01.kover-lisan edit.jpg

43

Upload: phungtruc

Post on 09-Feb-2017

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 01.kover-lisan edit.jpg
Page 2: 01.kover-lisan edit.jpg

Mega-mega yang disentuh,pudar karena keagungan kerja.

Badai-badai yang ditentang,nyisih karena keagungan jiwa.

Tiadalah kebahagiaan,sebesar kebahagiaan selesai kerja.

Tiadalah kelapangan,sebesar kelapangan kemenangan jiwa.

Dan semua pengabdiandiuntukkan bagi keagungan bangsa.

Dan semua kelelahandiuntukkan bagi kemuliaan manusia.

Soekarno

Page 3: 01.kover-lisan edit.jpg
Page 4: 01.kover-lisan edit.jpg

PRAKATA

BismillahirrahmanirrahimPuji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Pemurah dan Maha

Pengasih, karena atas rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikanbuku ini. Untuk mengakrabkan dengan para penggunanya, peminat sejarah padaumumnya dan mahasiswa Jurusan Sejarah pada khususnya, buku tentang sejarah lisanini diberi judul, Sejarah Lisan: Konsep dan Metode.

Secara garis besar buku tentang sejarah lisan ini menguraikan tentangpengertian dan kegunaan sejarah lisan sebagai sumber sejarah. Hal ini pentingdikemukakan mengingat bahwa keberadaan sejarah lisan sebagai sumber sejarahhingga kini masih sering terpinggirkan dan keberadaannya tidak secemerlang sumbertertulis. Padahal, seiring dengan semakin memudarnya budaya tulis di tengahmasyarakat serta merebaknya budaya tanpa kertas atau kebudayaan nirkertas(paperless culture) bisa jadi sejarah lisan akan memainkan peran yang sangatsignifikan ke depannya. Pada bagian lain diuraikan pula tentang bagaimana sejarahlisan yang terdapat pada memori para pengkisah (narrators) dapat tergali secaraoptimal dengan menggunakan metode sejarah lisan.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sejarah, danperkembangan teknologi informasi, buku tentang sejarah lisan ini akan terusmengalami perkembangan. Dengan demikian, buku ini belumlah merupakan sebuahtulisan “final”. Buku ini pada dasarnya barulah sebuah langkah awal penyusunanuntuk mempermudah proses pengenalan, sekaligus pembelajaran dan masih akan terusdikembangkan menjadi buku yang lebih lengkap.

Tersusunnya buku ini tidak lepas dari kepercayaan dan dukungan berbagaipihak. Oleh karena itu, penulis ingin pula menyampaikan ucapan terima kasih kepadaBapak, Ibu, serta semua pihak, yang namanya tidak mungkin dicantumkan satupersatu, yang secara langsung maupun tidak langsung telah turut berperan dalammerealisasikan buku ini. Semoga kebaikan Bapak, Ibu, dan Saudara semua mendapatbalasan pahala yang berlimpah dari Allah Yang Maha Tahu dan Maha Pemberi.

Hakikatnya tiada satupun pekerjaan sempurna yang dihasilkan manusia. Dalampenulisan buku ini penulis pun menyadari banyak sekali kekurangan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, berbagai kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangatpenulis harapkan. Dengan segala kekurangan yang ada di dalamnya, penulis berharapsemoga masih ada manfaat yang bisa diberikan oleh buku ini.

Bandung, Februari 2007

Reiza D. Dienaputra

Page 5: 01.kover-lisan edit.jpg
Page 6: 01.kover-lisan edit.jpg

DAFTAR ISI

PRAKATA iiDAFTAR ISI iv BAB I PENGANTAR 1

Rekonstruksi Sejarah 1Eksistensi SumberLisan 4

BAB II PENGERTIAN SEJARAH LISAN 8

Sejarah Lisan dan TradisiLisan 8Sejarah Lisan sebagai Sumber Lisan 11

BAB III GUNA SEJARAH LISAN 15BAB IV KEDUDUKAN SEJARAH LISAN 19

Sumber Primer dan SumberSekunder 19Sejarah Lisan dan Sumber Tertulis 20

BAB V METODE SEJARAH LISAN 23Pengertian

23Tahapan Kerja 25

BAB VI TAHAPAN PERSIAPAN 28Perumusan Topik Penelitian 28Penetapan Judul Penelitian 31Pemahaman Masalah 32Pembuatan Kerangka Penelitian 33Pembuatan Kendali Wawancara 33Inventarisasi dan Seleksi Pengkisah 34Kontak denganPengkisah 36Pengenalan Lapangan 37Pengenalan Alat Rekam 38

BAB VII TAHAPAN PELAKSANAAN 40

Membuat LabelWawancara 41PembukaanWawancara 43Menjaga SuasanaWawancara 44MembuatCatatan 47

••

•••••••

••

Page 7: 01.kover-lisan edit.jpg

Mengakhiri Wawancara 48Membuat Surat Pernyataan 49

BAB VIII TAHAPAN PEMBUATAN

INDEKS DAN TRANSKRIPSI 52PembuatanIndeks 52Pembuatan Transkripsi 54

BAB IX MODEL PENELITIAN SEJARAH LISAN 57Kritik Sejarah Lisan 57Karya Penelitian SejarahLisan 59Kegiatan Penelitian Mata Kuliah SejarahLisan 61

DAFTAR SUMBER 67

••

••

Page 8: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB IPENGANTAR

Rekonstruksi Sejarah

Berbicara tentang sejarah berarti berbicara tentang perjalanan eksistensimanusia di atas panggung kehidupan. Dengan demikian, sejarah selalu berkait eratdengan manusia dan perannya semasa masih hidup. Tidak ada sejarah tanpa manusiadan tidak ada sejarah tanpa kehidupan. Karena sejarah berbicara tentang manusia dankehidupannya maka secara otomatis sejarah selalu berbicara tentang peristiwa yangbenar-benar pernah terjadi dan menempatkan manusia sebagai aktor sentralnya.Pemahaman ini dapat dikatakan menjadi pemahaman standar yang perlu dimilikimanakala berbicara tentang sejarah.

Keberadaan sejarah sebagai kisah tentang masa lampau manusia secaraeksplisit memperlihatkan peran penting sejarah sebagai ilmu yang mampu memberieksplanasi tentang peran manusia di atas panggung kehidupan. Selanjutnya, berpijakpada realitas bahwa manusia merupakan zoon politicon maka peran tersebut sudahpasti akan menyertakan keberadaan manusia-manusia lainnya yang hidup secarabersama-sama, baik itu dalam bentuk komunitas keluarga, kerabat, suku bangsa,hingga bangsa. Dalam pemahaman itulah, sejarah pada akhirnya tidak sekedar mampumemberi eksplanasi tentang peran manusia secara individual tetapi juga mampumemberi eksplanasi tentang peran manusia secara kolektif. Tegasnya sejarah tidakhanya mampu memberi eksplanasi tetang peran manusia tetapi juga mampu memberieksplanasi tentang peran keluarga, kerabat, suku bangsa, hingga bangsa. Kesadarantentang perjalanan hidup di kelampauan itulah yang pada akhirnya akan mampumemetakan identitas atau jatidiri manusia secara individual maupun manusia sebagaianggota suatu komunitas.

Dalam kaitan itu semua, dikenal adanya pengertian sejarah dalam arti objektifdan sejarah dalam arti subjektif. Sejarah dalam arti objektif dimaknai sebagai peristiwasejarah itu sendiri atau proses sejarah dalam aktualitasnya. Dengan demikian, sejarahdalam arti objektif terkandung pengertian bahwa peristiwa sejarah tersebut hanya akanterjadi satu kali sehingga tidak berulang dan tidak dapat diulangi lagi. Kalaupunkemudian muncul ucapan “sejarah berulang”, maka yang dimaksud adalah bahwayang berulang tersebut hanyalah jenis peristiwanya, sementara peristiwanya sendirisecara substansial akan berbeda, baik pelaku, waktu, maupun tempatnya. Sebagaicontoh peristiwa yang berbentuk revolusi kemerdekaan pernah terjadi di Indonesia.Peristiwa revolusi kemerdekaan yang terjadi pada Agustus 1945 tersebut hanya terjadisekali di Indonesia pada tahun 1945 dan menjadi milik bangsa Indonesia. Peristiwadengan konstruk revolusi kemerdekaan 1945 tidak mungkin diulang atau berulang lagipersis sama pada masa sesudahnya, termasuk masa kini dan masa depan. Setidaknyapelaku dan tempat terjadinya peristiwa sudah tidak ada dan tidak mungkin ditemukankembali. Namun demikian, peristiwa sejarah dengan jenis revolusi kemerdekaan padadasarnya mungkin saja terjadi kembali, tidak saja di Indonesia tetapi di negeri lain.

Sejarah dalam arti subjektif adalah sejarah yang merupakan produkrekonstruksi dari peristiwa sejarah atau bangunan yang disusun penulis(rekonstruktor) sebagai suatu uraian atau ceritera. Adanya pernyataan bahwa “kitaharus belajar dari sejarah” maka sejarah yang dimaksud adalah sejarah dalam artisubjektif. Hal ini secara sederhana dapat dipahami dengan mengingat bahwa carapandang seseorang terhadap suatu peristiwa sejarah pasti akan berbeda antara satudengan lainnya. Cara pandang ini pada dasarnya secara substansial merepresentasikansebuah subyektifitas dalam merekonstruksi sebuah bangunan sejarah. Bila kemudiandicari analoginya dalam bentuk visual, bangunan sejarah produk rekonstruktortentunya lebih bisa dianalogkan dengan sebuah lukisan daripada sebuah potret. Potretmerupakan hasil sebuah rekonstruksi peristiwa sejarah yang sifatnya relatif utuh danlengkap dan sejarah dalam arti subjektif pada dasarnya tidak mungkin mencapai itusemua, sementara lukisan merupakan hasil sebuah rekonstruksi dari sudut pandang

Page 9: 01.kover-lisan edit.jpg

semua, sementara lukisan merupakan hasil sebuah rekonstruksi dari sudut pandangyang terbatas sehingga sudah pasti tidak akan utuh dan lengkap sebagaimana yangsesungguhnya tampak di permukaan. Lukisan tampil melalui proses mengingat yangsudah pasti akan ada yang terlewatkan di dalamnya dan itulah pada dasarnya sejarahdalam arti subjektif.

Sejarah dalam arti subjektif atau sejarah sebagai kisah direkonstruksi dariempat jenis sumber sejarah, yakni, tertulis, benda, lisan, dan visual. Sumber tertulismisalnya, surat kabar, majalah, lembaran negara, dokumen (dari bahasa latin docereyang berarti mengajar), notulen rapat, kontrak kerja, surat-surat, bon-bon, dan laporan-laporan. Sumber benda, misalnya, foto-foto, bangunan-bangunan, makam, dan tugu-tugu peringatan. Sumber visual, adalah rekaman-rekaman gambar hidup, seperti,rekaman peristiwa, rekaman peringatan, dan rekaman berita-berita televisi. Sumberlisan, yakni sumber sejarah yang berbentuk lisan atau menghasilkan suara. Sumberlisan dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar, tradisi lisan, rekaman suara(rekaman rapat, pidato, ceramah, dan sebagainya), dan sejarah lisan.

Eksistensi Sumber Lisan

Sumber lisan sebagai salah satu sumber sejarah dalam prakteknya seringkaliterpinggirkan, terutama manakala sumber tertulis tersedia cukup memadai ketikarekonstruksi sejarah akan dilakukan. Sumber lisan, khususnya dalam bentuk sejarahlisan, biasanya baru dilirik oleh rekonstruktor sejarah manakala sumber tertulisdianggap kurang memadai atau tidak ada sama sekali. Terpinggirkannya sumber lisansebagai sumber sejarah bisa jadi dikarenakan rekonstruksi sejarah seakan selalumemerlukan “bukti yang dapat dilihat dan diraba”. Kenyataan ini tidak pelak lagimerupakan salah satu kelemahan sumber lisan. Sumber lisan baru akan bernilaimanakala sumber tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk lain, seperti rekaman suaraatau tulisan. Tanpa perubahan wujud, sulit rasanya sumber lisan dapat digunakansebagai sumber sejarah. Kritik terbesar terhadap sejarah lisan secara tidak langsungmuncul dalam abad ke-19 ketika sumber tertulis dipandang sebagai sumber sejarahsatu-satunya yang dapat membuat sebuah rekonstruksi sejarah memiliki bobot ilmiah.Dalam kaitan itu, Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari UniversitasSorbonne, Paris, mengatakan bahwa, “The historian works with documents…There isnon substitute for documents: no documents, no history”.

Berpijak pada adanya “persyaratan” yang harus dipenuhi oleh sumber lisan,jelaslah bahwa untuk berubah wujud, sumber lisan mau tidak mau memilikiketergantungan dengan kapasitas menulis dan perkembangan terknologi. Tegasnya,agar dapat diwujudkan sebagai sumber sejarah, kemungkinan pertama yang dapatditempuh sumber lisan adalah menuliskannya dalam bentuk tulisan. Kemungkinankedua, mewujudkannya dalam bentuk rekaman suara yang direkam dalam sebuah alatrekam. Perwujudan pertama sumber lisan dalam bentuk tulisan dan kemudiandigunakan sebagai sumber sejarah dapat dikatakan telah dilakukan lama sekali, jauhsebelum masehi atau kurang lebih 2400 tahun yang lalu oleh Thucydides denganPerang Peloponesianya. Ia melakukan wawancara (interviu) langsung dengan paraaktor sejarah dalam Perang Peloponesia, yakni para prajurit yang terlibat dalam perangtersebut dan hasil wawancaranya, meskipun tentunya dalam bentuk yng masih sangatsederhana ia tuliskan dalam bentuk tulisan. Kerja Tucydides dalam merekonstruksiPerang Peloponesia, Histoire de la Guerre du Peloponnese (Paris: Garnier-Freres,1966), bisa dikatakan sebagai kerja tertua dalam menggarap sumber lisan berbentuksejarah lisan. Sementara itu, dalam bentuknya yang terekam dalam alat rekam, sumberlisan bisa jadi masih berusia muda, karena semuanya terkait erat denganperkembangan teknologi, khususnya penemuan teknologi alat rekam.

Gelegar perkembangan sejarah lisan dapat dikatakan terjadi memasuki akhirabad ke-19 dan awal abad ke-20. Geliat perkembangan penggunaan sejarah lisan initerjadi menyusul ditemukannya teknologi alat perekam (phonograph) pada tahun 1877(Paul Thompson, 1978). Dengan ditemukannnya alat perekam, secara otomatis sejarahlisan menjadi memiliki kemungkinan yang terbuka untuk berubah wujud dan tingkatkredibilitasnya sebagai sumber sejarah menjadi meningkat. Dalam perkembanganselanjutnya, penemuan phonograph ini diikuti pula oleh dikembangkannya metodemodern dalam penelitian sejarah lisan di Amerika Serikat pada tahun 1930. Penemuanphonograph dan pengembangan metode modern dalam penelitian sejarah lisan ini

••

Page 10: 01.kover-lisan edit.jpg

phonograph dan pengembangan metode modern dalam penelitian sejarah lisan inimenjadikan sejarah lisan naik daun. Sejak saat itu banyak dilakukan penelitian dibidang sejarah lisan. Satu di antaranya tentang kenangan para bekas budak hitam diAmerika Serikat. Keberadaan sejarah lisan sebagai sumber sejarah menjadi semakinberkibar saat Allan Nevins pada tahun 1948 mendirikan pusat sejarah lisan yangpertama di Universitas Colombia, New York. Terobosan Nevins di Amerika Serikatini pada akhirnya diikuti pula oleh Kanada dan negara-negara di Eropa, seperti Inggrisdan Italia.

Di Asia Tenggara, geliat perkembangan penelitian sejarah lisan baru terasamemasuki dasawarsa ketujuh abad ke-20. Pada kurun waktu ini sejumlah lembagaArsip Nasional di negara-negara Asia Tenggara, seperti Malaysia (1963) dan Thailand(1977), sangat aktif mengembangkan kegiatan dan program sejarah lisan. Bahkan padatahun 1979, setelah sebelumnya sejak tahun 1972 melalui Institute of Southeast AsianStudies (ISEAS) aktif memelopori penggalian sejarah lisan untuk beberapa peristiwapenting, Singapura melangkah lebih jauh lagi dengan membentuk Pusat Sejarah Lisandi Arsip Nasional Singapura.

Sedikit berbeda dengan negara-negara lainnya di Asia Tenggara, geliatperkembangan sejarah lisan di Indonesia tampak kurang begitu menggembirakan.Padahal, penelitian sejarah lisan di Indonesia pada dasarnya telah dimulai sejak tahun1978 oleh Arsip Nasional Republik Indonesia di bawah koordinasi Jose RizalChaniago. Sasaran penggalian sejarah lisan untuk pertama kalinya diarahkan untukmengisi kekurangan arsip sejarah Indonesia pada kurun waktu 1942-1950. Untuklebih memasyarakatkan sejarah lisan, penggalian sejarah lisan pada periodependudukan Jepang dan revolusi fisik ini kemudian dilakukan dengan membangunkerjasama dengan berbagai perguruan tinggi negeri yang memiliki Jurusan Sejarah.

