dinafamalia.files.wordpress.com€¦ · web viewhal ini dapat dilihat dari banyaknya karya sastra...
Post on 07-Jun-2019
244 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUANA. Latar Belakang
Islam (sebagai Din) dalam integritasnya dengan kesusastraan, bahkan juga telah
menunjuk dirinya dengan tegas sebagai ide sentral. Hubungan antara sastra dan Islam
menjadi ideologis sifatnya. Al-Qur’an sebagai kitab suci diyakini oleh kaum muslim
sebagai karya sastra tertinggi yang tanpa keraguan akan kebenaran isi atau ajaran
didalamnya. Dari apa yang terdapat dan terkandung di dalam Al-Qur’an tersebut maka
tak ayal bila Al-Qur’an sangat mempengaruhi budaya dan sejumlah besar kesusastraan
umat muslim.
Cukup pentingnya kesusastraan dalam sisi kebudayaan manusia tersebut dapat
dijumpai pada kehidupan masyarakat jawa. Sastra dalam masyarakat jawa memiliki
peranan cukup penting dalam pembangunan peradaban. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya karya sastra baik lisan maupun tulisan yang menyertai sejarah perjalanan
peradaban masyarakat jawa. Bahkan bagi pendukung kesusastraan jawa pada jaman
kerajaan-kerajaan jawa kuno di daerah pedalaman, sastra diposisikan lebih tinggi
dibanding posisi agama yang diposisikan dalam urutan nomor dua.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Fungsi Sastra ?
2. Bagaimana Perkembangan Sastra Pada Masa Demak, Pajang , dan Mataram ?
3. Bagaimana Periode Perkembangan Sastra Jawa Pada Masa Modern, Baru, Pertengahan dan Kuno?
4. Bagaimana Sastra dalam Kebudayaan Jawa dan Islam ?
5. Apa Contoh Karya Sastra Jawa ?6. Bagaimana Keterkaitan Islam dengan Karya Sastra Jawa ?7. Bagaimana Perkembangan Sastra Jawa (keraton dan pesantren)?
BAB IIPEMBAHASAN
A. Pengetian dan Fungsi Sastra
Sastra ialah karya tulis yang, jika dibandingkan dengan karya tulis yang lain, memiliki
berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, serta keindahan dalam isi dan
ungkapannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah sastra atau
karya sastra : prosa atau puisi. Dengan membaca karya sastra, kita akan memeroleh
”sesuatu” yang dapat memerkaya wawasan dan/atat meningkatkan harkat hidup. Dengan
kata lain, dalam karya sastra ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Robert Frost
menyebutkan, sastra ialah pertunjukan dalam kata. Ini berkaitan dengan seni. Jadi, dapat
pula dikatakan bahwa sastra itu pada hakikatnya adalah pertunjukan dalam kata-kata.
Fungsi sastra ialah mengungkap sebuah keindahan, nialai manfaat dan nilai moralitas.
Suatu karya sastra diaktakan memiliki keindahan karena sastra yang diungkap melalaui
prosa, puisi, ataupun drama. Suatu karya yang dapat dinikmati oleh pembacanya,
pendengar ataupun penontonnya. Dengan demikian karya sastra dikatakan baik dari
tingkat respon pembaca, pendengar, dan penonton. Jika sebuah karya sastra rendah
tentunya akan menjadikan bosan pendengar, pembaca, dan juga penontonnya. Berbeda
dengan karya sastra yang mutunya baik. Ia akan selalu mendapatkan perhatian dari
pendengar, penontonnya.
Yang terpenting mengenai fungsi karya sastra menurut Edgart Allan yaitu memiliki nilai
hiburan dan nilai dikdatik, dapat juga bernilai hiburan dan mengajarkan pesan moral.
