· web viewuntuk dapat memecahkan masalah seperti penyakit, kesulitan rumah tangga, ternak yang...
Post on 03-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai sebuah negara yang besar terkenal dengan keanekaragaman suku dan
kebudayaan. Kepulauan Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai dengan Merauke didiami
oleh berbagai suku yang memiliki kebudayaan sendiri-sendiri. Kebudayaan bangsa atau
kebudayaan nasional merupakan keseluruhan kebudayaan etnik yang hidup dan keseluruhan
kebudayaan baru yang muncul di Indonesia (Sibarani, 2004:22).
Pada hakikatnya kebudayaan yang merupakan hasil “budi” dan “daya” manusia itu,
mengangkat derajat manusia sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi di antara makhluk–makhluk
Tuhan yang lain, seperti binatang dan tumbuh–tumbuhan. Dengan kebudayaan kita dapat
mengetahui tingkat peradaban manusia pendukungnya. Namun demikian perlu disadari bahwa
tingkat kebudayaan dan peradaban itu banyak ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri
dalam menghadapi tantangan alam sekitar atau lingkungan di mana mereka tinggal dan hidup.
Dalam hal ini nyata bahwa alam sekitar memberi batas kemampuan manusia untuk berbuat dan
melakukan sesuatu sesuai dengan “akal” atau “budi” dan “dayanya”.
Menurut Koentjaraningrat (1980:217) setiap kebudayaan yang dimiliki oleh manusia itu
mempunyai 7 unsur kebudayaan yang bersifat universal. Unsur kebudayaan itu adalah : bahasa,
sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata
pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian.
Kebudayaan ini telah ada sejak manusia berkreasi dan berkarya. Hasil dari kebudayaan
tersebut dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain: norma, adat istiadat (tradisi), gagasan,
2
sastra baik sastra tulis maupun sastra lisan. Ciri–ciri Tradisi lisan hampir sama dengan ciri–ciri
folklor, yang di dalamnya juga terdapat pula tradisi lisan. Hampir seluruh tradisi lisan memenuhi
kriteria folklor. Tradisi lisan cakupannya sangat luas di mana tidak hanya terbatas pada cerita
rakyat, mite, dan legenda saja, melainkan berupa sistem kognasi kekerabatan lengkap misalnya
seluruh sejarah hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan tradisional. Tradisi lisan juga
berkaitan dengan folklor dan tradisi. Keterkaitan dengan folklor dapat dilihat dari segi etimologi.
Folk berarti rakyat, dan lore artinya tradisi. Folk adalah kelompok atau kolektif yang memiliki
ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakan dengan kelompok lain. Lore merupakan wujud
tradisi dari folk. Tradisi tersebut diturunkan secara lisan dan turun-temurun. Folklor berarti
tradisi rakyat dan sebagian tradisi ada yang disampaikan secara lisan, kelisanan menjadi pijakan
folklor.
Mantra Ritual pagar diri merupakan bagian dari kajian ilmu folklor. Upacara tradisional
pada tradisi ini termasuk dalam foklor yang berbentuk folklor sebagian lisan, unsur lisan berupa
mantra-mantra yang diucapkan pada saat prosesi ritual dilaksanakan, sedangkan unsur bukan
lisan dapat berupa gerak dan bunyi isyarat yang dikeluarkan saat prosesi ritual dilaksanakan.
Oleh karena itu untuk mengetahui bagaimana bentuk tradisi ritual tersebut maka perlu diadakan
pendekatan folklor.
Ritual pagar diri merupakan sebuah upacara tradisional yang di dalamnya mengandung
nilai-nilai dan adat istiadat yang masih dipertahankan dan dijalankan oleh masyarakat
pendukungnya. Adapun salah satu contoh masyarakat pendukungnya adalah seorang pejabat
yang ingin mempertahankan jabatannya agar tidak tergeser oleh orang lain, maka ia harus
memagar dirinya dengan mendatangi bomoh atau dukun, atau seorang pengusaha atau pedagang
agar usahanya tidak diganggu orang maka ia harus memagar dirinya yaitu dengan cara
3
melakukan ritual dan sebagainya. Ritual pagar diri memiliki fungsi tersendiri. Ritual pagar diri
ini juga memiliki bentuk, dan nilai untuk diteliti, bukan hanya sekadar tradisi yang dilaksanakan
secara turun-temurun, namun dilaksanakan untuk maksud-maksud tertentu. Ritual pagar diri
dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya sampai sekarang, dan berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya pengunjung yang datang.
Adanya ritual pagar diri ini dalam rangka meminta kesejahteraan, keselamatan, dan berkah, serta
kekayaan. Ritual pagar diri merupakan sebuah gejala sosial yang perlu mendapat perhatian. Hal
ini juga yang melatarbelakangi penelitian lebih lanjut mengenai ritual pagar diri beserta nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya.
Kehidupan sosial suatu masyarakat diatur oleh nilai–nilai budaya yang bersumber pada
adat dan tradisi yang berlaku pada masyarakat tersebut. Keterikatan warga masyarakat terhadap
adat istiadat tercermin dalam kehidupan mereka sehari–hari. Dalam menghadapi segala
permasalahan yang timbul dalam masyarakat, selalu diselesaikan secara adat untuk mencapai
mufakat. Keturunan, kepandaian, dan kekayaan merupakan penentu status seseorang dalam
masyarakat. Jabatan–jabatan dalam masyarakat tersebut merupakan jabatan yang turun temurun.
Hampir seluruh penduduk Ujung Gading Julu secara resmi merupakan penganut agama Islam,
namun sisa–sisa dari kepercayaan sebelum kedatangan islam masih terlihat sebagai unsur–unsur
kepercayaan nenek moyang (Rudini, 1992 : 95).
Desa Ujung Gading Julu terletak di Kecamatan Simangambat, Kabupaten Padang Lawas
Utara. Desa Ujung Gading Julu sebelah Utara berbatasan dengan Desa Simangambat Jae, sebelah
Selatan berbatasan dengan Desa Jambu Tonang, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pasir
Putih, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ujung Gading Jae. Adapun luas Desa Ujung
Gading Julu ± 3860 Ha, yang terdiri dari 5 lorong/RW, yaitu Lorong Kampung Lama, Lorong
4
Pasar Dua, Lorong Pasar Mujur, Lorong Rimba Baru, Lorong Simpang Durian. Desa Ujung
Gading Julu terletak di dataran perbukitan, karena itu beriklim dingin. Adapun jumlah penduduk
Ujung Gading Julu ± 2215 Jiwa, sedangkan mata pencaharian penduduk yang utama adalah tani.
Walaupun penduduknya telah menganut agama Islam, akan tetapi masih terdapat
kepercayaan terhadap kekuatan–kekuatan gaib, yang dianggap menguasai alam yang
mempengaruhi kehidupan mereka. Kekuatan gaib tersebut harus diperhatikan atau
diperhitungkan dengan baik agar ia tidak menimbulkan malapetaka dan kesengsaraan (Kadir
dkk, 1985 : 12).
Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para
anggota suatu masyarakat ( Horton dkk, 1999:58).
Sastra lama atau sastra daerah baik lisan maupun tulisan, umumnya kurang dikenal oleh
masyarakat modern karena belum digarap (direkam,dibukukan,diterjemahkan) secara sungguh-
sungguh menjadi bacaan masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat sastra memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah fungsi
religius yang berarti sastra pun menghadirkan karya–karya yang mengandung ajaran agama yang
dapat diteladani para penikmat atau pembaca sastra (Sulistiono dkk, 2008 : 282).
Segala jenis seni kata yang diwariskan turun temurun secara lisan disebut “tradisi lisan”.
Kegiatan kesenian yang menampilkan tradisi lisan tersebut antara lain mencakup jenis mantra,
pantun, lagu dolanan anak–anak, dongeng dan gosip. Karena tidak terekam dalam tulisan, mantra
atau dongeng senantiasa mengalami perubahan dalam pilihan kata maupun panjang pendeknya.
5
Jenis tradisi lisan yang boleh jadi paling tua adalah “mantra” yang dalam beberapa bahasa di
Indonesia dikenal juga sebagai “jampi–jampi” (Syukur dkk, 2005: 68).
Tradisi lisan maupun tradisi tulis tidak punya kaitan dengan ada atau tidak ada sistem
aksara sendiri yang dimiliki oleh suatu masyarakat bahasa, juga tidak punya kaitan dengan
modern atau tradisional kehidupan suatu masyarakat bahasa. Dengan kata lain, semua
masyarakat bahasa, punya aksara sendiri atau tidak, modern atau tradisional, mengembangkan
tradisi lisan masing–masing. Tradisi lisan itu adalah totalitas pertemuan antara penutur bahasa
dan khalayak, seperti yang terjadi dalam upacara agama dan adat, pengucapan pantun, syair,
mantra, pengungkapan perasaan dan ratap, penutur dongeng, kisah dan penguraian silsilah.
Rumusan inipun belum sempurna, karena seseorang yang meratap misalnya : tidak harus punya
khalayak (kecuali dirinya sendiri dapat disebut khalayak juga), akan tetapi peristiwa tersebut
adalah bagian dari tradisi lisan (Simbolon, 1999:84).
Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat. Masyarakat adalah
makhluk sosial yang hidup secara berkelompok dalam suatu kawasan dan mereka membuat suatu
organisasi yang dapat saling tolong menolong antara satu dengan yang lain. Kearifan lokal
dalam mantra tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal dapat ditemukan dalam
mantra-mantra, jampi-jampi, nyayian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno, dll. kearifan lokal dapat
dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta (makrokosmos) dan alam kesadaran manusia
(mikrokosmos). Tidak ada sesuatu benda dan kejadian di jagat raya ini yang bisa berdiri sendiri,
semuanya saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Menurutnya, selarasnya alam dan
manusia adalah syarat utama terjadinya harmoni semesta.
6
Di Sumatera, kearifan lokal juga tercipta, masyarakat Sumatera Barat (baca
Minangkabau) yang hidup di dataran tinggi pulau Sumatera, mempunyai kearifan tentang
hubungan alam dan manusia. Dalam petuah adatnya di sebutkan: ”ka lauik babungo karang, ka
sungai babungo pasia, ka darek babungo kayu.” (Ke laut berbunga karang, ke sungai berbunga
pasir, ke darat berbunga kayu). Tapi, biarpun laut berbunga karang dan darat berbunga kayu
mereka tidak boleh semena-mena dalam memanfaakannya, ada aturannya dan itu di sebut ”alur
dan patut,”. Mereka harus menjaga karena manusia dan alam mempunyai saling keterikatan
untuk menjaga, seperti ”aur dengan tebing.”
Contoh kerifan lokal dalam bacaan mantra:Bintang tujuh di mata akuBintang berayun di dagu akuBulan purnama di kening akuSemut beriring di bibir akuGajah sekawan di gigi akuOmbak beralun di lidah akuSuara aku seperti suara Nabi DaudRupa aku seperti rupa Nabi Yusuf(Borhan Kamin dalam Haron 2001)
Mantra merupakan ucapan gaib digunakan dalam semedi dan pemujaan untuk
memungkinkan terjadinya hubungan langsung antara dewata dan pemuja. Mantra telah lama
digunakan di dunia Melayu sebagai cara mempengaruhi kekuatan dikodrati agar berpihak kepada
si pemohon (Mc Glynn dkk, 2002 : 124).
Mantra seperti karya sastra lisan lainnya, sukar dipastikan siapakah penciptanya. Dalam
hal ini pencipta mantra diduga terdiri dari orang – orang yang berwibawa dalam masyarakat dan
mempunyai pengetahuan yang luas dalam banyak bidang, terutama alam ghaib dan alam nyata.
Alam ghaib adalah semua kuasa dan makhluk yang tidak dapat dilihat dengan mata kasar
meliputi malaikat, makhluk halus seperti jin, iblis dan hantu, kayangan, surga dan neraka.
Sedangkan alam nyata adalah semua makhluk yang dapat dilihat dengan panca indra, dan semua
7
benda yang ada di bumi dan di langit. Dengan demikian pencipta mantra juga berfungsi sebagai
penghubung antara manusia dengan alam ghaib, dan orang tersebut biasanya disebut bomoh /
pawang / dukun.
Dukun telah menjadi bagian integral dari masyarakat kita yang majemuk. Di satu sisi, dia
merupakan sosok yang banyak dicaci masyarakat karena dianggap “sesat”dan “membodohi”, di
sisi lain, dukun justru dijadikan “tempat mencari petunjuk” disaat orang–orang tertentu
mengalami kebingungan dan kebuntuan yang tidak dapat dia temukan jawabannya dalam teori-
teori ilmiah maupun analisis para pakar dibidang tertentu (Ruslani, 2005 : 104).
