al-burhan - staipati.ac.id fileal-burhan adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh lembaga...

128
AL-BURHAN Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

Upload: ngothuan

Post on 07-Mar-2019

269 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

AL-BURHANJurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

AL-BURHAN adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Pati secara periodik tiap enam bulan. Jurnal ini secara spesifik mempublikasikan hasil pemikiran dan penelitian sosial keagamaan yang mencerminkan upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan peradaban. Jurnal ini berikhtiar menjadi media yang mengkomunikasikan berbagai hasil pemikiran dan penelitian yang diharapkan memberikan kontribusi bagi pengem-bangan keilmuan sekaligus menawarkan solusi atas problematika kehidupan masyarakat. Artikel yang dimuat sepenuhnya menjadi hak dan tanggungjawab intelektual penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan redaksi. Redaksi memberikan kesempatan kepada para akademisi dari lintas disiplin ilmu untuk berkontribusi dalam setiap penerbitan dengan mengirimkan artikel yang sesuai dengan misi jurnal.

Alamat Redaksi:Kantor LP2M STAI Pati, Gedung A Lt. 2

Jl. Kampus Raya No. 5 Dadirejo, Margorejo, Pati, Telp/Fax. (0295) 381728,

Email: [email protected]

AL-BURHANJurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

ISSN: 2085-2703 Vol. 7, No. 2, Juli 2015

Penanggungjawab Kepala LP2M

Pimpinan RedaksiAmbarwati

Redaktur AhliImam YahyaAbdul HarisSaiful Mujab

Dewan RedaksiAbdul Azis

KamtoFathimatuz Zahro

AdministrasiSofiah

PenerbitLP2M STAI PATI

Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian

Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam

Pati

iii

SALAM REDAKSI

Assalamualaikum Wr.Wb.

Alhamdulilah atas karunia dan Ridlo Alloh SWT, Jurnal Al-Burhan edisi Juli-Desember 2015 dapat hadir kembali di hadapan pembaca dengan harapan dapat memberikan informasi tentang perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman. Hal tersebut sekaligus menunjukkan bahwa ilmu-ilmu keislaman masih terbuka peluang untuk diupayakan pengembangan menjadi konsep dan teori sebagai pijakan keilmuan lebih lanjut.Dalam edisi ini kami sajikan berbagai gagasan pemikiran dan hasil penelitian yang dilakukan oleh para dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Pati dan beberapa dosen dari luar Sekolah Tinggi Agama Islam Pati, antara lain Rekayasa Sosial : Upaya Positivisasi Hukum Islam Di Indonesia oleh Agus Yusrun Nafi, Pendidikan Islam pada masa Keemasan, Menguak Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Keemasan oleh Abd. Azis, Moral dan Identitas Nasional dalam Era Globalisasi oleh Rofat Hilmi, Membangun Sekolah Unggul oleh Sukawi Hasan, Ushul Fiqh Sebagai Falsafah Hukum Islam oleh Jamal Makmur, Zakah and The Socioeconomic Empowerment Of Ummah (A Bibliographical Essay) Oleh Nismah Qonitah, dan Model Pengembangan Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran PAI oleh Moh. Dzofir.Wassalamualaikum Wr.Wb.

Redaktur

iv

REKAYASA SOSIAL: UPAYA POSITIVISASIHUKUM ISLAM DI INDONESIAM Agus Yusrun Nafi...........................................................

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEEMASANMENgUAK SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA BANI ABBASIYYAHAbd. Azis.............................................................................

MORAL DAN IDENTITAS NASIONAL DALAM ERA gLOBALISASIRo`fat Hilmi.........................................................................

MEMBANgUN SEKOLAH UNggULSukawi Hasan......................................................................

USHUL FIQH SEBAgAI FALSAFAH HUKUM ISLAMJamal Mamur Asmani ........................................................

ZAKAH AND THE SOCIOECONOMIC EMPOWERMENT OF UMMAH (A BIBLIOgRAPHICAL ESSAY)Nismah Qanitah .................................................................

MODEL PENgEMBANgAN PENDIDIKAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN PAIMohammad Dzofir .............................................................

1 - 10

11 - 39

40 - 63

64 - 81

82 - 98

99 - 107

108 - 123

DAFTARISI

REKAYASA SOSIAL: UPAYA POSITIVISASIHUKUM ISLAM DI INDONESIA

Oleh: M Agus Yusrun NafiDosen STAI Pati

Abstract:In the attempt to be acknowledged, the Islamic body of law should have a binding legal. One way to do is endorsing social engineering, that is, an effort to enable the Islamic body of law to be acknowledged both as a part of the social life and a basic need to live in a society. This is because the good law is the law that suits to values conceded by a society. A society is not only the subject of law but also one determinant factor in the process of law enforcement. This paper offers an alternative to answer the issue how to construct the society to respond the Islamic law as national law in an effective way.

Keywords : Social engineering, Islamic law, positive law

I. Pendahuluan. Kesadaran untuk menerapkan hukum Islam di

Indonesia untuk pertama kalinya di alam kemerdekaan diawali dengan ditandatangani gentelments agreement, yang lebih dikenal Piagam Jakarta antara pemimpin skuler dan nasionalis Islami pada tanggal pada tanggal 22 Juni 1945 yang dalam dasar Ketuhanaan diikuti dengan pernyataan:dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. (Endang Saifuddin Anshari, 1993:38)

Akan tetapi dengan perimbangan persatuan dan kesatuan bangsa-sebagaimana disebutkan di muka, akhirnya rumusan tersebut mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang perumusan yang pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut penjelasan Muhammad Hatta, perubahan rumusan tersebut tidak mengubah jiwa semula. Sebagaimana diketahui piagam Jakarta itu semula merupakan rancangan UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI.

2

M Agus Yusrun Nafi, S. Ag, M. Si

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

(Ahmad Azhar Basyir,1999:43).Menurut Hazairain sejak proklamsi kemerdekaan

RI pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan Pancasila sebagai dasar falafahnya dan berlakunya UUD 45 tersebut walaupun tanpa memuat ketujuh kata dari piagam Jakarta tersebut maka dengan sendirinya teori receptie yang dikembangkan Snouck Hurgronje dengan dasar hukumnya pasal 134 ayat (2) IS seperti dijelaskan di muka runtuh dengan sendirinya.(Ahmad Azhar Basyir,1999:43). Sebab, hukum agama yang diyakini oleh penganutnya telah memperoleh asas legalitas secara konstisional yuridis atas dasar sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang dijabarkan dalam pasal 29 UUD 1945. dengan demikian hukum Islam dapat berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan hukum Islam itu sendiri bukan karena diterima oleh hukum adat seperti dalam teori receptie.

Dalam beberapa macam peraturan perundang-undangan, hukum Islam menempat posisi yang wajar secara yuridis, seperti PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Namun masyarakat sendiri khususnya yang beragama Islam masih banyak belum menerima sebagian besar dari hukum Islam.

Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana masyarakat dapat merespon hukum Islam sebagai Hukum Nasional sehingga kesadaran itu timbul dari dirinya sendiri sehingga hukum tersebut bisa berjalan dengan efektif.

II. Peranan Hukum Islam dalam masyarakat.Secara normatif, hukum Islam (baca:syariah)

diturunkan dalam periode awal diturunnya adalah menjawab tuntutan sejarah. Hal ini dapat dilihat misalnya, dalam sketsa historis tentang hukum waris. Sebelum Islam diturunkan, masyarakat Arab telah mengenal sistem kewarisan yang didasarkan pada pertalian darah, perjanjian dan adopsi atau pengangkatan anak. Pada awal Islam hingga peristiwa hijrah ketiga dasar pewarisan tersebut masih diberlakukan dengan beberapa revisi, ditambah dengan hijrah dan ikatan persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshor. (QS. Al-

3

Rekayasa Sosial: Upaya Positivisasi Hukum Islam di Indonesia

AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

Anfal, 8: 72). Pertalian darah yang semula dibatasi bahwa warisan hanya diberikan kepada anggota keluarga laki-laki dan dewasa, Islam memperbaharui dengan memberi hak yang sama kepada semua ahli waris laki-laki dan perempuan, dewasa maupun anak-anak, bahkan termasuk bayi yang masih berada dalam kandungan. (Ahmad Rofiq, 2001:34).

Kelahiran Islam di belahan Timur Tengah dilatarbelakangi kenyataan historis. Meskipun harus dipahami kenyataan historis tersebut, tidak berarti sebagai kausalitas terhadap turunnya wahyu. Namun demikian, pemahaman terhadap kenyataan itu akan sangat membantu memahami sejauhmana eksistensi hukum Islam memainkan fungsinya sebagai blue print atau cetak biru Tuhan untuk merekayasa sosial masyarakat, bukan sebaliknya sebagai formulasi hukum hasil rekayasa sosial, karena jika yang terakhir terjadi seperti dipahami oleh aliran historis maka hukum adalah semata-mata produk sejarah oleh suatu komunitas (Ahmad Rofiq, 2001:33)

Kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-perubahan yang direncanakan (intented cange atau planned cange). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga masyarakat yang berperanan sebagai pelopor masyarakat. Dan dalam masyarakat yang sudah kompleks dimana birokrasi memegang peranan penting tindakan-tindakan sosial, mau tak mau harus mempunyai dasar hukum untuk syahnya. Dalam hal ini, maka hukum dapat merupakan alat yang ampuh untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial walaupun secara tidak langsung. Oleh sebab itu, apabila pemerintah ingin membentuk badan-badan yang berfungsi untuk mengubah masyarakat (secara terencana), maka hukum diperlukan untuk membentuk badan tadi serta untuk menentukan dan membatasi kekuasaannya. Dalam hal ini kaidah hukum memdorong terjadinya perubahan-perubahan sosial dengan membentuk badan-badan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan-

4

M Agus Yusrun Nafi, S. Ag, M. Si

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

perkembangan di bidang-bidang sosial, ekonmi dan politik. (Soerjono Soekanto, 2002:111)

Lebih lanjut Dr. Atho Mudzhor dalam tulisannya yang berjudul Pendekatan Sejarah dalam Pemikiran Hukum Islam menjelaskan bahwa produk hukum Islam paling tidak dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis:

Pertama, pemikiran hukum yang terkodifikasi dalam kitab fiqh. Jenis produk ini sifatnya menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum Islam, sehingga diantara ciri spisifiknya adalah tahan dan kebal terhadap perubahan. Apabila terhadap jenis ini, dilakukan kritik, koreksi dan perubahan sedikit saja, maka dianggap mengganggu eksistensi keseluruhannya.

Kedua, keputusan pengadilan agama. Jenis ini agakanya lebih dinamis dibandingkan produk hukum yang pertama, karena keputusan yang diambil atas jawaban dari persoalan-persoalan aktual yang dihadapi dan terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Ketiga, peraturan perundang-undangan di negara-negara muslim sama dengan produk hukum jenis kedua, bahwa peraturan itu sangat mengikat dan kekuatan ikatannya dapat dirasakan di tengah-tengah masyarakat luas. Hal ini sebagai konskuensi logis dari proses pembentukan yang sedikit berbeda dengan kedua jenis di atas. Di samping adanya peran praktis para ulama seperti yang terjadi pada jenis pertama dan kedua, juga pada jenis ini terlihat besarnya keterlibatan para politisi dan cendikiawan lain untuk ikut menentukan wajah hukum yang akan dirumuskan.

