29. provinsi sulawesi tenggara - ujp.ucoz.com · melambangkan tanggal 17, buah kapas yang terdiri...
Post on 12-May-2019
264 Views
Preview:
TRANSCRIPT
806 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
PETA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
807 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
A. UMUM
1. Dasar Hukum
Provinsi Sulawesi Tenggara terbentuk berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 1964,
tertanggal 23 September 1964 dengan Ibukota Kendari.
2. Lambang Provinsi
Lambang ini terletak di dalam suatu bentuk perisai lima,
yang menunjukkan bahwa masyarakat Sulawesi Tenggara
dalam segala segi peri hidup dan kehidupan, tetap berada
di dalam Falsafah Negara Republik Indonesia Pancasila.
Pada bagian sebelah utara terdapat tulisan berwarna
merah “Sulawesi Tenggara” yang menunjukkan : inilah
lambang dari Sulawesi Tenggara, lambang mana adalah
menjiwai setiap warga Sulawesi Tenggara di waktu apa dan
di tempat manapun ia berada. Warna merah
melambangkan berani mempertahankan yang hak.
Warna ada empat macam warna sesuai dengan pembagian perisai menunjukkan
bahwa pada waktu dibentuknya Provinsi Sulawesi Tenggara meliputi empat daerah.
• Hijau, adalah pelambang kesuburan, dan warna ini menunjukkan Kabupaten
Kendari. Bahwa di Kabupaten Kendari baik untuk masa kini maupun masa-masa yang
akan datang, cukup banyak tersedia tanah-tanah pertanian yang dapat ditanami
dengan segala macam bahan-bahan makanan dan bahan-bahan kebutuhan pokok
lainnya. Selanjutnya warna hijau ini menunjukkan warna hutan. Kabupten Kendari
cukup banyak hutannya yang menghasilkan berbagai macam kayu-kayuan yang
membutuhkan pengolahan, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun keluar
negeri. Warna hijau melambangkan do’a harapan dan kepercayaan.
• Coklat, adalah menunjukkan tanah berwarna coklat yang mengandung nikel dan
terdapat di Kabupaten Kolaka. Sebagaimana diketahui bahwa nikel adalah
merupakan kebutuhan dunia, dimana nikel yang terdapat di Kabupaten kolaka
mempunyai daerah yang cukup luas serta kadar yang tinggi. Dengan nikel ini,
Sulawesi Tenggara sudah dikenal dengan dunia luar.
• Kuning, adalah menunjukkan warna kayu jati yang terdapat di Kabupaten Muna.
Kayu jati termasuk salah satu jenis kayu yang disenangi di dalam dan di luar negeri.
Melalui kayu jati dari pulau Muna Sulawesi Tenggara di kenal oleh daerah-daerah
lain di Indonesia maupun oleh dunia luar. Warna kuning melambangkan kejayaan
masa silam, sekarang dan masa mendatang, keluhuran yang bijaksana dan cendikia.
• Hitam, adalah menunjukkan warna aspal yang terdapat cukup banyak di Kabupaten
Buton. Aspal Buton ini sudah dikenal sejak dahulu dan telah memberikan andilnya
pada pembangunan tanah air kita khususnya di bidang prasarana jalan. Warna hitam
melambangkan kemantapan, keteguhan dan kekekalan.
Keempat macam warna ini selain melambangkan jumlah kabupaten yang ada di Sulawesi
Tenggara dewasa ini, juga sekaligus menunjukkan potensi yang ada didaerah ini cukup
banyak, yang memberikan jaminan untuk masa depan daerah ini guna tercapainya
kemakmuran dan keadilan yang diidam-idamkan.
29 PROVINSI SULAWESI TENGGARA
808 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
Makna dan pengertian yang dikandung “padi dan kapas” secara nasional telah dikenal
sebagai lambang untuk kemakmuran dan keadilan. Butir padi yang terdiri dari 17 butir,
melambangkan tanggal 17, buah kapas yang terdiri dari 8 buah, melambangkan bulan 8
Agustus, tiap buah kapas dengan kelompok hijau 4 dan biji putih 5 melambangkan tahun
45. Hal ini mengingatkan Hari Proklamasi Negara RI 17 Agustus 1945.
Mata rantai yang disambung menjadi satu yang berjumlah 27 mata rantai merupakan
perlambang persatuan dan kesatuan dari keempat kabupaten di Sulawesi Tenggara,
yang dalam gerak langkah perjuangannya telah mempunyai kesatuan derap dan nada,
yakni pembangunan di segala bidang; hal ini mengingatkan hari kelahiranProvinsi
Sulawesi Tenggara pada tanggal 27 April 1964.
Kepala Anuang, mempunyai dua macam pengertian :
1. Bahwa anuang adalah suatu binatang yang mempunyai ciri khas yaitu : ulet, gesit
dan militan.
2. Bahwa Anuang itu hanya terdapat di Sulawesi Tenggara pada khususnya dan
Sulawesi pada umumnya. Jadi perlambang sebagai ciri spesifik untuk Sulawesi
Tenggara.
Warna putih, yang menjadi dasar dari kepala Anuang menunjukkan kesucian dan
kebersihan, itikad baik secara tulus ikhlas bagi warga Sulawesi Tenggara dalam
melaksanakan pengabdiannya untuk kemajuan daerah dan perkembangan daerah
Sualwesi Tenggara pada khususnya dan Negara Republik Indonesia pada umumnya
warna putih melambangkan kesucian dan bersih tanpa pamrih.
Warna Biru Laut, mempunyai tiga macam pengertian :
• Yang menjadi dasar dari pada Daerah Sulawesi Tenggara ini menunjukkan makna
sebagian dari alam geografisnya terdiri dari gugusan pulau yang dipisahkan oleh laut-
laut yang penuh dengan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
• Bahwa masyarakat Sulawesi Tenggara memiliki jiwa pelaut yang ulung.
• Warna biru laut melambngkan sifat kesetiaan, keluhuran dan kejujuran dalam
pengabdiannya.