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah “dukun” diartikan sebagai “ orang yang
mengobati, menolong orang sakit, atau memberi jampi–jampi”. Untuk dapat memecahkan
masalah seperti penyakit, kesulitan rumah tangga, ternak yang sakit, atau kehilangan harta benda
dilakukan upacara melalui perantara roh (Fox dkk, 2002 : 105).
Dengan adanya wujud berbagai interaksi sosial itu akan menimbulkan berbagai tindakan
yang dianggap dan dipercayai masyarakat. Misalnya ada tindakan bersama yang intinya untuk
kepentingan bersama pula dalam masyarakat. Maka diadakan upacara ritual, seperti memohon
keselamatan terhadap malapetaka atau meminta rezeki kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Salah satu dari sekian banyak ritual yang kita kenal dan yang paling sering digunakan
orang adalah ritual “pagar diri”. Mantra “Pagar diri” adalah mantra yang berfungsi untuk
melindungi diri dari musuh manusia, makhluk halus, binatang, penyakit dan sebagainya. Mantra
“Pagar diri” biasanya selalu dibarengi dengan mantra “pemanis atau penglaris” yang
kesemuanya itu berfungsi untuk memperlancar usaha serta terhindar hari hal–hal yang tidak
diinginkan atau orang–orang yang dengki pada kita. Contoh mantra :
8
Mantra Pagar DiriBismillahirrahmanirrahimAllah payung akuJibrail kota akuMalaikat empat puluh empat pagar akuAku berjalan dengan kuasa allahAku berlenggang dengan lenggang MuhammadBukan kata aku, kata AllahBerkat doaLa ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah(Saidin Said Taiping dalam Haron 2001)
Mantra Pemanis Bismi’llahi ‘I-Rahmani ‘I-RahimMatahari empat, bulan lima, Bintang tujuh di mata akuBintang berayun di dagu akuBulan purnama di kening akuSemut beriring di bibir akuGajah sekawan di gigi akuOmbak beralun di lidah akuSuara aku seperti suara Nabi DaudRupa aku seperti rupa Nabi YusufBerkat aku memakai pemanis budak Sama jadi dengan aku Dengan berkatLa ilaha illa’llah, Muhammadar Rasulullah.(Borhan Kamin dalam Haron 2001)
Mantra penglarisBismi’llahi ‘I-Rahmani ‘I-RahimAku puja ilmuku Si Semar senyumSenyumanku bagaikan semarSenyumanku kegembiraan kedatangankuNgiling-ngiling sedih sepeninggalankuDatang belas datang kasihOrang sealam semesta ini Semua kasih kepada akuKasih dengan kehendak AllahBerkat doaLa ilaha illa’llah, Muhammadar Rasulullah.(Mat Aris Mat Alor Setar dalam Haron 2001)
Kepercayaan warisan adalah kepercayaan yang menjelaskan bahwa sebagian persoalan
hidup manusia dipengaruhi kuasa–kuasa luar biasa yang dinamakan penunggu, semangat, roh,
9
hantu dan jin. Kepercayaan itu bercampur aduk dengan kepercayaan yang diterima dari India,
yaitu keramat dan sihir.
Ritual merupakan kebudayaan yang dianggap masyarakat tersebut sebagai hasil
kelakuan/tindakan yang berisikan model–model kognitif yang berperanan menjadi kerangka
pegangan untuk pemahaman. Hasil pemahaman itu dapat menjadi aturan yang berlaku dalam
masyarakat. Dipelihara dan dipertahankan secara turun-temurun. Jadi, ritual ini dapat menjadi
petunjuk yang mengatur, menyeleksi kelakuan/tindakan masyarakat. Ritual itu pula
merangkaikan simbol–simbol yang diseleksi dan diakui secara bersama–sama oleh masyarakat
untuk mengidentifikasi tujuan agar tercapai dengan sebaik–baiknya.
Untuk mengetahui hubungan yang berkaitan dengan ritual “pagar diri”, dan sekaligus
mengetahui makna–makna unsur ritual tersebut akan dipaparkan pada bagian analisis semiotik
mantra dalam ritual “pagar diri”.
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang dan identifikasi masalah tersebut dalam penelitian ini,
maka permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah versi proses ritual “pagar diri” tersebut dilakukan?
2. Bagaimanakah interpretasi makna mantra ritual “pagar diri” di Desa Ujung Gading
Julu?
3. Bagaimanakah semiotika perlengkapan yang digunakan dalam ritual “pagar diri” di
Desa Ujung Gading Julu ?
4. Bagaimanakah kearifan lokal dalam mantra tersebut?
10
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan tahap–tahap pelaksanaan ritual “pagar diri” pada masyarakat Desa
Ujung Gading Julu.
2. Mendeskripsikan semiotik dan bentuk lingual mantra dalam ritual “pagar diri” di
Desa Ujung Gading Julu.
3. Mendeskripsikan semiotika perlengkapan yang digunakan dalam ritual “pagar diri”
tersebut.
4. Mendeskripsikan kearifan lokal yang terdapat dalam mantra tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan praktis.
Manfaat teoretisnya adalah sebagai sumbangan fikiran dalam dunia pendidikan guna kemajuan
pembelajaran memotivasi mutu pendidikan pada umumnya dan pembelajaran tradisi lisan pada
khususnya.
Manfaat praktisnya adalah
1. Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan rujukan bagi penelitian lanjutan dan
dapat pula digunakan sebagai bahan perbandingan untuk melakukan kajian yang lebih
lanjut.
2. Diharapkan penelitian semiotik ini dapat menemukan sesuatu yang baru, yang selama ini
belum pernah dilakukan.
3. Dapat pula memperkaya khazanah telaah semiotik sastra, bahasa, dan budaya Indonesia
umumnya, daerah pada khususnya.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Semiotik
Istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Semiotik adalah
ilmu yang mempelajari sistem tanda: bahasa, kode, sistem sinyal dan lain–lain. Semiotik juga
merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan lambang dalam kehidupan
manusia. Semiotik adalah studi tentang tanda, dan tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu
yang lain dalam batas – batas tententu (Pudentia, 2008 : 322).
Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan.
Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai
alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang
lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan.
Menurut Junus (Pradopo, 2003:118), Penelitian sastra dengan pendekatan semiotik
merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme. Alasannya adalah karya sastra itu
merupakan struktur tanda–tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda dan
maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra (karya sastra) tidak dapat dimengerti
maknanya secara optimal. Culler (dalam Ratna, 2004:97) menyebutkan strukturalisme dan
semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya
sedangkan semiotika pada tanda. Ilmu bahasa merupakan suatu jenis dari semiotik. Ilmu bahasa
adalah satu segi kajian tentang makna (Halliday dkk, 1992:14). Bahasa adalah satu sistem
semiotik sosial dan hidup dalam konteks. Sebagai sistem semiotik, bahasa bersosialisasi dengan
sistem-sistem semiotik lain sekaligus juga meminjam sistem–sistem semiotik tersebut antara lain
12
sistem semiotik konteks. Hubungan bahasa dengan konteks adalah realisasi bahasa sebagai
sebuah sistem semiotik sosial. Dengan kata lain, bahasa wujud dalam konteks dan tiada bahasa
tanpa konteks sosial (Sinar, 2008:53).
Bahasa dan budaya adalah milik suatu kelompok masyarakat. Dari sisi bahasa, kelompok
dimaksud disebut guyup tutur/masyarakat bahasa (speech community), sedangkan dari sisi
budaya disebut guyub budaya/kelompok etnik (ethnic group).
Dari sisi hakikat, bahasa dan budaya bersifat arbitrer/manasuka. Sifat kemanasukaan itu
dapat menyebabkan persepsi yang berbeda, bahkan bertentangan antara guyup tutur dan guyup
budaya yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya sifat kemanasukaan itu, maka khusus
untuk penelitian terhadap pemakaian bahasa dalam dimensi budaya diperlukan pendekatan
gabungan antara etik-emik.
Pendekatan etik-emik ini menganut prinsip bahwa yang paling mengetahui budaya suatu
kelompok etnik adalah kelompok etnik itu sendiri. Meskipun demikian, pemilik budaya kadang-
kadang tidak tuntas menjelaskan muatan budaya yang dimilikinya itu. Atas dasar dikotomi
pemahaman budaya oleh pendukungnya itu, diperlukan pendekatan yang dapat menjadi jalan
keluar dalam penelitian linguistik kebudayaan, yakni pendekatan etik-emik. Etik mengacu pada
hal-hak yang berkaitan dengan budaya yang menggambarkan klasifikasi dan fitur-fiturnya menurut
temuan pengamat/ peneliti. Sementara emik mengacu pada sudut pandang suatu masyarakat dalam
memperlajari dan memberi makna terhadap satu tindakan, atau membedakan dua tindakan. Etik adalah
apa yang dipahami peneliti, sementara emik adalah apa yang ada dalam benak anggota guyup budaya
(Pudentia, 2008:297).
Teori struktural dan semiotik merupakan teori kritik sastra objektif. Abrams (Pradopo,
2003:140) menjelaskan ada empat pendekatan terhadap karya sastra yaitu pendekatan :
13
1. Mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan)
2. Pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai
tujuan tertentu.
3. Pendekatan ekspresif, yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan,
pikiran dan pengalaman penyair (sastrawan).
4. Pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom,
terlepas dari alam sekitarnya, pembaca dan pengarang.
2.2 Landasan Teori
Teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah teori semiotik yang
dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857–1913) dan Charles Sanders Pierce (1839–1914).
Selain Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce, ada juga pendapat beberapa ahli
tentang defenisi semiotik yang menjadi acuan dan pendukung dalam penelitian ini, yaitu Roland
Barthes (1915–1980) dan M.A.K. Halliday.
Penggunaan teori yang dilakukan oleh Charles Sander Pierce menegaskan bahwa kita
hanya dapat berpikir dengan sarana tanda yang sudah pasti bahwa tanpa tanda kita tidak dapat
berkomunikasi. Sedangkan Ferdinand de Saussure menegaskan bahwa sistem tanda yang disebut
bahasa itu hanyalah satu di antara sekian banyak sistem tanda yang ada. Roland Barthes
menegaskan bahwa komponen–komponen tanda, penanda dan petanda terdapat juga pada tanda-
tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada mite yakni keseluruhan sistem citra dan
kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya.
Selanjutnya Barthes menggunakan teori tanda dan penanda yang dikembangkan menjadi teori
14
tentang metabahasa dan konotasi. Sedangkan Halliday memandang bahasa sebagai alat dalam
proses komunikasi atau sistem semiotik. Dalam komunikasi bahasa terlibat adanya konteks, teks,
dan sistem bahasa.
2.2.1 Charles Sanders Peirce
Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga
elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk
fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol
(tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan
Indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut
objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau
sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993 : 10), (Pudentia, 2008:323).
Objek
Representamen Interpretan
Bagan I segitiga makna
Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar
yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang
penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang
dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat,
segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis
1 1 1
2
2
2
33
3
4 4
4
5
5
5
6
6
6
7
7 7
8
8
8
9 9
9
10 10000 10
15
penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis
petandanya seperti yang tertera dalam bagan 2 dan bagan 3 berikut.
Ground / representamen : tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.
Objek / referent : yaitu apa yang diacu.
Interpretant : tanda – tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.
Qualisign : terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, mis : “keras” suara sebagai tanda. Warna hijau.
Ikon : tanda yang penanda dan petandanya ada kemiripan. Mis : foto, peta.
Rheme : tanda suatu kemungkinan / konsep, yaitu yang memungkinkan me nafsirkan berdasarkan pilihan, mis : “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.
Sinsign / tokens : terbentuk melalui realitas fisik. Mis : rambu lalu lintas.
Index : hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Mis: asap dan api.
Dicent sign : tanda sebagai fakta / pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.
Legisign : Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, mis : suara wasit dalam pelanggaran.
Symbol : hubungan tanda dan objek karena kesepakatan / suatu tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Mis : bendera, kata – kata.
Argument : tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar bahar dengan alasan kesehatan.
Bagan 2 pembagian tanda
Ground Object Interpretant
Qualisign Icon Rheme
Sinsign Index Dicent
16
Legisign Symbol Argument
Bagan 3 hubungan tanda
Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan
tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat
berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak
memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat
representatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan
tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R), Object (O), dan
Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang
merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang
menafsikan hubungan antara (R) dan (O).
Contoh: Apabila ditepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam
kognisinya ia merujuk pada “ larangan untuk berenang”(O), selanjutnya ia menafsirkan bahwa
“adalah berbahaya untuk berenang disitu”(I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan
antara R dan O bersifat konvensional.
2.2.2 Ferdinand De Saussure
Pohontangkal
Sign / symbol
Signifier Signified
17
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori
ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda
(signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya
arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi
dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure
adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi.
Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah
sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat
memaknai tanda tersebut (Culler, 1996 :7). Bagan berikut tentang tanda(sign) yang dikemukakan
oleh Ferdinand de Saussure (dalam Djajasudarma, 1993:23).
