amal jama'i materi

42
AMAL JAMA’I: SEBUAH PENGANTAR OLEH : aang fahruroji Beberapa pertanyaan yang sering muncul dalam kajian tentang amal jama’i diantaranya : 1.apakah setiap program harus dilaksanakan oleh seluruh anggota? 2.apa beda antara amal jama’i dengan kerjasama anggota? 3.mungkinkah amal jama’i dilakukan hanya oleh seorang? 4.bagaimana kewajiban pemimpin dan anggota? 5.bagaimana cara mengambil keputusan yang baik dan efektif bagi sebuah organisasi? syaikh Musthofa Masyhur memberikan ta’rif amal jama’i sebagai berikut : “gerakan bersama untuk mencapai tujuan organisasi berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan”. Beberapa tafsir dari ta’rif diatas adalah : 1.amal jamai merupakan gerakan bersama, dimana setiap anggota menjalankan fungsi strukturalnya dengan orientasi pencapaian tujuan. 2.bahwa amal yang dilakukan oleh seluruh anggota adalah dalam rangka mencapai tujuan organisasi. 3.bahwa amal yang dilakukan harus berdasar keputusan yang telah ditetapkan sesuai mekanisme yang berlaku. Ta’rif diatas juga mensyaratkan bahwa amal jama’i hanya bisa dilakukan oleh organisasi/jama’ah yang mempunyai: 1.tujuan (ghoyyah) /visi misi yang jelas 2.manhaj/metodologi gerakan yang kokoh 3.unsur kepemimpinan (qiyadah) yang berwibawa 4.keta’atan anggota terhadap pimpinan 5.pola pengorganisasian (tandhim) yang rapi Qiyadah dalam sebuah jama’ah merupakan unsur vital yang akan membawa jalannya organisasi. fungsi strategis qiyadah diantaranya: fungsi koordinatif (mengatur), fungsi imperatif (memaksa), vonis keputusan (terutama dalam situasi darurat). Qiyadah dipilih untuk dita’ati.

Upload: boendania

Post on 24-Jun-2015

953 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: Amal Jama'i Materi

AMAL JAMA’I: SEBUAH PENGANTAR

OLEH : aang fahruroji

Beberapa pertanyaan yang sering muncul dalam kajian tentang amal jama’i diantaranya :1.apakah setiap program harus dilaksanakan oleh seluruh anggota? 2.apa beda antara amal jama’i dengan kerjasama anggota?3.mungkinkah amal jama’i dilakukan hanya oleh seorang?4.bagaimana kewajiban pemimpin dan anggota?5.bagaimana cara mengambil keputusan yang baik dan efektif bagi sebuah organisasi?

syaikh Musthofa Masyhur memberikan ta’rif amal jama’i sebagai berikut :“gerakan bersama untuk mencapai tujuan organisasi berdasarkan keputusan yang telah ditetapkan”.

Beberapa tafsir dari ta’rif diatas adalah :1.amal jamai merupakan gerakan bersama, dimana setiap anggota menjalankan fungsi strukturalnya dengan orientasi pencapaian tujuan.2.bahwa amal yang dilakukan oleh seluruh anggota adalah dalam rangka mencapai tujuan organisasi.3.bahwa amal yang dilakukan harus berdasar keputusan yang telah ditetapkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Ta’rif diatas juga mensyaratkan bahwa amal jama’i hanya bisa dilakukan oleh organisasi/jama’ah yang mempunyai:1.tujuan (ghoyyah) /visi misi yang jelas2.manhaj/metodologi gerakan yang kokoh3.unsur kepemimpinan (qiyadah) yang berwibawa4.keta’atan anggota terhadap pimpinan5.pola pengorganisasian (tandhim) yang rapi

Qiyadah dalam sebuah jama’ah merupakan unsur vital yang akan membawa jalannya organisasi. fungsi strategis qiyadah diantaranya: fungsi koordinatif (mengatur), fungsi imperatif (memaksa), vonis keputusan (terutama dalam situasi darurat). Qiyadah dipilih untuk dita’ati.

Syuro merupakan salah satu instrumen pengambil keputusan yang paling substansial dalam sebuah organisasi. jika mekanisme pengambilan keputusan selalu berjalan dengan baik, maka organisasi tersebut akan mempunyai soliditas dan resistensi yang tinggi terhdap goncangan yang biasanya mengakhiri riwayat banyak organisasi. asas penentuan sikap dan pengambilan keputusan adalah asumsi mahlahat yang terdapat dalam perkara itu. Karena sifatnya asumsi, maka sudah pasti relatif, karenanya sangatlah mudah mengalami perubahan-perubahan. Sehingga sebuah keputusan syuro selalu mengandung resiko. Sepanjang yang dilakukan syuro adalah mendefinisikan mashlahat ammah atau mudharat asumtif, maka selalu ada resiko kesalahan. Atau setidak-tidaknya “tempo kebenarannya” sangat pendek. Fungsi syuro ini dapat terlaksana bila memenuhi syarat : 1.tersedianya sumber-sumber informasi yang cukup untuk menjamin bahwa keputusan yang kita ambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.2.tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang memadai harus dimiliki setiap peserta syuro.

Page 2: Amal Jama'i Materi

3.adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro dapat terkelola dengan baik.

Syuro punya fungsi psikologis dan fungsi instrumental. Fungsi psikologis terlaksana dengan menjamin adanya kemerdekaan dan kebebasan yang penuh bagi peserta syuro untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya secara wajar dan apa adanya. Tapi, tenyu saja setiap orang punya cara yang berbeda-beda dalam mengekspresikan dirinya. Jika ruang ekspresi tidak terwadahi dengan baik, maka akan terjadi konflik yang kontraproduktif dalam syuro.

posted by Aang Fahruroji @ Friday, December 23, 2005

0 Comments:

[1339 Reads] Mengapa Kita Harus Beramal Jamai? Posted by: anugerah_w on Friday, November 11, 2005 - 09:47

Hudzaifah.org - Amal Jama'i wajib hukumnya bagi kaum muslimin, apatah lagi bagi para aktivis da�wah. Tidak meninggalkan pos yang diamanahkan, tidak lari dari da�wah hanya karena ada gesekan dengan satu dua orang, tidak banyak mengeluh dan selalu siap ditempatkan dimana saja, itulah ciri pejuang yang sejati. Berikut ini kita simak bersama, alasan mengapa kita harus beramal jama�i, yang disampaikan oleh Ustadz Nabil Fuad dengan kata-kata lembut dan semangat membara, hingga dapat menyentuh hati pendengarnya dan masih membekas sampai detik ini.

Pengertian Amal Jama�i

Amal jama�i bukanlah bekerja sendiri-sendiri dalam suatu kelompok. Amal jama�i adalah suatu pekerjaan oleh orang-orang yang terstruktur, satu komando, satu perintah, dan ada spesialisasi da�wah.

Alasan Beramal Jama�i :

1. Amal jama�i adalah kebutuhan yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia. Bahkan untuk makan saja adalah hasil amal jama�i. Imam Ali berkata : �Daki hidup berjamaah lebih saya cintai daripada jernih sendiri.� Mengapa? Karena banyak orang yang mampu untuk suci sendiri, tetapi berapa banyak orang yang mampu bertahan dengan dinamika amal jama�i. Jadi kita harus tahan beramal jama�i. Allah Subhanahu wa Ta�ala berfirman, �Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.�(QS. 4 : 1)

2. Amal jama�i adalah fitrah seluruh alam. Tata surya adalah amal jama�i. �Ada yang memimpin dan ada yang dipimpin.� Amal Jama�i adalah sebuah sunnatullah. Bahkan para semutpun melakukan amal jama�i. Allah Subhanahu wa Ta�ala berfirman, �Hingga apabila mereka sampai ke lembah semut berkatalah seekor semut, �Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya sedang kamu tidak menyadari.�(QS. 27 : 18)

Page 3: Amal Jama'i Materi

3. Amal Jama�i adalah kewajiban syar�i. Allah Subhanahu wa Ta�ala berfirman, �Dan berpeganglah kamu semuanya kepada Tali (Agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.� (QS. 3 : 103)

Dalam kaidah tafsir, Allah Subhanahu wa Ta�ala sangat menekankan urgensi amal jama�i dengan ayat di atas, dengan memberi berkali-kali penekanan, dengan perintah-Nya, yaitu :Wa�tashimuu (Wajib berpegang teguh)Jamii�a (SEMUA! Penegasan Allah)Walaataqarrafuu (Jangan bercerai berai)Wadzkuruni�matallah� (Ingatlah nikmat Allah ketika kamu berpecah belah�)Jadi, �DA�WAH TIDAK BISA SENDIRI!� (Baik sendiri? No Way! �red)

Dan di dalam Surat Al Fatihah, kata yang digunakan adalah �Kami�, yang mengindikasikan bahwa da�wah harus selalu berjamaah. Iyyaa kana�budu �Kami�Iyyaa kanasta�iin �Kami�Ihdinash� �Kami�

HR. Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW bersabda, �Laa ta�muruuna� Wajib.. benar-benar wajib mencegah kemungkaran, jika tidak kamu lakukan maka doa orang-orang yang sholeh tidak diterima diantara kamu.�

Ali bin Abi Thalib berkata, �Sebuah kebenaran meski kebenaran, namun bila tak terorganisir, maka akan dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir.�

Tujuan Beramal Jama�i

1. Distribusi pembagian tugas, jangan 4 L (Tau zii�ul �amal)2. Meringankan beban da�wah (jangan potensi masing-masing) (Tahfiiful a�baaidda�wah)3. Menumbuhkan potensi (tau thifuthaqqah)

Maka, tidak bisa tidak, amal jama�i sangat urgen dan wajib hukumnya bagi kaum muslimin. []

Pembicara : Ir. Nabil Fuad AlmusawaNotulen : Anugerah Wulandari18 Juli 2003Masjid Al Ikhlas Bogor

Tags: makna hidupPrev: MENGAPA HARUS BER AMAL JAMA’I: Next: Alasan Sederhana mengapa harus berJamaah

Page 4: Amal Jama'i Materi

Membangun Amal Jama’i dalam Dakwah

September 24, 2007 oleh bizesha

Oleh : Eko Budi K

Di Asrama PPSDMS Regional IV Surabaya

Amal Jama’i merupakan salah satu hal terpenting dalam da’wah. Dalam beramal jama’i terada proses yang sering disebut sebagai Amar ma’ruf Nahi Munkar. Disebutkan dalam surat Al-Imron : 104, “dan hendaklah diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada kemakrufan, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Kebaikan dalam ayat diatas menurut tafsir Ibnu Katsir adalah mengikuti Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.

