39992492 pengelolaan limbah padat b3 rumah sakit pusat angkatan darat rspad gatot soebroto...
Post on 26-Oct-2015
139 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGELOLAAN LIMBAH PADAT B3 RUMAH SAKIT PUSAT
ANGKATAN DARAT (RSPAD) GATOT SOEBROTO
MENGGUNAKAN INSENERATOR
Dosen Pembimbing :
ABDUL GHOFUR, M.T
NOPI STIYATI P, M.T
Disusun Oleh :
M.SADIQUL IMAN HIE108059ADELIA FAULINA SARI HIE108060RINI WIDYAWATI HIE108061AHMAD DANIEL GAZALI HIE108065RISMAWIDHA M. HIE108071WINDA MARIA ISSANI HIE108077
PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2009
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
selalu melimpahkan karunia-Nya. Berkat rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan makalah pengelolaan limbah B3 ini tepat pada waktunya.
Materi yang ditampilkan dalam makalah ini bertujuan agar mahasiswa mampu
mengembangkan pengetahuan dan menetapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Abdul Ghofur , M.T.
2. Ibu Nopi Stiyati P, M.T.
3. Teman-teman Mahasiswa.
Karena bantuannya sehingga dapat terwujud makalah ini. Penulis
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna perbaikan
selanjutnya dan kesempurnaan makalah ini.
Semoga Tuhan selalu menyertai dan membimbing kita bersama dalam
upaya menyelesaikan tugas kuliah. Amin.
Banjarbaru, Oktober 2009
Penyusun
DAFTAR ISI
hal
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Batasan Masalah.............................................................................. 3
1.3 Tujuan ............................................................................................. 3
BAB II METODE PENULISAN .................................................................. 4
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 5
3.1 Pengertian limbah B3 dan Pengelolaan Limbah B3......................... 5
3.2 Permasalahan dan Kontroversi Limbah B3...................................... 5
3.3 Pengelolaan Limbah B3 …………………………………......…… 6
3.4 Limbah Padat Medis…………………………………………....… 6
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................. 25
4.1 Studi Kasus.................................................................................. 25
4.2 Pembahasan.................................................................................. 25
BAB V PENUTUP........................................................................................
5.1 Kesimpulan..................................................................................
5.2 Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan berbahaya dan beracun, yang lebih akrab dengan singkatan B3,
keberadaannya di Indonesia semakin hari semakin mengkhawatirkan. Lebih dari
75% bahan berbahaya dan beracun (B3) merupakan sumbangan dari sektor
industri melalui limbahnya, sedangkan sisanya berasal dari sektor lain termasuk
rumah tangga yang menyumbang 5-10% dari total limbah B3 yang ada.
Peningkatan jumlah limbah bahan berbahaya dan beracun di Indonesia antara
kurun waktu 1990 – 1998 saja mencapai 100 % ( tahun 1990 sekitar 4.322.862 ton
dan pada tahun 1998 mencapai 8.722.696 ton ). Jumlah ini akan naik drastis
seiring dengan perkembangan industrialisasi yang cukup pesat di negara
berkembang seperti Indonesia.
Pengelolaan Limbah B3 terutama di Indonesia secara spesifik sebenarnya
telah diatur dalam PP 19/1994 dan disempurnakan dengan PP 12/1995. Kemudian
diganti dengan PP 18/1999 yang selanjutnya disempurnakan dengan PP 85/1999.
Menurut PP 18/99 jo PP 85/99, pengertian limbah B3 adalah setiap limbah yang
mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat
membahayakan kesehatan manusia.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pengelolaan
limbah B3 di Indonesia. Pertama, adalah penerapan “produksi bersih dan
minimisasi limbah” bagi industri. Teknologi end pipe treatment yang dipakai di
Indonesia sendiri sebenarnya merupakan teknologi kuno (sunset technology) yang
telah lama ditinggalkan oleh negara-negara maju. Namun para industriawan
biasanya malas untuk mengganti teknologi pengelolaan limbah mereka dari end
pipe treatment menjadi clean technology, karena adanya internalisasi biaya
eksternal atas kerusakan lingkungan akibat limbah yang dihasilkan. Hal tersebut
akan menambah cost tersendiri bagi mereka, apalagi dengan kondisi
perekonomian sulit seperti sekarang ini. Inilah repotnya jika industriawan kita
hanya mengejar short-term benefits nya saja. Padahal konsep clean technology
melalui minimisasi limbah industri dengan model reduce; recycle; reused;
recovery dan recuperation, bila diterapkan dengan benar dapat mengurangi cost
production dari industri tersebut meskipun pada awalnya dibutuhkan investasi
yang cukup besar. Selain produksi bersih, penanganan limbah yang memang tidak
dapat tereduksi dalam proses minimisasi limbah harus ditangani sesuai prosedur
dan tidak seadanya saja.
