20090415 rev02 draft final tmp in bab03 unwto
Post on 02-Jul-2015
1.609 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
21
3. Data Dasar
3.1 Sumber Daya Alam Hayati
3.1.1 Keanekaragaman Ekosistem
Pangandaran memiliki beberapa jenis ekosistem laut dan darat. Kondisi ekosistem tersebut bervariasi, beberapa yang masih dalam kondisi cukup baik dapat dijumpai pada kebanyakan ekosistem di darat. Tetapi ada juga yang mengalami kerusakan cukup parah terutama ekosistem di pesisir seperti terumbu karang dan mangrove. Berikut adalah gambaran berbagai ekosistem tersebut.
Terumbu Karang
Ekosistem ini dikenal dengan keindahannya, terpancar dari warna‐warni beraneka ragam jenis ikan dan biota laut yang tinggal di dalamnya. Fungsinya sebagai tempat tinggal dan pemijahan bagi ikan dan biota laut, membuat terumbu karang memiliki peran penting dalam industri perikanan laut. Selain itu ekosistem ini menyediakan berbagai jasa lingkungan seperti sebagai pemecah ombak atau sebagai tempat wisata, sehingga sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Di Pangandaran terumbu karang dapat ditemukan pada kawasan cagar alam laut di pantai timur dan barat Pananjung, memiliki panjang 1,5 km dan lebar 50 m (Anonymous, 2006), dengan tipe terumbu karang berupa karang tepi (fringing reef). Jenis karang batu yang ditemukan di pantai barat didominasi oleh jenis Acropora sementara di pantai timur jenis Monticora melimpah. Pertumbuhan karang di kedua tempat ini didominasi oleh bentuk “branching”(bercabang), “encrusting”(kerak) dan “massive”(padat), mengindikasikan besarnya tekanan fisik perairan seperti arus dan gelombang di daerah ini.
Sayangnya, pengamatan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa sebagian besar terumbu karang di Pangandaran dalam kondisi rusak, dengan persentase penutupan karang batu hanya 21,15%, sementara karang mati mencapai 42,65% dan tutupan biota lain 18,55% (Mulyani, 2002). Survei lebih lanjut pada tahun 2005 memperlihatkan kerusakan terjadi semakin parah. Hanya di daerah Rajamantri‐pantai Barat masih dapat ditemukan persentase tutupan karang hidup mencapai 30% (Amasya, 2007). Situasi ini diperparah dengan kondisi perairan yang keruh sehingga jarak pandang pun sangat terbatas. Pengamatan terakhir pada tahun 2008 menunjukkan hasil tidak berbeda jauh. Tutupan karang hidup di
Gambar 3.1 Terumbu Karang di Pangandaran
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
22
Gambar 3.2 Mangrove di Bojong Salawe
Sumber: INDECON, 2008
pantai barat hanya sekitar 11,48 % , sedangkan di pantai timur 18,21 % sehingga dikategorikan rusak menurut kriteria baku Kementerian Lingkungan Hidup. Kerusakan ini disebabkan baik oleh aktifitas penangkapan ikan maupun pariwisata seperti menginjak karang, mengambil karang, penangkapan ikan berlebih atau dengan racun, sampah, tertabrak perahu atau putaran baling‐baling mesin kapal yang mengaduk sedimen. Selain itu erosi di daerah sepanjang aliran sungai‐sungai bermuara di perairan Pangandaran menyebabkan tingginya tingkat sedimentasi dan dapat merusak kehidupan terumbu karang.
Hutan Mangrove/Bakau
Kemungkinan besar dahulu terdapat hutan mangrove di Pangandaran. Hal ini dapat dilihat dengan terdapatnya muara‐muara sungai cukup lebar, tempat yang ideal bagi tumbuhan mangrove. Namun kini hanya sedikit yang tersisa, tinggal berupa deretan pohon nipah (Nypa fruticans) di sepanjang pinggiran sungai. Jenis‐jenis tumbuhan mangrove/bakau lainnya boleh dibilang telah hilang. Hal ini sangat disayangkan mengingat hutan ini memiliki manfaat sangat besar bagi kehidupan manusia seperti sebagai tempat tinggal, pemijahan serta asuhan ikan dan biota laut; menahan lumpur yang dibawa sungai atau abrasi akibat gelombang laut.
Dalam beberapa tahun terakhir mulai dilakukan upaya untuk menanam mangrove/bakau kembali. Di Pangandaran penanaman dilakukan di Bulak Setra, terletak di sekitar muara Sungai Cikidang. Sementara di luar kawasan Pangandaran, penanaman juga berlangsung pada tempat‐tempat yang masih dapat ditemukan tegakan asli mangrove – walau hanya sedikit‐ seperti di Bojong Salawe dan Nusa Wiru.
Pantai dan Hutan Pantai
Pantai berpasir abu‐abu kehitaman merupakan macam pantai yang umum dijumpai di Pangandaran. Pengecualian terdapat di kawasan cagar alam Pananjung yang memiliki kantung‐kantung kecil pantai berpasir putih, berasal dari pecahan‐pecahan karang. Hamparan kedua macam pasir ini memberikan
Gambar 3.3 Vegetasi di Pantai Barat dan Hutan Pantai
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
23
pemandangan indah dan menjadi daya tarik utama bagi kegiatan wisata di Pangandaran. Namun tidak banyak kehidupan ditemukan sini, hanya berupa lubang‐lubang kecil di pantai pasir abu‐abu kehitaman, tempat kepiting hantu (Ocypode sp) berlindung. Hal ini tidak mengherankan mengingat kedua lokasi pantai ini telah menjadi tempat aktifitas manusia untuk menangkap ikan maupun wisata.
Di belakang daerah hamparan pasir, biasanya ditumbuhi oleh tumbuhan tapak kambing (Ipomoea pes‐caprae) dan rumput lari‐lari (Spinifex littoreus). Tumbuhan ini masih umum terlihat di pantai yang masih sepi dari aktifitas wisata. Di belakang formasi ini, dihuni barisan pohon‐pohon penyusun hutan pantai yang disebut dengan formasi Barringtonia (lihat Gambar 3.3). Jenis tumbuhan yang umum dijumpai pada formasi ini meliputi ketapang (Terminalia catappa), butun (Barringtonia asiatica), pandan (Pandanus tectorius), waru Laut (Hibiscus tiliaceous), atau nyamplung (Calophyllum inophyllum). Kondisi hutan pantai yang cukup bagus masih dapat dijumpai di pantai pasir putih di kawasan cagar alam. Sedangkan di pantai pasir abu‐abu kehitaman, baik di pantai timur dan barat, hutan ini telah lenyap akibat berubah fungsi menjadi hotel, jalan, sarana pariwisata lainnya atau kebun kelapa. Tinggal beberapa pohon besar saja yang tersisa, seolah sebagai tanda bahwa dahulu berdiri hutan pantai di sini. Setelah terjadinya tsunami tahun 2006, banyak upaya dilakukan untuk menanam berbagai pohon hutan pantai kembali untuk menciptakan sabuk hijau di sepanjang pantai. Akan tetapi tingkat keberhasilan penanaman ini diragukan karena tidak adanya kegiatan pemeliharaan bagi anakan‐anakan pohon sehingga banyak yang mati akibat terinjak, kekeringan atau dimakan oleh hewan ternak.
Hutan Dataran Rendah
Hutan ini sebagian besar merupakan hutan sekunder, kemungkinan berasal dari tahun 1922 ketika penduduk yang membuka perladangan di sini dipindahkan keluar dari semenanjung (Blower dkk, 1977) . Memiliki tajuk setinggi 20‐30 meter, hutan sekunder menyelimuti sebagian besar wilayah cagar alam, mencapai luas 483,5 hektar. Pohon‐pohon marong (Cratoxylum formosum), ki segel (Dillenia excelsa) dan laban (Vitex pinnata) mendominasi hutan bercampur dengan beberapa pohon berdiameter 50 cm ke atas berpencar di sana‐sini yang merupakan sisa‐sisa dari hutan tua –terdapat di timur bagian utara di daerah Rengganis‐ seperti Planchonia valida, benda (Artocarpus elastica), bayur (Pterospermum javanicum). Pada tempat‐tempat basah atau rawa di sisi utara, rotan (Calamus sp) bermunculan, sementara tumbuhan langka Rafflesia patma, hidup sebagai parasit pada tumbuhan liana Tetrastigma lanceolarium, dapat dijumpai pada hutan ini di beberapa lokasi baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman.
Di beberapa tempat terdapat padang rumput buatan yang dibuka pada tahun 1931 untuk tempat makan mamalia besar seperti banteng dan rusa, terdiri dari Cikamal (16 ha), Nanggora (8,3 ha) dan
Gambar 3.4 Hutan di CA
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
24
Badeto (16 ha). Kini hanya Cikamal yang masih cukup terpelihara dan dapat dikatakan sebagai padang rumput walaupun sebagian area telah mengalami suksesi, sedangkan Nanggorak dan Badeto hanya menyisakan sedikit hamparan rumput, hampir semuanya tertutup oleh semak belukar. Penelitian di padang rumput pada tahun 1977 memperlihatkan jenis dominan di sini adalah semak ki rinyuh (Eupatorium odoratum) dan alang‐alang (Imperata cylindrica). Meskipun demikian, masih cukup banyak jenis rumput dan teki dapat ditemukan di sini yaitu ada 183 jenis. Hingga kini belum ada penelitian terbaru mengenai kondisi padang rumput tersisa. Namun saat ini tampak rumput jenis baru dari luar kawasan dan tidak disukai oleh satwa liar telah menjadi dominan di Cikamal.
Hutan Tanaman
Kawasan hutan tanaman terletak di taman wisata alam menempati areal seluas 37,7 hektar. Sekitar 20 hektar di antaranya merupakan pohon jati (Tectona grandis) ditanam pada tahun 1932 dan 1936 (Blower dkk, 1977). Setelah mengalami pemanenan, pada tahun 1957 dinas kehutanan menanami
kembali kawasan ini dengan jati pada lereng‐lereng bukit dan dekat Cirengganis, sedangkan di lokasi lain ditanami dengan mahoni (Swietenia macrophylla) dan akasia (Acacia auriculiformis). Hutan tanaman ini dapat tumbuh dengan baik dan ternyata mampu menjadi habitat yang bagus bagi satwa liar (Gambar 3.5).
Gua
Pada sisi utara Taman Wisata Alam Pananjung yang tersusun atas batuan kapur terdapat lima buah gua alam yaitu Parat, Panggung, Sumur Mudal, Lanang dan Rengganis. Beberapa gua memiliki pintu masuk cukup besar, ruang cukup luas, lorong mendatar cukup panjang dan beberapa ornamen seperti stalagmit. Menurut Sukardjo (1983) gua‐gua ini menjadi habitat bagi landak (Hystrix javanica), burung walet dan kelelawar jenis ekor‐trubus kecil (Emballonura monticola), bibir‐keriput kecil (Tadarica plicata) dan Barong (Hipposideros larvatus). Sedangkan pada tebing‐tebing yang menghadap pantai di bagian selatan cagar alam ditemukan setidaknya 8 gua yang menjadi tempat bersarang walet.
Gambar 3.5 Hutan Tanaman di Dalam Taman Wisata Alam
Sumber: INDECON, 2008
Gambar 3.6 Gua Panggung di CA
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
25
Gua‐gua di taman wisata alam sering dikunjungi oleh para wisatawan, selain juga beberapa kali pernah dipakai untuk pengambilan gambar untuk sinetron atau film. Tidak adanya aturan tentang bagaimana tata cara berperilaku dalam mengamati gua menyebabkan terjadinya polusi cahaya dan suara, sampah dan aktifitas pemberian makan satwa. Keadaan ini menimbulkan gangguan terhadap para penghuni gua. Di samping itu adanya vandalisme juga menurunkan nilai estetika dari gua‐gua ini.
Ekosistem Pertanian
Di luar daerah pantai dan cagar alam serta taman wisata alam, ekosistem pertanian meliputi sebagian besar kawasan Pangandaran. Petak‐petak persawahan nan hijau dan menyegarkan beserta pohon‐pohon kelapa baik dalam bentuk kebun‐kebun yang cukup luas maupun sebagai tanaman pekarangan rumah, merupakan tanaman pertanian utama di Pangandaran dan sekitarnya. Pohon kelapa ini selain diambil buahnya, juga disadap guna menghasilkan cairan bagi pembuatan gula merah. Terkadang lahan di sela‐sela pepohonan kelapa dimanfaatkan dengan menanam jagung, padi, ketela pohon, pisang atau kopi. Namun kebanyakan lahan di bawah pepohonan kelapa ini kurang dimanfaatkan, dibiarkan saja menjadi tempat tumbuh tanaman liar.
Bentuk lain berupa pekarangan hijau masih bisa ditemukan walau keaneragaman jenis tanamannya sudah tidak terlalu tinggi. Di tempat ini biasanya ditanam pohon buah seperti mangga atau rambutan, sayuran atau tanaman obat. Pengembangan kebun buah‐buahan untuk kegiatan agrowisata telah dicoba diusahakan oleh perusahaan swasta di daerah Lembah Putri. Namun hingga kini rencana tersebut belum dapat terealisasikan sepenuhnya.
3.1.2 Keanekaragaman Jenis Flora and Fauna
Flora
Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung diperkirakan memiliki lebih dari 700 spesies tumbuhan. Terdapat 249 jenis pohon, 71 jenis perdu, 65 jenis liana, 193 jenis semak, 53 jenis rumput, 26 epifit dan
Gambar 3.8 Paku Sarang Burung, Bunga Raflesia dan Pohon Beringin
Sumber: LWG dan INDECON, 2008
Gambar 3.7 Sawah, Tanaman Obat di Pekarangan Rumah dan Perkebunan Kelapa
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
26
10 jenis parasit (Anonymous, 2004). Dari semuanya itu, 80 jenis diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Sementara untuk di daerah pantai dapat dijumpai setidaknya 48 jenis makroalga. Sedangkan di pekarangan rumah dapat diidentifikasi 29 jenis tanaman untuk obat. Tumbuhan yang penting untuk mendapat perhatian adalah Rafflesia patma karena sudah langka dan termasuk ke dalam jenis yang dilindungi oleh perundang‐undangan (Gambar 3.8).
Mamalia
Ketika kawasan Pangandaran telah didiami oleh manusia, tidak diragukan lagi satwa liar berukuran besar seperti banteng (Bos javanicus), rusa ( Cervus timorensis), dan macan tutul (Panthera pardus ) telah menghilang akibat diburu. Owa (Hylobates moloch), and Surili (Presbytis commata) menyusul kemudian diikuti lenyapnya dua jenis babi hutan (Sus verrucosus dan S. scrofa ) yang kemungkinan diakibatkan wabah penyakit dan tekanan perburuan. Kini monyet ekor‐panjang adalah penghuni yang paling mudah dijumpai bersama dengan rusa. Lutung (Trachypithecus auratus) masih cukup mudah dilihat di tajuk hutan demikian pula halnya dengan Tando (Cynocephalus variegata) – melayang dari pohon ke pohon‐ dan Kalong (Pteropus vampyrus) terbang tinggi di angkasa pada senja hari. Sebaliknya Banteng – yang telah diintroduksi kembali ‐ dan Mencek sekarang sudah sulit untuk ditemukan.
Penelitian oleh pihak LIPI pada tahun 1983 menemukan kawasan Pananjung dihuni oleh 32 jenis mamalia (Sukardjo, 1983). Sedangkan pada dokumen rencana pengelolaan cagar alam dan taman wisata alam pada tahun 2004 memperlihatkan terdapat 30 jenis mamalia di kawasan ini. Pengecekan data di lapangan melalui wawancara dengan petugas BKSDA yang sering bertugas di lapangan, menunjukkan sebanyak 28 jenis yang masih atau pernah terlihat oleh mereka. Dari jumlah tersebut sebanyak 8 jenis dilindungi perundang‐undangan di Indonesia dan dua di antaranya, banteng dan lutung termasuk dalam kategori terancam kepunahan menurut lembaga konservasi dunia IUCN.
Burung
Tercatat sebanyak 62 jenis burung dapat ditemukan di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran menurut dokumen rencana pengelolaan tahun 1977. Tim Unpad pada tahun 2000 hanya berhasil mengamati sebanyak 44 jenis (Anonymous, 2000), sementara BKSDA dalam dokumen rencana pengelolaan tahun 2004, menyebutkan terdapat 99 jenis burung di kawasan tersebut3. Pengecekan data ini di lapangan melalui wawancara
Gambar 3.9 Rusa, Monyet dan Lutung di Pangandaran
Sumber: LWG dan INDECON, 2008
Gambar 3.10 Burung Rangkong
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
27
dengan petugas BKSDA yang sering bertugas di lapangan, menunjukkan kisaran antara 50‐60 jenis burung yang masih atau pernah terlihat oleh mereka, termasuk di antaranya 2 jenis rangkong yaitu kangkareng (Anthracoceros coronatus) dan julang (Aceros undulatus). Sebanyak 17 spesies di antara jenis‐jenis burung ini termasuk dilindungi oleh perundang‐undangan. Survei terbaru mengenai burung di Pangandaran perlu dilakukan untuk memastikan kondisi ini.
Fauna Darat Lainnya
Sebanyak 8 jenis amfibi berhasil dijumpai oleh tim Unpad pada tahun 2000, sementara untuk reptil tercatat ada 17 jenis (Anonymous, 2004). Dilaporkan penyu hijau beberapa kali mendarat di pantai dalam maupun di luar cagar alam namun belum ada catatan terbaru untuk dapat membuktikan keberadaan satwa dilindungi ini. Untuk serangga, ditemukan sebanyak 39 jenis kupu‐kupu, 11 jenis laba‐laba dan 41 kelompok serangga terbang.
Ikan Laut dan Biota laut
Berdasarkan data tahun 1998, ikan karang yang dijumpai di CA Laut Pangandaran adalah sebanyak 38 jenis (Mulyani, 2002). Angka ini berkurang jauh dibandingkan dengan catatan tahun 1983 yang berhasil mengidentifikasi sebanyak 103 jenis ikan karang (Anonymous, 1983). Penelitian pada terumbu karang Pangandaran tahun 2005 menjumpai jenis‐jenis ikan Heniochus sp., kepe‐kepe (Chaetodon sp.), Pomacanthus sp., moris (Heniochus sp.), buntal (Diodontidae), kerapu (Serranidae), scaridae, sersan mayor (Abudefduf sp.), dokter (Diproctacanthus xanthurus), kepe‐kepe biru kuning (Chaetodontoplus sp.), ikan wrasse (Labridae) dan ikan pomacanthidae. Secara umum jenis ikan yang dijumpai di pantai barat lebih banyak dibandingkan di pantai timur. Pengamatan pada tahun 2006 menemukan 16 jenis ikan yang hidup di atau dekat dasar laut (demersal) dan 15 ikan yang sangat aktif di dekat permukaan laut (pelagis). Jumlah ini masih lebih sedikit dengan catatan tahun 1983 yang berhasil menjumpai total 53 jenis. Layur (Trichiurus spp.) dan bawal putih (Pampus argenteus) merupakan jenis yang dominan di kawasan perairan laut Pangandaran.
Catatan terbaru biota laut lainnya yang dapat ditemukan meliputi 37 spesies moluska (26 gastropoda dan 11 bivalvia), 11 ekinodermata dan 12 kepiting. Angka ini masih di bawah laporan tahun 1983 yang menjumpai 100 spesies moluska dan 31 ekinodermata.
3.1.3 Kawasan Lindung : Kondisi dan Pengelolaan
Saat ini di kawasan semenanjung Pangandaran terdapat tiga macam status kawasan dilindungi meliputi cagar alam darat seluas 419,3 hektar, cagar alam laut seluas 470 hektar mengelilingi kawasan semenanjung Pangandaran sepanjang 12,625 kilometer dan lebar kurang lebih 500 meter dari titik pasang terjauh, dan taman wisata alam seluas 37,7 hektar (Peta 3.1). Ketiganya memiliki fungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa berserta ekosistemnya, dan untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya. Batas‐batas antara cagar alam darat dengan taman wisata alam, maupun areal di luarnya terlihat jelas dengan dengan adanya pemasangan patok‐patok tapal batas. Akan tetapi untuk cagar alam laut situasinya berbeda, tanda‐tanda batas ini masih belum ada.
Pemanfaatan wilayah cagar alam, baik darat dan laut hanya boleh untuk kegiatan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Sedangkan di taman wisata alam kegiatan yang diperbolehkan adalah pariwisata dan rekreasi, penelitian dan
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
28
pengembangan, pendidikan dan penunjang budidaya. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kegiatan pariwisata terjadi di cagar alam terutama di daerah pantai Pasir Putih, bahkan telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Selain itu, masih tampak aktifitas nelayan memarkir perahu di dalam taman wisata alam, menimbulkan kesan kawasan ini terbuka bagi masyarakat setempat. Hal ini terbukti dengan bebas keluar masuknya pedagang dan juga masyarakat lainnya, bahkan dengan menggunakan sepeda motor. Ketidakkonsistenan juga terjadi dalam kegiatan pengelolaan. Seharusnya kegiatan pengelolaan yang diijinkan di cagar alam adalah perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan dan penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan. Akan tetapi kegiatan rehabilitasi ekosistem berupa transplantasi karang atau pemeliharaan padang rumput berlangsung di sini. Menurut ketentuan kegiatan yang tergolong pembinaan habitat dan populasi satwa tersebut tidak diperbolehkan di cagar alam tetapi bisa dilakukan di taman wisata alam.