3. Pemerintahan
Secara administratif Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri dari 10 Pemerintahan Kabupaten
dan 2 Pemerintahan Kota. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam daftar berikkut ini :
No Kabupaten/Kota Ibu kota
1 Kabupaten Bombana Rumbia
2 Kabupaten Buton Bau-Bau
3 Kabupaten Buton Utara Buranga
4 Kabupaten Kolaka Kolaka
5 Kabupaten Kolaka Utara Lasusua
6 Kabupaten Konawe Unaaha
7 Kabupaten Konawe Selatan Andolo
8 Kabupaten Konawe Utara Wanggudu
9 Kabupaten Muna Raha
10 Kabupaten Wakatobi Wangi-Wangi
809 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
11 Kota Bau-Bau -
12 Kota Kendari -
4. Letak Geografis dan Batas Wilayah
Secara geogafis Sulawesi Tenggara terletak di bagian Selatan khatulistiwa diantara 3° - 6°
Lintang Selatan dan 120° 45’ - 124° 60’ Bujur Timur,dengan batas wilayah sebagai
berikut :
* Sebelah Utara berbatasan dengan Prov. Sulawesi Selatan dan Prov. Sulawesi Tengah
* Sebelah Selatan berbatasan dengan Prov. NTT di Laut Flores
* Sebelah Timur berbatasan dengan Prov. Maluku di Laut Banda
* Sebelah Barat berbatasan dengan Prov. Sulawesi Selatan Di Teluk Bone
(sumber : http://santospalanti.wordpress.com/2008/08/08/peta-sulawesi/)
5. Komposisi Penganut Agama
• Islam = 96,2%
• Kristen = 2,3%
• Hindu = 1,12%
• Budha = 0,38%
6. Bahasa dan suku Bangsa
Bahasa :
• Bahasa Tolaki
• Bahasa Pongana
• Bahasa Walio (buton)
• Bahasa Cia cia
• Bahasa Suai, dan
• Bahasa sehari hari : bahasa Indonesia
Suku Bangsa :
• Suku Buton
• Suku Muna
• Suku Bugis
• Suku Kalisoso
7. Budaya
a. Lagu Daerah : Indo Lugo, Ma Tencong
b. Tarian Tradisional : Tari Umoara, Tari Wosindahako, Tari Mulolo, Tari
Dinggu
c. Senjata Tradisional : keris (sumber : http://syadiashare.com/senjata-
tradisional-indonesia.html)
d. Rumah Tradisional : Rumah Laikas/Malige/Istana Sultan Buton
e. Alat Musik tradisional : Gamelan
f. Makanan khas daerah : Sasate nangka
8. Bandara dan Pelabuhan Laut
Bandara = Wolter Monginsidi
Pelabuhan Laut = pelabuhan Kendari
9. Universitas = Universitas Halu Oleo
10. Industri dan Pertambangan = kelontong, minyak kelapa, nikel, aspal dan kapas.
810 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
B. OBYEK WISATA
1. Obyek Wisata Alam
a. Taman Nasional Wakatobi
Taman Nasional Wakatobi memiliki luas
area sekitar 1.39 juta ha. Taman tersebut
terdiri dari empat pulau besar, yaitu:
Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan
Binongko yang berada di Kabupaten
Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Pada tahun 1994, beberapa orang yang
tergabung dalam tim IPB melakukan
survei di Wakatobi. Dari hasil survei yang
mereka lakukan tersebut terungkap,
bahwa di Wakatobi terdapat
beranekaragam kekayaan alam bawah laut, seperti: terumbu karang dan aneka
binatang laut. Karena memiliki kekayaan alam bawah laut, kawasan tersebut
menyajikan panorama bawah laut yang begitu menawan dan sangat bagus sebagai
tempat kegiatan menyelam.
Setelah mempelajari dengan seksama hasil temuan tim IPB, Menteri Kehutanan
pada tahun 1996 mengeluarkan surat keputusan No.393/Kpts-V/1996 yang
menetapkan Wakatobi sebagai taman nasional.
Taman Nasional Wakatobi begitu istimewa untuk dikunjungi. Di taman ini terdapat
panorama keindahan alam bawah laut. Gugusan terumbu karang dapat dijumpai
sekitar 112 jenis dari 13 famili yang terletak pada 25 titik di sepanjang 600 km garis
pantai. Adapun jenis karang tersebut adalah: Acropora formosa, A. hyacinthus,
Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris yabei, Fungia molucensis,
Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra versifora, Euphyllia glabrescens,
Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton throchelliophorum, dan
Sinularia spp. Di beberapa tempat di sepanjang karang, terdapat beberapa gua
bawah laut yang menambah pesona Taman Nasional Wakatobi.
Di samping keindahan yang disajikan oleh beraneka ragam terumbu karang, taman
tersebut juga memiliki 93 spesies ikan yang berwarna warni. Adapun jenis ikan
tersebut di antaranya adalah: argus bintik (Cephalopholus argus), takhasang (Naso
unicornis), pogo-pogo (Balistoides viridescens), napoleon (Cheilinus undulatus), ikan
merah (Lutjanus biguttatus), baronang (Siganus guttatus), Amphiprion melanopus,
Chaetodon specullum, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus
monostigma, Caesio caerularea. Selain itu, dapat juga dijumpai raja udang erasia
(Alcedo atthis) dan tiga jenis penyu yang sering bertelur di Taman Nasional
Wakatobi, seperti: penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta),
dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea).
Berbagai jenis burung laut melengkapi keindahan Taman Nasional Wakatobi, seperti:
angsa-batu coklat (Sula leucogaster plotus) dan cerek melayu (Charadrius peronii).
Beraneka jenis burung tersebut dapat dilihat dari dekat ketika berkumpul di pulau
Sumber Gambar :
http://thecelebesadventure.files.wordpress.com
811 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
maupun tatkala terbang meliuk-liuk mengikuti nyanyian irama alam, dan sesekali
menukik ke laut untuk berburu ikan.
Bagi para wisatawan yang menyukai keindahan alam bawah laut dapat melakukan
beberapa kegiatan di Taman Nasional Wakatobi, seperti: menyelam, snorkeling dan
berenang untuk melihat gugusan terumbu karang yang indah dan warna warni ikan
yang sedang menari. Taman Nasional Wakatobi terletak di Kabupten Wakatob.
b. Pulau Liwutongkidi
Pulau Liwutongkidi merupakan salah
satu pulau yang terdapat di Kabupaten
Buton. Pulau seluas sekitar 1.000 km
persegi ini memilliki iklim tropis
dengan curah hujan rata-rata 1.000
mm per tahun.