Keempat, fatwa ulama. Produk hukum ini dihasilkan atas proses responsif kasuistik atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dari setiap person yang meminta fatwa. Oleh karena itu, daya pikat hukumnya tidak sekuat seperti Keputusan Pengadilan Agama dan peundang-undangan di negara muslim. Setiap orang tidak harus teikat oleh fatwa yang diterima oleh orang lain. Karena bisa jadi fatwa seoarng ulama dalam kasus aktual yang setipe berbeda dengan fatwa ulama yang lainnya. Tetapi terlepas daripada itu produk hukum ini cenderung bersifat dinamis, walaupun isi fatwanya belum tentu bersifat dinamis, mungkin sifat

5

Rekayasa Sosial: Upaya Positivisasi Hukum Islam di Indonesia

AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

responsif itu yang sekurang-kurangnya dapat ikatan dinamis. Setiap usaha menanam sesuatu yang baru pasti akan

mengalami reaksi dari beberapa golongan dari masyarakat yang merasakan dirugikan. Kekuatan menentang dari masyarakat itu mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses akseptabilitas masyarakat. Ketika menanamkan hukum Islam kecil sedangkan kekuatan menentang dari masyarakat besar, maka kemungkinannya terjadinya sukses dalam proses akseptabilitas masyarakat menjadi kecil atau bahkan hilang sama sekali. Sebaliknya apabila efektifitas menanam hukum Islam itu besar dan kekuatan menetang dari masyarakat kecil, maka jalannya proses akseptabilitas masyarakat mnjadi lancar. Berdasarkan hubungan timbal balik antara kedua faktor yang berpengaruh positif dan negatif itu, orang dapat menambah kelancaran proses akseptabilitas masyarakat dengan memperbesar efektifitas menanam dan atau mengurangi menentang dari masyarakat. Perlu pula diperhatikan bahwa penggunaan kekuasaan untuk mengurangi kekuatan menentang dari masyarakat itu biasanya malahan memperbesar kekuatan menentang tersebut tidak menjelma sebagai suatu aksi keluar akan tetapi meresap ke dalam jiwa orang di dalam bentuk rasa dendam atau benci. Perasaan-perasaan itu juga menghambat proses akseptabilitas masyarakat.(Soerjono Soekanto, 2002:112-113)

III. Formalisasi Hukum Islam.Hukum Islam merupakan hukum yang lebih

banyak ditinggalkan oleh pemeluknya, sehingga ketika diadakan formalisasi hukum Islam dalam hukum nasional terlebih dahulu dilaksanakan prakondisi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan resiko, dengan empat langkah sebagai berikut : Pertama, pencegahan dari aspek akidah dan iman karena keimanan membuat seseorang terawasi oleh Tuhannya, sehingga ia mampu melakukan self control terhadap apa yang akan dilakukan. Kedua, pencegahan dari aspek ibadah, karena jika ibadah dilaksanakan dengan baik akan berdampak positif baginya. Ketiga, pencegahan dari segi keadilan sosial dalam arti setiap warga negara

6

M Agus Yusrun Nafi, S. Ag, M. Si

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

telah diberi kesempatan yang mudah untuk memenuhi kebutuhannya dengan cara halal. Keempat, pencegahan dari segi amr maruf nahi munkar yang sehausnya menjadi budaya dalam kalangan muslim, karena merupakan titik sentral dari semua ajaran. (Topo Santoso, 2003:96-97)

Untuk menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif di Indonesia, perlu adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam pelaksanaan pembentukan hukum Nasional yaitu dengan cara evolusioner dan bertahap yakni melalui program inventarisasi, ratifikasi dan legislasi Nasional, sehingga dengan tahapan seperti ini dapat menghindari kegoncangan-kegoncangan hukum sebagai akibat adanya perubahan itu. (Zulfran Sabrie, 1990:125-127). Dengan melalui tahapan-tahapan tersebut, pembentukan dan pembinaan hukum nasional akan menjadi efektif mencapai sasaran. Pengakomodasian dari berbagai sistem yang ada dan didasarkan pada sistem nilai dan norma dasar negara (Pancasila dan UUD 45) akan mewujudkan kesatuan sistem hukum nasional dan dapat meletakkan pada kesatuan sumber hukum nasional dan juga kesatuan fungsi hukum nasioanal yakni mengabdi kepada kepentingan nasional dengan bersendi ketuhanan, kerakyatan, demokrasi dan kesejahteraan umum / keadilan sosial.

Untuk supaya hukum Islam dapat diterima masyarkat dengan baik, norma dan atau kaidah hukum Islam harus mempunyai kekuatan yang mengikat. Dalam teori sosiologi kekuatan mengikat suatu norma hukum dapat diperoleh dengan cara : Kebiasaan (folkwaysI), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom). (Soerjono Soekanto, 1982:220). Apabila kebiasaan itu diterima sebagai norma pengatur, maka kebiasan itu beralih fungsi menjadi tata kelakuan. Tata kelakuan ini mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang digunakan sebagai batasan atau ukuran suatu perbuatan. Perbuatan baik dan buruk, diperintahkan atau dilarang, ukurannya adalah tata kelakuan yang sudah diakui oleh masyarakat. Tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola prilaku masyarakat dapat meningkatkan kekuatan yang mengikatnya sehingga menjadi adat istiadat. Ini berarti

7

Rekayasa Sosial: Upaya Positivisasi Hukum Islam di Indonesia

AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

bahwa norma tersebut sudah melembaga dan menjadi bagian dari lembaga kemasyarakatan. Kemudian adat istiadat ini dapat meningkat menjadi hukum positif dengan bantuan ototritas pemerintah atas tuntutan masyarakat. Hal ini, telah terbukti diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan (UUP No. 1 tahun 1974, UUPA No. 9 tahun 1989 tentang KHI, Unadang-undang tentang penegelolaan zakat dan lain-lain).

Kemudian dilakukan kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang tertentu. Materi hukum yang akan diundangkan diambil dari nilai-nilai yang berlaku dan diakui masyarakat dengan syarat sejalan dan tidak bertentangan dengan pancasila dan UUD 45. Sebagai bagian dari sistem hukum di Indonesia, hukum Islam telah banyak mewarnai hukum nasional dengan dukungan penduduk yang mayoritas Islam serta alasan lain (Historis dan Yuridis) menempatkan hukum Islam sebagai alternatif bagi pembentukan hukum nasional. Namun hal tersebut tidak menyebabkan hukum Islam secara otomatis diberlakukan dan dipositifkan. Adanya wawasan nusantara yang berarti hanya ada satu kesatuan hukum yang mengabdi kepada kepentingan nasional mengharuskan umat Islam menghargai konsensus tersebut dan memberikan toleransinya. Untuk itu diperlukan strategi dalam upaya mengefektifkan proses transformasi hukum Islam. Dengan modal dasar kedudukan yang legal konstisional, maka transformasi tersebut dapat dilakukan dengan melalui jalur struktural dan kultural.

Adapun transformasi hukum Islam secara kultural adalah dengan membudayakan nilai-nilai Islam sebagai pengatur kehidupan umat Islam. Dengan menjadikan nilai-nilai Islam menjadi kebudayaan mengakibatkan nilai-nilai tersebut mempunyai kekuatan mengikat yang akan memberi batasan-batasan tingkah laku masyarakat, strategi ini dilakukan dengan cara mencoba merubah lembaga-lembaga yang ada dengan acuan Islam antara lain dengan mengembangkan model berijtihad secara jamai sering dengan perubahan yang terjadi guna menjawab tantangan zaman serta penggunaan metodologi hukum Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama perlu dikonstruksi

8

M Agus Yusrun Nafi, S. Ag, M. Si

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

ulang dengan memanfaatkan pengetahuan ilmiah. Konsep maslahah mursalah, uruf, istihsan adalah merupakan metodologi penting dalam melakukan pembaharuan Islam dan kana tetap mempunyai dasar yang kuat dan tidak terlepas dengan akar filosofisnya. (Nur Kholis Madjid, 1996:150).

Oleh karena itu, praktisi dan pakar hukum harus senantiasa melihat kecenderungan antara hubungan hukum dengan kenyataan sosial dan memperhatikan hukum yang hidup dan bergerak di tengah-tengah masyarakat. Hubungan itu lebih nyata jika terdapat kesenjangan antara hukum tradisional dengan kenyataan hukum, maka sosiologi hukum sangat dibutuhkan. Karena Islam memang tidak menafikan sama sekali sebuah praktik dan kebiasaan yang terjadi secara berulang-ulang dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai kebiasaan yang mengikat (baca sebagai hukum), tetapi penerimaan kebiasaan tersebut melalui seleksi yang ketat yang muaranya adalah terealisasinya kemaslahatan bagi masyarakat

Pembinaan hukum Islam ke arah hukum Nasional telah dilaksanakan pemerintah Orde Baru melalui politik hukum yang merupakan cerminan arah kebijakan di bidang hukum. Rumusan tersebut mulai ada dan tertuang dalam Tap MPR No. II/MPR/1973 tentang gBHN yang menyatakan sebagai berikut : Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat dan kemajuan pembangunan di segala bidang, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum, sehingga prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan dan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk menunjang perkembangan modernisme dan pembangunan yang menyeluruh yang dilakukan dengan :a). Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum Nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.

Hal tersebut menunjukkan pembaharuan hukum

9

Rekayasa Sosial: Upaya Positivisasi Hukum Islam di Indonesia

AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

nasional dengan jalan menyesuaikan diri dengan kesadaran hukum masyarakat dan ketentuan di atas masih menagkui adanya pluralitas sistem hukum, kemudian langkah berikutnya unifikasi dalam bidang-bidang hukum tertentu. Hal ini terwujudlah UU No. I tahun 1974 tentang hukum perkawinan yang mengakomodir kepentingan masyarakat.

Jadi tujuan rekayasa sosial adalah bagaimana suatu kaidah hukum Islam diakui dengan sadar sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan merupakan kebutuhan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Karena hukum baik adalah hukum yang lahir dikehendaki atau sesuai dengan nilai-nila yang hidup di masyarakat. Masyarakat selain sebagai subyek hukum juga merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses penegakan hukum.

Karena suatu aturan atau hukum akan berlaku secara efektif jika memang hukum tersebut mendapatkan dukungan dari masyarakat. Dukungan masyarakat terhadap suatu aturan harus tercermin dari sikap penerimaan masyarakat terhadap aturan tersebut. Jika aturan dibuat dan masyarakat sementara belum siap menerimanya, maka aturan atau hukum yang dibuat hanya akan merupakan aturan yang mati. Dengan demikian akseptabilitas masyarakat terhadap suatu aturan merupakan pra syarat agar suatu aturan yang dibuat benar-benar berjalan secara efektif.

IV. Kesimpulan dan PenutupDalam rangka mempostifikasi hukum Islam di

Indonesia dari aspek sosiologis sehingga respon masyarakat baik dan berjalan dengan baik pula ada beberapa tahapan yang ditempuh secara keseluruhan, yakni terlebih dahulu diadakan prakondisi agar masyarakat siap menerima dan melaksanakan. Kemudian program inventarisasi, ratifikasi dan legislasi Nasional, sehingga dengan tahapan seperti ini dapat menghindari kegoncangan-kegoncangan hukum sebagai akibat adanya perubahan itu. Selanjutnya transformasi tersebut dapat dilakukan dengan melalui jalur struktural dan kultural dengan modal dasar kedudukan yang legal konstisional.

Supaya mendapatkan kekuatan hukum maka

10

M Agus Yusrun Nafi, S. Ag, M. Si

Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

tahapan selanjutnya adalah dikodifikasi, unifikasi dan legalkan.

Demikianlah makalah ini dibuat, kritik yang bersifat konstruktif kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa, (Jakarta: Darul Falah, 1999).

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia,( Yogyakarta: gama Media, 2001).

Endang Saifuddin Anshari, Perjuangan Konstituonal Para Nasionalisi dalam Bidang Konstitusi, (Jakarta: Prisma, 199).

Nur Kholis Madjid, Islam dalam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996)

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,( Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002).

------------, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Rajawali, 1982).