Kegiatan pengelolaan kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran berada di bawah kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat (BBKSDA), Departemen Kehutanan dan pelaksanaannya dilakukan oleh Resor Konservasi Wilayah Pangandaran. Jumlah seluruh personil resor konservasi wilayah Pangandaran adalah 12 orang, meliputi 3 polisi hutan, 5 petugas lapangan, 3 tenaga administratif dan 1 sukarelawan. Dari semua itu, tiga pegawai difungsikan untuk menjual karcis di Pintu Barat, Pintu Timur, dan Pasir Putih. Guna mengoptimalkan pengelolaan kawasan, pihak pengelola menetapkan pembagian blok, baik dalam taman wisata alam maupun cagar alam. Pembagian blok pada taman wisata alam terdiri dari blok pemanfaatan seluas 20,921 hektar dan
Peta 3.1 Kawasan Konservasi di Pangandaran
Sumber: Lampiran Peta dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 225/Kpts‐II/1990 , Diolah oleh INDECON 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
29
blok perlindungan dengan luas 13,4 hektar. Adapun kegiatan rutin yang dilakukan oleh pengelola adalah pengelolaan pengunjung meliputi penjualan tiket (Pintu Timur, Pintu Barat, Pasir Putih), pelayanan pusat informasi, pemanduan rekreasi dan penelitian, pengamanan kawasan, pemantauan satwa, serta administratif (pelaporan, evaluasi dan lain‐lain). Sementara kegiatan penyuluhan ke masyarakat dilaksanakan tergantung kebutuhan dan biasanya langsung di lapangan. Dukungan sarana prasarana boleh dikatakan tidak memadai karena sebagian besar dalam kondisi rusak. Demikian pula halnya dengan dukungan pendanaan sangat minim sehingga tidak memungkinkan untuk menjalankan
suatu program. Salah satu akibatnya adalah pengelolaan pengunjung menjadi lemah sekali. Dampaknya adalah masalah sampah, vandalisme, kesemrawutan, kerusakan karang akibat pengambilan, dan perubahan perilaku satwa liar akibat pemberian makan oleh pengunjung.
Kegiatan pengusahaan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran sebenarnya telah diserahkan kepada Perum Perhutani melalui pemberian Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) pada tahun 1996. Namun hingga saat ini pihak Perhutani juga lemah dalam pengelolaan pengunjung, hanya melakukan kegiatan penjualan tiket, parkir dan penyewaan lokasi untuk outbound dan pengambilan gambar untuk keperluan televisi atau layar lebar. Seharusnya, sesuai dengan dokumen Rencana Karya Pengusahaan Pariwisata Alam 1996‐2026 yang telah dibuat pemegang IPPA, Perhutani wajib melaksanakan kegiatan pengembangan sarana prasarana wisata dan kegiatan pengelolaan pengunjung serta pembinaan sumber daya alam. Kondisi ini membuat pihak BBKSDA merasa perlu untuk ikut mengelola kegiatan pariwisata, salah satunya dengan cara menarik tiket. Pada akhirnya keadaan ini memunculkan dualisme dalam pengelolaan taman wisata alam.
Di luar daerah semenanjung, kawasan lindung terdapat di sepanjang garis pantai baik di barat maupun timur. Menurut ketentuan berlaku, area selebar 100 meter –diukur dari titik pasang tertinggi‐ dari garis
Gambar 3.11 Berbagai Permasalahan karena Lemahnya Pengelolaan di TWA : perubahan perilaku hewan, coret‐coret dinding gua dan interpretasi yang tidak memadai
Sumber: INDECON, 2008
Gambar 3.12 Penggunaan Daerah Harim Laut antara lain untuk Berdagang, Penyewaan Alat Bantu Renang dan Parkir Perahu
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
30
pantai merupakan daerah sempadan pantai atau harim laut. Pada daerah ini tidak diperbolehkan untuk mendirikan bangunan bersifat permanen dan semi permanen. Khusus untuk daerah rawan tsunami, seperti di Pangandaran, lebar harim laut bertambah hingga mencapai 200 meter dari pantai. Menerapkan ketentuan ini, bukanlah hal yang mudah di Pangandaran, mengingat pada daerah tersebut telah berdiri banyak bangunan di area harim laut sejak dahulu. Bahkan jika yang diikuti adalah ketentuan 200 meter maka seluruh bangunan di daerah tanah genting harus dipindah. Padahal di sinilah merupakan pusat sarana‐prasaran pariwisata, di samping juga terdapat pemukiman masyarakat.
3.2 Sosial Ekonomi
Sebagai penjelasan dari paparan kondisi sosial ekonomi di atas, bagian ini akan memaparkan lebih lanjut kondisi‐kondisi sosial ekonomi ditingkat lokal yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata.
3.2.1 Keberadaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat yang Terkait Pariwisata
Masyarakat lokal dalam tulisan ini adalah orang‐orang yang telah tinggal di wilayah studi minimum 24 bulan (2 tahun) dan bekerja mencari nafkah selama itu dalam berbagai kegiatan ekonomi. Dengan definisi tersebut, orang‐orang yang tidak memiliki KTP Pangandaran tetapi sudah tinggal lebih dari 2 tahun dapat dikategorikan sebagai masyarakat. Sementara itu ada kategori orang‐orang yang bekerja di Pangandaran dan melakukan migrasi sirkuler (pulang pergi dari desa asal ke Pangandaran, dalam jangka waktu tertentu). Orang‐orang seperti ini tidak termasuk sebagai masyarakat lokal karena mereka membawa kembali hasil kerja mereka ke desa/kota asalnya.
Seperti dipaparkan di bagian pendahuluan, kawasan studi mencakup lima desa. Namun untuk bagian fitur sosial ekonomi ini akan memfokuskan pada daerah‐daerah dimana konsentrasi kegiatan pariwisata berada, yaitu di dua desa, Pangandaran dan Pananjung. Dua desa tersebut merupakan tempat atraksi wisata utama di Pangandaran seperti Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung, Pantai Barat dan Pantai Timur Pangandaran, juga toko‐toko cinderamata serta akomodasi berada. Selain merupakan daerah konsentrasi kegiatan pariwisata, dua desa tersebut juga tergolong padat penduduk, serta menyimpan berbagai persoalan ekonomi dan sosial yang perlu diselesaikan.
Kegiatan ekonomi yang terkait pariwisata dibagi dalam dua kategori yaitu kegiatan ekonomi utama pariwisata dan kegiatan ekonomi pendukung pariwisata. Terdapat tiga kegiatan ekonomi utama yang disebut dalam industri pariwisata yaitu usaha akomodasi (hotel dan restoran), usaha biro perjalanan umum dan pemandu. Ketiga jenis kegiatan ini dikategorikan sebagai kegiatan yang secara langsung berkontribusi kepada sektor pariwisata. Ketiga kegiatan ini saling berhubungan satu sama lainnya dan memiliki saling ketergantungan. Pihak hotel sangat memerlukan biro perjalanan umum untuk memasarkan kamar dan produk‐produk lain yang ditawarkan guna menaikkan tingkat hunian di hotelnya. Demikian pula sebaliknya pihak biro perjalanan juga membutukan pihak hotel/restoran dan bekerjasama untuk mendapatkan harga dan pelayanan yang baik, agar dapat memuaskan tamu‐tamu yang menjadi pelanggannya. Biro perjalanan maupun hotel, restoran juga memerlukan pemandu dan demikian sebaliknya, masing‐masing pihak memberikan saling keuntungan dan pelayanan yang baik agar pelanggan masing‐masing pihak terpuaskan.
Sementara itu di luar ketiga jenis kegiatan di atas, dalam sebuah destinasi biasanya banyak kegiatan‐kegiatan ekonomi lain yang terkait dengan kegiatan pariwisata, seperti toko suvenir, penyewaan peralatan, jasa foto dan sebagainya (lihat Lampiran 1). Kegiatan‐kegiatan ini dikategorikan sebagai kegiatan ekonomi pendukung pariwisata. Dengan kata lain kegiatan ini terkait secara tidak langsung
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
31
dengan kegiatan pariwisata, dimana jika tidak ada kegiatan ekonomi pendukung ini, pariwisata tetap bisa berjalan, sepanjang ketiga pilar kegiatan ekonomi utamanya tersedia.
Dalam konteks Pangandaran, kegiatan ekonomi utama dan kegiatan ekonomi pendukung yang terkait dengan pariwisata cukup banyak (Lampiran 1) dan hubungan di antara kegiatan tersebut cukup rumit. Jumlah hotel di Pangandaran terbilang banyak yaitu sebanyak 129 hotel yang 3 di antaranya masuk kategori hotel berbintang dengan 102 kamar dan sisanya kategori hotel melati dengan jumlah kamar sebanyak 3.319 kamar. Jika dilihat dari jumlah hunian yang tersedia, dan melihat fluktuasi kunjungan wisatawan ke Pangandaran yang hanya dipadati pada musim libur panjang, maka kamar‐kamar hotel tersebut hanya terisi sekitar 4 kali dalam satu tahun selama 4 sampai 6 hari. Sementara selebihnya banyak kamar kosong pada hari‐hari biasa. Fenomena yang kemudian terlihat adalah melonjaknya harga kamar pada saat musim libur panjang hingga mencapai 300 sampai 400%. Jika dilihat dari sisi ekonomi, kenaikan harga yang mencapai 400% untuk jangka waktu 6 hari, hampir menyamai pendapatan hotel selama sebulan pada musim rendah atau pada beberapa kasus bahkan sama dan melebihi. Jika dilihat dari jumlah kamar yang tersedia, maka peluang kerja bisa diprediksikan cukup besar, terlebih lagi pada musim‐musim libur panjang karena para pengelola biasanya membuka peluang kerja musiman untuk menambah jumlah pekerja. Profesi masyarakat Pangandaran yang bekerja di hotel mulai dari tukang kebun, pelayan restoran, pelayan kebersihan kamar, hingga pelayan di kantor depan. Sedangkan hasil survei pada pemilik restoran menyatakan bahwa mereka adalah pemilik restoran sekaligus pekerja dan 20,6% di antaranya mempekerjakan 2 orang masyarakat sebagai pelayan.
Kegiatan ekonomi utama lain yang terkait pariwisata adalah pemanduan. Para pemandu resmi tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) cabang Kabupaten Ciamis. HPI memiliki 62 anggota yang terdaftar sebagai pemandu di dalam maupun luar kawasan Pangandaran. Para pemandu ini bekerja lepas dengan menawarkan paket‐paket wisata yang mereka kelola kepada wisatawan mancanegara yang datang ke Pangandaran. Selain itu pemandu‐pemandu ini memiliki hubungan juga dengan biro perjalanan di kota‐kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Pemandu
Gambar 3.13 Berbagai Kegiatan Ekonomi terkait Pariwisata (searah jarum jam) : penyewaan ATV, delman, pedagang cindera mata kerang, penyewaan jaket pelampung, penyewaan ban renang dan becak
Sumber: LWG, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
32
lebih banyak melayani wisatawan mancanegara dan umumnya hanya bekerja pada musim wisatawan mancanegara datang yaitu periode bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Dalam bulan‐bulan ini seorang pemandu bisa bekerja selama 14 sampai 20 hari dalam sebulannya, dengan penghasilan rata‐rata per hari sekitar Rp. 150.000,‐ hingga Rp. 200.000,‐ dari harga paket wisata satu hari yang ditawarkan seharga Rp.150.000,‐ per orang dan minimal 5 orang wisatawan. Di luar bulan‐bulan sibuk para pemandu bekerja lepas baik di bidang pariwisata mapun di luar bidang pariwisata seperti pertanian, perikanan dan sebagainya.
Sedangkan biro perjalanan umum di Pangandaran belum berkembang dan hingga saat ini hanya terdapat enam kios operator yang diprakarsai pemandu untuk menjual paket‐paket yang ditawarkan. Baru terdapat dua biro perjalanan dengan status legal. Kegiatan biro perjalanan di antaranya menjual paket wisata, menyediakan sewa kendaraan, dan menjadi agen kendaraan antar kota. Kegiatan utama ini masih perlu dibina dan dikembangkan untuk mempercepat perkembangan pariwisata di Pangandaran.
Pada umumnya masyarakat Pangandaran dan sekitar Pangandaran banyak terlibat pada kegiatan ekonomi pendukung pariwisata. Kegiatan ekonomi masyarakat yang langsung terkait dengan kegiatan ekonomi pendukung pariwisata meliputi warung makan dan minum, toko atau warung cinderamata, penjaja keliling (makanan dan cinderamata), dan berbagai jasa (penyewaan alat transport, penyewaan papan boogie dan ban, pijat, foto, tato, dsb). Jumlah yang terlibat dalam semua kegiatan ekonomi ini mencapai ribuan orang dan meningkat pada saat musim liburan panjang. Konflik pedagang biasanya muncul pada saat musim libur panjang, terutama untuk memperebutkan ruang berdagang. Biasanya banyak masyarakat dari kabupaten tetangga dan kota terdekat yang datang khusus untuk berdagang pada saat musim libur panjang. Lemahnya aturan dan pengelolaan yang ditujukan kepada para pedagang kaki lima, menyebabkan ketidaknyamanan kawasan pariwisata dan memberikan citra buruk, sehingga berpengaruh pada tingkat kunjungan.
Gambar 3.14 Berbagai Kegiatan Ekonomi Berbasis Industri Rumah
Gula Kelapa Kerupuk Ikan asin Tahu Source: LWG, 2008
Gambar 3.15 Berbagai Kegiatan Ekonomi yang Terkait Pariwisata : toilet, warung makan di pinggir pantai dan pedagang cindera mata pakaian
Sumber: LWG, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
33
Saat musim liburan panjang adalah saat bisnis barang dan jasa bisa mendapatkan keuntungan yang cukup baik. Berdasarkan survey di akhir minggu (hari Jumat sampai Minggu), minimal bisnis makanan (kelas restoran kecil dan warung makan), cinderamata (baju, ornamen kerang), dan penyewaan sepeda, bisa memperoleh pendapatan Rp 100.000,‐ sampai Rp 500.000. Beberapa restoran besar dan toko cinderamata besar bisa memperoleh omset sekitar Rp 900 ribuan sampai diatas Rp 1.000.000,. Namun disisi lain, ketika hari‐hari biasa (hari Senin sampai Kamis, di saat bukan liburan sekolah, Hari Raya, Natal dan Tahun Baru), pendapatan dari hampir semua kegiatan usaha di Pangandaran, kecuali bisnis makanan (restoran maupun warung) bisa dikatakan buruk. Lebih dari 50% responden yang diwawancara mengatakan mereka hanya memperoleh pendapatan di bawah Rp100.000,‐. Sedangkan untuk bisnis makanan, usaha ini tetap memperoleh penghasilan di atas rata‐rata kegiatan lainnya, meskipun tidak terlalu menyolok. Fakta ini menunjukkan bahwa bisnis makanan merupakan pendukung pariwisata, karena jika pada musim sepi wisatawan pun, tetap memperoleh pendapatan dari kunjungan penduduk lokal.
Di samping mata pencaharian yang berkaitan langsung dengan pariwisata, kelompok nelayan dan petani adalah kelompok yang mata pencahariannya tidak tergantung sepenuhnya dengan pariwisata. Meskipun tidak terkait dengan pariwisata keduanya merupakan mata pencaharian penting di kawasan studi, terutama karena mereka, khususnya nelayan, adalah pemasok bahan makanan untuk rumah makan dan hotel. Rata‐rata pendapatan nelayan tiap harinya cukup beragam yaitu berkisar antara Rp100.000 sampai Rp800.000,‐, atau yang paling buruk adalah ketika mereka tidak mendapat apapun dari laut karena cuaca buruk dan tidak dapat berlayar menangkap ikan. Sementara untuk pertanian, kaitan dengan pariwisata sampai saat ini sangat terbatas pada adanya minat untuk melihat kegiatan pembuatan gula kelapa saja. Pasokan bahan makanan dari bidang pertanian (sayur dan bahan pokok) untuk pariwisata di Pangandaran berasal dari daerah luar Pangandaran.
3.2.2 Ketergantungan Kegiatan Ekonomi Lokal terhadap Pariwisata
Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dua kecamatan di dalam kawasan studi yang disajikan pada sub bab 2.4.2, memperlihatkan bahwa pertumbuhan sektor pariwisata ‐perdagangan, hotel dan restoran‐ menempati urutan pertama sebagai penyumbang perekonomian lokal di Kecamatan Pangandaran (42,3%) disusul pertanian (23,3%). Sedangkan di Kecamatan Sidamulih, menempati urutan kedua (27,4%) setelah pertanian (37,5%). Data tersebut menunjukkan bahwa pariwisata berperan sangat penting di dalam perekonomian lokal. Sebelum tsunami sekitar 1.800 orang yang bekerja di usaha akomodasi, sangat bergantung pendapatannya dari sektor ini. Setelah terjadi tsunami di tahun 2006, jumlah kunjungan wisatawan ke Pangandaran menurun drastis (hampir mencapai 50%) yang mengakibatkan berkurangnya pendapatan masyarakat yang kehilangan pekerjaan di usaha utama pariwisata seperti akomodasi (hotel dan restoran), pemandu, dan biro perjalanan umum.
Kegiatan usaha yang terkait langsung dengan pariwisata secara otomatis akan terpengaruh secara langsung oleh penurunan jumlah pengunjung. Beberapa kegiatan ekonomi pendukung pariwisata juga sangat tergantung. Di luar kegiatan‐kegiatan yang disebutkan, sebenarnya terlihat hubungan yang saling menguntungkan antara pariwisata dengan masyarakat yang kegiatan kesehariannya tidak terkait langsung dengan bidang pariwisata. Misalnya kegiatan pertanian di desa‐desa di wilayah studi yang bertumpu pada perkebunan kelapa sebagai komoditas unggulannya. Pertanian pangan seperti padi atau jagung serta hortikultura seperti sayur mayur, terbatas jumlahnya dan hanya untuk kebutuhan lokal dan rumah tangga. Namun di saat‐saat tertentu ketika sektor pertanian mengalami kendala
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
34
penurunan harga, masyarakat petani melihat kegiatan di sektor pariwisata sebagai alternatif pendapatan lain, baik itu sebagai pengayuh becak, menjaja makanan dan lain sebagainya.
Sementara pada industri gula merah, hampir seluruh penduduk di 5 desa wilayah studi ini, ikut dalam tata produksi dan distribusi kelapa, baik sebagai pemilik kebun, penyewa pohon kelapa, penderes (penyadap air bunga kelapa), dan sebagian besar terlibat dalam pembuatan gula kelapa. Beberapa tempat pembuatan gula kelapa yang letaknya di desa‐desa (di rumah penduduk) juga dapat menjadi atraksi wisata tersendiri khususnya untuk wisatawan mancanegara. Pengemasan paket‐paket wisata desa yang melibatkan unsur demonstrasi pembuatan gula kelapa ini adalah potensi yang kerap disebut‐sebut untuk dikembangkan dengan lebih baik.
Seperti halnya petani, nelayan juga tidak terpengaruh langsung jika pariwisata mengalami penurunan, tetapi mereka melihat pariwisata sebagai salah satu alternatif pendapatan. Ketika cuaca buruk dan mereka tidak melaut, maka mereka memasuki bidang‐bidang yang terkait langsung dengan pariwisata seperti menjadi pemandu wisata, mengoperasikan perahu pesiar, menjadi supir ojeg atau becak, dan sebagainya. Para istri dan kerabat juga umumnya berjualan ikan asin atau cinderamata. Hal ini menunjukkan pariwisata memberikan dampak positif dalam hal tambahan pendapatan alternatif bagi keluarga.
Namun, nelayan akan terpengaruh secara tidak langsung, apabila kegiatan pariwisata tidak terkelola dengan baik. Contohnya: limbah hotel yang dibuang langsung ke laut akan mempengaruhi kualitas air laut yang berpengaruh kepada kecepatan tumbuh terumbu karang dan berdampak pada berkurangnya jumlah ikan. Oleh karenanya, hubungan kedua sektor ini di Pangandaran cukup kuat dan saling mempengaruhi.
Beberapa kegiatan ekonomi masyarakat yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas sumber daya laut, seperti mengambil biota laut dan jenis‐jenis kerang untuk cinderamata, juga terjadi karena tumbuhnya pariwisata. Masyarakat melihat peluang untuk menghasilkan tambahan pendapatan.
Gambar 3.16 Pengemasan Paket Wisata Desa yang Melibatkan Industri Rumahan : gula kelapa, pengupasan kelapa, dan pandai besi
Sumber: INDECON, 2008
Gambar 3.17 Pengumpul Kerang, Bagang dan Bakul Ikan
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
35
Kegiatan lain seperti penangkapan ikan hias dan penangkapan ikan dengan bagang tidak terkait dengan sektor pariwisata, tetapi berpengaruh pada sektor pariwisata karena menurunkan kualitas sumber daya alam laut Pangandaran.
Fenomena lain adalah pentingnya peran dan posisi bakul ikan dalam rantai distribusi produk perikanan. Posisi mereka jugalah yang mungkin perlu diperhatikan jika pengembangan pengelolaan pariwisata yang bertanggung jawab ingin diwujudkan. Bakul ikan, atau perantara (middle man), berperan sebagai pembeli, penampung, sekaligus penjual ikan, dari nelayan kepada pembeli. Sedangkan pelelangan ikan milik pemerintah di Pangandaran tidak tampak berperan sehingga nyaris sepenuhnya tergantikan oleh para bakul ini yang mengembangkan mekanisme pasarnya sendiri. Di sisi lain, selain berperan sebagai penampung ikan dari nelayan, bakul juga bisa berperan sebagai ‘patron’ untuk nelayan‐nelayan yang membutuhkan bantuan finansial, baik untuk modal atau pinjaman lain. Dengan demikian peran bakul menjadi penting karena tidak semata‐mata terbatas pada hubungan jual beli ikan, tetapi juga mencakup hubungan‐hubungan ekonomi lain yang bisa personal sifatnya. Peran seperti ini sangat penting dalam masyarakat, sehingga perlu dikelola lebih lanjut.
