2.1 karakteristik tanaman cabai besar ii.pdf · kandungan kalium dan fosfor yang tinggi pada cabai...
Post on 20-May-2018
237 Views
Preview:
TRANSCRIPT
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karakteristik Tanaman Cabai Besar
Tanaman cabai besar (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman perdu
semusim yang tergolong ke dalam suku terong-terongan. Tanaman ini berasal dari
Amerika tropis seperti Meksiko dan Brazil kemudian menyebar ke berbagai
negara tropis lainnya termasuk Indonesia. Cabai besar dapat tumbuh antara 1 m
s.d. 1,25 m dengan panjang daun mencapai 12 cm dengan lebar antara satu
centimeter sampai lima centimeter. Bunga tanaman menyerupai terompet
berbentuk bintang dengan warna putih yang keluar dari ketiak daun. Buahnya
berbentuk kerucut memanjang dengan permukaan mengkilap dan panjang buah
mincapai hingga 17 cm. Buah yang masih muda berwarna hijau kemudian setelah
matang akan berubah menjadi merah cerah. Menurut Rahmat (1994 dalam
Triwidiyaningsih, 2011), klasifikasi tanaman cabai adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Diviso : Spermatophyta
Sub diviso : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Sub Kelas : Metachlamidae
Ordo : Tubiflorae
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annum L.
Kondisi yang dikehendaki dalam budidaya cabai besar meliputi suhu,
ketinggian tempat, dan jenis tanah. Suhu yang ideal untuk budidaya cabai adalah
24 0C s.d. 28
0C. Pada suhu tertentu seperti 15
0C dan lebih dari 32
0C akan
9
10
menghasilkan buah cabai yang kurang baik. Penyinaran yang dibutuhkan adalah
penyinaran secara penuh dengan curah hujan yang dikehendaki yaitu 800 mm s.d.
2.000 mm per tahun (Tjahjadi, 1991 dalam Nurfalach, 2010). Ketinggian tempat
yang dikehendaki untuk penanaman cabai berkisar antara 0 m s.d. 1.400 m di atas
permukaan laut, sehingga cabai dapat ditanam pada dataran rendah hingga dataran
tinggi. Tanaman cabai dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada berbagai
jenis tanah, mulai dari tanah berpasir hingga tanah liat. Pertumbuhan tanaman
cabai akan optimal jika ditanam pada tanah dengan pH 6 s.d. 7 (Harpenas, 2010
dalam Nurfalach, 2010).
Cabai besar merupakan salah satu komoditi pertanian yang dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari. Buah cabai besar mengandung senyawa-senyawa
serta gizi yang sangat berguna bagi tubuh. Beberapa kandungan senyawa dalam
buah cabai besar adalah sebagai berikut.
Tabel 2.1
Kandungan Senyawa Kimia dalam 100 g Cabai Besar Segar
Senyawa Kandungan
Kalori (kal) 31,00
Protein (g) 1,00
Lemak (g) 0,30
Karbohidrat (g) 7,30
Kalsium (mg) 29,00
Fosfor (mg) 24,00
Serat (g) 0,30
Zat Besi (mg) 0,50
Vitamin A (SI) 470,00
Vitamin B1 (mg) 0,05
Vitamin B2 (mg) 0,03
Vitamin C (mg) 18,00
Niasin (mg) 0,20
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1981 dalam Hasrayanti, 2013)
11
Cabai besar sangat bermanfaat bagi kesehatan terutama bagi sirkulasi
darah ke jantung dan sebagai analgesik untuk kejang otot dan rematik. Cabai
mengandung vitamin A dan Vitamin C yang mengandung beta karoten yang
berguna menangkal dampak radikal bebas. Kandungan kalium dan fosfor yang
tinggi pada cabai dapat membantu pertumbuhan tulang dan sel baru. Cabai juga
mampu memperlancar sekresi asam lambung dan mencegah infeksi pada sistem
pencernaan. Banyaknya manfaat cabai bagi kesehatan membuat tanaman ini
banyak digunakan sebagai bahan baku industri obat-obatan (Hasrayanti, 2013).
2.2 Teknologi Budidaya Cabai Besar
Beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan usahatani cabai
besar antara lain sebagai berikut.
1. Pengadaan bibit
Pengadaan bibit dapat dilakukan dengan dua cara, yakni membuat sendiri atau
membeli bibit yang telah siap tanam. Pengadaan bibit dengan cara menbeli
akan lebih praktis, sedangkan pengadaan bibit dengan cara membuat sendiri
memerlukan perhatian khusus dan mutunya belum tentu terjamin bagus.
Anjuran penggunaan benih per hektar dalam budidaya cabai besar berkisar
antara 150 g s.d. 300 g atau sekitar 10.000 sampai dengan 20.000 pohon per
hektar (Cahyono, 2003 dalam Nurfalach, 2010).
2. Pengolahan tanah
Pengolahan tanah diperlukan agar tanah-tanah yang padat bisa menjadi
longgar, sehingga pertukaran udara di dalam tanah menjadi baik, gas-gas
oksigen dapat masuk ke dalam tanah, gas-gas yang meracuni akar tanaman
dapat teroksidasi, dan asam-asam dapat keluar dari tanah. Selain itu, dengan
12
longgarnya tanah maka akar tanaman dapat bergerak dengan bebas meyerap
zat-zat makanan di dalamnya (Nurfalach, 2010).