Sebenarnya, bila ditelaah dengan seksama, pemanfataan sumber lisan,khususnya yang berbentuk tradisi lisan, dapat dikatakan telah lama dilakukan diIndonesia. Hal ini terlihat dari banyaknya tradisi lisan yang diwujudkan dalam bentuktulisan, seperti termuat dalam babad, wawacan, dan sumber-sumber tradisionallainnya. Namun demikan, penggalian sejarah lisan dalam bentuk rekaman, baik tradisilisan dan terlebih lagi sejarah lisan, dalam perkembangannya kemudian belumlahsemeriah Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Minimnya pemanfaatan sumber lisan sebagai sumber sejarah bisa jadidiakibatkan oleh berbagai faktor. Bisa dikarenakan minimnya sumber lisan yangtersedia, bisa karena sumber tertulis tersedia cukup melimpah sehingga sumber lisandianggap tidak penting, dan bisa jadi pula karena ketidak tahuan tentang keberadaansumber lisan, terutama ketidaktahuan tentang cara menggali dan memanfaatkan sumberlisan sebagai sumber sejarah. Padahal, seiring dengan perkembangan teknologi yangsemakin hari semakin pesat, budaya kertas (paper culture) yang menjadi salah satukarakter utama budaya tulis bisa jadi akan semakin berkurang. Teknologi informasiyang telah mengalihkan budaya tulis di atas kertas menjadi budaya tulis di atas mediaelektronik bisa jadi akan menghapus secara perlahan tapi pasti sumber tertulis yangberada di atas media kertas. Bila kebudayaan nirkertas (paperless culture) benar-benarterjadi, diakui atau tidak, sumber lisan akan memainkan peran yang sangat penting.Manakala sumber tertulis tidak ditemukan maka alternatif terakhir yang dapatdigunakan untuk melakukan rekonstruksi sejarah adalah sumber lisan. Di antara empatkelompok sumber lisan, yang paling penting untuk diperhatikan adalah sejarah lisan.Sejarah lisan sebagai salah satu bentuk sumber lisan menempati posisi strategis karenadi dalamnya berisi data yang relatif sangat lengkap tentang perjalanan manusia di ataspanggung sejarah.

Page 11: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB IIPENGERTIAN SEJARAH LISAN

Sejarah Lisan dan Tradisi Lisan

Berbicara tentang sejarah lisan (oral history) pada dasarnya berarti berbicaratentang sesuatu yang baru tapi lama. Betapa tidak, sejarah lisan sebagai suatu istilahmerupakan sesuatu yang relatif “baru” dikenal dalam ilmu sejarah. Sebaliknya, secaramateri, dalam kedudukannya sebagai sumber sejarah, sejarah lisan merupakan baranglama yang sama tuanya dengan sejarah itu sendiri.

Bila sejarah secara umum dipahami sebagai peristiwa yang terjadi di masalampau yang menempatkan manusia sebagai aktor sejarahnya, maka sejarah lisansecara sederhana dapat dipahami sebagai peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yangterdapat di dalam ingatan (memori) hampir setiap individu manusia. Di luar itu,sebagaimana halnya pengertian sejarah, tentu banyak pula pengertian tentang sejarahlisan. Sartono Kartodirdjo (1991) merumuskan sejarah lisan sebagai cerita-ceritatentang pengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Cullom Davis, et. al.(1977) mengartikan sejarah lisan sebagai a branch of historical research. A. AdabyDarban (1988) mengartikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang terdapat dikalangan manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas suatu kejadianmasa lampau, diuraikan dengan lisan. A.B. Lapian (1981) mengatakan bahwa diAmerika Serikat sejarah lisan dipahami sebagai rekaman pita (tape recording)daripada wawancara tentang peristiwa atau hal-hal yang dialami oleh pengkisah(interviewee) atau lebih tepat lagi rekaman pada pita kaset tentang pengalaman-pengalaman yang masih diingat oleh pengkisah. Dalam bahasa yang tidak jauhberbeda, A. Gazali Usman (1983) memberikan definisi sejarah lisan sebagai rekamanpita dari wawancara tentang peristiwa yang dialami oleh pengkisah. Dengan demikian,isi pita rekaman berupa wawancara antara pewawancara (interviewer) denganpengkisah.

Dari berbagai pengertian tentang sejarah lisan tersebut, secara implisit tampakadanya keseragaman dalam melihat muatan utama sejarah lisan, yakni memori atauingatan manusia. Dengan demikian, tanpa adanya ingatan manusia tidak mungkin adasejarah lisan. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin ada sejarah lisan tanpa adaingatan manusia. Ketergantungan sejarah lisan terhadap ingatan manusia akan menjadisemakin mudah dipahami manakala ingatan sebagai hasil proses berpikir manusiadalam mengingat masa lalu diartikan tidak hanya sebagai kesatuan dokumen yang adadi kepala manusia tetapi juga dimaknai seperti dokumen yang tersimpan di rak-rakkantor arsip.

Dalam pengertiannya seperti di atas, jelaslah bahwa sejarah lisan padadasarnya merupakan rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar pernah terjadi yang terdapat di dalam memori setiap individu manusia.Pengertian inilah yang secara otomatis membedakan sejarah lisan dengan tradisi lisan(oral tradition). Tradisi lisan dipahami sebagai kesaksian lisan yang dituturkan secaraverbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kesaksian lisan dimaksud padaumumnya bukanlah kesaksian tentang peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi tetapibisa jadi hanyalah tentang tradisi-tradisi yang berkembang di tengah masyarakat.Tradisi lisan dengan demikian dalam batas-batas tertentu dapat diidentikan pula denganfolklor, khususnya folklor lisan (verbal folklor) dan folklor sebagian lisan (partlyverbal folklor). Menurut James Danandjaja (1997), folklor adalah sebagiankebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun di antarakolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalambentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantupengingat (mnemonic device).

Folklor lisan dipahami sebagai folklor yang bentuknya memang murni lisan.Dengan demikian, di antara tiga bentuk folklor sebagaimana diungkapkan Jan HaroldBrunvand (lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan atau non verbal folklor), folklor lisan

••

Page 12: 01.kover-lisan edit.jpg

Brunvand (lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan atau non verbal folklor), folklor lisanmerupakan yang paling dekat dengan tradisi lisan. Beberapa bentuk folklor lisan, antarlain, pertama, bahasa rakyat (folk speech), seperti logat, julukan, pangkat tradisional,dan titel kebangsawanan. Kedua, ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah,dan pemeo. Ketiga, pertanyaan tradisional, seperti teka-teki. Keempat, puisi rakyat,seperti pantun, gurindam, dan syair. Kelima, cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda,dan dongeng. Keenam, nyanyian rakyat. Di antara keenam bentuk besar folklor lisantersebut, yang sering diidentikan dengan tradisi lisan tidak lain adalah cerita prosarakyat, baik mite, legenda, maupun dongeng. Bahkan legenda, seringkali dipandangsebagai “sejarah” kolektif (folk history). Nilai “sejarah” yang melekat pada legendamenjadi demikian pudar dikarenakan sifatnya yang tidak tertulis dan besarkemungkinan telah mengalami distorsi. Distorsi nilai “sejarah” dalam legenda menjadilebih jelas lagi manakala secara eksplisit legenda juga memiliki tampilan sifat yangmigratoris, yakni dapat berpindah-pindah sehingga dikenal luas di daerah-daerah yangberbeda.

Folklor sebagian lisan dapat diartikan sebagai folklor yang bentuknyamerupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Salah satu contoh folklor sebagianlisan adalah kepercayaan rakyat atau yang juga dikenal dengan takhyul. Kepercayaanrakyat pada dasarnya terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerakisyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti batu-batuan tetentu atau benda-benda yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki. Diluar kepercayaan rakyat, yang dapat dikelompokan ke dalam folklor sebagian lisanadalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara dan pestarakyat. Di antara bentuk-bentuk folklor sebagian lisan sebagaimana disebutkan didepan, yang paling dekat hubungannya dengan tradisi lisan adalah kepercayaan rakyat.Kepercayaan rakyat ini dapat dikatakan merupakan folklor sebagian lisan yang relatifpaling intens diturunkan secara turun temurun. Termasuk di era modern yangdianggap sarat dengan manusia-manusia yang rasional.

Adanya perbedaan yang sangat mendasar antara tradisi lisan dan sejarah lisan,tidaklah berarti tradisi lisan tidak diperlukan atau tidak bisa digunakan sebagai sumbersejarah. Tradisi lisan tetap dapat digunakan sebagai sumber sejarah untuk tujuan dankepentingan tertentu serta setelah melalui proses kritik yang sangat ketat. Dalambahasa James Danandjaja (1997), legenda sebagai salah satu bentuk tradisi lisan jikahendak digunakan untuk merekonstruksi sejarah suatu folk maka mau tidak mau harusmembersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya yang mengandung sifat-sifat folklor.Sementara itu, berkaitan dengan penggunaan tradisi lisan di kalangan sejarawan,Kuntowijoyo (1994) mengatakan bahwa usaha untuk menarik minat sejarawanterhadap pemanfaatan tradisi lisan sebagai sumber sejarah telah digelar secara khusussaat berlangsung Seminar Sejarah Nasional III, dalam panel tentang etno-histori.

Sejarah Lisan sebagai Sumber Lisan

Sebagai salah satu bentuk sumber lisan, sejarah lisan haruslah digali secara“sengaja”, terencana, dan tersistematisasikan. Tanpa upaya penggalian yang disengajadan direncanakan dengan baik bisa jadi sejarah lisan tidak akan pernah bisa digunakansebagai sumber sejarah dan akan terbawa mati oleh pemiliknya. Oleh karena itu,sejarah lisan harus benar-benar digali dengan penuh kesadaran dan penuhperencanaan. Hal ini tentu berbeda dengan salah satu bentuk sumber lisan lainnya,yakni rekaman suara (ceramah dan pidato), yang seringkali proses penggaliannya tidakdisengaja atau tanpa suatu proses yang direncanakan ataupun tradisi lisan, yang prosespenggaliannya bisa kapan saja serta tidak tergantung oleh usia pengkisah atau pemberiinformasi tradisi lisan.

Menurut Taufik Abdullah (1982) pada dasarnya sejarah lisan dapat dibedakandalam tiga corak, yakni sastra lisan, pengetahuan umum tentang sejarah, dan kenanganpribadi. Sastra lisan meskipun tidak bisa diharapkan terlalu banyak untuk membanturekonstruksi suatu peristiwa tetapi dengan pengetahuan antropologis yang memadaiakan memungkinkan peneliti sejarah untuk mengetahui atau setidaknya menyadaridunia nilai dan dunia makna dari masyarakat yang diteliti. Pengetahuan umum tentangsejarah pada dasarnya merupakan bentuk persepsi sosial tentang hari lampau. Duabentuk paling umum pengetahuan tentang hari lampau ini adalah sejarah asal usulsuatu lokalitas atau sejarah asal usul keturunan (genealogi). Kenangan pribadi adalah

••

Page 13: 01.kover-lisan edit.jpg

suatu lokalitas atau sejarah asal usul keturunan (genealogi). Kenangan pribadi adalahcorak sejarah lisan yang relatif paling memenuhi syarat sebagai sumber sejarah ataudengan kata lain merupakan sejarah lisan yang otentik, yang akan lebih langsungmembantu peneliti sejarah saat melakukan rekonstruksi. Dengan demikian, dari ketigacorak sejarah lisan tersebut, kenangan pribadi merupakan corak sejarah lisan yangpaling penting.

Kualitas kenangan pribadi sebagai corak utama sejarah lisan memilikiketerkaitan erat dengan kualitas ingatan individu yang memilikinya. Ingatan adalahsuatu proses, bukan keadaan menetap. Sebagai suatu proses, ingatan pada dasarnyadimulai ketika sesuatu yang akan diingat itu dipelajari atau dialami. Setelah itu baruterjadi proses penyimpanan (storage). Dalam kaitannya dengan penggalian sejarahlisan, ingatan yang tersimpan dalam storage itulah yang kemudian harus dikeluarkan,dikisahkan atau dikenang secara aktif (retrieval atau recollection). Kegagalan ingatanbisa diartikan sebagai kegagalan sumber atau bila itu diibaratkan dengan sumbertertulis, kegagalan ingatan bisa pula diartikan sebagai sumber tertulis yang telah hilangatau telah hancur.

Menjadikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang berbentuk lisan dengandemikian bukanlah pekerjaan yang mudah. Diperlukan adanya kecermatan dankecerdasan pada sang penggali sejarah lisan untuk bisa benar-benar menjadikansejarah lisan sebagai sumber lisan. Kecermatan dan kecerdasan juga diperlukanmanakala para pemilik sejarah lisan tentang suatu peristiwa yang hendakdirekonstruksi semakin sedikit karena banyak yang sudah meninggal atau sebaliknya,justru sangat berlimpah. Dua kondisi yang kontradiktif tersebut jelas memerlukan carapenanganan yang berbeda ketika penggalian sejarah lisan akan dilakukan. Mana yangakan didahulukan, tentu sangat tergantung pada tujuan dan kepentingan penggaliansejarah lisan. Namun, bila diharuskan memilih semata-mata untuk kepentinganpenyediaan sejarah lisan sebagai sumber sejarah tentu kondisi pertamalah yang haruslebih diprioritaskan. Pemberian prioritas ini menjadi lebih penting lagi manakalasejarah lisan tinggal menjadi sumber sejarah satu-satunya untuk bahan rekonstruksisejarah.

Berpijak pada pengertian bahwa sejarah lisan adalah peristiwa-peristiwasejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan hampir setiap individu manusia makasecara kuantitatif, materi sejarah lisan sebagai sumber lisan dapat dikatakan hampir takterbatas. Permasalahan keterbatasan sejarah lisan sebagai sumber lisan baru muncul kepermukaan manakala dihadapkan pada pilihan peristiwa terpilih yang akandirekonstruksi. Semakin besar dan luas daya jangkau dan daya pengaruh suatuperistiwa maka pada umumnya akan semakin banyak pula pemilik sejarah lisan yangbisa dijadikan pengkisah. Sebaliknya, semakin kecil dan sempit daya jangkau sertadaya pengaruh suatu peristiwa bisa jadi akan semakin terbatas pula pemilik sejarahlisan yang bisa dijadikan pengkisah. Dengan demikian, banyak tidaknya sejarah lisanuntuk suatu peristiwa sejarah yang akan direkonstruksi pada dasarnya akan sangatditentukan oleh “sosok” atau “kebesaran” peristiwanya itu sendiri. Berdaya jangkauluas atau tidak, berpengaruh besar atau tidak.

Page 14: 01.kover-lisan edit.jpg
Page 15: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB IIIGUNA SEJARAH LISAN

Kuntowijoyo (1995) mengatakan bahwa sejarah di samping memiliki guna

intrinsik juga memiliki guna ekstrinsik. Guna intrinsik sejarah mencakup empat hal,sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai cara megetahui masa lampau, sejarah sebagaipernyataan pendapat, dan sejarah sebagai profesi. Sementara itu, guna ekstrinsiksejarah juga mencakup empat hal, yakni, fungsi pendidikan (moral, penalaran, politik,kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu bantu), latar belakang,rujukan, dan bukti. Dalam rumusan yang lebih singkat dan padat, T. Ibrahim Alfian(1985) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga guna sejarah. Pertama, untukmelestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok bagikelangsungan hidup. Kedua, untuk mengambil pelajaran dan teladan dari peristiwa-peristiwa di masa lalu. Ketiga, sejarah dapat berfungsi sebagai sarana pemahamanmengenai makna hidup dan mati atau mengenai tempat manusia di atas muka bumi ini.Bila kesemua guna sejarah tersebut ditelaah dengan seksama maka dalam kaitannyadengan sejarah lisan, secara substansial sejarah lisan pun pada dasarnya di dalamnyadapat memuat kesemua guna tersebut. Dalam pengertian tersebut, setiap upayapenggalian sejarah lisan tentulah di dalamnya, sadar atau tidak sadar, harus diupayakanagar dapat memenuhi sebagian atau setidaknya satu dari guna-guna sejarah tersebut.