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: gema Insan Press, 2003).

Zulfran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila, (Jakarta: Pustaka Antara, 1990).

PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KEEMASAN

Menguak Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyyah

Oleh: Abd. Azis

ABSTRACTSThe Bani Abbasid caliphs was the second dynasty after the death of the Prophet and the Righteous `al-Rashideen who controlled the religion-state of Islam. In that time Islamic civilization reached the valuable, and in that time such civilizations also eventually decline. Until now, Islam has not been able to rise to regain these civilizations.This study has revealed that, during the reign of Bani Abbasid, the spirit community on science was so high. This, on the one hand, due to the realization of calls for the holy book and which was exemplified and passed by the Prophet, and on the other hand due to the expansion of Islamic territory, which in turn occured a touch between the local civilizations with the civilization in the conquered regions.Ultimately the researcher concluded, although in a simple format, the education in the Bani Abbasid had taken many places as the ongoing process of learning and teaching institution, there were at least seven institutions. The curriculums or the materials that were learned at that time included the science of religion and general science. That great variety of such materials as well as indicated the diversity of methods which were adopted in the teaching and learning. The method selection depended on the materials, places, and conditions of students. All of that at once illustrated and were not separated from environmental factors (socio-community) that very supportive.

A. PendahuluanDalam percaturan dunia, Islam yang tumbuh subur

di belahan dunia bagian timur dinilai berada di dunia ketiga atau dalam posisi marjinal. Posisi yang sangat tidak menguntungkan ini dialami sejak runtuhnya kekhalifahan Bani Abbasiyyah di tangan tentara Mongol dan Tartar pada tahun 1240 M. Khalifah Bani Abbasiyyah adalah dinasti kedua pasca wafatnya Rasulullah dan Khulaf` al-Rsyidn yang mengendalikan negara-agama Islam. Di masanyalah Islam

Abd. Azis

12 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

mencapai peradabannya yang adiluhung, dan di masanya pula peradaban tersebut akhirnya mengalami kemunduran. Hingga kini Islam belum mampu bangkit untuk meraih kembali peradaban tersebut. Sementara bangsa Barat yang telah bangkit sejak masa renaissance di Abad XIV terus meroket hingga kini.

Fakta ini (baca: kemunduran Islam) memang hal yang kontradiktif, mengingat Islam secara normatif adalah agama rasional, agama peradaban dan tepat menjadi agama masa depan umat manusia. Al-Quran, kitab suci agama Islam yang tak pernah tertandingi oleh siapapun, adalah sebuah kitab inspirator sekaligus motivator besar bagi tumbuhnya sebuah peradaban di setiap zaman dan tempat. Tentunya hal ini bukan hanya isapan jempol. Besarnya peradaban yang terjadi ketika tampuk pemerintahan umat muslim dikendalikan oleh Bani Abbasiyyah adalah bukti riil betapa al-Quran adalah kitab inspirator dan motivator. Al-Quran, kala itu, benar-benar difahami dan diejawantahkan dalam kehidupan masyarakat, sehingga kondisi umat benar-benar merupakan refleksi daripada al-Quran terutama dalam pendidikan umat.

Kemajuan yang diraih umat muslim (dalam pendidikan) pada masa itu pada gilirannya menjadi kontribusi besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan pada masa-masa berikutnya. Bukan saja bagi umat muslim sendiri, akan tetapi bagi dunia. Demikian pengakuan mayoritas penulis Barat. Hingga dekade belakangan ini sumbangan Islam bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama, adalah sebagai jembatan antara capaian-capaian Yunani dengan Eropa pada Abad Pertengahan. (Charles Michael Stanton, 1994: 36)

Tentunya kemajuan tersebut memiliki karakter, situasi-kondisi dan cirinya sendiri, baik yang berkaitan dengan kondisi sosial, ghirah umat dan pemerintah, dan lain-lain yang pada gilirannya membedakan antara umat muslim di masa kekhalifahan Abbasiyyah dengan masa-masa setelahnya. Dengan demikian, pengkajian terhadap fakta tersebut menjadi sangat mendesak, guna membangun kembali kemajuan yang telah runtuh. Inilah yang melatarbelakangi penulis untuk menguak kembali data-data yang berkaitan dengan Bani Abbasiyyah. Pembahasan ini

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

13AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

akan difokuskan pada: Apa saja lembaga pendidikan yang ada pada masa pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyyah? Bagaimana kurikulum pendidikan yang ada pada masa itu? Bagaimana metode pembelajaran yang mereka lakukan? Serta bagaimana kondisi masyarakatnya?

B. Sejarah Peradaban pada Masa Bani Abbasiyyah (132-656 H. / 750-1240 M.)

Berbeda dengan masa-masa sebelumnya, masa Khalifah Abbasiyyah merupakan masa kejayaan bagi peradaban Islam. Jika pada masa Bani Umayyah (satu masa sebelum masa Bani Abbasiyyah) Islam mendapatkan wilayahnya yang sangat luas, maka pada masa Khalifah Abbasiyyah Islam mendapatkan peradabannya yang adiluhung. Tak satu pun peradaban dunia, ketika itu, yang lebih tinggi dari peradaban Islam. Sehingga ia patut dikatakan sebagai super power yang berkuasa di sebagian besar negara-negara yang mencakup di tiga benua.

Bani Abbasiyyah berkuasa selama kurang lebih lima abad. Suatu masa yang jauh lebih panjang dibanding masa kekuasaan Bani Umayyah, yang hanya mampu bertahan selama 90 tahun. Masa yang panjang ini dipimpin oleh 37 khalifah. Masing-masing khalifah memiliki masa kekuasaan, problematika, gejolak politik sendiri-sendiri. Berangkat dari hal itu, Syalabi mengklasifikasi masa ini menjadi tiga periode. Periode pertama tahun 132-232 H. (sejak Ab al-Abbs al-Saffah hingga Ab Jafar Hrn al-Wtsiq), di mana para khalifah Abbasiyyah berkuasa penuh. Periode kedua tahun 232-590 H. (sejak Ab al-Fadhl Jafar al-Mutawakkil hingga Ab al-Abbs Ahmad al-Nshir), tatkala kekuasaan Abbasiyyah sebenarnya berada di tangan orang lain. Dan periode ketiga 590-656 H. (sejak Ab al-Abbs Ahmad al-Nshir hingga Ab Ahmad Abdullh al-Mustashim) kembalinya kekuasaan Abbasiyyah di tangan mereka tetapi hanya di sekitar Bahgdad saja. (Ahmad Syalabi, 1973: 17-19).

Kemajuan yang diraih Bani Abbasiyyah ini, diawali dengan ekspansi yang terjadi pada masa Bani Umayyah; yang pada gilirannya menimbulkan persentuhan peradaban antara Islam (Arab) dengan daerah-daerah taklukan.

Abd. Azis

14 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

Khazanah intelektual Yunani klasik yang terdapat di Mesir (Aleksandria), Syria (Antakia), Irak (Judisapur), Mesopotamia dan Persia (Bactra) pada masa ini mulai dipelajari oleh para ilmuwan (muslim), dengan dukungan para khalifah periode awal yang memiliki corak pemikiran rasional, sebagai pengaruh teologi Mutazilah. (Harun Nasution, 1998: 131). Hal ini pada gilirannya menyuburkan semangat ilmiah di kalangan umat muslim, dan akhirnya lahirlah para ilmuwan --disertai karya-karya mereka-- dalam berbagai disiplin ilmu, baik ilmu agama maupun profan.

Setelah para khalifah periode pertama berlalu, maka naiklah para khalifah periode kedua sebagai penerus, yang jauh berbeda sifat dan karakternya --di samping perbedaan aliran teologi, yang dalam hal ini para khalifah periode kedua (dan ketiga) adalah para pengikut aliran Sunni-- dengan para khalifah pendahulunya. gerakan sparatis yang berhasil ditekan pada masa sebelumnya, muncul kembali bahkan semakin meluas, sehingga disintegrasi tidak dapat dielakkan lagi. (Ali Mufrodi, 1997: 106). Di saat inilah muncul kekuatan lain yang naik ke atas panggung kekuasaan untuk mengendalikan tampuk pemerintahan, namun tidak disertai dengan penurunan para khalifah dari kursi kekuasaannya. Sikap ini berimplikasi pada hilangnya peran seorang khalifah. Para khalifah tidak lebih dari sebuah simbol yang tidak punya wewenang apa-apa dalam pemerintahan. Bahkan kedudukan tersebut berada dalam kontrol mereka. Sehingga mereka dapat menaikkan dan menurunkan khalifah sesuka hati.

Sejarah telah mengabadikan tiga kekuatan yang berhasil mengambil alih kendali pemerintahan Abbasiyyah tersebut. Yaitu: kaum Turki (232-334 H.), golongan Bani Buwaihi (334-447 H.) dan golongan Bani Saljuk (447-590 H.). Dengan demikian, sungguhpun sejarah mencatat bahwa masa berkuasa Bani Abbasiyyah adalah kurang lebih lima abad (132-656 H. / 750-1240 M.) dan disaksikan sejarah sebagai dinasti yang mampu melahirkan peradaban Islam adiluhung yang tak terkalahkan oleh kekuatan manapun di zamannya, akan tetapi kemajuan-kemajuan yang merupakan produk orisinil dari Dinasti Abbasiyyah hanyalah kemajuan yang muncul dalam 132-232 H., yang disebut sebagai periode

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

15AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

pertama.Kekuatan pertama (kaum Turki) selama berkuasa,

relatif tidak memiliki prestasi dalam membangun peradaban terutama dalam pendidikan. Hanya kekejamannyalah yang menghiasi sejarah kekuasaannya. Hal itu ditunjukkan dengan sikapnya yang membunuh dengan didahului oleh penyiksaan tak manusiawi terhadap para khalifah Abbasiyyah di masanya, di samping munculnya disintegrasi yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan kecil. Sementara pada masa Dinasti Buwaihi yang Syiah, kehidupan ilmiah yang terjadi pada masa periode pertama, mampu muncul kembali --dalam format yang lebih sederhana-- terutama pada masa kejayaan dinasti ini yang berada dibawah kepemimpinan Add al-Dawlah (949-983 M.) dan kedua putranya, Syaraf al-Dawlah (983-989 M.) dan Bah al-Dawlah (989-1012 M.). (Philip K. Hitti, 2005: 599-601)

Kekuatan terakhir adalah Dinasti Saljuk, yang mempunyai hubungan baik dengan para khalifah, karena keduanya sama-sama berpegang pada aliran Sunni. Prestasi yang diraih oleh dinasti ini adalah pendirian madrasah, sebagai institusi pendidikan tinggi, oleh wazir Nidlm al-Mulk dibawah sultan Alb Arsln dan Mliksyah. Madrasah ini bukan saja didirikan di Baghdad, tetapi juga di kota-kota lain. Al-Subki menjelaskan bahwa Nidlm al-Mulk mempunyai sekolah di setiap kota di Iraq dan Khurasan. (Ahmad Syalabi, 1973: 290)

Setelah berakhirnya dinasti Saljuk, maka berakhir pula intervensi asing terhadap pemerintahan Abbasiyyah dan akhirnya exis kembali, dengan wilayah kekuasaannya (pada periode ketiga) yang sangat terbatas. Masa ini berlaku hingga tentara Mongol dan Tartar datang di tahun 656 H. menyerbu masuk ke dalam Islam, membunuh khalifah dan keluarganya, dan mengumumkan tamatnya pemerintahan Abbasiyyah.