Pulau Liwutongkidi oleh pemerintah
daerah Kabupaten Buton dimasukkan
sebagai salah satu kawasan
pengembangan terpadu BASILIKA
(Batauga, Siompu, Liwutongkidi, dan
Kadatua). Tujuannya adalah untuk mengembangkan objek wisata bahari (bawah
laut) di kabupaten yang kaya dengan aneka wisata baharinya itu. Diharapkan dengan
adanya kawasan BASILIKA, gairah para wistawan untuk berkunjung ke Kabupaten
Buton meningkat.
Walaupun pulau ini tidak begitu besar bila
dibandingkan dengan pulau-pulau lain
yang ada di Kepulaun Buton, pulau ini
mampu memberikan nuansa yang unik
melalui keindahan pantai dan pesona
bawah lautnya. Garis pantai di sepanjang
pulau ini dipenuhi hamparan pasir putih
yang menakjubkan dan nuansanya
menjadi lebih indah ketika berpadu
dengan deburan ombak laut yang
menyisir pasir tersebut.
Di samping itu, kekayaan alam bawah laut yang ada di pulau ini juga menarik untuk
dikunjungi. Keanekaragaman terumbu karang dan biota bawah laut berpadu secara
teratur dalam simponi keindahan panorama alam bawah laut.
Pulau Liwutongkidi terletak di Kecamatan Katadua dan Siompu, Kabupaten Buton
c. Taman Hutan Raya Murhum
Taman Hutan Raya Murhum berada di kawasan pegunungan Nipa-Nipa, Kota
Kendari, Sulawesi Tenggara. Taman tersebut merupakan salah satu dari 16 kawasan
konservasi alam yang terdapat di Sulawesi Tenggara. Luas taman hutan raya ini
sekitar 8.146 ha dan berada pada ketinggian 25-500 m dari permukaan laut (dpl).
Sementara itu, topografinya landai, berbukit, hingga bergunung dengan kondisi
lereng dengan kemiringan 15 sampai 40 %. Sedangkan jenis tanah yang terdapat di
sekitar hutan berupa Podzolik yang berwarna merah kuning.
Sumber Gambar : http://melayuonline.com
Sumber Gambar : http://melayuonline.com
812 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
Pada tanggal 12 Juni 1995, Menteri Kehutanan
menetapkan kawasan Pegunungan Nipa-Nipa
sebagai Taman Hutan Raya Murhum melalui
Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor
289/Kpts-11/95. Sebelum keputusan Menteri
Kehutanan keluar, pada tahun 1993 Gubernur
Sulawesi Tenggara telah menetapkan terlebih
dahulu kawasan Pegunungan Nipa-Nipa sebagai
Taman Hutan Raya Murhum melalui SK Nomor
808 Tahun 1993 tanggal 6 Desember. Sedangkan
untuk nama taman yang sebelumnya bernama
Nipa-Nipa diganti dengan Murhum yang diambil
dari nama Sultan Buton pertama.
Sebelum ditetapkan sebagai taman hutan raya,
dahulunya Pegunungan Nipa-Nipa terdiri dari
beberapa kelompok hutan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Di
antara kelompok hutan tersebut adalah hutan suaka alam dan hutan wisata dengan
luas sekitar 972 ha; hutan produksi terbatas dengan luas sekitar 4.209 ha; dan hutan
produksi tetap dengan luas sekitar 2.965 ha.
Taman Hutan Raya Murhum memiliki beraneka keunikan, mulai dari jenis flora dan
fauna, hingga keindahan alamnya. Aneka jenis flora yang terdapat di dalam taman,
di antaranya tumbuh-tumbuhan kecil, seperti aneka jenis semak, perdu, dan aneka
pohon mulai dari batang yang berdiameter di bawah 10 cm sampai yang lebih besar.
Jenis pohon tersebut, seperti kayu besi (metrosideros petiolata), eha (castanopsis
buruana), bolo-bolo (adenandra celebica), bolo-bolo putih (thea lanceolata), kayu
puta (baringtonia racemosa), parinari sp., pandan tikar (pandanus aurantiacus),
parinari sp, dan berbagai jenis palem (nengelfa sp., pinanga caesia, dan ucuala sp.).
Di samping pohon-pohon tersebut, tumbuh juga beraneka jenis rotan (daemonorops
sp.), seperti rotan batang (calamus zolfingeri), dan rotan lambing (calamus ornatus
var. celebicus).
Di samping aneka flora, Taman Hutan Raya Murhum memiliki aneka satwa (fauna),
di antaranya adalah anoa, rusa, kuskus, musang sulawesi, rangkong, kesturi
sulawesi, elang laut (haliastus leucogaster), dan beraneka jenis kupu-kupu.
Di dalam hutan, terdapat air terjun yang bisa digunakan untuk tempat mandi dan
tidak jauh dari air terjun tersebut terdapat sebuah situs sejarah peninggalan Jepang
berupa benteng pertahanan (bunker) yang di atasnya dilengkapi senjata meriam.
Perpaduan aneka flora, fauna, dan panorama alam nan eksotis ditambah
keberadaan situs sejarah tersebut membuat Taman Hutan Raya Murhum menjadi
daya tarik yang sayang untuk dilewatkan.
Taman Hutan Raya Murhum terletak di Kecamatan Kendari, Kecamatan Mandonga,
Kota Kendari, dan Kecamatan Soropia di Kabupaten Kendari.
Sumber Gambar :
http://img17.imageshack.us
813 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
d. Air Terjun Moramo
Air Terjun Moramo merupakan anugerah
alam yang begitu menakjubkan bagi
masyarakat Kabupaten Konawe Selatan,
Sulawesi Tenggara. Air Terjun Moramo
memiliki tujuh tingkatan yang merupakan
tempat air mengalir dengan bebas. Menurut
cerita yang berkembang di dalam
masyarakat, tempat tersebut dipercaya
sebagai tempat mandinya para bidadari
yang turun dari kayangan.