3. Penanaman
Cabai ditanam dengan pola segitiga, jarak tanamnya adalah 50 cm s.d. 60 cm
dari lubang satu ke lubang lainnya. Jarak antar barisan berkisar antara 60 cm
s.d. 70 cm. Kedalaman lubang tanam dibuat antara 8 cm s.d. 10 cm dengan
diameter lubang sesuai ukuran polibag bibit cabai. Bibit cabai yang siap
dipindah ke areal tanam adalah yang telah berumur 15 hari s.d. 17 hari atau
telah memiliki tiga sampai empat helai daun. Penanaman sebaiknya dilakukan
pada sore hari untuk mengurangi paparan sinar matahari berlebih terhadap bibit
yang baru ditanam (Dermawan, 2010 dalam Nurfalach, 2010).
4. Pemeliharaan tanaman
Menurut Hewindati (2006 dalam Nurfalach, 2010), bibit cabai yang telah
ditanam harus selalu dipelihara agar dapat tumbuh dengan baik. Beberapa
macam pemeliharaan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.
a. Penyulaman, yakni kegiatan mengganti bibit yang rusak dengan bibit yang
baru agar jumlah tanaman tetap terjaga.
b. Penyiangan, yakni membersihkan segala jenis gulma yang tumbuh di sekitar
tanaman agar zat hara tanah dapat diserap tanaman secara optimal
c. Pemangkasan, yakni pemotongan terhadap beberapa tunas yang tidak
dikehendaki. Biasanya dilakukan antara 17 s.d. 21 hari setelah tanam (HST)
untuk di dataran rendah atau 25 s.d. 30 HST di dataran tinggi.
d. Pemupukan, yakni pemberian tambahan unsur hara tanah baik organik
maupun anorganik. Pupuk yang sering diberikan pada tanaman cabai
13
meliputi pupuk kandang, Urea, SP-36, KCL, dan NPK. Dosis penggunaan
pupuk kandang adalah 20 ton/ha, SP-36 400 kg/ha, urea 100 s.d. 150 kg/ha,
ZA 300 s.d. 400 kg/ha, KCL 200 s.d. 250 kg/ha, dan NPK 300 s.d. 500
kg/ha (Balai Pengkaji dan Pengembangan Teknologi Pertanian Republik
Indonesia, 2003).
e. Penyiraman diperlukan untuk menjaga kadar kelembabapan tanah disekitar
tanaman. Penyiraman biasanya dilakukan dengan cara penggenangan
ataupun penyemprotan dengan frekuensi sesuai dengan kondisi tanaman.
f. Pengendalian hama penyakit merupakan strategi untuk meminimalkan
kerusakan tanaman akibat serangan hama dan penyakit (Harpenas, 2010
dalam Nurfalach, 2010). Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman
cabai biasanya dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati maupun
kimia. Dosis penggunaan pestisida kimia bervariasi sesuai dengan
kandungan bahan aktif yang dimiliki. Penggunaan pestisida berbentuk
bubuk atau Wettable Powder (WP) misalkan dianjurkan penggunaannya
agar tidak melebihi 3.000 gram per hektar (BPTP Sumatra Utara, 2012).
5. Panen
Pemanenan buah cabai menurut Nurfalach (2010) adalah pada saat tanaman
cabai berumur 75 s.d. 85 HST yang ditandai dengan buahnya yang padat dan
warna merah menyala. Umur panen cabai tergantung varietas yang digunakan,
lokasi penanaman dan kombinasi pemupukan yang digunakan serta kesehatan
tanaman. Cabai dapat dipanen setiap dua sampai lima hari sekali tergantung
dari luas penanaman dan kondisi pasar. Rata-rata hasil panen cabai besar untuk
lahan usahatani seluas satu hektar berkisar antara delapan ton sampai 12 ton.
14
2.3 Nilai Strategis Cabai Besar
Cabai besar merupakan salah satu komoditi strategis yang memiliki nilai
ekonomis cukup tinggi. Besarnya kebutuhan akan cabai membuat tingginya
konsumsi terhadap cabai besar di Indonesia. Konsumsi cabai di Indonesia
didominasi oleh rumah tangga dan industri. Konsumsi cabai besar di perkotaan
diperkirakan sebesar 0,219 ons per kapita per minggu, sedangkan konsumsi di
pedesaan sekitar 0,150 ons per kapita per minggu dengan peningkatan sekitar
7,5% per tahun (BP2TP, 2003). Beberapa produk industri yang menggunakan
cabai sebagai bahan baku diantaranya manisan cabai, abon cabai, sambal cabai,
bubuk cabai, koyo cabai, dan produk lainnya.
Perkembangan harga cabai besar di pasaran sangat bervariasi dan
mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu. Harga cabai akan tinggi pada musim
hujan, sedangkan pada musim kemarau harganya akan rendah. Rata-rata harga
cabai besar di Bali tahun 2014 adalah sebagai berikut.
Tabel 2.2
Harga per kg Cabai Besar di Bali Tahun 2014
Bulan Harga Cabai (Rp)
Januari 18.893
Februari 19.036
Maret 17.393
April 9.786
Mei 6.000
Juni 5.068
Juli 4.986
Agustus 5.350
September 10.736
Oktober 14.874
November 26.607
Desember 43.012
Rata-rata 15.145
Sumber : BPS Provinsi Bali, 2014
15
Berdasarkan Tabel 2.2 diketahui bahwa harga cabai besar di Bali berkisar
antara Rp 4.986 s.d. Rp 43.012 per kg. Harga tertinggi terjadi pada bulan
Desember yang merupakan puncak musim hujan, sedangkan harga terendah
terjadi pada bulan Juli yang merupakan puncak musim kemarau. Rata-rata harga
cabai besar di Bali pada tahun 2014 adalah sebesar Rp 15.145 per kg.