C. Sejarah Pendidikan Islam pada Masa Bani Abbasiyyah 1. Institusi Pendidikan

Semangat ilmiah yang tumbuh subur pada masa ini pada gilirannya menjadi motivator bagi majunya

Abd. Azis

16 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

pendidikan. Terjadilah di masa ini revolusi ilmu pengetahuan. Pendidikan non-agama, profan, yang telah ditanam Umar ibn Khaththb dalam kurikulum pendidikan di zamannya, mengalami perluasan sedemikian rupa sehingga meliputi berbagai bidang, yang pada akhirnya menjamurlah kegiatan pendidikan dengan banyak mengambil tempat dalam pelaksanaannya.

Sampai Abad IV H., begitu Hasan Abd. al Al dalam kutipan Suwendi, telah berdiri tujuh lembaga pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik dan kajiannya sendiri-sendiri. Ketujuh lembaga tersebut adalah: a) kuttab, b) masjid, c) toko kitab, d) rumah, e) sanggar seni dan sastra, f) perpustakaan, dan g) madrasah. (Suwendi, 2004: 21)

Dengan mempertimbangkan materi pendidikan (mata pelajaran) yang diajarkan, selanjutnya institusi-institusi tersebut dapat diklasifikasi-kan menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkat rendah atau dasar, yang meliputi: kuttab, rumah, toko, istana, dan terkadang berlangsung juga di pasar. Kedua, tingkat menengah, yang meliputi: masjid serta sanggar seni dan sastra. Ketiga, tingkat tinggi yang meliputi: masjid, perpustakaan, dan madrasah. (A. Tafsir dkk, 2004: 259)

Kuttb sebagai tempat belajar, bahkan sudah ada sejak masa pra-Islam. Karena Islam menekankan pendidikan (di antaranya baca-tulis) bagi umatnya, maka kehadiran Islam mendesak perkembangan Kuttb. Pada mulanya Kuttb ini digunakan sebagai tempat belajar baca-tulis, terutama bagi anak-anak, dan seringkali dilakukan oleh orang-orang Kristen (kafir dzimmi dan tawanan-tawanan perang Badar), dan berlokasi di luar masjid. Pengajaran ini dilakukan dengan menggunakan syair-syair yang terkenal pada masanya. Hal itu, untuk menghindarkan diri dari menggunakan al-Quran. Sebab penggunaan al-Quran untuk belajar menulis dipandang kurang etis.

Pengajaran al-Quran serta masalah keagamaan, pada awalnya, dilaksanakan di masjid secara non-formal. Akan tetapi, karena anak-anak (sebagai bagian dari murid

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

17AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

yang belajar di masjid) tidak dapat menjaga kebersihan dan kesucian masjid, maka bagi mereka dibuatkan tempat khusus (kuttb) di samping masjid. Sejak itulah pendirian kuttb semakin meningkat (di setiap desa terdapat satu atau lebih), sehingga muncullah dua jenis kuttb. Satu kuttb untuk pendidikan sekuler (secular learning), dan yang lain untuk pendidikan agama (religious learning).

Di antara kuttb-kuttb tersebut, begitu Izzudn Abbs, ada yang mengharuskan bagi siswanya untuk membayar biaya pendidikan, yakni bagi yang kaya, dan ada yang bebas biaya, tentunya bagi para murid yang miskin. Jenis kuttb yang terakhir ini dikenal juga dengan nama Kuttb al-sabl (pondok orang dalam perjalanan). (Hasan Langgulung, 2000: 123)

Namun pada masa Bani Abbasiyyah keadaan tersebut mengalami pergeseran. Al-Quran, sebagai kurikulum utama, dipelajari bersama dengan pelajaran baca-tulis, tata bahasa Arab, kisah-kisah Nabi (terutama hadits-hadits Nabi Muhammad saw.), aritmatika serta puisi. Inilah yang disaksikan ibn Jubayr ketika mengunjungi Damaskus pada 1184 M. (Philip K. Hitti, 2005: 512)

Rumah yang dijadikan sebagai tempat berlangsungnya pendidikan di masa ini antara lain: rumah Ibnu Sn, al-Ab Sulaimn al-Sijistani (w. 390 H.), al-Ghazl, Al ibn Muhammad al-Fasihi, Yakb ibn Killis seorang Wazr Khalifah al-Azz al-Fthimy, Ahmad ibn Muhammad Ab Thaher (w.576 H.). Disiplin ilmu yang dipelajari di institusi ini meliputi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dengan tempatnya sendiri-sendiri.

Sementara istana --dan atau kediaman para bangsawan-- secara khusus juga dijadikan sebagai lembaga pendidikan oleh kalangan elit khalifah atau kaum bangsawan, yang diilhami oleh halaqah-halaqah yang ada di masjid. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pendidikan harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa.

Toko, pada dasarnya merupakan tempat jual-beli kitab yang mulai menjamur di saat ini karena ilmu

Abd. Azis

18 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

pengetahuan dan kebudayaan Islam mulai tumbuh dan berkembang. Al-Yaqb meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891 M.) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko-toko tersebut, sebagaimana toko-toko yang kemudian muncul di Damaskus dan Kairo, lebih kecil dari ruangan samping masjid, tetapi ada juga yang berukuran sangat besar, cukup besar untuk pusat penjualan sekaligus sebagai pusat aktivitas para ahli dan penyalin naskah.( Philip K. Hitti, 2005: 521 ) Di saat ini mulai bermunculan para ulama yang menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Kitab-kitab tersebut selanjutnya dibeli oleh pemilik toko untuk dijual kembali.

Saudagar-saudagar tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba, dengan berjualan. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah para sastrawan yang cerdas, yang telah memilih jalan ini dengan harapan agar mereka mendapatkan kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama dan pujangga. (Ahmad Syalabi, 1973: 53) Dan, sebagaimana dikatakan Stanton, selain menjadi tuan rumah seringkali mereka sekaligus menjadi pemimpin lingkaran studi, halaqah. Tidak jarang juga, mereka mengundang orang-orang pandai dari masyarakat sekitarnya untuk memimpin jalannya diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan. (Charles Michael Stanton, 1994: 163) Selain itu, mereka dapat menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kembali kepada mereka yang memerlukan dengan mendapatkan imbalan. Hitti memisalkan hal ini seperti Yaqt, yang telah memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku; l ibn sa, yang oleh Yaqt dikatakan sebagai saudagar kitab, di samping seorang sastrawan yang telah menulis sejumlah buku. Begitu juga al-Ndim --dikenal juga dengan nama al-Warraq (lembar kertas)-- (w. 995 M.) yang memulai kariernya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa katalog berjudul al-Fihrits, yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan sebagai karya yang sangat baik.

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

19AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

(Charles Michael Stanton, 1994: 163).Masjid sebagai lembaga pendidikan menengah,

muncul sekitar Abad VIII M. Pada mulanya masjid merupakan lembaga pendidikan dasar. Pada zaman Nabi Muhammad saw. dan Khulaf al-Rsyidn, masjid merupakan lembaga pendidikan pokok. Ketika ilmu-ilmu asing memasuki masyarakat Islam, ia juga memasuki masjid dan harus dipelajari bersama-sama dengan ilmu-ilmu agama. Di Madinah, begitu Syalabi mencontohkan, Nabi Muhammad saw. menggunakan masjidnya (Nabawi) sebagai tempat memberi pelajaran kepada para shahabatnya tentang urusan-urusan agama dan dunia. (Ahmad Syalabi, 1973: 64). Dalam perkembangan selanjutnya, dengan alasan tertentu, ia dijadikan sebagai lembaga pendidikan menengah dan --dalam waktu yang sama-- pendidikan tinggi. (Hasan Langgulung, 2000: 123)

Masjid ini, jelas Stanton, dibedakan menjadi dua; yaitu masjid jmi dan masjid non-jmi. Masjid tipe pertama, yang memiliki jumlah sangat terbatas (di Baghdad hanya terdapat lima atau enam masjid, sementara di Mesir hanya terdapat enam buah), dibangun oleh khalifah dengan ukuran relatif besar dan dihiasai secara indah. Selain dijadikan sebagai tempat melaksanakan shalat jumat, masjid ini juga dijadikan sebagai penghubung antara khalifah dengan rakyat banyak. Sedang tipe yang kedua bersifat lokal dan eksklusif serta memiliki jumlah banyak. Masjid tipe ini biasanya lebih kecil dan dibangun untuk kepentingan sekelompok masyarakat muslim tertentu atau sekelompok penganut madzhab tertentu, dengan dukungan dana dari jamaahnya sendiri, dari satu patronase atau dari satu wakaf. Masjid (tipe) ini sering disebut sebagai masjid-akademi. (Charles Michael Stanton, 1994: 35)

Terlepas dari jmi atau non-jmi, masjid merupakan institusi pendidikan, dalam dua jenjang. (Charles Michael Stanton, 1994: 35) Pendidikan yang berlangsung di sana menggunakan sistem halaqah. Yakni, seorang syaikh duduk dengan dikelilingi para murid(nya). Dalam konteks masjid jmi, sebagaimana dikatakan Stanton, seorang

Abd. Azis

20 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

syaikh diangkat --dan seringkali merupakan pengaruh dari pemuka masyarakat serta para bangsawan-- oleh khalifah untuk mengajarkan fiqh atau bidang kajian agama tertentu. Pengangkatan syaikh biasanya berlaku seumur hidup. Kecuali jika ia memiliki kasus tertentu, seperti memiliki ajaran yang menyimpang atau persoalan moralitas, maka tidak menutup kemungkinan ia akan dipecat. Tidak jarang juga jabatan ini diwariskan oleh seorang ayah atau guru kepada anak atau muridnya. (Charles Michael Stanton, 1994: 35-36).

Pendidikan yang diselenggarakan di masjid jmi lebih bersifat fleksibel-nonformal, sehingga lembaga ini bebas menerima siswa (baik terdaftar maupun tidak) dari segala umur dan tanpa terikat kapan seorang siswa harus hadir dan halaqah mana yang hendak diikuti, sehingga dia dapat datang dan pergi serta pindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain; dari satu masjid ke masjid yang lain; bahkan dari satu kota ke kota yang lain. Selain itu, para siswa tidak perlu membayar biaya pendidikan.

Berbeda dengan masjid jmi, masjid-akademi lebih formal dalam melaksanakan pendidikannya. Seorang siswa sebelum masuk dalam lembaga ini harus mendaftarkan diri terlebih dulu (pada mudarris). Dalam pengangkatan seorang mudarris (sebutan bagi pengajar fiqh di masa itu) yang idealnya dilakukan oleh khalifah atau wakilnya, sebagaimana dalam masjid jmi, tidak dilaksanakan dalam masjid-akademi, terutama dalam kasus masjid-masjid yang lebih kecil. Pejabat setempat dan pemuka agama melakukan hal itu dengan persetujuan qdhi, hakim. Jika sebuah masjid dibangun dan dibiayai oleh sebuah kelompok tertentu untuk kepentingannya sendiri, maka merekalah yang akan mengangkat seorang mudarris, yang mewakili pandangan keagamaan mereka.

Begitu juga sebuah masjid yang dibiayai oleh satu sistem wakaf, dokumen wakaf --waqfiyyah-- biasanya mencantumkan bagaimana seorang pengurus harus diangkat. Patron (pemberi wakaf) biasanya menyatakan kualifikasi mudarris yang dapat diterima, terutama tentang madzhab yang dia ikuti. Bahkan, pemberi wakaf

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

21AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

mungkin telah menunjuk seseorang. Disiplin ilmu yang mendapat perhatian lebih dalam institusi ini adalah fiqh (dalam semua madzhab).

Seorang mudarris, yang biasanya hanya satu orang dalam satu masjid, seringkali merangkap juga sebagai imm. Dengan demikian, dalam satu masjid hanya terdapat seorang imm yang sekaligus merangkap mudarris. Dialah yang menentukan kurikulum dan sifat pengajaran. Sehingga masjid-akademi dapat dikatakan sebagai manifestasi dari diri mudarris sendiri.