Di luar itu, dalam kaitannya dengan kepentingan rekonstruksi sejarah secaralangsung, pada dasarnya sejarah lisan juga memiliki kegunaan tersendiri, yang manakegunaan tersebut sebagian di antaranya bisa jadi merupakan kegunaan khas sejarahlisan. Guna pertama sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarahlisan dapat berguna sebagai sumber pelengkap di antara sumber-sumber sejarahlainnya. Guna sejarah lisan sebagai sumber pelengkap ini biasanya terjadi manakalasumber tertulis tersedia cukup memadai untuk melakukan suatu rekonstruksi sejarah.Peran khas sejarah lisan muncul manakala keberadaanya sebagai sumber pelengkapmampu menjadikan sebuah rekonstruksi sejarah menjadi lebih “hidup”. Dalam bahasaTaufik Abdullah (1982), bila dikerjakan dengan baik, sejarah lisan tidak saja akanmampu mengisi kekurangan dari sumber-sumber tertulis dalam usaha merekonstruksisuatu peristiwa tetapi juga akan mampu memberi suasana (sphere) dari periode yangditeliti. Dengan cara itu, humanisasi studi sejarah dapat dilanjutkan.

Sejarah lisan dengan kekayaan materinya yang lebih “membumi” dan lebihmanusiawi dapat memberikan sumbangan berupa rekonstruksi lapis bawah peristiwaatau penulisan sejarah dari bawah (history from below), yang pada umumnya kekuatanini jarang sekali dimiliki oleh sumber tertulis. Tegasnya, bila sumber tertulis umumnyahanya mencatat peristiwa-peristiwa besar atau peran orang-orang besar maka sejarahlisan dapat mewarnainya dengan kisah peristiwa lainnya yang dianggap tidak besarpadahal turut menentukan terjadinya peristiwa besar tersebut atau mewarnainyadengan peran orang-orang yang dianggap tidak besar padahal telah turut memainkanperan penting dalam melahirkan tindakan-tindakan penting yang dilakukan orangbesar. Bukankah manusia itu hidupnya selalu berkelompok dan saling tergantung satusama lain? Dalam kaitan inilah, sejarah lisan menjadikan sejarah menjadi lebihmemasyarakat dan dimiliki banyak orang atau dalam bahasa Paul Thompson (1978),sejarah lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat serta menjadikansejarah lebih demokratis.

Guna kedua sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarahlisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya. Guna ini dapat dimainkan sejarahlisan tidak hanya manakala sumber tertulis kurang memadai tetapi juga manakalasumber tertulis tidak tersedia sama sekali. Dengan demikian, seiring dengan kemajuanteknologi, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya dalam melakukanrekonstruksi sejarah. Saat sejarah lisan tampil sebagai sumber sejarah satu-satunyatentu peluang untuk menjadikan hasil rekonstruksi sejarah sebagai milik masyarakatmenjadi terbuka jauh lebih lebar. Berbagai lapis bawah peristiwa dapat diungkapsecara optimal. Namun demikian pula, keberadaan sejarah lisan sebagai sumber

Page 16: 01.kover-lisan edit.jpg

secara optimal. Namun demikian pula, keberadaan sejarah lisan sebagai sumbersejarah satu-satunya dalam melakukan rekonstruksi sejarah tentu harus disikapi secarajauh lebih kritis.

Guna ketiga sejarah lisan adalah memberikan semacam discovery atau ruangkepada sejarawan untuk mengembangkan penelitian di masa depan. Realitasperkembangan kontemporer telah memperlihatkan semakin berkurangnya tradisi tulisdi tengah masyarakat serta budaya tulis di atas media kertas. Berkurangnya popularitaskantor pos dan kantor telegram menjadi bukti tak terbantahkan tentang berkurangnyatradisi tulis dan budaya tulis di atas media kertas. Sebagai gantinya, masyarakatmenjadi jauh lebih akrab dengan media komunikasi elektronik, baik yang disampaikanlangsung dalam bentuk komunikasi lisan maupun tulisan. Perbedaan tradisi tulisdengan era sebelumnya, pesan disampaikan menjadi jauh lebih pendek yang secaraotomatis akan mengurangi kapasitas atau kebiasaan menulis dan tentunya hasilnya puntidak terdokumentasikan dalam bentuk tulisan.

Perkembangan kontemporer yang semakin menjauh dari tradisi tulis danbahkan bukan tidak mungkin akan memupus budaya kertas (paper culture) jelassecara perlahan tapi pasti akan menjadi musibah besar bagi sejarah. Sejarah sepertinyaakan kehilangan jati dirinya karena bisa jadi akan kehilangan sumber tertulis sebagaibahan utama rekonstruksinya. Padahal, sumber tertulis begitu lekat dengan sejarah danketiadaan sumber tertulis bagi sebagian orang dapat berarti berakhirnya “usia” sejarah.Benarkah demikian adanya? Semua kekhawatiran tersebut jelas tidak perlu dan tidakakan terjadi karena sejarah masih memiliki sumber lainnya yang terandalkan yaknisejarah lisan. Sejarah lisan dengan demikian akan mampu menjawab segala tantanganyang akan terjadi di masa depan, terutama berkaitan dengan semakin berkurangnyakeberadaan sumber tertulis. Kapasitas sejarah lisan untuk membuat sejarah tetap eksismemiliki peluang sangat besar. Tegasnya, sejarah lisan akan tetap mampu melakukanrekonstruksi berbagai sejarah di masa depan, termasuk bilamana peristiwa sejarahtersebut tidak menyisakan sama sekali sumber tertulis.

Dalam guna yang ketiga inilah, sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo (1994),setidaknya ada tiga sumbangan besar yang diberikan sejarah lisan terhadappengembangan substansi penulisan sejarah. Pertama, kekontemporeran sifat yangdimiliki sejarah lisan membuka kemungkinan yang hampir tak terbatas untuk dapat menggali sejarah dari para aktor sejarah. Kedua, sejarah lisan membuka ruang bagitampilnya para aktor sejarah yang tidak tertulis dalam dokumen. Dengan demikian,sejarah lisan dapat mengubah citra sejarah yang elitis menjadi sejarah yang egalitarian.Ketiga, sejarah lisan membuka kemungkinan bagi perluasan permasalahan sejarahkarena sejarah tidak lagi dibatasi oleh dokumen tertulis.

Page 17: 01.kover-lisan edit.jpg
Page 18: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB IVKEDUDUKAN SEJARAH LISAN

Sumber Primer dan Sumber Sekunder

Sejarah lisan merupakan salah satu jenis sumber lisan. Sumber lisan lain diluar sejarah lisan adalah tradisi lisan dan rekaman suara. Di antara ketiga sumber lisantersebut, tidak pelak lagi sejarah lisan menempati kedudukan paling penting. Berbedadengan dua jenis sumber lisan lainnya, sejarah lisan dapat dikatakan lebih memilikinilai sejarah karena di dalamnya memuat langsung peristiwa sejarah.

Sebagai sumber sejarah, sejarah lisan dapat dikategorikan sebagai sumberprimer dan juga sumber sekunder. Sejarah lisan menjadi sumber primer manakalasecara substansial peristiwa yang terkandung dalam sejarah lisan merupakan peristiwayang dialami, dilihat, dirasakan, atau dipikirkan secara langsung oleh si pemilik sejarahlisan (pengkisah). Dengan kata lain, peristiwa yang menjadi materi sejarah lisansebagaimana disampaikan pengkisah merupakan peristiwa yang langsung dialami ataudisaksikannya dan bukannya peristiwa yang diperoleh pemilik sejarah lisan dari orangatau pihak lain. Tentunya, dalam kondisi seperti itu, sejarah lisan juga dapatdigolongkan secara lebih spesifik ke dalam sumber primer kuat (strictly primarysources) dan sumber primer tidak kuat (unstrictly primary sources). Namundemikian, keterangan pengkisah yang bukan merupakan kesaksian langsung pun,seperti pendapat, pandangan, dan opini juga dapat dianggap sumber primer bila yangdipermasalahkan atau digali memang tentang pendapat atau opini pengkisah tentangsuatu peristiwa (A.B. Lapian, 1982).

Sejarah lisan sebagai sumber sejarah sekunder bisa terjadi manakalaketerangan yang disampaikan pengkisah bukan merupakan peristiwa yang dialami ataudisaksikannya secara langsung. Tetapi ia memperoleh informasi tentang peristiwatersebut dari tangan orang ketiga. Dengan demikian, kisah yang disampaikan sipengkisah lebih merupakan perpanjangan lidah dari kisah yang dimiliki orang lain ataupihak lain. Keberadaan sejarah lisan, baik sebagai sumber primer dan terlebih sebagaisumber sekunder jelas perlu disikapi secara cermat dan cerdas, terlebih manakalasejarah lisan menjadi sumber sejarah satu-satunya.

Sejarah Lisan dan Sumber Tertulis

Sering timbul pertanyaan bagaimana kedudukan sejarah lisan biladibandingkan dengan sumber tertulis. Sumber tertulis sebagai sumber sejarah memilikikedudukan yang sangat penting, namun demikian tidak berarti sejarah lisan tidakmemiliki kedudukan penting. Tentu akan menjadi baik bila suatu rekonstruksi sejarahdiperkaya oleh sumber tertulis, terlebih bila mengingat beberapa jenis sumber tertulisobyektivitasnya sering dianggap jauh lebih terjaga bila dibandingkan sejarah lisan.Sejarah lisan, terlebih bila disampaikan secara individual, seringkali merangsang sangpemilik peristiwa-peristiwa sejarah terpilih untuk melibatkan unsur-unsursubyektivitas pribadinya. Namun demikian, sumber tertulis juga untuk sampai kepadahasil rekonstruksi sejarah yang “membumi” terkadang sulit untuk dilakukan. Hal inimengingat bahwa sumber tertulis tampilannya seringkali terkesan formal karena hanyamencatat hal-hal yang sifatnya penting atau dianggap penting atau bahkan hanyamencatat aksi yang dimainkan orang-orang besar. Dengan kata lain, sumber tertulisseringkali kehilangan jiwa atau roh peristiwa. Hal yang berbeda justru tidak terjadidengan sejarah lisan. Sejarah lisan dapat tampil lebih manusiawi karena mampumengungkap secara relatif lebih utuh tampilan sebuah peristiwa. Tidak sekedarperistiwa penting atau orang-orang penting tetapi juga peristiwa-peristiwa lain yangterjadi di sekitarnya yang secara tidak langsung telah turut membesarkan sebuahperistiwa yang kemudian dianggap penting atau juga orang-orang kebanyakan yanglangsung atau tidak langsung telah mendorong lahirnya kerja atau prestasi besar dariorang yang kemudian dianggap sebagai orang penting atau orang besar.

••

••

Page 19: 01.kover-lisan edit.jpg

orang yang kemudian dianggap sebagai orang penting atau orang besar.Dengan penjelasan di atas, jelaslah bahwa baik sumber tertulis maupun sejarah

lisan kedua-duanya memiliki kelebihan sekaligus pula kekurangannya. Olehkarenanya, untuk mengatakan yang paling penting di antara kedua jenis sumbersejarah tersebut, tentu akan sangat tergantung dari sisi mana melihatnya. Akan lebihbaik kiranya bila kedua sumber tersebut tidak dipertentangkan sisi kelemahannya,tetapi justru ditempatkan dalam posisi yang saling melengkapi atau kalaupun akanditempatkan yang satu dibanding yang lainnya, semuanya lebih dikarenakan situasidan kondisi yang menyebabkannya. Sumber tertulis dianggap lebih penting manakalamemang sumber tertulis relatif lengkap tersedia untuk melakukan rekonstruksi sejarah.Sebaliknya, sejarah lisan dikedepankan atau dianggap lebih penting manakala sumbertertulis relatif tidak memadai untuk dijadikan bahan rekonstruksi. Lebih dari itu,sebuah realitas yang akan sulit untuk disangkal, sejarah lisan akan menempati posisisangat penting manakala sebuah peristiwa sejarah tidak menyisakan sama sekalisumber tertulis dan hanya menyediakan sejarah lisan sebagai sumber sejarah satu-satunya. Akhirnya, sebagaimana dikatakan Taufik Abdullah (1982), sebagai sumbersejarah, sejarah lisan tidak lebih lemah dan juga tidak lebih kuat dari sumber tertulisatau sebagaimana dikatakan A.B. Lapian (1982), yang lebih penting dipertanyakan diantara keduanya adalah, cara bagaimana sumber itu diperoleh.

Page 20: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB VMETODE SEJARAH LISAN

Pengertian

Sejarah lisan secara sederhana dapat dipahami sebagai peristiwa-peristiwasejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan hampir setiap individu manusia. Denganpemahaman seperti itu, menjadi jelas ada dimana sebenarnya sejarah lisan. Sejarahlisan ada di dalam memori manusia. Untuk itu, agar sejarah lisan dapat digunakansebagai sumber sejarah, perlu ada upaya untuk mengeluarkannya dari memori individumanusia. Tanpa itu, bisa jadi sejarah lisan tidak akan pernah bisa digunakan sebagaisumber sejarah dan akan menjadi hak milik abadi sang pemilik kisah. Dalam tradisiyang berkembang di Afrika, sebuah benua yang kaya dengan sejarah lisan, seringdikatakan “kalau ada orang tua meninggal, maka sebuah perpustakaan telah hilang”.Sebagai sebuah sumber sejarah, sejarah lisan tidak hanya berisi informasi tentang apayang dilakukan orang di masa lalu tetapi juga apa yang ingin mereka lakukan, apayang mereka percaya tentang hal yang sedang dilakukan dan apa yang sekarangmereka pikirkan tentang apa yang telah terjadi (Bambang Purwanto, 2006).

Dalam kaitannya dengan upaya untuk mengeluarkan sejarah lisan dari memoriindividu manusia maka akan sampailah pada pembicaraan tentang cara, teknik, ataumetode untuk mengeluarkannya. Cara, teknik, atau metode untuk mengeluarkansejarah lisan ini untuk mudahnya bisa disebut sebagai metode sejarah lisan. Berpijakpada pemikiran bahwa sejarah lisan yang dikeluarkan dari pengkisah (narrator) padaakhirnya harus dapat dijadikan sebagai sumber sejarah yang dapat dilihat dan dirabadan bahwa inti metode sejarah lisan pada dasarnya adalah wawancara maka metodesejarah lisan sebagai sebuah cara pengggalian sejarah lisan sudah jelas harusmemenuhi tiga persyaratan awal agar dapat menghasilkan keluaran sebagaimana yangdiinginkan, yakni, pewawancara, pengkisah, dan alat rekam beserta kaset. Tanpa itusemua, sulit rasanya untuk dapat menjadikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah.

Banyak pengertian yang muncul berkaitan dengan metode sejarah lisan. JamesHoopes (1979) mendefinisikan metode sejarah lisan sebagai, “…the collecting of anyindividual’s spoken memories of his life, of people he has known, and events he haswitnessed or participated in”, atau “…a test of other people, of the accuracy of theirmemories, of their ability to assess their own lives realistically, and of their ability toprofit from experience. In a asense it is a test of other people as historians, a test ofhow well they can deal with their personal histories. … oral history research is also atest of ourselves, of our ability to deserve and win the confidence of other people, ofour ability to deal sympathetically but honestly and imaginatively with their memories,and of our ability to deal honestly with ourselves”. Willa K. Baum (1982) memberikanpengertian metode sejarah lisan sebagai usaha merekam kenangan yang dapatdisampaikan oleh pembicara sebagai pengetahuan tangan pertama. E. Kosim (1984)memberi pengertian metode sejarah lisan sebagai suatu bentuk yang khas dalammetode pengumpulan bahan sejarah. Jose Rizal Chaniago (1988) mengartikan metodesejarah lisan sebagai teknik pengumpulan data melalui wawancara yang direkam olehseorang pewawancara dengan seorang pengkisah yang bercerita tentang apa-apa yangdialaminya, dirasakannya, bahkan mungkin yang dipikirkannya ketika peristiwasejarah tersebut terjadi.

Bila kesemua pengertian tentang metode sejarah lisan tersebut diperhatikandengan seksama maka pada akhirnya secara sederhana metode sejarah lisan dapatdipahami sebagai sebuah cara penelitian sejarah, dengan wawancara yang direkamdalam sebuah alat rekam sebagai ciri utamanya, serta dimaksudkan untuk menggalidan memperoleh data yang semaksimal mungkin dari pengkisah, tentang suatuperistiwa, kejadian, atau hal-hal khusus yang pernah dilihat, dirasakan, dipikirkan, ataudialaminya secara langsung. Dilihat dari segi bentuk pertanyaannya, wawancara yangdimaksudkan tidak pelak lagi adalah wawancara terbuka (open interview) danwawancara langsung.

••

Page 21: 01.kover-lisan edit.jpg

wawancara langsung.

