantum dalam Lampiran III, kecuali bahan pewarna yang

penggunaannya hanya untuk pewarna rambut;

d. Bahan pewarna yang tercantum dalam Lampiran III diluar batasan kondisi penggunaan

kecuali bahan pewarna yang penggunaannya hanya untuk pewarna rambut;

Pasal 4

Bahan pewarna yang diizinkan digunakan dalam kosmetik sebagaimana tercantum dalam

Lampiran III.

Page 10: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Keputusan Kepala BPOM RI NO : HK.00.05.4.3870 Tentang Pedoman Cara Pembuatan

Kosmetik Yang Baik

VII. PRODUKSI

1.2. Verifikasi Material (Bahan)

1.2.1. Semua pasokan bahan awal (bahan baku dan bahan pengemas) hendaklah diperiksa dan

diverifikasi mengenai pemenuhannya terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan dan dapat

ditelusuri sampai dengan produk jadinya.

1.7. Prosedur dan Pengolahan

1.7.1. Semua bahan awal harus lulus uji sesuai spesifikasi yang ditetapkan.

VIII. PENGAWASAN MUTU

1. Pendahuluan

Pengawasan mutu merupakan bagian penting dari CPKB, karena memberi jaminan konsistensi

mutu produk kosmetik yang dihasilkan.

1.1. Hendaknya diciptakan Sistem Pengawasan Mutu untuk menjamin bahwa produk dibuat dari

bahan yang benar, mutu dan jumlah yang sesuai, serta kondisi pembuatan yang tepat sesuai

Prosedur Tetap.

Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

Bagian Kelima Belas

Pengamanan dan Penggunaan

Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Pasal 105

(2) Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus

memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.

Pasal 106

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar.

Undang-Undang N0. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 3

Page 11: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Perlindungan konsumen bertujuan :

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi

barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

C. Registrasi

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1010/MenKes/Per/XI/2008 Tentang

Registrasi Obat

Pasal 2

(1) Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus dilakukan registrasi untuk

memperoleh Izin Edar

Pasal 4

Obat yang memiliki izin edar harus memenuhi kriteria berikut:

b. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara

Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap

semua bahan yang digunakan serta produk jadi dengan bukti yang sahih;

e. Kriteria lain adalah khusus untuk psikotropika harus memiliki keunggulan

kemanfaatan dan keamanan dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah

disetujui beredar di Indonesia untuk indikasi yang diklaim.

Pasal 10

(1) Registrasi Obat Impor dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri yang mendapat

persetujuan tertulis dari industri farmasi di luar negeri.

PP No. 72 tahun 1998 ttg Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Bagian Kedua

Izin Edar

Pasal 9

Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperolah izin edar

dari Menteri. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi sediaan

farmasi yang berupa obat tradisional yang diproduksi oleh perorangan.

Page 12: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Pasal 11

Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dimohonkan untuk memperolah izin edar diuji

dari segi mutu, keamanan dan kemanfaatan.

BAB III

KASUS-KASUS TERKAIT PRODUKSI FARMASI

1. KASUS PRODUK OBAT JADI

“Polres Magelang Bongkar Tempat Peracikan Obat Ilegal”

Dalam kasus ini, pelaku yang hanya lulus SD itu dan tidak memiliki keahlian serta

wewenang melakukan pekerjaan farmasi. Pelaku meracik dan mengemas obat untuk

diedarkan secara illegal.

KEDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG

Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998

Bab II pasal 2 ayat 1 dan 2, karena sediaan farmasi yang diproduksi tidak sesuai dengan

standar yang berlaku, sehingga tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan

kemanfaatan.

Bab III pasal 3, karena pelaku tersebut tidak memiliki izin usaha sesuai perundang-

undangan yang berlaku.

Bab III pasal 5 ayat 1, karena produksi sediaan farmasi tidak dilakukan dengan cara

produksi yang baik.

PP No. 51 tahun 2009

Bab I, pasal 1 ayat 1 dan 3, karena pelaku hanya lulusan SD, yang tidak termasuk

dalam tenaga kefarmasian, sehingga tidak memiliki kewenangan untuk melakukan

kegiatan kefarmasian.

Bab II, pasal 7, ayat 1 dan 2, karena dalam produksi obat harus ada apoteker sebagai

penanggung jawab, sedangkan dalam kasus tersebut tidak ada apoteker yang berperan.