Secara geografis, Air Terjun Moramo
terletak di kawasan Hutan Suaka Alam
Tanjung Peropa yang juga merupakan objek
wisata sekaligus sebagai area hutan lindung
di Sulawesi Tenggara. Sehingga, udara di
sekitar air terjun terasa sejuk serta
menghadirkan suasana tentram bagi para
wisatawan.
Di kawasan air terjun ini, terdapat potensi kekayaan batu alam berupa marmer.
Diperkirakan, kandungan marmer tersebut secara keseluruhan berkisar 860 milyar
meter kubik. Dan, marmer di kawasan ini merupakan salah satu sumber cadangan
marmer terbesar di dunia.
Air Terjun Moramo merupakan air terjun bertingkat (cascade) yang indah dengan
ketinggian sekitar 100 meter. Dari ketinggian tersebut, air mengalir melewati tujuh
tingkatan utama. Di samping 7 tingkatan utama tersebut, terdapat juga 60 tingkatan
kecil yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penampungan air (semacam kolam
air). Dari sekian banyak kolam tersebut, hanya satu yang dapat dimanfaatkan untuk
berenang, yaitu kolam yang terletak di tingkat kedua dari 7 tingkatan utama air
terjun tersebut.
Di kawasan tersebut merupakan habitat yang ideal bagi beraneka burung, kupu-
kupu yang berwarna-warni, dan berbagai satwa lainnya. Keindahan panorama alam,
air terjun, kicauan burung yang bersahutan dan berpadu dengan tarian kupu-kupu
beraneka warna-warni, menjadi daya tarik kawasan Air Terjun Moramo.
Daya pikat yang tidak kalah menariknya dari air terjun ini adalah pesona bebatuan
yang membentuk tingkatan. Bebatuan yang membentuk tingkatan tersebut tidak
licin meski dialiri air secara terus menerus, sehingga para wisatawan yang
berkunjung ke lokasi tersebut dapat mendaki sampai ke puncak.
Di samping itu, bebatuan tersebut juga memberi pesona yang menakjubkan ketika
tersentuh oleh sinar mentari. Bebatuan tersebut akan memancarkan kilauan warna-
warni yang didominasi oleh warna hijau yang begitu indah. Warna-warni tersebut
juga terlihat seperti menari-nari ketika dibuai lembut oleh riak gelombang air ketika
sinar mentari menyentuh bebatuan yang berada di dasar kolam tempat berhentinya
air.
Sumber Gambar : http://www.kidnesia.com
814 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
Air Terjun Moramo terletak di Kawasan Suaka Alam Tanjung Peropa atau tepatnya di
Desa Sumber Sari, Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan.
e. Hutan Lambusango
Hutan Lambusango merupakan salah
satu hutan lindung yang terdapat di
Sulawesi Tenggara dengan luas 65.000
ha. Hutan ini secara geografis terletak
pada 05°13‘ - 05°24‘ Lintang Selatan (LS)
dan 122°47‘ - 122°56‘ Bujur Timur (BT)
dengan ketinggian antara 5 m sampai
300 m dari permukaan laut (dpl). Hutan
ini memiliki topografi alam datar hingga
berbukit dengan curah hujan yang turun
per tahun rata-rata berkisar 1.980 mm,
suhu udara berkisar di antara 20°C
hingga 34°C serta kelembapan sekitar
80%.
Pada tahun 1982, melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor
639/Kpts/9/Um/1982 tertanggal 1 September 1982, kawasan Hutan Lambusango
ditetapkan sebagai hutan lindung. Keputusan tersebut mengatur kawasan hutan ini
untuk dikelola sebagai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti konservasi alam dan penelitian
hutan. Melalui surat keputusan itu juga, kawasan Hutan Lambusango dibagi ke
dalam 3 wilayah, yaitu Suaka Margasatwa dengan luas area sekitar 28.510 ha; Cagar
Alam Kakenauwe dengan luas sekitar 810 ha; dan Kawasan Hutan Lindung dan
Produksi yang terletak di sekitar kawasan konservasi hutan dengan luas area sekitar
35.000 ha. Semenjak tahun 1984, oleh pemerintah setempat kawasan Hutan
Lambusango dipercayakan pengelolaannya pada Resort KSDA (Konservasi Sumber
Daya Alam) Lambusango yang ditugaskan untuk menjaga kelestarian hutan serta
melakukan upaya konservasi pada area yang dipergunakan untuk hutan produksi.
Hutan Lambusango terletak di Kecamatan Kapontori, Lasalimu, dan Pasarwajo,
Kabupaten Buton.
f. Taman nasiional Rawa Aopa
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai
terletak di antara 4022‘—4039‘ LS dan 12104‘
BT dengan luas wilayah sekitar 105.194 ha.
Secara administratif, taman nasional ini masuk
ke dalam wilayah di beberapa kabupaten dan
satu kota, antara lain di Kota Kendari, seluas
46.764 ha (Kecamatan Lambuya dan
Tinanggea), di Kabupaten Kolaka seluas
12.825 ha (Kecamatan Ladoni dan Tirawuta),
dan di Kabupaten Buton seluas 46.605 ha
(Kecamatan Rumbia).
Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ditetapkan sebagai taman nasional
kelompok hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 756/Kpts-11/90 pada
tanggal 17 Desember 1990. Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, Rawa Aopa
Sumber Gambar : http://3.bp.blogspot.com
Sumber Gambar : http://wisatamelayu.com
815 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
Watumohai terdiri dari beberapa kelompok hutan, di antaranya Taman Buru Gunung
Watumohai seluas 50.000 ha (SK Menteri Pertanian No. 648/Kpts/Um/10/1976
tanggal 15 Oktober 1976), dan Suaka Margasatwa Rawa Aopa seluas 55.560 ha (SK
Menteri Kehutanan No. 138/Kpts-11/1985 tanggal 11 Juni 1985). Taman Nasional
Rawa Aopa Watumohai terdiri dari tipe ekosistem hutan hujan pegunungan rendah,
hutan bakau, hutan pantai, savana dan hutan rawa air tawar.
