2. tinjauan pustaka 2.1. kedelai (glycine max l...
Post on 23-Feb-2018
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kedelai (Glycine max L Merr)
Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak.
Berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, yang dibudidayakan
mulai abad ke-17 sebagai tanaman makanan dan pupuk hijau. Penyebaran
tanaman kedelai ke Indonesia berasal dari daerah Manshukuo menyebar ke daerah
Mansyuria: Jepang (Asia Timur) dan ke negara-negara lain di Amerika dan
Afrika. Kedelai yang tumbuh secara liar di Asia Tenggara meliputi sekitar 40
jenis. Penyebaran geografis dari kedelai mempengaruhi jenis tipenya. Terdapat 4
tipe kedelai yakni: tipe Mansyuria, Jepang, India, dan Cina. Dasar-dasar
penentuan varietas kedelai adalah menurut: umur, warna biji dan tipe batang
(Anonim, 2000).
Gambar 2.1. Kedelai
Kedelai termasuk famili Leguminosae, subfamili Papilonoideae, dan
genus Glysin, L dengan nama kultivar Glysin max (L). Kedelai mengandung
protein paling tinggi diantara jenis sereal dan legume, sekitar 40% dan
mengandung sekitar 20% lemak, kedua tertinggi setelah kacang tanah. Secara
rata-rata, protein dan lemak menyumbang 60% berat kering kedelai. Sisanya
adalah karbohidrat (± 35%) dan abu (± 5%). Karena pada umumnya kedelai
komersial mengandung sekitar 13% air (untuk menjaga stabilitas selama
penyimpanan), berdasarkan berat basah kedelai mengandung 35% protein, 17%
lemak, 31% karbohidrat, dan 4,4% abu (Liu, 1997 dalam Wahyuningtyas, 2003).
Komposisi kimia kedelai sangat bervariasi dan tergantung pada beberapa faktor,
5
diantaranya adalah varietas, musim/iklim, lokasi geografis, dan tekanan
lingkungan (Schmidl dan Labuza, 2000 dalam Wahyuningtyas, 2003).
Tabel 2.1. Komposisi Gizi Kedelai Kering per 100 gram Biji
Komposisi Jumlah
Kalori (kkal) 331Protein (gr) 34,9Lemak (gr) 18,1Karbohidrat (gr) 24,8Kalsium (mg) 227Fosfor (mg) 585Besi (mg) 8,0Vitamin A (SI) 110Vitamin B1 (mg) 1,1Air (gr) 7,5
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI, 1972
Kedelai merupakan salah satu komoditas penting karena kedelai
mempunyai nilai kemanfaatan yang tinggi, kedelai bisa diolah menjadi bahan
makanan, minuman serta penyedap cita rasa makanan. Sebagai bahan makanan
pada umumnya kedelai tidak langsung dimakan, melainkan diolah terlebih dahulu
sesuai dengan kegunaannya, misalnya : tempe, tahu, kecap, tauco, tauge bahkan
diolah secara modern menjadi susu dan minuman sari kedelai, kemudian dikemas
di dalam botol (AAK, 1995).
Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak
disintesa oleh tanaman. Pada tanaman golongan Leguminosae, khususnya pada
tanaman kedelai mengandung senyawa isoflavon yang cukup tinggi. Bagian tanaman
kedelai yang mengandung senyawa isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji
kedelai, khususnya pada bagian hipokotil (germ) yang akan tumbuh menjadi tanaman.
Sebagian lagi terdapat pada kotiledon yang akan menjadi daun pertama dari
tanaman.Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2-4 mg/g kedelai. (Anonim,
2008). Senyawa isoflavon ini pada umumnya berupa senyawa kompleks atau
konjugasi dengan senyawa gula melalui ikatan glukosida. Jenis senyawa isoflavon
ini terutama adalah Genistin, Daidzin, Glisitin (Pradana, 2008). Selama proses
6
pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses non-fermentasi,
senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui proses
hidrolisa sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut aglikon
yang lebih tinggi aktivitasnya. Senyawa aglikon tersebut adalah Genistein,
Daidzein, dan Glisitein (Pawiroharsono, 1995 dalam Dwinaningsih, 2010).
2.2. Kedelai Lokal varietas Grobogan
Dilepas tahun : 2008
SK Mentan : 238/Kpts/SR.120/3/2008
Asal :Pemurnian populasi Lokal Malabar
Grobogan
Tipe pertumbuhan : determinit
Warna hipokotil : ungu
Warna epikotil : ungu
Warna daun : hijau agak tua
Warna bulu batang : coklat
Warna bunga : ungu
Warna kulit biji : kuning muda
Warna polong tua : coklat
Warna hilum biji : coklat
Bentuk daun : lanceolate
Percabangan : -
Umur berbunga : 30-32 hari
Umur polong masak : ± 76 hari
Tinggi tanaman : 50–60 cm
Bobot biji : ± 18 g/100 biji
Rata-rata hasil : 2,77 ton/ha
Potensi hasil : 3,40 ton/ha
Kandungan protein : 43,9%
Kandungan lemak : 18,4%
7
Daerah sebaran : Beradaptasi baik pada beberapa kondisi
lingkungan tumbuh yang berbeda cukup
besar, pada musim hujan dan daerah
beririgasi baik.