Bab II pasal 10, karena proses produksi obat tersebut tidak memenuhi ketentuan CPOB.

Page 13: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

CPOB bagian produksi

karena tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sehingga obat yang dihasilkan

tidak memenuhi spesifikasi yang ditentukan.

CPOB bagian pengawasan mutu

karena tidak ada apoteker penanggung jawab yang memastikan bahwa obat yang

dihasilkan memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.

UU No. 36 tahun 2009

Bab I Pasal 1 Ayat 6, karena tidak ada tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan

atau ketrampilan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan.

UU No. 8 tahun 1999

Bab IV pasal 8 ayat 1 (e), karena barang yang diproduksi tidak sesuai dengan mutu

yang tercantum dalam label.

2. KASUS PRODUK KOSMETIK

“BPOM Babel Musnahkan 77 Kosmetik Berbahaya”

Dalam kasus ini terdapat kandungan zat warna yang berbahaya, zat warna tersebut biasa

digunakan untuk pewarna kertas.

KEDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1175/MenKes/Per/VIII/2010 Tentang Izin

Produksi Kosmetika

Bab II pasal 7, karena proses produksi kosmetik tersebut tidak sesuai dengan CPKB.

Bab V Pasal 16, karena pembuatan kosmetik tersebut menggunakan bahan-bahan

kosmetik yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

Page 14: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Keputusa Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI No. HK.00.05.4.1745

Tentang Kosmetik

Bab II Pasal 2, karena kosmetik yang diproduksi tidak menggunakan bahan yang

memenuhi standar.

Bab III Pasal 5, karena zat warna yang digunakan dalam kosmetik tidak sesuai dengan

yang ditetapkan.

Bab IV Pasal 8, karena proses produksinya tidak memenuhi persyaratan Cara

Pembuatan Kosmetik yang Baik.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor :

HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik

Bab II Pasal 2 dan 4, karena bahan pewarna yang digunakan tidak tercantum dalam

lampiran yang berlaku

Keputusan Kepala BPOM RI No: HK.00.05.4.3870 Tentang Pedoman Cara

Pembuatan Kosmetik yang Baik

Bagian produksi karena bahan yang digunakan tidak memenuhi spesifikasi yang telah

ditetapkan

Bagian pengawasan mutu, karena seharusnya ada peran apoteker dalam penjaminan mutu

terhadap produk kosmetik yang dihasilkan.

Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan

Pasal 105 ayat 2, karena kosmetika tersebut tidak memenuhi standar dan/atau

persyaratan yang ditentukan.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 3, karena kosmetik yang dihasilkan tidak menjamin keamanan dan keselamatan

konsumen.

3. KASUS REGISTRASI

OBAT

Page 15: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

“BPOM dan Polri Sita 141 Item Obat tanpa Izin Edar”

Dalam kasus ini, banyak ditemukan beredar obat-obatan tanpa izin edar yang berasal dari

berbagai negara di antaranya Australia dan China. Di antara item tersebut, termasuk juga dua

item obat yang mengandung codein. Codein adalah semacam senyawa kimia yang

mengandung narkotik dalam kadar rendah. Senyawa codein ini ternyata ditemukan dalam

obat batuk anak-anak yang beredar dengan bebas.

KOSMETIK

“Kosmetik Berbahaya Beredar di Aceh”

sebagian besar kosmetik yang tidak memiliki izin edar beredar di Aceh

KEDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG

Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pasal 106, karena obat dan kosmetik tersebut hanya dapat diedarkan setelah mendapat

izin edar.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1010/MenKes/Per/XI/2008

Tentang Registrasi Obat

Pasal 2 ayat 2, karena seluruh obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya

harus dilakukan registrasi untuk memperoleh Izin Edar.

Pasal 4 (b), karena obat yang memiliki izin edar harus memenuhi syarat yang dinilai

dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB).

Pasal 10, ayat (1), karena obat tersebut berasal dari Australia dan China dan seharusnya

dilakukan registrasi obat impor oleh industri farmasi dalam negeri.

PP No. 72 tahun 1998 ttg Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Pasal 9, karena obat dan kosmetik hanya dapat diedarkan setelah memperolah izin edar.

Pasal 11, karena dengan tidak memiliki izin edar, maka obat dan kosmetik tersebut

belum dipastikan mutu, keamanan dan kemanfaatannya.