Letak Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai terbagi ke dalam 2 wilayah kabupaten
dan 1 kota, yaitu Kota Kendari, Kabupaten Buton.
g. Linang (goa) Kobori
Liang Kobori adalah nama lain dari Gua
Kobori, peninggalan nenek moyang
masyarakat suku Muna. Nama liang
kobori berasal dari bahasa Muna yang
berarti “Gua tulis”. Penamaan ini cukup
tepat karena di sepanjang dinding di
dalam gua, terdapat aneka lukisan yang
berjejer rapi.
Diperkirakan, lukisan yang terdapat di
dalam gua ini sudah berumur ratusan
tahun. Perkiraan tersebut, didukung oleh temuan seorang peneliti dari Jerman yang
pernah melakukan penelitian di lokasi Liang Kobori. Peneliti tersebut
mengungkapkan, lukisan yang terpahat indah itu berasal dari zaman prasejarah atau
sekitar 4.000 tahun silam.
Liang Kobori memiliki lebar 30 meter, tinggi antara 2 sampai 5 meter, dan
kedalaman di bawah tanah sekitar 50 meter. Liang Kobori tersusun dari bebatuan
stalaktit dan stalagmit yang berwarna kehitam-hitaman. Liang Kobori terletak di
Desa Mabolu, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna.
h. Pantai Nambo
Pantai Nambo berada di Sulawesi Tenggara,
tepatnya 12 km sebelah selatan Kota
Kendari. Pantai ini menjadi salah satu obyek
wisata favorit di Provinsi Sulawesi Tenggara
yang banyak dikunjungi oleh para pelancong
terutama pada hari-hari libur.
Melihat animo yang tinggi dari para
wisatawan untuk bertamasya ke Pantai
Nambo, maka Pemerintah Kota Kendari
melakukan beberapa pembenahan pada
pantai tersebut. Pembenahan mulai dilakukan dengan membangun beberapa
fasilitas penunjang, seperti area parkir, gazebo, dan kamar mandi guna memberikan
kenyamanan bagi para pengunjung. Ke depan, pantai ini diproyeksikan menjadi
salah satu wisata andalan di kota tersebut.
Pantai Nambo memiliki panorama pasir putih nan halus di sepanjang bibir pantai.
Dengan kondisi yang cukup landai, para turis dapat bertamasya sembari bermain
Sumber Gambar : http://www.radarbuton.com
Sumber Gambar : http://wisatamelayu.com
816 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
pasir, berlari, berkejaran sembari menyongsong datangnya air laut yang
menghempas ke bibir pantai.
Barisan pohon nyiur yang berdiri rapi di sepanjang bibir pantai melengkapi
keindahan panorama pantai ini. pohon-pohon ini juga bisa menjadi tempat
berlindung bagi para wisatawan di kala terik mentari menerpa pantai. Untuk
mengobati rasa dahaga, para pelancong dapat membeli kelapa muda yang dijajakan
oleh para pedagang di tempat ini. Bagi para wisatawan yang ingin menikmati
suasana pantai yang lebih tenang, alangkah baiknya datang pada sore hari
menjelang matahari tenggelam.
Selain menikmati wisata alamnya, para wisatawan juga dapat menyaksikan
langsung aktivitas nelayan suku Bajo yang bermukim tidak begitu jauh dari pantai
tersebut. Para pelancong dapat menyaksikan aktivitas mereka, seperti mencari ikan,
berlayar, dan lain-lain.
Pantai Nambo terletak di Kelurahan Nambo, Kecamatan Abeli, Kota Kendari.
i. Danau Napabale
Danau Napabale merupakan danau air asin
yang terletak di kaki bukit Desa Lohia,
Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Danau ini bersebelahan dengan laut yang
dihubungkan oleh terowongan alam
sepanjang 30 meter dengan lebar 9 meter.
Melalui terowongan tersebut, Danau
Napabale memperoleh suplai air dari laut.
Jumlah debit air danau ini sangat
tergantung dengan pasang surutnya air
laut. Jika air laut pasang, maka permukaan danau ikut naik dan terowongan
penghubung akan tertutup oleh air. Tetapi, jika air laut surut, maka air danau ikut
berkurang. Terowongan itu juga sering digunakan oleh para nelayan sebagai jalur
ketika akan berangkat atau pulang dari melaut.
Konon, pada abad kelima belas, menurut cerita yang berkembang pada masyarakat
setempat, pernah ditemukan seorang gadis cantik yang terdampar di dalam
terowongan tanpa diketahui asal usulnya. Penemuan tersebut, oleh masyarakat
dilaporkan kepada raja Kerajaan Muna. Kecantikan dan keelokan paras gadis
tersebut membuat raja terpesona dan jatuh hati. Oleh sang raja, gadis yang baru
ditemukan itu kemudian didaulat sebagai permaisuri.
Mengunjungi Danau Napabale, para wisatawan dapat menikmati dua pesona wisata
alam sekaligus, yaitu danau dan pantai. Keindahan danau bisa dinikmati sembari
belayar di atas sampan atau dengan menyelam sembari menyaksikan pemandangan
bawah air yang menakjubkan (snorkeling). Sekiranya tidak bisa mengayuh sampan
sendirian, wisatawan dapat minta bantuan pada nelayan agar mengantar dengan
samapan hingga ke tengah danau, di mana terdapat sebuah pulau karang yang
menghijau ditumbuhi pepohonan.
Jika sudah puas dengan suasana danau, para wisatawan dapat menyeberang
melewati terowongan menuju tepi pantai. Di pantai tersebut para wisatawan dapat
bersantai, bermain ombak, atau berjemur di tepi pantai. Akan tetapi,
Sumber Gambar : http://wisatamelayu.com
817 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
penyeberangan melalui terowongan akan sulit dilakukan jika air laut sedang pasang.
Sebab, pada saat itu terowongan yang menjadi penghubung antara laut dan danau
tertutup air.
Sekiranya tertarik dengan wisata pendidikan, para wisatawan dapat meneliti aneka
bebatuan pada terowongan yang telah berumur ratusan tahun. Pada beberapa
bagian di dalam terowongan tersebut terdapat aneka jenis stalaktik. Selain itu, para
wisatawan dapat pula menyaksikan aneka lukisan karang yang terbentuk indah
karena proses bentukan alam.
Danau Napabale terletak di Desa Lohia, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna.