Kedua, adalah pembenahan sistem hukum dan peraturan yang telah ada,
baik itu untuk limbah yang dihasilkan di dalam negeri maupun untuk lintas batas
limbah B3. Peraturan yang ada seperti AMDAL masih jauh dari mencukupi untuk
melakukan pengelolaan terhadap limbah, khususnya limbah B3. Apalagi dengan
lembaga dan sumber daya manusia yang belum memadai. Sedangkan untuk lintas
batas limbah B3, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Basel melalui
Kepres RI no. 61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control of
Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal. Namun
pada kenyataannya, pada saat Panangian Siregar menjabat Menteri Lingkungan
Hidup kabinet Habibie, turun rekomendasi untuk mengimpor lumpur dan sisa
bahan galian dari Singapura yang dituangkan dalam surat no. B-
495/MENLH/4/1999. Limbah dengan kapasitas 10.000 ton tersebut sudah
dikirimkan sebanyak 6000 ton tanpa melalui proses Amdal terlebih dahulu,
padahal PUSARPEDAL dan LIPI menyatakan limbah tersebut mengandung
logam berat (Arsen, Kadmium, Krom, Nikel, Tembaga dan Timbal) dalam jumlah
yang cukup membahayakan. Yang lebih aneh lagi, alamat PT. Bangka Dwiukir
Lestari selaku kontraktor di Jl. Jendral Sudirman 8B adalah fiktif dan merupakan
alamat kantor Harian Bangka Post. Lemahnya supremasi hukum di Indonesia
inilah yang menjadikan seringnya kecolongan baik industri lokal maupun dari luar
negeri.
Yang ketiga adalah sesegera mungkin membereskan kelembagaan
lingkungan hidup di Indonesia yang memang mempunyai posisi yang lemah.
Kedudukan Bapedal misalnya, yang hanya berfungsi secara koordinatif, sehingga
seringkali ketika muncul persoalan dalam hal pencemaran lingkungan hidup,
hanya fungsi administratif saja yang dijalankan oleh Bapedal, apalagi Bapedal
yang ada di daerah.
Keempat yaitu melakukan evaluasi, inventarisasi dan pengembangan
terhadap sumber daya yang kita miliki. Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber
daya kita masih sangat lemah dan minim dalam memahami persoalan lingkungan
hidup. Sedangkan yang kelima adalah adanya transparansi informasi kepada
masyarakat luas, sehingga ada partisipasi aktif dari masyarakat untuk ikut serta
dalam usaha pelestarian lingkungan hidup. Salah satunya adalah sosialisasi
informasi mengenai limbah B3. Dengan begitu ada keterlibatan seluruh
stakeholders secara seimbang dan aktif untuk memecahkan setiap persoalan
lingkungan hidup yang akan muncul puluhan bahkan ratusan masalah seiring
dengan berkembangnya industrialisasi di negari kita. Sebab bukanlah rahasia
bahwa kita pun tidak ingin Indonesia disebut sebagai negara penghasil limbah.
Dalam makalah ini dijelaskan mengenai pengelolaan limbah B3 secara spesifik
yang diperhatikan dalam berbagai aspek.
1.2 Batasan masalah
Adapun batasan masalah dari penulisan makalah ini yakni, sampai sejauh
mana perkembangan pengelolaan limbah padat B3 pada rumah sakit Gatot
Soebroto menggunakan insenerator yang telah diterapkan, serta bagaimana
prospek pengelolaan limbah yang akan diambil untuk masa yang akan datang.
1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
perkembangan pengelolaan limbah B3 serta bagaimana pengelolaan limbah B3
yang baik dan yang memang sesuai dengan aturan yang berlaku.