3.3. Kondisi Sosial Budaya
3.3.1 Etnisitas dan kelompok sosial
Komposisi penduduk Pangandaran berdasarkan latar belakang etnik atau suku cukup beragam, namun secara kuantitatif Jawa dan Sunda merupakan kelompok etnik dominan yang ada di Pangandaran. Di Pangandaran juga ada penduduk yang berasal dari etnik lain, seperti Padang, Batak, atau warga Indonesia keturunan Tionghoa. Mereka rata‐rata datang dan menetap di Pangandaran karena pekerjaan atau menikah dengan penduduk setempat. Ada di antara mereka yang telah tinggal di Pangandaran sekitar sepuluh tahun atau lebih.
Sepanjang studi ini dilakukan, belum ditemukan bukti‐bukti kuat tentang kelompok sosial mana yang sesungguhnya disebut sebagai penduduk asli (indigeneus people) Pangandaran, apalagi jika dikategorikan berdasarkan etnik. Walaupun Pangandaran adalah bagian dari propinsi Jawa Barat yang mayoritas penduduknya memiliki kebudayaan Sunda, namun posisi geografis Pangandaran yang berbatasan langsung dengan propinsi Jawa Tengah yang memiliki kebudayaan Jawa, ikut mempengaruhi bentuk hubungan antara budaya Jawa dengan Sunda dalam kehidupan sosial masyarakat Pangandaran sejak dahulu hingga sekarang. Makam Mbah Bungkus yang dianggap sebagai pendiri Desa Wonoharjo misalnya, desa yang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa, diyakini telah ada sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda.
Beberapa narasumber dalam studi ini menduga orang Jawa dan orang Sunda telah ada sejak pemerintah kolonial Belanda masuk ke wilayah Pananjung (Pangandaran) antara akhir abad 19 atau awal abad ke 20. Dengan demikian, anggapan bahwa orang Jawa sebagai pendatang dan orang Sunda sebagai penduduk asli hanya karena Pangandaran berada di propinsi Jawa Barat mungkin perlu diteliti kembali mengingat kedua kelompok etnis ini telah hidup berdampingan jauh sebelum batas administratif propinsi dibentuk oleh pemerintah Indonesia. Baik orang Jawa maupun Sunda telah ikut menentukan perjalanan sejarah dan membangun bentuk kehidupan sosial Pangandaran (Pananjung) dan sekitarnya hingga sekarang. Beberapa orang yang dianggap sebagai tokoh masyarakat di Pangandaran bahkan memiliki garis keturuanan campuran antara Jawa dan Sunda.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
36
Penggunaan bahasa merupakan salah satu aspek yang memperlihatkan sejauh mana hubungan kultural antara kelompok etnik di Pangandaran terjadi. Sebuah studi oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, tentang geografi dialek bahasa Sunda di wilayah kabupaten Ciamis, mengelompokkan wilayah Pananjung, Putrapinggan, Kalipucang dan sekitarnya sebagai daerah‐daerah bilingual bahasa Sunda‐Jawa. Disimpulkan pula bahwa daerah seperti Kalipucang, Panyutran, Pesawahan, Putrapinggan, Pananjung dan Sidamulih ditemukan bahasa yang identitasnya belum diketahui, tetapi bahasa tersebut diduga berbeda dengan bahasa Sunda atau Jawa. Bahasa tersebut menurut penuturnya sedang dalam proses menuju kepunahan karena semakin jarang digunakan (1979: 70‐71).
Hasil studi tentang bahasa Sunda di Pangandaran oleh T. Fatimah Djajasudarma, dkk. (1994) juga menemukan gejala lintas bahasa sebagaimana disebutkan di atas. Studi ini menyimpulkan bahwa akulturasi dari segi bahasa di Pangandaran merupakan salah satu hal yang wajar terjadi pada sebuah kawasan wisata. Bahasa campuran mulai tercipta karena penutur asli bahasa Sunda di Pangandaran berperan sebagai penerima atau resipien dari penutur bahasa non‐Sunda, dalam hal ini adalah Jawa, Indonesia, dan Inggris. Akan tetapi, akulturasi tersebut terjadi masih pada tahap ragam lisan (Fatimah, dkk. 1994: 128‐129).
Dalam masyarakat Pangandaran, bahasa Jawa dan Sunda memang dapat dipahami dan secara bergantian digunakan sebagai alat komunikasi, baik oleh penduduk dalam satu kelompok etnik maupun antara orang Jawa dengan Sunda. Beberapa penduduk Pangandaran yang mengaku sebagai orang Jawa misalnya, memahami pembicaraan dalam bahasa Sunda, demikian pula sebaliknya dengan mereka yang mengaku sebagai orang Sunda. Dalam situasi tertentu, seperti dalam acara pemerintahan atau di sekolah, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar. Sebagian besar penduduk Pangandaran memang mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia terutama dengan orang‐orang luar, seperti pada para wisatawan nusantara.
Meski orang‐orang Sunda dan Jawa telah hidup berdampingan di Pangandaran sepanjang beberapa generasi, namun mereka masih mengacu pada akar budaya etnik masing‐masing. Salah satu faktor mengapa budaya Jawa dan Sunda tetap bertahan adalah karena beberapa permukiman mayoritas dihuni oleh satu kelompok etnis, misalnya di Wonoharjo, Sukoharjo, Sidamulih atau Babakan. Kantong‐kantong (enclave) pemukiman seperti ini cenderung mempertahankan tradisi‐tradisi kelompok karena adanya kesamaan budaya. Penduduk di desa Wonoharjo yang mayoritas suku Jawa misalnya, masih mempertahankan beberapa bentuk kesenian tradisional Jawa seperti: wayang kulit, ruwat bumi, serta seni pertunjukan ketoprak. Bahasa yang mereka gunakan sehari‐hari pun adalah bahasa Jawa.
3.3.2. Pola Pemukiman
Proyek ini mencakup lima desa sebagai satuan administratif pemukiman penduduk. Berdasarkan Undang Undang No. 32 tahun 2002 tentang Pemerintahan Daerah, di setiap desa terdapat pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa, atau disebut pula dengan istilah kuwu, yang dipilih dan diangkat secara langsung oleh masyarakat. Sedangkan BPD adalah semacam dewan perwakilan tingkat desa yang para anggotanya juga dipilih secara musyawarah oleh para tokoh‐tokoh desa. Fungsi dan peran BPD adalah mengawasi jalannya pemerintahan desa, menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta membuat peraturan desa (Perdes) bersama dengan Kepala Desa.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
37
Gambar 3.18 Lahan Pertanian dan Perumahan di Desa
Sumber: INDECON, 2008
Gambar 3.19 Rumah‐rumah di Pangandaran
Sumber: INDECON, 2008
Selain dikelompokkan ke dalam satuan administratif desa, permukiman penduduk di Pangandaran juga dapat dikelompokkan berdasarkan dusun‐dusun yang masing‐masing memiliki seorang kepala dusun atau kampung. Keberadaan kepala dusun ini juga diakui di dalam UU Pemerintahan Daerah sebagai pembantu teritorial bagi kepala desa. Kapasitas dan kewenangan pemerintahan desa ini sesungguhnya sangat potensial dalam pengelolaan kawasan wisata Pangandaran, namun hingga kini keterlibatan pemerintahan desa dalam menangani persoalan pariwisata Pangandaran masih sangat rendah.
Bentang permukiman penduduk Pangandaran kebanyakan terkonsentrasi pada lokasi‐lokasi tertentu yang terpisah dari lahan‐lahan pertanian mereka. Rumah‐rumah penduduk biasanya berkelompok pada satu area yang menjadi pusat kegiatan sosial mereka. Di pemukiman inilah hubungan‐hubungan sosial terjadi di antara penduduk yang rata‐rata masih memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain. Tiap rumah biasanya memiliki satu atau beberapa petak tanah pekarangan yang ditanami berbagai jenis tanaman seperti kelapa, buah‐buahan, tanaman obat, atau tanaman hias. Rumah‐rumah mereka cenderung dibangun di sisi‐sisi sepanjang jalan desa.
Hal yang agak berbeda mungkin terlihat di Desa Pangandaran, juga sebagian Desa Pananjung, yang wilayahnya menjadi pusat kegiatan pariwisata. Di desa ini, pemukiman penduduk lebih padat dengan luas tanah pekarangan yang jauh lebih sempit di banding desa lain yang agak jauh dari pusat kegiatan pariwisata. Salah satu penyebabnya adalah sebagian pekarangan mereka telah dibangun akomodasi, kios, rumah makan atau warung. Beberapa penduduk bahkan telah menjual tanah‐tanah mereka pada pengusaha atau orang luar yang kini memiliki usaha akomodasi atau rumah makan. Oleh karenanya, di sela‐sela penginapan dan rumah makan, terdapat rumah‐rumah penduduk yang tampak berhimpitan.
3.3.3 Tradisi Lokal dan Warisan Budaya
Studi ini mendefinisikan tradisi sebagai segala kebiasaan, norma‐norma sosial maupun perilaku yang berlaku secara kolektif (kelompok) dan telah dipraktekkan dalam waktu yang lama. Warisan budaya juga merupakan salah satu bentuk dari tradisi yang dipertahankan. Beberapa tradisi di Pangandaran
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
38
masih terus dipertahankan secara utuh sementara yang lainnya mengalami perubahan dan penyesuaian. Beberapa tradisi juga ada yang tak lagi dipraktekkan atau hanya menjadi pengetahuan bersama pada masyarakat Pangandaran. Sepanjang studi ini dilakukan, ada beberapa tradisi atau warisan budaya yang berhasil diidentifikasi. Tradisi‐tradisi tersebut dibagi ke dalam beberapa tema, yaitu:
Solidaritas Sosial dan Pengorganisasian Masyarakat,
Tradisi‐tradisi dalam kelompok ini adalah yang terkait dengan sistem pengorganisasian masyarakat yang mengikat seseorang untuk bertindak atau berperilaku sesuai kelompok. Salah satu tradisi yang dimaksud dalam kelompok ini adalah ‘gotong royong’.
Komunitas etnik Jawa di Pangandaran menyebut gotong royong dengan istilah sambatan. Gotong royong di Pangandaran pada dasarnya merupakan mekanisme pengerahan sekelompok individu untuk bekerja sama secara tidak permanen di dalam berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan‐tujuan yang bersifat situasional. Kegiatan gotong royong dapat dilakukan untuk kepentingan bersama dalam lingkup desa, dusun, atau kelompok rumah tangga, misalnya: kerja bakti membersihkan lingkungan pemukiman, membangun rumah, memperbaiki sarana sosial atau rumah ibadah, menjaga keamanan kampung atau ronda malam, atau penyelenggaraan acara‐acara desa. Gotong royong juga dapat dilakukan untuk membantu salah seorang warga atau keluarga yang membutuhkan tenaga kerja, misalnya: dalam persiapan upacara perkawinan, kematian, atau membangun rumah.
Gotong royong di Pangandaran, seperti beberapa tempat lain di Indonesia, masih dilakukan terutama di desa‐desa yang ikatan kekerabatan di antara penduduknya masih cukup kuat. Akan tetapi, gotong royong sangat tergantung pula pada kemampuan pemimpin kelompok atau masyarakat dalam mendorong setiap orang untuk terlibat atau ikut serta. Umumnya, tak ada sanksi yang tegas terhadap individu yang tidak berpartisipasi dalam gotong royong, kecuali sanksi sosial di mana orang tersebut akan dipersepsikan sebagai kurang peduli pada kebutuhan kelompok.
Bentuk lain dari tradisi yang terkait dengan pengorganisasian masyarakat dan solidaritas sosial adalah lumbung desa. Beberapa nara sumber di masyarakat menyatakan bahwa dahulu di beberapa desa di Pangandaran dikenal adanya lumbung desa, yaitu mekanisme menghimpun sebagian kecil dari hasil panen padi yang diperoleh tiap keluarga yang akan dikelola oleh desa atau kampung. Lumbung desa pada dasarnya menyerupai asuransi atau tabungan kelompok. Pada masa lalu, pemimpin kampung akan membagikan padi yang terkumpul secara merata pada tiap keluarga pada saat masa paceklik sehingga kampung terhindar dari kekurangan pangan.
Pada saat ini, dapat dikatakan bahwa lumbung desa sudah tak dapat diterapkan lagi. Sebagian penyebabnya adalah karena jumlah penduduk desa yang terus meningkat sementara di satu sisi jumlah pemilik sawah semakin berkurang sehingga hasil panen tidak sebanding lagi dengan kebutuhan masing‐masing keluarga petani. Selain itu, nilai investasi atau ongkos produksi pengolahan sawah semakin meningkat dibanding hasil panen yang diperoleh petani sehingga nilai ekonominya dianggap semakin kecil dan sulit menyisihkan sebagian hasilnya untuk lumbung desa. Meski demikian, secara individual, masih ada beberapa keluarga petani yang memiliki lumbung padi. Lumbung padi atau disebut leuit ini, merupakan rumah kecil berbentuk panggung yang terbuat dari kayu dan dinding anyaman bambu.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
39
Gambar 3.20 Hajat Bumi dan Hajat Laut
Sumber: INDECON, 2008
Ritual dan Sistem Keyakinan
Tradisi‐tradisi yang termasuk dalam kelompok ini adalah berbagai kegiatan budaya yang terkait dengan sistem keyakinan penduduk tentang alam supranatural, baik agama, legenda, atau mitologi. Beberapa bentuk tradisi yang teridentifikasi dalam studi ini antara lain ritual hajat laut, hajat bumi, Rengganis, atau tradisi‐tradisi lokal yang menyertai perayaan keagamaan (Islam).
Hajat laut merupakan salah satu tradisi yang telah dipraktekkan bertahun‐tahun oleh masyarakat di Pangandaran, khususnya para nelayan. Ritual ini dilaksanakan setiap tahun pada setiap tanggal 1 Muharram tahun Hijriyah atau disebut bulan Suro. Sesungguhnya, bentuk tradisi semacam ini juga dikenal di beberapa komunitas lain di pulau Jawa seperti di Cilacap, Cirebon, atau Pelabuhan Ratu meski dengan teknis dan detail pelaksanaan yang berbeda‐beda. Secara historis, hajat laut merupakan simbolisasi dari ungkapan para nelayan kepada penguasa laut (selatan), yang dalam sistem kebudayaan masyarakat pesisir Selatan Jawa dikenal dengan Nyi Roro Kidul, yang telah memberi keselamatan sepanjang tahun dan hasil laut yang berlimpah kepada nelayan. Ungkapan terima kasih diwujudkan dalam bentuk pengorbanan berupa pelepasan dongdang atau sesaji berisi beraneka jenis makanan dan kepala kerbau ke tengah laut oleh para nelayan. Ritual ini juga biasanya disertai dengan pesta nelayan berupa pagelaran berbagai jenis kesenian tradisional seperti calung, wayang, tari‐tarian dan mocopat.
Pada masa sekarang, ritual hajat laut telah mengalami penyesuaian pada beberapa bagian, seperti jenis dongdang dan pembacaan doa. Perubahan tersebut tak lepas dari kritik kelompok agama (Islam) yang menilai bagian tertentu dari hajat laut cenderung musyrik atau bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya pelepasan kepala kerbau atau pembacaan mantra atau ungkapan yang ditujukan bagi Nyi Roro Kidul. Saat sekarang, hajat laut tak hanya memasukkan unsur‐unsur ajaran Islam, namun telah menjadi atraksi tahunan bagi wisatawan di Pangandaran. Tak hanya kelompok nelayan, para pengusaha pariwisata, pemerintah daerah, sekolah‐sekolah, atau partai politik ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan hajat laut ini.
Tak jauh berbeda dengan hajat laut, hajat bumi juga telah dilakukan di Pangandaran selama bertahun‐tahun, khususnya oleh para petani. Jenis ritual ini sesungguhnya tidak spesifik dimiliki oleh Pangandaran karena tradisi serupa juga dapat ditemukan pada beberapa komunitas petani di pulau Jawa, misalnya di Garut atau Tasikmalaya. Secara umum, hajat bumi merupakan penggabungan antara ritual pengorbanan dan ungkapan terima kasih yang diiringi dengan pesta sebagai wujud kegembiraan.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
40
Hajat bumi merupakan upacara adat di desa‐desa yang mayoritas penduduknya adalah petani, sebagai ungkapan terima kasih pada penguasa bumi, dahulu dikenal dengan Dewi Sri, yang telah memberikan kesuburan tanah dan tanaman sehingga petani memperoleh panen berlimpah. Dahulu ritual ini diselenggarakan secara gotong royong di antara para petani. Dengan gotong royong, beban penyelenggaraan hajat bumi menjadi lebih ringan karena ditanggung secara bersama. Pengorbanan dan ungkapan terima kasih diwujudkan dalam bentuk sesaji dan kidung atau nyanyian, sedangkan ungkapan kegembiraan diwujudkan dengan penampilan berbagai bentuk kesenian tradisional sebagai hiburan, seperti rengkong, wayang, tari‐tarian dan mocopat.
Sama seperti hajat laut, ritual hajat bumi juga dinilai mengandung unsur‐unsur yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh karenanya, pada beberapa bagian juga mengalami perubahan dengan memasukkan ajaran Islam, misalnya pembacaan doa yang ditujukan kepada Allah SWT.
Di beberapa desa, hajat bumi sudah tidak dilakukan lagi, kecuali atas keinginan pribadi dari petani. Hal ini terjadi terutama karena faktor‐faktor ekonomi pertanian yang dirasa semakin tidak efisien bagi petani. Dalam hal tanaman pertanian sawah misalnya, ongkos pengolahan sawah semakin tinggi dibanding hasil padi yang diperoleh petani. Petani menganggap hasil yang mereka peroleh kini kurang memadai dibanding biaya yang harus mereka tanggung untuk penyelenggaraan hajat bumi, meskipun itu dilakukan secara gotong royong di tingkat desa. Untuk mengurangi biaya hajat bumi, seorang petani yang menyelenggarakan hajat bumi kadang mengganti hiburan dengan kesenian yang lebih moderen dan murah, seperti organ tunggal atau jaipong dangdut (pongdut). Dibanding wayang atau tarian tradisional, biaya untuk menampilkan organ tunggal atau pongdut dianggap lebih murah biayanya, namun jauh lebih meriah.
Ritual Cirengganis adalah upacara adat mengenang legenda Dewi Rengganis yang dikenal dengan nama Siti Samboja. Ritual ini dilaksanakan setiap malam Jumat Kliwon menurut kalender Jawa. Lokasi upacara adalah Mata Air Cirengganis yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Pananjung‐Pangandaran. Pada malam Jumat Kliwon, sejak sore hari, biasanya telah berdatangan orang‐orang dari berbagai daerah di sekitar Pangandaran yang meyakini legenda Dewi Rengganis ini. Jumlah mereka bisa mencapai sedikitnya seratus orang yang berkumpul di sekitar mata air dan Gua Cirengganis untuk mengikuti setiap tahapan ritual yang biasanya dimulai menjelang tengah malam. Sebagian besar peserta ritual ini bertujuan untuk mandi atau membasuh muka di Mata Air Cirengganis. Mereka meyakini bahwa dengan mandi atau membasuh muka dengan air Cirengganis, mereka akan diberkahi awet muda atau beberapa keinginan mereka terkabulkan.
Ritual Cirengganis merupakan tradisi yang cukup kontroversial di Pangandaran. Di tengah berbagai kritik terhadap penyelenggaraan ritual ini, Dinas Pariwisata Kabupaten Ciamis pernah mencoba mengembangkannya sebagai sebuah atraksi wisata. Namun, sedikitnya ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum ritual tersebut dikembangkan sebagai atraksi wisata di masa depan. Faktor pertama terkait dengan aspek legalitas atas lokasi penyelenggaraannya yang berada dalam kawasan cagar alam. Jika mengacu pada UU No.5 tahun 1990, maka ritual Cirengganis termasuk ke dalam bentuk kegiatan yang dilarang dilakukan pada kawasan cagar alam kecuali kegiatan ini mendukung tujuan konservasi sebagaimana ditetapkan dalam undang‐undang tersebut. Pengembangan Cirengganis sebagai sebuah atraksi wisata akan membawa implikasi pada legalitas pengelolaan CA Pananjung‐Pangandaran di mana pihak BKSDA dianggap melanggar undang‐undang yang berlaku.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
41
Gambar 3.21 Botram di Pangandaran
Sumber: INDECON, 2008
Faktor kedua adalah munculnya kritik‐kritik yang menilai ritual Cirengganis bertentangan dengan ajaran agama Islam. Desakan untuk menghentikan ritual ini juga pernah disampaikan oleh pihak MUI setempat. Akan tetapi, sejauh ini ritual Cirengganis masih tetap berlangsung. Pihak penyelenggara tradisi ini menilai bahwa ritual Cirengganis tidak terkait dengan keyakinan agama apapun, melainkan hanya kegiatan budaya karena bertujuan mempertahankan tradisi atau adat istiadat yang telah dilakukan sejak dahulu. Dalam ritual ini bahkan telah dilakukan pula pembacaan doa menurut ajaran agama Islam. Pengembangan ritual Cirengganis sebagai atraksi wisata dalam hal ini juga kemungkinan hanya akan memperkuat desakan agar ritual ini dihapuskan di Pangandaran.