Sanggar seni (sastra) muncul pertama kali pada masa khalifah Bani Umaiyah dalam formatnya yang bersahaja, sebagai perkembangan dari majlis-majlis yang telah ada pada masa Khulafa al-Rasyidin yang diselenggarakan di masjid. Institusi ini mendapat kemegahannya dibawah imperium khalifah Bani Abbasiyyah dengan dinamikanya sendiri. (Ahmad Syalabi, 1973: 62). Dalam periode kedua masa ini, institusi ini mulai dikenal di kalangan para penguasa dan kaum bangsawan yang lebih rendah baik di Damaskus maupun di Baghdad, seperti yang diselenggarakan oleh Sultan Mahmud al-ghaznawi dan Nidlm al-Mulk. (Ahmad Syalabi, 1973: 62).

Namun berbeda dengan masa khulafa al-Rasyidin, sanggar sastra ini lebih bersifat eksklusif (berdasarkan undangan dari penyelenggara). Hari dan waktu pelaksanaan juga sepenuhnya bergantung pada khalifah sebagai penyelenggara. Selain itu, ada beberapa etika tertentu yang harus dipenuhi dalam menghadiri majlis ini. Seperti harus berpakaian rapi, menggunakan wangi-wangian, meninggalkan sesuatu yang tidak disuka khalifah dan lain-lain. (Ahmad Syalabi, 1973: 62). Prestise dan popularitas sanggar, terutama, bergantung pada kekayaan dan kekuatan patron (penyelenggara) dalam mengundang para cendekiawan atau kaum intelek. Di antara sanggar (lingkaran) di istana yang paling terkenal karena kualitas diskusinya, adalah yang diselenggarakan oleh khalifah al-Rsyid dan al-Mamn. Sanggar al-Rasyid sebagaimana dijelaskan Mahmud Yunus, telah melahirkan beberapa ilmuwan interdisipliner. Dalam bidang syair

Abd. Azis

22 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

misalnya, muncul Abu Nuwas, bidang musik muncul Ibrahim al-Mausili, bidang bahasa Sibaiwi dan bidang fiqh, Abu Yusuf dan beberapa ilmuwan lainnya. (Mahmud Yunus, 1990: 87)

Setelah tekanan terhadap gerakan Mutazilah dan pemutusan aliran rasional bangsa Yunani dalam kehidupan intelektual Islam, sanggar-sanggar sastra ini cenderung mengukuhkan kembali ajaran-ajaran tradisional, memperlemah dorongan-dorongan bagi kemajuan intelektual yang luas. Sungguhpun demikian, tidak dapat diabaikan kontribusi sanggar tersebut, terutama perannya sebagai media bagi masuknya pemikiran intelektual dan sains Yunani ke dalam peradaban Islam. Yang pada gilirannya melahirkan lembaga-lembaga tinggi lain yang lebih formal, ketika aneka ragam lingkaran studi di istana mengembangkan perpustakaan, observatori, dan pusat penerjemahan.

Masjid, sebagai lembaga pendidikan tinggi merupakan kelanjutan dari pendidikan menengah. Dengan demikian, dari sudut disiplin ilmu yang dipelajari sama dengan yang ada pada jenjang sebelumnya (penulis tidak mendapatkan data konkrit, yang membedakan antara kedua jenjang dari sudut ini). Perbedaan antara keduanya, sebagaimana disinggung di atas, lebih terlihat pada status guru (syaikh), apakah dia ulama besar dan memiliki prestise tinggi atau belum mencapai derajat itu. Kualifikasi tersebut tentunya berimplikasi pada kualitas seorang syaikh, dan pada batas-batas tertentu, ilmu yang diperoleh siswa.

Perpustakaan sebagaimana dikatakan Syalabi, didirikan karena mahalnya harga manuskrip ketika itu. Sehingga alternatif yang dianggap efektif bagi pengajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa itu adalah perpustakaan. (Ahmad Syalabi, 1973: 132). Perpustakaan, begitu Hitti, menyimpan beberapa buku dalam berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, astronomi dan lain-lain di samping ilmu agama. Selain digunakan untuk membaca, perpustakaan juga dijadikan sebagai tempat diskusi dan debat ilmiah, sebagaimana lembaga-lembaga

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

23AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

pendidikan tinggi sekarang. (Philip K. Hitti, 2005: 520; Mahmud Yunus, 1990: 90-91) Di sinilah orang (bisa) menemukan titik permulaan dari pusat keilmuan yang sangat kompleks.

Dalam pandangan orang-orang Arab, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Pengaruh tulisan al-Jahiz dalam hal ini tidak dapat diabaikan. Buku itu diam bila engkau menghendaki dia diam, berbicara bila engkau menghendakinya. Dia tidak akan mengganggu kalau engkau sedang bekerja, tetapi bila engkau merasa kesepian dia akan menjadi temanmu yang baik. Engkau tidak perlu berminyak air terhadapnya dan juga tidak akan berkecil hati. Dia adalah teman yang tidak menipu atau bermuka dua, begitu al-Jahiz menulis. (Ahmad Syalabi, 1973: 136) Dengan demikian, bagi mereka perpustakaan lebih berharga dari segalanya. Bukan hanya ulama dan para khalifah yang mendirikannya. Tetapi orang-orang awam pun ikut menyemarakkan dalam pembangunannya.

Dalam perpustakaan, lanjut Syalabi, selain terdapat ruangan-ruangan tempat buku, juga terdapat kamar-kamar dan ruangan-ruangan yang dilengkapi dengan permadani dan tikar-tikar yang bagus serta perabot-perobot untuk berbagai macam kepentingan lain. Seperti membaca, menyalin, dan lain-lain. Bahkan ada yang menyediakan kamar-kamar untuk musik. Untuk kemudahan dalam mencari buku, dibuatlah manajemen yang rapi. Selain disediakan katalok, juga terdapat tulisan tentang nama dan nomor-nomor buku yang ditempel di setiap almari, dan keterangan tentang halaman yang sudah hilang. Perpustakaan-perpustakaan tersebut juga memberikan fasilitas pinjaman, bahkan hal itu diutamakan, dengan persyaratannya sendiri-sendiri, seperti terbatas masanya, harus dijaga keotentikan isi buku dan lain-lain. Sehingga tidak perlu lagi orang yang ingin membaca buku, membelinya terlebih dahulu. (Ahmad Syalabi, 1973: 141-168)

Untuk bisa memberikan pelayanan yang memuaskan, perpustakaan memiliki beberapa petugas dengan jabatannya masing-masing, dan berbeda

Abd. Azis

24 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

antara satu perpustakaan dengan perpustakaan lain. Beberapa jabatan yang secara umum terdapat pada setiap perpustakaan antara lain pemimpin perpustakaan, penerjemah, penurun, penjilid dan pembantu. Pada umumnya, segala biaya perpustakaan, seperti bangunan, mendatangkan buku baru, gaji pegawai dan lain-lain, ditanggung oleh dana wakaf dari pemerintah. Sehingga dalam hal gaji, besar kecilnya gaji pegawai perpustakaan bergantung pada besarnya dana wakaf.

Di antara perpustakaan-perpustakaan tersebut, ada yang diperuntuk-kan bagi masyarakat umum, semi-umum dan ada yang khusus. Perpustakaan jenis pertama didirikan oleh khalifah, wazir, maupun penguasa lokal di masjid-masjid dan di madrasah-madrasah, dengan tujuan untuk mempromosikan kegiatan baca-tulis dan memajukan tingkat pendidikan di wilayah kekuasaan mereka. Perpustakaan ini jumlahnya amat banyak. Selain berkembang di Baghdad (yang memiliki 36 perpustakaan) dan kairo (yang memiliki lima lembaga perpustakaan yang terkemuka), perpustakaan ini juga berkembang di ibu kota-ibu kota propinsi (termasuk di Bukhara, Marw, Samarkand, dan Nishapur) dan sepanjang wilayah Afrika Utara, terutama di pusat-pusat utama kebudayaan Islam di Andalusia. (Charles Michael Stanton, 1994: 160-161)

Di antara perpustakaan tersebut, sebut Syalabi, adalah Bait al-Hikmah, yang didirikan khalifah Hrn al-Rsyid di Baghdad, perpustakaan al-Haidariyah di Najaf yang mendapatkan perhatiannya dari Add Daulah dari dinasti Buwaihi, perpustakaan Ibn Sawwar yang didirikan di Basrah oleh Ab Al ibn Sawwar orang dekat Add Daulah, perpustakaan di masjid al-Zaidi yang pendiriannya disponsori oleh Add al-Dn Muhammad, seorang wazir dari khalifah al-Mustadhi bi Amrillh, Dr al-Hikmah yang didirikan oleh khalifah al-Hkim bi Amrillh di Kairo. (Ahmad Syalabi, 1973: 169-178). Jumlah seri yang ada di perpustakaan-perpustakaan (umum) tersebut, tegas Stanton, sulit diprediksi, karena data-data dari abad-abad itu (baca: klasik) cenderung melebih-lebihkan. Tetapi banyak perpustakaan dilaporkan memiliki antara 100.000

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

25AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

dan 1.000.000 volume. (Charles Michael Stanton, 1994: 168)Dalam Bait al-Hikmah terdapat pula sanggar sastra,

lingkaran studi, observatori; penerjemahan dan penerbitan yang semuanya berada dalam pengawasan khalifah. Perpustakaan yang dianggap juga sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan ini, merupakan lembaga pendidikan tinggi pertama di dunia yang mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di sanalah al-Kindi (w. 873 M.) mendirikan sekolah berbahasa Arab yang mengajarkan filsafat peripatetik yang kemudian dikembangkan oleh al-Frbi, Ibn Sn, dan Ibn Rusyd. Di tempat ini juga al-Khawrizm tidak hanya memberikan kontribusinya bagi filsafat, teologi, matematika, tetapi juga melakukan penelitian di laboratorium perbintangan.

Sementara perpustakaan semi-umum, tidak diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat, tetapi bukan pula khusus bagi pendirinya, karena memang bukan itu tujuannya. Perpustakaan jenis ini didirikan oleh para khalifah dan raja dengan maksud memuliakan dan menghargai serta agar dekat dengan ilmu pengetahuan. Dan diperuntukkan bagi mereka yang mendapatkan izin. Sebagaimana dikatakan al-Maqdisi: tidak dibolehkan mengunjungi perpustakaan ini kecuali mereka yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Perpustakaan jenis ini, begitu Stanton, seringkali melayani kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan para ilmuwan dan mahasiswa, di samping menyediakan kamar-kamar untuk belajar mandiri dan untuk penggunaan buku-buku dalam jumlah yang sangat banyak. Sejarah mencatat bahwa para patron yang kaya raya tidak saja menyediakan kertas, tinta dan pena, tetapi juga makanan, tempat menginap bahkan pesangon bagi orang-orang yang terbatas sumber keuangannya. (Charles Michael Stanton, 1994: 166-167)

Perpustakaan ini dimisalkan seperti perpustakaan al-Nshir li Dnillh, yang memerintah pada 575-622 H. / 1179-1225 M. Perpustakaan ini memuat buku yang amat banyak. Sebagian buku yang ada, diceritakan telah memenuhi tiga perpustakaan yang besar-besar. Selanjutnya, perpustakaan al-Mustashim billh,

Abd. Azis

26 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

seorang khalifah terakhir dari Dinasti Abbasiyyah, yang dikenal dengan Khiznah al-Kutub. Bahkan al-Mustashim mendirikannya di dua tempat. Dan terakhir perpustakaan-perpustakaan para khalifah Fathimiyah di Kairo. Terdapat banyak pendapat tentang jumlah buku dalam perpustakaan tersebut. Ab Syamah menyebutkan terdapat 2.000.000, sementara al-Maqrizi menyatakan terdapat 1.600.000 buku. (Ahmad Syalabi, 1973: 182-185; Mahmud Yunus, 1990: 93-94)