Tahapan Kerja

Sebagai sebuah cara penelitian sejarah, sebagaimana halnya dengan metodesejarah, metode sejarah lisan pun pada dasarnya mengenal beberapa tahapan kerja.Namun, secara garis besar tahapan kerja dalam metode sejarah lisan dapatdikelompokan dalam tiga tahapan kerja utama. Pertama, tahapan persiapan. Kedua,tahapan pelaksanaan. Ketiga, tahapan pembuatan indeks dan transkripsi. Ketigatahapan kerja tersebut tentunya di dalamnya mengandung tahapan-tahapan kegiatanyang lebih spesifik sesuai dengan kebutuhan sebuah penelitian.

Pembagian tahapan kerja metode sejarah lisan ke dalam tiga tahapan kerjabukanlah tanpa maksud. Trikotomi tersebut tidak lain ditempuh untuk memudahkanupaya penggalian sejarah lisan. Betapapun, mengingat tampilan utama metode sejarahlisan adalah wawancara yang direkam dalam sebuah alat rekam, seringkali metodesejarah lisan dipandang sebelah mata. Timbul anggapan dan kesan bahwa wawancaradalam metode sejarah lisan sama dan sebangun dengan wawancara dalam kegiatanjurnalistik. Jadi, bisa kapan saja, dimana saja, siapa saja, dan pelaksanaannya sangatterbuka kemungkinan bagi timbulnya wawancara yang bersifat spontanitas. Olehkarenanya, wawancara dalam metode sejarah lisan dipandang sebagai wawancarasebagaimana umumnya berlaku dalam dunia jurnalistik.

Realitas penyamaan pemahaman tentang tampilan wawancara dalam sejarahlisan dengan wawancara dalam dunia jurnalistik baru akan benar-benar berhentimanakala dilakukan penelaahan secara seksama terhadap perangkat metode sejarahlisan. Dengan kata lain pula, pemahaman yang baik tentang metode sejarah lisan secaraotomatis akan mampu meluruskan pemahaman yang mungkin keliru tentang tampilanwawancara dalam metode sejarah lisan. Wawancara dalam metode sejarah lisan adalahtidak sama dan sebangun dengan wawancara dalam dunia jurnalistik. Dalam batas-batas tertentu, wawancara dalam dunia jurnalistik dapat dikatakan memiliki tampilanyang jauh lebih praktis dibanding dengan tampilan wawancara dalam metode sejarahlisan.

Lebih dari itu, tidak sebagaimana halnya wawancara dalam metode sejarahlisan, wawancara dalam dunia jurnalistik setidaknya terikat oleh dua tuntutan(Atmakusumah, 1982). Pertama, ketergesa-gesaan karena waktu dirasakan sangatsempit, terutama untuk mengejar deadline (batas waktu) penulisan dan penerbitan.Seringkali ketika timbul gagasan untuk mengadakan wawancara maka pelaksanaanwawancaranya itu sendiri harus dilakukan sesegera mungkin, bisa keesokan harinya,hari saat gagasan tersebut muncul atau bahkan saat itu juga, segera setelah gagasanwawancara muncul. Bila tidak dilakukan sesegera mungkin, bisa jadi permasalahanyang hendak diungkapkan melalui wawancara menjadi basi atau tidak lagi aktual.Kedua, realitas bahwa wawancara yang hendak diangkat dalam dunia jurnalistik bukanditujukan untuk suatu kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai minat tertentupula dan dengan tingkat pengetahuan yang sudah dapat dipastikan tetapi haruslahdiupayakan mampu menarik perhatian seluruh golongan masyarakat pembaca,terutama mereka yang menjadi pendukung utama penerbitan, baik sebagai pelangganmaupun pembeli eceran.

••

Page 22: 01.kover-lisan edit.jpg
Page 23: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB VITAHAPAN PERSIAPAN

Tahapan persiapan sebagai tahapan kerja pertama dalam metode sejarah lisan

memainkan peranan yang sangat signifikan. Baik tidaknya persiapan yang dilakukanakan menentukan sukses tidaknya kegiatan penggalian sejaran lisan yang akandilakukan. Oleh karenanya, persiapan yang matang sangat diperlukan agar kegiatanpenggalian sejarah lisan yang dilakukan dapat mencapai hasil yang optimal. Banyakhal yang tentunya perlu dilakukan dalam tahapan kerja persiapan ini, namun demikianbila ditelaah dengan seksama setidaknya ada delapan langkah kegiatan yang perlumendapat prioritas perhatian. Kedelapan langkah kegiatan tersebut, meliputi,perumusan topik penelitian, penetapan judul penelitian, pembuatan kerangkapenelitian, pembuatan kendali wawancara, inventarisasi dan seleksi pengkisah, kontakdengan pengkisah, pengenalan lapangan, dan persiapan alat rekam. Urut-urutanlangkah kegiatan yang akan diuraikan di bawah ini tidaklah bersifat kaku, bisa jadikarena pertimbangan situasi dan kondisi, langkah kegiatan yang satu lebihdidahulukan dibanding langkah kegiatan lainnya.

Perumusan Topik Penelitian

Sebagai langkah kegiatan pertama, perumusan topik penelitian dapat dikatakanmenempati posisi strategis. Pada dasarnya sebuah kegiatan penggalian sejarah lisanbaru dapat dilakukan dengan baik manakala telah diperoleh kejelasan tentang topikyang akan diteliti. Tanpa kejelasan tentang topik penelitian, bisa jadi kegiatanpenggalian sejarah lisan akan berjalan tanpa arah. Untuk menentukan topik penelitian,setidaknya ada empat pertimbangan yang perlu dilakukan. Pertama, manageable topic,yakni topik yang diteliti ada dalam jangkauan kemampuan. Setidaknya ada tiga halpenting yang perlu dipikirkan untuk mengetahui sebuah topik berada dalam jangkauankemampuan, yakni kemampuan intelektual, kemampuan finansial, dan kemampuanatau ketersediaan waktu.

Kemampuan intelektual berkaitan dengan kemampuan akademis peneliti didalam mengolah dan mengerjakan topik yang akan diteliti. Dengan demikian, sebuahtopik haruslah ditetapkan atau dipilih dengan satu keyakinan awal bahwa topiktersebut sangat mungkin diteliti karena sesuai dengan kapasitas intelektual yangdimiliki penggali sejarah lisan. Kemampuan finansial berbicara tentang kemampuanekonomi penggali sejarah lisan dalam mengolah dan menyelesaikan topik yang akanditeliti. Oleh karenanya, bila seandainya kemampuan ekonomi terbatas janganlahmencari topik yang sekiranya akan memerlukan adanya biaya perjalanan yang tinggiuntuk mendatangi tempat tinggal pengkisah atau pemilik sejarah lisan. Kemampuanatau ketersediaan waktu dipahami sebagai adanya kesesuaian antara waktu yangdimiliki penggali sejarah lisan dengan rentang waktu yang diperlukan untukmenyelesaikan penggalian sejarah lisan sebagaimana topik penelitian yang dipilih.Dengan demikian, bila waktu terbatas ada baiknya tidak memilih topik yang kira-kiraakan menuntut banyak wawancara dengan para pengkisah yang memiliki tingkatkesibukan kerja tinggi sehingga sulit dihubungi untuk mengadakan wawancara. Manadi antara ketiganya yang perlu ditempatkan pada prioritas pertimbangan pertama,tampaknya yang berkait erat dengan kemampuan intelektual.

Kedua, obtainable topic, yakni sumber (pengkisah) yang diperlukan untukmenggali sejarah lisan yang sesuai dengan topik yang telah dirumuskan masih hidupdan relatif mudah untuk dijangkau. Dengan demikian, dalam pertimbangan yang keduaini, haruslah dipikirkan dengan cermat dan cerdas bahwa topik tersebut sangatdimungkinkan digarap dengan sumber sejarah yang berupa sejarah lisan. Salah saturasionalisasi berpikir yang paling penting untuk menentukan tersedia tidaknya sumberyang memiliki sejarah lisan (pengkisah) adalah berkaitan dengan usia maksimalmanusia pada umumnya. Mengingat sejarah lisan merupakan pengetahuan yangdiperoleh dari tangan pertama, sudah jelaslah bahwa topik yang diteliti harus berada

••

Page 24: 01.kover-lisan edit.jpg

diperoleh dari tangan pertama, sudah jelaslah bahwa topik yang diteliti harus beradadalam kurun waktu yang masih memungkinkan sang pemilik peristiwanya masihhidup. Janganlah sampai terjadi, sebuah metode sejarah lisan dipaksakan untukmenggarap para pengkisah yang tidak sezaman dengan peristiwa yang tengah diteliti.Bila ini terjadi, kredibilitas sumber akan dipertanyakan secara tajam.

Ketiga, significance of topic, yakni topik cukup penting untuk diteliti.Pertimbangan ketiga dalam menentukan topik bisa jadi akan sangat relatif sekali,terutama manakala hal tersebut dikaitkan dengan orang lain di luar penggali sejarahlisan. Kegiatan penggalian sejarah lisan dengan topik A bisa dianggap penting olehseseorang atau suatu kelompok tetapi juga sebaliknya bisa dianggap tidak penting olehorang lain atau kelompok lain. Oleh karenanya, untuk mengukur penting tidaknyasuatu topik bukanlah merupakan hal yang mudah. Untuk menyikapi hal ini, salah satutolok ukur yang dapat digunakan dalam penggalian sejarah lisan adalah berkait dengankeudzuran usia dari para pemilik sejarah lisan. Bila suatu peristiwa sejarah dipandangsemakin sedikit menyisakan sumber lisan yang berupa sejarah lisan dapat kiranyadiberi prioritas untuk lebih dahulu digarap. Di luar itu, pengukuran kepentingan topikdalam penggalian sejarah lisan dapat pula dilihat dari nilai rekonstruksi yang akandihasilkan. Bila sebuah rekonstruksi sejarah melalui sejarah lisan akan mampumencerahkan pemahaman sejarah masyarakat tentang suatu peristiwa yang tengahmenjadi bahan pembicaraan atau masih gelap alurnya bisa pula kiranya dikedepankanuntuk diberi prioritas.

Keempat, interested topic, yakni topik menarik untuk diteliti. Pertimbangankeempat dalam memilih topik ini benar-benar diarahkan kepada ketertarikan penelititerhadap topik yang dipilihnya. Dengan kata lain, peneliti haruslah memilikiketertarikan yang besar terhadap topik yang dipilihnya. Dengan adanya ketertarikanpeneliti terhadap topik yang dipilihnya diharapkan peneliti dapat bekerja dengannyaman dan sepenuh hati saat melakukan penggalian sejarah lisan. Suatu topik yangdipilih dengan keterpaksaan atau karena keinginan orang lain bisa jadi tidak akanmenghasilkan penggalian sejarah lisan yang optimal.

Mana di antara keempat pertimbangan topik di atas yang perlu diberi prioritas,bisa jadi akan berbeda bagi setiap orang atau akan sangat relatif sekali. Namundemikian, kalaulah diperlukan adanya skala prioritas maka prioritas pertama dan keduayang perlu dipertimbangkan dalam memilih topik adalah adanya ketertarikan yang kuatterhadap topik yang diteliti serta topik tersebut berada dalam jangkauan kemampuan,khususnya kemampuan intelektual atau akademis.

Penetapan Judul Penelitian

Setelah topik berhasil dirumuskan dan ditetapkan, langkah selanjutnya adalahmenetapkan judul bagi penelitian yang dipilih. Bila topik diibaratkan sebagai judulbesar maka judul itu sendiri dapat diibaratkan sebagai bentuk yang lebih spesifik daritopik. Dengan kata lain, judul adalah bentuk yang lebih rinci dan jelas tentang materiyang akan diteliti. Berkaitan dengan judul, ada baiknya judul terdiri dari dua variabelyang saling berkaitan, seperti Dampak Kehadiran Perguruan Tinggi di Jatinangorterhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar atau Respon Mahasiswaterhadap Kehadiran Taman Bacaan di Jatinangor.

Pemahaman Masalah

Memahami masalah yang akan diteliti sebagaimana tercermin dalam judulpenelitian perlu dilakukan agar sebelum penggalian sejarah lisan dilakukan, penggalisejarah lisan telah memiliki bekal awal tentang peristiwa atau materi yang akanditelitinya. Upaya memahami masalah dapat dilakukan melalui pendekatankonvensional dan pendekatan non konvensional. Pendekatan konvensional dilakukandengan melacaknya terlebih dahulu melalui sumber-sumber tertulis, baik yang ada dilembaga-lembaga kearsipan maupun perpustakaan-perpustakaan. Pendekatan nonkonvensional dilakukan dengan melacak materi atau peristiwa yang akan ditelitimelalui internet. Media internet menyediakan banyak website yang sarat denganinformasi. Satu di antaranya adalah www.google.com. Dengan memasukan informasiyang diperlukan dalam search engine ini, dalam waktu yang tidak terlalu lama akandiperoleh kejelasan berkaitan dengan sumber yang tersedia atau informasi yang

••

••

Page 25: 01.kover-lisan edit.jpg

diperoleh kejelasan berkaitan dengan sumber yang tersedia atau informasi yangdiinginkan berkaitan dengan peristiwa atau materi yang hendak digali. Mana di antarakedua pendekatan ini yang perlu dikedepankan, tampaknya akan lebih baik bilamengedepankan pendekatan nonkonvensional terlebih dahulu.

Pembuatan Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian bagi penggalian sejarah lisan penting untuk dibuat karenadapat menjadi petunjuk tentang informasi sejarah lisan yang diperlukan. Seberapabanyak dan seberapa dalam. Kerangka penelitian sebagai penjabaran lebih lanjut darijudul yang telah ditetapkan akan dapat memberi penjelasan yang lebih rinci tentanginformasi sejarah lisan apa yang diperlukan dan penting untuk digali. Dengandemikian, melalui kerangka penelitian akan dapat diperoleh kejelasan tentang jenisinformasi sejarah lisan yang perlu digali.

Pembuatan Kendali Wawancara

Berbeda dengan kerangka penelitian, yang memiliki fungsi sebagai petunjukseputar informasi sejarah lisan yang diperlukan, kendali wawancara memiliki fungsisebagai alat pancing untuk memperoleh informasi sejarah lisan sebagaimana yangdiinginkan. Dengan demikian, kendali wawancara selalu memiliki keterkaitan eratdengan kerangka sementara. Apa yang sudah diuraikan dalam kerangka sementarakemudian dijabarkan lebih lanjut dalam kendali wawancara.

Tampilan kendali wawancara sebagai penjabaran lebih lanjut dari kerangkasementara tidak lain berupa daftar pertanyaan. Penting kiranya untuk diperhatikan,pertanyaan-pertanyaan yang dimuat dalam kendali wawancara haruslah dibuatsesederhana mungkin tetapi jelas dan mudah dipahami. Terlebih bila pertanyaan-pertanyaan tersebut ditujukan kepada para pemilik sejarah lisan yang berasal darikomunitas masyarakat yang sederhana dan kurang atau bahkan tidak terdidik. Untukitu semua, sudah selayaknya bila pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dimulai dengan5 W (who,what,when, where, why) dan 1 H (how). Selanjutnya, agar dapat diperolehinformasi sejarah lisan yang optimal maka haruslah dihindarkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat tertutup atau pertanyaan-pertanyaan yang hanya memerlukanjawaban YA dan TIDAK.

Inventarisasi dan Seleksi Pengkisah

Gambaran awal tentang keberadaan para pemilik sejarah lisan atau pengkisahsebenarnya sudah harus diperoleh sejak topik dirumuskan. Oleh karenanya, padalangkah kegiatan ini, inventarisasi dipahami sebagai proses penyusunan daftarpengkisah sesuai dengan derajat perannya dalam peristiwa sejarah serta perluasandaftar pengkisah yang akan digali sejarah lisannya. Akan menjadi baik kiranya biladaftar pengkisah ini dibuat sebanyak mungkin. Adapun yang dimaksud pengkisah(interviewee) adalah saksi hidup yang menceriterakan kesaksiannya melaluiwawancara yang direkam dalam alat rekam. Kesaksian lisan dari tangan pertama, bisaberupa peristiwa tertentu yang dialami sendiri, dirasakan sendiri, didengar sendiri,dilihat sendiri, atau dipikirkan sendiri secara langsung oleh pengkisah.

Setelah inventarisasi dilakukan, maka dilakukanlah seleksi pengkisah. Seleksipengkisah yang paling sederhana menyangkut dua hal, pertama, usia. Seleksi usiadilakukan untuk mengetahui kesezamanan pengkisah dengan peristiwa yang akandigali sejarahnya. Untuk mudahnya, usia 15 tahun dapat digunakan sebagai usiaminimal yang seyogyanya dimiliki pengkisah saat sebuah peristiwa sejarah terjadi.Dengan demikian, bila pengkisah berceritera tentang peristiwa yang terjadi pada tahun1950, maka setidaknya si pengkisah haruslah orang yang kelahirannya pada tahun1935 atau sebelumnya. Selanjutnya, bila upaya penggalian sejarah lisan dilakukanpada tahun 2007 berarti pada tahun diadakannya penggalian sejarah lisan, usianyasetidaknya telah mencapai 72 tahun. Bila si pengkisah pada tahun 2007 baru berusia60 tahun atau lebih muda dari itu secara otomatis perlu dikesampingkan terlebihdahulu dari daftar pengkisah yang harus digali sejarah lisannya.