BAB II
METODE PENULISAN
Dalam pembuatan makalah ini, metode yang digunakan adalah metode
kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data-data dari literatur-literatur dan
jurnal penelitian yang bersangkutan dengan pengelolaan Limbah B3. Selain itu
pengumpulan data juga di dapat dari pencarian informasi-informasi dari internet.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Pengertian limbah B3 dan Pengelolaan Limbah B3
Limbah dalam artian umum adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan
sedangkan pengertian limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan atau beracun. Sifat, konsentrasi, dan jumlahnya
dapat: Mencemarkan/merusak lingkungan hidup Membahayakan kesehatan dan
kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.
Di Indonesia sendiri, peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan limbah
B3, telah dituangkan dalam UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
yang diundangkan sebagai pengganti UU No. 4/1992. Dalam Bab V, Pasal 17,
UU No. 23 /1997, pengelolaan berarti berhubungan dengan proses: menghasilkan,
mengangkut, mengedarkan, menyimpan, mengolah, menggunakan dan
menimbun/membuang. Selanjutnya ditambahkan dalam Pasal 20 bahwa setiap
orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup tanpa
keputusan/ijin, hal ini perlu dilakukan pada lokasi pembuangan yang ditetapkan
menteri.
Secara spesifik hal ini ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah, PP
18/1999 yang kemudian disempurnakan dalam PP 85/1999 diantaranya adalah:1.
Kewajiban bagi setiap penghasil limbah B3 (atau badan usaha yang mendapat ijin
Menteri Lingkungan Hidup) untuk mengolah limbahnya.2. Kewajiban bagi
badan usaha pengelola limbah B3 yang melakukan pengumpulan, pengolahan,
penimbunan, pemanfaatan dan usaha pengangkutan limbah B33. Ketentuan
mengenai pengawas dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan limbah B3.4.
Ketentuan teknis administratif dalam kegiatan pengelolaan limbah B3, termasuk
sanksi-sanksi pelanggarannya.
Semua ketentuan yang berhubungan dengan para pelaku pengelolaan
limbah B3, baik itu penghasil, pengumpul, pengangkut, maupun
pengolah/penimbun telah diperinci secara jelas, dan hal-hal teknisnya juga telah
dibahas yang mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan pengelolaan
limbah dari mulai sumber sampai pembuangan akhir (from cradle to grave).
Untuk pelaksanaan, diatur pula terutama yang menyangkut program kendali dan
pengawasan di daerah.
3.2 Pengelolaan Limbah B3
Pengelolaan Limbah B3 sendiri memakai rangkaian yang mencakup:
reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan
Limbah B3. Sedangkan pelaku pengelolaan limbah B3 terdiri dari Penghasil,
pengumpul, pengangkut, pemanfaat, pengolah, penimbun. Mata rantai siklus
perjalanan limbah B3 harus dapat diawasi. Perjalanan pengelolaan limbah B3 itu
sendiri dikendalikan dengan sistem manifest berupa dokumen limbah B3. Selama
ini Pengelolaan limbah B3 mengenal konsep Cradle to Grave.
3.2.1 Kewajiban Dalam Pengelolaan Limbah B3
Dalam sistem pengelolaan limbah B3 dikenal beberapa kewajiban yang
harus dilakukan berdasarkan tata laksana yang telah diatur yakni:
a. Kewajiban Pelaku Pengelolaan Limbah B3 (Penghasil)
Penghasil wajib:
- Mereduksi limbah B3, bila masih menghasilkan limbah B3 maka
residunya harus diolah kembali dengan memanfaatkan sendiri atau
memberikannya kepada pihak pemanfaat.
- Mengolah limbah B3, dapat mengolah sendiri atau memberikannya
kepada pihak pengolah (dalam atau luar negeri).
- Menimbun limbah B3, apabila limbah yang dihasilkan ,50 kg/hari,
dapat menyimpan lebih dari 90 hari sebelum diserahkan ke pihak
pengumpul/ pemanfaat/ penimbun.
- Wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai jenis, karateristik
dan jumlah Limbah B3 yg dihasilkan serta nama pengangkut dan pihak
pengumpul/pemanfaat/pengolah/penimbun.
- Wajib menyampaikan catatan di atas sekurang-kurangnya 6 bulan
sekali kepada instansi yang terkait dan Bupati/walikota.
b. Kewajiban Pelaku Pengelolaan Limbah B3 (Pengumpul)
- Wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai Jenis, karateristik
dan jumlah Limbah B3 yg dihasilkan serta nama pengangkut dan pihak
pengumpul/pemanfaat/pengolah/penimbun.