Sedangkan perpustakaan khusus, selain didirikan oleh bangsawan juga didirikan oleh para ulama dan sastrawan, khusus untuk kepentingan mereka sendiri. Perpustakaan jenis inipun memiliki jumlah yang amat banyak. Di antara perpustakaan ini adalah perpustakaan al-Fath ibn Khaqan (w. 247 H. / 861 M.), seorang wazir dari khalifah al-Matawakkil yang juga seorang ulama yang memiliki kegemaran membaca; perpustakaan Hunain ibn Ishq (w. 264 H. / 877M.), seorang dokter dan penerjemah besar pada masa al-Mamn, yang menguasai bahasa Yunani, Suryani dan Persia; perpustakaan Ibn al-Khasysyab (w. 567 H. / 1171 M.), seorang ulama yang pandai dalam disiplin bahasa (Arab), tafsir, hadits, dan nasab; perpustakaan al-Muwaffaq ibn Mathran (w. 587 H.), yang disebut Syalabi sebagai seorang yang berotak tajam dan pandai dalam ilmu kedokteran; perpustakaan Jamaluddn al-Qifthi (w. 646 H.), seorang wazir yang mahir dalam ilmu nahwu, bahasa, fiqh, ulum al-Quran, ushul, manthiq, astronomi, ilmu ukur dan sejarah; perpustakaan al-Mubasysyir ibn Fatik (w. Abad V), salah seorang pangeran Mesir yang terkemuka. (Ahmad Syalabi, 1973: 188-194)

Karena perpustakaan-perpustakaan tersebut tidak berjalan di bawah pengawasan pemimpin-pemimpin pemerintah dan keagamaan, maka karya-karya sains dan filsafat Yunani terus berkembang di perpustakaan ini, sekalipun pada masa pemberantasan ide-ide asing yang dimulai selama kekhalifahan al-Mutawakkil (Abad IX). Hal tersebut pada gilirannya memberikan kepuasan tersendiri bagi para ilmuwan, sebagaimana yang dirasakan oleh Ibn

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

27AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

Sn yang terungkap dalam catatan hariannya. Bahwa ia memiliki kebanggaan khusus di perpustakaan milik seorang ratu di propinsinya. Demikian juga ilmuwan-ilmuwan lain, mereka mengakui kemajuan intelektualnya dengan dihadirkannya perpustakaan oleh para hartawan dan majikan yang lebih ningrat. (Ahmad Syalabi, 1973: 166)

Perpustakaan-perpustakaan yang merupakan tradisi pendidikan tinggi dalam dunia Islam tersebut, dicatat para sejarawan Barat, sebagai warisan intelektual dan kebudayaan Islam yang paling berharga dan sangat memengaruhi kemajuan peradaban Eropa. Herbert A. Devies dalam An Outline History of the World, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra, mengatakan, umat Islam telah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad melebihi apa yang dipunyai Eropa Kristen. Universitas di Baghdad, Kairo, dan Kordova khususnya, merupakan pendidikan tinggi yang termasyhur. Banyak orang Kristen yang belajar pada universitas-universitas Islam, terutama di universitas Kordova. Orang-orang Kristen tersebut kemudian membawa ilmu dan kebudayaan ke negeri-negeri asal mereka serta pengaruh universitas Spanyol atas universitas Paris, universitas Oxford dan universitas-universitas lainnya yang mereka bangun di Itali. (Azyumardi Azra, 1999: 104-105)

Madrasah sebagai institusi pendidikan tidak bisa lepas dari institusi sebelumnya, terutama masjid. Pendidikan yang terus berkembang memaksa bertambahnya jumlah halaqah yang diselenggarakan di masjid-masjid. Sudah pasti hal itu menimbulkan suasana ricuh. Terutama ketika proses pendidikan menggunakan sistem tanya jawab, debat dan diskusi, sebagai implikasi perkembangan pendidikan. Semua itu menyebabkan terganggunya fungsi utama masjid, yakni untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. Sebagai solusi, ditambahlah masjid itu dengan ruangan-ruangan khusus untuk pendidikan (iwn), pemondokan dan lain-lain, yang terus mengalami perkembangan sesuai kebutuhan. Inilah yang menjadi ciri madrasah ketika itu dan yang sekaligus

Abd. Azis

28 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

membedakannya dengan masjid. (Ahmad Syalabi, 1973: 107). Makdisi menyebut madrasah ini sebagai masjid-khan.

Ketika Bani Saljuk berkuasa atas kekhalifahan Abbasiyyah, di bawah kekuasaan Alp Arsln (1063-1072) M.) dan Mliksyah (1072-1092 M.), seorang wazir, Nidlm al-Mulk, pada 1065 M. mendirikan madrasah yang lebih independen, tidak tergabung dengan masjid, di Baghdad. Sebuah prototipe madrasah yang didirikan pertama kali sepanjang sejarah pendidikan umat Islam, yang diberi nama madrasah Nidlmiyah. (Ahmad Syalabi, 1973: 110) Madrasah tersebut memiliki prestise yang tinggi dan menjadi model bagi pendirian madrasah di zamannya dan sesudahnya. Stanton mengilustrasikan madrasah tersebut sebagai madrasah yang paling unggul pada Abad XI, yang menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi dan model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. (Charles Michael Stanton, 1994: 49) Sehingga, menurut Hasan Abd al-Al, munculnya madrasah Nidlmiyah ini merupakan indikasi bagi lahirnya era baru dari tahapan perkembangan institusi pendidikan Islam. Melihat corak kajiannya, madrasah (Nidlmiyah) dapat dianggap sebagai tradisi sistem pendidikan yang bercorak fiqh dan hadits, setidaknya pada masa Abbasiyyah di Baghdad. (Maksum, 1999: 51-52)

Dengan kekhasannya sendiri, madrasah lebih unggul dibanding dengan institusi yang lain. Segera setelah perkembangan masjid dan Kuttb, madrasah berkembang pesat sesuai dengan kebutuhan dan perubahan masyarakat muslim di masanya, yang ditandai dengan berkembangnya ilmu dan kebutuhan. (Charles Michael Stanton, 1994: 48) Pada Abad XI M. pola dasar pembangunan lembaga pendidikan tinggi yang terpisah dari masjid (baca: madrasah) --dengan implikasi kontrol otoritas keagamaan yang melekat padanya-- namun tetap diabdikan kepada pandangan teologis tertentu sangat populer, dan hal ini berlangsung terus hingga saat sekarang di negara-negara Islam. (Charles Michael Stanton, 1994: 47)

Ibn Jubayr, sebagaimana dikatakan Hitti,

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

29AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

menjelaskan bahwa di Baghdad terdapat sekitar tiga puluh madrasah, di Damaskus terdapat dua puluh madrasah, di Mosul terdapat sekitar enam madrasah dan di Hims terdapat satu madrasah. Madrasah-madrasah tersebut didirikan secara pribadi oleh para saudagar, ulama maupun penguasa. (Philip K. Hitti, 2005: 518) Nidlm al-Mulk sendiri, jelas Ahmad Syalabi, telah membuka cabang madrasahnya di beberapa wilayah, seperti Baghdad, Balkh, Nisabur, Harat, Asfahan, Bashrah, Marwu, Amal dan Mausil. Bahkan al-Subki mengatakan Nidlm al-Mulk mempunyai madrasah di setiap kota di Iraq dan Khurasan. (Ahmad Syalabi, 1973: 112). Setelah itu, ide ini masuk ke wilayah Syam, dan pada tahun 491 H. / 1097 M. didirikanlah madrasah dengan mengambil Damaskus sebagai tempat. Dari situ meluas lagi ke Mesir di bawah kendali Shalhuddn al-Ayybi, yaitu mulai tahun 567 H. / 1171 M. (Hasan Langgulung, 2000: 125)

Pertumbuhan dan perkembangan madrasah tersebut, sekurang-kurangnya diwarnai oleh tiga faktor. Pertama, faktor transformasi madrasah. Sebagaimana disinggung di atas, madrasah adalah transformasi dari masjid, maka madrasah tetap menampakkan elemen masjid meskipun menunjukkan perubahan dari segi kekhususan dalam penyelenggaraan pendidikan sampai tingkat lanjutan. Kedua, faktor aliran keagamaan. Madrasah merupakan lembaga pendidikan aliran Sunni. Sebagai reaksi terhadap doktrin dan kepercayaan-kepercayaan Syiah yang ditanamkan sebelumnya oleh Dinasti Buwaihi dan Fathimiyah yang dinilai batil. Sehingga untuk meluruskan keberagamaan umat, pelajaran yang dinilai efektif adalah ilmu agama, al-ulm al-naqliyyah. Yaitu ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Quran seperti Tafsir, Qiraat, Hadits, Ushul Fiqh dan Fiqh sebagai kajian inti; serta al-ulm al-lisniyyah, seperti bahasa dan sastra, nahwu, sharaf. (Ahmad Syalabi, 1973: 109). Dan tidak mengajarkan mantiq serta tradisi berpikir filsafat. Keadaan ini menyebabkan madrasah kurang mendapat motivasi untuk memperhatikan ilmu-ilmu yang membutuhkan basis logika dan filsafat, seperti ilmu pasti dan kealaman,

Abd. Azis

30 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

kedokteran, kimia, fisika dan lain-lain. Kecuali di madrasah al-Dikhwariyah, yang dibangun pada 621 H. / 1224 M. oleh Muhadzdzab al-Dn al-Dikhwr (w. 628 H. / 1231 M.) dan madrasah al-Dunaysariyah yang didirikan oleh Imd al-Dn al-Dunaisari, keduanya adalah pakar dalam ilmu kedokteran. Di sekolah tersebut dipelajari ilmu kedokteran. (Ahmad Syalabi, 1973: 118)

Ketiga, faktor politik pemerintah. (Mahmud Yunus, 1990: 72) Keterlibatan pemerintah dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah tidak dapat dielakkan. Bahkan pendidikan (madrasah) merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Beberapa pejabat pemerintah yang disinyalir sebagai memiliki kaitan dengan ide dan penyebaran madrasah adalah: Nidlm al-Mulk (456-485 H. / 1063-1092 M.), Nr al-Dn Zanky (541-569 H. / 1146-1174 M.), Shalhuddn al-Ayybi (564-589 H. / 1169-1193 M.), dan al-Mustanshir bi Allh (623-640 H. / 1226-1242 M.). (Ahmad Syalabi, 1973: 113-117)

Tidak dapat dipungkiri bahwa kedudukan dan kepentingan mereka dalam pemerintahan merupakan sesuatu yang sangat menentukan. Dengan kata lain, madrasah merupakan kebijakan religio-politik bagi penguasa.

Bangunan madrasah dilengkapi dengan satu perpustakaan yang tergabung dalam bangunan yang sama. Tersedianya (dalam perpustakaan) berbagai karya lebih dari sekedar buku-buku pelajaran meningkatkan pengalaman belajar siswa dengan memperkenalkan mereka kepada bermacam pandangan dan kepada sejumlah tulisan, lebih dari sekedar kebutuhan langsung pengajaran. Selain itu, dalam konteks Nidlmiyah, Nidlm al-Mulk menyediakan wakaf untuk membiayai seorang mudarris, imam dan siswa (dengan beasiswa dan asrama). Bantuan bagi siswa inilah yang sekaligus membedakan antara madrasah dengan masjid-akademi. (Charles Michael Stanton, 1994: 47)

Madrasah (dalam bentuk klasiknya) yang dalam ilustrasi Stanton dapat disebut sebagai akademi (college) dalam konteks sekarang, di masa-masa berikutnya

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

31AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

memiliki pengaruh yang luas dan monumental. Beberapa ilmuwan --baik muslim maupun Barat-- dalam karya masing-masing sebagaimana dikutip oleh para ilmuwan yang lebih belakangan, telah mengakui pengaruh yang sangat dominan ini, baik terhadap tradisi keilmuan maupun praktek pendidikan dalam Islam (sendiri) maupun bagi bangsa-bangsa Eropa.