Maksud ayat di atas lebih lanjut adalah hendaknya ada dari umat ini segolongan orang yang berjuang di bidang terebut. Sebagaimana disampaikan dalam hadist Rasulullah,”barangasiapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan, jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan yang demikian merupakan selemah-lemah iman.” Ini menandakan hal tersebut adalah kewajiban setiap individu.

Di sisi lain, orang-orang kafir pun tidak ingin kalah dengan kita. Ini didsrkan karena mereka juga saling tolong menolong walaupun dlam rangka mengahncurkan Islam. Dalam kalam Iahinya Surat Al-Anfal ayat ke-73, “Adapun orang-orag kafir, sebagian mereka merupakan pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan perintah Allah, niscaya terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” Lebih lanjut maksud ayat ini adalah jika kita tidak menjauhi kaum musyrikin dan berlindung kepada kaum mukmin dan melakukan amal jama’i. maka terjadilah fitnah di tengah-tengah manusia yaitu kekacauan persoalan dan bercampurnya kaum mukminin dengan kaum kafir sehingga terjadilah kerusakan yang menyebar meluas, dan memanjang diantara manusia.

Dari penjabaran diatas, kiranya perlulah sebuah amal jama’i dan bagaimana seharusnya amal jama’i itu dilakukan. Kembali Allah memberikan Taujih RabbaniNya dalam ayat ke 4 surat Ash-Shaff, “sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu banguna yang tersusun kokoh.” Ini adalah berita kemenangan terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang bersaf-saf berhadapan dengan usuh Allah di kancah peperangan. Orang-orang inilah yang memerangi kaum kufar demi tegaknya kalimat Allah di atas agama-agama lain.

Ada tiga hal yang melandasi dibutuhkannya amal jama’i ini. Ketiganya adalah perinth Allah, fitrah manusia, dan kebutuhan organisasi dlam mengaktualisasikan diri dan mencapai tujuan bersama.

Sementara itu, amal jama’i juga memiliki konsekuensi yang harus di tanggung berbagai pihak terutama qiyadah dan jundinya. Konsekuensi dari seorng Qiyadah diantaranya adalah memberikan teladan kerja, mengayomi jundi, memahami permasalahan da’wah para jundi, mengetahui kapasitas dan kecenderunagn jundi. Sementara konsekuensi atau yang lebih tepat

Page 5: Amal Jama'i Materi

dikatakan tugas jundi adlah komitmen terhadap pemimpin, komitmen terhadap tugas, mendahulukan kebutuhan jama’i dibandingkan kepentingan pribadi,selalu mengkonsultasikan dengan pemimpin terkait masalah terkait tugas yang diemban.

Intinya, dalam beramal jama’i kita harus tetap berkomitmen terhadap tugas yang diamanahkan kepada kita.

April 30, 2006 9:51 pm

Kewajiban amal jama’i

Keikhlasan hati, kebersihan hati nurani, kesucian jiwa, ketulusan kata-kata, dan amanah dalam menunaikan tugas, semuanya itu merupakan akhlak mulia. Untuk menyempunakan akhlak itulah Rasulullah saw diutus agar setiap orang menjadi batu bata bagi pembangunan masyarakat yang baik.

Sepanjang masa, pada setiap umat, pasti selalu ada orang-orang shalih, para hamba yang zuhud, atau para da’i yang ikhlas. Bahkan pada bangsa seburuk apa pun, tidak mungkin kosong dari orang-orang yang apabila disebut nama Allah begetarlah hatinya, mengenal Allah dan memiliki akhlak terpuji.

Namun, dinamika sejarah dan pertumbuhan peradaban bukanlah ditinjau dari semata-mata keberadaan pribadi-pribadi yang memiliki akhlak seperti itu, betapapun tinggi keshalihan, ketakwaan, dan pemahaman mereka terhadap berbagai persoalan. Yang menjadi ukuran justru adanya harakah jama’iyyah (gerakan kolektif) dan keshalihan yang bersifat masif sehingga menjadi arus kuat lagi tangguh yang mempunyai pengaruh terhadap arus-arus lainnya dan bukannya terpengaruh.

Tidak ada maksud meremehkan arti amal fardi (kerja personal) dengan segala sifat terpuji yang dimilikinya. Namun, sesuai dengan kebenaran yang kita anut, adalah termasuk orang yang merugi jika seseorang yang ikhlas tidak berusaha untuk mengubah dakwahnya menjadi arus massal yang dihasung oleh orang-orang shalih seperti dirinya, yang berpegang teguh kepada tali Allah sehingga menjadi bagaikan satu hati, dalam satu jamaah. “Demi masa. Sesungguhnya manusia ifu berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”(QS. Al Ashr, 103: 1-3) Nah, yang dikecualikan dari kerugian adalah jamaah yang saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran, dan bukannya individu, betapapun shalihnya.

Jika ada orang yang mengatakan, “Saya bisa memberlakukan Islam untuk diri saya. Saya tidak melakukan kezaliman, tidak berzina, tidak mabuk, tidak melakukan praktik riba, saya mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, melaksanakan haji, menunaikan segala kewajibanku yang bersifat personal, dan saya menyeru orang lain kepada hal-hal itu, dan kemudian saya berlalu.”

Page 6: Amal Jama'i Materi

Kita katakan, “Itu bagus. Akan tetapi, orang yang melakukan hal itu persis seperti orang memilih batu-bata dengan sangat pandai, kemudian meningkatkan kualitasnya dengan dimulai dari diri sendiri, seraya mengajak orang lain untuk hal itu. Akankah kita menyebut batu-bata yang berserakan itu, betapapun masing-masingnya memiliki kualitas yang baik untuk sebuah bangunan, sebagai gedung bertingkat atau gedung pencakar langit, jika tidak pernah ditata dan satu sama lain saling menguatkan?”

Begitulah kondisi dakwah secara personal. Lalu bagaimana kita bisa mengaplikasikan sistern politik, sistern ekonomi, sistern sosial, sistern pendidikan, dan siapa yang menegakkan sanksi? Siapa yang menegakkan keadilan dan mencegah kezaliman? Siapa yang menegakkan hukum halal dan haram’? Siapa yang mengatur urusan sarana usaha? Siapa yang memimpin umat, menyebarkan dakwah, dan menghadapi serangan musuh? Dan seterusnya.

Jika kaum Muslimin tidak berusaha untuk mewujudkan itu semua dalam kehidupan nyata mereka dan merasa cukup dengan ibadah-ibadah ritual belaka, maka mereka akan terjerembab ke dalam perbenturan keyakinan, padahal mereka mendengar firman Allah:

“Apakah kalian mengimani sebagian kitab dan menolak sebagian lain? Maka tiada balasan hagi orang yang melakukan hal itu selain kehinaan di dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dicampakkan ke dalam siksa yang amat dahsyat. Dan Allah tidaklah lalai terhadap apa yang kalian kerjakan.” (Qs. Al Baqarah, 2: 85)

Mereka juga mendengar peringatan Allah dalam AlQuran terhadap Rasulullah saw:

“Dan hati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu.” (Qs. Al Maaidah, 5: 49)

Jadi tidaklah cukup adanya individu-individu yang ikhlas dan tulus di sana sini, yang bekerja untuk Islam dalam keadaan tercecer. Walaupun tentu saja pekerjaan mereka bermanfaat dan menjadi tabungan kebaikan di sisi Allah. Sebab, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang bekerja baik laki-laki maupun perempuan. Dan setiap orang akan dibalas berdasarkan apa yang dia lakukan, sesuai dengan niat dan profesionalitasnya. Firman Allah:

“Maka barang siapa melakukan kebaikan meskipun sebesar biji sawi maka ia akan melihatnya.” (Qs. Al Zalzalah, 99: 7)

“Sesungguhnya Allah tidak menzalimi meskipun banya sebesar biji sawi.” (Qs. An-Nisaa’, 4: 40)

Akan tetapi, amal fardi, pada realitas umat kontemporer, tidak cukup kuat untuk mengisi pos-pos kosong dan mewujudkan tujuan yang dicita-citakan. Harus ada amal jama’i (kerja kolektif). Dan ini merupakan tuntutan agama sekaligus tuntutan realitas.

Islam Menyeru kepada Jamaah

Islam menyerukan berjamaah dan membenci kesendirian: tangan Al-lah bersama jamaah; barang siapa yang nyeleneh, maka ia akan nyeleneh pula di dalam neraka; serigala hanya akan menerkam

Page 7: Amal Jama'i Materi

kambing yang menyendiri; tidak sah shalat sendirian di belakang atau di depan shaf; orang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu bangunan, satu sama lain saling menguatkan; tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa merupakan salah satu kewajiban dalam Islam; dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah salah satu syarat untuk selamat dari kerugian di dunia dan akhirat.

Realitas kehidupan menegaskan bahwa kerja yang produktif adalah yang dilakukan secara jama’i (kolektif). Lihat saja, tangan sebelah tidak dapat bertepuk tangan. Dan seseorang adalah sedikit dengan dirinya sendiri tapi menjadi banyak bersama kawan-kawannya, lemah bila sendirian dan kuat dengan jamaahnya. Kerja-kerja besar tidak akan bisa dilakukan kecuali dengan tenaga besar. Dan pertarungan sengit tidak dimenangkan kecuali dengan bergandeng tangan dan saling topang kekuatan, sebagaimana firman Allah swt:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dengan berbaris bagaikan bangunan yang kokoh.” (Qs. As-Shaff, 61: 4)

Ayat itu menegaskan bahwa kekuatan yang memusuhi Islam dan umatnya tidaklah bekerja secara personal dan bukan pula kelompok-kelompok yang tercecer. Mereka bekerja dalam sebuah sistern dengan disiplin tinggi. Mereka mempunyai struktur organisasi, pemimpin lokal dan pemimpin intenasional. Karenanya, kita wajib memerangi mereka dengan cara seperti mereka memerangi kita. Kita tidak boleh melawan meriam dengan tongkat, panser dengan kuda atau keledai. Sebagaimana tidak bolehnya kita menghadapi amal jama’i musuh dengan amal fardi dan kerja yang sistemik dengan kerja serabutan. Sebab, kekacauan tidak akan mungkin mengalahkan sistern. Individu tidak akan mengalahkan jamaah. Dan kerikil tidak akan mengalahkan gunung.

Al Quran mengingatkan kita dengan ayatnya:

“Dan orang-orang kafir sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian lain. Jika kalian tidak melakukan hal seperti itu (dalam kebersamaan) maka akan terjadilah mala petaka di muka bumi dan kerusakan yang yang dahsyat.” (Qs. Al Anfaal, 8: 73)

Makna “illaa taf’aluuhu” dalam ayat di atas adalah, jika sebagian kalian tidak membantu dan menopang sebagian lain, maka akan terjadi bencana dan kerusakan yang lebih besar dari sekadar berhimpunnya kekuatan kafir dan bercerai berainya kekuatan Islam. Kebatilan merajalela dan kebenaran hancur lebur. Dan itulah bahaya besar dan kejahatan yang tengah mengancam.