- Wajib menyampaikan catatan di atas sekurang- kurangnya 6 bulan
sekali kepada instansi yang terkait dan Bupati/walikota.
- Menyimpan paling lama 90 hari.
c. Kewajiban Pelaku Pengelolaan Limbah B3 (Pengangkut)
- Pengangkutan dapat dilakukan oleh penghasil atau pihak lain yang
telah memiliki izin.
- Wajib disertai dokumen limbah B3.
3.2.2 Pemanfaatan Pengelolaan Limbah B3
Dalam sistem pengelolaan limbah B3 juga dikenal sistem pemanfaat.
Pemanfaat limbah B3 adalah suatu kegiatan :
- Perolehan kembali (Recovery).
- Penggunaan kembali (Reuse).
- Daur ulang (Recycle).
Yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang
dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
3.2.3 Kegiatan Pengelolaan
Ada beberapa kegiatan dalam pengelolaan limbah B3 yakni:
a. Reduksi Limbah
Suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah dan mengurangi
sifat bahaya dan beracun limbah B3, sebelum dihasilkan dari suatu
kegiatan.
b. Pengemasan
- Kemasan = Tempat/wadah untuk menyimpan, mengangkut, dan
mengumpulkan limbah B3.
- Setiap kemasan wajib diberi simbol dan label yang menunjukan
karakteristik dan jenis limbah.
c. Pengumpulan
Kegiatan pengumpulan limbah B3 wajib memenuhi ketentuan sbb:
- Memperhatikan karakteristik limbah B3.
- Mempunyai laboratoriun mendeteksi karakteristik limbah B3 kecuali
uji toksikologi.
- Memiliki perlengkapan penanggulangan terjadinya kecelakaan.
- Memiliki konstruksi bangunan kedap air dan bahan bangunan
disesuaikan dengan karakteristik limbah.
- Memiliki lokasi pengumpulan yang bebas banjir.
d. Pengangkutan
- Penyerahan limbah B3 oleh penghasil/ pengumpul/ pemanfaat/
pengolah kepada pengangkut wajib disertai dokuman limbah B3.
- Pengangkatan dilakukan dengan alat khusus.
e. Pemanfaatan : meliputi 3R
f. Pengolahan
Lokasi pengolahan harus bebas dari banjir, tidak rawan bencana, bukan
kawasan lindung, serta telah diperuntukan sebagai kawasan industri berdasarkan
rencana tata ruang wilayah setempat.
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode
yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning,
solidification/Stabilization, dan incineration.
1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical
conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning ialah:
• Menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam
lumpur.
• Mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam
lumpur.
• Mendestruksi organisme patogen.
• Memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang
masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan
pada proses digestion.
• Mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam
keadaan aman dan dapat diterima lingkungan.
Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan
diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang
umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid
bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal
sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering
selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan
centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses
flotation pada tahapan awal ini.
b. Treatment, stabilization, and conditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik
dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan
melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi.
Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses
pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid.
Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan
bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi.
Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses
destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses
yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion,
aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation,
chemical conditioning, dan elutriation.
c. De-watering and drying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau
mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur.
Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan
filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press,
centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
d. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses
yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air
oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3
umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.
2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi
solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah
limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses
pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan
menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk
mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi
didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan
penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga
sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses
solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi
menjadi 6 golongan, yaitu:
a. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam
limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
b. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation
tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur
kristal pada tingkat mikroskopik
c. Precipitation
d. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara
elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
e. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan
menyerapkannya ke bahan padat
f. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun
menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau
bahkan hilang sama sekali
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen,
kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di
lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant
mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh
BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-
04/BAPEDAL/09/1995.
3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang
menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi
volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75%
(berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem
pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan
limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak
kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas.
Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian
besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah
berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang
relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan
energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam
mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value
juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem
insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk
membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized
bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste
injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut,
rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah
limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
g. Penimbunan
- Lokasi pengolahan harus bebas dari banjir, tidak rawan bencana,
bukan kawasan lindung, serta telah diperuntukan sebagai kawasan
industri berdasarkan rencana tata ruang wilayah setempat.