2. Obyek Wisata Sejarah
a. Benteng Keraton Buton
Benteng Keraton Buton merupakan salah
satu objek wisata bersejarah di Kota Bau-
bau Sulawesi Tenggara. Benteng
peninggalan Kesultanan Buton tersebut
dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Buton
III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan
Kaimuddin (1591-1596). Pada awalnya,
benteng tersebut hanya dibangun dalam
bentuk tumpukan batu yang disusun
mengelilingi komplek istana dengan tujuan
untuk mambuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan
masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan. Pada masa pemerintahan Sultan
Buton IV yang bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin, benteng berupa
tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen.
Pada masa kejayaan pemerintahan Kesultanan Buton, keberadan Benteng Keraton
Buton memberi pengaruh besar terhadap eksistensi Kerajaan. Dalam kurun waktu
lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman
musuh.
Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia
(MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan september 2006 sebagai
benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektar.
Di samping itu, benteng tersebut memiliki panjang (keliling) sekitar 2.740 meter,
tinggi bangunan antara 2 sampai 3 meter, ketebalan antara 1,5 sampai 2 meter. Di
sepanjang benteng terdapat 12 pintu (lawa) masuk dan keluar yang berfungsi
menghubungkan komplek istana dengan perkampungan masyarakat. Adapun nana-
nama pintu tersebut adalah Lawana Rakia, Lawana Lanto, Lawana Labunta, Lawana
Kampebuni, Lawana Waborobo, Lawana Dete, Lawana Kalau, Lawana Bajo/Bariya,
Lawana Burukene/Tanailandu, Lawana Melai/Baau, Lawana Lantongau, dan Lawana
Gundu-gundu.
Di setiap pintu benteng dapat dijumpai puluhan meriam yang masih terawat secara
baik. Meriam-meriam tersebut terletak berjejeran di sisi kiri dan kanan pada masing-
Sumber Gambar : http://wisatamelayu.com
818 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
masing pintu. Pada masa perang melawan penjajah, meriam tersebut dipergunakan
oleh tentara kerajaan untuk menghalau musuh.
Di samping itu, keistimewaan Benteng Keraton Buton juga bisa dilihat pada
ketahanan bangunannya. Sampai saat ini benteng tersebut masih berdiri dengan
kokoh walau zaman telah silih berganti menghampirinya. Hal tersebut tidak bisa
lepas dari struktur bangunan, bahan yang berkualitas dan perekat yang terbuat dari
campuran putih telur, kapur dan agar-agar.
Benteng Keraton Buton terdapat di Kelurahan Melai, Kecamatan Betoambari, Kota
Bau-bau.
b. Masjid Buton
Masjid Buton pertama kali didirikan pada
tahun 1538 M. Tidak lama berselang,
masjid ini terbakar akibat perang saudara
yang terjadi di Kesultanan Buton dalam
perebutan kekuasaan. Pembangunan
masjid tersebut baru dimulai lagi pada
tahun 1712 M dengan lokasi yang tidak
begitu jauh dari tempat semula.
Sejarah pembangunan kembali Masjid
Buton menjadi tonggak perdamaian dalam
perang saudara di Kesultanan Buton. Kisahnya berawal dari pengalaman gaib salah
seorang ulama yang tinggal di dalam Benteng Keraton Wolio yang bernama Syarif
Muhammad. Ia mendengar suara azan dari sebuah tempat yang ada di sekitar
keraton, maka kemudian ia mencari suara gaib tersebut. Setelah menelusuri sekian
lama, ia menemukan suara azan itu berasal dari sebuah lubang yang terdapat di
bukit di samping keraton. Berhubung hari itu adalah hari Jum‘at, Syarif Muhammad
mengajak masyarakat untuk melaksanakan shalat berjamaah di tempat tersebut. Ia
memanfaatkan momen tersebut dengan mengajak semua pihak yang sedang
bertikai untuk berdamai. Kemudian Sultan Sakiudin Darul Alam, sebagai Sultan
Buton, berinisiatif untuk membangun kembali masjid yang sudah terbakar di lokasi
sumber suara azan ditemukan.
Pada tahun 1930, di masa Sultan Hamidi (sultan ke-37), masjid ini untuk kali pertama
direnovasi. Struktur asli bangunan tetap dipertahankan dan hanya mengganti
sebagian rangka kayu, karena sudah lapuk dimakan usia. Sedangkan atap yang
semula menggunakan atap rumbia diganti dengan seng.
c. Istana Malige
Dalam sejarah Kesultanan Buton, tercatat
ada sekitar 38 istana yang umumnya dibuat
dalam bentuk rumah panggung bersusun
tiga. Pembangunan tiap istana tidak terlepas
dari tradisi yang berkembang dalam
Kesultanan Buton, di mana istana yang akan
ditempati oleh sultan yang hendak naik tahta
dibangun sendiri oleh sultan tersebut
dengan dibantu oleh sanak keluarganya.
Sumber Gambar : http://wisatamelayu.com
Sumber Gambar : http://wisatamelayu.com
819 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
Sehingga, sampai berakhirnya dinasti Kesultanan Buton, tercatat sudah berdiri istana
sebanyak itu.
Sampai saat ini, sebagian dari istana-istana yang terletak di dalam Benteng Keraton
Buton tersebut masih dapat dijumpai. Sementara, sebagian yang lain sudah ada
yang rubuh karena dimakan usia. Untuk menjaga warisan sejarah tersebut,
Pemerintah Kota Bau-Bau menetapkan kompleks istana Buton sebagai warisan
sejarah dan beberapa di antaranya dijadikan sebagai museum untuk menyimpan
koleksi benda-benda bersejarah peninggalan Kesultanan Buton. Salah satu istana
yang terkenal adalah Istana Malige. Dahulu kala, istana tersebut dihuni oleh Sultan
Buton ke-37 yang bernama La Ode Hamidi.