Signifiant (signifier) “yang menandai” (citra bunyi) mis : pohon [p o h o n]
Signe
Signifie (signified) “yang ditandai” (pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran).
Contoh :
Bagan 4 tentang tanda
“Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe linguistique atau signe) bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa”“Signifiant bersifat linear, unsur – unsurnya membentuk satu rangkaian (unsur yang satu mengikuti unsur lainnya)”
18
---------- signification --------------
Bagan 5 tentang hubungan tanda
Menurut Saussure (Chaer, 2003 : 348), tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar,
disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut
signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang
objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut
“referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan
object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan
menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang
menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda
kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified” merupakan kesatuan,
tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.”
Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian
yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau gagasan. Sementara signified
adalah kata – kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua
unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa
sebaliknya suatu signifier tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia
yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier.
Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified “bayi”.
2.2.3 Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes
mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi.
Epenanda
Cpetanda
Epenanda
Cpetanda
Epenanda
Cpetanda
Epenanda
Cpetanda
19
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada
realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan
yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak
eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007 : 82).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks
pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik
pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada
orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure (dalam Aminuddin, 1995: 168) hubungan
antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya
memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif
juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan dan sebagainya.
Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep
tanda Saussure dengan menambahkan konsep ‘relasi’. Relasi yang dimaksud adalah penghubung
penanda (disebut expression ‘ungkapan’ dilambangkan dengan E) dan petanda (disebut contenu/
content ‘isi’ dilambangkan dengan C). Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi (R).
Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem
ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau
bentuk kedua yang membina bentuk yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah
menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi–Denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di
sudut lain, seperti bagan berikut ini (Pudentia, 2008:335).
1. Denotasi Objek bahasa
2. Konotasi Metabahasa
Jin Makhluk halus
Jin berkecimpung
Jin Bermain air / mandi
Jin Bergembira menerima persembahan
20
Bagan 6 konotasi dan metabahasa
Contoh : Tempat jin turun berkecimpung
E C
Denotasi
Konotasi E C
E C
Objek bahasa
Metabahasa
E C
2.2.4 M.A.K. Halliday
Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan seorang pakar linguistik Prof M.A.K
Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai
guru besar di Universitas Sydney. Kata sistemik adalah suatu teori yaitu tentang makna. Bahasa
merupakan semiotik sistem (Halliday dkk, 1992 : 4). Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua
jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti
Bahasa
Ideologi/ideology
Budaya /genre
Situasi/register
21
direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan
semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memilki bentuk.
Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa
dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai
semiotik konotatif, pemakaian bahasa menujukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh
karena itu, semiotik meminjam budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh
budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam
semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahasa
yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi.
Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh
Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti
dan ekspresi, berbeda dengan semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain
yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti,
bentuk dan ekspresi. Arti (semantic atau discourse semantics) direalisasikan bentuk (grammar
atau lexicogrammar) dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi (phonology/graphology)
(Saragih, 2000 :1).
Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan melakukan pemilihan.
Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif dan semiotik konotatif yang memiliki
arti dan bentuk. Bahasa merupakan semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik
sebagai arti direalisasikan oleh lexicogrammar sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar
diekspresikan oleh phonology (bahasa lisan) atau graphology (bahasa tulisan).
22
Semiotik
KonteksKonotatif Semiotik
Linguistik
Denotatif
Bagan 7 susunan semiotik bahasa
2.3 Tradisi
Tradisi merupakan suatu kebiasaan masyarakat yang secara historis keberadaannya dan
keberlangsungannya bersifat turun temurun. Tradisi masyarakat dapat berupa adat atau budaya
masyarakat setempat (Koentjaraningrat,1997:9). Menurut Koentaraningrat (1984:187)
mengatakan bahwa tradisi sama dengan adat istiadat, konsep serta aturan yang mantap dan
terintegrasi kuat dalam sistem budaya di suatu kebudayaan yang menata tindakan manusia dalam
bidang sosial budaya. Tradisi adalah adat istiadat, kebiasaan turun temurun (nenek moyang) yang
masih dijalankan di masyarakat, penilaian atau tanggapan bahwa cara-cara yang telah ada
merupakan cara yang paling baik dan benar (KBBI, 1996:958). Tradisi (lisan) bercirikan verbal
(berupa kata–kata), tanpa tulisan, milik kolektif rakyat, memiliki makna fundamental,
ditransmisikan dari generasi ke generasi (Endraswara :2009:26).
Tradisi budaya merupakan berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun
temurun yang dijalankan oleh masyarakat dan menjadi kebiasaan yang bersifat rutin, contohnya
tradisi melaksanakan acara selamatan dikalangan masyarakat awam dan tradisi di lingkungan
kerajaan. Tradisi pada masyarakat awam antara lain, upacara kehamilan, kelahiran, dan
sebagainya. Tradisi merupakan bagian dari keberadaan masyarakat yang dipelihara oleh
masyarakat, seperti halnya pada ritual pagar diri di Desa Ujung Gading Julu.
23
2.4 Pengertian Tradisi Lisan
Tradisi lisan dan atau sastra lisan merupakan tradisi sastra yang mencakup ekspresi
kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan dari mulut ke
mulut. Tradisi lisan ini pada umumnya berkembang pesat di dalam masyarakat yang belum atau
sedikit mengenal tulisan, yaitu masyarakat pedesaan. Hal itu bukan berarti bahwa tradisi lisan
tidak berkembang di dalam masyarakat perkotaan yang pada umumnya mengenal tulisan tetapi
peranan tradisi lisan ini dalam komunitas kota pada umumnya relatif kecil dan kurang signifikan
(Endraswara, 2008:151). Karena tradisi lisan merupakan ekspresi lisan sebuah komunitas budaya
suatu kelompok masyarakat atau kolektif yang tersebar di berbagai kelompok suku bangsa yang
bersifat pluralitas, maka wujud, bentuk, tema, dan fungsinya pun berbeda-beda.
Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara
turun temurun (Endraswara : 2008: 151). Adapun ciri – ciri dari sastra lisan yakni :
1. Lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional.
2. Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya.
3. Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka dan pesan mendidik.
4. Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu
5. Sastra lisan banyak mengungkapkan kata–kata atau ungkapan–ungkapan klise
6. Sastra lisan sering bersifat menggurui.
Dalam pandangan Teeuw (dalam Endraswara, 2008:151), memang kelisanan masih
terdapat di berbagai pelosok masyarakat. Kelisanan di daerah terpencil, biasanya lebih murni.
Karena itu, sastra lisan di daerah yang belum mengenal alat komunikasi dan teknologi canggih,
justru menarik untuk diteliti.
24
Sastra sering memiliki kaitan dengan institusi sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif,
kita tidak dapat membedakan puisi dari ritual, sihir, kerja atau bermain. Sastra mempunyai fungsi
sosial atau “ manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan studi sastra
menyiratkan atau merupakan masalah sosial: masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra
(genre), symbol, dan mitos (Wellek Werren dkk,1989:109)
Dalam karya sastra dikenal beberapa aliran di antaranya aliran simbolisme dan aliran
mistikisme. Aliran simbolisme adalah aliran dalam sastra yang menampilkan simbol–simbol
(isyarat) dalam karyanya, hal ini dilakukan pengarang untuk mengelabui maksud yang
sesungguhnya. Sedangkan aliran mistikisme adalah aliran dalam sastra yang melukiskan
pengalaman dalam mencari dan merasakan nafas ketuhanan dan keabadian (Sulistiono dkk,
2008:290). Anggapan atau asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan keseluruhan bagian
masalah teori yang sering kali dibahas, baik dalam ilmu sastra maupun filsafat, dengan istilah
lingkaran hermeneutik. Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian menginterpretasi karya sastra dan
ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya (Teeuw, 2003 : 102).
Sastra lama atau sastra daerah baik lisan maupun tulisan, umumnya kurang dikenal oleh
masyarakat modern karena belum digarap (direkam, dibukukan, diterjemahkan) secara
sungguh–sungguh menjadi bacaan masyarakat. Sastra daerah (lisan dan tulisan) itu
menggambarkan ide-ide yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kebudayaan daerah yang
menjadi unsur kebudayaan nasional yang sekarang ini.
Sastra lama atau sastra daerah yang tidak dipelihara akan punah (Teeuw, 2003:271)
karena sebagian besar masih tersimpan dalam pikiran orang yang telah tua usianya. Sastra daerah
25
ini akan punah bila tidak ada pemeliharaan terarah, misalnya jika tidak dijadikan sebagai mata
ajaran disekolah (dasar)atau disebarkan sebagai buku bacaan sastra daerah .
Terdapat varitas yang sangat mengejutkan dari sastra lisan yang bertahan hidup di antara
orang-orang pra-aksara, dan sebagaimana kata-kata tertulis muncul dalam sejarah, menunjukkan
bahwa semua genre penting sastra yang muncul pada awal masyarakat beradab adalah: epos
heroik, nyanyian pujaan untuk pendeta dan raja, cerita misteri dan supernatural, lirik cinta,
nyanyian pribadi hasil meditasi, kisah cinta, kisah petualangan dan heroisme rakyat jelata, yang
berbeda dari epos heroik kelas atas, satir, satir pertempuran, balada, dogeng tragedi rakyat dan
pembunuhan, cerita rakyat, fabel, teka-teki, pepatah, falsafah hidup, himne, mantra-mantra,
nyanyian misteri para pendeta, dan mitologi.
Dari berbagai varitas di atas, genre sastra lisan dapat klasifikasikan ke dalam sub-sub
genre yang terdiri atas puisi lisan, prosa lisan, dan drama lisan. (Pudentia, 1998:4) menyusun
sebuah gradasi dari sastra lisan yang paling murni sastra hingga ke pertunjukan teater yang
paling lengkap media pengungkapannya, yakni: murni pembacaan sastra (mebasan dan
macapatan); pembacaan sastra disertai gerak sederhana dan atau iringan musik terbatas
(cekepung dan kentrung); penyajian cerita disertai gerak tari (randai); dan penyajian cerita
melalui aktualisasi adegan, dialog dan tarian pemeran, dan iringan musik (wayang wong,
makyong, wayang gong, dan lain-lain).
Sastra lisan merupakan istilah yang dipergunakan di Indonesia untuk menyebut sastra
yang disampaikan secara lisan. Istilah ini merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “oral
literature”, yang pada hakikatnya bermakna pada kesusastraan yang mencakup ekspresi
26
kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan dari
(mulut ke mulut).
Sastra lisan merupakan khazanah kebudayaan paling luas sekaligus paling kaya. Melihat
penyebarannya yang sangat luas, khazanah kultural ini tidak pernah terdeteksi secara pasti, yang
pasti adalah bahwa tradisi tersebut makin lama makin berkurang dengan berkurangnya
masyarakat pendukung sebagai akibat mobilitas dan globalisasi. Tradisi lisan adalah tradisi
komunikasi langsung, di mana di mungkinkan terjadinya interaksi antara pengirim dengan
penerima (Ratna,2005:276).
Sastra lisan berfungsi sebagai alat untuk menghibur dan sebagai karya yang mengandung
hal yang berguna. Horace (dalam Wellek dan Austin Warren,1989 :30) mengatakan bahwa sastra
lisan berfungsi dulce et utile (sweet and useful). Sastra lisan sebagai alat dulce berfungsi
menghibur, memberi kenikmatan, kegembiraan, kepuasan atau kelegaan pada hati pendengar.
Sastra lisan sebagai utile berfungsi atau mendidik, memberi nasehat, memberi pengetahuan,
membimbing bermoral, memberi gambaran kebiasaan tata cara kehidupan atau memberi
pengetahuan tentang asal usul, peristiwa atau jasa masyarakat lama.
Menurut Hutomo (dalam Endraswara,2008:151) bahan sastra lisan dapat dibedakan
menjadi 3 bagian :
1. Bahan yang bercorak cerita :a. cerita–cerita biasa (tales), b.mitos (myths), c. legenda
(legends), d. epic (epics), e. cerita tutur (ballads), f. memori (memorates).
27
2. Bahan yang bercorak bukan cerita yaitu : a. ungkapan (folk speech), b. nyanyian (songs),
c.peribahasa (proverbs),d. teka teki (riddles), e. puisi lisan (rhymes), f. nyanyian sedih
pemakaman (dirge), g. undang–undang peraturan adat (law).
3. Bahan yang bercorak tingkah laku (drama) yaitu a. drama panggung , b. drama arena.
Mitos merupakan cerita-cerita yang bersifat kudus, amat akrab, malah terangkum dalam
sistem kepercayaan sesuatu bangsa. Mitos berkaitan dengan tindakan atau perlakuan Tuhan
dalam hubungannya dengan penciptaan manusia, makhluk dan alam. Ia menceritakan sejarah
sakral sesuatu suku bangsa atau ras. Kejadian mitos berlaku pada awal seluruh kejadian, dalam
ruang masa mitos yang bersifat imeless, yaitu masa sebelum masa objektif. Sehingga, mitos tidak
lagi dicipta dalam zaman modern, kerana kerja-kerja Tuhan dianggap sudah selesai, lalu tidak
memerlukan penciptaan yang baru.