Namun dalam jawa kuno sastra dituangkan pada dinding candi. Pada zaman dahulu
munculah karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat
Centhini. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan
semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung
banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah
tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini,
ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-
Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
B. Perkembangan Sastra pada Masa Demak, Pajang , dan Mataram
1. Periode Masuknya Islam sampai Kerajaan Demak
Simuh menjelaskan proses masuknya Islam di jawa pada zaman Demak sebagai
berikut:
“penyebaran agama Islam di jawa harus berhadapan dengan dua jenis lingkungan
budaya, yaitu lingkungan budaya istana (Majapahit) yang telah menjadi canggih
dengan mengolah unsur-unsur Hinduisme; dan budaya pedesaan (wong cilik) yang
tetap hidup dalam kegelapan animism-dinamisme, dan hanya lapisan kulitnya saja
terpengaruh Hinduisme. Dari perjalanan sejarah pengalaman di jawa Nampak bahwa
Islam sulit diterima dan menembus lingkungan budaya jawa istana yang telah canggih
dan halus itu. Bahkan dalam cerita babad tanah jawa diterangkan bahwa Raja
Majapahit menolak tidak mau menerima agama baru. Dan bila raja tidak mau atau
menolak, tentu tidak akan mudah Islam masuk ke dalam lingkungan istana. Dalam
keadaan demikian nampaknya para penyebar agama Islam lebih menekankan
kegiatannya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama di daerah-daerah
pesisiran dan pedesaan ini Islam diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan
sebagai peningkatan budaya intelektual mereka”.
Jika diperhatikan maka proses peneyebaran Islam zaman Demak ini berhadapan
dengan berbagai entitas budaya antara lain, lapis masyarakat awam masih kental
dengan animisme, dinamisme. Pada lapisan istana telah menyerap ajaran Hindu dan
Budha. Jadi realitas masih menunjukan bahwa kepercayaan lama masih tetap lekat
dalam masyarakat jawa. Berdirinya dan berkembangnya kesultanan Demak
menyebabkan para priyayi Jawa semisal dalam sastra babad tanah jawa diceritakan;
2. Periode Kerajaan Pajang
Perkembangan sastra pada zaman Pajang merupakan perkembangan yang tak bisa
dipisahkan dari zaman Demak. Namun cukup sulit untuk mengidentifikasi secara
mandiri periode kerajaan.Walaupun ada informasi-informasi yang tidak secara tegas
menunjukan masalah tersebut. Satu karya sastra yang banyak dianggap berasal dari
zaman ini adalah Serat Nitisruti.Poerbatjaraka memasukan serat ini ke
dalam Kepustakaan Jawa zaman Islam. Dia memang tidak membagi antara Demak
dengan Pajang.
Ada satu hal yang menarik periode Pajang ini yaitu, bahwa kerajaan ini
merupakan peralihan awal dari kerajaan Demak yang di pesisir dan bercorak
pesisiran kepada daerah pedalaman, yang bercorak pedalaman.
3. Periode Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram berkuasa sejak tahun 1575 atau sekitar 4 Abad lebih. Sampai
sekarang, Perkembangan yang cukup mencolok adalah pasca perjanjian Gianti
dimana kerajaan Mataram terbelah menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Perkembangan berikutnya Kerajaan Kasunanan Surakarta
tidak lama berselang dari perjanjian Gianti, juga terbelah pula menjadi dua yakni
Kraton Surakarta dengan gelar Pakubuwana dan Kraton Mangkunegaran dengan gelar
khusus Mangkunegara. Sementara itu, Kesultanan Yogyakarta yang di beri gelar
Hamengkubewana dan Kadipaten Pakualaman dengan gelar Pakualam.
Kerajaan Mataram hampir seluruh masanya selalu mendapat pengaruh politik
VOC. Pengaruh VOC terhadap kerajaan jawa semakin besar dan memuncak sejak
disetujuinya Perjanjian Gianti pada tahun 1755 yang membagi kerajaan Mataram
menjadi dua, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Kenyataan itu ditandai dengan adanya
penurunan derajat dan martabat raja, yang semula derajat Sunan dan Sultan sejajar
dengan raja Belanda, diturunkan menjadi seorang bawahan yang harus memberi
hormat kepada Belanda. Oleh karena itu, raja Belanda tidak berada di jawa, maka
yang harus di hormati oleh para raja di jawa adalah Gubernur Jendral, di kota
kerajaan adalah Residen, dan di pedesaan adalah Gubernur.
Pada masa-masa berikutnya pengaruh Islam dalam budaya dan sastra Jawa
disertai juga oleh munculnya cerita-cerita lama yang bersumber dari Negara Islam
atau cerita-cerita dari Arab. Poerbatjaraka menjelaskan bahwa cerita dari arab itu
sebelum masuk ke Jawa telah berkembang di tanah Melayu. Dengan demikian bahwa
cerita-cerita Arab itu telah mengalami modifikasi di tanah Melayu sebelum di sadur
ke dalam sastra Jawa.Karya sastra Arab yang di sadur ke dalam sastra Jawa itu masih
tampak berdekatan dengan naskah aslinya, misalnya, Koja Jahan yang mengambil
latar kerajaan Mesir. Cerita Arab yang menjadi sumber itu mengalami modifikasi ke
sastra Jawa yang terkenal ialah cerita Amir Hamzah. Cerita Amir Hamzah menjadi
sumber atau acuan cerita Menak dalam satra Jawa, yakni cerita yang merambu
budaya Islam, antara lain, Serat Kanda (zaman Kartasura), Kitab Rengganis, dan
kitab Anbiya. Karya-karya sastra Jawa yang muncul ketika itu dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: karya sastra asli yang berbentuk tembang, dan karya sastra
saduran atau bangunan. Karya saduran atau bangunan itu bersumber dari karya sastra
Jawa kuno atau kitab-kitab parwa. Karya sastra kuno itu banyak di ubah kembali
dalam bentuk tembang macapat.