Seleksi kedua berkait dengan kesehatan mental. Kesehatan mental menjadipersyaratan penting selanjutnya yang perlu dimiliki pengkisah. Hal itu tidak sajaberkait dengan kemampuan untuk menyampaikan sejarah lisan tetapi juga berkait erat

••

••

••

Page 26: 01.kover-lisan edit.jpg

berkait dengan kemampuan untuk menyampaikan sejarah lisan tetapi juga berkait eratdengan kemampuan untuk mengingat dengan baik peristiwa-peristiwa sejarah terpilihyang ada di dalam memorinya. Dengan demikian, bila seorang pengkisah sudah jelas-jelas tidak sehat secara mental, mau tidak mau, ia harus dikeluarkan dari daftarpengkisah yang akan digali sejarah lisannya.

Di luar kedua hal tersebut, seleksi pengkisah dapat dilakukan sesuai dengankebutuhan penelitian maupun kemampuan peneliti, khususnya yang berkaitan denganfinansial dan waktu penelitian. Bila ditemukan cukup banyak pengkisah dengan peranyang kurang lebih sama, maka tidak salah kiranya bila prioritas diberikan kepadapengkisah yang mudah dijangkau tempat tinggalnya serta memiliki waktu yang relatifluang untuk diwawancarai. Sementara pengkisah yang tempat tinggalnya cukup jauhatau memiliki derajat kesibukan cukup tinggi dapat ditempatkan pada prioritas pilihanselanjutnya.

Kontak dengan Pengkisah

Setelah diperoleh daftar pengkisah terseleksi, langkah selanjutnya mengadakankontak dengan pengkisah. Kontak dengan pengkisah dimaksudkan untukmemperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan tujuan, serta sekaligus membuatjanji wawancara. Ada baiknya sebelum kontak dilakukan, pewawancara berupayamengenal terlebih dahulu profil calon pengkisah, baik melalui orang-orang yangmengetahui tentang jati diri pengkisah maupun melalui bacaan-bacaan (Terry Bigalke,1982). Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengadakan kontak awal denganpengkisah, mulai dari datang langsung ke tempat tinggal pengkisah, mengirim surat,berkomunikasi lewat telepon rumah atau handphone, hingga berkomunikasi melaluiSMS atau e-mail. Kesemua pilihan untuk membuat kontak dengan pengkisah tersebutsifatnya tentu sangat kondisional sekali. Faktor etika dan kesantunan perludipertimbangkan manakala akan menentukan media komunikasi untuk mengontakpengkisah. Di antara kesemua pilihan, bila pengkisah yang akan dikontak telahberumur atau lebih tua dari peneliti ada baiknya mendatangi langsung kediamanpengkisah menjadi prioritas pilihan pertama.

Kontak awal dengan pengkisah pada dasarnya akan turut menentukan suksestidaknya penggalian sejarah lisan yang akan dilakukan. Bila bahasa iklan ada yangberbunyi, “kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda”, maka kontakawal dengan pengkisah pun harus dilakukan secara hati-hati agar dapat menimbulkankesan awal yang baik dari pengkisah. Untuk mencapai itu semua, faktor penampilandan kesantunan dalam berbicara benar-benar harus diperhatikan dengan baik. Haruslahdiupayakan bahwa kontak awal tersebut dapat menimbulkan rasa nyaman dan senangpada pengkisah.

Pentingnya menyampaikan voorspel atau proloog, yang di antaranya berupamaksud dan tujuan diadakannya wawancara kepada calon pengkisah, memiliki maknapenting untuk mengetahui tampilan awal calon pengkisah. Bisa jadi ada calonpengkisah yang bersikap apriori dan menolak untuk diwawancarai. Bisa jadi ada calonpengkisah yang bersedia untuk diwawancarai tetapi dalam ungkapannya bercampurdengan rasa enggan. Bisa jadi ada calon pengkisah yang nerveus, baik karena tidakbiasa diwawancarai atau karena kondisi fisiknya. Bisa jadi ada calon pengkisah yangmau berbicara tetapi sikapnya tampak tertutup, atau bisa jadi ada calon pengkisah yangseperti ketakutan karena baginya diwawancarai itu tidak jauh berbeda dengandiinterogasi atau diadili (verhoor) (Harsono Tjokroaminoto, 1982). Denganmengetahui profil pengkisah sejak awal diharapkan pewawancara bisa sejak awal pulamempersiapkan diri dengn berbagai kemungkinan yang terjadi, termasukmempersiapkan kiat-kiat khusus sesuai dengan profil calon pengkisah yag akan digalimemori sejarah lisannya.

Pengenalan Lapangan

Pengenalan lapangan di sini dimaksudkan sebagai upaya mengenal medantempat wawancara akan dilakukan. Ada dua hal yang menjadi dasar perlunya

••

••

Page 27: 01.kover-lisan edit.jpg

tempat wawancara akan dilakukan. Ada dua hal yang menjadi dasar perlunyapengenalan lapangan di lakukan. Pertama, bila kontak awal dengan pengkisahdilakukan dengan tidak mendatangi langsung tempat tinggal pengkisah. Kedua, bilaternyata dari kontak awal yang dilakukan, pengkisah memutuskan bahwa wawancaratidak diadakan di tempat tinggal pengkisah tetapi di tempat lain yang telah ditentukan,misalnya di kantor tempat pengkisah bekerja atau bila pengkisah seorang petani,wawancara diadakan di pematang sawah atau di kebun, atau bila pengkisah seorangnelayan, wawancara diadakan di tempat pelelangan ikan atau di atas perahu. Dalam situasi seperti itu, pengenalan lapangan perlu dilakukan agar pada saat wawancaraakan dilakukan, peneliti sudah mengetahui dengan baik tempat yang akan dituju,termasuk memperkirakan waktu tempuh yang diperlukan agar si penggali sejarah lisandapat terhindar dari keterlambatan tiba di lokasi saat wawancara akan dilakukan.

Di luar itu, pengenalan lapangan juga penting dilakukan untuk mengetahuidengan baik kondisi prasarana dan sarana di lapangan. Tampaknya menjadi hal yangsepele untuk sekedar mengetahui ada tidaknya sarana listrik di tempat tinggalpengkisah atau kemudahan untuk mendapati toko atau warung yang menjual baterei,tetapi dalam prakteknya di lapangan pengetahuan yang sederhana tersebut akansemakin mematangkan langkah persiapan yag dilakukan. Ketiadaan listrik di tempattinggal pengkisah akan membuat peneliti lebih siap dengan baterei cadangan karenaakan menjadi energi satu-satunya untuk mengoperasionalkan alat rekam.

Pengenalan Alat Rekam

Fungsi alat rekam bagi seorang penggali sejarah lisan dalam kegiatanpenggalian sejarah lisan tidak jauh berbeda dengan fungsi senjata bagi seorang prajurityang akan turun ke medan perang. Untuk itu, jelaslah merupakan suatu conditio sinequa non bagi penggali sejarah lisan untuk mempersiapkan dengan baik alat rekambeserta segala perangkat pendukungnya, seperti kaset dan baterei.

Alat rekam yang baik adalah alat rekam yang jernih daya tangkapnya,bentuknya sederhana, mudah dibawa, dan untuk menjalankannya dapat menggunakanenergi listrik maupun baterei. Sangat dianjurkan agar sebelum memulai menggalisejarah lisan, penggali sejarah lisan mencoba terlebih dahulu alat rekam tersebut dalamberbagai posisi dan jarak. Tujuannya, untuk mengetahui kelaikan alat rekam tersebut,sekaligus untuk mengetahui seberapa jauh daya tangkap alat rekam tersebut.

Unsur lain yang harus diperhatikan adalah kaset yang akan digunakan untukmerekam hasil penggalian sejarah lisan. Saat ini banyak merk kaset yang beredar dipasaran. Sebagai panduan sederhana, untuk mengetahui kaset yang baik yang akandigunakan untuk merekam dapat dilihat dari warna pitanya. Umumnya, semakin gelapwarna pitanya semakin memperlihatkan tingginya kualitas kaset.

Saat ini, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, banyak sekalimodel alat rekam, termasuk berbagai jenis voice recorder yang bentuknya sangatsimpel. Namun demikian, untuk kepentingan penggalian sejarah lisan akan lebih baikbila digunakan mini tape recorder dengan kaset ukuran standar. Penggunaan minitape recorder dengan kaset ukuran standar ini tidak hanya akan memudahkanpemanfaatan hasil penggalian sejarah lisan manakala akan digunakan sebagai sumbersejarah tetapi juga akan memudahkan penyimpanan hasil penggalian sejarah lisanmanakala akan disimpan sebagai dokumen sejarah.

••

Page 28: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB VIITAHAPAN PELAKSANAAN

Berbagai langkah persiapan yang dilakukan dalam metode sejarah lisan secara

implisit memperlihatkan tentang adanya perbedaan mendasar antara kegiatanwawancara yang diadakan untuk kepentingan penggalian sejarah lisan denganwawancara untuk kegiatan jurnalistik sebagaimana umumnya dilakukan parawartawan. Wawancara untuk kegiatan jurnalistik meskipun sebagaimana wawancarauntuk kepentingan sejarah lisan tetap memerlukan persiapan tetapi tentu tidak sedetailwawancara untuk kepentingan sejarah lisan. Lebih dari itu wawancara jurnalistiksangat memungkinkan untuk diadakan secara mendadak tanpa persiapan karena seringkali berkaitan dengan kepentingan aktualitas berita. Demi aktualitas berita bisa jaditerjadi pergeseran sasaran berita yang berarti juga mengganti orang yang harusdiwawancarai. Kondisi tersebut jelas sangat kecil kemungkinan terjadi pada programwawancara untuk kepentingan penggalian sejarah lisan. Perbedaan antara wawancarauntuk kepentingan penggalian sejarah lisan dengan wawancara untuk kepentinganjurnalistik menjadi lebih tampak lagi secara eksplisit manakala memasuki tahapanpelaksanaan.

Sebagaimana dalam tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan kegiatanpenggalian sejarah lisan juga dapat dibagi lagi dalam beberapa langkah kegiatan. Biladisederhanakan, langkah-langkah kegiatan tersebut terbagi atas lima langkah kegiatanyang meliputi, pembuatan label wawancara, pembukaan wawancara, menjaga suasanawawancara, membuat catatan, dan mengakhiri wawancara.

Membuat Label Wawancara

Fungsi label dalam wawancara sejarah lisan pada dasarnya tidak jauh berbedadengan fungsi keterangan pengarang, tahun, judul, tempat terbit, dan penerbit yang adapada sebuah buku. Oleh karena itu, jelaslah pembuatan label ini mutlak harusdilakukan dalam kegiatan penggalian sejarah lisan. Label wawancara untuk kegiatanpenggalian sejarah lisan ini dibuat pada awal dan akhir wawancara, ada yangberbentuk lisan dan ada pula yang berbentuk tulisan. Adapun keterangan yang termuatdalam label wawancara, meliputi, nama pengkisah, nama pewawancara, tanggal dantempat wawancara, waktu wawancara, dan topik atau judul penelitian.

Untuk memudahkan, ada empat jenis label wawancara yang perlu dibuat olehpewawancara dalam kegiatan penggalian sejarah lisan. Pertama, label yang terekamdalam kaset pada awal wawancara. Sebagai contoh, label yang terekam dalam kaset inimisalnya berbunyi, “Pada hari ini, Selasa tanggal 24 Mei 2005, saya, Haidir Aulia,mengadakan wawancara dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Wawancara inidiadakan di tempat kediaman pengkisah di Cikeas berkaitan dengan penelitian yangberjudul, ‘Respon Para Menteri Kabinet terhadap Dekrit Presiden 22 Juli 2001’.Wawancara dimulai pada pukul 16.00 WIB. Adapun isi wawancara sebagai berikut”.Kedua, label yang terekam dalam kaset pada akhir wawancara. Bunyi label wawancaradi akhir wawancara misalnya, “demikian wawancara dengan Susilo BambangYudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul 17 .13” atau “demikian wawancarapertama dengan Susilo Bambang Yudhoyono, wawancara ini berakhir pada pukul17.13. Wawancara selanjutnya direncanakan akan berlangsung hari Selasa tanggal 31Mei 2005”.

Dua label wawancara lainnya berbentuk tulisan, yakni yang tertulis di kulitkaset dan yang tertulis di kertas pembungkus kaset. Kedua label wawancara yangberbentuk tulisan ini berisi keterangan tentang topik atau judul penelitian, namapengkisah, nama pewawancara, tempat wawancara, tanggal wawancara, waktuwawancara, dan isi kaset, misal,Judul Penelitian : Respon Para Menteri Kabinet terhadap Dekrit Presiden

22 Juli 2001Nama Pengkisah : Susilo Bambang YudhoyonoNama Pewawancara : Haidir Aulia

••

Page 29: 01.kover-lisan edit.jpg

Nama Pewawancara : Haidir AuliaTanggal Wawancara : 24 Mei 2005Waktu Wawancara : 16.00 – 17.13 WIBTempat Wawancara : Cikeas, BogorIsi Kaset : Sisi A dan Sisi BBerbeda dengan label wawancara yang berbentuk lisan, kedua label wawancara yangberbentuk tulisan ini di samping berfungsi untuk memberikan identitas pada kasethasil penggalian sejarah lisan juga berfungsi untuk memudahkan melacak identitassebuah kaset manakala akan dilakukan pengolahan hasil penggalian sejarah lisan.

Mengenai waktu pembuatan label wawancara yang berbentuk lisan ada duakemungkinan pilihan, yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.Pertama, label dibuat sebelum wawancara dilakukan atau sebelum pewawancara tiba ditempat wawancara. Dengan demikian, label dibuat sebelum pewawancara berhadapandengan pengkisah. Kelebihan pembuatan label wawancara seperti ini umumnya akanmembuat suasana wancara lebih cepat terjaga dengan baik atau setidaknya tidak akanmengganggu jalannya wawancara karena tidak terjadi kekosongan waktu antarapewawancara dengan pengkisah. Kelemahannya, label akan perlu diperbaiki manakalawaktu wawancara meleset atau berbeda dari waktu yang dijanjikan atau bahkan harusdiganti sama sekali manakala ternyata wawancara dibatalkan secara mendadak olehpengkisah karena satu dan lain hal.

Kedua, label wawancara langsung dibuat menjelang wawancara akandilakukan. Pembuatan label wawancara dengan cara kedua ini memiliki kelebihandalam hal akurasi waktu serta yang lebih penting lagi kepastian tentang pelaksanaanwawancara. Kelemahannya, biasanya akan terjadi kekosongan waktu beberapa saatantara pewawancara dan pengkisah saat pewawancara membuat label wawancara kedalam kaset. Bila tidak pandai menyikapinya, kekosongan waktu ini dapatmengganggu perjalanan wawancara yang akan dilakukan.

Pembukaan Wawancara

Bagian terpenting dari tahapan pelaksanaan metode sejarah lisan adalah saatpembukaan wawancara. Seyogyanya pembukaan wawancara dibuat sebaik mungkinagar mampu memberi kesan yang nyaman bagi pengkisah. Oleh karenanya, sangatdisarankan kalau pembukaan wawancara dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan yangsantai, ringan, dan menyenangkan bagi pengkisah, misalnya tentang riwayat hiduppengkisah, termasuk di dalamnya kenangan-kenangan manis pengkisah semasa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Sasaran utama pembukaan wawancara adalah untukmenyegarkan ingatan pengkisah akan peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapatdi dalam memorinya. Upaya lain dapat pula dilakukan dengan mengadakan dialogsantai terlebih dahulu sebelum wawancara diadakan.

Di luar itu, agar pembukaan wawancara dapat berjalan dengan baik, hendaklahpewawancara memperhatikan dengan seksama penampilannya. Sebagaimanadikemukakan mantan pengkisah, Harsono Tjokroaminoto (1982), appearance(penampilan) pewawancara pada pandangan pertama oleh yang akan diwawancaraiakan memiliki arti signifikan bagi pelaksanaan wawancara selanjutnya. Penampilanpewawancara yang arrogant (sombong, congkak, angkuh), yang tidak simpatik, ataupenampilan yang seakan-akan ingin ngrogohi rempelo-nya calon yang akandiwawancarai, otomatis akan memantulkan efek yang afstotend (penolakan,penjarakan). Iklim yang demikian apriori itu sudah pasti tidak akan bisa favorable(menyenangkan,nyaman) untuk pelaksanaan wawancara selanjutnya. Sebaliknya,sikap manis, murah senyum, dan di sana sini diselingi humor akan banyak menunjangke arah suksesnya suatu wawancara.