Dalam Islam misalnya, sebagaimana ditulis Hitti, madrasah (Nidlmiyah) merupakan model bagi pembangunan akademi-akademi (madrasah) lainnya yang tersebar di wilayah Khurasan, Irak dan Suriah. (Philip K. Hitti, 2005: 518). Prestise dan daya tarik al-ghazl (salah seorang pengajarnya) juga masih terus mewarnai pergumulan pemikiran tokoh-tokoh Islam, bahkan hingga kini.

Sementara pengaruhnya bagi Barat, lanjut Hitti, Reubin Levy mengatakan, sebagian sejarawan mengatakan bahwa beberapa detil organisasi sekolah ini (baca: madrasah) ditiru oleh orang Eropa untuk membangun universitas-universitas mereka yang pertama. Senada dengan statemen tersebut, al-Dailam sebagaimana ditulis Maksum, juga menyatakan bahwa pendirian universitas-universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nidlmiyah). Begitu juga george Makdisi, masih dalam kutipan Maksum, dalam beberapa tulisannya membuktikan, bahwa tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah. (Maksum, 1999: 75, Hasan Langgulung, 2000: 126)

Stanton juga menjelaskan, walaupun pengaruh ilmu dan peradaban Islam terhadap pendidikan Barat dianggap oleh kalangan Kristen Barat lebih bersumber pada lembaga-lembaga informal dan pribadi yang dikembangkan melalui perpustakaan, rumah sakit, observatorium dan lain-lain, namun mereka tidak bisa mengabaikan lembaga dan metode pengajaran yang berlangsung dalam madrasah. (Charles Michael Stanton, 1994: 209-210) Pengaruh tersebut tentunya tidak terlepas juga dari terselamatkannya madrasah Nidlmiyah dalam

Abd. Azis

32 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

melewati malapetaka besar, yakni ketika Hulagu Khan pada tahun 1258 menyerang Baghdad. Juga serangan dari bangsa Tartar.

2. Kurikulum Pendidikan Kurikulum di sini lebih difahami dalam

pemahaman masa lalu, yaitu sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Berangkat dari pengertian tersebut, dan karena pada masa itu telah dikenal tiga jenjang pendidikan, yaitu dasar, menengah dan tinggi, maka ketiga jenjang tersebut memiliki kurikulum sendiri-sendiri. Sungguhpun kurikulum tersebut tidak jauh berbeda dari sisi nama pelajaran namun dari sisi materi berbeda.

Pada tingkat pertama atau dasar, mata pelajaran secara keseluruhan terdiri dari: a) membaca dan menghafal al-Quran, b) pokok-pokok agama Islam, seperti wudhu, shalat, puasa, c) menulis, d) sejarah tokoh e) membaca dan menghafal syair-syair, f) berhitung, dan g) pokok-pokok nahwu dan sharaf. Kurikulum seperti ini tidak dapat diketemukan dalam sebuah institusi, akan tetapi setiap daerah mempunyai kurikulumnya sendiri. Di Maroko misalnya, hanya diajarkan al-Quran dan rasm (tulisan)-nya. Di Andalusia diajarkan al-Quran, menulis, syair, pokok-pokok nahwu dan sharaf serta khat. Di Tunisia diajarkan al-Quran, hadits dan pokok-pokok ilmu agama terutama hafalan al-Quran. (Mahmud Yunus, 1990: 49)

Sedang pada jenjang menengah, kurikulumnya meliputi: a) al-Quran, b) bahasa Arab dan sastra, c) fiqh, d) tafsir, e) hadits, f) nahwu, sharaf, serta balaghah, g) ilmu-ilmu eksakta, h) manthiq, i) falak, j) tarikh, k) ilmu-ilmu kealaman, l) kedokteran, m) musik. Sebagaimana pada jenjang dasar, mata pelajaran tersebut diajarkan di daerah yang berbeda-beda. Hal ini sekaligus sebagai konsekuensi dari institusi yang digunakan, yaitu masjid. Ia dikelola oleh masing-masing syaikh atau mudarris. Hal mana ia memiliki kewenangan untuk menentukan disiplin ilmunya sendiri-sendiri. Sungguhpun secara umum disiplin ilmu yang diajarkannya adalah fiqh dan ilmu-

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

33AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

ilmu agama, namun hal itu tidak selamanya berlaku secara konsisten pada semua masjid. Bahkan ada (juga) masjid yang cenderung mengajarkan ilmu-ilmu umum (al-ulm al-aqliyyah).

Berbagai halaqah di masjid (jmi) misalnya, menawarkan pelajaran hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh, nahwu, sharaf, dan sastra (syair) Arab. Sementara di masjid lain, sebagaimana dideskripsikan Ahmad Syalabi, dimisalkan seperti masjid jmi al-Tuluni (berdiri 256 H.) dipelajari tafsir, hadits, fiqh dalam empat madzhab, qiraat, kedokteran dan hisab. Sementara di masjid jmi al-Azhr, diajarkan ilmu kedokteran, yang diselenggarakan pada waktu tengah hari pada tiap-tiap hari. (Ahmad Syalabi, 1973: 105)

Berbeda dengan kedua jenjang sebelumnya, pendidikan tinggi lebih fleksibel dan berbeda antara satu institusi dengan yang lain. Secara umum pendidikan tinggi ini mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama, serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mempelajari antara lain: a) tafsir al-Quran, b) hadits, c) fiqh dan ushul fiqh, d) nahwu / sharaf, e) balaghah, f) bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari antara lain: a) manthiq, b) ilmu-ilmu alam dan kimia, c) musik, d) ilmu-ilmu eksakta, e) ilmu ukur, f) falak, g) ilmu teologi, h) ilmu hewan, i) nabati, j) ilmu kedokteran. Selama masa itu belum dikenal spesialisasi mata pelajaran. (Mahmud Yunus, 1990: 49) Hal terakhir ini ditentukan setelah seorang siswa tamat dari pendidikan tinggi. Yang didasarkan pada bakat dan kecenderungan masing-masing, sesudah praktek mengajar selama beberapa tahun.

3. Metode PengajaranPendidikan yang ada pada masa ini dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu formal dan non formal. Dalam pendidikan formal, pelaksanaannya formal pula. Sebelum pembelajaran, sebagaimana dijelaskan Stanton, seorang guru terlebih dahulu menyusun taliqah. Taliqah ini memuat silabus dan uraiannya yang disusun

Abd. Azis

34 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan. Taliqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa menyalin taliqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Namun, sebagian yang lain, menambahkan pada salinan taliqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga taliqahnya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang disampaikan gurunya. (Charles Michael Stanton, 1994: 54)

Metode pengajaran yang ditempuh bermacam-macam, mulai ceramah, sorogan, dikte, menghafal seperti yang terjadi di masjid-masjid dan kuttab, hingga diskusi, debat ilmiah, dan eksperimen sebagaimana di sanggar seni, perpustakaan dan di rumah-rumah para ilmuan. Dan inilah bentuk pendidikan non formalnya.

Kelulusan mahasiswa ditentukan oleh kemampuannya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika munaqasah. Setelah dinyatakan lulus, mahasiswa yang telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah, yang terkadang diwujudkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Ijazah ini lebih diberikan oleh guru daripada sekolah. Pemberian ijazah ini sekaligus merupakan pemberian izin (pada yang bersangkutan) untuk meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain. (Mahmud Yunus, 1990: 81)

4. Kondisi Sosial-MasyarakatMisi utama Islam adalah menjadikan umat manusia

sebagai umat yang berperadaban. Misi ini terlihat dari perintah yang disampaikan pertama kali yang sekaligus menandai datangnya Islam, yaitu membaca. Sebagai Rasul Allah, Nabi Muhammad kemudian mengajak umat manusia merealisasikan perintah tersebut. Beliau menyadarkan akan pentingnya ilmu pengetahuan dan membakar semangat para shahabat, sehingga dalam waktu yang singkat Islam meraih kemajuan yang luar biasa, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sepeninggal beliau

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

35AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

semangat tersebut terus diwarisi oleh para penerusnya mulai dari shahabat, tabiin dan tabi al-tabiin, hingga akhirnya Islam meraih peradabannya yang adiluhung, tepatnya ketika pemerintahan umat muslim dipegang oleh khalifah Bani Abbasiyyah. Tak ada peradaban di dunia yang lebih tinggi dari peradaban yang diraih umat muslim kala itu.

Semangat dan besarnya apresiasi umat muslim terhadap ilmu pengetahuan pada masa ini membawa mereka menduduki derajat khairu ummah. Apresiasi ini bukan hanya diberikan oleh para ilmuan, akan tetapi para khalifah, rakyat, saudagar, para orang kaya bahkan pembantu rumah tangga juga memberikan hal yang sama.

Para ilmuan, dengan ilmunya sendiri-sendiri, menjadikan rumah mereka sebagai institusi pendidikan dan mendirikan perpustakaan. Tidak jarang pula mereka memimpin diskusi atas undangan khalifah atau menjadi imam sekaligus mudarris di masjid tertentu dan lain-lain. Demikian juga para khalifah, mereka menjadikan istana sebagai institusi pendidikan, bahkan --dalam konteks pendidikan anak-anaknya-- mereka juga terlibat dalam penyusunan kurikulum. (Ahmad Syalabi, 1973: 48). Selain itu, mereka mendirikan dan mengelola beberapa perpustakaan yang dilengkapinya dengan berbagai sarana seperti tempat diskusi, ruang terjemah observatori dan penerbitan, bahkan tempat tidur, yang disediakan untuk umum. Perpustakaan juga didirikan di masjid-masjid dan di madrasah-madrasah, dengan tujuan untuk mempromosikan kegiatan baca-tulis dan memajukan tingkat pendidikan di wilayah kekuasaan mereka. Perpustakaan ini jumlahnya amat banyak. Selain berkembang di Baghdad (yang memiliki 36 perpustakaan) dan kairo (yang memiliki lima lembaga perpustakaan yang terkemuka), perpustakaan ini juga berkembang di ibu kota-ibu kota propinsi (termasuk di Bukhara, Marw, Samarkand, dan Nishapur) dan sepanjang wilayah Afrika Utara, terutama di pusat-pusat utama kebudayaan Islam di Andalusia. (Charles Michael Stanton, 1994: 160-161)

Tidak kalah semangatnya, para saudagar juga

Abd. Azis

36 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

turut meramaikan perkembangan ilmu pengetahuan. Menjamurnya toko buku kala itu merupakan motivasi tersendiri bagi masyarakat dalam menimba ilmu. Saudagar-saudagar tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dengan berjualan. Akan tetapi kebanyakan mereka adalah para sastrawan yang cerdas, yang telah memilih jalan ini dengan harapan agar mereka mendapatkan kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama dan pujangga. (Ahmad Syalabi, 1973: 53)