Nilai strategis cabai besar juga dapat dilihat dari trend produksi yang
bernilai positif. Selama kurun waktu tiga tahun terakhir, mulai tahun 2012 sampai
2014, produksi cabai besar di Bali selalu mengalami peningkatan. Tahun 2012,
produksi cabai besar di Bali adalah 13.785,50 ton dengan produktivitas mencapai
12,03 ton/ha. Tahun 2013 terjadi peningkatan produksi sebesar 11,93% dengan
jumlah produksi adalah 15.431 ton dan produktivitas mencapai 13,70 ton/ha.
Produksi cabai besar tahun 2014 adalah sebanyak 20.349 ton dengan produktivitas
mencapai 14,01 ton/ha, jumlah produksi tersebut meningkat sebesar 31,87% dari
tahun sebelumnya (BPS Provinsi Bali, 2014).
2.4 Teori Produksi
Menurut Joesron dan Fathorozi (2003 dalam Wibisono, 2011) produksi
merupakan hasil akhir dari proses aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan
beberapa masukan atau input. Beberapa aktifitas yang terjadi didalam proses
produksi diantaranya terjadi perubahan bentuk, tempat, dan waktu penggunaan
hasil-hasil produksi. Masing-masing perubahan ini menyangkut penggunaan input
untuk menghasikan output yang diinginkan. Jadi produksi meliputi semua aktifitas
menciptakan barang dan jasa (Sudarman, 1999 dalam Muhyidin, 2010).
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah produksi diartikan
sebagai pemanfaatan sumberdaya yang ada untuk mengubah suatu komoditi
16
menjadi komoditi lainnya yang berbeda dari sebelumnya, baik dari segi bentuk,
tempat, waktu, maupun kegunaan komoditi tersebut bagi konsumen. Secara umum
istilah produksi berlaku untuk barang maupun jasa, karena pada dasarnya istilah
komoditi memang mengacu pada barang dan jasa.
Istilah produksi secara umum diartikan sebagai penggunaan atau
pemanfaatan sumberdaya yang mengubah suatu komoditi menjadi komoditi
lainnya yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, di mana atau kapan
komoditi-komoditi itu dialokasikan, maupun dalam pengertian apa yang dapat
dikerjakan oleh konsumen dengan komoditi tersebut (Miller dan Meiners, 2000
dalam Hidayat 2013). Produksi adalah transformasi atau perubahan menjadi
barang produk atau proses di mana input diubah menjadi output. Dalam suatu
produksi diusahakan untuk mencapai efisiensi produksi, yaitu menghasilkan
barang dan jasa dengan biaya yang paling rendah untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa produksi tidak terlepas
dari penggunaan sumber-sumber yang ada untuk menciptakan atau menambah
kegunaan suatu barang atau jasa, sehingga barang atau jasa yang dihasilkan akan
mempunyai nilai tambah untuk mencapai tujuan perusahaan yaitu memperoleh
laba dari hasil usaha yang dilakukan.
2.4.1 Faktor produksi usahatani cabai besar
Perkembangan atau pertambahan produksi dalam kegiatan usahatani tidak
lepas dari peranan faktor-faktor produksi atau input yang digunakan. Para ahli
teori pertumbuhan Neoklasik seperti Dernberg, Dornbusch, dan Fischer
mengatakan bahwa untuk melakukan proses produksi harus didukung oleh faktor-
faktor produksi yang memadai. Faktor produksi bersifat mutlak, karena
17
merupakan syarat agar kegiatan produksi dapat dijalankan. Faktor produksi
merupakan segala elemen yang digunakan atau dilibatkan dalam menunjang suatu
kegiatan produksi. Faktor produksi juga dapat dikatakan sebagai semua korbanan
yang dicurahkan ke dalam kegiatan produksi. Faktor produksi menentukan besar
kecilnya produksi yang diperoleh. Semua faktor produksi tersebut dikombinasikan
dalam menunjang kegiatan produksi (Hidayat, 2013).
Menurut Soekartawi (2003), faktor-faktor produksi yang umum dikenal
dalam kegiatan usahatani yaitu tanah atau lahan, tenaga kerja, modal, dan keahlian
atau manajemen. Sedangkan faktor produksi yang umum digunakan dalam
kegiatan usahatani cabai besar antara lain: (1) lahan, (2) bibit, (3) pupuk, (4)
pestisida, dan (5) tenaga kerja.
2.4.2 Fungsi produksi
Sukirno (2000 dalam Wibisono, 2011) menyatakan bahwa fungsi produksi
adalah kaitan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakan
dimana faktor-faktor produksi dikenal juga dengan istilah input sedangkan hasil
produksi sering juga dinamakan output. Fungsi produksi dianggap penting karena
dapat menjelaskan pengaruh input terhadap output serta mengetahui bentuk
hubungannya. Suatu fungsi produksi dikatakan efisien secara teknis apabila
mampu menggunakan input yang minimal untuk mencapai output tertentu.
Soekartawi (1990 dalam Wibisono, 2011) menyatakan bahwa fungsi produksi
adalah hubungan fisik antara output (Q) dan input (X). Secara matematis, bentuk
persamaan fungsi produksi adalah sebagai berikut.
Q = f (X1, X2, X3,.......Xn) (2.1)
18
di mana:
Q = jumlah produksi yang dihasilkan
Xn = faktor produksi yang digunakan
f = fungsi hubungan antara faktor produksi dan hasil
Menurut Samuelson (2003 dalam Wibisono, 2011) proses produksi terbagi
menjadi tiga tipe, yaitu:
1. Skala hasil meningkat atau disebut juga skala ekonomis (increasing return to
scale), merupakan kondisi dimana penambahan suatu input produksi
menyebabkan penambahan yang semakin meningkat terhadap jumlah output
yang dihasilkan.