Melalui ritual dan perlakuan manusia, mitos diulang, diperbaharui, dan dilanjutkan ke
masa depan. Taslim (2000:4-5) mengatakan bahwa mitos ialah cerita tradisional yang pelakunya
makhluk yang luar biasa (supernatural) dengan latar tempat suci dan waktu masa purba. Di
dalamnya terdapat peristiwa yang membayangkan kejadian luar biasa berkenaan penciptaan alam
semesta dan isinya, perlakuan manusia atau makhluknya yang dianggap asal; diikuti perubahan
dan kehancuran dunia. Masyarakat pendukung atau pemilik mitos biasanya menganggap cerita
itu sebagai suatu yang dipercayai. Oleh yang demikian, mitos adalah cerita tradisional yaitu
bukan cerita ciptaan zaman sekarang. Para penutur cerita terlebih dahulu telah mendengar cerita
itu daripada generasi orang tuanya malah daripada generasi saudara-saudara tuanya.
Para pelaku dalam mitos berasal atau mempunyai hubungan dengan dunia atas, yaitu
kedewataan atau kayangan; dan juga “dunia bawah” yang bermaksud di bawah bumi, di dalam
28
laut, selain mayapada atau alam manusia. Misalnya dunia bawah termasuk ikan besar yang
kemudiannya menjelma menjadi manusia atau seorang gadis yang mengganggu pria dan
akhirnya menjadi isteri pria tersebut; peristiwa, adat, kepercayaan dan lain-ain, misalnya
bagaimana awal cerita terjadinya mas kahwin, mengapa lelaki dilarang ke dapur dan mengapa
pasangan kekasih merenung sambil melihat bulan untuk melepaskan rindu.
Hakikatnya manusia sebagai homo ludens (yang gemar bermain) dan homo fabulans
(makhluk yang gemar bercerita atau bersastra), sering mempengaruhi dirinya lebih tertarik pada
sastra lisan. Kelisanan yang didapati dalam berbagai mantra boleh dilihat dalam satu kontinum.
Termasuk di dalamnya invokasi nama–nama suci, melafazkan kata–kata yang kadangkala tidak
bermakna, cerita dan dialog, perulangan nama–nama terkenal yang didapati dalam agama, dan
penggunaan tulisan yang berupa tanda serta simbol–simbol. Sifat kelisanan mantra yang dapat
diperjelas dengan menganalisis struktur komponen mantra.
Hal yang penting dalam pengamatan mantra adalah keyakinan kepada orang yang
mengucapkan mantra tersebut, biasanya bomoh atau pawang yang dipercayai ada kuasa untuk
berhubungan dengan makhluk–makhluk gaib. Keyakinan itu memperlihatkan ‘extra sensory
practice’ berdasarkan semacam ‘bio energy’ yang digunakan oleh bomoh atau pawang yang
mahir dalam seni ini. Dengan kata lain psikodinamika mantra dipengaruhi oleh sikap,
kepercayaan, cara berpikir dan rangsangan yang merupakan ciri–ciri masyarakat tradisi lisan.
2.5 Pengertian Ritual
Di Indonesia adat di tiap–tiap daerah tidak sama. Hal ini disebabkan kebudayaan dan
sifat–sifat dari tiap–tiap kelompok masyarakat tersebut berbeda–beda. Adat senantiasa tumbuh
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
29
masyarakat tempat adat itu berlaku. Dalam hal ini tidak mungkin dibuat suatu adat yang baru bila
adat tersebut bertentangan dengan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Seperti di Jerman
kebebasan spiritual masuk kedalam pikiran bangsa yang masih sederhana, yang belum terbentuk,
semata–mata tentang pemilihan ide akan kebebasan sebagai suatu konsepsi religius
(Hegel,2002 : 471).
Menurut FD.Hellman (dalam Parmono,2009:102) adat di Indonesia mempunyai 4 sifat
umum yang merupakan satu kesatuan. Salah satu di antaranya adalah sifat religio magis
(magisch-religiuos) yang merupakan pembulatan atau pembedaan kata yang mendukung unsur
beberapa sifat atau cara berpikir seperti frelogika, animisme, ilmu gaib dan lain–lain.
Ritual menurut Spence (dalam Pudentia, 2008:359) adalah “suatu perbuatan keagamaan
atau upacara yang dengan perbuatan itu manusia bekerja sama dengan dewa–dewa untuk
kemajuan mereka atau untuk keuntungan kedua belah pihak”.
Dalam Kamus Istilah Antropologi, upacara (ritual/ceremony) diartikan sebagai “system
aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang biasanya terjadi
dalam masyarakat yang bersangkutan” (Koentjaraningrat,1984:190).
Sedangkan Huizinga (dalam Pudentia, 2008:359) mengatakan,“ Ritual menggambarkan
suatu peristiwa atau kejadian dalam proses alami. Ritual juga merupakan suatu pertunjukan,
suatu penyajian dramatis, penggambaran imajinatif dari suatu perwujudan pengganti.
2.6 Pengertian Mantra
30
Pada hakikatnya mantra adalah doa dan permintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk
bagian dari pengobatan maknawi atau pengobatan spiritual (Al-Qaradhawi,2005:165). Mantra
bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap
mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi
kekuatan gaib yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Semakin dalam kita menyelam
ke dalam misteri kehidupan, semakin kita menemukan bahwa seluruh rahasianya tersembunyi
pada apa yang kita sebut kata–kata. Semua praktik ilmu klinik dan mistik didasarkan pada ilmu
kata atau suara. Karena kata berarti ekspresi, ekspresi dalam suara, dalam kata, dalam bentuk,
dalam warna, dalam garis, dalam gerakan yang semuanya tergabung dalam satu hal dan itulah
sisi esoteric dari ilmu kebatinan (Khan, 2002 : 337).
Dalam sastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah jampi, serapah, tawar, sembur,
cuca, puja, seru dan tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di
masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif,
karena hanya dituturkan oleh orang tertentu saja, seperti pawang dan bomoh (dukun). Menurut
orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu
meraih tujuan-tujuan tertentu. Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis
berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu: (1) mantra untuk pengobatan (2) mantra untuk ‘pakaian’
atau pelindung diri (3) mantra untuk pekerjaan dan (4) mantra adat-istiadat (Haron, 2001:83).
Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi
bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari
segi bahasa, mantra biasanya menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya,
dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya
31
memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra
sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggap keramat dan
tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada
keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun.
Dalam bahasa Jawa Modern, menurut Marjusman et al. (dalam Haron, 2001:18) mantra
disebut “mantro” yang berarti doa, jampi dan pesona. Sedangkan masyarakat Minangkabau di
Sumatera Barat menyebut mantra sebagai “manto” Djamaris (dalam Haron, 2001:19)
menegaskan bahwa mantra adalah merupakan media manusia untuk berhubungan dengan
kekuatan yang ghaib. Mohd. Taib Osman (dalam Sikana, 2009:25) menganggap jampi serapah
sebagai puisi karena “ ikatan-ikatan yang berbagai ragam dalam pemakaian bahasa puisi”. Inti
katanya berunsur magis. Geerz (dalam Haron, 2001:19) mengatakan jampi adalah sejenis mantra
yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit yang biasanya dibaca pada obat, air, minyak dan
sebagainya. Sedangkan serapah digunakan untuk mengusir makhluk halus seperti jin, hantu,
syaitan Maryati (dalam Haron, 2001:19). Namun pada kenyataannya perkataan jampi atau lebih
tepat lagi menjampi boleh digunakan untuk maksud perbuatan membaca mantra.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang arti dari mantra tersebut, maka istilah mantra
paling tepat digunakan karena ia mencakup maksud dari “jampi, serapah, tawar, sembur, sihir
dan magik” yang menggunakan kata–kata dan perumpamaan.
Harun Mat Piah (dalam Haron, 2001:20) dalam kajiannya, memahami mantra sebagai :
“ semua jenis pengucapan dalam bentuk puisi atau prosa, yang mengandung tujuan dan konotasi magik, pengubatan, dan perbomohan……merangkumi semua nama
dan jenis pengucapan yang sama fungsinya seperti…..jampi, serapah, tawar, sembur, cuca, puja, seru, tangkal dan lain–lain”.
32
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa mantra perlu diucapkan seperti bentuk
puisi atau prosa, yang ucapan itu hendaknya berkonotasi magik dan ia diucapkan untuk tujuan
perbomohan, pakaian diri dan sebagainya.
2.7 Pengertian Pagar Diri
Manusia secara naluriah tidak ingin terkena musibah, di antara bencana yang menimpa
manusia adalah gangguan roh halus, sihir dan lain-lain. Dikarenakan gangguan seperti di atas
tidak dapat diperhitungan secara kasat mata, maka orang-orang pun mencari alternatif
pencegahan diluar akal sehat, adapun jenis–jenisnya bermacam–macam diantaranya ada yang
menaruh besi tapak kaki kuda di angin-angin pintu masuk, ada yang menaruh sesajen dan lain-
lain.
Amalan pagar diri adalah amalan untuk keselamatan atau pageran badan. Amalan ini
nampaknya memang sederhana, tetapi khasiatnya sangat luar biasa. Amalan ini sangat penting
untuk mereka yang sering bergelut dengan dunia kekerasan.
Ilmu pagar diri terbagi dua bagian yaitu : Ilmu pagar diri halus dan ilmu pagar diri kasar.
Yang dimaksud dengan pagar diri halus adalah memagar diri agar terhindar dari gangguan ghoib,
syeitan atau santet atau guna–guna. Sedangkan pagar diri kasar adalah pagar diri agar kita
terhindar dari gangguan nyata manusia atau malapetaka, artinya terlindung dari kekerasan benda
tajam, perampokan, atau dari kecelakaan. Contoh mantra pagar diri :
Mantra Pagar DiriBismillahirrahmanirrahimAllah payung akuJibrail kota akuMalaikat empat puluh empat pagar akuAku berjalan dengan kuasa allahAku berlenggang dengan lenggang Muhammad
33
Bukan kata aku, kata AllahBerkat doaLa ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah (Saidin Said Taiping dalam Haron 2001)
2.8 Kegunaan Mantra dalam Ritual
Ritual sering dikaitkan dengan upacara atau istiadat. Upacara merupakan segala
persembahan yang dilaksanakan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh anggota
masyarakat, seperti upacara pelantikan, upacara perkawinan, upacara dalam permainan dan
perobatan dan sebagainya. Mohd. Taib Osman (dalam Haron,2001:16) yang mengaitkan ritual
dengan peranan pawang dalam masyarakat menyatakan bahwa ritual adalah perlakuan tertentu
yang ingin merubah suatu keadaan sakit menjadi sehat dan sebagainya dengan menggunakan
kuasa luar biasa seperti hantu dan jamblang.
Misalnya ritual yang sering diadakan setiap tahun seperti puja pantai. Permainan puja
pantai berakhir dengan ritual menghantar persembahan atau jamuan kepada hantu laut pada hari
terakhir. Jamuan itu terdiri dari kerbau putih dan bahan–bahan lainnya.
Mantra yang digunakan untuk menjaga diri sering juga disebut penangkal, tangkal atau
azimat, biasanya dibacakan pada benda tertentu. Setelah pembacaan mantra, benda tersebut
diyakini akan memiliki kekuatan gaib yang mampu melindungi pemakainya. Jadi, bisa
disimpulkan bahwa, pembacaan mantra pada benda tertentu yang akan dijadikan tangkal
merupakan bagian dari cara untuk mentransformasikan energi atau kekuatan ke dalam benda
tersebut. Selanjutnya, kekuatan yang terkandung dalam benda tersebut akan melindungi
pemakainya. Tangkal atau penangkal ini merupakan bagian dari upaya masyarakat untuk
mengatasi tantangan internal dan eksternal yang mereka hadapi, dan jenisnya cukup banyak di
antaranya: penahan atau penguat; pelindung; penunduk ; pemanis dan pengasih ; pembenci dan
sebagainya.
34
Berkembangnya mantra-mantra dalam sistem pengobatan tradisional berkaitan erat
dengan persepsi mereka terhadap makna penyakit. Menurut mereka, penyakit tidak hanya
disebabkan oleh faktor-faktor nyata, tapi terkadang juga disebabkan oleh faktor/hal yang tidak
nyata atau gaib. Dalam konteks ini, keberadaan mantra berfungsi sebagai pemutus hubungan
antara penyakit dengan faktor gaib yang menjadi penyebabnya. Selain itu, pembacaan mantra
juga diyakini dapat memperkuat keampuhan dan efektifitas obat, sehingga proses pengobatan
yang berlaku selalu diawali dengan pembacaan mantra pada obat-obat yang akan diminum.