Tradisi keagamaan juga bisa ditemukan di Pangandaran, terutama yang berhubungan dengan peristiwa‐peristiwa khusus dalam agama Islam, seperti Hari Raya dan puasa. Masyarakat Pangandaran memiliki tradisi botram, yaitu tradisi makan bersama dalam lingkungan tempat tinggal atau kampung pada acara‐acara tertentu. Tradisi ini juga dilakukan pada saat munggah atau beberapa hari menyambut bulan puasa Ramadhan. Selain botram, keluarga‐keluarga di Pangandaran juga biasa melakukan nyekar atau nyadran, yaitu berziarah ke makam kerabat mereka yang telah meninggal untuk membaca doa bersama. Tradisi nyekar ini juga bertujuan untuk terus mengenang dan menjalin hubungan dengan anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Permohonan untuk saling memaafkan merupakan bagian yang bertujuan untuk membersihkan hati setiap orang sebelum menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Tradisi saling memaafkan dan saling mengunjungi kerabat atau tetangga juga dilakukan pada saat memasuki hari raya Idul Fitri. Dalam suasana seperti ini, tak ada tradisi yang spesifik yang hanya dilakukan oleh masyarakat Pangandaran karena kegiatan tersebut umum pula dilakukan oleh masyarakat lain di Jawa Barat.
Mekanisme Pengendalian Sosial
Tradisi‐tradisi yang terkait dengan mekanisme pengendalian sosial merupakan kebiasaan, aturan, norma ataupun hukum lokal yang diterapkan masyarakat Pangandaran untuk menjamin keteraturan dan integritas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagian dari bentuk‐bentuk tradisi dalam kelompok ini antara lain: sistem penyelesaian konflik serta tata krama dalam hubungan sosial.
Penyelesaian konflik di Pangandaran cenderung dilakukan berdasarkan kesepakatan pihak‐pihak yang terlibat. Pada kasus tertentu, konflik dapat diselesaikan secara musyawarah, yang kadang pula melibatkan tokoh masyarakat yang ditunjuk sebagai mediator atau hakim. Akan tetapi, pada situasi di mana musyawarah tidak memberi kepuasan pada pihak yang berkonflik, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan hukum nasional yang melibatkan pihak kepolisian, bahkan hingga mencapai proses pengadilan.
Budaya Sunda atau Jawa juga berpengaruh terhadap bentuk‐bentuk hubungan sosial masyarakat di Pangandaran, misalnya dalam perkawinan maupun pembagian warisan. Baik budaya Sunda maupun Jawa menganut sistem kekerabatan bilineal, yaitu seorang individu meletakkan garis kekerabatan dari
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
42
pihak ayah maupun ibu secara setara. Sistem kekerabatan seperti ini menyebabkan kewajiban dan hak yang sama bagi kerabat‐kerabat pihak ayah maupun ibu dalam berbagai kegiatan keluarga.
Tata krama dalam pergaulan atau hubungan sosial antar individu juga masih bertahan di tengah masyarakat Pangandaran. Dalam komunikasi verbal misalnya, baik etnik Jawa maupun Sunda di Pangandaran mengenal stratifikasi bahasa yang penggunaannya bergantung pada situasi komunikasi serta status sosial lawan bicara. Stratifikasi bahasa ini terutama sangat terkait dengan nilai‐nilai sopan santun yang terlihat pada perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari‐hari. Penggunaan kosa kata tertentu dalam komunikasi akan menunjukkan seberapa jauh perilaku seseorang dianggap sesuai dengan tata krama atau sopan santun yang berlaku di masyarakat Pangandaran. Tata krama seperti itu juga dapat terwujud dari penyebutan kata sandang atau predikat oleh seseorang terhadap lawan bicaranya, tergantung hubungan sosial mereka, misalnya: perbedaan usia, status dalam kekerabatan, atau atasan‐bawahan, dan sebagainya.
Ekspresi Estetik dan Kesenangan
Bentuk‐bentuk tradisi yang terkait dengan ekspresi estetika dan kesenangan yang dikenal oleh masyarakat Pangandaran secara umum terbagi menjadi tiga, yaitu kesenian, permainan rakyat, serta tradisi kuliner (tata boga). Permainan rakyat adalah jenis‐jenis permainan tradisional yang dipraktekkan sebagai kegiatan untuk mengisi waktu luang. Khusus kesenian, studi ini telah mengelompokkan beberapa bentuk kesenian ke dalam kategori seni tari, musik, seni kriya atau kerajinan, serta seni drama atau teater, termasuk di dalamnya wayang golek dan wayang kulit (lihat Lampiran 2).
Jenis‐jenis kesenian yang ada di Pangandaran sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa dan Sunda. Adanya dua bentuk budaya kesenian dalam satu lokasi ini memberi keunikan sendiri bagi Pangandaran. Jenis‐jenis kesenian tersebut umumnya bertahan dan masih ditampilkan lewat keberadaan berbagai sanggar atau kelompok seni di desa‐desa. Ada kalanya, dalam satu desa dapat ditemui sanggar seni Jawa maupun Sunda. Studi ini sedikitnya berhasil menghimpun informasi dari 10 kelompok seni atau sanggar di lima desa (lihat Lampiran 3).
Gambar 3.22 Musik Tradisional : Calung, Gamelan dan Kentongan
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
43
Beberapa jenis kesenian tradisional di Pangandaran merupakan bagian yang menyatu dengan penyelenggaraan ritual‐ritual tertentu, seperti hajat bumi dan hajat laut. Ketika dua ritual ini semakin jarang dilakukan, atau telah mengalami banyak perubahan, maka jenis‐jenis kesenian yang ada di dalamnya pun semakin berkurang kesempatannya untuk ditampilkan, misalnya tarian ronggeng gunung, wayang, atau rengkong.
Perubahan selera dan berkurangnya ketertarikan masyarakat Pangandaran secara umum juga ikut mempengaruhi tingkat penerimaan mereka terhadap kesenian tradisional di Pangandaran. Hal ini secara langsung tentu berpengaruh pada keberadaan sanggar atau kelompok seni yang selama ini menjadi pelaku kunci dari pelestarian kesenian tradisional di Pangandaran. Pada masa sekarang semakin banyak penduduk Pangandaran yang menyukai jenis kesenian moderen sebagai bentuk hiburan dalam berbagai perayaan atau pesta, misalnya jaipong dangdut (pongdut) maupun organ tunggal. Survey sosial oleh LWG terhadap 313 penduduk di lima desa menunjukkan bahwa pongdut atau dangdut moderen adalah hiburan yang paling disukai dalam pesta‐pesta di desa.
Beberapa penduduk yang ditemui dalam studi ini juga memberi alasan mengapa pongdut atau organ tunggal (dangdut) lebih disukai dan makin sering ditampilkan dalam pesta‐pesta di desa. Salah satu alasannya adalah karena biaya yang dibutuhkan untuk menampilkan satu kelompok musik pongdut masih jauh lebih murah dibandingkan memanggil kelompok tari ronggeng gunung atau wayang. Satu kelompok pongdut dapat dibayar dengan tarif berkisar antara Rp. 1.000.000 –Rp. 2.000.000 untuk penampilan sepanjang malam. Sedangkan wayang golek atau wayang kulit bisa mencapai Rp. 4.000.000 hingga Rp. 5.000.000 karena kesenian ini membutuhkan jumlah pemain yang lebih banyak. Alasan lainnya adalah karena perubahan selera penduduk terhadap jenis kesenian atau hiburan tertentu. Minat yang bergeser ini tentu saja berdampak pada seberapa banyak penonton yang akan menghadiri suatu pertunjukan. Semakin sedikit penonton, semakin kurang meriah acara pesta yang diselenggarakan. Oleh karenanya, kebanyakan penyelenggara pesta lebih memilih menampilkan dangdut moderen karena dianggap lebih meriah dan murah biayanya. Kondisi seperti ini secara bertahap tentu akan menyebabkan kesenian tradisional di Pangandaran memudar.
Tabel 3.1 Jenis Hiburan di PangandaranJenis hiburan yang disukai penduduk %
Dangdut moderen (pongdut) 46.3%Ronggeng gunung 17.6%Wayang Golek 16.3%Wayang Kulit 13.7%
Sumber:
Gambar 3.23 Tarian Tradisional : Ronggeng, Tari Topeng Kelana dan Tari Merak
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
44
Bulan Januari 2009, dalam acara sarasehan yang dihadiri lebih dari dua puluh pelaku seni dan budaya Pangandaran terungkap bahwa kelesuan pertunjukan seni budaya di Pangandaran juga terjadi akibat kurangnya perhatian pemerintah daerah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ciamis) terhadap pengembangan sanggar‐sanggar seni budaya yang ada di beberapa desa. Para seniman dan budayawan juga menganggap beberapa prasarana dan sarana pertunjukan seni budaya telah beralih fungsi, misalnya pasar wisata dan gedung kesenian. Khusus gedung kesenian, para seniman dan budayawan juga mempertanyakan status bangunan tersebut karena sempat dikontrakkan pada individu untuk menjadi diskotik. Padahal pada tahun 80‐an telah banyak pertunjukan seni dan budaya lokal yang ditampilkan di gedung tersebut sebagai tontonan bagi wisatawan. Sejak gedung tersebut beralih fungsi, para seniman merasa tak lagi memiliki ruang untuk tampil dan berkumpul.
Selain kesenian tradisional, studi ini juga telah menghimpun sedikitnya lima belas jenis permainan rakyat yang umumnya dimainkan oleh anak‐anak di Pangandaran (lihat Lampiran 4). Secara umum, jenis‐jenis permainan yang ditemukan di Pangandaran juga dapat ditemui di daerah lain di Jawa Barat, misalnya Gobag sodor, Gatrik, atau Oray‐Orayan. Jenis‐jenis permainan ini juga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa maupun Sunda. Nilai‐nilai yang terkandung dalam tiap permainan antara lain adalah nilai persaingan, solidaritas, kerjasama, kejujuran dan sportifitas, ketangkasan dan kecepatan serta olah tubuh. Ada beberapa jenis yang dimainkan secara kelompok maupun individual.
Perubahan juga telah terjadi terhadap sebagian dari jenis‐jenis permainan rakyat ini. Beberapa permainan masih cukup sering dimainkan oleh sekelompok anak‐anak di desa atau saat mereka mengisi jam istirahat di sekolah. Ada juga jenis‐jenis permainan yang ditampilkan pada perayaan hari kemerdekaan RI. Akan tetapi, beberapa jenis permainan juga sudah sangat jarang dimainkan, bahkan banyak anak‐anak yang tak lagi mengetahui cara bermainnya. Permainan‐permainan tersebut hanya
Gambar 3.24 Wayang Kulit dan Wayang Golek
Sumber: INDECON, 2008
Gambar 3.25 Beberapa Permainan Rakyat : bebecakan, dam‐daman, dan lompat tali
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
45
menjadi ingatan dari orang‐orang dewasa yang pada saat mereka anak‐anak masih memainkannya. Di tengah permainan rakyat, anak‐anak Pangandaran juga semakin banyak yang menyukai dan mengenal jenis‐jenis permainan moderen, seperti Playstation (PS). Kini beraneka macam mainan anak‐anak buatan pabrik, mulai dari harga yang paling murah hingga mahal, jauh lebih mudah ditemukan di pasar tradisional Pangandaran. Sangat sulit mendapatkan pedagang di pasar yang menjual berbagai mainan tradisional.
Studi ini telah mengumpulkan sedikitnya empat belas jenis makanan dan minuman tradisional yang dikenal masyarakat Pangandaran (lihat Lampiran 5). Jenis‐jenis makanan tersebut termasuk dalam lauk pauk atau menu makanan utama (main course), makanan selingan atau camilan, serta jenis makanan yang hanya dibuat pada peristiwa‐peristiwa khusus seperti bulan Puasa atau Lebaran Idul Fitri. Salah satu jenis makanan yang diakui sebagai khas Pangandaran adalah pindang gunung, sejenis sup ikan dengan rasa pedas dan asam yang dominan. Pindang gunung merupakan jenis lauk pauk dalam menu makanan utama. Akan tetapi, meski kebanyakan keluarga di Pangandaran mengenal pindang gunung, namun jenis makanan ini kurang populer bagi wisatawan. Sangat jarang rumah makan atau restoran yang menyajikan Pindang Gunung, kecuali rumah makan Cagar Alam dan segelintir rumah makan kecil lainnya. Satu tahun terakhir, Pindang Gunung Pangandaran telah mulai dipromosikan melalui media elektronik, seperti internet serta disiarkan dalam program nasional Wisata Kuliner oleh stasiun Trans TV.
Selain Pindang Gunung, di Pangandaran juga dapat ditemui beberapa jenis makanan ringan yang dipengaruhi oleh budaya kuliner Jawa maupun Sunda, seperti bugis, awug, cetil, otok owog, lanting, surabi, dan getuk lindri. Jenis‐jenis cemilan ini dapat ditemui di pasar tradisional Pangandaran dan kios‐kios di lokasi pariwisata sebagai oleh‐oleh yang dijual pada wisatawan. Jenis‐jenis makanan ini juga kadang menjadi bagian dari sesaji atau dongdang saat ritual hajat laut, hajat bumi, atau Cirengganis.
Tradisi dalam Kegiatan Ekonomi
Tradisi di Pangandaran yang terkait dengan kegiatan ekonomi secara spesifik merupakan bagian dari sistem produksi pertanian, perkebunan, maupun perikanan yang digeluti masyarakat setempat. Sebagian dari aspek‐aspek yang ada dalam kegiatan ekonomi ini antara lain dalam hal: teknik produksi, aturan dalam sistem produksi, mekanisme pembagian aset dan hasil produksi. Secara umum, tradisi dalam kegiatan ekonomi di atas hingga kini masih berlaku pada kelompok masyarakat petani dan nelayan di Pangandaran.
Teknik dan penggunaan teknologi pengolahan lahan maupun perikanan telah mengalami perubahan akibat perkembangan teknologi dan program pembangunan pertanian di Indonesia. Penggunaan teknologi baru telah lama dilakukan oleh petani dan nelayan di Pangandaran, misalnya traktor yang menggantikan kerbau, sabit atau parang yang menggantikan etem atau ani‐ani, varietas padi rekayasa yang menggantikan jenis‐jenis lokal, penggunaan pupuk dan pestisida kimia buatan pabrik, heler atau
Gambar 3.26 Contoh Makanan Lokal: Pindang Gunung, Tumis Pakis,Peyeum, Empog, dan Calang Aren
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
46
mesin penggiling padi yang menggantikan alu dan lesung, penggunaan bagang tancap serta mesin tempel berbahan bakar minyak oleh nelayan.
Transformasi teknologi ini secara langsung mempengaruhi teknik dan pola produksi lama yang dipraktekkan secara turun temurun. Pertimbangan alih teknologi tersebut merupakan konsekuensi dari tujuan‐tujuan ekonomi petani dan nelayan untuk mendapatkan surplus produksi dengan cara lebih cepat, mudah dan berlimpah. Akan tetapi, sebagian dari sistem pengetahun petani dalam cocok tanam padi masih terus bertahan dan digunakan, terutama dalam hal tahapan masa tanam atau disebut dengan titi mangsa. Pengetahuan titi mangsa ini hingga kini masih diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya, misalnya sebagaimana dilakukan pada masyarakat petani di Desa Wonoharjo yang mayoritas etnik Jawa.
Mekanisme distribusi hasil produksi secara umum tetap dipertahankan meskipun mengalami sedikit penyesuaian. Saat penggunaan etem masih dilakukan, selain dari pembagian hasil dengan penggarap sawah, petani yang memanen padi (gadeng) masih dapat memperoleh bagian dari tangkai padi yang tak terpotong oleh etem. Akan tetapi, penggunaan sabit atau parang menyebabkan seluruh batang padi akan dipotong dan diserahkan pada pemilik atau penggarap sawah. Petani gadeng kemudian hanya mendapatkan hasil berdasarkan pembagian dengan petani penggarap, biasanya dalam bentuk beberapa ikat padi dengan pembagian satu banding lima bagian. Efesiensi serta kepraktisan telah mengubah sistem pembagian hasil ini, misalnya pembagian dalam bentuk gabah yang dihitung dengan ‘kaleng’ atau dalam bentuk uang.
Mekanisme pembagian hasil pertanian juga sangat ditentukan oleh penguasaan aset produksi, terutama lahan atau sawah. Hal seperti ini juga umum berlaku di desa‐desa pertanian di pulau Jawa. Penguasaan aset produksi (sawah) ikut membentuk struktur sosial pada masyarakat petani di Pangandaran, yang terbagi atas petani pemilik, petani penggarap, serta buruh tani. Petani pemilik adalah petani yang sepenuhnya memiliki sawah. Petani penggarap adalah petani yang tidak memiliki sawah namun memiliki hak mengolah sawah berdasarkan kesepakatan pembagian hak dan kewajiban dengan pemilik. Penggarap memiliki kewajiban menanggung seluruh proses produksi padi dan memiliki hak atas hasil panen melalui pembagian dengan pemilik. Sistem pembagian hasil antara pemilik dan penggarap umumnya dikenal dengan maro, di mana penggarap menyediakan seluruh ongkos produksi dan mendapat hasil panen dengan pembagian sama rata dengan pemilik. Buruh tani adalah para petani yang bekerja pada penggarap dengan imbalan berupa hasil panen maupun upah harian. Buruh tani tidak menguasai sawah dan tidak menanggung ongkos produksi.
Stratifikasi sosial berdasarkan penguasaan aset produksi juga berlaku pada komunitas nelayan di Pangandaran. Struktur tersebut pada akhirnya juga berpengaruh terhadap mekanisme pembagian hasil tangkapan di antara para pelaku dalam sistem perikanan tangkap. Juragan adalah pemilik perahu yang
Gambar 3.27 Ani‐ani, Parang dan Heler
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
47
mempekerjakan para janggol yang bertugas sebagai penangkap ikan. Selain janggol, dalam perahu juga terdapat seorang tekong yang berperan sebagai pengemudi perahu atau kapal. Juragan, janggol dan tekong akan mendapatkan bagian‐bagian tertentu dari hasil tangkapan setelah dipotong dengan biaya operasional seperti bahan bakar.
3.4 Pariwisata
3.4.1 Atraksi wisata
Kawasan Pangandaran memiliki beberapa atribut istimewa yang membuatnya unggul dan berbeda dari kawasan lain yaitu :
1. Tempat dengan keanekaragaman hayati dan lansekap unik yang mudah diakses (accessible) di Indonesia
Keistimewaan ini terbentuk dari kombinasi lansekap yang terdapat di kawasan ini seperti: peninsula, dari lehernya kita dapat melihat matahari terbit dan terbenam, pantai ‐berpasir dan berkarang‐ terpanjang di Jawa Barat, mata air, sungai dan muara sungai, gua‐gua alami dengan stalaktit dan stalagmitnya, gua‐gua buatan termasuk terowongan KA terpanjang di Indonesia. Keistimewaan ini juga terwujud dari kehadiran cagar alam, cagar alam laut dan taman wisata alam dengan keanekaragaman hayati di dalamnya.
2. Tempat penghasil beberapa makanan pesisir terbaik di Pulau Jawa
Pangandaran adalah salah satu tempat dengan makanan laut yang baik, lezat dan segar di P. Jawa. Pangandaran sejak lama dikenal sebagai penghasil jambal roti dengan kualitas baik di Indonesia dan menjadi cindera mata khas dari kawasan ini. Kawasan ini juga menawarkan sajian makanan laut segar khas setempat. Selain itu, Pangandaran merupakan salah satu tempat penghasil gula kelapa terbesar di Indonesia. Jenis Kelapa di kawasan ini merupakan salah satu yang terbaik untuk dijadikan santan dan bahan makanan.
3. Tempat dijumpainya situs bersejarah dan perpaduan budaya Jawa dan Sunda
Peninggalan sejarah menunjukkan bahwa kawasan Pangandaran diduga memiliki kaitan dengan pemerintahan kerajaan (Hindu) Galuh karena di kawasan ini dijumpai peninggalan fisik maupun kesenian yang terkait dengan sejarah kerajaan tersebut. Selain itu, letaknya yang berdekatan dengan Jawa Tengah membuat kawasan ini merupakan tempat berpadunya kebudayaan Jawa dan Sunda. Di sini, beraneka ragam kesenian dari ke dua etnik tersebut eksis secara berdampingan, memberikan atmosfir budaya yang berbeda dari tempat‐tempat lainnya.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
48
Melalui lokakarya bersama para pemangku kepentingan di Pangandaran, telah berhasil diidentifikasi lebih dari 50 atraksi wisata (Tabel 3.2‐3.4). Daftar ini terus berkembang dengan masukan dari masyarakat sepanjang proses penyusunan rencana. Sebaran atraksi wisata tersebut dapat dilihat pada Peta 3.2 sementara informasi detil mengenai tiap atraksi wisata dapat dilihat dalam Direktori Atraksi Wisata Kawasan Pangandaran.