- Permeabilitas tanah maksimum 10-7 cm/det untuk jenis limbah B3
dengan LD50 >50 mg/kg Berat Badan, permeabilitas maks 10-5
cm/det.
- Tidak merupakan daerah resapan air tanah, khususnya yg untuk
digunakan untuk air minum.
3.3 Limbah Padat Medis
Penggolongan kategori limbah medis dapat diklasifikasikan berdasarkan
potensi bahaya yang tergantung didalamnya, serta volume dan sifat persistensinya
yang menimbulkan masalah:
1. Limbah benda tajam seperti jarum, perlengkapan intravena, pipet Pasteur,
pecahan gelas, dll.
2. Limbah infeksius, memiliki pengertian sebagai Limbah yang berkaitan dengan
pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular (perawatan intensif) dan
Limbah laboratorium.
3. Limbah patologi (jaringan tubuh) adalah jaringan tubuh yang terbuang dari
proses bedah atau autopsi
4. Limbah Citotoksik adalah bahan yang terkontaminasi atau mungkin
terkontaminasi dengan bat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau
tindakan terapi citotoksik
5. Limbah farmasi berasal dari obatobat yang kadaluarsa, yang sudah tidak
diperlukan
6. Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis,
veterinary, labratorium, proses sterilisasi dan riset.
7. Limbah radioaktif adalah bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang
berasal dari pengguanan medis atau riset radionuklida
Masalah utama dalam mengatasi limbah infeksius adalah resiko penularan
oleh agen infeksius yang berasal dari limbah ini. Resiko penularan akan muncul
saat pembuangan dari sumbernya, proses pengumpulan, pengangkutan,
penyimpanan hingga penanganan baik onsite maupun offsite, hal ini merupakan
faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan wadah atau kontainer untuk
limbah infeksius. Pertimbangan penggunaan wadah juga dibedakan sesuai tipe
limbah infeksius, dimana dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu : limbah
benda tajam, limbah padat dan cair. Ketiganya memiliki perbedaan besar secara
fisik , kimia, dan resiko yang dapat ditimbulkan sehingga persyaratan dalam
pewadahan dan penanganannyapun berbeda. Pada prinsipnya limbah medis harus
sesegera mungkin ditreatmen setelah dihasilkan dan penyimpanan merupakan
prioritas akhir bila limbah benar-benar tidak dapat langsung diolah. Faktor
penting dalam penyimpanan yaitu melengkapi tempat penyimpanan dengan cover
atau penutup, menjaga agar areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur
dengan limbah non-medis, membatasi akses sehingga hanya orang tertentu yang
dapat memasuki area serta, lebeling dan pemilihan tempat penyimpanan yang
tepat Dalam strategi pengolahan dan pembuangan limbah rumah sakit terdapat
beberapa sistem, antara lain :
• Autoclaving
• Desinfeksi dengan bahan kimia
• Insinerator (Paramita, 2007).
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Studi Kasus
Masalah lingkungan erat sekali hubungannya dengan dunia kesehatan.
Untuk mencapai kondisi masyarakat yang sehat diperlukan lingkungan yang baik
pula. Dalam hal ini rumah sakit sebagai sarana kesehatan harus pula
memperhatikan keterkatitan tersebut. Dilain pihak, rumah sakit juga dapat
dikatakan sebagai pendonor limbah karena buangannya berasal dari kegiatan non-
medis maupun medis yang bersifat berbahaya dan beracun dan dalam jumlah
besar .
Oleh karena itu diperlukan suatu pengolahan limbah yang sesuai sehingga
tidak membahayakan bagi lingkungan. Dalam rangka memberikan pelayanan di
bidang kesehatan, rumah sakit merupakan tempat bertemunya kelompok
masyarakan penderita penyakit, kelompok masyarakat pemberi pelayanan,
kelompok pengunjung dan kelompok lingkungan sekitar. Adanya interaksi di
dalamnya memungkinkan menyebarnya penyakit bila tidak didukung dengan
kondisi lingkungan rumah sakit yang baik dan saniter. Aktivitas rumah sakit akan
menghasilkan sejumlah hasil samping berupa limbah, baik limbah padat, cair, dan
gas yang mengandung kuman patogen, zat-zat kimia serta alat-alat kesehatan yan
pada umumnya bersifat berbahaya dan beracun. Untuk meningkatkan mutu
pelayanan perlu pula ditingkatkan sarana untuk mengatasi limbah tersebut.