Amal Jama’i yang Sistemik

Amal jama’i haruslah sistemik, berpijak di atas qiyadah (kepemimpinan) yang bertanggung jawab, basis yang kokoh, persepsi yang jelas, yang mengatur hubungan antara qiyadah dengan prajurit (junud) atas dasar syura (musyawarah) yang mengikat, dan ketaatan yang penuh kesadaran serta pemahaman.

Islam tidak mengenal jamaah yang tanpa sistern. Sampai-sampai jamaah kecil dalam shalat saja diatur oleh sebuah sistern. Misalnya bahwa Allah tidak akan melihat kepada shaf (barisan) yang bengkok; shaf harus rapat, tidak boleh membiarkan ada celah di dalam shaf, sebab setiap celah akan

Page 8: Amal Jama'i Materi

diisi oleh syaitan; bahu seseorang berdekatan dengan bahu saudaranya, kaki dengan kaki; sama dalam gerakan dan penampilan. Seperti kesamaan dalam akidah dan orientasi.

Imam harus meluruskan shaf dibelakangnya sampai rapat dan bersambung. la harus menasihati para makmum untuk melunakkan tangan-tangan terhadap saudaranya. Jadi, jamaah membutuhkan kadar tertentu kelembutan dan fleksibilitas agar terjadi harmoni dalam barisan.

Setelah itu, wajib taat kepada imam. “Imam itu diangkat tidak lain kecuali untuk ditaati. Apabila ia bertakbir maka bertakbirlah kalian. Apabila ia rukuk, maka rukuklah kalian. Apabila ia sujud, maka sujudlah kalian. Dan apabila ia membaca maka dengarkanlah.”

Tidak sah bila seseorang melenceng dari shaf dan mendahului imam. Misalnya dengan rukuk sebelum imam rukuk, atau sujud sebelum imam sujud. Kemudian membuat penyimpangan dalam bangunan yang tertata itu. Siapa yang melakukan hal itu, maka dikhawatirkan akan Allah ganti kepalanya dengan kepala keledai. Akan tetapi, jika si imam itu salah, maka kewajiban para makmum adalah mengingatkan dan mengoreksi kesalahannya. Baik karena keliru maupun karena lupa. Baik kekeliruan itu terjadi dalam ucapan atau perbuatan; baik pada bacaan atau pada rukun shalat lainnya. Sampai-sampai kaum perempuan yang berada pada shaf yang jauh saja pun dianjurkan untuk bertepuk tangan untuk mengingatkan imam yang keliru itu.

Itulah miniatur sistern jamaah islamiyyah. Dan begitulah seharusnya hubungan antara pimpinan dengan prajurit. Pemimpin bukanlah orang yang terpelihara dari kesalahan. Makanya tidak boleh taat secara buta. Begitulah pemahaman kita tentang Islam. Dan untuk menegakkan pemahaman itu harus ada amal jama’i yang sistemik.

Perhatian Islam terhadap seseorang secara personal tidak lain adalah dalam rangka mencetaknya menjadi batu-bata jamaah yang berkualitas tinggi, yang akan mampu mengemban segala beban dakwah, berjihad untuk membelanya.

Oleh karena itu, seluruh ibadah dalam Islam bersifat kolektif atau paling tidak menyerukan kepada jamaah. Shalat berjamaah misalnya, lebih utama 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian. Shalat Jumat tidak sah kecuali bila dilaksanakan secara berjamaah. Demikian pula Shalat ‘Idain, bahkan sampai-sampai qiyamur-ramadhan pun dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah.

Zakat dipungut dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang fakir. Sehingga terjalinlah antara mereka kasih-sayang dan hilanglah kedengkian serta sikap mementingkan diri sendiri. Dan itu pun mendukung terbentuknya jamaah. Puasa juga mendorong orang-orang kaya untuk mengasihi orang-orang miskin. Maka terwujudlah persatuan dan saling mencintai. Haji pun merupakan kewajiban yang dilaksanakan secara jama’i. Semua orang yang sedang melaksanakannya sama dalam hal pakaian dan perbuatan. Mereka sama-sama meninggalkan dunia dan menghadap kepada Allah. Lalu hati mereka menjadi berpadu, perasaan mereka menyatu, dan ikatan ukhuwah semakin kuat. Maka menjadi kuatlah ikatan jamaah.

Demikian pula jihad harus dilakukan oleh kaum Muslimin secara bershaf bagaikan bangunan yang kokoh. Maka Allah meridhai mereka dan mereka juga ridha kepada Allah. Jadi, seluruh ibadah

Page 9: Amal Jama'i Materi

mendukung terwujudnya jamaah dan mengokohkan ikatan di antara para anggotanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhumya.

Kesempurnaan Ikhlas dengan Jamaah

Amal jama’i adalah pesan Rasulullah kepada kaum Muslimin. Sabdanya:

“Tangan Allah beserta jamaah dan siapa yang menyendiri, menyendiri pula di dalam neraka.” (At-Tirmidzi)

Sabdanya pula:

“Kalian harus berjamaah. Sebab serigala banya akan memangsa kambing yang menyendiri.” (HR. Ahmad)

“Siapa yang menginginkan naungan surga maka hendaklah ia berpegang teguh dengan jamaah.” (At-Tirmidzi)

Tentang jamaah, ‘Abdullah Bin Mas’ud mengatakan,

“Ia adalah tali Allah yang kuat yang Dia perintahkan untuk memegangnya. Dan apa yang kalian tidak sukai dalam jamaah dan ketaatan adalah lebih baik dari apa yang kamu sukai dalam perpecahan.”’

‘Ali Bin Abi Thalib mengatakan, “Kekeruhan dalam jamaah lebih haik dari pada kebeningan dalam kesendirian.”

Jamaah – seperti sudah dijelaskan – yang terdiri dari anggota, pemimpin, dan manhaj menumbuhkan umat yang memerintahkan yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Dan kemenangan jamaah adalah merupakan janji Allah yang pasti terjadi.

“Dan sesungguhnya tentara Kami, mereka itulah yang akan menang.” (Qs. Ash-Shaffaat, 37: 173)

“Dan siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya kelompok (pendukung) Allah itulah yang akan menang.” (Qs. Al Maaidah, 5: 56)

Islam adalah agama yang harus dilaksanakan oleh individu-individu. Dari situ kemudian mereka membentuk jamaah yang bergerak bersama pemimpin yang menjadi pelopor dalam mengemban tugas, dan bertekad untuk bekerja secara ikhlas tanpa henti siang dan malam. Sebagaimana yang dikatakan Umar Bin Khaththab kepada Mu’awiyah Bin Khadij yang mengunjunginya guna menyampaikan berita gembira tentang penaklukan

Iskandariyyah, “Jika aku tidur di siang hari berarti aku menelantarkan rakyat. Dan jika aku tidur di malam hari berarti aku menelantarkan diriku. Lalu bagaimana pula jika aku tidur di kedua waktu itu, wahai Mu’awiyah?”‘

Page 10: Amal Jama'i Materi

Islam adalah agama yang yang dianut oleh segala usia dan kalangan. Orang dewasa tetap memegang teguh Islam hingga meninggal dunia. Anak kecil terus teguh hingga ia menjadi tua. Orang non-Arab menjadi fasih dengan Islam. Dan orang Arab berhijrah dengan dorongan agama itu pula. Mereka yakin tidak ada kebenaran selain Islam. Dia bukanlah agama yang hanya bisa sebatas mengatakan kepada orang yang melakukan kesalahan, “Jangan kamu lakukan kesalahan." Lebih dari itu, Islam mempersiapkan bagi orang yang melakukan kesalahan sebuah masyarakat dan jalan untuk membantunya memperbaiki diri dan tolong menolong dalam kebaikan serta ketakwaan. Agar kata-kata mewujud menjadi perbuatan dan teori berubah menjadi aplikasi. Adakah hal itu bisa terwujud oleh seseorang – betapapun ia ikhlas dalam ibadah – ataukah harus dengan jamaah yang kokoh dan kuat?

Nah, bangunan jamaah itu tidak akan sempurna tanpa adanya ta’aruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), dan takaful (solidaritas) yang mengaplikasikan tolong-menolong yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan jamaah yang luhur dengan semangat ukhuwah dan tekad baja.

Untuk hikmah yang tinggi itulah Allah menjadikan seluruh umat Islam sebagai umat dakwah. Manakala Allah swt mengutus Muhammad saw kepada umat ini dan kepada seluruh manusia, maka umatnya pun diutus untuk seluruh manusia. Oleh karena itu ketika Rustum bertanya kepada Rib’i Bin ‘Amir, "Untuk apa kamu datang kemari?” ia segera menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan orang yang mau agar keluar dari penyembahan terhadap sesama manusia menuju penyembahan kepada Allah semata, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.” Itu disebabkan karena Rasulullah saw mengatakan kepada kaum Muslimin, “Sampaikanlah apa-apa yang datang dariku walaupun hanya satu ayat.” Mereka adalah orang-orang yang menyampaikan apa yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Jadi, keikhlasan yang dimiliki oleh seorang Muslim bukanlah untuk dirinya sendiri. Meskipun tentu saja sebagai individu ia mendapatkan pahala. Keshalihan dan keikhlasan seorang Muslim yang hanya untuk dirinya saja adalah bagaikan air yang thahir (suci). Dzatnya suci tapi tidak dapat mensucikan yang lainnya. Sedangkan Islam menghendaki Muslim itu menjadi thahuur dan bukan sekadar thahiir. Supaya, selain dirinya suci, juga dapat mensucikan orang lain.

Jadi memang harus ada “batu-bata” yang shalih yang memiliki akhlak Islam. Sebab tidak akan ada kepaduan, ikatan, kecintaan, tolong-menolong, itsar (sikap mengutamakan kepentingan orang lain), dan akhlak utama lainnya – yang menunjukkan keikhlasan, dan tidak akan terwujud harmoni sosial kecuali bila ada kesatuan akhlak dan kesamaan di antara para anggota dalam hal perilaku, orientasi, dan pemahaman. Kesemua itu tidak akan terwujud kecuali dalam bingkai jamaah yang mengarahkan untuk melaksanakannya.

Orang-orang yang memahami Islam sebagai semata-mata ibadah lahiriah, yang jika mereka melaksanakan atau melihat orang melaksanakanny sudah merasa puas dan menduga bahwa itu adalah esensi Islam, tidak lebih dari itu, bagaimana ia akan merasakan wajibnya amal jama’i. Demikian pula dengan orang-orang yang tidak memandang Islam selain sebagai akhlak mulia, spiritual yang agung, konsumsi filosofis yang merangsang akal dan ruhani serta menjauhkan keduanya dari debu-debu materi. Mereka juga tidak akan mempercayai pentingnya amal jama’i.