2. Skala hasil meningkat dengan tambahan hasil yang menurun (diminishing
return to scale), merupakan kondisi dimana penambahan suatu input produksi
menyebabkan penambahan terhadap output yang dihasilkan namun jumlah
penambahan tersebut akan mengalami penurunan.
3. Skala hasil menurun (decreasing return to scale), merupakan kondisi dimana
penambahan suatu input produksi menyebabkan penurunan terhadap tambahan
jumlah output yang dihasilkan.
Mubyarto (1989 dalam Arimbawa, 2014) menyatakan bahwa hubungan
antara hasil produksi (output) dengan faktor-faktor produksi (input) yang
digunakan dapat digambarkan kedalam suatu grafik yang disebut dengan kurva
Total Physical Product (TPP). Kurva TPP adalah kurva yang menunjukkan
tingkat produksi total (Q) pada berbagai tingkat penggunaan suatu faktor produksi
dimana faktor produksi lainnya dianggap tetap. Berdasarkan pengertian tersebut
maka dapat ditulis bentuk persamaan dari kurva TPP adalah sebagai berikut.
TPPx = f(X1, X2, X3, .... Xn) (2.2)
19
Output
Output
Tahap I
Ep > 1
Tahap II
1 > Ep > 0 Tahap III
Ep < 0
Increasing marginal return
Decreasing marginal return
Negative marginal return
MPP
APP Input
TPP
di mana:
TPPx = total produksi yang dihasilkan
Xn = faktor produksi yang digunakan
f = fungsi hubungan antara faktor produksi dan hasil
Secara grafis, kurva TPP digambarkan sebagai berikut.
Sumber : Soekartawi (1990 dalam Zamani (2008)
Gambar 2.1 Hubungan antara Kurva TPP, MPP, dan APP
Lebih lanjut Mubyarto (1989 dalam Arimbawa, 2014) mengungkapkan
bahwa penurunan dari kurva TPP juga dapat digunakan untuk mengetahui
hubungan antara total produksi dengan produksi marjinal dan produksi rata-rata.
Kurva yang memperlihatkan jumlah produksi marjinal dari suatu kegiatan
produksi disebut kurva Marginal Physical Product (MPP). Kurva ini
menunjukkan tambahan produksi total (Q) karena adanya tambahan pengunaan
satu satuan faktor produksi (X). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut.
MPPx =∆Q
∆X (2.3)
di mana:
MPPx = produksi marjinal yang dihasilkan
20
ΔQ = perubahan hasil produksi
ΔX = perubahan penggunaan faktor produksi
Kurva yang memperlihatkan jumlah produksi rata-rata dari suatu kegiatan
produksi disebut kurva Average Physical Product (APP). Kurva ini menunjukkan
hasil rata-rata dari penggunaan per unit satuan faktor produksi pada berbagai
tingkat penggunaan. Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut.
APPx =Q
X (2.4)
di mana:
APPx = produksi rata-rata faktor produksi x
Q = jumlah produksi yang dihasilkan
X = faktor produksi yang digunakan
Kurva MPP dan APP juga dapat digunakan untuk menentukan skala
produksi suatu usahatani. Dengan membandingkan MPP dan APP maka akan
diperoleh elastisitas produksi masing-masing faktor produksi. Apabila nilai
elastisitas produksi lebih besar dari satu maka usahatani tersebut berada pada
skala hasil meningkat (increasing return to scale). Apabila nilai elastisitas
produksi berada antara nol sampai dengan satu maka usahatani tersebut berada
pada skala hasil meningkat dengan tambahan hasil yang menurun (diminishing
return to scale). Sedangkan apabila nilai elastisitas produksi lebih kecil dari pada
nol maka usahatani tersebut berada pada skala hasil menurun (decreasing return
to scale). Menurut Mubyarto (1989 dalam Arimbawa, 2014), elastisitas produksi
dapat dihitung sebagai berikut.
Ep =MPP
APP (2.5)
di mana:
Ep = elastisitas produksi
21
MPP = produksi marjinal
APP = produksi rata-rata
Soekartawi (2011) menyatakan bahwa pada fungsi produksi Cobb-Douglas
dengan bentuk fungsi Q = αXβ, maka produksi marjinal dari penggunaan faktor
produksi (X) diperoleh dengan menghitung turunan pertama dari fungsi produksi
terhadap faktor produksi, sehingga:
MPP = ∂Q/∂X = β . Q/X (2.6)
di mana:
MPP = produksi marjinal
∂Q = turunan pertama fungsi produksi Q
∂X = turunan pertama faktor produksi X
β = koefisien regresi
Q = produksi
X = faktor produksi
Berdasarkan persamaan 2.5 dan 2.6 diketahui bahwa elastisitas produksi
akan sama dengan koefisien regresi fungsi produksi Cobb-Douglas sehingga
besarnya nilai elastisitas produksi masing-masing faktor produksi dapat dilihat
dari nilai koefisien regresi masing-masing faktor produksi tersebut. Berdasarkan
persamaan 2.4, 2.5, dan 2.6, maka bukti bahwa Ep = β adalah sebagai berikut.
Ep = MPP
APP =
β .(Q/X)
Q/X = β (2.7)
Berdasarkan konsep elastisitas tersebut, kemungkinan kasus yang dapat
terjadi dalam penggunaan masing-masing fakror produksi antara lain:
1. Ep > 1 berarti bahwa penggunaan faktor produksi belum optimal sehingga
perlu penambahan terhadap jumlah penggunaan faktor produksi tersebut. Pada
kondisi ini, nilai MPP akan lebih besar dari APP sehingga proses produksi
usahatani berada pada skala pengingkatan hasil (increasing return to scale).