Orang yang berwenang atau memiliki otoritas untuk membaca mantra adalah dukun atau bomoh
yang telah mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Mantra itu bisa dalam berbagai macam bahasa. Tergantung di mana keberadaan jin itu
berada. Jin memiliki bahasa sendiri, tetapi dia juga mengerti bahasa manusia di tempat mana dia
tinggal. Mantra itu bisa hasil buatan manusia (ciptaan para Waliyullah, ahli hikmah atau bahkan
dukun), tetapi ada juga yang buatan jin yang diberikan ke manusia. Maksudnya, jin membuat
mantra atau kata-kata yang berfungsi sebagai cara untuk memanggilnya. Ingat, jin berusia
panjang, karenanya dia ingin memiliki semacam password untuk mengundang dirinya. Itulah
yang dikenal sebagai mantra.
Sebagai contoh, Misteri mendapatkan sebuah mantra pemanggil jin yang berasal dari
Bugis, Sulawesi Selatan. Tetapi uniknya, jin yang didatangkan ini tergolong jin baik karena
berguna untuk membantu memulihkan kesehatan seseorang.
“Pada masa lalu, orang-orang yang biasa bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan
tentu sangat menguras tenaga,” untuk memulihkan tenaganya, mereka biasanya mendatangi
dukun pijat”.
35
Rupanya, dukun pijat (urut) ini dalam kerjanya tidak sekadar dengan kemampuannya
sendiri, melainkan juga mendatangkan jin. Ternyata hasil pijatan dengan bantuan jin ini lebih
maksimal. Jin itu akan merasuk ke dalam raga sang dukun pijat tersebut. Seketika saja, sang
dukun akan memijat pasien dengan kemampuan maksimal.
Mantra ternyata mempunyai fungsi yang bersifat kepentingan individu dan kepentingan
kelompok dalam masyarakat. Kepentingan mantra kepada individu lebih bertumpu kepada
mantra jenis pakaian diri, misalnya untuk menjadikan seseorang tersebut kebal dengan senjata
tajam, dan sebagainya. Kepentingan mantra kepada kelompok dalam masyarakat merupakan
kepentingan bersama anggota masyarakat misalnya persembahan kepada dewa laut untuk
menghindari bencana bagi para nelayan dan sebagainya.
2.9 Peranan Dukun bagi Masyarakat Pedesaan
Dukun atau perdukunan merupakan kata yang tidak asing di telinga masyarakat kita,
khususnya di Indonesia. Bahkan seorang dukun atau praktik perdukunan seakan menjadi tempat
dan tujuan masyarakat untuk menyelesaikan semua persoalan hidup. Keadaan seperti ini semakin
menempatkan seseorang dukun pada posisi terhormat dan dimuliakan sehingga seolah-olah tidak
ada yang salah dalam perilaku dan tindakannya, walaupun dalam banyak kasus sering terjadi
penipuan, pencabulan dan tindakan kriminalitas yang dilakukan seorang dukun.
Selanjutnya Al-qaradhawi mengutip perkataan Al-khathabi (dalamTambusai, 2010:498),
“dukun-dukun itu adalah orang-orang yang memiliki pikiran tajam, berjiwa jahat, berkarakter
panas (api) lalu mereka dijinakkan oleh setan-setan karena adanya kecocokan di antara mereka
36
dalam masalah-masalah tersebut dan setan itu juga memberikan pertolongan kepada mereka
dengan segala kemampuan yang mereka miliki.
Dukun merupakan warga masyarakat yang dipandang memiliki pengetahuan dalam hal
ilmu gaib yang sering disebut oleh orang desa sebagai orang yang punya ilmu. Orang yang punya
ilmu dalam kehidupan sehari–hari lebih banyak sifat negatifnya yang berpengaruh di masyarakat.
Orang segan kepadanya bukan karena hormat akan tetapi karena ditakuti. Sebab takut dapat
penyakit (diguna–guna) bila salah langkah atau salah tingkah dihadapan seorang dukun.
Dengan kepandaiannya itu, sang dukun dapat memberikan obat dan beberapa bantuan
lainnya, yang dapat dihubungkan dengan perdukunan. Menurut Hamidi (dalam Muhammad,dkk:
1991: 37) ilmu gaib memberikan pendirian yang kokoh kepada pribadi seseorang, sehingga
dia dapat menempatkan dirinya ditengah–tengah masyarakat tanpa ragu. Dengan ilmu gaib
dianya merasa terkawal keselamatan dirinya. Hal ini dapat dilihat dalam hal–hal yang luar biasa
dimana bila seseorang berniat untuk membalas kejahatan seseorang dengan bantuan dukun.
Dengan memperlihatkan kelebihan–kelebihan ini, maka seorang dukun dapat menjadikan
dirinya seorang penguasa yang terselubung didesanya. Dimana dia mau tidak mau terpaksa
dibawa berunding untuk setiap kegiatan di pedesaan. Seorang dukun akan tampil kepermukaan
dengan dua wajah, pertama wajah yang disenangi dan kedua wajah yang ditakuti atau dibenci.
Dalam wajah yang disenangi dukun merupakan tempat tumpuan harapan dari keputus asaan.
Kekuatan gaib yang dimiliki seorang dukun dilihat dari hubungan manusia dengan alam,
dapat pula dipandang sebagai suatu usaha manusia untuk berkomunikasi dengan alam. Untuk itu
37
diperlukan mantra atau jampi–jampi. Dengan mantra manusia menemukan jalan untuk membuat
suatu terobosan ke alam gaib, alam yang tidak dapat dimasukinya dalam keadaan biasa.
Dalam keadaan setengah sadar (kesurupan) misalnya, seorang dukun dapat memanggil
orang halus langganannya, kemudian melalui orang halus ini dukun tersebut dapat menemukan
penyakit yang diderita si sakit.
2.10 Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya mengenai “Upacara Tradisional Yang Berkaitan Dengan Peristiwa
Alam dan Kepercayaan Daerah Riau” (Daud Kadir dkk, 1985) upacara ini masih dilakukan
karena sangat berkaitan dengan kehidupan, baik yang berkaitan dengan pengobatan,
keselamatan, dan sistem mata pencaharian. Untuk mendapatkan keselamatan, ketenangan, dan
kebahagiaan hidup perseorangan maupun bersama, salah satu yang harus ditempuh ialah
menyelenggarakan upacara tradisional tersebut. Apabila upacara itu telah dilaksanakan, setiap
orang akan merasa aman, tenteram bahwa kehidupan mereka akan dilindungi dan dibantu oleh
makhluk-makhluk halus yang mereka yakini hidup berkeliaran di sekitar mereka. Mantra
Melaut Suku Bajo Interpretasi Semiotik Riffaterre (tesis Aniawati 2007) Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemaknaan yang dilakukan terhadap mantra melaut suku Bajo
merepresentasikan konstruksi realitas dan identitas dalam kehidupan masyarakat suku Bajo.
Masyarakat suku Bajo sebagai penutur mantra melaut memperlihatkan adanya multietnis yang
tumbuh dalam lingkungannya melaui teks-teks yang digunakan dalam mantra melaut, yakni etnis
Bugis dan Arab. Mantra melaut adalah suatu bentuk identitas masyarakat suku Bajo sebagai
“tokoh” yang paling mengenal laut. Kajian intertekstual terhadap mantra melaut suku Bajo
38
memperlihatkan adanya hubungan dengan teks Al-Quran yang merepresentasikan isi mantra
pada wacana religius keislaman. Secara keseluruhan, makna yang terkandung dalam sepuluh
(10) mantra melaut suku Bajo menggambarkan pula kepercayaan masyarakat suku Bajo terhadap
Tuhan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, keberadaan nabi-nabi, dan adanya mahluk gaib dan
kekuatan gaib. Analisis Semiotik Syair – Syair Upacara Kematian Etnis China di Kota Medan
(tesis Sabriandi Erdian 2008) kehidupan yang dilakukan oleh masyarakat etnis China sangatlah
terikat dengan ajaran-ajaran leluhur nenek moyang mereka, sehingga dalam menjalankan
kehidupan mereka harus berpegang teguh dengan ajaran tersebut agar untuk kehidupan di dunia
aman dan begitu pula harapan mereka setelah kematian. Seperti halnya dengan tradisi dan
kebudayaan etnis China tentang kematian, bahwa untuk kematian masih ada ajaran-ajaran
leluhur yang mengandung nilai-nilai religi dan budaya yang begitu besar dalam kehidupan
mereka,ini terbukti dari tahapan-tahapan yang dilakukan dalam upacara kematian. Makna dan
Nilai Yang Terkandung dalam Teks Legenda Dayak Ngaju (Tesis Maria Arina Luardini,2008)
Dengan menggunakan teori semiotik, makna dan nilai-nilai dalam teks-teks legenda Dayak
Ngaju (LDN) dengan latar sungai tersebut dapat dipersepsikan melalui budaya dan kepercayaan
masyarakat DN. Dari sistem tanda (penanda/ ungkapan dan petanda/ isi), didapatkan makna
konotatif kekuatan dan kekuasaan manusia, binatang dan tumbuhan di/ dekat dengan sungai;
makna konotatif kekayaan yang berada di/ dekat sungai, identitas yang berhubungan dengan
sungai; makna konotatif sifat sosial; dan makna konotatif sifat religius masyarakat DN. Di
samping itu, dari pemaknaan-pemaknaan tersebut dapat ditarik nilai-nilai yang terdapat pada
masyarakat DN, yaitu nilai sejarah, nilai sosial, dan nilai religius.
39
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Pendekatan Penelitian Kualitatif
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. analisis
kualitatif adalah data–data yang diteliti tidak dapat diukur secara matematis. Analisis ini sering
menyerang masalah yang berkaitan dengan arti atau arti tambahan dari istilah yang digunakan.
Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah
diperoleh. Gambaran umum ini bisa menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang kita
peroleh.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa kata-kata dan kalimat (teks mantra).Metode
ini berdasarkan pada penggunaan data yang murni dan alamiah sehingga diperoleh hasil
penelitian yang menjelaskan realita yang sebenarnya. Berdasarkan metode ini pula akan
dianalisis data yang diperoleh, sehingga dapat memberikan hasil secara positif dan setepat
mungkin. Dengan demikian metode deskripsi mampu memberikan penjelasan secara
sistematis, aktual dan akurat mengenai data, sifat–sifat serta hubungan fenomena–fenomena
40
yang diteliti dan pada akhirnya menghasilkan gambaran data yang ilmiah (Djajasudarma,
1993: 8).
3.2 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan, diperoleh dari sumber dukun
atau bomoh yang terdapat di Desa Ujung Gading Julu, yang diharapkan dapat mewakili para
dukun ataupun bomoh yang tersebar di Kabupaten Padang Lawas Utara. Data tersebut diambil
dari beberapa mantra dari beberapa orang dukun untuk melihat versinya.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Secara umum diketahui bahwa teknik pengambilan data ada dua yaitu : teknik
pengumpulan data secara perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field
research).
Di dalam penelitian kali ini, data yang peneliti inginkan diperoleh dari para nara
sumber dengan cara maupun tahapan–tahapan sebagai berikut :
1. Pengamatan yaitu merupakan pengamatan langsung ke lokasi tempat
penelitian yaitu di Desa Ujung Gading Julu. Dari pengamatan ini dapat
diketahui keadaan umum daerah itu, terutama mengenai data ritual “pagar
diri”. Pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif,
kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya (Moleong,
2000 : 126 ).
2. Pencatatan yaitu data yang diperoleh akan dicatat langsung melalui
percakapan langsung dengan narasumber. Dalam hal ini, pencatatan itu dapat
41
menggunakan salah satu dari tiga macam transkripsi yang ada, yaitu transkripsi
ortografis, fonemis, atau fonetis, sesuai dengan objek sasarannya (Sudaryanto,
1988 : 5 ).
3. Rekaman yaitu dengan rekaman itu hasilnya dipergunakan untuk mengecek
kembali kesesuaian data yang diperoleh melalui percakapan.
4. Metode kepustakaan yaitu untuk mendapatkan informasi mengenai sesuatu
yang berkaitan dengan penelitian ini. Misalnya adanya penelitian lain yang sama
atau bagian upacara ritual pagar diri yang belum dilakukan oleh peneliti sebelum
ini.
3.4 Analisis Data
Dalam menganalisis data ada beberapa langkah–langkah yang harus dilakukan. Sesuai
dengan metode analisis yang akan digunakan, maka peneliti akan menempuh prosedur dengan
tahapan sebagai berikut :
1. Merekam data pada saat ritual “pagar diri” berlangsung.
2. Menterjemahkan kata–kata mantra ke dalam bahasa Indonesia.
3. Mengidentifikasi setiap tanda-penanda dalam mantra “pagar diri”.
4. Menguraikan bagian–bagian ritual “pagar diri” mulai dari awal persiapan hingga
selesai.