Page 16: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

BAB IV

ANALISIS SWOT DAN RELEVANSI PERUNDANG-UNDANGAN

Kasus 1

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian.

1. Strength (Kekuatan)

a) Pemerintah mengatur secara jelas batas-batas Pekerjaan Kefarmasian dan siapa saja

yang termasuk Tenaga Kefarmasian.

b) Tenaga Kefarmasian memiliki kewenangan yang jelas untuk melakukan Pekerjaan

Kefarmasian

2. Weakness (Kelemahan)

a) Belum meratanya sosialisasi dari pemerintah mengenai peraturan ini sehingga masih

banyak terjadi kasus-kasus penyimpangan Pekerjaan Kefarmasian.

b) Belum jelasnya sanksi yang akan diberikan jika terjadi pelanggaran terhadap

peraturan ini.

3. Opportunity (Peluang)

Merupakan kesempatan besar bagi tenaga kefarmasian untuk menunjukkan perannya

dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.

4. Threat (Ancaman)

Sanksi pidana yang tidak jelas tidak membuat jera para pelaku usaha yang melakukan

penyimpangan.

5. Relevansi Peraturan

PP Nomor 51 Tahun 2009 sudah relevan dengan kasus yang terjadi, dimana dalam

peraturan ini telah dijelaskan batas-batas yang jelas mengenai Pekerjaan Kefarmasian

Page 17: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

yang hanya boleh dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian sehingga kasus-kasus yang serupa

dapat diminimalkan.

Ketentuan Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB) tahun 2006

1. Strength (Kekuatan)

a) Adanya jaminan mengenai kandungan dan kebenaran identitas obat sehingga kualitas,

kemanjuran (dosis untuk terapi sesuai dengan label), serta keamanan sediaan

terjamin.

b) Produsen menjadi lebih fokus pada kualitas sediaan obat yang akan diproduksi

c) Ketatnya peraturan atau ketentuan dalam produksi obat dapat meningkatkan

kompetensi produsen obat sehingga meningkatkan kepercayaan konsumen.

2. Weakness (Kelemahan)

Proses pembuatan yang harus dilalui suatu produk untuk menjadi obat jadi cukup

panjang dengan banyaknya tahapan, sehingga dapat berakibat meningkatnya resiko

kekeliruan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

3. Opportunity (Peluang)

Ikut meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan adanya tujuan untuk

menghasilkan produk yang berkualitas.

4. Threat (Ancaman)

Proses yang terjadi di dalam sebuah produksi sangatlah banyak sehingga sulit untuk

memantau penyimpangan yang sering terjadi.

5. Relevansi Peraturan

Ketentuan yang diatur dalam CPOB ini relevan dengan kasus yang terjadi dimana

aturan-aturan di dalamnya sudah memberikan informasi yang lengkap dan jelas dalam

pembuatan suatu sediaan obat.

Kasus 2

Keputusan Kepala BPOM RI NO : HK.00.05.4.3870 Tentang Pedoman Cara

Pembuatan Kosmetik Yang Baik

1. Kekuatan:

Page 18: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Dengan adanya peraturan ini, produsen lebih terarah untuk mengutamakan

kualitas dalam pelayanan terhadap konsumen.

2. Kelemahan:

Dalam CPKB dijelaskan bahwa bahan yang digunakan harus sesuai spesifikasi,

tetapi tidak dijelaskan secara detail bahan-bahan apa saja yang berbahaya bagi kesehatan.

3. Peluang

Produsen dapat meningkatkan kualitas kosmetik yang dihasilkan sehingga

meningkatkan sisi persaingan usaha yang sehat dan tidak merugikan masyarakat.

4. Ancaman

Sanksi yang diberikan harus disebutkan dengan jelas agar pelaku usaha

menghindari penyimpangan yang dilakukan.

5. Relevansi:

CPKB ini kurang relevan dengan kasus yang terjadi. Dalam CPKB, peraturan

yang dijabarkan masih terlalu luas dan masih kurang tegas dalam hal menetapkan batas-

batas tentang keamanan bahan-bahan yang digunakan.

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI NO.MOR HK.00.05.4.1745

Tentang Kosmetik

1. Kekuatan:

Adanya perlindungan konsumen dari pemerintah lewat surat keputusan kepala

BPOM ini untuk menetapkan standar mutu kosmetik yang diproduksi (dalam hal ini,

misalnya adanya pengaturan bahan pewarna yang digunakan) sehingga dapat dijamin

bahwa produk kosmetik tersebut mengandung bahan-bahan yang terbukti keamanannya.