C. Periode Perkembangan Sastra Jawa pada Masaa Modern, Baru, Pertengahan dan Kuno. 1. Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan
semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad ke19 Masehi. Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya.Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya.Genre yang cukup populer adalah tentang perjalanan. Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru.Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda. Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.
2. Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad ke 15 dan 16 Masehi. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka.Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam.Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.Kemudian pada masa ini muncul pula karya-
karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini.Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuno.Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna.Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah.Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
3. Sastra Jawa PertengahanSastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai
dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16.Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli.Karya-karya ini disebut kidung.
4. Sastra Jawa Kuno Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti
sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan.Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru.Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin).Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita,
undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan.Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti.Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya.Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan.Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
D. Sastra dalam Kebudayaan Jawa dan Islam
Kehidupan sastra jawa telah berlangsung sangat panjang, yaitu sejak zaman sastra jawa kuno sampai sastra jawa modern. Dan dalam perjalanan yang sangat panjang itu telah diwarnai dengan berbagai macam karya sastra yang beragam, pengaruh budaya luar terhadap sastra jawa juga telah menentukan bentuk dan struktur karya sastra yang muncul, setiap muncul suatu pengaruh (misal dari budaya asing) yang baru selalu diikuti dengan unsur-unsur sastra jawa yang tampak berbeda dari karya sastra sebelumnya, walaupun munculnya pengaruh baru itu tidak seketika tampak. Artinya pengaruh budaya luar yang baru diterima itu memeberikan corak tersendiri, dan khas tehadap karya-karya sastra yang muncul semenjak masuknya pengaruh budaya tersebut.1
Dalam proses penyebaran islam di jawa terdapat berbagai pendekatan tentang bagaimana cara yang ditempuh agar nilai-nilai
1 Suyono, Budaya Jawa Moderat, Yogyakarta: LKIS, 2007, hlm 34
islam diserap menjadi bagian dari budaya jawa. salah satu pendekataya adalah dengan Islamisasi Kultur Jawa. Melalui pendekatan ini budaya jawa diupayakan agar tampak bercorak islam, dengan begitu masysarakat akan lebih mudah dalam memahami dan mengenal islam, dan itu salah satunya adalah dengan menyelipkan nilai-nilai islami dalam sastra-sastra jawa (tembang jawa). Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan islam dengan budaya jawa setempat merupakan salah satu bentuk strategi dalam menyebarkan nilai-nilai islami.
E. Contoh karya sastra jawa Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim
disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’. Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.
Dalam tradisi jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan.Parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya,contohnya :Wangsalan :
Jenang sela (apu)Wader kali sesonderan (sepat)Apuran to Yen wonten lepat kawula
Wangsalan sendiri memiliki banyak macamnya, diantaranya yaitu yang menjadi satu dalam sebuah tembang Sinom :
Jamang wakul kamandaka
Kawengku ing jinem wangiKayu malang munggen wanganSun wota sabudinekiRoning kacang wak mamiYen tan panggih sira nglayungoya mijil sing wiyatRoning pisang leash ing witEdanira tan waras dening usadaParikan : Tjengkir wungu , wungune ketiban ndaru.Wis pestimu, kowe pisah karo aku
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa baru :
1. Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)a. Serat warganya (1784), memakai tembang dandanggula, berisi 10 bait.b. Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (42 bait) dan
tembang pangkur (14 bait)c. Serat sriyatna, memakai tembang dhandanggula (15 bait)d. Serat nayakawara, memakai tembang pangkur (21 bait) dan
tembang pangkur (12bait)e. Serat paliatma (1793), memakai tembang mijil (11 bait) dan
tembang pucung (11 bait)f. Serta seloka tama (1799), memakai tembang mijil (31 bait)g.Serat dharmalaksita (1807), memakai tembang dhandanggula (12
bait), tembangkinanthi (18 bait) dan tembang mijil (8 bait)h. Tembang triparma, memakai tembang dhandanggula (7 bait) dan
tembang kinanthi (7 bait)i. Serat wedhatama, memakai tembang pucung (15 bait), gambuh
(25 bait), pangkur(14 bait) dan sinom (18 bait).2. Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-terkenal) :
a. Serat katalida, memakai tembang sinom (2 bait)b. Serat sabjati, memakai tembang megathruh (19 bait)c. Serat sandhatama, memakai tembang gambuh (22 bait)d. Serat wedharaga, memakai tembang gambuh (38 bait)
3. Karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV :Sastra wulangeh, yang memakai tembang-tembang
dhandanggula (18 bait), kinanthi(16 bait), gambuh (17bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh(17 bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23 bait), asmaradhana (28 bait), sinom (33 bait) dan girisa (12 bait).2
F. Keterkaitan Islam dengan karya Sastra Jawa
Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru. Sedangkan puisi ( tembang /sekar macapat ) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/ nasehat yang secara substansial merupakan petujuk / nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam.