Page 11: Amal Jama'i Materi

Adapun orang-orang yang meyakini bahwa Islam adalah manhaj kehidupan, mereka itulah yang percaya wajibnya amal jama’i.

Begitulah kita memahami Islam secara sempurna lagi integral sebagai risalah tarbiyah dan manhaj kehidupan yang jauh dari kebekuan orang-orang yang beku, dari kelonggaran orang yang menghalalkan segala cara (permisivisme) dan dari keruwetan para filosof. Tidak ada sikap ekstrem dan tidak sikap abai, dengan tetap memegang teguh Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya serta sirah salafus-shalih. Dengan hati yang jujur, orang-orang mukmin akan menyerap dari Al Quran dan Sunah itu Islam sebagai akidah, ibadah, tanah air, kewarganegaraan, akhlak, materi, toleransi, kekuatan, tsaqafah, dan perundang-undangan.

“Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (Qs. Al Baqarah, 2: 143)

Untuk pemahaman itu kita ikhlas. Islam – sebagaiman kita pahami – adalah agama jamaah, yang mendidik setiap individu untuk menjadi mushlih’ dan bukan sekadar shalih (shalih).

“Dan sekali-kali Rabbmu tidak akan menghancurkan negeri-negeri secara zalim padahal penduduknya melakukan perbaikan.” (Qs. Huud, 11: 117)

“Dan Allah mengetahui orang yang merusak dari orang yang melakukan perbaikan.” (Qs. Al Baqarah, 2: 220)

Orang yang shalih – dalam pemahaman kita terhadap Islam – adalah termasuk kontributor dalam kemungkaran jika ia diam. Lalu manfaa t apa yang bisa dirasakan oleh masyarakat dengan keshalihannya bila ia tidak turut membantu saudaranya untuk mewujudkan masyarakat yang baik. Sesungguhnya orang yang tidak mengatakan kebenaran adalah syaitan bisu. Allah swt mengingatkan:

“Dan takutlah kalian akan sebuah bencana yang akan menimpa bukan banyak orang-orang yang zalim di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah amat dahsyat sikasaan-Nya.” (Qs. Al Anfaal, 8: 25)

Karenanya, Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “Akankah kita dibinasakan padahal di tengah-tengah kita ada orang-orang shalih?” Rasulullah saw menjawab, “Jika keburukan itu telah menjadi dominan.”

Dalam hadits lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika kesalahan tersembunyi, maka ia tidak akan membahayakan selain pelakunya. Tapi, jika kesalahan telah merajalela dan tidak diberantas, maka itu akan membahayakan orang banyak.” (HR. At-Tirmidzi)

Amal jama’i yang sistemik bertumpu pada 3 (tiga) hal:• Pimpinan yang ikhlas (qiyadah).• Basis, yakni individu-individu yang satu sama lainnya berpadu secara ikhlas (jamaah).• Minhaj dengan pemahaman yang gamblang (dakwah).

Page 12: Amal Jama'i Materi

Hubungan di antara ketiganya dibangun berlandaskan atas syura (musyawarah) yang wajib dan mengikat, taat yang disertai pemahaman, ikhlas kepada Allah dalam menjalankan apa yang dipahami dan dalam ber-harakah. Jika keikhlasan hilang dari mereka, maka mereka tak ubahnya bagaikan perhimpunan lainnya yang hanya terbentuk di atas asas kepentingan pribadi dan bukan lagi merupakan jamaah dengan segala tonggak, karakteristik, tujuan-tujuan, dan sarana-sarananya. Bukan lagi jamaah yang dapat memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah. Dan ia bukan lagi merupakan jamaah yang dapat mewujudkan superioritas dalam hidup, dan membimbing manusia ke jalan yang benar, sebagaimana yang Allah firmankan:

"Dan demikianlah (pula) Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (Qs. Al Baqarah, 2: 143)

Anda dapat bayangkan sebuah jamaah yang memiliki ciri-ciri seperti itu dan mewujudkan apa-apa yang disebutkan di atas itu. Jamaah yang menyadari besarnya risalah yang dihasungnya dan percaya penuh akanpertolongan Allah. Tidak diragukan bahwa para anggota jamaah itu akan dipersatukan hatinya oleh Allah.

“Dan Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al Anfaal, 8: 63)

Dan kemenangan yang Allah janjikan akan mereka raih:“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih bahwa Dia akan mengangkat mereka sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana Dia telah mengangkat orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah dan pasti Dia akan kokohkan hagi mereka agama mereka yang Dia ridhai dan Dia akan menggantikan untuk mereka rasa takut menjadi rasa aman, mereka beribadah kepada-Ku dengan tidak menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Ku.” (Qs. An-Nuur, 24: 55)

Maka dari itu kaum Muslimin setelah Rasulullah saw wafat bersepakat untuk mencari siapa yang akan menggantikan beliau guna menjaga agama ini, melangsungkan dakwah, memelihara keamanan, dan menyampaikan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

‘Ali Bin Abi Thalib – semoga Allah meridhainya – mengatakan, “Manusia harus mempunyai imarah (kepemimpinan) yang shalih maupun durhaka.” Seseorang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, kalau pimpinan yang shalih kami mengerti, tapi bagaimana dengan pimpinan yang durhaka?” Ia menjawab, “Dengan imarah itu hukum pidana ditegakkan, jalan diamankan, musuh dilawan, dan harta rampasan perang dibagikan.”

Ibnu Khaldun mengatakan bahwa mengangkat imam telah diketahui kewajibannya dalam syariat berdasarkan ijma’ sahabat dan tabi’in dan tidak ada seorang pun yang berpandangan berbeda dari itu. Sedangkan Imam Juwaini mengatakan bahwa pengangkatan imam berpijak di atas landasan ijma‘ yang kokoh. Imam As-Sihristani mengatakan bahwa Abu Bakar Shiddiq, setelah khutbah di Saqifah Bani Sa’idah, mengatakan, “Harus ada orang yang menegakkan agama ini." Maka orang-

Page 13: Amal Jama'i Materi

orang berteriak dari berbagai sudut, “Anda benar wahai Abu Bakar." Hal seperti itu disampaikan pula oleh Imam Al Mawardi. “Imamah ditegakkan untuk menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia.” Benarlah perkataan seorang ulama, “Agama itu pangkal dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak punya pangkal maka akan hancurlah ia. Dan apa-apa yang tidak mempunyai penjaga maka ia akan lenyap.”

Nah, untuk mewujudkan tujuan yang ingin kita capai itu, maka kita harus menentukan tujuan yang harus dicapai oleh jamaah, yakni: individu Muslim, keluarga Muslim, masyarakat islami. Karenanya, jamaah yang menyerukan pada pemahaman seperti disebutkan di atas itu, dengan langkah-langkah ta’rif (memberikan pemahaman), takwin (pembentukan), dan tanfidz (aplikasi), dialah jamaah yang menjalankan kewajiban. Sebab, sesuatu yang membuat kewajiban menjadi tidak sempurna bila ia tidak ada, maka “si suatu” itu hukumnya wajib.

Tiada Islam tanpa jamaah. Tidak ada jamaah tanpa imarah (kepemimpinan). Dan tidak ada imarah tanpa ketaatan. Sebab, Islam adalah sistern dan ketaatan. Dalil yang paling kuat untuk itu adalah adanya seruan yang bersifat jama’i dalam Al Quran, “Wahai orang-orang yang beriman.” Dan bahkan awal surat Al Baqarah menegaskan bahwa orang-orang yang akan mendapatkan petunjuk adalah al muttaqin (dalam bentuk jamak: orang-orang yang bertakwa) bukan al muttaqi (dalam bentuk tunggal: seorang yang bertakwa). “Itulah kitab (Al Quran), merupakan petunjuk hagi orang-orang yang bertakwa.” Kemudian Allah swt menyebutkan sifat-sifat mereka, “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” Semua itu menunjukkan sifat kolektif, seperti yang Anda lihat. Bahkan Allah swt mengingatkan kita tentang nilai kebersamaan itu dengan ungkapan yang kita ulang-ulang setiap shalat, “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan banya kepada Engkau kami mohon pertolongan.” Di situ digambarkan beribadah dan mohon pertolongan dalam kebersamaan.

Itu semua logis belaka, sebab ibadah dengan maknanya yang utuh tidak akan terwujud melainkan dengan secara bersama-sama beribadah dan memohon pertolongan. Bahkan,.hidayah itu sendiri tidak akan sempurna tanpa jamaah. Karenanya kita mengatakan, “Berilah kami petunjuk” dan bukannya “Berilah aku petunjuk”. Sebab memang hidayah yang sejati dan sempurna yang diberikan Al Quran hanya akan terwujud dengan jamaah. Itulah sebabnya, kabar gembira juga berlaku untuk orang-orang mukmin dalam kebersamaannya dan bukan dalam kesvnd iriannya.

Sebenarnya, ketika kita mengatakan bahwa Islam adalah agama jamaah, maka pemahaman itu sendiri adalah bagian dari agama. Dan seharusnya pemahaman itu menjadi salah satu tsawabit jamaah manapun yang menyerukan kepada Islam.

Pemahaman bahwa Islam adalah agama jamaah itu sendiri merupakan tsawabit Islam. Persepsi itu menyerukan untuk mempraktikkan tatanan dalam jumlah sekecil apa pun, sekalipun ia berada dalam perjalanan (safar). Jika ia melakukan perjalanan sendirian maka temannya adalah syaitan. Dan jika jumlahnya lebih dari satu, meskipun hanya tiga orang, maka wajib diangkat seorang pemimpin dari dan untuk mereka. “Jika kalian bertiga maka angkatlah salah seorang di antara kalian sebagai amir.” (Hadits Hasan riwayat Abu Dawud). Apatah lagi dengan orang yang ingin menghidupkan umat, dan membuat sebuah peradaban. Bukankah ini lebih membutuhkan penataan yang akurat dan amir jamaah yang ditaati?

Page 14: Amal Jama'i Materi

Tidak diragukan lagi bahwa bila keimanan para anggota kuat, maka akan kuat pula jamaah itu dan akan mampu mencapai apa yang dicita-citakan. Sebaliknya, bila keimanan para anggotanya lemah, barisan akan bercerai-berai. Sebab, lemahnya iman akan mengakibatkan kerancuan konsep, dan munculnya kecenderungan hati terhadap kepentingan duniawi. Di antara kecenderungan duniawi yang dapat menghambat perjalanan jamaah adalah harta, anak, istri, senang bersantai-santai, putus asa, takut, loyo, semangat yang berlebihan, dan tidak adanya loyalitas.