Pemerintah dapat mengatur dan mengontrol sistem produksi kosmetik yang memenuhi

syarat cara pembuatan kosmetik yang baik

2. Kelemahan:

Kurang ketatnya proses analisa senyawa yang terkandung di dalam produk

kosmetik sebelum diedarkan

3. Peluang

Produsen dapat meningkatkan kualitas kosmetik yang dihasilkan sehingga

meningkatkan sisi persaingan usaha yang sehat dan tidak merugikan masyarakat.

Page 19: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

4. Ancaman

Sanksi yang diberikan harus disebutkan dengan jelas agar pelaku usaha

menghindari penyimpangan yang dilakukan

5. Relevansi:

Peraturan pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI

NO.MOR HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik yaitu pasal 2,5, dan 8 tentang persyaratan

kosmetik sudah relevan dengan kasus yang terjadi. Dalam peraturan tersebut, sudah

dijelaskan bahwa semua produk kosmetik harus diproduksi berdasarkan CPKB . Selain

itu juga terdapat aturan tentang bahan-bahan kosmetik yang diperbolehkan untuk

dipergunakan.

Kasus 3

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1010/MenKes/Per/XI/2008

Tentang Registrasi Obat.

1. Strength (Kekuatan)

Dengan peraturan tersebut maka obat-obat yang beredar di wilayah Indonesia

adalah obat-obat yang telah memiliki izin edar dari BPOM sehingga mutu, khasiat dan

keamanannya pun terjamin.

2. Weakness (Kelemahan)

Kurang tegasnya sanksi dan rumitnya proses registrasi suatu obat menyebabkan

banyak produsen mengedarkan obat tanpa lebih dulu meminta izin edar pada BPOM.

3. Peluang

Konsumen akan memperoleh obat yang bermutu dan memberikan manfaat bagi

peningkatan kesehatan masyarakat.

4. Ancaman

Sanksi pidana yang tidak jelas dan kurang tegas tidak membuat jera para pelaku

yang melakukan penyimpangan.

5. Relevansi

PerMenKes No.1010 tersebut sudah relevan dengan kasus peredaran obat tanpa

izin edar tersebut karena dalam peraturan tersebut telah disebutkan mengenai persyaratan

yang harus dipenuhi oleh obat-obat sebelum dapat beredar di Indonesia.

Page 20: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Keputusan Kepala BPOM No. HK.00.05.4.1745 Pasal 10 Tentang Izin Edar Kosmetik

1. Strength (Kekuatan)

Pemerintah dapat mengatur dan mengontrol system peredaran produk kosmetik

yang telah memenuhi syarat cara pembuatan kosmetik yang baik.

2. Weakness (Kelemahan)

Peraturan dalam memperoleh izin edar yang masih kurang tegas dari pemerintah

terhadap produk yang akan diedarkan. Hal ini terbukti pada beberapa produk yang telah

memperoleh izin edar dan beredar di masyarakat masih saja mengandung bahan

berbahaya bagi konsumen.

3. Peluang

Konsumen akan memperoleh kosmetik yang berkualitas dan aman (tidak

menimbulkan efek samping yang merugikan).

4. Ancaman

Tingkat kebutuhan konsumen (terutama wanita) terhadap kecantikan seringkali

menjadi “angin segar” bagi para pelaku untuk melancarkan aksinya.

5. Relevansi Peraturan

Pasal 10 tentang izin edar kosmetik yang telah ditetapkan relevan dengan kasus

yang terjadi, dimana telah ditegaskan pada pasal tersebut bahwa kosmetik yang akan

diedarkan harus melalui proses registrasi. Pada kasus masih terjadi pelanggaran pada

beredarnya produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya karena kurang tegasnya

sanksi bagi para pelaku.

Page 21: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan produksi obat dan kosmetik :

Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 1998 tentang pengamanan sediaan farmasi

dan alat kesehatan

Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian

Cara Pembuatan Obat yang Baik 2006

Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1175/MenKes/Per/VIII/2010 tentang izin

produksi kosmetika

Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 Tentang Kosmetik

Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik

2. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan registrasi sediaan farmasi :

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1010/MenKes/Per/XI/2008

Tentang Registrasi Obat

PP No. 72 tahun 1998 ttg Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

3. Ketiga kasus tersebut menunjukkan banyaknya praktik kefarmasian yang bertentangan

dengan peraturan yang berlaku terkait produksi dan registrasi sediaan farmasi, sehingga

kurang menjamin kualitas dari produk yang dihasilkan dan sangat merugikan konsumen.

4. Adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang terjadi menunjukkan :

Kurang tegasnya pemerintah dalam menindaklanjuti pelanggaran

Page 22: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Perlunya pembaharuan peraturan sehingga meminimalkan celah yang

memungkinkan terjadinya pelanggaran dalam produksi sediaan farmasi

Masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemahaman

mengenai obat

B. REFLEKSI

Masih tingginya pelanggaran yang terjadi di Indonesia, khususnya dalam hal produksi

sediaan farmasi menunjukkan bahwa pengamanan sediaan farmasi yang ada masih rendah. Hal

ini sangat berkaitan dengan keselamatan konsumen (dapat membahayakan kesehatan). Apoteker

yang seharusnya bertanggung jawab dalam bidang kefarmasian malah tidak menjalankan

kewajibannya dengan baik. Hal ini seharusnya menjadi refleksi bagi apoteker Indonesia, di mana

apoteker merupakan profesi yang mempunyai tradisi luhur jabatan kefarmasian untuk

menjunjung sumpah dan etika keprofesiannya.

Selain itu, perlu dilakukan perbaikan tentang regulasi yang terkait produksi sediaan

farmasi. Dengan kejelasan peraturan dan kejelasan hukum di Indonesia, diharapkan dapat

menurunkan kasus pelanggaran mengenai sediaan farmasi. Masyarakat luas juga perlu diberi

informasi lengkap mengenai obat-obatan, dalam hal ini peran apoteker harus ditunjukkan.

Keseimbangan antara peran apoteker dalam menjalankan perannya, pemerintah sebagai

penyusun kebijakan, aparat hukum yang tegas, serta peran aktif masyarakat dalam memberantas

terjadinya kasus pelanggaran peraturan yang ada dapat meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat Indonesia.

Page 23: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1998, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Anonim, 2006, Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta

Anonim, 2009, Peraturan Pemerintahan No. 51 Tahun 2009, tentang Pekerjaan Kefarmasian

Anonim, 2009, Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Anonim, 2009, Polres Magelang Bongkar Tempat Peracikan Obat Ilegal, http://rol.republika.co.id/berita/48513/Polres_Magelang_Bongkar_Tempat_Peracikan_Obat_Ilegal, diakses pada 18 September 2010

Anonim, 2008, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang registrasi obat

Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2007, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-undangan Terkait Apotek termasuk Naskah dan Ulasan Permenkes tentang Apotek Rakyat, Edisi Revisi, Penerbit USD, Yogyakarta

Heryanto, 2008, Kosmetik Berbahaya Beredar di Aceh, www.modusaceh.com/html/.../kosmetik_berbahaya_beredar_di_aceh.pdf, diakses pada 17 September 2010

Khairina, 2007, Awas, obat palsu mengintai kita, http://medicastore.com/med/artikel.php?id=191, diakses pada 18 September 2010

Page 24: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Rochmi, 2010, Jangan Sesat Beli Obat, http://gresnews.com/ch/National/cl/Sepekan/id/1446937/Jangan+Sesat+Beli+Obat, diakses pada 15 September 2010

LAMPIRAN

Lampiran 1

Polres Magelang Bongkar Tempat Peracikan Obat Ilegal

MAGELANG--Jajaran Kepolisian Resor (Polres) Magelang, Jawa Tengah membongkar tempat peracikan obat ilegal dan menangkap seorang tersangka.

"Seorang tersangka diamankan, dan puluhan ribu tablet obat diamankan sebagai barang bukti," kata Kepala Polres Magelang, AKBP Mustaqim, didampingi Kepala Satuan Narkoba, AKP Sudirman, di Magelang, Selasa.

Tersangka pelaku dan sekaligus pemilik tempat peracikan obat ilegal itu bernama SS (35), warga Desa Madyocondo, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang.

Ia mengatakan, tempat peracikan obat ilegal dengan menggunakan alat khusus itu di sebuah rumah di kawasan padat penduduk di desa itu.