Keunikan Istana Malige terletak pada struktur bangunan dan tata ruangannya. Istana
tersebut terdiri dari 4 lantai yang dahulunya digunakan oleh Sultan La Ode Hamidi
sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal keluarganya. Lantai pertama yang
terdiri dari 7 petak/ruangan dipergunakan untuk tempat menerima tamu, tempat
sidang petinggi kesultanan, kamar tidur tamu, kamar anak sultan yang sudah
berkeluarga, ruang makan tamu, dan lain-lain. Lantai kedua dibagi menjadi 14 buah
kamar, 7 kamar di sisi sebelah kanan dan 7 kamar di sisi sebelah kiri. Kamar-kamar
tersebut dipergunakan untuk berbagai kepentingan, seperti kamar tidur keluarga,
kantor sultan, dan gudang. Lantai ketiga dipergunakan sebagai tempat istirahat dan
bersantai keluarga. Sedangkan lantai terakhir atau lantai keempat dipergunakan
untuk mengeringkan pakaian keluarga kerajaan.
Setelah ditetapkan sebagai warisan sejarah, Istana Malige oleh pemerintah
setempat dipergunakan sebagai museum guna menyimpan benda-benda bersejarah
peninggalan Kesultanan Buton, seperti meriam kuno dan benda-benda peninggalan
sultan Buton lainnya.
Istana Malige terdapat di Kelurahan Batuulo, Kota Bau-Bau.
3. Wisata Budaya
a. Upacara Pasuo
Tradisi Upacara Posuo yang berkembang di
Sulawesi Tenggara (Buton) sudah berlangsung
sejak zaman Kesultanan Buton. Upacara Posuo
diadakan sebagai sarana untuk peralihan status
seorang gadis dari remaja (labuabua) menjadi
dewasa (kalambe), serta untuk mempersiapkan
mentalnya.
Upacara tersebut dilaksanakan selama delapan
hari delapan malam dalam ruangan khusus yang
oleh mayarakat setempat disebut dengan suo. Selama dikurung di suo, para peserta
dijauhkan dari pengaruh dunia luar, baik dari keluarga maupun lingkungan
sekitarnya. Para peserta hanya boleh berhubungan dengan bhisa (pemimpin
Upacara Posuo) yang telah ditunjuk oleh pemangku adat setempat. Para bhisa akan
membimbing dan memberi petuah berupa pesan moral, spiritual, dan pengetahun
membina keluarga yang baik kepada para peserta.
Sumber Gambar :
http://wisatamelayu.com
820 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
Dalam perkembangan masyarakat Buton, ada 3 jenis Posuo yang mereka kenal dan
sampai saat ini upacara tersebut masih berkembang. Pertama, Posuo Wolio,
merupakan tradisi Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua,
Posuo Johoro yang berasal dari Johor-Melayu (Malaysia) dan ketiga, Posuo Arabu
yang berkembang setelah Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil
modifikasi nilai-nilai Posuo Wolio dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo ini
diadaptasi oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu, seorang ulama besar Buton yang hidup
pada pertengahan abad XIX yang menjabat sebagai Kenipulu di Kesultanan Buton di
bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX Muhammad Aydrus Qaimuddin. Tradisi
Posuo Arabu inilah yang masih sering dilaksanakan oleh masyarakat Buton.
b. Tari Lulo
Tari Lulo adalah tarian masyarakat
Tolaki di Sulawesi Tenggara. Pada
awalnya, tari ini diadakan dalam
rangka pesta perkawinan, syukuran
panen, dan acara-acara khusus
lainnya. Tujuannya adalah sebagai
sarana untuk mempererat tali
silaturahmi dan tidak jarang juga
dimanfaatkan sebagai ajang untuk
mencari jodoh. Namun pada
perkembangannya, tarian ini juga
diadakan ketika ada pejabat atau
tamu penting yang datang
berkunjung ke Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam tarian ini, dihadirkan penari-penari
cantik yang mendampingi sekaligus membimbing para pejabat atau tamu penting
untuk ikut serta menari.
Dahulu kala, ketika Tari Lulo menjadi sarana untuk mencari jodoh, terdapat tata atur
yang sangat ketat. Ketika akan masuk ke dalam arena tarian misalnya, para penari
harus masuk dari depan dan tidak diperbolehkan masuk dari belakang. Selain itu,
ketika akan mengajak calon pasangan untuk menari, terutama pasangan pria yang
mencari pasangan wanita, hendaknya mencari wanita yang sedang berpasangan
dengan wanita. Jadi, seorang pria tidak diperbolehkan mengajak seorang wanita
yang sudah berpasangan dengan pria lain. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak
terjadi kesalahpahaman ketika tarian berlangsung.
Ada juga aturan lain yang cukup menarik untuk diketahui, seperti ketika terjadi
penolakan dari calon pasangan. Apabila seorang pria yang mencari pasangan ditolak
oleh si wanita, maka pria tersebut dikenai denda adat, yaitu seekor kerbau ditambah
dua lembar sarung (toloa). Akan tetapi, denda ini tidak berlaku sebaliknya kepada
pihak wanita. Seiring perjalanan waktu, tata atur yang berlaku dalam tarian ini sudah
mulai ditinggalkan.
Sumber Gambar : http://wisatamelayu.com
821 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
c. Aduan Kuda
Aduan Kuda merupakan salah satu olahraga
tradisional yang terkenal di Sulawesi
Tenggara, tepatnya di Kabupaten Muna dan
telah menjadi tontonan yang menarik bagi
masyarakat luas. Di kalangan masyarakat
Muna, atraksi ini populer dengan sebutan
pogeraha adara, yang berarti ‘adu kekuatan
kuda‘. Atraksi aduan kuda memiliki nilai
filosofi yang berkaitan dengan keutamaan
hak dan harga diri dalam melaksanakan
tanggung jawab. Masyarakat suku Muna
akan berupaya sekuat tenaga dalam
menjaga hak dan harga dirinya, walaupun nyawa taruhannya. Sampai sekarang,
filosofi tersebut tetap menjadi pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
suku Muna.
Atraksi adu kuda ini merupakan warisan dari kerajaan Muna di era kejayaannya.
Pada awalnya, aduan kuda ditampilkan pada saat raja-raja di Kerajaan Muna
kedatangan tamu penting dari luar daerah, seperti dari pulau Jawa atau dari daerah
lain. Untuk menghibur para tamu tersebut, maka diadakanlah atraksi aduan kuda
yang kemudian menjadi tradisi turun-temurun. Setelah kerajaan runtuh, tradisi
aduan kuda tetap berkembang, bahkan saat ini menjadi salah satu tradisi unggulan
masyarakat suku Muna.