Nah, sudah jelas bagi kita bahwa amal jama’i adalah wajib bagi kaum Muslimin. Jika demikian, maka sarana yang dapat mengantarkan pada terlaksananya kewajiban itu adalah wajib. Karenanya, propaganda yang menyerukan tidak pentingnya amal jama’i adalah propaganda untuk melemahkan dan memecah belah kaum Muslimin. Padahal, zaman sekarang ini masanya orang membuat perkumpulan, atau koalisi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Maka, apatah lagi Islam yang memandang jamaah sebagai keimanan dan perpecahan adalah kekafiran.

Nilai jamaah pada jiwa seseorang tidak akan sempurna kecuali terwujud lima hal:• Bangga dengan her-intima (afiliasi) dengan jamaah itu.• Merasa tenteram dengan keberadaan dirinya di dalam jamaah itu.• Jamaah itu mewujudkan atau akan mewujudkan segala cita-cita keislamannya.• Setiap anggota pada jamaah tersebut berkontribusi kepada jamaahnya dan jamaah pun membantunya; ia menopang jamaah tersebut dan jamaah pun mendukungnya.• Seseorang menjadi berarti dengan jamaah dan bukan dengan yang lainnya, sedangkan jamaah itu walaupun tidak ditegakkan oleh dia pasti ditegakkan oleh orang lain. Firman Allah swt:

“Dan jika kalian berpaling maka niscaya Allah akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu.” (Qs. Muhammad, 47: 38)

“Wahai orang-orang yang beriman, siapa yang murtad di antara kalian dari agamanya maka niscaya Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka (pun) mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalari Allah dan tidak takut celaan orang-orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui’.”(Qs. Al Maaidah, 5: 54)

Itulah perbedaan antara perhimpunan yang tidak ada ikatan dan tidak punya manhaj dengan jamaah yang diikat oleh nurani, perasaan, kecintaan, aturan, tujuan, sarana, pemimpin, prajurit yang tujuannya adalah Allah. Dan untuk itulah digulirkan gerakan perbaikan setiap individu agar menjadi takwa, pembentukan keluarga agar menjadi keluarga islami, dan pengarahan terhadap masyarakat agar di dalamnya tersebar nilai-nilai, prinsip-prinsip, akhlak, dan syi’ar-syi’ar Islam, dalam setiap sudut kehidupan.

Comments

The URI to TrackBack this entry is: http://beranda.blogsome.com/2006/04/30/kewajiban-amal-jamai/trackback/

Page 15: Amal Jama'i Materi

[5072 Reads] Berpartisipasi Dalam Kerja-Kerja Amal Jama'i Posted by: hendra on Thursday, September 25, 2003 - 08:06

Lalu, para Malaikat mendatangi Nabi Adam AS untuk mengetahui sejauh mana ilmunya. Mereka bertanya:�Siapakah namanya, Adam?� Jawab Adam:�Hawwa!� Malaikat bertanya:�Mengapa namanya Hawwa?� Jawab Adam:�Karena dia dijadikan dari benda hidup� (Tafsir Ibnu Katsir).

Itulah interaksi sosial pertama yang terjadi antara dua manusia. Interaksi sosial merupakan fithrah basyariyah (naluri manusia) yang menjadikan hidup menjadi indah dan lebih bermakna. Keadaan Nabi Adam AS sebelum kedatangan Hawwa digambarkan dalam Tafsir Ibnu Katsir �berjalan-jalan sendirian dan kesepian�.

Setelah itu, lahirlah keturunan dari Adam dan Hawwa, baik keturunan laki-laki atau perempuan, sehingga jumlahnya menjadi milyaran ummat manusia seperti sekarang ini. Allah Ta�ala berfirman:�Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan wanita yang banyak �� (An Nisaa� [4]: 1).

Firman-Nya yang lain:�Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku �� (Al Hujuraat [49]: 13).

Dengan semakin berkembang biaknya laki-laki dan wanita dalam jumlah yang banyak, menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa; maka mau tidak mau, suka tidak suka, manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya. Baik dalam lingkungan yang padat, atau dalam ligkungan yang jarang penduduknya. Keharusan berinteraksi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluq sosial seperti kakeknya terdahulu, Nabi Adam dengan Ibu Hawwa.

Allah Ta�ala berfirman:�� Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu� (An Nisaa� [4]: 1).

Dalam firman-Nya yang lain:�� menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal �� (Al Hujuraat [49]: 13).

Demikianlah, Allah Ta�ala telah menjelaskan kepada kita rahasia penciptaan manusia yang beragam kulit, bahasa, tradisi dan alamnya. Semuanya tidak dalam rangka manusia saling bermusuhan dan menumpahkan darah. Tetapi untuk saling mengenal, saling membutuhkan dan saling mengunjungi. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah berupaya merubah nama suku shahabatnya; seperti suku Auz dengan Kazraj, meskipun kedua suku tersebut pernah terlibat peperangan yang lama. Rasulullah SAW tidak merubah kedua nama suku itu, yang dihilangkan bukan namanya, tetapi sikap permusuhan di antara keduanya dan diganti dengan sikap persaudaraan. Demikian pula antara shahabat Muhajirin dan Anshar serta shahabat lainnya. Dan dengan begitu, kehidupan menjadi indah dan menggairahkan.

Page 16: Amal Jama'i Materi

ISLAM TIDAK ANTI SOSIAL

Rasulullah SAW mengajak ummatnya untuk bergaul dengan masyarakatnya dan bershabar terhadap berbagai macam perilaku mereka. Sabdanya:�Seorang Mu�min yang berinteraksi dengan masyarakat dan bershabar terhadap segala macam cobaan dari mereka lebih agung pahalanya daripada seorang Mu�min yang tidak berinteraksi dan tidak bershabar terhadap cobaan manusia� (HR. Muslim).

Kata �lebih agung pahalanya� merupakan dorongan Rasulullah SAW kepada ummatnya untuk bergaul atau berinteraksi dengan manusia lainnya. Sedangkan hijrah untuk meninggalkan manusia ramai kemudian menyendiri dalam kehidupan merupakan perkara yang tidak diajarkan dalam Islam, karena Rasulullah SAW telah bersabda:�Tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Makkah� (Riyadhush Shalihin). Sebagai gantinya, Islam mengajarkan ummatnya untuk melakukan hijrah ma�nawi atau isolasi mental. Rasulullah SAW bersabda:�Muhajir (orang yang hijrah) adalah mereka yang meninggalkan segala sesuatu yang dilarang oleh Allah Ta�ala� (HR. Muslim).

Dari sabda Rasulullah SAW ini, dapat kita fahami bahwa yang dimaksud hijrah adalah meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah Ta�ala, tanpa harus berpindah secara fisik. Inilah yang dimaksud dengan hijrah ma�nawiyah atau isolasi mental. Secara fisik bergaul dengan masyarakat ramai, tetapi secara mental meninggalkan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Tentu saja, yang dimaknai bergaul dengan masyarakat bukan berarti bergaul secara akrab dengan para pelaku maksiat; sampai memberikan solidaritas dan loyalitas kepada mereka. Karena Rasulullah SAW memberikan peringatan:�Seseorang itu bersama agama temannya. Maka hendaklah seseorang memperhatikan dengan siapa dia berteman� (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).

Berarti yang dimaknai bergaul adalah berinteraksi dalam perkara-perkara mu�amalah seperti jual-beli, bertetangga, berteman, berorganisasi atau yang lain; sembari berda�wah untuk mengarahkan mereka terbiasa dengan akhlaq-akhlaq Islami.

Beberapa orang Muslim yang ingin menyendiri dalam kehidupan dan tidak mau bergaul dengan masyarakat ramai mempunyai alasan yang kurang tepat. Beberapa sikap dan pemikiran yang kurang tepat adalah:

1. Belum berda�wah tetapi sudah memvonis

Islam tidak mangajarkan kepada ummatnya untuk menjadi tukang vonis, tetapi Islam mengajak ummatnya untuk menjadi seorang da�i. Allah Ta�ala berfirman:�Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka� (Al Ghaasyiyah [88]: 21-22).

Seringkali kita memvonis masyarakat dengan vonis yang menyakitkan, seperti: sesat, kafir, murtad, ahli neraka dan lain-lain. Sementara kita sama sekali belum berd�awah kepada mereka dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah SAW. Sikap seperti ini meneybabkan terjadi rentangan jarak yang jauh antara kita dengan masyarakat. Atau, menyebabkan kita lebih suka menyendiri daripada bergaul untuk berda�wah.

Page 17: Amal Jama'i Materi

Tentu saja sikap seperti ini tidak tepat, karena berda�wah itu adalah langkah pertama yang harus dilakukan dalam berhubungan dengan manusia. Dan dengan da�wah pulalah kita bergaul dengan masyarakat ramai. Sedangkan sikap suka menjatuhkan vonis kepada msyarakat bukanlah ajaran Islam, karena Rasulullah SAW bersabda:�Saya tidak diutus untuk menjadi tukang cela, tetapi untuk menjadi pemberi rahmat� (Tafsir Ibnu Katsir).

2. Semua jama�ah dan organisasi Islam sesat dan firqah

Allah Ta�ala berfirman:�Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka� (Ar Ruum [30]: 32).

Rasulullah SAW bersabda:�Ummatku terpecah menjadi tujuhpuluhtiga firqah, tujuhpuluh dua masuk nerakadan satu yang masuk surga; itulah jama�ah� (HR. Ahmad).

Dalil-dalil di atas atau yang serupa dengannya, seringkali disikapi keliru oleh beberapa gelintir Kaum Muslimin. Sikap yang keliru tersebut adalah:

a. Menganggap seluruh jama�ah Kaum Muslimin adalah sesat dan firqah

b. Menganggap hanya jama�ahnya yang memenuhi kriteria di atas, sehingga hanya jama�ahnya yang berhak masuk surga. Sedangkan jama�ah lain akan masuk neraka.

Kedua sikap ekstrem tersebut tentu saja sikap yang tidak tepat. Karena ayat beserta hadits di atas, atau yang sejenis dengannya, hanya menunjukkan sifat-sifat golongan yang benar atau kelompok yang sesat. Dalil-dalil seperti itu sama sekali tidak menunjukkan suatu nama tertentu. Sehingga setiap kelompok, golongan atau jama�ah yang memenuhi sifat-sifat kebenaran seperti itu masuk dalam golongan yang selamat; apapun namanya. Demikian pula sebaliknya, jika ada kelompok, golongan atau jama�ah yang memenuhi sifat-sifat kesesatan, maka dia akan masuk dalam golongan yang celaka; apapun namanya.

Sehingga, tidak ada organisasi yang benar sendiri tidak pula seluruh organisasi sesat. Kita lihat dulu sifat-sifat organisasi tersebut secara obyektif. Sudut pandang inilah yang Islami dan menghindarkan diri kita dari keengganan untuk bergaul dengan mesyarakat ramai yang mengikuti berbagai macam organisasi.