Sifat lain : - polong masak tidak mudah pecah, dan
- pada saat panen daun luruh 95–100%
saat panen >95% daunnya telah luruh
(Balitkabi, 2008)
2.3. Tempe
Tempe merupakan makanan hasil fermentasi tradisional berbahan baku
kedelai dengan bantuan jamur Rhizopus oligosporus. Mempunyai ciri-ciri
berwarna putih, tekstur kompak dan flavor spesifik. Warna putih disebabkan
adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai. Tekstur yang
kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia jamur yang menghubungkan antara
biji-biji kedelai tersebut. Terjadinya degradasi komponen-komponen dalam
kedelai dapat menyebabkan terbentuknya flavor spesifik setelah fermentasi
(Kasmidjo, 1990 dalam Dwinaningsih, 2010).
Gambar 2.2. Tempe
8
Tabel 2.2. Komposisi Gizi Tempe
Komposisi Jumlah
Air (wb) 61,2 %Protein kasar (db) 41,5%Minyak kasar (db) 22,2%Karbohidrat (db) 29,6%Abu (db) 4,3%Serat kasar (db) 3,4%Nitrogen (db) 7,5%
Sumber: Cahyadi (2006)
Menurut Standar Nasional Indonesia 01-3144-1992, tempe kedelai adalah
produk makanan hasil fermentasi biji kedelai oleh kapang tertentu, berbentuk
padatan kompak dan berbau khas serta berwarna putih atau sedikit keabu-abuan.
Tabel 2.3. Syarat Mutu Tempe Kedelai Menurut Standar Nasional
Indonesia 01-3144-1992
Kriteria Uji Persyaratan
Keadaan Bau normal (khas tempe) Warna normal Rasa normal
Air (% b/b) maks 65Abu (% b/b) maks 1,5Protein (% b/b) x (Nx6,25) min 20Cemaran mikroba
E coli maks 10 Salmonella negative
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1992)
2.4. Tempe Satu Kali Perebusan
Tempe satu kali perebusan merupakan salah satu jenis tempe dimana
pengrajin melakukan improvisasi terhadap proses pembuatan tempe yaitu pada
tahapan perebusan yang hanya dilakukan sekali. Improvisasi ini biasanya
dilakukan untuk menghemat bahan bakar. Proses perebusan dalam pembuatan
tempe berpengaruh pada nilai gizi serta daya tahan tempe yang dihasilkan.
9
Septania (2010) melaporkan bahwa tempe yang dikukus satu kali mempunyai
kadar abu dan air lebih tinggi dibanding tempe yang dikukus dua kali. Sedangkan
kadar karbohidrat dan proteinnya lebih rendah dibanding tempe yang dikukus dua
kali.
2.5. Proses Pembuatan Tempe dan Perubahan Gizinya
Tempe adalah makanan terkenal Indonesia yang dibuat dari kedelai
melalui tiga tahap, yaitu (1) hidrasi dan pengasaman biji kedelai dengan direndam
beberapa lama (untuk daerah tropis kira-kira semalam); (2) pemanasan biji
kedelai, yaitu dengan perebusan atau pengukusan; dan (3) fermentasi oleh jamur
tempe yang banyak digunakan ialah Rhizopus oligosporus (Kasmidjo, 1990 dalam
Dwinaningsih, 2010).
Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan
baku yang dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan
lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe
kedelai, substrat yang digunakan adalah biji kedelai yang telah direbus dan
mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus,
Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua spesies
atau ketiganya) dan lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30˚C, pH awal
6.8, kelembaban nisbi 70-80%. Selain menggunakan kapang murni, laru juga
dapat digunakan sebagai starter dalam pembuatan tempe (Ferlina, 2009 dalam
Dwinaningsih, 2010).
Perebusan bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan
dalam pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin inhibitor
yang ada dalam biji kedelai. Selain itu perebusan ini bertujuan untuk mengurangi
bau langu dari kedelai dan dengan perebusan akan membunuh bakteri yang yang
kemungkinan tumbuh selama perendaman (Ali, 2008).