Menjaga Suasana Wawancara

Setelah pembukaan wawancara berjalan dengan lancar dan baik, hal lain yangharus segera diperhatikan adalah menciptakan rapport atau suasana psikologis beruparasa saling percaya dan keterbukaan hubungan antara pewawancara dan pengkisah. Untuk itu, berikan kesempatan kepada pengkisah untuk memberikan informasi danpengetahuannya secara panjang lebar dan hindarkan kesan dalam diri pengkisahbahwa seolah-olah ia tengah diinterogasi. Rapport biasanya akan mudah tercipta bila

••

Page 30: 01.kover-lisan edit.jpg

bahwa seolah-olah ia tengah diinterogasi. Rapport biasanya akan mudah tercipta bilaantara pewawancara dan pengkisah sebelumnya telah saling mengenal, misalnyakarena hubungan kerja atau hubungan pertemanan. Dalam kondisi seperti itu,wawancara pun biasanya akan semakin hidup karena dapat diisi dengan pembicaraanyang bersifat pleasantries, yakni kelakar-kelakar yang sebagian merupakan nostalgiaterhadap pengalaman pada masa silam (Atmakusumah, 1982). Terlepas dari adatidaknya hubungan personal yang telah terbangun antara pewawancara dan pengkisah,untuk membangun rapport yang baik, hendaklah diperhatikan hal-hal sebagai berikut,

Pertanyaan disampaikan satu per satu dan mulailah pertanyaan dengan kata-kata siapa, apa, dimana, kapan, mengapa, atau bagaimana (5W, 1H).Usahakan pertanyaan tidak terlalu panjang apalagi berputar-putar sehinggamembingungkan pengkisah. Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yangmudah dipahami dan mudah ditangkap oleh pengkisah, terutama bilapengkisah berasal dari lingkungan masyarakat yang sederhana dan kurangterdidik.Jangan sekali-kali memotong pembicaraan pengkisah, termasuk apabilapewawancara menilai bahwa peristiwa yang diceriterakan pengkisah tidakbenar, baik menyangkut tempat peristiwanya, tokoh peristiwa, ataupun waktuterjadinya peristiwa. Dengan kata lain, jangan menggunakan wawancara untukmempertontonkan pengetahuan pribadi atau kehebatan pewawancara.Jadilah pendengar yang baik selama pengkisah menyampaikan keterangannyadan berikanlah “pesan” yang jelas kepada pengkisah bahwa pewawancarasangat tertarik dengan keterangan-keterangannya . “Pesan” ketertarikan dapatberbentuk bahasa tubuh atau komentar lisan.Apabila keterangan pengkisah dipandang kurang jelas, jangan segan-seganuntuk bertanya kembali untuk memperjelas pemahaman atas jawabanpengkisah.Bersikaplah fleksibel dan jangan terpaku hanya pada pertanyaan-pertanyaanyang termuat dalam kendali wawancara, terutama manakala ditemukanketerangan-keterangan baru dari pengkisah tentang topik yang tengah diteliti.Kalau tidak terpaksa sekali, hindarkan kehadiran pihak ketiga selamawawancara berlangsungHindarkan keterangan off the record yang bersifat “abadi”. Artinya, kalaupunpengkisah menyatakan bahwa keterangannya bersifat off the record makahendaklah diupayakan bahwa hal tersebut tidak berlangsung selamanya tetapiada kurun waktu, misalnya sifat off the record-nya hanya selama pengkisahmasih hidup. Setelah pengkisah meninggal, informasi yang diberikannyamenjadi terbuka untuk dipublikasikan.Hal lain yang tidak kalah penting yang perlu dilakukan dalam tahapan ini

adalah berupaya agar pengkisah mau dan dapat mengeluarkan sebanyak mungkinpengetahuannya tentang peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang tersimpan dalammemorinya. Seringkali untuk mengeluarkan ingatan dari diri seseorang tidaklahsemudah yang dibayangkan. Kadang-kadang diperlukan berbagai alat pembantupengingat (mnemonic device) untuk memancingnya. Bisa jadi pewawancara perlumengawalinya dengan menceriterakan terlebih dahulu peristiwa yang hendakditanyakan sehingga si pengkisah dapat menempatkan ingatannya pada setting yangsesuai. Cara lain, dapat ditempuh dengan mengajukan pertanyaan yang dirumuskansecara “salah”. Apapun upaya pancingan yang dilakukan untuk membuat pengkisahmampu mengeluarkan ingatannya, semuanya tidak akan berarti banyak bila rapportbelum bisa diwujudkan.

Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan rapport, ada persyaratan khususyang sebenarnya perlu dimiliki pewawancara. Menurut Willa K. Baum (1982),seorang pewawancara (interviewer) haruslah orang yang mampu duduk tenang danmendengarkan, yang bersedia mendengarkan pendapat yang berlawanan denganpendapatnya tanpa merasawajib untuk menyanggah atau mendidik pengkisah, yangtidak takut untuk sesekali mengajukan pertanyaan atau komentar menuntun pengkisah,yang cukup tegas untuk mengakhiri wawancara tepat pada waktunya, serta menjagaagar wawancara tersebut tetap berlangsung dalam batas-batas penyelidikan sebagaiyang telah direncanakan semula, yang bersikap cukup awas dan berpengetahuancukup luas untuk mengetahui apabila pengkisah menyinggung subyek yang tidakdirencanakan namun sangat berharga, dan yang mampu menelusuri subyek baru

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Page 31: 01.kover-lisan edit.jpg

direncanakan namun sangat berharga, dan yang mampu menelusuri subyek barutersebut dengan pertanyaan-pertanyaan. Dengan persyaratan tersebut, secara otomatisada dua karakter yang tidak boleh dimiliki seorang pewawancara, pertama, orang yangselalu merasa wajib untuk berbicara. Kedua, orang yang selalu merasa wajib untukmengatur orang lain.

Ketatnya persyaratan yang harus dimiliki pewawancara tidak lain karenapengkisah yang akan dihadapi bisa jadi tampil dalam berbagai profil yangkesemuanya memerlukan kecermatan, kesabaran, dan kecerdasan pewawancara.Seseorang yang memiliki reputasi “besar mulut” tentu saja pada tahap awal bisadiperkirakan memiliki tingkat reliability yang lebih rendah dari seseorang yang umumdikenal sebagai orang yang jujur. Untuk itu, perlu ada penyikapan yang tepat dariseorang pewawancara untuk menghadapinya. Demikian pula bila dihadapkan denganberbagai profil pengkisah lainnya, seperti pengkisah yang memiliki sifat sombong,pendiam, hati-hati, rendah diri hingga pengkisah yang selalu curiga dengan maksudorang lain.

Membuat Catatan

Pembuatan catatan sewaktu wawancara berlangsung di antaranya dimaksudkanuntuk mencatat kata-kata yang dinilai kurang jelas atau kata-kata yang dianggappenting, misalnya mengenai nama orang, nama tempat, atau istilah-istilah tetentu yangbersumber pada bahasa asing atau bahasa daerah setempat. Adapun koreksi terhadapkata-kata yang dicatat tersebut dilakukan segera setelah wawancara selesai atau biladipandang perlu dapat ditanyakan sewaktu wawancara masih berlangsung.

Di luar itu, pembuatan catatan juga perlu dilakukan untuk menyikapikemungkinan munculnya pertanyaan baru di luar yang tertulis dalam kendaliwawancara. Sewaktu pengkisah menyampaikan jawabannya bisa jadi di dalamnyaterdapat keterangan menarik yang perlu dipertanyakan lebih lanjut karena berkaitanlangsung dengan penelitian yang telah dilakukan. Bila itu terjadi, maka hal itu dapatditulis terlebih dahulu dalam kertas catatan. Pertanyaan baru sewaktu wawancaraberlangsung biasanya baru muncul apabila pewawancara cukup cermat dan cerdasdalam menangkap keterangan pengkisah.

Mengakhiri Wawancara

Keputusan untuk mengakhiri wawancara sangat ditentukan oleh kejelianpewawancara dalam memahami permasalahan serta dalam membaca suasanawawancara. Apabila data yang diperlukan dari pengkisah sudah memenuhi target yangdiinginkan hendaknya wawancara segera diakhiri untuk mencegah masuknyainformasi-informasi yang tidak relevan dengan topik atau judul penelitian dalam kaset.Demikian pula apabila pengkisah kelihatan sudah lelah atau banyak ngelantur dalammenuturkan kisahnya sebaiknya wawancara pun segera dihentikan untuk dilanjutkanpada waktu yang lain.

Berpijak pada pengalaman di lapangan, ada kalanya orang sanggup untukberbicara dengan penuh konsentrasi selama 3 jam terus mennerus atau bahkan lebihtetapi ada kalanya juga orang sudah merasa jenuh dan kehilangan konsentrasimanakala pembicaraan baru berlangsung kurang dari 45 menit. Oleh karenanya,sebagaimana dikemukakan Terry Bigalke (1982) dan Willa K. Baum (1982), waktumaksimum untuk sekali wawancara dalam kegiatan penggalian sejarah lisan adalah 1,5jam. Bila lebih dari itu, umumnya pengkisah dan juga pewawancara sendiri seringkalikehilangan konsentrasinya terhadap topik yang tengah digali sehingga kalaupundipaksakan tidak akan banyak hasil yang dapat diperoleh.

Kondisi apapun yang menjadi penyebab perlu diakhirinya wawancara, satu halyang penting, hendaklah pada saat wawancara akan diakhiri harus dilakukan dengancara yang sesantun mungkin. Terlebih apabila yang menjadi alasan perlunyawawancara diakhiri karena kondisi pengkisah yang terlihat sudah lelah atau seringngelantur dalam menyampaikan penjelasannya. Bila wawancara belum mencapai hasilyang diinginkan jangan lupa pula pada saat wawancara akan diakhiri ada kalimat yangdapat “mengikat” pengkisah untuk melakukan wawancara lanjutan pada waktu yangditentukan kemudian oleh pengkisah.

Sejalan pula dengan penjelasan dalam pembuatan label wawancara, jangan lupa

••

••

Page 32: 01.kover-lisan edit.jpg

pula untuk membuat label wawancara di akhir wawancara. Label wawancara di akhirwawancara contohnya sebagaimana terurai dalam penjelasan di depan. Keteranganyang terdapat di label wawancara pada akhir wawancara ini menjadi acuan untukmembuat label wawancara yang berbentuk tulisan.

Membuat Surat Pernyataan

Surat pernyataan wawancara perlu dibuat untuk memperkuat kredibilitas hasilpenggalian sejarah lisan sebagai sumber sejarah serta untuk memberi rasa aman padakedua belah pihak bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, sepertipemutarbalikan fakta oleh pewawancara maupun pengkisah ataupun pengingkarantelah memberikan keterangan tertentu oleh pengkisah. Oleh karenanya, agar aspeklegalitas hukum juga dapat terjaga dengan baik, surat pernyataan sebaiknya dibuat diatas kertas segel atau kertas bermeterai sesuai peraturan yang berlaku.

Surat pernyataan wawancara pada dasarnya dapat dibuat dalam dua model.Pertama, surat pernyataan yang dibuat segera setelah wawancara dilakukan. Dengandemikian, keterangan dalam pernyataannya hanya berisi keterangan bahwa pengkisahbenar-benar telah diwawancarai oleh pewawancara berkaitan dengan judul penelitianyang telah ditentukan, serta waktu dan tempat yang telah ditentukan pula. Kedua, suratpernyataan yang dibuat setelah transkripsi dibuat. Surat pernyataan model kedua inidibuat setelah pengkisah membaca dengan seksama hasil transkripsi wawancara.Selanjutnya apabila isinya sesuai dengan yang terekam dalam kaset, pengkisahmenandatangani transkripsi tersebut dan membuat surat pernyataan yang isinyaketerangan telah diwawancarai serta kebenaran bahwa hasil wawancara sesuai denganyang tertulis dalam hasil transkripsi.

Mana di antara kedua model tersebut yang akan dipilih, tentu sangatkondisional sekali sifatnya. Bila memungkinkan tentu jauh lebih baik bila kedua modelini dibuat sebagai tindakan berjaga-jaga. Model pertama biasanya ditempuh manakalapewawancara bertempat tinggal jauh dari tempat tinggal pengkisah atau manakalapengkisah tampak telah uzur usianya. Oleh karenannya untuk menghindarkanterjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, surat pernyataan langsung dibuat segerasetelah wawancara selesai dilaksanakan. Model kedua ditempuh manakalapewawancara dihadapkan pada situasi hubungan yang serba mudah dan aman denganpengkisah sehingga tidak akan sulit untuk menghubunginya. Tetapi bila diharuskanuntuk tetap memilih yang terbaik di antara keduanya, tentunya model kedua dapatmenjadi pilihan pertama yang dapat dikedepankan.

••

Page 33: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB VIIITAHAPAN PEMBUATAN

INDEKS DAN TRANSKRIPSI

Pembuatan indeks dan transkripsi dalam metode sejarah lisan dapat dikatakansebagai tahapan akhir proses penggalian sejarah lisan. Adapun tujuan pembuatanindeks dan transkripsi tidak lain untuk mempermudah penggunaan hasil penggaliansejarah lisan sebagai sumber sejarah. Kedudukan indeks dalam penelitian sejarahlisan dapat dikatakan hampir sama dengan kedudukan daftar isi pada sebuah buku.Sementara itu, pembuatan transkripsi dimaksudkan untuk mempermudah pengolahanhasil penggalian sejarah lisan. Dengan melakukan transkripsi, yang inti kegiatannyaberupa pengalihan bentuk lisan ke bentuk tulisan, proses pengolahan sejarah lisansebagai sumber sejarah diharapkan menjadi lebih mudah dan lebih cepat.

Pembuatan Indeks

Sejalan dengan fungsinya, pembuatan indeks haruslah diupayakan mampumemberi gambaran yang jelas dan utuh tentang isi kaset hasil penggalian sejarah lisan.Untuk itu, perlu ada penguraian yang cermat dan cerdas tentang isi hasil penggaliansejarah lisan ke dalam bagian-bagian tertentu, misalnya, bila penggalian sejarah lisanberupa wawancara dengan Susilo Bambang Yudhoyono tentang “Respon ParaMenteri Kabinet terhadap Dekrit Presiden 22 Juli 2001”, maka uraian di dalam indeksdapat terdiri dari, riwayat hidup pengkisah, masa pendidikan dasar, masa pendidikanmenengah, masa pendidikan militer, masa pengabdian sebagai militer, masapengabdian sebagai sipil, masa menjadi menteri kabinet, masa-masa krisis sebagaimenteri, sikap dan pandangan terhadap kebijakan presiden, dan dilema dalammenyikapi dekrit presiden.

Secara teknis, setidaknya ada dua alternatif pilihan dalam pembuatan indeks.Pertama, pembuatan indeks dengan berdasarkan pada pembagian waktu atau ke dalamsatuan menit dan jam. Jadi bentuknya misalnya, Sisi A, 00 riwayat hidup pengkisah,06 masa pendidikan dasar, 21 masa pendidikan menengah, 28 masa pendidikanmiliter, 34 masa pengabdian sebagai militer, 39 masa pengabdian sebagai sipil; Sisi B,00 masa menjadi menteri kabinet, 12 masa-masa krisis sebagai menteri, 27 sikap danpandangan terhadap kebijakan presiden, 33 dilema dalam menyikapi dekrit presiden.Kedua, pembuatan indeks dengan berdasarkan pada angka yang terdapat pada tape(tape counter). Umumnya setiap tape counter memiliki tiga digit angka. Dengandemikian, bila pembuatan indeks dilakukan dengan menggunakan tape counter makapembagiannya misalnya menjadi, 000 riwayat hidup pengkisah, 035 masa pendidikandasar, 079 masa pendidikan menengah, 177 masa pendidikan militer, 276 masapengabdian sebagai militer, 354 masa pengabdian sebagai sipil, dan seterusnya.

Mana di antara kedua pilihan teknis pembuatan indeks tersebut yang akandigunakan, sangat tergantung pada kondisi alat rekam serta kenyamanan pembuatindeks. Bila kondisi alat rekam tidak memiliki tape counter maka pilihan satu-satunyahanya menggunakan pembagian waktu, sedangkan bila alat rekam memiliki tapecounter berarti ada dua alternatif pilihan yang bisa dipilih. Di antara kedua pilihantersebut, tampaknya pilihan membuat indeks dengan berdasarkan tape counter dapatdijadikan sebagai pilihan pertama karena lebih praktis dan lebih cepat bila digunakanuntuk mengolah data hasil penggalian sejarah lisan.