5. Mencari makna yang terkandung dari setiap unsur ataupun bagian–bagian yang
menjadi tanda ataupun benda–benda yang digunakan dalam ritual tersebut sehingga
memperoleh hasil yang positif dan tepat.
42
BAB IV
DESKRIPSI UPACARA RITUAL “PAGAR DIRI”
4.1 Nama dan Pelaksanaan Ritual “ Pagar Diri ”
Ritual pagar diri di Desa Ujung Gading Julu biasa juga disebut dangan ritual buko jagat,
buko dagang, atau buko jodoh. Pelaksanaan ritual “pagar diri” di Desa Ujung Gading Julu
dilaksanakan umumnya karena adanya permintaan dari seseorang untuk melakukan ritual, guna
kepentingannya, yang meminta bantuan mbah, datuk, atau dukun.
4.2 Dukun Ritual “ Pagar Diri ”
Situasi pengobatan di Indonesia adalah merupakan sebuah ciri penting di mana berbagai
cara pengobatan yang berbeda–beda hadir secara berdampingan. Yang paling dominan di
antaranya adalah pengobatan asli Indonesia (yaitu sistem pengobatan etnik tiap daerah yang pada
umumnya termasuk humoral medicine dan memiliki elemen-elemen magis) dan pengobatan
biomedis (Barat). Sistem pengobatan yang umum membawa persoalan budaya, yaitu sistem
kesehatan yang resmi (Puskesmas, Rumah Sakit, Pendidikan kedokteran di Universitas, dan
sebagainya) hampir seutuhnya berpegang pada sistem biomedis, yang umumnya memerlukan
dana yang relatif besar, oleh karena itu masyarakat ekonomi menengah ke bawah, termasuk
43
pedesaan mencari alternatif pengobatan lain, di antaranya ritual pagar diri. Sedangkan sistem
pengobatan yang paling dikenal dalam masyarakat tetaplah pengobatan asli Indonesia
(tradisional). Adapun yang disebut pengobatan asli Indonesia tersebut adalah mencakup praktek–
praktek pengobatan alternatif dan perdukunan ataupun kepercayaan terhadap tempat–tempat
tertentu yang memiliki efek penyembuhan.
Dukun menurut Purwadarminta (1994:246) adalah orang yang mengobati, menolong
orang sakit, atau memberi jampi–jampi. Ada tiga kelompok yang termasuk dalam kategori dukun
menurutnya, yaitu : 1. Dukun beranak yaitu dukun yang pekerjaannya menolong perempuan
melahirkan, 2. Dukun klenik yaitu dukun membuat dan memberi guna–guna atau kekuatan gaib
lainnya, 3. Dukun tenung yaitu dukun yang memiliki atau mampu menggunakan kekuatan gaib
terhadap manusia.
Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa istilah “orang pintar” yang lebih dikenal dengan
panggilan dukun, menurut masyarakat Desa Ujung Gading Julu bukan hanya ditujukan kepada
orang yang mampu mengusir atau membujuk jin dan roh jahat saja. Sebagian besar masyarakat
mempercayai seorang dukun dapat menyembuhkan orang yang patah tulang, yaitu dukun patah.
Apabila seseorang bekerja sebagai tukang urut disebut dukun urut atau dukun kusuk. Selanjutnya
orang perempuan yang bekerja membantu perempuan bersalin disebut dukun beranak.
Masyarakat Ujung Gading Julu masih ada yang lebih percaya kepada dukun beranak dari
pada dengan bidan atau dokter. Mereka mempercayai bahwa dukun beranak mempunyai
kemahiran ganda, yaitu membantu perempuan bersalin dan juga menguasai magis atau ilmu gaib.
Menurut kepercayaan mereka bahwa perempuan yang akan dan sesudah melahirkan anak selalu
mendapat gangguan makhluk halus.
44
Walaupun kemampuan untuk menjadi seorang dukun sebahagian berasal dari warisan
orang tua, dan sebahagian lagi diperoleh lewat belajar. Ilmu yang dipelajari berbeda–beda antara
satu dukun dengan dukun yang lain.
Kepercayaan pada dewa-dewa ini, biarpun tidak bersifat kepercayaan seperti kepada
Tuhan, tetapi dalam beberapa hal masih dianggap adanya dewa–dewa. Bomoh ataupun dukun
yang masih berpegang kepada mistik, dalam jampi-jampinya masih mengucapkan kata–kata
“batara guru” dan sebagainya. Kepercayaan kepada makhluk halus ini masih meluas sekali.
Bahkan seluruh dunia percaya akan adanya alam gaib dan juga tentang mistik ataupun
perdukunan. Untuk menjaga diri agar supaya jangan diganggu oleh makhluk–makhluk halus ini,
bomoh atau dukun selalu memberikan masyarakat tangkal–tangkal. Tangkal–tangkal ini
bermacam–macam pula bentuknya, ada yang digantungkan di leher (biasanya anak–anak),
diikatkan dipinggang atau dilengan. Disamping itu besi dianggap mempunyai kekuatan yang
dapat juga dijadikan tangkal.
Ritual tersebut dilakukan secara turun temurun dari masa ke masa. Ritual “pagar diri” itu
merupakan suatu permintaan dari seseorang yang membutuhkan akan perlunya sesuatu sebagai
pegangan atau azimat agar tidak digangngu oleh orang ataupun makhluk halus, yang tujuannya
untuk keselamatan diri. Untuk pelaksanaan ritual “pagar diri” dapat dilakukan di rumah orang
yang bersangkutan ataupun dirumah dukun atau bomoh tersebut.
Pelaksanaan ritual “pagar diri” masyarakat Ujung Gading Julu dapat dibagi menjadi
beberapa bahagian yaitu : pertama tahap melihat penyakit atau masalah yang dihadapi sehingga
ia datang menemui bomoh atau dukun untuk meminta obat ataupun solusinya sekaligus bertanya
tentang bahan–bahan ataupun benda–benda yang dibutuhkan sebagai persyaratan untuk
45
pelaksanaan ritual. Dan yang kedua adalah tahap pelaksanaan ritual “pagar diri” tersebut.
Adapun waktu yang dianggap baik adalah pada saat bulan purnama, karena waktu itu para jin
dan mambang, para keramat sedang bersuka cita, sehingga segala permintaan akan cepat
dikabulkannya. Pada malam senin dan malam kamis, karena hari itu dianggap hari memberi
rezeki, sehingga apapun yang diminta akan dapat terkabul. Untuk hari–hari lainnya tidaklah
ditentukan, maksudnya upacara boleh dilakukan dan boleh pula tidak dilakukan. Adapun waktu
yang dilarang adalah pada malam Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, dan juga hari selasa. Hari
selasa dianggap sebagai “hari keras”, yakni hari yang selalu mendatangkan naas atau bencana.
4.3 Perlengkapan Ritual “ Pagar Diri ”
Perlengkapan ritual “pagar diri” telah dipahami seluruh warga masyarakat. Keseluruhan
benda yang akan dipersembahkan pada ritual tersebut mempunyai kekuatan, dan tujuan masing–
masing.
Perlengkapan yang dipersembahkan dalam ritual “pagar diri” kebanyakan masyarakat
menyebutkannya ramuan. Benda–benda yang dipersembahkan mengandung makna tertentu dan
sesuai dengan jenis kebutuhannya. Adapun benda–benda tersebut adalah :
1. Ayam
2. Bunga macan kera
3. Kembang telon
4. Kemenyan
5. Minyak duyung
6. Batu cincin
7. Sisir
46
8. Bedak
9. Kunyit
10. Asam jawa
11. Nasi sebakul
12. Hati ayam & darah ayam
13. Candi dalam bumi
14. Bubur merah putih
15. Mancis
Masyarakat Ujung Gading Julu mempercayai seluruh alam dikuasai oleh makhluk halus,
yaitu jin dan roh jahat. Pada pandangan masyarakat Ujung Gading Julu keseluruhan alam nyata
itu terbentuk dari pada empat unsur yaitu tanah, air, api dan angin yang mempunyai sifat sejuk,
lembab, panas dan kering. Alam gaib menurut yang difahami oleh masyarakat Ujung Gading
Julu adalah alam yang dipercayai wujud di dalam satu ruang dan mempunyai bentuk tetapi tidak
dapat dilihat dengan mata kasar.
Masyarakat Ujung Gading Julu pada umumnya adalah petani dan pedagang yang
berharap mendapatkan hasil yang banyak. Untuk itu perlu diadakan ritual “pagar diri” sekaligus
untuk memperlaris usahanya guna untuk memohon agar mendapat rezeki yang banyak.
4.4 Pantangan-pantangan yang Perlu Ditaati
Dalam pelaksanaan ritual pagar diri, terutama pada saat ritual dilakukan ada ketentuan-
ketentuan yang merupakan larangan atau pantangan-pantangan bagi mereka yang terlibat
langsung. Pantangan yang dimaksud adalah tidak boleh berbicara selama ritual berlangsung,
puasa selama 7 (tujuh) hari berturut-turut, tidak boleh makan tulang, kopi dan jagung. Setelah
47
ritual pagar diri berakhir bomoh ataupun dukun memberitahukan tentang larangan–larangan, dan
larangan–larangan tersebut harus dipatuhi oleh setiap orang yang berobat.
4.5 Semiotika Perlengkapan Ritual “ pagar diri ”
Semiotika dalam ritual persembahan adalah menjelaskan tentang benda, gerak, isyarat
dan larangan–larangan untuk menunjukkan hubungannya. Benda persembahan ritual “ pagar
diri”. Meliputi benda–benda dari beberapa jenis saja. Setiap persembahan ritual disediakan jenis
tumbuhan sebagai ramuan. Ramuan jamuan tersebut mengandung semiotika sebagai berikut :
1. Ayam
Ayam dianggap sebagai persembahan istimewa kepada roh-roh halus yang akan
membantu pekerjaan bomoh mewujudkan keinginan orang yang meminta/pemohon
untuk melakukan ritual “pagar diri”, ayam tersebut akan disembelih dan melambangkan
kalau si pemohon benar-benar ingin melakukan ritual tersebut, ia berharap agar apa yang
diinginkannya segera terwujud, walaupun harus berkorban jiwa dan raga. Fungsinya
adalah untuk pengobatan, penglaris dagangan, buang sial, sulit jodoh, pemikat lawan
jenis, dan lain-lain. Ayam tersebut dipotong, darahnya ditampung. Ayam dimasak sesuai
selera, sedangkan darah dan hatinya digoreng.Pada saat ritual ayam dibuat untuk tumbal
atau sajen/sajian. setelah itu di suguhkan/dipersembahkan sebagai tumbal mahluk ghaib
atau istilah nya untuk mengusir roh jahat sebagai syarat agar apa yang diinginkan dapat
terwujud dan berjalan lancar serta terhindar dari malapetaka dan marabahaya lainnya,
48
tumbal tersebut sebagai penangkal dari ganguan mahluk halus, seperti kesurupan dan
guna-guna dan sebagainya.
2. Bunga macan kera
Bunga macan kera, lazimnya 7 warna, melambangkan bahwa “mayo” manusia itu terdiri
dari 7 macam.
3. Kembang telon
Kembang talon adalah bunga tiga jenis, yaitu bunga Kenanga, bunga Mawar Putih dan
Bunga Melati/kantil. Kembang ini secara fisik sangat bagus, baunya harum. Bunga ini
sangat disenangi oleh makhluk-makhluk gaib. Kembang Telon sarat akan kekuatan
mistis, yang bertujuan untuk mengobati, menarik benda-benda, mencari jodoh, atau
memperlancar rejeki serta mencari jabatan.
4. Kemenyan
Kemenyan adalah getah wangi yang berasal dari pohon kemenyan. Asap kemenyan
tersebut sebagai tanda komunikasi akan berlangsung antara makhluk halus dengan bomoh
atau dukun. Kemenyan dipercaya sebagai tahi Mata Raja Alam. Wangian asap kemenyan
juga menyatakan untuk menyampaikan kepada makhluk halus bahwa ritual telah dimulai
dan agar mereka mau mengabulkan permintaan bomoh atau dukun. Kemenyan juga
dipercaya berasal dari pohon yang disandari oleh Baginda Rasulullah ketika tetap dalam
suatu peperangan. Asap kemenyan sebagai ikatan para makhluk halus dengan para
pemimpinnya juga merupakan lambang kesenangan mereka.
5. Minyak duyung
Fungsinya untuk membuang sial dari susah jodoh dan untuk pengasihan yang disiramkan
keatas perdupaan,agar wanginya tercium oleh para mambang.
49
6. Batu Cincin
Sebagai tanda untuk meminta obat dan diletakkan dalam mangkuk limau. Maksud batu
cincin ini adalah sebagai ‘jaminan’ kepada yang gaib atau para mambang, bahwa bomoh
atau dukun benar–benar minta obat untuk pemilik batu cincin tersebut.