Lebih dari 60 % atraksi wisata yang diidentifikasi di kawasan Pangandaran adalah atraksi wisata berbasis alam (geofisik dan lansekap serta ekologis/biologis), selebihnya adalah atraksi wisata berbasis budaya dan sejarah. Atraksi wisata berbasis alam tersebut sebagian besar telah dikenal dan dikunjungi wisatawan, sementara itu hanya sedikit atraksi wisata yang berbasis budaya dan sejarah –umumnya berbentuk peninggalan sejarah dan budaya serta event‐ yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Potensi atraksi wisata budaya lainnya yang berbentuk seni pertunjukan masih sulit untuk diakses oleh pengunjung. Pelaksanaan beberapa kegiatan budaya memang masih menjadi perdebatan antar berbagai pihak karena pertimbangan religius, namun ketiadaan kegiatan kesenian lainnya seperti telah disampaikan sebelumnya lebih disebabkan karena kesempatan yang makin terbatas untuk menampilkannya.
Peta 3.2 Distribusi Atraksi wisata di Kawasan Studi Pangandaran
Sumber : Peta BAPPEDA Ciamis, diolah oleh INDECON 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
49
Tabel 3.3 Atraksi wisata Ekologis/Biologis Daya Tarik Aktual/Potensial
A. Di dalam kawasan studi
• Hutan primer di CA Pananjung Pangandaran A
• Pusat penelitian nyamuk di Ds. Babakan A
• Kalong di CA Pananjung Pangandaran P
• Kera ekor panjang di TWA Pananjung Pangandaran A
• Terumbu karang di CA Laut sebelah barat A
• Kawasan rehabilitasi hutan bakau di Bulak Setra (S. Cibuntung) P
• Padang rumput (Cikamal) di CA A
• Perkebunan kelapa di Ds. Pananjung A
• Raflesia patma di CA Pananjung Pangandaran A
• Laguna di P. Cikembulan, Ds. Cikembulan* P
• Wallet di Gua Ciguntren di CA Pananjung Pangandaran P
B. Di luar kawasan studi
• Aneka buah di Lembah Putri di Putra Pinggan, Ds. Kalipucang A
• Penangkaran penyu di Batu Hiu P
• Hutan mangrove di Bojong Salawe P
• Ekosistem laguna di Sukaresik P
• Budidaya ikan kerapu di Karang Tirta P
• Padi air payau di Karang Tirta P Sumber: Hasil lokakarya dan analisis, 2008
Keterangan: A = aktual (telah menjadi atraksi wisata) B= potensial
Tabel 3.2 Atraksi wisata Geofisik dan Lansekap Daya Tarik Aktual/Potensial
A. Di dalam kawasan studi
• Pantai Barat Pangandaran A
• Pasir putih di CA Pananjung Pangandaran A
• Goa alam di TWA Pangandaran A
• Batu layar di P. Timur CA Pananjung Pangandaran A
• Goa peninggalan Jepang di TWA Pananjung Pangandaran A
• Ombak di Batu Mandi di P. Barat CA Pananjung Pangandaran A
• Air terjun Tadah Angin, di CA Pananjung Pangandaran A
B. Di luar kawasan studi
• Stalagmit & stalaktit Cukang Taneuh di Ds. Kertayasa A
• Pemandangan pantai di Karang Nini, Ds. Kalipucang A
• Lansekap pantai di Karapyak, Ds. Kalipucang A
• Mata air di Citumang A
• Pemandangan pantai di lokasi P. Batu Hiu, Ds. Parigi A
• Terowongan Wilhelmina di Ds. Bagalo, Kec. Kalipucang P
• Curug Guling Sapi di Ds. Putra Pinggan P
• Curug Natal di Ds. Sukahurip P
• Curug Puringis di Bojong, Ds. Putra Pinggan P
• Curug Jambe di Purbahayu P
• Curug/air terjun Bojong di hutan jati Ds. Sukahurip P
• Matras P Sumber: Hasil lokakarya dan analisis, 2008 Keterangan: A = aktual (telah menjadi atraksi wisata) B= potensial
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
50
Lebih dari setengah daya tarik kawasan Pangandaran yang telah diidentifikasi terletak di kawasan studi/perencanaan, yang mengindikasikan pentingnya posisi kawasan studi bagi kawasan wisata Pangandaran pada umumnya. Sebagian atraksi wisata alam di kawasan studi dijumpai di Cagar Alam (CA) dan Taman Wisata Alam (TWA) Pananjung Pangandaran, sementara sebagian besar atraksi wisata budaya terdapat di luar kawasan CA dan TWA Pananjung Pangandaran. Kedua jenis daya tarik tersebut
Gambar 3.28 Beberapa Atraksi wisata di Pangandaran
Pantai Barat Pangandaran
Sungai Citumang Tarian Tradisional Taman Wisata Alam
Sumber: INDECON, 2008
Tabel 3.4 Atraksi wisata Budaya dan Sejarah Daya Tarik Aktual/Potensial
A. Di dalam kawasan studi
• Pasar ikan Pangandaran di P. Timur Pangandaran A • Situs Batu Kalde di TWA Pananjung Pangandaran A • Pelabuhan di Ds. Babakan P • Pelelangan ikan di P. Timur Pangandaran P • Perayaan hajat laut 1 Muharram di P. Barat dan P. Timur Pangandaran A • Pasar wisata di Ds. Pananjung A • Festival layang‐layang di P. Timur Pangandaran A • Seni tari Sintren (hampir sama seperti Tayub dengan putri yang
dikurung) di Ds. Pananjung P • Wayang kulit di Ds. Wonoharjo dan Babakan A • Seni musik Kentongan di Ds. Pananjung P • Seni Kuda Lumping di Ds. Wonoharjo dan Pananjung P • Seni tari Tayub dan Janen di Ds. Wonoharjo P • Hajat bumi pada bulan Mulud di setiap desa pada bulan Mulud P • Seni musik tradisional Rebana di Ds. Pananjung P
B. Di luar kawasan studi • Makam untuk ziarah di Kramat Babakan di Cicurug, Ds. Sukahurip A
• Seni tari ronggeng gunung di Ds. Pager Gunung P
• Seni musik Gondang di Ds. Sukahurip P Saung Wayang Golek Agus
A Sumber: Hasil lokakarya dan analisis, 2008
Keterangan: A = aktual (telah menjadi atraksi wisata) B= potensial
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
51
dapat saling melengkapi, namun seperti disampaikan sebelumnya cukup banyak atraksi wisata yang bersifat pertunjukan kesenian hingga saat ini masih sulit untuk diakses dan dinikmati oleh pengunjung.
3.4.2 Aksesibilitas
Pangandaran sangat bergantung pada transportasi darat. Jalur jalan menuju kawasan Pangandaran dari kota‐kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah umumnya cukup baik. Pangandaran dihubungkan dengan transportasi publik berupa bus ke kota‐kota Jakarta, Tangerang di propinsi Banten, Bekasi, Depok, Sukabumi, Bandung, Tasikmalaya di Propinsi Jawa barat dan kota Purwokerto dan Cilacap di Jawa Tengah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.5 dan Peta 3.3.
Tabel dan Peta tersebut memperlihatkan kapasitas transportasi publik ke kota‐kota tersebut per bulan dan load factornya yang kecil, khususnya ke kota‐kota yang berjarak cukup jauh dari Pangandaran. Selain bus, terdapat pula sarana transportasi non bus yang memperbanyak frekuensi perjalanan dan kapasitas angkut ke kota‐kota tersebut.
Hingga tahun 80‐an sesungguhnya terdapat pelayanan kereta api Banjar – Pangandaran‐Cijulang, yang melalui jalur kereta api peninggalan kolonial. Rute perjalanan ini konon merupakan perjalanan dengan pemandangan yang indah. Kini, walaupun jembatan dan terowongan kereta api tersebut masih dapat dijumpai namun rel dan kelengkapannya sudah hilang.
Gambar 3.29 Jalan dan Terminal di Pangandaran
Sumber: INDECON, 2008
Peta 3.3 Trayek Angkutan Bus Menuju Pangandaran Beserta Load Faktornya
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
52
Pada bulan Oktober 2004 –Maret 2005, terdapat pelayanan penerbangan percobaan bersubsidi dari Bandung – Pangandaran (Nusa Wiru). Namun hingga berakhirnya masa pemberian subsidi, load factor penerbangan hanya mencapai 50‐60% atau tidak mencapai load factor minimal yang diperlukan (70%) sehingga penerbangan tersebut dihentikan. Ketidakberhasilan tersebut karena setelah bencana tsunami di Aceh pada Desember 2004, terjadi penurunan tajam pengunjung ke Pangandaran pada khususnya maupun kawasan wisata pantai pada umumnya. Saat ini tengah berkembang wacana untuk mengoperasikan Bandara Nusa Wiru sebagai bandara kargo di tahun 2009 (Tribun Jabar.co.id, 3 September 2008). Selain Bandara Nusa Wiru terdapat sebuah air strip di sempadan pantai Desa Wonoharjo yang dibangun dan digunakan swasta.
Pangandaran sesungguhnya dapat dicapai melalui sungai dari Cilacap, Jawa Tengah dengan menyusuri Sungai Citanduy dengan menggunakan perahu masyarakat. Perjalanan ini disukai oleh sedikit wisatawan mancanegara yang ingin melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dengan unik.
Transportasi di dalam kawasan studi sendiri relatif terbatas. Untuk bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam kawasan harus dilakukan dengan berjalan kaki atau menggunakan becak yang jumlahnya terbatas. Pengunjung dapat menyewa sepeda, motor, All Terrain Vehicle (ATV), dan mobil, namun tidak semua moda tersebut adalah moda transportasi jalan umum. Terlebih‐lebih bagi penduduk moda transportasi tersebut tidak ekonomis.
3.4.3 Pelayanan Sarana dan Prasarana Pariwisata
Usaha akomodasi
Sebagai kawasan wisata penting di Jawa Barat, terdapat usaha akomodasi yang cukup banyak di kawasan ini. Pada tahun 2006 tercatat (tahun terjadinya tsunami) sebanyak 191 usaha akomodasi beroperasi di kawasan ini. Namun angka tersebut menurun menjadi 141 pada tahun 2006 (Tabel 3.6). Perubahan jumlah usaha akomodasi di suatu tempat, kadang‐kadang disebabkan karena banyak usaha yang tidak melaporkan kemajuan usaha secara rutin, namun dalam kasus Pangandaran hal ini bisa jadi disebabkan oleh kerusakan akibat bencana tsunami di tahun 2006 sehingga cukup banyak usaha akomodasi berskala kecil (<24 kamar) tidak dapat segera kembali beroperasi.
Tabel 3.5 Trayek, Kapasitas dan Load Factor Angkutan Bus keluar Pangandaran Februari 2008Propinsi Kota Tujuan Jumlah
armada Rit /
frekuensi Jumlah kapasitas kursi
Jumlah kursi terisi
Load factor (%)
Banten Tangerang 120 1 5.760 960 16,67Jakarta Jakarta 370 1 17.760 2.960 16,67 Jawa Barat Bekasi 270 1 12.960 2.430 18,75 Cikarang 150 1 7.200 1.200 16,67 Depok 170 1 8.160 1.530 18,75 Sukabumi 70 1 3.360 355 10,56 Bandung 314 1 15.072 3.780 25,08 Tasikmalaya 1517 tad 72.816 Tad ‐ Jawa Tengah Cilacap* 378 2 18.144 8.316 45,83 Purwokerto* 80 2 3.840 1.280 33,33 Total ** 52.304 22.811 43,61
Sumber: …. Keterangan : * 24 kursi ** tanpa Tasikmalaya
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
53
Kegiatan kepariwisataan di Pangandaran memliki pola yang relatif tetap. Pariwisata Pangandaran berdenyut pada akhir minggu dan musim libur sekolah serta mengalami masa puncak yang pendek yaitu pada libur Lebaran, Natal dan tahun baru saja. Dengan pola seperti itu dan asumsi bahwa 59 % pengunjung Pangandaran menginap selama 2 hari maka kesenjangan antara kapasitas kamar hotel dan pengunjung menginap seperti diilustrasikan dalam Diagram 3.1 di bawah ini.
Dari diagram tersebut dapat dilihat permintaan melebihi kapasitas hanya pada bulan Oktober (Lebaran) dan Desember (Natal dan Tahun Baru). Sejauh ini permintaan tersebut diserap oleh rumah‐rumah yang disewakan penduduk. Pola tersebut membuat usaha pariwisata memanfaatkan waktu puncak/sibuk yang sempit itu untuk memperoleh pendapatan yang memadai. Survei terhadap 98 usaha akomodasi di dalam kawasan studi menunjukkan bahwa usaha akomodasi cenderung menaikkan harga kamar pada masa puncak –lebaran, natal dan tahun baru. Peningkatan harga dapat mencapai 117‐ 400% harga normal. kenaikan tertinggi terjadi di youth hostel.
Tabel 3.6 Jumlah Usaha Akomodasi di Kawasan studi
Jenis akomodasi 2004 2006 2008
Pangandaran Sidamulih Total Pangandaran Sidamulih Total TotalHotel Bintang 1 0 1 1 0 1 3Hotel Non Bintang 190 0 190 140 5 145 126
< 10 86 54 10‐24 82 65 25‐40 12 11
41 – 100 10 10 Total 191 0 191 141 5 146 129
Sumber: Ciamis Dalam Angka 2007; Ciamis dalam Angka 2004/2005
Diagram 3.1 Kapasitas Hotel dan Pengunjung Menginap Tahun 2007
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
malam kamar
kapasitas hotel
perkiraan jmlh pengunjungyang menginap
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata UPTD Pengelolaan Obyek Wisata Ciamis Selatan
Gambar 3.30 Akomodasi di Pangandaran
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
54
Dalam kaitannya dengan kesadaran lingkungan hanya 5 % usaha akomodasi yang memiliki dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan lingkungan (UPL). Usaha akomodasi masih menggunakan cara tradisional untuk membuang limbahnya. Hampir seluruh usaha akomodasi masih mengandalkan jasa tukang sampah untuk membuang limbah padatnya. Limbah cair dapur dan kamar mandi dibuang di sumur resapan atau ke laut, sementara limbah cair kakus umumnya dibuang di septictank.
Usaha akomodasi menyerap cukup banyak tenaga kerja di Pangandaran. Jumlahnya mencapai 643 tenaga penuh waktu di 98 hotel yang disurvei. Namun, terdapat fluktuasi penyerapan tenaga kerja penuh waktu dari 643 orang pada masa puncak menjadi 545 orang pada masa sepi. Artinya, sebanyak 15 % lapangan kerja penuh waktu tersedia pada libur Lebaran, Natal dan Tahun Baru yang lamanya kurang lebih hanya 2 – 3 minggu dalam 1 tahun. Selain penyediaan lapangan pekerjaan, usaha akomodasi relatif belum memiliki kegiatan yang melibatkan atau bekerja sama dengan masyarakat.
Usaha restoran dan rumah makan
Saat ini tercatat sekitar 30 rumah makan di kawasan studi. Sekitar 3 restoran berlokasi di jalan menuju kawasan Pangandaran, 14 restoran berlokasi di Pasar Ikan dan selebihnya tersebar di kawasan studi. Hampir seluruh restoran menyajikan makanan laut, namun belum banyak menyajikan masakan tradisional. Penghasilan usaha restoran dan rumah makan di musim puncak dan sepi seperti yang disampaikan pada sub bab 3.2.1.
Operator wisata dan pemandu wisata
Seperti yang disampaikan sebelumnya, terdapat enam ‘operator wisata’ yang umumnya merupakan perluasan dari usaha lain (toko, toko buku, penukaran mata uang asing) yang kemudian menyediakan pelayanan kepariwisataan. Dua di antara 6 ‘operator wisata’ memiliki badan hukum usaha, namun belum memiliki ijin khusus sebagai operator wisata. Pelayanan yang diberikan oleh ‘operator wisata’ lokal antara lain:
• penyediaan informasi pariwisata
• paket wisata di dalam dan sekitar kawasan Pangandaran
• paket wisata ke kota‐kota lain di Pulau Jawa
• pemesanan kamar hotel
• pemesanan dan rekonfirmasi tiket dalam dan luar negeri
• dokumen perjalanan
Gambar 3.31 Restoran dan Rumah Makan di Pangandaran
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
55
• penukaran mata uang asing
• penyewaan berbagai macam kendaraan
• penyewaan internet
Selain ‘operator wisata’, paket wisata juga dikemas dan ditawarkan oleh pemandu. Di kawasan Pangandaran terdapat 2 kelompok pemandu. Kelompok pertama adalah kelompok pemandu yang tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) dan Pemandu Pangauban. Pemandu wisata yang tergabung dalam HPI umumnya memiliki sertifikasi sesuai peraturan yang berlaku. Setiap tingkat sertifikasi memiliki persyaratan tertentu dan daerah operasi tertentu. Saat ini terdaftar 62 anggota HPI, namun tidak seluruhnya aktif.
Pemandu Pangauban adalah kelompok pemandu yang berbasis di Taman Wisata Alam (TWA) Pananjung Pangandaran. Daerah operasinya mencakup Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran dan atraksi wisata lainnya di Kawasan Pangandaran. Jumlah anggota kelompok pemandu ini sekitar 30 orang dan sehari‐harinya bermarkas di Taman Wisata Alam. Kelompok ini juga membuka wahana kegiatan outward bound seperti flying fox, dll.
Walaupun begitu banyak atraksi wisata yang terdapat di kawasan Pangandaran, namun masih sedikit variasi paket wisata yang tersedia. Paket wisata yang ada umumnya ditawarkan oleh pemandu wisata dan kios operator wisata lokal kepada wisatawan mancanegara. Paket wisata yang ditawarkan mulai dari paket wisata 2 jam hingga 8 jam atau satu hari yang umumnya membawa peserta mengunjungi atraksi wisata alam seperti cagar alam, taman wisata alam, Green Canyon, dan Mata Air/Sungai Citumang. Menurut penyedia paket wisata, paket tersebut relatif tidak berkembang selama 10 tahun terakhir. Saat ini, kunjungan ke perdesaan merupakan kegiatan tambahan saja dan belum diperlakukan sebagai daya tarik potensial yang dapat dikembangkan lebih jauh.
Pada tahun 2003, sebuah buku panduan wisata Jerman ditulis oleh Werner Mlynek dan dipublikasikan oleh Steven Loose, telah menyertakan kegiatan trekking dua hari ke alam dan perdesaan Pangandaran. Itu memperlihatkan minat wisatawan mancanegara – khususnya Jerman– yang cukup tinggi untuk mengunjungi alam dan perdesaan untuk melihat keseharian masyarakat setempat. Saat ini, paket wisata yang mengkombinasikan alam dan budaya paling disukai wisatawan mancanegara.
Seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 3.2 hingga Tabel 3.4 Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran memiliki banyak atraksi wisata di dalamnya. Saat ini telah terdapat tur ke taman wisata alam yang dimulai dari Pintu/Gerbang Timur dan memasuki Gua Parat dan berlanjut ke
Gambar 3.32 Beberapa Atraksi wisata Budaya yang Telah Dikemas
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
56
Sungai dan Gua Cirengganis, yang terkenal atas legendanya dan sering dikunjungi peziarah. Tur berlanjut menyusuri perbatasan cagar alam dan taman wisata alam memasuki Gua Sumur Mudal, Lanang, dan Jepang, sebelum meninggalkan taman wisata alam melalui Pintu Barat. Paket wisata ini dikenal sebagai “Tour Taman Nasional” dan berlangsung sekitar 2 jam berjalan kaki.
Sebagai kelanjutan tur di atas, juga ditawarkan tur untuk mengeksplorasi cagar alam. Rute ini
Peta 3.5 Jalur Wisata di Cagar Alam
Peta 3.4 Jalur Wisata di Taman Wisata Alam
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
57
Peta 3.6 Jalur Wisata ke Green Canyon
sesungguhnya dilarang karena kegiatan pariwisata tidak diperkenankan dilakukan di kawasan cagar alam. Tur diawali dari Pintu Timur menuju Gua Parat kemudian memasuki kawasan cagar alam melalui area Cirengganis menuju Padang Rumput Nangorak dilanjutkan melintas ke arah selatan untuk melihat bunga Raflesia dan mengunjungi Air terjun Tadah Angin. Tur berlanjut ke Batu Mandi di ujung barat, lalu melintas Padang Rumput Cikamal menuju Pantai Pasir Putih dan berakhir di Pintu Barat. Paket tur tersebut dikenal sebagai “Paket Wisata Hutan” dan membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Rute kedua paket wisata di atas dapat dilihat pada Peta 3.4 dan 3.5.
Paket wisata sehari penuh menawarkan kunjungan ke Green Canyon dan industri rumah tangga ‐ produksi gula kelapa, produksi atap daun kelapa, produksi kerupuk dan pembuat wayang‐ di desa sekitar. Rute perjalanan diawali di Dusun Bojong Gebang untuk melihat produksi gula kelapa kemudian menuju Desa Wonoharjo untuk melihat pandai besi, penghasil tempe atau kerupuk dan atap daun kelapa. Setelah itu, pengunjung diajak mengunjungi sanggar seniman wayang golek dan belajar memainkannya bersama pemilik sanggar. Perjalanan berlanjut menuju Batu Hiu dan Green Canyon. Wisatawan masih memiliki kesempatan untuk melihat pelelangan ikan dan Pantai Batu Karas sebelum kembali ke Pangandaran pada petang hari. Rute perjalanan paket wisata ini dapat dilihat pada Peta 3.6.