Adapun sarana pengolahan limbah di rumah sakit salah satunya adalah dengan
menggunakan insinerator.
Salah satu limbah yang dihasilkan oleh Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Soebroto ( RSPAD ) adalah limbah padat. Karakteristik limbah padat
yang dihasilkan dibedakan menjadi dua, yaitu limbah domestik dan limbah B3
dalam hal ini bersifat infeksius. Dengan adanya sebuah unit insinerator
diharapkan selain dapat mengurangi volume sampah sebelum dibuang juga dapat
menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya. Sedangakn untuk limbah padat
domestik dibuang pada tempat pembuangan sampah sementara. Sehingga dengan
penanganan dan pengolahan limbah padat yang telah dilakukan dapat menjaga
kondisi lingkungan sekitas dari pencemaran.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Limbah Padat Medis
Proses pengumpulan limbah medis di RSPAD menggunakan tempat
sampah yang dilapisi dengan kantong kuning berukuran 50 x 75 cm di dalamnya.
Penyebaran tempat sampah medis dapat ditemui di ruang perawatan, ruang bedah,
ruang poliklinik, ruang kebidanan, dan laboratorium. Sedangkan untuk limbah
benda tajam secara umum belum memenuhi persyaratan untuk mengemasnya
dalam tempat tersendiri sebelum dimasukkan dalam kantong sehingga sering
ditemukan kantong-kantong yang sobek karena adanya jarum suntik atau benda
tajam lain.
Akibat dari sobekan tadi banyak tejadi ceceran / tumpahan baik di tempat
sampah maupun di area selama pengangkutan. Alat pengangkutan sampah medis
seperti halnya sampah medis, yaitu dengan troli, kereta, maupun manual.
Kekurangan dalam pengangkutan medis ini adalah digunakannya secara
bersamaan alat pengangkut bersamaan dengan sampah non medis dalam kantong
hitam sehingga sering terjadi pencampuran sampah dan adanya tumpahan cairan
pada dasar bak pengangkut. Jalur pengangkutan sampah dapat dilihat dibawah ini.
Untuk limbah medis setelah pengangkutan dilakukan, limbah dalam kantong
kuning tersebut dikumpulkan terlebih dahulu dalam ruang khusus dengan
kapasitas ± 23 m3 .
Fungsi penyimpanan ini adalah untuk mengumpulkan limbah medis
infeksius sebelum dibakar untuk mencegah terjadinya penularan baik melalui
udara, kontak langsung, maupun melalui binatang. Tahap akhir pengelolaan
sampah medis adalah dengan menggunakan insinerator. Sampah medis yang telah
terkumpul dalam ruang penyimpanan kemudian dibakar dan pembakaran
dilakukan dua hari sekali dengan kapasitas maksimal insinerator 5 m3. Biaya
operasional yang harus dikeluarkan oleh pihak pengelola RSPAD GS untuk
memenuhi kebutuhan kantong plastic dan tempat penampungan sampah selama
satu tahun adalah sebesar Rp. 40.400.000. adapun tenaga penampung sampah di
RSPAD GS dilakukan oleh petugas cleaning service yang berjumlah total 176
orang. Pembagian kelompok kerja berdasarkan kelompok dan luas area sudah
cukup efektif dimana seorang cleaning service mempunyai area kerja ± 250-300
m2.
4.2.2 Insinerator
Insinerator yang dimiliki RSPAD GS berkapasitas 5 m3 yang terdiri
beberapa komponen utama antara lain Feeding Storage room, primery chamber,
secondary chamber dan bagian cerobong yang dilengkapi dengan air pollution
control. Dengan jadwal pembakaran setiap dua hari sekali, maka timbulan sampah
medis yang dibakar sebanyak 320,8 kg dari RSPAD GS sedangkan sampah medis
dari luar RSPAD GS yang dibakar 552 kg. Sehingga total sampah yang dibakar
tiap sekali pembakaran adalah 872,8 kg. Kepadatan tiap berat sampah tidak tentu
tergantung kandungannya. Dengan mengasumsikan 250 kg memiliki volume 1
m3, maka volume sampah yang dibakar sebesar 3,4 m3. dengan kapasitas
maksimal primary chamber sebesar 5 m3 maka presentasi volume pembakarannya
sebesar 67%. Adanya pembakaran di primary chamber, massa dari limbah yang
dibakar akan berkurang dengan terbentuknya abu dan gas.