3. Berinteraksi dengan pelaku maksiat dilarang dalam Islam

Rasulullah SAW pernah bersabda:�Seseorang itu bersama agama temannya. Maka perhatikanlah dengan siapa seseorang itu berteman� (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Dengan sabda Rasulullah Saw ini ada beberapa Kaum Muslimin yang beranggapan bahwa berinteraksi dengan pelaku maksiat itu dilarang.

Tentu saja pemahaman ini tidak seratus persen benar dan juga tidak seratus persen salah. Yang diingatkan Rasulullah SAW adalah pertemanan bukan interaksi. Yang diamksud dengan pertemanan adalah tempat seseorang meletakkan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan dan tempat memberikan loyalitas. Pertemana seperti inilah yang harus dijaga tetap dengan orang-orang yang shalih, bukan dengan para pelaku maksiat.

Page 18: Amal Jama'i Materi

Sedangkan interaksi itu dapat bermakna sangat luas. Karena da�wah itu sendiri adalah sebuah bentuk interaksi terus-menerus antara seorang juru da�wah dengan obyek da�wahnya. Di antara obyek da�wah adalah para pelaku maksiat. Tentu saja, interaksi da�wah dengan para pelaku maksiat bukan dalam rangka pertemanan, yaitu bukan dalam rangka memberikan rasa solidaritas, menumpahkan perasaan serta tempet memberikan loyalitas. Tetapi dalam rangka mengarahkan, meluruskan serta mengurangi intensitas kemaksiatannya.

Seseorang yang menganggap interaksi dengan pelaku maksiat dilarang menyebabkan dia mengambil sikap menyendiri dan menyepi serta mengindarkan diri dari bergaul dengan sesama manusia. Sikap inilah yang tidak tepat.

4. Sekarang ini adalah masa kerusakan

Rasulullah SAW bersabda:�Akan datang suatu masa yang menimpa manusia; tidak ada Islam kecuali tinggal namanya saja, tidak ada Al Qur�an kecuali tinggal tulisannya saja, masjid-masjid mewah tetapi kosong dari petunjuk serta ulama�nya adalah orang yang paling jahat yang berada di bawah langit �� (HR. Al Baihaqi).

Hadits di atas serta hadits-hadits yang sejenis dijadikan sebagai alasan oleh beberapa Kaum Muslimin untuk menggambarkan kondisi zaman sekarang ini. Sebagian berpendapat sangat ekstrem , yaitu sekarang adalah zaman paling rusak dan sudah tidak mungkin lagi untuk diperbaiki kembali. Sehingga mereka memilih mundur dan menyepi dari keramaian manusia; dengan anggapan supaya selamat dunia akhirat.

Anggapan seperti ini tentu saja tidak dapat dikatakan benar seratus persen. Karena masih banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa akhir zaman ditandai dengan kehadiran Dajjal, Nabi Isa, Imam Mahdi, Ya�juj dan Ma�juj dan lain-lain. Semuanya itu belum terjadi. Belum lagi Rasulullah SAW pernah bersabda:�� Kemudian akan datang lagi masa kekhilafahan yang ditegakkan atas dasar-dasar kenabian ketika Allah berkehendak untuk mendatangkannya �� (HR. Ahmad). Dan masa kekhilafahan kedua ini juga belum terwujud. Bagaimana bisa bahwa zaman sekarang ini adalah rusak-rusaknya zaman, sementara ciri-ciri akhir zaman belum terwujud?

Anggapan yang keliru seperti ini menyebabkan manusia mengambil sikap yang tidak tepat pula; di antaranya adalah dengan mengasingkan diri dari masyarakat ramai dan hanya asyik dengan dirinya-sendiri.

SIKAP DIRI

Sebenarnya, ada potensi dasar pada diri seseorang yang menyebabkan masyarakat mudah menerima kehadirannya. Beberapa karakteristik dasar tersebut antara lain:

� Penduduk asli lebih diterima daripada pendatang� Orang tua lebih diterima daripada anak muda� Keturunan tokoh lebih diterima daripada keturunan orang biasa� Orang kaya lebih diterima daripada orang miskin� Orang yang suka memberi lebih diterima daripada orang yang pelit � Orang yang suka menolong lebih diterima daripada orang yang berat untuk menolong

Page 19: Amal Jama'i Materi

� Orang yang pandai bergaul lebih diterima daripada tidak suka bergaul

Potensi dasar ini harus senantiasa diupayakan supaya da�wah kepada masyarakat mengalami percepatan yang signifikan. Proses percepatan dapat melalui pernikahan, pelatihan, pendistribusian dana dan lain-lain.

Selain potensi dasar pada diri seseorang, terdapat pula sikap diri yang harus dimunculkan dalam diri seseorang ketika bergaul dengan masyarakat. Sikap diri inilah yang menyebabkan masyarakat lebih mudah menerima kehadiran kita, tidak mempunyai alasan untuk memusuhi serta menyambut da�wah kita atas ijin Allah Ta�ala.

1. Empati sebagai sikap dasar pergaulan

Sikap dasar pergaulan yang ideal adalah empati. Yang dimaksud dengan empati adalah:

a. Memandang manusia dengan kacamata kasih-sayang

Allah Ta�ala mengutus Rasulullah SAW sebagai rahmah (kasih-sayang) bagi seluruh penghuni bumi. Firman-Nya:�Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam� (Al Abiyaa� [21]: 107). Tentua saja kacamata rahmah (kasih-sayang) bersifat universal, yaitu ditujukan kepada seluruh ummat di dunia. Baik yang Muslim atau Non Muslim, bahkan untuk manusia atau binatang, tumbuhan dan benda-benda lain di dunia. Tetapi dalam pembahasan kita kali ini, rahmat itu ditujukan kepada seluruh ummat manusia.

Inilah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Abdurrahman Bin �Auf ketika dia meminta kepada Rasulullah SAW untuk membalas celaan orang-orang kafir Quraisy. Rasulullah SAW bersabda:�Sesungguhnya aku ini diutus bukan untuk menjadi tukang laknat (tukang cela), tetapi untuk memberikan rahmah (kasih-sayang)� (Tafsir Inu Katsir).

Demikian pula, ketika Rasulullah SAW dilempari batu oleh penduduk Thaif yang membawa kesedihan sangat mendalam di hati beliau. Maka beliau berdo�a:�Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui� (HR. Bukhary dan Muslim).

Begitulah ketika kita berinteraksi dengan masyarakat, kita harus memandang mereka dengan kacamata kasih-sayang, bukan kebencian dan kemarahan. Rasulullah Saw mengingatkan:�Jauhkan dirimu dari sangka-sangka, karena sangka-sangka itu sedusta-dusta berita. Dan jangan meraba-raba dan jangan menyelidiki kesalahan orang �� (HR. Muslim).

Segala bentuk perilaku masyarakat, baik yang menyenangkan atau menjengkelkan hati kita, kita sikapi dengan tatapan kasih-sayang. Bukan balas-dendam, kemarahan dan kebencian. Sambil kita berdo�a di hadapan Allah Ta�ala:� Ya Allah, ampunilah mereka. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengetahui�

b. Ikut merasakan alunan perasaan orang lain

Rasulullah SAW mengajarkan kepada seorang Muslim untuk menghargai perasaan orang lain. Perasaan senang, sedih, gembira, kecewa, susah dan lain-lain. Bnetuk penghargaan perasaan kepada orang lain adalah dengan ikut serta merasakan perasaan orang lain. Jika

Page 20: Amal Jama'i Materi

orang lain sedih, kita ikut menampakkan ekspresi kesedihan. Jika orang lain bergembira, maka kita juga semestinya menampakkan ekspresi kegembiraan. Begitu pula dengan perasaan-perasaan yang lain.

Rasulullah SAW bersabda:�Jangan menunjukkan kegembiraanmu dalam kesusahan saudaramu, maka Allah akan menyembuhkan (menyelamatkannya) dan membalas ujian padamu� (HR. At Tirmidzi; Riyadhush Shalihin II, 450).

Tentu saja, sikap ini bukan bertujuan untuk memperparah keadaan. Misalkan seseorang yang bersedih menjadi sedih berkepanjangan, atau seseorang yang bahagia melampiaskannya dengan hura-hura berlebihan. Tetapi sikap ini bertujuan untuk melegakan perasaan seseorang, terutama yang tengah dirundung derita. Karena dalam kesedihannya, masih ada orang lain yang menanggapi dan memberi perhatian kepadanya. Dalam suasana seperti itulah, nasihat yang baik akan lebih menghujam di dalam qalbu.

c. Perhatian

Perhatian adalah sebuah bentuk pencurahan pikiran dan perasaan seseorang untuk kebaikan orang lain. Lawan perhatian adalah cuek dan tidak mau tahu persoalan orang lain. Orang seperti ini, cuek dan tak mau tahu, biasanya cenderung egois atau hanya asyik dengan dirinya sendiri. Terserah saja apa yang terjadi pada orang lain, asalkan tidak menimpa diri saya.

Bentuk perhatian ini tentu saja bukan bertujuan untuk mengorak aib orang lain. Tetapi perhatian adalah lebih bertumpu kepada komitmen seseorang untuk ikut membantu orang lain bergembira dan berbahagia.

d. Basa-basi

Basa-basi yang dimaksud di sini bukan berarti basa-basi tanpa arti. Tetapi basa-basi yang dapat melunturkan rasa dengki dan kemarahan seseorang kepada kita. Selain itu, basa-basi ini memang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sabdanya:�Janganlah kalian meremehkan sedikitpun kebaikan, meskipun hanya dengan wajah manis ketika bertemu dengan saudaramu� (HR. Muslim).

Di antara bentuk basa-basi itu adalah:

i. Salam

Ucapan salam kelihatannya terkesan hanya sebuah basa-basi. Tetapi sebenarnya, setiap manusia sangat suka menerima salam dari orang lain; karena merasa mendapat perhatian. Rasulullah SAW bersabda:�Demi Dia yang nyawaku berada di tangan-Nya. Kalian tidak akan masuk surga, sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman, sampai kalian saling berkasih-sayang. Maukah kalian saya tunjukkan suatu perbuatan jika kalian lakukan akan tumbuh rasa kasih-sayang di antara kalian? Sebarkanlah salam di antara kalian� (HR. Muslim).

ii. Wajah Manis

Wajah ceria dengan senyum yang tulus merupakan bantuan moril kepada orang lain untuk turut berbahagia menghadapi hari ini. Karena dengan keceriaan wajah dan senyuman kita,

Page 21: Amal Jama'i Materi

seseorang akan terhipnotis ikut bergembira. Untuk itulah Rasulullah SAW berpesan:�Janganlah kalian meremehkan sedikitpun perbuatan yang ma�ruf meskipun hanya dengan berwajah manis ketika bertemu dengan saudaramu� (HR. Muslim).

iii. Jabat-tangan

Jabat-tangan yang ikhlas akan melebur rasa dendam dalam hati dan menggantikannya dengan rasa sayang serta saling memaafkan. Jabat-tangan juga mampu menumbuhkan rasa akrab serta mencairkan ketegangan suasana. Rasulullah SAW bersabda:�Tidaklah dua orang Muslim yang bertemu kemudian berjabat-tangan, kecuali Allah mengampuni dosa di antara keduanya sampai keduanya berpisah� (HR. Abu Dawud).

iv. Memanggil dengan nama yang disukai

Jika kita kenal nama seseorang, kemudian memanggil dengan namanya, maka keakraban akan dengan cepat mudah terjalin. Terlebih lagi, bila kita tahu nama kesukaan seseorang atau nama kebanggaannya, dan kita panggil orang tersebut dengan nama-nama itu; maka perasaan in group akan cepat tumbuh. Yaitu perasaan tidak terpisahkan antara kita dengan dirinya.