22
2. 0 < Ep < 1 berarti bahwa penggunaan faktor produksi menyebabkan nilai MPP
dan APP akan mengalami penurunan. Pada kondisi ini kegiatan usahatani
berada pada skala hasil meningkat dengan tambahan yang semakin menurun
(diminishing return to scale).
3. Ep < 0 berarti bahwa penggunaan faktor produksi sudah melebihi batas
maksimum sehingga harus dikurangi. Pada kondisi ini, nilai APP akan lebih
besar dari MPP dan nilai MPP adalah negatif, sehingga kegiatan usahatani
berada pada skala hasil menurun (decreasing return to scale).
4. EP = 1 berarti bahwa penggunaan faktor produksi sudah optimal dimana MPP
sama dengan APP sehingga produksi total berada pada titik optimal. Ep = 1
atau MPP = APP menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi efektif dari
segi ekonomi usahatani sehingga usahatani berada pada skala usaha dengan
penambahan hasil tetap (constant riturn to scale).
5. Ep = 0 berarti bahwa penggunaan faktor produksi menghasilkan produksi total
pada titik maksimum dimana nilai MPP sama dengan nol. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi efektif dari segi budidaya.
2.4.3 Fungsi produksi Cobb-Douglas
Fungsi produksi Cobb-Douglas adalah fungsi produksi yang umum
digunakan dalam menggambarkan kegiatan produksi. Parameter-parameter yang
diperoleh dari model ini merupakan elastisitas produksi bagi setiap faktor
produksi yang masuk dalam model dengan nilai elastisitas setiap faktor produksi
dalam model ini dianggap tetap. Model ini hanya mampu menerangkan proses
produksi pada fase diminishing return, yaitu fase dimana meningkatnya jumlah
produksi yang dihasilkan sebagai akibat adanya tambahan faktor produksi yang
23
digunakan, namun besarnya peningkatan tersebut makin lama makin berkurang.
Bentuk umum model fungsi produksi Cobb-Douglas adalah sebagai berikut
(Nachrowi dan Usman, 2006 dalam Warsana, 2007).
Q = α X1β1
X2β2
...Xnβn
еu (2.8)
di mana :
Q = Jumlah produksi yang diduga
α = Intersep
βi = Parameter penduga variabel ke-i dan merupakan elastisitas
Xi = Faktor produksi yang digunakan, i = 1, 2, 3,........., n
u = Kesalahan pengganggu
е = bilangan natural (2,718)
Kemudahan dalam estimasi atau pendugaan terhadap persamaan Cobb-
Douglas tersebut dapat dilakukan dengan cara mengubahnya ke dalam bentuk
persamaan logaritma, sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut (Nachrowi
dan Usman, 2006 dalam Warsana, 2007).
Log Q = log α + β1 logX1 + β2 logX2 +...+βn logXn (2.9)
Interpretasi terhadap parameter-parameter persamaan di atas dapat diartikan
sebagai berikut.
a. Log α menunjukkan tingkat efisiensi produksi usahatani tersebut secara
keseluruhan. Semakin besar nilai log α maka semakin efisien kegiatan
usahatani yang dilakukan.
b. Parameter beta (βi) menunjukkan elastisitas produksi untuk masing-masing
faktor produksi usahatani.
c. Jumlah beta (βi) menunjukkan tingkat skala usaha.
24
d. Parameter beta (βi) dapat digunakan untuk mengukur efektivitas penggunaan
faktor produksi. Semakin mendekati satu, maka penggunaan faktor produksi
semakin efektif untuk mencapai produksi optimum.
Pemilihan model ini didasarkan pada pertimbangan adanya kelebihan
fungsi produksi ini, antara lain sebagai berikut (Nachrowi dan Usman, 2006
dalam Warsana, 2007).
a. Koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas dapat digunakan sebagai
pendugaan terhadap skala usaha pada proses produksi yang berlangsung karena
koefisien pangkat menunjukkan besarnya elastisitas produksi masing-masing
faktor produksi.
b. Mengurangi terjadinya heterokedastisitas. Hal ini karena bentuk linier dari
fungsi Cobb-Douglas ditransformasikan dalam bentuk log e (ln), dalam bentuk
tersebut variasi data menjadi sangat kecil.
c. Perhitungannya sederhana karena dapat dimodifikasi ke dalam bentuk
persamaan linier.
d. Bentuk fungsi Cobb-Douglas paling banyak digunakan dalam penelitian,
khususnya penelitian bidang pertanian.
Estimasi koefisien regresi dilakukan dengan metode OLS. Asumsi-asumsi
yang digunakan adalah sebagai berikut (Nachrowi dan Usman, 2006 dalam
Warsana, 2007).
1) E(ui) = 0 atau E(ui | xi) = 0 atau E(Yi) = β1+ β2 Xi, ui menyatakan variabel-
variabel lain yang mempengaruhi Yi akan tetapi tidak terwakili dalam model.
Asumsinya pengaruh ui terhadap Yi diabaikan.
2) Kovarian (ui , uj) = 0, i≠j, berarti tidak ada korelasi antara ui dan uj.
25
3) Varian (ui) = σ2, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas
yaitu besar varian ui sama untuk setiap i.
4) Kovarian antara ui dan Xi nol atau cov (ui , Xi) = 0, asumsi tersebut berarti
tidak ada korelasi antara ui dan Xi.
5) Multikolinier tidak ada, yang berarti tidak ada hubungan linier yang nyata
antara variabel-variabel bebas (Xi).