7. Sisir
Sisir yang biasa digunakan oleh si pemohon
8. Bedak
Bedak yang biasa digunakan oleh si pemohon
9. Kunyit
Kegunaan kunyit ini untuk membuang sial atau firasat buruk pada diri manusia. Kunyit
tersebut sebagai pengganti diri orang yang dibuang firasatnya. Firasat yang dibuang atau
dihilangkan biasanya firasat akan mendapat musibah kecelakaan atau pertanda adanya
anggota keluarga yang akan meninggal. Firasat tersebut diperoleh dari mimpi atau
berdasarkan penglihatan orang pintar.
10. Asam jawa
Asam Jawa merupakan tanaman obat-obatan yang digunakan kurang lebih di 23 Negara.
Daging buah rasanya segar dan merupakan obat pencahar ringan. Buah tua (asem kawak)
berguna sebagai obat karena mengandung minyak yang tidak termasuk minyak terbang
(madu asem). Asem kawak bila dicampur air biasanya digunakan sebagai obat gugur.
Bagian lain tumbuhan ini juga digunakan sebagat obat.
11. Nasi sebakul
50
Untuk menghormati para leluhur yang telah mau bekerja sama membantu si mbah dalam
mewujudkan keinginan orang yang meminta pertolongannya.
12. Hati ayam & darah ayam
khusus dimakan oleh si pemohon yang maknanya agar siapapun yang melihat, atau
mengingatnya akan memiliki rasa atau orang akan merasa kalau si pemohon tersebut
lebih berharga dari apapun yang seharusnya ia lakukan.
13. Candi dalam bumi
sebagai saksi alami bukan buatan manusia. bahwa apa yang dilakukan oleh si mbah dan
pemohon benar apa adanya.
14. Bubur merah putih
sebagai rasa hormat dan bakti kepada orang tua
15. Mancis
untuk menghidupkan perdupaan
Setelah dukun atau bomoh selesai membacakan mantra tersebut, si mbah dan pemohon
mencuci mukanya dengan asap perdupaan yang tujuannya untuk menghormati para leluhur. ia
lalu memberikan seluruh persembahan ritual kepada pasiennya dan menyarankan agar ia
memandikan bunga yang sudah dibacakan mantra oleh dukun atau bomoh, dan memakai azimat
yang juga telah diisi oleh mantra pagar diri.
4.6 Jenis-jenis Batu yang Digunakan Sebagai “Pagar Diri”
Badan Jasmani dan Rohani ibarat pusaka yg lama tidak dirawat sehingga berkarat dan
kusam maka kalau mandi garam untuk mengasah biar lebih tajam, sedang mandi bunga ibarat
memberi minyak–nya, biar lebih terawat, mengkilap, menarik dan tahan lama. Karena dalam
51
setiap bunga dipercaya oleh ahli kebatinan selalu ditunggu oleh bangsa rijallul ghoib atau sima
tertentu, dan juga banyak mengandung filosofi dengan baunya yang harum semerbak sangat
disukai oleh kodam putih, juga sebagai pencerahan batin.
Menurut bomoh/dukun bunga melati adalah bunga yang memiliki aura tertinggi di
banding bunga manapun. Sehingga siapapun yang menggunakan bunga melati, diyakini mampu
mendapatkan aura setinggi melati. Dengan harapan hidup menjadi lebih sukses, berkarisma, dan
menebarkan wangi seperti melati.
Sebut saja misalnya untuk buang sial badan, bomoh/dukun menggunakan bunga setaman.
Sementara untuk buang penyakit ia menggunakan bunga macan kera dan 9 jenis jeruk kemudian
untuk mendongkrak jabatan dan karir ia menggunakan kembang telon.
Dizaman teknologi serba canggih dan kehidupan modern dewasa ini kejahatan sihir
santet, teluh, guna-guna tidaklah bisa dianggap enteng. Selama Iblis dan Syetan masih eksis,
sampai dunia kiamat nanti kejahatan sihir masih tetap akan hadir ditengah kehidupan manusia.
Kita perlu mewaspadai kejahatan model ini, karena pelakunya sulit dijangkau oleh hukum
manusia seperti aparat kepolisian dan aparat hukum lainnya.
Penyakit yang muncul akibat sihir biasanya tidak bisa dideteksi secara medis, tanpa sebab
yang jelas seseorang merasa sakit diseluruh tubuhnya. Di periksa secara medis tidak ditemukan
adanya kelainan, semua berjalan normal. Dari badan atau anggota tubuh sisakit muncul benda
aneh, seperti paku, silet, potongan logam, rambut dan lain sebagainya. Ada pula sihir yang
digunakan untuk mempengaruhi perasaan seseorang untuk mencintai lawan jenis (pelet). Ada
pula yang digunakan untuk menghancurkan usaha atau perdagangan dari lawan bisnisnya.
52
Batu cincin yang digunakan sebagai azimat bisa sembarang jenis batu. Namun di antara
jenis-jenis batu cincin yang ada, yang paling sering digunakan orang untuk azimat adalah : batu
kecubung, batu Kristal, batu kunco warna, batu akik/giok.
1. Batu kecubung.
Batu kecubung fungsinya adalah untuk : ketulusan, mengendalikan amarah, pelindung
peminum minuman keras, penyebar bibit budi pekerti yang mulia, mendatangkan rasa
kasih sayang, pemberi ketenangan dalam menempuh ujian, pemberi semangat untuk
mengatasi segala macam kesulitan, mengobati penyakit jantung dan penolak bahaya
racun. contoh batu kecubung.
2. Batu Kristal.
Batu Kristal dapat pula dimanfaatkan untuk memperkuat pusat-pusat energi dalam tubuh.
Kristal amethyst, misalnya, bersifat menyejukkan dan menenangkan pikiran, memberikan
kegembiraan, membantu mengatasi stres. Batu ini efektif untuk membantu mengatasi
sakit kepala, migrain, gangguan sulit tidur (insomnia), dan stroke. Contoh batu Kristal :
53
3. Batu Kunco Warna
Batu kunco warna berfungsi untuk memacu niat, stabilitas, percaya diri dan sikap positif ;
membantu penyerapan informasi, membantu pemahaman atas kejadian sehari2 ;
meningkatkan kepekaan semua indra ; mengontrol cairan tubuh, bagus untuk sistem
kekebalan tubuh, penyerapan gizi dan pembuangan kotoran. Contoh batu kunco warna
adalah :
4. Batu Akik/Giok.
Akik dapat membantu untuk hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian secara
fisik dan emosional. Legenda mengatakan bahwa pemakai Akik akan dilindungi dari
bahaya dan memberkahi pemakainya dengan keberanian. Akik dipercayai dapat
menyembuhkan penyakit Insomnia (kesulitan untuk tidur yang parah), memberikan
mimpi indah dan memberi kontribusi bagi keseimbangan tubuh.
54
Giok dikatakan dapat membantu seseorang untuk relax dan bijaksana. Disebut
sebagai batu dengan keseimbangan yang sangat baik, menolong seseorang untuk
menyelaraskan pikiran dan tindakan serta mengatasi kekurang praktisan cara berpikir.
Giok adalah intisari dari cinta, dihargai sebagai batu yang spesial. Dipercayai bahwa
beberapa rahasia kebajikan akan menyerap ke dalam tubuh. Legenda mengatakan bahwa
penjelajah Spanyol ke Amerika Tengah menggunakan jimat dari Jadeit untuk mencegah
serta menyembuhkan sakit pinggul dan ginjal. Kegunaan lain bagi kesehatan yaitu
meningkatkan penyembuhan pada organ-organ vital. Contoh batu akik dan giok adalah :
4.7 Kearifan Lokal Mantra “Pagar Diri”
Mantra dan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat. Masyarakat adalah
makhluk sosial yang hidup secara berkelompok dalam suatu kawasan dan mereka membuat suatu
organisasi yang dapat saling tolong menolong antara satu dengan yang lain. Kearifan lokal
dalam mantra tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal dapat ditemukan dalam
mantra-mantra, jampi-jampi, nyayian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno, dll. kearifan lokal dapat
dilihat dari kesalinghubungan antara alam semesta (makrokosmos) dan alam kesadaran manusia
(mikrokosmos). Tidak ada sesuatu benda dan kejadian di jagat raya ini yang bisa berdiri sendiri,
semuanya saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Menurutnya, selarasnya alam dan
manusia adalah syarat utama terjadinya harmoni semesta.
55
kearifan lokal mantra pagar diri terdapat dalam kata-kata berikut ini :
Wong sak bono, asih maring akuLeluhur nang dunio ikiLeluhur nang segoro kidulLeluhur nang laut
BAB V
ANALISIS SEMIOTIK MANTRA RITUAL “PAGAR DIRI”
DI DESA UJUNG GADING JULU KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA
5.1 Bunyi Mantra Ritual “Pagar diri”
Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim
Niat ingsun aku arak sisiran
Sari kemulu ati lubuku
Yen jadiku alisku koyo tanggal sipisan
Teko alas teko asih
Wong sak bono, asih maring aku
Niat ingsun aku arak wedakan, wedakanku koyok nabi
Ali-ali
Kaki datuk kaki danyang
Hasan Husen balas patih pagemmatrim
Kaki danyang bobo dino bobo kuoso
56
Leluhur nang dunio iki
Sadulur papat limo pancar
Sing cedek tanpa senggolan
Ado tanpa wangenan
Kaki mong nyaimong
Raden Mas Sudarsono sekoro kidul
Dewi Siti Rohani
Leluhur nang segoro kidul
Joko bodo, Joko Budek, Joko Klintung
Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting
Leluhur nang laut
Berkat doa
La ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah
(sumber : Sugiman;bomoh/dukun)
5.2 Deskripsi Semiotik Mantra Ritual “Pagar diri”
Data yang ditemukan dalam ritual “pagar diri” berupa mantra dapat dianalisis dengan
menggunakan teori semiotik sebagai pendekatan dalam penelitian. Penelitian semiotik terhadap
mantra ritual “pagar diri” adalah untuk mengungkapkan tanda dan penanda dalam mantra
tersebut. Adapun bentuk mantra pagar diri tersebut adalah sebagai berikut:
Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim
Niat ingsun aku arak sisiran
Sari kemulu ati lubuku
Yen jadiku alisku koyo tanggal sipisan
57
Teko alas teko asih
Wong sak bono, asih maring aku
Niat ingsun aku arak wedakan, wedakanku koyok nabi
Ali-ali
Kaki datuk kaki danyang
Hasan Husen balas patih pagemmatrim
Kaki danyang bobo dino bobo kuoso
Leluhur nang dunio iki
Sadulur papat limo pancar
Sing cedek tanpa senggolan
Ado tanpa wangenan
Kaki mong nyaimong
Raden Mas Sudarsono sekoro kidul
Dewi Siti Rohani
Leluhur nang segoro kidul
Joko bodo, Joko Budek, Joko Klintung
Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting
Leluhur nang laut
Berkat doa
La ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah
Dalam mantra ritual pagar diri yang tertera diatas, maka permohonan tanda dan penanda
akan dapat ditelusuri dengan konteks situasi yang dirinci atas tiga bahagian, yaitu (1) medan
(field), yakni apa-what yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat (tenor), yakni siapa-who
yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan (3) cara(mode), yakni bagaimana-how interaksi
58
dilakukan. Adapun yang menjadi apa yang dibicarakan dalam interaksi tersebut adalah suatu
permohonan dalam pembahasan di bawah ini.
Apa, siapa dan bagaimana dalam mantra ritual pagar diri dapat di telusuri bomoh/dukun
dan pemohon kepada Tuhan. Seperti kalimat
Kaki mong nyaimong (jalan jangan sampai jatuh, bicara jangan sampai salah)
Kalimat di atas dapat dikatakan suatu permohonan dalam ritual pagar diri bahwa apa
yang terjadi antara bomoh/dukun dan pemohon kepada Tuhan akan dapat di tanda dan
penandakan. Kalimat di atas merupakan suatu permohonan yang dilakukan oleh bomoh/dukun
dan pemohon kepada Tuhan saat ritual berlangsung semoga apa yang dialami oleh si pemohon
dapat ditolong oleh Tuhan. Bomoh/dukun meminta kepada Tuhan agar apa yang diinginkan oleh
si pemohon dikabulkan dan dipelihara. Artinya jika si pemohon seorang pejabat maka ia ingin
agar supaya jabatannya tidak tergeser atau mengalami gangguan-gangguan, dan berharap agar
supaya dalam berbicara ia kelihatan berkharisma dan selalu santun di mata semua orang.
Siapa yang terlibat dalam ritual pagar diri tersebut antara lain antara bomoh/dukun dan
pemohon kepada Tuhan, dapat dilihat di bawah ini dalam ungkapan mantra yang sesuai dengan
teks terjemahan.