Allah Ta�ala berfirman:�� dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk �� (Al hujuraat [49]: 11).

v. Memberi hadiah

Hadiah dapat memupus rasa permusuhan dan menggantinya dengan cinta. Rasulullah Saw bersabda:�Saling bertukar hadiahlah sehingga kalian saling berkasih-sayang� (HR. Muslim).

2. Teladan sebagai contoh praktis kehidupan

Masyarakat sangat tidak menyukai teori dan konsep yang muluk-muluk dan melangit; terutama sekali masyarakat awam. Tetapi masyarakat lebih membutuhkan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari yang praktis dan aplikatif. Karena itu, teladan merupakan bahasa yang tepat untuk berbicara kepada masyarakat. Pepatah Arab mengatakan:�Bahasa teladan lebih fasih daripada bahasa lisan�.

Misalnya, dalam masalah ibadah; sebelum kita mengajak masyarakat menegakkan shalat, maka harus dimulai dari diri kita untuk senantiasa menegakkan shalat. Kita mencontohkan rapi dan bersih dalam penampilan, pakaian dan rumah tinggal serta kendaraan. Kita mencontohkan senantiasa memulai berbuat baik kepada tetangga dengan menyapa, silaturahmi, memberi hadiah dan yang sejenisnya.

Allah Ta�ala mengecam manusia yang hanya mau berbicara, tetapi tidak berupaya untuk menerapkan ucapannya sendiri dalam praktek amal keseharian. Firman-Nya:�Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakn apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan� (Ash Shaff [61]: 2-3).

Rasulullah Saw berpesan:�Mulailah dari dirimu sendiri!� (HR. An Nasaa�i).

Page 22: Amal Jama'i Materi

3. Memberi manfaat

Hendaklah kita tidak sekedar mencari keuntungan material dalam berhubungan dengan masyarakat. Segala sesuatu hanya diukur untung-rugi secara ekonomi.

Bila kita berperilaku seperti itu, maka masyarakat akan sulit meraba keikhlasan hati kita dalam bekerja atau dalam berhubungan dengan mereka. Sehingga mereka berhati-hati dalam berhubungan dengan kita, atau bahkan menghindari. Mereka takut menjadi korban materi dalam berhubungan dengan kita.

Sudah semestinya, apabila kita justru berusaha banyak memberi manfaat kepada masyarakat, tanpa terbesit dalam diri kita untuk mendapat ganti; kecuali hanya keridhaan Allah semata. Demikian itulah yang diajarkan Rasulullah SAW dalam hidup bermasyarakat.

Sebelum Muhammad menjadi Nabi, Khadijah RA menceritakan pribadi beliau:�

4. Teguh pendirian

Banyak sekali perilaku masyarakat yang belum sesuai dengan nilai-nilai Islam. Bahkan seringkali perilaku itu telah mengakar dan membudaya dalam sebuah masyarakat. Misalnya sesaji ke kuburan, sesaji setelah bersih desa, minuman keras saat ada hajatan dan lain-lain.

Tentu saja, kita dilarang untuk ikut-ikutan acara haram tersebut dengan alasan untuk bermasyarakat. Bila kita mempunyai kekuasaan di masyarakat, menjadi perangkat desa misalnya; maka kita dapat mengurangi sedikit demi sedkit tradisi tersebut melalui jalur-jalur kekuasaan. Bika kita berani mengingatkan secara lisan kepada mereka, maka dapat menegurnya. Tetapi, apabila kita tidak mampu melakukan keduanya, cukuplah kita memiliki pendirian yang kuat untuk tidak mengikutinya.

Rasulullah SAW bersabda:�Janganlah kalian menjadi orang yang imma�ah (tidak punya pendirian) yang hanya berkata:�Saya bersama masyarakat. Bila masyarakat baik, maka saya juga baik. Demikian pula, jika masyarakat buruk, saya juga buruk�. Akan tetapi teguhkan pendirianmu, jika masyarakat berbuat baik, maka berbuat baiklah. Dan jika masyarakat melakukan keburukan, maka tinggalkanlah keburukan mereka� (HR. Muslim).

5. Memaklumi jangan minta dimaklumi

Rasulullah SAW telah menunjuk seluruh Kaum Muslimin sebagai pemimpin dengan sabdanya:� Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap apa yang dipimpinnya� (HR. Bukhary).

Dengan hadits itu, berarti seluruh Kaum Muslimin adalah pemimpin baik dalam skala yang luas, yaitu memimpin masyarakatnya; dalam skala sedang, memimpin rumah-tangganya; atau dalam skala kecil, yaitu memimpin dirinya sendiri.

Mental khusus seorang pemimpin adalah responsible (tanggung-jawab) dan sense of

Page 23: Amal Jama'i Materi

belonging (rasa memiliki). Dengan dua setting mental inilah seorang Muslim harus bekerja menghadapi masyarakatnya, karena dari sini tumbuh sikap berusaha memaklumi orang lain dan tidak malah meminta untuk dimaklumi.

Tingkah-polah masyarakat yang berada di sekiling kita, kita respon dengan sikap maklum. Sehingga kita mampu menghadapi mereka dengan tenang, tidak emosi serta menghilangkan dendam kesumat dalam jiwa. Jika mereka mencela kita, menghina kita, mencibir atau yang sejenisnya; cukuplah kita berdo�a sebagaimana Rasulullah SAW berdo�a untuk penduduk Tha�if:�Ya Allah ampunilah mereka, karena mereka orang yang tidak mengetahui� (HR. Bukhary dan <USLIM).

INTERAKSI

1. Heterogenitas adalah anugerah Allah

Heterogentitas merupakan anugerah dari Allah Ta�ala, karena Allah telah berfirman:� Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal �� �� (Al Hujuraat [49]: 13).

Sehingga heterogenitas bukanlah sebuah perkara yang harus kita sesali, tetapi justru merupakan hal yang harus kita syukuri. Setiap suku memiliki tradisi dan cara masing-masing; bahkan setiap orang memiliki perilaku masing-masing meskipun mereka adalah suadara kembar. Tidak mungkin semua orang itu baik akhlaqnya serta sehat aqalnya, tetapi ada juga yang rusak moralnya serta kacau aqalnya. Tidak semua orang mudah menerima kebenaran, tidak semua orang berani berjuang di jalan Allah, tidak semua orang terhindar dari kriminalitas dan lain-lainnya.

Semua itu merupakan heterogenitas yang ada di muka bumi,yang harus kita sadari sepenuhnya sebagai anugerah Allah Ta�ala. Sehingga kita tidak mudah sempit dada melihat perbedaan-perbedaan yang tumbuh di antara manusia, atau juga kita tidak cepat merasa putus-asa dengan menjalarnya kemaksiatan dalam tubuh masyarakat kita. Semua itu sudah menjadi hukum alam (sunnatullah) yang memang demikianlah keadaannya.

2. Mengenali obyek da�wah dengan terperinci

Kita harus senantiasa berupaya mengenali obyek da�wah kita dengan teliti. Semakin teliti kita menegnali obyek da�wahkita, semakin tepat kita memberikan therapi kepada mereka, serta semakin kecil tingkat kesalahan kita dalam berhadapan dengan mereka.

Setiap masyarakat memiliki potensi beragam serta tingkat sensitifitas yang berbeda. Permasalahan ini harus kita teliti secara mendalam, sehingga kita dapat menumbuhkan potensi mereka, seiring dengan upaya kita untuk mereduksi perilaku mereka yang negatif.

3. Berbicara sesuai budaya setempat

Setiap kaum memiliki karakter dan tradisi yang berbeda-beda. Dari sisi bahasa, misalnya, setiap kaum memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Sesama Bahasa

Page 24: Amal Jama'i Materi

Jawa saja memiliki kosa-kata yang bervariasi serta dialek yang beragam. Antara Bahasa Jawa Timur, Tengah atau Barat terjadi berbagai macam perbedaan. Bahkan antara Bahasa Jawa di Jawa Timur sendiri terdapat berbagai ragam perbedaan. Belum lagi antara Bahasa Jawa dengan bahasa daerah lainnya. Tentu saja terjadi banyak perbedaan. Apalagi antara bahasa nasional dengan bahasa asing.

Seorang da�i akan sangat mudah diterima masyarakat apabila mengenali bahasa mereka dan adat komunikasi antar mereka. Penerimaan secara pribadi ini akan berdampak terhadap penerimaan nilai-nilai yang kita tawarkan kepada mereka, yaitu nilai-nilai Islam. Maka berbicaralah dengan bahasa masyarakat setempat.

Allah Ta�ala telah berfirman:�Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan bahasa kaumnya supaya dia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka �� (Ibrahiim [14]: 4).

4. Berbicara sesuai kadar aqal

Kecerdasan setiap orang tentu saja berbeda, demikian pula dengan kecerdasan rata-rata antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Rasulullah SAW memerintahkan supaya kita berbicara disesuaikan dengan kadar akal masyarakat. Apabila mereka lemah akalnya, maka berbicaralah dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh akal mereka. Sebaliknya, apabila kita berbicara dengan masyarakat yang lebi cerdas, maka kita dapat berdiskusi dengan mereka terhadap berbagai hal.

Rasulullah SAW bersabda:�Kami para Nabi diperintahkan supaya berbicara kepada manusia sesuai dengan kadar akal mereka� (HR. Muslim).

5. Tidak mengumbar janji

Janganlah mudah mengumbar janji kepada masyarakat, karena mereka akan menagih janji kita untuk direalisasikan. Jika kita kemudian memenuhi janji kita, mereka akan menganggap sebagai perkara yang biasa; karena memang janji harus ditepati. Sedangkan bila kita tidak mampu menepati janji, maka masyarakat akan mencemooh kita dan tentu saja kredibilitas kita di hadapan mereka akan jatuh-berantakan.