"Dia memiliki tiga pegawai, semua perempuan, dengan tugas meracik dan mengemas obat untuk diedarkan," katanya.

Selama beberapa waktu, katanya, petugas melakukan pengintaian terhadap tempat itu, sedangkan penangkapan dilakukan pada hari Senin (4/5).

Ia mengatakan, tersangka membeli bahan obat dari sejumlah toko di Solo.

Peredaran obat ilegal produknya itu, katanya, di pasar-pasar tradisional, baik di Kota maupun Kabupaten Magelang dengan harga berkisar Rp3.000 per tablet.

Tersangka dijerat dengan pasal 82 ayat 1 (d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman penjara selama lima tahun.

Page 25: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

"Perbuatan tersangka sebagai tindakan kriminal, tersangka yang hanya lulus SD itu tidak memiliki keahlian dan wewenang melakukan pekerjaan farmasi, dia juga melakukan pendistribusian dan pelayanan penyediaan farmasi. Itu membahayakan," katanya.

Berdasarkan pengakuan, katanya, tersangka melakukan pekerjaan itu selama dua bulan terakhir. ant/pur

Lampiran 2

BPOM Babel Musnahkan 77 Kosmetik BerbahayaSelasa, 9 Maret 2010 20:24 WIB | Peristiwa | Kesehatan | Dibaca 2086 kali

Barang bukti Kosmetik/ilustrasi. (ANTARA/Agus Bebeng)Pangkalpinang (ANTARA News) - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Bangka Belitung (Babel) dalam 2009 memusnahkan 77 jenis kosmetik berbahaya yang beredar di daerah itu.

Kasie Pemeriksaan, Penyelidikan, Sertifikasi, dan Layanan Informasi Konsumen BPOM Babel, Iswandi S. Farm, Apt, di Pangkalpinang Selasa mengatakan, produk itu dimusnahkan karena membahayakan kesehatan dan berpotensi menimbulkan berbagai penyakit.

Tujuh puluh kosmetik itu terdiri dari produk rias wajah dan mata, perawatan kulit, serta kosmetik kesediaan mandi. Sampel penelitian diambil dari berbagai tempat mulai dari pasar tradisional, modern, maupun salon kecantikan.

Produk yang dimusnahkan diantaranya Ponds Detox Complete Beauty Care Make Up Kit, dan Olay 4 in 1 Complete Make Up. Ponds mengandung zat Merah K.3 dan K.10, sedangkan Olay

Page 26: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

mengandung zat Merah K.10. Kedua produk juga tak terdaftar di BPOM.

Kandungan zat warna Merah K.3 dan K.10 sangat berbahaya untuk kulit. Bisa menyebabkan kanker kulit karena merupakan zat warna sisntetis yang biasanya digunakan untuk pewarna kertas.

Untuk itu, kata dia, dihimbau masyarakat agar lebih berhati-hati memilih kosmetik terutama lipstik, cairan pemutih, dan pelembab. Ketiga jenis kosmetik tersebut sering digunakan masyarakat, padahal kandungan produk kosmetik impor ini masih diragukan.

Masyarakat yang ingin membeli produk kosmetik agar sebaiknya memperhatikan kode izin peredaran resmi dari BPOM yaitu "CD" untuk produk lokal dan "CL" untuk produk impor.

Apabila tidak memiliki kode, sebaiknya kosmetik tersebut tidak dibeli dan melaporkannya ke BPOM atau pihak-pihak terkait untuk mengantisipasi peredaran produk itu.

"Produk-produk kosmetik yang tidak terdaftar, kebanyakan mengandung zat mercury dan hydroquinone serta lisptik yang mengandung pewarna rodamin B dan produk yang mengandung bahan-bahan tersebut sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kanker kulit," ujarnya.

Page 27: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Lampiran 3

Page 28: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Lampiran 3

Page 29: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

BPOM dan Polri Sita 141 Item Obat tanpa Izin Edar

JAKARTA (Media): Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama pihakKepolisian Republik Indonesia (Polri) berhasil menyita 141 item obat tanpaizin edar. Dalam operasi yang dilaksanakan pada 1-2 Oktober 2003 di seluruhIndonesia, juga ditemukan 202 toko obat yang menjual obat palsu dan tanpa izin.

Sementara itu, Kota Surabaya merupakan tempat yang paling banyak ditemukanberedar obat-obatan tanpa izin edar.