Teko alas teko asih
Wong sak bono, asih maring aku
Bomoh/dukun dan pemohon, memohon kepada Tuhan yang tertera dengan kalimat di atas
bahwa bomoh/dukun memohon kepada Tuhan semoga memberikan belas asih sejagat kepada si
pemohon, sehingga siapa pun dan dalam kondisi yang seperti apa pun keadaannya, Tuhan akan
59
selalu melindunginya. Artinya kapan pun dan di mana pun si pemohon berada, maka orang akan
selalu mengasihi atau simpati terhadapnya berkat pertolongan Tuhan Yang Maha Esa.
Bagaimana permohonan bomoh dan pemohon kepada Tuhan dalam mantra ritual pagar
diri dalam bentuk permohonan akan dapat dilihat dalam kalimat dibawah ini.
Hasan Husen balas patih pagemmatrim
Raden Mas Sudarsono
Dewi Siti Rohani
Joko bodo, Joko Budek, Joko Klintung
Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting
Mantra-mantra itu diucapkan oleh bomoh/dukun tersusun dengan kata-kata pilihan antara
lain : Hasan Husen balas patih pagemmatrim, Raden Mas Sudarsono, Dewi Siti Rohani, Joko
bodo, Joko Budek, Joko Klintung, Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting. Semua
cara yang dilakukan melalui sasaran (memiliki makna magic) dengan harapan memberi
kekuatan, keberhasilan, keselamatan bagi si pemohon.
5.3 Interpretasi Mantra Ritual “Pagar Diri”
Bismi’llahi’l-Rahmani’l-Rahim
Niat ingsun aku arak sisiran
Sari kemulu ati lubuku
Yen jadiku alisku koyo tanggal sipisan
Teko alas teko asih
Wong sak bono, asih maring aku
Niat ingsun aku arak wedakan, wedakanku koyok nabi
Ali-ali
Kaki datuk kaki danyang
Hasan Husen balas patih pagemmatrim
Kaki danyang bobo dino bobo kuoso
60
Leluhur nang dunio iki
Sadulur papat limo pancar
Sing cedek tanpa senggolan
Ado tanpa wangenan
Kaki mong nyaimong
Raden Mas Sudarsono sekoro kidul
Dewi Siti Rohani
Leluhur nang segoro kidul
Joko bodo, Joko Budek, Joko Klintung
Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting
Leluhur nang laut
Berkat doa
La ilaha illa ‘Illah Muhammadar Rasulullah
Mantra ini merupakan mantra pendinding atau pagar diri. Mantra ini dilafazkan dalam
rangka untuk meminta keselamatan, kesejateraan, atau dijauhkan dari segala halangan dan
rintangan yang dapat mempersulit segala aktivitas orang tersebut. Mantra pagar diri selalu
dibarengi dengan mantra penglaris dan pemanis, yang tujuannya untuk selain melindungi diri
dari segala macam mara bahaya baik yang kasat mata atau pun yang tidak kasat mata, juga
menjadikan kita lebih disegani orang baik dari tutur katanya maupun dari pancaran yang keluar
dari aura tubuhnya. Sedangkan bagi pengusaha akan membuat usahanya semakin maju sehingga
tercapai apa yang dicita-citakan. Seperti pada umumnya mantra pagar diri, mantra ini pun
dimulai dengan basmalah. Hal ini menunjukkan bahwa segala usaha dan upaya yang dilakukan
oleh pengguna mantra diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah SWT. Baris pertama,
Bismillahirrahmanirrahim berarti “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang”. Allah adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dan disembah oleh manusia
sebagai yang Maha Kuasa atau Maha Perkasa. Kata Allah dalam bahasa Arab adalah sebutan
untuk Sang Khalik atau Sang Pencipta sebagai pujian atau sembahan manusia. Kata ini kemudian
61
digunakan dalam penggunaan mantra. Dalam bahasa Inggris, kata Allah sepadan dengan kata
god.
Baris kedua, Niat ingsun aku arak sisiran. Kata niat ingsun aku arak sisiran berarti
maksud hati/pengungkapan rasa keinginan/cara pengungkapan keinginan dengan cara yang
sangat halus dan tujuannya adalah untuk sisiran, artinya dengan harapan agar supaya hasil yang
dipancarkan dari sisiran tersebut dapat memberikan kebaikan bagi orang yang melakukannya.
Dengan hanya melihat sisirannya saja bisa membangkitkan kharisma yang sangat luar biasa di
mata orang lain.
Baris ketiga, Sari kemulu ati lubuku. Kata sari kemulu ati lubuku maksudnya ibarat
berselimutkan kembang, seseorang akan terlihat begitu indah hingga kedalam hatinya. Kapan
pun dan di mana pun ia berada, tetap orang melihatnya tidak cacat, ibarat kita melihat kembang
setaman, maka kita akan merasakan indah, teduh dan nyaman di dekatnya.
Baris keempat, Yen jadiku alisku koyo tanggal sipisan. Maksudnya, agar terlihat lebih
indah dipandang orang, maka ia mengibaratkan alisnya seperti tanggal yang disusun oleh angka-
angka secara beraturan mulai dari angka satu sampai seterusnya, dan bukan secara acak,
sehingga menjadikan wajahnya terlihat begitu sempurna dengan alis yang tertata rapih. Artinya
siapapun yang melihatnya maka orang akan merasa kalau ia tidak mempunyai kekurangan fisik
sedikitpun, dan orang merasa tenang, tentram, nyaman bila memandangnya.
Baris kelima, Teko alas teko asih. kata teko alas teko asih berarti pengharapan belas
kasih. Artinya pengguna mantra tersebut mengharapkan belas kasih dari siapa pun yang
melihatnya dan yang dekat dengannya. Mungkin selama ini orang-orang yang ada di
62
sekelilingnya tidak begitu suka padanya, tapi setelah adanya mantra ini maka orang-orang di
sekelilingnya akan menjadi sayang dan kasih padanya bahkan mungkin akan segan padanya.
Baris keenam, Wong sak bono, asih maring aku. Kata Wong sak bono berarti orang
sejagad/sedunia. Artinya semua orang yang ada di jagad ini/dunia ini, tanpa mengenal suku,
agama, ras, maupun golongan semuanya sama. asih maring aku artinya kasih padaku.
Maksudnya, siapa pun orang di dunia ini yang melihat pengguna mantra tersebut tanpa
membedakan suku, agama, ras,golongan dan jenis kelamin akan selalu merasa sayang, kasih,
simpati, segan, hormat dan sebagainya.
Baris ketujuh, Niat ingsun aku arak wedakan, wedakanku koyok nabi. Kata niat ingsun
aku arak wedakan berarti maksud hati/pengungkapan rasa keinginan/cara pengungkapan
keinginan dengan cara yang sangat halus dan tujuannya adalah untuk bedakan, artinya dengan
harapan agar supaya hasil yang dipancarkan dari bedakan tersebut dapat memberikan kebaikan
bagi orang yang melakukannya. Wedakanku koyok nabi. Artinya pengguna mantra berharap agar
orang yang melihatnya, seperti melihat seorang Nabi. Dari pancaran wajah yang telah dibedaki
tersebut terpancar kharisma yang luar biasa layaknya kharisma seorang Nabi/Rasul. sehingga
siapapun yang melihatnya pasti akan senang, suka dan segan kepadanya. Dengan hanya melihat
wajahnya saja bisa membangkitkan kharisma yang sangat luar biasa di mata orang lain.
Baris kedelapan, Ali-ali. Kata ali-ali berarti mengingat. Maksudnya bomoh/dukun
mengingatkan kembali kepada perantara roh tentang maksud dan tujuan dari si pemohon.
Dengan adanya batu cincin, maka bomoh/dukun meminta kepada roh untuk mengisi batu cincin
tersebut dengan semua kekuatan yang diminta, yang nantinya bertugas untuk menjaga si pemilik
cincin agar terhindar dari segala mara bahaya, serta selalu sukses dalam karirnya.
63
Baris kesembilan, Kaki datuk kaki danyang.( kakek datuk, kakek eyang).Baris kesepuluh,
Hasan Husen ( penguasa bumi ) balas patih ( panas bumi ) pagemmatrim ( penguasa pasar ).
Baris kesebelas, Kaki danyang ( kakek eyang ) bobo dino bobo kuoso ( yang berkuasa atas hari
penentu). Baris keduabelas, Leluhur nang dunio iki ( nenek moyang di dunia ini ). Maksud dari
baris kesembilan sampai dengan baris keduabelas adalah bomoh/dukun meminta kepada
penguasa yang ada di darat seperti penguasa bumi, panas bumi, penguasa pasar dan sebagainya
untuk menjaga sepemohon dari segala macam marabahaya yang ada di dunia ini khususnya di
darat, baik kejahatan yang tampak oleh mata misalnya perampokan, maupun kejahatan yang
dilakukan gaib misalnya hipnotis dan sebagainya.
Baris ketigabelas, Sadulur papat limo pancar. Baris keempatbelas, Sing cedek tanpa
senggolan. Baris kelimabelas, Ado tanpa wangenan. Baris keenambelas, Kaki mong nyaimong.
Baris ketigabelas sampai dengan baris keenambelas maksudnya walaupun kita hidup di dunia ini
bersaudara namun keberhasilan diri adalah menjadi tujuan utama. Artinya walaupun dalam suatu
lingkungan pekerjaan, lingkungan usaha, atau lingkungan masyarakat kita sama, namun sudah
menjadi hukum alam kalau kita menginginkan sesuatu yang lebih dari apa yang ada di sekeliling
kita atau di lingkungan kita. Misalnya, bila kita seorang pejabat, maka kita ingin agar pangkat
kita lebih tinggi dari orang yang ada di dekat kita atau sahabat kita. Bila kita seorang pedagang,
maka kita ingin agar usaha dagangan kita laris melebihi usaha dagangan yang di sekitar kita dan
sebagainya. Sing cedek tanpa senggolan, Ado tanpa wangenan. Maksudnya walaupun kita sama-
sama bersaing namun tidak membuat kita saling menyakiti satu sama lain, saling membenci,
bahkan saling ejek dan saling dendam. Artinya walaupun kita berdekatan atau berjauhan namun
tidak saling menjatuhkan misalnya dalam persaingan di kantor, kita tidak akan membuka aib
sahabat kita sendiri kepada orang lain hanya demi ingin mendapatkan rasa simpatik dari atasan
64
atau orang lain, atau dalam usaha dagang, kita tidak akan mengatakan kepada pembeli kalau
dagangan sahabat kita itu tidak bagus, tidak enak, atau penjualnya menuntut ilmu (ngelmu)
dengan tujuan agar pembeli tidak datang lagi kepadanya. Kaki mong nyaimong artinya kemana
pun arah tujuan kita untuk menjadi orang yang sukses kiranya jangan sampai lupa diri, artinya
agar pandai-pandailah menempatkan diri kapan pun dan di mana pun kita berada, jangan sampai
kita salah langkah dan tergelincir oleh perbuatan dan ucapan kita sendiri yang nantinya akan
membawa kita jatuh masuk kembali ke lembah kesengsaraan.
Baris ketujuhbelas, Raden Mas Sudarsono sekoro kidul. Baris kedelapanbelas, Dewi Siti
Rohani. Baris kesembilanbelas, Leluhur nang segoro kidul. Baris keduapuluh, Joko bodo, Joko
Budek, Joko Klintung. Baris keduapuluhsatu, Nogo Tap molo, Nogo Geni, Nogo Balu Klinting.
Baris keduapuluhdua, Leluhur nang laut. Maksud dari baris ketujuhbelas sampai dengan baris
keduapuluhdua, adalah bomoh/dukun meminta kepada penguasa yang ada di laut selatan seperti
Raden Mas Sudarsono, Dewi Siti Rohani, Joko bodo, Joko budek, Joko klintung, Nogo tap molo,
Nogo geni, Nogo balu klinting, dan sebagainya untuk menjaga sipemohon dari segala macam
marabahaya yang ada di dunia ini khususnya di laut. Artinya semua nama yang telah disebutkan
oleh bomoh/dukun di atas adalah nama-nama penguasa yang ada di laut selatan, bomoh/dukun
meminta kepada penguasa laut selatan untuk melindungi, menjaga, memberikan keberkahan
rejeki yang berlimpah, serta jauh dari segala macam marabahaya.
Baris keduapuluhtiga, Berkat doa. Baris keduapuluhempat, La ilaha illa ‘Illah
Muhammadar Rasulullah. Maksudnya tiada daya dan upaya manusia atas apa yang telah ia
perbuat selama hidup di dunia ini tanpa seizin Allah SWT. Karena sekuat apa pun manusia,
sehebat dan semashur apa pun bomoh/dukun yang melakukan ritual tersebut, tetap saja hanya
Allah yang menentukan segala-galanya suatu keberhasilan/kesuksesan yang dicapai oleh
top related