Puisi Jawa baru ( tembang /sekar macapat ) ini berbarengan dengan munculnya Islam dijawa , yaitu setelah kejatuhan kerajaan Majapahit yang Hindu. Tembang-tembang macapat yang merupakan puisi Jawa baru yang terungkap dalam karya sastra, oleh para pujangga dipakai untuk menyampaikan berbagai ide mereka . tembang macapat memiliki sifat –sifat ekspresif –imajinatif , konotatif dan terjelma dalam struktur fisik/ batin secara terpadu. sifat yang demikian merupakan persyaratan sebuah puisi yang memiliki nilai sastra yang berkualiualitas.
Maksud dari keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat imperatife moral. Artinya 2 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: PT.
Dunia Pustaka Jaya, 1981), hlm. 375-376.
keterkaitan itu menunjukan warna keseluruhan / corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa baru antara lain masalah jihad, masalah ketauhitan, masalah moral dan perilaku yang baik dan sebagainya. Dengan kata lain Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra. Istilah Interelasi Islam di Jawakan sedangkan Jawa di Islamkan. Walaupun demikian, warna Islam terlihat sekali dalam subtansinya, yaitu :
1. Unsur ketauhidan ( upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa )
2. Unsur kebajikan ( upaya memberikan petunjuk / nasihat kepada siapapun ( petunjuk agar berbuat kebajikan dan petunjuk untuk tidak berbuat tercela)3
Perkembangan Sastra Hasil Interelasi Islam dan JawaMaksud dari keterkaitan islam dengan karya sastra jawa adalah
keterkaitan yang bersifat imperatif (memberi komando) moral, dan mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra jawa baru, sedangkan bentuk seperti puisi (tambang / sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk yang secara substansial merupakan nasehat yang bersumber pada ajaran islam. Bentuk puisi jawa yang dipakai dalam membuat karya-karya sastra para pujangga keraton surakarta adalah puisi jawa yang memiliki sisi keislaman yaitu seperti; mijil, kinanthi, pucung, sinom, asmaradana, dhandanggulo, pangkur, maskumambang, durma, gambuh, dan megatruh.
Kehidupan sastra jawa sudah ada sejak zaman kuno sampai dengan zaman modern, dan sastra jawa kuno tidak dapat di pisahkan dengan munculnya pengaruh budaya asing, seperti halnya pengaruh Hindu, Budha, Islam dan Barat. Karya sastra jawa tidak terlepas dari
3 Darori Amin, 2002, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, hal. 147-148
kehidupan dan peran penguasa pemerintah, dan sastra jawa selalu hadir dalam lingkungan istana dan atas dasar lisensi raja. Maksud dari keterkaitan islam dengan karya sastra jawa adalah ketekaitan yang bersifat imperatif (memberi komando) moral, dan mewarnai. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya satra jawa baru, sedangkan bentuk seperti puisi (tambang / sekar macapat) diapakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk yang secara substansial merupakan nasehat yang bersumber pada ajaran islam. Dan karna proses islamisasi itu sendiri memakan waktu cukup lama, sehingga tidak dapat di pungkiri adanya pengaruh sisi keislaman pada aspek sastra masyarakat pada adaerah tersebut, dan juga adanya nilai-nilai yang terkandung dalam sastra tersebut, seperti nilai agama, nilai etika dan nilai sosial. Begitu juga dengan sastra yang ada pada masa kerajaan demak, Pajang kemudian mataram. Dalam kerajaan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan adanya pengaruh dari islam..karna memang kerajaan-kerajaan tersebut dengan latar belakang kerajaan islam.