Pembuatan Transkripsi

Kaset hasil penggalian sejarah lisan pada dasarnya sudah memadai untukdigunakan sebagai sumber sejarah. Namun, manakala berbicara tentang kemudahanuntuk mengolahnya maka pembuatan transkripsi mau tidak mau harus dikedepankansebagai jawabannya. Sejarah lisan tanpa transkripsi sering dikatakan sebagaikelemahan yang khas dari sejarah lisan, karena dipandang tidak praktis dalam

••

••

Page 34: 01.kover-lisan edit.jpg

kelemahan yang khas dari sejarah lisan, karena dipandang tidak praktis dalampemanfaatannya. Dengan demikian, pengalihan dari bentuk lisan ke bentuk tulisantujuan utamanya adalah untuk mendapatkan kejernihan (clarity) dan untukmenggampangkan (readability).

Kejernihan yang diharapkan dari pembuatan transkripsi tidak lain adalahkejelasan tentang apa yang terekam di dalam kaset. Seringkali karena suara pengkisahyang tidak jelas, kondisi alat rekam yang kurang baik, tempat wawancara yang bising,atau munculnya suara-suara yang tidak terduga selama wawancara mengakibatkanhasil wawancara kurang begitu jelas terdengar. Dalam kondisi demikian, biasanyahanya pewawancaralah yang lebih bisa mengenali dengan relatif lebih baik apa yangdisampaikan oleh pengkisah, termasuk segala bunyi yang ada di dalam hasil rekaman,dan sebaliknya hampir sulit bagi orang lain untuk dapat menangkapnya dengan jelas.Dengan demikian, apabila mengandalkan pada apa yang terekam dalam kaset bisa jadiketerangan tersebut hanya akan menjadi milik eksklusif pewawancara dan sulit bagiorang lain untuk memanfaatkannya. Padahal, seyogyanya hasil penggalian sejarahlisan pun dapat diakses oleh orang lain yang memerlukannya atau orang lain di luarpewawancara. Melalui transkripsi maka kendala tersebut dapat terjembatani sehinggahasil penggalian sejarah lisan di samping dapat dipahami dengan jelas olehpewawancara tetapi juga dapat dimengerti dengan jernih oleh orang lain yang akanmenggunakannya.

Pembuatan transkripsi hasil penggalian sejarah lisan juga diharapkan dapatmenggampangkan proses pengolahan. Makna menggampangkan di sini tidak lainberkait erat dengan efektifitas dan efisiensi mengolah sumber. Dalam bentuk lisan,waktu yang dibutuhkan untuk mengolahnya bisa jadi sama dengan waktu pelaksanaanpenggalian sejarah lisan itu sendiri karena harus mendengar secara lengkap hasilrekaman. Sebaliknya, apabila telah dibuatkan transkrispsi, proses pengolahan akanlebih cepat dan lebih mudah karena hasil penggalian sejarah lisan dapat dibaca dalambentuk tulisan dan itu berarti waktu mengolahnya akan lebih mudah dan lebih singkat.

Bila kemudian dipertanyakan, mana yang merupakan sumber asli, rekamanatau transkripsinya? Jawabannya tegas, hasil rekaman. Namun, transkripsi pun dapatdikatakan sebagai sumber asli bila secara substansial isinya sama dan sebangundengan hasil rekaman. Masalah keberadaan transkripsi sebagai sumber asli akanmuncul manakala hasil transkripsi tidak sama dengan hasil rekaman. Hal ini misalnyaterjadi manakala pengkisah melakukan koreksi, baik penambahan atau pengurangan,terhadap hasil transkripsi. Perubahan sekecil apapun, misalnya hanya sekedarpenambahan nama para pelaku peristiwa atau perbaikan nama tempat kejadian, akanmembuat transkripsi tidak lagi sesuai dengan hasil rekaman. Bila hal itu terjadi,meskipun secara substansial, isi transkripsi akan menjadi lebih lengkap tetapi dalamhal validitas hasil rekaman akan menjadi lebih valid.

Lepas dari itu semua, meskipun transkripsi penting untuk dibuat karena dapatmemberikan kejernihan dan dapat menggampangkan proses pengolahan tidak berartikemudian para pengguna sejarah lisan dapat begitu saja mengesampingkan hasilrekaman. Betapapun, penggunaan transkripsi ketika mengadakan pengolahan sejarahlisan akan menjadi jauh lebih baik bila kemudian diikuti pula dengan mendengarkansecara langsung hasil rekaman. Dengan mendengarkan hasil rekaman, para penggunasejarah lisan dapat menangkap atmosfir yang berkembang ketika wawancaradilakukan, termasuk mengenal profil dan sifat pengkisah, seperti, apakah ia ragu-ragumemberi keterangannya, apakah ia memberi tekanan pada kata-kata tertentu, apakahaksen kedaerahannya masih sangat kental, atau apakah ia seorang yang senang denganhumor atau tidak.

Page 35: 01.kover-lisan edit.jpg

BAB IXMODEL PENELITIAN SEJARAH LISAN

Kritik Sejarah Lisan

Sejarah lisan merupakan salah satu sumber sejarah yang masuk kategorisumber lisan. Oleh karenanya, sebagaimana sumber sejarah lainnya, sejarah lisansangat memungkinkan untuk diolah sebagai bahan dasar untuk melakukanrekonstruksi sejarah. Selanjutnya, sebagaimana sumber tertulis manakala akandigunakan sebagai sumber sejarah, sejarah lisan pun harus melalui tahapan kritik, baikkritik intern maupun kritik ekstern. Dalam pandangan Taufik Abdullah (1982) kritikterhadap sejarah lisan, antara lain dapat berbentuk, pertama, kritik terhadap profilpengkisah, khususnya bila pengkisah seorang yang besar mulut, sombong, danangkuh. Kedua, kritik berkaitan dengan ada tidaknya kepentingan pengkisah terhadapperistiwa yang dikisahkannya. Ketiga, kritik tentang kronologi peristiwa, misalnyaberkaitan dengan tanggal dan urutan kejadian. Keempat, kritik terhadap kemungkinantimbulnya anakronisme. Anakronisme tidak saja sekedar menyangkut urutan peristiwatetapi bisa juga dan ini yang sering terjadi, berupa kekacauan dalam menempatkaninterpretasi situasi dengan perilaku atau peristiwa yang aktual. Representasinyamisalnya saat pengkisah melihat peristiwa di waktu lampau yang tengahdikisahkannya dengan keterangan atau perspektif yang bertolak dari masa kini.Adapun beberapa kondisi yang diperkirakan dapat menyebabkan lahirnya interpretasiatau penjelasan (explanation) yang anakronistik ini antara lain adalah perubahan statusdan pergeseran ideologis yang dimiliki pengkisah.

Empat kritik sebagaimana diuraikan di depan barulah kritik yang berkaitandengan tajam tidaknya ingatan pengkisah serta jujur tidaknya pengkisah. Kritikselanjutnya yang tidak kalah penting untuk dilakukan berkait erat dengan substansikisah. Menurut Jan Vansina (1961), kisah atau testimony pada dasarnya bukanlahmerupakan salinan murni dari realitas. Kisah hanyalah mirrage atau bayangan darirealitas. Berpijak pada pemahaman tersebut, setidaknya ada tiga kritik yang perludilakukan terhadap substansi sebuah kisah. Pertama, kritik yang berkaitan dengankekonsistenan pengkisah dalam menceriterakan kisahnya. Ada tidaknya kekonsistenankisah antara lain bisa ditelaah dari ada tidaknya pertentangan dalam kisah yangdisampaikan pengkisah. Semakin “bersih” sebuah kisah dari hal-hal yang salingbertentangan maka semakin tinggilah reliability yang bisa diberikan. Sebaliknya,semakin “kental” sebuah kisah dengan hal-hal yang saling bertentangan maka semakinrendah pula tingkat reliability-nya. Kedua, kritik ekstern yakni dengan melakukanperbandingan sumber atau koraborasi (corraboration), baik dengan sumber lisan lagimaupun dengan sumber tertulis. Ketiga, kritik yang dilakukann dengan caramenempatkan rekonstruksi sementara produk penggalian sejarah lisan dalam konstrukkesejarahan yang lebih luas. Adakah kesesuaian antara sifat dan karakter peristiwayang telah direkonstruksi dengan suasana dan tingkat perkembangan sosial-politik danekonomi? Perlu digarisbawahi pula, keutuhan kisah produk sebuah rekonstruksitidaklah sama dengan kebenaran realitas.

Sejarah lisan sebagai sumber sejarah dapat digunakan untuk berbagaikepentingan. Bisa digunakan sebagai sumber pelengkap bagi sebuah penelitian, bisajuga digunakan sebagai sumber satu-satunya. Adapun tata cara penulisan di dalamnaskah untuk fakta yang berasal dari sejarah lisan, bila itu berupa kutipan langsung,dapat berbentuk, “menurut Susilo Bambang Yudhoyono (Wawancara tanggal 24 Mei2005)………..”, sementara bila berupa kutipan tidak langsung dapat berbentuk,“wacana tentang dekrit presiden sebenarnya ………. (Wawancara dengan SusiloBambang Yudhoyono, 24 Mei 2005)”.

Karya Penelitian Sejarah Lisan

Seiring dengan keberadaanya yang relatif baru dikenal, upaya penggalian

••

••

Page 36: 01.kover-lisan edit.jpg

Seiring dengan keberadaanya yang relatif baru dikenal, upaya penggaliansejarah lisan dapat dikatakan belumlah terlalu menggembirakan. Sejarah lisan masihsering dianggap sebagai mahluk aneh, bahkan sering dikategorikan menempati kastalebih rendah dibanding sumber tertulis. Akibatnya, sejarah lisan sering dijadikansebagai alternatif terakhir bahan dasar dalam membuat rekonstruksi sejarah.

Di tengah perkembangan yang belum menggembirakan, terbersit tanda-tandake arah adanya kegairahan besar dalam memanfaatkan sejarah lisan. Kegairahan inimuncul bisa jadi didorong oleh meningkatnya kesadaran tentang pentingnya sejarahlisan sebagai sumber sejarah. Sejarah lisan tidak pelak lagi menjadi sumber sejarahsatu-satunya yang mampu membuat rekonstruksi sejarah menjadi lebih hidup.

Dari sedikit contoh yang berkualitas tentang pemanfaatan sejarah lisan sebagaibahan dasar rekonstruksi sejarah, dapat kiranya dikedepankan beberapa contoh modelkarya penelitian sejarah lisan. Karya produk sejarah lisan pertama yang dapatdikedepankan adalah tulisan Oriana Fallaci, seorang wartawati kelahiran Italia, yangberjudul,”Intervista con la storia”, yang diterjemahkan oleh J. Riberu (1988) dalambahasa Indonesia dengan judul, “Wawancara dengan Sejarah”. Dalam buku aslinyayang ditulis dalam bahasa Italia, Oriana membuat rekonstruksi sejarah berdasarkanhasil wawancaranya dengan 26 negarawan dan tokoh politik, seperti, HenryKissinger, Jenderal Giap, Norodom Sihanouk, Golda Meir, Yasser Arafat, IndiraGandhi, Ali Bhutto, dan Willy Brandt. Karya Oriana merupakan contoh modelpenggunaan sejarah lisan yang disajikan apa adanya sebagaimana saat wawancaradilakukan. Dengan kata lain, tampilan bukunya murni berbentuk hasil wawancaraantara Oriana dengan para negarawan dan tokoh politik. Dalam batas-batas tertentukarya Oriana ini dapat dikategorikan sebagai sebuah biografi kolektif para tokoh.

Karya sejarah lisan lainnya yang dapat diangkat sebagai sebuah model adalahkarya Alex Haley (1976), dengan judul, “Roots”. Buku produk penggalian sejarahlisan ini berisi uraian tentang sejarah keluarga pada khususnya dan sejarah orang-orang hitam di Amerika pada umumnya, termasuk di dalamnya menguraikan tentangkapan dan bagaimana nenek moyang warga kulit hitam Amerika pertama kalinyadatang di Amerika sebagai budak. Sebagai sebuah karya sejarah yang menggunakanbahan dasar sejarah lisan, buku ini tentu dapat dijadikan sebuah model penggunaansejarah lisan yang hendak merekonstruksi keluarga, kerabat, atau trah sebagai sasarankajiannya. Kajian tentang asal usul dan perkembangan sebuah keluarga, kerabat atautrah tentu akan menjadi bacaan menarik bila disajikan dengan “manusiawi”.

Karya Allan Nevins (1954), yang berjudul, “Ford: The Times, The Man, TheCompany”, merupakan karya sejarah lisan selanjutnya yang dapat dijadikan sebuahmodel. Buku Nevins ini berisi tentang sejarah industri mobil terkenal di Amerika,Ford. Kisah dimulai ketika Ford pertama kali datang di Amerika pada tahun 1832sampai saat-saat produksi Ford meningkat tajam pada tahun 1918. Untuk mencapaihasil rekonstruksi yang optimal, Nevins membagi uraian bukunya dalam 22 bab,yakni, I. The Road: The Wheel, II. The Pioneers, III. The Childhood of AnIndustrialist, IV. Youth and The Machines, V. A Persistent Appentice, VI. TheBroadening Stream, VII. The Eve Of Revolution, VIII. A Horseless Carriage, IX.Time of Experiment, X. Racing: A Prelude, XI. The Ford Motor Company, XII. ABattle for The Cheap Car, XIII. The Shadow of Monopoly, XIV. Forerunner: ModelN, XV. New Growth, New Problems, XVI. The Advent of Model T, XVII. NoMonopoly, XVIII. A Lever To Move The World, XIX. The Anatomy of Succes, XX.The Five-Dollar Day, XXI. The Company and The Worker, dan XXII. RisingDangers. Dengan uraian bab demi bab yang demikian ketat, tidak bisa dipungkirikarya Nevins yang diterbitkan di New York oleh Charles Scribner’s Sons merupakankarya yang sangat lengkap tentang perjalanan industrialis mobil terkemuka HenryFord. Oleh karenanya pula, karya Nevins ini dapat dijadikan model penggunaansejarah lisan sebagai bahan rekonstruksi sejarah untuk tokoh-tokoh di berbagai bidangyang ada di Indonesia. Tentunya, termasuk pula rekonstruksi sejarah untuk mereka-mereka yang berasal dari “lapis bawah”.

Di luar karya-karya di atas, tentu masih ada karya lain yang dapatdikemukakan sebagai contoh produk karya sejarah lisan. Kedepan, seiring dengansemakin maraknya penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmusosial, seperti sejarah kejiwaan (psychohistory), biografi kolektif (prosopography),sejarah keluarga, sejarah desa, dan sejarah kota, bisa dipastikan akan semakinmemperbesar peran sejarah lisan yang secara otomatis akan memperpanjang daftar

Page 37: 01.kover-lisan edit.jpg

memperbesar peran sejarah lisan yang secara otomatis akan memperpanjang daftarkarya sejarah lisan. Berbeda dengan biografi, penggunaan sejarah lisan dalam sejarahkejiwaan difokuskan pada pernyataan masalah kejiwaan tokoh yang diamati.Wawancara langsung dengan pelaku atau orang-orang terdekatnya ditujukan untukmenggali alam bawah sadar aktor sejarah.

Bila sejarah kejiwaan dimaksudkan untuk mengamati secara tunggal masalahkejiwaan aktor sejarah, maka pemanfaatan sejarah lisan dalam penulisan biografikolektif dimaksudkan untuk menyelidiki ciri-ciri latar belakang yang bersifat umumdari sebuah kelompok aktor sejarah dengan cara meneliti bersama-sama riwayat hidupmereka. Seiring dengan karakteristik yang dimiliki sejarah lisan, biografi kolektif yangditampilkan tidak saja berupa biografi politik aktor besar sejarah tetapi juga dapatmenampilkan aktor-aktor “kecil” atau para wong cilik yang selama ini terpinggirkanoleh sumber tertulis.

Kegiatan Penelitian Mata Kuliah Sejarah Lisan

Di berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki Jurusan Sejarah,keberadaan sejarah lisan bisa jadi belum begitu memasyarakat dikalangan sivitasakademika. Tidak sedikit perguruan tinggi yang memiliki Jurusan Sejarah yang masihasing dengan sejarah lisan. Realitas ini bisa jadi karena sejarah lisan memang relatifbaru dikenal di kalangan perguruan tinggi di Indonesia.

Perkembangan yang relatif monumental dari keberadaan sejarah lisan diperguruan tinggi di Indonesia dapat dikatakan terjadi pada pertengahan dasawarsakesembilan abad ke-20. Saat itu, untuk pertama kalinya Jurusan Sejarah FakultasSastra Universitas Gadjah Mada menjadikan sejarah lisan sebagai sebuah mata kuliahyang mandiri. Masih erat kaitannya dengan upaya memasyarakatkan sejarah lisan,sejak dasawarsa kesembilan abad ke20 itu pula Arsip Nasional RI terus meningkatkanaktivitas program sejarah lisan yang kegiatannya antara lain meliputi wawancaradengan para pelaku sejarah serta pelayanan sumber sejarah lisan, termasuk didalamnya menerbitkan Lembaran Berita Sejarah Lisan.