Pada umumnya paket wisata di dalam kawasan Pangandaran diinisiasi, dikembangkan dan dijalankan secara mandiri oleh pemandu dan operator wisata lokal, belum melibatkan kerjasama formal pihak‐pihak yang terlibat dan berkepentingan di dalamnya. Untuk itu perlu didiskusikan dan disepakati bersama beberapa mekanisme, misalnya, mengenai :
• Pembagian keuntungan atau manfaat antara pemandu/operator dengan penduduk/industri rumah tangga yang dikunjungi. Walaupun tidak berarti perlu dilakukan penetapan tarif, namun penduduk harus mendapat kesempatan untuk menetapkan berapa besar manfaat yang dapat mereka peroleh. Saat ini manfaat tersebut masih ditetapkan secara sepihak oleh pemandu.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
58
• Penyusunan code of conduct bagi pemandu wisata, khususnya di kawasan konservasi. Saat ini beberapa pemandu menawarkan pengunjung untuk melakukan perjalanan ke dalam kawasan cagar alam yang tidak saja terlarang, namun dapat berbahaya bagi wisatawan.
Pelayanan pendukung lainnya
Untuk pelayanan keselamatan di laut, terdapat pelayanan life guard atau balawista yang sejak tahun 2002 resmi berbadan hukum yayasan. Sepanjang tahun 2007 Balawista Pangandaran berhasil menyelamatkan 165 jiwa yang 158 kejadian terjadi selama 10 hari libur Lebaran (masa puncak). Sementara sepanjang semester pertama tahun 2008 telah dilakukan 80 upaya penyelamatan kecelakaan laut dan berhasil menyelamatkan 79 jiwa (Tabel 3.7). Menarik untuk dicatat bahwa walaupun pantai‐pantai berbahaya di Pangandaran telah diberi tanda, namun masih cukup banyak pengunjung yang berenang di daerah berbahaya dan mengalami kecelakaan (25%). Data tahun 2008 juga memperlihatkan besarnya kecelakaan yang dialami pengguna body board/boogie (41%) dan kecelakaan yang melibatkan perahu nelayan dan pesiar (12,5%). Memperhatikan angka kecelakaan dengan alat bantu renang, nampaknya diperlukan upaya untuk mengajarkan alat bantu renang kepada pengguna sebelum yang bersangkutan menggunakannya.
Dua puluh persen dari kecelakaan laut di semester pertama tahun 2008 memerlukan tindakan penyelamatan lebih lanjut kepada korban. Saat ini, untuk menunjang kesehatan penduduk dan keselamatan pengunjung baru terdapat sebuah puskesmas dengan fasilitas rawat inap dan ambulan. Selain puskesmas, terdapat pula klinik kesehatan swasta. Rumah sakit terdekat terletak di Kota Banjar.
Untuk melayani keamanan Pangandaran, terdapat kantor polisi sektor Pangandaran yang terletak di jalan utama memasuki kawasan Pantai Pangandaran. Kasus kejahatan yang dilaporkan kepada polisi masih relatif rendah sekitar 64‐67 kejadian di tahun 2005 dan 2006, angka itu menurun menjadi hanya 25 kejadian yang dilaporkan, dengan kasus pencurian (motor) serta penipuan sebagai kasus tertinggi.
Tabel 3.7 Data Kecelakaan Laut di Wilayah Kerja Balawista Pangandaran 2007‐2008 2007 2008*
Di daerah Aman
Di daerah berbahaya
Jumlah % Di daerah Aman
Di daerah berbahaya
Jumlah %
tidak berenang 2 ‐ 2 1,2 4 ‐ 4 5,00Berenang tanpa alat 63 33 96 58,2 16 15 31 38,75 berenang dengan
boogie 47 10 57 34,5 29 4 33 41,25
berenang dengan ban 9 ‐ 9 5,5 1 ‐ 1 1,25 papan surfing ‐ ‐ ‐ 1 ‐ 1 1,25kecelakaan
melibatkanperahu 1 ‐ 1 0,6 10 ‐ 10 12,50
Total 122 43 165 100 61 19 80 100Sumber : Daftar Kecelakaan Laut di Wilayah Kerja Balawista Pangandaran Keterangan : s.d 30 Juni 2008
Gambar 3.32 Balawista
Sumber: INDECON, 2008
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
59
Hasil survei pengunjung menunjukkan banyak responden wisnus (20,5%) dan wisman (86,7%) menilai tidak ada pelayanan polisi yang dapat mereka nilai di kawasan Pangandaran. Hal ini mungkin karena jarangnya kehadiran polisi di tempat‐tempat konsentrasi pengunjung.
Terdapat satu Pusat Informasi Pariwisata, namun tidak memiliki sumber dana yang memadai untuk mengoperasikannya sehingga tidak berfungsi dengan optimum. Penduduk dan pengunjung memerlukan pelayanan keuangan. Terdapat dua bank pemerintah –BNI dan BRI‐ yang dapat melayani penarikan dana melalui kartu kredit, penguangan cek dan penarikan dana dari ATM.
Pangandaran telah terjangkau oleh jaringan listrik yang tergabung dalam Jaringan Listrik Jawa Bali. Sejak harga bahan baku minyak meningkat, Indonesia mengalami krisis penyediaan energi sehingga sering terjadi pemadaman di berbagai bagian negeri termasuk Pangandaran. Pangandaran telah memiliki Perusahaan Daerah Air Minum, namun pelayanannya yang tidak dapat diandalkan membuat hampir semua usaha akomodasi lebih mengandalkan air tanah.
Untuk melayani kebutuhan komunikasi penduduk dan pengunjung terdapat kantor pos dan jaringan telekomunikasi darat maupun telekomunikasi selular. Warung telekomunikasi dan internet telah tersedia di Pangandaran untuk melayani pengunjung.
3.4.4 Permintaan Pariwisata
Seperti yang telah disinggung di bagian terdahulu, pariwisata Pangandaran mulai menggeliat dan mengalami peningkatan pengunjung sejak akhir dekade 80‐an. Setelah mengalami sedikit penurunan ketika masa krisis multi dimensi di Indonesia di tahun 1998, Pangandaran mengalami puncak kunjungan pada tahun 2000. Setelah itu, pengunjung terus menurun dan mengalami penurunan secara drastik di tahun 2005 setelah terjadi bencana tsunami di Aceh di akhir tahun 2004 dan kenaikan harga BBM di tahun 2005. Jumlah kunjungan tersebut kian menurun ketika Pangandaran terkena tsunami pada pertengahan tahun 2006. Baru tahun 2008 ini, kunjungan ke Pangandaran memulih (lihat Diagram 3.2).
Dari penelitian terhadap pengunjung yang dilakukan pada musim libur sekolah, terlihat bahwa pengunjung ke kawasan studi di Pangandaran didominasi oleh wisatawan nusantara (99%). Sebagian besar (43 %) wisnus berasal dari kota‐kota di sekitar Pangandaran (Banjar, Ciamis, Tasikmalaya dan Garut), 34 % dari Bandung, 5,6 % dari kota terdekat di Jawa Tengah (Cilacap & Purwokerto) dan 4,8 % dari Kota Jakarta. Sisanya kebanyakan dari kota‐kota lain di Jawa Barat.
Diagram 3.2 Jumlah Pengunjung Kawasan Pangandaran 1998‐2008
Jumlah Pengunjung Kawasan Pangandaran
-200,000400,000600,000800,000
1,000,0001,200,0001,400,0001,600,000
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
Tahun
Ora
ng Jumlah PengunjungKawasan Pangandaran
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
60
Peta 3.7 Potensi Pasar Wisata Kawasan Pangandaran
JAKARTA Rp 57 Jt
8.8 jt 4,8%
TANGERANG
Rp 20 Jt 1,5 jt
-
TASIKMLYRp 9 Jt
0,6 jt 15,3%
CILACAPRp 11 Jt
1.8 jt 3 6%
PURWOKERTO Rp 3,7 Jt
1,7 jt 2 %
CIAMISRp 6,8 Jt
1,5 jt 4,9%
BANJARRp 5,5 Jt
0,17 jt 8 %
BELANDAUS$ 1366/20 hari
110 rb 46,3%
JERMANUS$ 1120/14 hr
106 rb 9,8%
BEKASI Rp 6,3 Jt
2 jt 0,4%
DIY Rp 7,4 Jt
4,4 jt 2 %
INGGRIS US$ 1247/14 hr
110 rb 12,2%
NEGARA Pengeluaran total/ lama di Indonesia
Jumlah wisatawannegara tsb ke Indonesia % thdp jumlah wisman Pangandaran
Keterangan
KOTA PDRB/kapita/tahun Jumlah penduduk
% thdp jumlah winus Pangandaran
BOGOR Rp 4,5 Jt
0,85 jt 2 %
BANDUNGRp 14,8 Jt
2,3 jt 34 %
Wisnus ke Pangandaran umumnya adalah pengulang dan datang bersama keluarga (41,5%) atau teman‐temannya (34,5%) dengan menggunakan kendaraan pribadi berupa mobil (52%) dan motor (18%) untuk berlibur. Umumnya wisnus akan tinggal selama selama 2‐4 hari (59 %) atau pulang pergi (33%). Selama di Kawasan Pangandaran wisnus biasanya berenang, mengunjungi TWA, berperahu dan menikmati makanan laut. Selain Pantai Pangandaran dan TWA dan Pasir Putih di CA, cukup banyak wisnus yang mengunjungi Green canyon/Cukang Taneuh.
Wisatawan mancanegara hanya mengambil porsi 1 % dari pengunjung Kawasan Pangandaran atau kawasan studi. Dari hasil survei hotel dan pengunjung secara konsisten memperlihatkan wisman yang terbesar adalah wisatawan Belanda. Wisman yang terjaring dalam survei pengunjung umumnya adalah mereka yang baru pertama kali datang ke Pangandaran dan datang bersama pasangannya dengan kendaraan umum untuk tinggal selama 2‐4 hari di Pangandaran. Seperti wisnus, sebagian besar wisman melakukan kegiatan berenang dan mengunjungi TWA, namun berbeda dengan wisnus, sebagian besar wisman mengunjungi Green Canyon. Ini dapat dipahami karena ini adalah kunjungan pertama mereka di Pangandaran, sementara wisnus adalah pengulang.
Jika memperhatikan jumlah dan komposisi pengunjung Pangandaran saat ini dan potensi pasarnya (Peta 3.7) kuantitas dan kualitas pengunjung saat ini masih sangat rendah dibandingkan dengan potensi pasarnya. Misalnya untuk empat besar segmen pasar Pangandaran yaitu pengunjung asal Bandung,
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
61
sekitar Pangandaran (Ciamis, Tasik dan Banjar), Jawa Tengah selatan (Cilacap, Purwokerto, dan DIY) dan Jakarta, jika diasumsikan proporsi pengunjung berasal dari daerah tersebut adalah 34%, 28,2%, 7,6% dan 4,8 % seperti yang diketahui dari survei pengunjung, maka pada tahun 2008 ini sebesar kurang dari 160 ribu pengunjung Pangandaran berasal dari Bandung, 133 ribu berasal dari sekitar Pangandaran, 36 ribu berasal dari Jawa Tengah selatan dan 22,5 ribu berasal dari Jakarta. Angka tersebut hanya kurang dari 7 % penduduk Bandung, 6 % penduduk sekitar Pangandaran, sekitar 0,5 % penduduk Jawa Tengah selatan dan sekitar 0,25% penduduk Jakarta. Jika mempertimbangkan karakter pengunjung yang pengulang/repeater, bisa jadi jumlah penduduk kota‐kota asal tersebut yang berkunjung ke Pangandaran lebih sedikit dari yang diperkirakan di atas. Hal yang sama juga terjadi dengan wisman, yang diperkirakan hanya sekitar kurang dari 2 % wisatawan Belanda, 0,5 % wisatawan Inggris dan 0,4 % wisatawan Jerman ke Indonesia yang mengunjung Pangandaran. Hal ini menunjukkan segmen pasar saat ini yang jauh dari jenuh dan sangat potensial untuk digarap lebih jauh, sebelum ‘menggarap’ segmen pasar yang lain.
3.4.5. Rencana dan Kegiatan Pengembangan Pariwisata Saat Ini
Saat ini tercatat dua kegiatan perencanaan yang terkait dengan kepariwisataan di kawasan studi dan Pangandaran pada umumnya. Pertama adalah Kegiatan Pendirian Badan Pengelolaan Regional Pangandaran yang didirikan oleh pelaku‐pelaku di wilayah Pangandaran untuk memobilisasi sumber daya dan mencapai pembangunan wilayah melalui pengelolaan yang profesional dalam rangka menghadapi tantangan pembangunan. Kedua adalah Penyusunan Rencana Tindak untuk Pengembangan Pariwisata di Pangandaran yang diarahkan pada pengembangan rekreasi pantai berkelanjutan.
Selain kegiatan perencanaan, terdapat tiga usulan pengembangan atraksi wisata yaitu “Desa Wisata dan Agro Industri Terpadu Cantigi” di Desa Cikembulan, “Museum Pertanian, Sport Centre, Children Play land dan Sea World” di Desa Karang Benda Parigi dan Pembangunan Pangandaran Water park di Desa Emplak, Kalipucang. Dua usulan pertama merupakan usulan masyarakat desa dan belum terlihat akan berjalan, sementara inisiatif/proyek yang ketiga telah memasuki tahap konstruksi.
3.4.6 Aspek kelembagaan pengelolaan kepariwisataan.
Terdapat banyak pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan kepariwisataan di Pangandaran (lihat Lampiran 6). Pihak‐pihak tersebut dapat dikelompokkan ke dalam:
• pemerintah yang terdiri dari lembaga pemerintah di tingkat nasional, propinsi, kabupaten dan desa,
• masyarakat yang terdiri dari asosiasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat,
• pengusaha terdiri dari asosiasi usaha dan profesi pariwisata maupun bukan usaha pariwisata,
• perguruan tinggi.
Masing‐masing pihak memiliki kepentingan serta tugas dan fungsi yang kadang‐kadang bertumpang tindih, seperti yang terjadi dalam pengelolaan taman wisata alam dan pemanfaatan lahan di sepanjang harim laut/sempadan pantai. Namun demikian, banyak pihak yang terlibat tidak menjamin semua urusan terbagi dan tertangani dengan baik, seperti urusan kebersihan di pantai dan sistem transportasi internal kawasan yang masih menjadi keluhan masyarakat.
Hal ini besar kemungkinan terjadi karena belum terdapat koordinasi yang efektif antar pihak tersebut. Koordinasi dan kerja sama antar pihak masih sangat tergantung pada hubungan baik antar personal,
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
62
sementara koordinasi yang melibatkan banyak pihak memerlukan wadah dan kepemimpinan yang dapat diterima berbagai pihak dan aktif menghubungkan berbagai pihak tersebut.
Di Pangandaran, walaupun masyarakatnya telah relatif aktif berperan serta dalam berbagai penyelenggaraan kepariwisataan, namun peran pemerintah sebagai fasilitator dan penggerak pariwisata masih diperlukan untuk menangani berbagai perkembangan yang terjadi. Saat ini telah ada perwakilan lembaga pemerintah yang mengurus kepariwisataan di Pangandaran maupun pemerintah desa di kawasan wisata Pangandaran, namun masih belum dapat memenuhi harapan dan kebutuhan atas peran tersebut. Hal ini seiring dengan hasil survei terhadap penduduk di Tabel 3.8 memperlihatkan bahwa 63% penduduk menyatakan pemerintah kurang mendukung pengembangan pariwisata di Pangandaran. Oleh karena itu, kelembagaan dan sumber daya manusia menjadi isu penting untuk ditingkatkan dan dibahas guna kelancaran implementasi rencana ini.
3.4.7 Sikap Penduduk Lokal Terhadap Pariwisata
Informasi tentang sikap penduduk terhadap pariwisata di Pangandaran juga diperoleh melalui penyebaran kuesioner, selain melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Secara umum, penduduk lokal memberikan sikap cukup baik dan mendukung terhadap pengembangan pariwisata di Pangandaran. Hasil survei memperlihatkan sekitar 64,2% responden mengaku memperoleh penghasilan dari kegiatan pariwisata, baik sebagai penghasilan utama keluarga maupun sumber penghasilan tambahan. Maka tidak terlalu mengherankan jika responden memiliki sikap positif terhadap kegiatan pariwisata di Pangandaran ketika ditanya tentang pengaruh pariwisata Pangandaran terhadap kehidupan penduduk dan alam sekitarnya (lihat Tabel 3.8).
Penduduk lokal juga memandang ada kaitan erat antara pariwisata dan alam. Maksud dengan alam di sini adalah segala kondisi alamiah di Pangandaran yang selama ini menjadi bagian dari atraksi wisata. Sebagian besar responden menyebutkan alasan kedatangan wisatawan ke Pangandaran karena faktor kondisi alamnya, khususnya CA dan TWA Pananjung‐Pangandaran. Mereka (62,6%) menganggap bahwa pariwisata di Pangandaran sangat ditentukan oleh kondisi alam di kedua kawasan konservasi ini. Tabel 3.9 menunjukkan hampir seluruh responden menganggap kedatangan wisatawan ke Pangandaran selama ini karena ingin menikmati pantai dan laut Pangandaran, misalnya bermain pasir,
Tabel 3.8 Sikap Responden terhadap Pariwisata Pangandaran
Pernyataan Sikap responden (% jawaban)
Setuju Tidak setuju Tidak jawabPangandaran memiliki keindahan yang istimewa 71,6 0 28,4Wisatawan mendapat kenangan indah dari Pangandaran 68,7 0 31,3Pariwisata Pangandaran membantu ekonomi penduduk 67,1 1,3 31,6Hutan tidak boleh ditebang atau harus dijaga untuk pariwisata 64,5 6,1 29,4Peran pemerintah kurang mendukung 63.1 2.6 36.1Pariwisata membuat penduduk bangga pada budaya sendiri 53,4 6,1 40,6Masyarakat Pangandaran adalah masyarakat yang ramah 47,6 4,8 47,6Perempuan harus lebih berperan dalam pariwisata 46,0 8,6 45,4Semakin banyak wisatawan, semakin baik bagi responden 44,7 5,8 49,5Penduduk setempat sudah banyak berperan dalam pariwisata 43,8 9,3 47,0Pariwisata Pangandaran membuat alam lestari/terjaga 39,6 8,3 52,1Pariwisata membuat pemerintah lebih memperhatikan penduduk 27,2 29,7 43,1Pariwisata Pangandaran membuat lingkungan rusak 15,3 42,2 42,5Pariwisata Pangandaran membuat penduduk tak dihargai 4,2 46,0 49,8
Sumber: survey penduduk LWG (2008), n = 313, multiple‐answers
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
63
berenang, dan kegiatan lainnya. Sebagian besar responden juga menganggap keberadaan CA dan TWA Pananjung merupakan tujuan utama wisatawan datang ke Pangandaran. Hanya sebagian kecil dari responden yang menganggap kedatangan wisatawan untuk menikmati daya tarik wisaya budaya yang ada di Pangandaran. Jawaban di atas menunjukkan bahwa di mata sebagian responden, pariwisata Pangandaran sangat erat kaitannya dengan kegiatan menikmati alam. Hal ini dapat dimengerti mengingat atraksi wisata budaya untuk tujuan pariwisata memang belum begitu berkembang di Pangandaran.
Kondisi di atas menyebabkan penduduk lokal melihat bahwa Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung‐Pangandaran merupakan bagian penting dari pariwisata Pangandaran. Selain itu juga mereka menganggap CA dan TWA merupakan tempat tinggal satwa dan tumbuhan liar serta tempat ikan berkembang biak. Sebagian besar responden mengaku mengetahui keberadaan TWA dan CA Pananjung‐Pangandaran beserta batas‐batasnya (lihat Diagram 3.3).
Dari 313 responden yang diwawancarai, ada sekitar 14,7% di antara mereka yang mengaku melakukan kegiatan rutin diCA dan TWA Pananjung‐Pangandaran, sedangkan mayoritas (74,1%) dari mereka mengatakan tidak memiliki kegiatan rutin di sana. Adapun kegiatan‐kegiatan yang dilakukan responden di dalam dua kawasan konservasi ini cukup beragam, mulai dari mengambil hasil laut, mengantar wisatawan dengan perahu sewaan, memarkir perahu, mendaratkan ikan atau hasil laut, menjadi pemandu, sampai menjajakan makanan‐minuman.
Sebagian besar responden menganggap baik CA maupun TWA Pananjung‐Pangandaran adalah lokasi yang dianggap bermanfaat bagi kegiatan pariwisata Pangandaran. Khusus mengenai CA darat, manfaatnya sebagai tempat wisata bahkan paling banyak dipilih responden dibanding dengan manfaat‐
Tabel 3.9 Alasan Wisatawan Datang ke Pangandaran
Tujuan wisatawan Frekuensi jawaban
Setuju Tidak setuju Tidak jawab Bermain di laut dan pantai 91,4% 5,4% 3,2% Mengunjungi CA dan TWA 83,7% 13,1% 3,2% Menikmati atraksi budaya 22,4% 74,4% 3,2%
Sumber: Survey Penduduk LWG (2008), n=313. Multiple‐answers
Diagram 3.3 Pengetahuan Responden tentang Cagar Alam dan Taman Wisata Alam
Sumber: Survey Penduduk LWG (2008), n=313. Multiple‐answers
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
64
manfaat lainnya (lihat Tabel 3.10). Disamping itu cukup banyak responden yang menganggap CA sebagai tempat tinggal bagi satwa atau tumbuhan liar.