Setiap tahun setidaknya tiga kali diadakan atraksi aduan kuda, yaitu pada peringatan
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan dua hari raya (Idulfitri dan Iduladha).
Biasanya, aduan tersebut selalu ramai ditonton oleh masyarakat. Pada perayaan
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, penontonnya bisa mencapai ribuan yang
datang dari berbagai daerah.
4. Wisata Minat Khusus
a. Pusat Kerajinan Perak
Pusat kerajinan perak yang membuat beraneka
jenis perhiasan di Kota Kendari ini oleh
masyarakat setempat dikenal juga dengan
sebutan “Kendari Werek”. Rata-rata aneka jenis
perhiasan yang dibuat ialah aneka perhiasan
yang biasa dipakai perempuan untuk menghadiri
acara-acara adat masyarakat Sulawesi Tenggara.
Kerajinan tersebut sudah berkembang semenjak
Indonesia masih di bawah jajahan pemerintah
kolonial. Para pengrajin perak generasi pertama
yang mengembangkan usahanya di Kota Kendari, yang dipimpin oleh Jie A Woi,
berasal dari Provinsi Kwang Tong, Cina. Jie A Woi mengembangkan usaha ini karena
terinspirasi oleh seekor laba-laba yang sedang membuat sarangnya. Ia kemudian
melakukan cara yang sama dalam menciptakan aneka jenis perhiasan perak.
Sumber Gambar : http://wisatamelayu.com
Sumber Gambar :
http://wisatamelayu.com
822 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
Dalam perkembangannya, terutama setelah Indonesia merdeka, kerajinan perak
yang ada di kota tersebut tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan
berindikasi pada kelesuan usaha. Saat ini, kerajinan perak tersebut lebih banyak
berkembang di lingkungan Dewan Kerajinan Kendari saja, yang tetap setia menjaga
kelestarian kerajinan perak. Hal itu dilakukan untuk menj aga aset daerah Sulawesi
Tenggara tersebut tetap lestari dan tidak hilang ditelan zaman.
b. Kerajinan Gembol
Kerajinan gembol oleh masyarakat Kendari
juga dikenal sebagai kerajinan “tumor kayu”.
Hal ini karena bahan dasar untuk kerajinan
tersebut diambil dari akar kayu yang
menyerupai benjolan tumor (penyakit) pada
manusia. Bahan-bahan tersebut biasanya
didapat dari beraneka pohon besar yang
tumbuh di daerah Sulawesi Tenggara.
Kerajinan gembol yang berkembang di Kota
Kendari, pertama kali diperkenalkan oleh
tentara Jepang ketika menguasai Provinsi
Sulawesi Tenggara. Mereka melihat provinsi
tersebut memiliki cadangan kayu yang
banyak dengan jenis kayu yang bervariasi,
seperti kayu jati, meranti, tolinti, cendana,
dan beropa. Hal tersebut menjadi inspirasi
bagi tentara Jepang untuk mengolahnya
menjadi aneka bentuk kerajinan. Sampai saat ini, masyarakat Kota Kendari masih
memproduksi kerajinan warisan Jepang tersebut, bahkan produksinya berkembang
cukup pesat.
Oleh karena keunikan kerajinan tersebut, apresiasi terhadap kerajinan gembol
mengalir dari berbagai daerah. Para konsumen biasanya datang dari berbagai
tempat, baik yang berasal dari masyarakat Sulawesi Tenggara sendiri maupun dari
luar daerah. Bahkan, permintaan terhadap hasil kerajinan gembol ada juga yang
datang langsung dari masyarakat mancanegara, seperti Jepang, Korea, negara-
negara di Timur Tengah, dan beberapa negara di Benua Eropa. Sehingga, hasil karya
para pengrajin gembol yang terdapat di Kota Kendari boleh dibilang sudah mampu
menembus pasar global.
c. Layang-layang Tradisional Kaghati
Layang-layang Kaghati adalah layang-
layang tradisional masyarakat suku
Muna yang sudah ada semenjak
zaman purba. Hal ini dapat diketahui
dari hasil temuan peneliti Jerman
yang meneliti peninggalan prasejarah
di situs Liang Kobori. Di dalam liang
(gua) tersebut, terdapat lukisan-
lukisan yang menunjukkan aktivitas
suku Muna purba yang sedang
Sumber Gambar :
http://wisatamelayu.com
Sumber gambar : http://wisatamelayu.com
823 Kepariwisataan Sulawesi Tenggara
menjalankan ritual menggunakan media layang-layang.
Konon, masyarakat suku Muna purba menyembah api yang dipercaya sebagai
manifestasi Tuhan dan mereka meyakini sumber utama api terletak pada matahari.
Untuk mencapainya, dilakukanlah ritual menerbangkan layang-layang Kaghati
selama tujuh hari. Tepat pada hari ketujuh, tali layang-layang diputus agar dapat
terbang menuju langit tempat Tuhan mereka (matahari) berada. Layang-layang yang
lepas tersebut, diyakini akan memberi perlindungan bagi masyarakat suku Muna
dari siksa api neraka setelah mereka meninggal.
Setelah agama Islam masuk ke Muna, ritual tersebut sudah tidak dilaksanakan lagi,
karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama. Namun, masyarakat
setempat masih menerbangkan Kaghati sebagai media hiburan dan ada juga yang
dipakai untuk menjaga sawah atau ladang mereka dari serangan hama burung dan
babi hutan. Layang-layang tersebut dapat mengeluarkan bunyi, sehingga membuat
burung dan babi menjadi takut.
Dalam perkembangannya, layang-layang Kaghati kerap kali diikutkan pada
perlombaan tingkat nasional maupun internasional. Pada tahun 1996 dan 1997,
layang-layang Kaghati mendapat penghargaan dari kalangan pecinta layang-layang,
baik di tingkat nasional maupun internasional, sebagai layang-layang yang paling
alami yang masih ada. Meskipun cukup dikenal di antara pecinta layang-layang,
namun sayangnya perlombaan khusus layang-layang Kaghati belum ada sampai
sekarang.
top related