G. Perkembangan Sastra Jawa (keraton dan pesantren)
Dalam perkembangan sastra Jawa terdapat penggolongan hasil karya sastra.
Beberapa dasar pijakan digunakan untuk menentukan periodisasi sastra Jawa, antara lain
berkaitan dengan kurun waktu, yaitu sastra Jawa kuno, Jawa baru, dan Jawa modern.
Adapun yang berdasar pada kerajaan yaitu sastra zaman Hindu, zaman Majapahit, zaman
Islam, zaman Mataram dan sesudah Mataram.
Pigeaud (1967:4-5) membuat periodisasi sastra Jawa berdasar pengaruh
kebudayaan. Periode pertama, adalah pra islam (900-1500 M). pada periode ini
manuskrip-manuskrip Jawa kuno sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Yang paling besar
pengaruhnya pada periode ini adalah kebudayaan India. Dari perkembangan kebudayaan
Jawa ditemukan bukti bahwa kebudayaan Hindu sangat besar peranannya dalam
pembentukan sastra Jawa kuno, mulai dari pengenalan huruf (ha na ca ra ka) sampai
pada sastra keagamaan, seperti Mahabarata dan Ramayana yang mengandung ajaran
moral.
Periode kedua, adalah periode Jawa-Bali. Pada periode ini sastra Jawa berada
pada lingkup pengaruh raja Hindu di Bali. Sastra Jawa dipelihara dan dilestarikan di Bali
oleh orang-orang Hindu Majapahit yang lari ke Bali karena tidak mau memeluk Islam.
Usaha ini didukung oleh raja-raja Bali sehingga kesusastraan Jawa berkembang menjadi
kesusastraan Jawa-Bali. Kebudayaan Jawa kuno dan Bali kuno yang banyak dipengaruhi
kebudayaan India bergabung dalam bentuk budaya Jawa-Bali.
Periode ketiga, adalah era sastra pesisiran. Daerah-daerah pesisir utara Jawa yang
menjadi pusat perdagangan, seperti Surabaya, Gresik, Jepara, Demak, Cirebon dan
Banten, merupakan pusat munculnya sastra Jawa pesisiran. Sastra pesisiran
menampakkan adanya pengaruh Islam terhadap sastra Jawa, seperti terlihat dalam kitab-
kitab suluk. Kandungan sastra pesisiran sebagian mengambil dari sastra Melayu dan
Arab. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari jaringan penyebaran Islam di Jawa melalui jalur
perdagangan dan tasawuf yang sangat dekat dengan perkembangan sastra Melayu.
Dengan demikian, konsep-konsep “martabat tujuh” yang dikembangkan oleh Hamzah
Fansuri banyak diadopsi dalam sastra pesisiran.
Periode keempat, adalah terjadinya renaisans dalam sastra Jawa klasik, yang
berpusat di Keraton Surakarta abad 18 dan 19. Bahasa “krama” adalah mode “ budaya
istana sentris” yang berbau feudal dan merupakan salah satu ciri sastra Jawa masa
tesebut. Dari periode-periode perkembangan sastra Jawa dapat diketahui bahwa unsur-
unsur Hindu dan Islam turut membentuk perjalanan sastra Jawa. Dalam
perkembangannya pujangga-pujangga keraton aktif dalam karya sastranya untuk tujuan
politik keraton. Sementara itu kalangan rakyat banyak mengembangkan sastra yang
bernuansa religius untuk kepentingan pengenalan ajaran Islam.
Sastra Jawa yang Berpusat di Keraton
Pada saat kekuasaan politik keraton mulai lemah, maka kesusastraan Jawa mulai
subur, hal ini telah mulai semenjak Kerajaan Mataram berada di bawah pemerintahan
Sultan Agung. Setelah mengalami kegagalan menaklukkan Kompeni di Batavia, Sultan
Agung membangun kewibawaan kerajaan melalui seni budaya. Diantaranya dengan
menciptakan karya sastra seperti sastra gending, serat suluk dan babad. Selain itu juga
mengganti tahun Saka dengan tahun Jawa yang mengambil perhitungan komariah seperti
tahun hijriah.dikembangkan pula bahasa Jawa “krama” untuk menciptakan social
distance guna membangn strata sosial, dan raja ditempatkan pada strata paling tinggi
(Moeljanto, 1994:45).