2.5 Teori Efektivitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil
atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer
mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau
menunjang tujuan. Atmosoeprapto (2002 dalam Suwarthiani, 2014)
mengemukakan bahwa efektivitas merupakan ukuran yang menggambarkan
sejauh mana sasaran dapat dicapai. Efeftivitas yang tinggi dengan efisiensi yang
tinggi berarti dalam mencapai sasaran menggunakan sumberdaya yang optimal
sehingga meminimumkan biaya. Suatu penggunaan sumberdaya dikatakan
memiliki efektivitas tinggi apabila hasil yang dicapai semakin mendekati sasaran
dan harus diimbangi dengan biaya yang efisien.
Menurut Wisnu dan Siti (2005 dalam Suwarthiani, 2014) penilaian
efektivitas dapat dilakukan dengan mengambil salah satu dari tiga pendekatan
yang ada. Tiga pendekatan tersebut antara lain:
a. Pendekatan sumberdaya eksternal (kontrol), yakni memungkinkan untuk
melihat kemampuan suatu usahatani dalam mengatur dan mengendalikan
pengaruh yang datang dari lingkungan luar usahatani.
26
b. Pendekatan sistem internal (inovasi), yakni memungkinkan untuk melihat
seberapa baik suatu usahatani tersebut bekerja dan berfungsi.
c. Pendekatan teknis (efisiensi), yakni memungkinkan untuk melihat efisiensi
usahatani dalam mengubah sumberdaya yang dimiliki menjadi output.
Efektivitas dari segi usahatani dapat diukur berdasarkan kemampuan input
dalam menghasilkan output yang paling optimum.
Gaspersz (1996) menyatakan bahwa efektivitas suatu kegiatan produksi
dapat diukur dengan melihat rasio antara output aktual dengan output yang
direncanakan. Soekartawi (1995 dalam Shinta, 2011) mengemukakan bahwa
penggunaan sumberdaya dalam usahatani dikatakan efektif apabila petani mampu
mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki sebaik mungkin. Penggunaan
sumberdaya dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan produksi yang optimal
sehingga pemanfaatan sumberdaya menjadi efektif. Samuelson (2003 dalam
Wibisono, 2011) mengemukakan bahwa produksi optimum terjadi apabila
elastisitas produksi sama dengan satu sehingga perbandingan produksi marjinal
(MPP) dengan produksi rata-rata (APP) sama dengan satu.
Menurut Mubyarto (1989 dalam Arimbawa 2014), nilai elastisitas sama
dengan satu berarti bahwa penggunaan faktor produksi dalam usahatani
menghasilkan produksi yang optimum. Secara ekonomi usahatani, kondisi ini
merupakan kondisi yang dikehendaki dalam upaya memaksimumkan keuntungan
usahatani. Pada kondisi ini, semua faktor produksi digunakan secara efektif
sehingga mampu menghasilkan produksi yang optimum. Berdasarkan hal tersebut
dapat disimpulkan bahwa penggunaan faktor produksi dikatakan semakin efektif
27
apabila produksi usahatani mendekati titik optimum, atau nilai perbandingan MPP
dengan APP masing-masing faktor produksi tersebut semakin mendekati satu.
Halim (2004 dalam Pangastuti, 2013) menyatakan bahwa pengukuran
efektivitas merupakan persentase keberhasilan dalam mencapai tujuan. Dalam
kegiatan usahatani, efektivitas penggunaan faktor produksi dapat dilihat dari
persentase kedekatan nilai perbandingan MPP dan APP dengan nilai satu. Bila
MPP dibanding APP sama dengan satu, maka efektivitas penggunaan faktor
produksi adalah 100%, bila nilai MPP dibanding APP semakin jauh dari satu,
maka persentase efektivitas penggunaan faktor produksi akan semakin rendah.
Persentase efektivitas penggunaan faktor produksi dapat dihitung dengan rumus:
Efektivitas = MPP
APP . 100% (2.10)
di mana:
MPP = produksi marjinal
APP = produksi rata-rata
Halim (2004 dalam Pangastuti, 2013) membagi kriteria efektivitas
menjadi lima tingkatan, yaitu:
1. Koefisien efektivitas bernilai dibawah 40% artinya sangat tidak efektif.
2. Koefisien efektivitas bernilai antara 40% s.d. 60% artinya tidak efektif.
3. Koefisien efektivitas bernilai antara 60% s.d. 80% artinya cukup efektif.
4. Koefisien efektivitas bernilai antara 80% s.d. 100% artinya efektif.
5. Koefisien efektivitas bernilai diatas 100% artinya sangat efektif.
28
2.6 Teori Efisiensi
Efisiensi dalam produksi merupakan ukuran perbandingan antara nilai
output dan nilai input. Konsep efisiensi diperkenalkan oleh Michael Farrell
dengan mendefinisikan sebagai kemampuan organisasi produksi untuk
menghasilkan produksi tertentu pada tingkat biaya minimum (Kopp, 1978 dalam
Kusumawardhani, 2002). Prinsip efisiensi dalam kaitannya dengan penggunaan
faktor-faktor produksi adalah bagaimana cara menggunakan faktor produksi yang
ada seefisien mungkin.
Efisiensi pada dasarnya merupakan alat ukur untuk menilai pemilihan
kombinasi input-input untuk menghasilkan output tertentu. Menurut Soekartawi
(1993 dalam Shinta 2011) ada tiga kegunaan mengukur efisiensi, yaitu: (1)
sebagai tolok ukur untuk memperoleh efisiensi relatif, mempermudah
perbandingan antara unit ekonomi satu dengan lainnya. (2) Apabila terdapat
variasi tingkat efisiensi dari beberapa unit ekonomi yang ada maka dapat
dilakukan penelitian untuk menjawab faktor-faktor apa yang menentukan
perbedaan tingkat efisiensi. (3) Informasi mengenai efisiensi memiliki implikasi
kebijakan karena manajer dapat menentukan kebijakan usaha secara tepat.