Sebagian besar (77,3%) responden menyatakan tidak setuju jika manfaat dari CA adalah sebagai tempat ziarah atau pelaksanaan ritual. Hal ini ditanyakan mengingat dalam CA dan TWA juga terdapat beberapa situs budaya yang kadang dikunjungi untuk kepentingan ziarah atau melaksanakan upacara adat, misalnya mata air Cirenganis dan Gua Parat. Sikap yang cukup menonjol juga diberikan responden yang tak setuju jika CA menjadi tempat perburuan satwa. Boleh dikatakan, selama ini memang tak ditemukan kegiatan perburuan satwa dalam kawasan CA darat Pananjung‐Pangandaran.
Untuk CA laut, sebagian besar responden memandangnya sebagai tempat ikan berkembang biak. Walau demikian, meski dengan persentase yang jauh lebih kecil dibanding CA darat, cukup banyak pula responden yang setuju jika manfaat CA laut adalah sebagai lokasi pariwisata (lihat Tabel 3.11).
Survey terhadap penduduk ini juga menjaring pemahaman responden tentang kondisi alam di CA dan TWA Pananjung‐Pangandaran. Khusus tentang CA darat dan laut, jumlah responden yang menyatakan bahwa kondisi alamnya masih baik dan telah rusak cenderung seimbang, yaitu 49 % menyatakan masih baik sedangkan 46% menyatakan sudah rusak.
Mengenai kemungkinan untuk menutup CA darat dan laut Pananjung‐Pangandaran dari segala bentuk kegiatan, sebanyak 42,2% dari seluruh responden menyatakan tidak setuju, hanya 4,5% yang menyatakan setuju, dan sebagian besar (53,4%) tidak menjawab. Ketidaksetujuan responden ini
Tabel 3.10 Manfaat Cagar Alam Darat dan Taman Wisata Alam Menurut Responden
Manfaat CA darat Setuju Tidak setuju
Sebagai tempat wisata 95,9 4,1
Tempat hewan/tumbuhan liar/langka 73,5 27,5
Pencegah abrasi pantai 46,6 53,4
Penghalang ombak tsunami 43,4 57,6
Membuat udara bersih 37,3 62,7
Penyedia air bersih/tawar 26,6 73,4
Sebagai tempat ziarah/ritual 23,7 77,3
Tempat bahan baku kerajinan 19 81
Tempat berburu hewan 1 99
Sumber: Survey Penduduk LWG (2008), n=313. Multiple‐answers
Tabel 3.11 Manfaat Cagar Alam Laut menurut respondenManfaat CA Laut Setuju Tidak Setuju
Tempat ikan berkembang biak 74,9 25,1
Tempat wisata 67,4 32,6
Tempat menangkap hasil laut 35,8 64,2
Pencegah abrasi pantai 32,6 68,4
Penghalang tsunami 30,1 69,9
Tempat mengambil bahan baku kerajinan 19,4 80,6
Sumber: Survey Penduduk LWG (2008), n=313. Multiple‐answers
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
65
disebabkan selama ini mereka mempersepsikan bahwa penutupan CA akan mengurangi daya tarik bagi wisatawan yang pada akhirnya juga akan mengurangi manfaat ekonomi bagi penduduk setempat.
Dalam hal persoalan‐persoalan terkait dengan pariwisata di Pangandaran, selama ini rupanya penduduk Pangandaran cukup memberi perhatian. Hal ini dapat dilihat dari sejauh mana mereka memberi penilaian terhadap beberapa masalah yang ditanyakan, serta seberapa penting masalah tersebut bagi pengembangan pariwisata Pangandaran.
Dari Tabel 3.12 di atas, secara umum tergambar persoalan apa saja dalam pariwisata Pangandaran yang menjadi perhatian penduduk selama ini. Pencemaran merupakan persoalan yang dianggap sangat penting oleh kebanyakan responden. Hal‐hal yang menjadi perhatian responden terhadap masalah ini didukung pula oleh hasil FGD (focus group discussions) yang dilakukan di lima desa. Dalam FGD, peserta diskusi menyampaikan tentang masalah sampah yang bertumpuk dan berceceran di lokasi‐lokasi seperti pantai dan pintu masuk CA dan TWA Pananjung‐Pangandaran.
Masalah keamanan atau penanganan kriminalitas yang muncul serta masalah tumpang tindih penggunaan pantai dan laut sekitarnya secara kuantitatif dapat dianggap berimbang. Kemungkinan masalah ini dianggap penting berdasarkan beberapa kejadian pencurian yang terjadi tak lama sebelum atau saat survei ini dilakukan, seperti pencurian barang wisatawan di penginapan, atau yang terakhir adalah pencurian barang yang disimpan dalam sebuah mobil milik wisatawan. Meski responden tak mengalami langsung kejadian tersebut, namun hal ini bisa saja menunjukkan bahwa selama ini responden atau penduduk setempat juga menerima informasi tentang masalah keamanan di lokasi pariwisata.
Masalah kesemrawutan atau tumpang tindih pemanfaatan pantai dan laut, khususnya di Pantai Barat, adalah kondisi yang paling mudah diamati oleh responden. Beberapa diskusi dan wawancara mendalam dengan nelayan atau pemilik perahu wisata, menunjukkan bahwa mereka mengakui tumpang tindih penggunaan pantai dan laut telah menyebabkan beberapa insiden yang menimpa wisatawan yang sedang berenang. Kesemrawutan juga disebabkan oleh keberadaan para pedagang, penyewa ban, penyewaan boogie yang jumlahnya cukup banyak di dalam kawasan pantai.
Jawaban responden terhadap masalah‐masalah seputar pariwisata Pangandaran tersebut mungkin bisa dilihat hubungannya dengan pendapat mereka tentang aspek‐aspek yang harus diperbaiki agar pariwisata Pangandaran menjadi lebih baik.
Tabel 3.12 Persepsi tentang persoalan pariwisata Pangandaran dan tingkat kepentingannya
Persoalan Tingkat kepentingan (% jawaban)
Sangat penting
Kurang penting
Tidak tahu Tidak jawab
Pencemaran (penanganan limbah cair/padat) 61,7 1,3 11,5 25,6Keamanan atau Kriminalitas yang muncul 60,4 1,9 11,5 26,2Tumpang tindih pemanfaatan pantai (parkir dan jalur perahu, lokasi berenang, tempat berdagang)
59,7 4,5 9,6 26,2
Adat istiadat/budaya lokal terancam hilang 56,2 3,5 15,3 24,9Prostitusi yang muncul 52,1 10,2 12,8 24,9Narkoba dan penjualan minuman keras 47,0 14,4 13,1 25,6Persediaan air bersih kurang memadai 43,8 12,8 16,9 26,5Perilaku wisatawan tidak sesuai budaya lokal 31,6 18,8 23,3 26,2
Sumber: survey penduduk LWG (2008), multiple‐answers
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
66
Tabel 3.13 Prioritas penanganan pariwisata Pangandaran menurut responden
Aspek penanganan Prioritas penanganan (% jawaban)
Pertama Kedua Ketiga Lingkungan 23,0 17,6 7,7 Manajemen (pengelolaan) wisata 21,4 13,4 9,6 Penyediaan fasilitas 14,1 8,0 7,0 Penguatan budaya lokal 6,4 1,9 3,2 Utilitas 5,1 5,1 2,2 Penegakan hukum 4,8 4,5 2,2 Ekonomi penduduk 4,5 1,3 1,6 Masalah sosial 3,2 1,9 3,8 Keamanan 3,2 6,1 6,1 Politik 2,6 1,3 0,3
Sumber: survey penduduk LWG 2008, n=313, Multiple‐answers
Menurut responden, ada lima aspek yang perlu mendapat prioritas penanganan agar pariwisata Pangandaran menjadi lebih baik (lihat Tabel 3.13) . Aspek yang paling banyak dipilih sebagai prioritas pertama adalah lingkungan. Dalam hal ini, lingkungan merupakan kondisi‐kondisi fisik alamiah, baik hutan, laut maupun pantai. Jika responden menganggap pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah, terutama sampah, dianggap persoalan yang sangat penting, maka usulan perbaikan kondisi lingkungan sebagai prioritas utama merupakan hal yang wajar. Ini juga dapat menggambarkan bahwa responden secara umum menghendaki adanya kebersihan dan kondisi lingkungan yang nyaman sebagai indikator bahwa pariwisata Pangandaran lebih baik.
Manajemen atau pengelolaan juga menjadi aspek yang dianggap perlu dibenahi. Hal‐hal yang terkait dengan aspek ini adalah tindakan‐tindakan penataan atau pengaturan terhadap kegiatan pariwisata Pangandaran. Kemungkinan jawaban ini memiliki hubungan erat dengan pendapat responden bahwa kesemrawutan pemanfaatan ruang pantai dan laut sebagai persoalan pariwisata Pangandaran sekarang. Termasuk dalam hal ini adalah penataan pedagang di pantai. Dengan demikian, penataan ruang‐ruang pemanfaatan di pantai atau lokasi lain dapat menjadi indikator bagi kondisi pariwisata Pangandaran yang lebih baik.
Aspek berikutnya yang dianggap prioritas untuk ditangani adalah penyediaan fasilitas yang memadai. Dari beberapa diskusi dan FGD di desa, terkumpul pendapat bahwa persoalan fasilitas paling terkait dengan masalah pembuangan limbah. Tempat‐tempat sampah yang selama ini ada di sekitar lokasi wisata dianggap kurang memadai. Dari pengamatan lapangan juga telihat beberapa tempat sampah yang rusak atau kurang mampu menampung jumlah sampah yang terbuang. Jenis fasilitas lain yang sempat disampaikan dalam diskusi adalah penerangan jalan dan tempat parkir yang kurang memadai. Masalah fasilitas ini dapat pula menjadi salah satu indikator keberhasilan pengembangan pariwisata Pangandaran ke depan.
Penguatan budaya lokal secara umum terkait dengan pengembangan atraksi wisata budaya yang ada di Pangandaran. Beberapa sanggar atau kelompok seni tradisional sesungguhnya ada di Pangandaran, namun selama ini mereka merasa belum menjadi bagian dari kegiatan pariwisata. Di Wonoharjo misalnya, Padepokan Sekar Pala pimpinan Mugi Guno Carito, secara rutin melakukan latihan kesenian gamelan dan wayang kulit. Akan tetapi, sejauh ini mereka merasa belum pernah memperoleh kesempatan tampil di hadapan wisatawan meskipun pada event yang bersifat insidentil. Responden juga menyetujui jika beberapa tradisi lokal, termasuk yang selama ini kontroversi, dikembangkan sebagai atraksi wisata, seperti ritual Cirengganis, hajat laut, hajat bumi, dan kesenian tradisional.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
67
Tabel 3.14 Alokasi Dana Balai BKSDA Jawa Barat II untuk TWA Pangandaran No Sumber Dana Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
1 Anggaran Balai KSDA Jabar II ( Ribu Rupiah) 540.722 1.204,390 1,004,602
1,103,060
4,939,808
2 Alokasi anggaran untukTWA Pangandaran(Ribu Rupiah) 95,090 1,800 12,741 154,190 31,500
3 Persentase alokasi 17.59 0.15 1.27 13.98 0.64Sumber: Data BKSDA Jabar II 2001‐2005, Rencana Pengelolaan TWA Pangandaran, Draft, 2006.
Penguatan budaya lokal juga terkait dengan kekhawatiran beberapa penduduk desa bahwa pariwisata Pangandaran akan mengubah gaya hidup penduduk setempat, khususnya anak‐anak muda. Dalam kesempatan FGD atau wawancara mendalam, sebagian peserta merasa khawatir pariwisata Pangandaran akan membawa nilai‐nilai budaya orang luar yang dengan mudahnya diserap oleh pemuda setempat sebagai gaya hidup baru. Hal ini akan menyebabkan degradasi nilai‐nilai moral dan budaya di kalangan pemuda. Sebagian dari situasi yang kini dicurigai dapat mempengaruhi nilai budaya tersebut adalah perdagangan minuman keras, narkoba, dan prostitusi.
3.4.8 Kontribusi Sektor Pariwisata terhadap Konservasi Keanekaragaman Hayati
Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam menjelaskan bahwa pengusaha pariwisata yang mendapatkan hak pengusahaan pariwisata alam memiliki hak untuk mengelola sarana pariwisata sesuai dengan jenis usaha yang sesuai dengan izin usahanya. Selain itu, pengusaha pariwisata juga mempunyai hak untuk menerima imbalan dari pengunjung yang menggunakan jasa yang diusahakannya. Jasa yang dapat diusahakan tersebut meliputi usaha akomodasi (pondok wisata, bumi petkemahan, karavan, penginapan remaja), makanan dan minuman, sarana wisata tirta, angkutan wisata, cinderamata, dan sarana wisata budaya).
Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) Blok Pemanfaatan TWA Pangandaran seluas 17.3 ha diberikan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat II (BKSDA Jabar II) kepada Perum Perhutani berdasarkan SK Menhut No.341/Kpts‐II/1996 tanggal 4 Juli 1996. Secara struktur organisasi, BKSDA Jabar II berada di bawah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Departemen Kehutanan yang terdiri dari tiga Seksi Wilayah Konservasi (SSWK) yang mencakup sembilan kabupaten di Jawa Barat. Pembagiannya adalah: (i) SSWK I meliputi Ciamis dan Tasikmalaya; (ii) SSWK II meliputi Garut dan Bandung Timur; dan (iii) SSWK III meliputi Cirebon, Sumedang, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu. BKSDA Jabar II bertugas melaksanakan pengelolaan kawasan suaka alam, TWA, taman hutan raya dan taman buru serta konservasi jenis tumbuhan dan satwa baik di dalam maupun di luar kawasan berdasarkan peraturan perundang‐undangan yang berlaku. Sementara Perum Perhutani berada di bawah Kementrian Negara BUMN dengan Pembina Teknis Departemen Kehutanan.
Dalam pengusahaan TWA Pangandaran, Perum Perhutani mengenakan tarif Rp 5.500,00 per pengunjung dimana Rp 3.000,00 sebagai imbalan jasa pengusahaan dan Rp 2.500,00 adalah PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Perhutani membagi hasil imbalan jasa pengusahaan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis sebesar 30%‐nya. Di bawah BKSDA Jabar II, pendanaan kegiatan pengelolaan dan pembangunan unit‐unit kawasan konservasi, termasuk TWA Pangandaran, umumnya bersumber dari dana pemerintah pusat (APBN) yang dikelola oleh lembaga ini. Dalam hal ini, BKSDA Jawa Barat II mendistribusikan dana pengelolaan ke kawasan‐kawasan konservasi dalam lingkup kerjanya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Tabel 3.14 menunjukkan alokasi dana pengelolaan TWA Pangandaran dalam periode 2001‐2005.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
68
Sedangkan jumlah pengunjung TWA Pangandaran dalam periode yang sama yang terlihat pada Tabel 3.15. Tabel ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan jumlah pengunjung total pada tahun 2000. Namun dalam tiga tahun berikutnya terjadi penurunan jumlah pengunjung hingga paling tidak mencapai 50 persen setiap tahunnya. Penurunan pada jumlah pengunjung asing juga sangat signifikan dalam periode 2001‐2002. Dengan kondisi ini, maka penerimaan pendapatan dari tiket masuk TWA Pangandaran juga terpengaruh. Diagram 3.4 menunjukkan adanya penurunan jumlah penerimaan pada tiga tahun tersebut dan peningkatan drastis pada tahun 2004. Kenaikan penerimaan ini berlangsung lama karena penurunan pada jumlah pengunjung domestik kembali menurunkan total penerimaan.
Anggaran yang dikelola BKSDA Jabar II terbilang kecil dibandingkan dengan jumlah kawasan dan jarak kawasan yang dikelola. Sementara perbandingan jumlah anggaran pengelolaan TWA Pangandaran dari BKSDA dengan penerimaan pendapatan dari tiket masuk menunjukkan ketidakseimbangan antara sumber pemasukan dengan alokasi anggaran pengeluaran bagi taman wisata ini. Hal ini dikarenakan pengelolaannya telah dikonsesikan kepada pihak Perhutani.
Di dalam komponen tiket masuk TWA Pangandaran, komponen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan sebesar Rp 2.500,00 per pengunjung. Undang Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak mengelompokkan penerimaan dari pengusahaan pariwisata alam sebagai penerimaan dari pemanfataan sumber daya alam yang merupakan bagian dari kelompok PNBP.
Tabel 3.15 Statistik Pengunjung TWA Pangandaran tahun 1998‐2007 Tahun Pengunjung (orang) Pendapatan
(Rp) Domestik Asing Jumlah
1998* n.a n.a n.a 97,477,000
1999 19,968 308 20,276 20,276,000
2000 220,443 3,148 223,591 283,042,700
2001 230,479 1,256 231,735 440,296,500
2002 133,474 1,757 135,231 256,938,900
2003 69,304 2,239 71,543 135,931,700
2004 96,790 1,981 98,771 376,840,800
2005 36,541 137,637 174,178 106,391,900
2006 17,152 n.a 17,152 34,304,000
2007** 3,089 20 3,109 6,218,000
Catatan: *) Tidak ada catata rinci **) sampai dengan April Sumber:Informasi Umum BKSDA Jawa Barat II.
Gambar 3.22 Perkembangan Penerimaan Pendapatan Tiket Masuk Berdasarkan Jumlah Pengunjung
Sumber: Informasi Umum BKSDA Jawa Barat II, diolah..
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
69
Hal teknis terkait undang‐undang ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No.52 Tahun 1998 dan No.59 Tahun 1998 yang mengatur perubahan PNBP dari Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak di Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
PNBP merupakan retribusi yang dikenakan kepada pengguna jasa tertentu yang penerimaannya langsung dikumpulkan dan disetorkan kepada Pemerintah Pusat / Kas Negara. Dalam pelaksanaannya, tarif PNBP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dimana Pemerintah mengajukannya kepada DPR sebagai bagian dalam proses penyusunan Rancangan Undang‐Undang tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). PNBP dapat digunakan untuk penelitian dan pengembangan teknologi, pelayanan kesehatan, pendidikan dan pelatihan, penegakan hukum, pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu dan juga pelestarian sumber daya alam.
Mengacu pada peraturan tentang PNBP, maka perolehan kas negara dari PNBP TWA Pangandaran berdasarkan jumlah pengunjung pada periode 1997‐2007 terlihat pada Tabel 3.16. Data tersebut menunjukkan bahwa penerimaan kas negara dari PNBP yang dilakukan oleh BKSDA Jabar II dari TWA Pangandaran cukup besar. Namun sayangnya alokasi anggaran peruntukan kawasan TWA sangat tergantung pada alokasi yang diajukan oleh instansi terkait. Tidak ada hubungan langsung antara penerimaan yang tinggi dari periwisata alam di suatu kawasan, dengan alokasi pendanaan yang diterima untuk mengelola program pelestarian keanekaragaman hayati ataupun peningkatan sumber daya manusia di TWA.
Secara keseluruhan, kawasan Pariwisata Pangandaran dikelola oleh UPTD Pengelolaan Obyek Wisata Ciamis Selatan. Dalam satu dekade terakhir (periode 1999‐2007), realisasi pendapatan karcis masuk ke kawasan menunjukkan adanya penurunan dalam tiga tahun terakhir. Penurunan pertumbuhan penerimaan pendapatan pada tahun 2006 terutama disebabkan oleh bencana tsunami yang melanda kawasan ini. Dalam waktu kurang lebih empat bulan (pertengahan Juli s.d Oktober 2006), unit pelaksana tidak mengenakan retribusi untuk memasuki kawasan ini. Selain itu, pada bulan Desember, UPTD juga tidak mengenakan retribusi selama kurang lebih empat hari dalam rangka Pandangaran Expo.
Tabel 3.16 Perolehan PNBP TWA Pangandaran berdasarkan jumlah pengunjung Tahun Pengunjung (orang) PNBP ***
Domestik Asing Jumlah (Rp)
1998* n.a n.a n.a n.a
1999 19,968 308 20,276 50,690,000
2000 220,443 3,148 223,591 558,977,500
2001 230,479 1,256 231,735 579,337,500
2002 133,474 1,757 135,231 338,077,500
2003 69,304 2,239 71,543 178,857,500
2004 96,790 1,981 98,771 246,927,500
2005 36,541 137,637 174,178 435,445,000
2006 17,152 n.a 17,152 42,880,000
2007 3,089 20 3,109 7,772,500
Catatan: *) Tidak ada catatan rinci **) sampai dengan April ***) Asumsi PNBP tidak berubah Rp2.500,00 per pengunjung Sumber:Informasi Umum BKSDA Jawa Barat II, diolah.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
70
Penerimaan dari karcis masuk kawasan merupakan salah satu sumber penerimaan APBD Kabupaten Ciamis. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah kabupaten mempunyai kewenangan alokasi anggaran melalui penyusunan program APBD melalui dinas terkait yang secara langsung maupun tidak langsung dengan konservasi alam untuk kelestarian keanekaragaman hayati. Berdasarkan pada keterkaitan dinas dengan potensi wisata alam Kawasan Pangandaran yang mempunyai banyak obyek wisata, terdapat paling tidak tiga unit kerja yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup, dan Dinas Kehutanan. Di dalam daftar prioritas program dan kegiatan pembangunan Kabupaten Ciamis tahun 2008, bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Dinas Lingkungan Hidup hal ini merupakan urusan wajib; sedangkan bagi Dinas Kehutanan merupakan urusan pilihan.