Dalam perkembangannya kemudian, Jurusan Sejarah Fakultas SastraUniversitas Padjadjaran sejak pertengahan dasawarsa terakhir abad ke-20 jugamemproklamirkan sejarah lisan sebagai sebuah mata kuliah mandiri. Namun demikian,perlu pula dikemukakan di sini upaya memperkenalkan sejarah lisan di JurusanSejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran sebenarnya telah dimulai jauh lebihawal, setidaknya sejak tahun 1981. Hal ini terjadi ketika pada bulan September 1981dibentuk Kelompok Sejarah Lisan beranggotakan 10 orang tenaga pengajar, menyusulkedatangan Panitia Proyek Sejarah Lisan dari Arsip Nasional di kota Bandung.Berbeda dengan mata kuliah lainnya pada umumnya, bobot untuk mata kuliah sejarahlisan yang sebesar 2 SKS terbagi atas 1 SKS teori dan 1 SKS praktek lapangan.Dengan demikian, untuk mata kuliah sejarah lisan di samping diberikan materi berupakonsep dan teori juga diwajibkan untuk terjun di lapangan melakukan praktekpenggalian sejarah lisan

Dalam perjalanannya selama kurang lebih 5 tahun sebagai mata kuliah mandiri,telah banyak dilakukan penelitian tentang sejarah lisan oleh kelompok mahasiswaJurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, seperti, “Perubahan SosialEkonomi Masyarakat Jatinangor (1980-2000)”, “Sarana Angkutan di KampusJatinangor: Studi tentang Lahir dan Perkembangannya”, dan “Meretas EksistensiLukisan Jelekong”. Empat penelitian terakhir (dua pada tahun 2005 dan dua padatahun 2006), memilih judul, “Industri Kerajinan Ukiran Kayu Cibeusi: Perkembangandan Dampaknya Terhadap Perekonomian Masyarakat Sekitarnya (1980 – 2004)”,“Dari Sinden Hingga Telepon Seluler: Perkembangan Seksualitas di Jatinangor”,“Blue Film Lokal dan Mahasiswa: Pelaku, Pengedar, dan Penikmat di KawasanPendidikan Jatinangor”, dan “Aktivitas Clubbing Mahasiswa Kawasan PendidikanJatinangor (2000-2006)”. Dalam setiap penelitian sejarah lisan, setiap mahasiswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari dua orang mahasiswa. Kepadasetiap mahasiswa dan kelompok selanjutnya diberi tugas secara bertahap sepertihalnya tahapan kerja metode sejarah lisan. Tugas pertama yang harus mereka buatadalah merumuskan topik penelitian dan menetapkan judul penelitian. Setelah semuamahasiswa mengumpulkan topik dan judul penelitian, dosen pembina mata kuliahmemilih lima judul penelitian yang dianggap paling memungkinkan untuk diteliti,

••

Page 38: 01.kover-lisan edit.jpg

memilih lima judul penelitian yang dianggap paling memungkinkan untuk diteliti,sesuai dengan waktu yang tersedia. Lima judul yang telah dipilih oleh dosen pembinaselanjutnya diserahkan kembali kepada para mahasiswa untuk didiskusikan, sekaligusdipilih satu di antaranya menjadi judul penelitian yang akan digarap secara bersama-sama. Untuk kegiatan penelitian dua tahun terakhir, karena terjadi keseimbangan minatterhadap dua judul penelitian maka akhirnya diputuskan untuk meneliti sekaligus duajudul penelitian.

Setelah judul penelitian berhasil ditetapkan, setiap mahasiswa selanjutnyadiberi tugas untuk membuat kerangka sementara. Setelah kerangka sementaraterkumpul dari semua mahasiswa diadakan kembali diskusi bersama untukmenetapkan sebuah kerangka sementara yang dapat disepakati bersama. Dari kerangkasementara yang telah disepakati bersama, setiap mahasiswa selanjutnya diberi tugasuntuk membuat kendali wawancara. Sebagaimana halnya tugas-tugas sebelumnya,setelah kendali wawancara terkumpul dari setiap mahasiswa, selanjutnya diadakandiskusi untuk menetapkan satu kendali wawancara yang akan digunakan bersama-sama. Biasanya pada tahapan ini akan lahir dua atau tiga model kendali wawancarayang digunakan untuk tiga kelompok pengkisah yang akan diwawancarai. Sebagaicontoh untuk judul penelitian tentang Ukiran Kayu Cibeusi setidaknya ada tigakelompok pengkisah yang perlu diwawancarai, yakni, pengrajin, pengguna, danmasyarakat sekitar. Sementara untuk judul tentang Seksualitas di Jatinangor,setidaknya juga ada empat kelompok pengkisah yang perlu diwawancarai, yakni,pelaku (ayam kampus), perantara (germo), pemakai, dan masyarakat sekitar.

Setelah kendali wawancara dibuat, kepada setiap kelompok mahasiswa diberitugas untuk melakukan inventarisasi pengkisah, yang diteruskan memilih dua diantaranya untuk ditetapkan sebagai pengkisah bagi setiap kelompok. Dengandemikian, dalam prakteknya setiap kelompok mahasiswa diberi tugas untukmewawancarai dua orang pengkisah. Tujuannya tidak lain agar untuk dua kalipelaksanaan wawancara tersebut, setiap mahasiswa dapat memainkan peran yangberbeda dan satu di antaranya berperan sebagai pewawancara. Bila untuk pengkisahpertama, ia bertindak sebagai pewawancara dan rekannya menjadi asistenpewawancara, maka untuk pengkisah yang kedua, ia akan bertindak sebagai asistenpewawancara sementara rekannya sebagai pewawancara.

Dengan model pembelajaran seperti di atas, setiap mahasiswa selalu memilikipengalaman yang relatif optimal tentang praktek metode sejarah lisan. Dari bekalpengalaman tersebut tentu sangat diharapkan bahwa para mahasiswa tidak akanmenjadi gagap lagi manakala kemudian mereka akan memilih tugas akhir (skripsi)yang menggunakan sejarah lisan sebagai sumnber utama dan satu-satunya atau sebagaisumber pelengkap serta metode sejarah lisan sebagai metode penelitian utama ataupunpelengkap. Adapun bentuk akhir hasil penelitian kelompok sejarah lisan dapattergambarkan dari daftar isi untuk kedua kelompok penelitian tersebut. Untukpenelitian tentang “Ukiran Kayu Cibeusi”, substansi hasil penelitian terurai dalam tigabab besar, meliputi Bab I Pendahuluan, yang didalamnya berisi uraian tentang latarbelakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metodepenelitian, lokasi dan waktu, serta organisasi penulisan. Bab II membahas proseslahirnya industri kerajinan kayu Cibeusi, yang di dalamnya terurai dalam dua bagianbesar yakni tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat Desa Cibeusi sebagai tempatlahirnya industri kerajinan ukiran kayu dan lahirnya industri kerajinan ukiran kayuCibeusi dan masa awal perkembangannya. Bab III tentang perkembangan industrikerajinan kayu Cibeusi dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial ekonomimasyarakat sekitarnya, yang di dalamnya terbagi lagi atas tiga bagian besar, yakniperkembangan industri kerajinan ukiran kayu Cibeusi, proses produksi danmanajemen pemasaran barang hasil industri kerajian ukiran kayu Cibeusi, danpengaruh industri kerajian ukiran kayu Cibeusi terhadap kehidupan sosial ekonomimasyarakat sekitar.

Untuk penelitian sejarah lisan tentang “Perkembangan Seksualitas diJatinangor”, substansi hasil akhir penelitian terbagi atas empat bab. Bab I tentangpendahuluan, di dalamnya berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusanmasalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan organisasipenulisan. Bab II tentang gambaran umum, di dalamnya menguraikan tentang sejarahsingkat Jatinangor, keadaan demografis dan geografis Jatinangor, serta lahir danberkembangnya perguruan tinggi di Jatinangor. Bab III membahas tentang

Page 39: 01.kover-lisan edit.jpg

berkembangnya perguruan tinggi di Jatinangor. Bab III membahas tentangperkembangan seksual di Jatinangor, yang terurai dalam tiga bagian besar, yakni,munculnya pelacuran, prostitusi pada masa pendudukan Jepang, dan prostitusi padamasa kemerdekaan. Bab IV yang merupakan bab terakhir di dalamnya membahassecara relatif komprehensif tentang prostitusi di Jatinangor antara 1990 hinggasekarang, struktur organisasi industri seks, lokasi dimana transaksi seks dapatdilakukan, para pelaku utama di dalam industri seks, jaringan industri seks, dan istilah-istilah seks dalam industri seks.

Penelitian tentang “Blue Film Lokal dan Mahasiswa: Pelaku, Pengedar, danPenikmat di Kawasan Pendidikan Jatinangor” menghasilkan substansi hasil penelitianyang terbagi atas empat bab. Bab I berisi tentang pendahuluan, Bab II berisi uraiantentang selayang pandang blue film, blue film lokal dan kemajuan teknologi, sertameningkatnya blue film lokal. Bab III membahas tentang jaringan blue film lokal dikalangan mahasiswa. Sementara Bab IV, berisi tentang kesimpulan. Kesemua isi bab,khususnya Bab II dan Bab III disajikan dalam sebuah uraian yang bersifat kronologisyang menggambarkan sebuah proses perubahan.

Karya penelitian sejarah lisan paling akhir (2006) produk mahasiswa JurusanSejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran yakni tentang “Aktivitas clubbingMahasiswa di Kawasan Pendidikan Jatinangor”, juga membagi substansi penelitiandalam empat bab. Setelah Bab I yang merupakan bab pendahuluan, dua babselanjutnya, yakni Bab II dan Bab III, masing-masing berisi uraian tentang gambaranumum aktivitas clubbing mahasiswa di dalam dan di luar kawasan pendidikanJatinangor. Khusus Bab II di dalamnya membahas tentang gambaran umummahasiswa kawasan pendidikan Jatinangor, aktivitas clubbing, dan keterlibatanmahasiswa dalam dunia clubbing. Bab III memfokuskan bahasan pada perkembanganaktivitas clubbing mahasiswa kawasan pendidikan Jatinangor, serta dampak danpengaruh aktivitas clubbing mahasiswa di kawasan pendidikan Jatinangor. Bab IV,yang merupakan bab terakhir berisi tentang kesimpulan.

Kesemua karya penelitian sejarah lisan yang dihasilkan para mahasiswa tentubelumlah merupakan karya yang sempurna. Namun demikian, sebagai sebuah produkpraktik sebuah mata kuliah, karya-karya tersebut dapat dikatakan cukup memuaskan.Lebih dari itu, melihat judul-judul penelitian sejarah lisan yang dipilih oleh paramahasiswa tampak cukup menarik untuk dikaji dan dielaborasi lebih lanjut melaluipenelitian yang lebih komprehensif sehingga dapat dihasilkan sebuah rekonstruksisejarah yang lebih utuh dan lengkap.

Page 40: 01.kover-lisan edit.jpg

DAFTAR SUMBER

Abdullah, Taufik. 1982. “Di Sekitar Pencarian dan Penggunaan Sejarah Lisan”,Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 9, Oktober 1982, Arsip NasionalRepublik Indonesia.

Alfian, T. Ibrahim. 1985. Sejarah dan Permasalahan Masa Kini, Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada padatanggal 12 Agustus 1985.

Atmakusumah. 1982. “Wawancara Lisan Menurut Kebiasaan Jurnalisme”, Lembaran

Berita Sejarah Lisan, Nomor 9, Oktober 1982, Arsip Nasional RepublikIndonesia.

Baum, Willa K. 1982. Sejarah Lisan untuk Masyarakat Sejarawan Setempat. Jakarta:

Arsip Nasional RI. Bigalke, Terry. 1982. “The Oral History Method”, Lembaran Berita Sejarah Lisan,

Nomor 9, Oktober 1982, Arsip Nasional Republik Indonesia. Chaniago, J.R. 1988. “Beberapa Catatan Pelaksanaan dan Penggunaan Sejarah Lisan

dalam Penelitian Sejarah Mutakhir”. Makalah disampaikan dalam KursusSingkat Sejarah Lisan yang diselenggarakan Jurusan Sejarah Fakultas SastraUGM, Yogyakarta, 28 November – 10 Desember 1988.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain Lain.

Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Darban, A. Adaby. 1988. “Membagi Pengalaman Tentang Pengalaman Lapangan

Penelitian Sejarah Lisan di Berbagai Lingkungan Masyarakat”. Makalahdisampaikan dalam Kursus Singkat Sejarah Lisan yang diselenggarakanJurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta, 28 November – 10Desember 1988.

Davis, Cullom, et.al. 1977. Oral History: From Tape to Type. United States of

America: American Library Association. Dienaputra, Reiza D. 2005. “Sejarah Kertas di Indonesia”, dalam Setiawan Sabana

dan Hawe Setiawan, Legenda Kertas: Menelusuri Jalan Sebuah Peradaban.Bandung: Kiblat Buku Utama.

Hoopes, James. 1979. Oral History: an Introduction for Students. United States of

America: The University of North Carolina Press. Huen, P. Lim Pui, James H. Morrison, dan Kwa Chong Guan (ed.). 2000. Sejarah

Lisan di Asia Tenggara: Teori dan Metode. Jakarta: LP3ES. Kartodirdjo, Sartono. 1991. “Pengalaman Kolektif Sebagai Objek Sejarah Lisan”,

Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 13, Maret 1991, Arsip NasionalRepublik Indonesia.

---------------. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama. Kosim, E. 1984. Metode Sejarah: Asas dan Proses. Bandung: Jurusan Sejarah

Page 41: 01.kover-lisan edit.jpg

Kosim, E. 1984. Metode Sejarah: Asas dan Proses. Bandung: Jurusan SejarahFakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. ---------------. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Lapian, A.B. 1981. “Metode Sejarah Lisan (Oral History) dalam Rangka Penulisan

dan Inventarisasi Biografi Tokoh-tokoh Nasional”, Lembaran Berita SejarahLisan, Nomor 7, Pebruari 1981, Arsip Nasional Republik Indonesia.

---------------. 1982. “Sumber Primer atau Sekunder Tergantung pada Konteks

Permasalahannya”, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 9, Oktober 1982,Arsip Nasional Republik Indonesia.

Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta:

Penerbit Ombak. Thompson, Paul. 1978. The Voice of the Past: Oral History. London-New York:

Oxford University Press. Tjokroaminoto, Harsono. 1982. “Sekelumit Pengalaman sebagai Pengkisah”,

Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 9, Oktober 1982, Arsip NasionalRepublik Indonesia.

Usman, A. Gazali. 1983. “Wawancara sebagai Suatu Metode dalam Sejarah Lisan

(Tinjauan atas Pengalaman Sendiri)”, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor10, Agustus 1983, Arsip Nasional Republik Indonesia.

Vansina, Jan. 1961. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology. London:

Routledge.

Page 42: 01.kover-lisan edit.jpg

Reiza D. Dienaputrtra, lahir di Bandung tanggal 10 April 1964. Gelar kesarjanaan diraihpada tahun 1987 dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, sementaragelar magister diraih pada tahun 1997 dari Program Studi Sejarah Jurusan Ilmu-ilmuHumaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Sejak tahun 1989, aktifmengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Unpad dan satu tahun kemudian aktifmengajar sebagai dosen tidak tetap pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adabdan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati. Mantan Ketua Jurusan Sejarah (1998-2002)Fakultas Sastra Unpad ini, kini (sejak tahun 2006) menjabat sebagai Pembantu Ketua IIIProgram Diploma 3 Fakultas Sastra Unpad dan juga Sekretaris Program MagisterMuseologi Program Pascasarjana Fakultas Sastra Unpad. Di luar kampus, sejak tahun2004, ia juga aktif sebagai Sekretaris Jenderal Pusat Kajian Lintas Budaya (PKLB), yangberkedudukan di Bandung. Kegiatan menulis telah digelutinya sejak duduk di bangku kuliah. Kegiatan tersebut terusbertahan hingga saat ini. Kini, tulisan-tulisannya tersebar di berbagai surat kabar, baik lokalmaupun nasional, seperti Pikiran Rakyat, Galamedia, Kedaulatan Rakyat, Merdeka, MediaIndonesia, Republika dan Kompas. Di samping artikel, tulisan-tulisannya juga dapatditemukan dalam buku-buku, baik yang berupa karya bersama maupun individual, seperti,Dunia Militer di Indonesia: Keberadaan dan Peran Militer di Sulawesi (2000), SejarahTatar Sunda (2003), Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg (2004), Sejarah Kota-kotaLama di Indonesia (2005) Legenda Kertas: Menelusuri Jalan Sebuah Peradaban (2005),serta Sejarah Lokal Cianjur (2006).

Page 43: 01.kover-lisan edit.jpg