Perendaman bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah pertumbuhan
bakteri pembusuk selama fermentasi. Ketika perendaman, pada kulit biji kedelai
telah berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang terdapat di air terutama oleh
bakteri asam laktat. Perendaman juga betujuan untuk memberikan kesempatan
kepada keping-keping kedelai menyerap air sehingga menjamin pertumbuhan
10
kapang menjadi optimum. Keadaan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan kapang
tetapi mencegah berkembangnya bakteri yang tidak diinginkan. Perendaman ini
dapat menggunakan air biasa atau air yang ditambah asam asetat sehingga pH
larutan mencapai 4-5 (Ali, 2008).
Selama proses perendaman, biji mengalami proses hidrasi, sehingga kadar
air biji naik sebesar kira-kira dua kali kadar air semula, yaitu mencapai 62-65 %.
Proses perendaman memberi kesempatan pertumbuhan bakteri-bakteri asam laktat
sehingga terjadi penurunan pH dalam biji menjadi sekitar 4,5–5,3. Bakteri yang
berkembang pada kondisi tersebut antara lain Lactobacillus casei, Streptococcus
faecium, dan Streptococcus epidermidis. Kondisi ini memungkinkan
terhambatnya pertumbuhan bakteri yang bersifat patogen dan pembusuk yang
tidak tahan terhadap asam. Selain itu, peningkatan kualitas organoleptiknya juga
terjadi dengan terbentuknya aroma dan flavor yang unik.
Proses hidrasi terjadi selama perendaman dan perebusan biji. Makin tinggi
suhu yang dipergunakan makin cepat proses hidrasinya, tetapi bila perendaman
dilakukan pada suhu tinggi menyebabkan penghambatan pertumbuhan bakteri
sehingga tidak terbentuk asam (Hidayat, 2008 dalam Dwinaningsih, 2010).
Sebagai akibat perubahan fermentasi kedelai, dihasilkan produk tempe
yang lebih enak, lebih bergizi, dan lebih mudah dicerna dari pada kedelai. Salah
satu faktor penting dalam perubahan tersebut adalah terbebasnya senyawa-
senyawa isoflavon dalam bentuk bebas (aglikon), dan teristemewa hadirnya
Faktor-II (6,7,4' tri-hidroksi isoflavon), yang terdapat pada tempe tetapi tidak
terdapat pada kedelai. Faktor-II ternyata berpotensi 10 kali lebih tinggi (dibanding
dengan jenis isoflavon yang lainnya) sebagai antioksidan dan berperan sebagai
antihemolitik, penurun tekanan darah, anti kanker, dan sebagainya (Karyadi dan
Hermana, 1995).
Kedelai dorman mengandung glikosida isoflavon yang terdiri dari : 65%
genistin, 23% daidzin dan 15% glisitin. Pratt dan Hudson (1985) dalam Mey
(2009), melaporkan bahwa daidzin, genistin, dan glisitein yang terdapat pada biji
kedelai dapat dihidrolisis oleh ß-glukosidase selama proses perendaman menjadi
aglikon isoflavon dan glukosanya yaitu genestein (5,7,4’-trihidroksi isoflavon)
11
dan glukosa (1:1), daidzein (7,4’-trihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1) serta
glisitein (6-metoksi-7,4’-dihidroksi isoflavon) dan glukosa (1:1).
Menurut Barz dan Papendorf (1991) dalam Mey (2009), Faktor II dapat
terbentuk karena selama proses perendaman kedelai, ß-glukosidase akan aktif dan
mengubah glisitin, genestin dan daidzin yang telah ada pada kedelai menjadi
glisitein, genestein dan daidzein. Selanjutnya selama proses fermentasi kedelai
direndam dengan Rhizopus oligosporus terjadi konversi lebih lanjut glisitein dan
daidzein menjadi senyawa Faktor II. Menurut Sutikno (2009), antioksidan faktor
II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat
dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat
terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus
luteus dan Coreyne bacterium.
2.6 Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya
reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid. Antioksidan dinyatakan sebagai
senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan
konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat
dioksidasi.
Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu
antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia)
dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) (Trilaksani, 2003).
Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk
makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar
diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen
(BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol.
Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara
sintetis untuk tujuan komersial (Buck, 1991 dalam Trilaksani, 2003)
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c)
12
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
makanan sebagai bahan tambahan pangan.
Menurut Pratt dan Hudson (1990) dalam Trilaksani (2003), kebanyakan
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari
tumbuhan.. Antioksidan alami tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada
kayu, kulit kayu, akar, daun, buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt,1992).
Menurut Pratt dan Hudson (1990) serta Shahidi dan Naczk (1950) dalam
Trilaksani (2003), senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah
senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan
asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional.
Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering
disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom
hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk
lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki
keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi
sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai
mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan
radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon,1990 dalam Trilaksani, 2003).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi (Gambar 2.3). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang
terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi
untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru
(Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003). Radikal-radikal antioksidan dapat saling
bereaksi membentuk produk non radikal.