Salah satu ciri sastra keraton zaman Mataram dan Surakarta adalah adanya ajaran
manunggaling kawula Gusti yang digulirkan melalui sastra seperti wirid dan primbon.
Selain mengandung ajaran mistik, ungkapan tersebut mengandung muatan politis. Ajaran
itu dimaksudkan untuk memperkuat status quo raja yang digambarkan sebagai ”dewa
yang ngejawantah” yang menguasai segala yang ada, termasuk harta manusia, sehingga
rakyat adalah milik raja yang harus tunduk pada perintah-perintahnya.
Untuk mensosialisasikan ideologi dan tujuan-tujuan politiknya yang terkandung
dalam sastra, dikembangkan pula budaya pelantunan naskah di linkungan rakyat ataupun
keraton. Sampai abad ke-19 pelantunan naskah itu masih ditemukan. Sering kali
pelantunan naskah itu dilakukan pada peristiwa tertentu, seperti peristiwa kelahiran anak
atau untuk berjaga-jaga dari gangguan kejahatan sepanjang malam (Nancy Florida,
1955:12-15).
Melalui pelantunan naskah itu, pihak keraton dapat menyebarlauaskan karya
sastra yang memuat ajaran-ajaran moral dan mistik sebagai upaya membentuk opini
masyarakat agar pandangan tentang keluhuran jasa dan tradisi kerajaan tetap melekat di
hati rakyat, walaupun secara lahiriah keraton telah kehilangan kekuasaannya di bidang
politik dan ekonimi akibat dominai penjajah.
Sastra Pesantren
Bentuk sastra ini berkembang di masyarakat santri dengan ciri isiny terikat pada
syariat. Diantara hasil sastra pesantren terlihat Suluk Sunan Bonang, yang memuat ajaran-
ajaran Sunan Bonang. Isi buku itu diantaranya mengajak kepada para muridnya
berpegang pada ajaran tasawuf yang benar, seperti yang digariskan oleh al-Ghazali.
Dalam perkembangannya, sastra pesantren yang tumbuh dari lingkungan
masyarakat sendiri, banyak diadopsi oleh pujangga keraton. Tampaknya hal itu dimulai
pada masa Kerajaan Demak, yang merupakan masa peralihan dari budaya Hindu-Budha
ke budaya Islam setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Banyak pujangga keraton yang
berpindah ke Demak untuk mencari pekerjaan. Terjadinya interaksi antara pujangga
tersebut dengan para santri membawa pula kontak “budaya istana” yang bersifat Hindu
Kejawen dengan “budaya pesantren” yang islami. Ketertarikan pujangga keraton
terhadap nilai-nilai luhur yang terdapat dalam sastra pesantren melahirkan naskah-naskah
Jawa yang mengungkapkan ajaran Islam, tetapi bernuansa Jawa.
Dari hubungan budaya itu, terlihat bahwa di satu sisi sastra keraton juga
bersumber pada sastra pesantren. Berkembangnya sastra di pesantren didukung pula oleh
pelantunan naskah yang sudah membudaya di lingkungan masyarakat pesantren.
Sebagian pujangga Keraton Surakarta, seperti Yasadipura I, Yasadipura II, dan
Ranggawarsita adalah santri-santri yang menjadi pujangga keraton dan pernah
mendapatkan pendidikan pesantren dalam waktu yang cukup lama. Dari pesantren itu
pula mereka mengenal karya-karya sastra Jawa, Arab, dan Melayu yang sangat
bermanfaat bagi pengembangan kemampuan mereka sebagai pujangga keraton.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sastra sendiri merupakan suatu keindahan atau dapat dikatakan suatu karya
tertulis yang mampu menghanyutkan suasana sang pembaca, pendengar, dan juga
penonoton menjadi terlena. Pada hakekatnya interelasi islam dan sastra jawa sangat
berkaitan, dikarenakan dalam sastra jawa sendiri meliputi ajaran moral dan lain
sebagainya yang juga diajarkan pada agama islam. Hal tersebut ditemu pada sastra
yang menjadi tembang macapat. Sastra jawa yang digunakan salah satunya adalah
sastra atau puisi dari sang pujangga.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah pemaparan makalah mengenai sastra jawa dengan islam, kami yakin
akan adanya kekurangan. Sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang
akan dapat membangun kita kedepan. Meski jauh dari kesempurnaan namun, kami
harap dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Darori Amin, 2002, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981
Suyono, Budaya Jawa Moderat, Yogyakarta: LKIS, 2007
top related