Lain lagi apabila kita tidak berjanji. Apabila kita tidak melakukannya, masyarakat akan maklum, karena memang kita tidak pernah menjanjikannya. Sebaliknya, jika kita memenuhi sesuatu padahal kita tidak berjanji sebelumnya, masyarakat justru akan salut kepada kita.

Untuk itu, fikirkanlah baik-baik sebelum kita menjanjikan sesuatu kepada masyarakat. Allah Ta�ala juga telah berfirman ketika mencirikan orang yang beriman:�Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janji-janjinya� (Al Mu�minuun [23]: 8)

MUSYAWARAH

Musyawarah merupakan cara penyelesaian masalah di dalam bermasyarakat. Prinsip-prinsip musyawarah alam Islam telah difirmankan Allah Ta�ala:�Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati

Page 25: Amal Jama'i Materi

kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya� (Ali Imran [3]: 159).

Dari ayat di atas ada beberapa prinsip musyawarah:

1. Lembut hati

Lembut hati merupakan prinsip pertama di dalam bermusyawarah, terutama untuk pemimpin musyawarah, atau orang yang mempunyai mental pemimpin. Rasulullah SAW bersabda:�Setiap kalian adalah pemimpin� (HR. Bukhary), sehingga kita harus memiliki mental pemimpin pula; yaitu lembut hati dalam berhadapan dengan masyarakat. Terutama sekali ketika bermusyawarah.

Lembut hati tidak semakna dengan tidak memegang prinsip, tidak tegas, pesimis atau rendah diri. Tetapi, lembut hati lebih bertumpu kepada menampilkan segala sesuatu dengan halus, seperti menampilkan ketegasan dengan bahasa yang lembut, mempertahankan prinsip dengan kehalusan dan sejenisnya.

2. Kelembutan hati merupakan rahmat Allah

Kesadaran ini sangat penting, yaitu kelembutan hati itu semata-mata merupakan rahmat Allah ta�ala kepada hamba-Nya; bukan karena kepiawaian seseorang dalam menata hatinya. Perasaan ini penting untuk kita tanamkan dalam diri kita karena:

a. Menghindarkan diri dari rasa sombong dan takabur

b. Menghadirkan kelembutan dengan cara yang disyari�atkan Islam

c. Segala hasilnya dapat kita kembalikan kepada Allah

3. Hindarkan sikap keras dan kasar hati

4. Memaafkan

5. Mendoakan ampun

6. Musyawarah

Ada beberapa prinsip musyawarah:

a. Musyawarah merupakan tempat tertinggi mengambil keputusan

b. Tidak ada musyawarah tandingan yang se-level

c. Habis-habisan dalam musyawarah

Page 26: Amal Jama'i Materi

7. �Azzam ketika tercapai kesepakatan

8. Tawakkal terhadap keputusan bersama

Demikianlah upaya kita dalam hidup bermasyarakat dan ikut berperan-aktif di dalamnya. Semoga Allah Ta�ala memberi kekuatan kepada kita untuk merealisasikannya. Amiin �

___

AMAL   JAMA’I Posted on May 28, 2008 by yahyaayyash

1.a. Pengertian Amal Jama’i

Amal Jama’i (gerakan bersama) secara bahasa berarti “sekelompok manusia yang berhimpun bekerja bersama untuk mencapai tujuan yang sama.”

Al-‘amalul al-jamaa’i berarti bekerja sama berdasarkan kecepakatan dan bekerja bersama-sama sesuai tugas yang diberikan untuk memantapkan amal. Jadi, Al-‘amalul al-jamaa’i mendistribusikan amal (pekerjaan) kepada setiap anggota berdasarkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan.

1.b. Beberapa ciri Amal Jama’i

1. Aktivitas yang dijalankannya harus berdasarkan keputusan jamaah

Dalam konteks gerakan bersama, tindakan yang diambil oleh setiap anggota sebagai tambahan dari apa yang telah disebutkan harus berada dalam batas-batas Syar’i.

2. Mempunyai sistem organisasi yang lengkap dan aktivitas dijalankan secara rapi dan tersusun

Tujuan pengangkatan seorang Ketua dalam suatu organisasi atau jama’ah bukan semata-mata sebagai lambang, tetapi bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi dan memudahkan jama’ah untuk bergerak dan bertindak melakukan aktivitas Islami.

Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut tidak semua orang harus melaksanakannya, dan tidak semua orang harus terlibat dengan semua kegiatan tersebut. Bahkan sebaiknya masing-masing mengambil porsinya sendiri-sendiri.

3. Tindakan dan kegiatannya sesuai dengan strategi pendekatan yang telah digariskan oleh jamaah

4. Seluruh kegiatannya bertujuan untuk mencapai cita-cita yang telah ditetapkan bersama

1.c. Urgensi amal jama’i

Page 27: Amal Jama'i Materi

1. Dustur Ilahi :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran 3:104)

Dalam ayat ini Allah telah mengisyaratkan tentang wajibnya melaksanakan dakwah secara amal jama’i.

2. Perjuangan Islam terlalu berat untuk dipikul secara individual karena perjuangan Islam bertujuan mengikis habis jahiliyah sampai ke akar-akarnya dan menegakkan Islam sebagai penggantinya.

Tanpa adanya struktur (tandzim) haraki yang setarap dengan struktur yang dihadapi (jahiliyah) dalam segi kesadaran, penataan dan kekuatan, tugas perjuangan Islam tak mungkin dapat dihasung meskipun dengan berpayah-payah dan pengorbanan seluruh kemampuan.

3. Da’wah secara jama’ah adalah da’wah yang paling efektif dan sangat bermanfaat bagi Gerakan Islam. Sebaliknya da’wah secara sendirian akan kurang pengaruhnya dalam usaha menanamkan ajaran Islam pada umat manusia.

4. Beramal jama’i (bergerak secara bersama) akan memperkuat orang-orang yang lemah dan menambah kekuatan bagi orang-orang yang sudah kuat. Satu batu bata saja akan tetap lemah betapapun matangnya batu bata tersebut. Ribuan batu bata yang berserakan tidak akan membentuk kekuatan, kecuali jika telah menjadi dinding, yaitu antara batu bata yang satu dengan yang lain telah direkat dan ditata secara rapi.

“Orang Mu’min yang satu dengan orang Mu’min lainnya seperti bangunan yang saling memperrekat.” (Muttafaq ‘alaih)

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al Maaidah 5:2)

5. Beramal jama’i sebagai sarana mencapai keridhaan Allah

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seolah-olah mereka adalah bagunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash Shaff 61:4)

6. Dengan amal jama’i balasan yang diberikan berlipat ganda

Allah SWT memberikan ganjaran yang besar kepada ibadah yang dilakukan secara berjamaah seperti shalat berjamaah dan sebagainya.

7. Iman lebih terpelihara dalam lingkungan amal jama’i

Persatuan dalam amal jama’i merupakan benteng pertahanan dari ancaman kehancuran. Seorang diri bisa saja lenyap, jatuh atau disergap oleh syethan-syethan manusia dan jin. Tetapi jika ia berada di dalam Jama’ah maka akan terlindungi.

Page 28: Amal Jama'i Materi

Seperti seekor kambing yang berada di tengah kawanannya. Tidak ada serigala yang berani memangsanya karena perlindungan kawanan itu sendiri. Serigala akan berani memangsanya manakala kambing itu keluar dari kawanannya atau berjalan sendirian.

“Kalian harus berjama’ah karena tangan Allah bersama Jama’ah. Barang siapa melesat sendirian maka ia akan melesat sendirian di neraka.” (Hadits)

“Sesungguhnya syethan adalah serigala manusia dan serigala itu hanya memakan kambing yang lepas (dari kawanan).” (Hadits)

“Kalian harus ber-Jama’ah, karena syethan itu bersama orang yang sendirian dan dia akan lebih jauh terhadap dua orang.” (Hadits)

8. Kebathilan yang terorganisir dapat mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir

1.d. Jamaah Minal Muslimin (Jamaah dari kaum Muslimin)

Jamaah yang ada sekarang adalah jamaah minal muslimin bukan jamaah muslimin. Artinya, ada jamaah lain yang bergerak dan berdakwah untuk mencapai jamaah muslimin. Jamaah muslimin adalah khilafah Islamiyah yang tunggal, tidak boleh ada jamaah setelah berdirinya, karena Nabi Saw. bersabda untuk membunuh satu dari dua pimpinan jamaah muslimin (khalifah Islamiyah)

1.e. Bahaya Perpecahan Umat. Persatuan : Suatu Kewajiban Islam

Tidak menjadi masalah jika di dalam tubuh Kebangkitan Islam itu terdapat berbagai amal jama’i, kelompok atau Jama’ah, yang masing-masing memiliki manhaj tersendiri dalam berkhidmat dan berjuang menegakkan Islam di muka bumi, sesuatu dengan penentuan sasaran, skala prioritas, sasaran dan tahapannya.

Tidaklah menjadi masalah, apabila hal itu merupakan ta’addudu tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) bukan ta’addudu ta’arudh (perbedaan yang bersifat kontradiktif). Asalkan semua pihak ada hubungan kerja dan koordinasi. Sehingga saling menyempurnakan dan menguatkan. Dalam menghadapi masalah-masalah asasi dan keprihatinan bersama harus mencerminkan satu barisan, laksana bangunan yang kokoh.

Tetapi yang menjadi masalah adalah jika satu gerakan Islam meluncur-kan makar terhadap gerakan Islam lainnya. Sehingga musuh itu datang dari dalam tubuh Kebangkitan Islam itu sendiri.

Tidaklah berbahaya jika terjadi perbedaan pendapat khususnya dalam soal-soal furu’ (cabang) dan sebagian ushul (pokok) yang tidak prinsipil. Tetapi yang berbahaya adalah perpecahan dan permusuhan yang telah diperingatkan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.

Islam membenci perpecahan !

“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat” (QS. Ali Imran: 105)

Page 29: Amal Jama'i Materi

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan Memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al An’aam 6:159)

“Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (QS. Asy-Syura 42:13)

“Barang siapa memisahkan diri dari Jama’ah sejengkal kemudian dia mati maka matinya adalah (mati) jahiliah”. (Muttafaq ‘alaih)

“Jauhkanlah diri kalian dari tindakan merusak hubungan persaudaraan karena tindakan itu adalah pencukur (agama)” (HR. Tirmidzi)

Islam sangat membenci perpecahan dan perselisihan, sampai Rasulullah saw. memerintahkan kepada orang yang sedang membaca al-Qur’an agar menghentikan bacaannya apabila bacaannya itu akan mengakibatkan perpecahan.

“Bacalah al-Qur’an selama bacaan itu dapat menyatukan hati kalian, tetapi jika kalian berselisih maka hentikanlah bacaan itu” (Muttafaq ‘alaih)

Artinya bubarlah dan pergilah supaya perselisihan itu tidak berlarut-larut lalu menimbulkan keburu