Sumber : Pengukuran
Dari data diatas dapat diketahui efisiensi pembakaran terhadap massa yang direduksi :
Tanggal Timbulan Limbah Padat Medis (Kg) TimbulanAbu(kg)RSPAD GS Instansi Lain
131416
137192,5113
307348237
102
171819
138226156
164435165
88
Rata-rata 160,4 276 95
WinxWoutWinDRE %100)( −=
)276.4,160(%100)95)2764,160(( x−+= %23,78=
Pembakaran dengan incinerator umumnya menghasilkan buangan baik
berupa padat, cair maupun gas. Dalam bentuk padat berupa abu pada akhirnya
akan dibuang ke landfill. Untuk mencegah bahaya yang dapat ditimbulkan
kandungan abu tersebut maka dilakukan pemeriksaan berdasar baku mutu. Sedang
untuk emisi berupa partikulat digunakan Pollution Control Device berupa wet
scrubbe serta pemeriksaan pada emisi udaranya. Pada bagian bawah ruang wet
scrubber terdapat talang atau sekat yang berfungsi menangkap jatuhan sisa air
(limbah cair). Talang tersebut dihubungkan dengan pipa yang kemudian
menyalurkannya ke instalasi pengolahan air buangan yang dimiliki RSPAD GS.
BAB V
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Limbah dalam artian umum adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan
sedangkan pengertian limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan
yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun. Sifat, konsentrasi,
dan jumlahnya dapat: Mencemarkan/merusak lingkungan hidup
Membahayakan kesehatan dan kelangsungan hidup manusia serta mahluk
hidup lainnya.
2. Permasalahan yang timbul sehubungan dengan limbah B3 dan dalam
pengelolaan limbah B3 adalah kuantitas limbah B3 yang besar sehingga
penanganannya pun menjadi sulit serta pengelolaan limbah B3 yang
kurang menaati tata laksana pengelolaan yang telah dibuat.
3. Pengelolaan limbah B3 menurut urutan pelaksanaannya terdiri dari:
a. Kewajiban Dalam Pengelolaan Limbah B3
b. Pemanfaatan Pengelolaan Limbah B3
c. Kegiatan Pengelolaan
d. Tata Laksana Pengelolaan Limbah B3
4. Insinerator yang digunakan di RSPAD GS memiliki kapasitas pembakaran
5 m3 dengan jenis Cotrolled Air Insinerator yang dilengkapi dengan
pollution control berupa wet cahmber dan Hazar Particel Pervender.
4.2. Saran
Penulis menyarankan dan mengharapkan agar semakin kedepan nanti
upaya pengelolaan limbah B3 di Indonesia menjadi semakin baik, yaitu dengan
penerapan “produksi bersih dan minimisasi limbah” bagi industri. Limbah yang
mereka hasilkan diolah dengan menggunakan clean technology, karena dengan
adanya teknologi bersih tersebut, tentunya kerusakan lingkungan akibat limbah
yang dihasilkan dapat di minimalisir.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim1.1995. Keputusan BAPEDAL No.03 Tahun 1995 tentang Persyaratan
Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Himpunan
Peraturan di Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta.
Anonim2. .http://tengku-fery.web.ugm.ac.id
(diakses: 18 Oktober 2009)
Anonim3. http://www.nirmalatipar.com.
(diakses: 18 Oktober 2009)
Anonim4. http://putraprabu.wordpress.com.
(diakses: 18 Oktober 2009)
Anonim5. http://psl.ums.ac.id.
(diakses: 18 Oktober 2009)
Paramita, Nadia. 2007. Evaluasi Pengelolaan Sampah Rumah Sakit Pusat
Angkatan Darat Gatot Soebroto.
http://eprints.undip.ac.id/533/1/halaman_51-55__Nadia_.pdf
(diakses: 18 Oktober 2009)
Setiadi, Tjandra . Pengelolaan Limbah Industri. http://www.yuwie.com .
(diakses: 18 Oktober 2009)
Wahyu Hidayat. Teknologi Pengolahan Limbah B3. http://majarimagazine.com.
(diakses: 18 Oktober 2009)
top related