Dalam ekonomi produksi, efisiensi ekonomi dapat dicapai jika dipenuhi
dua kriteria (Doll & Orazen, 1978 dalam Kusumawardhani, 2002), yaitu:
a. Syarat keharusan (necessary condition), yaitu suatu kondisi dengan produksi
dalam jumlah yang sama tidak mungkin dihasilkan dengan menggunakan
sejumlah input yang lebih sedikit dan produksi dalam jumlah yang lebih besar
tidak mungkin dihasilkan dengan menggunakan jumlah input yang sama.
29
b. Syarat kecukupan (sufficiency condition), yaitu syarat yang diperlukan untuk
menentukan letak efisiensi ekonomi yang terdapat pada daerah rasional, karena
dengan hanya mengetahui fungsi produksi saja maka letak efisiensi ekonomi
yang terdapat pada daerah rasional tidak bisa ditentukan. Untuk menentukan
letak efisiensi ekonomi diperlukan suatu alat yang merupakan indikator pilihan
yaitu berupa input dan harganya.
Soekartawi (2003) mengemukakan bahwa efisiensi dapat digolongkan
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: efisiensi teknis, efisiensi alokatif (efisiensi harga)
dan efisiensi ekonomi. Efisiensi teknis merupakan konsep efisiensi yang
menyatakan produk maksimal yang dapat diperoleh dengan penggunaan
kombinasi masukan tertentu dalam fungsi produksi. Dikatakan efisiensi harga atau
efisiensi alokatif apabila nilai dari produk marginal sama dengan harga faktor
produksi yang bersangkutan. Sedangkan efisiensi ekonomi terjadi apabila
usahatani tersebut mencapai efisiensi teknis dan sekaligus juga mencapai efisiensi
alokatif/harga. Suatu usahatani dikatakan efisien apabila nilai produk marjinal
(NPM) untuk suatu faktor produksi sama dengan harga faktor produksi tersebut
(Soekartawi, 2003). Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut.
NPMx = Px atau NPM x
Px = 1 (2.11)
di mana :
NPMx = MPPx . Pq (2.12)
MPPx = β . APPx (2.13)
APPx = Q
X (2.14)
30
keterangan:
Q = total produksi (output) usahatani
X = jumlah faktor produksi yang digunakan
APPx = produk rata-rata faktor produksi
MPPx = produk marjinal faktor produksi
Px = harga faktor produksi
Pq = harga komoditi usahatani
β = elastisitas produksi faktor produksi
NPMx = nilai produk marjinal faktor produksi
Menurut Soekartawi (2003), kriteria yang digunakan untuk menilai tingkat
efisiensi penggunaan faktor produksi usahatani adalah sebagai berikut.
a. NPM x
Px > 1 ; dapat diartikan bahwa penggunaan faktor produksi X dianggap
belum efisien sehingga penggunaannya harus ditambah.
b. NPM x
Px = 1 ; dapat diartikan bahwa penggunaan faktor produksi X dianggap
sudah efisien.
c. NPM x
Px < 1 ; dapat diartikan bahwa penggunaan faktor produksi X dianggap
tidak efisien sehingga penggunaannya harus dikurangi.
Pengujian untuk membuktikan bahwa NPM/Px = 1 dapat dilakukan
dengan membandingkan hasil dari (1-βi)/Sβi dengan nilai t-tabel. Nilai βi
menunjukkan besarnya koefisien regresi masing-masing faktor produksi,
sedangkan Sβi merupakan simpangan baku koefisien regresi masing-masing faktor
produksi. Bila hasil perhitungan dari (1-βi)/Sβi menunjukkan nilai yang lebih besar
dari nilai t-tabel, maka pengujian tersebut signifikan yang artinya NPM/Px ≠ 1,
sedangkan bila hasil perhitungan (1-βi)/Sβi menunjukkan nilai yang lebih kecil
dari nilai t-tabel, maka pengujian tersebut non signifikan yang artinya NPM/Px = 1.
31
2.7 Penelitian Terdahulu
Analisis mengenai efektivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi
usahatani sangat penting untuk dilakukan. Pengukuran efektivitas dan efisiensi
penggunaan faktor produksi akan memberikan manfaat dalam upaya optimalisasi
kegiatan usahatani. Pentingnya mengetahui efektivitas dan efisiensi penggunaan
faktor produksi usahatani membuat banyaknya orang melakukan penelitian
mengenai masalah tersebut. Beberapa contoh penelitian sejenis yang pernah
dilakukan sebelumnya antara lain sebagai berikut.
1. Penelitian Akhmad Hidayat tahun 2013 berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan
Faktor-Faktor Produksi Pada Usaha Kecil dan Menengah Batik di Kelurahan
Kauman Kota Pekalongan. Persamaan kedua penelitian ini adalah
menggunakan fungsi Cobb-Douglas sebagai alat analisis untuk menganalisis
efisiensi penggunaan faktor produksi. Perbedaannya adalah komoditi, lokasi,
jumlah sampel, dan jumlah variabel yang digunakan. Penelitian tersebut
menggunakan modal, tenaga kerja, dan bahan baku sebagai variabel,
sedangkan penelitian ini menggunakan luas lahan, benih, pupuk urea, ZA,
KCL, TSP, NPK, pestisida, serta jumlah jam kerja. Selain itu, penelitian ini
juga mengukur efektivitas penggunaan faktor produksi dalam menunjang
produksi yang optimum.