13
Inisiasi : R* + AH ———> RH + A* Radikal lipida
Propagasi : ROO* + AH ——> ROOH + A*
Gambar 2.3. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003)
Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada
laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering
lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 2.4). Pengaruh
jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan,
kondisi dan sample yang akan diuji.
AH + O2 ———–> A* + HOO*
AH + ROOH ———> RO* + H2O + A*
Gambar 2.4. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon, 1990 dalam Trilaksani, 2003)
Nilai aktivitas antioksidan suatu sampel dapat ditentukan menggunakan
metode kemampuan mereduksi (reducing power). Metode ini didasarkan pada
kemampuan antioksidan dalam pembentukan senyawa feriferosianida
(Fe4[Fe(CN)6]3) berwarna biru berlin yang ditunjukkan dengan nilai absorbansi
pada pengukuran 700 nm menggunakan spektrofotometer. Besarnya aktivitas
antioksidan dapat diketahui setelah nilai absorbansi dikorelasikan dengan kurva
standar K4Fe(CN)6 (Yildrim dkk, 2001 dan Oyaizu, 1986 dalam Wang dkk, 2003).
2.7. Senyawa Fenolik
Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa
fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam
sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Senyawa
antioksidan alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai
(a) pereduksi, (b) penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, (d) peredam
terbentuknya singlet oksigen (Pratt, 1992).
14
Secara kimiawi, senyawa fenolik dapat terdefinisikan sebagai kelompok
senyawa kimia yang memiliki cincin aromatik yang berikatan dengan kelompok
hidroksil ( -OH ). Adanya gugus hidroksil menyebabkan senyawa bersifat polar.
Gambar 2.5. Stuktur Senyawa Fenol
Senyawa fenolik terdistribusi luas dalam berjuta spesies tumbuh-tumbuhan
dan sejauh ini lebih dari 800 struktur senyawa fenolik telah diketahui. Senyawa
fenolik mampu meredam reaksi berantai radikal bebas dalam tubuh yang pada
akhirnya dapat menekan terjadinya penyakit kanker (Karunia, 2007).
Ada beberapa senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan telah
berhasil diisolasi dari kedelai (Glycine max L. Merr), salah satunya adalah
flavonoid. Flavonoid kedelai adalah unik dimana dari semua flavonoid yang
terisolasi dan teridentifikasi adalah isoflavon. Isoflavon kedelai terutama berupa
7-O-monoglukosida-isoflavon, dimana bagian glikosidanya 100 kali bagian
aglikonnya. Senyawa antioksidan alami isoflavon dari kedelai tersebut adalah
5,7,5’-trihidroksiisoflavon-7-0-monoglukosida (genistein) 7,4-
dihidroksiisoflavon-7-0monoglukosida (daidzein), dan 7,4;-dihidroksi6-metoksi-
isoflavon-7-0-monoglukosida (glycitein). Isoflavon lain dari kedelai adalah 6,7,4’-
trihidroksiisoflavon yang hanya terdapat pada produk-produk kedelai
terfermentasi (Pratt,1992). Pratt (1992), juga menyatakan senyawa fenolik berupa
asam fenolat, diantaranya chlorogenic, isochlorogenic, caffeic, ferullic, p-
coumaric, syiringic, vanillic dan p-hydroxybenzoic acids juga terdapat dalam
kedelai. Baru-baru ini, ditemukan senyawa baru dalam tempe yang juga termasuk
dalam golongan senyawa fenolik yaitu 3-Hydroxyanthranilic acid (Esaki dkk,
1996 dalam Pokorony dkk, 2003)
15
R1 R2 Komponen
H H Daidzein
OH H Genistein
H OCH3 Glisitein
H OH Faktor-II
Gambar 2.6. Struktur Kimia Isoflavon Aglikon
Gambar 2.7. Struktur 3-Hydroxyanthranilic acid
Kadar fenolik total suatu sampel dapat diuji dengan menggunakan metode
Folin Ciocalteu. Kadar fenolik total pada sampel ditentukan oleh kemampuan
sampel untuk mereduksi reagen Folin Ciocalteu yang mengandung senyawa asam
fosfomolibdat-fosfotungstat berwarna kuning yang akan membentuk senyawa
kompleks berwarna biru. Metode ini dapat mendeteksi semua golongan fenolik
yang terdapat dalam sampel. Kandungan fenoliknya dapat distandarisasi antara
lain dengan asam galat, katekin, asam tanat, dan asam kafeat (Prior dkk, 2005).
Na2WO4 / Na2MoO4 ( fenol – MoW11O40) 4-
Mo (VI) (kuning) + e- Mo (V) (biru)
top related