Menjamurnya toko buku di ibukota negara yang mencapai lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama adalah apresiasi di sisi lain. Dan, sebagaimana dikatakan Stanton, selain menjadi tuan rumah seringkali mereka sekaligus menjadi pemimpin lingkaran studi, halaqah. Tidak jarang juga, mereka mengundang orang-orang pandai dari masyarakat sekitarnya untuk memimpin jalannya diskusi tentang masalah intelektual dan keagamaan. (Charles Michael Stanton, 1994: 163) Selain itu, mereka dapat menyalin kitab-kitab yang penting dan menyodorkannya kembali kepada mereka yang memerlukan dengan mendapatkan imbalan. Hitti memisalkan hal ini seperti Yaqt, yang telah memulai kariernya sebagai pegawai di sebuah toko buku; l ibn sa, yang oleh Yaqt dikatakan sebagai saudagar kitab, di samping seorang sastrawan yang telah menulis sejumlah buku. Begitu juga al-Ndim --dikenal juga dengan nama al-Warraq (lembar kertas)-- (w. 995 M.) yang memulai kariernya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berupa katalog berjudul al-Fihrits, yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan sebagai karya yang sangat baik. (Charles Michael Stanton, 1994: 163)

Menjamurnya institusi pendidikan yang ada kala itu, tentunya menggambarkan dan memotivasi semangat rakyat dalam berlomba-lomba mencari ilmu, sehingga muncullah tokoh-tokoh besar di masa ini dalam berbagai bidang, yang hingga kini nama-nama mereka masih menghiasi perpustakaan-perpustakaan, mereka seperti

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

37AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

al-Kindi, al-Frbi, Ibn Sn, dan Ibn Rusyd, juga al-Khawrizm

D. SimpulanDari uraian di atas, dapat ditarik beberapa simpulan

berkaitan tentang pendidikan pada masa Bani Abbasiyyah. Simpulan tersebut antara lain:1. Sungguhpun masih jauh dari kemajuan teknologi, namun

semangat mencari ilmu umat muslim pada masa Bani Abbasiyyah sangat tinggi, sehingga membutuhkan banyak institusi sebagai tempat berlangsungnya pendidikan tersebut. Sebagaimana masa sekarang, pada masa itu sudah dikenal jenjang pendidikan. Tentunya hal itu berimplikasi pada perbedaan institusi. Untuk tingkat dasar, institusinya meliputi: kuttab, rumah, toko, istana, dan terkadang berlangsung juga di pasar. Untuk tingkat menengah meliputi: masjid serta sanggar seni dan sastra. Dan tingkat tinggi meliputi: masjid, perpustakaan, dan madrasah.

2. Jenjang tersebut berkonsekuensi pula pada materi pelajaran. Pada tingkat dasar, materi pelajaran secara keseluruhan terdiri dari: a) membaca dan menghafal al-Quran, b) pokok-pokok agama Islam, seperti wudhu, shalat, puasa, c) menulis, d) sejarah tokoh e) membaca dan menghafal syair-syair, f) berhitung, dan g) pokok-pokok nahwu dan sharaf. Pada jenjang menengah, kurikulumnya meliputi: a) al-Quran, b) bahasa Arab dan sastra, c) fiqh, d) tafsir, e) hadits, f) nahwu, sharaf, serta balaghah, g) ilmu-ilmu eksakta, h) manthiq, i) falak, j) tarikh, k) ilmu-ilmu kealaman, l) kedokteran, m) musik. Dan berbeda dengan dua jenjang sebelumnya, pendidikan tinggi mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama, serta bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mempelajari antara lain: a) tafsir al-Quran, b) hadits, c) fiqh dan ushul fiqh, d) nahwu / sharaf, e) balaghah, f) bahasa dan sastra Arab. Kedua, fakultas ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari antara lain: a) manthiq, b) ilmu-ilmu alam dan kimia, c) musik, d) ilmu-ilmu eksakta, e) ilmu ukur, f) falak, g) ilmu teologi, h) ilmu hewan, i) nabati, j) ilmu

Abd. Azis

38 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

kedokteran. 3. Secara keseluruhan, metode pengajaran yang ditempuh

antara lain: ceramah, sorogan, dikte, menghafal, diskusi, debat ilmiah, dan eksperimen.

4. Kondisi sosial-masyarakat sangat mendukung bagi majunya pendidikan dan berkembangnya ilmu. Apresiasi terhadap keilmuah muncul dari semua lapisan masyarakat, baik ilmuan, para khalifah, rakyat, saudagar, para orang kaya bahkan pembantu rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Ciputat: Logos, 1999);

Hitti, Philip K., History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005);

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000);

Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Ciputat: Logos, 1999);

Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1997);

Nokosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah, (Surabaya: Risalah gusti, 1996);

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 2003);

Stanton, Charles Michael, Pendidikan Tinggi dalam Islam, terj. H. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994);

Pendidikan Islam pada Masa Keemasan

39AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004).

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muchtar Yahya dan M. Sanusi Latief, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973);

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990);

MORAL DAN IDENTITAS NASIONAL DALAM ERA GLOBALISASI

Oleh: Ro`fat HilmiDosen Sekolah Tinggi Agama Islam Pati

AbstractThe wave of democratization is such an inevitable fact to most nations these days. The rapid exchange information system has contributed on making the world as a global village, as if nothing separates one nation to another. If it is so, then how a nation can be a part of the global village without losing its national or local identity? In case of Indonesia, the national identity based on multicultural society, as reflected on Pancasila, is still considered relevant to emphasize that Indonesians are democratic, inclusive and tolerant rooted to the multicultural local identities. The concept of multicultural society can be both a medium to develop the democracy and civil society and also a social capital to develop a model of Indonesian multicultural society.

Keywords: moral, national identity, globalization

I. PENDAHULUANBila dilakukan kajian yang mendalam tentang

kebudayaan, maka dapat di ambil kesimpulan bahwa umat manusia kini berada pada kesadaran sejarah yang paling puncak, yakni kesadaran dirinya sebagai bagian yang tidak bisa lagi di pisahkan dengan kehidupan manusia secara universal. Meskipun kesadaran ini sebenarnya semenjak keberadaan manusia, namun pada saat inilah kesadaran tersebut menemukan momentum yang tepat dan sekaligus tantangan yang dahsyat.

Semenjak ada kemajuan di bidang pengetahuan dan teknologi seperti transportasi, komunikasi dan komputer, yang telah menjadikan kesadaran tersebut dapat teraktualisasikan dengan sempurna, setidaknya secara material. Saat ini manusia dengan begitu mudah dan cepatnya berkomunikasi dengan manusia lain meskipun dari sisi tempat sangat berjauhan. Dan dengan cepatnya

Moral dan Identitas Nasional dalam Era Globalisasi

41AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

pula manusia menyaksikan berbagai peristiwa di dunia ini. Fenomena ini di sebut oleh para ilmuan dengan globalisasi.

Di tengah-tengah proses globalisasi ini tentu saja kita hidup dapat mengambil berkahnya, tapi tidak dapat di pungkiri juga, globalisasi mengundang keprihatinan dan gugatan karena disamping berkah, berbagai akibat negatif kini mulai dirasakan oleh banyak orang karena pengaruh budaya. Sehingga banyak kalangan berpendapat bahwa gelombang demokratisasi dapat menjadi ancaman serius bagi identitas suatu bangsa. Dewasa ini hampir tidak satu bangsa pun bisa terhindar dari sapuan gelombang besar demokratisasi. gelombang demokrasi global yang di topang oleh kepesatan teknologi informasi telah menjadikan dunia seperti sebuah perkampungan global (global village) tanpa sekat pemisah. Lalu di manakah identitas lokal berada dan bagaimana sebaiknya suatu bangsa menjadi bagian dari proses demokrasi global tanpa harus kehilangan identitas nasionalnya.

Bila mencermati masih maraknya tindakan main hakim sendiri, masih adanya tindakan anarkis dan budaya korupsi yang masih tinggi di kalangan pejabat negara dan sebagian besar masyarakat, selayaknya bangsa indonesia mempertanyakan kembali kebenaran sebutan-sebutan luhur yang di sematkan dan dipaskan dia kepadanya. Keberanian untuk mengkritisi dan merenungkan identitas sendiri dan merefleksikannya dengan perilaku sehari-hari secara jujur dan konstruktif selayaknya mulai di kembangkan demi terciptanya bangsa yang jujur dan menghayati identitasnya sendiri.

Bersandar pada fenomena tersebut di atas, saya akan membahas tentang moral hubungannya dengan identitas nasional dan globalisasi.

II. HAKEKAT DAN DIMENSI IDENTITAS NASIONAL

Secara harfiyah identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada sesuatu atau seseorang yang membedakannya dengan yang lain. Baik fisik maupun non fisik, bisa dijadikan identitas sepanjang ia bisa menjelaskan sesuatu seseorang, kelompok atau

Ro`fat Hilmi

42 Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

suatu bangsa. Identitas bisa di nyatakan secara sadar oleh seseorang atau kelompok untuk menjelaskan dirinya atau di ungkapkan oleh orang atau kelompok lainnya. Dengan pengertian ini identitas nasional adalah identitas yang yang melekat pada kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan fisik seperti budaya agama dan bahasa atau yang berupa non fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan.

Secara teoritis, pengertian identitas pada hakekatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri khas tersebut maka suatu bangsa berbeda dengan suatu bangsa yang lain dalam kehidupannya. Dengan demikian identitas nasional suatu bangsa adalah ciri-ciri khas yang dimiliki suatu bangsa yang membedakan dari bangsa lainnya. Namun demikian, proses pembentukan identitas nasional bukan merupakan sesuatu yang selesai, tetapi sesuatu yang terbuka dan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman.1

Dengan ungkapan lain identitas nasional adalah sesuatu yang selalu berubah dan terbuka untuk di beri makna baru agar tetap sesuai dengan tuntutan zaman. misalnya jejak Indonesia yang di kenal dengan bangsa yang ramah, santun dan agamis, sebutan ini seyogyanya di renungkan kembali sejauh mana kebenarannya. Bisa jadi sebutan itu hanya mitos budaya yang pada kenyataannya tidak di jumpai, bahkan asing bagi masyarakat Indonesia. Pertanyaan itu reflektif, benarkah kita bangsa yang ramah, agamis ?

Jawaban terhadap persoalan eksistensial manusia akan memperkuat posisi sebagai sumber penemuan identitas diri dan kemudian kelompok, dalam posisi yang demikian agama dijadikan sebagai pembentuk identitas diri dan kelompok yang sudah barang tentu berpotensi dapat menciptakan apa yang dalam antropologi di sebut dengan bounded system.

Dalam rangka menggali, menemukan identitas

1 Ahmad Ubaidillah dan Abdul Rozak Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani ICCE UIN Syarif Hidayatullah, cet:ke II hal 96

Moral dan Identitas Nasional dalam Era Globalisasi

43AL-BURHAN, Vol. 7, No. 2, Juli 2015

nasional indonesia, dan bahkan menciptakan identitas baru indonesia yang sesuai dengan tuntutan global demokrasi, HAM, dan masyarakat madani dimana nilai-nilai keadilan, persamaan hak dan tanggung jawab, toleransi, dan good gaverment yang menjadi tujuan universalnya, maka secara umum terdapat beberapa dimensi yang menjelaskan kekhasan suatu bangsa. Unsur-unsur identitas itu secara normatif berbentuk sebagai nilai, bahasa, adat istiadat, dan letak geografis. Sebagaimana di sitir dalam surat An-Nahl; 97 sebagai landasan sistem nilai atau moralitas.

97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Beberapa dimensi dalam identitas nasional antara lain adalah:1. Pola prilaku, adalah gambaran pola prilaku yang

terwujud dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: adat istiadat, budaya dan kebiasaan, ramah tamah, hormat kepada orang tua dan gotong royong merupakan salah satu identitas nasional yang bersumber dari adat istiadat dan budaya.

2. Lambang-lambang, adalah sesuatu yang menggambarkan tujuan dan fungsi negara. Lambang-lambang ini biasanya di nyatakan dalam undang-undang misalnya: bendera, bahasa dan lagu kebangsaan.

3. Alat-alat perlengkapan, yaitu sejumlah perangkat atau alat-alat perlengkapan yang di gunakan untuk mencapai tu