Kepala BPOM Sampurno mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers diJakarta, kemarin.

Menurut Sampurno, dari operasi tersebut telah diamankan antara lain 141item obat tanpa izin edar yang berasal dari berbagai negara di antaranyaAustralia dan China. Di antara item tersebut, termasuk juga dua item obatyang mengandung codein.

Codein adalah semacam senyawa kimia yang mengandung narkotik dalam kadarrendah. Senyawa codein ini ternyata ditemukan dalam obat batuk anak-anakyang beredar dengan bebas.

Selain itu, juga ditemukan tiga item obat palsu yaitu Incidal di Bandung,Ponstan 250 mg, dan Ponstan 500 mg di Palembang. Juga ditemukan 839 itemobat keras, 28 item obat program, dan 15 item obat psikotropik/diazepam.

Menurut Sampurno, prioritas sasaran operasi gabungan nasional ini adalahuntuk menertibkan peredaran obat keras yang dijual pada sarana atau tokoobat yang tidak berhak/ilegal.

Dalam operasi gabungan nasional ini telah diperiksa 373 toko obat dengantemuan yaitu sebanyak 202 toko obat (53,9%) melakukan pelanggaran, dansebanyak 150 toko obat ditindaklanjuti dengan projustisia atau perkaranyadibawa ke pengadilan.

Pelanggaran yang ditindaklanjuti dengan projustisia paling banyak ditemukandi Surabaya, DKI Jakarta, Palembang, Jambi, dan Medan. Toko-toko yangpaling banyak melakukan pelanggaran projustisia di Kota Surabaya denganjumlah pelanggaran 27 kasus, disusul Kota Jambi dengan jumlah pelanggaransembilan, kemudian Jakarta dengan jumlah pelanggaran delapan, dan Medandengan jumlah pelanggaran delapan.

Menurut dia, operasi ini akan terus dilaksanakan dua kali dalam setahun,dan dilakukan secara tetap oleh tim permanen gabungan antara BPOM danbagian reserse dan kriminal Polri.

''Prioritas dari operasi ini adalah agar pemasukan obat-obat terlarang kepasar-pasar gelap dapat dihentikan, dan produsen yang memproduksi obattersebut dapat ditangkap dan diberi hukuman setimpal,'' tegasnya.

Page 30: 72460028 Praktek Kefarmasian Terkait Produksi Sediaan Farmasi PRINT

Kasus peredaran obat-obat tanpa izin edar ini, tutur Sampurno, baru empatkasus yang diproses di pengadilan. Selama ini, lanjutnya, hasil putusanpengadilan terhadap kasus-kasus tersebut sangat ringan, hanya berupahukuman percobaan selama beberapa bulan dan denda uang. Misalnya, kasusseorang pengusaha obat yang mencampur obat keras dengan jamu, ternyatakeputusan pengadilan hanyalah menghukumnya dengan empat bulan kurungan dandenda sebesar Rp10 juta.

''Tetapi, walaupun hukuman yang didapatkan bagi para pengedar maupunpembuat obat-obat tanpa izin edar ringan, kami akan tetap melakukanpenertiban dan penangkapan terhadap para pelakunya,'' tegasnya.

Sebab, kata dia, jika dibiarkan terus maka yang mengalami kerugian adalahmasyarakat sendiri, walaupun masyarakat membeli obat-obat tersebut denganharga yang murah. Namun, lanjutnya, efek sampingnya akan sangatmembahayakan keselamatan jiwa.

Saat ini, jelas Sampurno, BPOM dan Polri sudah menemukan siapa aktorutamanya, modus operandi, dan jaringan pengedar obat-obat ini, hanya masihsedang diproses, sehingga baru tiga bulan lagi akan diberitahukan kepadamasyarakat.

''Dan perusahaan-perusahaan besar yang anak perusahaannya terlibat dalampengedaran obat-obat ini, saat ini sedang diberikan pembinaan danperingatan agar bisa menindak terlebih dahulu para pelaku di perusahaannyatersebut,'' tambahnya.

Merujuk pada fakta yang ada di lapangan tersebut, menurut dia, BPOM jugamengambil langkah-langkah yang berdampak panjang yaitu antara lainmenginstruksikan pemilik produk untuk bertanggung jawab dalam menjagaketertiban peredaran produknya dan tidak memasok obat keras pada toko yangtidak memiliki kewenangan. (CR-33/V-2)