2. Penelitian Amat Muhyidin tahun 2010 berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan
Faktor-Faktor Produksi Pada Usaha Tani Padi Di Kecamatan Pekalongan
Selatan. Persamaan kedua penelitian ini adalah menggunakan fungsi Cobb-
Douglas sebagai alat analisis untuk menganalisis efisiensi penggunaan faktor
produksi. Perbedaannya adalah komoditi, lokasi, jumlah sampel, dan jumlah
32
variabel yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan luas lahan, bibit,
pupuk, pestisida, dan tenaga kerja sebagai variabel, sedangkan penelitian ini
menggunakan sembilan variabel yakni luas lahan, benih, pupuk urea, ZA,
KCL, TSP, NPK, pestisida, serta jumlah jam kerja. Selain itu, penelitian ini
juga mengukur efektivitas penggunaan faktor produksi dalam menunjang
produksi yang optimum.
3. Penelitian Annora Khazanani tahun 2011 berjudul Analisis Efisiensi
Penggunaan Faktor Faktor Produksi Usahatani Cabai Kabupaten
Temanggung (Studi Kasusd di Desa Gondosuli Kecamatan Bulu Kabupaten
Temanggung). Persamaan kedua penelitian ini adalah menggunakan fungsi
Cobb-Douglas sebagai alat analisis untuk menganalisis efisiensi penggunaan
faktor produksi. Perbedaannya adalah lokasi, jumlah sampel, dan jumlah
variabel yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan luas lahan, bibit,
pupuk, pestisida, dan tenaga kerja sebagai variabel, sedangkan variabel
penelitian ini meliputi luas lahan, benih, pupuk urea, ZA, KCL, TSP, NPK,
pestisida, serta jumlah jam kerja. Perbedaan lainnya yaitu penelitian ini
menganalisis efektivitas penggunaan faktor produksi yang tidak dilakukan pada
penelitian tersebut, sedangkan pada penelitian tersebut dilakukan analisis
keuntungan usahatani yang tidak dilakukan pada penelitian ini.
4. Penelitian Maharani Triwidiyaningsih tahun 2011 berjudul Analisis Efisiensi
Ekonomi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Usahatai Cabai Merah di
Kabupaten Bantul. Persamaan kedua penelitian ini adalah menggunakan fungsi
cobb-Douglas untuk menganalisis efisiensi penggunaan faktor produksi.
Perbedaannya adalah lokasi, jumlah sampel, dan jumlah variabel. Variabel
33
penelitian tersebut meliputi tenaga kerja, pupuk kandang, phonska, NPK, dan
KCL, sedangkan penelitian ini juga menggunakan variabel luas lahan, pupuk
urea, ZA, TSP, dan pestisida.
2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian
Petani merupakan pelaku utama dalam kegiatan produksi cabai besar di
Desa Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tababan. Selain faktor alam,
kegiatan usahatani cabai besar juga dipengaruhi oleh penggunaan faktor produksi
seperti luas lahan, penggunaan benih, pupuk, pestisida, serta pencurahan tenaga
kerja. Penggunaan faktor produksi secara optimal akan meminimalkan biaya
produksi dan meningkatkan produksi cabai besar. Namun apabila penggunaan
faktor produksi tidak tepat, maka hasil produksi tidak akan optimal. Rendahnya
pemahaman petani merupakan salah satu penyebab kesalahan alokasi faktor
produksi seperti halnya yang terjadi pada petani cabai besar di Desa Baturiti,
Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan produksi
cabai besar adalah dengan menggunakan faktor produksi secara efektif dan
efisien. Efektivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi dapat dianalisis
menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Pendugaan fungsi produksi Cobb-
Douglas akan memberikan informasi mengenai elastisitas dan nilai produk
marjinal masing-masing faktor produksi usahatani cabai besar sehingga kita
mengetahui efektivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi. Hasil analisis
mengenai efektivitas dan efisiensi penggunaan faktor produksi dapat digunakan
sebagai acuan dalam memberikan rekomendasi kepada petani cabai besar di Desa
34
Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Secara grafis, alur pemkiriran
dari penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut.
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Penelitian
2.9 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah penelitian dan kajian teoritis yang telah
dilakukan sebelumnya oleh peneliti, maka dapat dirumuskan tiga buah hipotesis
dari penelitian ini, antara lain sebagai berikut.
Petani Cabai Besar di
Desa Baturiti
Efisiensi Penggunaan
Faktor Produksi
Faktor Produksi:
- Lahan
- Benih
- Pupuk urea
- Pupuk ZA
- Pupuk KCL
- Pupuk TSP
- Pupuk NPK
- Pestisida
- Tenaga kerja
Kegiatan Usahatani:
- Penggunaan faktor
produksi belum
optimal
- Rendahnya
pemahaman petani
Efektivitas Penggunaan
Faktor Produksi
Simpulan
Rekomendasi
Faktor Alam
Fungsi Produksi Cobb-Douglas:
Y = α X1β1
X2β2
...Xnβn
еu
NPMx/Px = 1 (MPPx/APPx) . 100%
35
1. Hipotesis Pertama:
Diduga bahwa penggunaan faktor-faktor produksi usahatani cabai besar seperti
luas lahan, benih, pupuk urea, ZA, KCL, TSP, NPK, pestisida, dan tenaga kerja
secara simultan berpengaruh terhadap jumlah produksi cabai besar di Desa
Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan.
2. Hipotesis Kedua:
Diduga bahwa penggunaan faktor-faktor produksi usahatani cabai besar seperti
benih, pupuk urea, ZA, KCL, TSP, NPK, pestisida, dan tenaga kerja di Desa
Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan belum efektif.
3. Hipotesis Ketiga:
Diduga bahwa penggunaan faktor-faktor produksi usahatani cabai besar seperti
benih, pupuk urea, ZA, KCL, TSP, NPK, pestisida, dan tenaga kerja di Desa
Baturiti, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan tidak efisien.
top related