Daftar program yang terkait dengan konservasi di kawasan Pangandaran ditunjukkan pada Tabel 3.18, di antaranya adalah perlindungan konservasi SDA oleh Dinas Lingkungan Hidup dan perlindungan dan konservasi sumber daya hutan dan SDA oleh Dinas Lingkungan Hidup. Program pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata lebih menekankan pada aspek kepariwisataan dan tidak atau kurang program yang bersinggungan dengan kegiatan pelestarian sumber daya alam.
Daftar kegiatan di atas memperlihatkan bahwa kegiatan yang terkait dengan konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tidak secara spesifik disebutkan lokasi yang dituju. Sementara alokasi dana untuk kegiatan yang terkait dengan konservasi alam dari ketiga instansi ini sebesar 1, 6 miliar. Dari jumlah tersebut kecil prosentase dana yang khusus dialokasikan untuk kegiatan konservasi di Pangandaran yang terkait langsung dengan sektor Pariwisata.
Tabel 3.17 Jumlah Pengunjung dan Realisasi Penerimaan Tol Gate Kawasan PangandaranTahun Pengunjung Penerimaan
Domestik Asing Total Total (Rp) Pertumbuhan (%)
1998 284,264 8,715 292,979 1,178,537,505 ‐
1999 1,036,252 6,078 1,042,330 2,216,102,000 88.04
2000 1,042,537 6,554 1,049,091 223,202,000 (89.93)
2001 935,153 5,620 940,773 1,995,736,500 794.14
2002 915,360 3,882 919,242 1,971,432,200 (1.22)
2003 881,870 1,469 883,339 2,368,712,000 20.15
2004 968,128 3,344 971,472 2,704,260,800 14.17
2005 420,886 2,801 423,687 1,152,535,700 (57.38)
2006 271,842 1,618 273,460 741,838,000 (35.63)
2007 253,207 4,306 257,513 700,129,700 (5.62)
Catatan: Mulai bulan Maret tahun 2003 diberlakukan harga karcis baru. Sumber: UPTD Pengelola Obyek Wisata Ciamis Selatan.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
71
Kondisi di atas umum terjadi di Indonesia, seperti diuraikan di atas bahwa mekanisme yang diatur dalam peraturan pemerintah tentang PNBP, memang tidak memungkinkan suatu kawasan secara langsung dapat menggunakan pendapatan hasil kegiatan yang dikumpulkan untuk kegiatan konservasi kawasan atau keanekaragaman hayati. Pada kasus Pangandaran, jumlah pendapatan yang diterima oleh
Tabel 3.18 Daftar Program Tiga Dinas Terkait Obyek Wisata dan Keterkaitan dengan Konservasi AlamNo Urusan Wajib Urusan Pilihan
Dinas Lingkungan Hidup Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dinas Kehutanan
Program Program Program
I Bidang Energi dan Lingkungan Hidup
Pelayanan Administrasi Perkantoran Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan
1 Pelayanan Administrasi Perkantoran Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
Rehabilitasi Hutan dan Lahan
2 Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
Peningkatan Disiplin Aparatur Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Hutan
3 Peningkatan Disiplin Aparatur Peningkatan dan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan
4 Peningkatan dan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan
Pengembangan Nilai Budaya
5 Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Pengelolaan Kekayaan Budaya
6 Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam
Pengembangan Kekayaan Budaya
7 Rehabilitasi dan Pemulihan Cadangan Sumber Daya Alam
Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
8 Peningkatan Kualitas dan Akses Informasi SDA & LH
Pengelolaan Keragaman Budaya
9 Peningkatan Pengendalian Polusi Pengembangan Pemasaran Wisata
10 Pembinaan dan Pengawasan Bidang Pertambangan
Pengembangan Destinasi Wisata
11 Pembinaan Pengembangan Bidang Ketenagalistrikan
Pengembangan Kemitraan
II Kantor Pelayanan Kebersihan dan Pertamanan
1 PengembanganKinerja Pengelolaan Persampahan
2 Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau
Sumber: Daftar Prioritas Program dan Kegiatan Pembangunan Kabupaten Ciamis Tahung Anggaran 2008, Bappeda 2007.
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
72
Pemerintah Daerah dari sektor Pariwisata, jauh lebih besar dari dana yang dikembalikan untuk pengelolaan kawasan melalui Dinas Pariwisata.
Melihat kondisi di atas, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme baru di destinasi Pariwisata alam untuk dapat mengakomodir kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati, khususnya untuk menjaga kualitas keanekaragaman hayati dan ekosistemnya sebagai aset Pariwisata serta juga sebagai upaya mengelola dampak dari kegiatan Pariwisata terhadap keanekaragaman hayati. Salah satu mekanisme adalah membentuk Lembaga pengelola kawasan yang dilegalisasi di tingkat Kabupaten ataupun tingkat Provinsi, yang melibatkan para pihak di dalamnya. Lembaga Pengelola ini kemudian mengembangkan mekanisme pendanaan dari pengelolaan yang efektif, untuk menghasilkan dana dari pengelolaan yang dapat dibelanjakan langsung untuk mengatasi masalah‐masalah pengelolaan di tingkat lapangan. Pengelolaan yang adaptif dipercaya dapat meningkatkan keberlanjutan usaha.
3.5 Kerangka Hukum
3.5.1 Kebijakan
Kebijakan di bidang kepariwisataan
Seperti yang ditetapkan dalam Undang‐Undang No. 9 tahun 1990 pembangunan pariwisata harus ditujukan untuk:
• Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata;
• Memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; • Memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja • Meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat • Mendorong pendayagunaan produk nasional.
Selanjutnya, pengembangan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatikan:
• Kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya;
• Nilai‐nilai agama, adat‐istiadat, serta pandangan dan nilai‐nilai yang hidup dalam masyarakat • Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup • Kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri
Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri (UU No 9 tahun 1990). Oleh karenanya harus dilakukan dengan partisipasi masyarakat. Seperti yang tercantum dalam undang‐undang, masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas‐luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. Dalam proses pengambilan keputusan, pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat melalui penyampaian saran, pendapat dan pertimbangan, tanggapan, masukan terhadap pengembangan, informasi potensi dan masalah, serta rencana pengembangan kepariwisataan (Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 1997).
Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata di kawasan Pangandaran, pemerintah Propinsi Jawa Barat telah menetapkan kawasan Pangandaran sebagai salah satu kawasan pariwisata unggulan (KWU) melalui Peraturan Gubernur Jawa Barat No 48 tahun 2006 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Barat (2007‐2013).
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
73
Kebijakan Terkait Lingkungan Hidup
Kawasan Pangandaran tidak bisa dilepaskan dari kehadiran cagar alam darat dan laut serta Taman Wisata Alam Pananjung. Keberadaan kawasan lindung tersebut dilandasi oleh Undang‐undang (UU) no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, diikuti rincian lebih detail pada Peraturan Pemerintah (PP) No 68 tahun 1988 tentang Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam, serta Keputusan Menteri Pertanian dan Kehutanan dalam hal penunjukan kawasan tersebut. Sebagaimana telah disinggung pada sub‐bab 3.1.3, cagar alam dan taman wisata alam memiliki fungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari. Cagar alam bersifat lebih ke arah perlindungan murni sehingga kegiatan pemanfaatannya terbatas hanya untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan serta kegiatan penunjang budidaya. Intervensi manusia di tempat ini ditekan seminimal mungkin, membuat kegiatan pengelolaan yang boleh dilakukan hanya berupa pengamanan, inventarisasi dan penelitian. Sementara untuk taman wisata alam memiliki ketentuan lebih longgar. Pemanfaatan untuk kegiatan wisata diperbolehkan di sini, bahkan dimungkinkan untuk mendapatkan konsesi pengusahaan pariwisata alam sebagaimana telah dibahas pada sub‐bab 3.5.1. Demikian pula halnya dengan kegiatan pengelolaan, pembinaan habitat dan populasi satwa dimungkinkan untuk dilakukan di sini. UU no 41 juga menyatakan bahwa cagar alam dan taman wisata alam adalah hutan negara dengan kewenangan pengelolaan di bawah Departemen Kehutanan. Namun demikian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan masih dimungkinkan dengan adanya Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19 tahun 2004. Dalam peraturan tersebut diterangkan bahwa pengelolaan kawasan bisa dilakukan secara multipihak melalui pengembangan pengelolaan kolaboratif, dengan syarat tidak merubah status kawasan dan kewenangan pengelolaan tetap berada di Departemen Kehutanan. Dalam kaitan dengan keanekaragam hayati, Indonesia telah meratifikasi melalui UU no 5 tahun 1994 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa‐bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati. Konsekuensi dari ratifikasi ini, Indonesia harus menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang dimilikinya, termasuk di Pangandaran, baik di dalam cagar alam dan taman wisata alam maupun di luar. Melalui UU no 5 tahun 1994, pemerintah telah menggolongkan tumbuhan dan satwa ke dalam jenis dilindungi dan tidak dilindungi dan lalu dijabarkan dalam PP no 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan ini bertujuan untuk menghindari kepunahan tumbuhan dan satwa, menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman hayati, serta menjaga keseimbangan ekosistem. Sementara untuk pemanfaatannya diatur dalam PP no 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Menyangkut masalah limbah, kini merupakan salah satu persoalan utama di Pangandaran, sebenarnya telah diatur dalam UU no 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU ini disebutkan kewajiban untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran beserta kerusakan lingkungan, dan memulihkannya kembali. Oleh karena itu setiap rencana usaha atau kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak negatif besar dan penting, harus melakukan analisis dampak lingkungan terlebih dahulu. UU ini telah dijabarkan lebih rinci melalui PP no 27 tahun 1999 mengenai Analisis Dampak Lingkungan dan PP no 82 tahun 2001 serta Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat no 3 tahun 2004, keduanya tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Terakhir pada tahun 2008 telah terbit UU no 18 tentang Pengelolaan Sampah. Undang‐undang ini berguna untuk
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
74
mendorong agar pemerintah, semua pelaku wisata dan masyarakat di Pangandaran untuk memperhatikan dan melakukan pengelolaan sampah secara bersama‐sama. Semuanya mempunyai peran dan kewajiban masing‐masing dalam pengelolaan sampah.
Sebagai daerah pesisir, pengelolaan kawasan Pangandaran harus mengikuti ketentuan dalam UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau‐pulau Kecil. Salah satu hal penting yang dicantumkan dalam UU ini adalah dapat ditetapkannya sebagian wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil sebagai kawasan konservasi untuk kepentingan melindungi sumber daya ikan, tempat persinggahan dan alur migrasi biota laut, wilayah yang diatur oleh adat tertentu, dan ekosistem pesisir unik dan rentan terhadap perubahan. Kawasan konservasi ini dikenal dengan istilah KKLD (Kawasan Konservasi Laut Daerah) yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan, namun kewenangan pengelolaannya berada di pemerintah daerah. Kabupaten Ciamis sendiri telah menindak lanjuti peraturan ini dengan menetapkan Pencadangan Lokasi Kawasan Konservasi Laut melalui Surat Keputusan Bupati Ciamis no 15 tahun 2008, dengan cakupan seluruh wilayah laut di kabupaten Ciamis dari titik pantai surut terendah hingga sejauh 4 mil.
Khusus untuk pemanfaatan daerah di sepanjang pantai terdapat ketentuan berdasarkan Keputusan Presiden no 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, diikuti Peraturan Daerah Jawa Barat no 2 tahun 2006 perihal yang sama serta Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis No. 14 tahun 2001 tentang Garis Sempadan. Peraturan ini menyebutkan bahwa daerah sempadan pantai, yaitu dari titik pasang tertinggi sampai minimal 100 meter ke arah darat, termasuk ke dalam kawasan lindung sehingga pada area ini tidak diperbolehkan membuang limbah padat domestik dan industri serta limbah cair juga mendirikan bangunan semi permanen dan permanen untuk hunian dan tempat usaha. Sementara dalam hubungannya sebagai daerah rawan bencana tsunami, kawasan Pangandaran mengikuti ketentuan sebagaimana diisaratkan pada UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal yang relevan dengan dengan kondisi Pangandaran saat ini dari UU ini adalah perihal penanggulangan bencana tahap pra bencana, yaitu dalam situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Penyelenggarakan penanggulangan bencana yang harus dilakukan dalam situasi ini meliputi perencanaan penanggulangan, pengurangan resiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan pembangunan, analisis resiko bencana, penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, serta standar teknis penanggulangan bencana.
3.5.2. Arahan
Arahan di bidang kepariwisataan
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Jawa Barat memberi arahan pengembangan bagi setiap KWU untuk mengembangkan sektor pariwisatanya secara saling melengkapi dengan KWU lain. Untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang harmonis/selaras tersebut pengembangan pariwisata di kawasan Pangandaran diharapkan mendukung topik “Rekreasi Pantai yang Ramah Lingkungan/Berkelanjutan” dan “Budaya Nelayan/Pesisir”. Penetapan topik tersebut melengkapi tema pengembangan pariwisata di sepanjang pantai selatan Jawa Barat – kawasan Pelabuhan Ratu Area dan Pantai Selatan‐ yang masing‐masing akan difokuskan pada ekowisata dan pariwisata minat khusus.
Memperhatikan situasi kepariwisataan di Pangandaran, RIPPDA Jabar juga menyarankan agar pengembangan kepariwisataan di kawasan Pangandaran harus ditujukan untuk :
• Menyelesaikan persoalan yang saat ini dihadapi kawasan tersebut,
• Mendukung basis ekonomi kawasan tersebut
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
75
• Mereorientasikan wisatawan/permintaan
• Dan mempromosikan budaya pantai sebagai bagian dari identitas masyarakat Jawa Barat.
Sebagai bagian dari wilayah Pantai Selatan Jawa Barat, pengembangan pariwisata di Pangandaran juga harus mempertimbangkan Rencana Induk Pantai Selatan Jawa Barat 2006 yang visinya adalah mewujudkan ”Pantai Selatan Jawa Barat sebagai kawasan agro‐industri dan pariwisata terpadu melalui pemanfaatan optimum sumber daya daratan dan lautan sekaligus melestarikan lingkungan”. Oleh karenanya, adalah logis apabila rencana tersebut memanfaatkan pariwisata dan pertanian (termasuk perikanan dan peternakan) seabagai alat untuk pembangunan wilayah yang juga selaras dengan topik pengembangan pariwisata di area tersebut.
Memperhatikan bahwa pariwisata diharapkan menjadi kegiatan ekonomi andalan di wilayah tersebut, peran Pangandaran untuk meningkatkan pembangunan ekonomi wilayah menjadi penting. Terdapat beberapa kegiatan terkait pengembangan pariwisata yang disarankan dalam Rencana Induk Pantai Selatan Jawa Barat untuk dilakukan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten dalam hal:
• Atraksi wisata, seperti pengemasan, pengelolaan dan pemasaran atraksi wisata.
• Aksesibilitas, seperti meningkatkan aksesibilitas ke Pangandaran dari daerah asal wisatawan dengan mengoperasikan kembali Bandara Nusa Wiru dan membuka kembali rute penerbangan ke Pangandaran untuk menarik wisatawan dari luar Jawa Barat (Jakarta, Yogyakara & Bali) serta memperbaiki kualitas jalan dan moda transportasi antar atraksi wisata di kawasan Pangandaran.
• Amenitas: penataan kembali komponen pariwisata di pantai untuk menciptakan kawasan wisata yang nyaman seperti mengatur pedagang kaki lima, membuat café pantai menarik.
Di kawasan Pangandaran terdapat Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran. Pemanfaatan ke dua kawasan tersebut diatur oleh peraturan yang berbeda. Cagar Alam Pananjung Pangandaran hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan bersifat penelitian dan pendidikan sementara Taman Wisata Alam dapat digunakan untuk keperluan rekreasi komersial.
Pemanfaatan taman wisata alam selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Wisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Pengusahaan wisata alam adalah kegiatan untuk mengoperasikan usaha fasilitas pariwisata di zona pemanfaatan di taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata lain dengan memperhatikan rencana pengelolaan taman. Tujuan dari pengusahaan adalah untuk meningkatkan pemanfaatan keunikan dan keindahan alam di zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Namun demikian, pengusahaan wisata alam harus sesuai dengan prinsip‐rpinsip konservasi sumber daya alam di dalam ekosistemnya.
Peran pariwisata dalam pembangunan masyarakat dan wilayah telah cukup dipahami berbagai pihak di dalam kawasan studi dan saat ini terdapat beberapa kegiatan pengembangan pariwisata yang diusulkan maupun berjalan. Namun demikian, penting bagi kegiatan yang masuk dalam kategori :
• hotel lebih dari 200 kamar atau ≥ 5 Ha, • lapangan golf segala ukuran
• taman rekreasi lebih dari 100 Ha,
• resort wisata segala ukuran dan
• kawasan yang skala/besaran suatu jenis rencana usaha dan/atau kegiatan lebih kecil daripada skala/besaran yang disebut di atas akan tetapi atas dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
76
dukung dan daya tampung lingkungan serta tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak penting terhadap lingkungan hidup,
untuk menyiapkan usulan kegiatannya dengan dokumen AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan). Sementara itu, untuk kegiatan pengembangan di luar yang disebutkan di atas untuk menyiapkan upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan (UPL).
Arahan terkait lingkungan hidup
Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran telah memiliki Dokumen Rencana Pengelolaan Taman Wisata Alam dan Cagar Alam Pangandaran 2004 yang memberikan arahan bagi pengembangan berbagai di kegiatan di sana. Hal penting tercantum dalam dokumen ini adalah rencana untuk melakukan evaluasi peruntukan fungsi kawasan sebagai solusi atas pemanfaatan wilayah cagar alam dari kegiatan pariwisata yang seharusnya tidak diperbolehkan dilakukan di sana. Usulan tersebut meliputi pengalihan fungsi sebagian kawasan cagar alam, yaitu blok Pasir Putih (15 hektar) dan Cirengganis (2,3 hektar),menjadi taman wisata alam. Demikian pula untuk wilayah cagar alam laut dialih fungsikan sebagai taman wisata alam laut. Kebijakan ini mungkin memang bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan pemanfaatan cagar alam selama ini, namun implementasinya harus dilakukan dengan hati‐hati agar tidak menjadi preseden atau pembenaran untuk melakukan perubahan fungsi kawasan cagar alam lainnya.
Dokumen rencana pengelolaan ini juga memberikan arahan untuk mengembangkan pengelolaan kolaborasi di cagar alam dan taman wisata alam melalui penerapan Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat. Selain itu juga akan dilakukan pembangunan sarana prasarana bagi kepentingan pengelolaan kawasan maupun wisata alam. Perlu diberi catatan di sini, sangat penting untuk adanya suatu panduan dalam pembangunan fisik agar sarana prasarana dapat berfungsi sesuai dengan yang dinginkan tanpa mengorbankan aspek estetika, serasi dengan alam dan ramah lingkungan.
Khusus untuk pariwisata alam, dokumen ini merekomendasikan agar Perhutani selaku pemegang IPPA agar melakukan kerja sama dengan pihak ketiga guna meningkatkan kualitas pariwisata alam di taman wisata alam. Konsep yang diusulkan adalah pengembangan Dusun Wana (natural preserved botique resort), yaitu fasilitas setara hotel bintang 4 dengan tetap melindungi lingkungan alam dan tradisi dan pengelolaan berstandar internasional. Sebaiknya usulan ini dikaji lebih mendalam lagi dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi‐sosial dan budaya setempat serta pemahaman masyarakat terhadap taman wisata alam, agar tidak menimbulkan pertanyaan mengenai fungsi kawasan tersebut.
Dalam hal pengembangan Kawasan Konservasi Laut Daerah, seperti telah disinggung pada sub‐bab 3.5.1, baru sampai pada tahapan pencadangan lokasi. Dari sini masih harus dilanjutkan dengan membuat rencana pengelolaan – termasuk penentuan zonasi‐ dan pendirian lembaga pengelola yang diarahkan ke pengelolaan kolaboratif. Rencananya pemanfaatan kawasan konservasi laut adalah untuk kegiatan perikanan berkelanjutan, wisata bahari, penelitian dan pengembangan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat dan pemanfaatan sumber daya laut lainnya secara lestari.
Seperti telah disampaikan di bagian terdahulu, pengembangan di kawasan pantai perlu memperhatikan fungsi sempadan pantai sebagai kawasan lindung setempat. Sebagai kawasan yang berada di daerah rawan bencana tsunami, pembangunan di kawasan studi sebaiknya memperhatikan arahan‐arahan lebih lanjut yang telah disusun untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana tsunami. Dalam
Rencana Pengelolaan Pariwisata Pangandaran
77
Arahan Pemanfaatan Ruang Kawasan Rawan Bencana Alam di Pantai Selatan Jawa Barat yang disusun Departemen Pekerjaan Umum tahun 2007, wilayah dengan :
• elevasi di bawah 3 meter di atas permukaan laut
• morfologi pantai landai
• kerapatan vegetasi rendah merupakan wilayah pantai yang beresiko tinggi mengalami kerusakan (zona bahaya).
Pada prinsipnya, pemanfaatan ruang di kawasan yang rawan tsunami sebaiknya tidak ada bangunan penduduk pada radius 200 meter dari pantai. Pada radius 200 meter dari pantai ditetapkan sebagai daerah penyangga yang efektif mengurangi kecepatan dan ketinggian gelombang tsunami. Untuk meredam kecepatan dan ketinggian gelombang tsunami, di daerah penyangga ditanami pepohonan dengan ketinggian 10 sampai 15 meter. Penyangga dapat juga membuat tanggul penahan tsunami, saluran buatan atau kolam pengendali. Di daerah bahaya diarahkan untuk membangun soft structure yang dikombinasikan dengan budidaya perikanan dan program ekowisata.
top related